You are on page 1of 20

TUGAS KARYA ILMIAH MATA KULIAH

BAHASA INDONESIA
Upaya Penanggulangan dan Pencegahan Kebakaran Hutan di
Profinsi Jambi

OLEH
Nurhayat ( L1B115007 )

DOSEN PENGAMPU
Anggrika Riyanti, S.T, M.Si

PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN


FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS JAMBI
2015
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 latar Belakang


Belakangan ini kebakaran hutan semakin menarik perhatian internasional
sebagai isu lingkungan dan ekonomi, khususnya setelah bencana El Nino (ENSO)
1997 / 98 yang menghanguskan lahan hutan seluas 25 juta hektar di seluruh dunia
(Food and Agriculture Organization, 2001). Kebakaran hutan dianggap sebagai
ancaman potensial bagi pembangunan berkelanjutan karena efeknya secara
langsung bagi ekosistem (United Nations International Strategy for Diasester
Reduction, 2002), kontribusinya terhadap peningkatan emisi karbon dan
dampaknya bagi keanekaragaman hayati. Di Indonesia, keprihatinan mengenai
dampak kebakaran hutan dan lahan cukup signifikan, dua bulan lebih kabut asap
menyelimuti kota-kota di Sumatera dan Kalimantan. Itu berarti 3.168.637 jiwa
(BKKBN Profinsi Jambi tahun 2012) penduduk Profinsi Jambi terkena paparan
asap akibat kebakaran hutan sejak Agustus 2015 silam. Dengan Indeks Standar
Pencemaran Udara (ISPU) berada pada tingkat 300-500 atau dikategorikan
berbahaya, artinya udara dengan kandungan zat berbahaya dan sangat
mengganggu kesehatan bagi si penghirupnya, selain itu jarak pandang menurun
hingga 10-30 meter (www.tribunnews.com diakses pada 28 Oktober 2015).
Akibatnya, sekolah dan lembaga pendidikan lainya banyak diliburkan, tak lain
juga Universitas Jambi. Selain itu, sebagian besar aktivitas warga menjadi
terganggu dan ditaksir kerugian ekonomi akibat kabut asap disinyalir mencapai
lebih dari Rp 20 triliun (www.bbc.com diakses pada 28 Oktober 2015). Ditambah
lagi puluhan ribu warga terserang ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut). Kabut
asap ini juga telah berhasil memperburuk kesehatan beberapa warga
(jambi.tribunnews.com diakses pada 28 Oktober 2015) hingga merenggut nyawa
mereka. Ingin rasanya mengungsi, tetapi bandara Sultan Thaha Saifudin Jambi
lumpuh total. Ditambah lagi beberapa negara tetangga seperti Singapura dan
Malaysia juga merasakan dampak dari bencaana kabut asap tahun 2015 ini.
Kebakaran hutan yang berujung bencana kabut asap menjadi salah satu
masalah serius yang harus diatasi sesegera mungkin karena berdampak kerugian
di berbagai sektor. Dengan demikian, pada karya ilmiah ini akan membahas
mengenai Upaya Penanggulangan dan Pencegahan Kebakaran Hutan di Profinsi
Jambi.
Penulis berharap dengan adanya karya ilmiah ini nantinya menambah
pemahaman yang lebih baik tentang kebakaran hutan, sehingga menjadikan lebih
bijak dalam memandang hingga mendukung aksi penanganan kabut asap, dengan
harapan akhir bencana kabut asap tidak akan berulang dimasa mendatang.

