You are on page 1of 458

AU

P
20
21
AU
P
20
21
Pasal 113 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta:
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan
Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).

21
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/
atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
20
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/
atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana
P

penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
AU

(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
AU
P
20
21
21
20
MANIFESTASI KLINIS MULTIORGAN COVID-19
Penyusun: Sutrisno, dkk.
Editor: Sutrisno, Achmad Chusnu Romdhoni, Andrianto, Abdulloh Machin
P

e-ISBN 978-602-473-687-3
AU

© 2021 Penerbit Airlangga University Press


Anggota IKAPI dan APPTI Jawa Timur
Kampus C Unair, Mulyorejo Surabaya 60115
Telp. (031) 5992246, 5992247 Fax. (031) 5992248
E-mail: adm@aup.unair.ac.id

Layout (Roy Wahyudi)

Dicetak oleh:
Pusat Penerbitan dan Percetakan UNAIR
AUP 1006/01.21 - BM 012/01.21

Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang.


Dilarang mengutip dan/atau memperbanyak tanpa izin tertulis
dari Penerbit sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun.
Editor:
DR. Dr. Sutrisno, SpOG.K.
DR. Dr. Achmad Chusnu Romdhoni, SpTHT-KL.K, FICS.
DR. Dr. Andrianto, SpJP.K, FIHA, FAsCC.
DR. Dr. Abdulloh Machin, SpS.K.

Tim Penyusun
DR. Dr. Sutrisno, SpOG.K.
Prof. DR. Dr. Irwanto, SpA.K.

DR. Dr. Abdulloh Machin, SpS.K.


21
DR. Dr. Achmad Chusnu Romdhoni, SpTHT-KL.K, FICS.

DR. Dr. Andrianto, SpJP.K, FIHA, FAsCC.


20
DR. Dr. Soedarsono, SpP.K.
DR. Dr. M. Miftahussurur, SpPD-KGEH, FINASIM, MKes.
DR. Dr. Nur Samsu, SpPD-KGH, FINASIM.
DR. Dr. Muhammad Yulianto Listiawan, SpKK.K, FINSDV, FAADV.
P

DR. Dr. Ernawati, SpOG.


DR. Dr. Eighty Mardiyan Kurniawati, SpOG.K.
AU

DR. Dr. Siprianus Ugroseno Yudho Bintoro, SpPD-KHOM, FINASIM.


DR. Dr. Cesarius Singgih Wahono, SpPD-KR, FINASIM.
DR. Dr. Risa Etika, SpA.K.
DR. Dr. Retno Asih Setyoningrum, SpA.K.
Dr. Sjamsul Arief, SpA.K.
Dr. Djoko Heri Hermanto, SpPD-KHOM, FINASIM.
Dr. Titong Sugiharto, SpPD-KGEH, FINASIM.
Dr. Rizka Fathoni Perdana, SpTHT-KL.K.
Dr. Tri Wahyu Martanto, SpOT.K.
Dr. Mouli Edward, SpOT.K.
Dr. Ni Putu Susari Widianingsih, SpKK, FINSDV, FAADV.
Dr. Bambang Pujo Semedi, SpAn, KIC.
Dr. Buyung Hartiyo Laksono, SpAn.
Dr, Arie Zainul Fatoni , SpAn, KIC.
Dr. Ahmad Feza Fadhlurrahman, SpAn.
Dr. Muhammad Rodli, SpAn.
Dr. Ramacandra Rakhmatullah, SpAn, KIC.
Dr. Nuretha Hevy Purwaningtyas, M.Sc.
Dr. Royke Tony Kalalo, SpKJ.K, FISCM.
Dr. Nur Khozin, SpKFR.

Dr. Rosa Falerina, SpTHT-KL.


Dr. Nina Nur Arifah, SpPD.
21
Dr. Puguh Setyo Nugroho, SpTHT-KL.
20
Dr. Satrio Budiman, SpA.
Dr. Arda Pratama Putra, SpA.
Dr. Rika Hapsari, SpA, M.Ked.Klin.
Dr. Heasty Oktaricha
P

Dr. Nur Arafah


Dr. Dana Hendrawan Putra
AU

Homidatum Mahiroh, SKM.


Dr. Steven Christian Susianto
KATA PENGANTAR

Diponegoro

Di masa pembangunan ini, tuan hidup kembali.


Dan bara kagum menjadi api. Di depan sekali tuan menanti.
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri.

21
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
MAJU, Ini barisan tak bergenderang-berpalu
20
Kepercayaan tanda menyerbu, Sekali berarti, Sudah itu mati.
MAJU, Bagimu Negeri, Menyediakan api.
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai, Jika hidup harus merasai.
(Diponegoro, Chairil Anwar, 1943)
P

Di tengah masa pandemi ini, hanya semangat yang membuat kita


AU

masih harus bisa bertahan dan melanjutkan kewajiban. Teringat sebuah


puisi yang ditulis penyair Chairil Anwar tahun 1943. Chairil Anwar
berumur pendek secara biologis, hanya 26 tahun saja, namun hakikatnya
usia dia panjang, mungkin ribuan tahun, karena tulisan-tulisannya
akan bisa dibuka, dibaca, dinikmati, diinternalisasi, dan menyentuh
jiwa-jiwa yang membutuhkan serta membangkitkan semangat untuk
berjuang. Puisi Diponegoro adalah sebuah semangat seorang pahlawan,
yang pada zamannya Pangeran Diponegoro berjuang segenap jiwa raga,
membebaskan rakyat dari tertindasnya penjajahan, dan ribuan jiwa telah
muksa sebagai pahlawan. Kalah menang, tidak jadi ukuran, membaranya
jiwa dalam api perjuangan, berkobarnya semangat dalam setiap gerakan,
keikhlasan demi kemanusiaan, itulah sebuah ukuran kemuliaan.

[ vii ]
Bagi saya pribadi, 42 dokter di Jawa Timur yang meninggal karena
Covid-19 ditambah lagi dengan puluhan lainnya atau lebih banyak dari
itu dengan status probable, adalah pejuang. Mereka masuk barisan tentara
yang tak beda dengan pasukan Pangeran Diponegoro, Teuku Umar, Sultan
Agung, Sultan Hasanudin, Patimura, Jendral Sudirman, dan ribuan
leluhur kita para pejuang, yang tak lapuk oleh hujan, tak lekang oleh
waktu, untuk selalu semangat mengatasi pandemi ini. Mereka telah diam
kini, namun nama dan semangat mereka telah tertoreh bahwa mereka
sudah memberikan yang terbaik yang mereka punya, sebuah kehidupan,
untuk disuguhkan di tengah peperangan melawan pandemi Covid-19.
Kita yang hidup, yang selamat sampai hari ini, masih ada panji-
panji yang terselempang di pundak kita, ada bendera besar yang
tercengkeram di tangan kita, bahwa peperangan global melawan pandemi

21
masih berkecamuk sangat ganas. Telah 1,5 juta jiwa tercabut, mungkin
lebih dari itu, dan kita tidak boleh menyerah. Mereka adalah pejuang
kesehatan, mereka adalah pasukan di batalion puskesmas, klinik, rumah
20
sakit, dan sniper kesehatan di pos-pos terdepan layanan, di tim tracing, di
tim epidemologi, dan berbagai posisi strategis lainnya. Dan meski telah
damai kini, mereka telah berpesan, panji-panji kesehatan yang mulia
ini jangan sampai runtuh, lunglai, dan tercabik, serta tetap tegak tak
P

boleh menyerah.
“Lakukanlah dengan apa yang kamu bisa, dengan apa kamu miliki,
AU

dan di manapun kamu berada”, sebuah nasihat bijak dari Theodore


Roosevelt. Buku ini adalah bukti perjuangan. Buku ini adalah sebuah
peta yang detail mengenai Covid-19, karena mencoba membuka tabir
wajah yang sesungguhnya dari Covid-19. Wajah ini selalu terselubung,
selalu tersamar, selalu remang-remang, dan akhirnya membangkitkan
perdebatan tanpa akhir. Buku ini mencoba menyingkap wajah itu, lapis
demi lapis, dengan harapan, suatu saat kelak akan mendapatkan konklusi
yang lebih lengkap siapa sebenarnya Covid-19. Kemampuan akademik
para penulis tentu tidak diragukan lagi. Berpuluh tahun para penulis
telah berkutat di bidangnya, sehingga refleks berpikir dan analisnya
akan mempunyai presisi yang tinggi. Tulisan ini bukan konklusi akhir,
namun sebuah frase awal yang akan disusul frase-frase berikutnya
menuju kesempurnaan.

[ viii ]
IDI Wilayah Jawa Timur, merasa sangat beruntung mempunyai
anggota-anggota dengan kualitas intelektual yang tinggi yang tersebar
di pusat pendidikan kedokteran dan rumah sakit daerah. Mereka adalah
bibit-bibit unggul, bunga-bunga indah, aset-aset istimewa yang akan
menghasilkan madu ilmu yang sangat dinantikan bagi umat manusia,
sekarang, dan mendatang. Karya ini untuk bukti bahwa IDI Jawa Timur
dan semua anggotanya tetap setia menjaga marwah organisasi, marwah
profesi, dan hati putih, bahwa kita adalah dokter dan selamanya tetap
dokter, dengan segala hati baiknya.

21
20
Malang, 16 Desember 2020
IDI Wilayah Jawa Timur
P
AU

DR. Dr. Sutrisno, SpOG.K


Ketua
NPA IDI: 84113

[ ix ]
AU
P
20
21
PRAKATA

"Aku rela dipenjara asalkan tetap bersama buku, karena dengan buku
aku bebas", kata-kata bijak Mohammad Hatta. Buku adalah jendela untuk
melepaspandangkan mata kita ke dunia, mengajak intuisi kita menjadi
lebih tajam dan membangkitkan semangat untuk menjalani hidup lebih

21
baik. Buku adalah rekaman sejarah, rekaman situasi, rekaman isi hati, dan
bukti sebuah eksistensi. Betapa pentingnya sebuah buku untuk menilai
sebuah peradaban. Kemajuan ilmu pengetahuan sebuah bangsa tercermin
20
dari banyaknya jumlah artikel dan tulisan ilmiah yang dihasilkan tangan-
tangan anak bangsa tersebut. Dan ini tidak bisa dipungkiri, karena sejarah
telah membuktikannya.
Dari urutan waktu terbit secara resmi, ini adalah buku kedua yang
P

diterbitkan oleh IDI Wilayah Jawa Timur. Topik utamanya tetap Covid-19,
karena sungguh penyakit ini masih banyak menyimpan rahasia yang
AU

luar biasa gelapnya. Ribuan tulisan ilmiah dengan topik sentral Covid-19,
telah dipublikasikan dan tetap menyisakan banyak pertanyaan yang
masih sumir jawabannya. Waktu yang akan mengungkapnya, insan
akademik dan peneliti yang melakukannya. Tidak dipungkiri, dari kaca
mata ilmu pengetahuan, Covid-19 telah memicu perkembangan ilmu
pengetahuan secara eksponensial di semua cabang. Bidang kesehatan
sangat luar biasa kecepatannya, bidang IT, internet, perilaku, psikologi,
ekonomi, pendidikan, dan bidang lain tidak kalah kemajuannya. Covid-19
telah menjadi pemicu akselerasi perkembangan ilmu yang belum pernah
dialami selama kurun waktu perjalanan peradaban manusia modern,
meskipun pandemi ini telah merenggut 1,5 juta lebih nyawa manusia, dan
ribuan jiwa tenaga kesehatan. Menurut direktur jendral WHO, proporsi

[ xi ]
tenaga kesehatan adalah 3% dari populasi manusia, namun 17% korban
meninggal adalah tenaga kesehatan. Sungguh sangat berat tekanan yang
dihadapi tenaga kesehatan dan ini akan berlangsung lama (tahunan).
Buku ini mencoba mengupas manifestasi Covid-19 dengan pokok
tinjauan dari organ ke organ, atau sistem. Ini sangat menarik karena akan
membuat lebih terang manifestasi penyakit ini yang beraneka rupa dan
membingungkan dalam tata alur diagnosis, dan pada akhirnya terkait
terapinya. Tinjauan yang sistematis akan memperluas cakrawala para
dokter dalam menghadapi kasus harian sehingga akan membuat lebih
percaya diri dan keberanian dalam membuat diagnosis saat berpraktik
klinis harian.
Buku adalah rekaman situasi saat ditulis, sari pati kondisi yang
dihadapi terkini. Buku ini adalah usaha untuk membuat semakin terang

21
Covid-19 yang masih remang. Editor sangat berterima kasih kepada para
penulis yang telah dengan kesungguhan dan niat hati yang baik untuk
meluangkan waktu menyusun tiap babnya. Niat baik dan keikhlasan akan
20
membuat isi buku ini lebih bermakna secara keilmuan dan bermakna
secara rohani. Ilmu adalah konstanta yang nilainya sangat variabel dan tak
bisa diduga untuk membuat amal menjadi bertambah bobot kebaikannya.
Semoga apa yang para penulis donasikan ini mendatangkan kebaikan dan
P

barokah dunia dan akhirat bagi penulis, keluarga, dan anak turunnya.
Aamiin.
AU

Kami mengajak para cendekia yang lain untuk bergabung membuat


sebuah tulisan. Tulisan ilmu kesehatan, kedokteran, humaniora, hukum,
seni, dan semua aspek kehidupan, sama baiknya, sama mulianya. Kami
sangat gembira bila para dokter dan insan kesehatan selalu menunjukkan
karya meski di tengah bencana.

Editor
DR. Dr. Sutrisno, Sp.OG(K)
DR. Dr. Achmad Chusnu Romdhoni, Sp.THT-KL(K)., FICS
DR. Dr. Andrianto, Sp.JP(K).,FIHA.,FAsCC

[ xii ]
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
PRAKATA
DAFTAR TABEL
21 vii
xi
xxi
20
DAFTAR GAMBAR xxiii
DAFTAR SINGKATAN xxvi
PROLOG xxxiii

01 PERKEMBANGAN TERBARU, COVID-19, 1


P

PENYAKIT SERIBU WAJAH


AU

Pengantar 1
Covid-19 adalah Penyakit yang Sangat Dinamis 2
Virologi 3
Patogenesis 5
Transmisi Covid-19 7
Gambaran Klinis 8
Diagnosis 14
Pengobatan 14
Pertanyaan-Pertanyaan yang Belum Terjawab 22
Vaksinasi 37
Ringkasan 40

[ xiii ]
02 TINJAUAN EPIDEMOLOGI MANIFESTASI
KLINIS COVID-19
47

Pengantar 47
Covid-19 Tanpa Gejala (Asimtomatis) 50
Covid-19 dengan Gejala (Simtomatis) 52
Covid-19 dengan Gejala Ekstrapulmonal 54
Ringkasan 56

03 MANIFESTASI NEUROLOGIS INFEKSI


COVID-19
59

Pengantar 59
Neurobiologi Infeksi Covid-19 60

04
Ringkasan
21
Manifestasi Covid-19 pada Sistem Saraf Pusat

MANIFESTASI KLINIS COVID-19 PADA


63
74

79
20
SISTEM THT-KL
Pengantar 79
Manifestasi Bidang THT-KL 79
Ageusia 80
P

Anosmia 82
Ketulian Mendadak 87
AU

Rangkuman dan Rekomendasi 92

05 MANIFESTASI KLINIS COVID-19 PADA


SISTEM RESPIRASI
95

Pengantar 95
Manifestasi Klinis Covid-19 pada Sistem 96
Respirasi
Alur Diagnostik/Algoritma 106
Manajemen Klinis Singkat 107
Ringkasan & Rekomendasi 109

xiv Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


06 MANIFESTASI KLINIS SISTEM
KARDIOVASKULAR PADA COVID-19 DENGAN
BADAI SITOKIN
113

Pengantar 113
Patogenesis Covid-19 114
Gambaran Imunologis Infeksi Covid-19 115
Badai Sitokin pada Covid-19 118
Mekanisme Potensial Pengaruh Akut 120
SARS-CoV-2 pada Sistem Kardiovaskular
Manifestasi Kardiovaskular pada Covid-19 122
dengan Badai Sitokin
Manajemen 128

07
Prognosis

21
Ringkasan dan Rekomendasi

PENGARUH COVID-19 PADA SALURAN


137
138

141
20
CERNA
Pengantar 141
Patofisiologi 142
Manifestasi Klinis dan Diagnosis 144
P

Diagnosis Covid-19 147


AU

Covid-19 dan inflammatory bowel disease (IBD) 149


Transmisi Covid-19 melalui Fekal-Oral 150
Gejala Gastrointestinal sebagai Faktor Prognosis 151
Pasien Covid-19
Terapi Covid-19 dengan Manifestasi 152
Gastrointestinal
Ringkasan dan Rekomendasi 153

Perkembangan Terbaru, Covid-19, Penyakit Seribu Wajah xv


08 MANIFESTASI KLINIS COVID-19 PADA
SISTEM GINJAL
159

Pengantar 159
Epidemiologi Keterlibatan Sistem Ginjal pada 160
Covid-19
Patogenesis Kelainan Sistem Ginjal pada Covid-19 161
Gambaran keterlibatan sistem ginjal pada 168
Covid-19
Manifestasi Klinis Kelainan Sistem Ginjal pada 169
Covid-19
Prinsip Manajemen Keterlibatan Ginjal pada 172
Pasien Covid-19

09
21
Ringkasan dan Rekomendasi

MANIFESTASI KLINIS COVID-19 PADA


SISTEM KULIT
176

183
20
Pengantar 183
Epidemiologi 184
Patofisiologi 185
P

Macam-Macam Manifestasi Klinis Covid-19 di 186


Kulit
AU

Karakteristik yang Berhubungan dengan 193


Masing-Masing Manifestasi Klinis
Kelainan Kulit yang Berhubungan dengan 194
Pandemi Covid-19
Ringkasan dan Rekomendasi 196

10 MANIFESTASI KLINIS COVID-19 PADA


KEHAMILAN
199

Pengantar 199
Respons Imun Maternal terhadap Infeksi Virus 200
Covid-19
Gejala Covid-19 pada Wanita Hamil 201

xvi Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Komplikasi Covid-19 pada Kehamilan 203
Skrining dan Diagnosis Covid-19 pada 204
Kehamilan
Asuhan Antenatal Selama Pandemi Covid-19 205
Tata Laksana Covid-19 pada Kehamilan 207
Transmisi Vertikal 210
Rawat Gabung dan Menyusui 211
Ringkasan dan Rekomendasi 213

11 MANIFESTASI KLINIS COVID-19 PADA


SISTEM HEMATOLOGI DAN KOAGULASI
217

Pengantar 217
Abnormalitas Darah Perifer 217

21
Hapusan Darah Tepi dan Gambaran Morfologi
Gangguan Koagulasi pada Covid-19
Penanda Koagulopati pada Covid-19
220
220
222
20
Peranan Profilaksis Antikoagulan pada 223
Koagulopati Covid-19
Ringkasan 227

12 MANIFESTASI KLINIS COVID-19 PADA 231


P

SISTEM IMUN
AU

Pengantar 231
Infeksi SARS-CoV-2 231
Imunitas Bawaan (Innate Immunity) 233
Respons Imun Adaptif 234
Respons Imun Humoral (Antibodi) 236
Antibody-Dependent Enhancement (ADE) 238
Badai Sitokin 238
Spektrum Klinis-Imunologis Covid-19 243
Profil Imunologi Pasien Covid-19 245
Pengaruh Usia pada Respons Imun terhadap 246
SARS-CoV-2

Perkembangan Terbaru, Covid-19, Penyakit Seribu Wajah xvii


Penghindaran terhadap Respons Imun (Immune 247
Evasion) oleh SARS-CoV-2
Ringkasan dan Rekomendasi 248

13 PELAYANAN DI BIDANG ORTHOPAEDI


DAN TRAUMATOLOGI SELAMA PANDEMI
COVID-19
257

Pengantar 257
Gambaran Pelayanan Orthopaedi dan 258
Traumatologi selama Pandemi Covid-19
Ringkasan 263

14 MINI-REVIEW: MANIFESTASI KLINIS PADA


NEONATUS SELAMA PANDEMI COVID-19
265

Pengantar
21
Gambaran Klinis Neonatus yang Lahir dari Ibu
terinfeksi Covid-19
265
266
20
Risiko Transmisi Covid-19 selama Menyusui 268
Tata Laksana Covid-19 pada Neonatus 269
Ringkasan 269
P

15 MANIFESTASI KLINIS COVID-19 PADA


TUMBUH KEMBANG ANAK
273
AU

Pengantar 273
Manifestasi Klinis Covid-19 pada Tumbuh 274
Kembang Anak
Rekomendasi Upaya Meningkatkan Tumbuh 280
Kembang Anak

16 MANIFESTASI KLINIS COVID-19 PADA


PASIEN KANKER
287

Pengantar 287
Tujuan yang Ingin Dicapai 288
Kanker, Covid-19, dan Sistem Imun 288

[ xviii ]
Manifestasi Klinis Covid-19 pada Pasien Kanker 291
Prosedur Pengujian/Tes Covid-19 pada Pasien 294
Kanker
Perubahan dalam Perawatan Kanker 296
Ringkasan 305

17 MANIFESTASI KLINIS PASIEN KRITIS


PNEUMONIA COVID-19
309

Pengantar 309
Tujuan yang Ingin Dicapai 310
Patofisiologi Covid-19 311
ARDS pada Covid-19 317
Sepsis dan Syok Sepsis pada Covid-19 324

18
21
Emboli Paru pada Covid-19
Ringkasan dan Rekomendasi

MANIFESTASI PSIKOLOGIS PASIEN COVID-19


328
334

339
20
Pengantar 339
Mekanisme Neurobiologik Gangguan Psikiatrik 340
Pasien Covid-19
P

Manifestasi Psikologis Pasien Covid-19 343


Faktor risiko manifestasi psikologis hingga 348
AU

gangguan psikiatrik
Faktor Pelindung 350
Penatalaksanaan Komprehensif Manifestasi 350
Psikologis Pasien Covid-19
Manifestasi Psikologis Pasien Covid-19 Anak dan 360
Remaja
Manifestasi Psikologis Pandemi Covid-19 Non 363
Pasien
Rekomendasi 365
Rangkuman 366

[ xix ]
19 MANIFESTASI GANGGUAN FUNGSI PADA
PASIEN COVID-19
373

Pengantar 373
Pathoepidemiologi Gangguan Fungsi pada 375
Pasien Covid-19
Rehabilitasi Medik Gangguan Fungsi pada 380
Pasien Covid-19
Ringkasan 393

20 MANIFESTASI GEJALA COVID-19 ANAK


Pengantar
395
395
Epidemiologi 395

21
Bagaimana anak-anak tertular Covid-19?
Apakah anak bisa menularkan ke yang lainnya?
Manifestasi Klinis
396
396
397
20
Pemeriksaan Penunjang 401
Ringkasan 404

TIM PENYUSUN BUKU 406


P
AU

[ xx ]
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Tingkat Gejala yang Terlihat dengan Kasus Covid-19 52


Tabel 2.2 Sensitivitas dan spesifisitas beberapa gejala yang muncul 53
pada infeksi Covid-19
Tabel 3.1
Tabel 5.1
Tabel 5.2 21
Komplikasi Neurologis pada Infeksi Covid-19
Studi Meta-Analisis Manifestasi Klinis Paru pada Covid-19
Manifestasi Klinis, Abnormalitas Pemeriksaan Laboratorium,
dan Faktor Risiko yang Berkontribusi pada Sistem Respirasi
Akibat Covid-19
64
97
98
20
Tabel 5.3 Konsensus The Radiological Society of North America (RSNA) 101
untuk Penemuan CT-Toraks pada Covid-19
Tabel 5.4 Skoring untuk Penapisan Cepat Covid-19 106
Tabel 5.5 Ringkasan Obat yang Menjadi Pilihan untuk Pengobatan 108
P

Covid-19
Tabel 6.1 Proses Potensial, Target Terapeutik, dan Agen Kandidat 135
AU

untuk Covid-19
Tabel 6.2 Pengobatan dan Sistem Kardiovaskular 136
Tabel 8.1 Definisi AKI berdasar KDIGO 169
Tabel 8.2 Tata laksana berdasar risiko AKI pada pasien Covid-19 173
Tabel 8.3 Faktor-Faktor Risiko Potensial terhadap AKI-Covid-19 178
Tabel 9.1 Reaksi obat pada kulit yang disebabkan oleh terapi pada 192
penderita Covid-19
Tabel 10.1 Panduan POGI pemeriksaan antenatal pada masa pandemi 206
Tabel 11.1 Penilaian Risiko VTE (Skor IMPROVE) 223
Tabel 11.2 Penilaian Risiko VTE (Skor PADUA) 223
Tabel 11.3 Skoring risiko perdarahan IMPROVE 224
Tabel 12.1 Kriteria Prediksi Badai Sitokin 242

[ xxi ]
Tabel 13.1 Daftar sebaran berdasarkan derajat keparahan pasien 260
orthopaedi Covid-19 di RSUD Dr. Soetomo, Surabaya,
Jawa Timur
Tabel 13.2 Sebaran pasien orthopaedi dengan Covid-19 yang 261
meninggal di RSUD Dr. Soetomo, Surabaya, Jawa Timur
Tabel 13.3 Sebaran pasien orthopaedi dengan Covid-19 yang 261
terkonversi dari negatif menjadi terkonfirmasi Covid-19
ketika berada dirawat inap RSUD Dr. Soetomo, Surabaya,
Jawa Timur
Tabel 13.4 Jumlah pemeriksaan rapid dan swab PCR terhadap PPDS 262
orthopaedi RSUD Dr. Soetomo yang berisiko
Tabel 16.1 Mengidentifikasi Covid-19 pada Penderita Kanker 294
Tabel 16.2 Beberapa contoh pada kondisi risiko rendah dan tinggi di 299
mana penundaan pengobatan kanker dapat memengaruhi
hasil klinis
Tabel 16.3
Tabel 16.4

Tabel 17.1
21
Rekomendasi Terapi pada Kanker di Masa Pandemi Covid-19
Pertimbangan Terapeutik untuk Beberapa Jenis Kanker
Selama Pandemi SARS-CoV-2
ARDS Definisi Berlin 2012
300
303

318
20
Tabel 17.2 Dukungan ventilasi untuk pasien CARDS sesuai kondisi 323
selama terapi
Tabel 17.3 Kriteria qSOFA dan SOFA 326
Tabel 17.4 Sequential (Sepsis-Related) Organ Failure Assessment Score 327
Tabel 17.5 Sistem Skoring Geneva 330
P

Tabel 17.6 Kriteria WELLS 330


AU

Tabel 17.7 Dosis Modifikasi Heparin Berdasarkan Nilai APTT 332


Tabel 17.8 Kontraindikasi Pemberian Terapi Fibrinolitik 333
Tabel 18.1 Manifestasi Psikologis Pasien Covid-19 344
Tabel 18.2 DKJPS pada OTG, ODP, PDP, dan pasien konfirmasi Covid-19 353
Tabel 18.3 Intervensi untuk anak dan remaja mengatasi stres selama 361
pandemi Covid-19
Tabel 20.1 Klasifikasi Klinis 400
Tabel 20.2 Gambaran Laboratorium Berdasar Derajat Keparahan 402
Tabel 20.3 Perbandingan Laboratorium Anak dan Dewasa 402

[ xxii ]
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1
Gambar 1.2
Gambar 1.3
Gambar 2.1
Struktur SARS-CoV-2

21
Ikatan Virus ke Jaringan Inang
Gambaran Klinis Covid-19
Laporan kasus Covid-19 mingguan region WHO, dan
4
6
10
48
20
kematian global per tanggal 22 November 2020
Gambar 2.2 Perkembangan nasional kasus terkonfirmasi positif 48
Covid-19 per hari, data per 30 November 2020
Gambar 2.3 Gejala yang dialami oleh pasien terkonfirmasi positif 49
Covid-19 di Indonesia
P

Gambar 2.4 Estimasi pengelompokan proporsi kasus asimtomatik 51


berdasarkan subpopulasi.
AU

Gambar 3.2 Perjalanan klinis infeksi Covid-19 dan waktu munculnya 63


gejala klinis dan komplikasi neurologis pada penderita
Covid-19
Gambar 4.1 Sistem Penghidu 84
Gambar 4.2 Alat Pelindung Diri Level 2 85
Gambar 4.3 Management of patients with the new onset anosmia 87
during the Covid pandemic
Gambar 4.4 Audiometri Nada Murni Sebelum Terapi 90
Gambar 4.5 Audiometri Nada Murni Setelah Terapi 91
Gambar 5.1 Progresi Penyakit Akut pada Covid-19 99
Gambar 5.2 Derajat Keparahan Infeksi SARS-CoV-2 dengan Tipikal 102
Karakteristik

[ xxiii ]
Gambar 5.3 Presentasi Gejala, Biokimia, dan Radiologi dalam 105
Perjalanan Klinis Covid-19
Gambar 5.4 Alur Penapisan Cepat untuk Pasien Covid-19 dari Hasil 107
Skrining
Gambar 6.1 Immunopatogenesis Covid-19 116
Gambar 6.2 Kebocoran Vaskuler dan Edema Paru 117
Gambar 6.3 Covid-19 dan Sistem Kardiovaskular 122
Gambar 8.1 Mekanisme AKI infeksi SARS-CoV-2. 162
Gambar 8.2 Peran ACE2 dan RAAS pada Infeksi SARS-CoV-2. 165
Gambar 8.3 Manajemen AKI-Covid-19 Berbasis Stadium AKI. 174
Gambar 9.1 Pasien Terkonfirmasi Covid-19. (a,b) Area akral eritema- 187
edema dengan vesikel atau pustula (pseudo-chilblain);
(c) vesikel menyebar monomorfik (yaitu pada tahap
yang sama); (d) Lesi urtikaria.
Gambar 9.2

Gambar 9.3
21
Pasien Terkonfirmasi Covid-19 (a) Erupsi makulopapular.
Beberapa lesi bersifat perifollikular; (b) Papula infiltrasi
pada akral (pseudovesikuler); (c) Papula pada akral
(seperti eritema multiforme); (d) Area livedoid.
Pasien Terkonfirmasi Covid-19. (A) lesi makulopapuler
188

189
20
eksantem yang diffuse pada badan. (B) rash makula
hemorrhagic pada lengan.
Gambar 9.4 Urtikaria di dahi, akral tangan, dan kaki pada pasien 190
perempuan di Prancis
Gambar 9.5 Ruam purpura pada kedua regio periaksila pada pasien 190
P

Covid-19 di Spanyol
Gambar 9.6 Papul merah keunguan pada dorsal jari-jari kedua tangan 191
AU

serta eritema di daerah subungual pada pasien di Kuwait


Gambar 10.1 Algoritma skrining dan diagnosis ibu hamil di RS 205
Gambar 11.1 Alur Pemberian Profilaksis Antikoagulan pada Pasien 225
Covid-19
Gambar 11.2 Peritimbangan Pemberian Antikoagulan Terapeutik pada
Pasien Covid-19
Gambar 12.1 Respons imun terhadap virus korona dan virus 235
pernapasan lainnya
Gambar 12.2 Model umum respons sel T dan sel B (plasmablas, 237
antibodi) terhadap infeksi SARS-CoV-2 yang
diproyeksikan sampai lebih dari 1 tahun setelah infeksi.
Gambar 12.3 Representasi skematis dari gambaran klinis versus 240
respons sitokin inflamasi patogen pada infeksi
SARS-CoV-2

[ xxiv ]
Gambar 12.4 Spektrum Klinis dan Imunologis Covid-19 244
Gambar 12.5 Mekanisme Penghindaran Respons Imun (Immune 247
Evasion) oleh SARS-CoV-2.
Gambar 13.1 Daftar sebaran berdasarkan jenis kelamin pasien 259
orthopaedi dengan Covid-19 di RSUD Dr. Soetomo,
Surabaya, Jawa Timur
Gambar 13.2 Daftar sebaran berdasarkan usia pasien orthopaedi 260
dengan Covid-19 di RSUD Dr. Soetomo, Surabaya,
Jawa Timur
Gambar 13.3 Sebaran pasien orthopaedi dengan Covid-19 yang 262
dilakukan tindakan di kamar operasi di RSUD Dr.
Soetomo, Surabaya, Jawa Timur
Gambar 15.1 Prevalensi Stunting Sebelum dan Selama Pandemi 275
Covid-19 di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
Gambar 16.1 Interaksi antara SARS-CoV-2 dan Biologi Kanker 291
Gambar 17.1

Gambar 17.2
Gambar 17.3
21
Perjalanan klinis pneumonia Covid-19 yang berkembang
menjadi ARDS.
Patofisiologi Virus SARS-CoV-2
Patogenesis SARS-CoV-2 yang berikatan dengan reseptor
311

313
315
20
ACE-2 dan mekanisme ACE-2 dalam memengaruhi
hiperkoagulabilitas darah
Gambar 17.4 Sistem Koagulasi, Antikoagulasi, dan Fibrinolisis 316
Gambar 17.5 Kondisi CT-scan empat pasien. 320
Gambar 17.6 Gambaran Ultrasonography Paru-paru ARDS Akibat 321
P

Covid-19.
Gambar 17.7 Protokol Terapi Respirasi dan Rescue untuk CARDS 322
AU

Gambar 17.8 Algoritma Skrining dengan Kecurigaan Sepsis dan 325


Syok Septik
Gambar 17.9 Algoritma Pemeriksaan dan Tata Laksana Pasien 329
Covid-19 dengan Kecurigaan Emboli Paru oleh
Konsortium Tim Respons Emboli Paru (PERT).
Gambar 17.10 Algoritma Tata Laksana Emboli Paru pada Pasien 333
Covid-19
Gambar 19.1 Diagram munculnya gangguan fungsi 375
Gambar 19.2 Peranan rehabilitasi awal pada pencegahan PICS 382
Gambar 19.3 Diagram alur perawatan pasien Covid-19 382

[ xxv ]
DAFTAR SINGKATAN

AAD
AAK
AC
ACC
ACE-2
: Anticoagulation
21
: American Academy of Dermatology
: Associated protein kinase

: American College of Cardiology


: Angiotensin Converting Enzyme-2
20
ACS : Acute Coronary Syndrome
ADEM : Acute Disseminated Encephalomyelitis
AECC : American-European Consensus Conference
AGEP : Acute Generalized Exanthematous Pustulosis
AHA : American Heart Association
P

AIS : Alveolar Interstitial Syndrome


AKI : Acute Kidney Injury
AU

ALK : Anaplastic Lymphoma Kinase


ALT : Alanine Aminotransferase
ANC : Antenatal Care
ANE : Acute Hemorrhagic Necrotizing Encephalopathy
ANG : Angiotensin
AP2 : Adapter complex protein 2
APD : Alat Pelindung Diri
APC : Antigen Presenting Cell
APTT : Activated Partial Thromboplastin Time
ARB : Angiotensin 2 Receptor Blocker
ARDS : Acute Respiratory Distress Syndrome
ASCO : American Society of Clinical Oncology
ASI : Air Susu Ibu
AST : Aspartate Aminotransferase
BAB : Buang Air Besar

[ xxvi ]
BAK : Buang Air Kecil
BAL : Bronchoalveolar Lavage
BBB : Blood Brain barrier
BiTEs : Bispesifik T Cell engager
BLUE : Bedside Lung Ultrasound in Emergency
BPJS : Badan penyelenggaraan jaminan sosial
BPOM : Badan Pengawasan Obat dan Makanan
CAP : Community Acquired Pneumonia
CAR-T : Chimeric Antigen Receptor T
CCU : Coronary Care Unit
CDC : Centers for Disease Control and Prevention
CFR : Case Fatality Rate
CI : Confidence Interval
CK : Creatine Kinase
CMV : Cytomegalovirus
Covid-19 : Coronavirus Disease 2019
COX
CP
CPAP
CRH
: Cyclooxygenase
: Cytoplasm Domain
21
: Continuous Positive Airway Pressure
: Corticotropin-releasing hormone
20
CRP : C-Reactive Protein
CRRT : Continous Renal Replacement Therapy
CRS : Cytokines Release Syndrome
CSF : Cerebrospinal Fluid
CSS : Cytokine Storm Syndrome
CTA : CT Angiography
P

CTG : Cardiotocography
CTLA : Cytotoxic T Lymphocyte Antigen
AU

CT-scan : Computed Tomography Scan


CVD : Cerebrovascular Disease
CVP : Central Venous Pressure
CXR : Chest X Ray
DAMPs : Damage Associated Molecular Patterns
DC : Dendritic Cell
DCIS : Ductal Carcinoma in Situ
DIC : Disseminated Intravascular Coagulation
DKJPS : Dukungan Kesehatan Jiwa Psikososial
DNA : Deoxyribo Nucleic Acid
DPL : Darah Perifer Lengkap
DVT : Deep vein Thrombosis
ECMO : Extracorporeal Membrane Oxygenation
EEG : Electroencephalography
EGFR : Epidermal Growth Factor Receptor

[ xxvii ]
ELISA : Enzyme-linked immunosorbent assay
ETT : Endotracheal tube
EUA : Emergency Use Authorization
EMG : Electromyography
ER : Estrogen Receptor
ESMO : European Society of Medical Oncology
ESR : Erythrocyte Sedimentation Rate
Faskes : Fasilitas Kesehatan
FDP : Fibrinogen Degradation Product
FiO2 : Oxygen Fraction
FP : Fusion Peptide
FSGS : Focal Segmental Glomerulonecrosis
GAD : Generalized Anxiety Disorder
GAK : G-Associated Kinase
GBPT : Gedung Bedah Pusat Terpadu
GBS : Guillain Barre Syndrome
GGO
GI
GM-CSF
GRP
: Gastrointestinal
21
: Ground Glass Appearance

: Granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF)


: Gastrin Releasing Peptide
20
HAMA : Hamilton Anxiety Rating Scale
HAMD : Hamilton Depression Rating Scale
HCOV : Human Coronavirus
HCW : Health Care workers
HD : Hemodialisa
HF : Heart Failure
P

HFNC : High Flow Nasal Canule


HIV : Human Immunodeficiency Virus
AU

HLA : Human Leukocyte Antigen


HNSCC : Head and Neck Squamous Cell Carcinoma
HPA : Hipotalamus- Pituitari - Adrenal
HPIV : Human Parainfluenza Virus
HPV : Human Papilloma Virus
HRCT : High Resolution Computed Tomography
hRVS : Human Rhinovirus
HSCT : Hematopoietic Stem Cell Transplantation
HSV : Herpes Simpleks Virus
IAV : Virus Influenza A
IBD : Inflammatory Bowel Disease
ICI : Immune Checkpoint Inhibitors
ICU : Intensive Care Unit
IDAI : Ikatan Dokter Anak Indonesia
IDI : Ikatan Dokter Indonesia

[ xxviii ]
IFN : Interferon
IgA : Immunoglobulin A
IgG : Immunoglobulin G
IgM : Immunoglobulin M
IGD : Instalasi Gawat Darurat
IL- : Interleukin
ILI : Influenza-like illness
IMA : Infark Miokard Akut
IP : Inducible Protein
ISPA : Infeksi Saluran Pernapasan Akut
ISTH : International Society on Thrombosis and Haemostasis
IUGR : Intrauterine Growth Restriction
IV : Intravena
IVIG : Intravenous immunoglobulin therapy
JAKSTAT : Janus kinase-signal transducer and activator of transcription
JATIM : Jawa Timur
K-DIGO
Kemenkes
LCS
LDH
: Kementerian Kesehatan
: Liquor Cerebrospinalis
: Lactate dehydrogenase
21
: Kidney Disease: Improving Global Outcomes
20
LE : Lower extremity
LED : Laju endap darah
LMWH : Low molecular weight heparin
LUS : Point of Care Lung Ultrasound
MAP : Mean Arterial Pressure
MCP : Monocyte Chemoattractant Protein
P

MDD : Major Depressive Disorder


MDSC : Myeloid Derived Suppressor Cell
AU

MEOWS : Modified Early Obstetrics Warning Score


MERSCoV : Middle-East Respiratory Syndrome Coronavirus
MHPSS : Mental Health and Psycho-Social Support
MIP1A : Macrophage inflammatory protein 1 alpha
MISC : Multisystem inflammatory syndrome in children (MIS-C)
MOF : Multiple Organ Failure
MRCC : Metastatic Renal Cell Carcinoma
MRI : Magnetic Resonance Imaging
Nakes : Tenaga Kesehatan
NCIRD : National Center for Immunization and Respiratory Disease
NFkB : Nuclear factor kappa beta
NIH : National Institute of Health
NIV : Non Invasive Ventilation
NK : Natural Killer
NLR : Neutrophil/Lymphocyte Ratio

