You are on page 1of 16

Contoh Pembagian Keuntungan Bagi

Hasil (Mudhorobah)
Mudharabah 1. Pemilik modal dari 1 (satu) orang dan pelaksana satu orang.
Zaed menyerahkan modal sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) kepada Umar untuk diniagakan.
Pada saat perjanjian (akad) disepakati bahwa keuntungan akan dibagi 40% untuk Zaed (pemilik modal)
dan 60% untuk Umar, dan keuntungan dibagikan setiap usaha setelah mendapatkan keuntungan (1 kali
putaran produksi).
Jika Untung:
Setelah dilakukan usaha, keuntungan bersih (setelah dikurangi biaya-biaya) yang diperoleh sebesar Rp.
500.000,-
Maka keuntungan yang diperoleh masing-masing adalah:
Zaed :40% x Rp. 500.000 = Rp. 200.000,-
Umar :60% x Rp. 500.000 = Rp. 300.000,-
Dengan keuntungan tersebut, diakhir bisnis uang yang diterima Zaed adalah:
(seluruh modal + bagian)
1.000.000 + 200.000 = Rp. 1.200.000
Jika Rugi:
Pada saat akhir bisnis mengalami kerugian (ingat menentukan kerugian setelah kerjasama mau
berakhir/penyerahan modal kepada pemilik) yang bukan diakibatkan oleh kelalaian Umar, maka kerugian
tersebut ditanggung oleh Zaed selaku pemilik modal.
Untuk mengembalikannya maka komoditi yang ada dijual seluruhnya sehingga menjadi bentuk uang
tunai. Dan keuntungan yang telah diperoleh Zaed selama ini dihitung menjadi bagian modal dan yang
bagian Umar diserahkan kepada Zaed untuk menutupi kerugian pada modal.
Jika seluruh komoditi telah dijual dan memiliki kelebihan dari Rp. 1000.000,- (modal usaha) maka
selebihnya itu dianggap keuntungan dan dibagi sesuai prosentase yang telah disepakati.
2. Pemilik modal terdiri dari beberapa orang dan pelaksana 1 orang
Zaed, Umar dan Bakar bersepakat mengumpulkan modal, kemudian akan diserahkan kepada Husen
dengan sistem mudharabah. Modal yang dibutuhkan Husen sebesar Rp. 12.000.000,- (dua belas juta
rupiah). Mereka (Zaed, Umar, Bakar) bersepakat bahwa keuntungan akan disesuaikan dengan modal
yang diinvestasikan masing-masing.
Rincian prosentase dari modal yang ditanam masing-masing sebesar Rp. 12.000.000,- adalah:
Zaed :40% (Rp. 4.800.000,-)
Umar :25% (Rp. 3.000.000,-)
Bakar :35% (Rp. 4.200.000,-)+
100% (Rp.12.000.000,-)
Selanjutnya uang tersebut diserahkan kepada Husen untuk diniagakan dengan akad mudharabah. Pada
saat akad disepakati bahwa keuntungan dibagi 60% untuk pemilik modal (Zaed, Umar, Bakar) dan 40%
untuk pelaksana (Husen). Keuntungan dibagikan (dihitung) setiap usaha telah memperoleh laba (satu kali
putaran produksi).
Jika untung:
Setelah satu kali putaran produksi, diperoleh keuntungan sebesar Rp. 2.500.000,-
Maka cara pembagian keuntungannya:
Langkah 1
Pembagian keuntungan antara pemilik modal dengan pelaksana
- Pemilik modal :
60% x Rp. 2.500.000 = Rp. 1.500.000,-
- Husen
40% x Rp. 2.500.000 = Rp. 1.000.000,-
Langkah 2
Pembagian keuntungan Rp. 1.500.000,- antara pemilik modal sesuai dengan modal masing-masing
sebagai berikut:
Cara 1
Prosentase saham masing-masing pemilik modal dikalikan dengan keuntungan yang diperoleh:
Zaed :40% x 1.500.000 = Rp. 600.000
Umar :25% x 1.500.000 = Rp. 375.000
Bakar :35% x 1.500.000 = Rp. 525.000 +
Rp. 1.500.000
Cara 2
Menggunakan rumus:
Jumlah seluruh keuntungan dibagi seluruh modal
dikali modal masing-masing
Jadi : Rp. 1.500.000 = 0,125
Rp. 12.000.000
Keuntungan yang diterima masing-masing pemilik modal:
Zaed : 0,125 x Rp. 4.800.000 = Rp. 600.000
Umar : 0,125 x Rp. 3.000.000 = Rp. 375.000
Bakar : 0,125 x Rp. 4.200.000 = Rp. 525.000 +
Rp. 1.500.000
Ingat : Jika hasil bagi ini (0,125) dibulatkan menjadi 0,13 hasil penghitungannya belum tentu sesuai
dengan keuntungan yang akan dibagikan
Jika rugi
Kasus jika kerugian yang ada pada modal tertutupi oleh keuntungan yang telah dibagikan saat bisnis
berjalan (sebelum akhir bisnis)
Contoh:
Setelah akhir bisnis dan modal yang ada diperhitungkan serta dilakukan divestasi (pengembalian modal),
ternyata modal mengalami kerugian. Kerugian yang ada sebesar Rp.1.000.000,- (jadi sisa modal yang
ada sebesar Rp. 11.000.000,- (12.000.000 – 1.000.000)
Perhitungkan kembali keuntungan yang pernah dibagikan disaat bisnis sedang berjalan.
Sisa modal yang ada ditambah keuntungan yang pernah dibagikan kemudian digunakan untuk menutupi
modal, sisanya menjadi keuntungan dan dibagikan sesuai prosentase yang telah disepakati pada saat
akad
Dalam kasus ini maka pelaksana harus mengembalikan sebagian keuntungan yang pernah diambilnya
dan pemilik modal harus menganggap keuntungan yang pernah diperolehnya sebagai bagian dari modal.
Contoh diatas menunjukan pernah dibagikan keuntungan sebesar Rp. 2.500.000. Maka cara
penghitungannya:
(Sisa modal + keuntungan yang dikembalikan)
11.000.000 + 2.500.000 = Rp. 13.500.000
