You are on page 1of 7

UJIAN AKHIR SEMESTER

Nama : Riski Situmorang


Nim : 210904044
Mata kuliah : Komunikasi Antar Budaya

Jurnal Komunikasi Antar Budaya.


1. Culture Shock dalam Interaksi Komunikasi Antar Budaya pada Mahasiswa Asal Papua di
Universitas Negeri Medan

Ringkasan :
Penelitian ini ditulis oleh Iyen Harini Situmorang, Effiati Juliana Hasibuan, dan Agung
Suharyanto yang merupakan mahasiswa dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Medan Area. Penelitian ini membahas Culture Shock yang dialami oleh
Mahasiswa asal Papua di Universitas Negeri Medan di dalam interaksi Komunikasi
Antarbudaya pada mahasiswa tersebut. Bagi seorang mahasiswa yang kuliah di luar pulau
lain seperti halnya mahasiswa UNIMED asal Papua tersebut akan mengalami Culture
Shock karena serangkaian proses adaptasi mereka terhadap lingkungan dan hal baru yang
akan mereka jalani. Culture Shock yang mereka alami akan sangat kontras mereka hadapi
dari segi gaya berbicara, bahasa, makanan, kebudayaan, cara berpakaian dan sebagaianya.

Di dalam Jurnal ini peneliti memilih 5 informan yang akan dijadikan sebagai sumber
informasi. Di dalam penelitian, terlebih dahulu meneliti hal sederhana terkait bagaimana
reaksi ke 5 informan tersebut terhadap makanan yang ada di Medan. Hasilnya semua
memberikan reaksi positif terhadap makanan yang ada di Medan, salah satu informan
menyebutkan bahwa makanan yang ada di Medan hampir sama dengan Yang ada di
medan. di dalam proses interakasi, Ke 5 infoman tersebut mengatakan bahwa mereka
sangat sulit untuk berinteraksi dan bahkan tidak memahami bahasa ynag digunakan oleh
mahasiswa lain karena banyak mahasiswa UNIMED merupakan pendatang sama seperti
mereka. Dan dominan di antara informan tersebut memilih berinteraksi dan
berkomunikasi dengan sesama mereka saja karen amereka menggangap hal tersebut lebih
nyaman untuk mereka lakukan dan mereka pun masih menoba untuk lebih menyesuaikan.

Ada beberapa tahapan Culture Shock yang dialami oleh mahasiswa tersebut :
• Fase Optimistik
Fase ini menggambarkan kegembiraan serta rasa penuh harapan tentang sebuah
lingkungan yang baru ingin didatangi. Beberapa Informan tersebut mengatakan
bahwa mereka sangat senang untuk mendatangi suatu tempat baru yang belum
pernah mereka kunjungi. Namun mereka juga merasa kesedihan karena harus
berpisah dengan orang tuanaya. Berbeda dengan informan yang lain, yang sudah
pernah ke tempat yang baru dan sudah terbiasa dengan gal tersebut.
• Fase Masalah Kultural
Fase dimana munculnya masalah dengan lingkungan baru yang mulai
berkembang,, misalnya kesulitan bahasa, sistem lalu lintas baru, sekolah baru, dan
lain-lain. Fase ini ditandai dengan adanya rasa kecewa dan ketdakpuasaan
terhadap lingkungan yang akan mereka adapatsi. Ke 5 informan tersebut mulai
mengalami hal tersebut dan mangalami rasa kecewa dan frustasi di dalam proses
interaksinya. Sehingga membuat informan tidak percaya diri saat sewaktu memulai
perkuliahan, mereka merasa takut salah saat akan mengucapkan kata dan malu
apabila temanya menertawakanya. Hal tersebut membuat mereka lebih banyak
berdiam diri
• Fase Recovery
Fase dimana individu akan mulai mengerti dan memahami mengenai budaya
barunya. Pada tahap ini, orang secara bertahap membuat penyesuaian dan
perubahan dalam caranya menanggulangi budaya baru, dan orang-orang,
peristiwa dalam lingkungan baru mulai dapat terprediksi dan tidak terlalu
menekan. Pada fase ini, informan masih belum terbiasa dengan lingkungan yang di
Medan. Namun informan tetap berusaha untuk menyesuaikan dan mulai untuk
berinteraksi dengan orang yang ada di sekitar mereka meskipun belum sepenuhnya
• Fase Penyesuaian
Pada fase ini, individu telah mengetahui elemen kunci dari budaya barunya, Nilai-
nilai, adat istiadat, Pola komunikasi, dan sebagainya. Mampu untuk hidup di dalam
2 kebudayaan yang berbeda yang disertai dengan adanya rasa kepuasan untuk
menjalankan hal tersebut. Pada ke 5 informan tersebut, mereka masih di dalam
fase recovery, karena masih banyak hambatan yang menghambat penyesuaian
yang mereka lakukan dan masih membutuhkan waktu yang cukup untuk dapat
menyesuaikan dengan lingkungan mereka sepenuhnya.

