Professional Documents
Culture Documents
CR Kolesistektomi Per Laparoskopik + Hipertensi Dr. Gama
CR Kolesistektomi Per Laparoskopik + Hipertensi Dr. Gama
Oleh :
Gama Akbar Firdausy
NPM 130121210511
Pembimbing :
Dr. dr. Erwin Pradian, Sp.An.,KIC.,KAR.,M.Kes
Laporan Kasus I
Abstrak
2
ANESTHETIC MANAGEMENT ON PATIENT WITH
SIMPTOMATIC MULTIPLE CHOLELITHIASIS WITH STAGE I
HYPERTENSION UNDERGO LAPAROSCOPIC
CHOLECYSTECTOMY
Abstract
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
kardiovaskuler yang telah mengalami gangguan. Sebagai tambahan pada pasien
dengan hipertensi preoperatif akan lebih rentan mengalami hipotensi intraoperatif
khusunya yang mengkonsumsi obat anti hipertensi Angiotensin receptor blocker
dan/atau Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitors. Iskemia miokard,
aritmia, serta hipertensi dan hipotensif alternans intraoperatif sering dijumpai pada
kondisi hipertensi kronis yang tidak terkontrol.1,2,4
Manajemen anestesi pada pasien yang menjalani kolesistektomi perlaparoskopik
perlu mempertimbangkan perubahan fisiologis multi sistem selama prosedur.
Pada sistem kardiovaskuler akan mengalami perubahan oleh karena peningkatan
tekanan intra-abdominal lebih dari 10 mmHg yang meliputi penurunan cardiac
output, peningkatan resistensi sistemik vaskular, dan stimulasi reflex vagal oleh
karena fase insuflasi CO2 dan peregangan peritoneum. Pada sistem respirasi,
insuflasi intra-abdominal dapat menurunkan komplians paru dan functional
residual capacity yang berakibat pada atelectasis. Selain itu, posisi selama operasi
(steep Trandelenburg dan reverse Trandelenburg) dan efek kardiovaskular oleh
karena pneumoperitoneum mungkin tidak mampu ditoleransi oleh pasien dengan
pre-existing penyakit kardiovasuler berat. Manajemen nyeri pasca operasi juga
perlu diperhatikan berkaitan dengan tempat insersi instrument, insuflasi CO2 dan
residual efek pneumoperitoneum yang dapat mengakibatkan iritasi diafragma dan
referred pain pada bahu. Selain itu, prosedur ini juga dihubungkan dengan adanya
postoperative emesis (PONV), sehingga prophylaxis dan manajemen PONV juga
merupakan hal yang esensial.1,2,3
5
BAB II
LAPORAN KASUS
Anamnesa
Pasien mengeluh nyeri perut kanan kanan sejak lebih kurang lebih dua bulan
sebelum masuk RS. Nyeri dirasakan hilang timbul disertai mual dan muntah.
Riwayat badan dan mata kuning disangkal, buang air besar seperti dempul
disangkal, buang air kecil seperti the disangkal. Pasien memiliki riwayat
hipertensi sejak satu tahun yang lalu dan rutin mengkonsumsi obat anti hipertensi
Amlodipine 1x10 mg tablet per oral setiap malam. Riwayat penyakit penyerta lain
tidak ada, riwayat alergi obat dan makanan tidak ada. Riwayat operasi dan
anestesi tidak ada. Pasien terakhir makan 8 jam yang lalu.
Pemeriksaan Fisik
Pasien dengan kesadaran compos mentis dan hemodinamik stabil dengan tekanan
darah 146/88 mmHg, pada pemeriksaan fisik cardio pulmonal dalam batas
normal.
Pemeriksaan Penunjang
Pada Pemeriksaan penunjang laboratorium darah lengkap parameter lainnya
termasuk fungsi hepar, ginjal, faktor koagulasi masih dalam batas normal.
Terdapat hyponatremia 133 meq/L, dan hipokalemia 3,3 meq/L.
