You are on page 1of 30

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN DIAGNOSA PERTUSIS

Dosen Pembimbing: Ns. Hermani Triredjeki, M.Kes

DISUSUN OLEH:
1. Fadilla Navisha Izha M. (P1337420522007)
2. Elfa Sofiana (P1337420522008)
3. Rifqi Haqi Al Ghifari (P1337420522009)
4. Dimas Narendra (P1337420522059)

ARIMBI 1

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG

PRODI DIII KEPERAWATAN MAGELANG

TAHUN 2023
BAB I

KONSEP DASAR

A. DEFINISI
Pertusis adalah suatu infeksi akut saluran nafas yang mengenai setiap pejamu
yang rentan, tetapi paling sering dan serius pada anak-anak. (Behrman, 1992).
Pertusis atau batuk rejan adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri yang
menginfeksi paru-paru dan saluran pernapasan. Bordetella pertussis adalah jenis
bakteri yang menjadi penyebab utama batuk rejan. Gejala awal pertusis sulit
dibedakan dari infeksi saluran pernapasan minor. Secara garis besar, pada pertusis
batuk yang awalnya intermiten menjadi paroksismal. Batuk paroksismal biasanya
berlangsung selama 1-6 minggu atau bahkan lebih. Setelah fase paroksismal lewat,
batuk non-paroksismal dapat berlanjut selama 2-6 minggu atau lebih.
Pertusis adalah penyakit infeksi akut pada saluran pernafasan yang sangat
menular dengan ditandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang bersifat
spasmodic dan paroksismal disertai nada yang meninggi. (Rampengan, 1993).
Penyakit ini ditandai dengan demam dan perkembangan batuk semakin berat
dan ini sangat mudah menular serta bisa mengancam nyawa, terutama bila menyerang
bayi dan anak-anak. Batuk rejan (whooping cough) biasanya ditandai dengan rentetan
batuk keras yang terjadi secara terus-menerus. Seranagan batuk terjadi tiba-tiba dan
berlanjut terus tanpa henti hingga seluruh udara di dalam paru-paru terbuang keluar.
Akibatnya saat napas berikutnya pasien pertusis telah kekurangan udara sehingga
bernapas dengan cepat, suara pernapasan berbunyi seperti pada bayi yang baru lahir
berumur kurang dari 6 bulan dan pada orang dewasa bunyi ini sering tidak terdengar.
Batuk pada pertusis biasanya sangat parah hingga muntah-muntah dan penderita
sangat kelelahan setelah serangan batuk.

B. ETIOLOGI
Pertusis pertama kali dapat diisolasi pada tahun 1990 oleh Bordet dan Gengou,
kemudian pada tahun 1906 kuman pertusis baru dapat dikembangkan dalam media
buatan. Genus Bordetella mempunyai 4 spesies yaitu Bordotella pertusis, Bordetella
Parapertusis, Bordotella Bronkiseptika, dan Bordotella Avium. Bordotella pertusis
adalah satu-satunya penyebab pertusis yaitu bakteri gram negatif, tidak bergerak dan
ditemukan dengan melakukan swab pada daerah nasofaring Bordet Gengou (Arif
Mansjoer, 2000).
Bakteri Bordetella pertusis dapat keluar melalui droplet atau percikan
dahak/lendir yang keluar saat orang yang terinfeksi batuk, bersin, dan berbicara.
Berikut tahapan penularan batuk rejan atau pertussis:
- Bakteri penyebab batuk masuk ke dalam tubuh melalui hidung, mulut, atau mata.
- Infeksi bakteri penyebab batuk rejan berlangsung di permukaan saluran
pernapasan, yaitu pada trakea dan bronkus.
- Sesaat setelah Bordetella pertussis berada di saluran pernapasan, bakteri tersebut
mulai memperbanyak diri.
- Selama berkembang biak, B. pertussis memproduksi berbagai macam zat
antigenik sekaligus zat beracun seperti pertussis toxin (PT), filamentous
hemagglutinin (FHA), agglutinogens, adenylate cyclase, pertactin, dan tracheal
cytotoxin.
- Racun-racun inilah yang melumpuhkan kerja sel-sel yang bertugas membersihkan
lendir pada dinding paru-paru. Racun tersebut juga dapat menyerang sistem
kekebalan tubuh.
- Seiring bertambah parahnya infeksi yang disebabkan bakteri, bertambah banyak
pula jumlah dahak. Alhasil, batuk pun akan berlangsung semakin sering.
- Lama kelamaan penderita akan semakin sulit untuk bernapas karena sirkulasi
udara dalam saluran pernapasan kian terhambat akibat dahak yang menumpuk.
- Udara yang tidak bisa sepenuhnya masuk sampai ke paru-paru akan menimbulkan
suara mengi saat penderita bernapas.

Faktor risiko batuk rejan:

Pertusis merupakan jenis batuk yang sangat menular. Terdapat sejumlah kondisi yang
dapat meningkatkan peluang seseorang untuk terjangkit penyakit ini.
Orang-orang dengan kondisi berikut ini lebih berisiko mengalami batuk pertusis.
- Bayi di bawah 12 bulan yang masih belum bisa menerima vaksin.
- Orang yang berinteraksi secara dekat dan sering dengan penderita pertusis.
- Orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah, seperti ibu hamil, penderita
autoimun atau yang sedang menjalani pengobatan yang menurunkan kerja sistem
imun.
C. TANDA DAN GEJALA
1. Stadium kataralis (1-2 minggu)
Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran napas bagian atas yaitu timbulnya
rinore dengan lendir yang cair dan jernih, injeksi pada konjungtiva, lakrimasi, batuk
ringan, dan panas tidak begitu tinggi. Pada stadium ini biasanya diagnosis pertusis
belum dapat ditegakkan karena sukar dibedakan dengan common cold. Sejumlah
besar organisme tersebar dalam droplet dan anak sangat infeksius, pada tahap ini
kuman mudah diisolasi.
2. Stadium paroksismal/stadium spasmodik
Frekuensi dan derajat batuk bertambah, terdapat pengulangan 5-10 kali batuk kuat
selama ekspirasi yang diikuti oleh usaha inspirasi masif yang mendadak dan
menimbulkan bunyi melengking (whoop), udara yang dihisap melalui glotis yang
menyempit. Selama serangan wajah merah dan sianosis, mata menonjol, lidah
menjulur, lakrimasi, salivasi, dan distensi vena leher bahkan sampai terjadi petekia di
wajah (terutama di konjungtiva bulbi). Episode batuk paroksismal dapat terjadi lagi
sampai mucous plug pada saluran napas menghilang. Muntah sesudah batuk
paroksismal cukup khas, sehingga seringkali menjadi kecurigaan apakah anak
menderita pertusis walaupun tidak disertai bunyi whoop.
3. Stadium konvalesens (1-2 minggu)
Stadium penyembuhan ditandai dengan berhentinya whoop dan muntah dengan
puncak serangan paroksismal yang berangsur-angsur menurun. Batuk biasanya masih
menetap untuk beberapa waktu dan akan menghilang sekitar 2-3 minggu. Pada
beberapa pasien akan timbul serangan batuk paroksismal kembali.