1.2 Perumusan masalah


Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah di atas, maka dapat
dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana upaya penanggulangan kebakaran hutan.
2. Bagaimana upaya pencegahan kebakaran hutan di masa depan

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:
1 Menjelaskan upaya penanggulangan kebakaran hutan.
2 Mengetahui teknik yang efektif dalam pencegahan kebakaran hutan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebakaran Hutan


2.1.1 Definisi Kebakaran Hutan
Definisi Kebakaran Hutan menurut SK. Menhut. No.
195/Kpts-II/1996 yaitu suatu keadaan dimana hutan dilanda api sehingga
mengakibatkan kerusakan hutan dan hasil hutan yang menimbulkan
kerugian ekonomi dan lingkungannya.
2.1.2 Penyebab Kebakaran Hutan
Sebenarnya kebakaran hutan adalah proses yang secara alami terjadi
di alam. Kebakaran merupakan bagian dari siklus alami dari ekosistem
hutan. Kebakaran hutan normal terjadi pada saat musim kering.
Kebakaran ini memiliki fungsi sangat penting bagi ekosistem hutan, yaitu
untuk menjaga keanekaragaman jenis (spesies) tumbuhan dan hewan
yang ada di hutan. Kebakaran hutan alami berfungsi mencegah adanya
spesies yang mendominasi di hutan.
Indonesia sebagai negara beriklim tropis memiliki 2 tipe musim
sepanjang tahun, yaitu musim penghujan dan musim kemarau.
Kebakaran hutan di Indonesia umumnya terjadi secara alami di musim
kemarau. Saat musim kemarau, daun-daun dan ranting pohon menjadi
kering. Jika terkena panas terus-menerus, ranting pohon akan terbakar.
Itulah penyebab alami dari kebakaran hutan.
Tapi perlu diingat, kebakaran yang murni karena siklus alam, biasanya
tidak menyebar terlalu luas. Karena tumbuhan hidup mengandung air
yang banyak sehingga sangat sulit untuk terbakar. Maka dari itu
kebakaran alami biasanya hanya menghasilkan kebakaran yang relatif
ringan.
Namun, jika kebakaran yang terjadi sangat besar dan luas, akan
berdampak buruk bagi ekosistem hutan. Meskipun kebakaran hutan dapat
terjadi secara alami, di Indonesia, kebakaran hutan sering disebabkan
atau diperparah oleh ulah manusia, baik langsung maupun tidak
langsung. Secara langsung, manusia bisa membuat hutan terbakar dengan
tindakan-tindakan, seperti pemakaian api yang tidak benar saat berada di
dalam hutan, membuka lahan dengan cara dibakar, kebiasaan masyarakat
di sekitar kawasan hutan yang seringkali menggunakan api untuk
persiapan lahan, baik untuk membuat lahan pertanian maupun
perkebunan. Perbedaan biaya produksi yang tinggi menjadi satu faktor
pendorong penggunaan api dalam kegiatan persiapan lahan. Metode
penggunaan api dalam kegiatan persiapan lahan dilakukan karena murah
dari segi biaya dan efektif dari segi waktu dan hasil yang dicapai cukup
memuaskan. Secara tidak langsung, manusia juga dapat mempermudah
terjadinya kebakaran hutan dengan mengubah fungsi lahan yang ada,
seperti pengeringan rawa-rawa gambut.

2.1.3 Dampak Kebakaran Hutan


Dampak yang berkaitan dengan kebakaran hutan atau lahan adalah
terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup, seperti
terjadinya kerusakan flora dan fauna, tanah, dan air. Kebakaran hutan dan
lahan di Indonesia terjadi hampir setiap tahun walaupun frekwensi,
intensitas, dan luas arealnya berbeda.
Dampak negatif pada lingkungan fisik antara lain meliputi penurunan
kualitas udara akibat kepekatan asap yang memperpendek jarak pandang
sehingga mengganggu transportasi, mengubah sifat fisika-kimia dan
biologi tanah, mengubah iklim mikro akibat hilangnya tumbuhan, bahkan
dari segi lingkungan global ikut memberikan andil terjadinya efek rumah
kaca. Dampak pada lingkungan hayati antara lain meliputi menurunnya
tingkat keanekaragaman hayati, terganggunya suksesi alami,
terganggunya produksi bahan organik dan proses dekomposisi.
Dampak pada kesehatan yaitu timbulnya asap yang mengganggu
kesehatan masyarakat terutama masyarakat miskin, lanjut usia, ibu hamil
dan anak balita seperti infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), asma
bronkial, bronkitis, pneumonia, iritasi mata dan kulit. Dampak sosial
yaitu hilangnya mata pencaharian, rasa keamanan dan keharmonisan
masyarakat lokal (Kantor Meneg L.H., 1998).
Sedangkan dampak ekonomi antara lain meliputi dibatalkannya
jadwal transportasi darat-air dan udara, hilangnya tumbuh-tumbuhan
terutama tumbuhan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi, biaya
pengobatan masyarakat, turunnya produksi industri dan perkantoran,
serta anjloknya bisnis pariwisata.

