You are on page 1of 9

GEREJA MELAWAN KORUPSI

PENDAHULUAN

Sejak reformasi bergulir, pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi salah satu isu
utama yang didengungkan hingga saat ini. Upaya yang dilakukan pemerintah dengan
mengeluarkan regulasi dan pembentukan lembaga pemberantasan korupsi terus berjalan
hingga sekarang. Kasus korupsi makin terkuak setiap hari dan melibatkan pengusaha,
eksekutif, legislatif bahkan lembaga keagamaan.

Data korupsi yang diluncurkan Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2016 mencatat kinerja
penyelidikan aparat penegak hukum sebanyak 482 kasus korupsi yang ditangani dengan
jumlah tersangka 1.101 orang dan kerugian negara Rp. 1.47 trilyun serta nilai suap sebesar Rp.
31 milyar. Pada semester I tahun 2017 tercatat 266 kasus yang ditangani dengan jumlah
kerugian negara Rp. 1.83 trilyun. Institusi agama tidak luput dari proses internalisasi nilai-nilai
yang memberi ruang bagi tumbuh kembangnya korupsi oleh pada individu-individu. Kegiatan
gerejawi tanpa sadar membangun ruang pembeda kepada mereka yang berkecukupan uang
dengan mereka yang miskin. Gereja tidak mempersoalkan apakah dana yang disumbangkan
merupakan uang yang didapat dari hasil korupsi atau tidak.

Sebagai salah satu komponen masyarakat sipil, gereja juga berpengaruh besar bagi
pemberantasan korupsi di tanah air. Gereja masih dipandang sebagai lembaga yang berperan
da- lam pembentukan moral dan etika. Kejujuran, keadilan, kebenaran, disiplin, ugahari,
tanggung jawab, bersih dan transparan adalah nilai-nilai anti korupsi yang harus disemai oleh
gereja. Untuk ini, pemahaman tentang korupsi, peyebab dan dampaknya bagi kehidupan
masyarakat diperlukan oleh pekerja gereja agar dapat memberikan pendidikan antikorupsi
kepada jemaat sekaligus tidak berperilaku koruptif dan mampu menjadi alat kontrol sosial
terhadap perbuatan korupsi.

GEREJA MELAWAN KORUPSI

Di dalam Alkitab, terbitan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), tidak akan tersua istilah korupsi.
Bukan karena istilah itu tak penting, tetapi lebih karena istilah itu sendiri belum atau tidak
populer pada masa ketika kitab-kitab dalam Alkitab itu ditulis. Meskipun demikian, bukan berarti
Alkitab sama sekali tidak memberi perhatian pada tindak korupsi. Dengan menggunakan istilah
lain, Alkitab menjabarkan korupsi yang ternyata sudah dipraktikkan sejak manusia itu ada.

Secara sederhana korupsi adalah penyalahgunaan wewenang jabatan yang dapat menim
bulkan ekses perilaku yang tidak jujur. Perilaku itu dapat ditunjukkan melalui penyuapan,
penipuan dan atau penggelapan. Pendeknya semua tindakan itu hanya menunjukkan betapa
ketidakjujuran menjadi jiwa dari perilaku koruptif. Namun, hal yang paling utama untuk
diperhatikan dan dipahami adalah fakta bahwa perilaku korupsi itu hanya dilakukan oleh
mereka yang memiliki jabatan karena itu perilaku korupsi dipahami sebagai penyalahgunaan
wewenang jabatan demi keuntungan diri sendiri dan atau kelompoknya. Dalam bingkai di atas
itulah, kita akan menengarai berbagai perilaku korupsi yang diungkapkan secara gamblang di
dalam Alkitab.

Alkitab memberi tempat yang sangat sentral bagi keluarga. Salah satu perintah yang diberikan
oleh Sang Pencipta di awal kisah adalah ketetapan untuk membentuk keluarga. Begitu
pentingnya keluarga sehingga seluruh bangunan kehidupan umat Allah digambarkan dalam
konsep keluarga. Keluarga itu seumpama atom, inti yang paling kecil tetapi sangat penting. Bila
keluarga hancur, seluruh bangunan yang lain akan ikut hancur lebur.

Kisah korupsi yang pertama dicatat dan dipaparkan oleh Alkitab terjadi di dalam keluarga.
Sesungguhnya ini fenomena yang sangat menyesakkan sekaligus memalukan, tetapi apa boleh
buat. Kita justru harus bersyukur sebab Alkitab tidak menyembunyikan aib ini dari para
pembacanya. Alkitab ingin menyampaikan pesan penting yaitu agar kita belajar bersikap kritis
serta menolak berbagai godaan dan jebakan korupsi, bahkan bila itu datangnya dari dalam
lingkaran dalam keluarga kita sendiri.

