You are on page 1of 9

KELOMPOK SOSIAL, PERUBAHAN SOSIAL SERTA

MASALAH SOSIAL YANG DIHADAPI MASYARAKAT


URBAN

Kurniawati Iskandar
Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Makassar
E-mail: kurniawatiiskanda9@gmail.com

Abstract
Society is always changing, and changes that occur in society are very natural and
certainly unavoidable. Changes that occur due to the modernization process will shackle
society to a consumptive culture, hedonism, and so on. The purpose of writing this article
is to introduce to readers of all ages in the community about Social Groups and Urban
Socio-Cultural Change, Urban Community Social Problems. Social problems are
undesirable conditions in society because they can disturb the peace of society and action
is needed as a result of a collective agreement to overcome them or fix them. Social
problems are considered as problems because they involve immoral behavior, as opposed
to destructive laws. It is impossible to study social problems without considering the
societal standards of what is considered good and what is considered bad. A social group
is a collection of people who share a common sense of membership and interact with each
other. The purpose of the formation of social groups is to realize the application of social
values that exist and are needed in a social structure in a society.

Abstrak
Masyarakat akan selalu berubah, dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat merupakan
hal yang sangat wajar dan pastinya tidak dapat kita hindari. Perubahan terjadi karena
proses modernisasi akan membelenggu masyarakat pada budaya konsumtif, hedonisme,
dan lain sebagainya. Tujuan dari pembuatan artikel ini yaitu untuk memperkenalkan
kepada pembaca dari semua kalangan usia dalam lingkungan masyarakat mengenai
Kelompok sosial dan Perubahan Sosial-Budaya Masyarakat Urban, Masalah Sosial
Masyarakat Kota. Masalah sosial merupakan kondisi yang tidak diinginkan ada di dalam
masyarakat karena dapat mengganggu kehidupan masyarakat dan diperlukan adanya
tindakan sebagai hasil dari kesepakatan bersama untuk mengatasinya. Masalah sosial
dianggap sebagai persoalan karena memuat tata kelakuan yang bersifat immoral,
berlawanan arah dengan hukum yang bersifat merusak. Masalah sosial tidak akan
mungkin ditelaah tanpa mempertimbangkan ukuran-ukuran masyarakat mengenai apa
yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Kelompok sosial merupakan kumpulan
manusia yang memiliki kesadaran bersama dan saling berinteraksi. Tujuan dibentuknya
kelompok sosial adalah mewujudkan penerapan nilai-nilai sosial yang ada dan dibutuhkan
dalam suatu struktur sosial pada masyarakat.

Kata Kunci: Kelompok Sosial, Perubahan Sosial Masyarakat Urban, Masalah Sosial

Pendahuluan
Perubahan sosial adalah suatu hal yang tidak mungkin dapat dihindari. Setiap detik dari
kehidupan di dunia ini seseorang tidak dapat dilepaskan dari perubahan. Berbagai aspek
kehidupan mengalami peningkatan bahkan perubahan dari yang sebelumnya dianggap
tradisional menjadi modern. Perubahan sosial terkadang didahului oleh penggunaan teknologi
terkini. Sebagai contoh pemakaian media komunikasi menjadikan seseorang sangat mudah
mendapatkan informasi dari berbagai belahan dunia lain (Muhammad, 2017).
Wilayah kota pada umumnya dipahami sebagai bentuk kehidupan masyarakat yang
sangat individual, penuh kemewahan, gedung yang menjulang tinggi, kendaraan yang berlalu
lalang yang berakhir pada menciptakan kemacetan di setiap jalan, dan adanya kantor juga
pabrik yang besar. Secara sosial, kehidupan masyarakat perkotaan dinilai sebagai kehidupan
yang heterogen, individual, persaingan yang cukup tinggi, dan merupakan pusat dari
perubahan yang dapat menimbulkkan terjadinya konflik. Masyarakat perkotaan terkadang
meninggalkan kepercayaan yang berkaitan dengan kekuatan alam serta pola hidupnya dan
lebih bersifat rasional dengan mempertimbangkan aspek untung rugi. Mayoritas masyarakat
perkotaan adalah pendatang dari berbagai daerah dengan latar belakang sosio-kultur yang
bermacam-macam corak kehidupan dan bentuknya. Kedatangan warga dari berbagai daerah
memiliki tujuan yang bermacam-macam, selain mencari pekerjaan secara keseluruhan, ada
juga yang sekedar mencari hiburan, juga untuk menempuh jenjang pendidikan tertentu.
Perjalanan evolusi kebudayaan sering dimulai dari pusat khusus desa, yang menuntutnya
menjadi kota besar. Adanya masyarakat pedesaan akan sangat penting bagi proses
pertumbuhan kota (Burlian, 2016).