[ xxix ]
NOACs : Novel Oral Anti Coagulants
NoAF : New onset Atrial Fibriation
NPY : Neuroendokrin peptida
NSAID : Non Steroid Anti inflammatory Disease
NSCLC : Non-small cell lung cancer
NST : Non stress test
NTD : N-Terminal Domain
ODP : Orang dalam pemantauan
OTG : Orang tanpa gejala
PAI : Plasminogen activator inhibitor
PANSS : Positive and Negative Syndrome Scale
PAP : Plasmin-antiplasmin
PAPDI : Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
PAUD : Pendidikan Anak Usia Dini
PBI : Penerima Bantu Iuran
PBW : Predicted Body Weight
PCR
PCT
PD-L1
PDP
: Procalcitonin
21
: Polymerase Chain Reaction

: Programmed death - ligand 1


: Pasien dalam pengawasan
20
PDPI : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
PDSKJI : Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia
PE : Pulmonary Embolism
PEEP : Positive end-expiratory pressure
PERDATIN : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesi dan Terapi Intensif
Indonesia
P

PERKI : Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia


PERT : Pulmonary embolism response team
AU

PESI : PE Severity Index


PGK : Penyakit ginjal kronis
PGTA : Penyakit ginjal tahap akhir
PHQ : Patient Health Questionnaire
PICS : Post Intensive Care Syndrome
PIOPED : Prospective Investigation of Pulmonary Embolism Diagnosis
PLAPS : posterolateral Alveolar or Pleural Syndrome
PMT : Pulmonary Microthrombosis
POCT : Point of Care Testing
POGI : Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia
PPDS : Program Pendidikan Dokter Spesialis
PPE : Personal Protective Equipment
PRR : Pattern Recognition Receptor
PSBB : Pembatasan Sosial Berskala Besar
PT : Perguruan Tinggi

[ xxx ]
PTA : Pure Tone Average
PTSD : Posttraumatic Stress Disorder
PTT/APTT : Partial Thromboplastin Time/Activated Partial Tromboplastin
Time
P-SILI : Patient Self-Inflicted Lungi Injury
RAAS : Renin Angiotensin Aldosterone System
RAS : Renin-angiotensin system
RBD : Receptor Binding Domain
RCT : Randomized Clinical Trial
RI : Republik Indonesia
RIK : Ruang Isolasi Khusus
RNA : Ribonucleic Acid
ROS : Reactive Oxygen Species
RR : Respiratory Rate
RRT : Renal Replacement Therapy
RS : Rumah Sakit
RSDS
RSNA
RSUD
RSV
21
: Rumah Sakit Umum dr. Soetomo Surabaya
: Radiology Society of North America (RSNA)
: Rumah Sakit Umum Daerah
: Rrespiratory Syncytial Virus
20
RT : Rukun Tetangga
RT LAMP : Reverse Transcription Loop-mediated Isothermal
Amplification
RT PCR : Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction
RW : Rukun Warga
POGI : Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia
P

SARS CoV-2 : Severe Acuter Respiratory Syndrome Coronavirus-2


Satgas : Satuan tugas
AU

SBT : Spontaneous Breathing Trial


SC : Sectio Caesaria
SCr : Serum creatinin
SD : Sekolah Dasar
SDGs : Sustainable Developmen Goals
SDRIFE : Symmetrical Drug-Related Intertiginous and Flexural
Exanthema
sHLH : Secondary Hemoplhagocytic Lymphohistocytosis
sIgA : Secretory Immunoglobulin A
SJS : Steven Johnson Syndorme
SMA : Sekolah Menengah Atas
SME : Social media Exposure
SMP : Sekolah Menengah Pertama
SMS : Short Message Service
SOFA : Sequential Organ Failure Assessment

[ xxxi ]
SpO2 : Oxygen Saturation
SRQ : Self Reporting Questionnaire
SSNHL : Sudden Sensorineural Hearing Loss
SSP : Sistem Saraf Pusat
SSRI : Selective Serotonin Reuptake Inhibitor
STEMI : ST-segment elevation myocardial infarction
t-PA : tissue plasminogen activator
TEV : Thromboemboly vena
TF-CBT : Trauma Focused Cognitive Behavior Therapy
THT : Telinga Hidung Tenggorokan
TK : Taman Kanak-Kanak
TKI : Tyrosine Kinase Inhibitor
TLR : Toll-like receptor
TM : Trans membrane
TMPRSS : Transmembrane Protein Serine
TNF : Tumor necrosis factor
TNI
TSS
TTE
TTGO
21
: Tentara Nasional Indonesia
: Toxic Shock Syndrome
: Transthoracical Echocardiogram
: Tes Toleransi Glukosa Oral
20
UAE : Uni Emirate Arab
UFH : Unfractionated heparin
UGD : Unit Gawat Darurat
UL : Urine Lengkap
UNICEF : United Nations Children’s Fund
USA : United States of America
P

USG : Ultrasonography
UV : Ultraviolet
AU

VAP : Ventilator Associated Pneumonia


VILI : Ventilator-Induced Lung Injury
VIP : Vasoactive Instestinal Polypeptida
VTE : Venous Thromboembolism
vWF : von Willebrand
WBC : White Blood Cell
WHO : World Health Organization
WGS : Whole Genome Sequencing

[ xxxii ]
PROLOG

Sutrisno

Storms never last do they baby


Bad times all pass with the wind
21
Your hand in mine stills the thunder
20
And your love makes the sun want to shine
(Storm never last, 1981)

Bait di atas adalah penggalan lagu yang ditulis Jessi Colter tahun
P

1981. Ide dasarnya adalah betapa berat mengarungi keluarga, sebuah


pernikahan, yang berawal dari sebuah kebahagiaan dan berjalan menuju
AU

suatu arah, yang penuh ketidakpastian. Keyakinan dan optimisme tetap


merupakan modal utama, karena badai kehidupan akan ada saatnya
mereda, atau bahkan sisi lain memang kehidupan akan selalu disertai
badai topan, karena di dalam masalah adalah menyimpan makna. Sebuah
kehidupan adalah dinamika. Hukum-hukum fisika mengajarkan bahwa
tanpa gerak semua runtuh. Gerak kehidupan dalam tataran kecil bisa
berupa hitam putih, bahagia dan derita, hidup dan mati, namun dalam
tataran makro, sesungguhnya adalah harmoni. Tuhan Yang Maha Esa
selalu mencipta. Hal-hal baru tercipta setiap detiknya, sementara yang
lama telah kembali kepada-Nya.

[ xxxiii ]
Kita hidup di tengah badai Covid-19, suatu badai virus yang tak
pernah teramalkan sebelumnya. Organisasi kesehatan dunia (WHO) telah
meramalkan berdasarkan data ilmiah, ada 10 jenis virus yang potensi
menjadi pandemi dan akan sangat sukar di atasi. Namun SARS-CoV-2
sebagai penyebab Covid-19 tidak pernah muncul namanya. Virus ini
benar-benar baru, sehingga saat kemunculannya merupakan badai baru
yang membuat turbulen berbagai sisi kehidupan manusia. Saat tulisan
ini dibuat, data terdisplai sebesar 73.477.817 orang telah terinfeksi dan
1.638.066 orang telah meninggal dunia karena Covid-19. Bila intervensi
sama sekali tidak dilakukan, diperkirakan akan menyebabkan kesakitan
7 milyar penduduk dunia dan akan menyebabkan kematian 40 juta orang.
Bila proses mitigasi dalam bentuk sama sekali memisahkan orang usia
tua dari kehidupan sosial yang normal (social contact), maka kematian

21
menjadi 20 juta. Permasalahan lebih berat dirasakan pada masyarakat
miskin di perkotaan yang padat atau di pedesaan yang padat, di mana
pembatasan sosial sangat sukar dilakukan. Beban berat untuk masyarakat
20
pinggir yang miskin akses ini telah berkali-kali disampaikan oleh direktur
jenderal WHO, Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus, sehingga memerlukan
perhatian yang khusus karena pada golongan masyarakat ini potensi
menjadi sarang dan reservoir antara yang akan menyulitkan semua
P

pihak pada jangka panjang. Sistem kesehatan yang baik di negara maju
bukan jaminan untuk berhasil, karena negara-negara Eropa dan Amerika
AU

terbukti mengalami korban yang sangat besar. Negara Asia seperti India,
Bangladesh, dan Indonesia, beban sangat terasa karena negara-negara
ini tipikal negara berpenduduk padat dengan kemiskinan yang tinggi,
kedisiplinan dan perilaku kesehatan yang sangat tidak mendukung
perilaku hidup di tengah wabah virus SARS-CoV-2.
Covid-19 adalah perang global. Semua negara di permukaan bumi
ini mengalami penderitaan yang sama. Perang antara semua ras manusia
melawan musuh yang sama, yaitu virus corona. Medan laga utamanya
adalah di rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya dengan petempur
utamanya adalah sumber daya kesehatan secara keseluruhan. Perang
ini tidak seimbang karena virus SARS-CoV-2 tidak bisa habis, sangat
pandai bermutasi, mengubah bentuk menjadi semakin ganas, dan
melumpuhkan sistem imun tubuh manusia normal. Sementara Covid-19

[ xxxiv ]
didukung juga oleh perilaku anak manusia yang tidak patuh pada prinsip
3M, ketidakkompakan dalam bertindak baik oleh pemerintah maupun
masyarakat, hoaks yang beredar dengan ganasnya, teori konspirasi yang
membuat masyarakat terfragmentasi, dan keterbatasan sosial ekonomi
yang membuat terbatasnya amunisi. Serdadu telah pincang karena 300
lebih tenaga kesehatan di Indonesia telah wafat, sebagian besar adalah
dokter, perawat, dan bidan. Ditambah para tenaga kesehatan, utamanya
dokter dan perawat yang sedang dalam perawatan dan isolasi mandiri.
Pasukan makin pincang dari waktu ke waktu. Manajemen rumah sakit tak
jauh beda karena layanan non-Covid-19 telah dipinggirkan, operasi elektif
tertunda, dan semua berfokus ke Covid-19, padahal klaim pembiayaan
Covid-19 di Kemenkes, bukan masalah yang sederhana. Cash flow rumah
sakit rujukan Covid-19 mengalami tekanan dan banyak direktur rumah

21
sakit pada bergumam, sampai kapan kita bisa bertahan. Storm never last,
sebentar lagi badai berlalu, atau biarkan saja badainya, toh hidup juga
memerlukannya, karena bencana adalah hukuman, adalah balasan,
20
adalah kisas, adalah sebuah ajang peleburan dosa atau sebuah sekolah
agar umat manusia bisa menempuh ujian, naik kelas, dan berubah jadi
insan. Tetaplah melangkah, besok masih gelap, lusa masih gulita, namun
minggu depan fajar akan terbit dengan terang.
P

Covid-19 adalah ketidakpastian. Virus ini menular lewat droplet,


menular antarmanusia yang mengalami kontak dekat. ACE reseptor
AU

adalah pintu masuk, namun virus ini sungguh cerdas karena mampu
memanfaatkan sel manusia untuk berproliferasi memperbanyak diri, dan
ketika jumlah sudah melewati batas, akan membuat sel induk pecah, rusak,
dan ditinggalkan sebagai barang beracun dan menimbulkan bencana
klinis, badai sitokin. Covid-19 adalah peniru ulung, karena manifestasi bisa
menyerupai stroke, dermatitis, konjungtivitis, gagal jantung, pneumonia,
diare (gastroenteritis), nyeri otot, demam berdarah, kelainan ginjal, gagal
jantung, gagal liver, dan gagal organ lain. Covid-19 adalah bunglon karena
tampilan klinisnya bisa menyerupai apa saja. Covid-19 adalah penyakit
dengan seribu wajah, karena profil klinisnya menyerupai penyakit apa saja
di organ mana saja. Covid-19 sungguh penyakit baru, yang membuat para
pakar mengalami kebingungan akut, dan ini sangat menyakitkan.

[ xxxv ]
Ted Sturgeon adalah seorang pengarang fiksi ilmiah yang sukses
di era tahun 1950–1960. Fiksi ilmiah akan membuat manusia mempunyai
harapan yang melambung dan membuat hidup lebih hidup. Namun
bersamaan dengan nama yang menjulang, disusul badai yang menerjang,
para kritikus sastra menyerang Ted Sturgeon bahwa fiksi ilmiah, 90%
adalah kebohongan dan 10 % saja yang benar. Sebanyak 90% kebohongan
adalah pernyataan yang menyakitkan, meski sangat sukar untuk
mengajukan data untuk mematahkan pernyataan itu. Ted Sturgeon
memberikan jawaban yang baik terhadap serangan itu, bahwa novel yang
lainpun juga serupa, meski itu roman detektif atau kisah investigasi, 90%
adalah cerita tambahan penulis dan 10% memang data kebenaran. Inilah
yang biasa kita sebut sebagai Hukum Sturgeon. Hukum Sturgeon ini
dapat membantu kita untuk menghadapi beban kehidupan yang luar

21
biasa di era pandemi ini. Sebanyak 90% dari banyak hal adalah omong
kosong, kata Daniel Dennet. Berita di medsos akurasinya mengukuti pola
Sturgeon. Sebanyak 90% fitur handphone di tangan kita tidak digunakan
20
meskipun edisi terbaru yang promonya penuh dengan fitur-fitur yang
diperlukan untuk hidup di era milenial, 90% pembicaraan rapat siang tadi
sudah kita lupakan, dan berbagai realitas kehidupan lain, tidak jauh-jauh
dari hukum Sturgeon.
P

Sesaat berita Covid-19 ini muncul, sekitar bulan Desember 2019 di


Wuhan, China, media sosial (medsos) telah seru, riuh rendah dengan berita,
AU

pernyataan, isu, kabar burung, dan teori-teori yang penuh konspirasi.


Informasi yang ada akan membuat kepala berdenyut bila kita membacanya
dengan penuh perhatian, penuh kesungguhan, dan keseriusan. Kita akan
kecele karena semakin banyak yang dibaca akan semakin terombang-
ambing dan kehilangan pijakan. Teori konspirasi membuat jutaan orang
kehilangan alur logika berpikir, membuat orang saling tidak mempercayai,
saling serang dalam medsos, dan ujung-ujungnya tidak kompak dalam satu
barisan. Energi banyak terkuras mengatasi dampak kekacauan berpikir,
dan ujungnya kematian dan kesakitan makin banyak. Bila kita mau
kembali ke hukum Sturgeon, ternyata 90% adalah hoaks, dan kebodohan
kita adalah mengapa kita mau larut dalam 90% itu. Dalam opening remark,
tanggal 14 Desember 2020, Dirjen WHO menegaskan, apapun kata orang,

[ xxxvi ]
WHO akan tetap berjalan di atas temuan-temuan data ilmiah dalam
menangani pandemi ini, termasuk akan menerjunkan kembali tim ilmiah
untuk kembali ke Wuhan, meski kini telah mereda, untuk merunut akar
mula bagaimana corona virus yang resorvoir alaminya di binatang,
kelelawar, ular, trenggiling, dan lain-lainnya, bisa berpindah ke manusia
sebagai resorvoir antara dan menimbulkan pandemi yang dahsyat efeknya
di berbagai bidang kehidupan.
Bagi kita yang bekerja dalam dunia medis, Covid-19 menyuguhkan
masalah yang pelik. Setelah memasuki sel tubuh lewat reseptor ACE yang
ada hampir di semua organ tubuh, ternyata manifestasi klinisnya bisa
muncul di semua organ dan sangat sering membuat para dokter tersesat
dalam membuat diagnosis. pada awalnya, bisa menyerupai demam
berdarah (Dengue Fever), ternyata akhirnya Covid-19. pada awalnya deman

21
tifoid, ternyata akhirnya Covid-19. pada awalnya neuritis atau stroke,
ternyata menjadi Covid-19 setelah data lain terkumpul. Mungkin adalah
konjungtivitis, dermatitis, ISPA, ternyata akhirnya Covid-19. Gagal ginjal
20
akut, IMA, gagal jantung akut, gagal hepar akut, sepsis, ternyata menjadi
Covid-19, begitu data semakin bertambah. Bahkan seseorang dengan
tampilan sehat walafiat, begitu membeli tiket penerbangan bisa berubah
menjadi positif Covid-19 setelah PCR sebagai syarat melakukan perjalanan
P

udara. Berbagai kejutan lain selalu dilaporkan dari hari ke hari. pada sisi
lain, Covid-19 mampu mengakselerasi perkembangan ilmu kedokteran.
AU

Artikel dalam jurnal ilmiah terbit dalam jumlah fantastis dengan topik
Covid-19. Penelitian-penelitian dan seminar banyak sekali terkait Covid-19.
Perilaku kehidupan, sosial, dan bisnis banyak sekali berubah didorong
oleh situasi Covid-19. Sehingga dalam pandemi ini ada sisi bencana namun
ada sisi berkah. Itulah kehidupan, dan tentu sangat sukar menebak jalan
pikiran Tuhan.
Buku ini adalah buku hasil olah pikir para ahli di bidangnya. Para
dokter klinisi senior menuliskannya untuk kita semua. Para dokter telah
bergelut dalam literatur dan layanan praktis medis dalam keseharian,
sehingga informasi yang disuguhkan adalah akurat sampai saat ini.
Ilmu pengetahuan menyuguhkan, tangan dokter memformulasikan, dan
kita semua adalah saksi dan penikmat. Buku ini membahas manifestasi

[ xxxvii ]
Covid-19 di hampir semua organ dan disertai penjelasan-penjelasan ilmiah
yang logis didukung dan disarikan dari referensi yang relevan. Banyak
sekali hal baru yang akan memperkaya khasanah keilmuan bagi para
dokter dan insan kesehatan, namun juga sangat berguna bagi masyarakat
umum agar memperkokoh pegangan keilmuan supaya tidak larut dalam
hoaks yang berkembang.
Orangtua kita mengajarkan, bila berpikir hidup untuk sebulan,
tanamlah padi dan makanlah, bila berpikir untuk bertahan hidup
sepuluh atau dua puluh tahun, tanamlah pohon, namun bila berpikir
dan berjuang untuk bertahan menjadi sebuah bangsa yang bermartabat
selamanya, didiklah anak bangsa, didiklah seluruh komponen bangsa,
didiklah manusia, karena mereka investasi tak ternilai untuk masa depan,
peradaban dan kelangsungan berbangsa bernegara di bumi pertiwi ini.

21
Mungkin tidak mudah, dan memang sangat berat. Hari ini terasa sangat
berat, besok mungkin makin berat, lusa juga mungkin makin bertambah
berat, namun optimislah, minggu depan, bulan depan, fajar akan
20
menyingsing, matahari akan terbit dan akan terang. Semoga kita semua
masih diizinkan oleh Tuhan Yang Maha Esa untuk bisa ikut menikmati
hangatnya matahari esok hari.
P
AU

Malang, 15 Desember 2020

DR. Dr. Sutrisno, SpOG.K.

[ xxxviii ]
PERKEMBANGAN TERBARU,
COVID-19, PENYAKIT SERIBU
WAJAH
Sutrisno

PENGANTAR

21
Pada tanggal 31 Desember 2019, China melaporkan ke Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) tentang adanya kasus pneumonia yang mempunyai pola
20
klinis berbeda dengan pneumonia pada umumnya di Provinsi Wuhan.
Wuhan adalah kota dengan populasi penduduk sekitar 11 juta terletak di
pusat Provinsi Hubei. Ditemukan bahwa yang terinfeksi selama periode
awal adalah mereka yang bekerja di Pasar Grosir Makanan Laut Huanan
P

Wuhan. Pasar ditutup pada 1 Januari 2020. Kota Wuhan mengalami wabah
awal dan pemerintah China segera melakukan langkah tegas dengan
AU

mengisolasi Wuhan dan membatasi arus manusia keluar dan masuk


kota tersebut. Langkah ini ternyata berhasil sehingga bisa mengontrol
penyebaran di Wuhan, tercermin dari jumlah kasus baru yang terus turun,
sementara kasus lama banyak yang sembuh.
Namun, di kota Wuhan, kasus terkontrol, justru virus SARS-CoV-2
menyebar ke negara lain dan menjadi pandemi global. Covid-19 telah
dinyatakan menjadi pandemi global dengan jumlah kasus positif yang
terus meningkat cepat, dan kasus kematian secara kumulatif yang
bertambah secara cepat. Covid-19 yang pada mulanya merupakan masalah
kesehatan semata, setelah menjadi pandemi beralih menjadi masalah
nonkesehatan yang lebih dominan. Negara maju (Eropa dan USA) dengan
sistem kesehatan yang maju, telah porak poranda oleh Covid-19 ini, apalagi

1
negara berkembang dengan populasi yang padat seperti Indonesia, India,
Bangladesh, Brasilia, dan negara-negara lainnya, mengalami masalah
yang lebih serius dengan korban kematian yang terus bertambah. Situasi
terakhir dilaporkan WHO tanggal 22 Desember 2020, jumlah kumulatif
kasus positif 75.129.306 penderita dengan jumlah kematian kumulatif
sebesar 1.680.794 orang. Kasus terbanyak diduduki 3 besar yaitu USA,
Eropa, dan Asia Tenggara. Kasus yang ada terus bertambah dengan cepat
dan polanya makin tidak beraturan (WHO,2020).
Virus ini awal mula dikira hanya menyerang target organ berupa
paru- paru saja, namun ternyata fakta menunjukkan bahwa virus ini dapat
menyerang semua organ tubuh manusia, sehingga tampilan klinisnya
sangat variatif, sukar dikenali, dan bermanifestasi mirip penyakit apa



21
saja. Virus ini dapat menyerang organ yang lain dan menyebabkan gejala
seperti:
Otak: Stroke, kejang, inflamasi otak
Mata: Konjungtivitis, inflamasi kornea
20
• Hidung: Anosmia
• Kardiovaskular: gangguan pada pembekuan darah dan vasokonstriksi
pembuluh darah
• Hati: Peningkatan enzim hati
P

• Intestinal: Diare
• Ginjal: AKI, proteinuria
AU

• Neurologis: GBS, ensefalitis, kejang, halusinasi, gangguan kesadaran/


delirium

COVID-19 ADALAH PENYAKIT YANG SANGAT DINAMIS


Coronavirus adalah kelompok virus RNA rantai tunggal terbesar yang
menyebabkan infeksi pada manusia, mamalia, dan burung. Coronavirus
termasuk keluarga coronaviridae dengan bagian amplop (luar) virus
dikelilingi oleh struktur seperti bagian runcing yang menjadi asal nama
virus tersebut. Virus Corona yang menyebabkan penyakit pada manusia
saat ini terdapat tujuh jenis dengan empat di antaranya menyebabkan

2 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


penyakit ringan hingga sedang, yaitu HCoV-229E, HCoV-OC43, HCoV-
NL63, dan HCoV-HKU1; tiga lainnya menyebabkan penyakit parah
terutama yang berhubungan dengan sindrom pernapasan akut berat
yang meliputi sindrom pernapasan akut berat Coronavirus (SARS-CoV),
sindrom pernapasan timur tengah (MERS-CoV) dan penyakit Coronavirus
tahun 2019 (Covid-19). Coronavirus termasuk dalam ordo Nidovirales,
yang merupakan ordo besar virus yang dibagi menjadi tiga kelompok
utama yang meliputi: famili Coronaviridae, Arteriviridae, dan Roniviridae.
Coronaviridae terdiri atas dua subfamili utama yaitu Coronovirinae dan
Torovirinae. Subfamili Coronovirinae dibagi lagi menjadi alpha, beta,
gamma, dan delta coronaviruses (Abdulahi, AM.,2020; Spaan, W., et al.,
1988; Jebril, N., 2020. Cheng, ZJ and Shan, J., 2020).
Covid-19 virus menyerang sistem pernapasan, menyebabkan

21
gangguan pada sistem pernapasan berupa pneumonia akut, sepsis, sampai
dengan meninggal dunia. Penularan virus ini pertama kali diperkirakan
dari hewan ke manusia. Tetapi sekarang virus ini bisa menular dari
20
manusia ke manusia melalui droplet dan microdropplet (air borne) saluran
pernapasan dari penderita ke oran sehat. Penularan virus ini sangat
cepat menyebabkan banyak dampak negatif yang harus dihadapi oleh
masyarakat seluruh dunia terutama di Indonesia. Secara global, pada 24
P

Desember 2020, ada 77.530.799 kasus Covid-19 yang dikonfirmasi, termasuk


1.724.904 kematian, dilaporkan ke WHO. Di indonesia dengan jumlah
AU

kasus 692,838 terkonfirmasi, 108,2 kasus aktif, 20,589 kasus meninggal,


dan sebesar 563,980 kasus sembuh (WHO,2020).

VIROLOGI
Covid-19 adalah virus β CoV kelompok 2B memiliki 70% kesamaan
genom dengan SARS-CoV dan oleh karena itu merupakan anggota
ketujuh dari virus Corona manusia yang menginfeksi manusia. Covid-19
adalah virus RNA berantai tunggal, tidak tersegmentasi, terbungkus,
dan beruntai dengan ukuran genom berkisar antara 26–32 kilobase
menjadikannya genom RNA virus terbesar yang dapat memengaruhi
saluran gastrointestinal (GI), pernapasan, ginjal, atau sistem saraf pusat.

Perkembangan Terbaru, Covid-19, Penyakit Seribu Wajah 3


Gambar 1.1 Struktur SARS-CoV-2 (disadur dari Astuti dan Ysrafin, 2020): Corona
virus Sindrom Pernapasan Akut - 2 (SARSCoV-2)).

21
Genom ini hampir bulat dengan proyeksi permukaan yang disebut protein
berujung runcing dan memiliki diameter sekitar 60–100 nm dengan
20
panjang sekitar 29,9 kb (Abdullahi, AM., 2020; Xiao, F., et al., 2020; Astuti,
I. and Ysrafil,2020).
Ada empat protein struktural dalam genom, yaitu: protein yang
runcing (S), amplop (E), membran (M), dan nucleocapsid (N). Protein yang
P

runcing membantu virus untuk menempel pada jaringan manusia dan


dibagi menjadi dua subunit: subunit S1 yang memiliki dua domain,
AU

domain terminal-N (NTD), dan domain pengikat reseptor (RBD); dan


subunit S2 yang terdiri atas peptida fusi (FP), bagian heptad (HR) 1 dan
2, domain trans-membran (TM), serta domain sitoplasma (CP). Reseptor
binding domain (RBD) dari subunit S1 dibagi lagi menjadi dua subdomain:
subdomain eksternal dan internal. Interaksi virus dengan reseptor inang
(manusia), reseptor human Angiotensine Converting Enzim 2 (ACE2)
difasilitasi oleh sub-domain S1 (Wu, F., et al., 2020; Renhong, Y., et al., 2020;
Wrapp, D., et al., 2020; Chan, JFW., et al.,2020; Zhou, P., et al., 2020).
Sumber Covid-19 dicurigai dari kelelawar karena lebih dari 96%
genomnya identik dengan genom Coronavirus dari kelelawar. Analisis
filogenetik pada genom virus lengkap telah ditunjukkan bahwa virus
tersebut erat kaitannya dengan kelompok mirip SARS Coronavirus

4 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


diidentifikasi sebelumnya dari kelelawar di China. Zhang dan rekannya,
pada Trenggiling-CoV secara keseluruhan-tingkat genom ditemukan
91,02% identik dengan SARS-CoV-2 sehingga menunjukkan kemungkinan
virus ini berasal dari Trenggiling, dan ini didukung oleh konsistensi
kesamaan lima asam amino utama dalam RDB antara Trenggiling-Cov dan
SARS-Cov-2 (Zhang, T., et al., 2020). Fakta ini masih menjadi pertentangan
dalam dunia ilmiah, sehingga direktur jendral WHO telah membentuk tim
tetap yang akan diterjunkan jangka lama di Wuhan untuk mendapatkan
kepastian bagaimana Coronavirus ini dapat berpindah dari binatang liar
ke manusia. Kepastian ini sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya
wabah berikutnya oleh spesies virus corona yang lainnya (WHO,2020).

PATOGENESIS

21
Masuknya virus ke jaringan inang melalui reseptor khusus, reseptor
enzim converting angiotensin 2 (ACE2) manusia. Viral replikasi terutama
20
terjadi di epitel mukosa bagian atas saluran pernapasan, dan selanjutnya
menyebar ke saluran pernapasan bagian bawah dan saluran serta mukosa
gastrointestinal di mana perkalian lebih lanjut berada dianggap terjadi
menghasilkan viremia ringan. Perbanyakan virus bisa juga terjadi di
P

banyak organ seperti paru-paru, jantung, ginjal, perut, dan kandung


kemih (Zou, X., et al., 2020).
AU

Mekanisme invasi virus ke dalam sel inang terdiri atas 5 tahap yaitu
perlekatan, penetrasi, biosintesis, pematangan, dan pelepasan. Pengikatan
virus dengan reseptor ACE2 (perlekatan) menghasilkan mediasi masuknya
virus ke dalam jaringan pejamu melalui membran plasma atau dengan
endositosis (penetrasi) melalui pelepasan protease. Setelah masuk, isi
virus dilepaskan di dalam sel inang dan RNA virus memasuki inti sel
inang untuk replikasi di mana mRNA virus akan menghasilkan protein
virus (biosintesis). Protein virus kemudian akan membuat partikel
virus baru (pematangan) yang kemudian dilepaskan ke jaringan inang
dari nukleus.
Masuknya virus ke dalam sel inang, memicu respons imun inang,
awalnya respons imun bawaan, tetapi respons imun adaptif dapat

Perkembangan Terbaru, Covid-19, Penyakit Seribu Wajah 5


21
Gambar 1.2 Ikatan Virus ke Jaringan Inang (diadopsi dari Mousavizadeh dan
Ghasemi, 2020: Genotip dan fenotip Covid-19).
20
dirangsang ketika infeksi berlanjut. Reseptor ACE2 sebagian besar
diekspresikan di sisi apikal sel epitel paru di ruang alveolar, dan oleh
karena itu respons imun pertama dirangsang oleh tiga komponen utama
untuk imunitas bawaan di jalan napas: sel epitel, sel dendritik (DC), dan
P

makrofag alveolar. DC ditemukan terutama di bawah epitel, sementara


makrofag terletak di sisi apikal epitel (Yoshikawa, T., 2009).
AU

Dengan demikian, DC dan makrofag berfungsi sebagai sel kekebalan


bawaan untuk melawan virus sampai kekebalan adaptif bekerja. DC
dan makrofag dapat memfagositkan sel yang terinfeksi SARS-CoV-2
dan kemudian menampilkan partikel virus ke antigen presenting cells
(APCs). APC kemudian bermigrasi ke kelenjar getah bening untuk
mempresentasikan antigen virus ke sel T yang memulai tanggapan sel
T dengan sel T CD4+ dan CD8+ yang memainkan peran paling penting:
Sel T CD4+ mengaktifkan sel B untuk meningkatkan produksi antibodi
spesifik virus, sedangkan CD8+ Sel T dapat membunuh sel yang terinfeksi
virus (Yoshikawa T., 2009).
Pada kasus Covid-19 yang parah, terjadi peningkatan level sel imun
pro-inflamasi yang teraktivasi seperti sitokin, termasuk interleukin (IL-6),

6 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


IL-10, granulocyte-colony stimulating factor (G-CSF), monocyte chemoattractant
protein 1 (MCP1), makrofag inflamasi protein (MIP) 1α, dan tumor necrosis
factor (TNF)-α, dan kondisi ini disebut CYTOKINE STORM (badai
sitokin) yang dapat mengakibatkan respons imun yang tidak terkendali
(berlebihan) yang dapat mengakibatkan kerusakan jaringan paru,
gangguan fungsi, dan penurunan kapasitas paru. Cytokine Storm adalah
respons inflamasi sistemik yang tidak terkontrol yang terjadi karena
pelepasan sitokin pro-inflamasi dan kemokin oleh efektor imun sel yang
mengakibatkan respons imun inflamasi berlebihan yang berkontribusi
terhadap sindrom gangguan gagal pernapasan akut (ARDS), kegagalan
banyak organ, dan akhirnya kematian pada kasus infeksi SARS-CoV-2
yang parah (Zhou, P., et al. 2020).
Selain itu, peningkatan kadar sitokin proinflamasi ini dapat

21
menyebabkan syok dan kerusakan jaringan di jantung, hati, dan ginjal,
serta gagal napas atau kegagalan banyak organ. pada organ paru terjadi
kerusakan yang luas, yang ditandai infiltrasi besar-besaran neutrofil
20
dan makrofag, kerusakan alveolar difus dengan pembentukan membran
hialin dan penebalan dinding alveolar yang disebabkan oleh tingginya
sitokin proinflamasi ini. Bila dilakukan otopsi pasien yang meninggal
menunjukkan nekrosis kelenjar getah bening dan atrofi limpa, kerusakan
P

yang dimediasi oleh sistem imun ini (Shi, H., et al., 2020)
AU

TRANSMISI COVID-19
Transmisi Covid-19 telah diidentifikasi melalui beberapa cara sebagai
berikut:
a. Transmisi droplet: droplet dapat membawa virus dari pasien ke
orang sehat yang berada dalam jarak sekitar satu meter. Droplet
diproduksi oleh seorang yang sedang berbicara, ketika batuk, bersin,
berteriak, bernyanyi, dan aktivitas lain yang melibatkan mulut dan
hidung. Penyabaran lewat droplet, bisa berupa droplet besar dan
droplet kecil.
b. Transmisi dari udara: virus corona dapat menyebar melalui udara,
dalam jarak jauh. Cara penularan hampir sama dengan cara virus flu,

Perkembangan Terbaru, Covid-19, Penyakit Seribu Wajah 7


SARS, variola yang menular dari satu orang ke orang lainnya (ini masih
kontroversi, namun mikrodroplet sudah terbukti kebenarannya).
Transmisi airborne sangat mungkin terjadi dalam beberapa situasi:
ruangan tertutup, paparan jangka panjang (bernyanyi, berolahraga
bersama), berada di ruangan dengan ventilasi dan sirkulasi udara
yang tidak baik. Tindakan medis berikut dapat memicu penularan
lewat airborne, yaitu intubasi endotrachea, bronkoskopi, suction,
nebuliser, ventilasi manual sebelum intubasi, mengubah posisi tubuh
ke prone position, mencabut alat ventilator, tracheostomi, resusitasi
jantung paru, dan berbagai tindakan lainnya.
c. Transmisi kontak: virus dapat menular melalui kontak langsung
dengan kulit atau selaput lendir. Ini juga bisa terjadi melalui
darah yang masuk ke tubuh atau mengenai selaput lendir. Lewat

d.
21
konjungtiva mata telah terbukti didapatkan laporan kasusnya.
Transmisi dari hewan: orang yang menjual dan mendistribusikan
hewan liar yang membawa virus Corona dapat tertular dari
20
hewan liar tersebut, kemudian menyebarkan kepada manusia lain
yang kontak dengannya. Maka terjadilah perpindahan virus dari
manusia ke manusia lainnya yang telah terjadi secara luas dalam
pandemi ini.
P
AU

GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis Covid-19 sangat variatif, mulai sama sekali tidak ada
gejala sampai dengan gagal napas yang sangat berat dan memerlukan
ventilator. Saat terjadinya serangan awal di Wuhan, sistem Pelaporan
Nasional China per Februari 2020, 80% dari kasus yang dikonfirmasi
menunjukan gejala tidak parah, tidak memiliki gejala pneumonia atau
pneumonia ringan hingga sedang; 15% adalah kasus parah dengan gejala
pneumonia yang berat; sekitar 5% adalah kasus kritis dan memerlukan
perawatan intensif karena gagal napas, syok, atau gagal multiorgan (Park
M., et al., 2020). Selain itu, pada studi awal tentang karakteristik klinis
pasien Covid-19 di Wuhan China, gejala yang paling umum adalah demam,
batuk, dan kelelahan yang masing-masing ditemukan pada sekitar 98%,

8 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


76%, dan 44% pasien. Gejala yang kurang umum adalah produksi dahak,
sakit kepala, hemoptisis, dan diare pada sekitar 28%, 8%, 5%, dan 3%.
Dalam studi kohort pasien di luar Wuhan, gejala gastrointestinal (GI)
seperti mual, diare, dan muntah ditemukan umum pada pasien Covid-19
dan pasien dengan gejala GI cenderung memiliki kondisi yang lebih parah
dan bahkan kritis. Amico FD dan rekan menemukan bahwa diare adalah
salah satu ciri yang paling sering terjadi pada pasien dengan Covid-19
dengan tingkat kejadian 2–50% yang dapat mendahului atau mengikuti
gejala pernapasan (Amico, FD. et al., 2020).
Gejala klinis Covid-19 bisa juga sangat mirip dengan influenza yang
umumnya terdiri atas demam, kelelahan, batuk kering, sakit tenggorokan,
sakit kepala, dan sesekali hidung tersumbat, pilek, dan diare yang dapat
berkembang menjadi gejala sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS)

21
yang serius dan mengancam jiwa, syok septik, asidosis metabolik refrakter,
dan disfungsi koagulasi (Zheng, Q., et al, 2020). Untuk anak-anak dengan
Covid-19, gejala biasanya mengikuti kontak dekat dengan anggota keluarga
20
yang terinfeksi dan gambaran klinis yang paling sering adalah batuk
(65%) dan demam (60%). Dalam tinjauan sistematis terhadap 58 pasien,
manifestasi klinis yang paling umum adalah demam (88,7%, 95% CI
84,5–92,9%), batuk (57,6%, 95% CI 40,8–74,4%), dan dispnea (45,6%, 95% CI
P

10,9-80,4%); dan prevalensi demam jauh lebih tinggi pada orang dewasa
dibandingkan dengan anak-anak (92,8%, 95% CI 89,4–96,2%; versus 43,9%,
AU

95% CI 28,2–59,6%) (Gutiérrez-ocampo, E., et al., 2020).


Berbagai jenis manifestasi kulit termasuk urtikaria, makulopapular,
papulovesikuler, purpura, hidupoid, dan lesi iskemik trombotik dilaporkan
pada pasien dengan Covid-19. Dalam sebuah penelitian multisenter di
Eropa terhadap 417 pasien Covid-19, nyeri wajah dan hidung tersumbat
adalah gejala daerah telinga hidung dan tenggorokan terkait penyakit
yang paling umum prevalensi sekitar 85,6% dan 88,0%. Sekitar 70% dari
pasien datang hanya dengan anosmia tanpa sebab yang jelas yang sekitar
83% melaporkan anosmia sebagai gejala pertama mereka yang kemudian
diikuti oleh gejala lain (Heidari, F., et al., 2020).

Perkembangan Terbaru, Covid-19, Penyakit Seribu Wajah 9


der
Systemic Disorder Respiratory Disorder
Respir

Fever, Cough, Fatigue,


tigue, Rhinorrhoea, Sneezing,
Rhinor
on,
Sputum Production, Sore Throat
Headache
Pneumonia
Haemoptysis,

Acute Cardiac Injury


ury Ground-glass
Opacities
Hypoxemia

Dyspnoea,
RNAaemia,
Lymphopenia
Ac
Acute Respiratory
Dis
Distress Syndrome
Diarrhoea

21
20
Gambar 1.3 Gambaran Klinis Covid-19 (diadopsi dari Rothan dan Byrareddy, 2020:
Epidemiologi dan patogenesis wabah penyakit coronavirus (Covid-19)).