A. Contoh Tokoh yang Tidak Jujur dan Minus Integritas

1. Kisah Adam dan Hawa

Catatan peristiwa korupsi yang pertama terjadi di Taman Eden. Adam dan Hawa diberi
kepercayaan dan ‘jabatan’ oleh Tuhan untuk mengusahakan dan memelihara Taman Eden [Kej.
2 : 15]. Sebagai ‘pejabat’ yang dipercaya, Adam dan Hawa diberi berbagai hal yang mereka
perlukan agar dapat bekerja dengan baik. Salah satu yang diberikan kepada mereka adalah
wewenang penuh serta kebebasan untuk melakukan apa pun, termasuk memakan buah dari
seluruh pohon yang ada di dalam Taman Eden. Tetapi sama seperti pejabat mana pun,
wewenang dan kebebasannya tidaklah absolut. Selalu ada batas yang tidak boleh dilanggar
karena itu, meski diberi wewenang dan kebebasan yang sangat besar, Adam dan Hawa diberi
batasan tegas yaitu bahwa mereka dilarang memetik dan memakan buah dari pohon
pengetahuan yang baik dan yang jahat [Kej. 2:16 -17].

Perintah Allah berupa pembatasan wewenang dan kebebasan itu sangat jelas. Adam dan Hawa
paham benar soal itu, tetapi sebagai manusia mereka punya nafsu. Ada yang bisa
mengendalikan nafsunya, tetapi ada yang gagal lalu bablas. Adam dan Hawa termasuk dalam
tipe yang kedua. Ketidakmampuan mengendalikan nafsu untuk mendapat lebih dari yang
dipercayakan, membawa mereka pada perilaku koruptif. Korupsi pada dasarnya adalah
penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan yang dipercayakan.

Dalam percakapan dengan ular, mereka makin tergoda untuk menyalahgunakan wewe- nang
yang dipercayakan [Kej. 3 : 1 – 6]. Dalam hal ini pembaca, terutama kaum laki-laki, harus
cermat memerhatikan bahwa Adam hadir dalam percakapan antara Hawa dengan ular. Jadi,
jangan salahkan kesalahan mereka berdua hanya pada diri Hawa. Keduanya terlibat!
Fenomena kehadiran Adam ini menegaskan bahwa perilaku koruptif dapat terjadi sebagai hasil
kolaborasi negatif dan destruktif dalam keluarga. Alih- alih menjaga dan memelihara, mereka
berdua justru menyalahgunakan wewenang jabatan dan kebebasan yang Allah anugerahkan
untuk kepentingan diri sendiri: menginginkan kuasa yang lebih, ingin menjadi sama seperti
Allah.

Sesungguhnya perilaku koruptif tidak mengenal gender. Laki-laki dan atau perempuan, baik
secara sendiri maupun secara bersama dapat melakukan korupsi. Bahkan, lebih buruk dari itu
adalah, mereka bersama sebagai anggota keluarga dapat saling bekerjasama untuk melakukan
tindakan amoral, yaitu korupsi.

Pada kisah ini, ada satu akibat besar yang mereka rasakan setelah mereka melanggar batas
dengan perilaku koruptifnya, yaitu rasa malu. Mereka malu karena mereka mereka telah
melakukan sesuatu yang seharusnya tidak mereka lakukan. Mereka malu karena mereka
merasa gagal memegang dan menjaga kepercayaan yang Tuhan berikan kepada mereka.
Orang yang merasa malu akan merasakan ketidaknyamanan dalam hidupnya. Adam dan
Hawa merasakan ketidaknyamanan ini sehingga rasa malu muncul, lalu mereka berdua
bersembunyi.

Masih syukur, Adam dan Hawa punya rasa malu. Ironisnya, bila kita perhatikan, pada masa kini
para pelaku korupsi justru kehilangan rasa malu. Saat ditangkap oleh polisi atau oleh KPK, alih-
alih menyembunyikan muka, mereka justru menampilkan wajah gembira, mampu tersenyum
ceria seolah tanpa dosa. Urat malu mereka sudah putus bersamaan dengan putusnya urat
moral dan spiritual. Celakanya, di beberapa tempat, mereka tetap dianggap pahlawan
masyarakat karena beberapa di antara mereka berperilaku seperti Robin Hood, suka
‘menyedekahkan’ uang hasil korupsi kepada umat dan kepada masyarakat.

