You are on page 1of 33

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Perilaku

1. Batasan perilaku

Perilaku manusia pada hakekatnya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia

itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain: berjalan,

berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca dan sebagainya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku manusia

adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati langsung,

maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2007). Menurut

Skinner (1938, dalam Notoatmodjo, 2007) bahwa perilaku merupakan respon

atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena itu

perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan

kemudian organisme tersebut merespon, maka teori Skinner ini disebut teori “S-

O-R” atau Stimulus-Organisme-Respons.

Menurut Notoatmodjo (2007), dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini,

maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua :

a. Perilaku tertutup (Covert behavior)

Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup

(covert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada

perhatian, persepsi, pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang terjadi pada

7
8

orang yang menerima stimulus tersebut dan belum dapat diamati secara jelas

oleh orang lain.

b. Perilaku rerbuka (Overt behaviort)

Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau

terbuka (overt). Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk

tindakan atau praktek, yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh

orang lain.

2. Domain perilaku

Bloom (1908, dalam Notoatmodjo, 2007) membagi perilaku manusia itu ke

dalam 3 (tiga) domain, ranah atau kawasan yakni: kognitif (cognitive), afektif

(affective), psikomotor (psychomotor). Dalam perkembangannya, teori Bloom ini

dimodifikasi untuk pengukuran hasil, ketiga domain/ranah itu diukur dari :

a. Pengetahuan (Knowlegde)

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Pengindraan terjadi

melalui panca indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran,

penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh

melalui mata dan telinga. Pengatahuan atau kognitif merupakan domain yang

sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behaviour).

Pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan,

yakni :
9

1) Tahu (Know)

Yang diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya, kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa

yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan,

menyatakan, dan sebagainya.

2) Memahami (Comprehension)

Diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar

tentang obyek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi

tersebut secara benar.

3) Aplikasi (Aplication)

Diartikan sebagai kemampuan menggunakan materi yang telah dipelajari

pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).

4) Analisis (Analysis)

Adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke

dalam komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi tersebut

dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat

dilihat dari penggunaan kata kerja seperti menggambarkan (membuat

bagan), memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.

5) Sintesis (Synthesis)

Menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang

baru. Misalnya dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat

meringkaskan, dapat menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori

atau rumusan-rumusan yang telah ada.


10

6) Evaluasi (Evaluation)

Berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi terhadap suatu

materi atau obyek.

b. Sikap (Attitude)

Merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap

suatu stimulus atau obyek. Manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat,

tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku tertutup. Sikap

belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan

predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi

tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku terbuka. Sikap

merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap obyek di lingkungan tertentu

sebagai suatu penghayatan terhadap obyek. Allport menjelaskan bahwa sikap

mempunyai tiga komponen pokok :

1) Kepercayaan (keyakinan), ide, konsep terhadap suatu objek.

2) Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.

3) Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave)

Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan,

yakni :

1) Menerima (Receiving)

Diartikan bahwa orang (subyek) mau dan memperhatikan stimulus yang

diberikan (obyek).

2) Merespon (Responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan

tugas yang diberikan.


11

3) Menghargai (Valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu

masalah.

4) Bertanggung jawab (Responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala

resiko.

c. Praktik atau tindakan (Practice)

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam tindakan (overt behavior). Untuk

terwujudnya sikap agar menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor

pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan antara lain adalah fasilitas.

Praktik ini mempunyai berbagai tingkatan, yakni :

1) Persepsi (Perception)

Mengenal dan memilih berbagai obyek sehubungan dengan tindakan

yang akan diambil.

2) Respon terpimpin (Guide Response)

Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai

dengan contoh.

3) Mekanisme (Mecanisme)

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara

otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan.

4) Adaptasi (Adaption)

Adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik.

Artinya tindakan itu sudah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran

tindakan tersebut.
12

3. Bentuk-bentuk perubahan perilaku

Menurut WHO (dalam Notoatmodjo, 2007) perubahan perilaku itu

dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :

a. Perubahan alamiah (Natural Change), bahwa perilaku manusia selalu

berubah dimana sebagian perubahan itu disebabkan karena kejadian alamiah.

b. Perubahan terencana (Planned Change), bahwa perubahan ini terjadi karena

memang direncanakan sendiri oleh subjek.

c. Kesediaan untuk berubah (Readdines to Change) yang berbeda-beda,

meskipun kondisinya sama.

4. Strategi perubahan perilaku

Menurut Notoatmodjo (2007), strategi yang digunakan untuk merubah perilaku

tersebut juga dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :

a. Menggunakan kekuatan/kekuasaan atau dorongan.

Dalam hal ini perubahan dipaksakan kepada seseorang/masyarakat sehingga

mau melakukan/berperilaku seperti yang diharapakan. Cara ini dapat

ditempuh misalnya dengan adanya peraturan-peraturan yang harus dipatuhi

oleh seseorang atau masyarakat. Cara ini akan menghasilkan perilaku yang

cepat, akan tetapi perubahan tersebut belum tentu akan berlangsung lama

karena perubahan perilaku yang terjadi tidak atau belum didasari oleh

kesadaran sendiri.
13

b. Pemberian informasi

Dengan memberikan informasi akan meningkatkan pengetahuan seseorang/

masyarakat. Selanjutnya dengan pengetahuan itu akan menimbulkan

kesadaran, dan akhirnya akan merubah orang/masyarakat untuk berperilaku

sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. Hasil dari perubahan perilaku

dengan cara ini memakan waktu yang cukup lama tetapi perubahan yang

dicapai akan bersifat langgeng karena didasari pada kesadaran mereka sendiri

(bukan karena paksaaan).

c. Diskusi dan partisipasi.