Tinjauan Pustaka
a. Pengertian Masyarakat Urban
Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), urban diartikan sebagai hal-hal
yang berkaitan dengan kota, bersifat kekotaan, atau orang yang pindah dari desa ke kota.
Sementara itu, dilihat dari asoek dinamikanya, maka masyarakat urban adalah masyarakat
yang lahir dan direproduksi oleh proses modernitas dalam dinamika institusi modern.
Anthony Gidden membayangkan masyarakat urban sebagai tipikal manusia yang hidup pada
dekade terakhir abd ke-20 yang memiliki kesempatan luas untuk menyebar ke berbagai
belahan dunia menikmati eksistensinya. Bahkan ia membayangkan masyarakat urban yang
modern tersebut, memiliki sisi-sisi mengerikan yang menurutnya adalah fenomena nyata
dewasa ini (A. Ahmadin, 2021).

b. Ciri-ciri Struktur Sosial Masyarakat Urban

Menurut Daldjoeni, ciri-ciri struktur sosial kota terdiri atas beberapa gejala sebagaimana
diuraikan berikut:

1. Heterogenitas Sosial, yakni kepadatan penduduk mendorong terjadinya persaingan-


persaingan dalam pemanfaatan ruang. Orang dalam bertindak memilih-milih mana yang
paling menguntungkan baginya, sehingga akhirnya tercapai spesialisasi. Kota juga
merupakan melting pot bagi aneka suku maupun ras.
2. Hubungan sekunder, yakni pengenalan dengan orang lain serba terbatas pada bidang hidup
tertentu. Hal ini disebabkan antara lain karena tempat tinggal orang juga cukup terpencar
dan saling mengenalnya hanya menurut perhatian antar pihak.
3. Kontrol (pengawasan sekunder), yakni di kota orang tidak mempedulikan perilaku
peribadi sesamanya. Meski ada kontrol sosial, tetapi ini sifatnya non pribadi; asal tidak
merugikan bagi umum, tindakan dapat ditoleransikan.
4. Toleransi sosial, yakni orang-orang kota dapat berdekatan secara fisik, tetapi secara sosial
berjauhan.
5. Mobilitas sosial, yakni perubahan status sosial seseorang. Orang menginginkan kenaikan
dalam jenjang kemasyarakatan (social climbing). Dalam kehidupan kota segalanya
diprofesionalkan, dan melalui profesi seseorang dapat naik posisinya.
6. Ikatan sukarela (voluntary association), yakni secara sukarela orang menggabungkan diri
ke dalam perkumpulan yang disukainya.
7. Individualisasi, yakni merupakan akibat dari sejenis atomisasi dimana orang dapat
memutuskan sesuatu secara pribadi, merencanakan kariernya tanpa desakan orang lain.
8. Segragasi keruangan (spatial segragation), yakni akibat kompetisi ruang yang terjadi pola
sosial yang berdasarkan persebaran tempat tinggal atau sekaligus kegiatan sosio-ekonomis.
Segragasi ini tampak pada munculnya wilayah-wilayah sosial tertentu seperti, kaum Cina,
Arab, kaum elit, gelandangan, pelacuran, dan sebagainya (A. Ahmadin, 2013).
Bila mengacu pada uraian mengenai struktur sosial tersebut, maka beberapa hal menarik
dikaitkan dengan kajian mengenai perubahan struktur sosial masyarakat (M. Ahmadin, 2021)
di kota Makassar. Beberapa realitas yang akan diamati seperti: (1) heterogenitas sosial yang
menyebabkan terjadinya perebutan pemanfaatan ruang, (2) hubungan sekunder yang
mengaburkan ikatan etnik, (3) kedekatan secara fisik dan berjauhan secara sosial
membutuhkan proses untuk menjadi sebuah komunitas, (4) ikatan suka rela yang memberi
peluang atas seseorang untuk bergabung dengan kelompok manapun, (5) Segragasi
keruangan (spatial segragation) akibat kompetisi ruang, melahirkan persebaran tempat
tinggal atau sekaligus kegiatan sosio-ekonomis serta wilayah-wilayah sosial tertentu (A.
Ahmadin, 2010).

