Professional Documents
Culture Documents
Askep Kep Anak Pertusis
Askep Kep Anak Pertusis
DISUSUN OLEH:
1. Fadilla Navisha Izha M. (P1337420522007)
2. Elfa Sofiana (P1337420522008)
3. Rifqi Haqi Al Ghifari (P1337420522009)
4. Dimas Narendra (P1337420522059)
ARIMBI 1
TAHUN 2023
BAB I
KONSEP DASAR
A. DEFINISI
Pertusis adalah suatu infeksi akut saluran nafas yang mengenai setiap pejamu
yang rentan, tetapi paling sering dan serius pada anak-anak. (Behrman, 1992).
Pertusis atau batuk rejan adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri yang
menginfeksi paru-paru dan saluran pernapasan. Bordetella pertussis adalah jenis
bakteri yang menjadi penyebab utama batuk rejan. Gejala awal pertusis sulit
dibedakan dari infeksi saluran pernapasan minor. Secara garis besar, pada pertusis
batuk yang awalnya intermiten menjadi paroksismal. Batuk paroksismal biasanya
berlangsung selama 1-6 minggu atau bahkan lebih. Setelah fase paroksismal lewat,
batuk non-paroksismal dapat berlanjut selama 2-6 minggu atau lebih.
Pertusis adalah penyakit infeksi akut pada saluran pernafasan yang sangat
menular dengan ditandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang bersifat
spasmodic dan paroksismal disertai nada yang meninggi. (Rampengan, 1993).
Penyakit ini ditandai dengan demam dan perkembangan batuk semakin berat
dan ini sangat mudah menular serta bisa mengancam nyawa, terutama bila menyerang
bayi dan anak-anak. Batuk rejan (whooping cough) biasanya ditandai dengan rentetan
batuk keras yang terjadi secara terus-menerus. Seranagan batuk terjadi tiba-tiba dan
berlanjut terus tanpa henti hingga seluruh udara di dalam paru-paru terbuang keluar.
Akibatnya saat napas berikutnya pasien pertusis telah kekurangan udara sehingga
bernapas dengan cepat, suara pernapasan berbunyi seperti pada bayi yang baru lahir
berumur kurang dari 6 bulan dan pada orang dewasa bunyi ini sering tidak terdengar.
Batuk pada pertusis biasanya sangat parah hingga muntah-muntah dan penderita
sangat kelelahan setelah serangan batuk.
B. ETIOLOGI
Pertusis pertama kali dapat diisolasi pada tahun 1990 oleh Bordet dan Gengou,
kemudian pada tahun 1906 kuman pertusis baru dapat dikembangkan dalam media
buatan. Genus Bordetella mempunyai 4 spesies yaitu Bordotella pertusis, Bordetella
Parapertusis, Bordotella Bronkiseptika, dan Bordotella Avium. Bordotella pertusis
adalah satu-satunya penyebab pertusis yaitu bakteri gram negatif, tidak bergerak dan
ditemukan dengan melakukan swab pada daerah nasofaring Bordet Gengou (Arif
Mansjoer, 2000).
Bakteri Bordetella pertusis dapat keluar melalui droplet atau percikan
dahak/lendir yang keluar saat orang yang terinfeksi batuk, bersin, dan berbicara.
Berikut tahapan penularan batuk rejan atau pertussis:
- Bakteri penyebab batuk masuk ke dalam tubuh melalui hidung, mulut, atau mata.
- Infeksi bakteri penyebab batuk rejan berlangsung di permukaan saluran
pernapasan, yaitu pada trakea dan bronkus.
- Sesaat setelah Bordetella pertussis berada di saluran pernapasan, bakteri tersebut
mulai memperbanyak diri.
- Selama berkembang biak, B. pertussis memproduksi berbagai macam zat
antigenik sekaligus zat beracun seperti pertussis toxin (PT), filamentous
hemagglutinin (FHA), agglutinogens, adenylate cyclase, pertactin, dan tracheal
cytotoxin.