Ternyata modal tidak mengalami kerugian, karena tertutupi oleh keuntungan yang pernah dibagikan.
Uang yang ada – jumlah modal, sisanya menjadi keuntungan.
13.500.000 – 12.000.000 = Rp. 1.500.000
Berarti keuntungan yang diperoleh sebenarnya sebesar Rp. 1.500.000, maka keuntungan inilah yang
dibagikan sesuai dengan kesepakatan.
Bagian masing-masing antara pemilik modal dan Husen (pelaksana)
- Pemilik modal ; 60% x 1.500.000 = Rp. 900.000
- Husen ; 40% x 1.500.000 = Rp. 600.000
Jika keuntungan yang pernah diterima Husen sebelum akhir bisnis sebesar Rp. 1000.000, maka ia harus
mengembalikannya sebesar Rp. 400.000 (Rp. 1.000.000 – 600.000) untuk menutupi kekurangan pada
modal.
Sisa modal yang ada sebesar Rp. 11.000.000 ditambah Rp. 400.000 (dari Husen) menjadi sebesar Rp.
11.400.000
Sedangkan untuk pemilik modal (Zaed, Umar dan Bakar) harus menganggap keuntungan yang pernah
diterimanya sebagai bagian dari modal sesuai dengan proposional modal yang ditanamnya.
Jika keuntungan yang pernah diterima sebesar Rp. 1.500.000, sedangkan keuntungan diakhir bisnis yang
sebenarnya hanya Rp. 900.000,-, maka mereka harus menganggap keuntungan yang telah diterimanya
sebagai modal sebesar Rp. 600.000,- dan disesuaikan dengan proposional modal yang ditanamkan oleh
masing-masing pemilik modal.
Jadi bagian keuntungan yang pernah diterima masing-masing yang harus dianggap sebagai modal,
adalah:
Zaed : 40% x 600.000 = Rp. 240.000
Umar : 25% x 600.000 = Rp. 150.000
Bakar : 35% x 600.000 = Rp. 210.000 +
Rp. 600.000
Maka ketiga orang ini diakhir bisnis masing-masing akan menerima pengembalian modal, sebagai
berikut:
Zaed : 4.800.000 – 240.000 = Rp. 4.560.000
Umar : 3.000.000 – 150.000 = Rp. 2.850.000
Bakar : 4.200.000 – 210.000 = Rp. 3.990.000 +
Rp.11.400.000
Meskipun mereka menerima lebih kecil dari modal yang ditanamkannya, pada dasarnya modal tidak
mengalami kerugian, karena mereka telah menikmati keuntungan saat usaha sedang berjalan.
Kasus jika kerugian yang ada pada modal tidak tertutupi oleh keuntungan yang telah dibagikan saat
bisnis berjalan (sebelum akhir bisnis)
Contoh:
Setelah akhir bisnis dan modal yang ada diperhitungkan serta dilakukan divestasi (pengembalian modal),
ternyata modal mengalami kerugian. Kerugian/ kekurangan pada modal sebesar Rp. 5.000.000,- jadi sisa
modal yang ada sebesar Rp. 7.000.000,- (12.000.000 – 5.000.000)
Sisa modal yang ada ditambah keuntungan yang pernah dibagikan kemudian digunakan untuk menutupi
modal, jika modal belum tertutupi (Rugi), maka kerugian yang ada ditanggung oleh pemilik modal sesuai
saham yang diinvestasikan
Dalam kasus ini maka pelaksana harus mengembalikan seluruh keuntungan yang pernah diambilnya dan
tidak berkewajiban menanggung kerugian, sedangkan pemilik modal harus menganggap keuntungan
yang pernah diperolehnya sebagai bagian dari modal serta menanggung kerugian yang ada pada modal
Ingat kerugian harus selalu menjadi tanggungan pemilik modal, karena kerugian merupakan reduksi dari
modal
Contoh diatas menunjukan pernah dibagikan keuntungan sebesar Rp. 2.500.000. Maka cara
perhitungannya:
(Sisa modal + keuntungan yang dikembalikan)
7.000.000 + 2.500.000 = Rp. 9.500.000
Ternyata modal mengalami kerugian, karena tidak tertutupi oleh keuntungan yang pernah dibagikan.
Jumlah modal seharusnya – uang (modal) yang ada, sisanya menjadi kerugian yang harus ditanggung
bersama-sama antara pemilik modal.
12.000.000 – 9.500.000 = Rp. 2.500.000,-
Berarti modal mengalami kerugian sebesar Rp. 2.500.000, maka kerugian ini yang ditanggung oleh
pemilik modal sesuai modal yang diinvestasikan.
Dalam hal ini Husen (selaku pelaksana) hanya berkewajiban mengembalikan keuntungan yang pernah
diambilnya sebesar Rp. 1.000.000 dan tidak berkewajiban menanggung kerugian.
Untuk pengembalian sisa modal kepada masing-masing pemilik modal ada beberapa cara:
Cara 1
Setiap pemilik modal harus mengembalikan keuntungan yang pernah diambil saat bisnis berjalan,
dengan rincian:
Zaed : Rp. 600.000
Umar : Rp. 375.000
Bakar : Rp. 525.000 +
Rp. 1.500.000
Kemudian dijumlahkan dengan sisa modal yang ada setelah ditambah dengan pembelian dari pelaksana.
(Sisa modal + pengambilan keuntungan dari pelaksana + pengembalian keuntungan dari pemilik modal)
7.000.000 + 1.000.000 + 1.500.000 = Rp. 9.500.000
Jadi pengembalian modal kepada masing-masing pemilik modal adalah:
Zaed : 40% x 9.500.000 = Rp. 3.800.000
Umar : 25% x 9.500.000 = Rp. 2.375.000
Bakar : 35% x 9.500.000 = Rp. 3.325.000 +
Rp. 9.500.000
Untuk melihat kerugian yang dialami masing-masing pemilik modal adalah:
(prosentase masing-masing modal yang ditanamkan dikalikan dengan jumlah kerugian yang menjadi
tanggungan)