Cara ini sebagai peningkatan cara kedua di atas dimana di dalam memberikan

informasi-informasi tentang kesehatan tidak bersifat searah saja, tetapi dua

arah. Hal ini berarti seseorang/masyarakat tidak hanya pasif menerima

informasi yang diterimanya.

B. Konsep Spiritual

1. Pengertian spiritual

Spiritual adalah hubungan trasenden antara manusia dengan yang Maha Tinggi,

sebuah kualitas yang berjalan di luar afiliasi agama tertentu, yang berjuang keras

untuk mendapatkan penghormatan, kekaguman, dan inspirasi, dan yang memberi

jawaban tentang sesuatu yang tidak terbatas (Stanley & Beare 2007).

2. Karakteristik spiritualitas

Menurut Azizah (2011), karakteristik spiritual adalah sebagai berikut:


14

a. Hubungan dengan diri sendiri

1) Kekuatan dalam dan Self-reliance

2) Pengetahuan diri (siapa dirinya, apa yang bisa dilakukannya)

3) Sikap (percaya pada diri sendiri, ketenangan fikiran, keselarasan dengan

diri sendiri)

b. Hubungan dengan alam

1) Mengetahui tentang tanaman, margasatwa, iklim

2) Berkomunikasi dengan alam (mengabdikan, melindungi alam)

c. Hubungan dengan orang lain

1) Berbagi waktu, pengetahuan secara timbal balik

2) Mengasuh anak, orang tua dan orang sakit

3) Mengembangkan arti penderitaan dan meyakini hikmah dari suatu

kejadian atau penderitaan

d. Hubungan dengan ketuhanan

Secara singkat dapat dinyatakan bahwa seorang terpenuhi kebutuhan

spiritualnya apabila mampu:

1) Merumuskan arti personal yang positif tentang tujuan keberadaan di

dunia ini.

2) Mengembangkan arti penderitaan dan hikmahnya.

3) Menjalin hubungan positif dan dinamis melalui keyakinan, rasa percaya

dan cinta.

4) Membina integritas personal dan merasa diri berharga dan mempunyai

harapan.

5) Merasakan kehidupan yang terarah.


15

6) Mengembangkan HAM yang positif.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi spiritual

Menurut Taylor et al. (1997), Craven dan Hirnk (1996 dalam Azizah, 2011),

faktor penting yang mempengaruhi spiritualitas adalah:

a. Pertimbangan Tahap Perkembangan

Berdasarkan hasil penelitian terhadap anak-anak dengan empat agama yang

berbeda ditemukan bahwa mereka mempunyai persepsi tentang Tuhan dan

bentuk sembahyang yang berbeda menurut usia, seks, agama dan kepribadian

anak.

b. Keluarga

Peran orang tua sangat menentukan dalam perkembangan spiritualitas anak.

Yang penting bukan apa yang diajarkan oleh orang tua tapi apa yang

dipelajari anak mengenai Tuhan.

c. Latar belakang etnik dan budaya

Sikap keyakinan dan dipengaruhi oleh latar belakang etnik dan sosial budaya.

Pada umumnya seseorang akan mengikuti tradisi agama dan spiritual agama.

d. Pengalaman hidup sebelumnya

Pengalaman hidup baik yang positif maupun negatif dapat mempengaruhi

spiritualitas seseorang. Sebaliknya juga dipengaruhi oleh bagaimana

seseorang mengartikan secara spiritual kejadian atau pengalaman tersebut.

e. Krisis dan perubahan

Krisis dan perubahan dapat menguatkan ke dalaman spiritual seseorang

(Toth, 1993) dan (Craven dan Hirnk, 1996). Krisis sering dialami ketika
16

seseorang menghadapi penyakit, penderitaan proses penuaan, kehilangan

bahkan kematian.

f. Terpisah dari ikatan spiritual

Menderita sakit terutama yang bersifat akut seringkali membuat individu

merasa terisolasi dan kehilangan kebebasan pribadi dan sistem dukungan

sosial.

g. Isu moral terkait dengan terapi

Pada kebanyakan agama, proses penyembuhan dianggap sebagai cara Tuhan

untuk menunjukkan kebesarannya walaupun ada juga agama yang menolak

intervensi pengobatan.

4. Manifestasi perubahan fungsi spiritual

Menurut Azizah (2011), berbagai perilaku dan ekspresi yang dimanifestasikan

seharusnya diwaspadai karena mungkin saja seseorang yang sedang mengalami

masalah spiritual.

a. Verbalisasi distress

Individu yang mengalami gangguan spiritual biasanya menverbalisasikan

distres yang dialaminya atau mengekpresikan kebutuhan untuk mendapatkan

bantuan.

b. Perubahan perilaku

Perubahan perilaku juga dapat merupakan manifestasi gangguan fungsi

spiritual.
17

5. Ekspresi kebutuhan spiritual adaptif dan maladaptif

Tabel 2.1
Ekspresi kebutuhan spiritual

Kebutuhan Perilaku Adaptif Perilaku Maladaptif


Rasa Percaya - Percaya pada diri sendiri dan - Tidak nyaman
kesabaran. - Mudah tertipu
- Menerima bahwa yang lain - Tidak mampu
akan mampu memenuhi untuk terbuka
kebutuhan. dengan orang lain
- Percaya terhadap kehidupan - Merasa bahwa
walau terasa berat. orang dan tempat
- Keterbukaan terhadap Tuhan. yang aman
- Mengharapkan
orang tidak berbuat
baik dan tidak
tergantung
- Ingin kebutuhan
terpenuhi segera,
tidak bisa
menunggu
- Tidak terbuka
kepada Tuhan
- Takut terhadap
maksud Tuhan