Gejala jantung juga merupakan temuan klinis yang sering dilaporkan


P

pada penderita Covid-19 yang terjadi sebagai akibat dari badai inflamasi
sebagai respons terhadap infeksi. Reaksi inflamasi yang mestinya
AU

mengarah ke virus berubah ke kardiomiosit, serta terjadinya cedera


miokard akibat stres oksidatif yang menyebabkan cedera miokard akut/
AMI (Tahir, F., et al., 2020).
Dari deskripsi di atas, tampak bahwa Covid-19 dapat menyerang
hampir seluruh organ manusia dan memberikan gejala dan keluhan klinis
yang sangat variatif, tidak khas, dan sukar dimengerti oleh dokter. Hal ini
yang membuat tampilan klinis Covid-19 menyerupai apa saja, penyakit
1000 wajah.
Untuk mempermudah pelaksanaan di lapangan, kementerian
kesehatan menyeragamkan istilah-istilah terkait klinis di lapangan agar
mempermudah dalam pelaksanan program di lapangan. Istilah-istilah
yang dipakai merupakan definisi operasional kasus Covid-19, yaitu:

10 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


1. KASUS SUSPEK
Seseorang yang memiliki salah satu dari kriteria berikut:
• Orang dengan ISPA dan pada14 hari terakhir sebelum timbul gejala
memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di negara/wilayah Indonesia
yang melaporkan transmisi lokal
• Orang dengan salah satu gejala/tanda ISPA dan pada 14 hari terakhir
sebelum timbul gejala memiliki riwayat kontak dengan kasus
konfirmasi/probable Covid-19
• Orang dengan ISPA/pneumonia berat yang membutuhkan perawatan
di rumah sakit dan tidak ada penyebab lain berdasarkan gambaran
klinis yang meyakinkan

2. KASUS PROBABLE

21
Kasus suspek dengan ISPA berat/ARDS/meninggal dengan gambaran
klinis yang meyakinkan Covid-19 dan belum ada hasil pemeriksaan
20
laboratorium RT-PCR

3. KASUS KONFIRMASI
Seseorang yang dinyatakan positif terinfeksi virus Covid-19 yang
P

dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium RT-PCR. Dibagi menjadi


2, yaitu:
AU

• Simptomatik
• Asimptomatik

4. KONTAK ERAT
Orang yang memiliki riwayat kontak kasus probable atau konfirmasi
Covid-19. Riwayat kontak yang dimaksud antara lain:
• Kontak tatap muka/berdekatan dengan kasus probable atau kasus
konfirmasi dalam radius 1 meter dan dalam jangka waktu 15 menit
atau lebih
• Sentuhan fisik langsung dengan kasus probable atau terkonfirmasi
(bersalaman, berpegangan tangan, dan lain-lainnya)

Perkembangan Terbaru, Covid-19, Penyakit Seribu Wajah 11


• Orang yang memberikan perawatan langsung terhadap kasus
probable atau konfirmasi tanpa menggunakan APD yang sesuai
standar
• Situasi lainnya yang mengindikasikan adanya kontak berdasarkan
penilaian risiko lokal yang diterapkan oleh tim penyelidikan
epidemiologi setempat

5. PELAKU PERJALANAN
Seseorang yang melakukan perjalanan dari dalam negeri (domestik)
maupun luar negeri pada 14 hari terakhir

6. DISCARDED

• 21
Discarded apabila memenuhi salah satu kriteria:
Seseorang dengan status kasus suspek dengan hasil pemeriksaan
RT-PCR 2 kali negatif 2 hari berturut-turut dengan selang waktu
20
> 24 jam
• Seseorang dengan status kontak erat yang telah menyelesaikan masa
karantina selama 14 hari (Kemenkes RI, 2020)
Berdasarkan beratnya kasus, tampilan klinis Covid-19 dibedakan menjadi:
P

penyakit tanpa gejala, gejala ringan, sedang, berat, dan kritis.


AU

1. Tanpa gejala
Kondisi ini merupakan kondisi paling ringan. Pasien tidak ada
keluhan dan secara klinis tidak ditemukan kelainan apapun.
2. Ringan
Pasien dengan gejala minimal tanpa ada bukti pneumonia virus atau
tanpa hipoksia. Gejala yang muncul seperti demam, batuk, fatigue,
anoreksia, napas pendek, dan mialgia. Gejala tidak spesifik lainnya
seperti sakit tenggorokan, kongesti hidung, sakit kepala, diare,
mual dan muntah, hilang pembau (anosmia) atau hilang perasa
(ageusia) yang muncul sebelum timbulnya gejala pernapasan. Pasien
usia tua dan immunocompromised umumnya menampakkan gejala

12 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


atipikal seperti fatigue, penurunan kesadaran, mobilitas menurun,
diare, hilang nafsu makan, delirium, meskipun tidak ditemukan
adanya demam.
3. Sedang/Moderat
pada pasien remaja atau dewasa dengan tanda klinis pneumonia
(demam, batuk, sesak, napas cepat) tetapi tidak ada tanda pneumonia
berat termasuk SpO₂ > 93% dengan udara ruangan ATAU anak-anak
dengan tanda klinis pneumonia tidak berat (batuk atau sulit bernapas
+ napas cepat dan/atau tarikan dinding dada) dan tidak ada tanda
pneumonia berat Kriteria napas cepat: usia < 2 bulan, ≥ 60×/menit;
usia 2–11 bulan, ≥ 50×/menit; usia 1–5 tahun, ≥ 40×/menit ; usia > 5
tahun, ≥ 30×/menit.
4. Berat/Pneumonia Berat

21
pada pasien remaja atau dewasa: pasien dengan tanda klinis
pneumonia (demam, batuk, sesak, napas cepat) ditambah satu dari:
frekuensi napas > 30×/menit, distres pernapasan berat, atau SpO₂
20
< 93% pada udara ruangan. atau pada pasien anak: pasien dengan
tanda klinis pneumonia (batuk atau kesulitan bernapas), ditambah
setidaknya satu dari berikut ini:
• didapatkan sianosis sentral atau SpO₂ < 93%;
P

• ditemukan distres pernapasan berat (seperti napas cepat, grunting,


AU

tarikan dinding dada yang sangat berat);


• didapatkan tanda-tanda bahaya umum berupa: ketidakmampuan
menyusui atau minum, letargi atau penurunan kesadaran, atau
kejang. Napas cepat/tarikan dinding dada/takipnea: usia < 2
bulan, ≥ 60×/menit; usia 2–11 bulan, ≥ 50×/menit; usia 1–5 tahun,
≥ 40×/menit; usia > 5 tahun, ≥ 30×/menit.
5. Kritis
Pasien dengan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), sepsis dan
syok sepsis, serta memerlukan bantuan alat napas (ventilator).

Perkembangan Terbaru, Covid-19, Penyakit Seribu Wajah 13


DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan dengan adanya keluhan, temuan klinis dan secara
objektif ditemukan genom virus SARS-CoV-2. Tes diagnostik saat ini yang
paling umum adalah reverse-transcription polymerase chain reaction (RT-PCR),
real-time RT-PCR (rRT-PCR), dan reverse transkripsi loop-dimediasi isotermal
amplifikasi (RT-LAM). Diagnostik standar Covid-19 yang diakui standar
di seluruh dunia adalah pemeriksaan laboratorium tes usap nasofaring
atau orofaring .
Teknik pencitraan seperti rontgen dada atau tomografi terkomputerisasi
dada (CT) harus digunakan untuk diagnosis pasien yang menderita
demam, sakit tenggorokan, kelelahan, batuk atau dispnea yang disertai
dengan paparan baru-baru ini meskipun hasil RT-PCR negatif. Temuan

21
CT umum termasuk ground-glass parenkim paru bilateral dan kekeruhan
paru konsolidasi, kadang-kadang dengan morfologi bulat dan distribusi
paru-paru perifer merupakan bukti objektif infeksi Covid-19 (Udugama,
B., et al., 2020).
20
Namun, kavitasi paru, nodul paru soliter, efusi pleura, dan
limfadenopati jarang dijumpai. Khususnya, pasien Covid-19 asimtomatik
dapat datang dengan kelainan pencitraan CT dada yang progresif dari
fokal unilateral menjadi ground glass appearance bilateral yang menyebar
P

yang dapat berkembang menjadi konsolidasi dalam 1–3 minggu (Shi, H.,
AU

et al., 2020). Tes diagnostik pendukung lainnya adalah hitung darah


lengkap, kultur darah dan protein C-reaktif. Jumlah total sel darah putih
mungkin normal dengan penurunan atau jumlah limfosit normal. Saat
ini, prioritas untuk diagnosis Covid-19 adalah Point of Care Testing (POCT)
IgM/IgG di mana pasien didiagnosis tanpa mengirim sampel ke fasilitas
terpusat sehingga memungkinkan masyarakat tanpa infrastruktur
laboratorium untuk mendeteksi pasien yang terinfeksi (Shi, H., 2020)

PENGOBATAN
Sampai saat ini belum ada pengobatan definitif. Pengobatan diberikan
sesuai gejala, simptomatik, disertai penggunaan beberapa obat antiviral.

14 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Sepanjang sejarah pandemi yang telah terjadi pada peradaban manusia,
pengobatan kausal adalah penentu keberhasilan mengakhiri pandemi.
Antivirus yang spesifik merupakan pilihan jangka pendek untuk
mengatasi serangan akut yang bermanifestasi ringan sampai kritis. Vaksin
adalah harapan utama. Saat tulisan ini dibuat, vaksin dengan berbagai
macam platform masih berada dalam uji klinis fase 3. Semoga beberapa
bulan lagi sudah didapatkan jenis vaksin yang efektif dan protektif.
Ada banyak obat antivirus yang saat ini tersedia, tetapi tidak ada
bukti dari uji coba terkontrol secara acak (RCT) yang merekomendasikan
jenis antivirus yang efektif untuk mengatasi Covid-19. Penggunaan
lopinavir/ritonavir pada pasien SARS dikaitkan dengan penurunan tingkat
kematian (2,3% vs 11,0%) dalam penelitian kohort retrospektif. Obat
antivirus potensial lainnya adalah Remdesivir yang digunakan untuk

21
mengobati kasus pertama infeksi Covid-19 di Amerika Serikat dan kondisi
klinis pasien membaik setelah hanya satu hari pengobatan Remdesivir. Uji
coba beberapa antivirus di atas terus dikerjakan di beberapa senter untuk
20
mendapatkan jenis antivirus yang paten menghadapi virus SARSCoV-2
ini (Chan, KS., et al., 2003; Holshue, ML., et al., 2019).
Secara praktis, pengobatan penderita Covid-19 dilakukan berdasarkan
berat ringannya gejala klinis. Semua penderita sebaiknya dikerjakan PCR
P

karena diagnostik PCR adalah baku emas untuk Covid-19 saat ini.
AU

PENDERITA DENGAN DERAJAT RINGAN


1. Isolasi dan Pemantauan
Isolasi mandiri di rumah/fasilitas karantina selama maksimal 10
hari sejak muncul gejala ditambah 3 hari bebas gejala (demam) dan
gangguan pernapasan. Isolasi dapat dilakukan mandiri di rumah
maupun di fasilitas publik yang dipersiapkan pemerintah. Petugas
kesehatan di layanan primer akan proaktif melakukan pemantauan
kondisi pasien secara rutin. Setelah melewati masa isolasi, pasien akan
kontrol ke pusat layanan primer terdekat dan mendapat pemantauan
lebih lanjut.

Perkembangan Terbaru, Covid-19, Penyakit Seribu Wajah 15


2. Non Farmakologis
Edukasi diberikan selama menjalani masa-masa isolasi mandiri,
tetap menjaga kebugaran, olahraga, mengurangi stres psikis, makan
minum cukup, dan tetap menjalankan hobi, jaga jarak, gunakan
masker, kamar berventilasi baik, mencari sinar matahari, dan lain-
lain aktivitas yang menunjang kesehatan.
3. Farmakologis
Vitamin C dengan pilihan:
a. Tablet Vitamin C non acidic 500 mg/6–8 jam oral (untuk 14 hari);
b. Tablet isap vitamin C 500 mg/12 jam oral (selama 30 hari);
c. Multivitamin yang mengandung vitamin C 1–2 tablet/24 jam
(selama 30 hari);

E, dan zink;
21
d. Dianjurkan vitamin yang komposisi mengandung vitamin C, B,

e. Azitromisin 1 × 500 mg per hari selama 5 hari;


f. Diberikan salah satu dari antivirus berikut ini: Oseltamivir
20
(Tamiflu) Atau Kombinasi Lopinavir + Ritonavir (Aluvia) atau
Favipiravir (Avigan);
g. Bila demam dapat diberikan pengobatan simptomatis seperti
parasetamol;
P

h. Obat-obatan suportif baik tradisional (fitofarmaka) maupun


Obat Modern Asli Indonesia (OMAI) yang teregistrasi di BPOM
AU

dapat dipertimbangkan untuk diberikan namun dengan tetap


memperhatikan perkembangan kondisi klinis pasien;
i. Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada.

DERAJAT SEDANG
1. Isolasi dan Pemantauan
• Rujuk ke Rumah Sakit ke Ruang Perawatan Covid-19/Rumah Sakit
Darurat Covid-19
• Isolasi di Rumah Sakit ke Ruang Perawatan Covid-19/Rumah Sakit
Darurat Covid-19
2. Non Farmakologis

16 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


• Istirahat total, asupan kalori adekuat, kontrol elektrolit, status
hidrasi/terapi cairan, diberikan oksigen
• Pemantauan laboratorium Darah Perifer Lengkap berikut dengan
hitung jenis, bila memungkinkan ditambahkan dengan CRP,
fungsi ginjal, fungsi hati, dan foto toraks secara berkala
3. Farmakologis
• Vitamin C 200–400 mg/8 jam dalam 100 cc NaCl 0,9% habis dalam
1 jam diberikan secara drips
• Intravena (IV) selama perawatan diberikan terapi farmakologis
berikut:
1) Azitromisin 500 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5–7
hari) atau sebagai alternatif Levofloksasin dapat diberikan
apabila curiga ada infeksi bakteri: dosis 750 mg/24 jam per iv

21
atau per oral (untuk 5–7 hari).
2) Ditambah diberikan salah satu antivirus berikut: Oseltamivir
atau Kombinasi Lopinavir + Ritonavir (Aluvia) atau Favipiravir
20
(Avigan sediaan 200 mg) atau Remdesivir.
3) Diberikan preparat antikoagulan LMWH/UFH berdasarkan
evaluasi klinis dokter yang merawatnya
4) Pengobatan simptomatis yang ada (Parasetamol bila demam,
P

dan lain-lainnya).
5) Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada pada penderita
AU

saat itu

DERAJAT BERAT DAN KRITIS


1. Isolasi dan Pemantauan
Isolasi di ruang isolasi Rumah Sakit Rujukan yang telah ditunjuk
dan mempunyai fasilitas ICU/HCU yang memadai sesuai dengan
kondisi Covid-19, terutama adanya fasilitas ventilator dan sumber
daya manusia yang memadai.
2. Non Farmakologis
• Istirahat total, asupan kalori adekuat, kontrol elektrolit, status
hidrasi (terapi cairan), dan oksigen

Perkembangan Terbaru, Covid-19, Penyakit Seribu Wajah 17


• Pemantauan laboratorium Darah Perifer Lengkap berikut dengan
hitung jenis, bila memungkinkan ditambahkan dengan CRP,
fungsi ginjal, fungsi hati, Hemostasis, LDH, D-dimer.
• Pemeriksaan foto toraks serial bila perburukan
Monitor tanda-tanda sebagai berikut;
- Takipnea, frekuensi napas ≥ 30×/min,
- Saturasi Oksigen dengan pulse oximetry ≤ 93% (dijari),
- PaO₂/FiO₂ ≤ 300 mmHg,
- Peningkatan sebanyak > 50% di keterlibatan area paru-paru
pada pencitraan toraks dalam 24–48 jam,
- Limfopenia progresif,
- Peningkatan CRP progresif,
- Asidosis laktat progresif.
Monitor keadaan kritis
21
- Gagal napas yang membutuhkan ventilasi mekanik, syok atau
gagal multiorgan yang memerlukan perawatan ICU.
20
- Bila terjadi gagal napas disertai ARDS pertimbangkan
penggunaan ventilator mekanik
c. Farmakologis
P

Vitamin C 200–400 mg/8 jam dalam 100 cc NaCl 0,9% habis dalam 1
jam diberikan secara drips Intravena (IV) selama perawatan
AU

• Vitamin B1 1 ampul/24 jam/intravena


• Azitromisin 500 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5–7 hari)
atau sebagai alternatif Levofloksasin dapat diberikan apabila
curiga ada infeksi bakteri: dosis 750 mg/24 jam per iv atau per
oral (untuk 5–7 hari).
• Bila terdapat kondisi sepsis yang diduga kuat oleh ko-infeksi
bakteri, pemilihan antibiotik disesuaikan dengan kondisi klinis,
fokus infeksi, dan faktor risiko yang ada pada pasien. Pemeriksaan
kultur darah harus dikerjakan dan pemeriksaan kultur sputum
(dengan kehati-hatian khusus) patut dipertimbangkan.

18 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


• Antivirus yang bisa digunakan adalah: Oseltamivir atau
Kombinasi Lopinavir + Ritonavir (Aluvia) atau Favipiravir (Avigan
sediaan 200 mg) atau Remdesivir.
• Dipertimbangkan pemberian Antikoagulan LMWH/UFH
berdasarkan evaluasi dokter yang merawat sesuai kondisi klinis
pasien.
• Dipertimbangkan pemberian deksametason dengan dosis 6 mg/
24 jam selama 10 hari atau kortikosteroid lain yang setara seperti
hidrokortison pada kasus berat yang mendapat terapi oksigen
atau kasus berat dengan ventilator.
• Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada saat pasien
dirawat sesuai kondisi klinisnya
• Apabila terjadi syok, lakukan tata laksana syok sesuai pedoman



tata laksana syok

21
Obat suportif lainnya dapat diberikan sesuai indikasi
Pertimbangkan untuk diberikan terapi tambahan, sesuai dengan
20
kondisi klinis pasien dan ketersediaan di RS

PILIHAN TERAPI LAINNYA


P

1. Anti IL-6 (Tocilizumab)


AU

Cytokine storm adalah respons sistem kekebalan tubuh yang berlebihan


akibat infeksi maupun penyebab lain yang ditandai dengan pelepasan
sitokin yang tidak terkontrol yang menyebabkan inflamasi sistemik dan
kerusakan multiorgan. Beberapa studi yang menganalisis karakteristik
klinis pasien Covid-19 secara konsisten menunjukkan penurunan jumlah
limfosit yang signifikan pada pasien pneumonia serta peningkatan tajam
pada sebagian besar sitokin, terutama IL-6.
Pada pasien Covid-19, kadar IL-6 meningkat tajam dan berperan
dalam induksi diferensiasi limfosit B dan produksi antibodi serta
proliferasi dan diferensiasi limfosit T. Cytokine storm pada Covid-19 dapat
meningkatkan permeabilitas vaskuler, terjadi perpindahan cairan dan
sel darah dalam alveolus yang mengakibatkan Acute Respiratory Distress

Perkembangan Terbaru, Covid-19, Penyakit Seribu Wajah 19


Syndrome (ARDS) hingga kematian. Dengan demikian, menghambat kerja
IL-6 merupakan salah satu terapi potensial untuk pasien Covid-19 dengan
pneumonia berat atau kritis.
Transduksi sinyal sel oleh IL-6 harus diinisiasi oleh ikatan antara IL-6
dan reseptornya, IL-6R yang bersama-sama membentuk kompleks dan
berikatan dengan protein membran sel. Reseptor IL-6 (IL-6R) memiliki
dua bentuk yaitu membrane bound IL-6R (mIL-6R) dan soluble IL-6R (sIL-
6R). Tocilizumab merupakan antibodi monoklonal penghambat IL-6 yang
dapat secara spesifik berikatan dengan mIL-6R dan sIL-6R. Tocilizumab
telah dipakai pada kasus artritis rheumatoid dengan dosis 8 mg/kgBB
setiap 4 minggu, minimal selama 24 minggu. Tocilizumab merupakan
antibodi monoklonal kelas IgG1 bekerja sebagai antagonis reseptor IL-6.
Tocilizumab dapat diberikan secara intravena atau subkutan untuk

21
pasien Covid-19 berat dengan kecurigaan hiperinflamasi. Tocilizumab
diberikan dengan dosis 8 mg/kg BB (maksimal 800 mg per dosis) dengan
interval 12 jam.
20
2. Anti IL-1 (Anakinra)
Anakinra merupakan antagonis reseptor IL-1 rekombinan yang memiliki
mekanisme untuk menetralisasi reaksi hiperinflamasi yang terjadi pada
P

kondisi ARDS yang disebabkan oleh infeksi SARS-CoV-2. pada sebuah


studi klinis yang melibatkan 52 pasien, Anakinra dapat menurunkan
AU

kebutuhan pemakaian ventilasi mekanis invasif dan menurunkan


kematian pada pasien Covid-19 tanpa efek samping yang serius. Dosis
yang dapat diberikan adalah 100 mg/12 jam selama 72 jam dilanjutkan
dengan 100 mg/24 jam selama 7 hari.

3. Mesenchymal Stem Cell (MSCs)/Sel Punca


Pada prinsipnya, pemberian MSCs dapat menyeimbangkan proses
inflamasi yang terjadi pada kondisi ARDS yang ditandai dengan banyaknya
eksudat fibromixoid seluler, inflamasi paru yang luas, edema paru, dan
pembentukan membran hyalin. MSCs bekerja sebagai imunoregulasi
dengan menekan proliferasi sel T. Selain itu, sel punca dapat berinteraksi
dengan sel dendritik sehingga menyebabkan pergeseran sel Th-1 pro

20 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


inflamasi menjadi Th2 anti-infamasi, termasuk perubahan profil sitokin
menuju anti-inflamasi.

4. Intravenous Immunoglobulin (IVIG)


IVIG merupakan produk derivatif plasma pendonor yang dapat
memberikan proteksi imun secara pasif terhadap berbagai macam patogen.
IVIG dapat diberikan pada pasien Covid-19 berat dengan dosis IVIg 0.3–0.4
g/kg BB per hari untuk 5 hari.

5. Plasma Konvalesen
Plasma konvalesen diperoleh dari pasien Covid-19 yang telah sembuh,
diambil melalui metode plasmaferesis dan diberikan kepada pasien

21
Covid-19 yang berat atau mengancam nyawa. Indikasi pemberian terapi
plasma konvalesen pada berbagai uji klinis yang telah dilakukan adalah
penderita Covid-19 yang berat, meskipun saat ini uji klinis pemberian pada
pasien Covid-19 sedang (berisiko menjadi berat) sudah/sedang berjalan
20
di beberapa senter uji klinis di seluruh dunia. Terapi plasma konvalesen
diberikan bersama-sama dengan terapi standar Covid-19 (antivirus dan
berbagai terapi tambahan/suportif lainnya).
Kontra indikasi terapi plasma konvalesen adalah riwayat alergi
P

terhadap produk plasma, kehamilan, perempuan menyusui, defisiensi


IgA, trombosis akut, dan gagal jantung berat dengan risiko overload cairan.
AU

Kontraindikasi lainnya bersifat relatif, seperti syok septik, gagal ginjal


dalam hemodialisis, koagulasi intravaskular diseminata atau kondisi
komorbid yang dapat meningkatkan risiko trombosis.

6. Antibiotik
Potensi penggunaan antibiotik yang berlebih pada era pandemik
Covid-19 ini menjadi ancaman global terhadap meningkatnya kejadian
bakteri multiresistan. Hingga saat ini belum dapat sepenuhnya dipahami
bagaimana hubungan langsung dari pandemi ini terhadap peningkatan
angka total bakteri multiresistan, namun dari beberapa telaah data kasus
Covid-19 dari seluruh dunia, terutama di Asia, 70% dari total pasien
tersebut mendapatkan terapi antimikroba meskipun pada kenyataannya

Perkembangan Terbaru, Covid-19, Penyakit Seribu Wajah 21


kurang dari 10% yang terbukti benar-benar mengalami koinfeksi dengan
bakteri maupun jamur.
Rasionalisasi dari penggunaan antibiotik pada Covid-19 nampaknya
mengacu kepada pengalaman kejadian superinfeksi bakteri pada infeksi
influenza, di mana 11–35% kasus influenza yang dirawat terbukti
mengalami koinfeksi bakteri sekunder inisial yang umumnya disebabkan
oleh infeksi bakteri Streptococcus pneumoniae dan Staphylococcus aureus.
Infeksi virus di saluran pernapasan dikatakan dapat menjadi faktor
predisposisi dari koinfeksi bakteri maupun jamur yang pada akhirnya
dapat berakibat buruk terhadap derajat keparahan hingga kematian.
Angka kejadian sesungguhnya dari koinfeksi bakteri pada Covid-19
hingga saat ini masih belum diketahui. Rekomendasi pemberian antibiotik

21
bervariasi di masing-masing negara dan kecenderungan yang ada adalah
opsi untuk memberikan antibiotik secara empirik lebih menjadi pilihan.

PERTANYAAN-PERTANYAAN YANG BELUM TERJAWAB


20
MUTASI COVID-19
Coronavirus disease 2019 SARS-CoV-2 (Covid-19) adalah virus zoonosis
P

yang menyebabkan berbagai penyakit pernapasan yang cukup parah.


SARS-CoV-2 merupakan virus yang paling dekat dengan SARS-CoV dan
AU

MERS-CoV dalam hal struktur virus tersebut. Saat ini, prevalensi Covid-19
meningkat tajam dikarenakan gejala yang timbul tidak khas (Dawood,
2020). Kasus pertama Covid-19 dilaporkan pada Desember 2019 di Wuhan
(China) dan sejak itu telah menyebar ke seluruh dunia menjadi pandemi,
dengan kasus kematian paling tinggi di Italia, meskipun awalnya,
kematian yang maksimal dilaporkan dari China.
Dari beberapa penelitian yang membandingkan sekuens virus
yang berasal dari berbagai negara, diketahui bahwa virus SARS-CoV-2
ini memiliki tingkat laju mutasi tinggi. Virus SARS-CoV-2 termasuk ke
dalam virus RNA yang memiliki karakteristik laju mutasi yang sangat
tinggi, dengan laju mutasi hingga sejuta kali lebih cepat dibanding
inangnya. Laju mutasi ini diketahui terjadi pada semua varian virus

22 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


yang ditemukan di berbagai negara di benua Eropa, Amerika, dan Asia
(Pachetti, et al., 2020).
Selama beberapa minggu terakhir, Inggris Raya telah mengalami
peningkatan kasus Covid-19 secara tajam terutama di Inggris Tenggara
yang mengarah pada peningkatan penyelidikan epidemiologis dan
virologis. Analisis data urutan genom virus mengidentifikasi sebagian
besar kasus milik klaster filologetik tunggal baru. Varian baru ini
didefinisikan oleh beberapa lonjakan mutasi protein (delesi 69–70, delesi
144, N501Y, A570D, D614G, P681H, T716I, S982A, D1118H) serta mutasi
di regio genomik lainnya (ECDC, 2020). Mutasi Covid-19 yang sedang
berlangsung di Inggris Raya ini disebut dengan VUI-202012/01 (“Varian
Under Investigation” (Varian Sedang Diselidiki) pertama pada Bulan
Desember 2020). Perubahan ini didefinisikan sebagai perubahan atau

21
mutasi pada rangkaian 17. Salah satu yang mutasi paling signifikan
adalah mutasi N501Y di dalam protein spike yang mana digunakan
oleh virus untuk mengikat reseptor ACE2 pada manusia. Perubahan ini
20
memungkinkan virus menjadi lebih infeksius dan lebih cepat menyebar di
antara masyarakat (Wise, 2020). Investigasi awal dari Inggris menunjukkan
peningkatan transmisi hingga 71% dari strain yang beredar sebelumnya
yaitu SARS-CoV-2, yang dapat berkontribusi 0,39–0,93 terhadap perkiraan
P

nilai R0 dari virus, dan pemantauan berkelanjutan terhadap situasi ini


sedang berlangsung (Nervtag, 2020).
AU

Mutasi virus dapat terjadi dengan cepat karena adanya seleksi alam,
perubahan acak genetik, serta gambaran epidemiologi yang baru. Akibat
dari perubahan faktor-faktor yang terjadi secara bersamaan inilah yang
seringkali menyebabkan kesulitan dalam membedakan perubahan dalam
mutasi tersebut, di mana yang krusial adalah apabila terjadi perubahan,
walaupun tunggal dapat mengubah gambaran infeksi maupun tingkat
pandemi (Grubaugh, 2020). Sebuah studi yang dilakukan oleh Korber, et al.,
(2020) menemukan bahwa varian SARS-CoV-2 dengan lonjakan protein
D614G, dengan cepat menjadi dominan di seluruh dunia. Meskipun begitu,
data klinis dan in vitro menunjukkan bahwa D614G dapat mengubah
fenotip virus, dampak mutasi pada transmisi, penyakit, dan vaksin dan
pengembangan terapeutik sebagian besar belum diketahui.

Perkembangan Terbaru, Covid-19, Penyakit Seribu Wajah 23


Mutasi pada virus RNA umumnya terjadi secara alami seiring dengan
terjadinya replikasi virus. Dengan demikian, semakin virus berkembang,
maka semakin cepat pula mutasi yang diperkirakan terjadi. Kasus di
Indonesia saat ini masih belum menunjukkan garis stabil, sehingga
diperkirakan replikasi virus (dan mutasi genetik virus) masih berlangsung
dengan intens. Dengan demikian, mengingat laju perubahan genetik
virus SARS-CoV-2 di Indonesia saat ini masih berlangsung dengan cepat,
maka dalam upaya penanganan dan pencegahan, perlu dipertimbangkan
sistem deteksi yang bersifat ‘lokal’dengan memperhatikan perubahan pada
sekuens target isolat virus lokal.

Apakah D614G membuat wabah lebih sulit dikendalikan?


Untuk menjawab pertanyaan ini, pertama-tama kita harus mengeksplorasi

21
bagaimana G614 menjadi genotip dominan dan apa dampaknya terhadap
transmisi. Ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa untuk SARS-
CoV-2, memiliki gejala infeksi yang minim namun hal inilah yang
20
menyebabkan tingginya angka penyebaran. Selama G614 menjadi
mayoritas varian global, di China di mana tadinya varian D614 masih
dominan, sekarang cenderung menurun, sedangkan di negara lain belum
diketahui dengan baik (Endo, et al., 2020).
P

Penelitian yang dilakukan oleh Van Dorp (2020) menemukan bahwa


tidak adanya bukti peningkatan protein D614G pada mutasi Covid-19
AU

seperti halnya yang terjadi di Inggris Raya. Penyelidikan terhadap sifat-


sifat varian baru saat ini sedang berlangsung sehingga belum muncul data
yang valid tentang gejala klinis yang muncul, tingkat kematian maupun
kelompok umur yang lebih rentan berisiko. Namun ditemukan pada
kasus-kasus dengan varian VUI 202012/01, sebagian besar dialami pada
pasien yang berusia kurang dari 60 tahun, rata-rata 41 tahun (kisaran 11-71
tahun). Hasil dari analisis ini menunjukkan hubungan yang kuat varian
strain baru dari virus Covid-19 dengan insiden peningkatan Covid-19 di
wilayah Kent /Inggris Tenggara (ECDC, 2020).

24 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


REINFEKSI COVID-19
Tiap negara memiliki strategi yang berbeda untuk mengendalikan
wabah Covid-19. Di China, karantina yang ketat dilakukan untuk semua
kasus yang terkonfirmasi. Kriteria yang digunakan untuk discharged
(dipulangkan) dari Rumah Sakit adalah: a) suhu normal selama lebih dari 3
hari, (b) tidak ada gejala pernapasan, (c) perbaikan lesi eksudatif akut pada
CT-Scan dada (d) RT-PCR dua kali menunjukkan hasil negatif untuk SARS-
CoV-2 RNA lebih dari 24 jam. Namun, terdapat laporan mengenai hasil
tes yang kembali positif pada pasien Covid-19 yang telah dipulangkan
dengan kriteria discharged di atas.
Laporan pada 25 Februari 2020 menunjukkan bahwa 14% pasien yang
dipulangkan dinyatakan kembali positif SARS-CoV-2 RNA di provinsi

21
Guangdong, China. pada 2 Februari 2020, seorang wanita penderita
Covid-19 kembali positif SARS-CoV-2 RNA selama karantina setelah
dipulangkan dari rumah sakit karena dua kali hasil negatif berturut-turut
pada 28 dan 30 Januari. Sebuah studi dari Rumah Sakit Zhongnan di
20
Universitas Wuhan menunjukkan bahwa empat pasien Covid-19 pasien
yang memenuhi kriteria untuk keluar dari rumah sakit menjadi positif
SARS-CoV-2 RNA setelah 5 sampai 13 hari dipulangkan. Sebuah studi juga
melaporkan 38 dari 262 pasien yang telah sembuh (14,5%) menjadi positif
P

SARS-CoV-2 RNA pada 10 Maret 2020, selama 14 hari karantina atau isolasi
lebih lanjut setelah dipulangkan dari Rumah Sakit.
AU

Mengapa beberapa pasien COVID-19 menjadi positif kembali?


Ada beberapa kemungkinan mengapa pasien sembuh dengan Covid-19
menjadi positif kembali untuk SARS-CoV-2 RNA: Pertama, RT-PCR
dari kedua swab mungkin negatif palsu pada saat pasien masih di
rumah sakit. Prosedur pengambilan sampel swab nasofaring, kualitas
tabung pengambilan sampel, suhu dan waktu penyimpanan sampel,
proses transportasi sampel, dan kualitas reagen deteksi (kit) dapat
menyebabkan hasil negatif palsu. Kedua, beberapa Covid-19 pasien tidak
sepenuhnya memenuhi kriteria pulang. Jangka waktu antara tes RT-PCR
dan tanggal pasien dipulangkan terlalu lama, dan tes tidak diulang tepat

Perkembangan Terbaru, Covid-19, Penyakit Seribu Wajah 25


sebelum dipulangkan sesuai dengan persyaratan pedoman diagnosis
dan pengobatan. Ketiga, hasil positif RNA virus mungkin berasal dari
virus yang "mati" atau fragmen genetik virus tanpa replikasi virus yang
aktif. Terakhir, viral clearance mungkin bervariasi dari pasien ke pasien
dengan kondisi yang ada. Misalnya, sebanyak 48% pasien Covid-19 pasien
memiliki penyakit komorbid (seperti hipertensi, diabetes, dll.), sebanyak
44,9% pasien yang mendapat terapi glukokortikoid, dan sebagian besar
pasien Covid-19 dengan kondisi kritis berusia lebih dari 50 tahun ke atas.
Semua ini dapat menunda viral clearance (Kang, 2020).

Apakah pasien yang kembali positif SARS-COV-2 menular?


Secara teoritis, Covid-19 pasien dengan replikasi virus yang aktif

21
dapat menularkan. Seperti yang sudah diketahui banyak orang, China
melakukan karantina yang sangat ketat, baik terhadap kasus suspek dan
pasien tanpa gejala. pada 13 pasien yang dipulangkan dengan tes ulang
dengan hasil positif RNA virus di provinsi Guangdong pada 25 Maret
20
2020, hasil menunjukkan tidak ada kasus positif baru dari 104 kontak
erat dengan pasien tersebut. Tidak ada satu anggota keluarga pun yang
terinfeksi oleh empat pasien Covid-19 dengan tes ulang positif SARS-CoV-2
RNA yang dikeluarkan dari Rumah Sakit Zhongnan di Universitas Wuhan,
P

menunjukkan bahwa pasien tersebut tidak infeksius. Para peneliti di Hong


Kong telah menindaklanjuti lebih dari 10 kasus Covid-19 yang telah pulih
AU

dan telah sembuh pasien dengan tes ulang positif SARS-CoV-2 dan gagal
mengisolasi virus SARS-CoV-2 melalui kultur sel di laboratorium P3
karena viral load yang rendah atau bahkan tidak ada virus hidup dari
sampel. Penelitian baru-baru ini menyatakankan bahwa SARS-CoV-2 dapat
bereplikasi secara aktif di jaringan saluran pernapasan bagian atas pada
tahap awal dengan tingkat infeksius yang tinggi. pada tahap selanjutnya,
viral load di saluran pernapasan bagian atas relatif rendah (SeyedAlinaghi,
et al., 2021).

26 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Mengapa terjadi reinfeksi SARS-CoV-2?
Respons imun host terhadap patogen dapat mencegah perkembangan
penyakit menjadi lebih parah atau terjadinya infeksi ulang oleh patogen
yang sama. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pasien Covid-19
yang telah sembuh memiliki antibodi terhadap SARS-CoV-2, namun
beberapa pasien memiliki tingkat antibodi neutralizing yang sangat
rendah. Ini meningkatkan kemungkinan untuk kemungkinan infeksi
ulang SARS-CoV-2 dan hal ini sangat tergantung dengan kadar dan fungsi
antibodi tersebut.
Seperti yang kita bahas di atas, pasien yang dipulangkan dengan
Covid-19 di China dan dinyatakan kembali positif SARS-CoV-2 RNA.
Sebuah penelitian pada hewan dapat membantu memahami situasi

21
ini. Mereka menggunakan monyet yang terinfeksi SARS-CoV-2 untuk
penelitian ini. Mereka menemukan replikasi virus di hidung, faring, paru-
paru, dan usus, pneumonia interstitial sedang pada 7 hari pasca-infeksi.
Setelah gejala berkurang dan antibodi spesifik diuji menunjukkan hasil
20
positif, mereka menguji kembali setengah dari monyet yang terinfeksi
dengan dosis SARS-CoV-2 yang sama. Mereka tidak mengamati viral
load di swab nasofaring dan anal serta replikasi virus di semua jaringan
primer pada 5 hari setelah diinfeksi kembali. Jadi, infeksi SARS-CoV-2
P

dapat melindungi dari paparan berikutnya (Callard, 2021).


Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa antibodi IgG memuncak
AU

pada bulan ke-4 setelah timbulnya SARS, antibodi IgG bertahan selama
16 bulan pada semua pasien. pada pasien dengan Covid-19, antibodi juga
terdeteksi dalam darah pasien setelah terinfeksi SARS-CoV-2, setidaknya 7
hari setelah gejala hilang. Antibodi neutralizing spesifik pada SARS-CoV-2
terdeteksi pada pasien dari hari ke 10 sampai 15 setelah timbulnya penyakit
dan menetap setelahnya. Titer antibodi ini di antara pasien ini berkorelasi
dengan antibodi spike-binding pada S1, receptor binding domain, dan pada S2,
meskipun titer antibodi bervariasi dari satu pasien ke pasien lainnya. Oleh
karena itu, diperlukan penelitian lebih lanjut pada hewan dan manusia
untuk jangka waktu yang lama–hingga mengesampingkan kemungkinan
untuk reinfeksi SARS-CoV-2.

Perkembangan Terbaru, Covid-19, Penyakit Seribu Wajah 27


LONG COVID-19
Pandemi Covid-19 merupakan ancaman serius yang belum pernah
terjadi sebelumnya terhadap sistem kesehatan sebuah negara. Jumlah
pasien yang semakin meningkat menyebabkan sistem kesehatan semakin
krusial dikarenakan jumlah total pasien yang terkena melebihi sebagian
besar kapasitas sistem perawatan kesehatan hampir di seluruh belahan
dunia, termasuk pasien-pasien yang membutuhkan bantuan ventilator.
Keadaan ini bila dibiarkan semakin lama, akan berpotensi memperburuk
konsekuensi jangka panjang infeksi Covid-19 (Heneka, 2020). Salah satu
studi melaporkan bahwa pasien yang terinfeksi memiliki durasi panjang
dengan hasil positif pada pemeriksaan RT-PCR, masing-masing 20 hari
dan 37 hari (20–37 hari) (Zhou, 2020).

21
Sebagian orang yang terkena Covid-19 pada dasarnya akan kembali
normal seperti sedia kala (sembuh sempurna). Namun sebagian lagi akan
mengalami gejala yang menetap dan persisten. Hal ini dapat disebut
dengan Long Covid-19. Durasi dan sekuel jangka panjang dari Long Covid
20
masih belum diketahui, patogenesis tidak dipahami, dan perawatan
masih belum diketahui pastinya. Kesulitan ini diperparah oleh kurangnya
kesadaran akan gejala, terutama di kalangan masyarakat. Juga, dispnea
yang terkait dengan Covid-19 dapat dikaitkan dengan masalah jantung
P

sehingga harus diselidiki etiologi yang mendasari, dan pasien yang


pulih harus diikuti perkembangannya untuk waktu lama, karena tingkat
AU

komplikasinya masih belum diketahui (Vasarmidi, 2020).


