You are on page 1of 4

Muhammad Fakhriansyah_1403618026

Jejak Orang Filipina di Jakarta Utara

Man and woman and child from Indonesia ("Mardijkers"),


Sumber: KITLV

Beberapa tahun terakhir di Indonesia mengemuka seminar, pameran, diskusi, dan workshop mengenai
rempah. Misalkan saja pada kegiatan terbaru Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, bertajuk Capacity Building Jalur Rempah pada tanggal 25-28 November 2020 yang kebetulan saya
hadiri langsung di Depok. Belakangan, saya baru mengetahui bahwa pemerintah berupaya untuk mengembalikan
kejayaan rempah-rempah di masa lalu sebagai identitas dari ke-Indonesia-an. Memang, tidak dapat dipungkiri
bahwa hingga abad ke-18 Nusantara menjadi pusat rempah-rempah dunia hingga menjadi simbol identitas ke-
Nusantara-an. Berawal dari sinilah, agar tidak sebatas retorika dan wacana semata, pemerintah berupaya
menghidupkan kembali simbol kejayaan masa lalu tersebut pada masa kini dengan mengajukan rempah-rempah
sebagai warisan dunia ke UNESCO pada tahun 2024.
Apabila membicarakan rempah, tentu harus mendudukannya dalam konteks global dan regional.
Alasannya tentu saja karena rempah itu sendiri tidak ‘berdiri dan berkembang sendiri’ oleh satu bangsa dan negara
saja, melainkan terdapat interkoneksitas secara global dan regional antara negara terkait. Dengan kata lain, di
dalam rempah terdapat kisah tentang peran Nusantara dan masyarakat yang tinggal di dalamnya dalam interaksi
satu dengan lainnya dan hubungan antara mereka dengan bangsa-bangsa lain di kawasan perairan
Nusantara. Sebagai langkah mewujudkan identitas rempah khususnya jalur rempah sebagai warisan dunia,
Indonesia bekerja sama dengan beberapa negara lain, seperti India, Malaysia, Filipina, dan Sri Lanka. Atas dasar
inilah para ahli terkait dari berbagai negara bekerja sama untuk melacak jejak dan perdagangan—termasuk
perusahaan pengelola—rempah pada masa lalu di negara-negara terkait. Beranjak dari penelitian global dan
regional tersebut muncul kembali diskursus mengenai jejak-jejak interaksi ‘orang luar’ di suatu negeri sebagai tanda
eksistensi rempah, jalur rempah, perdagangan rempah dan koneksinya secara global dan regional sebelum dan
saat terjadi Kolonialisme. Artikel ini berupaya mengulas jejak suku Pampanga di Jakarta sebagai penanda atas
adanya keterkaitan global, regional, dan kolonialisme dalam kehidupan dinamika politik terkait perdagangan dan
jalur rempah. Meskipun tulisan ini tidak membicarakan rempah secara umum dan khusus, tulisan ini berupaya
mengangkat jejak ‘orang luar’ dengan mengaitkannya terhadap dinamika politik dan ekonomi terkait perdagangan
rempah khususnya mengenai dinamika perusahaan perdagangan rempah VOC (Vereenigde Oost-Indische
Compagnie [Kongsi Dagang Hindia Timur])
Jakarta dan Arus Manusia
Tidak dapat dipungkiri bahwa sampai saat ini, Jakarta—dahulu disebut Sunda Kelapa, Jayakarta, dan
Batavia—kerap dihampiri oleh orang-orang dari penjuru dunia. Letaknya yang strategis membuat para pengkelana
dari negeri jauh, seperti Tiongkok, Arab, India, dan Eropa, datang untuk berdagang sekedar singgah ataupun
menetap. Tidak jarang, hadirnya para pengkelana meninggalkan jejak sejarah yang dapat kita lihat dan rasakan
sampai sekarang. Jejak yang cukup terkenal dan mungkin sebagian dari kita mengetahuinya ialah wilayah
pekojan—sebagai jejak orang Arab—dan wilayah pecinan—sebagai jejak orang Tionghoa. Namun demikian, tidak
banyak yang mengetahui bahwa jejak ‘orang luar’ di Jakarta tersebut tidak hanya berasal dari negeri nan jauh di
mata, tetapi juga berasal dari pulau Luzon yang kini menjadi bagian wilayah Filipina.
Muhammad Fakhriansyah_1403618026

