You are on page 1of 25

MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN DENGAN

MULTIPLE CHOLELITHIASIS DENGAN HIPERTENSI


STAGE I YANG DILAKUKAN LAPAROSCOPIC
CHOLECYSTECTOMY

Oleh :
Gama Akbar Firdausy
NPM 130121210511

Pembimbing :
Dr. dr. Erwin Pradian, Sp.An.,KIC.,KAR.,M.Kes
Laporan Kasus I

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat


Guna memperoleh gelar Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif
Program Pendidikan Dokter Spesialis 1
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2022
MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN DENGAN
MULTIPLE CHOLELITHIASIS DENGAN HIPERTENSI
STAGE I YANG DILAKUKAN LAPAROSCOPIC
CHOLECYSTECTOMY

Abstrak

Pendahuluan : Teknik pembedahan kolesistektomi perlaparoskopik saat ini lebih


dipilih dibandingkan konvensional open kolesistektomi oleh karena merupakan
teknik pembedahan minimal invasif yang telah memberikan manfaat yang
signifikan mulai dari ukuran insisi yang lebih kecil, intensitas nyeri paska operasi
yang minimal, waktu pemulihan yang lebih singkat, dan memiliki risiko infeksi
pada luka operasi yang lebih kecil. Meskipun demikian, prosedur ini bukannya
tanpa risiko baik yang berkaitan dengan Teknik operasinya maupun perubahan
fisiologis yang terjadi oleh karena pembentukan pneumoperitoneum. Selain itu,
manajemen perioperatif pasien dengan kondisi komorbid yang paling sering
terjadi seperti Hipertensi dengan multipel cholelithiasis yang direncanakan untuk
dilakukan operasi elektif kolesistektomi per laparoskopik juga perlu diperhatikan
karena cenderung memiliki ketidakstabilan hemodinamik dan lebih sensitif
terhadap obat anestesi pada prosedur pembedahan, sehingga harus hati-hati dalam
mengontrol hemodinamik.
Kasus : Seorang wanita 45 tahun dengan multipel kolelithiasis yang direncanakan
untuk dilakukan laparoscopic cholecystectomy dengan komorbid hipertensi Stage
I. Penatalaksanaan hipertensi dilakukan dengan melanjutkan obat anti hipertensi
Amlodipine 1 x10 mg dan diberikan premedikasi Lorazepam 2x1 mg tablet.
Operasi dilakukan dengan monitoring dari tekanan intraabdominal yang
dipertahankan <12 mmHg selama insuflasi dari CO2 dan End tidal CO2 antara 33-
35 mmHg. Operasi berlangsung selama 3 jam dan hemodinamik stabil selama
durante operasi.

Simpulan : Penatalaksanaan pasien dengan laparoscopic cholecystectomy disertai


komorbid hipertensi memiliki konsiderasi tersendiri dengan memperhatikan efek
insuflasi gas CO2 terhadap perubahan fisiologis kardiovaskular dan respirasi
sehingga kondisi hemodinamik tetap terjaga

Kata Kunci : laparoscopic cholecystectomy, hipertensi, insuflasi gas CO 2

2
ANESTHETIC MANAGEMENT ON PATIENT WITH
SIMPTOMATIC MULTIPLE CHOLELITHIASIS WITH STAGE I
HYPERTENSION UNDERGO LAPAROSCOPIC
CHOLECYSTECTOMY

Abstract

Introduction : Laparoscopic cholecystectomy surgical techniques have significant


benefits over traditional open approach, including smaller incisions, decreased
postoperative pain, faster recovery time, and reduced chance of blood transfusion
and wound infection. However, laparoscopic surgery is not without its own
specific risks, either due to risk associated with individual laparoscopic techniques
or due to the physiological changes associated with the creation of a
pneumoperitoneum. Moreover, the perioperative anesthesia management in
patient with hypertension as the most commonly comorbid diseases encountered
in an elective surgical procedure bring the special attention which it will tend to
experience hemodynamic instability and be more sensitive to the anesthetic
medications.
Case : A 45-year-old woman with multiple cholelithiasis with pre-existing
hypertension stage I who underwent cholecystectomy per laparoscopic. The
hypertension management has been done by continuing her previous
antihypertension with Amlodipine 10 mg tablet per day and additional
premedication Lorazepam 2x0,5 mg tablet. Operation underwent uneventful for 4
hours approximately with careful monitoring of intra-abdominal pressure which
maintained below 12 mmHg and ETCO 2 about 33-35 mmHg dan the rest of
hemodynamic state were stable
Conclusion : Management anaesthesia patient who undergo laparoscopic
cholecystic with hypertension has the unique characteristic with careful attention
of insufflation CO2 gas effect regards to physiology changes of cardiovascular and
respiratory function in order to keep hemodynamic parameter stable