Zaed : 40% x 2.500.000 = Rp. 1.000.000
Umar : 25% x 2.500.000 = Rp. 625.000
Bakar : 35% x 2.500.000 = Rp. 875.000 +
Rp. 2.500.000
Bandingkan dengan perhitungan dibawah ini:
(jumlah modal masing-masing – jumlah pengembalian sisa modal yang ada untuk masing-masing)
Zaed : 4.800.000 – 3.800.000 = Rp.1.000.000
Umar : 3.000.000 – 2.375.000 = Rp. 625.000
Bakar : 4.200.000 – 3.325.000 = Rp. 875.000 +
Rp.2.500.000
Cara 2
Pemilik modal tidak mengembalikan keuntungan, tetapi langsung menganggap bahwa keuntungan yang
pernah diambil dianggap sebagai bagian dari modal.
Maka jumlah uang yang dibagikan antara pemilik modal adalah:
(Sisa modal + pengembalian keuntungan dari pelaksana)
7.000.000 + 1.000.000 = Rp. 8.000.000,-
Dengan tidak mengembalikan keuntungan yang pernah diambil saat bisnis berjalan, maka diakhir bisnis,
pada saat divestasi (pengembalian modal) masing-masing pemilik modal akan menerima uang sebagai
berikut:
Zaed : 40% x 8.000.000 = Rp. 3.200.000
Umar : 25% x 8.000.000 = Rp. 2.000.000
Bakar : 35% x 8.000.000 = Rp. 2.800.000 +
Rp. 8.000.000
Dengan tidak mengembalikan keuntungan yang pernah diambil, pada saat divestasi seolah-olah pemilik
modal mengalami kerugian sebagai berikut:
Zaed : 4.800.000 – 3.200.000 = Rp. 1.600.000
Umar : 3.000.000 – 2.000.000 = Rp. 1.000.000
Bakar : 4.200.000 – 2.800.000 = Rp. 1.400.000 +
Rp. 4.000.000
Musyarakah
Husin, Hasan dan Husen bersepakat untuk melakukan perjanjian kerjasama musyarakah, dalam satu
usaha bisnis, dimana semua pihak mengumpulkan modal dan mengelolanya secara bersama-sama.
Modal yang dibutuhkan Husen sebesar Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah). Mereka (Husin, Hasan
dan Husen) bersepakat, pembagian keuntungan akan disesuaikan dengan modal yang diinvestasikan
masing-masing tanpa membedakan kemampuan dalam melakukan pekerjaannya.
Modal yang diinvestasikan sesuai dengan kesanggupan masing-masing, yaitu:
Husin : 25% x 20.000.000 = Rp. 5.000.000
Hasan : 40% x 20.000.000 = Rp. 8.000.000
Husen : 35% x 20.000.000 = Rp. 7.000.000 +
Rp. 20.000.000
Jika untung:
Setelah satu kali putaran produksi, diperoleh keuntungan sebesar Rp. 2.500.000,-
Pembagian keuntungan antara anggota syirkah disesuaikan dengan modal yang diinvestasikan masing-
masing anggota syirkah sebagai berikut:
Cara 1
Prosentase saham masing-masing pemilik modal dikalikan dengan keuntungan yang diperoleh:
Husin : 25% x 2.500.000 = Rp. 625.000
Hasan : 40% x 2.500.000 = Rp. 1.000.000
Husen : 35% x 2.500.000 = Rp. 875.000 +
Rp. 2.500.000
Cara 2
Menggunakan rumus :
Jumlah seluruh keuntungan dibagi seluruh modal dikali modal masing-masing
Jadi : Rp. 2.500.000 = 0,125
Rp. 20.000.000
Keuntungan yang diterima masing-masing pemilik modal:
Husin : 0,125 x 5.000.000 = Rp. 625.000
Hasan : 0,125 x 8.000.000 = Rp. 1.000.000
Husen : 0,125 x 7.000.000 = Rp. 875.000 +
Rp. 2.500.000
Ingat : Jika hasil bagi ini (0,125) dibulatkan menjadi 0,13 hasil penghitungannya belum tentu sesuai
dengan keuntungan yang akan dibagikan
Jika Rugi
Jika diakhir bisnis mengalami kerugian ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
Terhadap keuntungan yang pernah dibagikan, setiap anggota syirkah harus menganggap sebagai bagian
dari modal serta menanggung kerugian yang ada pada modal.
Ingat kerugian harus selalu menjadi tanggungan pemilik modal, karena kerugian merupakan reduksi dari
modal
Cara pengembalian keuntungan bisa 2 cara yaitu:
- Masing-masing anggota syirkah tidak perlu mengembalikan keuntungan yang pernah diterima saat
bisnis berjalan, melainkan langsung membagi sisa modal yang ada sesuai prosentase modal yang
diinvestasikan
- Masing-masing anggota syirkah mengembalikan terlebih dahulu setiap keuntungan yang pernah
diterimanya selama bisnis berjalan dan mencampurkannya dengan sisa modal yang ada, kemudian
dibagikan sesuai prosentase modal yang diinvestasikannya.
Sedangkan untuk melihat berapa tanggungan masing-masing anggota syirkah dari kerugian yang
ditimbulkannya adalah sama dengan cara pembagian keuntungan, yaitu dengan rumus :
Prosentase modal masing-masing
dikalikan jumlah kerugian yang ada
Cara penghitungannya sama dengan cara pembagian keuntungan atau kerugian pada kasus
mudharabah diatas yang pemilik modalnya terdiri dari beberapa orang
Demikian contoh-contoh teknis pembagian keuntungan dan kerugian dalam sistem bagi hasil
mudharabah dan musyarakah.
Pembaca bisa menggunakan dan mencari teknis penghitungan yang lebih mudah dan cepat, selama
tidak keluar dari prinsip-prinsip mudharabah dan musyarakah yang telah ditetapkan oleh ahli fiqh.
Diposkan oleh Fadhlan Arief S di 00.38 Tidak ada komentar: 
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook

TEKNIK BAGI HASIL DENGAN PRINSIP


MUDHARABAH
Ø  Pengertian Mudharabah

Mudharabah adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak dimana pemilik modal
(shahibul maal) mempercayakan sejumlah modal kedapa pengelola (mudharib) dengan suatu
perjanjian penbagian keuntungan. Bentuk ini menegaskan kerjasama dengan kontribusi 100%
modal dari shahibul maal dan keahlian dari mudharib.

Pada kontrak mudharabah, seorang mudharib (dapat berupa perorangan, rumah tangga,
perusahaan atau suatu unit ekonomi, termasuk bank) memperoleh modal dari unit ekonomi
lainnya untuk tujuan melakukan perdagangan. Dalam melakukan kontrak ini, ada rukun-rukun
tertentu yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak yang bekerjasama, yaitu:Rukun mudharabah
adalah :

1.             Orang yang berakad :

                     Pemilik modal/shahibul mal


                     Pelaksana atau mudharib
2.  Modal
3.  Kerja atau usaha
4.  Keuntungan/ribh
5.  Sighat/ijab kabul

Ø  Jenis –jenis Mudharabah


Ada tiga jenis mudharabah, yaitu mudharabah Muthlaqah (tidak terikat) dan mudharabah
Muqayyadah (terikat).
1.             Mudharabah Muthlaqah: pemilik dana memberikan keleluasan penuh kepada pengelola
untuk menggunakan dana tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik dan menguntungkan.
Pengelola bertanggung jawab untuk mengelola usaha sesuai dengan praktek kebiasaan usaha
normal yang sehat (uruf).
2.             Mudharabah Muqayyadah: pemilik dana menentukan syarat dan pembatasan kepada
pengelola dalam penggunaan dana tersebut dengan jangka waktu, tempat, jenis usaha dan
sebagainya. Pengelola menggunakan modal tersebut dengan tujuan yang dinyatakan secara
khusus, yaitu untuk menghasilkan keuntungan.
3.             Mudharabah musytarakah adalah bentuk mudharabah dimana pengelola mnyertakan modal
atau dananya dalam kerja sama investasi. Akad musytarakah ini merupakan solusi sekiranya
dalam perjalanan usaha, pengelola dana memiliki modal yang dapat dikontribusikan dalam
investasi, sedang disisi lain, adanya penambahan modal ini akan dapat meningkatkan kemajuan
investasi. Akad musytarakah ini pada dasarnya merupakan perpaduan antara akad mudharabah
dan akad musyarakah. Dalam akad musyarakah, pengelola dana berdasarkan akad (mudharabah)
menyertakan juga dananya dalam investasi bersama (berdasarkan akad musyarakah. Setelah
penambahan dana oleh pengelola, pembagian hasil usaha antara pengelola dana dan pemilik
dana dalam mudharabah adalah sebesar hasil usaha musyarakah setelah dikurangi porsi pemilik
dana sebagai pemilik dana musyarakah.

Ø  Teknik Bagi Hasil Dengan Prinsip Mudharabah


Dalam hukum syar’iyah, ketetapan modal yang harus dibayar atau diserahkan  kepada mudharib
sesuai dengan kebijakan persyaratan yang telah ditentukan, bahwa pembayaran akan dicairkan
tanpa penyesuaikan akuisisi (perolehan ) aktualnya. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar
dana mudharabah tidak diambil begitu saja tanpa adanya persetujuan dari Bank. Ada dua alasan
yang tidak bisa digunakan dalam penilaian aset non-kas yang diterima oleh Bank Islam sebagai
modal adalah :
                     Ketentuan nilai yang telah disepakati oleh semua pihak, tentang penilaian aset non-
moneter yang akan diakui akuntansi keuangan.
                     Penerapan nilai tersebut yang disepakati bersama oleh para pihak dari kontrak untuk
menilai aset non-moneter akad menjurus kepada penerapan konsep kejujuran representasional.

Ø  Pengakuan Laba atau Rugi Mudharabah

1.      Apabila pembiayaan mudharabah melewati satu periode pelaporan :


                     Laba pembiayaan mudharabah diakui dalam periode terjadinya hak bagi hasil sesuai
nisbah yang disepakati, dan
                     Rugi yang terjadi diakui dalam periode terjadinya rugi tersebut dan mengurangi saldo
pembiayaan mudharabah.
2.      Pengakuan laba atau rugi mudharabah dalam praktek dapat diketahui berdasarkan laporan
bagi hasil            dari pengelola dana yang diterima oleh bank.
3.      Bagi hasil mudharabah dapat dilakukan dengan menggunakan dua metode yaitu bagi laba
(profit                    sharing) atau bagi pendapatan (revenue sharing). Bagi laba, dihitung dari
pendapatan setelah dikurangi            beban yang berkaitan dengan pengelolaan dana
mudharabah. Sedangkan bagi pendapatan, dihitung              dari total pendapatan pengelolaan
mudharabah.
4.      Rugi pembiayaan mudharabah yang diakibatkan penghentian mudharabah sebelum masa
akad berakhir          diakui sebagai pengurang pembiayaan mudharabah.
5.      Rugi pengelolaan yang timbul akibat kelalaian atau kesalahan mudharib dibebankan pada
pengelola                dana (mudharib).
6.      Bagian laba bank yang tidak dibayarkan oleh pengelola dana (mudharib) pada saat
mudharabah selesai          atau dihentikan sebelum masanya berakhir diakui sebagai piutang jatuh
tempo kepada pengelola dana            (mudharib).

Dalam pembiayaan mudharabah ini pembagian hasil antara shahibul maal (bank) dengan
mudharib (debitur) dapat dilakukan dengan metode “Revenue Sharing” atau “Profit
Sharing”. Dalam pembagian dengan mempergunakan metode revenue sharing, shahibul maal
tidak pernah mengalami kerugian, kecuali usaha mudharib dilikuidasi dimana jumlah aktiva lebih
kecil dari kewajibannya. Lain halnya jika dalam pembagian bagi hasil tersebut mempergunakan
metode profit sharing, pada setiap periode pembukuan akan dengan mudah diketahui kerugian
atau keuntungan pengelolaan dana mudharabah.

Dalam pembiayaan mudharabah melewati satu periode pelaporan, laba pembiayaan mudharabah
diakui dalam periode terjadinya hak bagi hasil sesuai nisbah yang disepakati, dan rugi yang
terjadi diakui dalam periode terjadinya rugi tersebut dan mengurangi saldo pembiayaan
mudharabah. Pengakuan laba atau rugi mudharabah dalam praktek dapat diketahui berdasarkan
laporan bagi hasil dari pengelola dana yang diterima oleh bank.

Contoh :

Atas laporan dari Tn Zulkifli atas pengelolaan pembiayaan mudharabah diperoleh hasil bersih
pengelolaan dana mudharabah sebesar Rp. 1.000.000,- dan dibagi sesuai dengan nisbah yang
telah disepakati yaitu 70 untuk bank/shahibul maal dan 30 untuk nasabah/mudharib. Hasil untuk
bank telah dibayar oleh mudharib sebelum tutup buku bank dilakukan.

Pembagian porsi masing-masing dengan perhitungan yang sangat sederhana adalah:


Shahibul maal    : 70/100 x Rp. 1.000.000,- = Rp. 700.000,-
Mudharib          : 30/100 x Rp. 1.000.000,- = Rp. 300.000,-

Jurnal sehubungan dengan penerimaan hasil tersebut adalah :


Dr. Kas/Rekening Nasabah                    Rp. 700.000,-
Cr. Pendapatan bagi hasil Mudharabah                Rp. 700.000,-

Referensi Buku

Wiroso,dkk, Akuntansi Perbankan Syariah, Cet 1, Jakarta : LPFE Usakti, 2005.