Kemauan memberi - Menerima diri dan orang lain - Merasa penyesalan


maaf dapat berbuat salah sebagai suatu
- Tidak mendakwa dan hukuman
berprasangka buruk - Merasa Tuhan
- Memandang penyesalan sebagai penghukum
sebagai sesuatu yang nyata - Tidak mampu
- Memaafkan diri sendiri menerima diri
- Memberi maaf orang lain sendiri
- Menerima pengampunan dari - Menyalahkan diri
Tuhan dan orang lain
- Pandangan yang realistik - Merasa bahwa
terhadap masa lalu maaf hanya
diberikan
berdasarkan
perilaku

Keyakinan - Ketergantungan dengan - Perasaan


anugerah Tuhan ambivalens dengan
- Termotivasi untuk tumbuh Tuhan
18

- Mampu puas dengan - Tidak percaya


menjelaskan kehidupan dengan kekuasaan
setelah kematian Tuhan
- Mengekspresikan kebutuhan - Takut kematian dan
spiritual kehidupan setelah
mati
- Merasa terisolasi
dengan
kepercayaan
masyarakat
- Merasa pahit,
frustasi dan marah
dengan Tuhan
- Nilai, keyakinan
dan tujuan hidup
yang tidak jelas
- Konflik nilai

Mencintai dan - Mengekspresikan perasaan - Takut untuk


keterikatan dicintai oleh orang lain dan tergantung orang
Tuhan lain
- Mampu menerima bantuan - Cemas berpisah
- Menerima diri sendiri dengan keluarga
- Mencari kebaikan dari orang - Menolak diri,
lain angkuh atau
mementingkan diri
- Tidak percaya
bahwa diri dicintai
Tuhan, tidak
mempunyai
hubungan rasa
cinta dengan Tuhan
- Merasa tergantung,
hubungan bersifat
magik dengan
Tuhan
- Merasa jauh
dengan Tuhan

Kreatifitas dan - Minta info tentang kondisi - Mengekspresikan


Harapan - Bicara kondisi secara rasa takut
realistik kehilangan kendali
- Menggunakan waktu secara - Ekspresi kebosanan
konstruktif - Tidak mempunyai
- Mencari cara untuk visi alternative
mengekspresikan diri - Takut terhadap
- Mencari kenyamanan batin terapi
19

daripada fisik - Putus asa


- Mengekspresikan harapan - Tidak dapat
tentang masa depan menolong atau
menerima diri
- Tidak dapat
menikmati apapun
- Menunda
keputusan

Arti dan Tujuan - Mengekspresikan kepuasan - Ekspresikan tidak


hidup ada alasan untuk
- Menjalankan kehidupan bertahan hidup
sesuai dengan sistem nilai - Tidak dapat
- Menggunakan penderitaan menerima arti
sebagai cara untuk penderitaan yang
memahami diri sendiri dialami
- Mengekspresikan arti - Mempertanyakan
kehidupan atau kematian arti kehidupan
- Mengekspresikan komitmen - Bertanya tujuan
dan orientasi hidup penyesalan
- Jelas tentang apa yang - Penyalahgunaan
penting obat atau alcohol
- Bercanda tentang
hidup setelah
kematian

Bersyukur - Merasa bersyukur - Mencemaskan yang


- Merasakan anugerah dari lalu dan akan
Tuhan datang
- Merasa harmoni dan utuh - Berorientasi pada
pencapaian atau
produktifitas
- Terpusat pada
penyesalan
- Perfeksionis
- Mencoba lebih
keras

(Azizah, 2011).
20

C. Konsep Depresi

1. Pengertian depresi

Depresi adalah perasaan sedih, ketidakberdayaan, dan pesimis, yang

berhubungan dengan suatu penderitaan. Dapat berupa serangan yang ditujukan

kepada diri sendiri atau perasaan marah yang dalam (Nugroho, 2008).

2. Tanda dan gejala depresi

Perilaku yang berhubungan dengan depresi menurut Keliat (1996, dalam Azizah,

2011) meliputi beberapa aspek seperti:

a. Afektif

Kemarahan, ansietas, apatis, kekesalan, penyangkalan perasaan, kemurungan,

rasa bersalah, ketidakberdayaan, keputusasaan, kesepian, harga diri rendah,

kesedihan.

b. Fisiologik

Nyeri abdomen, anoreksia, sakit punggung, konstipasi, pusing, keletihan,

gangguan pencernaan, insomnia, perubahan haid, makan berlebihan/kurang,

gangguan tidur, dan perubahan berat badan.

c. Kognitif

Ambivalensi, kebingungan, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan

minat dan motivasi, menyalahkan diri sendiri, mencela diri sendiri, Pikiran

yang dekstruktif tentang diri sendiri, pesimis, ketidakpastian.

d. Perilaku

Agresif, agitasi, alkoholisme, perubahan tingkat aktivitas, kecanduan obat,

intoleransi, mudah tersinggung, kurang spontanitas, sangat tergantung,


21

kebersihan diri yang kurang, isolasi sosial, mudah menangis, dan menarik

diri.