D. ANATOMI / FISIOLOGI
Sistem Pernafasan

Dengan bernafas setiap sel dalam tubuh menerima persediaan oksigennya dan
pada saat yang sama melepaskan produk oksidasinya. Oksigen yang bersenyawa
dengan karbon dan hydrogen dari jaringan memungkinkan setiap sel melangsungkan
sendiri proses metabolismenya, yang berarti pekerjaan selesai dan hasil buangan
dalam bentuk karbondioksida dan air dihilangkan.
Pernafasan merupakan proses ganda, yaitu terjadinya pertukaran gas didalam
jaringan atau "pernapasan dalam dan didalam paru-paru atau "pernapasan luar".
Udara ditarik kedalam paru-paru pada waktu menarik napas dan didorong
keluar paru-paru pada waktu mengeluarkan napas (Pierce, 2009).

1. Anatomi

Struktur tubuh yang berperan dalam pernapasan:


a. Saluran pernafasan bagian atas, antara lain:
 Hidung (Nasal)
 Faring (Tekak)
 Laring (Pangkal Tenggorokan)
b. Saluran pernafasan bagian bawah, antara lain :
 Trakea (Batang Tnggorokan)
 Bronkus (Cabang Tenggorokan)
 Paru-paru
c. Struktur pernafasan

1) Hidung (Nasal)

Hidung merupakan saluran udara yang pertama, mempunyai dua lubang


(kavum nasi) dipisahkan oleh sekat hidung (septum nasi). Didalamnya terdapat bulu-
bulu yang berguna menyaring udara, debu, dan kotoran yang masuk kedalam lubang
hidung.
Bagian-bagian hidung terdiri atas:
a) Bagian luar dinding terdiri dari kulit
b) Lapisan tengah terdiri dari otot-otot dan tulang rawan
e) Lapisan dalam terdiri dari selaput lendir yang berlipat-lipat dinamakan karang
hidung (konka nasalis) yang berjumlah 3 buah konka nasalis inferior (karang hidung
bagian bawah), konka nasalis media (karang hidung bagian tengah), konka nasalis
superior (karang hidung bagian bawah). Konka-konka ini terdiri dari tiga buah
lekukan yaitu superior, meatus medialis dan meatus inferior. Meatus-meatus yang
dilewati oleh udara pernafasan, sebelah dalam terdapat lubang yang berhubungnan
dengan tekak yang disebut koana. Dasar dari rongga hidung dibentuk oleh tulang
rahang atas, ke atas rongga hidung berhubungan dengan beberapa rongga yang
disebut sinus-sinus paranasalis yaitu sinus maksilons (pada rongga rahang atas), sinus
frontalis (pada rongga tulang dahi), sinus svenaidalis (pada rongga tulang baji), dan
sinus etmoidalis (pada rongga tepi).
Sinus etmoidalis keluar ujung saraf saraf penciuman yang menuju ke konka
nasalis. Pada konka nasalis terdapat sel-sel penciuman, sel-sel tersebut terutama
terdapat dibagian atas. Pada hidung dibagian mukosa terdapat serabut-serabut saraf
atau reseptor-reseptor dari saraf penciuman disebut nervus olfaktorius. Disebelah
belakang konka bagian kiri kanan dan sebelah atas dari langit-langit terdapat satu
lubang pembuluh yang menghubungkan rongga tekak dengan rongga pendengaran
tengah, saluran ini disebut tuba auditiria eustaci, yang menghubungkan telinga tengah
dengan faring dan laring. Hidung juga berhubungan dengan air mata disebut dengan
tuba lakrimalis (Hidayat, 2007).

Fungsi hidung terdiri dari:

a) Bekerja sebagai saluran udara pernafasan


b) Sebagai penyaring udara pernafasan yang dilakukan oleh bulu-bulu hidung
c) Dapat menghangatkan udara pernafasan oleh mukosa
d) Pembunuh kuman-kuman yang masuk bersama-sama udara pernafasan oleh
leukosit yang terdapat dalam selaput lendir (mukosa) atau hidung.

2) Faring (Tekak)

Menrut syaifuddin (2006). Faring merupakan tempat persimpangan antara


jalan pernafasan dan jalan makanan, Terdapat dibawah dasar tengkorak, dibelakang
rongga hidung dan mulut sebelah depan ruas tulang leher Hubungan faring dengan
organ-organ lain ke atas berhubungan dengan rongga hidung, dengan perantaraan
dengan lobang yang bernama koana, ke depan dengan rongga mulut, tempat
hubungan ini bernama istimus fausium, ke bawah terdapat dua lubang, kedepan
lubnag laring, ke belakang labang esophagus. Di bawah selaput lendir terdapat
jaringan ikat, juga dibeberapa tempat terdapat folikel getah bening. Perkumpulan
getah bening ini dinamakan adenoid. Disebelahnya terdapat 2 buah tonsil kiri dan
kanan daritekak. Disebelah belakang terdapat epiglottis (empang tenggorok) yang
berfungsi menutup laring pada waktu menelan makanan. Rongga tekak dibagi
kedalam 3 bagian, antara lain:
a) Bagian sebelah atas yang sama tingginya dengan koana disebut nasofaring
b) Bagian tengah yang sama tingginya dengan istrus fausium disebut orofaring
c) Bagian bawah sekali dinamakan laringo faring