Pada pemeriksaan Elektrokardiografi didapatkan irama sinus dengan denyut
jantung 84 kali per menit
Pada pemeriksaan imaging Rontgen thorax PA cor dan pulmo tidak tampak
kelainan radiologis
Pada pemeriksaan USG Abdomen didapatkan multiple cholelithiasis dengan
cholesistitis. Parenchyma liver, pancreas, dan spleen tidak tampak kelainan.
6
Diagnosa
Multiple Cholelithiasis
Hipertensi Stage I
ASA II
Penatalaksanaan Anestesi
Persiapan pasien :
Pasien dan keluarga pasien diberikan penjelasan mengenai kondisi/keadaan pasien
saat ini, prosedur anestesi serta komplikasi yang akan dihadapi dan bagaimana
penangannya dan dilakukan penanda tanganan informed concent persetujuan
tindakan anestesi. Pasien dipuasakan 8 jam pre operasi (pasien masih dapat
minum clear fluid 2 jam pre operasi) dan dipasang akses intravena dan diberikan
cairan maintenance dengan cairan Ringer Laktat 100cc/jam. Selain itu, pasien
diberikan premedikasi dengan Lorazepam 1 mg tab pada malam hari sebelum
operasi dan 2 jam sebelum tindakan operasi. Obat anti hipertensi Amlodipine
1x10 mg tabler per oral dilanjutkan dan diberikan malam sebelum tindakan
operasi.
Pra Operasi
Pasien masuk kamar operasi dan pemasangan alat monitoring ECG tiga lead,
tekanan darah, pulse oxymetri, dan end tidal CO2. Dilakukan pengukuran tanda
tanda vital dengan hasil tekanan darah 136/88 mmHg, nadi 86 kali per menit,
respirasi 22 kali per menit, suhu badan 36.8 derajat Celsius, dan saturasi oksigen
99% dengan udara bebas. Dilakukan pemasangan kateter kencing dengan Folley
catheter ukuran 16 Fr serta pemasangan NGT ukuran 14 Fr.
Intra Operasi
Pasien dilakukan preoksigenasi dengan 100% O2 selama 3 menit dan dilakukan
diinduksi dengan Fentanyl 100 mcg (2 mcg/kgBB), Propofol 100 (2mg/kgBB)
7
dan Atracurium 25 mg (0.5 mg/kgBB). Intubasi dilakukan dengan direct
laryngoscope menggunakan Endotracheal tube non spiral no 7.0. Maintenance
dengan Sevoflurane 2 Vol 2%, O 2:Air, FiO2 50%. Sebelum dilakukan insisi,
pasien diberikan dosis tunggal Dexamethasone 5 mg IV (0.1 mg/kgBB)
Selama operasi hemodinamik stabil, tekanan darah sistol berkisar 100-118 mmHg
dengan diastol 65-80 mmHg, nadi berkisar di 70-85 kali per menit. Saturasi
Oksigen di 98-99%. Tekanan insuflasi CO2 dipertahankan <12 mmHg dan End
tidal CO2 antara 33-35 mmHg. Operasi berlangsung selama 3 jam dengan
maintenance cairan dengan RL sebanyak 1100 ml. Perdarahan sekitar 50 ml
dengan urine output 200 ml/3 jam. Antiemetic dengan 4 mg Ondansetron secara
intravena diberikan setengah jam sebelum operasi selesai.
Setelah operasi selesai, dilakukan deep extubation dan diberikan analgetik paska
operasi dengan Paracetamol 1 gram setiap 6 jam dan Ketorolac 30 mg intravena
setiap 8 jam.
Post Operasi
Selesai operasi, hemodinamik dan kondisi klinis pasien di observasi di ruang
pemulihan selama 2 jam dengan diberikan suplementasi Oksigen 3 liter per menit
via nasal kanul. Pasien stabil dengan TD 118/67mmHg, Nadi 88 x/menit, RR 18
x/menit, SpO2 98 %. Post operasi pasien dirawat di ruang perawatan.