Zainul Arifin, Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah, Cet 4, Jakarta : Pustaka
Alvabet, 2006.
Diposkan oleh Fadhlan Arief S di 00.23 Tidak ada komentar: 
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Rabu, 06 November 2013
TEKNIK BAGI HASIL DENGAN PRINSIP WADI’AH
A.    Pengertian wadiah
Al-wadi’ah adalah titipan atau simpanan. Prinsip Al-
wadi’ah adalah titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik
perorangan maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan
kapan saja bila si penitip menghendaki. Penerima simpanan
disebut  yad al-amanah  yang artinya tanagn amanah. Si penyimpan
tidak bertanggung  jawab atas segala kehilangan dan kerusakan
yang terjadi pada titipan selama hal itu bukan akibat dari
kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan dalam memelihara
barang titipan.

B.     Jenis-jenis wadi’ah dan karakteristiknya


1.      Wadi’ah yad al-amanah
Wadi’ah yad al-manah, titipan dimana penerima titipan tidak boleh
memanfaatkan barang titipan tersebut sampai di ambil kembali oleh
penitip.
Wadi’ah  yad al-manah  ini memiliki karakteristik sebagai
berikut:
ü Harta atau barang yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan dan
digunakan oleh penerima titipan.
ü Merupakan titipan murni.
ü Sewaktu titipan dikembalikan harus dalam keadaan utuh baik nilau
maupun fisik barangnya.

2.      Wadi’ah yad  adh-dhamana
Wadi’ah yad adh-dhamana adalah titipan dimana barang titipan
selama belum dikembalikan kepada penitip dapat dimanfaatkan
olehipenerima titipan. Apabila dari hasil pemanfaatan tersebut
diperoleh keuntungan maka seluruhnya menjadi hak penirima
titipan.
Wadi’ah yad adh-dhamanah ini memiliki karakteristik berikut ini:
ü Harta dan barang yang dititipkan boleh dan dapat dimanfaatkan
oleh yang menerima titipan.
ü Penyimpan mempunyai untuk bertanggujawab terhadap kehilangan atau
kerusakan barang tersebut.
ü Semua keuntungan yang diperoleh dari titipan tersebut menjadi hak
penerima titipan.
ü Sebagai imbalan kepada pemilik brang atau dana dapat diberikan
semacam insentif berupa bonus, yang tidak disyaratkan sebelumnya.
C.     Teknik bagi hasil prinsip wadiah
1.         Teknik bagi hasil giro wadiah
Pada  prinsipnya, teknik perhitungan bonus wadi’ah dihitung dari
saldo terendah dalam satu bulan. Namun demikian, bonus wadi’ah
dapat diberikan kepada giran sebagai berikut:
a.    Saldo terendah dalam satu bulan takwin di atas Rp 1.000.000,
(bagi rekening yang bonus wadi’ahnya dihitung dari saldo
terendah).
b.  Saldo rata-rata harian dalam satu bulan takwin di atas Rp
1.000.000, (bagi rekening yang bonus gironya dihitung dari saldo
rata-rata harian).
c.  Saldo hariannya diatas Rp 1.000.000, (bagi rekening yang bonus
wadiahnya dihitung dari saldo harian).
Rumus yang digunakan dalam memperhitungkan bonus giro
wadia’ah adalah sebagai berikut:
v  Bonus wadi’ah atas dasar saldo terendah, yakni tarif bonus wadi’ah dikalikan dengan saldo
terendah bulan yang bersangkutan.
Tarif bonus wadi’ah x saldo terendah bulan yang
bersangkutan

v  Bonus wadi’ah atas dasar saldo rata-rata harian, yakni tarif bonus wadi’ah dikalikan
dengan saldo rata-rata harian bulan yang bersangkutan.
Tarif bonus wadi’ah x saldo rata-rata harian bulan ybs

v  Bonus wadi’ah atas dasar saldo harian, yakni tarif bonus wadi’ah
dikalikan dengan saldo harian yang bersangkutan dikali hari
efektif.

Tarif bonus wadi’ah x saldo harian ybs x hari efektif

2.          Teknik bagi hasil tabungan wadi’ah


Dalam hal bank berkeinginan untuk memberikan bonus wadi’ah,
beberapa metode yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
a.       Bonus wadi’ah atas dasar saldo terendah.
b.      Bonus wadiah atas dasar saldo rata-rata harian.
c.       Bonus wadiah atas dasar saldo harian.
Rumus yang digunakan dalam memperhitungkan bonus tabungan
wadi’ah adalah sebagai berikut:
v  Bonus wadi’ah atas dasar saldo terendah, yakni tarif bonus wadi’ah dikalikan dengan saldo
terendah bulan yang bersangkutan.
Tarif bonus wadiah x saldo terendah bulan ybs

v  Bonus wadi’ah atas dasar saldo rata-rata harian, yakni tarif bonus wadi’ah dikalikan
dengan saldo rata-rata harian bulan yang bersangkutan.
Tarif bonus wadiah x saldo rata-rata harian bulan ybs

v  Bonus wadi’ah atas dasar saldo harian, yakni tarif bonus wadiah dikalikan dengan saldo
harian yang bersangkutan dikali hari efektif.
Tarif bonus wadiah x saldo harian ybs x hari efektif

D.      Contoh  kasus  bagi  hasil  wadiah
Contoh rekening giro Wadiah:
Tn. Basri memiliki rekening  giro wadiah di Bank Muamalat
Sungailiat dengan saldo rata-rata pada bulan Mei 2002 adalah Rp
1.000.000, Bonus yang diberikan Bank Muamalat Sungailiat kepada
nasabah adalah 30% dengan saldo rata-rata minimal Rp 500.00,
Diasumsikan total dana giro wadiah di Bank Muaamalat Sungailiat
adalah Rp 500.000.000,-. Pendapatan Bank Muamalat Sungailiat dari
penggunaan giro wadiah adalah rp 20.000.000,-.
Pertanyaaan: Berapa bonus yang diterima oleh Tn. Basri pada akhir
bulan Mei 2002.
Jawab:

Bonus yang diterima Tn. Basri = Rp 1.000.000x Rp 20.000.000 x 30% = Rp 12.000

Rp 500.000.000  (sebelum dipotong pajak)

REFERENSI BUKU

Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik,


Jakarta: Gema Insani, 2011.
Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Adiwarman A. Karim, Bank Islam (Analisis Fiqh Dan Keuangan),
Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010.
Wiroso, Produk Perbankan Syariah, jakarta: LPFE Usakti,2009.
Diposkan oleh Fadhlan Arief S di 20.05 Tidak ada komentar: 
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
PERBEDAAN BANK SYARIAH DAN BANK KONVENSIONAL
( BAGI HASIL DAN BUNGA )

Pengertian bank syariah  Bank yang beroperasi dengan prinsip Syariah atau Islam namun Bank Syariah
juga merupakan Bank yang dalam operasionalnya berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Al-Hadist,
sedangkan bank konvensional adalah perbankan yang beropersional sesuai undang-undang pemerintah yang
tidak menggunakan hukum agama.