B. Contoh Tokoh yang Jujur dan Berintegritas


1. Nabi Natan

Di Alkitab, ada tiga jabatan yang sangat penting yaitu sebagai imam, raja, dan nabi. Seorang
nabi dapat bekerja secara formal di dalam istana, tetapi dapat juga bekerja di luar istana. Salah
satu nabi yang bekerja di luar istana adalah Natan. Meski ia bekerja di luar istana, Natan
memiliki pengaruh dan relasi yang cukup baik di kalangan istana, termasuk dengan Raja Daud.
Ketika Daud menyalahgunakan wewenang (baca: korupsi) dengan mengeluarkan kebijakan
yang menyebabkan terbunuhnya Uria demi untuk mendapatkan Batsyeba, Tuhan mengutus
Natan untuk menegur Daud [2 Sam.12 : 1].

Memang salah satu tugas nabi adalah menyampaikan apa yang menjadi ketetapan Tuhan bagi
umat, termasuk bagi penguasa. Bila hal yang disampaikan adalah kabar baik, tentu itu akan
menjadi tugas yang sangat mudah. Namun, ketika yang harus disampaikan adalah kabar buruk
atau teguran, hal itu akan menjadi tugas yang sulit dan beresiko besar bagi keselamatan
dirinya. Sang nabi yang menyampaikan kabar buruk itu akan kehilangan nyawanya karena
Sang Raja marah besar dan mengamuk.

Natan menerima tugas itu menjalankan tugas yang diberikan kepadanya dengan baik dan
bertanggungjawab. Ia tak mengambil keuntungan dari peristiwa buruk yang menimpa Daud. Ia
tidak melakukannya dalam rangka pencitraan atau dalam rangka mengambil alih jabatan. Ia
lakukan tugasnya dalam rangka kesetiaannya kepada Tuhan. Itulah sebabnya ia tidak takut dan
gentar. Betapa pun pahitnya dan apa pun resiko yang nanti akan diterimanya, teguran Tuhan
kepada Daud harus dia sampaikan.

Kisah yang menarik ini mengingatkan kita bahwa kita semua dapat berperan penting untuk
mencegah perilaku korupsi dengan cara melakukan kontrol sosial terhadap sistem dan/atau
terhadap para pejabat yang korup. Pada saat kita menjalankan tugas kenabian itu, kita harus
melakukannya tanpa takut dan gentar. Kepentingan rakyat harus kita bela. Meskipun demikian,
kita perlu tetap menjaga dan mengeritisi diri kita sendiri sambil melakukan pengendalian diri.
Kita harus sadar bahwa apa yang kita lakukan, bukan mengambil keuntungan dari peristiwa
buruk yang melanda orang lain.

IV. Nilai-Nilai Antikorupsi dan Gereja Melawan Korupsi

Gereja ternyata terlibat dalam praktik korupsi. Bagaimana mungkin? Pangkalnya adalah
dukungan gereja kepada kepala daerah tertentu. Dukungan gereja tersebut tidaklah gratis.
Pemihakan politis tersebut menunjukkan gereja juga ikut andil dalam praktik korupsi. Gereja
memihak calon kepala daerah tertentu yang sudah dan akan memberikan keuntungan, dalam
arti memberikan donasi kepada gereja dalam jumlah yang signifikan.

Ditemukan juga fakta lain, yaitu gereja mengetahui praktik korupsi yang terjadi, tetapi memilih
sikap mendiamkan, tentu saja dengan sejumlah alasan, baik demi menjaga hubungan baik
dengan pejabat daerah yang selama ini menguntungkan gereja, maupun karena terba- tasnya
pemahaman tentang korupsi.

Temuan tentang sikap gereja ini penting dicermati. Ternyata gereja memiliki sikap mendua.
Pada satu sisi, gereja seharusnya bersikap tegas terhadap praktik-ptaktik korupsi yang
dilakukan siapa pun, termasuk oleh anggota jemaatnya sendiri. Pada sisi lain, jika dihadapkan
kepada anggota jemaatnya yang sedang menjadi pejabat atau calon kepala daerah, terutama
yang memberikan keuntungan material, gereja justru memilih diam atau bahkan
mendukungnya. Dengan sikap ini, gereja telah memberi ruang bagi tumbuhnya praktik korupsi.
Melalui sikap mendukung atau memihak calon kepala daerah yang memberikan donasi, gereja
telah menjustifikasi praktik korupsi.