Pembahasan

Manusia sebagai makhluk sosial mendorong manusia untuk berinteraksi dengan


sesamanya. Manusia saling membutuhkan satu sama lain. Karena sifat dasar tersebut,
kelompok sosial dengan mudah terbentuk secara alamiah. Adanya interaksi menjadikan hidup
berkumpul, membuat kelompok baik terorganisir ataupun tidak, lalu membuat kegiatan di
dalamnya. Semakin panjang interaksi yang terjadi pada mereka, semakin kuat ikatan yang
terjalin. Semakin kuat ikatan tersebut, semakin kuat persatuan dan kesatuan di dalam
kelompok tersebut. Kuatnya ikatan perasaan di dalam kelompok tersebut dipengaruhi oleh
berbagai kesamaan tujuan, pemikiran, hobi, cita-cita, perilaku, dan sebagainya.

Covid-19 dapat mengubah tatanan dunia sehingga berpengaruh langsung kepada kehidupan
sosial masyarakat khususnya masyarakat yang ada di kota Makassar. Bentuk kecemasan
masyarakat kota Makassar sangat di rasakan dengan adanya virus corona ini. (1) Pembatasan
Sosial Berskala Besar justru membuat masyarakat semakin kesulitan dalam bidang ekonomi.
Masyarakat mengalami diorganisasi yang justru mengarahkan mereka pada situasi sosial
yang tidak menentu sehingga akan berdampak pada hubungan sosial ataupun tatanan sosial
masyarakat. (2) Pemerintah Kota Makassar selalu memberikan pelayanan yang terbaik
kepada seluruh masyarakat kota Makassar untuk memutus rantai penyebaran virus corona ini.
Bentuk sinergitas yang dilakukan oleh pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat yang ada
tidak terlepas dari tujuan untuk memberi pelayanan kepada masyarakat di tengah pandemic
virus covid-19 ini.
Adanya covid-19 ini mampu mengubah seluruh tatana dunia dari seluruh sektor.
Perubahan sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat sangat dirasakan. Kurangnya
mobilitas sosial merupakan salah satu dampak dari adanya virus corona ini. Dengan adanya
wabah Covid-19 ini mampu mengubah seluruh pemikiran masyarakat untuk selalu berhati-
hati dalam beraktivitas dan tetap menjaga kesehatan. Di sisi lain, asumsi yang semakin
berkembang dari pemberitaan media semakin membuat masyarakat khawatir akan virus
corona ini. Di samping itu korban yang ada di Indonesia setiap harinya selalu bertambah
sehingga semakin memunculkan kepanikan masyarakat. Mobilitas sosial masyarakat di bulan
suci ramadhan ini tidak bisa kita batasi di sebabkan kebutuhan pada bulan puasa cukup
banyak dan memaksa masayarakat untuk tetap beraktifitas di luar rumah.