Jejak orang dari pulau yang letaknya di utara Indonesia ini bukanlah karangan semata. Jejak atasnya bisa
Anda lihat pada salah satu nama kelurahan di Jakarta Utara, yakni Kelurahan Papanggo. Luasnya yang tidak
sampai 3 km2 membuat kelurahan yang dekat dengan Pelabuhan Tanjung Priok ini bisa dikelilingi dengan berjalan
kaki. Kendati mungil, orang dari suku Pampanga asal Pulau Luzon, Filipina, pernah membangun pemukiman di
wilayah ini. Berbeda dari jejak-jejak bangsa lainnya, jejak suku Pampanga tidak hanya meninggalkan bukti fisik,
tetapi juga berbekas pada nama ‘Papanggo’ yang menjadi identitas administratif kelurahan tersebut.
Berawal dari Pembebasan Budak
Kedatangan suku asal Pulau Luzon tersebut tidak terlepas dari hadirnya kaum bekas budak atau mardijkers
di Batavia pada awal pendirian VOC atau tepatnya sejak awal abad ke-17. Istilah mardijkers merujuk pada kaum
budak Portugis yang sudah dibebaskan oleh Belanda di beberapa wilayah, seperti Bengal, Pantai Caromandel,
Malaka, dan Tidore.1 Di atas tanah yang baru mereka taklukan, Belanda biasanya berupaya membebaskan budak
di wilayah tersebut dengan beberapa syarat. Syaratnya, para budak Portugis yang sebelumnya beragama Katolik
harus mau memeluk agama Kristen Protestan selayaknya orang Belanda serta menjadi milisi bangsa itu jika ingin
dibebaskan. Kata mardijkers sendiri memiliki arti ‘orang bebas’ yang mengacu pada terjemahan Belanda Kuno dari
versi Portugis, Mahardhika atau Mardika. Lambat laun, kata mardijkers berkembang menjadi merdeka dan
kemudian diadopsi ke dalam bahasa Melayu dan bahasa Indonesia.
Kemunculan kaum mardijkers ditengarai sudah hadir di Batavia sejak awal abad ke-17.2 Fakta ini diungkap
oleh sejarawan Hendrik E. Neimeijer berdasarkan atas catatan VOC pada tahun 1618. Dalam catatan tersebut
tertulis sudah ada 70 kaum mardijkers di loji VOC. Neimeijerr menduga mereka berasal dari kapal-kapal Portugis
yang berhasil dikalahkan Belanda. Pendapat lain mengenai awal kemunculan kaum ini disampaikan pula oleh
sejarawan Universitas Indonesia (UI), Bondan Kanumayoso, yang turut memaparkan bahwa jejak kaum mardijker
sudah ada ketika pertempuan Belanda melawan Banten tahun 1619.3 Kala itu, kaum mardijkers memilih pihak
Belanda pada saat Banten mengepung benteng Jayakarta di tahun yang sama.
Setelah menempuh perjalanan dari berbagai daerah dan tiba di Batavia, mereka ditugaskan menjadi
pegawai VOC—pada umumnya—dan ditempatkan di dalam tembok kota. Akan tetapi, seiring sudah amannya
daerah ommelanden (luar benteng Batavia) sejak paruh abad ke-17, kaum ini ditempatkan di sana sehingga
berbaur dengan penduduk lokal dan penduduk dari wilayah lain. Untuk membedakan diri dari kelompok lain, kaum
mardijkers memunculkan identitas khasnya sebagai hasil dari keistimewaan yang mereka dapat sebagai kaum
kristiani bahkan ketika mereka di balik jeruji besi sekalipun. Kita bisa saja menganggap bahwa hal itu seperti
mengada-ada. Namun cerita itu bisa Anda baca dalam penelitian sejarawan dan arsiparis senior Arsip Nasional
Republik Indonesia (ANRI), Mona Lohanda.4 Menurutnya, meski berada di balik penjara, kaum mardijkers seperti
kaum kristiani pada umumnya mendapatkan makanan lebih baik daripada kaum non-kristiani, sehingga dapat
dikatakan bahwa pencuri dari kaum mardijker dapat mencapai prestise sosial yang melampaui pencuri dari kaum
Eropa dan pencuri dari kaum lainnya. Begitu juga dalam hidup keseharian, orang Mardijkers Batavia tidak berbicara
dalam bahasa Belanda, melainkan berbicara bahasa Portugis. Dari segi berpakaian, mereka memakai topi dan
sepatu lengkap dengan kaus kaki layaknya orang Eropa. Bahkan dalam penamaan untuk diri dan keturunannya
pun mereka mengikuti tata nama Portugis atau Belanda.