8
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Konsiderasi Operasi
Operasi ini biasanya lebih dipilih atas indikasi batu kandung empedu simptomatis
atau kolesistitis akut dibandingkan dengan open cholecystectomy oleh karena
merupakan teknik invasif minimal yang memberikan keuntungan dari segi proses
pemulihan yang lebih cepat dan pasien dapat kembali melakukan aktivitasnya.
Laparoscopic cholecystectomy memiliki empat langkah prosedur, yaitu akses pada
kavum peritoneal dengan sebelumnya melakukan dekompresi melalui
pemasangan kateter kencing dan urine, pengadaan pneumoperitoneum, prosedur
ooperasi, dan penutupan area operasi. Prosedur ini dikontraindikasikan pada
pasien dengan gangguan faktor koagulasi yang tidak dapat terkoreksi, pasien
dengan COPD berat, dan penyakit kardiovascular yang berat yang tidak mampu
mentoleransi peningkatan tekanan intraabdominal. Sebagai tambahan, pasien
dengan riwayat operasi perut sebeleumnya atau kondisi akut kolesistitis memiliki
risiko yang lebih tinggi untuk dikonversi menjadi operasi open cholecystectomy.1,2
Operasi laparoscopic cholecystectomy dimulai dengan mendapatkan akses ke
kavum abdominal melalui umbilikus, baik melalui teknok Veress needle (Teknik
tertutup: blind placement) maupun Hasson trocar (teknik terbuka yang mampu
menurunkan risiko cidera vaskuler, kandung empdeu dan organ usus. Gas CO2
diinsuflasikan ke dalam rongga intraabdominal untuk mencapai tekanan kurang
dari 15 mmHg. Jika pasien mengalami masalah ventilasi dan hemodinamik,
pertimbangkan untuk menurunkan tekanan intraabdominal menjadi 10-12 mmHg.
Sebanyak empat akses trokar diperlukan : satu pada umbilicus dan tiga lainnya
pada kuadran kanan atas. Pasien ditempatkan pada posisi reverse Trendelenberg
sedikit dirotasikan ke kiri agar lambung, duodenum, dan transverse colon
menjauh dari jangkauan lapangan operasi. Gas CO2 diinsuflasi perlahan lahan
sampai tekanan intra-abdominal mencapai 10-15 mmHg dan dinding abdomen
cukup terdistensi sehingga memungkinkan prosedur ooperasi dimulai. Cystic
artery dan cystic duct (dengan hepatic duct=triangle calot) diklem dan dipotong.
Kandung empedu kemudian di diseksi dari hepar dengan kauter monopolar,
9
ditempatkan pada kantong dan dikeluarkan melalui akses trokar di umbilical.
