You are on page 1of 22

PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF HADIST

MAKALAH

Akan dipresentasikan Dalam Mata Kuliah Hadits Tarbawi

Dosen pembimbing :
H. Muhammad Jamil. S.Ag, M.Ag

Penyusun :
M. Imam Febriansyah (050118.00049)
Halit Kalbahan (050118.00039)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)


SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT) AL-AMIN
TANGERANG-BANTEN
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah Yang maha
Esa, yang telah memberikan nikmat sehat sehingga kami dapat menyelesaikan
penulisan makalah ini. Sholawat dan salam semoga dilimpah curahkan kepada
Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya, sahabat serta sampai pada umatnya
hingga akhir zaman.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas yang telah diberikan. Dengan
tersusunnya makalah ini maka pada kesempatan kali ini penulis menyampaikan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan masukan atau
usulan untuk perbaikan kepada penulis.

Kami sangat berterima kasih kepada pembaca dan dosen yang telah
mengambil kesempatan untuk dapat membaca makalah ini. Kami menyadari
makalah ini masih sangat banyak kekurangan. Kami memohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata atau penulisan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat.
Terima kasih.

Tangerang, 14 Mei 2020

Penyusun Makalah

i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..........................................................................................................II
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. LATARBELAKANG..........................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH.....................................................................................2
1. BAGAIMANA PANDANGAN HADIST TENTANG KONSEP PENDIDIKAN ISLAM ?
2
2. APA SAJA HAL-HAL YANG DISAMPAIKAN OLEH HADIST TERKAIT
PENDIDIKAN ?.......................................................................................................2
C. TUJUAN MAKALAH........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
A. PENGERTIAN PENDIDIKAN....................................................................3
B. PENGERTIAN HADIST.....................................................................................4
1. Secara Etimologi (Secara Bahasa)...........................................................4
2. Secara Terminologi (Secara Istilah).........................................................5
C. PENDIDIKAN PERSEPEKTIF HADIST...............................................................6
1. Ta’lim........................................................................................................7
2. Ta’dib........................................................................................................8
3. Tarbiyah....................................................................................................9
D. SYARAH HADIST TENTANG PENDIDIKAN....................................................11
BAB III KESIMPULAN......................................................................................17
A. KESIMPULAN...............................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................18

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latarbelakang

PERIWAYATAN Alquran berlangsung secara mutawatir, sementara


periwayatan hadis sebagian berlangsung secara mutawatir dan sebagiannya
berlangsung secara ahad. Manusia sebagai obyek informasi yang disampaikan oleh
Alquran dan hadis akan mengimani secara fitrah. Salah satu informasi yang
dikemukakan Alquran dan hadis adalah persoalan pendidikan. Pendidikan
merupakan bagian terpenting demi kehidupan yang sekaligus membedakan manusia
dengan hewan. Hewan juga belajar, tetapi lebih ditentukan oleh instink. Sedangkan
bagi manusia, belajar berarti rangkaian kegiatan menuju pendewasaan guna menuju
kehidupan yang lebih berarti.

Pendidikan merupakan salah satu bagian terpenting dalam kehidupan


manusia, namun hal ini menjadi faktor utama dalam pengembangan potensi
jasmaniah atau pun akalnya. Lebih khusus lagi jika pendidikan dihubungkan dengan
pelaksanaan tanggung jawab manusia sebagai hamba dan khalifah Allah swt. di
muka bumi ini.1 Pendidikan juga merupakan salah satu unsur yang sangat urgen
dalam menjamin perkembangan kehidupan bangsa yang stabil dan paripurna. Tanpa
pendidikan yang jelas, suatu bangsa tidak akan mampu menata kehidupan
masyarakat kepada yang lebih baik dan berkualitas tinggi.

Proses pendidikan sebenarnya telah berlangsung sepanjang sejarah dan


manusia di permukaan bumi.2 Pendidikan adalah sesuatu yang esensial bagi manusia.
Melalui pendidikan, manusia dapat belajar menghadapi segala problematika yang
ada di alam semesta demi mempertahankan kehidupannya. Pendidikan dalam
kehidupan manusia mempunyai peranan yang sangat penting. Ia dapat membentuk
kepribadian seseorang dan pendidikan diakui sebagai kekuatan yang dapat
menetukan prestasi dan produktivitasi seseorang. Dengan bantuan pendidikan,
seseorang memahami dan menginterpretasikan lingkungan yang dihadapi sehingga ia

1
Khairuddin, Ilmu Pendidikan Islam; Mendesain Insan yang Hakiki dan Mengintip
Muslimah dalam Sejarahnya, Cet. I; Ujung Pandang: CV Berkah Utami, 2002, h. 99.
2
Zuhairini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam, Cet. VI; Jakarta: PT Bumi Aksara, 2000, h.
2.
Harry Noer Ali, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam, Cet. II; Bandung: CV Diponegoro,
1992, h. 13.
1
mampu menciptakan karya yang gemilang dalam hidupnya, atau dengan kata lain
manusia dapat mencapai suatu peradaban dan pentingnya pendidikan. Islam
menempatkan pendidikan pada kedudukan yang penting dan tinggi dalam doktrin
Islam.

Pendidikan sebagai sutu proses kegiatan yang terencana praktis memiliki


tujuan yang ingin dicapai. Demikian pentingnya tujuan tersebut sehingga tidak
mengherankan jika banyak dijumpai kajian yang sungguh-sungguh di kalangan para
ahli mengenai tujuan itu. Berbagai buku yang mengkaji masalah pendidikan juga
senantiasa berusaha untuk merumuskan tujuannya, baik secara umum maupun secara
khusus. Tulisan ini berusaha membahas tentang hakikat pendidikan dalam perspektif
hadis sebagai penunjang dalam memahami hakikat pendidikan sebenarnya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pandangan Hadist tentang konsep pendidikan Islam ?
2. Apa saja hal-hal yang disampaikan oleh hadist terkait pendidikan ?

C. Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui bagaimana jawaban terkait dengan penembangan
pendidikan.
2. Untuk Memberikan wawasan keilmuan yang lebih meluas terhadap para
calon pendidik yang akan mendidik.
3. Untuk menunjukkan bahwa kontribusi Agama Islam sangatlah besar
terhadap kemajuan pendidikan sehingga banyak dibahas terutama
terhadap Hadist.
4. Menyajikan pemecahan masalah terkait masalaah pendidikan/

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN PENDIDIKAN
Kata pendidikan pada awalnya berasal dari bahasa Yunani, yakni
paedagogie yang terdiri atas dua kata, paes dan ago. Kata paes berarti anak
dan kata ago berarti aku membimbing.3 Dengan demikian, pendidikan secara
etimologis selalu dihubungkan dengan kegiatan bimbingan terutama kepada
anak, karena anaklah yang menjadi obyek didikan.
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa, pendidikan
berasal dari kata didik, mendidik, atau memelihara dan member latihan
(ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenal akhlak dan kecerdasan pikiran;
seorang ibu wajib-anaknya baik-baik. Jadi, “pendidik” adalah orang yang
mendidik; sedangkan “pendidikan” adalah, proses pengubahan sikap dan tata
laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia
melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik.
Pendidikan dilihat dari tiga jenis yakni; (1) pendidikan akademik; akademis
pendidikan yang berhubungan dengan ilmu (studi) seperti bahasa, ilmu-ilmu
sosial, matematika, ilmu pengetahuan alam; campuran pendidikan yang
diberikan kepada anak laki-laki dan perempuan secara bersama-sama dalam
satu ruangan; dasar pendidikan yang minimum (terendah) yang diwajibkan
bagi semua warga Negara; (2) pendidikan keagamaan, kegiatan dibidang
pendidikan dan pengajaran dengan sasaran utama memberikan pengetahuan
keagamaan dan menanamkan sikap hidup beragama; (3) masa kegiatan yang
bersifat pendidik yang berskala luas melalui surat kabar, film, radio, televise,
perpustakaan, dan museum dengan tujuan menyampaikan informasi dan
mempengaruhi opini publik; medis kegiatan yang secara formal bertujuan
mendidik serta mengembangkan pengetahuan yang berhubungan dengan
masalah kedokteran; menengah jenjang pendidikan formal setelah pendidikan
dasar; menengah keagamaan yang mengutamakan penguasaan pengetahuan

3
Batasan di atas, dikutip dari Lihat Abu Ahmadi, Ilmu Pendidikan (Cet.I; Jakarta: Rineka
cipta, 1991), hal. 69.
3
khusus tentang ajaran suatu agama; - menengah kejuruan; 1. Pendidikan yang
mengutamakan kemampuan peserta didik untuk melaksanakan jenis pekerjaan
tertentu; 2. Bentuk suatu pendidikan menengah yang diselenggarakan untuk
melanjutkan dan meluaskan pendidikan dasar serta mempersiapkan siswa
untuk memasuki lapangann kerja dan mengembangkan sikap profesional.4
Ada kecenderungan dalam masyarakat saat ini bahwa pendidikan
hanyalah di sekolah saja. Anak sudah cukup mendapatkan pendidikan di
sekolah, mulai dari pendidikan skil sampai pendidikan akhlak. Pada
kenyataannya, sekolah hanyalah satu bagian dari bentuk pendidikan. Adanya
ketergantungan orang tua dalam mendidik anak kepada sekolah berakibat
pengabaian pendidikan di rumah dan masyarakat, padahal pendidikan di
sekolah hendaknya bersesuaian dengan pendidikan di rumah, setidaknya ada
kesamaan karena pendidikan bisa didapatkan di manapun dan kapanpun
termasuk di rumah dan masyarakat karena pendidikan berlaku untuk semua
dan berlaku sepanjang hidup.5

B. Pengertian Hadist

1. Secara Etimologi (Secara Bahasa)

“Hadis” atau al-hadits menurut bahasa, berarti al-jadid (sesuatu


yang baru), lawan kata dari al-qadim. Kata hadis juga berarti al-khabar
(berita), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang
kepada orang lain. Bentuk pluralnya adalah al-ahadits.6

Hadis sebagaimana tinjauan Abdul Baqa’ adalah isim dari tahdith


yang berarti pembicaraan. Kemudian didefinisikan sebagai ucapan,
perbuatan atau penetapan yang disandarkan kepada Nabi SAW.
Barangkali al-Farra’ telah memahami arti ini ketika berpendapat bahwa

4
Departemen Pendidikan Nasional,Kamus Besar Bahasa Indonesia Ed. III, (Cet. II;
Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 263.
5
Nasir A. Baqi, Metode Pembelajaran Agama Islam(Dilengkapi Pembahasan Kurikulum
2013), (Yogyakarta: Eja-Publisher, 2014), h. 145-146.
6
Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis, (Surabaya: al-Muna, 2010), h. 1.
4
mufrad kata ahadits adalah uhdutsah (buah pembicaraan). Lalu kata
ahadith itu dijadikan jama’ dari kata hadith.7

Dapat disimpulkan arti dan makna dari suatu adalah segala bentuk
penyampaian dari Nabi Muhammad SAW yang berisi berita, nasihat,
pernyataan, pendapat, atau hal yang dibicarakan lalu disampaikan kepada
pengikut-pengikut beliau.