2. Analisis Komunikasi Antarbudaya dalam Proses Adaptasi Masyarakat Etnik Bugis dan
Etnik Papua di Kota Jayapura

Ringkasan :
Jurnal ini ditulis oleh Ismiunia Hasmar, Jeanny Maria Fatimah dan Muhammad Farid yang
merupakan mahasiswa dari Universitas Hasanuddin Makassar. Penilitian ini berfokus untuk
meneliti bagaimana proses adaptasi 2 etnis yang berbeda yaitu etnik Bugis dan etnik Papua
di Kota Jayapura yang dimana di dalam penelitian di wawancarai setidaknya 7 infroman yaitu
masyarakat yang berasal dari Etnik Bugis dan Etnik Papua.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi adaptasi, yaitu :


1. Personal Communication Competition
Mengacu pada pengetahuan individu dalam bahasa budaya tuan rumah, sejarah,
aturan perilaku dan sebagainya, serta perasaan emosi, motivasi pendatang dalam
mengahadapi keberagaman budaya dilingkungan tuan rumah, termasuk keterbukaan
individu terhadap pembelajaran baru dan kemauan untuk ikut andil dan
berpartisipasi dalam berbagai praktek komunikasi tuan rumah.
Hasil wawancara dengan informan menyenghasilkan bahwa bahasa perantara untuk
menyampaikan maksud antara satu sama lain, namun dialek dan intonasi bahasa
Etnik Papua membuat informan saat pertama kali berada di kota jayapura
memerlukan waktu untuk dapat saling memahami, namun seiring berjalannya waktu
informan mulai memahami dialek dan intonasi bahasa saat mereka akan
berkomunikasi baik dengan etnik Papua maupun dengan etnik lainya.
2. Host social Commuication
Mengacu pada partisipasi individu pendatang dalam berbagai kegiatan sosial tuan
rumah baik secara komunikasi interpersonal maupun komunikasi massanya.
Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala adat bahwa ketika diadakannya sebuah
acara kematian maupun perkawinan atau acara yang dibuat oleh etnik papua, etnik
bugis ikut membantu dengan memberikan bantuan berupa dana untuk
terselenggaranya acara tersebut. Bukan saja bantuan secara kelompok tetapi juga
secara individu.
3. Ethnic Social Communication
Menekankan kepada kegiatan komunikasi interpersonal dan komunikasi massa yang
terjadi individu pendatang dengan individu yang memiliki asal dan latar belakang
budaya yang sama untuk membangun rasa nyaman bahwa mereka tidak sendirian
dan dapat mendorong proses adaptasi khususunya etnik bugis
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan, bahwa merasa tidak merasakan rasa
kecanggungan atau terkejut ketika tiba pertama kali di kota Jayapura, kerukunan
etnis Bugis dibentuk dengan melakukan kegiatan Bersama masyarakat etnis Bugis
lainya sehingga membentuk rasa nyaman dan saling membantu
4. Environment
Keterbukaan lingkungan terutama dalam pelaksaaan sebuah kegiatan seperti
kegiatan etnik maupun acaraa keagamaan yang melibatkan peran antara masyarakat,
pemerintah, serta ketua adat membuat hal tersebut menjadi suatu sambutan yang
baik bagi masyarakat Etnik Papua
5. Predisposition
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan, informan mengatakan saat
pertamakali ke Kota Jayapura mereka tidak merasa terkejut. Karena berdasarkan
kebudayaan antara kebudayaan etnik Papua dengan Etnik Bugis memiliki sejumlah
kesamaan
6. Requirement
esuatu hal yang membuat ingin berinteraksi, seperti menjalin persahabatan sampa
kepada perihal menarik dalam mengelola sebuah interaksi. Seperti yang dijelaskan