2.2 Fenomena El Nino dan La Nina


El Nino dan La Nina merupakan siklus anomali (penyimpangan) iklim yang
terjadi di Samudra Pasifik. Keduanya itu merupakan pasangan yang saling
berlawanan. Sederhananya, El Nino menyebabkan kekeringan di daerah Indonesia
dan Australia sedangkan curah hujan tinggi di benua Amerika. Sebaliknya, La
Nina menyebabkan kekeringan di benua Amerika sedangkan curah hujan yang
sangat tinggi di Indonesia dan Australia. Siklus ini berlangsung dalam waktu
sekitar 5 tahun atau 7 tahun sekali. Waktu efek El Nino ataupun La Nina dapat
berlangsung sekitar 9 bulan sampai dengan 12 bulan.
Pada saat normal angin passat bertiup dari tekanan tinggi Sub Tropis (dari
arah timur) menuju tekanan rendah ekuator (barat). Sehingga air hangat Samudera
Pasifik berkumpul di pantai Utara Australia dan pantai Indonesia. Hal inilah yang
mengakibatkan hujan di Australia dan Indonesia. Namun pada lima tahun sampai
tujuh tahun sekali Angin Passat tersebut berubah arah. Yang semula dari arah
timur ke barat berubah menjadi arah barat ke arah timur. Hal inilah
mengakibatkan El Nino yaitu di Samudera Pasifik dan Indonesia berkurang curah
hujan dari biasanya. Kemudian untuk La Nina terjadi karena angin passat bertiup
dengan kencang dan terus menerus melewati Samudera Pasifik menuju Australia.
Angin Passat ini akan mendorong lebih banyak air hangat di Samudera Pasifik
menuju Australia Utara sehingga hujan hanyak turun di Samudera Pasifik Barat,
Australia Utara dan Indonesia.
Akhir-akhir ini daerah Pasifik sedang mengalami El Nino yang berakibat pada
kekeringan di Indonesia. Hal ini dapat ditandai dengan curah hujan di Indonesia
yang rendah dan cuaca siang hari yang terik. Dampak tambahan pada para warga
yang diselubungi kabut asap antara lain yaitu sering terjadi mati lampu karena
pemadaman listrik bergilir. Hal ini disebabkan karena keadaan PLTA yang kering
karena intensitas hujan yang rendah
Sebelum El Nino 2015 kini, pusat prakiraan iklim Amerika (Climate
Prediction Center) mencatat bahwa sejak tahun 1950, telah terjadi setidaknya 22
kali fenomena El-Nino. 6 kejadian di antaranya berlangsung dengan intensitas
kuat yaitu 1957/1958, 1965/1966, 1972/1973, 1982/1983, 1987/1988 dan
1997/1998. Tahun 1997 sering diingat sebagai terjangan El Nino yang terkuat
sepanjang sejarah Indonesia.
Indonesia mengalami kebakaran hutan paling parah di seluruh dunia dan
banyak mencuri perhatian dunia internasional. Berdasarkan analisis terbaru dari
National Oceanic and Atmospheric Administration dan NASA, El Nino 2015
akan terus menguat menyamai El Nino 1997.
Potensi awan hujan yang diambil pada tanggal 10 Oktober 2015 oleh LAPAN
(Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional):