Mungkin ada yang beragumen, bukankah gereja sudah biasa menerima donasi atau
persembahan? Benar sekali! Tetapi menerima donasi saat musim kampanye Pilkada, berarti
gereja menggiring umat untuk memberikan dukungan membabi-buta tanpa memperhatikan
rekam- jejak, dan ini merupakan praktik penyuapan.

Gereja membiarkan dirinya disuap oleh pejabat publik untuk mendapatkan dukungan politik.
Ironinya, menurut catatan responden penelitian yang mewakili berbagai denominasi di seluruh
Indonesia, praktik seperti ini dilakukan sejumlah gereja. Praktik menerima suap seperti ini bisa
saja mencerminkan sikap gereja yang tidak paham bahwa hal tersebut merupakan bagian dari
mata rantai korupsi. Namun bisa juga merupakan cerminan sikap gereja yang oportunistik;
mumpung dapat donasi besar.

Memang, anggaran yang dibutuhkan gereja untuk dana operasional pelayanan relatif besar,
sehingga bantuan dana dari anggota jemaat membantu meringankan beban anggaran. Gereja
yang bersikap netral kepada pejabat publik – yang sekaligus warga jemaat –terutama yang
memberikan dana besar merupakan bagian dari upaya menjaga hubungan baik demi
kelancaran pelayanan. Netral adalah sikap ‘positif’ menjadi argumen pendasaran untuk
menjustifikasi praktik penyuapan.

Sikap gereja sedemikian merasuk ke dalam kesadaran warga jemaat kemudian meng-
kontruksikan respons mereka. Respons tersebut terpecah dalam dua sikap: (a) menolak sama
sekali donasi dari para pejabat dan (2) menerima pilihan sikap gereja yang senantiasa berpikir
positif. Yang bersikap menerima dan mendukung sikap netral gereja berargumen bahwa dana
secara faktual bermanfaat untuk pelayanan. Sedangkan yang menolak menganggap
penerimaan dana tersebut merupakan bagian dari mata rantai korupsi yang harus dibasmi.
Mereka melihat efek negatif dari donasi tersebut, yaitu kecenderungan pilih kasih atau
menganak-emaskan sang donatur dibandingkan anggota jemaat lainnya.

Materi: Nilai-Nilai Anti Korupsi

Merujuk pada beberapa pengertian ahli sosiologi, Macionis menjelaskan bahwa nilai merupakan
standar yang dirumuskan atau disusun secara kultural untuk menjadi pedoman bagi kehidupan
individu-individu mengenai apa yang diinginkan, baik dan indah. Nilai merupakan hal yang
dibagikan orang untuk membuat pilihan-pilihan dalam hidupnya. Ia adalah pengejawantahan
dari keyakinan atau pemikiran tentang apa yang dianggap sebagai sesuatu yang benar. Dapat
disimpulkan bahwa nilai merupakan pedoman dalam membuat pilihan-pilihan hidup, yang
bersumber dari keyakinan dan pemikiran mengenai apa yang dianggap benar.

Kerangka rujukan yang disusun oleh KPK merupakan pedoman yang berakar pada keyakinan
yang dikonstruksi secara kultural. Artinya, sebelum dirumuskan oleh KPK, nilai-nilai itu sudah
tumbuh dan berkembang secara kultural dan historis dalam masyarakat Indonesia meskipun
ada sejumlah nilai yang merupakan nilai yang mungkin relatif baru bagi seperti nilai yang terkait
dengan akuntabilitas.

1. Kejujuran

Kejujuran menjadi nilai yang dibahas pertama-tama karena dinyatakan dengan jelas dalam
Alkitab. Tuhan telah menetapkan bahwa berdusta, menipu dan mencuri adalah dosa (Kel.
20:15-16; Im. 19:11-13). Dalam Dasa Titah, perintah kesepuluh mengatakan, “Jangan
menginginkan barang milik orang lain”. Di sini, kejujuran pertama-tama didefinisikan sebagai
tidak mencuri. Pendefinisian kedua, kejujuran sama artinya dengan tidak berdusta, “Karena itu
saudara-saudara semuanya, jangan lagi berdusta. Berkatalah benar yang satu dengan yang
lainnya” (Ef. 4:25). Dalam Amsal ditegaskan bahwa “Berkata dusta adalah kekejian bagi
Tuhan.” Definisi ketiga adalah, kejujuran bermakna tidak menipu. Paulus memperingatkan,
“Yang mencuri, yang kikir/serakah, pemfitnah dan penipu tidak akan mendapat bagian dalam
kerajaan Allah” (1Kor. 6:10). Menipu atau berlaku curang merupakan nilai negatif dalam Alkitab
sehingga berakibat hukuman tidak mendapat bagian dalam kerajaan Allah.
Karena itu, sesungguhnya kejujuran memiliki dua makna. Pertama, makna yang bersifat
dorongan internal untuk mengontrol hasrat keduniawian manusia agar tidak mencuri dan
berdusta. Kedua, makna yang bersifat eksternal, yaitu menipu orang lain. Dalam hal ini makna
yang kedua terkait dengan praktik pejabat publik yang memberikan donasi demi meraih
dukungan suara dari gereja. Hal ini berarti praktik pemberian donasi pada gereja merupakan
bentuk penyuapan, penipuan atau manipulasi yang dilakukan oleh pejabat publik demi
kepentingan pribadi.