Hemostasi tercapai, kemudian area di bersiihkan dengan Normal saline dan akses
trokar ditutup.1
10
Pneumoperitoneum akan mengakibatkan hiperemia splanchnic moderat oleh
karena efek vasodilatasi dari CO2 yang terabsorpsi. Dalam kondis kontras,
pneumoperitoneum akan menurunkan aliran darah renal, lajut fiktrasi glomerular,
dan output urin sampai dengan 50%. Aliran darah seberal akan meningkat selama
pneumoperitoneumoleh karena peningkatan PaCO2 arterial. Ini merupakan efek
transien jika normokarbia dilakukan dengan meningkatkan ventilasi semenit yang
sesuai. Akan tetapi, jika posisi steep Trendelenburg dilakukan, ini akan
mengakibatkan peningkatan tekanan intraocular dan lebih lanjut dapat
meningkatkan tekanan intrakranial. Dengan demikian, pasien dengan risiko
hipertensi serebral dan yang dengan kondisi glukoma tidak terkontrol bukan
merupakan kandidat untuk prosedur ini.1,3,5
3.2.4 Efek Respirasi
Efek insuflasi akan mendorong diafragma ke atas, menyebabkan terjadinya
penurunan komplians respirasi dan thoraks serta FRC. Perubahan ini akan
meningkatkan risiko atelectasis, terkecuali bila diberikan PEEP (Positive end-
expiratory pressure) dan manuver periodic recruitment. Teknik anesthesia general
dan kombinasi efek dari pneumoperitoneum meningkatkan ventilasi dan perfusi
mismatching yang dapat menurunkan PaO2. Tes fungsi paru paska operasi
menunjukkan adanya penurunan FEV1 dan FVC.3,4,5
11
Tabel 3.2 Perubahan Fisiologi selama Operasi Laparoscopic Cholecystectomy
Dikutip dari Barash, Cullen BF, Stoelting RK, et al.1
12
membutuhkan penunjang ventilasi mekanik. Pada pasien dengan kondisi
nonstabil, meskipun telah diresusitasi, pasien dapat lebih rentan terhadap efek
anesthesia dan ventilasi tekanan positif. Pertimbangkan akses intravena tambahan,
monitoring tekanan arterial invasif dan pemasangan akses vena sentral. Etomidate
dapat digunakan sebagai agent induksi dalam kondisi demikian. Dapat dilakukan
pemasangan OG/NGT sebelum insisi untuk memastikan perut telah
terdekompresi.1,3,4,5
Pada pasien dilakukan Tindakan general anestesi dengan induksi menggunakan
trias anestesi berupa sedasi menggunakan propofol dengan dosis 2 mg/kgbb,
analgetic dengan fentanyl dengan dosis 2 mcg/kgbb dan muscle relaxant
menggunakan atracurium dengan dosis 0,5 mg/kgbb.
13
Trendelenburg dilakukan secara perlahan untuk memberikan waktu bagi
manajemen perubahan hemodinamik dan menghindari terjadinya perpindahan
endotracheal tube.3,4,5
Oleh karena tingginya insiden PONV, antiemetic profilaksis dapat diberikan
(contohnya Ondansetron 4 mg secara intravena yang diberikan 30-60 menit
sebelum operasi selesai. Pendarahan biasanya minimal, namun dapat terjadi risiko
pendarahan mayor terutama jika terjadi puncure vaskuler, pertimbangkan
pemasangan akses intravena tambahan dan konversi ke teknik Open
cholecystectomy.
Pada awal prosedur, pasien diposisikan trendelenberg, dimana dapat
menyebabkan terjadinya peningkatan aliran darah balik (venous return), volume
paru, dan berpotensi untuk terjadinya intubasi endobronchial. Selanjutnya Ketika
diposisikan reverse trendelenberg akan terjadi kondisi sebaliknya.
Komplikasi yang dapat terjadi selama operasi laparoscopic cholecystectomy
meliputi komplikasi respirasi, kardiovaskular, perlukaan organ visceral,
hipotermia, PONV, dan shoulder pain. Pneumoperitoneum dengan CO2
memungkinkan dilakukannya prosedur operasi, akan tetapi ini dapat
menyebabkan terjadinya cephalad displacement dari diafragma, sehingga
menurunkan FRC, komplians paru, dan dapat terjadi atelectasis yang