Key word: : laparoscopic cholecystectomy, hipertention, CO 2 gas insufflation

3
BAB I
PENDAHULUAN

Teknik pembedahan kolesistektomi perlaparoskopik saat ini lebih dipilih


dibandingkan konvensional open kolesistektomi karena merupakan teknik
pembedahan minimal invasif yang telah memberikan manfaat yang signifikan
mulai dari ukuran insisi yang lebih kecil, intensitas nyeri paska operasi yang
minimal, waktu pemulihan yang lebih singkat, dan menurunkan kemungkinan
transfusi darah dan risiko infeksi pada luka operasi. Teknik operasi ini memiliki
empat langkah utama yaitu sebagai berikut: akses pada kavum peritoneal dengan
pendekatan terbuka (Hasson approach) atau pendekatan tertutup (Veress needle
approach), pembentukan pneumoperitoneum, prosedur operasi, dan penutupan.1,2,3
Akan tetapi, tidak dipungkiri terdapat risiko yang mungkin dapat terjadi
diantaranya cidera pada organ dalam abdomen dan vaskular oleh karena puncture
selama penempatan akses trokar. Selain itu dikontraindikasikan pada pasien
dengan gangguan faktor koagulasi yang tidak terkoreksi, COPD berat, serta
komorbid penyakit kardiovaskular berat yang tidak mampu mentolerir
peningkatan tekanan intra abdomen.1
Pasien dengan penyakit kardiovaskular terutama hipertensi, penyakit jantung
iskemik, penyakit jantung kongenital, dan penyakit katup jantung merupakan
kondisi medis yang paling sering ditemui dalam praktek anestesi dan pembedahan
non kardiak, tidak terkecuali pada operasi elektif kolesistektomi per laparoskopik.
Pre-existing penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab mayor pada morbiditas
dan mortalitas perioperatif dengan risiko kematian berkisar 25-50% pada pasien
berusia lebih dari 65 tahun yang menjalani operasi non kardiak. Untuk hipertensi
sendiri, diketahui merupakan penyebab utama kematian dan disabilitas pada
negara maju dan merupakan kondisi preoperatif yang paling umum ditemukan
dengan prevalensi berkisar 20-25%. Response adrenergik terhadap stimulus
operasi dan efek sirkulasi terhadap agen anestesi, intubasi endotrakeal, and
ventilasi tekanan positif, pendarahan intraoperatif, pergeseran cairan, dan
perubahan suhu tubuh akan memberikan beban tambahan pada sistem

4
kardiovaskuler yang telah mengalami gangguan. Sebagai tambahan pada pasien
dengan hipertensi preoperatif akan lebih rentan mengalami hipotensi intraoperatif
khusunya yang mengkonsumsi obat anti hipertensi Angiotensin receptor blocker
dan/atau Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitors. Iskemia miokard,
aritmia, serta hipertensi dan hipotensif alternans intraoperatif sering dijumpai pada
kondisi hipertensi kronis yang tidak terkontrol.1,2,4
Manajemen anestesi pada pasien yang menjalani kolesistektomi perlaparoskopik
perlu mempertimbangkan perubahan fisiologis multi sistem selama prosedur.
Pada sistem kardiovaskuler akan mengalami perubahan oleh karena peningkatan
tekanan intra-abdominal lebih dari 10 mmHg yang meliputi penurunan cardiac
output, peningkatan resistensi sistemik vaskular, dan stimulasi reflex vagal oleh
karena fase insuflasi CO2 dan peregangan peritoneum. Pada sistem respirasi,
insuflasi intra-abdominal dapat menurunkan komplians paru dan functional
residual capacity yang berakibat pada atelectasis. Selain itu, posisi selama operasi
(steep Trandelenburg dan reverse Trandelenburg) dan efek kardiovaskular oleh
karena pneumoperitoneum mungkin tidak mampu ditoleransi oleh pasien dengan
pre-existing penyakit kardiovasuler berat. Manajemen nyeri pasca operasi juga
perlu diperhatikan berkaitan dengan tempat insersi instrument, insuflasi CO2 dan
residual efek pneumoperitoneum yang dapat mengakibatkan iritasi diafragma dan
referred pain pada bahu. Selain itu, prosedur ini juga dihubungkan dengan adanya
postoperative emesis (PONV), sehingga prophylaxis dan manajemen PONV juga
merupakan hal yang esensial.1,2,3

5
BAB II
LAPORAN KASUS

Seorang wanita berusia 45 tahun, berat badan 50 kg dengan diagnosis Multiple


Cholelithiasis dengan hipertensi terkontrol

Anamnesa
Pasien mengeluh nyeri perut kanan kanan sejak lebih kurang lebih dua bulan
sebelum masuk RS. Nyeri dirasakan hilang timbul disertai mual dan muntah.
Riwayat badan dan mata kuning disangkal, buang air besar seperti dempul
disangkal, buang air kecil seperti the disangkal. Pasien memiliki riwayat
hipertensi sejak satu tahun yang lalu dan rutin mengkonsumsi obat anti hipertensi
Amlodipine 1x10 mg tablet per oral setiap malam. Riwayat penyakit penyerta lain
tidak ada, riwayat alergi obat dan makanan tidak ada. Riwayat operasi dan
anestesi tidak ada. Pasien terakhir makan 8 jam yang lalu.

Pemeriksaan Fisik
Pasien dengan kesadaran compos mentis dan hemodinamik stabil dengan tekanan
darah 146/88 mmHg, pada pemeriksaan fisik cardio pulmonal dalam batas
normal.

Pemeriksaan Penunjang
Pada Pemeriksaan penunjang laboratorium darah lengkap parameter lainnya
termasuk fungsi hepar, ginjal, faktor koagulasi masih dalam batas normal.
Terdapat hyponatremia 133 meq/L, dan hipokalemia 3,3 meq/L.
Pada pemeriksaan Elektrokardiografi didapatkan irama sinus dengan denyut
jantung 84 kali per menit
Pada pemeriksaan imaging Rontgen thorax PA cor dan pulmo tidak tampak
kelainan radiologis
Pada pemeriksaan USG Abdomen didapatkan multiple cholelithiasis dengan
cholesistitis. Parenchyma liver, pancreas, dan spleen tidak tampak kelainan.

6
Diagnosa
Multiple Cholelithiasis
Hipertensi Stage I
ASA II

Penatalaksanaan Anestesi

Persiapan pasien :
Pasien dan keluarga pasien diberikan penjelasan mengenai kondisi/keadaan pasien
saat ini, prosedur anestesi serta komplikasi yang akan dihadapi dan bagaimana
penangannya dan dilakukan penanda tanganan informed concent persetujuan
tindakan anestesi. Pasien dipuasakan 8 jam pre operasi (pasien masih dapat
minum clear fluid 2 jam pre operasi) dan dipasang akses intravena dan diberikan
cairan maintenance dengan cairan Ringer Laktat 100cc/jam. Selain itu, pasien
diberikan premedikasi dengan Lorazepam 1 mg tab pada malam hari sebelum
operasi dan 2 jam sebelum tindakan operasi. Obat anti hipertensi Amlodipine
1x10 mg tabler per oral dilanjutkan dan diberikan malam sebelum tindakan
operasi.