Peta Batavia

1 Mona Lohanda. Kapitan Cina of Batavia, 1837-1942 (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1996), hlm 36.
2 Hendrik E. Neimeijer. Batavia: masyarakat kolonial Abad XVII (Depok: Komunitas Bambu), hlm 32
3 Bondan Kanumoyoso, “Beyond The City Wall: Society and Economic Development in the Ommelanden of Batavia, 1864-1740” (Disertasi,

2001), hlm 52
4 Lihat lebih lanjut dalam Mona Lohanda, Kapitan Cina…. Hlm 36-37
Muhammad Fakhriansyah_1403618026

Sumber: atlasofmutualheritage.nl
Secara statistik, jumlah kaum mardijerks di ommelanden cukup banyak. Menurut Kanumayoso,
berdasarkan sensus tahun 1691, jumlah mereka diestimasikan mencapai 6.181 jiwa dan meningkat pada tahun
1722 menjadi 7.156 jiwa.5 Kenaikan ini tentu tidak terlepas dari penaklukan Portugis oleh Belanda di Malaka pada
tahun 1641 yang membuat Belanda turut membawa pulang budak-budak Portugis tersebut yang notabennya
berasal dari Bengala dan Coromandel untuk kemudian dibebaskan bila memenuhi syarat. Sekalipun demikian,
kaum mardijkers tidak hanya berasal dari daratan semenanjung Malaya, Asia Selatan dan Maluku, melainkan juga
berasal dari Filipina.
Menjadi Tentara Bayaran VOC
Kehadiran kaum mardijkers yang berasal dari Filipina sangat terkait dengan penawanan tentara Spanyol
yang rupanya berasal dari suku Pampanga, Pulau Luzon oleh Belanda di Maluku. Orang Pampanga yang juga
dikenal sebagai serdadu bayaran Spanyol yang tangguh tersebut ditawan oleh Belanda sebagai hasil dari beberapa
kemenangan yang diperolehnya ketika melawan Spanyol di sekitar Maluku, salah satunya pengusiran Spanyol oleh
VOC tahun 1663.6 Tentu mereka akan dibebaskan apabila memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku, yakni
harus mau memeluk agama Kristen selayaknya orang Belanda serta menjadi milisi bangsa tersebut. Setelah
memenuhi syarat, mereka dibawa ke berbagai daerah di Hindia Belanda termasuk Batavia. Sesampainya di Batavia
orang Pampanga atau de Pampangers ditugaskan untuk menjadi tentara bayaran VOC dan berdinas militer selama
bertahun-tahun di kongsi dagang tersebut.7 Selama menjadi tentara, mereka memiliki tangsi dan hunian di timur
laut kota Batavia yang kini menjadi Kelurahan Papanggo. Lambat laun, menyesuaikan lidah orang Melayu, nama
Pampangers pun berubah menjadi Papanggo. Namun, awal mula kedatangan orang Pampanga di Batavia masih
kabur. Apabila ditelaah berdasarkan konflik-konflik VOC dengan Spanyol di Maluku, tentu ada kemungkinan
penawanan tentara Spanyol oleh VOC. Masalahnya, tidak jelas kapan VOC membawa serdadu Spanyol tersebut
ke Batavia. Akan tetapi, berdasarkan atas pembacaan penelitian terdahulu, terdapat satu penelitian yang
menyebutkan bahwa orang Pampanga sudah hadir di Batavia sejak tahun 1633.8

Lokasi kelurahan Papanggo, Jakarta Utara


Sumber: Google Maps.
Jejak Orang Pampanga
Salah satu orang Pampanga yang terkenal ialah Augustijn Michiel (1769-1833) atau yang biasa kita kenal
dengan sebutan, mayor Jantje. Augustijn adalah seorang komandan dari kesatuan tentara VOC berkebangsaan
Pampanga yang pensiun pada September 1807 serta dianugerahi pangkat kehormatan oleh pemerintah. Akan
tetapi, penyebab ia terkenal bukanlah dari profesinya sebagai seorang tentara, melainkan dikenal sebagai tuan
tanah. Augustijn Michiels berhasil membangun kekayaan sebagai pemilik tanah di banyak wilayah Batavia dan