- Racun-racun inilah yang melumpuhkan kerja sel-sel yang bertugas membersihkan
lendir pada dinding paru-paru. Racun tersebut juga dapat menyerang sistem
kekebalan tubuh.
- Seiring bertambah parahnya infeksi yang disebabkan bakteri, bertambah banyak
pula jumlah dahak. Alhasil, batuk pun akan berlangsung semakin sering.
- Lama kelamaan penderita akan semakin sulit untuk bernapas karena sirkulasi
udara dalam saluran pernapasan kian terhambat akibat dahak yang menumpuk.
- Udara yang tidak bisa sepenuhnya masuk sampai ke paru-paru akan menimbulkan
suara mengi saat penderita bernapas.
Pertusis merupakan jenis batuk yang sangat menular. Terdapat sejumlah kondisi yang
dapat meningkatkan peluang seseorang untuk terjangkit penyakit ini.
Orang-orang dengan kondisi berikut ini lebih berisiko mengalami batuk pertusis.
- Bayi di bawah 12 bulan yang masih belum bisa menerima vaksin.
- Orang yang berinteraksi secara dekat dan sering dengan penderita pertusis.
- Orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah, seperti ibu hamil, penderita
autoimun atau yang sedang menjalani pengobatan yang menurunkan kerja sistem
imun.
C. TANDA DAN GEJALA
1. Stadium kataralis (1-2 minggu)
Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran napas bagian atas yaitu timbulnya
rinore dengan lendir yang cair dan jernih, injeksi pada konjungtiva, lakrimasi, batuk
ringan, dan panas tidak begitu tinggi. Pada stadium ini biasanya diagnosis pertusis
belum dapat ditegakkan karena sukar dibedakan dengan common cold. Sejumlah
besar organisme tersebar dalam droplet dan anak sangat infeksius, pada tahap ini
kuman mudah diisolasi.
2. Stadium paroksismal/stadium spasmodik
Frekuensi dan derajat batuk bertambah, terdapat pengulangan 5-10 kali batuk kuat
selama ekspirasi yang diikuti oleh usaha inspirasi masif yang mendadak dan
menimbulkan bunyi melengking (whoop), udara yang dihisap melalui glotis yang
menyempit. Selama serangan wajah merah dan sianosis, mata menonjol, lidah
menjulur, lakrimasi, salivasi, dan distensi vena leher bahkan sampai terjadi petekia di
wajah (terutama di konjungtiva bulbi). Episode batuk paroksismal dapat terjadi lagi
sampai mucous plug pada saluran napas menghilang. Muntah sesudah batuk
paroksismal cukup khas, sehingga seringkali menjadi kecurigaan apakah anak
menderita pertusis walaupun tidak disertai bunyi whoop.
3. Stadium konvalesens (1-2 minggu)
Stadium penyembuhan ditandai dengan berhentinya whoop dan muntah dengan
puncak serangan paroksismal yang berangsur-angsur menurun. Batuk biasanya masih
menetap untuk beberapa waktu dan akan menghilang sekitar 2-3 minggu. Pada
beberapa pasien akan timbul serangan batuk paroksismal kembali.
D. ANATOMI / FISIOLOGI
Sistem Pernafasan
Dengan bernafas setiap sel dalam tubuh menerima persediaan oksigennya dan
pada saat yang sama melepaskan produk oksidasinya. Oksigen yang bersenyawa
dengan karbon dan hydrogen dari jaringan memungkinkan setiap sel melangsungkan
sendiri proses metabolismenya, yang berarti pekerjaan selesai dan hasil buangan
dalam bentuk karbondioksida dan air dihilangkan.
Pernafasan merupakan proses ganda, yaitu terjadinya pertukaran gas didalam
jaringan atau "pernapasan dalam dan didalam paru-paru atau "pernapasan luar".
Udara ditarik kedalam paru-paru pada waktu menarik napas dan didorong
keluar paru-paru pada waktu mengeluarkan napas (Pierce, 2009).