Di sisi lain pergerakan perekonomian yang terpuruk justru membuat masyarakat semakin
mengalami kesulitan pada bulan ramadhan ini. Hal ini yang membuat masyarakat terpaksa
harus melakukan kegiatan di luar rumah. Rasa kecemasan dan kekhawatiran masyarakat atas
wabah virus corona ini bisa kita pahami, namun ketika hal ini terus terjadi dalam watu
beberapa bulan kedepan maka tidak mungkin akan menimbulkan gejolak sosial yang
berujung pada hal yang bersifat negatif. Masyarakat mengalami disorganisasi sosial yang
justru akan mengarahkan mereka pada situasi sosial yang bisa di katakan tidak menentu.
Sehingga hal ini dikawatirkan berdampak pada hubungan sosial ataupun tatanan sosial
masyarakat yang terjadi. Selain itu disfungsi sosial juga akan membuat kesehatan terganggu
bahkan bisa berujung pada tingkat stress yang tinggi.

Studi tentang dinamika kewargaan kelompok sosial di perkotaan pada dasarnya tidak
bisa dipisahkan dari pola dan kecenderungan relasi sosial yang tumbuh, berkembang, dan
akhirnya terbentuk di antara kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat yang
bersangkutan. Salah satu yang penting dikaji terkait hal itu adalah terbentuknya pola dan
kecenderungan relasi sosial atas dasar latar belakang budaya kelompok-kelompok sosial di
perkotaan. Heterogenitas kelompok sosial atas dasar perbedaan latar belakang budaya diduga
turut mempengaruhi dinamika kewargaan kelompok sosial di perkotaan. Salah satu kota yang
menarik untuk mengkaji dinamika kewargaan kelompok-kelompok sosial adalah Kota
Makassar, Sulawesi Selatan. Seperti diketahui, Kota Makassar yang kini dianggap sebagai
pintu gerbang Indonesia Timur, telah tumbuh menjadi kota metropolitan yang mengundang
hadirnya berbagai kelompok sosial yang memiliki latar belakang budaya berbeda satu sama
yang lain namun dituntut untuk saling berinteraksi sebagai warga perkotaan yang mempunyai
hak dan tanggung jawab yang sama. Begitu besar daya tarik Makassar bagi para pendatang
dari luar daerah dan bahkan luar pulau, sehingga dapat diibaratkan ibukota Sulawesi Selatan
ini sebagai “gula” yang setiap saat dikerubuti “semut”, maksudnya banyak warga pendatang
yang mencari kehidupan baru yang lebih baik di Kota Makassar.

Menurut sejarah, Provinsi Sulawesi Selatan menjadi salah satu pusat kegiatan
perekonomian dan pusat pendidikan di wilayah Indonesia bagian Timur. Selain itu Sulawesi
Selatan mewarisi tradisi kerajaan yang cukup kuat, diantaranya yakni Bone, Gowa, dan
Luwu. Ketiga kerajaan ini adalah kerajaan besar dan sangat berpengaruh baik di Sulawesi
Selatan maupun di luar daerahnya (di wilayah Indonesia). Dengan memiliki tradisi seperti itu
dan dalam perkembangan demokrasi saat ini, wilayah Sulawesi Selatan menjadi daerah yang
kaya, terutama dalam hal pengalaman interaksi antara warisan budaya yang kuat dengan
keharusannya menerapkan prinsip-prinsip demokrasi. Jika dilihat dari latar belakang
sejarahnya, Provinsi Sulawesi Selatan (Bone, Gowa, dan Luwu) merupakan satu kerajaan
besar di mana rajanya telah melakukan kawin mawin, seperti contohnya anak raja Gowa
menjadi raja Bone, kemudian anaknya raja Bone kawin dengan anaknya raja Luwu dan
begitu seterusnya. Faktor kelompok atas dasar primordial tersebut kemudian tumbuh pesat
pada era reformasi dan otonomi daerah. Pengelompokan dan pengkotakan itu misalnya
seperti kelompok Bugis, kelompok Makassar dan sebagainya. Padahal jika melihat pada
masa lalu tidak ada yang namanya pengkotakan-pengkotakan seperti itu

