You are on page 1of 5

PNBP Digenjot, Kelestarian Sumber Daya Ikan Jangan Dikorbankan

Upaya pemerintah menggenjot penerimaan negara bukan pajak atau PNBP bertujuan menyejahterakan
nelayan. Akan tetapi, PNBP yang diikuti peningkatan eksploitasi ikan perlu dikendalikan agar tidak
merusak sumber daya.

JAKARTA, KOMPAS — Upaya pemerintah menggenjot penerimaan negara bukan pajak dari sektor
perikanan tangkap perlu dibarengi dengan kebijakan strategis pengendalian penangkapan ikan.
Eksploitasi sumber daya ikan yang masif tanpa pengendalian dikhawatirkan menyebabkan hancurnya
sumber daya.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menargetkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP)
perikanan tangkap tahun ini sebesar Rp 1 triliun dan naik 1.200 persen pada 2024 menjadi Rp 12 triliun.
Upaya menggenjot PNBP, antara lain, akan dilakukan dengan optimalisasi penangkapan ikan di beberapa
wilayah pengelolaan perikanan.

Pungutan hasil perikanan (PHP) itu diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2021 tentang
Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan. Ketentuan ini
menggantikan PP No 75/2015. Tarif PHP dihitung berdasarkan produktivitas kapal, harga patokan ikan,
dan ukuran kapal.

Berdasarkan ketentuan itu, kapal penangkap ikan berukuran di atas 5 gros ton (GT) hingga 60 GT
dipungut tarif praproduksi sebesar 5 persen, kapal di atas 60 GT-1.000 GT dikenai 10 persen, dan kapal
di atas 1.000 GT sebesar 25 persen.

Berlangganan

Masukkan kata kunci pencarian...

logo Kompas.id


Ekonomi›PNBP Digenjot, Kelestarian...

Iklan

PERIKANAN

PNBP Digenjot, Kelestarian Sumber Daya Ikan Jangan Dikorbankan

Upaya pemerintah menggenjot penerimaan negara bukan pajak atau PNBP bertujuan menyejahterakan
nelayan. Akan tetapi, PNBP yang diikuti peningkatan eksploitasi ikan perlu dikendalikan agar tidak
merusak sumber daya.

Audio Berita

Oleh

BM LUKITA GRAHADYARINI

26 Agustus 2021 20:09 WIB

4 menit baca

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/s3DfD4JVIyOXi9NsceZclfytUpg=/1024x699/https%3A%2F
%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F08%2Fb3733f4b-e28d-4323-8fd3-
73c48af0515c_jpg.jpg

KOMPAS/KRISTI DWI UTAMI

Pengepul ikan beristirahat di sela-sela aktivitasnya di Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari, Kecamatan
Tegal Barat, Kota Tegal, Jawa Tengah, Sabtu (14/8/2021) pagi.

JAKARTA, KOMPAS — Upaya pemerintah menggenjot penerimaan negara bukan pajak dari sektor
perikanan tangkap perlu dibarengi dengan kebijakan strategis pengendalian penangkapan ikan.
Eksploitasi sumber daya ikan yang masif tanpa pengendalian dikhawatirkan menyebabkan hancurnya
sumber daya.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menargetkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP)
perikanan tangkap tahun ini sebesar Rp 1 triliun dan naik 1.200 persen pada 2024 menjadi Rp 12 triliun.
Upaya menggenjot PNBP, antara lain, akan dilakukan dengan optimalisasi penangkapan ikan di beberapa
wilayah pengelolaan perikanan.

Pungutan hasil perikanan (PHP) itu diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2021 tentang
Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan. Ketentuan ini
menggantikan PP No 75/2015. Tarif PHP dihitung berdasarkan produktivitas kapal, harga patokan ikan,
dan ukuran kapal.

Berdasarkan ketentuan itu, kapal penangkap ikan berukuran di atas 5 gros ton (GT) hingga 60 GT
dipungut tarif praproduksi sebesar 5 persen, kapal di atas 60 GT-1.000 GT dikenai 10 persen, dan kapal
di atas 1.000 GT sebesar 25 persen.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/0GhNoS_jHDR-19RPvylqf0Ax9Sw=/1024x683/https%3A%2F
%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F08%2F5de9aa08-2c74-44c3-a9f0-
de2ddd5fce6a_jpg.jpg

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Ikan tongkol ditata di atas bak truk setelah mendarat di Pelabuhan Muara Angke, Penjaringan, Jakata
Utara, untuk kemudian disimpan di gudang berpendingin, Rabu (11/8/2021).

Wakil Dekan I Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro Agus Trianto berpendapat,
pengelolaan sumber daya ikan merupakan faktor yang sangat penting. Penangkapan ikan yang tanpa
kendali berpotensi merusak sumber daya. Ia mencontohkan, perairan Karimun Jawa sebelum 1990
merupakan surga ikan. Ikan napoleon dan ikan kerapu berukuran besar masih mudah ditemukan, tetapi
sekarang sudah langka akibat cara penangkapan yang merusak.