1. Anatomi
1) Hidung (Nasal)
2) Faring (Tekak)
3) Laring
Bronkus merupakan lanjutan dari trakea, ada dua buah yang terdapat pada
ketiggian vertebratorakalis ke IV dan V mempunyai struktur serupa dengan trakea dan
dilapisi oleh ama. Bronkus jenis sel yang sama, Bronkus-bronkus itu berjalan
kebawah dan kesamping kearah tampak paru-paru.
Bronkus kanan lebih pendek dan lebih besar daripada bronkus kiri, terdiri dari
enam-delapan cincin, mempunyai tiga cabang. Bronkus kiri lbih panjang dan lebih
ramping dari yang kanan, terdiri dari 9-12 cincin dan mempunyai 2 cabang. Bronkus
bercabang-cabang, cabang yang paling kecil disebut bronkiolus (bronkioli). Pada
bronkioli terdapat gelembung paru/gelembung hawa atau alveoli (Syaifuddin, 2006).
6) Paru-paru
Arteri pulmonalis membawa darah yang sudah tidak mengandung oksigen dari
ventrikel kanan jantung ke paru- paru, cabang-cabangnya menyentuh saluran-saluran
bronchial, bercabang dan bercabang lagi sampai menjadi arteriol halus, arteriol itu
membelah-belah dan membentuk jaringan kapiler dan kapiler itu menyentuh dinding
alveoli atau gelembung udara.
Kapiler halus itu hanya memuat sedikit, maka praktis dapat dikatakan sel-sel
darah merah membuat baris tunggal.. Alirannya bergerak lambat dan dipisahkan dari
dua dalam alveoli hanya oleh dua membrane yang sangat tipis, maka pertukaran gas
berlangsung dengan difusi, yang merupakan fungsi pernafasan.
Kapiler bersatu dan bersatu lagi sampai mnjadi pmbuluh dara lebih besar dan
akhirnya dua vena pulmonaris meninggalkan setiap paru-paru membawa darah berisi
oksigen ke atrium kiri jantung untuk didistribusikan ke seluruh tubuh melalui aorta.
Pembuluh darah yang dilukiskan sebagai arteri bronkialis membawa darah
berisi oksigen langsung dari aorta toraksika ke paru-paru guna member makan dan
menghantarkan oksigen kedalam jaringan paru-paru sendiri, Cabang akhir arteri-arteri
ini membentuk pleksus kapiler yang tampak jelas dan terpisah dari yang terbentuk
oleh cabang akhir arteri pulmonaris, tetapi dari beberapa kapiler ini akhirnya bersatu
kedalam vena pulmonaris dan darahnnya kemudian dibawa masuk kedalam vena
pulmonaris Sisa darah itu diantarkan dari setiap paru-paru oleh vena bronkialis dan
ada yang dapat mencapai vena kava superior. Maka dengan demikian paru-paru
mempunyai persediaan darah ganda Pearce, 209).
2. Fisiologi Pernafasan
E. GAMBAR ORGAN
F. PATOFISIOLOGI
Pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan kemudian melekat
pada silis epitel saluran pernapasan. Mekanisme pathogenesis infeksi oleh Bordotella
pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap
mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan local dan akhirnya timbul penyakit
sistemik. Pertusis Toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan pada perlekatan Bordotella
pertusis pada silia. Setelah terjadi perlekatan, Bordotella pertusis kemudian
bermultiplikasi dan menyebar ke seluruh permukaan epitel saluran nafas. Proses ini
tidak invasive oleh karena pada pertusis tidak terjadi bakteremia. Selama
pertumbuhan Bordotella pertusis maka akan menghasilkan toksin yang akan
menyebabkan penyakit yang kita kenal dengan whooping cough.
Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan karena
pertusis toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub unit
B selanjutnya berikatan dengan reseptor sel target kemudian menghasilkan sub unit A
yang aktif pada daerah aktivasi enzim membrane sel. Efek LPF menghambat migrasi
limfosit dan makrofag ke daerah infeksi.