Pengertian perbankan syariah menurut pasal 1 butir satu undang-undang no 7 Tahun 1992 adalah badan
usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada
masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat  banyak.
Jenis-jenis perbankan menurut pasal 5 undang-undang no 7 Tahun 1992 adaah :
Bank umum, adalah bank yang dapat memberikanjasa dalam  lalulintas pembayaran (pasal 1 undang-
undang no 7 Tahun 1992 tentang perbankan).
Bank perkreditan rakyat, adalah yang memberikan simpanan hanya berbentuk deposito berjangka
tabungan atau bentuk lain yang dipersamakan dengan hal itu (pasal 1 undang-undang no 7 Tahun 1992
tentang perbankan). Sedangkan dalam undang-undang no 10 Tahun 1998 pasal 1pengertian bank, bank
umum dan bank perkreditan rakyat disempurnakan menjadi :
Bank umum adalah bank yang melaksanakan usaha  secara konvensional atau secara prinsip usaha syariah 
yang dalam kegiatan usahanya memberika jasa  dalam lalu lintas pembayaran.
Bank perkreditan rakyat syariah adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau
berdasarkan prinsip syariah  yang dalam kegiatanya tidak memberikan jasa lalu lintas pembayaran.
Sedangkan dalam undang-undang no 21 Tahun 2008 pasal 1 memberikan penjelasan dan pengertian anatara
lain sebagai berikut :
Perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut dengan tentang bank syariah dan unit usaha
syariah mencakup, kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan. 
 Bank umum syariah adalah bank syariah yang dalam kegiatanya memberikan lalu lintas pembayaran.
Unit pembiyaan rakyat syariah adalah bank syariah yang dalam kegiatanya tidak memberikan lali lintas
pembayaran.
Unit usaha syariah adalah unit kerja dari kantor pusat umum bank konvensional yang berfungsi sebagai
kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan  kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
Perbedaan lain antara perbankan syariah dengan perbankan konvensional adalah ditinjau dari hal-hal
berikut ini anatar lain adalah:
Bank Syariah
Islam memandang harta yang dimiliki oleh manusia adalah titipan/amanah Allah SWT sehingga cara
memperoleh, mengelola, dan memanfaatkannya harus sesuai ajaran Islam
Adanya kesamaan ikatan emosional yang kuat didasarkan prinsip keadilan, prinsip kesederajatan dan
prinsip ketentraman antara Pemegang Saham, Pengelola Bank dan Nasabah atas jalannya usaha bank
syariah.
Prinsip bagi hasil:
Penentuan besarnya resiko bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan
untung dan rugi. Besarnya nisbah bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh, jumlah
pembagian bagi hasil meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan. Tidak ada yang meragukan
keuntungan bagi hasil. Bagi hasil tergantung kepada keuntungan proyek yang dijalankan. Jika proyek itu
tidak mendapatkan keuntungan maka kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.

Bank Konvensional
Pada bank konvensional, kepentingan pemilik dana (deposan) adalah memperoleh imbalan berupa bunga
simpanan yang tinggi, sedang kepentingan pemegang saham adalah diantaranya memperoleh spread yang
optimal antara suku bunga simpanan dan suku bunga pinjaman (mengoptimalkan interest difference). 
Tidak adanya ikatan emosional yang kuat antara Pemegang Saham, Pengelola Bank dan Nasabah karena
masing-masing pihak mempunyai keinginan yang bertolak belakang.
Sistem bunga:
Penentuan suku bunga dibuat pada waktu akad dengan pedoman harus selalu untung untuk pihak Bank
Besarnya prosentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan. Jumlah pembayaran bunga
tidak mengikat meskipun jumlah keuntungan berlipat ganda saat keadaan ekonomi sedang baik
Eksistensi bunga diragukan kehalalannya oleh semua agama termasuk agama Islam, pembayaran bunga
tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau
rugi.
Dapat di lihat dalam bentuk tabel perbedaan bank syariah yang lbih menrinci :
Perbedaan Bank Syariah dengan Banak Konvensional
1.                   Dasar hukum    Al qur’an, As sunnah, Fatwa ulama, Bank indonesia dan pemerintah     Bank
indonesia dan pemerintah
2.                   Falsafah    Tidak berdasar bunga (Riba), spekulasi (maysir) dan ketidakjelasan(gharar)   
Berdasarkan atas bunga (Riba)
3.                   Operasional    Dana masyarakat (Dana     pihak ketiga /DPK) berupa titipan (wadiah) dan investasi
(mudharabah) yang baru mendapatkan hasil jika diuasahakan terlebih dahulu. Penyaluran dana (fanancing)
pada usah yang halal dan menguntungkan.    Dana masyarakat ( dana Pihak Ketiga) berupa titipan
simpanan yang harus dibayar bunganya. Penyaluran dan pada sektor yang menguntungkan aspek halall
tidak menjadi pertimbangan agama.
4.                   Apek sosial    Dinyatakana secara eksplisit dan tegas yang tertuang dalam Misi dan Visi    Tidak di
ketahui secara tegas.
5.                   Organisasi    Harus memiliki Dewan Pengawas (DPS)    Tidak memiliki dewan pengawas syariah
(DPS)

Bunga
Bunga bank adalah sejumlah uang dibayar atau dikalkulasi untuk pengguna modal, jumlah tersebut
misalnya dinyatakan dalam satu tingkat atau persentase modal yang bersangkut paut dengan itu yang
dinamakan suku bunga modal. Menurut Muhammad syafi’i antonio bunga bank adalah suatu tanggungan
pada pinjaman uang yang biasanya dalam bentuk persentase dari yang dipinjamkan dengan asumsi selalu
untung.Bersarnya  persentase berdasarkan pada jumlah uang yang di pinjamkan, pembayaran bunga tetap
seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalakan oleh nasabah untung atau rugi. 

Bagi hasil

Perbedaan antara sistem ekonomi islam dengn sistem ekonomi lainnya adalah terletak pada penerapan
bunga. Dalam ekonomi islam, bunga dinyatakan sebagai riba yang diharamkan oleh syariat islam. Sehingga
dalam ekonomi yang berbasis syariah, bunga tidak diterapkan dan sebagai gantinya diterapkan sistem bagi
hasil yang dalam syariat islam dihalalkan untuk dilakukan.