”Penangkapan ikan terus-menerus jika dilakukan tanpa pengendalian, apalagi dengan metode tidak
ramah lingkungan, menyebabkan sumber daya ikan akan tergerus dan hilang,” katanya dalam seminar
daring ”Pengelolaan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan untuk Kesejahteraan Nelayan
dan Pembudidaya Ikan,” Kamis (26/8/2021).
Ketua Forum Kemitraan Konsorsium Perikanan Tangkap dan staf pengajar Departemen Perikanan
Tangkap Universitas Diponegoro, Agus Suherman, mengatakan, potensi kelautan dan kesejahteraan
nelayan masih menghadapi paradoks. Kekayaan sumber daya ikan belum sepenuhnya dinikmati nelayan.
Kemiskinan nelayan ditengarai menyebabkan jumlah nelayan terus menurun dan kini diperkirakan
hanya tinggal 1,46 juta orang.

Pemerintah dinilai menggenjot PNBP sebagai solusi percepatan dan akselerasi agar membantu negara
melanjutkan perikanan yang memberikan kesejahteraan bagi masyarakat nelayan. Saat ini, 96,17 persen
perikanan Indonesia merupakan perikanan rakyat dengan kapal berukuran di bawah 10 gros ton.

Upaya menggenjot PNBP dinilai perlu dilakukan dengan menertibkan izin kapal. Masih banyak kapal ikan
berukuran di atas 30 GT ditengarai tidak berizin, tetapi tetap beroperasi. Dari data Kementerian
Perhubungan, pada tahun 2020 tercatat 14.000 kapal ikan berukuran di atas 30 gros ton. Dari jumlah itu,
yang memperoleh izin usaha perikanan tangkap dari Kementerian Kelautan dan Perikanan baru sekitar
5.000 kapal.

Di sisi lain, jangan sampai instrumen PNBP melalui tarif penarikan sistem kontrak menyebabkan
pengavlingan wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia (WPPNRI) untuk korporasi
tertentu karena dapat memicu penguasaan sumber daya oleh segelintir pelaku usaha. Oleh karena itu,
diperlukan penentuan volume produksi lewat sistem kuota.

Ganti nama

Di sisi lain, pemerintah perlu memastikan penggunaan alat penangkap ikan yang ramah lingkungan.
Penggunaan alat tangkap ramah lingkungan bukan berarti penggantian nama terhadap alat tangkap
yang merusak, tetapi praktik penggunaan alat tangkap itu dipastikan ramah lingkungan dan sesuai
standar. Dicontohkan, pukat harimau (trawl) yang dilarang karena merusak sumber daya. Maka,
penamaan alat tangkap itu diganti agar terkesan baik.

”Dampaknya bala, sesuatu yang tidak diharapkan manusia dapat terjadi. Koral digerus oleh alat pukat
(yang berganti nama). Ini harus menjadi perhatian kita semua karena berisiko dan kita bisa kehilangan
semua,” kata Agus Suherman.

Baca juga : Perikanan Terukur Butuh Basis Data


Sebelumnya, KKP mengizinkan jaring tarik berkantong yang cenderung eksploitatif sebagai pengganti
alat tangkap cantrang yang dilarang. Jarik taring berkantong digunakan di WPPNRI 711, yaitu perairan
laut Kepulauan Riau hingga Laut Natuna pada zona di atas 30 mil dan WPPNRI 712, yaitu laut utara Pulau
Jawa. Di samping itu, KKP membuka penggunaan alat tangkap pukat ikan pada perairan perbatasan
negara dengan tujuan menghalau kapal asing yang kerap menggunakan pukat harimau.

Menurut Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Muhammad Zaini Hanafi, peningkatan PNBP
merupakan salah satu program prioritas KKP pada periode 2020-2024 yang dilakukan melalui
penangkapan terukur. Peningkatan PNBP dari sektor penangkapan ikan bertujuan meningkatkan
kesejahteraan nelayan.

”Penangkapan terukur tujuannya mengotimalkan ekonomi dan pengendalian ekologi laut. Selain
memberikan manfaat bagi pelaku usaha, juga memberikan manfaat bagi negara berupa PNBP dan pajak,
yang akan dikembalikan untuk pemberdayaan nelayan, sehingga kesehateraan nelayan meningkat,” kata
Zaini dalam webinar ”Optimalisasi Tata Kelola Perikanan Berkelanjutan melalui Pengelolaan Terukur dan
Kolaboratif”, Selasa.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/KhN6FnknUAEEZK-lqSB-Wua3kSs=/1024x748/https%3A%2F
%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F08%2F0576ce5a-0e0e-4508-bb0a-
31f64a4d7a55_jpg.jpg

KOMPAS/KRISTI DWI UTAMI

Aktivitas pagi di Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal, Jawa Tengah,
Sabtu (14/8/2021).

Potensi stok ikan di 11 WPPNRI mencapai 12,54 juta ton dengan kapasitas tangkapan yang dibolehkan
(JTB) 10,2 juta ton. Dari JTB itu, volume produksi rata-rata 6,7 juta ton per tahun dengan nilai Rp 224
triliun sehingga tersisa stok 3,5 juta ton yang merupakan peluang untuk dimanfaatkan dengan nilai
produksi Rp 132 triliun.

”Ada 3,5 juta ton peluang sumber daya ikan yang masih bisa dimanfaatkan sehingga nilai produksi bisa
dinaikkan menjadi Rp 300 triliun,” kata Zaini.

You might also like