Penerimaan donasi oleh pejabat public dapat memperhadapkan gereja dua isu di kemudian
hari. Pertama, jika pejabat publik tersebut ternyata melakukan tindak korupsi dan masuk ke
dalam radar dan bahkan tangkapan KPK, gereja akan berhadapan dengan kemungkinan audit
dana terkait donasi dari pejabat tersebut, dan kemungkinan menjadi saksi dalam proses
peradilan. Kedua, pejabat publik akan menjadikan perilaku ‘menyumbang’ pada gereja sebagai
habitus baru karena merasakan manfaat yang signifikan dalam perolehan suaranya. Dengan
demikian, gereja hanya menjadi alat dari nafsu kekuasaan. Isu semacam ini harus segera
disikapi dan direspons secara bijak. Sebagaimana dijelaskan oleh Steven Fink, dapat bergerak
cepat dan berubah menjadi krisis, dan ketika krisis menghantam gereja, maka dapat
memunculkan berbagai masalah, di antaranya hancurnya reputasi yang bersumber dari
menyusutnya kepercayaan anggota jemaat kepada gereja.

2. Tanggung Jawab

Kejujuran tidak bisa berdiri sendiri. Ia menuntut satu sikap lainnya, yaitu tanggung jawab.
“Demikianlah setiap orang di antara kita akan memberi pertanggungan jawab tentang dirinya
sendiri kepada Allah.” (Rom. 14: 12). Dengan demikian, Alkitab memberikan pendasaran pada
konsep tanggung jawab akan semua hal yang kita lakukan di muka bumi. Setiap individu
memiliki tanggung jawab yang beragam: tanggung jawab dalam lingkup domestik, yaitu sebagai
anak, sebagai suami, sebagai bapak, sebagai istri, sebagai ibu. Tetapi setiap individu juga
memiliki tanggung jawab dalam lingkup publik, yaitu dalam pekerjaan, studi, dan juga tanggung
jawab sosial kepada masyarakat sekitar kita.

Dari segi keluasan tanggung jawab, ada yang sifatnya personal. Ada juga tanggung jawab yang
bersifat mengikat karena berkaitan dengan tanggung jawab sebagai warga negara ataupun
warga masyarakat. Setiap bentuk perasaan (ber)tanggung jawab merupakan produk dari
konstruksi sosial, artinya tanggung itu jawab bukan sesuatu yang terberikan (given), bukan
sesuatu yang sudah ada dari sananya melainkan sebuah proses konstruksi yang
mengandaikan ada pihak-pihak yang melakukan proses penanaman nilai tanggung jawab
tersebut. Gereja dalam hal ini dipanggil untuk menjadi agen yang menanamkan nilai mengenai
tanggung jawab, baik tanggungjawab personal maupun tanggungjawab sosial sebagai warga
negara, agar setiap anggota jemaat dapat tumbuh menjadi warga negara yang memiliki
kepedulian melawan korupsi dengan berlandaskan pada sikap tanggung jawab.

3. Kerja Keras

Bekerja keras dan menjunjung tinggi proses dalam bekerja, bukan berorientasi melulu pada
hasil, merupakan satu nilai yang perlu ditanamkan oleh gereja kepada setiap anggota jemaat.
Kecenderungan masyarakat modern yang menekankan pada aspek hasil, yaitu materi sebagai
kriteria dalam menilai keberhasilan seseorang, menjadikan masyarakat kita memuja
materialisme. Akibatnya, masyarakat terperangkap semakin dalam pada hedonisme. Hal-hal
yang bersifat materi menjadi tujuan yang ingin diraih. Dengan keluasan materi yang dimiliki,
masyarakat cenderung memberi apresiasi yang tinggi kepada mereka yang kaya. Privilese atau
keistimewaan dalam bentuk perlakuan khusus cenderung diberikan kepadamereka yang
berlimpah secara materi.