Juga telah digambarkan bahwa gejala-gejala seperti dyspnea,
anosmia, telah muncul pada pasien-pasien yang telah sembuh dari
sindrom pernapasan akut parah (SARS-CoV) pada tahun 2003, di mana
individu-individu tersebut mengalami gejala sisa yang persisten, mereka
adalah pasien-pasien yang tergolong usia muda yang memiliki gejala
sisa neurologis yang disebabkan oleh infeksi pada susunan saraf pusat
(SSP) (Yliskoski, 2020). Anosmia adalah gejala penting, karena dapat
mengindikasikan inokulasi intranasal SARS-CoV-2 ke dalam saluran saraf
penciuman yang menyebabkan neuroinvasi yang dapat mengakibatkan
penyakit neurodegeneratif kronis (Han, 2020).

28 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Gejala Klinis Long COVID-19
Gejala yang sering menyertai Long Covid-19 sendiri di antaranya adalah:
1. Fungsi Kardiovaskular
Ada bukti MRI kelainan jantung setelah infeksi Covid-19. Tanda dan
gejala gangguan fungsi kardiovaskular sering dilaporkan, terutama
pengurangan kapasitas latihan yang menurun.
2. Fungsi Paru
British Thoracic Society menjelaskan bahwa gejala seperti batuk
kronis dapat bertahan selama lebih dari 8 minggu, namun apabila
tidak ditemukan adanya suatu komplikasi ataupun suatu infeksi
seperti peradangan pada pleura, maka hanya diperlukan suatu
latihan untuk mengontrol pernapasan secara sederhana (British

3.
Thoracic Society, 2020).
Neurologi
21
Dari segi neurologis, Long Covid-19 dapat menimbulkan gejala-
gejala seperti sakit kepala, pusing, serta penurunan kognitif. Hal
20
ini disebabkan oleh kelelahan dan sesak napas, sehingga asupan
oksigen menurun. Sedangkan untuk keluhan seperti stroke iskemik,
ensefalitis, dan neuropati kranial dijelaskan jarang terjadi pada
pasien pasca Covid-19. Hingga panduan berbasis bukti telah muncul,
P

diharapkan agar pasien dapat diberikan tata laksana dan dirujuk


AU

apabila muncul dari gejala-gejala neurologis tersebut (Assaf, 2020).


4. Fungsi Ginjal
Ginjal sering terlibat dalam Covid-19 yang parah; efek jangka panjang
belum diketahui
5. Kekuatan dan fungsi otot
6. Kesehatan mental (Heneka, 2020)
Menghadapi hal ini, perlu dikerjakan hal-hal sebagai berikut.
1. Perlu dilakukannya penelitian berbasis kasus, baik kasus tunggal
atau sekelompok dengan berdasar subtipe virus.
2. Studi kohort dengan kontrol yang tepat. Studi kohort yang
direncanakan dengan baik dan berskala besar (pemeriksaan
berulang pasien dari waktu ke waktu pasca infeksi) untuk menilai

Perkembangan Terbaru, Covid-19, Penyakit Seribu Wajah 29


variabel usia, jenis kelamin, etnis, kondisi medis masa lalu, indeks
massa tubuh dan lainnya; daftar variabel ini akan berkembang dari
waktu ke waktu karena lebih banyak hal-hal yang disebabkan oleh
Long Covid-19.
3. Meningkatkan kesadaran akan Long Covid-19 pada masyarakat
umum: di mana tidak semua Long Covid-19 selalu menjadi penyakit
yang cepat mengalami pemulihan total, dan bahwa orang-orang dari
segala usia dapat mengalami Long Covid-19. Tujuannya adalah untuk
meningkatkan pelaporan gejala dan mendorong dukungan publik
terhadap langkah-langkah yang bertujuan menekan penularan
virus Corona.
4. Keterlibatan pasien. Keterlibatan kelompok pasien dalam
mengamati gejala yang awal muncul dan gejala lanjutan setelah
dinyatakan sembuh.

TERAPI COVID-19
21
20
Hingga 19 Agustus 2020, lebih dari 22,1 juta orang telah terinfeksi sindrom
pernapasan akut parah Coronavirus (SARS-CoV-2), dengan 781.000 orang
telah meninggal dunia. Berbagai metode pengobatan telah dilakukan,
dan berbagai metode terapi telah diuji-cobakan, namun belum ada yang
P

disepakati sebagai pilihan terapi yang efektif (Cytel, 2020). Obat-obat


AU

yang digunakan saat ini banyak yang sifatnya di luar label seperti anti-
interleukin dan klorokuin/dihidroklorokuin (Djulbegovic, 2020).
Hingga saat ini, tidak ada antivirus khusus yang disetujui untuk
Covid-19. Terapi plasma konvalesen (Convalescent Plasma (CP) telah
menunjukkan beberapa efek yang baik yang dapat digunakan untuk
mengobati Covid-19. China National Biotech Group melaporkan pada 13
Februari 2019, bahwa mereka telah mendeteksi titer tinggi antibodi yang
menetralisir virus sebagai akibat dari pemberian CP. Lebih dari 10 pasien
dengan manifestasi yang berat telah secara signifikan meningkatkan hasil
klinis 12-24 jam setelah transfusi CP, yang berarti ada harapan bagi umat
manusia dalam memerangi Covid-19. Pilihan pengobatan lain adalah
kortikosteroid. Pengobatan kombinasi kortikosteroid dosis rendah dan

30 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


antivirus dan interferon telah diajukan sebagai manajemen Covid-19
dengan gejala berat (Liu, 2019).

1. TERAPI CONVALESCENT PLASMA (CP)


Terapi CP adalah suatu bentuk imunisasi pasif di mana darah yang kaya
akan antibodi dikumpulkan dari pasien yang telah pulih dan kemudian
diproses untuk ditransfusikan ke pasien lain. Antibodi penetral adalah
faktor kunci dari terapi ini di mana antibodi tersebut berfungsi memblokir
masuknya virus ke dalam sel dengan mengikat virus, dan mengatur
sistem kekebalan untuk meningkatkan fagositosis dan menghilangkan
virus. Dengan cara ini terapi CP telah efektif dalam mengobati difteri dan
tetanus sejak akhir abad ke-19 (Leider, 2010).
Studi meta-analisis yang dilakukan oleh Sun (2020) yang berjudul

21
“Potential effective treatment for Covid-19: systematic review and meta-analysis
of the severe infectious disease with convalescent plasma therapy”, data dari 40
studi tentang pengobatan CP untuk penyakit menular, ditemukan bahwa
20
pengobatan CP dapat mengurangi risiko kematian dengan kejadian efek
samping yang rendah, membantu memproduksi antibodi, menunjukkan
penurunan viral load, dan mempersingkat durasi penyakit. Sebuah meta-
analisis dari 15 studi terkontrol menunjukkan bahwa ada tingkat kematian
P

yang secara signifikan lebih rendah pada kelompok yang diobati dengan
CP (gabungan OR = 0,32, 95% CI: 0,19–0,52, P < 0,001, I2 = 54%) dibandingkan
AU

pada kelompok kontrol.


Studi yang dilakukan Jenkins (2014) yang berjudul “The Effectiveness
of Convalescent Plasma and Hyperimmune Immunoglobulin for the Treatment
of Severe Acute Respiratory Infections of Viral Etiology: A Systematic Review
and Exploratory Meta-analysis” mengidentifikasi 32 studi tentang infeksi
virus Corona SARS dan influenza dengan manifestasi yang berat. Analisis
naratif terungkap bukti yang konsisten adanya penurunan mortalitas,
terutama bila plasma pemulihan diberikan lebih awal setelah gejala awal.
Meta-analisis post hoc menunjukkan penurunan yang signifikan secara
statistik tingkat kematian setelah pengobatan, dibandingkan dengan
plasebo atau tanpa terapi (rasio odds, 0,25; kepercayaan 95% interval,
.14 – .45; I2 = 0%).

Perkembangan Terbaru, Covid-19, Penyakit Seribu Wajah 31


2. ANTIKOAGULAN
Pada pasien Covid-19 terjadi peningkatan risiko koagulopati dan trombosis
meskipun telah diberikan antikoagulopati profilaksis yang sesuai. Temuan
menunjukkan bahwa pada Covid-19 terdapat kecenderungan peningkatan
kadar fibrinogen dan peningkatan kadar D-dimer, perpanjangan
waktu protrombin (PT), dan waktu tromboplastin teraktivasi, dan
trombositopenia. Seperti yang ditunjukkan oleh McBane, et al., koagulopati
terkait Covid-19 (CAC) berbeda dari koagulasi intravaskular diseminata
(DIC) karena pada CAC, kadar oksigen meningkat (tidak menurun seperti
pada DIC) dan jumlah PT dan trombosit hanya sedikit memanjang atau
menurun masing-masing. Pasien dengan Covid-19 berat, dibandingkan
dengan pasien dengan manifestasi ringan, lebih cenderung menunjukkan

21
peningkatan level D-dimer dan trombositopenia.
Studi metanalisis yang dilakukan oleh McBane, et al., menunjukkan
risiko trombosis yang lebih tinggi merupakan ciri utama penyakit
Coronavirus 2019 (Covid-19). Studi ini memasukkan 37 studi. Adanya
20
koagulopati dan trombotik sering terjadi di antara pasien dengan Covid-19
dan selanjutnya meningkat pada mereka yang gradasi klinisnya lebih
berat. Pemberian profilaksis antikoagulan untuk pencegahan trombosis,
harus melihat indikasi serta kontraindikasi dari pasien tersebut.
P

Kesimpulan dari studi meta-analisis yang dilakukan oleh Ho, Kam


menyarankan bahwa antikoagulasi dapat menurunkan mortalitas pada
AU

pasien Covid-19. Meskipun penuh keterbatasan karena Covid-19 ini masih


baru, penggunaan antikoagulan perlu dilakukan dan dimonitor lebih
ketat terkait hasil akhir dan komplikasinya.
Temuan mendukung hubungan pemberian antikoagulan dengan
mortalitas pada pasien Covid-19 juga dikemukakan oleh Kamel, 2020.
pada studinya menunjukkan bahwa Antikoagulan profilaksis dan
terapeutik dapat mengurangi kematian pada pasien Covid-19. Temuan
ini menunjukkan bahwa dosis terapeutik berkorelasi dengan hasil terapi
yang lebih baik dibandingkan dengan dosis profilaksis.

32 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


3. IL-6 INHIBITOR
Virus Corona bekerja mengaktifkan kekebalan tubuh yang berlebihan
dan berkontribusi dalam risiko terjadinya ARDS. Analisis yang dilakukan
pada otopsi pasien Covid-19 yang mengalami ARDS mengungkapkan
bahwa terjadi hiperaktivasi sel T sitotoksik dengan konsentrasi yang
cukup tinggi. Laporan yang menjelaskan profil imunologi dari pasien
kritis dengan Covid-19 mendapatkan bukti adanya hiperaktivasi kekebalan
humoral termasuk interleukin (IL)-6 sebagai mediator penting terjadinya
gagal napas, syok, dan disfungsi multiorgan (Xu, 2020).
Pada pasien dengan Covid-19, kadar IL-6 meningkat tajam. Studi
metaanalisis yang dilakukan oleh Cooms menunjukkan penghambatan
IL-6 dengan tocilizumab berkhasiat dan aman diberikan untuk menekan

21
peningkatan IL-6. Begitu pula hasil meta analisis yang dilakukan oleh
Kaye (2020) memberikan bukti positif untuk kemanjuran TCZ untuk
mengobati Covid-19 dengan gejala berat.
20
4. HIDROKLOROKUIN
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Mshakim (2020) yang berjudul:
Early hydroxychloroquine and azithromycin as combined therapy for Covid-19,
menunjukkan bahwa kombinasi hidroklorokuin dan azitromisin terbukti
P

efektif dalam membersihkan viral carriage nasopharyngeal dari SARS-CoV-2


pada pasien Covid-19 hanya dalam waktu 3–6 hari, peneliti telah melihat
AU

hasil yang lebih baik tiga hingga enam hari. Penurunan viral load yang
cepat adalah efek sinergis dari kombinasi antara hidroklorokuin dan
azitromisin. Kombinasi obat ini memiliki peran positif untuk membatasi
durasi virus yang nantinya dapat memperlambat epidemi. Penelitian ini
juga menunjukkan bahwa 26,3% sampel tetap positif untuk SARS-CoV-2
setelah 4 minggu (> 28 hari), menunjukkan replikasi virus yang
berkepanjangan pada kelompok pasien tersebut. Namun laporan-laporan
multisenter menunjukkan bahwa hidroklorokuin mempunyai efek yang
buruk pada jantung, sehingga sekarang direkomendasikan untuk tidak
digunakan lagi. Studi meta-analisis yang dilakukan oleh Siemienuk (2020)
menunjukkan bahwa glukokortikoid menurunkan mortalitas dan ventilasi
mekanis pada pasien dengan Covid-19 dibandingkan dengan perawatan

Perkembangan Terbaru, Covid-19, Penyakit Seribu Wajah 33


standar, sehingga korstikosteroid mempunyai efek baik pada pemulihan
pasien-pasien Covid-19.

5. PROBIOTIK PADA Covid-19


Dari meta-analisis cochrane dan beberapa penelitian, probiotik menurunkan
insiden dan durasi dari infeksi saluran napas akut viral dan menurunan
kebutuhan regimen antibiotik pada infeksi napas akut bakterial.
Mekanisme utama masih kompleks dan belum diketahui sepenuhnya.
Mekanisme yang rasional adalah adanya efek anti-inflamasi dan
immunomodulator dari probiotik. Efek anti-inflamasi dari L. rhamnosus,
B. lactis, dan B. longum, akan meningkatkan produksi IL-10 dan penurunan
sitokin proinflamasi IL-1 dan IL-6. Lactobacilli (L. gasseri), diketahui mampu

21
meningkatkan sekresi IFN- dan IL-12 yang mana sitokin ini mengubah
sel T naif atau memori ke arah respons Th1 dan berfungsi meningkatkan
kekebalan terhadap infeksi dan penyakit lain.
Diketahui pula bahwa infeksi virus pada saluran pernapasan
20
menyebabkan gangguan pada mikrobiota usus (Dhar dan Mohanty,
2020). pada 8 Mei 2020, Baud, et al., (2020), membuat daftar probiotik
terpenting yang dapat dikaitkan dengan penurunan patogenisitas Covid-
19, di mana meliputi probiotik L. casei, L. gasseri, B. longum, B. bifidum, L.
P

rhamnosus, L. plantarum, B. breve, Pediococcus pentosaceus, dan Leuconostoc


mesenteroides. Semua probiotik ini telah ditambahkan ke beberapa produk
AU

seperti minuman fermentasi (Danone), Tribion harmonis (Merck), Shirota,


Morinaga, dan Medipharm (Baud, et al., 2020).
Sebuah studi baru-baru ini yang dilakukan di China mengonfirmasi
bahwa infeksi Covid-19 memengaruhi keseimbangan mikrobiota alami di
usus manusia berdasarkan pengamatan penurunan jumlah Bifidobacterium
spp. dan Lactobacillus spp. pada pasien yang terinfeksi Covid-19 (Xu, et al.,
2020a). Dalam studi terbaru lainnya, dilaporkan bahwa proporsi pasien
dengan Covid-19 yang menderita diare terkait antibiotik dapat mencapai
36% (Mak, et al., 2020). Studi ini menunjukkan kebutuhan mendesak untuk
mendukung keseimbangan mikrobiota pada pasien dengan Covid-19
dengan menggunakan beberapa probiotik (Mak, et al., 2020, Xu, et al., 2020).

34 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Dalam penelitian retrospektif lain yang diterbitkan baru-baru ini dari
provinsi Zhejiang, China, ditemukan bahwa sebagian besar pasien dengan
gejala yang relatif ringan telah menerima probiotik bersama dengan
protokol pengobatan yang ditetapkan, yang termasuk inhalasi interferon-
alfa, lopinavir, ritonavir, dan arbidol (Xu, et al., 2020b). Covid-19 juga
telah dilaporkan dapat menyebabkan hipoksemia parah dan perubahan
keseimbangan mikroorganisme usus. Di sisi lain, penurunan probiotik
yang signifikan (Bifidobacterium spp., Lactobacillus spp., dan Eubacterium
spp.) ditemukan secara signifikan meningkatkan jumlah patogen (seperti
Corynebacterium spp., Actinobacteria spp., dan Ruthenibacterium spp.) (Yu,
et al., 2020). Ceccarelli, et al., (2020) melaporkan bahwa Covid-19 dapat
menyebabkan gangguan pada lambung dan usus manusia, namun tidak
ada bukti ilmiah tentang peran Covid-19 dalam gangguan flora mikroba

21
inang. Beberapa probiotik yang termasuk dalam genus Lactobacillus dan
Bifidobacterium digunakan untuk mengendalikan gangguan keseimbangan
normal flora gastrointestinal yang disebabkan oleh sindrom pernapasan
20
akut Coronavirus 2 (Sundararaman, et al., 2020).
Mengurangi badai sitokin dengan menggunakan probiotik didukung
cukup bukti ilmiah. Badai sitokin ini dapat merusak paru-paru, saluran
pencernaan, otak, sistem kardiovaskular, hati, ginjal, mikrosirkulasi,
P

dan mata (Bhaskar, et al., 2020). Penelitian ekstensif menunjukkan


bahwa probiotik memiliki kemampuan untuk mengatur sel kekebalan
AU

fungsional dan mukosa serta sel epitel di saluran usus manusia. Probiotik
menggunakan peran fungsional dalam mencapai dan mempertahankan
keseimbangan yang tepat antara mekanisme perlindungan yang alami
(Yan dan Polk, 2011). Menurut Yan dan Polk (2011), pengaturan respons
imun oleh probiotik melalui beberapa interaksi biologis sebagai berikut:
• Interaksi langsung dengan sel epitel di saluran usus
• Interaksi dengan sel dendritik
• Interaksi dengan sel epitel terkait folikel
• Interaksi dengan makrofag
• Interaksi dengan limfosit T dan B.
• Interaksi dengan ekspresi gen
• Interaksi dengan jalur pensinyalan (Yan dan Polk, 2011)

Perkembangan Terbaru, Covid-19, Penyakit Seribu Wajah 35


6. Penggunaan Kolkisin pada Covid-19
Saat ini terdapat setidaknya 10 RCT yang sedang berjalan untuk
membuktikan efektivitas kolkisin terhadap Covid-19. Potensi kerja kolkisin
pada Covid-19, melalui mekanisme kerja sebagai berikut:
• Menghambat ekspresi E-selectin dan L-selectin sehingga mencegah
perlekatan netrofil di jaringan
• Mengubah struktur sitoskeleton netrofil sehingga mengganggu
proses perpindahan netrofil
• Menghambat NLRP3 inflamasi sehingga mempunyai pengaruh
menghambat cytokine storm
• Menghambat netrofil elastase dan mencegah aktivasi platelet dan
kaskade trombus embolus
• Mencegah agregasi platelet

21
Lopes et. al, dalam studinya membandingkan pemberian kolkisin
sebagai terapi ajuvan Covid-19 dengan grup yang hanya dengan terapi
standar. Didapatkan bahwa pemberian kolkisin:
20
• Menurunkan kebutuhan penggunaan oksigen
• Menurunkan lama rawat
• Menurunkan nilai CRP
P

Saat ini kolkisin sedang diteliti lebih lanjut dalam RECOVERY Trial
(clinical trial terbesar di dunia dengan melibatkan 18.000 pasien di UK).
AU

Kolkisin adalah alkaloid trisiklik yang diekstrak dari tanaman Colchicum


autumnale. Kolkisin bertindak sebagai penghambat kuat polimerisasi
tubulin. Mekanisme yang paling banyak dipelajari adalah afinitas tinggi
kolkisin untuk mengikat subunit β-tubulin untuk mencegahnya berkumpul
dan dengan demikian memblokir polimerisasi mikrotubulus.
Baru-baru ini, Gandolfini, et al., menunjukkan kemungkinan efek
terapi kolkisin (120 mg) pada wanita berusia 52 tahun yang menderita
Covid-19 selama 8 bulan setelah transplantasi ginjal. Pasien menerima
terapi antivirus ditambah hydroxychloroquine. Setelah kondisi pernapasan
memburuk secara progresif yang membutuhkan ventilasi non-invasif
dan dipertimbangkan untuk intubasi, terapi antivirus diakhiri, dan
pasien diberi kolkisin (1 mg pada hari ke-8, dan 0,5 mg/hari setelahnya)

36 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


untuk mengurangi peradangan karena tidak tersedianya anti-IL-6,
tocilizumab.
Meskipun ada kekhawatiran bahwa obat immunosupresan dapat
meningkatkan risiko komplikasi pada pasien yang terinfeksi, ada harapan
bahwa sifat anti-inflamasi obat ini dapat mengurangi cedera paru. Infeksi
Covid-19 dapat menimbulkan apa yang disebut “badai sitokin” (yaitu
sindrom aktivasi makrofag yang berlebihan). Dalam situasi seperti itu, ada
pelepasan berbagai sitokin secara masif. Oleh karena itu, beberapa obat
imunosupresif biologis yang digunakan oleh ahli reumatologi mungkin
efektif dalam mengobati infeksi Covid-19 yang serius.
Dalam hal ini, dalam keseimbangan risiko-manfaat dan efektivitas
biaya, pemberian kolkisin kepada pasien sehat atau mereka yang
berisiko mengalami komplikasi ARDS harus dievaluasi. Manfaatnya

21
melebihi risiko penggunaannya. Oleh karena itu, dalam situasi darurat
yang disebabkan oleh pandemi saat ini, kolkisin menjadi penting untuk
dipertimbangkan.
20
VAKSINASI
Vaksin menjadi pilihan yang rasional dan sangat penting. Sejarah
P

membuktikan bahwa untuk pandemi virus, vaksin adalah pilihan yang


berhasil menekan sampai batas terendah. Penyakit cacar, campak jerman,
AU

polio, dan lain-lain telah berhasil dieradikasi dengan menggunakan


vaksin. Namun HIV/AIDS adalah RNA virus yang vaksinnya belum
ditemukan secara efektif. HIV ini telah menelan korban kematian sekitar
42 juta jiwa dan belum ada vaksin yang efektif hingga kini. Pertanyaan
yang sukar dijawab adalah apakah Covid-19 ini akan berperilaku seperti
HIV atau tidak, karena konsekuensi terhadap vaksin akan sangat berbeda
bila kelak ternyata mirip dengan HIV (WHO, 2020).

Vaksin yang telah diujicobakan saat ini, apakah protektif?


Telah ditemukan varian baru memiliki mutasi pada protein spike yang
ditargetkan oleh tiga vaksin utama saat ini. Seiring waktu, karena lebih
banyak mutasi terjadi, vaksin mungkin perlu diubah. Ini telah terjadi

Perkembangan Terbaru, Covid-19, Penyakit Seribu Wajah 37


dengan flu musiman, yang bermutasi setiap tahun, dan vaksinnya juga
mengalami perubahan sesuai mutasi yang ada. Virus SARS-CoV-2 tidak
bermutasi secepat virus flu, dan vaksin yang sejauh ini terbukti efektif
dalam uji coba. Salah satu yang mengenai dampak adanya perubahan
varian ini adalah pada pemeriksaan PCR. Jadi mesin PCR salah satunya
mendeteksi gen S (Spike), jika PCR menargetkan gen S maka akan ada
gangguan akurasi bila telah terjadi perubahan pada gen spike-nya.
Apakah varian baru lebih berbahaya? Mutasi yang membuat virus
lebih menular tidak serta merta menjadikannya lebih berbahaya. Sejumlah
varian telah terdeteksi di Inggris Raya. Misalnya, varian D614G diyakini
telah meningkatkan kemampuan penularan virus dan sekarang menjadi
jenis yang paling umum beredar di Inggris, meskipun tampaknya tidak
menyebabkan penyakit yang lebih parah.

21
Vaksinasi merupakan cara buatan untuk menciptakan herd immunity,
di mana dengan 60% lebih anggota populasi telah memiliki kekebalan,
akan melindungi sisa populasi lainnya. Untuk menuju kondisi ini,
20
vaksinasi merupakan pilihan utama. Sejarah pandemi yang sudah ribuan
tahun membuktikan bahwa bila penyebab pandeminya adalah bakteri,
antibiotika adalah senjata pamungkasnya. Namun bila penyebabnya adalah
virus, vaksin adalah pilihan yang tepat, meskipun ada beberapa virus
P

yang tidak bisa di atasi dengan vaksin, seperti HIV dan Dengue virus.
Dalam konteks Covid-19 ini, WHO telah memberi petunjuk untuk
AU

dilakukan penelitian vaksin yang dipercepat mengingat pandemi telah


tersebar luas dengan angka kesakitan dan kematian yang terus bertambah,
serta ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini sudah mampu untuk
melakukan percepatan produksi vaksin.
Isu terpenting terkait vaksin adalah keamanan. Vaksin yang
diberikan harus mempunyai keamanan yang tinggi mengingat akan
diberikan kepada manusia dengan jumlah yang sangat besar dan
mempunyai dampak jangka panjang. Vaksin yang aman harus melalui
berbagai tahap uji coba sebelum diberikan kepada manusia. Mendapat
persetujuan dari WHO, harus dievaluasi dan diberikan lisensi oleh BPOM,
setelah pemberian vaksin dilakukan pemantauan berkala secara cermat
dan terus-menerus. pada kondisi pandemi, BPOM berhak memberikan

38 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


keterangan Emergency Use Authorization (EUA) terhadap vaksin dengan
memperhatikan berbagai penilaian terhadap efikasi, keamanan, dan
berbagai faktor krusial lainnya.

PERKEMBANGAN VAKSIN DI INDONESIA


Saat ini di Indonesia telah dilakukan uji klinik fase 3 vaksin Covid-19 yang
merupakan kerja sama antara Sinovac dari China dengan Bio Farma dari
Indonesia. Dilakukan oleh Tim Peneliti yang anggotanya para peneliti
senior dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung. Target
Uji Klinis selesai pada Januari 2021 dengan hasil uji klinis vaksin Sinovac
dalam bentuk laporan sementara, akan dievaluasi bulan Januari 2021
oleh BPOM Indonesia. Hasil laporan akan menjadi pertimbangan BPOM

21
untuk pemberian emergency use authorization (UEA), kemungkinan di akhir
Januari dan akan menentukan apakah vaksin Sinovac bisa digunakan di
Indonesia atau tidak.
Para peneliti dalam negeri juga telah mengembangkan vaksin merah
20
putih, mengambil nama sesuai bendera Indonesia. Ada 6 jenis vaksin
merah putih yang dikembangkan di Indonesia dengan platform yang
berbeda-beda dengan harapan mencari yang paling efektif dan protektif.
Vaksin merah putih ini diharapkan selesai akhir tahun 2021 sehingga
P

tahun 2022 bisa dikembangkan produksi masalnya oleh Biofarma dan


AU

dipakai di dalam negeri.


Di dunia saat ini ada beberapa vaksin yang dikembangkan, yaitu:
1. Gamaleya Research Institute (Rusia)
• Vaksin kombinasi adenoviruses, Ad5 dan Ad26
• Uji klinis fase 3 di Rusia, Belarus, Uni Emirat Arab (UEA),
Venezuela, dan India
• Approved early use di Rusia namun belum ada hasil dari uji
klinis fase 3
2. Vector Institute (Rusia)
• EpiVacCorona (protein virus)
• Diberikan izin approved early use di Rusia sebelum dilakukan uji
klinis fase 3

Perkembangan Terbaru, Covid-19, Penyakit Seribu Wajah 39


3. CanSino Biologics (China)
• Vaksin adenovirus Ad5
• Uji klinis fase 3 dilakukan di Saudia Arabia, Pakistan, Rusia
• Telah disetujui untuk limited use di China
4. Wuhan Institute of Biological Products (Sinopharm/China)
• Vaksin Inactivated Virus
• Uji klinis fase 3 dilakukan di Uni Emirat Arab (UAE), Peru, dan
Morocco
• Emergency Use di Uni Emirat Arab (UAE)
5. Beijing Institute of Biological Products (Sinopharm/China)
• Vaksin Inactivated Virus
• Uji klinis fase 3 dilakukan di Uniemirat Arab (UAE) dan

6.
Argentina

21
• Emergency Use di Uni Emirat Arab (UAE)
Sinovac Biotech (China)
20
• Vaksin Inactivated Virus
• Uji klinis fase 3 di Brazil, Indonesia, Chili, Bangladesh, dan
Turki
• Emergency Use di China
P
AU

RINGKASAN
Covid-19 adalah penyakit baru, dinamis, dan terus mengalami
perkembangan dalam banyak aspek. Patogenesisnya mulai terkuak dengan
baik sehingga pemahaman gejala dan tampilan klinisnya yang semula
"aneh" akhirnya bisa dipahami dengan baik. Reseptor ACE2 adalah kunci
utama interaksi virus dengan sel manusia. Reseptor ACE2 terekspresi di
hampir seluruh organ tubuh manusia.
Transmisinya juga makin jelas bahwa "droplet" adalah cara utamanya,
disusul "air borne", kemudian lewat kontak langsung dan darah. Manifestasi
klinisnya sangat variatif dan tergantung organ yang mengalami defek
dan mengalami serangan. Sehingga tampilan klinisnya tersebar mulai

40 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


dari kulit, mata, saraf pusat, paru, muskuloskeletal, sistemik, gagal organ,
dan depresi napas berat. Terapi definitif belum didapatkan, sehingga
terapi yang ada berupa simtomatik dan terapi sesuai tampilan serta
permasalahan klinis. Vaksin adalah harapan utama. Berbagai jenis vaksin
telah diujicobakan dalam percobaan klinis skala luas dan segera menjadi
program prevensi secara massal.
Didapatkan banyak masalah yang tersisa bila seseorang terkena
serangan Covid-19, antara lain mutasi virus yang cepat, reinfeksi, gejala sisa
jangka panjang di banyak organ tubuh, berbagai metode terapi, probiotik,
antivirus spesifik, dan vaksin. Ke depan, perkembangan pengetahuan
Covid-19 dengan segala dampaknya akan mengalami kemajuan yang lebih
signifikan.

DAFTAR PUSTAKA 21
Abdullahi, A.M. 2020. Virology and epidemiology of the 2019 Coronavirus disease
20
(Covid-19). J Comm Med Pub Health Rep, 1(1):1-8.
Abdullahi, A.M., Sarmast, S.T. 2020. Coronavirus disease of 2019 (Covid-19):
virology, phatogensis, clinical presentastion, diagnosis and treatment.
Journal of Diaghnosis and Case Report, 1(2):1-6.
P

Amico, F.D., Baumgart, D.C., Danese, S., Peyrin-biroulet, L. 2020. Diarrhea


During Covid-19 Infection: Pathogenesis, Epidemiology, Prevention and
AU

Management. Clinical Gastroenterology and Hepatology, (May) 18: 1663-


1672.
Astuti, I., Ysrafil. 2020. Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-
CoV-2): An overview of viral structure and host response. Diabetes & Metabolic
Syndrome: Clinical Research & Reviews, 14(Issue 4):407-412.
Assaf, G., Davis, H., McCorkell, L., et al. 2020. An analysis of the prolonged Covid-
19 symptoms survey by Patient-Led Research Team. Patient Led Research.
Available from: https://patientresearchcovid19.com/.
British Thoracic Society. 2020. British Thoracic Society guidance on respiratory
follow up of patients with a clinico-radiological diagnosis of Covid-19
pneumonia. Available from: https://www.brit-thoracic.org.uk/document-
library/quality-improvement/Covid-19/resp-follow-up-guidance-post-covid-
pneumonia/.

Perkembangan Terbaru, Covid-19, Penyakit Seribu Wajah 41


Callard, Felicity, and Elisa Perego. 2021. How and why patients made long
covid. Social Science & Medicine, 268:113426. 10.1016/j.socscimed.2020.113426.
Accessed 8 Jan. 2021
Chan, J.F.W., Kok, K.H., Zhu, Z., Chu, H., To, K.K.W., et al. 2020. Genomic
characterization of the 2019 novel human-pathogenic coronavirus isolated
from a patient with atypical pneumonia after visiting Wuhan. Emerging
Microbes and Infections, 9:221-236.
Chan, K.S., Lai, S.T., Chu, C.M., Tsui, E., Tam, C.Y., et al. 2003. Treatment of
severe acute respiratory syndrome with lopinavir/ritonavir: A multicentre
retrospective matched cohort study. Hong Kong Medical Journal, 9:399-406.
Cheng, Z.J., Shan, J. 2020. 2019-Novel coronavirus : where we are and what we
know. Infection, 48(2):155-163.
Coomes, E.A., Haghbayan, H. 2020. Interleukin-6 in Covid-19: A Systematic Review
and Meta-Analysis. Rev Med Virol, 30(6):1-9.

https://www.covid19-trials.org.
21
Cytel. 2020. Global Coronavirus Covid-19 Clinical Trial Tracker. Available from:

Dawood, A.A. 2020. Mutated Covid-19, May Foretells Mankind in a Great Risk in
the Future. New Microbes and New Infections, 35:100673. https://doi.org/10.1016/j.
20
nmni.2020.100673
Djulbegovic, B., Guyatt, G. 2020. Evidence-based medicine in times of crisis. J Clin
Epidemiol, 126: 164–166. doi: 10.1016/j.jclinepi.2020.07.002.
Endo, A., Abbott, S., Kucharski, A.J. and Funk, S. Centre for the Mathematical
P

Modelling of Infectious Diseases Covid-19 Working Group (2020). Estimating


the overdispersion in Covid-19 transmission using outbreak sizes outside
AU

China. Wellcome Open Res, 5:67.


European Centre for Disease Prevention and Control. 2020. Rapid increase of a
SARS-CoV-2 variant with multiple spike protein mutations observed in the
United Kingdom – 20 December 2020. ECDC: Stockholm; 2020.
European Centre for Disease Prevention and Control (ECDC). 2020. Reinfection
with SARS-CoV-2: Considerations for public health response. Available from:
ecdc.europa.eu.
Grubaugh, Nathan, D., et al. 2020 Making sense of mutation: what D614G means for
the Covid-19 pandemic remains unclear. Cell, 182(4):794–795. Available from:
www.cell.com/cell/pdf/S0092-8674(20)30817-5.pdf. 10.1016/j.cell.2020.06.040.
Gutiérrez-ocampo, E., Villamizar-peña, R., Holguin-rivera, Y., Franco-paredes, C.,
Henao-martinez, A. F., et al. 2020. Clinical, laboratory and imaging features

42 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


of Covid-19 : A systematic review and meta-analysis. Travel Medicine and
Infectious Disease, 34:101623.
Han, A.Y. Mukdad, L. Long, J.L. Lopez, I.A. 2020. Anosmia in Covid-19: Mechanisms
and significance. Chem. Sens,45:423–428.
Heneka, Michael, T., et al. 2020. Immediate and long-term consequences of Covid-
19 infections for the development of neurological disease. Alzheimer’s Research
& Therapy, 12(1):69. doi: 10.1186/s13195-020-00640-3.+
Heidari, F., Karimi, E., Firouzifar, M., Khamushian, P., Ansari, R., et al. 2020.
Anosmia as a prominent symptom of Covid-19 infection. Rhinology,
58:302 303.
Ho, Kam Sing, et al. 2020. Anticoagulation and Covid-19: a meta-analysis. Chest,
158(4):A2205. 10.1016/j.chest.2020.08.1885. Accessed 8 Jan. 2021.
Holshue, M.L., De Bolt, C., Lindquist, S., Lofy, K.H., Wiesman, J., et al. 2020. First
case of 2019 novel coronavirus in the United States. New England Journal of
Medicine, 382:929–936.

21
Jebril, N. 2020. “World Health Organization declared a pandemic public health
menace : A World Health Organization declared a pandemic public health
menace : A systematic review of the coronavirus disease 2019 “COVID - 19
20
”. International Journal of Psychosocial Rehabilitation, 24(9):2784-2795.
Kamel, Ahmed, M., et al. 2020. Anticoagulation Outcomes in Hospitalized Covid-19
Patients: A Systematic Review and Meta-analysis of Case-control and Cohort
Studies. Reviews in Medical Virology, (10):e2180. doi: 10.1002/rmv.2180. Accessed
P

8 Jan. 2021.
Kang, Hanyujie, et al. 2020. Retest Positive for SARS-CoV-2 RNA of ‘Recovered’
AU

Patients with COVID-19: Persistence, Sampling Issues, or Re-infection?.


Journal of Medical Virology, 92(11):2263–2265. 10.1002/jmv.26114. Accessed 6
Oct. 2020.
Kementerian Kesehatan RI. 2020. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian
Coronavirus Disease 2019 (Covid-19).
Korber, B., Fischer, W.M., Gnanakaran, S., Yoon, H., Theiler, J., Abfalterer, W.,
Hengartner, N., Giorgi, E.E., Bhattacharya, T., Foley, B., et al. 2020. Tracking
changes in SARS-CoV-2 Spike: evidence that D614G increases infectivity of
the Covid-19 virus. Cell, 182(Issue 4):812–827.
Leider, J.P., Brunker, P.A., Ness, P.M. 2010. Convalescent transfusion for pandemic
influenza:preparing blood banks for a new plasma product. Transfusion,
50(6):1384–98

Perkembangan Terbaru, Covid-19, Penyakit Seribu Wajah 43


Liu, Y., Li, J., Feng, Y. 2020. Critical care response to a hospital outbreak of the
2019- nCoV infection in Shenzhen, China. Crit Care, 24:56. Available from:
https://ccforum.biomedcentral.com/articles/10.1186/s13054-020-2786-.
McBane, Robert, D., et al. 2020. Anticoagulation in Covid-19: A Systematic
Review, Meta-Analysis, and Rapid Guidance From Mayo Clinic. Mayo Clinic
Proceedings. 95(11):2467–2486. 10.1016/j.mayocp.2020.08.030.
NERVTAG UK. Meeting on SARS-CoV-2 variant under investigation VUI202012/01.
https://khub.net/documents/135939561/338928724/SARSCoV2±variant±u
nder±investigation%2C±meeting±minutes.pdf/962e866b-161f2fd5-1030-
32b6ab467896?t=1608470511452 (Accessed 20 December 2020).
Pachetti, M., Marini, B., Benedetti, F., Giudici, F., Mauro, E., Storici, P., Masciovecchio,
C., Angeletti, S., Ciccozzi, M., Gallo, R.C., Zella, D., Ippodrino, R. 2020.
Emerging SARS-CoV-2 mutation hot spots include a novel RNA-dependent-
RNA polymerase variant. Journal of Translational Medicine, 18:179.

MERS. Eur. J. Immunol, 50:308–316.