Pra Operasi
Pasien masuk kamar operasi dan pemasangan alat monitoring ECG tiga lead,
tekanan darah, pulse oxymetri, dan end tidal CO2. Dilakukan pengukuran tanda
tanda vital dengan hasil tekanan darah 136/88 mmHg, nadi 86 kali per menit,
respirasi 22 kali per menit, suhu badan 36.8 derajat Celsius, dan saturasi oksigen
99% dengan udara bebas. Dilakukan pemasangan kateter kencing dengan Folley
catheter ukuran 16 Fr serta pemasangan NGT ukuran 14 Fr.

Intra Operasi
Pasien dilakukan preoksigenasi dengan 100% O2 selama 3 menit dan dilakukan
diinduksi dengan Fentanyl 100 mcg (2 mcg/kgBB), Propofol 100 (2mg/kgBB)

7
dan Atracurium 25 mg (0.5 mg/kgBB). Intubasi dilakukan dengan direct
laryngoscope menggunakan Endotracheal tube non spiral no 7.0. Maintenance
dengan Sevoflurane 2 Vol 2%, O 2:Air, FiO2 50%. Sebelum dilakukan insisi,
pasien diberikan dosis tunggal Dexamethasone 5 mg IV (0.1 mg/kgBB)
Selama operasi hemodinamik stabil, tekanan darah sistol berkisar 100-118 mmHg
dengan diastol 65-80 mmHg, nadi berkisar di 70-85 kali per menit. Saturasi
Oksigen di 98-99%. Tekanan insuflasi CO2 dipertahankan <12 mmHg dan End
tidal CO2 antara 33-35 mmHg. Operasi berlangsung selama 3 jam dengan
maintenance cairan dengan RL sebanyak 1100 ml. Perdarahan sekitar 50 ml
dengan urine output 200 ml/3 jam. Antiemetic dengan 4 mg Ondansetron secara
intravena diberikan setengah jam sebelum operasi selesai.
Setelah operasi selesai, dilakukan deep extubation dan diberikan analgetik paska
operasi dengan Paracetamol 1 gram setiap 6 jam dan Ketorolac 30 mg intravena
setiap 8 jam.

Post Operasi
Selesai operasi, hemodinamik dan kondisi klinis pasien di observasi di ruang
pemulihan selama 2 jam dengan diberikan suplementasi Oksigen 3 liter per menit
via nasal kanul. Pasien stabil dengan TD 118/67mmHg, Nadi 88 x/menit, RR 18
x/menit, SpO2 98 %. Post operasi pasien dirawat di ruang perawatan.

8
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Konsiderasi Operasi
Operasi ini biasanya lebih dipilih atas indikasi batu kandung empedu simptomatis
atau kolesistitis akut dibandingkan dengan open cholecystectomy oleh karena
merupakan teknik invasif minimal yang memberikan keuntungan dari segi proses
pemulihan yang lebih cepat dan pasien dapat kembali melakukan aktivitasnya.
Laparoscopic cholecystectomy memiliki empat langkah prosedur, yaitu akses pada
kavum peritoneal dengan sebelumnya melakukan dekompresi melalui
pemasangan kateter kencing dan urine, pengadaan pneumoperitoneum, prosedur
ooperasi, dan penutupan area operasi. Prosedur ini dikontraindikasikan pada
pasien dengan gangguan faktor koagulasi yang tidak dapat terkoreksi, pasien
dengan COPD berat, dan penyakit kardiovascular yang berat yang tidak mampu
mentoleransi peningkatan tekanan intraabdominal. Sebagai tambahan, pasien
dengan riwayat operasi perut sebeleumnya atau kondisi akut kolesistitis memiliki
risiko yang lebih tinggi untuk dikonversi menjadi operasi open cholecystectomy.1,2
Operasi laparoscopic cholecystectomy dimulai dengan mendapatkan akses ke
kavum abdominal melalui umbilikus, baik melalui teknok Veress needle (Teknik
tertutup: blind placement) maupun Hasson trocar (teknik terbuka yang mampu
menurunkan risiko cidera vaskuler, kandung empdeu dan organ usus. Gas CO2
diinsuflasikan ke dalam rongga intraabdominal untuk mencapai tekanan kurang
dari 15 mmHg. Jika pasien mengalami masalah ventilasi dan hemodinamik,
pertimbangkan untuk menurunkan tekanan intraabdominal menjadi 10-12 mmHg.
Sebanyak empat akses trokar diperlukan : satu pada umbilicus dan tiga lainnya
pada kuadran kanan atas. Pasien ditempatkan pada posisi reverse Trendelenberg
sedikit dirotasikan ke kiri agar lambung, duodenum, dan transverse colon
menjauh dari jangkauan lapangan operasi. Gas CO2 diinsuflasi perlahan lahan
sampai tekanan intra-abdominal mencapai 10-15 mmHg dan dinding abdomen
cukup terdistensi sehingga memungkinkan prosedur ooperasi dimulai. Cystic
artery dan cystic duct (dengan hepatic duct=triangle calot) diklem dan dipotong.
Kandung empedu kemudian di diseksi dari hepar dengan kauter monopolar,

9
ditempatkan pada kantong dan dikeluarkan melalui akses trokar di umbilical.
Hemostasi tercapai, kemudian area di bersiihkan dengan Normal saline dan akses
trokar ditutup.1