Toxin mediated adenosine disphosphate (ADP) mempunyai efek mengatur
sintesis protein dalam membrane sitoplasma berakibat terjadi perubahan fungsi
fisiologis dari sel target termasuk lifosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan
pengeluaran histamine dan serotonin, efek memblokir beta adrenergic dan
meningkatkan aktivitas insulin sehingga akan menurunkan konsentrasi gula darah.
Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan limfoid
peribronkial dan meningkatkan jumlah mukosa pada permukaan silia, maka fungsi
silia sebagai pembersih terganggu sehingga mudah terjadi infeksi sekunder (tersering
oleh Streptococcus pneumonia, H. influenza, staphylococcus aureus).
Penumpukan mucus akan menimbulkan plug yang dapat menyebabkan
obstruksi dan kolaps paru. Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan
pertukaran oksigenasi pada saat ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk.
Terdapat perbedaan pendapat mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat
pengaruh langsung toksin ataukah sekunder sebagai akibat anoksia.
Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak apabila sel
mengalami regenerasi. Hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotic
terhadap proses penyakit. Namun terkadang Bordotella pertusis hanya menyebabkan
infeksi yang ringan, karena tidak menghasilkan toksin pertusis.
Cara penularan pertusis melalui:
a. Droplet infection
b. Kontak tidak langsung dari alat-alat yang terkontaminasi
c. Penyakit ini dapat ditularkan penderita kepada orang lain melalui percikan-percikan
ludah penderita pada saat batuk dan bersin
d. Dapat pula melalui sapu tangan, handuk, dan alatalat makan yang dicemari kuman-
kuman penyakit tersebut. Tanpa dilakukan perawatan, orang yang menderita
pertusi dapat menularkannya kepada orang lain selama sampai 3 minggu setelah
batuk dimulai.
G. PATHWAY
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap. Pemeriksaan darah lengkap terdiri dari beberapa
jenis parameter pemeriksaan, yaitu:
1) Hemoglobin
2) Hematokrit
3) Leukosit (Sel Darah Putih/WBC)
4) Trombosit
5) Eritrosit (Sel Darah Merah/RBC)
6) Indeks Eritrosit (MVC, MCH, MCHC)
7) Laju Endap Darah (ESR)
8) Hitung Jenis Leukosit (Hitungan Selisih)
9) Distribusi Platelet Lebar (PDW)
10) Lebar Distribusi Sel Merah (RDW)
b. Reaksi Rantai Polimerase (PCR)
PCR adalah tes cepat dan memiliki sensitivitas yang sangat baik. Tes
PCR bervariasi dalam spesifisitasnya, sehingga mendapatkan konfirmasi
kultur pertusis untuk setidaknya satu kasus yang mencurigakan
direkomendasikan setiap kali ada dugaan wabah pertusis. Hasil harus
ditafsirkan bersama dengan gejala klinis dan informasi epidemiologis. PCR
harus diuji dari spesimen nasofaring (NP) yang diambil pada 0-3 minggu
setelah onset batuk, tetapi dapat memberikan hasil yang akurat hingga 4
minggu. Setelah batuk minggu keempat, jumlah DNA bakteri berkurang
dengan cepat, yang meningkatkan risiko mendapatkan hasil negatif palsu.
Protokol uji PCR yang mencakup beberapa sekuens target memungkinkan
spesiasi di antara spesies Bordetella.
2. Budaya
Kultur memiliki spesifisitas yang sangat baik, sehingga sangat berguna untuk
memastikan diagnosis pertusis saat diduga terjadi wabah. Banyak patogen
pernapasan lainnya memiliki gejala klinis yang mirip dengan pertusis dan koinfeksi
dapat terjadi. Selain itu, memperoleh isolat dari biakan memungkinkan identifikasi
strain dan pengujian resistensi antimikroba. Mengidentifikasi strain B. pertussis
mana yang menyebabkan penyakit merupakan hal yang penting bagi kesehatan
masyarakat. Kultur paling baik dilakukan dari spesimen NP yang dikumpulkan
selama 2 minggu pertama batuk saat bakteri hidup masih ada di nasofaring. Setelah
2 minggu pertama, sensitivitas menurun dan risiko negatif palsu meningkat.