21
Park, M., Thwaites, R.S., Openshaw, P.J.M. 2020. Covid-19: Lessons from SARS and

Puntmann, V.O., et al. 2020. Outcomes of Cardiovascular Magnetic Resonance


Imaging in Patients Recently Recovered From Coronavirus Disease 2019
20
(Covid-19). JAMA Cardiol 5(11):1265-1273. doi:10.1001/jamacardio.2020.3557.
Rothan, H.A., Byrareddy, S.N. 2020. The epidemiology and pathogenesis of
coronavirus-19 out break. Journal of Autoimmunity, 109,102433.
SeyedAlinaghi, SeyedAhmad, et al. 2020. Reinfection Risk of Novel Coronavirus
P

(Covid-19): A Systematic review of Current Evidence. World Journal of


Virology, 9(5):79–90, 10.5501/wjv.v9.i5.79. Accessed 8 Jan 2021.
AU

Shi, H., Han, X., Jiang, N., Cao, Y., Alwalid, O., et al. 2020. Radiological findings
from 81 patients with Covid-19 pneumonia in Wuhan, China: a descriptive
study. The Lancet Infectious Diseases, 20:425-434. Available from: https://doi.
org/10.1016/ S1473-3099(20)30086-4.
Siemieniuk, Reed Ac, et al. 2020. Drug Treatments for Covid-19: Living Systematic
Review and Network Meta-Analysis. BMJ (Clinical Research Ed.), 370:m2980.
Available from: pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/32732190/, 10.1136/bmj.m2980.
Accessed 28 Aug 2020.
Spaan, W., Cavanagh, W., Cavanagh, D., Horzinek, M.C. 1988. Coronaviruses:
Structure and Genome Expression. J. Gen. Virol, 69:2939-2952.
Sun, M., Xu, Y., He, H. et al. 2020. A Potentially effective treatment for COVID-19:
A Systematic review and meta-analysis of Convalescent Plasma Therapy in

44 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


treating severe infectious disease. International Journal of Infectious Diseases.
98(9): 334–346
Tahir, F., Bin Arif, T., Ahmed, J., et al. 2020. Cardiac Manifestations of Coronavirus
Disease 2019 (Covid-19): A Comprehensive Review. Cureus, 12(5):e8021. DOI
10.7759/cureus.8021
Tillett, R.L., Sevinsky, R.J., Hartley, P.D., Kerwin, H., Crawford, N., Gorzalski A,.
et al. 2021. Genomic evidence for reinfection with SARS-CoV-2: a case study.
The Lancet: Infectious Disease. 21(1): 52-58
Udugama, B., Kadhiresan, P., Kozlowski, H. N., Malekjahani A., Osborne M., Li, V.
Y. C., Chen, H., Mubareka, S., Gubbay, J.B., and Chan, W.C.W. 2020. Diagnosing
Covid-19: The Disease and Tools for Detection. ACS Nano,14(4):3822-3835.
DOI: 10.1021/acsnano.0c02624.
Van Dorp, L., Richard, D., Tan, C.C.S., Shaw, L.P., Acman, M., Balloux, F. 2020. No
evidence for increased transmissibility from recurrent mutations in SARS-

21
CoV-2. Nature communication, 11(1):1-8. doi: 10.1101/2020.05.21.108506
Vasarmidi, E., Tsitoura, E., Spandidos, D.A., Tzanakis, N., Antoniou, K.M. 2020.
Pulmonary fibrosis in the aftermath of the Covid-19 era. Exp. Ther. Med.
20:2557–2560.
20
WHO, 2020. Modes of transmission of virus causing Covid-19: implications for
IPC precaution recommendations. Scientific Brief. WHO Int.
WHO, 2020. Weekly epidemiological update - 22 December 2020. WHO,
International, download 24 Desember 2020.
P

Wise, J. 2020. Covid-19: New coronavirus variant is identified in UK. BMJ, 371.
Available from: https://www.bmj.com/content/371/bmj.m4857
AU

Wrapp, D., Wang, N., Corbett, K.S., Goldsmith, J.A., Hsieh, C., et al. 2020. Cryo-
EM structure of the 2019-nCoV spike in the prefusion conformation. Science,
367(Isuue:6483):1260-1263.
Wu, F., Zhao, S., Yu, B., Chen, Y., Wang, W., et al. 2020. Complete genome
characterisation of a novel coronavirus associated with severe human
respiratory disease in Wuhan 2020. Biorxiv. Available from: https://www.
biorxiv.org/content/10.1101/2020.01.24.919183v2.
Xiao, F., Tang, M., Zheng, X., Liu, Y., Li, X., et al. 2020. Evidence for Gastrointestinal
Infection of SARS-CoV-2. Gastroenterology, 158:1831-1833.
Xu, Z., Shi, L., Wang, Y., et al. 2020. Pathological findings of Covid-19 associated
with acute respiratory distress syndrome. Lancet Respir Med,8(4):420-422.

Perkembangan Terbaru, Covid-19, Penyakit Seribu Wajah 45


Yan, R., Zhang, Y., Li, Y., Xia, L., Guo, Y., Zhou Q. et al. 2020. Structural basis for
the recognition of SARS- CoV-2 by full-length human ACE2. Science. 367:
1444-1448.
Ylikoski, J., Markkanen, M., Mäkitie, A. 2020. Pathophysiology of the Covid-19–
Entry to the CNS through the Nose. Acta Oto-Laryngologica, 140:886–889.
Yoshikawa, T., Hill, T., Li, K., Peters, C.J., Tseng, C.T.K. 2009. Severe Acute
Respiratory Syndrome (SARS) Coronavirus- Induced Lung Epithe32al
Cytokines Exacerbate SARS Pathogenesis by Modulating Intrinsic Functions
of Monocyte-Derived Macrophages and Dendritic Cells. Journal of Virology,
83:3039-3048.
Zhang, T., et al. 2020. Probable Pangolin Origin of SARS-CoV-2 Associated with
the Covid-19 Outbreak. Current Biology, 30:1346-1351.
Zheng, Q., Lu, Y., Lure, F., Jaeger, S., Lu, P. 2020. Clinical and radiological features
of novel coronavirus pneumonia. Journal of X-Ray Science and Technology,
28:391–404.

21
Zhou, F., Yu, T., Du, R., Fan, G., Liu, Y., Liu, Z., Xiang, J., Wang, Y., Song, B.,
Gu, X., et al. 2020. Clinical course and risk factors for mortality of adult
inpatients with Covid-19 in Wuhan, China: A retrospective cohort study.
20
Lancet, 395:1054–1062.
Zhou, P., Yang, X.L., Wang, X.G., Hu, B., Zhang, L., et al. 2020. A pneumonia
outbreak associated with a new coronavirus of probable bat origin. Nature,
579:270-273. Available from: https://doi. org/10.1038/s41586-020-2012-7.
P

Zou, X., Chen, K., Zou, J., Han, P., Hao, J., et al. 2020. Single-cell RNA-seq data
analysis on the receptor ACE2 expression reveals the potential risk of
AU

different human organs vulnerable to 2019-nCoV infection. Frontiers of


Medicine, 14:185-192.

46 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


TINJAUAN EPIDEMOLOGI
MANIFESTASI KLINIS COVID-19

Nuretha Hey Purwaningtyas

PENGANTAR

21
Perkembangan kasus Covid-19 di berbagai belahan dunia hingga buku ini
ditulis pada bulan ke-10 pandemi terjadi di Indonesia sangat bervariasi.
20
Beberapa negara telah mengalami penurunan kasus, atau terjadi
peningkatan kasus sebagai gelombang ke-2, sedang di Indonesia hingga saat
ini belum nampak tanda-tanda penurunan jumlah kasus (Satgas Covid-19,
2020). Laporan dari WHO per tanggal 30 November 2020, menyatakan
P

bahwa terdapat 62 juta kasus dengan jumlah kematian sejumlah 1,4 juta
jiwa di seluruh dunia (World Health Organization, 2020).
AU

Di Indonesia sendiri, menurut laporan Satuan Tugas Penanganan


Covid-19 Indonesia per tanggal 30 November 2020, jumlah kasus
mencapai 534,266 kasus, dengan jumlah kasus aktif 71,658 kasus (13.4%
dari terkonfirmasi), sembuh 445,793 kasus (83.4% dari terkonfirmasi dan
16,815 kasus meninggal (3,1% dari terkonfirmasi) (Satgas Covid-19, 2020).
Update perkembangan kasus Covid-19 di dunia bisa diikuti setiap saat
pada WHO Coronavirus Disease (Covid-19) Dashboard (diambil dari
https://covid19.who.int), sedangkan di Indonesia laporan perkembangan
kasus tiap hari bisa diakses pada laman resmi satgas Covid-19 (diambil
dari https://covid19.go.id).

47
21
Gambar 2.1 Laporan kasus Covid-19 mingguan region WHO, dan kematian global
per tanggal 22 November 2020 (diadopsi dari laman WHO Covid-19 Dashboard)
20
P
AU

Gambar 2.2 Perkembangan nasional kasus terkonfirmasi positif Covid-19 per hari,
data per 30 November 2020 (diadopsi dari laman peta sebaran Satgas Covid-19
Indonesia)

Mengingat sangat masifnya transmisi Covid-19, maka pemahaman


terkait manifestasi klinis Covid-19 sangat dibutuhkan. Dengan memahami
manifestasi klinis, maka klinisi bisa segera mengambil keputusan
diagnostik yang tepat dan memberikan terapi yang adekuat, di mana hal
ini akan menurunkan angka morbiditas dan mortalitas akibat Covid-19.

48 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Sebagaimana yang telah diketahui, Covid-19 merupakan penyakit
infeksi yang terutama menyerang sistem pernapasan dan menyebar
melalui droplet. Namun seiring perkembangan pandemi ini, dijumpai
berbagai manifestasi klinis mulai dari tidak bergejala hingga gejala berat
pada berbagai organ seperti pneumonia berat, sindrom pernapasan akut,
gagal napas, hingga gagal multiorgan.. Tidak hanya menyerang pada
saluran napas, berbagai manifestasi klinis Covid-19 juga dijumpai pada
berbagai sistem organ seperti gangguan neurologis, gangguan menghidu,
manifestasi pada sistem kardiovaskuler, pencernaan, hepatobilier, sistem
endokrin, dan lainnya (Tsai, et al., 2020). Manifestasi klinis di Indonesia
sebagaimana yang dilaporkan oleh satgas Covid-19 nasional menunjukkan
bahwa pada mereka yang terkonfirmasi positif Covid-19 gejala yang
terbanyak ditemui adalah batuk (68,5%), riwayat demam (44,4%), demam

21
(40,2%), sesak napas (30,9%), lemas (28,1%), pilek (27,5%), sakit tenggorokan
(24,1%), sakit kepala (20,6%), mual (15,9%), dan beberapa gejala lainnya.
Akan tetapi, perlu diingat bahwa pada laporan tersebut disampaikan pula
20
bahwa 98,9% tidak ada data gejala/data tidak lengkap, sehingga kita perlu
berhati-hati dalam mengambil kesimpulan (Satgas Covid-19, 2020).
P
AU

Gambar 2.3 Gejala yang dialami oleh pasien terkonfirmasi positif Covid-19 di
Indonesia (Satgas Covid-19, 2020).

Tinjauan Epidemologi Manifestasi Klinis Covid-19 49


COVID-19 TANPA GEJALA (ASIMTOMATIS)
Berbagai laporan tentang infeksi Covid-19 yang tidak menunjukkan gejala
sama sekali dipublikasi di berbagai jurnal di dunia. Kelompok tanpa gejala
ini memberikan ancaman penyebaran yang besar karena pasien tidak
merasa atau tidak mengetahui bahwa dirinya sakit, sehingga potensi
menularkan ke orang lain menjadi besar. Salah satu telaah sistematis
dan meta-analisis tentang infeksi Covid-19 yang asimtomatis dilaporkan
oleh Jingjing He (2020), menyampaikan bahwa dari total 50.155 pasien
terkonfirmasi positif yang terlibat dalam 41 penelitian, persentase yang
dikumpulkan (pooled percentage) untuk infeksi asimtomatis adalah
sebesar 15,6%. Jingjing He juga melaporkan bahwa ada 10 penelitian yang
menampilkan pasien presimtom, yaitu pasien yang pada awal penelitian

21
tidak memiliki gejala pada saat skrining, namun kemudian mengalami
keluhan selama follow up. Pooled percentage untuk kasus presimtom ini
adalah sebesar 48,9% (95% CI, 31.6%–66.2%). Sedangkan pada kelompok
anak-anak, kasus asimtomatik ini lebih besar lagi persentasenya, yakni
20
sebesar 27,7% (He, et al., 2020). Tak jauh berbeda, sebuah meta-analisis yang
dilakukan oleh Byambasuren melaporkan bahwa dari total 21.708 orang
yang berisiko dikumpulkan dari 13 studi di 7 negara yang dilakukan
pemeriksaan RT-PCR, didapatkan proporsi kasus asimtomatik secara
P

keseluruhan adalah sebesar 17% (95% CI 14% to 20%). Proporsi kasus


AU

asimtomatik pada kelompok lanjut usia lebih tinggi, yaitu 20% (95% CI
14% to 27%) dibandingkan kelompok usia non-lansia 16% (95% CI 13% to
20%) (Byambasuren, et al., 2020).
Hal yang berbeda dilaporkan oleh Mercedes Yanes-Lane (2020),
yang melakukan telaah sistematis dari 28 penelitian berkualitas tinggi,
menyatakan bahwa proporsi kasus Covid-19 tanpa gejala berkisar: (1)
20–75% pada populasi umum, (2) 8,2–50% pada kontak erat, (3) 21,4–100%
pada tenaga medis dan paramedis di luar rumah perawatan (nursing home),
(4) 45–100% pada pasien obstetrik di RS, (5) 42,9–66,7% pada perawat di
rumah perawatan, (6) 0-50% pada staf rumah perawatan, (7) 51–87% pada
penghuni rumah penampungan sementara (Yanes-Lane, et al., 2020).

50 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


21
Gambar 2.4 Estimasi pengelompokan proporsi kasus asimtomatik berdasarkan
20
subpopulasi.
N = kasus positif; n = kasus asimtomatik (Byambasuren, et al., 2020)

Lalu bagaimana gambaran kasus Covid-19 tanpa gejala di Indonesia?


P

Laporan pendahuluan Laboratorium Mikrobiologi Klinik Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia sejak kasus Covid-19 pertama kali
AU

masuk ke Indonesia hingga tanggal 14 April 2020, dari 4617 spesimen


yang masuk, didapatkan 582 terkonfirmasi positif (12,6% positif rate),
dengan 22% di antaranya tanpa gejala, 34% kasus ringan, dan 44% kasus
sedang hingga berat (Ibrahim, et al., 2020). Laporan terkait kasus Covid-
19 tanpa gejala di Indonesia pada jurnal-jurnal ilmiah sangat terbatas,
namun penelusuran dari media massa banyak yang melaporkan besaran
kasus tanpa gejala ini. Sebagaimana dilansir oleh CNN Indonesia pada
tanggal 6 Mei 2020, Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19,
Doni Monardo menyatakan bahwa presentasi Orang Tanpa Gejala (OTG)
sebanyak 76%. Sedangkan dari berita yang sama, Ahli Epidemiologi UI
Pandu Riono menyatakan sebesar 86% (CNN Indonesia, 2020).

Tinjauan Epidemologi Manifestasi Klinis Covid-19 51


Kasus Covid-19 tanpa gejala memberikan kontribusi yang cukup
bermakna dalam proses transmisinya. Dalam sebuah penelitian,
disebutkan bahwa tingkat transmisi pada mereka yang bergejala adalah
sebesar 6,3% dan pada mereka yang tidak bergejala adalah sebesar 4,1%
(Yi, et al., 2020). Sedang dari meta-analisis yang dilakukan oleh Mercedes
Yanes-Lane dari 6 studi berkualitas tinggi, didapatkan rerata laju transmisi
terkumpul sebesar 18,8% (Yanes-Lane et al., 2020). Dari telaah sistematis
maupun meta-analisis tersebut, maka risiko penularan oleh orang tanpa
gejala Covid-19 perlu mendapat perhatian dapat digunakan sebagai
landasan kehati-hatian dalam kampanye pencegahan penularan Covid-19
pada masyarakat luas.

COVID-19 DENGAN GEJALA (SIMTOMATIS)

21
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, gejala terbanyak pada kasus
terkonfirmasi Covid-19 adalah terutama pada saluran pernapasan, namun
20
demikian gejala dari sistem organ yang lain juga banyak ditemukan.
Tabel berikut menunjukkan tingkat gejala yang ditemukan pada pasien
terkonfirmasi Covid-19:

Tabel 2.1 Tingkat Gejala yang Terlihat dengan Kasus Covid-19 (Siordia,
P

2020)
AU

Tingkat Tingkat
Gejala Gejala
temuan temuan
Demam 82,2% Nyeri tenggorokan 15,1%
Batuk 61,7% Mual 9,4%
Kelelahan / Fatigue 44,0% Pusing 9,4%
Sesak 41,0% Diare 8,4%
Hilang nafsu makan 40,0% Sakit kepala 6,7%
Dahak produktif 27,7% Muntah 3,6%
Nyeri otot 22,7% Nyeri perut 2,2%

52 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Struyf dalam telaah sistematisnya bertujuan untuk melihat tanda
dan gejala apa yang paling menunjukkan infeksi Covid-19, menjelaskan
bahwa satu atau dua gejala saja tidak bisa digunakan secara akurat
untuk mendiagnosis infeksi Covid-19. Namun demikian, penelitian
ini menunjukkan bahwa lebih dari setengah partisipan yang terinfeksi
Covid-19 memiliki gejala batuk, nyeri tenggorokan, demam tinggi,
nyeri otot atau persendian, kelelahan dan/atau sakit kepala. Jika batuk
dan nyeri tenggorokan saja terlalu umum pada pasien non-Covid-19,
maka adanya demam, nyeri otot atau sendi, kelelahan dan sakit kepala
meningkatkan kemungkinan infeksi Covid-19. Masih dalam laporan yang
sama, didapatkan dari 1 penelitian di mana dilaporkan sensitifitasnya di
atas 50% sebagai berikut:
Terkait dengan demam, 6 dari 9 penelitian melaporkan sensitifitas

21
minimal 80%, di mana hal ini tidak mengejutkan karena sedari awal
gejala ini digunakan menyaring pasien untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Melalui penelitiannya ini, Struyf mengidentifikasi ada 4 “bendera merah”
20
yang mengindikasikan kemungkinan infeksi Covid-19 karena rasio
kemungkinan positif (positive likelihood ratio) mendekati 5, yaitu: demam,
nyeri otot atau sendi, kelelahan, dan sakit kepala. Di luar gejala tersebut,
Struyf juga menemukan adanya 27 tanda dan gejala yang dikategorikan
P

ke dalam 4 kategori, yaitu: gejala sistemik, gejala pada sistem respirasi,


gejala pada sistem gastrointestinal, dan gejala pada sistem kardiovaskuler
AU

(Struyf, et al., 2020).

Tabel 2.2 Sensitivitas dan spesifisitas beberapa gejala yang muncul pada
infeksi Covid-19 (Struyf, et al., 2020)

Gejala Sensitifitas Spesifisitas


Batuk 43–71% 14–54%
Nyeri tenggorokan 5–71% 55–80%
Demam 7–91% 16–94%
Nyeri otot atau sendi 19–86% 45–91%
Kelelahan 10–57% 60–94%
Sakit Kepala 3–71% 78–98%

Tinjauan Epidemologi Manifestasi Klinis Covid-19 53


COVID-19 DENGAN GEJALA EKSTRAPULMONAL
Meskipun gejala terkait sistem respirasi adalah yang paling sering
muncul, namun gejala di luar sistem tersebut juga perlu dikenali. Berikut
merupakan gejala ekstrapulmonal yang paling banyak dijumpai:
Manifestasi Neurologis. Dilaporkan sebesar 36% pada pasien dengan
gejala berat Covid-19. Gejala neurologis yang ringan meliputi sakit kepala,
pusing, nafsu makan menurun, gangguan penghidu, nyeri otot/kelelahan,
dan hilangnya kemampuan perasa. pada manifestasi yang berat, bisa
muncul stroke, kebingungan atau gangguan kesadaran, GBS (Guillain-Barré
Syndrome), meningoensefalitis dan ensefalopati nekrosis akut (Tsai, et al.,
2020). Di Indonesia sendiri dilaporkan adanya peningkatan angka cedera
otak traumatis selama pandemi Covid-19 sebesar (20,9%) dibandingkan

21
tahun sebelumnya (13,8%) meskipun mekanismenya perlu diteliti lebih
lanjut (Prawiroharjo, et al., 2020). Sedangkan sebuah penelitian dari
Rumah Sakit Saiful Anwar (RSSA) Malang menyebutkan adanya 3,4%
20
dari pasien probable Covid-19 dengan manifestasi paling banyak berupa
stroke thrombosis (50%), diikuti oleh tumor myelum (25%) dan ensefalopati
hipoksia (25%) dengan tingkat kematian sebesar 25% (Munir et al., 2020).
Manifestasi Tromboembolik. Dilaporkan pada 30% pasien yang
P

dirawat di ICU (Intensive Care Unit). Manifestasi ini bervariasi mulai dari
thrombosis kutan hingga emboli pulmonal, stroke atau thrombosis coroner
AU

yang menghasilkan luaran buruk. Banyak bukti menunjukkan peran


tromboemboli, hiperkoagulasi, dan produksi sitokin proinflamasi yang
berlebih menyebabkan badai sitokin dan kegagalan multiorgan (Mondal,
et al., 2020).
Manifestasi Kardiovaskuler. Infeksi Covid-19 bisa berpengaruh
langsung maupun tidak langsung menyebabkan terjadinya cedera jantung,
seperti sindroma koroner akut, cedera miokardial, kardiomiopati, aritmia
jantung, cor pulmonale, syok kardiogenik, dan komplikasi tromboembolik.
Kondisi ini terlaporkan sekitar 20–30% pada pasien Covid-19 yang dirawat
inap. Sebuah penelitian kohort yang dilakukan di Italia melaporkan
peningkatan kejadian henti jantung diluar Rumah Sakit sebesar 60%

54 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


selama pandemik Covid-19 dibandingkan pada periode yang sama pada
tahun 2019 (Tsai, et al., 2020).
Manifestasi Renal. Gambaran klinis pada gangguan renal yang
paling banyak adalah gagal ginjal akut, gangguan elektrolit (hyperkalemia,
hiponatrium, dan hipernatremia), proteinuria, hematuria, asidosis
metabolic (Gupta, et al., 2020). Dari sebuah meta-analisis, insiden terjadinya
gangguan elektrolit adalah sebesar 12,5% dan insiden gagal ginjal akut
sebesar 11%. Insiden gagal ginjal akut ini meningkat pada kelompok
yang telah memiliki komorbid penyakit ginjal kronik (Kunutsor and
Laukkanen, 2020).
Manifestasi Gastrointestinal. Keluhan terkait sistem pencernaan
meningkat sejalan dengan durasi infeksi Covid-19, dengan insiden pada

21
kisaran 12–61%. Gejala yang tercatat antara lain anoreksia (21–35%), mual/
muntah (7–26%), diare (9–34%), dan nyeri perut (3%) (Tsai, et al., 2020).
Manifestasi Hepatobilier. pada sebuah telaah sistematik didapatkan
20
terjadinya gangguan liver sebesar 19% dan berkaitan erat dengan tingkat
keparahan penyakit ini. Pasien pada umumnya mengalami peningkatan
transaminase sampai lima kali lebih tinggi dari kadar normalnya. 14–53%
pasien Covid-19 yang kritis dilaporkan terjadi perlukaan pada sel-sel
P

heparnya. Beberapa penelitian melaporkan peningkatan bilirubin pada


kasus yang berat dan terjadi perburukan (Tsai, et al., 2020).
AU

Manifestasi Sistem Endokrin. Gangguan sistem endokrin pada


pasien Covid-19 dapat berupa hiperglikemia, ketoasidosis (bisa terjadi
pada pasien yang sebelumnya tidak terdiagnosis diabetes), euglisemia
ketosis, dan derajat yang lebih parah pada pasien yang telah terdiagnosis
diabetes dan/atau obesitas. pada sebuah penelitian, dari 257 pasien kritis
pada sebuah RS di New York, 36% memiliki diabetes dan 46% obesitas.
Bahkan pada sebuah studi di China, dari 658 pasien Covid-19 ditemukan
6,4% mengalami ketosis di mana 64%-nya tidak terdapat diabetes (Gupta,
et al., 2020).
Manifestasi Dermatologi. Gambaran dermatologi pada pasien
Covid-19 dilaporkan pertama kali dari sebuah penelitian di Italia, di

Tinjauan Epidemologi Manifestasi Klinis Covid-19 55


mana 20% pasien dengan keluhan pada kulit tanpa riwayat paparan obat
sebelumnya. Sekitar 44% dari pasien tersebut menunjukkan gejala pada
awal dari penyakit ini. Manifestasi pada kulit yang terjadi pada pasien
Covid-19 bisa berupa gatal kemerahan, urtikaria, dan vesikel seperti cacar
air. Ditemukan pula gambaran seperti rash makulopapular, lesi vesikuler,
livedoid dan/atau lesi nekrosis yang dijumpai pada kasus Covid-19 yang
berat (Gupta, et al., 2020).

RINGKASAN
Berbagai manifestasi klinis dari Covid-19 ini mulai dari yang tanpa
gejala (asimtomatis) hingga yang bergejala (simtomatis) memberikan
pemahaman terkait variasi tanda dan gejala yang muncul, terutama pada

21
awal masa infeksi. pada orang tanpa gejala, kemungkinan transmisi tetap
ada walaupun risiko transmisinya tidak sebesar mereka yang bergejala,
namun tetap perlu diwaspadai, sehingga pesan kesehatan terkait disiplin
20
penerapan protokol kesehatan harus tetap digalakkan. Adapun pada
mereka yang bergejala, perlu diwaspadai bahwa gejala yang muncul
bukan hanya pada gangguan sistem respirasi saja, namun manifestasi
ekstrapulmonal perlu untuk mendapat perhatian. Walaupun demikian,
P

terdapat gejala-gejala yang menunjukkan kecenderungan terinfeksi


Covid-19 apabila gejala tersebut muncul secara bersamaan sehingga
AU

bisa dilanjutkan dengan pemeriksaan yang spesifik untuk menegakkan


diagnosis Covid-19.

DAFTAR PUSTAKA
Byambasuren, O., et al. 2020. Estimating the extent of asymptomatic Covid-19
and its potential for community transmission: Systematic review and meta-
analysis. Official Journal of the Association of Medical Microbiology and Infectious
Disease Canada, 5(Issue 4):223-234. doi: 10.1101/2020.05.10.20097543.
CNN Indonesia. 2020. Orang Tanpa Gejala Corona Jadi Dilema Penanganan Covid-
19’, CNN Indonesia, 6 May. Available from: https://www.cnnindonesia.com/

56 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


nasional/20200505154007-20-500319/orang-tanpa-gejala-corona-jadi-dilema-
penanganan-Covid-19.
Gupta, A., et al. 2020. Extrapulmonary manifestations of Covid-19. Nature Medicine,
26, pages1017–1032. doi: 10.1038/s41591-020-0968-3.
He, J., et al. 2020. Proportion of asymptomatic coronavirus disease 2019: A
systematic review and meta-analysis. Journal of Medical Virology, 93(Issue 2).
doi: 10.1002/jmv.26326.
Ibrahim, F., et al. 2020. Preliminary report of Covid-19 testing: experience of the
clinical microbiology laboratory Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia.
New Microbes and New Infections, 37:100733. doi: 10.1016/j.nmni.2020.100733.
Kunutsor, S.K. and Laukkanen, J.A. 2020. Renal complications in Covid-19: a
systematic review and meta-analysis. Annals of Medicine,52(7):1–9. doi:
10.1080/07853890.2020.1790643.
Mondal, S., et al. 2020. Thromboembolic disease in Covid-19 patients: A brief

00483-y.
21
narrative review. Journal of Intensive Care, 8(70). doi: 10.1186/s40560-020-

Munir, B., et al. 2020. Neurological manifestation on hospitalized patient with


probable Covid-19 in Saiful Anwar hospital indonesia (serial cases). MNJ
20
(Malang Neurology Journal), 6(2):51-55. doi: 10.21776/ub.mnj.2020.006.02.1.
Prawiroharjo, P., et al. 2020. Increasing Traumatic Brain Injury Incidence during
Covid-19 Pandemic in the Emergency Department of Cipto Mangunkusumo
National General Hospital-A National Referral Hospital in Indonesia.
P

Neurology, 95(12 Suppl 2):S11. doi: 10.1212/01.wnl.0000719968.10580.81.


Satgas Covid-19. 2020. Peta Sebaran Kasus Covid-19 Indonesia. Available from: https://
AU

covid19.go.id/peta-sebaran.
Siordia, J.A. 2020. Epidemiology and clinical features of Covid-19: A review of
current literature. Journal of Clinical Virology. 127(April):104357. doi: 10.1016/j.
jcv.2020.104357.
Struyf, T., et al. 2020. Signs and symptoms to determine if a patient presenting in
primary care or hospital outpatient settings has Covid-19 disease. Cochrane
Database of Systematic Reviews. doi: 10.1002/14651858.CD013665.
Tsai, P.H., et al. 2020. Clinical manifestation and disease progression in Covid-19
infection. Journal of the Chinese Medical Association, 84(Issue 1):3-8. doi: https://
doi.org/10.1097/jcma.0000000000000463.
World Health Organization. 2020. Coronavirus Disease (Covid-19)- Weekly
Epidemiological Update at 27/10/2020, World Health Organization: Geneva,
Switzerland.

Tinjauan Epidemologi Manifestasi Klinis Covid-19 57


Yanes-Lane, M., et al. 2020. Proportion of asymptomatic infection among Covid-19
positive persons and their transmission potential: A systematic review and
meta-analysis. PLoS ONE. doi: 10.1371/journal.pone.0241536.
Yi, C., et al. 2020. Epidemiological characteristics of infection in Covid-19 close
contacts in Ningbo city. Chinese Journal of Epidemiology, 41(5):667-671. doi:
10.3760/cma.j.cn112338-20200304-00251.

21
20
P
AU

58 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


MANIFESTASI NEUROLOGIS
INFEKSI COVID-19

Abdulloh Machin

PENGANTAR

21
Wabah SARS-CoV-2 adalah tantangan bagi layanan kesehatan di seluruh
dunia. Kemampuan virus tersebut serta infektivitas yang tinggi serta
20
kemampuan transmisi bahkan pada fase asimptomatik menyebabkan
penyebaran virus yang cepat di seluruh dunia yang menyebabkan
terjadinya pandemi. Kasus pertama infeksi SARS-CoV-2 atau yang dikenal
sebagai Covid-19 pertama kali ditemukan di Wuhan pada 8 Desember
P

2019. Sampai dengan bulan November 2020 terdapat sekitar 54 juta yang
terinfeksi Covid-19 di dunia dan 467 ribu kasus di Indonesia (Han, et al.,
AU

2020; Harcourt, et al., 2020; Mao, et al., 2020).


Target utama Covid-19 adalah jaringan paru-paru, namun organ
lain juga terlibat pada patologi Covid-19 (Pergolizzi, et al., 2020). Covid-19
secara umum akan menginfeksi sistem respirasi, namun juga terdapat
beberapa bukti bahwa SARS-CoV-2 dapat juga bersifat neuroinvasif
yang akan menyebabkan terjadinya komplikasi neurologis (Khatoon,
Prasad, and Kumar, 2020). Studi yang dilakukan oleh Ellul, menunjukkan
adanya bukti peningkatan manifestasi neurologis pada pasien Covid-19.
Sekitar 901 pasien Covid-19 yang mengalami gejala neurologis yang telah
dilaporkan. pada infeksi virus Corona yang lain menunjukkan bahwa
komplikasi sistem saraf sentral dan perifer lebih jarang terjadi, yaitu pada
SARS sekitar 0,04–0,05%, MERS sekitar 0,05–0,16% (Ellul, et al., 2020; Mao,
et al., 2020).

59
Pada awal Maret 2020, rumah sakit Beijing Ditan melaporkan kasus
pertama encephalitis yang disebabkan oleh Covid-19, peneliti juga
mengkonfirmasi adanya SARS-CoV-2 pada cairan likuor serebrospinal
dengan menggunakan sequencing genome. Kasus lain dilaporkan di Jepang
pada pasien dengan encephalitis dan terdeteksi adanya SARS-CoV-2 pada
likuor pasien tersebut, walaupun swab nasofaring pasien tersebut positif,
yang kemungkinan disebabkan infeksi langsung atau jalur transmisi tidak
langsung seperti melalui hematogen (Moriguchi, et al., 2020). Penelitian
retrospektif terhadap 214 pasien yang dirawat oleh karena Covid-19 yang
dirawat dari 16 sampai dengan 19 Januari 2020 di Wuhan mengalami
gejala neurologis. Terdapat 24,8% yang memiliki gejala sistem saraf
pusat, 8,9% yang memiliki gejala saraf tepi, dan 10,7% menglami cedera
otot. Manifestasi sistem saraf yang sering didapatkan adalah pusing dan

21
nyeri kepala. Sedangkan manifestasi pada saraf tepi antara lain gangguan
perasa dan penciuman (Mao, et al., 2020).
Pada pengamatan di Perancis pada 58 pasien Covid-19 di unit
20
perawatan intensif didapatkan 69% mengalami encephalopathy dengan
agitasi atau kebingungan, termasuk di antaranya 67% dengan tanda
traktus piramidalis. Terdapat 33 pasien yang sembuh dengan gangguan
fungsi eksekutif (Helms, et al., 2020).
P

Pada penelitian surveilan di Inggris, dilaporkan terdapat 153


pasien Covid-19 dengan usia median 71 tahun, sekitar 62% mengalami
AU

manifestasi serebrovaskular termasuk di antaranya stroke iskemik,


stroke perdarahan, dan vasculitis. Kelompok terbanyak kedua memiliki
gangguan kesadaran, encephalopathy, dan encephalitis. Kelompok sisanya
mengalami gejala psikiatri termasuk di antaranya psikosis, gangguan
neurokognitif, dan gangguan afek (Varatharaj, Thomas, Ellul, Davies,
Pollak, Plant, et al., 2020).

NEUROBIOLOGI INFEKSI COVID-19


Virus Corona dapat mengakses sistem saraf pusat melalui dua jalan, yaitu
melalui hematogen dan neurogenik. Invasi melalui jalur hematogen terjadi
apabila virus memasuki jaringan otak setelah episode viremia sementara

60 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


dan menembus sawar darah otak. Invasi hematogen CoVs seperti juga
invasi virus human respiratory syncytial neurothropic virus mungkin terjadi
melalui dua mekanisme, yaitu penetrasi langsung partikel virus melalui sel
endotel sawar darah otak atau dengan cara membajak sel darah tepi yang
terinfeksi di saluran napas atas saat fase akut, kemudian berpindah dari
darah ke jaringan otak melalui rute paraseluler antara sel endotel sawar
darah otak (Chan, et al., 2020). Sel neutrofil, makrofag, natural killer cells
juga akan menunjang replikasi virus pada stadium awal infeksi dan dapat
direkrut pada jaringan otak yang terinfeksi. SARS-CoV akan menginfeksi
sel myeloid perifer saat terjadi infeksi pada sistem respirasi dan leukosit
yang terinfeksi dapat menjadi reservoir infeksi pada sistem saraf pusat
seperti tampak pada Gambar 3.1 (Phua, et al., 2020; Zayet, et al., 2020).
Virus juga dapat masuk melalui transport aksonal secara retrograde

21
sepanjang saraf tepi tergantung pada tempat infeksinya. Sebagai ilustrasi,
virus sistem respirasi yang berkoloni pada epitel olfaktorius mungkin
menggunakan serabut saraf olfaktori untuk memasuki sistem saraf pusat.
20
Mekanisme invasi ini digunakan oleh HSV-1, virus Vesicular Stomatitis,
virus Borna, Rabies, influenza A, hRVS, dan CoVs (Azer, et al., 2020;
Finsterer and Stollberger, 2020; Josephson and Kamel, 2020; McArthur,
2020; Wilson and Jack, 2020; Yadav, et al., 2020).
P

SARS-CoV dan SARS-CoV-2 memiliki kemiripan yang besar. Virus


dapat masuk melalui sel endotel sawar darah otak pada daerah plexus
AU

choroideus atau melalui sel inflamasi yang masuk ke dalam jaringan


otak. Lebih penting lagi, virus juga dapat menggunakan transport
retrograde axonal untuk mencapai sistem saraf pusat. Transport retrograde
ini dapat melalui nervus olfaktori dan jaringan saraf enteric. Setelah virus
menginfeksi hidung, maka virus dapat memasuki jaringan otak secara
langsung melalui transmisi retrograde terutama pada daerah thalamus
dan batang otak. Hal ini menjelaskan hilangnya rasa penciuman dan
pengecapan pada pasien yang terinfeksi Covid-19. Saat ini juga didapatkan
bukti bahwa Covid-19 mungkin akan mencapai akses ke sistem saraf pusat
melaui sinaps yang terkoneksi setelah menginfeksi terminal saraf tepi
pada sistem respirasi (Cataldi, Pignataro and Taglialatela, 2020).

Manifestasi Neurologis Infeksi Covid-19 61


SARS-CoV-2 juga dapat menggunakan serabut saraf simpatik pada
neuron sistem saraf enterik untuk mendapatkan akses menuju sistem
saraf pusat saat infeksi traktus gastrointestinal. Survei epidemiologi
menggambarkan rata-rata munculnya gejala awal sampai dengan pasien
masuk ke ICU memerlukan waktu sekitar 8 hari (Khatoon, Prasad and
Kumar, 2020). Kondisi akan memberat apabila pasien memiliki gangguan
neurologi sebelumnya (Pezzini and Padovani, 2020).
Reseptor SARS-CoV-2 untuk menginfeksi sel inang adalah ACE2.
ACE2 juga memiliki kontribusi untuk mengontrol vasokonstriksi dan
tekanan darah dan berhubungan dengan fungsi kardiovaskuler. ACE2
diekspresikan oleh beberapa tipe sel termasuk di antaranya paru-paru,
ginjal, usus, dan jaringan otak. ACE2 juga terekpresikan pada nukleus
batang otak dan berperan pada pengaturan kardiorespirasi. Terjadi

21
interaksi antara protein spike dengan reseptor ACE2 di batang otak ini
menyertai masalah pernapasan pada pasien Covid-19. Reseptor ACE2 juga
terekspresi pada endotel kapiler sehingga virus yang berinteraksi dengan
20
reseptor tersebut akan dapat merusak sawar darah otak dan mencapai
jaringan otak melalui sistem vaskuler (Azer, et al., 2020).
Virus SARS-CoV-2 juga dapat mencapai sirkulasi jaringan otak
melalui sirkulasi darah yang lambat pada daerah mikrosirkulasi akan
P

menyebabkan ikatan protein spike dengan reseptor ACE2 yang terekspresi


pada kapiler pembuluh endotel. Kerusakan pada endotel yang disebabkan
AU

oleh partikel virus juga akan memfasilitasi akses virus di jaringan otak.
Saat virus mamasuki jaringan otak, maka protein spike akan berinteraksi
dengan reseptor ACE2 yang terekspresi pada sel neuron dan memulai
siklus replikasi virus disertai dengan kerusakan sel neuron tanpa adanya
inflamasi seperti yang nampak pada infeksi SARS-CoV sebelumnya.
Kerusakan jaringan otak oleh karena infeksi SARS-CoV-2 juga disebabkan
oleh karena adanya koagulopati yang menyebabkan terjadinya bekuan
darah yang menyumbat pembuluh darah, hal inilah yang menyebabkan
terjadinya stroke pada pasien Covid-19 (Azer, et al., 2020; G. Chen, et al.,
2020; Rahman, et al., 2020).

62 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


21
Gambar 3.2 Perjalanan klinis infeksi Covid-19 dan waktu munculnya gejala klinis
dan komplikasi neurologis pada penderita Covid-19 (Ellul, et al., 2020)
20
Manifestasi neurologis pada infeksi Covid-19 dapat pula sekunder oleh
karena adanya hipoksia yang menyebabkan kerusakan jaringan otak dan
juga yang dimediasi oleh aktivasi sistem imun seperti pada pembahasan di
P

atas (Ahmad and Rathore, 2020; X. Chen, et al., 2020). Pneumonia yang berat
akan menyebabkan hipoksia sistemik dan akan menyebabkan beberapa
AU

faktor juga yang ikut berkontribusi termasuk di antaranya vasodilatasi,


hiperkarbia, hipoksia, dan metabolisme anaerobik dengan akumulasi
komponen toksik. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya edema otak
dan kerusakan neurologis (Azer, et al., 2020; Yadav, et al., 2020). Perjalanan
klinis infeksi virus Covid-19 sampai terjadinya komplikasi tampak pada
Gambar 3.2.