Menurut PPDGJ-III (Maslim, 1997 dalam Azizah, 2011), tingkatan depresi

ada 3 berdasarkan gejala-gejalanya yaitu:

1) Depresi Ringan

Gejala:

a) Kehilangan minat dan kegembiraan

b) Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah

lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan

menurunnya aktivitas

c) Konsentrasi dan perhatian yang kurang

d) Harga diri dan kepercayaan diri yang kurang

e) Lamanya gejala tersebut sekurang-kurangnya 2 minggu

f) Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang

biasa dilakukan

2) Depresi Sedang

a) Kehilangan minat dan kegembiraan

b) Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah

lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan

menurunnya aktivitas

c) Konsentrasi dan perhatian yang kurang

d) Harga diri dan kepercayaan diri yang kurang

e) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna

f) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis


22

g) Lamanya gejala tersebut berlangsung minimum sekitar 2 minggu

h) Mengadaptasi kesulitan untuk meneruskan kegiatan sosial pekerjaan

dan urusan rumah tangga

3) Depresi Berat

a) Mood depresif

b) Kehilangan minat dan kegembiraan

c) Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah

lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan

menurunnya aktivitas

d) Konsentrasi dan perhatian yang kurang

e) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna

f) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis

g) Perbuatan yang membahayakan dirinya sendiri atau bunuh diri

h) Tidur terganggu

i) Disertai waham, halusinasi

j) Lamanya gejala tersebut berlangsung selama 2 minggu

3. Penyebab Depresi pada lansia

Depresi pada lansia merupakan perpaduan interaksi yang unik dari berkurangnya

interaksi sosial, kesepian, masalah sosial ekonomi, perasaan rendah diri karena

penurunan kemampuan diri, kemandirian, dan penurunan fungsi tubuh, serta

kesedihan ditinggal orang yang dicintai, faktor kepribadian, genetik, dan faktor

biologis penurunan neuron-neuron dan neurotransmiter di otak

(Mangoenprasodjo, 2004). Depresi pada lansia merupakan permasalah kesehatan


23

jiwa (mental health) yang serius dan kompleks, tidak hanya dikarenakan aging

process tetapi juga faktor-faktor lain yang saling terkait. Sehingga dalam mencari

penyebab depresi pada lansia harus dengan multiple approach (Azizah, 2011).

Menurut Saimun (2006, dalam Aizah, 2011), ada 5 pendekatan yang dapat

menjelaskan terjadinya depresi pada lansia yaitu:

a. Psikodinamik

Menurut maramis (1995), pada lanjut usia permasalahan yang menarik adalah

kurangnya kemampuan dalam beradaptasi secara psikologis terhadap

perubahan yang terjadi pada dirinya. Penurunan kemampuan beradaptasi

terhadap perubahan dan stres lingkungan sering menyebabkan depresi.

b. Perilaku Belajar

Salah satu hipotesis untuk menjelaskan depresi pada lansia adalah individu

yang kurang menerima hadiah (reward) atau penghargaan dan hukuman

(punishment) yang lebih banyak dibandingkan individu yang tidak depresi.

Dampak dari kurangnya hadiah dan hukuman yang lebih banyak ini

mengakibatkan lansia merasa kehidupannya yang kurang menyenagkan,

kecenderungan memiliki self-esteem yang kurang dan mengembangkan self-

concept yang rendah.

c. Kognitif

Seseorang yang mengalami depresi karena memiliki kemampuan kognitif

yang negatif (negative cognitive sets) untuk menginterpretasikan diri sendiri,

dunia dan masa depan mereka. Akibat dari persepsi yang negatif itu, individu

akan memiliki self-concept sebagai orang yang gagal, menyalahkan diri,

merasa masa depannya suram dan penuh dengan kegagalan. Masalah utama
24

pada lansia yang depresi adalah kurangnya rasa percaya diri (self confidence)

akibat persepsi diri yang negatif.

d. Humanistik Eksistensial

Depresi terjadi karena adanya ketidak cocokan antara reality self dan ideal

self. Individu yang menyadari jurang yang dalam antara reality self dan ideal

self dan tidak dapat dijangkau, sehingga menyerah dalam kesedihan dan tidak

berusaha mencapai aktualisasi diri.

e. Fisiologis

Depresi terjadi karena Aktivitas neurologis yang rendah (neurotransmiter,

norepineprin dan serotonin) pada sinap-sinap otak yang berfungsi mengatur

kesenangan. Neurotransmiter ini memainkan peran yang penting dalam fungsi

hipotalamus, seperti mengontrol tidur, selera makan, seks dan tingkah laku

motor, sehingga seringkali seseorang yang mengalami depresi disertai dengan

keluhan-keluhan tersebut.

4. Upaya Penanggulangan Depresi pada Lansia

Dalam pendekatan pelayanan kesehatan pada kelompok lanjut usia sangat perlu

ditekankan pendekatan yang mencakup fisik, psikologis, spiritual dan sosial. Hal

tersebut karena pendekatan dari satu aspek saja tidak akan menunjang pelayanan

kesehatan pada lanjut usia yang membutuhkan suatu pelayanan yang

komperhensif. Pendekatan inilah yang dalam bidang kesehatan jiwa (mental

health) disebut pendekatan eclectic holistik, yaitu suatu pendekatan yang tidak

tertuju pada kondisi fisik saja, akan tetapi juga mencakup aspek psychological,

psikososial, spiritual dan lingkungan yang menyertainya. Pendekatan holistik


25

adalah pendekatan yang menggunakan semua upaya untuk meningkatkan derajat

kesehatan lanjut usia, secara utuh dan menyeluruh (Hawari, 1996 dalam Azizah,

2011). Ada beberapa upaya penanggulangan depresi menurut Azizah (2011)

yaitu dengan electic holistic approach, di antaranya:

a. Pendekatan Keagamaan

Pendekatan keagamaan (spiritual) sangat dianjurkan pada lansia. Pemikiran-

pemikiran dari ajaran agama apapun mengandung tuntunan bagaimana dalam

kehidupan di dunia ini manusia tidak terbebas dari rasa cemas, tegang,

depresi, dan sebagainya. Demikian pula dapat ditemukan dalam do’a-do’a

yang pada intinya memohon pada Tuhan agar dalam kehidupan ini manusia

diberi ketenangan, kesejahteraan dan keselamatan baik di dunia dan di akhirat

(Hawari, 1996).