Sumber: http://sadewa.sains.lapan.go.id/
Gambar awan hitam merepresentasikan awan potensi hujan. Pada informasi
gambar potensi awan hujan di atas, awan hujan sangat jarang muncul di
Indonesia. Semestinya, Bulan September hingga Desember sangat identik dengan
musim penghujan. Tapi dengan datangnya anomali El Nino, hingga Oktober,
hujan masih jarang turun.
Kondisi kering yang berkepanjangan ini yang menyebabkan terjadinya
kebakaran hutan di seluruh wilayah Indonesia. Berikut gambar persebaran titik api
(hot spot) yang ada di Indonesia pada tanggal 14 Oktober 2015:

Sumber: http://fires.globalforestwatch.org/#v=map&x=122.07&y=-
5.44&l=4&lyrs=Active_Fires

Warna kuning merupakan lokasi kebakaran paling parah. Warna abu-abu


menunjukkan intensitas kebakaran sedang. Dari gambar di atas, dapat disimpulkan
bahwa titik api (hotspot) terdapat di hampir seluruh Indonesia, dengan keadaan
paling parah ada di Sumatera dan Kalimantan, disebabkan karena faktor dari lahan
gambut yang sangat banyak terdapat di Kalimantan dan Sumatra.

2.3 Lahan Gambut


Sebelumnya sudah sedikit di singgung bahwa Sumatra dan Kalimantan
mengalami kebakaran hutan paling parah karena memiliki banyak lahan dengan
jenis tanah gambut. Tanah gambut sebetulnya bukan “asli” tanah. Tanah gambut
merupakan lapisan organik (seperti kayu) hasil dekomposisi (penguraian) yang
tidak sempurna dari tumbuhan. Singkatnya, lapisan gambut adalah seperti
tumpukan kayu hasil dari lambatnya proses dekomposisi karena sisa-sisa
tumbuhan terendam oleh air. Contoh penampakan lahan gambut alami.

Sumber: Mongabay.com

Ekosistem yang membentuk lapisan gambut biasa disebut juga dengan


ekosistem rawa gambut (rawa karena banyak air). Banyak terjadi di daerah
dengan tanah datar, karena ada sedikit cekungan, air akan langsung berkumpul.
Lapisan gambut yang terbentuk di cekungan bisa sampai sedalam 10-20m.
Gambaran proses pembentukan lahan gambut bisa liat di gambar :
Banyaknya Lahan gambut yang terbentuk di Sumatera dan Kalimantan juga
dipengaruhi oleh kombinasi antara curah hujan dan kontur pulau Sumatera dan
Kalimantan, berikut gambar persebaran tipe hujan dan peta kontur Indonesia di
bawah ini:

Sumber: cloudfront.net

Dengan curah hujan di Sumatra dan Kalimantan yang lebih tinggi daripada
Jawa dan Sulawesi dan besar kontur pulau Sumatra dan Kalimantan adalah daerah
yang datar. Kombinasi dari curah hujan tinggi dan lahan yang relatif datar akan
menghasilkan banyak lahan yang terendam oleh air. Lahan yang terendam oleh air
ini yang berpotensi membentuk ekosistem rawa gambut.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Penyebab Rawa Gambut Terbakar


Sejatinya, lahan gambut sangat sulit terbakar karena lahan gambut terbentuk
dari sisa-sisa tumbuhan yang terendam oleh air (rawa gambut).