MANIFESTASI COVID-19 PADA SISTEM SARAF PUSAT


Peningkatan kasus Covid-19 telah meningkatkan pasien dengan manifestasi
neurologis. Manifestasi neurologis akibat Covid-19 dapat merupakan akibat
langsung virus pada sistem saraf, parainfeksi, atau mekanisme post-infeksi

Manifestasi Neurologis Infeksi Covid-19 63


yang diakibatkan oleh karena proses imunologis atau disebabkan oleh
karena komplikasi yang diakibatkan oleh karena efek sistemik Covid-19.
Data yang terdapat pada registri nasional di Amerika Serikat terhadap
125 pasien yang mengalami Covid-19 dilaporkan adanya gejala neurologis
maupun psikiatrik dalam 3 minggu. Pasien yang mengalami kesadaran
yang menurun terjadi pada 31% pasien, 13% di antaranya disebabkan oleh
karena encephalopati, dan 23% dengan diagnosis neuropsikiatri termasuk
di antaranya 8% dengan encephalopati, 5% dengan sindrom neurokognitif,
dan 3% dengan gangguan afektif. Terdapat 62% pasien dengan stroke, 46%
dengan stroke iskemik, dan 7% dengan stroke perdarahan intraserebral,
sisanya dengan vaskulitis sistem saraf pusat (Ellul, et al., 2020). Manifestasi
Covid pada sistem saraf pusat termasuk di antaranya adalah epilepsi,
ataxia, encephalitis, gangguan kesadaran, Acute hemmorhagic necrotizing

21
encephalopathy (ANE), dan nyeri kepala seperti tampak pada Tabel 3.1
(Orru, et al., 2020; Taherifard and Taherifard, 2020).
20
Tabel 3.1 Komplikasi Neurologis pada Infeksi Covid-19 (Orru, et al., 2020;
Taherifard and Taherifard, 2020)

Manifestasi dan Komplikasi


P

Sistem saraf pusat Dizziness


Nyeri kepala
AU

Stroke akut
Gangguan kesadaran
Myelitis tranversa
Acute hemorhagic necrotizing encephalopathy
Encephalopathy
Encephalitis
Epilepsi
Ataxia
Sistem saraf tepi Hipogeuisia
Hiiposmia
Neuralgia
GBS
Cedera otot

64 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


ACUTE HEMORRHAGIC NECROTIZING ENCEPHALOPATHY (ANE)
Acute Hemorrhagic Necrotizing Encephalopathy (ANE) muncul oleh karena
terjadinya badai sitokin yang merusak sawar darah otak dan menyebabkan
inflamasi yang akan menyebabkan disfungsi jaringan otak (Ellul, et al.,
2020; Garg, 2020; Montalvan, et al., 2020; Wenting et al., 2020).
Infeksi virus juga menyebabkan badai sitokin yang akan menyebabkan
kerusakan jaringan otak. Sitokin adalah zat kimia molekul kecil yang
diinduksi oleh molekul signaling yang menyababkan respons imun yang
sehat. pada badai sitokin terjadi lonjakan sitokin yang melebihi dari
yang diperlukan. ANE akan menyebabkan terjadinya neuroinflamasi
dan menyebabkan gangguan pada jaringan otak. Neuroinflamasi yang
disebabkan oleh ANE akan menyebabkan peningkatan produksi IL-6

21
yang akan mengaktifkan sel T-helper, dan juga GM-CSF. Badai sitokin
juga menyebabkan pelepasan berlebihan interleukin, interferon, monosit,
makrofag, protein inflamasi, dan TNF yang menyebabkan hiperinflamasi
sehingga pasien akan mengalami encephalopathy dan stroke (He, Deng, and
20
Li, 2020; Zhang, et al., 2020). Gejala Necrotizing hemorrhagic encephalopathy
dapat dilihat dari hasil CT-Scan dan MRI pada pasien Covid-19. Proses
imunologi, baik melalui jalur sitokin, chemokine, atau melalui sel T akan
menyebabkan kebocoran vaskuler, demielinisasi, aktivasi komplemen,
P

dan kaskade koagulasi yang akan menyebabkan kerusakan end organ.


Kerusakan sistem saraf yang diakibatkan oleh virus berkorelasi dengan
AU

keparahan gejala Covid-19 (Achar and Ghosh, 2020; Ahmed, et al., 2020;
Iadecola, Anrather and Kamel, 2020; Khatoon, Prasad, and Kumar, 2020).

ENSEFALOPATI
Filatov, dkk melaporkan kasus seseorang berusia 74 tahun dengan riwayat
penyakit multipel dengan PPOK dan Parkinson yang mendatangi IGD
dengan batuk dan panas. Pemeriksaan awal tidak menunjukkan adanya
hal yang serius dan pasien dipulangkan, kemudian kondisi pasien tersebut
memburuk dan dilakukan pemeriksaan dan hasilnya positif Covid-19
(Filatov, et al., 2020). Encephalopathy dan nyeri kepala terdapat pada 40%
pasien seperti dilaporkan oleh Mao, dkk. Laporan yang disampaikan oleh

Manifestasi Neurologis Infeksi Covid-19 65


Chen, dkk pada 113 pasien Covid di China menunjukkan adanya 20 pasien
yang mengalami hypoxic encephalopathy (Chen et al., 2020; Mao, et al., 2020;
Wang, et al., 2020). Terdapat pula adanya laporan kasus pasien usia 74
tahun dengan riwayat fibrilasi atrium dan stroke, penyakit Parkinson,
COPD, dan selulitis yang datang ke rumah sakit dengan gejala demam
dan batuk. Diagnosis awal tidak menunjukkan kegawatan dan pasien
dapat dipulangkan dari rumah sakit. Beberapa hari kemudian pasien
datang lagi dengan perberatan gejala termasuk di antaranya nyeri kepala,
gangguan kesadaran, demam, dan batuk. pada pemeriksaan toraks, foto
menunjukkan adanya pneumonia, CT-scan tidak didapatkan hasil yang
jelas kecuali adanya stroke sebelumnya. Pemeriksaan PCR pada CSF
hasilnya negatif dan tidak menunjukkan adanya infeksi. Pasien kemudian
dilakukan tes untuk Covid-19 dan hasilnya positif (Ellul, et al., 2020; Mao,
et al., 2020; Nami, et al., 2020).

21
ACUTE DISSEMINATED ENCEPHALOMYELITIS DAN MYELITIS
20
AKUT
Acute Disseminated Encephalomyelitis adalah sindrom demielinasi multifokal
yang terjadi pada beberapa minggu setelah infeksi yang secara umum akan
menunjukkan gejala neurologis fokal dan sering disertai dengan adanya
P

ensefalopati. Didapatkan dua kasus yang dilaporkan tentang pasien wanita


usia pertengahan yang mengalami Acute Disseminated Encephalomyelitis
AU

dan SARS-CoV-2 yang dideteksi pada swab sistem respirasi. Satu kasus
pasien dengan gejala disphagia, disartria, dan ensefalopati 9 hari setelah
onset nyeri kepala dan myalgia. Satu kasus yang lainnya datang dengan
kejang dan kesadaran menurun dan membutuhkan intubasi oleh karena
gagal napas. Kedua pasien tersebut memiliki hasil LCS yang normal dan
didapatkan peningkatan intensitas sinyal pada MRI yang khas pada
ensefalomyelitis. Kedua kasus didapatkan perbaikan setelah terapi, satu
kasus diterapi dengan IVIG dan yang lainnya dengan menggunakan
immunoglobulin (Ellul, et al., 2020; Mao, et al., 2020).
Badai sitokin dan respons hiperinflamasi juga dapat menyebabkan
terjadinya myelitis pada pasien Covid-19. Kang Zhao melaporkan kasus

66 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


dari Wuhan, seorang laki-laki 66 tahun yang masuk ke rumah sakit
dengan keluhan demam dan nyeri pada seluruh tubuh, beberapa hari
kemudian pasien mengalami paralisis flasit akut pada ekstremitas bawah
dan gangguan sensorik setinggi T-10 disertai gangguan BAB dan BAK.
Hasil PCR pasien positif Covid-19 dan didapatkan pneumonia pada
pemeriksaan CT Toraks (Khatoon, Prasad, and Kumar, 2020).
Didapatkan laporan seorang laki-laki 66 tahun dari Wuhan yang
datang dengan keluhan demam dan gatal di badan. Dia datang ke IGD
dengan kelemahan pada tungkai bawah tipe flasid, didapatkan gangguan
sensorik setinggi T-10 dan juga didapatkan inkontinensia urine dan alvi.
pada pemeriksaan CT-scan didapatkan adanya patchy pneumonia dan
pemeriksaan PCR didapatkan positif Covid-19. Pasien tersebut diterapi
dengan menggunakan IVIG, steroid, antivirus, dan antibiotik. Respons

21
pasien terhadap terapi tersebut adalah baik dan pasien bisa keluar rumah
sakit dan menuju fasilitas isolasi untuk dilakukan rehabilitasi lebih
lanjut (Ellul, et al., 2020; Varatharaj, Thomas, Ellul, Davies, Pollak, Kumar,
20
et al., 2020).
Terjadinya myelitis pada pasien Covid-19 kemungkinan disebabkan
oleh adanya badai sitokin serta respons inflamasi yang over aktif yang
ditandai oleh tingginya kadar serum feritin, CRP, serum Amyloid A, dan
P

IL-6 (Cataldi, Pignataro and Taglialatela, 2020; Ellul, et al., 2020).


Acute Disseminated Encephalomyelitis dan myelitis umumnya adalah
AU

penyakit paska infeksi dan diterapi dengan menggunakan steroid dan


imunoterapi. pada kasus para infeksi dengan dideteksi adanya SARS-CoV-2
pada saat datang, maka klinisi harus lebih waspada terutama apabila virus
tersebut dideteksi pada LCS. Hal ini karena terapi yang diberikan akan
menurunkan respons imun tubuh terhadap infeksi virus tersebut (Ellul,
et al., 2020; Mao, et al., 2020).

STROKE
Penyebaran Covid-19 di dunia telah meningkatkan pula asosiasi penyakit
tersebut dengan penyakit serebrovaskuler maupun tipe penyakit
vaskuler lain. Gejala serebrovaskuler terjadi pada 13 (6%) dari 221 pasien

Manifestasi Neurologis Infeksi Covid-19 67


Covid-19 di Wuhan. Sebanyak 11 pasien dengan stroke iskemik akut, 1
orang menderita stroke perdarahan, dan 1 pasien menderita trombosis
sinus serebri. Terdapat pula 9 dari 388 pasien Covid-19 menderita stroke di
Milan. Laporan dari senter lain di Itali didapatkan 43 (77%) dari 56 pasien
SARS-CoV-2 yang positif menderita stroke iskemik dan 3 pasien menderita
stroke perdarahan, sedangkan lima yang lain menderita TIA. pada kasus
di Belanda terdapat 3 pasien dari 184 pasien positif Covid-19 mengalami
stroke iskemik (Ellul, et al., 2020; Mao, et al., 2020) (Adamczyk-Sowa, et al.,
2020; Belani, et al., 2020; Soltani Zangbar, Gorji and Ghadiri, 2020).
Sharifi dkk, dari Iran melaporkan adanya kasus perdarahan
intrakranial pada pasien laki-laki 79 tahun dengan Covid-19. Pasien
tersebut masuk ke IGD dengan kesadaran yang menurun, dengan
riwayat panas dan batuk. pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya

21
refleks patologis yang positif pada kedua tungkai dan didapatkan rhonki
pada paru inferior. Pemeriksaan PCR nasofaring didapatkan Covid-19
yang positif. CT-scan didapatkan adanya opasitas ground glass yang
20
mengesankan adanya pneumonia virus. CT-scan kepala pasien didapatkan
adanya perdarahan luas pada hemisfer disertai dengan perdarahan
intraventrikel dan perluasan pada daerah sub-arachnoid. Pasien tidak
diketahui apakah mengkonsumsi anti hipertensi atau antikoagulan
P

sebelumnya. Jumlah platelet dan faal koagulasi pasien saat masuk IGD
dalam batas normal. Kemungkinan terjadinya stroke pada pasien ini
AU

disebabkan oleh karena adanya disregulasi reseptor ACE2 yang akan


mengganggu autoregulasi serebri, sistem simpatoadrenal, dan serebral blood
flow yang akan menyebabkan terjadinya perdarahan. pada laporan kasus
pasien dari Belanda yang terinfeksi Covid-19 ditemukan adanya gangguan
pembekuan darah. Bekuan darah ini dapat terjadi di seluruh bagian tubuh
dan dapat menyumbat arteri yang akan menyebabkan terjadinya emboli
paru dan stroke (AboTaleb, 2020; Achar and Ghosh, 2020; Iadecola, Anrather
and Kamel, 2020; Mohkhedkar, Venigalla and Janakiraman, 2020).
Mao, dkk melaporkan adanya enam kasus stroke, yaitu 5 kasus
stroke iskemik dan satu kasus stroke perdarahan. Studi kohort di Perancis
mendapatkan tiga kasus stroke yang terdeteksi saat pasien dilakukan
pemeriksaan imejing untuk menegakkan adanya ensefalopati. Pasien

68 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


tidak memiliki tanda neurologis fokal. Hal ini mungkin disebabkan bahwa
gejala tersebut tertutupi oleh adanya ensefalopati. Hal yang terpenting
pada pasien yang dicurigai menderita stroke adalah hasil pemeriksaan
neuroimejing. Saat ini hubungan antara Covid-19 dengan stroke telah
dapat ditegakkan (Mao, et al., 2020).
Sebagian pasien yang mengalami stroke berusia > 60 tahun dan juga
memiliki banyak faktor risiko untuk menderita stroke, seperti hipertensi,
diabetes, hiperlipidemia, dan penyakit vaskuler. Pasien Covid-19 dengan
usia yang lebih muda juga dilaporkan ada yang menderita stroke pada satu
rumah sakit di Amerika. Terdapat lima pasien dengan usia lebih muda
dari 50 tahun yang menderita stroke dan SARS-CoV-2 yang masuk dalam
2 minggu paska onset Covid-19 (Ellul, et al., 2020; Varatharaj, et al., 2020).
Gejala serebrovaskuler dimulai pada median 10 hari (0–33 hari)

21
setelah onset penyakit respirasi, walaupun ada satu pasien yang
mengalami stroke sebelum munculnya gejala respirasi. Didapatkan pula
dua pasien stroke iskemik yang berhubungan dengan adanya trombus
20
di aorta dan mengalami infark multipel pada pasien ini dan pasien
yang lain juga. Kadang juga Covid-19 berhubungan dengan trombosis
arteri dan iskemia pada ekstremitas. pada pasien stroke yang lain juga
didapatkan DVT dan emboli paru. Pemeriksaan vaskuler sangat penting
P

untuk pasien Covid-19 yang mengalami stroke, pemeriksaan D-dimer


didapatkan kenaikan pada banyak pasien Covid-19 yang konsisten dengan
AU

pro-inflamasi, status koagulopati pada penyakit kritis. Didapatkan pula


laporan adanya antikoagulan lupus yang posistif, antikardiolipin, dan
anti β2-mikroglobulin antibodi pada pasien Covid-19 yang mengalami
stroke (Ellul, et al., 2020; Ozdag Acarli, et al., 2020; Soltani Zangbar, Gorji
and Ghadiri, 2020).
Indikator awal menunjukkan bahwa penyakit serebrovaskuler yang
disebabkan oleh Covid-19 disebabkan oleh karena koagulopati. SARS-
CoV-2 dapat menyebabkan kerusakan pada sel endotel, mengaktifkan jalur
inflamasi, dan juga jalur trombotik. Infeksi pada sel endotel atau aktivasi
monosit, upregulasi faktor jaringan dan pelepasan mikropartikel yang
akan mengaktifkan jalur trombotik dan menyebabkan mikroangiopati
yang terjadi pada SARS-CoV-2 dan virus lainnya. Aktivasi monosit

Manifestasi Neurologis Infeksi Covid-19 69


diperkirakan yang menyebabkan perberatan Covid-19. Trombositopenia
dengan peningkatan D-Dimer dan CRP pada pasien Covid-19 dan stroke
berhubungan dengan proses virus associated microangiopathy. Disfungsi
endotel dapat secara potensial menyebabkan komplikasi mikro dan
makroangiopati pada jaringan otak (Ellul, et al., 2020).
Stroke iskemik akut juga mungkin terjadi melalui proses inflamasi
mengikuti proses infeksi, plaque karotis, atau fibrilasi atrium. Proses
vaskulitis pada Covid-19 mirip dengan yang terjadi pada varicella zooster,
di mana replikasi virus pada dinding arteri serebri akan memicu terjadinya
inflamasi lokal (Agarwal, et al., 2020; Ellul, et al., 2020; Gusev, et al., 2020;
Nami, et al., 2020).
Pemberian antikoagulan dengan menggunakan LMWH telah
direkomendasikan pada pasien Covid-19 untuk mengurangi risiko

21
trombotik. Pendekatan ini juga digunakan pada pasien stroke yang
berhubungan dengan Covid-19, namun hal ini harus seimbang dengan
pertimbangan risiko terjadinya perdarahan intraserebral termasuk
20
perdarahan transformasi. Saat ini sedang berjalan penelitian klinik random
untuk mengetahui peran antikoagulan pada pasien Covid-19, termasuk
efeknya terhadap insuden stroke (Adamczyk-Sowa, et al., 2020).
P

ENSEFALITIS
AU

Ensefalitis adalah lesi inflamasi yang terjadi pada jaringan otak termasuk
di antaranya adalah lesi jaringan saraf dan kerusakan sel neuron yang
disebabkan infeksi atau pertahanan imunologis dari host. Alasan praktis
untuk mempermudah diagnosis ensefalitis, maka yang dimaksud dengan
ensefalitis adalah adanya inflamasi pada jaringan otak yang ditandai dengan
adanya pleositosis pada LCS, perubahan imejing, atau abnormalitas fokal
pada EEG. Deteksi adanya virus pada LCS tidaklah mendukung diagnosis
ensefalitis apabila tidak didapatkan inflamasi di jaringan otak. Manifestasi
neurologis ensefalitis antara lain adalah adanya irritabilitas pada pasien,
kebingungan dan penurunan kesadaran, kadang-kadang disertai dengan
kejang dan kaku kuduk. Gejala lain pada ensefalitis termasuk di antaranya
adalah gejala psikiatrik (Ellul, et al., 2020; Mao, et al., 2020).

70 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Wong, dkk melaporkan kasus lain dari inggris seorang laki-laki 40
tahun yang mengalami gejala ataxia, kelemahan wajah bilateral, diplopia,
dan ossilopsia. pada 13 hari sebelumnya dia mengalami demam dan sesak
napas progresif diikuti dengan batuk produktif dan diare. Nyeri kepala
dan dizziness dipertimbangkan sebagai gejala minor nonspesifik yang
berhubungan dengan pasien Covid-19 (Meppiel, et al., 2020; Nakajima,
2020; Wu and Tang, 2020).
Moriguchi, dkk melaporkan adanya kasus pertama Covid-19 yang
berhubungan dengan encephalitis virus di jepang. Seorang laki-laki 24
tahun yang datang dengan keluhan demam di ikuti dengan kejang dan
kesadaran menurun. Pasien tersebut didapatkan adanya kaku kuduk dan
dilakukan CT-scan, namun hasilnya dalam batas normal. Didapatkan
adanya didapatkan patchy pneumonia pada pemeriksaan CT Thoraks,

21
pemeriksaan PCR dari swab nasopharing negatif, namun pemeriksaan
PCR Covid-19 pada LCS didapatkan hasil yang positif. Pemeriksaan MRI
didapatkan adanya hiperintensitas pada DWI di kornu inferior pada
20
ventrikel lateralis. Pemeriksaan FLAIR didapatkan hiperintensitas pada
mesial temporal dan hipokampus dengan sedikit atrofi pada mesial
temporal kanan dan hipokampus. Tidak didapatkan adanya enhancement
kontras pada pasien ini. Penulis kemudian menyimpulkan bahwa
P

pasien menderita ventrikulitis ventrikel kanan dan ensefalitis (Ellul,


et al., 2020).
AU

Tidak ada terapi spesifik untuk SARS-CoV-2 ensefalitis. Seperti juga


bentuk lain ensefalitis, maka pertanyaan akan muncul tentang kontribusi
relatif kerusakan yang disebabkan oleh karena virus dan respons inflamasi
pada host, dan juga peran steroid sebagai terapi ensefalitis. Penelitian klinis
juga sulit dilakukan oleh karena kasus yang tidak banyak (Adamczyk-
Sowa, et al., 2020; Roy, et al., 2020; Wu and Tang, 2020).

NYERI KEPALA DAN DIZZINESS


Nyeri kepala dan dizziness adalah gejala minor pada banyak penyakit,
gejala ini telah dilaporkan sebagai gejala minor pada Covid-19 pada banyak
laporan kasus. Insiden gejala ini antara 3-12,1% (Mao, et al., 2020).

Manifestasi Neurologis Infeksi Covid-19 71


DELIRIUM
Delirium didefinisikan sebagai gangguan kesadaran atau fungsi kognitif
akut dan berfluktuasi dan telah diketahui sebagai salah satu komplikasi
yang sering ditemui pada pasien tua yang dirawat di rumah sakit. Salah
satu penyebab delirium adalah infeksi dan hal ini juga dapat ditemukan
pada pasien Covid-19. Delirium pada Covid-19 disebabkan oleh karena
adanya aktivasi sistem inflamasi masif yang ditandai dengan adanya badai
sitokin, kerusakan endotel, peningkatan stres oksidatif, hipoksemia, dan
mungkin juga disebabkan oleh adanya infeksi langsung pada sistem saraf
pusat yang akan menyebabkan terjadinya ensefalopati (Bellocchio, et al.,
2020; Orsucci, et al., 2020).
Penelitian yang dilakukan oleh Ticinesi, dkk pada 852 pasien yang

21
dicurigai menderita Covid-19 didapatkan 94 (11%) pasien mengalami
delirium saat masuk rumah sakit. Penderita delirium kebanyakan orang
tua (usia median 82 tahun), dan memiliki komorbiditas neuropsikiatri
dan juga gejala respirasi yang lebih berat. pada pasien yang mengalami
20
delirium memiliki kematian yang lebih tinggi (57%) dibandingkan dengan
yang tidak mengalami delirium (Ticinesi, et al., 2020).

MANIFESTASI SARAF TEPI


P

Manifestasi sistem saraf tepi pada infeksi Covid-19 termasuk di antaranya


AU

kerusakan tulang, anosmia, gangguan chemosensorik, dan sindrom Gullian


Barre seperti pada Tabel 3.1. Anosmia dan gangguan kemosensorik adalah
manifestasi yang terbanyak pada Covid-19. pada penelitian multisenter
di Eropa yang melibatkan 417 pasien Covid-19, didapatkan 85,6% pasien
mengalami gangguan penciuman dan 88,8% mengalami gangguan rasa
pengecapan (Di Carlo, et al., 2020; Fiani, et al., 2020). Didapatkan pula
laporan adanya anosmia dan hiposmia mendadak pada pasien Covid-19,
sekitar 11,8% gangguan penciuman terjadi setelah munculnya gejala
umum Covid-19, 65,4 pasien mengalami gangguan penciuman setelah
terjadinya gejala umum Covid-19, dan 22,8% melaporkan munculnya
gangguan penciuman ini bersamaan dengan gejala umum Covid-19 (Ellul,
et al., 2020; Mao, et al., 2020).

72 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Pada studi terhadap 214 orang China, dilaporkan bahwa 5,6% dan
5,1% pasien mengalami gangguan perasa dan pembau. pada daerah
Perancis tidak didapatkan adanya keluhan gangguan perasa dan pembau
pada pasien Covid-19 (Ellul, et al., 2020). Didapatkan 8 kasus Covid-19
yang berhubungan dengan sindrom Guillain-Barre di China, Iran,
dan Italia. Kasus pertama GBS ini dilaporkan pada wanita 61 tahun di
Wuhan. Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan kelemahan kedua
tungkainya dan kelelahan yang berat. Pemeriksaan konduksi saraf dan
EMG didapatkan adanya inflamasi pada radiks saraf dan saraf perifer
yang disebabkan oleh karena polineuropati demyelinating. Pasien
dilakukan tes untuk Covid-19 dan hasilnya positif dan setelah diberikan
terapi pasien mengalami pemulihan kekuatan otot yang baik (Mao, et al.,
2020; Varatharaj, et al., 2020).

21
Di Iran, dilaporkan adanya pasien 61 tahun dengan diabetes yang
mengalami demam, batuk, dan sesak napas ireguler selama 2 minggu
sebelum pasien mengalami kelemahan tungkai dan mengalami tetra
20
parese serta kelemahan otot wajah bilateral. pada pemeriksaan EMG
didapatkan pasien menderita Acute motor and Sensori axonal neuropathy
(Mao, et al., 2020).
Cedera pada otot dilaporkan oleh Mao, dkk terjadi pada 19,3% pada
P

pasien yang kritis dan 4,8% pada pasien nonkritis. Di China dilaporkan ada
pasien 60 tahun yang menderita Covid-19 setelah onset ke-15 mengalami
AU

kelemahan dan kekakukan pada ekstremitas bawah. Cedera otot ini


didefinisikan apabila pasien mengalami myalgia dan peningkatan serum
kreatin kinase >200 U/L. Cedera otot ini dapat terjadi oleh karena efek
langsung virus pada sel otot atau oleh karena respons terhadap sitokin
yang diproduksi di serum melalui proses respons infeksi yang dimediasi
oleh sistem imun yang akan merusak sel otot (Nami, et al., 2020). Mao, dkk
juga melaporkan adanya neuralgia pada 5 pasien serta epilepsi dan ataxia,
namun tidak didapatkan detail dari kasus ini.

Manifestasi Neurologis Infeksi Covid-19 73


RINGKASAN
Covid-19 memang utamanya akan menyerang sistem respirasi dan
kardiovaskuler, namun keterlibatan neurologis juga tidak jarang dan dapat
menyebabkan komplikasi yang serius bila tidak secara dini dideteksi.
Komplikasi ini sering terlihat pada pasien yang sakit berat dan pada
beberapa kasus dapat terjadi lebih dini daripada gejala respirasi.

DAFTAR PUSTAKA
AboTaleb, H.A. 2020. Neurological complications in Covid-19 patients and its
implications for associated mortality. Curr Neurovasc Res, 17(Issue 4):522-
530. doi: 10.2174/1567202617666200727124704.
Acarli, A.N.O, et al. 2020.Coronavirus disease 2019 (Covid-19) from the point of

21
view of neurologists: observation of neurological findings and symptoms
during the combat against a pandemic. Noro Psikiyatr Ars, 57 (2):154–159. doi:
10.29399/npa.26148.
Achar, A. and Ghosh, C. 2020. Covid-19-associated neurological disorders: the
20
potential route of CNS invasion and blood-brain relevance. Cells, 9(11):2360.
doi: 10.3390/cells9112360.
Adamczyk-Sowa, M., et al. 2020. Neurological symptoms as a clinical
manifestation of Covid-19: implications for internists. Pol Arch Intern Med,
P

Volume(Nomor):Halaman. 2020/08/22. doi: 10.20452/pamw.15575.


Agarwal, A., et al. 2020. Neurological emergencies associated with Covid-19: stroke
AU

and beyond. Emerg Radiol, 27(6):747–754. doi: 10.1007/s10140-020-01837-7.


Ahmad, I. and Rathore, F.A. 2020. Neurological manifestations and complications
of Covid-19: A literature review. Journal of Clinical Neuroscience, 77:8–12. doi:
https://doi.org/10.1016/j.jocn.2020.05.017.
Ahmed, M.U., et al. 2020. Neurological Manifestations of Covid-19 (SARS-CoV-2):
A Review. Front Neurol, 11:518. doi: 10.3389/fneur.2020.00518.
Azer, S.A., et al. 2020. Pathophysiology, transmission, diagnosis, and treatment
of coronavirus disease 2019 (Covid-19): A review. Journal of Translational
Medicine, Elsevier, 37(8):353. doi: 10.1186/s12967-020-02520-8.
Belani, P., et al. 2020. Covid-19 is an independent risk factor for acute ischemic
stroke. AJNR Am J Neuroradiol, 2020/06/27, 41 (8), pp. 1361–1364. doi: 10.3174/
ajnr.A6650.

74 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Bellocchio, L., et al. 2020. Environmental issues and neurological manifestations
associated with Covid-19 pandemic: new aspects of the disease?. Int J Environ
Res Public Health, 17(21). doi: 10.3390/ijerph17218049.
Di Carlo, D.T., et al. 2020. Exploring the clinical association between neurological
symptoms and Covid-19 pandemic outbreak: a systematic review of current
literature. J Neurol, pp. 1-9.doi: 10.1007/s00415-020-09978-y.
Cataldi, M., Pignataro, G. and Taglialatela, M. 2020. Neurobiology of coronaviruses:
Potential relevance for Covid-19. Neurobiology of Disease, 143:105007. doi:
https://doi.org/10.1016/j.nbd.2020.105007.
Chan, J.F., et al. 2020. Simulation of the clinical and pathological manifestations
of Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) in golden Syrian hamster model:
implications for disease pathogenesis and transmissibility. Clin Infect Dis,
71(9): 2428-2446. doi: 10.1093/cid/ciaa325.
Chen, G., et al. 2020.Clinical and immunological features of severe and moderate

JCI137244.
21
coronavirus disease 2019, J Clin Invest, 130(5):2620-2629. doi: 10.1172/

Chen, X., et al. 2020. A systematic review of neurological symptoms and


complications of Covid-19, J Neurol, 1-11. doi: 10.1007/s00415-020-10067-3.
20
Ellul, M.A., et al. 2020. Neurological associations of Covid-19. The Lancet Neurology,
19 (9):767–783. doi: 10.1016/S1474-4422 (20)30221-0.
Fiani, B., et al. 2020. A Contemporary Review of Neurological Sequelae of Covid-
19. Front Neurol,11:640. doi: 10.3389/fneur.2020.00640.
P

Finsterer, J. and Stollberger, C. 2020. Update on the neurology of Covid-19. J Med


Virol, 92(11):2316–2318. doi: 10.1002/jmv.26000.
AU

Garg, R.K. 2020. Spectrum of Neurological Manifestations in Covid-19: A Review.


Neurol India, 68 (3):560–572. doi: 10.4103/0028-3886.289000.
Gusev, E.I., et al. 2020. Novel coronavirus infection (Covid-19) and nervous
system involvement: pathogenesis, clinical manifestations, organization
of neurological care. Zh Nevrol Psikhiatr Im S S Korsakova, 120 (6):7–16. doi:
10.17116/jnevro20201200617.
Han, W., et al. 2020. The course of clinical diagnosis and treatment of a case
infected with coronavirus disease 2019. J Med Virol, 92 (5):461–463. doi:
10.1002/jmv.25711.
Harcourt, J., et al. 2020.Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 from
Patient with 2019 Novel Coronavirus Disease, United States. Emerg Infect Dis,
26 (6). doi: 10.3201/eid2606.200516.

Manifestasi Neurologis Infeksi Covid-19 75


He, F., Deng, Y. and Li, W. 2020. Coronavirus disease 2019: What we know?. J Med
Virol, 92(7):719-725. doi: 10.1002/jmv.25766.
Helms, J., et al. 2020. Neurologic Features in Severe SARS-CoV-2 Infection. The New
England journal of medicine, pp. 2268–2270. doi: 10.1056/NEJMc2008597.
Iadecola, C., Anrather, J. and Kamel, H. 2020. Effects of Covid-19 on the Nervous
System. Cell, 183 (1):16-27.e1. doi: https://doi.org/10.1016/j.cell.2020.08.028.
Josephson, S.A. and Kamel, H. 2020. Neurology and Covid-19. JAMA, 324 (12):1139–
1140. doi: 10.1001/jama.2020.14254.
Khatoon, F., Prasad, K. and Kumar, V. 2020. Neurological manifestations of
Covid-19: available evidences and a new paradigm. Journal of neurovirology.
26 (5):619–630. doi: 10.1007/s13365-020-00895-4.
Mao, L., et al. 2020. Neurological manifestations of Covid-19: a systematic review.
The Lancet Neurology, 24 (1):860. doi: 10.1186/s13054-020-03121-z.
McArthur, J.C. 2020.The Path Forward: Academic Neurology Responsds to Covid-

21
19. Ann Neurol, 87 (6):789–793. doi: 10.1002/ana.25773.
Meppiel, E., et al. 2020.Neurological manifestations associated with Covid-
19: a multicentric registry. Clin Microbiol Infect, 26(9):1-8. doi: 10.1016/j.
cmi.2020.11.005.
20
Mohkhedkar, M., Venigalla, S.S.K. and Janakiraman, V. 2020. Possible auto-
antigens that may explain the post-infection autoimmune manifestations
in Covid-19 patients displaying neurological conditions. J Infect Dis, 1-2. doi:
10.1093/infdis/jiaa703.
P

Montalvan, V., et al. 2020.Neurological manifestations of Covid-19 and other


coronavirus infections: A systematic review. Clinical Neurology and
AU

Neurosurgery. 194:105921. doi: 10.1016/j.clineuro.2020.105921.


Moriguchi, T., et al. 2020. A first case of meningitis/encephalitis associated with
SARS-Coronavirus-2. International Journal of Infectious Diseases,94:55–58. doi:
10.1016/j.ijid.2020.03.062.
Nakajima, H. 2020. Neurological Manifestations of Covid-19: Meningoencephalitis
and Encephalopathy. Brain Nerve, 72 (10):1031–1037. doi: 10.11477/
mf.1416201644.
Nami, M., et al. 2020.The Interrelation of Neurological and Psychological Symptoms
of Covid-19: Risks and Remedies. J Clin Med,9(8). doi: 10.3390/jcm9082624.
Orru, G., et al. 2020. Neurological complications of Covid-19 and possible
neuroinvasion pathways: a systematic review. Int J Environ Res Public Health,
17 (18). doi: 10.3390/ijerph17186688.

76 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Orsucci, D., et al. 2020. Neurological features of Covid-19 and their treatment: a
review. Drugs Context, 9:1-12. doi: 10.7573/dic.2020-5-1.
Pergolizzi, J.V., et al. 2020. Frequent neurologic manifestations and encephalopathy-
associated morbidity in Covid-19 patients. Postgraduate Medicine. 7 (11), p.
null-null. doi: https://doi.org/10.1002/acn3.51210.
Pezzini, A. and Padovani, A. 2020. Lifting the mask on neurological manifestations
of Covid-19. Nature Reviews Neurology, 16 (11):636–644. doi: 10.1038/s41582-
020-0398-3.
Phua, J., et al. 2020. Intensive care management of coronavirus disease 2019 (Covid-
19): challenges and recommendations. Lancet Respir Med, 8(5):506-517. doi:
10.1016/S2213-2600 (20)30161-2.
Rahman, A., et al. 2020.Neurological manifestations in Covid-19: A narrative
review. SAGE Open Medicine. SAGE Publications Ltd, 8, p. 2050312120957925.
doi: 10.1177/2050312120957925.

21
Roy, D., et al. 2020.Neurological and Neuropsychiatric Impacts of Covid-19
Pandemic. Can J Neurol Sci, pp. 1–16. doi: 10.1017/cjn.2020.173.
Taherifard, E. and Taherifard, E. 2020. Neurological complications of
Covid-19: a systematic review. Neurol Res, 42 (11):905 –912. doi:
20
10.1080/01616412.2020.1796405.
Ticinesi, A. et al. 2020. Delirium in Covid-19: epidemiology and clinical correlations
in a large group of patients admitted to an academic hospital. Aging Clinical
and Experimental Research. Springer International Publishing, 32 (10):2159–
P

2166. doi: 10.1007/s40520-020-01699-6.


Varatharaj, A., Thomas, N., Ellul, M. A., Davies, N. W. S., Pollak, T. A., Plant, G., et
AU

al. 2020. Neurological and neuropsychiatric complications of Covid-19 in 153


patients: a UK-wide surveillance study. The Lancet Psychiatry. 7 (10):875–882.
doi: 10.1016/S2215-0366 (20)30287-X.
Varatharaj, A., Thomas, N., Ellul, M.A., Davies, N.W.S., Pollak, T.A., Kumar, V., et
al. 2020.Neurological manifestations and implications of Covid-19 pandemic.
Nature Reviews Neurology, 8(10):875–882. doi: 10.1177/1756286420932036.
Wang, Y. et al. 2020.Oral Health Management of Children during the Epidemic
Period of Coronavirus Disease 2019. Sichuan Da Xue Xue Bao Yi Xue Ban.
2020/03/29, 51 (2), pp. 151–154. doi: 10.12182/20200360101.
Wenting, A., et al. 2020. Covid-19 neurological manifestations and underlying
mechanisms: a scoping review. Frontiers in Psychiatry, 11:860. doi: 10.3389/
fpsyt.2020.00860.

Manifestasi Neurologis Infeksi Covid-19 77


Wilson, M.P. and Jack, A.S. 2020. Coronavirus disease 2019 (Covid-19) in neurology
and neurosurgery: A scoping review of the early literature. Clin Neurol
Neurosurg, 193:105866. doi: 10.1016/j.clineuro.2020.105866.
Wu, J. and Tang, Y. 2020. Revisiting the immune balance theory: a neurological
insight into the epidemic of Covid-19 and its alike. Front Neurol, 11:566680.
doi: 10.3389/fneur.2020.566680.
Yadav, R., et al. 2020. Neurological involvement in Covid-19 patients: a narrative
review. J Neurosci Rural Pract, 11 (4):526–529. doi: 10.1055/s-0040-1716423.
Zangbar, H. S., Gorji, A. and Ghadiri, T. 2020. A review on the neurological
manifestations of Covid-19 Infection: a mechanistic view. Mol Neurobiol,
58:536-549. doi: 10.1007/s12035-020-02149-0.
Zayet, S., et al. 2020. Coronavirus disease 2019: new things to know!. J Med Virol,
doi: 10.1002/jmv.25874.
Zhang, Y., et al. 2020. Inflammatory response cells during acute respiratory distress

21
syndrome in patients with coronavirus disease 2019 (Covid-19). Ann Intern
Med, doi: 10.7326/L20-0227.
20
P
AU

78 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


MANIFESTASI KLINIS COVID-19
PADA SISTEM THT-KL

Achmad Chusnu Romdhoni, Rizka Fathoni Perdana, Puguh Setyo Nugroho, Rosa
Falerina

PENGANTAR

21
Kasus wabah penyakit Coronavirus disease 2019 (Covid-19) pertama kali
diidentifikasi di Kota Wuhan, China pada Desember 2019. World Health
20
Organization (WHO) mengumumkan kejadian wabah darurat kesehatan
Covid-19 pada 30 Januari 2020 dan berubah menjadi pandemi pada 11
Maret 2020. Dilaporkan lebih dari 3.5 juta kasus Covid-19 pada tanggal 1
Mei 2020 di lebih dari 187 negara dan daerah dengan telah menyebabkan
P

lebih dari 250.000 kematian (Rhman, S.A. & Wahid, A.A., 2020). Turut
dilaporkan manifestasi lain dari Covid-19 pada sistem THT seiring dengan
AU

pertambahan waktu, sehingga tidak hanya gejala batuk, pilek, dan radang
tenggorokan saja. Hal tersebut perlu diketahui secara dini agar diagnosis
bisa ditegakkan lebih cepat.

MANIFESTASI BIDANG THT-KL


Beberapa gejala klinik umum pada penderita Covid-19 adalah demam,
sakit tenggorokan, batuk, mialgia, dan infeksi pencernaan telah banyak
dilaporkan. Manifestasi lain Covid-19 pada bidang THT-KL yaitu gangguan
kemampuan pengecapan lidah (ageusia), gangguan pada penciuman
(anosmia), dan ketulian mendadak (Sudden Sensorineural Hearing Loss/
SSNHL) kini telah banyak dilaporkan. Gejala klinik tersebut dapat

79
muncul pada rentang 2 hingga 14 hari setelah terpapar virus SARS-CoV-2
(berdasarkan masa inkubasi virus). Gandica, et al., (2020) melaporkan gejala
neurologis yang disebabkan virus SARS-CoV-2, antara lain sakit kepala,
ensefalitis, Guillain Barre Syndrome, anosmia, serta ageusia. Gangguan
pernapasan akut yang disebabkan oleh Covid-19 bervariasi mulai dari
ringan sampai dengan berat. Penderita lanjut usia dengan disertai faktor
komorbid lebih menjadi rentan dan rawan terhadap manifestasi yang lebih
serius yang dapat berhubungan dengan gangguan pernapasan akut yang
berat serta mengalami badai sitokin (Rhman, S.A. & Wahid, A.A., 2020;
Mustafa, 2020).

AGEUSIA

DEFINISI
21
Ageusia merupakan hilangnya kemampuan pengecapan lidah yang dapat
20
disebabkan oleh gangguan pada saraf pengecapan atau kerusakan pada
taste bud. Gangguan pengecapan meliputi rasa manis, asam, asin, pahit,
gurih, dan berlemak (Doty, R.L., 2014). Ageusia termasuk gejala yang tidak
mengancan jiwa namun dapat menimbulkan rasa tidak nyaman karena
nafsu makan menjadi hilang dan dapat menyebabkan penurunan berat
P

badan sehingga bisa menimbulkan keluhan medis lainnya. Ageusia dapat


AU

tumpang tindih dengan anosmia (gangguan penciuman) dan memberikan


rasa tidak nyaman pada seseorang (Rathee, M. & Jain, P, 2020).