2. Secara Terminologi (Secara Istilah)

Dalam Sharah al-Bukhari, Syeikh Islam Ibnu Hajar berkata, bahwa


dimaksud dengan hadits menurut pengertian shara’ adalah apa yang
disandarkan kepada Nabi SAW, dan hal itu seakan-akan dimaksudkan
sebagai bandingan Alquran yang qadim.8
Ulama ushul memberikan definisi yang terbatas, yaitu “Segala
perkataan Nabi SAW yang dapat dijadikan dalil untuk menetapkan hukum
shara’.” Dari pengertian di atas bahwa segala perkataan atau aqwal Nabi,
yang tidak ada relevansinya dengan hukum atau tidak mengandung misi
kerasulannya, seperti tentang cara berpakaian, berbicara, tidur, makan,
minum, atau segala yang menyangkut hal ihwal Nabi, tidak termasuk
hadis. Dan menutut jumhu>r al-muhaddisi>n, “Sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan,
pernyataan (taqrir) dan yang sebagainya.”9
Ta’rif ini memiliki dua pengertian, pertama atau pengertian secara
sempit mengandung empat macam unsur, yakni perkataan, perbuatan,
pernyataan dan sifat-sifat atau keadaan-keadaan Nabi Muhammad SAW
yang lain, yang semuanya hanya disandarkan kepadanya saja, tidak
termasuk hal-hal yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’i.7
Kedua atau pengertian yang luas, sebagaimana dikemukakan oleh
sebagian muhaddisin, tidak hanya mencakup sesuatu yang di-marfu’-kan
kepada Nabi SAW saja, tetapi juga perkatan, perbuatan, dan taqrir yang

7
Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, terj. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009), h.
21.
8
Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, terj, h. 22.
9
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalah al- Hadis, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1974), 20.
5
disandarkan kepada sahabat dan tabi’i pun disebut hadis. Pemberian
terhadap hal-hal tersebut yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
SAW disebut berita yang marfu’, yang disandarkan kepada sahabat
disebut berita mauquf dan yang disandarkan kepada tabi’i disebut
maqthu’. Sebagaimana dikatakan oleh Mahfudh, “Sesungguhnya hadis itu
bukan hanya yang di-marfu’-kan kepada Nabi SAW saja, melainkan dapat
pula disebutkan pada apa yang mauquf dan maqthu’.10 Begitu juga
dikatakan oleh al-Tirmisi.
Dari berbagai pendapat yang ada kita dapat mengambil benang
merah bahwa, Hadist adalah segala yg tidak hanya datang dari Nabi
Muhammad SAW, tetapi juga datang dari Sahabat, dan Tabi’i hanya saja
hadist ini adalah bentung pengembangan dari hadist yang telah
disampaikan Nabi Muhammad SAW. Juga , Hadist sahabat disebut
“Mauquf”, sedangkan Hadist Tabi’i disebut “Maqthu’”.

C. Pendidikan Persepektif Hadist


Kaitannya dengan tema pendidikan, maka hadis-hadis yang tidak
menggunakan lafal tarbiyah, ta’lim, ta’dib, dan lafal-lafal lain yang terkait
dengannya tetapi hadis tersebut memiliki kaitan dengan urgensi pendidikan,
dapat pula dikategorikan sebagai hadis pendidikan secara tematik. Misalnya
saja, hadis tentang perintah untuk mendidik anak menjalankan shalat sejak
umur tujuh tahun.
Banyaknya hadis-hadis Nabi saw yang terkait dengan pendidikan,
adalah sesuatu yang wajar karena harus diakui bahwa dalam sejarah Nabi
saw, diketahui beliau dalam setiap harinya senantiasa mendidik dan mengajar
sahabat-sahabatnya. Sistem pendidikan dan pengajaran tersebut
disampaikannya secara formal melalui forum majelis ilmu, di samping itu
dalam proses mendidik beliau terkandung, 3 hal pokok yaitu:

1. Ta’lim
10
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalah al- Hadis, 27.
6
Kata al-ta'lim adalah bentuk masdar dari kata 'allama ( ‫ ) عَل َم‬yang
berarti pengajaran yang bersifat pemberian atau penyampaian pengertian,
pengetahuan, dan keterampilan. Penunjukkan al-ta'lim pada pengertian
pendidikan bisa dilihat pada hadis:

Terjemahan Hadist: “Telah diriwayatkan kepada kami Muhammad


dia adalah Ibnu Salam, diriwayatkan kepada kami Al-Muharibiy, ia
berkata, telah diriwayatkan kepada kami Shalih Ibnu Hayyan ia telah
berkata, Sesungguhnya seorang laki-laki dari ahli kitab telah berkata
kepada Sya'biy. Lalu askepadaku Abu Darda' dari ayahnya, ia berkata:
Rasulullah -Sya'biy berkata telah diberitakan saw. bersabda: "Tiga
golongan mendapat dua pahala yaitu: seorang ahli kitab yang beriman
kepada Nabinya kemudian beriman kepada Muhammad saw., hamba
sahaya apabila menunaikan hak Allah Ta'ala dan hak tuannya, dan
seorang laki-laki yang mempunyai budak wanita yang disetubuhinya,
dididiknya secara baik, serta diajarnya secara baik kemudian
dimerdekakan dan dikawininya, maka ia mendapat dua pahala.”11

Pengertian pendidikan yang ditawarkan dari kata al-ta'lim pada


hadis ini adalah proses pemindahan seperangkat nilai antar manusia seperti
yang dinyatakan oleh Abdul Fattah Jalal dalam Samsul Nizar bahwa pada
kata al-ta'lim secara implisit selain menanamkan aspek kognitif dan
psikomotorik, juga aspek afektif, karena pada kata al-ta'lim juga
ditekankan pada prilaku yang baik (akhlak al-karimah).12

2. Ta’dib

11
Al Imam Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhariy, Kitab al-Jami as-Shahih
alMukhtasir, Cet. III; Beirut: Dar Ibnu Katis, h. 147.
12
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pendidikan Islam, Cet. I; Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2001, h. 86.Al Imam Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhariy, Kitab al-Jami
as-Shahih alMukhtasir, Cet. III; Beirut: Dar Ibnu Katis, h.147.
7
Kata al-ta'dib adalah bentuk masdar dari kata addaba-yuaddibu
yang berarti pendidikan.13Al-ta'dib juga mengandung arti ilmu, kearifan,
keadilan, kebijaksanaan, pengajaran, dan pengasuhan yang baik.
Penunjukkan al-ta'dib pada pengertian pendidikan ini bisa dilihat pada
hadis:

Terjemahan Hadist: “Telah diriwayatkan kepada kami Muhammad


ibnu Muqattil telah diberitakan kepada kami Abdullah, telah diberitakan
kepada kami Shalih Ibnu Hayyin: sesungguhnya seorang laki-laki dari
penduduk Khurasan telah berkata kepada Sya'biy. Lalu Asy-Sya'biy
berkata telah diberitakan kepadaku Abu Darda' dari bapakku Musa al-
Asy'ariy r.a. berkata: telah bersabda Rasulullah Saw.:"apabila seorang
laki-laki mendidik budaknya secara baik serta diajarnya secara baik,
kemudian memerdekakadan apabila ia percaya kepada Isa, lalu percaya
kepadaku, makannya dan dikawininya, maka ia mendapat dua pahala,
baginya dua pahala, dan apabila seorang budak bertakwa kepada
Tuhannya dan taat kepada majikannya, maka baginya dua pahala.”14

Pengertian pendidikan yang ditawarkan pada hadis ini adalah


proses mendidik yang lebih tertuju pada pembinaan dan penyempurnaan
akhlak atau budi pekerti. Dengan kata lain bahwa kata al-ta'dib lebih
terfokus pada upaya pembentukan pribadi muslim yang berakhlak mulia.
Demikian juga lebih menajam pada pengenalan dan pengakuan yang
secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia. Konsep ini
didasarkan pada hadis Nabi yang tersebut di bawah ini:

13
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir; Kamus Arab Indonesia, Yogyakarta: Unit
Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagamaan Pondok Pesantren al-Munawwir, 1984, h.
14
Al-Imam Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhariy, Kitab al-Jami as-Shahih
alMukhtasir, h. 147.

8
3. Tarbiyah

Al-tarbiyyah, kata ini lebih luas penggunaannya dibanding dua kata


lainnya: alta'lim dan al-ta'dib. Kata al-tarbiyyah secara leksikal
mempunyai akar di antaranya; pertama, berasal dari kata raba-yarbu yang
berarti bertambah, tumbuh, dan berkembang.15 Kedua, berasal dari kata
rabba-yurabbiy bermakna memberi makan, mendidik, baik segi fisik
maupun rohani.16Ketiga, bentuk al-tarbiyyah terambil dari kata
rabbayarubbu yang berarti melindungi, menyantuni, mendidik aspek fisik
dan moral, dan menjadikannya profesional.17 Penunjukkan kata al-
tarbiyyah pada pengertian pendidikan ini bisa dilihat pada hadis:

Terjemahan Hadist: “Telah diriwayatkan kepada kami Qutaibah


bin Said, diriwayatkan kepada kami Ya'qub yakni Ibnu Abdurrahman al-
Qariy dari suhail dari ayahnya dari abu Hurairah sesungguhnya Rasulullah
saw. telah bersabda: tidaklah salah seorang bersedekah dengan kurma
dari usahanya yang baik melainkan Allah mengambilnya dengan tangan
kanannya, lalu mendidiknya sebagaimana ia mendidik hingga menjadi
seperti gunung atau yang lebih besar lagi, dan diriwayatkan kepadaku
Umayyah Ibnu Bistham, telah diriwayatkan kepada kami Yazid yakni Ibnu
Zuraiy, telah diriwayatkan kepada kami Rauh Ibnu al-Qasim dan Ahmad
Ibnu Utsman al-Audiy meriwayatkan kepadaku, Khalid Ibnu Makhlad

15
Abi al-Husain Ahmad Ibnu Faris Ibnu Zakariyyah al-Raziy, Mu'jam Maqayis al-Lughah,
Jilid I, Cet. I; Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999, h. 509.
16
Louis Ma'luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-Adab wa al-Ulum, h. 247.
17
Ibrahim Anis, at.al., al-Mu'jam al-Wasit, Juz I, Cet. II; Istambul: al-Maktabah al-
Islamiyyah, 197, h. 321.
9
meriwayatkan kepada kami, telah diriwayatkan kepadaku Sulaiman yakni
Ibnu Bilal keduanya dari Suhail, dengan sanad ini pada riwayat Rauh dari
usahanya yang baik, lalu meletakkannya pada haknya dan berdasarkan
riwayat Sulaiman, lalu ia meletakkan pada tempatnya.”18

Kata al-tarbiyyah di sini mengandung pengertian mendidik,


mengasuh, memelihara dan membina. Dengan kata lain, mendidik, baik
segi fisik maupun rohani. Kata rabba ini digunakan juga untuk Tuhan,
mungkin karena Tuhan bersifat mendidik, mengasuh, memelihara, bahkan
menciptakan. Dari hal ini juga bisa dikatakan al-tarbiyyah mempunyai
empat unsur pendekatan, yakni:
a) Memelihara dan menjaga fitrah anak didik menjelang dewasa.
b) Mengembangkan seluruh potensi menuju kesempurnaan.
c) Mengarahkan seluruh fitrah menuju kesempurnaan.
d) Melaksanakan pendidikan secara bertahap.
Jadi, al-tarbiyyah adalah suatu bentuk pembinaan manusia yang
dilakukan secara bertahap dan secara kontinyu (istimrar) menuju
terbentuknya manusia yang bertakwa kepada Rabb-nya. Melalui
pembinaan fiqriyyah (akal), sulukiyah (akhlak), dan jasadiyah. Dengan
demikian, manusia perlu pengajaran, pendidikan, tarbiyah, pembinaan dan
peringatan, agar manusia sadar dan menempatkan posisi fitrahnya sesuai
dengan yang diinginkan Allah.