Sumber: Mongabay.com

Akantetapi, lahan gambut bisa mudah kebakar saat lahan gambut


dikeringkan. Dengan alasan menganggap lahan gambut merupakan lahan yang
tidak produktif. Untuk membuat lahan gambut produktif (dijadikan lahan
pertanian dan lahan perkebunan), lahan gambut perlu dikeringkan terlebih dahulu
dengan cara membuat kanal-kanal sehingga air rawa gambut yang awalnya
stagnan, dibuat menjadi mengalir ke sungai. Alhasil, ekosistem rawa gambut
berubah menjadi tanah dengan lapisan gambut. (nama rawa mengacu pada
lingkungan yang terendam air).
Lahan gambut yang kering menimbulkan berbagai risiko masalah serius.
Saat terjadi kekeringan panjang, seperti El Nino 2015 ini, bisa bayangkan lahan
gambut menjadi tumpukan kayu kering yang siap terbakar. Hal yang terjadi jika
kayu kering ditumpuk dan terkena panas, tanpa ada yang membakar pun, lahan
gambut itu bisa dengan mudah terbakar.
Kondisi di Indonesia saat ini, dari tahun-ketahun (semenjak tahun 1960an),
banyak ekosistem gambut yang dikeringkan untuk dijadikan lahan-lahan yang
“lebih produktif”. Konsekuensinya, jumlah lahan di Indonesia yang memiliki
lapisan gambut kering sangat besar saat ini. Jadi wajar saat El Nino berlangsung,
terjadi kebakaran hutan yang dahsyat. Ditambah dengan adanya pihak yang
sengaja membakar hutan gambut yang bersifat kering. Semakin memperparah
kebakaran.
Di sisi lain, risiko masalah juga timbul saat musim hujan. Sesuai namanya,
rawa gambut memiliki fungsi utama untuk menampung air. Dengan
dikeringkannya rawa gambut, menjadi tidak ada lagi yang menahan air hujan.
Dampak langsung dari pengeringan rawa gambut adalah munculnya masalah
banjir di tempat lain jika terjadi musim hujan.

3.2 Efek Terbakarnya Lahan Gambut


Seperti yang telah dibahas sebelumnya, lahan gambut yang kering dapat
diumpamakan sebagai tumpukan kayu kering yang siap terbakar. Lapisan gambut
tersebut bahkan bisa mencapai 10m. Menjadi bencana serius ketika lahan gambut
yang kering ini terbakar dan akan mengganggu fungsi ekosistem rawa gambut
yang lain. Karena lahan gambut merupakan sisa-sisa tumbuhan yang “gagal”
terdekomposisi, berarti ekosistem rawa gambut juga berperan sebagai penyimpan
karbon yang sangat tinggi. Berikut reaksi pembakaran hidrokarbon :

CxHy (carbon organik) + O2 −→ CO2 + H2O

Reaksi pembakaran hidrokarbon atau juag dapat digambarkan dengan reaksi


kebalikan dari proses fotosintesis. Proses fotosintesis: CO2 + H2O −→
C6H12O6 + O2.Nah, C6H12O6 hasil fotosintesis menjadi sumber nutrisi untuk
tumbuhan, untuk tumbuh dan membentuk kayu-kayu besar. Jadi reaksi
pembakaran kayu, sama halnya kebalikan dari reaksi fotosintesis.
Karena sisa-sisa tumbuhan tidak se-simple C dan H selain itu dengan proses
pembakaran yang tidak sempurna, menjadikan kemungkinan hasil pembakaran
gambut tidak hanya menghasilkan CO2 dan H2O saja, tetapi juga menghasilkan
senyawa lain, yaitu karbon monoksida (CO), Metana (CH4), dan Nitrogen oksida
(N2O) yang berbahaya jika terhirup oleh saluran pernafasan mahluk hidup.
Pada pembahasan ini, fokus membahas CO2, karena CO2 merupakan gas
yang paling dominan dari hasil pembakaran. CO2 adalah salah satu gas rumah
kaca yang mengakibatkan pemanasan global. Berdasarkan catatan sejarah, pada
tahun 1997, terjadi El Nino yang mengakibatkan kebakaran hutan (terutama lahan
gambut) di Indonesia. Diperkiraan kebakaran lahan gambut pada saat itu
menghasilkan CO2 sebesar 0.81-2.5 Giga Ton. Nilai tersebut mendekati 13-40%
total emisi CO2 per tahun di dunia. Sebagai perbandingan, total emisi CO2
Indonesia sepanjang tahun 2013 "hanya" sebesar 0.5 Giga Ton. Karena keadaan
iklim saat ini mirip dengan tahun 1997 dan saat ini lahan gambut kering semakin
banyak, diduga kebakaran tahun ini akan lebih parah dari 1997.