3) Laring

Laring (Tenggorokan) terletak di depan bagian terendah faring yang


memisahkannya dari kolumna vertebra, berjalan dari faring sampa ketinggian vertebra
servikalis.
Laring terdiri dari kepingan tulang rawan yang diikat bersama oleh ligamen
dan membran. Yang terbesar diantaranya ialah tulang rawan tiroid, dan disebelah
depannya terdapat benjolan subkutaneus yang dikenal sebagai jakun, yaitu disebelah
depan leher. Laring terdiri atas dua lempeng atau lamina yang bersambung di garis
tengah. Di tepi atas terdapat lekukan berupa V. Tulang rawan krikoid terletak dibawah
tiroid, bentuknya seperti cincin mohor dengan mohornya disebelah belakang (ini
adalah tulang rawan satu- satunya yang berbentuk lingkaran lengkap). Tulang rawan
lainnya adalah kedua tulang rawan aritenoid yang menjulang disebelah krikoid, kanan
dan kiri tulang rawan kuneiform, dan tulang rawan kornikulata yang sangat kecil.
Terkait di puncak tulang rawan tiroid terdapat epiglottis, yang berupa katup
tulang rawan dan membantu menutup laring sewaktu menelan Laring dilapisi sejenis
selaput lendir yang sama dengan yang di trakea, kecuali pita suara an bagian epiglottis
yang dilapisi sel epithelium berlapis
Pita suara terletak disebelah dalam laring, berjalan dari tulang rawan tiroid
disebelah depan sampai di kedua tulang rawan aritenoid. Dengan gerakan dari tulang
rawan aritenoid yang ditimbulkan oleh otot laryngeal, pita suara ditegangkan atau
dikendurkan. Dengan demikian lebar sela-sela antara pita- pita atau rima glotidis
berubah-ubah sewaktu bernafas dan berbicara.
Suara dihasilkan karena getaran pita yang disebabkan udara yang melalui
glottis. Berbagai otot yang terkait pada laring mengendalikan suara, dan juga menutup
lubang atas laring sewaktu menelan (Pearce, 2009).

4) Trakea (Batang Tenggorokan)

Trakea atau batang tenggorok kira-kira sembilan sentimeter panjangnya.


Trakea berjan dari laring sampai kira-kira ketinggian vertebratorakalis kelima dan
ditempat ini bercabang menjadi dun bronkus (bronki). Trakea tersusun atas enam
belas sampai dua puluh lingkaran tak lengkap berupa cincin tulang rawan yang diikat
bersama oleh jaringan fibrosa dan yang melengkapi lingkaran disebelah belakang
trakea, selain itu juga memuat berupa jaringan otot. Trakea dilapisi selaput lendir
yang terdiri atas epithelium bersilia dan sel cangkir. Silia ini bergerak menuju keatas
kearah laring, maka dengan gerakan ini debu dan butir-butir halus lainnya yang turut
masuk bersama dengan pernafasan dapat dikeluarkan. Tulang rawan berfungsi
mempertahankan agar trakea tetap terbuka, karena itu,disebelah belakangnya tidak
tersambung, yaitu ditempat trakea menempel pada esophagus, yang memisahkannya
dari tulang belakang
Trakea servikalis yang berjalan melalui leher disilang oleh istmus kelenjar
tiroid, yaitu belahan kelenjar yang melingkari sisa-sisa trakea Trakea torasika berjalan
melintasi mediastnum, dibelakang stenum menyentuh arteri inominata dan arkus
aorta.
Usofagus terletak dibelakang trakea (Pearce, 2009).

5) Bronkus (Cabang Tenggorokan)

Bronkus merupakan lanjutan dari trakea, ada dua buah yang terdapat pada
ketiggian vertebratorakalis ke IV dan V mempunyai struktur serupa dengan trakea dan
dilapisi oleh ama. Bronkus jenis sel yang sama, Bronkus-bronkus itu berjalan
kebawah dan kesamping kearah tampak paru-paru.
Bronkus kanan lebih pendek dan lebih besar daripada bronkus kiri, terdiri dari
enam-delapan cincin, mempunyai tiga cabang. Bronkus kiri lbih panjang dan lebih
ramping dari yang kanan, terdiri dari 9-12 cincin dan mempunyai 2 cabang. Bronkus
bercabang-cabang, cabang yang paling kecil disebut bronkiolus (bronkioli). Pada
bronkioli terdapat gelembung paru/gelembung hawa atau alveoli (Syaifuddin, 2006).

6) Paru-paru

Paru-paru merupakan ala pernafasan utama, paru-paru mengisi rongga dada.


Paru-paru ada dua bagian terletak disebelah kanan dan kiri yang dipisahkan oleh
jantung beserta pemulluh darah besarnya dan struktur lainnya yang terletak didalam
mediastrum. Paru-paru adalah organ berbentuk kerucut dengan apeks (puncak) diatas
dan muncul sdikit lebih tinggi daripada klavikula didalam dasar leher, Pangkal paru-
paru duduk diatas landai rongga toraks, diatas diafragma. Paru-paru mempunyai
permukaan luar yang menyentuh iga-iga, permukaan dalam yahng memuat tampuk
paru-paru, sisi belakang yang menyentuh tulang belakang, dan sisi depan yang
menutupi sebagian sisi depan jantung (Pearce, 2009).

7) Pembuluh Darah Dalam Paru-paru

Arteri pulmonalis membawa darah yang sudah tidak mengandung oksigen dari
ventrikel kanan jantung ke paru- paru, cabang-cabangnya menyentuh saluran-saluran
bronchial, bercabang dan bercabang lagi sampai menjadi arteriol halus, arteriol itu
membelah-belah dan membentuk jaringan kapiler dan kapiler itu menyentuh dinding
alveoli atau gelembung udara.
Kapiler halus itu hanya memuat sedikit, maka praktis dapat dikatakan sel-sel
darah merah membuat baris tunggal.. Alirannya bergerak lambat dan dipisahkan dari
dua dalam alveoli hanya oleh dua membrane yang sangat tipis, maka pertukaran gas
berlangsung dengan difusi, yang merupakan fungsi pernafasan.
Kapiler bersatu dan bersatu lagi sampai mnjadi pmbuluh dara lebih besar dan
akhirnya dua vena pulmonaris meninggalkan setiap paru-paru membawa darah berisi
oksigen ke atrium kiri jantung untuk didistribusikan ke seluruh tubuh melalui aorta.
Pembuluh darah yang dilukiskan sebagai arteri bronkialis membawa darah
berisi oksigen langsung dari aorta toraksika ke paru-paru guna member makan dan
menghantarkan oksigen kedalam jaringan paru-paru sendiri, Cabang akhir arteri-arteri
ini membentuk pleksus kapiler yang tampak jelas dan terpisah dari yang terbentuk
oleh cabang akhir arteri pulmonaris, tetapi dari beberapa kapiler ini akhirnya bersatu
kedalam vena pulmonaris dan darahnnya kemudian dibawa masuk kedalam vena
pulmonaris Sisa darah itu diantarkan dari setiap paru-paru oleh vena bronkialis dan
ada yang dapat mencapai vena kava superior. Maka dengan demikian paru-paru
mempunyai persediaan darah ganda Pearce, 209).

