You are on page 1of 4

PERBANDINGAN HUKUM ADAT DENGAN HUKUM PIDANA

YANG TERDAPAT DI DALAM KUHPidana


Hukum barat memisahkan antara hukum pidana dan hukum perdata, karena tidak
setiap perbuatan yang melanggar hukum adalah termasuk perbuatan pidana/delict. Hanya
pelanggaran /perbuatan yang diancam dengan pidana (straf,penderitaan,punishment) saja
yang termasuik dalam pengertian hukum pidana.
            Hukum Adat tidak memisahkan antara perbuatan pelanggaran hukum yang
mewajibkan tuntutan pembalasan yang berupa pidana dengan pelanggaran hukum yang hanya
dapat dituntut dengan penggantian kerugian dalam lapangan hukum perdata. Oleh karena itu
dalam hukum adat tidak ada perbedaan dalam acara penuntutan dimuka hakim antaa
penuntutan dimuka hakim antara penuntutan ganti kerugian dalam lapangan perdata dan
penuntutan kriminal.
Perbedaan sistem hukum barat dengan sistem hukum adat dalam pemisahan atau
pembedaan hukum perdata dengan hukum pidana ini berpangkal pada perbedaan alam fikiran
dari kedua masyarakat. Barat (individualistis-liberalistis, rasionalistis) - Timur (tradisional-
kosmis, yaitu meliputi segala-galanya sebagai satu kesatuan/totaliter).
Menurut alam fikiran kosmis ini umat manusia merupakan bagian dari alam semesta,
tidak ada pemisahan dari berbagai macam lapangan kehidupan dan tidak dikenal pembatasan
antara dunia lahir dan dunia ghaib. Segala sesuatu itu bercampur baur, bersangkut paut dan
saling pengaruh mempengaruhi satu sama lain.Yang penting bagi masyarakat adalah adanya
keseimbangan (evenwicht) dan keserasian (harmonie) antara dunia lahir dan dunia ghaib,
antara individu dengan masyarakat, antara persekutuan dengan warganya. Oleh karena itu
yang dimaksud dengan delict adalah : suatu perbuatan sefihak dari seseorang atau
sekumpulan orang yang mengancam atau mengganggu keseimbangan dalam kehidupan
masyarakat, baik yang bersifat materiil maupun immateriil, terhadap seseorang atau terhadap
masyarakat sebagai satu kesatuan.
Perbedaan sistem hukum pidana dalam KUHP dan hukum pidana Adat :

KUHP HUKUM ADAT


* Yang dapat dipidana hanalah manusia * Persekutuan hukum adat/persekutuan
yang berdasarkan hubungan
darah  (keluarga, marga, paruik) dapat
dimintai pertanggung jawaban pidana yang
dilakukan oleh warganya.
* Seseorang hanya dapat dipidana kalau * Seseorang sudah dapat dihukum karena
mempunyai kesalahan (schuld), baik peristiwa yang menimpa dirinya tanpa
karena disengaja (opzet, dolus) atau karena disengaja atau tanpa adanya kelalaianya.
kekhilafannya (culpa).
* Pada dasarnya setiap setiap delik adalah * Terdapat delik yang hanya menjadi
menentang kepentingan negara / umum, persoalan person / hanya menjadi persoalan
sehingga setiap delik adalah persoalan keluarga korban, ada pula yang menjadi
negara, bukan persoalan individu secara persoalan desanya.
pribadi yang terkena.
* Orang hanya dapat dipidana kalau ia * Orang yang tidak dapat
dapat mempertanggungjawabkan perbuatan mempertanggungjawabkan perbuatannya
yang dilakukannya. tetap dapat dijatuhi hukuman, keadaan
demikian menentukan berat ringannya
hukuman.
*Tidak mengenal perbedaan tingkat/kasta * Di daerah tertentu mengenal tingkatan
pada orang yang menjadi korban perbuatan manusia. Semakin tinggi kedudukan atau
pidana, sehingga pada dasarna perbuatan kasta orang yang terkena perbuatan
pidana yang ditujukan kepad setiap orang, pidana  makin berat hukuman yang dapat
hukumannya sama. dijatuhkan kepada orang yang melakukan
delik, dan lebih berat jika dibadingkan
dengan delik yang ditujukan kepada orang
yang lebih rendah derajatnya.
* Orang dilarang main hakim sendiri * Terdapat keadaan yang mengijinkan
(eigenrichting) orang yang terkena delik menjadi hakim
sendiri
* Terdapat perbedaan hukuman antara * Siapa saja yang turut melanggar
orang yang melakukan delik dengan orang peraturan hukum harus turut memulihkan
yang hanya membantu, membujuk atau kembali keseimbangan yang terganggu.
hanya turut serta melakukan delik.
* Dikenal adanya percobaan yang dapat Tidak ada orang yang dapat dipidana hanya
dipidana, yaitu percoibaan melakukan karena melakukan percobaan saja, karena
kejahatan, dalam sistem hukum adat suatu adatreactie
hanya akan dilaksanaka kalau
keseimbangan hukum dalam masyarakat
terganggu.
* Hakim dalam mengadili perbuatan pidana
memperhatikan pula apakah si pelanggar
itu merasa menyesal
Problematika yang dihadapi oleh peradilan adat pada saat sekarang adalah :