termanifestasikan dengan peningkatan PIP, penurunan PO2 dan peningkatan
PCO2. Ventilasi harus dikontrol selama prosedur untuk meminimalkan efek dari
pneumoperitoneum dan hypercarbia. Pneumotoraks dapat terjadi dengan
manifestasi penurunan PO2, peningkatan PIP, instabilitas hemodinamik, dan
emfisema subkutan. Posisi ETT dapat berubah dengan perubahan posisi dari
pasien bersangkutan. Komplikasi kardiovaskuler meliputi penurunan tekanan
darah Ketika pasien dalam posisi reverse trendelenberg dan dari penurunan aliran
darah balik oleh karena pneumoperitoneum yang meningkatkan tekanan
intraabdominal sampai lebih dari 15 mmHg. Pendarahan dapat terjadi oleh karena
vascular puncture oleh karena penempatan trokar. Sedangkan pada vacular
injection oleh CO dapat mengakibatkan air emboli dengan manifestasi penurunan
tekanan darah, disritmia, bahkan kolaps nya sistem kardiovaskular. Kondisi
14
emfisema subkutis dapat terjadi dengan adanya peningkatan tekanan insuflasi
melebihi 12 mmHg. Shoulder pain dapat terjadinya oleh karena adanya
pneumoperitoneum namun bersifat self-limited.3,4,5
Pada periode paska operasi, fungsi respirasi akan mengalami pemulihan yang
lebih cepat dibandingkan prosedur open cholecystectomy. Pasien mungkin berada
dalam kondisi sepsis ringan ataupun berat dengan adanya febris, takikardia,
hipotensif dan membutuhkan resusitasi sebelum operasi. Premedikasi dapat
diberikan 1-2 mg IV, kecuali pasien berada dalam kondisi sepsis atau tidak
stabil.1,3
Maintenance anestesi pada pasien ini menggunakan agen inhalasi sevoflurane
denagn dosis 2 vol% dan juga pemberian gas lain berupa oksigen dan air dengan
perbandingan 50:50, pada pasien ini tidak diberikan gas N2O karena akan berefek
memperburuk derajat PONV dan juga berpotensi berdifusi ke usus sehingga akan
mengakibatkan kesulitan untuk operator selama intraoperative.
15
hemodinamik, abdomen yang terdistensi, atau pun kadar hematokrit yang
rendah.1,3
VAS score pada operasi cholecyctectomy per laparoskopi yaitu 3.
Pada pasien diberikan analgetic post operasi berupa paracetamol 4x1 gram IV dan
ketorolac 3x30 mg iv, hal ini sesuia dengan VAS score pada operasi
cholecystectomy perlaparoscopy.
16
Tabel 3.3 Komplikasi Pneumoperitoneum selama Operasi Laparoscopic
Cholecystectomy
Dikutip dari Barash, Cullen BF, Stoelting RK, et al.1
17
3.1 Konsiderasi Anesthesia Pada Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor risiko utama terjadinya penyakit jantung, serebral,
ginjal dan pembuluh darah. Hipertensi yang terkontrol akan menurunkan
komplikasi terjadinya infark miokard, gagal jantung kongestif, stroke, gagal
ginjal, penyakit oklusi perifer dan diseksi aorta, sehingga morbiditas dapat
dikurangi. Konsekuensi dari penggunaan obat-obat anti hipertensi yang rutin
mempunyai potensi terjadinya interaksi dengan obat-obat yang digunakan selama
pembedahan. Banyak jenis obat-obatan yang harus tetap dilanjutkan selama
periode perioperatif, dimana dosis terakhir diminum sampai dengan 2 jam
sebelum prosedur pembedahan dengan sedikit air dan dilanjutkan kembali pada
18
saat pemulihan dari pengaruh anestesia. Hipertensi didefinisikan sebagai
peningkatan tekanan darah lebih dari 140 mmHg pada dua kali pengukuran atau
lebih. Peningkatan tekanan darah yang ekstrim selama periode preoperative
kemungkinan akan memberikan risiko perioperative ischemia, aritmia, dan
ketidakstabilan hemodinamik dan merupakan prediktor faktor independent untuk
terjadinya myocardial injury/MI atau mortalitas dalam 30 hari paska operasi.