2. Fisiologi Pernafasan

Fungsi paru-paru ialah pertukaran gas oksigen dan karbondioksida. Pada


pernafasan melalui paru-paru atau pemalasan eksterna, oksigen di pungut melalui
hidung dan mulut pada waktu bernapas, oksigen masuk melalui trakea dan pipa
bronchial ke alveoli dan dapat berhubungan erat dengan darah didalam kapiler
pulmonaris.
Hanya satu lapis membrane yatu membrane alveoli kapiler, yang memisahkan
oksigen dan darah Oksigen menembus membrane ini dan di pungut oleh hemoglobin
sel darah merah dan dibawa ke jantung. Dari sini di pompa didalam arteri ke semua
bagian tubuh. Darah meniggalkan paru-paru pada tekanan oksigen 100 mmHg dan
pada tingkat ini hemoglobinnya 95% jenuh oksigen.
Didalam paru-paru, karbondioksida, salah satu hasil buangan metabolism,
menembus membrane alveolar-kapiler dan kapiler darah ke alveoli, dan setelah
melalui pipa bronchial dan trakea, di nafaskan keluar melalui hidung dan mulut.
Empat proses yang berhubungan dengan pernafasan pulmoner atau pernafasan
eksterna:
a. Ventilasi pulmoner, atau gerak pernafasan yang menukar udara dalam alveoli darah
melaui paru-paru
b. Arus darah melalui paru-paru
c. Distribusi arus udara dan arus darah sedemikian sehingga dalam jumlah tepat dapat
mencapai semua bagian tubuh
d. Difusi gas menembus membrane pemisah alveoli dan kapiler, CO2 lebih mudah
berdifusi daripada oksigen.
Semua proses ini diatur sedemikian sehingga darah yang meninggalkan paru-
paaru menerima jumlah tepat karbondioksida dan oksigen. Pada waktu gerak badan,
lebih banyak darah dating ke paru- paru membawa terlalu bannyak karbondioksida
dan terlampau sedikit oksigen, jumlah karbondioksida tidak dapat dikeluarkan, maka
Konsentrasinya dalam darah arteri bertambah. Hal ini merangsang pusat pernafasan
dalam otak untuk memperbesar kecepatan dan dalamnya pernafasan. Penambahan
ventilasi ini mengeluarkan karbondioksida dan memungut lebih banyak oksigen
(Pearce, 2009).

E. GAMBAR ORGAN
F. PATOFISIOLOGI
Pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan kemudian melekat
pada silis epitel saluran pernapasan. Mekanisme pathogenesis infeksi oleh Bordotella
pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap
mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan local dan akhirnya timbul penyakit
sistemik. Pertusis Toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan pada perlekatan Bordotella
pertusis pada silia. Setelah terjadi perlekatan, Bordotella pertusis kemudian
bermultiplikasi dan menyebar ke seluruh permukaan epitel saluran nafas. Proses ini
tidak invasive oleh karena pada pertusis tidak terjadi bakteremia. Selama
pertumbuhan Bordotella pertusis maka akan menghasilkan toksin yang akan
menyebabkan penyakit yang kita kenal dengan whooping cough.
Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan karena
pertusis toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub unit
B selanjutnya berikatan dengan reseptor sel target kemudian menghasilkan sub unit A
yang aktif pada daerah aktivasi enzim membrane sel. Efek LPF menghambat migrasi
limfosit dan makrofag ke daerah infeksi.
Toxin mediated adenosine disphosphate (ADP) mempunyai efek mengatur
sintesis protein dalam membrane sitoplasma berakibat terjadi perubahan fungsi
fisiologis dari sel target termasuk lifosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan
pengeluaran histamine dan serotonin, efek memblokir beta adrenergic dan
meningkatkan aktivitas insulin sehingga akan menurunkan konsentrasi gula darah.
Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan limfoid
peribronkial dan meningkatkan jumlah mukosa pada permukaan silia, maka fungsi
silia sebagai pembersih terganggu sehingga mudah terjadi infeksi sekunder (tersering
oleh Streptococcus pneumonia, H. influenza, staphylococcus aureus).
Penumpukan mucus akan menimbulkan plug yang dapat menyebabkan
obstruksi dan kolaps paru. Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan
pertukaran oksigenasi pada saat ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk.
Terdapat perbedaan pendapat mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat
pengaruh langsung toksin ataukah sekunder sebagai akibat anoksia.
Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak apabila sel
mengalami regenerasi. Hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotic
terhadap proses penyakit. Namun terkadang Bordotella pertusis hanya menyebabkan
infeksi yang ringan, karena tidak menghasilkan toksin pertusis.
Cara penularan pertusis melalui:
a. Droplet infection
b. Kontak tidak langsung dari alat-alat yang terkontaminasi
c. Penyakit ini dapat ditularkan penderita kepada orang lain melalui percikan-percikan
ludah penderita pada saat batuk dan bersin
d. Dapat pula melalui sapu tangan, handuk, dan alatalat makan yang dicemari kuman-
kuman penyakit tersebut. Tanpa dilakukan perawatan, orang yang menderita
pertusi dapat menularkannya kepada orang lain selama sampai 3 minggu setelah
batuk dimulai.
G. PATHWAY
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap. Pemeriksaan darah lengkap terdiri dari beberapa
jenis parameter pemeriksaan, yaitu:
1) Hemoglobin
2) Hematokrit
3) Leukosit (Sel Darah Putih/WBC)
4) Trombosit
5) Eritrosit (Sel Darah Merah/RBC)
6) Indeks Eritrosit (MVC, MCH, MCHC)
7) Laju Endap Darah (ESR)
8) Hitung Jenis Leukosit (Hitungan Selisih)
9) Distribusi Platelet Lebar (PDW)
10) Lebar Distribusi Sel Merah (RDW)
b. Reaksi Rantai Polimerase (PCR)
PCR adalah tes cepat dan memiliki sensitivitas yang sangat baik. Tes
PCR bervariasi dalam spesifisitasnya, sehingga mendapatkan konfirmasi
kultur pertusis untuk setidaknya satu kasus yang mencurigakan
direkomendasikan setiap kali ada dugaan wabah pertusis. Hasil harus
ditafsirkan bersama dengan gejala klinis dan informasi epidemiologis. PCR
harus diuji dari spesimen nasofaring (NP) yang diambil pada 0-3 minggu
setelah onset batuk, tetapi dapat memberikan hasil yang akurat hingga 4
minggu. Setelah batuk minggu keempat, jumlah DNA bakteri berkurang
dengan cepat, yang meningkatkan risiko mendapatkan hasil negatif palsu.
Protokol uji PCR yang mencakup beberapa sekuens target memungkinkan
spesiasi di antara spesies Bordetella.
2. Budaya
Kultur memiliki spesifisitas yang sangat baik, sehingga sangat berguna untuk
memastikan diagnosis pertusis saat diduga terjadi wabah. Banyak patogen
pernapasan lainnya memiliki gejala klinis yang mirip dengan pertusis dan koinfeksi
dapat terjadi. Selain itu, memperoleh isolat dari biakan memungkinkan identifikasi
strain dan pengujian resistensi antimikroba. Mengidentifikasi strain B. pertussis
mana yang menyebabkan penyakit merupakan hal yang penting bagi kesehatan
masyarakat. Kultur paling baik dilakukan dari spesimen NP yang dikumpulkan
selama 2 minggu pertama batuk saat bakteri hidup masih ada di nasofaring. Setelah
2 minggu pertama, sensitivitas menurun dan risiko negatif palsu meningkat.
I. PENATALAKSANAAN
Nonfarmakologi
1. Terapi nutrisi
2. Bedrest
3. Isolasi penderita untuk mencegah penularan mencegah kontak dengan individu
yang terinfeksi, diutamakan bagi bayi dan anak usia muda, sampai pasien
setidaknya mendapatkan antibiotik sekurang-kurangnya 5 hari dari 14 hari
pemberian secara lengkap. Atau 3 minggu setelah batuk paroksismal reda bilamana
pasien tidak mendapatkan antibiotik.
4. Rawat inap
Farmakologi
1. Pemberian antibiotik (gol makrolid: eritromisin).
Dosis anak: 40mg/kgBB/hari (peroral, 4 dosis) selama 14 hari.
2. Kortikosteroid untuk mengurangi whooping cough (prednisolon).
Dosis anak: 1- 2mg/kgBB/hari.
3. Imunisasai sebagai upaya pencegahan dengan vaksin pertusis. Tujuan imunisasi
yaitu memproteksi individu dari sakit dari batuk berat dan pengendalian penyakit
endemik dan epidemik.
Pertusis secara sendirinya dapat hilang secara spontan dan nasofaring dalam
waktu 2 sampai 4 minggu pasca infeksi. Ketika mulai di awal perjalanan penyakit,
selama tahap katarhal, antibiotik dapat mempersingkat gejala dan mengurangi
keparahan pertusis. Setelah tahap paroksismal antibiotic tidak efektif dalam mengubah
perjalanan penyakit. Dengan ini tahap, manifestasi klinis penyakit yang disebabkan
oleh tokum Bordetella pertusis, dan dengan demikian tidak terpengaruh oleh terapi
antimikroba. Meskipun perjalanan klinis pertusis tidak mudah dipengaruhi oleh
pengobatan, penggunaan antibiotik namun dapat mengurangi masa penularan (Snyder
dan Fisher, 2012).