I. PENATALAKSANAAN
Nonfarmakologi
1. Terapi nutrisi
2. Bedrest
3. Isolasi penderita untuk mencegah penularan mencegah kontak dengan individu
yang terinfeksi, diutamakan bagi bayi dan anak usia muda, sampai pasien
setidaknya mendapatkan antibiotik sekurang-kurangnya 5 hari dari 14 hari
pemberian secara lengkap. Atau 3 minggu setelah batuk paroksismal reda bilamana
pasien tidak mendapatkan antibiotik.
4. Rawat inap
Farmakologi
1. Pemberian antibiotik (gol makrolid: eritromisin).
Dosis anak: 40mg/kgBB/hari (peroral, 4 dosis) selama 14 hari.
2. Kortikosteroid untuk mengurangi whooping cough (prednisolon).
Dosis anak: 1- 2mg/kgBB/hari.
3. Imunisasai sebagai upaya pencegahan dengan vaksin pertusis. Tujuan imunisasi
yaitu memproteksi individu dari sakit dari batuk berat dan pengendalian penyakit
endemik dan epidemik.
Pertusis secara sendirinya dapat hilang secara spontan dan nasofaring dalam
waktu 2 sampai 4 minggu pasca infeksi. Ketika mulai di awal perjalanan penyakit,
selama tahap katarhal, antibiotik dapat mempersingkat gejala dan mengurangi
keparahan pertusis. Setelah tahap paroksismal antibiotic tidak efektif dalam mengubah
perjalanan penyakit. Dengan ini tahap, manifestasi klinis penyakit yang disebabkan
oleh tokum Bordetella pertusis, dan dengan demikian tidak terpengaruh oleh terapi
antimikroba. Meskipun perjalanan klinis pertusis tidak mudah dipengaruhi oleh
pengobatan, penggunaan antibiotik namun dapat mengurangi masa penularan (Snyder
dan Fisher, 2012).
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. PENGKAJIAN
Dalam pengkajian keperawatan terdapat:
1. Data Subjektif
Pada data subjektif terdapat dua identitas, yaitu:
a. Identitas Pasien:
1) Nama
2) Tanggal lahir
3) Umur
4) Jenis kelamin
5) BB
6) PB/ TB
7) Alamat
8) Agama
9) Pendidikan
10) Suku bangsa
11) Tanggal masuk rumah sakit
12) Nomor rekam medis
13) Diagnosa medik
b. Identitas penanggung jawab:
1) Nama
2) Umur
3) Jenis kelamin
4) Alamat
5) Agama
6) Pendidikan
7) Pekerjaan
8) Hubungan dengan klien
2. Data Objektif
a. Pemeriksaan Umum
Pertama kali perhatikan keadaan umum vital:
1) Tingkat kesadaran
2) Tekanan darah
3) Denyut nadi
4) Pernapasan/ respirasi suhu tubuh
b. Pemeriksaan Fisik
1) Pemeriksaan keadaan umum
2) Pemeriksaan TTV
3) Pemeriksaan antropometri
4) Pemeriksaan pernafasan
5) Pemeriksaan kardiovaskuler
6) Pemeriksaan persyarafan
7) Pemeriksaan perkemihan
8) Pemeriksaan pencernaan
9) Pemeriksaan thorak
10) Pemeriksaan musculoskeletal
11) Pemeriksaan genetalia
12) Pemeriksaan ekstremitas
3. Keluhan Utama
Adanya batuk berdahak selama lebih dari 2 minggu.
4. Riwayat Kesehatan
Adanya batuk panjang disertai whoop.
5. Lama serangan
Batuk panjang disertai whoop terjadi secara terus menerus.
6. Pola serangan
a. Pola serangan bersifat umum.
b. Serangan berupa batuk disertai whoop secara terus menerus.
c. Serangan berupa batuk berdahak yang berlangsung selama lebih dari 2
minggu.