EPIDEMIOLOGI
Vaira, et al., (2020) melaporkan kejadian pasien Covid-19 dengan ageusia
yang dibarengi anosmia mencapai angka 19,4% sampai dengan 88%
saat ini. Mao, et al., (2000) melaporkan dari 219 pasien Covid-19, 11 (5,1%)
mengalami anosmia dan 12 (5,6%) mengalami ageusia (Vaira, et al., 2020).

80 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


PATOGENESIS
Hubungan antara virus SARS-CoV-2 dengan ageusia masih belum
dapat dijelaskan dengan pasti. Ada beberapa teori yang menjelaskan
kemungkinan terjadinya ageusia pada kasus Covid-19. Angiotensin-
converting enzyme 2 (ACE2) diidentifikasi sebagai reseptor terhadap SARS-
CoV-2. Reseptor tersebut tersebar luas pada mukosa mulut, terutama pada
lidah. Peran dari ACE2 dalam memengaruhi fungsi pengecapan telah
dilaporkan pada beberapa studi tentang analisis efek samping kemosensitif
yang disebabkan oleh ACE2 blocker. Virus SARS-CoV-2 dapat menempati
lokasi ikatan asam sialic pada taste bud lidah sehingga mengakselesrasi
degradasi partikel gustatori yang diperlukan pada pengecapan. Ageusia
pada pasien Covid-19 bisa bersamaan dengan gengguan penciuman/

21
anosmia (Vaira, et al., 2020). Ketika proses mengunyah dan menelan,
beberapa molekul dari makanan dan minuman akan memasuki area
hidung yang akan menstimulasi saraf penciuman (Doty, R.L., 2014).
20
DIAGNOSIS
Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang.
Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan antara lain onset terjadinya
P

gangguan pengecapan, apakah ageusia disertai dengan gangguan


penciuman, apakah ada gejala Covid-19 yang lain, dan apakah ada kontak
AU

dengan penderita Covid-19. Pemeriksaan ageusia terdapat beberapa


cara, antara lain menggunakan electro/chemo-gustometry, pemberian
beberapa solution berbeda-beda rasa di atas lidah dan penderita diminta
menyebutkan rasa apa (Rathee, M. & Jain, P, 2020). pada era pandemi
Covid-19 pemeriksaan tersebut perlu disesuaikan dengan kondisi dan
ketersediaan alat perlindungan diri yang sesuai. Penderita dengan keluhan
ageusia harus menjalani evaluasi lanjutan untuk mendeteksi adanya infeksi
Covid-19 di masa pandemi ini (Kelompok Studi Neurotologi, 2020).

Manifestasi Klinis Covid-19 Pada Sistem Tht-Kl 81


TATA LAKSANA
Tata laksana ageusia berdasarkan faktor penyebabnya. pada penderita
Covid-19, maka tata laksana difokuskan kepada eradikasi virus SARS-
CoV-2 dan peningkatan daya tahan tubuh.

PROGNOSIS
Apabila faktor penyebab dapat tertangani dengan baik, ageusia pada kasus
Covid-19 memiliki prognosis yang baik.

ANOSMIA
Anosmia merupakan salah satu tanda gejala awal yang khas infeksi

21
SARS-CoV-2. Anosmia didapatkan pada 50% dari jumlah pasien positif
virus SARS-CoV-2. Oleh karena itu, di era pandemi ini apabila penderita
mengeluhkan anosmia akut, harus dicurigai sebagai Covid-19. Sehingga
20
anosmia dapat digunakan salah satu instrumen skrining awal Covid-19
(Bénézit, F., et al., 2020; Galougahi, M.K., Raad, N., Mikaniki, N. 2020;
Lechien, J.R., et al., 2020).
P

DEFINISI
Anosmia adalah kehilangan kemampuan menghidu. Selain anosmia,
AU

ada beberapa jenis gangguan penghidu antara lain, agnosia yaitu kondisi
tidak bisa menghidu satu macam odoran; parsial anosmia yaitu kondisi
ketidakmampuan menghidu beberapa odoran tertentu; hiposmia yaitu
penurunan kemampuan menghidu berupa sensitifitas atau kualitas
penghidu; disosmia yaitu persepsi bau yang salah, termasuk parosmia
dan phantosmia. Parosmia yaitu perubahan kualitas sensasi penghidu;
phantosmia yaitu sensasi bau tanpa ada stimulus odoran atau halusinasi
odoran; presbiosmia yaitu gangguan penghidu karena umur tua.
Kemampuan untuk mencium bau atau fungsi penghidu secara normal
disebut normosmia (Huriyati, E., Nelvia, T., 2014).

82 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


EPIDEMIOLOGI
Anosmia yang disebabkan oleh infeksi virus SARS-CoV-2 belum
mempunyai data insiden dan prevalensi secara pasti. Kasus anosmia
di Perancis ditemukan pada 86% pasien Covid-19 (Klopfensteina, T., et
al. 2020). Ditemukan 30% pasien Covid-19 dengan gejala ringan ternyata
mengalami anosmia di Korea Selatan. Penelitian di Iran menyebutkan 98%
dari 60 penderita dengan Covid-19 mengalami gangguan penghidu, mulai
dari mikrosmia ringan sampai anosmia. Kasus anosmia pada penderita
Covid-19 juga ditemukan di berbagai negara, termasuk di Indonesia
(Wardani, R.S., et al., 2020).

PATOGENESIS

21
Patogenesis anosmia karena infeksi virus SARS-CoV-2 adalah melalui jalur
sentral dan jalur perifer. Anatomi yang unik antara nervus dan bulbus
olfaktori di rongga hidung dengan otak, memungkinkan ada saluran
20
khusus antara epitel hidung dan otak sehingga virus SARS-CoV-2 dapat
memasuki otak via jalur olfaktorius pada tahap awal infeksi hidung.
Virus SARS-CoV-2 dapat mencapai seluruh otak dan cairan serebrospinal
melalui nervus dan bulbus olfaktorius dalam waktu tujuh hari, kemudian
P

menyebabkan reaksi inflamasi dan demielinisasi pada tempat tersebut


(Wardani, R.S., et al., 2020).
AU

Patogenesis anosmia jalur perifer diakibatkan virus menyentuh


membran sel epitel, virus melakukan replikasi yang menyebabkan diproduksi
sitokin dan faktor sitotoksik yang menyebabkan terjadinya inflamasi di jalan
napas dan juga di rongga hidung. Inflamasi ini menyebabkan kerusakan
epitel olfaktori. Kerusakan epitel olfaktori menyebabkan reseptor rusak
sehingga menurunkan sensor terhadap odoran yang masuk ke rongga
hidung. Anosmia terjadi apabila terjadi inflamasi luas di dendrit silia.
Hiposmia terjadi apabila inflamasi di dendrit silia tidak luas. Gangguan
penghidu pada penderita Covid-19 melalui jalur sentral akibat virus yang
menginvasi reseptor olfaktorius pada neuro-epitelnya dan meluas ke bulbus
olfaktorius serta medula oblongata pada batang otak dan dapat berakhir
fatal yaitu gagal napas akut (Wardani, R.S., et al., 2020).

Manifestasi Klinis Covid-19 Pada Sistem Tht-Kl 83


Gambar 4.1 Sistem Penghidu (Lalwani, A.K., 2012)

DIAGNOSIS
1. Anamnesis

21
Anamnesis anosmia di era pandemi Covid-19 harus ditanyakan keluhan
yang berkaitan dengan manifestasi klinis Covid-19, karena anosmia
yang timbul secara mendadak tanpa disertai sumbatan hidung perlu
20
diwaspadai sebagai salah satu indikator spesifik infeksi virus SARS-CoV-2.
Apabila ada keluhan yang mengarah kepada manifestasi klinis Covid-19,
maka keluhan anosmia dapat disebabkan oleh efek infeksi virus SARS-
CoV-2. Gejala anosmia pada sebagian besar pasien Covid-19 hanya bersifat
P

sementara. Sehingga riwayat keluhan anosmia perlu ditanyakan sebagai


skrining penderita yang dicurigai sebagai penderita Covid-19 (Galougahi,
AU

M.K., Raad, N., Mikaniki, N., 2020; Hopkins, et al., 2020)

2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan hidung dengan rinoskopi
anterior, posterior, dan nasoendoskopi untuk menilai ada atau tidaknya
sumbatan di hidung, seperti inflamasi, polip, hipertrofi konka, septum
deviasi, penebalan mukosa, dan massa tumor akan memengaruhi proses
transpor odoran ke area olfaktorius (Huriyati, E,. Nelvia, T. 2014). Prosedur
pemeriksaan fisik di era pandemi Covid-19 harus memperhatikan
keamanan tenaga medis dengan menggunakan alat pelindung diri level
2 untuk mencegah penularan virus Corona dari penderita kepada tenaga
medis (Gambar 4.2) (Dewi, A.D. dkk., 2020; Taher, A. dkk., 2020).

84 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


21
Gambar 4.2 Alat Pelindung Diri Level 2 (Dewi, A.D., dkk., 2020)
20
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan penunjang untuk menegakan penyebab anosmia di era
pandemi Covid-19, apabila penderita dicurigai penyebab anosmia karena
P

virus SARS-CoV-2, maka harus dilakukan pemeriksaan penunjang untuk


menegakan diagnosis Covid-19 (Galougahi, M.K., Raad, N., Mikaniki, N.
AU

2020). Pemeriksaan penunjang penghidu dikerjakan apabila tidak ada


faktor infeksi. Pemeriksaan yang dapat dikerjakan antara lain pemeriksaan
kemosensoris penghidu, pemeriksaan elektrofisiologis penghidu,
pemeriksaan biopsi neuroepitel olfaktorius, dan pemeriksaan pencitraan
(Huriyati, E., Nelvia, T. 2014).
Pemeriksaan kemosensoris penghidu tes Sniffin sticks lebih
direkomedasikan untuk dilakukan. Kelebihan tes Sniffin Stick adalah
dapat menentukan ambang penghidu (treshold/T), diskriminasi penghidu
(discrimination/D), dan identifikasi penghidu (identification/I). Tes ini sudah
dipakai pada lebih dari 100 penelitian yang sudah dipublikasikan. Tes ini
telah diteliti dapat digunakan di negara lain termasuk di Asia (Huriyati,
E., Nelvia, T. 2014).

Manifestasi Klinis Covid-19 Pada Sistem Tht-Kl 85


TATA LAKSANA
Terapi anosmia dilakukan berdasarkan penyebab anosmia. Apabila
anosmia disebabkan oleh infeksi Covid-19, maka pengobatan terhadap
infeksi virus Corona tersebut menjadi pilihan utama. Penatalaksanaan
kasus anosmia yang disebabkan infeksi virus lainnya, yaitu kombinasi
penggunaan cuci hidung menggunakan larutan NaCl 0.9%, kortikosteroid
intranasal, dekongestan topikal, dan preparat Zinc. Seiring dengan
hilangnya pengaruh virus terhadap jaringan, maka epitel olfaktori akan
pulih kembali (Hopkins, C., et al., 2020; Wardani, R.S., et al., 2020).
Akan tetapi apabila anosmia tidak pulih, maka hal tersebut
menunjukkan bahwa pasien memiliki kemungkinan mengalami disfungsi
penghidu pasca infeksi yang mengganggu sistem saraf sensorik penghidu.

21
Pilihan pengobatan untuk memperbaiki keluhannya adalah dengan
pemberian preparat zinc, vitamin A, kortikosteroid, caroverine, asam alfa
lipoic (Goncalves, S. and Goldstein, B., 2016; Harless and Liang, 2016; Hura,
et al., 2020).
20
PROGNOSIS
Perbaikan gangguan penghidu yang berkaitan Covid-19 dilaporkan dalam
P

beberapa penelitian. Angka kesembuhan bervariasi 27–98% dengan rerata


waktu yang dibutuhkan untuk perbaikan gejala anosmia adalah 7,2 hari
AU

(Hopkins, C., et al., 2020; Wardani, R.S., et al., 2020).

MANAJEMEN KLINIS SINGKAT


Terapi a nosmia dilakuka n berdasarka n penyebab a nosmia.
Penatalaksanaan anosmia bertujuan untuk menghilangkan kelainan dasar
yang menjadi penyebab anosmia. Penyebab anosmia harus ditegakan
sebelum melakukan terapi yang definitif. Apabila anosmia disebabkan
oleh infeksi Covid-19, maka pengobatan terhadap infeksi virus Corona
tersebut menjadi pilihan utama. Pilihan terapi anosmia dapat berupa
farmakologi, nonfarmakologi, operasi, dan latihan kemampuan penghidu
(Goncalves, S. and Goldstein, B., 2016).

86 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


ALUR DIAGNOSTIK

21
20
Gambar 4.3 Management of patients with the new onset anosmia during the Covid
pandemic (Hopkins, et al., 2020)

REKOMENDASI
P

Fungsi penghidu pada manusia memegang peranan penting. Salah satu


gejala khas Covid-19 adalah anosmia. Keluhan anosmia menjadi salah
AU

satu skrining diagnosis Covid-19. Sebelum melakukan penatalaksanaan


anosmia harus dipastikan bahwa anosmia bukan disebabkan oleh Covid-
19 (Galougahi, M.K., Raad, N., Mikaniki, N., 2020).

KETULIAN MENDADAK
Ketulian mendadak termasuk salah satu kegawatdaruratan di bidang THT-
KL yang memerlukan penanganan segera. Biasanya penyebab ketulian
tidak dapat diketahui secara langsung. Teori tentang penyebab ketulian
mendadak adalah teori infeksi virus, teori vaskuler, teori rupur, dan teori
autoimun (Jenny, B. & Indro, S., 2007; Novita, S. & Yuwono, N., 2013).

Manifestasi Klinis Covid-19 Pada Sistem Tht-Kl 87


Dalam pembahasan kali ini, yang akan dijelaskan tentang teori virus
yang berhubungan dengan kejadian Covid-19.

DEFINISI
Ketulian mendadak atau sudden sensorineural hearing loss (SSNHL) adalah
gangguan pendengaran yang ditandai dengan gejala hilangnya atau
penurunan pendengaran yang terjadi secara mendadak. Ketulian pada
umumnya terjadi pada satu telinga, tetapi pada beberapa kasus dapat
terjadi pada kedua telinga (Hashisaki, G.T., 2006). Gangguan pendengaran
yang terjadi adalah tipe sensorineural pada 30 dB atau lebih di tiga
frekuensi berurutan yang terjadi lebih dari 72 jam (Rhman, S.A. & Wahid,
A.A., 2020).

EPIDEMIOLOGI 21
Angka kejadian ketulian mendadak sekitar 5–20 kasus per 100.000 orang
20
per tahun. Baru-baru ini dilaporkan pada Juli 2020 di Egypt, seorang laki-
laki 52 tahun seorang tenaga kesehatan yang tiga hari setelah didiagnosis
terinfeksi virus SARS-CoV-2 mengalami ketulian mendadak satu sisi tanpa
disertai gejala lainnya. Tidak ada riwayat trauma, konsumsi obat-obatan
P

ototoksik (Rhman, S.A. & Wahid, A.A., 2020).


AU

PATOGENESIS
Pada kasus-kasus penyakit yang disebabkan oleh virus seperti Mumps,
Measles, Rubella, dan Influenza terutama yang disebabkan oleh infeksi
adenovirus dan sitomegalovirus (CMV), bisa didapatkan ketulian
mendadak. Dari pemeriksaan serologis pada penderita ketulian mendadak
idiopatik didapatkan peningkatan titer antibodi terhadap sejumlah virus.
Pemeriksaan histopatologi tulang temporal penderita ketulian mendadak
didapatkan atrofi organ corti, atrofi stria vaskularis dan membran tektorial,
serta hilangnya sel rambut dan sel penyokong dari koklea (Hashisaki,
G.T., 2006).

88 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Infeksi virus telah dijelaskan dapat sebagai penyebab ketulian
mendadak melalui kerusakan struktur telinga dalam (sel rambut dan organ
corti) atau dalam hal mempercepat respons inflamasi yang menyebabkan
kerusakan telinga dalam (Rhman, S.A. & Wahid, A.A., 2020). Mustafa (2020)
melaporkan pada 20 penderita Covid-19 tanpa gejala di frekuensi tinggi
didapatkan penurunan dari hasil pemeriksaan audiometri dan TEOAE.
Hal ini menjelaskan virus Covid-19 dapat menyebabkan kerusakan sel
rambut luar koklea, tetapi tentu saja perlu didukung penelitian-penelitian
lebih lanjut.

DIAGNOSIS
Diagnosis ketulian mendadak didapatkan berdasarkan anamnesis

laboratorium (Moller, A.R., 2006).

1. Anamnesis
21
dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang audiologi dan
20
Anamnesis yang teliti mengenai onset, perjalanan penyakit, gejala
yang menyertai, serta faktor predisposisi, penting untuk mengarahkan
diagnosis. Hilangnya pendengaran secara tiba-tiba biasanya satu telinga
yang tidak jelas penyebabnya, berlangsung dalam waktu kurang dari 3
P

hari. Disertai keluhan lainnya seperti rasa penuh, tinnitus, dan vertigo.
AU

Apakah ada penggunaan obat otoksik sebelumnya.

2. Pemeriksaan fisik dan penunjang


Pada pemeriksaan otoskopi, tidak dijumpai kelainan pada telinga yang
sakit. Pemeriksaan pendengaran, tes garpu tala: Rinne positif, Weber
lateralisasi ke telinga yang normal, Schwabach memendek, kesan
tuli sensorineural. pada audiometri nada murni menunjukkan tuli
sensorineural ringan sampai berat, penurunan lebih dari 30 dB pada tiga
frekuensi yang berurutan. Pemeriksaan audiometri nada tutur memberi
hasil tuli sensorineural (Abiratno, S.F., 2020). pada Gambar 4.4 adalah
audiogram penderita terdiagnosis Covid-19 dengan ketulian mendadak.

Manifestasi Klinis Covid-19 Pada Sistem Tht-Kl 89


Gambar 4.4 Audiometri Nada Murni Sebelum Terapi (Rhman, S.A. & Wahid, A.A,.
2020).

21
Pemeriksaan audiometri yang dilakukan di dalam ruang kedap
diupayakan dilakukan dalam waktu sesingkat mungkin. Dan pemeriksa
harus melengkapi dengan alat perlindungan diri sesuai standar zona di
20
rumah sakit tersebut. Penderita harus menggunakan masker sebelum dan
selama pemeriksaan pendengaran (Kelompok Studi Neurotologi, 2020).

3. Pemeriksaan Laboratorium
P

Pemeriksaan laboratorium untuk memeriksa kemungkinan infeksi virus.


Titer CRP yang biasanya meningkat.
AU

TATA LAKSANA
Tata laksana ketulian mendadak tergantung dari penyebabnya. Untuk tata
laksana ketulian mendadak pada kasus Covid-19 disarankan pemberian
injeksi steroid intratimpani karena masih adanya kontroversi pemberian
steroid peroral pada kasus Covid-19. (Rhman, S.A. & Wahid, A.A., 2020;
Herman, et al., 2020; Kelompok Studi Neurotologi, 2020). Seperti pada
kasus yang dilaporkan Rhman, S.A., et al., (2020) dengan pemberian injeksi
intratimpani metilprednisolon 40 mg/ml dengan lokal anestesi sebanyak
3 kali dengan jeda 5 hari, penderita mengalami perbaikan pendengaran
(tampak pada Gambar 4.5). Untuk tata laksana lainnya disesuaikan dengan

90 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Gambar 4.5 Audiometri Nada Murni Setelah Terapi (Rhman, S.A. & Wahid, A.A.,
2020).

21
keluhan yang bisa menyertai seperti tirah baring bila disertai vertigo,
terapi per oral vertigo (betahistin 2 × 24 mg/hari) sesuai indikasi (Stachler,
R., Chandrasekhar, S., 2012).
20
Evaluasi audiometri ulangan dilakukan untuk follow up kemajuan
terapi, bisa dilakukan setelah satu minggu setelah terapi injeksi steroid
intratimpani yang terakhir. Kriteria keberhasilan terbagi menjadi:
• Complete recovery, bila PTA setelah terapi: < 25 dB
P

• Marked improvement, bila perbaikan PTA: > 30 dB


• Slight improvement, bila perbaikan PTA: 10–30 dB
AU

• No recovery, bila tidak ada perbaikan PTA atau membaik : < 10 dB


Gambar 4.5 adalah audiogram penderita Covid-19 dengan ketulian
mendadak (yang sebelumnya dibahas di Gambar 4.4) setelah terapi injeksi
steroid intratimpani tampak perbaikan 10–30 dB. Bila ketulian menetap,
membutuhkan evaluasi untuk rehabilitasi pendengaran menggunakan
alat bantu dengar yang sesuai.

PROGNOSIS
Prognosis kasus ketulian mendadak secara umum tergantung dari
beberapa faktor, yaitu usia, derajat gangguan pendengaran, pengobatan
segera, dan ada tidaknya gejala vestibuler dan faktor predisposisi lainnya.

Manifestasi Klinis Covid-19 Pada Sistem Tht-Kl 91


Pemulihan spontan bisa terjadi sekitar 32–70%. Keterlambatan penanganan
bisa menyebabkan ketulian permanen karena kerusakan terutama di
daerah koklea. (Bashiruddin, J. & Indro, S., 2007; Novita, S. & Yuwono,
N., 2013)

RANGKUMAN DAN REKOMENDASI


Seiring dengan waktu, gejala Covid-19 pada sistem THT tidak hanya
sakit tenggorokan, batuk, dan pilek, tetapi juga didapatkan keluhan
ageusia, anosmia, dan ketulian mendadak pada beberapa kasus. Masih
diperlukannya studi lanjutan terkait dengan gejala-gejala pada sistem
THT-KL yang diakibatkan oleh virus SARS-CoV-2 untuk diagnosis dini
dan tata laksana yang lebih baik sehingga dapat meningkatkan kualitas
hidup penderita Covid-19.

DAFTAR PUSTAKA
21
20
Abiratno, S.F. 2020. Skrining lesi koklear vs retrokoklear pada kasus tuli mendadak
di masa pandemic Covid-19. Dalam: Bashiruddin, J., Soekin, S., Marlinda,
A., Dewi, Y.A. Buku Pedoman Tata Laksana di Bidang T.H.T.K.L Selama Pandemi
Covid-19. PERHATI-KL INDONESIA Cetakan Pertama, Mei. Jakarta; hal
P

66.
Bénézit, F., et al. 2020. Smell and taste dysfunction in patients with Covid-19.
AU

The Lancet Infection, Vol. 20. Available from: https://doi.org/10.1016/ S1473-


3099(20)30293-0.
Dewi, A.D., et al. 2020. Alat Perlindungan Diri. Dalam: Bashiruddin, J., Soekin,
S., Marlinda, A., Dewi, Y.A. Buku Pedoman Tata Laksana di Bidang T.H.T.K.L
Selama Pandemi Covid-19. PERHATI-KL INDONESIA Cetakan Pertama, Mei.
Hal 10–26.
Doty, R.L. 2014. Ageusia In: Aminoff, M.J. and Daroff, R.B. Encyclopedia of
the Neurological Sceince(Daroff S.E., eds. Oxford: Academic Press, pp.
69–71. Available from: http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/
B978012385157401112X.
Galougahi, M.K., Raad, N., Mikaniki, N. 2020. Anosmia and the Need for Covid-
19 Screening During the Pandemic. Available from: https://www.entnet.org/

92 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


sites/default/files/uploads/raad_anosmia_and_the_need_for_Covid-19_
screening_during_the_pandemic.pdf. Accesed on November 22nd 2020.
Gandica, J.V., Winter, D., Schnippe, R., et al. 2020. Ageusia and anosmia, a common
sign of Covid-19? A case series from four countries. Journal of Neurovirology,
26(5):785-789
Goncalves, S. and Goldstein, B. 2016. Pathophysiology of olfactory disorders and
potential treatment strategies. Current Otorhinolaryngology Reports, 4(2):115-
121.
Harless, L., Liang, J. 2016. Pharmacologic treatment for postviral olfactory
dysfunction: a systematic review. International Forum of Allergy & Rhinology,
6(7):760-67. DOI: 10.1002/alr.21727.
Hashisaki, G.T. Sudden sensory hearing loss. In: Bailey, Byron J, Johnson, Jonas T,
Newlands, Shawn D, eds. Head and Neck Surgery-Otolaryngology. 4th Ed.
New York: Lippincott Williams and Wilkins; 2006.p.2232-6.

21
Herman, P., Vincent, C., Winkler, P., Loundan, N., et al. 2020. Consensus statement.
Corticosteroid therapy in ENT in the context of the Covid-19 pandemic.
European Annals of Otorhinolaryngology, Head and Neck disease, 137:315-
17.
20
Hopkins, C., et al. 2020. Management of New Onset Anosmia in the COVID
Pandemic: BRS Consensus Guidelines. Available from: https://www.entuk.
org/sites/default/files/BRS%20COVID%20anosmia%20guidelines%20-%20
recommendations%20only.pdf. Accesed on November 22nd 2020.
P

Hura, N., et al. 2020. Treatment of post-viral olfactory dysfunction: an


evidence-based review with recommendations. International Forum of Allergy
AU

& Rhinology, 10(9):1065-1086.


Huriyati, E., Nelvia, T. 2014. Gangguan Fungsi Penghidu dan Pemeriksaannya.
Jurnal Kesehatan Andalas, 3(1):1–7.
Bashiruddin, J. and Indro, S. 2007. Tuli Mendadak. Dalam: Soepardi, E.A., Iskandar,
N., Bashiruddin, J., Restuti, R.D. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorokan Kepala dan Leher. Edisi ke 6: Jakarta: FK UI.
Kelompok Studi Neurotologi. 2020. Pedoman neurotologi selama pandemik
Covid-19. Dalam: Bashiruddin, J., Soekin, S., Marlinda, A., Dewi, Y.A. Buku
Pedoman Tata Laksana di Bidang T.H.T.K.L Selama Pandemi Covid-19. PERHATI-
KL INDONESIA Cetakan Pertama, Mei. Jakarta; hal 70.
Lechien, J.R., Barillari, M.R., Jouffe, L., Saussez, S. 2020. Anosmia Is a Key Symptom
of Covid-19 Infection and Should Be Used as a Diagnostic Tool. Ear, Nose &
Throat Journal, 99(9):577–578. DOI: 10.1177/0145561320925191.

Manifestasi Klinis Covid-19 Pada Sistem Tht-Kl 93


Leung, M.A., Flaherty, A., Zhang, J.A., Hara, J., Barber, W., Burgess, L. 2016. Sudden
sensorineural hearing loss: primary care update. Hawai’I Journal of Medicine
& Public Health, 75(6):172 – 74.
Moller, A.R. 2006. Sudden hearing loss. In: Moller AR, ed. Hearing Anatomy,
physiology, and Disorders of the Auditory System 2nd ed. New York:
Elsevier; p.234-6.
Mustafa, M. 2020. Audiological profile of asymptomatic Covid-19 PCR-positive
cases. AM J Otolaryngol, 41:1-3.
Novita, S., Yuwono, N. 2013. Diagnosis dan tata laksana tuli mendadak. CDK,
40(11):820-6.
Rathee, M., Jain, P., Ageusia. In: StatPearls [Internet] NCBI Bookshelf. Treasure
Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-. Available from: https://www.
ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK549775/
Rhman, S.A. & Wahid, A.A. 2020. Covid-19 and sudden sensorineural hearing

21
loss, a case report. Otolaryngology Case Reports, 16:1-3.
Stachler, R., Chandrasekhar, S., Archer, S., Rosenfeld, R., Schwartz, R., David, M.,
et al. 2012. Clinical practice guideline: Sudden hearing loss. American academy
of Otolaryngology-Head and Neck Surgery, 43 (Suppl 146):60-7.
20
Vaira, L.A., Salzano, G., Deiana, G., et al. 2020. Anosmia and ageusia: common
findings in Covid-19 patients. Laryngoscope, 130:787.
Vaira, L.A., Salzano, G., Fois, A.G., et al. 2020. Potential pathogenesis of ageusia
and anosmia in Covid-19 patients. International Forum of Allergy & Rhinology,
P

00(0):1-2.
Wardani, R.S. et al. 2020. Anosmia. Dalam: Bashiruddin, J., Soekin, S., Marlinda,
AU

A., Dewi, Y.A., Buku Pedoman Tata Laksana di Bidang T.H.T.K.L Selama
Pandemi Covid-19. PERHATI-KL Indonesia Cetakan Pertama, Mei. Hal
46–50.

94 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


MANIFESTASI KLINIS COVID-19
PADA SISTEM RESPIRASI

Soedarsono

PENGANTAR

21
Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) adalah penyakit yang disebabkan
oleh Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) dan
20
telah dinyatakan sebagai pandemi global oleh World Health Organization
(WHO) (Huang, dkk., 2020;WHO, 2020). Penyakit yang disebabkan oleh
virus ini telah menginfeksi berbagai kelompok usia dan menghasilkan
berbagai manifestasi klinis dengan spektrum yang luas. Covid-19 dapat
P

menunjukkan derajat keparahan yang berbeda-beda, dari ringan atau


tanpa gejala hingga tingkat keparahan yang fatal. SARS-CoV-2 diketahui
AU

menyebabkan penyakit paru yang substansial, termasuk pneumonia dan


acute respiratory distress syndrome (ARDS) (Baj, et al., 2020; Gupta et al., 2020).
Sistem respirasi terutama paru merupakan organ yang utama terinfeksi
SARS-CoV-2 (Kermani, et al., 2020). Covid-19 ditularkan utamanya melalui
saluran pernapasan, manifestasi klinis umum yang timbul pada individu
bergejala meliputi demam, sesak napas, batuk, nyeri tenggorokan, dan
nyeri dada. Pasien dapat dengan cepat berkembang menjadi pneumonia
sampai terjadi ARDS, gagal napas, dan kematian. Pasien mungkin juga
menunjukkan gejala atipikal yang kemudian menunjukkan terinfeksi
SARS-CoV-2. Pasien Covid-19 dapat juga bersifat asimtomatik atau tanpa
menujukkan gejala apapun, tetapi mayoritas adalah Covid-19 yang disertai
gejala dengan tingkat keparahan sedang (Baj, et al., 2020; Johnson, et

95
al., 2020). Berbagai studi yang mengamati manifestasi klinis Covid-19,
melaporkan keluhan dan gejala utamanya terjadi pada sistem respirasi
(Gupt,a et al., 2020).

MANIFESTASI KLINIS COVID-19 PADA SISTEM RESPIRASI


Sistem respirasi terutama paru merupakan organ utama terinfeksi Covid-19
(Kermani, et al., 2020). Beberapa penelitian retrospektif melaporkan
manifestasi klinis paru secara konsisten pada pasien dengan Covid-19,
meliputi batuk, sesak napas, produksi dahak pada beberapa laporan, gagal
napas, dan ARDS (Tabel 5.1). Batuk adalah gejala paru yang dominan
pada pasien Covid-19. Manifestasi klinis dapat bervariasi pada pasien
Covid-19, kemungkinan karena variasi dalam tingkat keparahan penyakit

21
saat menunjukkan gejala. ARDS adalah komplikasi paru berat pada
Covid-19, pada kondisi ini pasien mengalami severe hypoxia refractory to
oxygen therapy. Pasien Covid-19 dengan pneumonia berat dapat memburuk
20
dan berkembang menjadi gagal napas akut dan ARDS, pasien dengan
pneumonia berat ini membutuhkan perawatan medis intensif (Johnson,
et al., 2020).
Studi meta-analisis melaporkan bahwa hampir sepertiga (32,8%)
P

pasien Covid-19 berkembang menjadi ARDS selama perawatan di rumah


sakit. Hasil yang sama dilaporkan oleh suatu studi retrospektif analisis
AU

pada 85 pasien Covid-19, 74,1% pasien berkembang menjadi ARDS selama


menjalani rawat inap. Studi retrospektif lainnya melaporkan bahwa 61,5%
pasien pneumonia Covid-19 meninggal dalam 28 hari dengan interval
rata-rata dari masuk ICU sampai meninggal adalah 7 hari (Johnson, et al.,
2020; Rodriguez, et al., 2020; Du, et al., 2020; Yang, et al., 2020).
Manifestasi laboratorium meliputi jumlah sel darah putih normal
dengan penurunan jumlah limfosit dan peningkatan kadar C-reactive
protein (CRP). Manifestasi radiologis Covid-19 adalah patchy ground glass
opacity dengan atau tanpa konsolidasi melibatkan zona periferal, disertai
dengan halo sign, penebalan pembuluh darah, crazy paving pattern, atau
air bronchogram sign (Yang, et al., 2020; Guan, et al., 2020; Han, et al.,
2020; International Pulmonologist’s Consensus, 2020). Tabel 5.2 merupakan

96 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


parameter laboratorium yang

tenggorokan
berhubungan dengan manifestasi

Nyeri

12,3%
12,0%
11,0%

10,0%
NR

NR

NR

NR
klinis pada sistem respirasi.
Gejala klinis dapat
diinterpretasikan lebih akurat

Produksi
dengan penggunaan biomarker.

dahak
28,2%

26,9%
NR
NR
NR
NR
NR

NR
Hal ini dapat memberikan nilai
objektif selama perkembangan

Studi Meta-Analisis Manifestasi Klinis Paru pada Covid-19 (Johnson, et al., 2020).
penya k it. K lasi f i kasi derajat

napas
Sesak

21,9%
45,6%
30,0%
38,3%
26,0%

24,9%
27,0%
keparahan (ringan, sedang, berat,

NR
atau kritis) menjadi lebih jelas
dan memungkinkan melakukan

Batuk
intervensi lebih awal (Kermali,

68,6%
57,6%
67,0%
58,1%

72,2%
61,0%

60,3%
57,1%
et al., 2020). Beberapa parameter
hematologi, termasuk sel darah
putih (WBC), limfopenia, CRP, dan
21 Demam

88,5%
88,7%
91,0%
87,3%

89,0%
82,0%

83,3%
82,6%
20
beberapa parameter biokimia, seperti
LDH, kreatinekinase (CK), dan
troponin dilaporkan berhubungan
Jumlah
kasus
1.995
656
46.248
46.959
59.254
50.466
1.600
79
dengan keparahan Covid-19 (Ponti,
P

et al., 2020). Beberapa penelitian


melaporkan bahwa peningkatan
yang dianalisis
AU
Jumlah studi

CRP, D-dimer, PCT, dan ferritin


berhubungan dengan hasil akhir
43
19
10

19
31
61
10
8

pengobatan yang buruk, termasuk


kematian dan penyakit Covid-19
berat (Huang, et al., 2020) (Wang,
Rodriguez-Morales, et al.

et al., 2020; Yao, et al., 2020). Regresi


multivariabel yang menunjukkan
Long-quan Li, et al.

NR = Not Reported

D-dimer > 2.0 mg/L saat pertama


Di Mascio, et al.
Borges, et al.

masuk ruang perawatan adalah


Yang, et al.
Cao, et al.

Sun, et al.
Tabel 5.1

s at u- s at u nya va r i a b e l ya ng
Fu, et al.
Penulis

berhubungan dengan peningkatan


kemungkinan kematian. Tingkat

Manifestasi Klinis Covid-19 Pada Sistem Respirasi 97


Tabel 5.2 Manifestasi Klinis, Abnormalitas Pemeriksaan Laboratorium, dan Faktor Risiko yang Berkontribusi pada

98
Sistem Respirasi Akibat Covid-19 (Kermani, et al., 2020)

Abnormalitas
Manifestasi Klinis, Tanda,
Laboratorium yang Faktor Risiko Mekanisme Patogenik
dan Gejala
Berhubungan
Ringan (demam, batuk, Peningkatan CRP, – Direct viral invasion
fatigue, anoreksia, limfositopenia, prolonged
sesak napas, mialgia, prothrombin time,
nyeri tenggorokan, pilek, peningkatan laktat
sakit kepala, diare, mual, dehidrogenase
AU
muntah, hiposmia)
Pneumonia sedang Peningkatan CRP, Pria > Wanita Direct viral invasion
(demam, batuk, sesak
P
limfositopenia, prolonged
napas, takikardia, SpO2 prothrombin time,

Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


≥90%) peningkatan laktat
dehidrogenase
Pneumonia berat (demam, Neutrofilia, peningkatan Pria > Wanita Direct viral invasion;
20
batuk, sesak napas, laktat dehidrogenase, Usia lanjut virus-induced pancreatitis;
takikardia, SpO2 <90%) peningkatan troponin, Diabetes mellitus respiratory failure due to
limfositopenia, peningkatan Hipertensi hypokalemia and
CRP Malignansi hypophosphatemia;
Penyakit serebrovaskuler respiratory failure due to
21
Penyakit ginjal kronis neuroinvasive potential
of the virus; ACE 2
downregulation; Cytokine
release syndrome
D-dimer meningkat secara signifikan dengan meningkatnya derajat
keparahan Covid-19 yang didukung dengan bukti klinis dan gambaran
CT-scan toraks (Yao, et al., 2020).
Gambaran Covid-19 berdasarkan chest X-ray (CXR) menunjukkan
patchy atau diffuse reticular–nodular opacities dan konsolidasi, dengan basal,
peripheral, dan bilateral predominance. Gambaran abnormal pada CXR secara
tipikal menunjukkan bilateral multifocal opacities. The RALE score dapat
digunakan dalam keadaan darurat sebagai metode kuantitatif tingkat
pneumonia SARS-CoV-2, yang berhubungan dengan peningkatan risiko
masuk ICU (Cozzi, et al., 2020) (Pedoman NIH, 2020). Derajat kelainan
CXR mencerminkan keparahan penyakit yang sebanding atau lebih baik
dari penanda laboratorium. CXR yang dilakukan antara hari ke-6 dan
ke-10 sejak onset gejala adalah prediktor yang lebih baik untuk penyakit

21
derajat berat daripada presentasi CXR yang dilakukan lebih awal. Sebuah
perjalanan klinis yang tidak berbahaya terlihat pada CXR yang normal atau
memiliki kelainan yang sangat ringan (Hui, et al., 2020). Gambar 5.1 berikut
20
merupakan progresi penyakit akut pada Covid-19 yang menunjukkan
manifestasi laboratorium dan radiologis dari hari ke hari.
P
AU

Gambar 5.1 Progresi Penyakit Akut pada Covid-19 (Akhmerov dan Marban,
2020).

Manifestasi Klinis Covid-19 Pada Sistem Respirasi 99


Chest X-ray (CXR) dapat dilakukan lebih luas dan lebih mudah
dibanding CT untuk manajemen Covid-19. Gambaran radiologis CT-scan
toraks pada pasien dengan Covid-19 sangat bervariasi. Tampilan dapat
khas (tipikal), tidak tentu (indertiminate), tidak khas (atipikal) dan tidak
tampak pneumonia (negatif pneumonia). Tabel 5.3 berikut deskripsi dari
masing-masing tampilan tersebut.
Periode inkubasi Covid-19 diperkirakan sekitar 4 sampai 14 hari
setelah pajanan. Rata-rata onset dari gejala awal hingga rawat inap adalah
7 hari. Infeksi Covid-19 dapat menimbulkan gejala ringan, sedang, atau
berat. Gejala klinis utama yang muncul yaitu demam (suhu > 38° C), batuk,
dan kesulitan bernapas. Selain itu dapat disertai dengan sesak memberat,
fatigue, mialgia, gejala gastrointestinal, seperti diare dan gejala saluran
napas lain. Setengah dari pasien timbul sesak dalam satu minggu (PDPI,

21
2020). Beberapa studi melaporkan gejala baru Covid-19 meliputi anosmia
(kehilangan indra penciuman) dan ageusia (kehilangan indra perasa)
(Russel, et al., 2020; Benezit, et al., 2020). Beberapa manifestasi klinis yang
20
dapat timbul pada awal penyakit antara lain demam (88–99%), kelelahan/
fatigue (38–70%), batuk kering (59–68%), anoreksia (40%), mialgia (15–35%),
sesak napas (19–31%), dan sputum production (27–34%) (International
Pulmonologist’s Consensus, 2020).
P

Mayoritas pasien Covid-19 menunjukkan gejala yang umum termasuk


demam, sesak napas, nyeri dada, batuk (baik batuk kering atau berdahak),
AU

nyeri tenggorok, flu, sakit kepala, menggigil, nyeri otot, artralgia, lemas,
fatigue, atau mialgia, hemoptisis. Sesak napas merupakan faktor prognostik
yang buruk untuk pasien. Penyebab kematian terbanyak kasus Covid-19 di
Wuhan adalah gagal napas (46,91%), diikuti oleh syok sepsis (19,75%), gagal
multiorgan (16,05%), dan serangan jantung (8,64%) (Baj, et al., 2020).
Pada kasus berat, perburukan terjadi secara cepat dan progresif,
seperti ARDS, syok septik, asidosis metabolik yang sulit dikoreksi,
dan perdarahan atau disfungsi sistem koagulasi dalam beberapa hari.
Kebanyakan pasien memiliki prognosis baik, dengan sebagian kecil
dalam kondisi kritis bahkan meninggal (PDPI, 2020). Gambar 2 berikut
ini merupakan tipikal karakteristik berdasarkan tingkat keparahan infeksi
SARS-CoV-2 (Baj, et al., 2020).