Antibiotik yang direkomendasikan untuk tatalaksana pertusis untuk anak


berusia lebih dari 1 tahun adalah makrolid, seperti eritromisin claritromisin, dan
azitromisin. Sedangkan untuk anak berusia kurang dari 1 tahun lebih
direkomendasikan menggunakan azitromisin atau claritromisin intravena (Bayhan et
al., 2012).
Studi terbaru menurut Snyder dan Fisher (2012) menunjukkan azitromisin
adalah obat yang memiliki efek samping gastrointestinal yang lebih sedikit, karena
tidak menghambat sistem sitokrom, Selain itu, eritromisin telah dikaitkan dengan
peningkatan risiko stenosis pilonus bila diberikan untuk bayi di pertama 2 minggu
setelah kelahiran, Sementara menurut Bayhan et al. (2012), claritromisin sangat
efektif dan aman untuk terapi pada pasien dengan apoca, hipoksia dan kesulitan
makan. Altuniaji (2012) menunjukkan bahwa pemberian antibiotik untuk pengobatan
pertusis efektif dalam mengeliminasi pertusis agar tidak menular tetapi tidak
mengubah perjalanan klinis dari penyakit. Regimen antibiotik yang efektif antara lain:

 Azitromicin (10 mg/kgBB) single dose selama 3 hari


 Azitromicin (10mg/kgBB pada hari pertama terapi dan 5 mg/kgBB sekali
sehari pada hari kedua hingga hari ke-15 terapi).
 Clarithromycin (7,5 mg/kgBB/dosis 2x/ hari) selama 7 hari
 Entromicin (60 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis) selama 7-14 hari
 Eritromicin (60 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis) selama 14 hari
 Oxytetracyclin (50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis) selama 7 hari
 Kloramfenikol (50 mg/kgBB /hari dibagi dalam 4 dosis) selama 7 hari