5 Bondan, Ibid.
6 Untuk mewujudkan monopoli rempah-rempah, VOC berupaya memaksa bangsa lain untuk hengkang dari Maluku. Salah satu tindakan
ini adalah ketika VOC bekerja sama dengan Tidore untuk memaksa Spanyol meninggalkan Maluku pada 1663, lihat Ricklefs, Sejarah
Indonesia Modern 1200-2004 (Jakarta: Serambi, 2008), hlm 128.
7 Ketika di Nusantara, VOC memiliki hak istimewa berupa: 1) melakukan monopoli perdagangan rempah-rempah di wilayah antara

Tanjung Harapan sampai Selat Magellan termasuk Nusantara. 2) merekrut pegawai atas dasar sumpah setia mencetak mata uang sendiri.
3) membentuk angkatan perang. 4) melakukan perang. 5) membangun benteng. 6) mengadakan perjanjian di seluruh Asia 7) mencetak
dan mengeluarkan mata uang. Atas dasar itulah, VOC berupaya merekrut tentara-tentara untuk perang ataupun sekedar menjaga
benteng. Dalam perekrutan tentara bayaran tersebut, VOC merekrut orang lokal, orang Jepang, termasuk orang Pampango, lihat Vleke,
Nusantara (Jakarta: KPG, 2016)
8 F. de Haan, Batavia dalam Mona Lohanda, Op.Cit
Muhammad Fakhriansyah_1403618026

Buitenzorg (sekarang Bogor) serta ia membangun rumah cukup mewah di Tjitrap (sekarang Citereup) yang
dilengkapi dengan berbagai fasilitas mewah pada zamannya. Pundi-pundi kekayaannya didapat dari bisnis sarang
wallet dan bisnis persewaan rumah yang ia geluti, sehingga tidak mengherankan jika ia didaulat sebagai salah satu
orang terkaya di Jawa pada tahun 1800-an. Selama menjadi tuan tanah, Augustijn Michiels kerap memanjakan diri
beserta tamu-tamunya yang hadir ke kediamannya dengan alunan musik yang dimainkan para budaknya. Dari
musik Eropa hingga Tionghoa tidak luput dimainkan sebagai penghibur lara. Konon, alunan musik ini yang menjadi
akar dari seni musik Betawi, yaitu Tanjidor. Selain dari jejak musik dan identitas nama kelurahan, jejak suku
Pampanga lainnya sudah tidak terlihat di era kekinian.
Walaupun demikian, melalui tulisan singkat ini kita dapat memahami narasi jejak suku Pampanga di
Batavia. Tulisan ini setidaknya menjadi semacam pengantar untuk memahami keterkaitan politik dan ekonomi yang
menentukan pembentukan pola hunian dan kehidupan di Batavia dalam kedudukannya terkait rempah, jalur
rempah, perdagangan rempah dan kaitannya dengan koneksi global dan regional.

Daftar Pustaka
Internet:
1. “Man and woman and child from Indonesia ("Mardijkers"), https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/.
Diakses pada 3 Desember 2020, pukul 10.00
2. “Oud Batavia Map”, https://atlasofmutualheritage.nl. Diakses pada 3 Desember 2020, pukul 19.15
3. “Kelurahan Papanggo”, https://maps.google.com. Diakses pada 3 Desember 2020, pukul 20.00
Buku:
1. Lohanda, Mona. (1996). The Kapitan Cina of Batavia, 1837-1942: A History of Chinese Establishment in
Colonial Society. Jakarta: Penerbit Djambatan
2. Neimeijer, Hendrik E. (2012). Batavia: masyarakat kolonial Abad XVII. Depok: Komunitas Bambu
3. Ricklefs, M.C (2008) Sejarah Indonesia Modern: 1200-2004. Jakarta: Serambi
4. Vlekke, B. (2016) Nusantara. Jakarta: KPG
Thesis, Disertasi, dan Laporan Penelitian:
1. Kanumayoso, Bondan. (2011). “Beyond The City Wall: Society and Economic Development in the
Ommelanden of Batavia, 1864-1740”. Phd Disertasi: Universitat Leiden.

You might also like