oleh informan, mereka mengatakan bahwa hal yang membuat ingin berinteraksi
adalah mereka memiliki sifat yang tulus saat menjalin hubungan pertemanan untuk
pertama kali, dan tidak mudah melupakan orang yang sudah lama dikenalnya,
sehingga menjadikan informan ingin terus berinteraksi dan menjalin sebuah
pertemanan.
7. Expectation
Merupakan acuan untuk memprediksi dan memperkirakan apa yang akan terjadi
apabila terdapat individu yang tidak terlalu mengenal individu yang lain, maka
individu akan mengandalkan norma-norma kesopanan dalam situasi tertentu. Dari
penuturan informan bahwa ketika mereka tidak terlalu mengenal atau bahkan belum
begitu dekat, ucapan-ucapan yang dikeluarkan pun akan diucapkan dengan kalimat
yang sopan, sama halnya saat melakukan interaksi ketika belum mengenal dengan
baik intensitas interaksi tidak akan sedekat itu
8. Desire
Sesuatu hal yang terjadi sesuai dengan keinginan atau hasrat individu, dengan kata
lain sebuah kemauan yang timbul dari hati tentang sesuatu yang menarik perhatian.
Seperti yang diungkapkan oleh kepala adat bahwa ketika ada acara adat, ataupun
acara-acara keagamaan, etnik bugis akan membantu mereka untuk
menyelenggarakan acara tersebut dengan memberi bantuan, baik itu berupa uang,
beras dan lauk dan itu sangat mereka hargai dengan keinginan untuk
membantu acara etnik papua. Sama halnya yang dikemukakan oleh Ketua kerukunan
Pangkep bahwa ketika ada kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan, etnik papua secara
sukarela untuk membantu dan etnik bugis pun mengikutsertakan masyarakat etnik
papua dalam berpartisipasi agar keakraban di antara etnik lebih terjaga dan semakin
solid
https://scholar.google.com/scholar?hl=id&as_sdt=0%2C5&q=Analisis+Komunikasi+Antarbud
aya+dalam+Proses+Adaptasi+Masyarakat+Etnik+Bugis+dan+Etnik+Papua+di+Kota+Jayapura
&btnG=

3. Kecerdasan Budaya dan Ketahanan Budaya Lokal : Studi Kasus Cultural Inteligence dan
Reverse Cultural Shock Mahasiswa Magang Di Jepang

Ringkasan :
Jurnal ini meneliti tentang kasus Cultural Inteligence dan Reverse Cultural Shock pada
mahasiiswa Sastra Jepang Universitas Bung Hatta yang mengikuti program magang
internasional di Jepang. Penelitian ini juga mendukung Peksanaan program Merdeka Belajar
Kampus Merdeka (MBKM), dan penilitian ini juga berusaha untuk mendapatkan informasi
bagimana peserta magang menjaga kestabilan dan adaptasinya ketika kembali ke
kebudayaan Indonesia setelah hidup nyaman dalam budaya Jepang. Penelitian ini juga
adalah solusi terhadap permasalahan tersebut karena kan menghasilkan kecerdasan budaya
dan ketahanan mahasiswa sastra Jepang yang sudah selesai melaksanakan magang di
Jepang.

Hasil penelitian terkait Reverse Cultural Shock terhadap mahasiswa yang melakukan magang
di Jepang tersebut didapatkan bahwa meskipun mereka telah melaksanakan magang di
Jepang selama satu tahun tidak membuat mereka mengalami Reverse Culture Shock
terhadap budaya mereka sendiri setelah kembali dari Jepang. Mereka menyatakan bahwa
hidup nyaman dan menyatu dengan Budaya Jepang, hidup dalam tradisis Jepang dengan
Perilaku sopan santun, disiplin, teratur, dan bekerja keras sejalan dengan peradaban modern
dengan teknologi yang canggih tidak mempengaruhi akan timbulnya Reverse Culture Shock
pada mereka sendiri.