Berkaitan dengan uraian-uraian yang telah dikemukakan, dan


dengan merujuk pada makna dasar term-term pendidikan tersebut, penulis
merumuskan bahwa kata al-ta’dīb lebih mengacu pada aspek pendidikan
moralitas (adab), sementara kata al-ta’līm lebih mengacu pada aspek
intelektual (pengetahuan), sedangkan kata tarbiyah, lebih mengacu pada
pengertian bimbingan, pemeliharaan, arahan, penjagaan, dan pembentukan
kepribadian. Karena itu, term yang terakhir ini, kelihatannya menunjuk
pada arti yang lebih luas, karena di samping mencakup ilmu pengetahuan
dan adab, juga mencakup aspek-aspek lain.

18
Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, Kitab al-Imarah, jilid XII; Mesir: al-Matba'ah
alMishriyyah wa Maktabatuha, h. 137.

10
Masih mengenai pengertian pendidikan, dalam hal ini batasan term
tarbiyah, Abdurrahman al-Nahlawi merumuskan bahwa term tersebut
sekurang-kurangnya mengandung empat konsep dasar, yakni :
a Pendidikan merupakan kegiatan yang betul-betul memiliki target,
tujuan dan sasaran.
b Pendidik yang sejati dan mutlak adalah Allah swt. Dialah Pencipta
fitrah, Pemberi bakat, Pembuat berbagai sunnah perkembangan,
peningkatan dan interaksi fitrah sebagaimana Dia pun mensyariatkan
aturan guna mewujudkan kesempurnaan, kemaslahatan dan
kebahagiaan manusia.
c Pendidikan menuntut terwujudnya program berjenjang, peningkatan
kegiatan, dan pengajaran selaras dengan urutan juga sistematika.
menanjak yang membawa anak didik dari suatu perkembangan ke
perkembangan lainnya.

D. Syarah Hadist Tentang Pendidikan


Hadist pendidikan memiliki implikasi terhadap kehidupan, bagaimana
cara mendidik yang benar, dan sesuai dengan ajaran Agama Islam, oleh
karena itu sebagai berikut.
1. Keutamaan Mendidik Anak

‫ب الرَّ ُج ُل َو َلدَ هُ َخ ْي ٌر‬


َ ‫ {أِل نْ ُيَؤ ِّد‬:‫صاَل ةُ َوال َّساَل ُم‬َّ ‫َو َقا َل َع َل ْي ِه ال‬
}‫اع‬
ٍ ‫ص‬ َ ‫ص َّد َق ِب‬ َ ‫َل ُه ِمنْ أنْ َي َت‬
Terjemah Hadis : “Bagi orang tua yang mendidik anaknya dengan baik,
sungguh lebih utama dibandingkan bila ia bersedekah se-sha’”19
Dalam hadis itu, juga disinggung bahwa salah satu dimensi akhlak
yang mulia adalah bersedekah, dan merupakan salah satu amal yang
terpuji dalam Islam. Bersedekah dapat meringankan beban sesama
muslim, sehingga hal tersebut dapat memberikan kegembiraan
kepadanya. Dengan bersedekah, maka sangat banyak hal-hal positif yang
dapat dilaksanakan. Namun demikian, menanamkan pendidikan ternyata
lebih jauh penting dibanding dengan bersedekah. Anak yang terdidik
dengan baik akan menjadi anak yang beriman, berakhlak, dan berbudaya.
19
Abu Abdullah Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, dalam CD. Rom Hadis
Musnad al-Bashriyyin, hadis ke-19995
11
Kapasitas anak yang dilahirkan oleh buah pendidikan ini, terbukti dapat
melahirkan anak yang dapat memberikan sedekah yang lebih banyak
dibanding sedekah yang diberikan orang tuanya sebanyak satu sha' saja.
Sebaliknya, anak yang tidak terdidik dengan baik dapat saja
menghilangkan sedekah yang pernah diberikan kepada seseorang dengan
menyakiti hatinya atau bahkan dapat saja merobohkan bangunan yang
dibangun dengan sumbangan yang diberikan oleh ayahnya.
Yang menjadi persoalan berikutnya adalah pendidikan yang
bagaimana yang diinginkan oleh hadis tadi ? Diyakini bahwa pendidikan
yang diinginkan oleh hadis tersebut adalah adalah pendidikan Islam.
Orang Islam menyakini bahwa kehidupan tidak dapat diserahkan
seluruhnya kepada kemampuan akal manusia secara pribadi atau manusia
dalam arti keseluruhan manusia. Pandangan orang Islam bertolah
belakang dari humanisme yang mengajarkan bahwa akal manusia telah
mencukupi untuk mengatur dunia dan kehidupan manusia, dan karena itu
agama tidak diperlukan.20 Dengan demikian, pendidikan yang diiginkan
Nabi saw sebagaimana dalam hadis tersebut, bukanlajh pendidikan yang
menanamkan faham humanisme dan pendapat lain yang tidak sejalan
dengan ajaran Islam.
2. Urgensi Mengajarkan Ilmu melalui Pendidikan