Jika melihat dari sistem kekerabatan, pada masyarakat Sulawesi Selatan


umumnya dan Kota Makassar khususnya, hubungan kekerabatan merupakan aspek utama,
baik karena dinilai penting oleh anggotanya maupun karena fungsinya sebagai struktur dasar
yang membentuk tatanan masyarakat. Pengetahuan mendalam tentang prinsip-prinsip
kekerabatan sangat diperlukan untuk memahami apa yang mendasari berbagai aspek
kehidupan masyarakat yang dianggap paling penting oleh orang Bugis-Makasaar yang saling
berkaitan dalam membentuk tatanan sosial mereka. Aspek tersebut antara lain perkawinan,
hirarki sosial, kekuasaan, dan pengaruh pribadi. Sebagaimana umumnya masyarakat
Austronesia, khususnya orang-orang Nusantara seperti Melayu, Jawa, Kalimantan dan
Filipina, orang Bugis-Makassar menganut kekerabatan bilateral. Kelompok kekerabatan
bilateral seseorang ditelusuri melalui garis keturunan dari pihak ayah maupun ibu. Suatu hal
yang sangat umum berlaku di kalangan masyarakat Eropa, meskipun tidak terlalu universal.
Sebaliknya, sistem kekerabatan kebanyakan masyarakat non-Eropa, yang diteliti ahli-ahli
antropologi, pada umumnya menganut prinsip patrilineal atau matrilineal. Bagi masyarakat
Bugis-Makassar yang terpenting adalah memiliki garis keturunan nenek moyang dari bapak
dan ibu, mulai dari yang terdekat hingga kerabat jauh yang berasal dari lima lapis nenek
moyang yang menurunkan berbagai lapis sepupu mereka. Hubungan kekerabatan itu
biasanya disebut dengan istilah a’seajingeng yang artinya mempunyai asal usul yang sama.
Jauh dekatnya hubungan kekerabatan ditentukan oleh lapisan leluhur yang menghubungkan
mereka. Hubungan berdasarkan nenek moyang tersebut, baik dari pihak bapak maupun ibu,
menyatukan mereka dalam suatu sistem kekerabatan dan memisahkan mereka dengan orang
lain (tau laeng). Masyarakat Bugis-Makassar tidak memiliki suatu kelompok kekerabatan
bilateral yang mengutamakan salah satu pasangan nenek moyang saja, sebagaimana halnya
orang Toraja tetangga mereka yang hanya memusatkan inti kelompok keluarga masing-
masing pada sebuah rumah keluarga (tongkonan). Hal yang terpenting bagi masyarakat
Bugis-Makassar adalah dicapainya derajat yang tinggi berdasarkan sistem stratifikasi sosial
(Pelras, 2006).

Islam dan demokrasi seringkali dianggap sebagai dua hal yang tidak dapat berjalan
bersama, seperti yang diungkapkan oleh Huntington yang mengklaim bahwa partsisipasi
politik merupakan konsep yang asing dalam masyarakat Islam. Jika ada partisipasi politik
dalam masyarakat Islam, maka hal itu pasti terkait dengan kegiatan agama bukan kegiatan
politik non-keagamaan. Hal ini dikarenakan dalam Islam tidak ada pembedaan antara
komunitas keagamaan dan komunitas politik (Saiful Mujani, 2012).

Mempelajari bagaimana interaksi antara Islam dan demokrasi di Indonesia adalah hal
yang sangat menarik. Hasil survey dari Pemilu tahun 1999 sampai tahun 2009 menunjukkan
sebuah fakta bahwa memilih dalam Pemilu maupun pilpres bukan sesuatu yang asing dalam
komunitas muslim. Hal ini menunjukkan bahwa klaim Huntington tidak memiliki dasar yang
cukup kuat dalam masyarakat Indonesia. Jika klaim Huntington tersebut benar, maka
seharusnya masyarakat nonmuslim yang datang ke TPS pada saat Pemilu atau Pilpres secara
proporsional seharusnya lebih banyak dibandingkan masyarakat Muslim, namun ternyata
fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya. Walaupun memang agama bukan satu-satunya
faktor yang mempengaruhi perilaku politik seseorang.