b. Pendekatan Psikodinamik

Fokus pendekatan psikodinamik adalah penanganan terhadap konflik-konflik

yang behubungan dengan kehilangan dan stress. Upaya penanganan depresi

dengan mengidentifikasi kehilangan dan stress yang menyebabkan depresi,

mengatasi, dan mengembangkan cara-cara menghadapi kehilangan dan

stressor dengan psikoterapi yang bertujuan untuk memulihkan kepercayaan

diri (self confidence) dan memperkuat ego.

c. Pendekatan Perilaku Belajar

Penghargaan atas diri yang kurang akibat dari kurangnya hadiah dan

berlebihnya hukuman atas diri dapat diatasi dengan pendekatan perilaku

belajar. Caranya dengan mengidentifikasi aspek-aspek lingkungan yang

merupakan sumber hadiah dan hukuman.


26

d. Pendekatan Kognitif

Pendekatan ini bertujuan untuk mengubah pandangan dan pola pikir tentang

keberhasilan masa lalu dan sekarang dengan cara mengidentifikasi pemikiran

negatif yang mempengaruhi suasana hati dan tingkah laku.

e. Pendekatan Humanistik Eksistensial

Tugas utama pendekatan ini adalah membantu individu menyadari

keberadaannya di dunia ini dengan memperluas kesadaran diri, menemukan

dirinya kembali dan bertanggung jawab terhadap arah hidupnya (Saimun,

2006).

f. Pendekatan Farmakologis

Dari berbagai jenis upaya untuk gangguan depresi ini, maka terapi

psikofarmaka (farmakoterapi) dengan obat anti depresan merupakan pilihan

alternatif. Hasil terapi dengan obat anti depresan adalah baik dengan

dikombinasikan dengan upaya psikoterapi.

5. Skala Pengukuran Depresi

Depresi dapat mempengaruhi perilaku dan aktivitas seseorang terhadap

lingkungannya. Gejala depresi pada lansia diukur menurut tingkatan sesuai

dengan gejala yang termanifestasi. Jika dicurigai terjadi depresi, harus dilakukan

pengkajian dengan alat pengkajian yang terstandarisasi dan dapat dipercayai

serta valid dan memang dirancang untuk diujikan kepada lansia. Salah satu yang

paling mudah digunakan dan diinterpretasikan di berbagai tempat, baik oleh

peneliti maupun praktisi klinis adalah Geriatric Depression Scale (GDS). Alat ini

diperkenalkan oleh Yessavage pada tahun 1983 dengan indikasi utama pada
27

lanjut usia, dan memiliki keunggulan mudah digunakan dan tidak memerlukan

keterampilan khusus dari pengguna. Instrumen GDS ini memiliki sensitivitas

84% dan specificity 95%. Tes reliabilitas alat ini correlates significantly of 0,85

(Burns, 1999). Alat ini terdiri dari 30 poin pertanyaan dibuat sebagai alat

penapisan depresi pada lansia. GDS menggunakan format laporan sederhana

yang di isi sendiri dengan menjawab “ya” atau “tidak” setiap pertanyaan. GDS

merupakan alat psikomotorik dan tidak mencakup hal-hal somatik yang tidak

berhubungan dengan pengukuran mood lainnya. Skor 0 - 10 menunjukkan tidak

ada depresi, nilai 11 - 20 menunjukkan depresi ringan dan skor 21 - 30 termasuk

depresi sedang/berat yang membutuhkan rujukan guna mendapatkan evaluasi

psikiatrik terhadap depresi secara lebih rinci, karena GDS hanya merupakan alat

penapisan. Spesifikasi rancangan pernyataan perasaan (mood) depresi seperti

berikut:

a. Minat Aktivitas

b. Perasaan Sedih

c. Perasaan Sepi dan Bosan

d. Perasaan Tidak Berdaya

e. Perasaan Bersalah

f. Perhatian/Konsentrasi

g. Semangat atau Harapan terhadap Masa Depan

(Azizah, 2011).
28

D. Konsep Lanjut Usia

1. Pengertian Lanjut Usia

Menurut Undang-Undang Nomor 13 tahun 1998 yang dimaksud lanjut usia

adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas. Lanjut usia adalah bagian

dari proses tumbuh kembang (Azizah, 2011). Lansia bukan suatu penyakit,

namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan

penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stress lingkungan (Surini

& Utomo, 2003).

2. Klasifikasi Lanjut Usia

Berikut ini adalah lima klasifikasi pada lansia menurut Maryam dkk (2008).

a. Pralansia (Prasenilis)

Seseorang yang berusia antara 45 - 59 tahun.

b. Lansia

Seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.

c. Lansia Resiko Tinggi

Seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih/seseorang yang berusia 60 tahun

atau lebih dengan masalah kesehatan (Depkes RI, 2003).

d. Lansia Potensial

Lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan atau kegiatan yang

dapat menghasilkan barang/jasa (Depkes RI, 2003).

e. Lansia Tidak Potensial

Lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung

pada bantuan orang lain (Depkes RI, 2003).