3.3 Upaya Penanggulangan Kebakaran Hutan


Untuk penanggulangan kebakaran lahan gambut tergolong sangat sulit.
Karena kebakaran lahan gambut ini tidak seperti kebakaran yang umum terjadi di
lahan lainnya. Karena kedalaman lapisan gambut bisa mencapai 10-20m, api
dapat tersimpan sampai 5 meter di bawah permukaan tanah. Oleh karena itu,
meskipun di permukaan tanah terlihat sudah tidak ada api, api bisa tetap menjalar
di bawah tanah dan nanti akan dapat muncul lagi ke permukaan. Dan faktor ini
pula yang membuat Bencana Kabut Asat tidak pernah habis-habis walaupun telah
diupayakan pemadaman api.
Dari berbagai upaya penanggulangan, beberapa alternatif yang dapat yang
dilakukan.
1. Penyemprotan dengan air
Ini cara yang paling umum diketahui tapi sebetulnya kurang efektif
memadamkan api kebakaran lahan gambut karena hanya dapat mematikan
api yang berada di permukaan saja.
2. Water bombing
Prinsipnya mirip seperti semprotan air tapi areanya lebih luas. Metode ini
menurut penulis pribadi juga kurang efektif karena hanya dapat
mematikan api yang berada di permukaan saja. Bahkan terkadang, water
bombing dapat memperparah kabut asap karena bara api bawah tanah yang
belum padam membuat air siraman menguap dan membuat asap baru.
Perlu perhitungan pemodelan udara yang teliti agar tindakan water
bombing bisa efektif.
3. Teknik Pembakaran Terkendali (Controlled Burning)
Dalam menekan dan mengantisipasi terjadinya kebakaran hutan yang
meluas tak terkendali, pendekatan Teknik Pembakaran Terkendali
(Controlled Burning) dapat menjadi salah satu alternatif untuk membuka
lahan pertanian masyarakat lokal. Namun ditekankan dalam penggunaan
teknik ini harus dihindari atau hanya dilakukan dengan syarat:
1. Hanya diijinkan pada masyarakat lokal yang tidak berbadan hukum;
2. Luas lahan tidak lebih dari 1-2 ha;
3. Kondisi tidak memungkinkan tanpa penggunaan api (pembakaran);
4. Pembakaran dilakukan bergilir pada setiap calon ladang.
Ada beberapa tahap yang dapat dijadikan acuan dalam pengolahan
lahan gambut yang menggunakan Teknik Pembakaran Terkendali atau
Controlled Burning (Syaufina, 2003), yaitu:
1. Pemilihan lokasi calon ladang, diutamakan lahan yang berupa semak
dengan luass 1-2 ha.
2. Penebasan tumbuhan bawah, semak, dan anakan.
3. Pengeringan bahan bakar hasil tebasan dijemur dibawah sinar
matahari 10-30 hari setelah tebas atau tergantung kondisi cuaca.
4. Pembuatan sekat bakar dengan membersihkan sisi-sisi ladang dari
serasah selebar 1-4 meter, hal ini juga berguna agar api tidak akan
merembet ke luar lahan pembakaran.
5. Penumpukan bahan bakar yang berupa serasah secara merata dan
setipis mungkin di lokasi calon ladang yang akan dibakar supaya api
akan lebih terkontrol, selain itu juga untuk mengurangi asap yang
dihasilkan.
6. Pembuatan parit dan tandon air di sekeliling calon ladang sebagai
sumber air serta untuk mencegah penjalaran api.
7. Pembakaran.
Hal yang harus diperhatikan dalam pembakaran adalah :
Penyiapan personil:
Personil terdiri dari orang yang melakuan pembakaran dan orang
yang mengawasi berlangsungnya proses penyebaran api sehingga api
tidak menjalar keluar.
 Personel pembakar : 4 orang
 Personel pengawas : ± 10 orang
Waktu Pembakaran:
Kurang lebih pukul 12.00 – 14.00, bervariasi tergantung kondisi
daerah dan cuaca. Pembakaran yang baik dilakukan pada saat bahan
bakar sudah sangat kering dan angin tidak bertiup terlalu kencang
sehingga bahan bakar mudah terbakar dan api mudah terkontrol serta
menekan asap yang ditimbulkan.
Teknik pembakaran:
Teknik pembakaran melingkar (ring firing). Pembakaran dilakukan
oleh empat orang yang berdiri pada sudut calon ladang secara terus
menerus dan berada dibawah satu komando yang bermula dari dua
tempat yang berbeda. Setiap dua pembakar bergerak menju arah
yang sama dan membuat titik-titik api yang berjarak 1 meter pada
arah yang sama. Dengan menggunakan teknik pembakaran ini api
akan bergerak ke tengah dan proses pembakaran lebih cepat
sehingga mengurangi resiko penjalaran api ke arah luar dan ke
bawah.