Pasca jatuhnya rezim Suharto, Indonesia mengalami transisi menuju demokrasi atau
sering juga disebut sebagai era liberalisasai politik. Salah satunya ditandai dengan terbukanya
peluang yang besar bagi munculnya partai-partai politik baru. Menurut catatan Departemen
Kehakiman, partai politik yang ada pasca jatuhnya rezim Soeharto mencapai 181 partai
politik, dimana 141 diantaranya memperoleh pengesahan sebagai partai politik, dan setelah
melalui seleksi 48 partai politik disahkan dan memenuhi syarat untuk mengikuti Pemilu 1999
(Romli, 2003). Diantaranya adalah partai-partai politik Islam, dari 48 partai peserta Pemilu
tahun 1999 terdapat 11 partai politik Islam.
Indonesia merupakan negara multikultural, yaitu negara yang memiliki berbagai
keragaman suku, agama, ras, budaya dan bahasa maupun bangsa. Seiring dengan
perkembangan zaman dan era globalisasi, keanekaragaman tersebut kini terancam.
Keanekaragam yang menjadi sasaran utama terutama di daerah Provinsi Lampung yaitu
keanekaragaman bahasa daerah yang semakin ditinggalkan dan nyaris punah.
Keanekaragaman yang ada pada masyarakat kota Bandar Lampung mengakibatkan bahasa
daerah Lampung mengalami pergeseran. Pergeseran dan pemertahanan bahasa daerah
menurut Sumarsono merupakan dua sisi mata uang. Fenomena ini terjadi karena dua
fenomena yang terjadi bersamaan. Bahasa menggeser bahasa lain atau bahasa yang tak
tergeser oleh bahasa lain, bahasa yang tergeser adalah bahasa yang tidak mampu
mempertahankan diri. Kondisi ini terjadi pada saat suatu masyarakat (komunitas bahasa)
memilih untuk menggunakan atau meninggalkan pemakaian suatu bahasa. Pilihan atas salah
satu dari kondisi tersebut terjadi dalam rentang waktu yang panjang. Rentang waktu ini bisa
mencapai lebih dari dua atau tiga generasi. Dia merupakan hasil kolektif dari pilihan bahasa
(language choice). Dalam pemertahanan bahasa, masyarakat secara kolektif menentukan
untuk melanjutkan memakai bahasa yang sudah biasa dipakai. Ketika sebuah masyarakat
memilih bahasa baru di dalam ranah yang semula digunakan bahasa lama, pada saat itu juga
kemungkinan terjadinya proses sebuah pergeseran bahasa.
Pergeseran bahasa biasanya mengacu pada proses penggantian satu bahasa dengan
bahasa lain dalam repertoir linguistik suatu masyarakat. Pergeseran bahasa terjadi hanya
kalau, dan seberapa jauh, suatu menghendaki untuk menghilangkan identitasnya sebagai
kelompok sosiokultural yang dapat diidentifikasi sendiri demi identitas sebagai bagian dari
guyup lain. Sangat sering kelompok lain itu adalah kelompok yang lebih besar yang
mengontrol masyarakat tempat guyup pertama itu sebagai minoritas. Alasan perbedaan sosial
yang menjadi hal utama untuk pilihan kode atau variasi dalam sebuah komunitas
multilingual. Terdapat beberapa kelompok yang mempertahankan bahasa dan identitas etnik
mereka dalam kondisi sosial-ekonomi yang sangat sama dengan yang memengaruhi
kelompok lain untuk memindahkan identitas dan bahasanya. Holmes menyatakan bahwa ada
dua kondisi masyarakat dengan sebuah bahasa mengalami pergeseran, yakni (a) migrant
minorities, dan (b) nonmigrant communities. Kondisi pertama, perpindahan terjadi pada
sebagian orang yang bermigrasi ke suatu tempat yang berbeda bahasanya; kondisi kedua
perpindahan terjadi pada orang-orang bukan komunitas imigran (penduduk asli). Jadi,
perubahan politik, ekonomi, dan sosial yang terjadi secara langsung dalam komunitas dapat
menyebabkan perubahan linguistik juga. Menurut Holmes, pergeseran bahasa (language
shifting) atau pemertahanan bahasa (language maintainance) dapat terjadi di berbagai sektor
kehidupan, misalnya ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, politik, pemerintahan, dan
sebagainya. Kedua peristiwa ini tentunya diikuti dengan bukti-bukti penggunaan bahasa
masyarakat penuturnya. Kesadaran akan pendidikan, peningkatan kondisi ekonomi, dan
mobilitas penduduk yang tinggi ternyata berpengaruh pada penggunaan bahasa sehari-hari.