Dalam aplikasinya, mekanisme penghitungan bagi hasil dapat dilakukan dengan dua macam pendekatan,
yaitu pendekatan profit sharing (bagi laba) Penghitungan menurut pendekatan ini adalah hitungan bagi hasil
yang berdasarkan pada laba dari pengelola dana, yaitu pendapatan usaha dikurangi dengan biaya usaha
untuk memperoleh pendapatan tersebut. Pendekatan revenue sharing (bagi pendapatan).
Penghitungan menurut pendekatan ini adalah perhitungan laba didasarkan pada pendapatan yang diperoleh
dari pengelola dana, yaitu pendapatan usaha sebelum dikurangi dengan biaya usaha untuk memperoleh
pendapatan tersebut.

Referensi :
Wiroso, Produk Perbankan Syariah, 2009
Diposkan oleh Fadhlan Arief S di 20.01 Tidak ada komentar: 
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Minggu, 06 Oktober 2013
PERBEDAAN BANK SYARIAH DAN BANK KONVENSIONAL
( BAGI HASIL DAN BUNGA )

Pengertian bank syariah  Bank yang beroperasi dengan prinsip Syariah atau Islam namun
Bank Syariah juga merupakan Bank yang dalam operasionalnya berlandaskan kepada Al-
Qur’an dan Al-Hadist, sedangkan bank konvensional adalah perbankan yang beropersional
sesuai undang-undang pemerintah yang tidak menggunakan hukum agama.
Pengertian perbankan syariah menurut pasal 1 butir satu undang-undang no 7 Tahun 1992
adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkan kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat  banyak.
Jenis-jenis perbankan menurut pasal 5 undang-undang no 7 Tahun 1992 adaah :
Bank umum, adalah bank yang dapat memberikanjasa dalam  lalulintas pembayaran (pasal
1 undang-undang no 7 Tahun 1992 tentang perbankan).
Bank perkreditan rakyat, adalah yang memberikan simpanan hanya berbentuk deposito
berjangka tabungan atau bentuk lain yang dipersamakan dengan hal itu (pasal 1 undang-
undang no 7 Tahun 1992 tentang perbankan). Sedangkan dalam undang-undang no 10
Tahun 1998 pasal 1pengertian bank, bank umum dan bank perkreditan rakyat
disempurnakan menjadi :
Bank umum adalah bank yang melaksanakan usaha  secara konvensional atau secara
prinsip usaha syariah  yang dalam kegiatan usahanya memberika jasa  dalam lalu lintas
pembayaran.
Bank perkreditan rakyat syariah adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional atau berdasarkan prinsip syariah  yang dalam kegiatanya tidak memberikan
jasa lalu lintas pembayaran.
Sedangkan dalam undang-undang no 21 Tahun 2008 pasal 1 memberikan penjelasan dan
pengertian anatara lain sebagai berikut :
Perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut dengan tentang bank syariah
dan unit usaha syariah mencakup, kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses
dalam melaksanakan kegiatan. 
 Bank umum syariah adalah bank syariah yang dalam kegiatanya memberikan lalu lintas
pembayaran.
Unit pembiyaan rakyat syariah adalah bank syariah yang dalam kegiatanya tidak
memberikan lali lintas pembayaran.
Unit usaha syariah adalah unit kerja dari kantor pusat umum bank konvensional yang
berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan  kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah.
Perbedaan lain antara perbankan syariah dengan perbankan konvensional adalah ditinjau
dari hal-hal berikut ini anatar lain adalah:
Bank Syariah
Islam memandang harta yang dimiliki oleh manusia adalah titipan/amanah Allah SWT
sehingga cara memperoleh, mengelola, dan memanfaatkannya harus sesuai ajaran Islam
Adanya kesamaan ikatan emosional yang kuat didasarkan prinsip keadilan, prinsip
kesederajatan dan prinsip ketentraman antara Pemegang Saham, Pengelola Bank dan
Nasabah atas jalannya usaha bank syariah.
Prinsip bagi hasil:
Penentuan besarnya resiko bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada
kemungkinan untung dan rugi. Besarnya nisbah bagi hasil berdasarkan pada jumlah
keuntungan yang diperoleh, jumlah pembagian bagi hasil meningkat sesuai dengan
peningkatan jumlah pendapatan. Tidak ada yang meragukan keuntungan bagi hasil. Bagi
hasil tergantung kepada keuntungan proyek yang dijalankan. Jika proyek itu tidak
mendapatkan keuntungan maka kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah
pihak.