Dalam konteks masyarakat masa kini ketika hasil, baik dari segi kelimpahan materi dan
privilese, dipandang jauh lebih penting ketimbang proses, perilaku orang lebih terdorong dan
lebih berorientasi pada hasil, terutama hasil dalam jumlah besar. Untuk itu, praktik korupsi
menjadi salah satu cara atau jalan keluar yang dinilai paling efektif untuk mendapatkan materi
yang diharapkan. Ironinya, ada gereja yang, sadar ataupun tidak, memberikan posisi,
perlakuan atau pelayanan yang istimewa pada mereka yang berkelimpahan secara materi.
Akibatnya, gereja ikut andil dalam mendorong hasrat anggota jemaat untuk melakukan korupsi.

4. Keadilan

Beberapa gereja mengistimewakan me- reka yang berkelimpahan secara materi dan
memarjinalkan mereka yang berkekurangan. Ini memunculkan pertanyaan tentang bagaimana
gereja memahami konsep keadilan. Plato (Platon) mendefinisikan keadilan sebagai melakukan
tugas dan fungsinya masing- masing sesuai kapasitas. Keadilan itu tidak hanya mewujud dalam
lingkup individu terkait kewajiban di area domestik, melainkan juga dalam kewajiban sebagai
warga dalam area publik. Artinya, keadilan menunjuk pada pentingnya meletakkan segala
sesuatunya pada tempatnya.

Dengan demikian, keadilan adalah saat setiap anggota jemaat ditempatkan sesuai dengan
kapasitasnya, bukan karena aspek-aspek lainnya seperti kekayaan. Perlakuan terhadap setiap
anggota jemaat merujuk pada tugas, fungsi dan kapasitas yang melekat pada mereka masing-
masing. Gereja sebaiknya memulai sikap membangun rasa keadilan seperti tersebut di atas
sehingga menjadi sumber inspirasi bagi anggota jemaat untuk menghayati dan mengamalkan
tindakan berperspektif keadilan dalam lingkup keluarga dan pekerjaannya masing- masing.

Prinsip keadilan juga dapat diwujudkan dengan menunjukkan sikap yang menjaga
keseimbangan dalam perlakuan kepada semua yang ada dalam lingkungan gereja. Prinsip ini
pun dapat dijalankan dengan tidak menantang orang untuk melakukan sesuatu pada gereja,
melainkan pertama-tama merefleksikan dan memberikan keteladanan tentang apa yang sudah
dilakukan gereja kepada anggota jemaat dan masyarakat sekitar. Dengan demikian, gereja
belajar bersikap rendah hati dan terus-menerus melakukan fungsi reflektif secara internal.

5. Keberanian

Ketika mesin pencari Google dikerahkan untuk mencari definisi mengenai keberanian, salah
satu yang muncul adalah tulisan tentang keberanian Munir. Munir adalah aktivis HAM yang
memiliki keberanian dalam memperjuangkan hak- hak asasi manusia terkait marjinalisasi,
diskriminasi dan kekerasan yang dilakukan penguasa terhadap rakyat. Munir meninggal diduga
akibat diracuni oleh pihak yang diduga merasa terancam oleh perjuangannya dan perjuangan
aktivis-aktivis lainnya.

Dari mesin pencari Google, dapat ditarik pembelajaran bahwa keberanian adalah sebuah model
sikap yang menunjuk upaya aktif melawan sesuatu yang dianggap tidak benar, tidak pada
tempatnya. Upaya melawan sesuatu yang tidak benar ini dilakukan demi tercapainya
masyarakat yang lebih baik, dari segi kesejahteraan maupun moralitas.

Pertanyaannya, bagaimana dan kapan gereja menunjukkan keberanian? Sebagian gereja,


sudah menunjukkan keberaniannya secara tegas mengatakan ‘tidak’ pada korupsi. Gereja-
gereja ini mulai bertanya tentang asal dana yang akan dipersembahkan anggota jemaat, dan
bila mereka enggan menjawabnya, gereja-gereja tersebut menunjukkan penolakannya terhadap
donasi yang diduga didapat melalui praktik korupsi. Tetapi bagaimana dengan gereja-gereja
secara umum?