Ketidak-goncangan mahasiswa peserta magang terhadap budaya mereka sendiri


tersebut menyiratkan bahwa mereka bangga dengan budaya mereka sendiri. Yang menarik
dari sikap itu adalah bahwa kendatipun mereka mencintai dan bangga dengan budaya
mereka sendiri (budaya lokal Indonesia), mereka tidak membenci atau anti terhadap budaya
Jepang. Mereka malahan bangga dengan budaya Jepang. Mereka tidak mengalami goncang
terhadap budaya mereka sendiri (Reverse culture shock). Mereka tidak goncang terhadap
gejala-gejala reverse culture shock
https://scholar.google.com/scholar?hl=id&as_sdt=0%2C5&q=Kecerdasan+Budaya+dan+Keta
hanan+Budaya+Lokal+%3A+Studi+Kasus+Cultural+Inteligence+dan+Reverse+Cultural+Shock
+Mahasiswa+Magang+Di+Jepang&btnG=

4. Proses Adaptasi Mahasiswa Rantau Dari Batam dalam Menghadapi Komunikasi


Antarbudaya Di Universitas Pembangunan Nasioanal Veterean Jakarta

Ringkasan :
Jurnal ini ditulis oleh Rania Putri Faradyba, Windhiadi Yoga Sembada, dan Garcia Krisnando
Nathanael yang merupakan mahasiswa dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran
Jakarta. Penelitian ini meneliti tentang Proses adaptasi yang dilakukan oleh mahasiswa
Univeritas Pembangunan Veteran Nasional Jakarta yang berasal dari Batam yang dimana
mahasiswa tersebut mengalami culture Shock terhadap Budaya yang ada di Jakarta.

Di dalam penelitian ini, peneliti menggunakan Teori Akomodasi Komunikasi yang bertujuan
untuk mengetahui berbagai cara yang digunakan oleh Informan saat berinteraksi dan
beradaptasi dengan lingkungan serta budaya barunya. Berdasarkan Hasil penelitian, terjadi
proses adaptasi terhadap Mahasiswa UPNVJ asal Batam yang dimana di dalam proses
adaptasi tersebut informan mengalami Culture Shock. Proses Adaptasi tersebut terbagi ke
dalam 5 fase, yaitu :
1. Fase Perencanaan
Pada tahap ini informan mempersiapkan segala kebutuhan mereka saat akan
merantau di Jakarta dan melakukan research terhadap lingkungan yang akan
mereka tempati.
2. Fase Honeymoon
setelah Informan atau mahasiswa rantau asal Batam tiba dan mulai beradaptasi
dengan mahasiswa asal Jakarta di UPNVJ, mereka terlena dengan keramahan
mahasiswa asal Jakarta yang terbuka dengan teman baru dan keseruan hidup
menjadi anak rantau yang mandiri meskipun tetap merasa asing berada di lingkungan
baru.

3. Fase Frustasi
semakin lama mahasiswa asal Batam mulai merasakan ketidaknyamanan saat
beradaptasi karena munculnya hambatan-hambatan komunikasi antarbudaya yang
dialami. Perbedaan latar belakang budaya menyebabkan mahasiswa rantau asal
Batam memiliki penggunaan bahasa, adat istiadat, dan gaya hidup pergaulan yang
berbeda, bahkan kosakata yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari juga
menghambat mereka dalam berkomunikasi sehingga tidak jarang terjadi
miskomunikasi dan komunikasi antarbudaya tidak berjalan efektif. Tidak hanya itu,
sesimpel makanan juga membuat mahasiswa rantau asal Batam
sangat terkejut karena memiliki tampilan dan cita rasa yang sangat berbeda, sehingga
rasa makanannya tidak sesuai dengan selera.
4. Fase Readjustment
Tahap dimana Informan mulai mengembangkan berbagai cara untuk beradaptasi
yaitu dengan cara selektif dalam memilih teman, melakukan research di internet dan
sosial media tentang apa yang tidak diketahui, melakukan pengamatan terhadap
mahasiswa asal Jakarta tentang bahasa yang digunakan dan cara mereka
berkomunikasi dan bergaul untuk dipelajari oleh mahasiswa rantau asal Batam
setelah mempersepsikan perilaku dan kata-kata yang diperoleh
5. Fase Resolution
Tahapan dimana mahasiswa tersebut memilih tindakan untuk tetap berusaha
beradaptasi dan lebih memilih untuk melakukan akomodasi komunikasi dan
konvergensi agar bisa beradaptasi dan berinteraksi dengan nyaman selam di
lingkungan UPNVJ.