1. di satu pihak masyarakat adat memaknai peradilan adat sebagai  satu bagian yang
terintegrasi utuh dengan sistem nilai dan sistem sosiall yang mereka anut. Pada bagian lain,
negara hadir dengan sistem nilai dan sistem sosialnya sendiri yang seringkali mengatasi,
mendominasi, bahkan merepresi keberadaan masyarakat adat beserta sistem-sistem
kehidupan mereka. Ini yang dikenal sebagai peminggiran atau penghancuran sistemis
terhadap komunitas-komunitas masyarakat adat.
2. sebagai bagian dari masyarakat global, masyarakat adatpun tidak lepas dari pengaruh
interaksa dengan dunia luarnya. Implikasi dari interaksi ini adalah penyerapan atau
pemaksaan berlakunya sistem-sistem yang datang dari luar. Dalam hubungannya dengan
sistem peradilan negara, peradilan adat menghadapi tantangan upaya penyeragaman sistem
hukum, termasuk sistem peradilan.
3. Ketiga, jurang pengetahuan dan kepedulian yang dalam antar generasi tua dan
generasi muda masyarakat adat tentang berbagai sistem sosial, budaya, politik, hukum dan
peradilan adat, ekonomi dan kepercayaan yang menyertai keberadaan masyarakat adat.
4. Keempat, sebagian dari masyarakatnya dan tidak lagi mempercayai keputusan dari
peradilan adat yang sudah diputuskan melalui peradilan adat, dan tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap orang yang memutuskan perkara tersebut, sehingga sebagian dari
masyarakatnya yang tetap membawa kasusnya diselesaikan  ditingkatkan peradilan negara.

Kasus Suku Anak Dalam Dalam Perspektif Sosiologi Hukum


Berita di harian Kompas, mengenai pengadilan terhadap kepala adat Suku Anak
Dalam Jambi yang dilangsungkan dalam kerangka hukum negara (Kompas, 6 April 2009,
Senjakala Hukum Adat Rimba) seperti mengalami deja vu. Penulis langsung teringat kasus-
kasus serupa di berbagai pelosok negeri ini, sebagaimana sering diulas oleh Prof. Satjipto
Rahardjo, mengenai hukum nasional yang ternyata lebih sering menjadi beban bagi budaya
lokal. Sepanjang pengetahuan penulis, bahkan hal ini menjadi ’terbuktikan secara ilmiah’
melalui temuan disertasi Dr. Bernard L. Tanya.
Tulisan ini akan banyak bergerak dalam ranah sosiologi hukum yang hendak memotret
realitas yang ada secara penuh, tanpa mengalami ’sensor reduksi’, karena ”sociology is the
scientific study of social life, and the sociology of law is accordingly the scientific study of
legal behavior” yang misinya adalah ”to capture and explain legal variation of every kind,
including how cases enter the legal systems and how cases are resolved”
Kisah ini dimulai oleh pertikaian hutang-piutang sederhana antar dua kelompok dalam Suku
Anak Dalam (SAD), namun akhirnya menyebabkan perkelahian yang menewaskan tiga orang
dari kedua kelompok pada akhir tahun 2008. Karena ada korban tewas, maka polisi sebagai
alat negara mulai bertindak. Cerita kemudian bergulir dengan jelas, polisi menjalankan proses
hukum, memeriksa saksi-saksi, menetapkan tersangka, menyerahkan kepada kejaksaan, dan
seterusnya hingga kasus itu mulai disidangkan di pengadilan.
Masalah pun muncul ketika ada penolakan kuat dari seluruh komponen masyarakat suku
tersebut untuk dipaksa tunduk pada skema hukum negara. Mereka menganggap bahwa
hukum negara tidak sesuai dengan tatanan masyarakat SAD, mereka melihat negara telah
melecehkan hukum adat SAD dengan menganggap bahwa SAD tidak mampu meyelesaikan
persoalan yang timbul dalam masyarakat sederhana tersebut. Padahal, menurut masyarakat
SAD, mereka telah memiliki skema penyelesaian permasalahan tersebut secara adat, dimana
pihak yang bertikai telah dihadapkan pada sidang adat dan telah dihukum secara adil, mulai
dari kesalahan yang paling ringan dengan membayar denda berupa sehelai kain, hingga
pembunuhan yang harus dibayar dengan hukuman mati juga. Majelis Hakim untungnya
bertindak arif bijaksana dan menjatuhkan hukuman yang setelah dipotong masa tahanan,
maka para terdakwa itu hanya perlu menjalani hukuman empat hari lagi.
Sepintas memang tidak ada yang keliru jika kita melihat dengan optik positivistik bahwa hal
ini membuktikan sistem peradilan pidana kita berjalan dengan baik, proses hukum telah
sesuai prosedur, dan seterusnya. Namun yang seharusnya patut mendapat perhatian adalah
hukum negara beserta alat kelengkapannya telah merusak harmonisasi dan tatanan
masyarakat SAD. Apabila diibaratkan, maka hal ini sama saja dengan memasukkan singa
(hukum negara) dengan rusa (hukum adat) dalam satu kandang. Hukum negara telah
memangsa hukum adat secara perlahan hingga akhirnya nanti punah.

Hukum pidana adat diakui sebagai sumber hukum dalam memutus perkara pidana
oleh hakim. Di samping itu, lembaga adat yang menjatuhkan pidana adat itu diakui dalam
sistem peradilan Indonesia sehingga bila sebuah kasus selesai di lembaga adat, maka kasus
itu sudah dianggap selesai. Bila ternyata tak selesai juga, baru kemudian berjalan ke peradilan
nasional.

You might also like