ّ ‫لى َه َلكِت ِه فيِ ا َل‬


 ‫ َو‬,ِ ‫حق‬ َ ‫ َر ُج ٌل َأ َتاهُ هللاُ َما الً َفس‬: ‫ْن‬
َ ‫ِّلط َع‬ ِ ‫الَ َح َسدَ ِإالَ فِي ْاث َن َتي‬
‫َر ُج ٌل َأ َتاهُ هللاُ ْالح ِْكم َة َفه َُو َي ْقضِ ى ِب َها َوي َُعلِ ُم َها‬
Terjemah Hadis : “Tidak boleh mengingkan kepunyaan lain orang
melainkan dua macam. Orang yang diberi oleh Allah kekayaan, maka
dipergunakan untuk membela haq (kebenaran) dan orang yang diberi
oleh Allah hikmah (ilmu pengetahuan) maka diajarkannya kepada orang
lain.”21
Hadis di atas mengemukakan bahwa al-hikmah bermakna ilmu
pengetahuan dalam yang diperoleh dalam proses pendidikan. Term al-
hikmah yang bentuk pluralnya adalah al-hikam secara leksikal berarti al-
falsafah (kebijaksanaan); al-‘adl (keaadilan); al-hilm (penyantun); dan
al-‘ilm (pengetahuan).22 Karena itu, batasan term al-hikmah dengan
20
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosda Karya,
1994), hal. 21.
21
Abu al-Hasan Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairy, Shahih Muslim, juz I
(Bandung: Maktabah Dahlan, t.th), hal. 799. Lihat juga CD Rom Hadis, kitab al-Ilmu, hadis ke-
1352
22
Louis Ma’luf, Al-Munjid., h. 146
12
al-‘ilmu secara harfiyah adalah sama (mutaradifani). Lebih lanjut Ibn
Hajar al-Asqalani dalam men-syarah hadis tersebut beliau menyatakan
bahwa 23
“yang dimaksud al-hikmah adalah segala yang terhindar dari
kebodohan dan segala yang terhalang dari keburukan). Dari sini,
dapatlah dipahami bahwa al-hikmah adalah lawan dari al-jahl
(kebodohan) dan orang yang berilmu (al-‘alim) juga diterminologikan
sebagai lawan dari al-jahil (orang yang bodoh)”.
Term al-hikmah dalam Alquran24 juga diartikan sebagai al-fahmu
wa al-‘ilmu (pemahaman dan pengetahuan) yang berasal dari Allah dan
diperoleh setelah berusaha dalam kegiatan dan proses pendidikan.25
Dengan demikian, term al¥ikmah pada hadis di atas diartikan sebagai
ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia dan ilmu tersebut bersumber
dari Allah.
Secara global hadis yang dikaji ini menjelaskan bahwa sikap iri
hati (hasad) dibolehkan dalam agama, tetapi hanya dalam dua hal.
Pertama, iri hati kepada seseorang yang menggunakan hartanya di jalan
kebenaran; dan kedua, iri hati kepada seseorang yang mengajarkan
ilmunya kepada orang lain. Jadi, term hasada pada awal matan hadis
tersebut mengandung arti al-gibah (iri yang positif).

3. Balasan Orang yang Menuntut Ilmu

َّ‫ َوِإن‬، ‫ُق ْال َج َّن ِة‬ ِ ‫ط@ ر‬ ُ ْ‫ك هَّللا ُ ِب ِه َطري ًق@@ا ِمن‬
ِ َ ‫ك َط ِري ًقا َي ْطلُبُ فِي ِه عِ ْلمًا َس َل‬ َ ‫َمنْ َس َل‬
‫ َوِإنَّ ْال َعالِ َم َل َيسْ َت ْغفِ ُر َل ُه َمنْ فِي‬، ‫ب ْالع ِْل ِم‬ ِ ِ‫ض ُع َأجْ ن َِح َت َها ِرضًا لِ َطال‬ َ ‫ْال َماَل ِئ َك َة َل َت‬
‫ض@ َل ْال َع@ ال ِِم‬ ْ ‫ َوِإنَّ َف‬،‫ض َو ْالحِي َت@@انُ فِي َج@ ْوفِ ْال َم@@ا ِء‬ ِ ْ‫ت َو َمنْ فِي اَأْلر‬ ِ ‫ال َّس َم َوا‬
‫ َوِإنَّ ْال ُع َل َما َء َو َر َث ُة‬،ِ‫اِئر ْال َك َوا ِكب‬ ِ ‫َع َلى ْال َع ِاب ِد َك َفضْ ِل ْال َق َم ِر َل ْي َل َة ْال َب ْد ِر َع َلى َس‬
ْ‫ َف َمن‬،‫ َوِإنَّ اَأْل ْن ِب َيا َء َل ْم ي َُورِّ ُثوا دِي َنارً ا َواَل ِدرْ َهمًا ِإ َّن َم@@ا َورَّ ُث@@وا ْالع ِْل َم‬، ‫اَأْل ْن ِب َيا ِء‬
‫َأ َخ َذهُ َأ َخ َذ ِب َح ٍّظ َواف ٍِر‬

23
Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-Asqlani, Fath al-Bary Sayrh Shahih al-Bukhari, jilid I
(Bayrut: Dar al-Manar, 1990), h. 205
24
Lihat QS. Luqman (31): 12.
25
Abu al-Fida Mujhammad bin Isma’il Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, jilid III
(Semarang: Toha Putra, t.th), h. 444.
13
Terjemahnya : “Siapa yang melalui suatu jalan untuk menuntut
ilmu, Allah akan memudahkan baginya jalan ke syurga; dan para
Malaikat selalu melatakkan sayapnya menaungi para pelajar karena
senang dengan perbuatan mereka; dan seorang alim dimintakan ampun
oleh penduduk langit dan bumi dan ikan-ikan di dalam air. Kelebihan
seorang alim atas orang ibadat bagiakan kelebihan sinar bulan atas lain-
lain bintang. Sesungguhnya ulama sebagai waris dari nabi-nabi.
Sesungguhnya Nabi tidak mewariskan uang dinar atau dirham, hanya
mereka mewariskan ilmu agama, maka siapa yang telah mendapatkannya
berarti telah mengambil bahagian yang besar.”26

Kedua hadis di atas mengisyaratkan bahwa balasan pahala bagi


mereka yang menuntut ilmu dalam proses pendidikan adalah syurga.
Menurut al-‘Abadi, syurga yang dimaksud disini adalah kebahagiaan
dunia dan akhirat. Menurutnya, di dunia mereka akan diangkat derajatnya.
Dalam QS. al-Mujadalah(58): 11, Allah berfirman :