Bank Konvensional
Pada bank konvensional, kepentingan pemilik dana (deposan) adalah memperoleh imbalan
berupa bunga simpanan yang tinggi, sedang kepentingan pemegang saham adalah
diantaranya memperoleh spread yang optimal antara suku bunga simpanan dan suku
bunga pinjaman (mengoptimalkan interest difference). 
Tidak adanya ikatan emosional yang kuat antara Pemegang Saham, Pengelola Bank dan
Nasabah karena masing-masing pihak mempunyai keinginan yang bertolak belakang.
Sistem bunga:
Penentuan suku bunga dibuat pada waktu akad dengan pedoman harus selalu untung
untuk pihak Bank
Besarnya prosentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan. Jumlah
pembayaran bunga tidak mengikat meskipun jumlah keuntungan berlipat ganda saat
keadaan ekonomi sedang baik
Eksistensi bunga diragukan kehalalannya oleh semua agama termasuk agama Islam,
pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan proyek yang
dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi.
Dapat di lihat dalam bentuk tabel perbedaan bank syariah yang lbih menrinci :
Perbedaan Bank Syariah dengan Banak Konvensional
1.            Dasar hukum    Al qur’an, As sunnah, Fatwa ulama, Bank indonesia dan pemerintah
Bank indonesia dan pemerintah
2.            Falsafah    Tidak berdasar bunga (Riba), spekulasi (maysir) dan
ketidakjelasan(gharar)    Berdasarkan atas bunga (Riba)
3.            Operasional    Dana masyarakat (Dana     pihak ketiga /DPK) berupa titipan (wadiah)
dan investasi (mudharabah) yang baru mendapatkan hasil jika diuasahakan terlebih dahulu.
Penyaluran dana (fanancing) pada usah yang halal dan menguntungkan.    Dana
masyarakat ( dana Pihak Ketiga) berupa titipan simpanan yang harus dibayar bunganya.
Penyaluran dan pada sektor yang menguntungkan aspek halall tidak menjadi pertimbangan
agama.
4.            Apek sosial    Dinyatakana secara eksplisit dan tegas yang tertuang dalam Misi dan
Visi    Tidak di ketahui secara tegas.
5.            Organisasi    Harus memiliki Dewan Pengawas (DPS)    Tidak memiliki dewan
pengawas syariah (DPS)
Bunga
Bunga bank adalah sejumlah uang dibayar atau dikalkulasi untuk pengguna modal, jumlah
tersebut misalnya dinyatakan dalam satu tingkat atau persentase modal yang bersangkut
paut dengan itu yang dinamakan suku bunga modal. Menurut Muhammad syafi’i antonio
bunga bank adalah suatu tanggungan pada pinjaman uang yang biasanya dalam bentuk
persentase dari yang dipinjamkan dengan asumsi selalu untung.Bersarnya  persentase
berdasarkan pada jumlah uang yang di pinjamkan, pembayaran bunga tetap seperti yang
dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalakan oleh nasabah untung atau
rugi.
Bagi hasil
Perbedaan antara sistem ekonomi islam dengn sistem ekonomi lainnya adalah terletak
pada penerapan bunga. Dalam ekonomi islam, bunga dinyatakan sebagai riba yang
diharamkan oleh syariat islam. Sehingga dalam ekonomi yang berbasis syariah, bunga
tidak diterapkan dan sebagai gantinya diterapkan sistem bagi hasil yang dalam syariat
islam dihalalkan untuk dilakukan.
Dalam aplikasinya, mekanisme penghitungan bagi hasil dapat dilakukan dengan dua
macam pendekatan, yaitu pendekatan profit sharing (bagi laba) Penghitungan menurut
pendekatan ini adalah hitungan bagi hasil yang berdasarkan pada laba dari pengelola dana,
yaitu pendapatan usaha dikurangi dengan biaya usaha untuk memperoleh pendapatan
tersebut. Pendekatan revenue sharing (bagi pendapatan).
Penghitungan menurut pendekatan ini adalah perhitungan laba didasarkan pada
pendapatan yang diperoleh dari pengelola dana, yaitu pendapatan usaha sebelum
dikurangi dengan biaya usaha untuk memperoleh pendapatan tersebut.
Referensi :
Wiroso, Produk Perbankan Syariah, 2009

PERBEDAAN BANK SYARIAH DAN BANK KONVENSIONAL, BAGI HASI DAN BUNGA

Perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank syariah dan unit
usaha syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam
melaksanakan kegiatan usahanya.
Bank konvensional adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional
yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran secara umum
berdasarkan prosedur dan ketentuan yang telah ditetapkan.

Perbedaan Bank Syariah dan Konvensional


Bank syariah berbeda dengan bank konvensional dalam hal akd dan aspek legalitas,
struktur organisasi, lembaga penyelesaian sengketa, usaha yang dibiayai, dan lingkungan
kerja serta corporate culture/budaya.

Bank Syariah
1. Melakukan investasi-investasi yang halal saja (sesuai syariat agama)
2. Berorientasi pada keuntungan (profit oriented) dan kemakmuran dan kebahagian dunia
akhirat
3. Berdasarkan prinsip bagi hasil yang telh disepakati kedua belah pihak, dimana ;
                     Besarnya disepakati pada waktu akad dengan berpedoman kepada kemungkinan
untung rugi.
                     Besar rasio didasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
                     Rasio tidak berubah selama akad masih berlaku
                     Kerugian ditanggung bersama
                     Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan keuntungan
                     Eksistensi tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil.
4. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kemitraan.
5. Penghimpunan dan penyaluran dana harus sesuai dengan fatwa Dewan Pengawas
Syariah

Bank Konvensional
1. Investasi ke semua bidang usaha sesuai dengan persyaratan yang sudah ditetapkan
2. Profit oriented (berorientasi pada keuntungan)
3. Memakai prosedur bunga pinjaman, sesuai kesepakatan yang diantaranya :
                     Besarnya disepakati pada waktu akad dengan asumsi akan selalu untung
                     Besarny presentase didasarkan pada jumlah modal yang dipinjamkan
                     Bunga dapat mengambang dan besarnya naik turun
                     Pembayaran bunga besarnya tetap tanpa pertimbangan untung rugi
                     Jumlah bunga tidak meningkat sekalipun keuntungan meningkat
                     Eksistensi bunga diragukan
4. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kreditur-debitur.
5. Tidak terdapat dewan sejenis Dewan Pengawas Syariah
Selain itu ada beberapa perbedaan dasar seperti ; Dalam bank syariah, bisnis dan usaha
yang dibiayai tidak terlepas dari saringan syariah agama, yakni usaha yang di dalamm
menajalankan usahanya sesuai dengan syariah agama dan perbedaan lainnya secara
organisasi, bank syariah dan bank konvensional secara umum itu sama. Perbedaannya
hanya satu, bank syariah memiliki Dewan Pengawas Syariah, sedangkan bank
konvensional tidak.

Tabel 1. Perbedaan Bunga dan Bagi Hasil


Tabel 1. Perbedaan Bunga dan Bagi Hasil
SISTEM BUNGA  & SISTEM BAGI HASIL

Penentuan besarnya hasil Sebelumnya Sesudah berusaha, sesudah untungnya.


Yang ditentukan sebelumnya Bunga, besarnya nilai rupiah Menyepakati proporsi
pembagian untung untuk masing-masing pihak, misalnya 50:50, 40:60, 35: 65, dst.
Jika terjadi kerugian Ditanggung oleh nasabah saja Ditanggung kedua pihak, nasabah dan
lembaga.
Dihitung dari mana? Dari dana yang dipinjamkan, fixed, tetap Dari untung yang bakal
diperoleh, belum tentu besarnya.
Titik perhatian proyek/usaha Besarnya bunga yang harus dibayar nasabah/pasti diterima
bank Keberhasilan proyek/usaha jadi perhatian bersama (nasabah dan lembaga).
Berapa besarnya? Pasti. (%) kali jumlah pinjaman yang telah pasti diketahui Proporsi (%)
kali jumlah untung yang belum diketahui = belum diketahui.
Status hukum Berlawan dengan Q.S. Luqman: 34 Melaksanakan Q.S. Luqman: 34.

Pustaka :
Rachdian, Perbedaan Antara Banak Syariah Dan Bank Konvensional, 2011
Amuaz, Perbedaan Karakteristik Bank Syariah dan Bank Konvensional, 2008
Diposkan oleh Fadhlan Arief S di 21.03 Tidak ada komentar: 
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook

You might also like