3. 2 Perubahan Fisiologi selama Operasi Laparoscopic Cholecystectomy


3.2.1. Sistem Respirasi
Pasien yang menjalani operasi ini mungkin mengalami kondisi akut seperti nyeri
perut kanan atas yang menyebabkan diaphragmatic splinting dan atelectasis basal
paru. Selama prosedur, insuflasi CO2 ke dalam rongga intraabdominal akan
meningkatkan risiko terjadinya atelectasis, penurunan volume FRC hingga
sebanyak 30%, peningkatan PIP, peningkatan PaCO 2 dan penurunan PaO2,
sehingga operasi ini dikontraindikasikan pada pasien dengan penyakit COPD
berat dan kardiovaskuler.1,3,4
3.2.2 Sistem Kardiovaskuler
Perubahan sistem kardiovaskular mulai terjadi dengan adanya peningkatan
tekanan intraabdominal melebihi 10 mmHg, absorpsi gas CO 2, teknik anesthesia
general, dan posisi pasien. Penurunan CO terjadi oleh karena penurunan aliran
darah balik yang disebabkan peningkatan tekanan intra-abdominal yang
mengkompresi vena kava inferior dan pengumpulan darah pada extremitas bawah.
Resistensi vaskular sistemik terjadi secara sekunder oleh karena pelepasan
katekolamin yang distimulasi oleh absorpsi CO2 dan pelepasan vasopressin dan
aktivasi sistem RAA oleh karena pneumoperitoneum. Sebagai tambahan, selama
fase insuflasi, peregangan peritoneum menstimulasi reflex vagal dan
menyebabkan bradikardia dan asystole, dimana perubahan ini dapat terjadi dalam
menit pertama segera setelah pneumoperitoneum terjadi. Setelah 10-15 menit, CO
dan resistensi vaskular sistemik akan kembali ke nilai normal. Ketika dilakukan
posisi steep trandelenburg, CO dan aliran darah balik akan meningkat, namun
secara kontras, pada posisi reverse Trendelenburg, akan menurunkan CO dan
lebih lanjut akan menurunkan aliran darah balik.1,4,5
3.2.3 Perfusi Regional

10
Pneumoperitoneum akan mengakibatkan hiperemia splanchnic moderat oleh
karena efek vasodilatasi dari CO2 yang terabsorpsi. Dalam kondis kontras,
pneumoperitoneum akan menurunkan aliran darah renal, lajut fiktrasi glomerular,
dan output urin sampai dengan 50%. Aliran darah seberal akan meningkat selama
pneumoperitoneumoleh karena peningkatan PaCO2 arterial. Ini merupakan efek
transien jika normokarbia dilakukan dengan meningkatkan ventilasi semenit yang
sesuai. Akan tetapi, jika posisi steep Trendelenburg dilakukan, ini akan
mengakibatkan peningkatan tekanan intraocular dan lebih lanjut dapat
meningkatkan tekanan intrakranial. Dengan demikian, pasien dengan risiko
hipertensi serebral dan yang dengan kondisi glukoma tidak terkontrol bukan
merupakan kandidat untuk prosedur ini.1,3,5
3.2.4 Efek Respirasi
Efek insuflasi akan mendorong diafragma ke atas, menyebabkan terjadinya
penurunan komplians respirasi dan thoraks serta FRC. Perubahan ini akan
meningkatkan risiko atelectasis, terkecuali bila diberikan PEEP (Positive end-
expiratory pressure) dan manuver periodic recruitment. Teknik anesthesia general
dan kombinasi efek dari pneumoperitoneum meningkatkan ventilasi dan perfusi
mismatching yang dapat menurunkan PaO2. Tes fungsi paru paska operasi
menunjukkan adanya penurunan FEV1 dan FVC.3,4,5

11
Tabel 3.2 Perubahan Fisiologi selama Operasi Laparoscopic Cholecystectomy
Dikutip dari Barash, Cullen BF, Stoelting RK, et al.1

3. 3 Teknik dan Manajemen Anestesia


3.3.1 Pemilihan Pasien
Pasien dengan penyakit kardiovaskular, khususnya penyakit jantung valvular
berat kemungkinan tidak mampu mentoleransi efek pneumoperitoneum pada
kardiovaskular. Demikian pula dengan pasien morbid obese dan penyakit
kardiovaskular berat mungkin tidak mampu menkompensasi efek posisi steep
Trendelenburg.1,3,4
Pada pasien ini walaupun memiliki komorbid hipertensi akan tetapi tidak sampai
mengakibatkan target organ damage, hal ini dapat terlihat dari anamnesa,
pemeriksaan fisik dan penunjang yang telah dilakukan terhadap pasien.
3.3.2 Induksi Anesthesia dan Manajemen Airway
Induksi pada laparoscopic cholecystectomy dilakukan dengan teknik induksi
standard. Teknik general anesthesia endotrakeal paling sering dibutuhkan pada
prosedur ini oleh karena ketidaknyamanan dari efek pneumoperitoneum dan

12
membutuhkan penunjang ventilasi mekanik. Pada pasien dengan kondisi
nonstabil, meskipun telah diresusitasi, pasien dapat lebih rentan terhadap efek
anesthesia dan ventilasi tekanan positif. Pertimbangkan akses intravena tambahan,
monitoring tekanan arterial invasif dan pemasangan akses vena sentral. Etomidate
dapat digunakan sebagai agent induksi dalam kondisi demikian. Dapat dilakukan
pemasangan OG/NGT sebelum insisi untuk memastikan perut telah
terdekompresi.1,3,4,5
Pada pasien dilakukan Tindakan general anestesi dengan induksi menggunakan
trias anestesi berupa sedasi menggunakan propofol dengan dosis 2 mg/kgbb,
analgetic dengan fentanyl dengan dosis 2 mcg/kgbb dan muscle relaxant
menggunakan atracurium dengan dosis 0,5 mg/kgbb.