Operasi elektif harus ditunda jika hipertensi berat terjadi dengan tekanan darah
lebih dari 180 mmHg untuk tekanan sistolik dan lebih dari 110 mmHg untuk
tekanan diastolic. Menurut The Joint National Committee 7 (JNC 7) on
prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood pressure tahun
2003, klasifikasi hipertensi dibagi atas prehipertensi, hipertensi derajat 1 dan 2. 1,2
19
paling tinggi yang sudah tidak bisa ditoleransi untuk dilakukannya penundaan
anestesia dan operasi. Namun banyak literatur yang menulis bahwa TDD 110 atau
115 adalah cut-off point untuk mengambil keputusan penundaan anestesi atau
operasi kecuali operasi emergensi. Kenapa TD diastolik (TDD) yang dijadikan
tolak ukur, karena peningkatan TD sistolik (TDS) akan meningkat seiring dengan
pertambahan umur, dimana perubahan ini lebih dianggap sebagai perubahan
fisiologik dibandingkan patologik. Namun beberapa ahli menganggap bahwa
hipertensi sistolik lebih besar risikonya untuk terjadinya morbiditas
kardiovaskuler dibandingkan hipertensi diastolik. Pendapat ini muncul karena dari
hasil studi menunjukkan bahwa terapi yang dilakukan pada hipertensi sistolik
dapat menurunkan risiko terjadinya stroke dan MCI pada populasi yang berumur
tua. Premedikasi dapat menurunkan kecemasan preoperatif penderita hipertensi.
Untuk hipertensi yang ringan sampai dengan sedang mungkin bisa menggunakan
ansiolitik seperti golongan benzodiazepin atau midazolam. Obat antihipertensi
tetap dilanjutkan sampai pada hari pembedahan sesuai jadwal minum obat dengan
sedikit air non partikel. Beberapa klinisi menghentikan penggunaan ACE inhibitor
dengan alasan bisa terjadi hipotensi intraoperatif.2,3
Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menimbulkan goncangan
hemodinamik pada pasien hipertensi. Saat induksi sering terjadi hipotensi namun
saat intubasi sering menimbulkan hipertensi. Hipotensi diakibatkan vasodilatasi
perifer terutama pada keadaan kekurangan volume intravaskuler sehingga
preloading cairan penting dilakukan untuk tercapainya normovolemia sebelum
induksi. Disamping itu hipotensi juga sering terjadi akibat depresi sirkulasi karena
efek dari obat anestesi dan efek dari obat antihipertensi yang sedang dikonsumsi
oleh penderita, seperti ACE inhibitor dan angiotensin receptor blocker.3,8,10
Hipertensi yang terjadi biasanya diakibatkan stimulus nyeri karena laringoskopi
dan intubasi endotrakea yang bisa menyebabkan takikardia dan dapat
menyebabkan iskemia miokard. Angka kejadian hipertensi akibat tindakan
laringoskopi-intubasi endotrakea bisa mencapai 25%. Dikatakan bahwa durasi
laringoskopi dibawah 15 detik dapat membantu meminimalkan terjadinya
20
fluktuasi hemodinamik Beberapa teknik dibawah ini bisa dilakukan sebelum
tindakan laringoskopi-intubasi untuk menghindari terjadinya hipertensi.6
Pemilihan obat induksi untuk penderita hipertensi adalah bervariasi untuk masing-
masing klinisi. Propofol, barbiturate, benzodiazepine dan etomidat tingkat
keamanannya adalah sama untuk induksi pada penderita hipertensi.3 Untuk
pemilihan pelumpuh otot vekuronium atau cis-atrakurium lebih baik dibandingkan
atrakurium atau pankuronium. Untuk volatile, sevofluran bisa digunakan sebagai
obat induksi secara inhalasi.2,3,6
Manajemen Pre Anestesi
1. Pada saat penilaian preoperatif, dilakukan pengecekan tekanan darah,
terapi anti hipertensi yang dikonsumsi komplikasi target organ yang telah
terjadi, serta status volume cairan tubuh pasien. Pada pasien didapatkan
tekanan darah 144/86 mmHg (hipertensi stage I) dengan rutin meminum
obat antihipertensi golongan Calsium channel blocker, yaitu Amlodipine
10 mg tablet per hari yang dilanjutkan sampai dengan semalam sebelum
dilakukan tindakan operasi. Tidak ditemukan adanya keluhan yang
mengarah ke komplikasi serebrovaskular, jantung, ginjal, dan tanda-tanda
decompensation kordis. Status hidrasi pasien cukup tanpa adanya tanda-
tanda dehidrasi.