29

3. Batasan-batasan Lanjut Usia

a. WHO (1999, dalam Azizah, 2011) menggolongkan lanjut usia berdasarkan

usia kronologis/ biologis menjadi 4 kelompok yaitu usia pertengahan (middle

age) antara usia 45 sampai 59 tahun, lanjut usia (elderly) berusia antara 60 dan

74 tahun, lanjut usia tua (old) usia 75-90 tahun, dan usia sangat tua (very old)

di atas 90 tahun.

b. Departemen Kesehatan RI (2006, dalam Fatimah, 2010) memberikan batasan

lansia sebagai berikut:

1) Virilitas (Prasenium): Masa persiapan usia lanjut yang menampakkan

kematangan jiwa (usia 55 - 59 tahun).

2) Usia Lanjut Dini (Senescen): kelompok yang mulai memasuki masa usia

lanjut dini (usia 60 - 64 tahun).

3) Lansia Beresiko Tinggi untuk Menderita Berbagai Penyakit Degeneratif:

usia di atas 65 tahun.

4. Tipe Lansia

Menurut Azizah (2011), tipe-tipe lanjut usia dijabarkan sebagai berikut :

a. Tipe Arif Bijaksana

Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan perubahan

zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sederhana,

dermawan, memenuhi undangan, dan menjadi panutan.

b. Tipe Mandiri

Mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif dalam mencari

pekerjaan, bergaul dengan teman, dan memenuhi undangan.


30

c. Tipe Tidak Puas

Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi pemarah,

tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik, dan banyak

menuntut.

d. Tipe Pasrah

Menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama, dan

melakukan pekerjaan apa saja.

e. Tipe Bingung

Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder, menyesal, pasif,

dan acuh tak acuh. Tipe lain dari lansia adalah tipe optimis, tipe konstruktif,

tipe dependen (kebergantungan), tipe defensif (bertahan), tipe militan dan

serius, tipe pemarah/frustasi (kecewa akibat kegagalan dalam melakukan

sesuatu), serta tipe putus asa (benci pada diri sendiri).

5. Teori-teori Proses Menua

Teor-teori proses menua meliputi teori biologi, teori kejiwaan sosial, teori

penarikan diri, teori perkembangan dan teori spiritual (Bandiyah, 2009).

a. Teori Biologi

1) Teori Radikal Bebas

Radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas, tidak stabilnya radikal

bebas (kelompok atom) mengakibatkan oksidasi oksigen bahan-bahan

organik seperti karbohidrat dan protein. Radikal bebas ini dapat

menyebabkan sel-sel tubuh tidak dapat beregenerasi.

2) Teori Genetik dan Mutasi (Somatik Mutatie Theory)


31

3) Pemakaian/Kelebihan Usaha dan Stress Menyebabkan Sel-sel Tubuh

Lelah

4) Pengumpulan dari Pigmen atau Lemak dalam Tubuh yang disebut dengan

Teori Akumulasi dari Produk Lansia.

5) Peningkatan Jumlah Kolagen dalam Jaringan.

6) Tidak Ada Perlindungan terhadap Radiasi, Penyakit dan Kekurangan

Gizi.

7) Reaksi dari Kekebalan Sendiri (Auto Immune Theory)

8) Theory Immunology Slow Virus (Immunology Slow Virus Theory)

9) Teori Stress

10) Teori Rantai Silang

11) Teori Program Kemampuan Organisme untuk Menetapkan Jumlah Sel

yang Membelah Setelah Sel-sel itu Mati.

b. Teori Kejiwaan Sosial

1) Aktivitas atau Kegiatan (Activity Theory)

a) Ketentuan akan meningkatnya pada penurunan jumlah kegiatan

secara langsung. Teori ini menyatakan bahwa pada lanjut usia yang

sukses adalah mereka yang aktif dan ikut banyak dalam kegiatan

sosial.

b) Ukuran optimum (pola hidup) dilanjutkan pada cara hidup dari lanjut

usia.

c) Mempertahan hubungan antara sistem sosial dan individu agar tetap

stabil dari usia pertengahan ke lanjut usia.

2) Kepribadian Berlanjut (Continuity Theory)


32

Dasar kepribadian atau dasar tingkah laku tidak berubah pada lanjut usia.

Teori ini merupakan gabungan dari teori di atas. Pada teori ini

menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada seseorang yang lanjut

usia dipengaruhi oleh tipe personality yang dimilikinya.

3) Teori Pembebasan (Didengagement theory)

4) Teori Sosial

c. Teori Penarikan Diri

Teori ini merupakan teori sosial tentang penuaan yang paling awal dan

pertama kali diperkenalkan oleh Gumming dan Henry (1961). Kemiskinan

yang diderita lanjut usia dan menurunnya derajat kesehatan mengakibatkan

seorang lanjut usia secara perlahan-lahan menarik diri dari pergaulan di

sekitarnya. Selain hal tersebut, masyarakat juga perlu mempersiapkan

kondisi agar para lanjut usia tidak menarik diri. Proses penuaan

mengakibatkan interaksi sosial lanjut usia mulai menurun, baik secara

kualitas maupun kuantitas.

d. Teori Perkembangan

Teori ini menekankan pentingnya mempelajari apa yang telah dialami oleh

lanjut usia pada saat muda hingga dewasa. Teori ini menjelaskan bagaimana

proses menjadi tua merupakan suatu tantangan dan bagaimana jawaban lanjut

usia terhadap berbagai tantangan tersebut yang dapat bernilai positif ataupun

negatif.

e. Teori Spiritual

James Fowler mengungkapkan tujuh tahap perkembangan kepercayaan.