3.3.3 Pemeliharaan anestesi Anesthesia


Pada periode maintenans, relaksan otot tetap diberikan untuk membatasi tekanan
insuflasi abdominal, maintenans anesthesia biasanya menggunakan anestesi
inhalasi. Nitrous oxide sebaiknya dihindari oleh karena akan memperburuk PONV
dan efek potensialnya yang berdifusi ke usus sehingga memperparah kondisi
operasi. Insuflasi intraabdominal dengan CO2 akan meningkatkan tekanan
intraabdominal sehingga cenderung akan menyebabkan regurgitasi pasif dari isi
lambung. Sebagai tambahan, peningkatan tekanan intraabdominal lebih dari 15
mmHg akan menurunkan aliran balik vena dan peningkatan SVR sehingga dapat
menurunkan CO. Ventilasi terkontrol dapat meminimalkan kemungkinan
hypercarbia dari CO2 yang terabsorbsi. Controlled normocapnic ventilation
dengan PEEP untuk meminimalkan dampak respirasi oleh karena
pneumoperitoneum dan posisi selama prosedur. Standar monitoring selama
operasi meliputi pemasangan NIBP, Kapnografi (ETCO2), elektrokardiografi, dan
pulse oximetry. Oleh karena posisi yang ekstrim dan durasi operasi, bantalan yang
memadai pada saraf ulnar dan common peroneal, pengaturan posisi pada lengan
dan bantalan bahu untuk menghindari brachial plexus injury dan safety belt untuk
mengamankan pasien di meja operasi harus terkonfirmasi sebelum dilakukan
insisi. Memposisikan pasien secara Trendelenburg atau pun reverse

13
Trendelenburg dilakukan secara perlahan untuk memberikan waktu bagi
manajemen perubahan hemodinamik dan menghindari terjadinya perpindahan
endotracheal tube.3,4,5
Oleh karena tingginya insiden PONV, antiemetic profilaksis dapat diberikan
(contohnya Ondansetron 4 mg secara intravena yang diberikan 30-60 menit
sebelum operasi selesai. Pendarahan biasanya minimal, namun dapat terjadi risiko
pendarahan mayor terutama jika terjadi puncure vaskuler, pertimbangkan
pemasangan akses intravena tambahan dan konversi ke teknik Open
cholecystectomy.
Pada awal prosedur, pasien diposisikan trendelenberg, dimana dapat
menyebabkan terjadinya peningkatan aliran darah balik (venous return), volume
paru, dan berpotensi untuk terjadinya intubasi endobronchial. Selanjutnya Ketika
diposisikan reverse trendelenberg akan terjadi kondisi sebaliknya.
Komplikasi yang dapat terjadi selama operasi laparoscopic cholecystectomy
meliputi komplikasi respirasi, kardiovaskular, perlukaan organ visceral,
hipotermia, PONV, dan shoulder pain. Pneumoperitoneum dengan CO2
memungkinkan dilakukannya prosedur operasi, akan tetapi ini dapat
menyebabkan terjadinya cephalad displacement dari diafragma, sehingga
menurunkan FRC, komplians paru, dan dapat terjadi atelectasis yang
termanifestasikan dengan peningkatan PIP, penurunan PO2 dan peningkatan
PCO2. Ventilasi harus dikontrol selama prosedur untuk meminimalkan efek dari
pneumoperitoneum dan hypercarbia. Pneumotoraks dapat terjadi dengan
manifestasi penurunan PO2, peningkatan PIP, instabilitas hemodinamik, dan
emfisema subkutan. Posisi ETT dapat berubah dengan perubahan posisi dari
pasien bersangkutan. Komplikasi kardiovaskuler meliputi penurunan tekanan
darah Ketika pasien dalam posisi reverse trendelenberg dan dari penurunan aliran
darah balik oleh karena pneumoperitoneum yang meningkatkan tekanan
intraabdominal sampai lebih dari 15 mmHg. Pendarahan dapat terjadi oleh karena
vascular puncture oleh karena penempatan trokar. Sedangkan pada vacular
injection oleh CO dapat mengakibatkan air emboli dengan manifestasi penurunan
tekanan darah, disritmia, bahkan kolaps nya sistem kardiovaskular. Kondisi

14
emfisema subkutis dapat terjadi dengan adanya peningkatan tekanan insuflasi
melebihi 12 mmHg. Shoulder pain dapat terjadinya oleh karena adanya
pneumoperitoneum namun bersifat self-limited.3,4,5
Pada periode paska operasi, fungsi respirasi akan mengalami pemulihan yang
lebih cepat dibandingkan prosedur open cholecystectomy. Pasien mungkin berada
dalam kondisi sepsis ringan ataupun berat dengan adanya febris, takikardia,
hipotensif dan membutuhkan resusitasi sebelum operasi. Premedikasi dapat
diberikan 1-2 mg IV, kecuali pasien berada dalam kondisi sepsis atau tidak
stabil.1,3
Maintenance anestesi pada pasien ini menggunakan agen inhalasi sevoflurane
denagn dosis 2 vol% dan juga pemberian gas lain berupa oksigen dan air dengan
perbandingan 50:50, pada pasien ini tidak diberikan gas N2O karena akan berefek
memperburuk derajat PONV dan juga berpotensi berdifusi ke usus sehingga akan
mengakibatkan kesulitan untuk operator selama intraoperative.