BAB II
TINJAUAN TEORI
A. PENGKAJIAN
Dalam pengkajian keperawatan terdapat:
1. Data Subjektif
Pada data subjektif terdapat dua identitas, yaitu:
a. Identitas Pasien:
1) Nama
2) Tanggal lahir
3) Umur
4) Jenis kelamin
5) BB
6) PB/ TB
7) Alamat
8) Agama
9) Pendidikan
10) Suku bangsa
11) Tanggal masuk rumah sakit
12) Nomor rekam medis
13) Diagnosa medik
b. Identitas penanggung jawab:
1) Nama
2) Umur
3) Jenis kelamin
4) Alamat
5) Agama
6) Pendidikan
7) Pekerjaan
8) Hubungan dengan klien
2. Data Objektif
a. Pemeriksaan Umum
Pertama kali perhatikan keadaan umum vital:
1) Tingkat kesadaran
2) Tekanan darah
3) Denyut nadi
4) Pernapasan/ respirasi suhu tubuh
b. Pemeriksaan Fisik
1) Pemeriksaan keadaan umum
2) Pemeriksaan TTV
3) Pemeriksaan antropometri
4) Pemeriksaan pernafasan
5) Pemeriksaan kardiovaskuler
6) Pemeriksaan persyarafan
7) Pemeriksaan perkemihan
8) Pemeriksaan pencernaan
9) Pemeriksaan thorak
10) Pemeriksaan musculoskeletal
11) Pemeriksaan genetalia
12) Pemeriksaan ekstremitas
3. Keluhan Utama
Adanya batuk berdahak selama lebih dari 2 minggu.
4. Riwayat Kesehatan
Adanya batuk panjang disertai whoop.
5. Lama serangan
Batuk panjang disertai whoop terjadi secara terus menerus.
6. Pola serangan
a. Pola serangan bersifat umum.
b. Serangan berupa batuk disertai whoop secara terus menerus.
c. Serangan berupa batuk berdahak yang berlangsung selama lebih dari 2
minggu.
7. Frekuensi serangan
Penderita mengalami mual, muntah, tidak nafsu makan dan kadang merasa sesak
nafas.yang berlangsung selama 1 hingga 2 minggu.
8. Riwayat penyakit sekarang yang menyertai
Klien terdiagnosa pertusis atau batuk rejan.
9. Riwayat penyakit dahulu
Ibu klien mengatakan bahwa klien tidak pernah merasakan sakit sebelumnya.
10. Riwayat imunisasi
Jenis imunisasi yang sudah didapatkan yaitu imunisasi DPT tidak lengkap, hanya
diberikan 1 kali selama usia 1 tahun.
11. Riwayat perkembangan
Perkembangan meliputi:
a. Personal sosial (kepribadian/tingkah laku sosial) berhubungan dengan
kemampuan mandiri, bersosialisasi, dan berinteraksi dengan lingkungannya.
b. Gerakan motorik halus berhubungan dengan kemampuan anak untuk
mengamati sesuatu, melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh
tertentu saja dan dilakukan otot-otot kecil dan memerlukan koordinasi yang
cermat, misalnya menggambar, memegang suatu benda, dan lain-lain.
c. Gerakan motorik kasar berhubungan dengan pergerakan dan sikap tubuh.
d. Bahasa: kemampuan memberikan respon terhadap suara, mengikuti perintah
dan berbicara spontan
12. Riwayat kesehatan keluarga.
Anggota keluarga tidak ada yang menderita batuk rejan sebelumnya.
13. Pola kebiasaan dan fungsi Kesehatan.
Pola kebiasaan dan fungsi ini meliputi :
a. Pola persepsi dan tatalaksanaan hidup sehat
b. Gaya hidup yang berkaitan dengan kesehatan, pengetahuan tentang kesehatan,
pencegahan dan kepatuhan pada setiap perawatan dan tindakan medis.
14. Pola nutrisi
a. Kualitas dan kuantitas dari makanan yang dikonsumsi oleh anak berkurang.
b. Makanan yang disukai bubur dan yang tidak disukai adalah bubur cereal
mengandung sayuran. Selera makan anak menurun.
15. Pola eliminasi
a. Buang air kecil (BAK) 4x sehari berwarna kuning kecoklatan, berbau khas,
tidak terdapat darah dan tidak disertai nyeri.
b. Buang air besar (BAB) 4x sehari berwarna kuning kecoklatan, berbau khas,
tidak terdapat darah, tidak berlendir, konsistensi cair, saat BAB tidak ada
nyeri.
16. Pola aktivitas dan Latihan
a. Anak senang bermain 2-3 jam dengan teman sebayanya.
b. Berkumpul dengan keluarga sehari.
c. Aktivitas yang disukai adalah bermain.
17. Pola tidur/istrahat
a. 11 jam sehari tidur.
b. Bangun tidur jam 04.00 pada pagi hari dan 16.00 pada siang hari.
c. Kebiasaan sebelum tidur, saat tidur siang.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b/d banyaknya mucus (SDKI, D.0001)
2. Pola napas tidak efektif b/d dispnea (SDKI, D.0005)
3. Resiko tinggi infeksi terhadap (penyebaran). Faktor resiko ketidak adekutan
pertahanan utama (SDKI, D.0142)

C. PERENCANAAN KEPERAWATAN

Diagnosa SLKI Intervensi (SIKI)


Keperawatan
Bersihan Setelah dilakukan Manajemen Jalan Napas (1.01011)
jalan nafas tindakan keperawatan
tidak efektif 2x24 jam, diharapkan Observasi:
b/d pola napas membaik, - Monitor pala napas (frekuensi,kedalama,usaha,
banyaknya dengan kriteria hasil: napas)
mucus - Monitor bunyi napas tambahan (mis Gurgling.
Pola Napas (L.01004) mengi, weezing, ronkhikering)
- Dispnea menurun
Orthopnea menurun Terapeutik:
- Frekuensi napas - Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-
membaik tilt dan chin- lift (jaw-thrust jika curiga trauma
- Kedalaman napas serviks)
membaik - Posisikan semi fowler atau fowler
- Berikan minum hangat
- Berikan oksigen, jika perlu
- Edukasi Anjurkan konsumsi cairan 2000 ml/hari,
jika tidak kontra indikasi
- Ajarkan teknik batuk efektif

Kolaborasi:
- Kolaborasi pemberian broncodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu

TINJAUAN KASUS

An. C usia 2 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan batuk yang disertai
whoop yang berulang ulang selama 1 hingga 2 minggu. Klien batuk sejak 10 hari
sebelum masuk rumah sakit. Klien batuk secara terus menerus tanpa henti. Saat
pengkajian, klien mengalami mengalami mual, muntah, tidak nafsu makan dan
kadang merasa sesak nafas.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK

Tanggal pengkajian : 05 Februari 2023


Nama Pengkaji : Kelompok 3
Ruang : Lavender
Waktu pengkajian : 08.30 WIB
A. Identitas
1. Identitas Klien
Nama : An. C
Tanggal lahir : 12 Januari 2012
Umur : 11 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
BB : 38 Kg
PB/TB : 144 cm
Alamat : Ngluwar, Magelang
Agama : Islam
Pendidikan :-
Suku bangsa : Indonesia
Tanggal masuk : 05 Februari 2023
No. RM : S12356
Diagnosa Medik : Pertusis atau Batuk Rejan
2. Identitas penanggung jawab
Nama : Ny. D
Umur : 42 Th
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Ngluwar, Magelang
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Hubungan dengan klien : Ibu
B. Riwayat keperawatan
1. Keluhan utama : Batuk berdahak selama 2 minggu.
2. Riwayat penyakit sekarang : Klien terdiagnosa pertussis atau batuk rejan.
3. Riwayat penyakit dahulu : Ibu klien mengatakan bahwa klien tidak pernah
mengatakan sakit sebelumnya.
4. Riwayat penyakit keluarga : Ibu klien mengatakan, dalam keluarganya tidak
ada yang pernah menderita pertusis atau batuk rejan.
5. Riwayat imunisasi :
No Reaksi setelah
Jenis Imunisasi Waktu pemberaian
pemberian
1. BCG 1X Panas
2. DPT 2X Panas
3. Polio 4X -
4 Campak 1X -
5. Hepatitis 1X -
6. Riwayat tumbuh kembang :
Pertumbuhan Fisik
a. Berat Badan: BB lahir: 2,9 Kg masuk RS: 38 Kg.
b. Tinggi Badan: PB: 51 cm, PB masuk RS: 144 Cm
Pengukuran BB berdasar TB klien normal/ gizi baik = -2SD s/d +2SD
7. Riwayat Sosial
Klien tinggal bersama kedua orang tuanya dan juga kakek neneknya. Sehari-hari
klien diasuh oleh Ibu kandungnya. Klien adalah anak laki-laki pertama. Klien
memiliki peran sebagai anak laki-laki. Klien bermain bersama dengan temannya
dengan baik dan didampingi oleh Ibunya.
8. Kebutuhan Kalori
Kebutuhan Kalori pada anak 11 tahun termasuk dalam = 2200 Kkal/ KgBB/ hari
Kebutuhan Kalori = 2200 x 38 Kg = 83.600 Kkal/ hari
C. Pola pengkajian fungsional menurut Gordon
1. Pola Persepsi Kesehatan/Penanganan Kesehatan
Orangtua klien mengatakan, apabila klien sakit maka langsung dibawa ke
puskesmas terdekat dan berdoa semoga diberi kesembuhan oleh Allah.
2. Pola Nutrisi/Metabolik
Saat dirumah : Klien makan 3x sehari bubur ayam. Anak suka makan
bubur yang lebih encer. Anak tidak suka apabila dibuatkan bubur mengandung
sayuran.
Saat dirumah sakit : Klien mendapat bubur 2x sehari. Klien makan tidak
habis. Klien lebih sering minum susu.
3. Pola Eliminasi
Saat dirumah : Klien BAK 4x/ hari dengan warna kuning kecoklatan,
bau khas, tidak terdapat darah dan tidak disertai nyeri saat BAK. Klien BAB 1x/
hari berwarna kunign kecoklatan, bau khas, tidak terdapat darah, tidak berlendir,
konsistensi padat lunak, saat BAB dan tidak ada nyeri.
Saat Di RS : Klien BAK 3x/ hari dengan warna kuning kecoklatan,
bau khas, tidak terdapat darah dan tidak disertai nyeri saat BAK. Klien BAB 1x/
hari berwarna kunign kecoklatan, bau khas, tidak terdapat darah, tidak berlendir,
konsistensi padat lunak, saat BAB dan tidak ada nyeri.
4. Pola Aktivitas/Latihan
Saat dirumah : Klien senang bermain dengan teman sebaya. Anak
berkumpul dengan keluarga sehari 2-3 jam penuh. Klien suka bermain bola.
Saat di RS : Klien hanya bermain dengan ibunya, klien tidak dapat
berkumpul dengan keluarganya. Klien sering menangis karena takut tubuhnya
terancam. Klien membawa bola mainannya.
5. Pola Tidur/Istirahat
Saat dirumah : Klien tidur malam 9 jam dan tidur siang 2 jam sehari.
Klien bangun pagi jam 04.00 WIB dan disore hari pada jam 16.00 WIB. Klien
mempunyai kebiasaan sebelum tidur yaitu minum susu.
Saat di RS : Klien tidur malam 7 jam sering terbangun dan tidur
siang 1 jam sehari. Klien bangun pagi jam 04.00 WIB dan disore hari pada jam
15.00 WIB. Klien mempunyai kebiasaan sebelum tidur yaitu harus minum susu.
6. Pola Persepsi Kognitif
Saat dirumah : ibu anak kurang mengetahui tentang penyebab
penyakit yang dideritanya.
Saat dirumah sakit : ibu menanyakan penyebab penyakit anaknya kepada
perawat.
7. Pola Konsep Diri
Saat dirumah : citra tubuh, ibu klien mengatakan anggota tubuh
anaknya adalah yang terbaik untuk anaknya dan dirinya sendiri. Identitas diri, ibu
klien mengatakan bahwa klien merupakan anak pertama.
Saat dirumah sakit : citra tubuh, ibu klien mengatakan anggota tubuh
anaknya adalah yang terbaik untuk anaknya dan dirinya sendiri. Identitas diri, ibu
klien mengatakan bahwa klien merupakan anak pertama.
8. Pola Peran/Hubungan
Klien tinggal bersama kedua orang tuanya dan juga kakek neneknya. Sehari-hari
klien diasuh oleh Ibu kandungnya. Klien adalah anak laki-laki pertama. Klien
memiliki peran sebagai anak laki-laki. Klien bermain bersama dengan temannya.
9. Pola Seksualitas/Reproduksi
Saat dirumah : klien merupakan anak laki-laki pertama.
Saat dirumah sakit : klien merupakan anak laki-laki pertama.
10. Pola Koping/Toleransi Stress
Saat dirumah : Keluarga dalam menghadapi sakit anaknya selalu
memeriksakan ke puskesmas dan berdo’a kepada Allah supaya masalah ini cepat
selesai.
Saat dirumah sakit : Apabila klien demam ibu klien memanggil perawat
yang berjaga dan berdo’a kepada Allah supaya masalah ini cepat selesai.
11. Pola Nilai/Kepercayaan
Keluarga mempunyai keyakinan bahwa setiap penyakit pasti ada obatnya dan
Allah
akan memberikan kesembuhan.
D. Pemeriksaan fisik
1. TTV:
TD : 95/80 mmHg S : 37,5°C
N : 95x/ menit RR : 35x/ menit
2. Antropometrik :
BB : 38 Kg LK : 50 cm LD : 54
cm
PB : 144 cm LA : 21 cm
3. Pernapasan :
Bentuk dada normal, pola nafas tidak teratur dengan pola cepat dan dalam, suara
nafas ronchi dengan adanya hambatan atau benda padat yang menghambat saluran
nafas yang mengakibatkan suara grok - grok. Terjadi sesak nafas karena adanya
secret, batuk dimulai pada malam hari, siang hari semakin hebat ditandai oleh whoop
(batuk yang bunyinya nyaring) dan diakhiri muntah. Klien memakai otot bantu
pernafasan sehingga pernafasannya berat. Klien juga memakai nasal kanul.