Fowler meyakini bahwa kepercayaan atau demensia spiritual adalah suatu


33

kekuatan yang memberi arti bagi kehidupan seseorang. Menurutnya

kepercayaan adalah suatu fenomena timbal balik, yaitu suatu hubungan aktif

antara seseorang dengan orang lain dalam menanamkan suatu keyakinan,

cinta kasih dan harapan. Fowler juga berpendapat bahwa perkembangan

spiritual pada lanjut usia berada pada tahap penjelmaan dari prinsip cinta dan

keadilan. Menurut Azizah (2011), lansia yang telah mempelajari cara

menghadapi perubahan hidup melalui mekanisme keimanan akhirnya

dihadapkan pada tantangan akhir yaitu kematian. Harapan memungkinkan

individu dengan keimanan spiritual atau religius untuk bersiap menghadapi

krisis kehilangan dalam hidup smapai kematian. Satu hal pada lansia yang

diketahui sedikit berbeda dari orang yang lebih muda yaitu sikap mereka

terhadap kematian. Hal ini menunjukkan bahwa lansia cenderung tidak

terlalu taku terhadap konsep dan realitas kematian. Pada tahap perkembangan

usia lanjut merasakan atau sadar akan kematian (Sence of Awareness of

Mortality).

6. Perubahan-perubahan yang Terjadi pada Lanjut Usia

Perubahan yang terjadi pada lansia meliputi perubahan fisik, perubahan sosial,

dan perubahan psikologis (Maryam dkk, 2008).

a. Perubahan Fisik

1) Sel

Jumlah berkurang, ukuran membesar, cairan tubuh menurun, dan cairan

cairan intraseluler menurun.


34

2) Kardiovaskuler

Katub jantung menebal dan kaku, kemamapuan memompa darah

menurun, meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer sehingga

tekanan darah meningkat.

3) Respirasi

Otot-otot pernafasan kekuatannya menurun dan kaku, elastisitas paru

menurun, kapasitas residu meningkat sehingga menarik napas lebih berat,

alveoli melebar dan jumlahnya menurun, kemampuan batuk menurun,

serta terjdinya penyempitan pada bronkus.

4) Pernafasan

Saraf panca indra mengecil sehingga fungsinya menurun serta lambat

Dalam merespon. Berkurang atau hilangnya lapisan myelin akson,

sehingga menyebebkan berkurangnya respon motorik dan reflek.

5) Muskuloskeletal

Cairan tulang menurun sehingga mudah rapuh, tulang rawan antar

persendian menjadi kasar dan lama-kelamaan akan hilang. Berkurangnya

metabolisme kalsium menyebabkan tulang menjadi kropos, atropi

serabut-serabut otot.

6) Gastrointestinal

Esophagus melebar, asam lambung menurun, lapar menurun, dan

peristaltik menurun sehingga daya absorbsi juga ikut menurun.

7) Genitourinaria

Kemampuan mengonsentrasi urine ikut menurun.


35

8) Vesika urinaria

Otot-otot melemah, kapasitasnya menururn,dan retensi urin. Prostate :

hipertrofi pada 75% lansia, selaput lendir mengering dan sekresi

menurun.

9) Pendengaran

Membrane timpani atrofi sehingga terjadi gangguan gangguan

pendengaran, tulang-tulang pendengaran mengalami kekakuan.

10) Penglihatan

Respon terhadap sinar menurun, adaptasi terhadap gelap menurun,

akomodasi menurun, lapang pandang menurun, dan katarak.

11) Kulit

Keriput serta kulit kepala dan dan rambut menipis. Rambut dalam hidung

dan telinga menebal. Elastisitas menurun, rambut memutih, kelenjar

keringat menurun, kuku keras dan rapuh, serta kuku kakai tumbuh

berlebihan seperti tanduk.

b. Perubahan Sosial

1) Peran

Post power syndrome, single women, dan single parent.

2) Teman

Ketika lansia lainnya meninggal, maka muncul perasaan kapan akan

meninggal. Berada di rumah terus-menerus akan cepat pikun (tidak

berkembang).
36

3) Pensiun

Kalau menjadi PNS akan ada tabungan (dana pensiun). Kalau tidak, anak

dan cucu yang akan memberi uang.

4) Agama

Melaksanakan ibadah.

c. Perubahan Psikologis

Perubahan psikologis pada lansia meliputi short term memory, frustasi,

kesepian, takut kehilangan kebebasan, takut menghadapi kematian, perubahan

keinginan, depresi, dan kecemasan.

7. Permasalahan Psikososial pada Lansia

Menurut Azizah (2011), permasalahan psikososial pada lansia adalah sebagai

berikut :

a. Depresi

Depresi adalah perasan sedih, ketidakberdayaan, dan pesimis, yang

berhubungan dengan suatu penderitaan. dapat berupa serangan yang

ditujukan kepada diri sendiri atau perasaan marah yang dalam (Nugroho,

2000). Azizah (2011) mengatakan bahwa resiko depresi meningkat pada

wanita, terutama yang memiliki riwayat depresi, baru saja kehilangan, hidup

sendiri, lemahnya dukungan sosial, tinggal di rumah perawatan jangka

panjang, penurunan kesehatan, dan keterbatasan fungsional (Green, et al.