Bagaimana sebaiknya bentuk keberanian gereja itu diwujudkan? Cukup dengan bersemangat
mengatakan ‘tidak’ pada korupsi? Sebagai langkah awal, sikap ini sudah baik, meskipun tentu
saja tidak boleh berhenti di sini. Perlu ada reformulasi sikap yang nyata dari Gereja tentang
makna “tidak pada korupsi”. Apa saja yang disebut korupsi, mana yang harus ditolak dan mana
yang bisa diterima. Tentu saja rumusannya akan sangat berbeda pada masing-masing gereja
mengingat setiap gereja menghadapi tantangan dan persoalan yang berbeda, bergantung pada
konteks dan tempat gereja berada.

Keberanian bukan sekedar menggaungkan semangat TIDAK pada korupsi, juga keberanian
untuk secara internal mengkritik dirinya sendiri. Keberanian adalah kemampuan untuk
menjalankan fungsi dan tugasnya dengan baik. Keberanian di sini termasuk kemauan untuk
terus berubah jika ditemukan sejumlah kelalaian dan adanya penyalahgunaan wewenang
dalam tubuh gereja. Misalnya, menunda membayar kewajiban pajak, menyuap agar proses
pengurusan surat diperlancar, melakukan proses promosi dan mutasi secara internal yang
bukan didasari prestasi dan kemampuan melainkan karena faktor kesukuan dan hubungan
sosial lainnya.

Dengan kesadaran dan tilik atas diri internal, diharapkan gereja memiliki keberanian lebih besar
untuk melakukan perubahan sistem dan manajemen sehingga bebas dari praktik korupsi.

6. Spiritualitas Keugaharian

Ugahari, merupakan kata yang belum akrab masyarakat kita. Merujuk pada makna yang
ditawarkan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi IV, Pusat Bahasa) ugahari berarti
sederhana atau bersahaja. Namun membaca definisi yang singkat seperti ini, kita jadi bertanya-
tanya, apakah ugahari hanya sebatas pada nilai kesederhanaan saja?

Dalam dialog Sokrates dengan Xarmides (Wibowo, 2011), adalah “… orang yang tenang adalah
orang yang ugahari.” Jika demikian, apakah ugahari itu sendiri? Sokrates mendefiniskan sikap
ugahari atau sophrosune sebagai sebentuk pengetahuan/ pengenalan atas diri sendiri. Melalui
pengenalan akan diri sendiri orang menjadi tahu akan adanya batas diri, atau tahu diri,
sehingga ia juga akan tahu bagaimana harus mengambil posisi. Keugaharian sering pula
disejajarkan dengan egrateia atau pengendalian diri. Artinya, orang yang ugahari dianggap
pasti juga mampu mengendalikan diri ketika berhadapan dengan kenikmatan duniawi
(epithumia).

Dengan merujuk pada pengertian itu, Plato menganggap keugaharian (sophrosune) wajib
dimiliki oleh setiap warga negara, terutama oleh para pemimpinnya. Apabila pejabat publik tidak
memiliki kemampuan untuk mengendalikan diri di hadapan kenikmatan-kenikmatan duniawi,
mereka akan mudah terjebak ke dalam perangkap korupsi.

Bercermin pada pengertian yang telah dirumuskan Sokrates dan kemudian Plato, gereja
sesungguhnya dipanggil untuk menjalankan peran sebagai institusi sosial yang terlibat aktif
dalam mengonstruksi nilai-nilai keugaharian bagi anggota jemaat, guna menjadi pedoman
pengendalian diri dan tahu batas. Nilai keugaharian yang dihayati anggota jemaat dapat
mengonstruksi nilai sehingga mereka tidak menjadi pelaku korupsi, baik pelaku aktif maupun
pasif.

Spiritualitas keugaharian dirumuskan sebagai sebentuk kebijaksanaan hidup bahwa rahmat


Tuhan cukup untuk semua ciptaanNya. Dalam kerangka itu, seluruh anggota jemaat didorong
agar dapat mengendalikan diri dan hidup sederhana dalam sikap kecukupan dan bersedia
berbagi dengan orang lain agar semua berkecukupan dan ikut merayakan kehidupan.