‫يَرْ فَ ِع هَّللا ُ الَّ ِذينَ آ َمنُوا ِم ْن ُك ْم َوالَّ ِذينَ ُأوتُوا ْال ِع ْل َم َد َر َجات‬
Terjemahnya: “Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan
beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Di samping orang yang menuntut ilmu diangkat derajatnya oleh


Allah, maka di akhirat kelak mereka juga akan merasakan kenikmatan
yang hakiki dengan menetapnya di syurga. Kebahagiaan syurga tersebut
diperuntukkan bagi mereka yang menuntut ilmu (thalib al-‘ilm) dan yang
mengamalkan ilmunya (‘amil al-‘ilm) atau yang mengajarkan ilmunya
kepada orang lain.27 Karena kedudukan mulia yang diraih oleh Nabi saw,
terwariskan kepada ahli ilmu (penuntut ilmu), maka sangat wajar
bilamana mereka memperoleh pahala berupa syurga, yakni kemuliaan
pada sisi Allah di dunia ini dan di akhirat kelak.
26
Abu Isa Muhammad ibn Isa al-Turmuziy, Sunan al-Turmuziy, juz III. Bairut: Dar al-Fikr,
t.th). h. 276
27
Uraian lebih lanjut lihat Abu al-Thayyib Muhammad Syams al-Haq al-‘Azim, ‘Aun
alMa’bb Syarh Sunan Abu Dawud, juz VII (t.t.: al-Maktabah al-Salafiyah, 1979), h. 51
14
Pada sisi lain, kemuliaan berupa derajat yang tinggi di sisi Allah
yang diperoleh para penuntut ilmu tersebut melalui kegiatan pendidikan
(menurut hadis), mereka juga senantiasa dilindungi oleh malaikat,
termasuk semua penghuni alam ini mendoakannya, karena mereka yang
menuntut ilmu tersebut lebih mulia dan lebih baik posisinya bila
dibandingkan dengan orang yang beribadah, sebagai-mana indahnya bulan
di atas bintang-bintang gemerlap.

4. Pendidikan Shalat Bagi Anak

 ُ ‫هللا‬ ‫ص@لَّى‬َ ‫هللا‬ ِ ‫ َق@@ا َل َر ُس@ ْو ُل‬: ‫ب َعنْ اَ ِب ْي@ ِه َعنْ َج@ ّد ِه َق@@ا َل‬ ُ ُ‫َعنْ ُع َمرُوبْن‬
ِ ‫ش َع ْي‬
َّ ‫ ُمر ُْوا اَ ْواَل دَ ُك ْم ِبال‬: ‫َع َل ْي ِه َو َسلَّ َم‬
‫صاَل ِة َوهُم اَ ْب َنا ُء سِ ِني َْن َواضْ ِر ُب ُه ْم اَ ْب َنا َء َع َش @ َر‬
َ ‫َو َفرِّ قُ ْوا َب ْي َن ُه ْم فِيْ ْال َم‬
) ‫ضا ِج ِع ( َر َواهُ اَب ُْو دَاوُ َد‬
Terjemah Hadis : “Ajarkanlah anak (mu) untuk shalat sejak umur
tujuh tahun dan pukullah mereka (ketika meninggalkan shalat) dalam
umur 10 tahun.”28

Shalat adalah tiang agama (‫)الص لَة عم اد الني‬, dan karena itulah maka

perintah untuk mendidik anak dilakukan sejak dini, yakni sejak anak
berusia tujuh tahun ( ‫)س بع س نني‬. Pendidikan shalat dalam usia dini, lebih

awal dimulai oleh usaha orang mendidik anaknya dalam bentuk hadhana.
Hal ini seiring dengan fase perkembangan anak, dan ketika ia mulai
memiliki potensi-potensi biologis, paedagogis, mulailah diperlukan
adanya pembinaan, pelatihan, bimbingan, pengajaran dan pendidikan
yang disebut al-hadhānah.
Hadhanah merupakan hak bagi anak-anak yang masih kecil,
karena ia membutuhkan pengawasan, penjagaan, pelaksana urusannya
dan orang yang mendidiknya. Pendidikan yang yang paling penting ialah
pendidikan anak kecil dalam pangkuan ibu bapaknya. Karena dengan
pengawasan dan perlakuan mereka kepadanya secara baik akan dapat

28
Sunan al-Darimi, dalam CD. Rom, Kitab al-Shalat, hadis ke-1395.

15
menumbuhkan jasmani dan akalnya, membersihkan jiwanya serta
mempersiapkan diri anak menghadapi kehidupannya di masa datang.29

Proses pembinaan spiritual anak lebih efektif lagi bila dalam usia
dininya ini, dilatih untuk melaksanakan ibadah. Kemudian pada umur
tujuh tahun sebagaimana dalam hadis tadi, hendaknya mereka
diperintahkan untuk mendirikan shalat secara kontineu. Ketika mereka
mencapai umur sepuluh tahun dan ketika itu pula mereka meninggalkan
shalat, maka hendaklah diberi sanksi fisik berupa pukulan.
Dari hadis di atas, dipahami bahwa di samping adanya perintah
mendidik dan membiasakan anak-anak untuk mengerjakan shalat, juga
ada perintah untuk memisahkan anak-anak dari tempat tidurnya.
Maksudnya, sejak usia dini anak-anak tersebut harus berpisah tempat
tidur dengan orang tuanya dan berpisah tempat tidur dengan saudara-
saudaranya yang berlainan jenis kelamin. Hal ini dikarenakan pada fase
ini, sang anak mulai aktif dan mampu memfungsikan potensi-potensi
indranya, ia sudah mulai mengenal mana yang wajar dan yang tidak
wajar, mana yang negatif dan yang positif.

BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa hakikat pendidikan adalah usaha sadar dan sistematis yang dilakukan
oleh pemegang tanggung jawab pendidikan di rumah, sekolah, dan

29
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah diterjemahkan oleh Moh. Thalib dengan judul Fikih
Sunnah, jilid VIII (Cet. VII Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1992). hal. 161-162
16
masyarakat untuk mengembangkan potensi yang ada pada manusia yang
berlandaskan pada nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, pendidikan Islam
mempunyai cakupan dan garapan yang sangat luas mencakup semua dimensi
kehidupan manusia. Sedang tujuan pendidikan Islam yang ingin dicapai
adalah terwujudnya pribadi muslim yang sempurna yang beriman, bertakwa,
berilmu, bekerja, dan berakhlak mulia dalam mengemban amanah sebagai
khalifah di muka bumi dan sebagai hamba Allah swt.Pendidikan yang di
maksud di sini adalah tarbiyah, yakni proses pembentukan individu
berdasarkan ajaranajaran Islam. Melalui proses pendidikan itu, individu
dibentuk agar dapat mencapai derajat yang tinggi dan sempurnah (insan
kamil).
Hadis-hadis tentang pendidikan sangat banyak jumlahnya, dan
terdapat dalam al-kutub al-tis’ah (Kumpulan Hadist). Hadis-hadis tentang
pendidikan itu, pada dasarnya dapat terklasifikasi atas lima sub tema, yakni
(1) keutamaan mendidik anak. Dalam hadis ini, ditemukan syarah bahwa
mendidik anak lebih utama dan lebih mulia daripada bersedekah; (2) urgensi
mengajarkan ilmu melalui pendidikan. Dalam hadis dipahami bahwa
mengajarkan ilmu kepada orang lain sangat penting dan menjadi kewajiban
bagi setiap muslim; (3) balasan yang diperoleh bagi penuntut ilmu dalam
pendidikan. Dalam hadis ini dipahami bahwa seseorang yang menuntut ilmu
dalam dunia pendidikan akan mendapatkan balasan pahala berupa surga (4)
pendidikan shalat bagi anak. Dalam hadis ini dipahami bahwa kewajiban
orangtua adalah mendidik anak-anaknya untuk melaksanakan ibadah shalat
sejak dini, yakni sejak umur tujuh tahun.
Hadis-hadis yang telah diklasifikasi, dan disyarah secara maudhui,
berkualitas shahih. Karena itu, kajian penulis di sini berimplikasi pada
pentingnya pengamalan hadis-hadis tentang pendidikan dalam kehidupan.
DAFTAR PUSTAKA
Al Imam Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhariy, Kitab al-
Jami as-Shahih alMukhtasir, Cet. III; Beirut: Dar Ibnu Katis
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir; Kamus Arab Indonesia,
Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagamaan Pondok Pesantren
al-Munawwir, 1984

17
Abi al-Husain Ahmad Ibnu Faris Ibnu Zakariyyah al-Raziy, Mu'jam
Maqayis al-Lughah, Jilid I, Cet. I; Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999
Abu Abdullah Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, dalam
CD. Rom Hadis Musnad al-Bashriyyin, hadis ke-19995
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung:
Remaja Rosda Karya, 1994 Abu al-Hasan Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-
Qusyairy, Shahih Muslim, juz I (Bandung: Maktabah Dahlan, t.th). Lihat juga CD
Rom Hadis, kitab al-Ilmu, hadis ke-1352
Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-Asqlani, Fath al-Bary Sayrh Shahih al-
Bukhari, jilid I. Bayrut: Dar al-Manar, 1990
Abu al-Fida Mujhammad bin Isma’il Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an
al-‘Azhim, jilid III. Semarang: Toha Putra, t.th
Abu Isa Muhammad ibn Isa al-Turmuziy, Sunan al-Turmuziy, juz III.
Bairut: Dar al-Fikr, t.th
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Ed. III,
(Cet. II; Jakarta: Balai Pustaka, 2002
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalah al- Hadis, Bandung: PT. Al-
Ma’arif, 1974
Harry Noer Ali, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam, Cet. II;
Bandung: CV Diponegoro, 1992. Batasan di atas, dikutip dari Lihat Abu Ahmadi,
Ilmu Pendidikan Cet.I; Jakarta: Rineka cipta, 1991
Ibrahim Anis, at.al., al-Mu'jam al-Wasit, Juz I, Cet. II; Istambul: al-
Maktabah al-Islamiyyah, 1978
Khairuddin, Ilmu Pendidikan Islam; Mendesain Insan yang Hakiki dan
Mengintip Louis Ma'luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-Adab wa al-Ulum
Muslimah dalam Sejarahnya, Cet. I; Ujung Pandang: CV Berkah Utami,
2002
Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, Kitab al-Imarah, jilid XII; Mesir: al-Matba'ah
alMishriyyah wa Maktabatuha
Nasir A. Baqi, Metode Pembelajaran Agama Islam(Dilengkapi Pembahasan
Kurikulum 2013), Yogyakarta: Eja-Publisher, 2014
Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, terj. Jakarta: Pustaka Firdaus,
2009
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pendidikan Islam, Cet. I; Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2001. Uraian lebih lanjut lihat Abu al-Thayyib Muhammad
Syams al-Haq al-‘Azim, ‘Aun alMa’bb Syarh Sunan Abu Dawud, juz VII (t.t.: al-
Maktabah al-Salafiyah, 1979
Sunan al-Darimi, dalam CD. Rom, Kitab al-Shalat, hadis ke-1395. Sayyid Sabiq,
Fiqh al-Sunnah diterjemahkan oleh Moh. Thalib dengan judul Fikih
Sunnah, jilid VIII. Cet. VII Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1992
Zuhairini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam, Cet. VI; Jakarta: PT Bumi Aksara,
2000
Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis, Surabaya: al-Muna, 2010

18
19

You might also like