21
2. Rekomendasi premedikasi yang diberikan yaitu ansiolitik golongan
benzodiazepine (Lorazepam) untuk menurunkan kecemasan preoperative
dengan dosis 0.05 mg/kgBB per oral yang diberikan sampai 2 jam sebelum
prosedur pembedahan.
3. Pemeriksaan penunjang dibutuhkan untuk evaluasi komplikasi target
organ seperti elektrokardiografi, rontgen thoraks untuk evaluasi jantung,
pemeriksaan ureum kreatinin untuk evaluasi fungsi ginjal juga dilakukan
dengan hasil pemeriksaan masih dalam batas normal
22
4. Oleh karena tingginya insiden PONV, antiemetic profilaksis dapat
diberikan (contohnya Ondansetron 4 mg secara intravena yang diberikan
30-60 menit sebelum operasi selesai. Selain itu terdapat efek benefisial
dengan pemberian dosis tunggal dexamethasone 0.1 mg/kgBB untuk
menurunkan risiko PONV dan nyeri paska operasi. Sebelum dilakukan
insisi, pasien diberikan dosis tunggal Dexamethasone 5 mg IV (0.1
mg/kgBB). Selain itu, Antiemetic dengan 4 mg Ondansetron secara
intravena diberikan setengah jam sebelum operasi selesai.
23
BAB IV
SIMPULAN
Operasi ini biasanya lebih dipilih atas indikasi batu kandung empedu simptomatis
atau kolesistitis akut dibandingkan dengan open cholecystectomy oleh karena
merupakan teknik invasif minimal yang memberikan keuntungan dari segi proses
pemulihan yang lebih cepat dan pasien dapat kembali melakukan aktivitasnya.
Pasien dengan penyakit kardiovaskular terutama hipertensi, penyakit jantung
iskemik, penyakit jantung kongenital, dan penyakit katup jantung merupakan
kondisi medis yang paling sering ditemui dalam praktek anestesi dan pembedahan
non kardiak, tidak terkecuali pada operasi elektif kolesistektomi per laparoskopik.
Manajemen anestesi pada pasien yang menjalani kolesistektomi perlaparoskopik
dengan komorbid hipertensi perlu mempertimbangkan perubahan fisiologis multi
sistem selama prosedur, termasuk perubahan kardiovaskular dan fungsi respirasi.
Manajemen nyeri pasca operasi juga perlu diperhatikan berkaitan dengan tempat
insersi instrument, insuflasi CO2 dan residual efek pneumoperitoneum yang dapat
mengakibatkan iritasi diafragma dan referred pain pada bahu. Selain itu, prosedur
ini juga dihubungkan dengan adanya postoperative emesis (PONV), sehingga
prophylaxis dan manajemen PONV juga merupakan hal yang esensial.
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK, et al. Clinical Anesthesia Fundamentals.
7th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer health; 2015; 509-17
2. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Clinical Anesthesiology. 5 th ed.
Virginia : McGraw-Hill; 2013, 825-76.
3. Jaffe RA, Schmiesing CA, Golianu B. Anesthesiologist’s Manual Of Surgical
Procedures. 5th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer health; 2014; 584-94.
4. Longnecker DE, Mackey SC, Newman MF, et al. Anesthesiology. 3rd ed.
Virginia: McGraw-Hill; 2013, 825-76.
5. Sellbrant I, Ledin G, Jakobsson JG. Laparoscopic Cholecystectomy
Perioperative Management: an update. In Ambulatory Anesthesia. 2015: 2;
53-57. DOI: 10.2147/AA. S86408
6. Kuwajerwala NK. Perioperative medication management; Available at:
http://www. emedicine. com/MED/ topic3158.htm
25