7. Frekuensi serangan
Penderita mengalami mual, muntah, tidak nafsu makan dan kadang merasa sesak
nafas.yang berlangsung selama 1 hingga 2 minggu.
8. Riwayat penyakit sekarang yang menyertai
Klien terdiagnosa pertusis atau batuk rejan.
9. Riwayat penyakit dahulu
Ibu klien mengatakan bahwa klien tidak pernah merasakan sakit sebelumnya.
10. Riwayat imunisasi
Jenis imunisasi yang sudah didapatkan yaitu imunisasi DPT tidak lengkap, hanya
diberikan 1 kali selama usia 1 tahun.
11. Riwayat perkembangan
Perkembangan meliputi:
a. Personal sosial (kepribadian/tingkah laku sosial) berhubungan dengan
kemampuan mandiri, bersosialisasi, dan berinteraksi dengan lingkungannya.
b. Gerakan motorik halus berhubungan dengan kemampuan anak untuk
mengamati sesuatu, melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh
tertentu saja dan dilakukan otot-otot kecil dan memerlukan koordinasi yang
cermat, misalnya menggambar, memegang suatu benda, dan lain-lain.
c. Gerakan motorik kasar berhubungan dengan pergerakan dan sikap tubuh.
d. Bahasa: kemampuan memberikan respon terhadap suara, mengikuti perintah
dan berbicara spontan
12. Riwayat kesehatan keluarga.
Anggota keluarga tidak ada yang menderita batuk rejan sebelumnya.
13. Pola kebiasaan dan fungsi Kesehatan.
Pola kebiasaan dan fungsi ini meliputi :
a. Pola persepsi dan tatalaksanaan hidup sehat
b. Gaya hidup yang berkaitan dengan kesehatan, pengetahuan tentang kesehatan,
pencegahan dan kepatuhan pada setiap perawatan dan tindakan medis.
14. Pola nutrisi
a. Kualitas dan kuantitas dari makanan yang dikonsumsi oleh anak berkurang.
b. Makanan yang disukai bubur dan yang tidak disukai adalah bubur cereal
mengandung sayuran. Selera makan anak menurun.
15. Pola eliminasi
a. Buang air kecil (BAK) 4x sehari berwarna kuning kecoklatan, berbau khas,
tidak terdapat darah dan tidak disertai nyeri.
b. Buang air besar (BAB) 4x sehari berwarna kuning kecoklatan, berbau khas,
tidak terdapat darah, tidak berlendir, konsistensi cair, saat BAB tidak ada
nyeri.
16. Pola aktivitas dan Latihan
a. Anak senang bermain 2-3 jam dengan teman sebayanya.
b. Berkumpul dengan keluarga sehari.
c. Aktivitas yang disukai adalah bermain.
17. Pola tidur/istrahat
a. 11 jam sehari tidur.
b. Bangun tidur jam 04.00 pada pagi hari dan 16.00 pada siang hari.
c. Kebiasaan sebelum tidur, saat tidur siang.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b/d banyaknya mucus (SDKI, D.0001)
2. Pola napas tidak efektif b/d dispnea (SDKI, D.0005)
3. Resiko tinggi infeksi terhadap (penyebaran). Faktor resiko ketidak adekutan
pertahanan utama (SDKI, D.0142)
C. PERENCANAAN KEPERAWATAN
Kolaborasi:
- Kolaborasi pemberian broncodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu
TINJAUAN KASUS
An. C usia 2 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan batuk yang disertai
whoop yang berulang ulang selama 1 hingga 2 minggu. Klien batuk sejak 10 hari
sebelum masuk rumah sakit. Klien batuk secara terus menerus tanpa henti. Saat
pengkajian, klien mengalami mengalami mual, muntah, tidak nafsu makan dan
kadang merasa sesak nafas.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK
4. Kardiovaskuler :
Irama jantung regular, tidak ada nyeri dada, bunyi jantung normal, dan akral kering
hangat merah.