3.3.4 Penanganan Nyeri dan Konsiderasi Paska Operasi


Nyeri paska operasi jauh lebih kecil dibandingkan dengan prosedur open
laparotomy. Meskipun demikian, tempat insersi dari instrumental operasi tetap
menyakitkan, insuflasi CO2 dan pneumoperitoneum residual dapat menyebabkan
iritasi diafragma, sehingga menyebabkan terjadinya referred pain ke bahu.
Infiltrasi dengan lokal anesthesia memberi manfaat pada tempat insersi dan
memilki komplikasi yang rendah. Dosis obat opioid dapat dibatasi dengan
kombinasi obat-obatan analgesia lainnya termasuk NSAIDs.1,2,3
Klirens komplit dari CO2 intra-abdominal mungkin membutuhkan lebih dari 1 jam
dan selama waktu tersebut, pasien kemungkinan mengalami referred pain pada
bahu dari iritasi diafragma. Meskipun demikian, kebanyakan pasien mampu
mentoleransinya, terkecuali pada pasien dengan pulmonary reserve yang terbatas
atau pasien dengan kondisi paralisis diafragma sebelumnya dimana kemungkinan
membutuhkan ventilasi mekanik paska operasi hingga CO 2 intra-abdominal telah
terabsorpsi penuh dan control nyeri telah optimal. Pendarahan paska operasi
sangat jarang terjadi, dan perlu diwaspadai terutama apabila terjadi instabilitas

15
hemodinamik, abdomen yang terdistensi, atau pun kadar hematokrit yang
rendah.1,3
VAS score pada operasi cholecyctectomy per laparoskopi yaitu 3.
Pada pasien diberikan analgetic post operasi berupa paracetamol 4x1 gram IV dan
ketorolac 3x30 mg iv, hal ini sesuia dengan VAS score pada operasi
cholecystectomy perlaparoscopy.

3.3.5 Komplikasi Operasi


Komplikasi kardiovaskuler yang sering terjadi adalah hipotensi selama insuflasi
peritoneum oleh karena penurunan CO sekunder yang disebabkan oleh penurunan
aliran darah vena. Selain itu, dapat juga terjadi vagal reflex oleh karena stimulasi
peregangan peritoneum, hipertensi atau takikardia Emfisema subkutis merupakan
salah satu komplikasi tersering yang dapat terjadi oleh karena ekstraperitoneal
insuflasi CO2 dimana komplikasi ini sering terjadi pada operasi yang
menggunakan lima atau lebih insisi dengan durasi operasi lebih lama dari 3.5 jam
dan tekanan intra-abdominal lebih dari 15 mmHg dan dengan posisi kanul yang
tidak baik. Kondisi ini harus dicurigai jika terjadi peningkatan ETCO2 lebih dari
25% atau lebih dari 50 mmHg setelah ETCO 2 telah mencapai plateu. Manajemen
terapinya termasuk deflasi abdomen dan re-inflasi pada tekanan yang lebih rendah
dan posisi kanul terkonfirmasi pada posisi yang benar. Komplikasi lain yang
mungkin dapat terjadi adalah embolisasi CO2 (jarang), trauma langsung pada
struktur vaskuler (insiden berkisar 0.02-0,03%), usus, dan kandung kencing
(insidens berkisar 0.4%), hipotermia dan komplikasi oleh karena posisi dimana
semua membutuhkan manajemen yang berbeda-beda.1

Tabel 3.3 Komplikasi Kardivaskular selama Operasi Laparoscopic


Cholecystectomy
Dikutip dari Barash, Cullen BF, Stoelting RK, et al.1

16
Tabel 3.3 Komplikasi Pneumoperitoneum selama Operasi Laparoscopic
Cholecystectomy
Dikutip dari Barash, Cullen BF, Stoelting RK, et al.1

17
3.1 Konsiderasi Anesthesia Pada Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor risiko utama terjadinya penyakit jantung, serebral,
ginjal dan pembuluh darah. Hipertensi yang terkontrol akan menurunkan
komplikasi terjadinya infark miokard, gagal jantung kongestif, stroke, gagal
ginjal, penyakit oklusi perifer dan diseksi aorta, sehingga morbiditas dapat
dikurangi. Konsekuensi dari penggunaan obat-obat anti hipertensi yang rutin
mempunyai potensi terjadinya interaksi dengan obat-obat yang digunakan selama
pembedahan. Banyak jenis obat-obatan yang harus tetap dilanjutkan selama
periode perioperatif, dimana dosis terakhir diminum sampai dengan 2 jam
sebelum prosedur pembedahan dengan sedikit air dan dilanjutkan kembali pada

18
saat pemulihan dari pengaruh anestesia. Hipertensi didefinisikan sebagai
peningkatan tekanan darah lebih dari 140 mmHg pada dua kali pengukuran atau
lebih. Peningkatan tekanan darah yang ekstrim selama periode preoperative
kemungkinan akan memberikan risiko perioperative ischemia, aritmia, dan
ketidakstabilan hemodinamik dan merupakan prediktor faktor independent untuk
terjadinya myocardial injury/MI atau mortalitas dalam 30 hari paska operasi.
Operasi elektif harus ditunda jika hipertensi berat terjadi dengan tekanan darah
lebih dari 180 mmHg untuk tekanan sistolik dan lebih dari 110 mmHg untuk
tekanan diastolic. Menurut The Joint National Committee 7 (JNC 7) on
prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood pressure tahun
2003, klasifikasi hipertensi dibagi atas prehipertensi, hipertensi derajat 1 dan 2. 1,2