1992; Schoevers, et al. 2000; Sadavoy, et al. 2004). Resiko bunuh diri pada

lansia wanita yang mengalami depresi dua atau tiga kali lebih tinggi dari

pada lansia laki-laki (Jones, 2002). Tingginya angka depresi pada lansia
37

wanita lebih berhubungan dengan transisi fungsi reprodeksi dan hormonal

atau menopouse (Sadavoy, et al. 2004).

b. Self-esteem

Branden (2001) mendefinisikan self-esteem sebagai cara pandang individu

terhadap dirinya, bagaimana seseorang menerima dirinya dan

menghargainya sebagai individu yang utuh.

c. Dementia

Dementia adalah keadan dimana seseorang mengalami penurunan

kemampuan daya ingat dan daya pikir, dan penurunan kemampuan tersebut

menimbulkan gangguan terhadap fungsi kehidupan sehari sehari-hari.

d. Gangguan Perilaku

Gangguan perilaku pada lansia terjadi dikarenakan perubahan-perubahan

yang terjadi, terutama perubahan fungsi kognitif.

E. Konsep Hubungan Perilaku Spiritual dengan Depresi

Individu dengan konsep agama yang positif memiliki kemungkinan yang lebih kecil

untuk mengalami depresi. Selain itu, individu juga akan merasa lebih bahagia dalam

menjalani kesehariannya (Ariyanto, 2010, Psikologi, Agama, dan Kesehatan, ¶ 7,

http://ruangpsikologi.com, diperoleh tanggal 31 januari 2013). Pendekatan

keagamaan (spiritual) sangat dianjurkan pada lansia. Pemikiran - pemikiran dari

ajaran agama apapun mengandung tuntunan bagaimana dalam kehidupan di dunia ini

manusia tidak terbebas dari rasa cemas, tegang, depresi, dan sebagainya. Demikian

pula dapat ditemukan dalam do’a-do’a yang pada intinya memohon pada Tuhan agar

dalam kehidupan ini manusia diberi ketenangan, kesejahteraan dan keselamatan baik
38

di dunia dan di akhirat (Hawari, 1998 dalam Azizah, 2011). Spiritual yang sehat

tercermin dari cara seseorang dalam mengekspresikan rasa syukur, pujian, atau

penyembahan terhadap sang pencipta alam dan seisinya (Allah Yang Maha Kuasa).

Secara mudah spiritual yang sehat itu dapat dilihat dari praktik keagamaan atau

kepercayaannya, serta perbuatan baik yang sesuai dengan norma-norma masyarakat

(Notoatmodjo, 2007).

F. Penelitian Terkait

1. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Oda (2012) yang bejudul “Hubungan antara

interaksi sosial dengan tingkat depresi pada lanjut usia di Unit Rehabilitasi Sosial

Wening Wardoyo Ungaran” menunjukkan ada Hubungan antara Interaksi Sosial

dengan Tingkat Depresi (p value < 0,05) yaitu 0,000 < 0,05, sehingga Ho ditolak

artinya terdapat hubungan antara interaksi sosial dengan tingkat depresi di Unit

Rehabilitasi Sosial Wening Wardoyo. Analisis statistik menggunakan Uji Kendal

Tau. Status interaksi sosial didapatkan bahwa sebagian respoden termasuk

kategori sedang sebesar 56 orang (75,7%). Adapun lansia yang mengalami

depresi ringan sebesar 11 orang (14,9%), depresi sedang sebesar 56 orang

(75,7%) dan depresi berat sebanyak 7 orang (9,5%).

2. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Furqon (2009) yang berjudul “Hubungan

gangguan activity daily living dengan tingkat depresi pada Lansia di UPT

Pelayanan Sosial Lanjut Usia Banyuwangi”. Diperoleh nilai r = 0,895 dan setelah

itu diuji signifikansi koefisien korelasi menggunakan rumus Z dengan tingkat

signifikansi 1% dan diperoleh nilai Z hitung = 7,56. Harga Z hitung tersebut


39

lebih besar dibandingkan dengan Z tabel yaitu 2,58. Maka dapat disimpulakan

bahwa koefisien korelasi antara gangguan activity daily living dengan tingkat

depresi pada lansia sebesar 0,895 adalah signifikan.

3. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hallis dan Rahmawati (2009) yang berjudul

“Hubungan depresi dengan kejadian Insomnia pada lansia di Posyandu Lansia

Tlogo Indah RT 02, RW 01 Kec. Lowokwaru Kota Malang” menunjukkan

sebagian besar (51,16%) responden mengalami depresi berat, 93,03% lansia

insomnia. diperoleh ρ = 0,036 < 0,05 dengan taraf signifikansi 0,05

menggunakan Rank Spearman. Hasil penelitian berarti ada hubungan antara

depresi dan insomnia pada lansia di Posyandu Lansia Tlogo Indah Rt.02 Rw.04

Kec. Lowokwaru Malang.

4. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Basyirotin (2011) yang berjudul “Hubungan

antara dukungan keluarga dengan tingkat depresi pada lansia di RW 1

Wonokromo Surabaya” menunjukkan hampir setengahnya responden memiliki

dukungan keluarga kurang sebanyak 47,29% dan hampir setengahnya responden

mengalami depresi berat sebanyak 36,48%. Hasil analisa data menggunakan uji

statistik Rank Spearman didapatkan nilai ρ = (0,00) < α = (0,05) yang berarti ada

Hubungan antara dukungan keluarga dengan tingkat depresi pada lansia di RW I

Wonokromo Surabaya.

You might also like