Spiritualitas ugahari penting digaungkan pada konteks masa kini untuk mendorong gereja
mengembangkan kualitas hidup dan pelayanannya dalam masyarakat Indonesia. Melalui
spiritualitas ugahari, gereja turut memelihara semangat berbagi dengan sesama tanpa
memandang perbedaan identitas sosial, terutama dengan mereka yang paling lemah dalam
kehidupan bersama, yakni kaum marjinal dan tertindas. Gereja terpanggil untuk menjalankan
pelayanan berbasis spiritualitas ugahari. Karena itu gereja harus mulai merumuskan langkah-
langkah konkrit mengenai praksis sosial yang dapat diselenggarakan dengan bersumber pada
spiritualitas ugahari.
7. Tranparansi dan Akuntabilitas

Tranparansi dan akuntabilitas merupakan bagian tak terpisahkan dalam konteks etika publik.
Selama beberapa tahun terakhir, pemerintah menggelorakan semangat tata kelola yang baik
(good governance) yang bertumpu pada prinsip etika publik, dengan menekankan transparansi
dan akuntabilitas untuk menegakkan integritas dalam pelayanan publik.

Spiritualitas ugahari menekankan kesederhanaan dan kebersahajaan, meyakini bahwa rahmat


Allah sudah cukup bagi semua. Ini mengandaikan adanya mekanisme untuk terus mengawal
prinsip ugahari agar dapat diimplementasikan secara berkeadilan. Isu transparansi
mendapatkan mo- mentum tepat pada era keterbukaan informasi yang proses demokratisasi
dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik No. 14
tahun 2008 menjelaskan bahwa masyarakat diberi akses dan hak atas informasi publik, akses
dan hak tersebut merupakan hak asasi manusia yang dijamin oleh undang-undang.

Keterbukaan informasi publik diharapkan dapat mendorong partisipasi publik. Institusi gereja
dan anggota jemaat pun didorong untuk terlibat aktif mengakses informasi dan ambil bagian
dalam proses mengemukakan pendapat hingga proses pengambilan keputusan, terutama yang
berdampak bagi kepentingan masyarakat luas.

Transparansi dan akuntabilitas sesungguhnya merupakan konsep dalam tata kelola organisasi
demi mencapai hasil maksimal bagi kepentingan lebih banyak orang. Secara internal gereja,
transparansi berurusan dengan bagaimana gereja terbuka kepada anggota jemaat ihwal
informasi keuangan termasuk pengelolaan dana dan pengalokasian anggaran untuk setiap pos.

Akuntabilitas merupakan sisi lainnya, yakni gereja dapat mempertanggungjawabkan segenap


kegiatan yang dilakukan. Akuntabilitas merupakan bentuk pertanggungjawaban gereja dalam
mengelola sumber daya secara periodik. Dengan membangun habitus baru agar transparan
dan akuntabel, maka gereja dituntut untuk terbuka dan bertanggungjawab. Melalui upaya
transparan dan akuntabel, gereja sekaligus menanamkan nilai tanggung jawab sosial kepada
anggota jemaat.

8. Disiplin

Menjadi transparan dan akuntabel tidaklah mudah karena menuntut disiplin yang tinggi
dari gereja dalam melakukan fungsi manajemen, terutama manajemen keuangan.Seluruh
pemasukan, sekecil apa pun, dicatat dan begitu pula dengan seluruh pengeluaran. Dalam
konteks ini setiap pihak yang terlibat perlu mendisiplinkan diri agar seluruh proses pencatatan
yang dilakukan terkait dengan kepentingan gereja, bukan kepentingan pribadi.

Pendisiplinan diri berkait-paut dengan nilai kerja keras yang menjunjung tinggi proses dalam
bekerja. Pendisiplinan yang tidak berorientasi pada hasil dapat mendorong tumbuhnya orientasi
yang tidak mendewakan materi. Dengan demikian, disiplin diri sekaligus menolong mencegah
terjadinya praktik korupsi. Sikap disiplin berasal dari kata discipleship (pemuridan). Artinya,
makna disiplin adalah sikap yang muncul dari proses belajar yang dilakukan terus menerus
sehingga menjadi habit, sikap hidup sehari-hari.

9. Kemandirian

Upaya sistematis dan strategis mengem- bangkan nilai tersebut di atas dasarnya merupakan
gerak menuju kemandirian. Melalui penanaman nilai-nilai di atas, anggota jemaat dikondisikan
untuk bergerak menjadi pribadi yang mandiri dan tidak bergantung pihak-pihak berwenang yang
ingin menyuap, ataupun menjalin persekongkolan dengan sejumlah pihak untuk mendapatkan
keuntungan melalui penyalahgunaan wewenang.

Dengan melakukan proses konstruksi sosial, gereja bergerak menuju kemandirian, dengan
melepaskan diri dari ketergantungan pada mekanisme korupsi yang diciptakan oleh institusi-
institusi sosial lain di sekitar gereja dan membuat gereja masuk ke dalam skema korupsi yang
diciptakan pihak-pihak tersebut.

You might also like