Tabel 3.4 Klasifikasi Hipertensi Menurut JNC

Penilaian preoperatif penderita-penderita hipertensi esensial yang akan menjalani


prosedur pembedahan, harus mencakup 4 hal dasar yang harus dicari, yaitu
 Jenis pendekatan medikal yang diterapkan dalam terapi hipertensinya.
 Penilaian ada tidaknya kerusakan atau komplikasi target organ yang telah
terjadi.
 Penilaian yang akurat tentang status volume cairan tubuh penderita.
Semua data-data di atas bisa didapat dengan melakukan anamnesis riwayat
perjalanan penyakitnya, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin dan prosedur
diagnostik lainnya. Penentuan kelayakan penderita untuk dilakukan tindakan
teknik hipotensi, untuk prosedur pembedahan yang memerlukan teknik hipotensi.
Sampai saat ini belum ada protokol untuk penentuan TD berapa sebaiknya yang

19
paling tinggi yang sudah tidak bisa ditoleransi untuk dilakukannya penundaan
anestesia dan operasi. Namun banyak literatur yang menulis bahwa TDD 110 atau
115 adalah cut-off point untuk mengambil keputusan penundaan anestesi atau
operasi kecuali operasi emergensi. Kenapa TD diastolik (TDD) yang dijadikan
tolak ukur, karena peningkatan TD sistolik (TDS) akan meningkat seiring dengan
pertambahan umur, dimana perubahan ini lebih dianggap sebagai perubahan
fisiologik dibandingkan patologik. Namun beberapa ahli menganggap bahwa
hipertensi sistolik lebih besar risikonya untuk terjadinya morbiditas
kardiovaskuler dibandingkan hipertensi diastolik. Pendapat ini muncul karena dari
hasil studi menunjukkan bahwa terapi yang dilakukan pada hipertensi sistolik
dapat menurunkan risiko terjadinya stroke dan MCI pada populasi yang berumur
tua. Premedikasi dapat menurunkan kecemasan preoperatif penderita hipertensi.
Untuk hipertensi yang ringan sampai dengan sedang mungkin bisa menggunakan
ansiolitik seperti golongan benzodiazepin atau midazolam. Obat antihipertensi
tetap dilanjutkan sampai pada hari pembedahan sesuai jadwal minum obat dengan
sedikit air non partikel. Beberapa klinisi menghentikan penggunaan ACE inhibitor
dengan alasan bisa terjadi hipotensi intraoperatif.2,3
Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menimbulkan goncangan
hemodinamik pada pasien hipertensi. Saat induksi sering terjadi hipotensi namun
saat intubasi sering menimbulkan hipertensi. Hipotensi diakibatkan vasodilatasi
perifer terutama pada keadaan kekurangan volume intravaskuler sehingga
preloading cairan penting dilakukan untuk tercapainya normovolemia sebelum
induksi. Disamping itu hipotensi juga sering terjadi akibat depresi sirkulasi karena
efek dari obat anestesi dan efek dari obat antihipertensi yang sedang dikonsumsi
oleh penderita, seperti ACE inhibitor dan angiotensin receptor blocker.3,8,10
Hipertensi yang terjadi biasanya diakibatkan stimulus nyeri karena laringoskopi
dan intubasi endotrakea yang bisa menyebabkan takikardia dan dapat
menyebabkan iskemia miokard. Angka kejadian hipertensi akibat tindakan
laringoskopi-intubasi endotrakea bisa mencapai 25%. Dikatakan bahwa durasi
laringoskopi dibawah 15 detik dapat membantu meminimalkan terjadinya

20
fluktuasi hemodinamik Beberapa teknik dibawah ini bisa dilakukan sebelum
tindakan laringoskopi-intubasi untuk menghindari terjadinya hipertensi.6

 Dalamkan anestesia dengan menggunakan gas volatile yang poten selama 5-


10 menit.
 Berikan opioid (fentanil 2,5-5 mikrogram/kgbb, alfentanil 15-25
mikrogram/kgbb, sufentanil 0,25- 0,5 mikrogram/kgbb, atau ramifentanil 0,5-
1 mikrogram/ kgbb).
 Berikan lidokain 1,5 mg/kgbb intravena atau intratrakea.
 Menggunakan beta-adrenergik blockade dengan esmolol 0,3-1,5 mg/kgbb,
propanolol 1-3 mg, atau labetatol 5-20 mg).
 Menggunakan anestesia topikal pada airway..

Pemilihan obat induksi untuk penderita hipertensi adalah bervariasi untuk masing-
masing klinisi. Propofol, barbiturate, benzodiazepine dan etomidat tingkat
keamanannya adalah sama untuk induksi pada penderita hipertensi.3 Untuk
pemilihan pelumpuh otot vekuronium atau cis-atrakurium lebih baik dibandingkan
atrakurium atau pankuronium. Untuk volatile, sevofluran bisa digunakan sebagai
obat induksi secara inhalasi.2,3,6
Manajemen Pre Anestesi
1. Pada saat penilaian preoperatif, dilakukan pengecekan tekanan darah,
terapi anti hipertensi yang dikonsumsi komplikasi target organ yang telah
terjadi, serta status volume cairan tubuh pasien. Pada pasien didapatkan
tekanan darah 144/86 mmHg (hipertensi stage I) dengan rutin meminum
obat antihipertensi golongan Calsium channel blocker, yaitu Amlodipine
10 mg tablet per hari yang dilanjutkan sampai dengan semalam sebelum
dilakukan tindakan operasi. Tidak ditemukan adanya keluhan yang
mengarah ke komplikasi serebrovaskular, jantung, ginjal, dan tanda-tanda
decompensation kordis. Status hidrasi pasien cukup tanpa adanya tanda-
tanda dehidrasi.