Teknik penyiapan lahan di lahan gambut dengan modifikasi


(Syaufina, 2003)
4. Hujan buatan
Hujan buatan hanya bisa dilakukan jika telah adanya awan potensi hujan di
sekitar wilayah kebakaran hutan. Dengan kata lain, hujan buatan sebenarnya
hanya mempercepat terjadinya hujan
5. Sekat bakar
Upaya yang paling ideal untuk mengatasi kebakaran lahan gambut adalah
secepat mungkin membuat sekat bakar saat pertama kali kebakaran terdeteksi.
Upaya tersebut dilakukan untuk mencegah penyebaran kebakaran ke area
gambut lain di sekitarnya. Setelah area kebakaran disekat, diharapkan
kebakaran akan berakhir ketika tanah gambut yang kering di area tersebut
sudah habis terbakar atau menunggu datangnya hujan yang akan
memadamkan kebakaran.
6. Kanal air
Solusi lain yang cukup efektif adalah membuat kanal baru untuk mengalirkan
air dalam jumlah besar ke area gambut yang sedang terbakar. Ini solusi yang
paling cepat untuk menanggulangi kebakaran gambut, akantetapi susah untuk
dilakukan. Syaratnya: 1. Ada sungai dengan debit aliran air besar dan 2. Titik
api masih bisa dijangkau. Selain itu, hal ini cukup berbahaya dikerjakan di
tengah keadaan asap tebal.
Dari fakta di atas, dapat di bayangkan betapa susahnya memadamkan
kebakaran gambut, ditambah dengan area kebakaran yang sangat luas. Penerapan
penanggulangan dengan ssistem disekat juga mengingat area yang terbakar sudah
terlalu luas. Membangun sekat dan kanal air juga sangat sulit. Solusi terakhir
adalah menunggu hujan musim hujan turun. Untuk benar-benar memadamkan
kebakaran lahan gambut yang sudah meluas, tidak cukup dengan hujan satu hari
saja. Butuh hujan degan intensitas besar yang biasa turun di musim penghujan.