5. Persyarafan :
Penglihatan (mata): kelopak mata normal, bentuk bola mata lonjong, tidak ada
peradangan, selera tidak ikhterik, konjungtiva berwarna merah muda
Pendengaran (telinga): Simetris, dapat mendengar dengan baik, tidak ada
serumen, tidak terdapat benjolan, tidak menggunakan alat bantu
Penciuman (hidung): Simetris, ada secret, menggunakan alat bantu nasal kanul
Perabaan (kulit): Dapat merasakan sentuhan
Pengecapan (lidah): Dapat mengecap dengan baik
6. Perkemihan :
Bentuk alat kelamin normal, uretra normal, Tidak terdapat edema palpebrae moon
face, edema anasarka, dan nocturia. Tidak menggunakan alat bantu kateter.
7. Pencernaan :
Nafsu makan menurun, porsi makan tidak habis, mulut bersih, dan mukosa lembab.
8. Muskuloskeletal :
Sendi dapat bergerak dengan bebas, warna rambut hitam, tidak mudah dicabut, warna
kulit sawo matang, temperatur hangat.
9. Tes diagnostik :
pemeriksaan laboratorium
pemeriksaan darah
pemeriksaan radiologi
E. Pemeriksaan Penunjang
ANALISA DATA
Ruang : Lavender
TGL/JAM DATA PROBLEM ETIOLOGI
05 Frekuensi nafas tidak normal, Pola nafas tidak Peningkatan
bunyi nafas tidak normal efektif produksi sputum
Februari
DS: klien mengatakan sesak
2023. nafas
DO: klien tampak sesak nafas
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b/d banyaknya mucus (SDKI, D.0001)
RENCANA KEPERAWATAN
Ruang : Lavender
INTERVENSI KEPERAWATAN
Kolaborasi:
- Kolaborasi pemberian broncodilator,
ekspektoran, mukolitik, jika perlu
IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Tgl / Diagnosa Keperawatan Implementasi Respon
Jam
05 Bersihan jalan nafas Monitor pola DS:
Februar napas Pasien terlihat masih
tidak efektif b/d
i 2023 Monitor bunyi merasakan tidak enak
08.20 banyaknya mucus nafas badan dan lemas
Identifikasi Pasien terlihat masih
status nutrisi batuk
Identifikasi Keluarga pasien
alergi dan mengatakan makanan
intoleransi pasien tidak habis
makanan. DO:
Identifikasi Pasien terlihat masih
makanan yang batuk
disukai. TTV:
Monitor asupan S:37,5°C
makanan N: 95 x/menit
Monitor berat TD :95/80 mmHg
badan RR 35x/menit
SPO2:90x/menit
Bunyi nafas Mengi
Status nutrisi:
Kurang baik
Makanan yang disukai :
Nasi+lauk + sayur + buah
TB: 144 cm
BB: 38 kg
EVALUASI
Tgl / jam Diagnosa Keperawatan Catatan Pembangan
Hasanuddin, A., Panyiwi, R., Yuswatiningsih, E., Rahmawati, A., Noerjoedianto, D.,
& Subandi, A. (2021). Kejadian Luar Biasa Pertusis di Desa Tandasura Kecamatan
Limboro Kabupaten Polewali Mandar Sulawesi Selatan. JOURNAL OF TRAINING
AND COMMUNITY SERVICE ADPERTISI (JTCSA), 1(1), 33-51.
Nofriansyah, D., Gunawan, R., & Elfitriani, E. (2020). Sistem Pakar Untuk
Mendiagnosa Penyakit Pertussis (Batuk Rejan) Dengan Menggunakan Metode
Teorema Bayes. Jurnal Teknologi Sistem Informasi dan Sistem Komputer TGD, 3(1),
41-54.
Susilo, H. (2018). Sistem Pakar Metode Forward Chaining Dan Certainty Factor
Untuk Mengidentifikasi Penyakit Pertusis Pada Anak. Rang Teknik Journal, 1(2).
Zuriati, Z., Suriya, M., & Ananda, Y. (2017). Buku Ajar Asuhan Keperawatan
Medikal Bedah Gangguan Pada Sistem Respirasi Aplikasi Nanda NIC & NOC.