21
2. Rekomendasi premedikasi yang diberikan yaitu ansiolitik golongan
benzodiazepine (Lorazepam) untuk menurunkan kecemasan preoperative
dengan dosis 0.05 mg/kgBB per oral yang diberikan sampai 2 jam sebelum
prosedur pembedahan.
3. Pemeriksaan penunjang dibutuhkan untuk evaluasi komplikasi target
organ seperti elektrokardiografi, rontgen thoraks untuk evaluasi jantung,
pemeriksaan ureum kreatinin untuk evaluasi fungsi ginjal juga dilakukan
dengan hasil pemeriksaan masih dalam batas normal

Manejemen Intra Operasi


1. Induksi pada laparoscopic cholecystectomy dilakukan dengan teknik
induksi standar dengan teknik general anesthesia endotrakeal paling sering
dibutuhkan pada prosedur ini oleh karena ketidaknyamanan dari efek
pneumoperitoneum dan membutuhkan penunjang ventilasi mekanik.
2. Standar monitoring selama operasi meliputi pemasangan NIBP,
Kapnografi (ETCO2), elektrokardiografi, dan pulse oximetry. Oleh karena
posisi yang ekstrim dan durasi operasi, bantalan yang memadai pada saraf
ulnar dan common peroneal. Dapat dilakukan pemasangan OG/NGT dan
kateter urine sebelum insisi untuk memastikan perut telah terdekompresi.
3. Pada periode maintenans, relaksan otot tetap diberikan untuk membatasi
tekanan insuflasi abdominal, maintenans anesthesia biasanya
menggunakan anestesi inhalasi. Nitrous oxide sebaiknya dihindari oleh
karena akan memperburuk PONV dan efek potensialnya yang berdifusi ke
usus sehingga memperparah kondisi operasi. Insuflasi menggunakan gas
CO2 dengan ventilasi terkontrol, peak pressure tidak melebihi 30 mmHg.
Selama operasi hemodinamik stabil, tekanan darah sistol berkisar 100-118
mmHg dengan diastol 65-80 mmHg, nadi berkisar di 70-85 kali per menit.
Saturasi Oksigen di 97-98%. Tekanan insuflasi CO2 dipertahankan <12
mmHg dan End tidal CO2 antara 33-35 mmHg. dan ETCO2 tidak melebihi
35 mmHg.

22
4. Oleh karena tingginya insiden PONV, antiemetic profilaksis dapat
diberikan (contohnya Ondansetron 4 mg secara intravena yang diberikan
30-60 menit sebelum operasi selesai. Selain itu terdapat efek benefisial
dengan pemberian dosis tunggal dexamethasone 0.1 mg/kgBB untuk
menurunkan risiko PONV dan nyeri paska operasi. Sebelum dilakukan
insisi, pasien diberikan dosis tunggal Dexamethasone 5 mg IV (0.1
mg/kgBB). Selain itu, Antiemetic dengan 4 mg Ondansetron secara
intravena diberikan setengah jam sebelum operasi selesai.

Manejemen Post Operasi


1. Pasien mendapatkan oksigen suplementasi dengan 3 liter per menit via
nasal kanul untuk mengurangi efek pneumoperitoneum pada pernafasan
2. Nyeri paska operasi jauh lebih kecil dibandingkan dengan prosedur open
laparotomy. Meskipun demikian, tempat insersi dari instrumental operasi
tetap menyakitkan, insuflasi CO2 dan pneumoperitoneum residual dapat
menyebabkan iritasi diafragma, sehingga menyebabkan terjadinya
referred pain ke bahu yang berespon dengan pemberian ketorolac 15-30
mg IV. Umumnya intensitas nyeri bernilai 3 pada prosedur ini dengan
analgetik paska operasi dapat diberikan opioid dosis rendah
dikombinasikan dengan obat-obatan analgesia lainnya termasuk NSAIDs.

23
BAB IV
SIMPULAN

Operasi ini biasanya lebih dipilih atas indikasi batu kandung empedu simptomatis
atau kolesistitis akut dibandingkan dengan open cholecystectomy oleh karena
merupakan teknik invasif minimal yang memberikan keuntungan dari segi proses
pemulihan yang lebih cepat dan pasien dapat kembali melakukan aktivitasnya.
Pasien dengan penyakit kardiovaskular terutama hipertensi, penyakit jantung
iskemik, penyakit jantung kongenital, dan penyakit katup jantung merupakan
kondisi medis yang paling sering ditemui dalam praktek anestesi dan pembedahan
non kardiak, tidak terkecuali pada operasi elektif kolesistektomi per laparoskopik.
Manajemen anestesi pada pasien yang menjalani kolesistektomi perlaparoskopik
dengan komorbid hipertensi perlu mempertimbangkan perubahan fisiologis multi
sistem selama prosedur, termasuk perubahan kardiovaskular dan fungsi respirasi.
Manajemen nyeri pasca operasi juga perlu diperhatikan berkaitan dengan tempat
insersi instrument, insuflasi CO2 dan residual efek pneumoperitoneum yang dapat
mengakibatkan iritasi diafragma dan referred pain pada bahu. Selain itu, prosedur
ini juga dihubungkan dengan adanya postoperative emesis (PONV), sehingga
prophylaxis dan manajemen PONV juga merupakan hal yang esensial.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK, et al. Clinical Anesthesia Fundamentals.
7th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer health; 2015; 509-17
2. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Clinical Anesthesiology. 5 th ed.
Virginia : McGraw-Hill; 2013, 825-76.
3. Jaffe RA, Schmiesing CA, Golianu B. Anesthesiologist’s Manual Of Surgical
Procedures. 5th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer health; 2014; 584-94.
4. Longnecker DE, Mackey SC, Newman MF, et al. Anesthesiology. 3rd ed.
Virginia: McGraw-Hill; 2013, 825-76.
5. Sellbrant I, Ledin G, Jakobsson JG. Laparoscopic Cholecystectomy
Perioperative Management: an update. In Ambulatory Anesthesia. 2015: 2;
53-57. DOI: 10.2147/AA. S86408
6. Kuwajerwala NK. Perioperative medication management; Available at:
http://www. emedicine. com/MED/ topic3158.htm

25

You might also like