4. Kardiovaskuler :
Irama jantung regular, tidak ada nyeri dada, bunyi jantung normal, dan akral kering
hangat merah.
5. Persyarafan :
 Penglihatan (mata): kelopak mata normal, bentuk bola mata lonjong, tidak ada
peradangan, selera tidak ikhterik, konjungtiva berwarna merah muda
 Pendengaran (telinga): Simetris, dapat mendengar dengan baik, tidak ada
serumen, tidak terdapat benjolan, tidak menggunakan alat bantu
 Penciuman (hidung): Simetris, ada secret, menggunakan alat bantu nasal kanul
 Perabaan (kulit): Dapat merasakan sentuhan
 Pengecapan (lidah): Dapat mengecap dengan baik
6. Perkemihan :
Bentuk alat kelamin normal, uretra normal, Tidak terdapat edema palpebrae moon
face, edema anasarka, dan nocturia. Tidak menggunakan alat bantu kateter.
7. Pencernaan :
Nafsu makan menurun, porsi makan tidak habis, mulut bersih, dan mukosa lembab.
8. Muskuloskeletal :
Sendi dapat bergerak dengan bebas, warna rambut hitam, tidak mudah dicabut, warna
kulit sawo matang, temperatur hangat.
9. Tes diagnostik :
 pemeriksaan laboratorium
 pemeriksaan darah
 pemeriksaan radiologi
E. Pemeriksaan Penunjang
ANALISA DATA

Nama Klien : An. C

Ruang : Lavender
TGL/JAM DATA PROBLEM ETIOLOGI
05 Frekuensi nafas tidak normal, Pola nafas tidak Peningkatan
bunyi nafas tidak normal efektif produksi sputum
Februari
DS: klien mengatakan sesak
2023. nafas
DO: klien tampak sesak nafas

PRIORITAS DIAGNOSA KEPERAWATAN

Hari, tanggal : Rabu, 05 Februari 2023

1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b/d banyaknya mucus (SDKI, D.0001)

RENCANA KEPERAWATAN

Nama Klien : An. C

Ruang : Lavender

INTERVENSI KEPERAWATAN

Diagnosa SLKI Intervensi (SIKI)


Keperawatan
Bersihan Setelah dilakukan Manajemen Jalan Napas (L.01011)
tindakan keperawatan Observasi:
jalan nafas
2x24 jam, diharapkan - Monitor pola napas
tidak efektif pola hapas membaik, (frekuensi,kedalama,usaha, napas)
dengan kriteria hasil: - Monitor bunyi nafas tambahan
b/d
Pola Napas (L.01004) (mis.Gurgling. mengi, weezing,
banyaknya - Dispnea ronkhikering)
menurun Terapeutik:
mucus
- Orthopnea
(SDKI, menurun - Pertahankan kepatenanjalan napas
- Frekuensi dengan head-tilt dan chin- lift (jaw-
D.0001) thrust jika curiga trauma serviks)
napas
membaik - Posisikan semi fowler atau fowler
- Kedalaman - Berikan minum hangat
napas - Berikan oksigen, jika perlu
membaik
Edukasi:
- Anjurkan konsumsi cairan 2000
ml/hari, jika tidak kontra indikasi
- Ajarkan teknik batuk efektif

Kolaborasi:
- Kolaborasi pemberian broncodilator,
ekspektoran, mukolitik, jika perlu

IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Tgl / Diagnosa Keperawatan Implementasi Respon
Jam
05 Bersihan jalan nafas  Monitor pola DS:
Februar napas  Pasien terlihat masih
tidak efektif b/d
i 2023  Monitor bunyi merasakan tidak enak
08.20 banyaknya mucus nafas badan dan lemas
 Identifikasi  Pasien terlihat masih
status nutrisi batuk
 Identifikasi  Keluarga pasien
alergi dan mengatakan makanan
intoleransi pasien tidak habis
makanan. DO:
 Identifikasi  Pasien terlihat masih
makanan yang batuk
disukai.  TTV:
 Monitor asupan S:37,5°C
makanan N: 95 x/menit
 Monitor berat TD :95/80 mmHg
badan RR 35x/menit
SPO2:90x/menit
 Bunyi nafas Mengi
 Status nutrisi:
Kurang baik
 Makanan yang disukai :
Nasi+lauk + sayur + buah
 TB: 144 cm
 BB: 38 kg
EVALUASI
Tgl / jam Diagnosa Keperawatan Catatan Pembangan

05 Bersihan jalan nafas tidak S: Keluarga pasien mengatakan makanan


Februari pasien tidak habis
efektif b/d banyaknya mucus
2023 O: Pasien terlihat masih batuk, lemas, suara
08.20 nafas terdengar mengi
- KU cukup, compos mentis
- TD: 95/80 mmHg
- N: 95 x/menit
- S: 37,5
- RR: 35X/menit
- SPO2: 90x/menit

A: Sebagian masalah belum teratasi


P: Lanjutkan interverensi

- Monitor KU dan TTV Pasien


- Monitor bunyi nafas
- Monitor pola nafas
- Monitor asupan makanan
- Monitor berat badan
- Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
DAFTAR PUSTAKA

Hasanuddin, A., Panyiwi, R., Yuswatiningsih, E., Rahmawati, A., Noerjoedianto, D.,
& Subandi, A. (2021). Kejadian Luar Biasa Pertusis di Desa Tandasura Kecamatan
Limboro Kabupaten Polewali Mandar Sulawesi Selatan. JOURNAL OF TRAINING
AND COMMUNITY SERVICE ADPERTISI (JTCSA), 1(1), 33-51.

Lubis, H. M. (2005). Batuk Kronik Dan Berulang (BKB) Pada Anak.

Nofriansyah, D., Gunawan, R., & Elfitriani, E. (2020). Sistem Pakar Untuk
Mendiagnosa Penyakit Pertussis (Batuk Rejan) Dengan Menggunakan Metode
Teorema Bayes. Jurnal Teknologi Sistem Informasi dan Sistem Komputer TGD, 3(1),
41-54.

Susilo, H. (2018). Sistem Pakar Metode Forward Chaining Dan Certainty Factor
Untuk Mengidentifikasi Penyakit Pertusis Pada Anak. Rang Teknik Journal, 1(2).

Zuriati, Z., Suriya, M., & Ananda, Y. (2017). Buku Ajar Asuhan Keperawatan
Medikal Bedah Gangguan Pada Sistem Respirasi Aplikasi Nanda NIC & NOC.

You might also like