Berdasarkan teori Cultural Pluralism: Mosaic Analogy, sebuah teori yang
dikembangkan oleh Berkson ini berpandangan bahwa masyarakat yang terdiri dari individu-
individu yang beragam latar belakang agama, etnik, bahasa, dan budaya, memiliki hak untuk
mengekspresikan identitas budaya mereka secara demokratis (Suparlan, 2002). Teori ini sama
sekali tidak meminggirkan identitas budaya tertentu, termasuk identitas budaya kelompok
minoritas sekalipun. Apabila dalam masyarakat terdapat individu pemeluk agama Islam,
Katholik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu, maka semua pemeluk agama diberi
peluang untuk mengekspresikan identitas keagamaannya masing-masing. Apabila individu
dalam suatu masyarakat berlatar belakang budaya Jawa, Madura, Betawi, dan Ambon,
misalnya, maka masing-masing individu berhak menunjukkan identitas budayanya, bahkan
diizinkan untuk mengembangkannya.
Masalah sosial adalah masalah yang terjadi masyarakat karena adanya
ketidaksesuaian baik dalam kehidupan maupun perekonomian. Kemiskinan menjadi masalah
dan tantangan dalam pembangunan kota Medan. Kota Medan sebagai salah satu kota terbesar
ketiga di Indonesia yang masih memiliki jumlah penduduk miskin yang cukup banyak.
Pertumbuhan kota tidak diimbangi dengan jumlah penduduk yang sejahtera semakin
bertambah. Sebaliknya dibalik perkembangan Kota Medan sebagai salah satu kota
metropolitan masih banyak penduduk yang berada pada kondisi miskin dan jauh dari garis
kesejahteraan.
Sektor keuangan merupakan salah satu cara yang sangat efektif dalam mengatasi
angka kemiskinan di Kota Medan. Sektor keuangan diharapkan akan melibatkan masyarakat
berpenghasilan rendah atau tidak tetap untuk menggunakan produk dan layanan perbankan,
mendapatkan kemudahan untuk memperoleh modal, memiliki tabungan serta pinjaman modal
usaha dengan biaya yang murah, melalukan transfer dana tanpa pihak ketiga yang bersifat
tidak resmi. Bahkan mereka juga akan diperkenalkan dengan berbagai bentuk asuransi untuk
menjamin keberlangsungan masa dengan dengan harga yang terjangkau dan transparan.
Menurut survey World Bank masyarakat berpenghasilan rendah masih belum
membutuhkan layanan dan produk perbankan diakibatkan beberapa hal yaitu jika: mereka
merasa uang yang dimiliki belum cukup, belum adanya pekerjaan tetap dan masih
pengangguran, tidak ada manfaat dengan berhubugan dengan pihak bank, tidak membutuhkan
kredit, tidak memiliki jaminan untuk meminjam, tidak memiliki kemampuan untuk menyicil
pinjaman, masih terdapat rasa tidak percaya dan rasa tidak nyaman dengan pihak perbankan
sebagai pihak kedua yang mengelola uang yang dimiliki, adanya anggapan mahal dalam
biaya transaksi, tidak ada pengetahuan yang cukup tentang produk/layanan perbankan.
Kondisi inilah yang pada akhirnya menyebabkan masih gagal dalam pencapaian inklusi
keuangan pada masyarakat miskin atau berpengahasilan rendah.
Berdasarkan hasil survey Financial Services Authority (FSA) tahun 2013 diketahui
bahwa tingkat literasi keuangan di Indonesia sangat rendah yaitu 21,84%. Artinya hanya
21,84% orang Indonesia yang memahami dengan benar tentang hak, kewajiban, biaya dan
resiko, serta manfaat dari produk dan layanan keuangan. Tingkat literasi keuangan
masyarakat Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan negara Singapura dan Malaysia,
bahkan masih berada pada level di bawah Thailand. Negara Malaysia, tingkat literasi
keuangan masyarakatnya berada pada angka 66%, Singapura telah mencapai angka 98%,
sedangkan Thailand mencapai angka 73%, sedangkan negara Indonesia sangat disayangkan
karena masih mencapi angka 28%. Kondisi tersebut merupakan akibat dari masih banyak
masyarakat Indonesia yang belum mengenal jasa keuangan.
Data tersebut memberikan gambaran bahwa tingkat kemiskinan yang belum bisa
secara maksimal diatasi berkaitan dengan perilaku keuangan masyarakat Kota Medan yang
belum baik dalam mengelola keuangan akibat masih rendahnya tingkat edukasi keuangan
yang diperoleh oleh masyarakat Kota Medan.