https://scholar.google.com/scholar?hl=id&as_sdt=0%2C5&q=4.+Proses+Adaptasi+Mahasisw
a+Rantau+Dari+Batam+dalam+Menghadapi+Komunikasi+Antarbudaya+Di+Universitas+Pem
bangunan+Nasioanal+Veterean+Jakarta&btnG=

5. Proses dan Peran Komunikasi dalam Mengatasi Culture Shock (Studi Kasus pada
Mahasiswa Universitas Tadulako)

Ringkasan :
Jurnal ini ditulis oleh Dwi Rohma Wulandari yang merupakan Mahasiswa dari Universitas
Tadulako. Penelitian ini menekankan kepada Fenomena Culture Shock yang terjadi pada
Mahasiswa asing di Universitas Tadulako tentang bentuk culture shock yang terjadi serta
proses komunikasi yang dilakukan untuk mengatasi culture shock yang terjadi. Studi ini
bertujuan untuk memahami bagaimana komunikasi dapat membantu mahasiswa asing
mengatasi culture shock di lingkungan Universitas Tadulako. Penelitian ini menggunakan
pendekatan studi kasus dengan fokus pada pengalaman mahasiswa asing di universitas
tersebut.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, Informan atau mahasiswa tersebut mengalami
Culture shock yang terbagi ke dalam 4 tahapan, yaitu :
Fase Opsimistik (Optimistic Phase, berisi
kegembiraan, rasa penuh harapan, dan euforia sebagai antisipasi bagi mahasiswa asing
yang memasuki budaya baru sebelum mengalami gegar budaya. Pada fase ini mahasiswa
asing akan merasa bahagia setibanya di negara yang baru, apalagi negara yang belum
pernah dikunjungi sebelumnya. Seseorang cenderung memiliki harapan-harapan yang
besar pada saat baru bertemu dengankebudayaan baru dan orang-orang baru.
2. Fase masalah kultural (Cultural Problems),
yaitu kesulitan bahasa, kehidupan sosial yang baru, sekolah baru, dan
lain-lain. Fase ini biasanya ditandai dengan rasa kecewa, ketidakpuasan dan
segala sesuatunya mengerikan. Saat mahasiswa asing memasuki kebudayaan
baru maka mereka mengalami reaksi negatif terhadap perubahan dan
penyesuaian diri terhadap lingkungan budaya yang baru.
3. Fase Kesembuhan (Recovery Phase)
fase ketiga dimana individu mulai mengerti dan memahami budaya barunya.
Pada fase ini krisis dapat dipecahkan jika sudah menguasai bahasa pada
budaya baru, dengan ini mahasiswa asing sudah bisa membuka jalan ke
lingkungan yang baru.
4. Fase Penyesuaian (Adjustment Phase)
Mahasiswa asing mulai mengerti dan memahami nilai-nilai budaya, pola
komunikasi, dan kemampuan untuk hidup dalam dua budaya yang berbeda.
Biasanya juga disertai dengan rasa puas dan menikmati proses yang dihadapi
https://scholar.google.com/scholar?q=%2Bintitle%3A%22PROSES+DAN+PERAN+KOMUNIKA
SI+DALAM+MENGATASI+CULTURE+SHOCK+STUDI+KASUS+PADA+MAHASISWA+UNIVERSITAS
+TADULAKO%22

You might also like