3.4 Upaya Pencegahan Kebakaran Hutan di Masa Depan


Sangat susahnya penanganan kebakaran hutan (terutama untuk lahan
gambut), memang menjadi tantangan tersendiri untuk berpikir bagaimana caranya
untuk mencegah kebakaran hutan di masa depan. Kalo sudah kebakar parah
seperti sekarang, sangat sulit untuk memadamkanya. Salah satu cara mencegah
supaya meminimalisasi kebakaran-kebakaran hutan yaitu langkah paling pertama
adalah stop pengeringan rawa-rawa gambut. Ini yang paling utama. Dengan masih
adanya air di ekositem gambut, hutan akan sulit terbakar. Selain itu, jika lahan
gambut yang dikeringkan terus bertambah, potensi kebakaran semakin bertambah
karena di musim kemarau lahan tersebut bisa terbakar sendiri, bahkan tanpa ada
orang yang sengaja untuk membakar hutan.
Langkah selanjutnya, untuk lahan gambut yang sudah terlanjur dikeringkan
dapat mengaliri air kembali lahan tersebut dengan membendung kembali kanal-
kanal pengering. Ini akan membuat air kembali mengalir ke lahan gambut. Lahan
gambut kembali menjadi rawa gambut yang memiliki banyak air sehingga area
tersebut menjadi sulit terbakar.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
Kebakaran hutan menimbulkan dampak besar bagi lingkungan hidup, dalam
upaya menangulangi kebakaran hutan dapat dilakukan dengan berbagai cara
tergantung keadaan dan karakter kebakaran hutan yang terjadi, penangulangan
kebakaran hutan dapat dilakukan dengan cara Penyemprotan air jika tingkat
kebakaran hutan ringan, Water bombing jika kebakaran hutan dengan ketebalan
gambut yang tipis, Teknik Controlled burning untuk solusi membuka lahan
pertanian lokal dengan rendahnya efek yang di timbulkan, Hujan buatan jika
terdapat awan berpotensi hujan di sekitar area kebakaran hutan, Teknik Sekat
Bakar untuk tipe kebakaran yang sulit menjangkau air untuk pemadaman, dan
Pembuatan Kanal Air untuk pemadaman kebakaran hutan yang masih memiliki
debit air besar disekitar area kebakaran hutan.
Pencegahan kebakaran hutan adalah hal yang bijak yang harus dilakukan,
karena jika hutan sudah terlanjur terbakar terlebih hutan bertipe lahan gambut
akan sangat sulit untuk menanggulangi pemadaman api. Langkah yang paling
pertama dilakukan dalam pencegahan kebakaran hutan adalah stop pengeringan
rawa-rawa gambut, dengan masih adanya air di ekosistem gambut membuat
hutan sulit terbakar. Untuk lahan yang sudah terlanjur dikeringkan, dapat
dilakukan pembasahan ulang lahan gambut dengan cara membendung kembali
kanak-kanal pengering. Tindakan ini akan membuat air kembali mengalir ke
lahan gambut. Lahan gambut akan kembali menjadi rawa gambut yang memiliki
banyak air sehingga rawa gambut akan sulit terbakar.

4.1 Saran
Upaya untuk menanggulangi kebakaran hutan, terutama hutan bertipe lahan
gambut masih belum menemukan teknik yang efisien dalam penanggulangan
pemadaman api, harapan terakhir hanya bergantung turunya hujan di musim
penghujan tiba. Oleh sebab itu, kita harus siap siaga untuk selalu menjaga hutan
dengan tujuan untuk mengurangi dampak yang terjadi dari kebakaran hutan,
sehingga kerugian terhadap kerusakan alam dapat di minimalisasi. Selain itu kita
harus merubah kebiasaan-kebiasaan buruk tentang kelalaian terhadap penggunaan
api di dalam hutan dalam membuka lahan yang tidak kekontrol dan kebiasaan
lainya yang bisa menyebabkan kebakaran hutan.
DAFTAR PUSTAKA

Luca Tacconi. 2003. Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biyaya dan


Implikasi Kebijakan. Center for International Forestry Research. Bogor.
Wahyu Catur Adinugroho, dan INN Suryadiputra. Strategi Pencegahan Kebakaran
Hutan dan Lahan Gambut. Wetlands Internastional-Indonesia Programme.
Bogor.
Fachmi Rasyid. 2014. Permasalahan dan Dampak Kebakaan Hutan. Jurnal
Lingkar Widyaiswara Edisi 1 No. 4 Tahun 2014. Banten
Zulfikar Hermawan. 2015. Kenapa sih Bencana Kabut Asap ini Ga Habis-habis?.
Zenius Multimedia Learning. Jakarta .
https://www.zenius.net/blog/9767/penyebab-kebakaran-hutan-kabut-asap

You might also like