Penutup
Perkotaan menjadi pusat permukiman bagi kebanyakan manusia. Selain itu juga
sebagai daerah pemanfaatan bumi. Pertumbuhan di kota cukup pesat dengan menunjukkan
berbagai keunggulan dalam mengeksploitasi bumi. Kota adalah suatu tempat yang
penghuninya memenuhi sebagian besar kebutuhan ekonomi di pasar lokal (Suzuki, 2010).

Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, perkotaan


diartikan sebagai wilayah yang memiliki kegiatan utama bukan pertanian. Masyarakat kota
sering disebut urban community, karena sifat dan ciri-ciri kehidupannya berbeda dengan
masyarakat desa. Umumnya, sosialisasi masyarakat kota berkurang dibandingkan masyarakat
desa. Masalah sosial adalah proses ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan
masyarakat yang membahayakan kehidupan kelompok sosial. Dapat dikatakan bahwa
masalah sosial menyebabkan terjadinya hambatan dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat,
seperti dikutip dari Sosiologi: Suatu Pengantar oleh Soerjono Soekanto.

Referensi

Ahmadin, A. (2010). Lonceng Kematian Komunitas Urban: Telaah Sosiologi Pusat


Pemukiman Etnik di Makassar. Predestinasi: Jurnal Penelitian, Gagasan, Sosiologi,
Dan Pengajaran, 3(2), 153–162.
Ahmadin, A. (2013). DIALEKTIKA RUANG DAN PROSES PRODUKSI SOSIAL (Studi
Sosiologi Pola Pemukiman Etnik di Makassar). Universitas Hasanuddin.
Ahmadin, A. (2021). Konstruksi Sosial-Budaya dalam Pembangunan Ruang Publik di Kota
Makassar: Menatap Pantai Losari Dulu, Kini, dan Masa Mendatang. Jurnal Kajian
Sosial Dan Budaya: Tebar Science, 5(1), 14–20.
Ahmadin, M. (2021). Sociology of Bugis Society: An Introduction. Jurnal Kajian Sosial Dan
Budaya: Tebar Science, 5(3), 20–27.
Burlian, P. (2016). Patologi Sosial.
Muhammad, N. (2017). RESISTENSI MASYARAKAT URBAN DAN MASYARAKAT
TRADISIONAL DALAM MENYIKAPI PERUBAHAN SOSIAL (Vol. 19, Issue 2).
http://substantiajurnal.org
Pelras, C. (2006). Manusia Bugis.
Romli, L. (2003). Potret Partai Politik Pasca Orde baru.
Saiful Mujani, R. W. L. K. A. (2012). Kuasa Rakyat : Analisis Tentang Perilaku Memilih
dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca Orde Baru.
Suparlan, P. (2002). Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti dalam Masyarakat
Majemuk Indonesia. Jurnal Antropologi Indonesia.
Suzuki, H. (2010). Eco Cities: Ecological Economic Cities.

You might also like