100 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Tabel 5.3 Konsensus The Radiological Society of North America (RSNA) untuk Penemuan CT-Toraks pada Covid-19
(International Pulmonologist’s Consensus, 2020)

Klasifikasi
gambaran
Temuan CT Saran bahasa dalam pelaporan
pneumonia
Covid-19
Tampilan khas Periferal, bilateral, GGO dengan atau tanpa “Terdapat pencitraan yang biasa dilaporkan
konsolidasi atau terlihat garis intralobular (“crazy pada gambaran pneumonia (Covid-19). Proses
paving”) GGO multifokal morfologi bulat dengan lainnya seperti sebagai pneumonia influenza,
atau tanpa konsolidasi atau terlihat intralobular sebagaimana dapat terlihat dengan toksisitas
AU
garis (“crazy paving”) Reverse halo sign atau obat dan penyakit jaringan ikat, dapat
temuan lainnya terkait pneumonia menyebabkan pola pencitraan yang sama”
Tampilan tidak Tidak ada fitur khas DAN adanya: multifokal, “Fitur-fitur pencitraan dapat dilihat sebagai
tentu
P
difusi, perihiliar, atau GGO unilateral dengan pneumonia Covid-19, meskipun tidak spesifik dan
atau tanpa konsolidasi dengan distribusi spesifik dapat terjadi dengan berbagai proses infeksi”
yang kurang non-rounded atau non-peripheral.
Terlihat beberapa GGO yang sangat kecil dengan
distribusi non-rounded atau non-peripheral
20
Tampilan Tidak ada tampilan khas atau tampilan tidak “Fitur pencitraan tidak khas atau dilaporkan
atipikal tentunya DAN adanya: isolated lobar atau tidak biasa untuk pneumonia Covid-19. Alternatif
konsolidasi segmental tanpa GGO, discrete small diagnosis harus dipertimbangkan”
nodules (sentrilobular, “tree in bud”), kavitasi
21
paru penebalan septal interlobular yang halus
dengan efusi pleura

Manifestasi Klinis Covid-19 Pada Sistem Respirasi


Negatif Tidak terdapat gambaran CT yang mengarah ke “Tidak terdapat temuan CT yang mengindikasikan
pneumonia pneumonia pneumonia” (Note: CT mungkin negatif pada pada

101
tahap awal Covid-19)
21
Gambar 5.2 Derajat Keparahan Infeksi SARS-CoV-2 dengan Tipikal Karakteristik
20
(Baj, et al., 2020).

Penilaian derajat keparahan Covid-19 saat ini adalah berdasarkan


tanda dan gejala klinis. Klasifikasi derajat keparahan Covid-19 menurut
P

pedoman NIH (2020), antara lain:


• Asimptomatik atau infeksi prasimptomatik: individu dengan hasil
AU

tes positif SARS-CoV-2 namun tidak menunjukkan gejala


• Ringan: individu yang memiliki beberapa tanda dan gejala (contoh:
demam, batuk, nyeri tenggorokan, malaise, sakit kepala, nyeri otot)
tanpa disertai sesak napas atau hasil abnormal pada pencitraan
• Sedang: individu yang menunjukkan penyakit saluran pernapasan
bawah berdasarkan pemeriksaan klinis atau pencitraan dan saturasi
oksigen > 93% pada udara ruang
• Berat: individu dengan frekuensi pernapasan > 30 kali per menit,
saturasi oksigen ≤ 93% pada udara ruang, rasio PaO₂/FiO₂ < 300, atau
terdapat infiltrate paru > 50%
• Kritis: individu dengan gagal napas, syok sepsis, dan atau disfungsi
multiorgan

102 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Definisi kasus Covid-19 berdasarkan derajat keparahannya menurut
PDPI, PERKI, PAPDI, PERDATIN, IDAI (2020), adalah:
1. Tanpa gejala: Kondisi ini merupakan kondisi yang paling ringan.
Pasien tidak ditemukan gejala.
2. Ringan/tidak berkomplikasi: Pasien dengan infeksi saluran napas
oleh virus tidak berkomplikasi dengan gejala tidak spesifik seperti
demam, lemah, batuk (dengan atau tanpa produksi sputum), anoreksia,
malaise, nyeri otot, sakit tenggorokan, sesak, kongesti hidung, sakit
kepala. Gejala lain meskipun lebih jarang, berupa keluhan diare,
mual atau muntah. Pasien usia tua dan immunocompromised gejala
yang timbul biasanya atipikal. Kasus pneumonia ringan termasuk
di dalamnya.
3. Sedang: Pasien remaja atau dewasa dengan pneumonia tetapi tidak

21
ada tanda pneumonia berat dan tidak membutuhkan suplementasi
oksigen atau anak-anak dengan pneumonia tidak berat dengan
keluhan batuk atau sulit bernapas disertai napas cepat.
20
4. Berat/Pneumonia Berat: Pasien remaja atau dewasa dengan demam
atau dalam pengawasan infeksi saluran napas/pneumonia, ditambah
satu dari:
• Frekuensi napas > 30×/menit
P

• Distress pernapasan berat


• Saturasi oksigen (SpO₂) < 93% pada udara kamar atau rasio PaO₂
AU

/FiO₂ < 300
atau pasien anak dengan batuk atau kesulitan bernapas, ditambah
setidaknya satu dari berikut ini:
• Sianosis sentral atau SpO₂ < 90%
• Distres pernapasan berat (seperti mendengkur, tarikan dinding
dada yang berat)
• Tanda pneumonia berat seperti ketidakmampuan menyusui atau
minum, letargi atau penurunan kesadaran, atau kejang.
• Tanda lain dari pneumonia yaitu tarikan dinding dada dan
takipnea:
− < 2 bulan : ≥ 60×/menit
− 2–11 bulan : ≥ 50×/menit

Manifestasi Klinis Covid-19 Pada Sistem Respirasi 103


− 1–5 tahun : ≥ 40×/menit
− > 5 tahun : ≥ 30×/menit
5. Kritis: Pasien dengan gagal napas, Acute Respiratory Distress Syndrome
(ARDS), syok sepsis dan/atau multiple organ failure.
Fase Perkembangan Penyakit Covid-19 menurut International
Pulmonologist’s Consensus (2020) antara lain:
1. Fase 1: asimptomatis (1–2 hari awal infeksi)
SARS-CoV-2 masuk ke dalam tubuh dengan menempel pada rongga
hidung dan bereplikasi. pada fase ini, virus dapat terdeteksi dengan
tes swab hidung dan meskipun belum dalam jumlah yang banyak,
pasien sudah dapat menyebarkan virus tersebut. Swab hidung lebih
sensitif dibandingkan swab tenggorok.
2.

21
Fase 2: respons saluran napas atas dan bawah (beberapa hari awal
infeksi)
Virus masuk ke saluran napas dan memicu respons imun inate.
20
pada tahap ini, infeksi sudah mulai menimbulkan gejala, terutama
gejala ringan.
3. Fase 3: hipoksia, ground glass infiltrates, dan ARDS
Saat ini virus telah sampai di alveoli dan menyerang sel alveolar
P

tipe II yang cenderung berada di perifer atau subpleura. SARS-


CoV-2 yang telah berkembangbiak di dalam sel alveolar tipe II akan
AU

dilepaskan yang kemudian memicu respons imun sehingga terjadi


apoptosis. Hal ini menimbulkan kerusakan alveolar dengan dipenuhi
membrane hialine dan beberapa multinucleated giant cells. Jaringan
alveolar selanjutnya akan mengalami fibrosis (Mason, 2020). Respons
inflamasi terus menguat dan menyebabkan inflamasi sistemik.
Hal ini sering disebut sebagai badai sitokin, dan dapat berakibat
melukai organ lebih jauh. Cedera parenkim paru menyebabkan
vasodilatasi, peningkatan permeabilitas endotel, dan pengerahan
leukosit yang kemudian menyebabkan kerusakan paru lebih lanjut,
dan hipoksemia.

104 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Tipikal perjalanan klinis dari sudut lain dapat dilihat pada Gambar
5.3. Respons masing-masing inang sangat bervariasi. Covid-19 tidak dapat
dilihat dari sudut pandang fenotip penyakit tunggal. Karakteristik host
yang berbeda memberikan serangkaian presentasi klinis yang berbeda,
mulai dari yang ringan, kegagalan multiorgan, dan pelepasan badai sitokin
(Guzik, et al., 2020).

21
20
P
AU

Gambar 5.3 Presentasi Gejala, Biokimia, dan Radiologi dalam Perjalanan Klinis
Covid-19 (Guzik et al., 2020)

Manifestasi Klinis Covid-19 Pada Sistem Respirasi 105


ALUR DIAGNOSTIK/ALGORITMA
Faktor risiko epidemiologis merupakan salah satu rujukan untuk
menentukan kasus terkait dengan infeksi SARS-CoV-2 atau tidak,
terutama pada kasus yang secara klinis dan radiologis kurang jelas untuk
memastikan diagnosis. Skoring penapisan diperlukan untuk mewaspadai
kecenderungan suatu kasus terkait Covid-19. Tabel 5.4 berikut adalah
skoring penampisan pasien Covid-19 dibuat tim Covid RSUD Dr. Soetomo
yang dibuat berdasarkan adanya faktor risiko penularan, gejala klinis,
laboratorium, dan gambaran radiologis.
Selain itu, penting untuk membedakan pasien Covid-19 atau non-
Covid-19 ketika pasien akan dilakukan suatu tindakan medis terkait
dengan penyakit yang diderita. Gambar 5.4 berikut ini adalah alur tata

21
laksana penapisan cepat yang disusun oleh tim Covid RSUD Dr. Soetomo
untuk menentukan sikap seorang dokter saat hendak melakukan suatu
tindakan terkait dengan Covid-19:
20
Tabel 5.4 Skoring untuk Penapisan Cepat Covid-19 (Tim Covid RSUD Dr.
Soetomo, 2020)
P
AU

106 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


21
Gambar 5.4 Alur Penapisan Cepat untuk Pasien Covid-19 dari Hasil Skrining (Tim
20
Covid RSUD Dr. Soetomo, 2020)

MANAJEMEN KLINIS SINGKAT


P

Pengobatan antivirus khusus Covid-19 dan vaksinnya belum ditemukan


AU

hingga saat ini, namun beberapa obat berpotensi untuk pengobatan


Covid-19. Beberapa modalitas pengobatan pada Covid-19 meliputi
pemberian antivirus, anti-C3, anti C5, dan anti IL-6, dan plasma konvalesen.
Beberapa obat antivirus sampai saat ini belum diketahui efikasinya dan
pemberiannya masih bersifat percobaan yang menjadi baginan dari
pelayanan pengobatan Covid-19. Ringkasan obat yang tersedia saat ini
yang dapat berpotensi digunakan untuk pengobatan Covid-19 dapat
dilihat pada Tabel 5.5. Opsi yang tercantum di bawah ini belum memiliki
lisensi untuk digunakan sebagai pengobatan Covid-19.

Manifestasi Klinis Covid-19 Pada Sistem Respirasi 107


Tabel 5.5 Ringkasan Obat yang Menjadi Pilihan untuk Pengobatan Covid-19 (International Pulmonologist’s Consensus,

108
2020)

Agen obat Klasifikasi Mekanisme Kerja Dosis Efek Samping


Hindoksiklorokuin Penggunaan off label Menghambat penurunan 400 mg BID × 2 dosis, Pemanjangan QT
pH pada tahap replikasi selanjutnya 200 mg BID
virus selama 5 hari
Oseltamivir Belum ada trial pada - Neuraminidase 75mg BID selama 5 hari Intoleran gastrointestinal
Covid-19 - Enzyme inhibitor pada (GI), sakit kepala,
influenza insomnia
AU
Remdesivir Investigasional (dapat - RNA dependent 200 mg IV loading Intoleran gastrointestinal
digunakan hanya saat - RNA polymerase dose, selanjutnya 100 mg (GI), hepatotoksik
compassionate) Inhibitor IV harian, sampai dengan
P 10 hari
Lopinavir/ Ritonavir Penggunaan off label 3CLpro (viralprotease) 400/100 mg BID sampai Pemanjangan QT,

Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


inhibitor dengan 10 hari hepatotoksik

Interfefon Beta B1 Penggunaan off label Immunomodulator; Sindrom flu, depresi


peningkatan innate dan
20
adaptive viral immunity
Tocilizumab Penggunaan off label Antibodi monoclonal 4–8 mg/kg Peningkatan enzim liver
terhadap reseptor IL6/ (maks 400mg) IV dan yang meningkatkan
treats cytokine release dapat diulang hingga 3 risiko reaktivasi infeksi
21
syndrome kali 8 jam pernapasan lainnya
Antibiotik Inisiasi awal berdasarkan Infeksi bakteri sekunder - -
(spektrum luas) peraturan CAP/VAP setiap (CAP)/ VAP
institusi
RINGKASAN & REKOMENDASI

Pertimbangkan IVIG pada Kemungkinan interaksi


Digunakan sesuai indikasi pada syok refraktori/sindrom aktivasi makrofag/jika pasien memiliki indikasi
Covid-19 telah menjadi pandemi dan
Tidak diindikasikan untuk pengobatan SARS-CoV-2 berdasarkan bukti yang tersedia. Kemungkinan
Efek Samping

dengan antivirus
suatu darurat kesehatan masyarakat,
menginfeksi lebih banyak individu
diba ndi ng waba h coronavirus
sebelumnya (SARS dan MERS). Sistem
respirasi terutama paru merupakan
organ utama terinfeksi SARS-CoV-2.
dosis standar 1 gm/kg

Manifestasi klinis Covid-19 terutama


terkait dengan sistem respirasi dan
harian × 2 dosis

paru, termasuk batuk, demam, sesak


napas, produksi sputum, pilek, nyeri
Dosis

21
tenggorokan, dan pada kasus yang
parah, Covid-19 dapat berkembang
konvalesen kemungkinan

untuk memulai pada fase

menjadi ARDS, gagal napas, dan


Secara teori: lebih baik
Mekanisme Kerja

bahkan kematian. Klinisi sebaiknya


Antibodi dari plasma

20
menekan viraemia

waspada adanya kerusakan paru


awal penyakit

sebagai organ utama yang terpengaruh,


serta memahami potensi perjalanan
memperpanjang pelepasan virus

lain untuk penggunaan steroid

dan perkembangan penyakit Covid-19


P

dengan memperhatikan manifestasi


AU

klinis, laboratoris, dan radiologis.


Dalam masa pandemi Covid-19,
Penggunaan off label

nakes (dokter dan tenaga kesehatan


lainnya) senantiasa mewaspadai semua
Klasifikasi

pasien dengan gejala respirasi untuk


dikaitkan dengan Covid-19 terutama
bila disertai dengan faktor risiko
-
-

epidemiologis, gambaran laboratoris,


Plasma konvalesen
dengan antibodi

dan radiologis, selanjutnya dilakukan


Kortikosteroid
Agen obat

tata laksana penegakan diagnosis


ternetralisir

dengan melakukan pemeriksaan PCR


SARS-CoV-2 sebagai alat diagnosis
standar baku.

Manifestasi Klinis Covid-19 Pada Sistem Respirasi 109


DAFTAR PUSTAKA
Akhmerov, A., Marban, E. 2020. Covid-19 and the Heart. Circulation Research,
126:1443-55.
Baj, J., Karakuta-Juchnowicz, H., Teresinski, G., Buszewicz, G, Ciesielka, M, Sitarz,
E., et al. 2020. Covid-19: Specific and Non-Specific Clinical Manifestations
and Symptoms: The Current State of Knowledge. J Clin Med, 9:1753.
Benezit, F., Turnier, P., Declerck, C., Paille, C., Revest, M., Dubee, V., et al. 2020.
Utility of hyposmia and hypogeusia for the diagnosis of Covid-19. Lancet
Infect Dis. Available from: https://doi.org/10.1016/S1473-3099(20)30297-8.
Cozzi, D., Albanesi, M., Cavigli, E., Moroni, C., Bindi, A., Luvara, S., et al. 2020.
Chest X-Ray in New Coronavirus Disease 2019. La Radiol Med. https://doi.
org/10.1007/s11547-020-01232-9.
Du, Y., Tu, L., Zhu, P., Mu, M.,Wang, R., Yang, P., et al. 2020. Clinical features of

21
85 fatal cases of Covid-19 from Wuhan: a retrospective observational study.
Am J Respir Crit Care Med, 201:1372–9.
Guan, W., Ni, Z., Hu, Y., et al. 2020. Clinical characteristics of coronavirus
disease 2019 in China. N Engl J Med. Available from: https://doi.org/10.1056/
20
NEJMoa2002032; PMID: 32109013; epub ahead of press.
Gupta, A., Madhavan, M.V., Sehgal, K., Nair, N., Mahajan, S., Sehrawat, T.S., et
al. 2020. Extrapulmonary Manifestations of Covid-19. Nature Medicine, 26:
1017-32.
Guzik, T.J., Mohiddin, S.A., Dimarco, A., Patel, V., Savvatis, K., Marelli-Berg, F.M.,
P

et al. 2020. Covid-19 and the cardiovascular system: implication for risk
assessment, diagnosis, and treatment options. Cardiovascular Res. Available
AU

from: https://www.portailvasculaire.fr/sites/default/files/docs/2020_guzik_
tj_Covid-19_systeme_cardiovasculaire_revue_ehj.pdf
Han, R., Huang, L., Jiang, H., Dong, J., Peng, H., Zhang, D. 2020. Early clinical and
CT manifestation of coronavirus disease 2019 (Covid-19) pneumonia. Am J
Roentgenol, 215:1-6.
Huang, C., Wang, Y., Li, X., Ren, L., Zhao, J., Hu, Y., Zhang, L., Fan, G., et al. 2020.
Clinical features of patients infected with 2019 novel coronavirus in Wuhan, China.
Lancet. Available from: https://doi.org/10.1016/S0140-6736(20)30183-5.
Huang, I., Pranata, R., Lim, M.A., Oehadian, Alisjahbana, B. 2020. C-Reactive
Protein, Procalcitonin, D-Dimer, and Ferritin in Severe Coronavirus Disease-
2019: A Meta-Analysis. Ther Adv Respir Dis, 14L 1-14.

110 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Hui, T.C., Khoo, H.W., Young, B.E., Mohideen, S.M., Lee, Y.S., Lim, C.J., et al. 2020.
Clinical Utility of Chest Radiography for Severe Covid-19. Quant Imaging
Med Surg. 10(7):1540-50.
International Pulmonologist’s Consensus. 2020. International Pulmonologist’s
Consensus on Covid-19. Kochi, India.
Johnson, K.D., Harris, C., Cain, J.K., Hummer, C., Goyal, H., Perisetti, A. 2020.
Pulmonary and Extra-Pulmonary Clinical Manifestations of Covid-19. Front
Med, 7:526.
Kermali, M., Khalsa, R.K., Pillai, K., Ismail, Z., Harky, A. 2020. The Role of
Biomarkers on Diagnosis of Covid-19 – A Systematic Review. Life Sci,
254:117788.
Kermani, E.K., Khalili, H., Karimzadeh, I. 2020. Pathogenesis, Clinical
Manifestations and Complications of Covid-19. Future Microbiol, 15(13):1287-
1305.

21
National Institutes of Health. 2020. Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) Treatment
Guidelines. NIH. Available from: https://www.covid19treatmentguidelines.
nih.gov/. Accessed 12 October 2020.
PDPI, PERKI, PAPDI, PERDATIN, IDAI. Protokol tata laksana Covid-19. PDPI,
20
PERKI, PAPDI, PERDATIN, IDAI. Jakarta. 2020.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2020. Pneumonia Covid-19.
Ponti G, Maccaferri M, Ruini C, Tomasi A, Ozben T. Biomarkers Associated with
Covid-19 Disease Progression. Crit Rev Clin Lab Sci, 2020. Available from:
P

https://doi.org/10.1080/10408363.2020.1770685.
Rodriguez-Morales, A.J., Cardona-Ospina, J.A., Gutierrez-Ocampo, E., Villamizar-
AU

Pena, R., Holguin-Rivera, Y., Escalera-Antezana, J.P., et al. 2020. Clinical,


laboratory and imaging features of Covid-19: A systematic review and meta-
analysis. Travel Med Infect Dis, 34:101623.
Russel, B., Moss, C., Rigg, A., Hopkins, C., Papa, S., Van Hemelrijck. 2020. Anosmia
and ageusia are emerging as symptoms in patients with Covid-19: what does
the current evidence say?. Ecancer,14:ed98.
Wang, D., Li, R., Wang, J., Jiang, Q., Gao, C., Yang, J., et al. 2020. Correlation Analysis
between Disease Severity and Clinical and Biochemical Characteristics of
143 Cases of Covid-19 in Wuhan, China: A Descriptive Study. BMC Infect
Dis, 20:519.
World Health Organization. 2020. Novel Coronavirus – China. Available from:
http://www.who.int/csr/don/12-january-2020-novel-coronavirus-china/en/.
12 Januari 2020.

Manifestasi Klinis Covid-19 Pada Sistem Respirasi 111


Yang, X., Yu, Y., Xu, J., Shu, H., Xia, J., Liu, H., et al. 2020. Clinical course and
outcomes of critically ill patients with SARS-CoV-2 pneumonia in Wuhan,
China: a single-centered, retrospective, observational study. Lancet Respir
Med, 8:475–81.
Yao, Y., Cao, J., Wang, Q., Shi, Q., Liu, K., Luo, Z., et al. 2020. D-Dimer as A
Biomarker for Disease Severity and Mortality in Covid-19 Patients: A Case
Control Study. J Intensive Care, 8:49.

21
20
P
AU

112 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


MANIFESTASI KLINIS SISTEM
KARDIOVASKULAR PADA COVID-19
DENGAN BADAI SITOKIN
Andrianto, Heasty Oktaricha

PENGANTAR

21
Coronavirus disease-19 (Covid-19) merupakan penyakit infeksi virus corona
baru yang disebabkan oleh severe acute respiratory syndrome corona virus-2
20
(SARS-CoV-2), pertama kali muncul di Wuhan, China pada awal Desember
2019 dan menyebar dengan cepat ke seluruh dunia (lebih dari 7.700.000
kasus yang dikonfirmasi pada 14 Juni 2020) (Wu, et al., 2020). Covid-19
sekarang menjadi pandemi global dengan jutaan orang terdampak dan
P

jutaan lainnya berisiko tertular. Covid-19 memengaruhi banyak sistem


organ terutama paru-paru dan jantung. Peningkatan biomarker jantung,
AU

terutama troponin dan/atau kreatin kinase MB, sering terjadi pada pasien
Covid-19 (Bavishi, et al., 2020; de Figueiredo Neto, et al., 2020).
Pasien Covid-19 dengan badai sitokin cenderung berkembang menjadi
multiple organ failure (MOF) dan sangat memperburuk kelangsungan hidup
pasien. Sindrom badai sitokin merupakan kondisi yang mengancam jiwa
dengan manifestasi peningkatan tajam sitokin proinflamasi, inflamasi
berlebihan, hiperferritinemia, ketidakstabilan hemodinamik dan MOF,
serta berpotensi fatal jika tidak diobati. Ciri-ciri badai sitokin adalah
respons imun yang tidak terkontrol dan disfungsi yang melibatkan
aktivasi berkelanjutan dari limfosit, makrofag dan sel natural killer. Sel-sel
ini melepaskan sitokin pro-inflamasi yang melimpah termasuk interferon
(IFN)-γ, tumor necrosis factor (TNF)-α, interleukin (IL)-1, IL-6, IL-18, IL-7,

113
dan IL-10, granulocyte-colony stimulating factor, IFN-γ inducible protein 10
(IP-10), monocyte chemoattractant protein 1 (MCP-1), macrophage inflammatory
protein 1-α, yang menipu sel-sel imun untuk membentuk siklus umpan
balik positif yang menyebabkan badai sitokin (Wu, et al., 2020).
Berdasarkan manifestasi klinis, tidak sedikit pasien terinfeksi SARS-
CoV-2 berkembang menjadi pneumonia dan severe ARDS. Respiratory
failure disebabkan oleh severe lung injury yang merupakan penyebab
utama kematian pada pasien yang terinfeksi SARS-CoV-2. Kecuali gejala
pernapasan, banyak pasien memiliki gejala jantung termasuk palpitasi
dan dada sesak serta acute cardiovascular injury yang parah. Selain itu,
pasien Covid-19 dengan pre-existing masalah (penyakit jantung koroner,
hipertensi) memiliki luaran klinis yang lebih parah dan angka kematian
yang lebih tinggi (Wu, et al., 2020). Oleh karena itu, pemahaman tentang

21
bagaimana Covid-19 dapat memengaruhi sistem kardiovaskular penting
bagi para klinisi (Lang, et al., 2020).
20
PATOGENESIS COVID-19
Covid-19 disebabkan oleh virus beta corona baru yang secara resmi
dinamai oleh WHO sebagai SARS-CoV-2. Virus korona adalah virus single-
P

stranded ribonucleic acid (RNA) dengan proyeksi permukaan terdapat protein


spike. Reservoir alami SARS-CoV-2 adalah kelelawar chrysanthemum, tetapi
AU

host intermediate masih tidak jelas. SARS-CoV-2 sangat mematikan dan


kapasitas penularannya lebih besar dari virus SARS sebelumnya (wabah
pada tahun 2003), dengan jumlah yang tinggi pada orang yang terinfeksi
(hingga satu miliar kopi RNA/mL dahak) serta memiliki stabilitas jangka
panjang pada permukaan yang terkontaminasi. SARS-CoV-2 lebih stabil
pada plastik dan stainless steel daripada tembaga dan karton, dan virus yang
aktif terdeteksi hingga 72 jam setelah berada pada permukaan tersebut.
Penularan terutama melalui kombinasi penyebaran dengan droplet, kontak
langsung dan tidak langsung serta melalui udara. Masa inkubasi virus
adalah 2–14 hari, (kebanyakan 3–7 hari) dan menular selama periode laten.
SARS-CoV-2 awalnya dapat dideteksi 1–2 hari sebelum timbulnya gejala
saluran pernapasan atas. Kasus ringan memiliki clearance virus lebih awal,

114 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


dengan hasil negatif pada pemeriksaan reverse transcriptase polymerase chain
reaction (RT-PCR) pada hari ke-10 setelah onset. Sebaliknya, semua kasus
yang parah masih positif pada atau setelah hari ke-10 dari onset. Durasi
rata-rata pelepasan virus adalah 20 hari dan durasi pelepasan virus terlama
yang diamati adalah 37 hari (European Society of Cardiology, 2020).
SARS-CoV-2 memasuki sel memicu infeksi melalui reseptor host
angiotensin converting enzyme (ACE2). ACE2 adalah protein multifungsi
dengan peran fisiologis utamanya adalah konversi enzimatik angiotensin
(Ang) II menjadi Ang-(1-7), dan Ang I menjadi Ang-(1-9), yang merupakan
peptida protektif kardiovaskular. Pengikatan protein spike dari SARS-CoV-2
pada ACE2 memfasilitasi masuknya virus ke dalam sel epitel alveolar
paru, dengan melibatkan transmembrane protein serine 2 (TMPRSS2). Di
dalam sitoplasma sel host, RNA genom virus dilepaskan dan bereplikasi

21
terbentuk RNA genom baru, kemudian diproses membentuk vesikula
yang mengandung virion yang menyatu dengan membran sel dan
melepaskan virus. Renin angiotensin system / angiotensin converting enzyme-
20
2 terganggu oleh infeksi SARS-CoV-2, dan memegang peran patogenik
pada severe lung injury dan respiratory failure pada Covid-19. Selain paru,
ACE2 banyak diekspresikan di jantung, pembuluh darah dan saluran
pencernaan (European Society of Cardiology, 2020).
P

GAMBARAN IMUNOLOGIS INFEKSI COVID-19


AU

SARS-CoV-2 memasuki tenggorokan dapat melalui aerosol atau droplet dan


memasuki paru-paru dan sistem gastrointestinal difasilitasi oleh reseptor
ACE2. SARS-CoV-2 mentarget sel epitel nasal, bronkial dan pneumosit,
melalui protein struktural virus, yaitu protein spike (S), dan berikatan
dengan reseptor ACE2. TMPRSS2 yang ada dalam sel host, mendorong
viral uptake dengan membelah ACE2 dan mengaktifkan protein S dari
SARS-CoV-2, dan memediasi masuknya virus corona ke dalam sel host.
ACE2 dan TMPRSS2 diekspresikan pada sel target host, terutama sel epitel
alveolar tipe II (Garg, et al., 2020; Wiersinga, et al., 2020). Mirip dengan
penyakit virus pernapasan lainnya, seperti influenza, limfopenia terjadi
pada individu dengan Covid-19 ketika SARS-CoV-2 menginfeksi dan

Manifestasi Klinis Sistem Kardiovaskular pada Covid-19 dengan Badai Sitokin 115
membunuh sel limfosit. Selain itu, respons inflamasi virus, terdiri atas
respons imun innate dan adaptif (terdiri atas imunitas humoral dan cell-
mediated), merusak limfopoiesis dan meningkatkan apoptosis limfosit
(Wiersinga, et al., 2020).
Pada tahap infeksi selanjutnya, ketika replikasi virus dipercepat,
integritas barrier epitel-endotel terganggu. Selain sel epitel, SARS-CoV-2
menginfeksi sel endotelial kapiler pulmoner, terjadi respons inflamasi dan
memicu masuknya monosit dan neutrofil. Studi otopsi telah menunjukkan
penebalan dinding alveolar yang difus dengan sel mononuklear dan

21
20
P
AU

Gambar 6.1 Immunopatogenesis Covid-19 (Wiersinga, et al., 2020)

116 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


makrofag menginfiltrasi ruang udara selain endotelitis. Infiltrat inflamasi
mononuklear interstisial dan edema berkembang dan muncul sebagai
ground-glass opacity pada computing tomographic (CT) imaging. Edema paru
mengisi ruang alveolar yang diikuti pembentukan membran hialin, yang
cocok dengan ARDS fase awal. Angioedema paru dapat terjadi tergantung
pada bradikinin. Secara kolektif, gangguan barrier endotel, disfungsi
transmisi oksigen alveolar-kapiler dan gangguan kapasitas difusi oksigen
adalah ciri khas Covid-19 (Wiersinga, et al., 2020).
Kebocoran vaskular dan edema paru pada pasien severe Covid-19
disebabkan oleh berbagai mekanisme (Gambar 6.2). Pertama, virus dapat
secara langsung memengaruhi sel endotelial sehingga terjadi endotelitis
yang luas, lisis dan kematian. Kedua, untuk masuk ke dalam sel, SARS-
CoV-2 mengikat reseptor ACE2, dan mengganggu aktivitas ACE2 (enzim

21
counteracting angiotensin vasopressors). Aktivitas ACE2 yang berkurang
secara tidak langsung mengaktifkan kalikrein-bradikinin pathway dan
menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular. Ketiga, neutrofil
20
P
AU

Gambar 6.2 Kebocoran Vaskuler dan Edema Paru (Teuwen, et al., 2020)

Manifestasi Klinis Sistem Kardiovaskular pada Covid-19 dengan Badai Sitokin 117
diaktifkan, direkrut ke sel endotelial paru, menghasilkan mediator
histotoksik termasuk reactive oxygen species (ROS). Keempat, sel imun,
sitokin inflamasi dan molekul vasoaktif meningkatkan kontraktilitas
sel endotelial dan hilangnya inter endhothelial junction. Sitokin IL-1β dan
TNF mengaktifkan glukuronidase yang menurunkan glikokaliks tetapi
juga meningkatkan regulasi asam hialuronik sintase 2, menyebabkan
peningkatan pengendapan asam hialuronat dalam matriks ekstraseluler
dan menyebabkan retensi cairan. Secara bersamaan, mekanisme ini
menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular dan kebocoran vaskular
(Teuwen, et al., 2020).

BADAI SITOKIN PADA COVID-19

21
Hipersitokinemia adalah respons hiperinflamasi yang tidak terkendali
yang dihasilkan dari penyebaran sistemik respons inflamasi lokal terhadap
infeksi virus atau bakteri. Kadar sitokin yang meningkat mengakibatkan
20
disfungsi endotel, kerusakan pembuluh darah dan disregulasi parakrin/
metabolik, sehingga merusak berbagai sistem organ. Kadar sitokin
respons akut (TNF dan IL-1β) dan sitokin kemotaktik (IL-8 dan MCP-1)
meningkat pada awal hipersitokinemia, memfasilitasi peningkatan IL-6
P

yang berkelanjutan. Interleukin-6 berikatan dengan reseptor IL-6 yang


terikat membran (mIL-6R) atau soluble reseptor IL-6 (sIL-6R), membentuk
AU

kompleks yang bekerja pada gp130, mengatur kadar IL-6, MCP-1 dan GM-
CSF melalui jalur janus kinase-signal transducer and activator of transcription
(JAKSTAT) dan mempermudah proses inflamasi. Interleukin-6, bersama
dengan sitokin pleiotropik lainnya, mendorong respons fase akut yang
meningkatkan feritin serum, komplemen, CRP dan faktor pro-koagulan.
Respons fase akut badai sitokin relatif berlebihan. Karena kadar sitokin
serum yang tinggi berbanding terbalik dengan jumlah limfosit total,
kadar sel T sitotoksik yang rendah dapat berperan terhadap penurunan
clearance virus. Memblokir bagian hilir (upstream) yang terkait dengan
atau pada kadar respons sitokin, seperti persinyalan makrofag JAK-STAT
untuk mengurangi produksi IL-1 dan IL-6, merupakan target terapi
potensial untuk badai sitokin. Strategi target berbasis sel juga dapat

118 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


dipertimbangkan, tetapi waktu untuk efek terapeutik dari terapi yang
diarahkan pada limfosit anti-B seperti rituximab mungkin terlalu lama
secara klinis. Oleh karena itu, menargetkan upstream mungkin relatif lebih
efektif. Sebagai reaksi terhadap infeksi SARS-CoV-2, makrofag dan sel
dendritik memicu respons imun awal, termasuk limfositosis dan pelepasan
sitokin. Namun, respons inflamasi menghasilkan kerusakan limfosit yang
berusaha menghentikan infeksi SARS-CoV-2. Limfopenia terjadi, terutama
pada pasien yang cukup parah sehingga memerlukan perawatan ICU.
Secara cepat terjadi gangguan regulasi pada produksi sitokin sehingga
akan menyerang sel-sel sehat. Kondisi ini biasanya ditemukan pertama
kali pada paru, dan berpotensi menyebar ke organ lain termasuk ginjal,
jantung, pembuluh darah dan otak (Bhaskar, et al., 2020).
Rangkaian kerusakan terkait badai sitokin dimulai dengan gangguan

21
barrier epitel di paru. Aktivasi NOD, LRR- and pyrin domain-containing
protein 3 (NLRP-3) inflammasome dan respons relatif tumpul dari histone
deacetylase 2 pada nuclear factor kappa beta (NFkB) compleks yang berkaitan
20
dengan badai sitokin. Gangguan barrier epitel membuat paru atau
jaringan lain terkena infeksi bakteri. Jaringan sitokin sistem imun juga
dapat berkomunikasi dengan jaringan sitokin sistem saraf pusat (SSP),
terutama ketika blood brain barrier (BBB) terganggu. Aktivasi mikroglia
P

dan IL-1 dapat menyebabkan peningkatan produksi reactive oxygen species


(ROS), fagositosis, apoptosis, dan peningkatan ekspresi sitokin di dalam
AU

SSP, yang menyebabkan kerusakan jaringan saraf melalui neuroinflamasi,


peningkatan stres oksidatif dan eksitotoksisitas dan disfungsi pada
pemangkasan sinaptik. Jaringan sitokin sistem imun sistemik dan
jaringan sitokin SSP saling memengaruhi melalui jalur neuropeptidergik
yang melibatkan neurokinin C dan B, neuroendokrin peptida (NPY)/gastrin-
releasing peptide (GRP), SPA-GRP (SPA: ((D-Arg, D-Trp, Leu) Substance P),
turunan dari substance P), dan vasoactive intestinal polypeptida (VIP). Aktivasi
makrofag dan fagositosis, kemotaksis dengan neutrofil dan degranulasi
sel mast, serta aktivasi dan proliferasi sel-T mengaktifkan jalur ini. Sitokin
pro inflamasi juga ditranspor melalui darah, yang selanjutnya dapat
memperkuat badai sitokin. Jaringan imun dan sitokin SSP saling tumpang
tindih dapat memicu terjadinya "immune hijack" (Bhaskar, et al., 2020).

Manifestasi Klinis Sistem Kardiovaskular pada Covid-19 dengan Badai Sitokin 119
Observasi dari kohort pertama pada 41 pasien Covid-19 di Wuhan,
yang mengarah pada penemuan virus SARS-CoV-2, mengungkapkan profil
sitokin yang mirip dengan secondary hemophagocytic lymphohistiocytosis
(sHLH), suatu kondisi hiperinflamasi yang dipicu oleh infeksi virus.
Pasien yang dirawat di unit perawatan intensif (ICU) memiliki jumlah
granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF), interferon
gamma-induced protein 10 (IP10), monocyte chemoattractant protein-1 (MCP-1),
macrophage inflammatory protein 1 alpha (MIP1A) dan tumor necrosis factor
alpha (TNFα) yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidak
dirawat di ICU. Observasi dari 150 pasien lain di Wuhan mengungkapkan
bahwa pasien yang meninggal akibat komplikasi Covid-19 memiliki
kadar C-reaktif protein (CRP), interleukin (IL)-6, dan feritin serum yang
lebih tinggi, yang menunjukkan proses hiperinflamasi. Kombinasi dari

21
marker ini dapat digunakan sebagai marker prognostik untuk menentukan
tingkat keparahan Covid-19. Studi lain menunjukkan bahwa pasien yang
mengalami myocardial injury terkait Covid-19 dengan peningkatan kadar
20
troponin T (TnT) juga menunjukkan CRP dan procalcitonin yang jauh
lebih tinggi (hingga 3-4 kali lebih banyak) dan mengalami peningkatan
morbiditas dan mortalitas. Pasien yang meninggal karena severe Covid-19
mengalami infeksi sel endotel dan endotelitis yang memengaruhi banyak
P

organ. pada kasus severe Covid-19, hipersitokinemia di paru menyebabkan


kerusakan alveolar difus, pembentukan membran hialin dan pembentukan
AU

trombus (terkonfirmasi pada otopsi dalam pembuluh kecil fibrin eksudat


dan fibrotic healing). Perubahan patologis ini mengakibatkan acute lung
injury dan bermanifestasi klinis sebagai ARDS (Bhaskar, et al., 2020).

MEKANISME POTENSIAL PENGARUH AKUT SARS-COV-2


PADA SISTEM KARDIOVASKULAR
SARS-CoV-2 memasuki sel host mengaktifkan proses inflamasi dan
kemudian terjadi kegagalan multiorgan. Reseptor ACE2 juga ada di
jaringan jantung dan di saluran pencernaan, yang dapat menjelaskan

120 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


manifestasi klinis jantung dan gastrointestinal pada pasien Covid-19. Data
menunjukkan bahwa mereka yang memiliki penyakit kardiovaskular,
hipertensi, dislipidemia berat, obesitas, dan diabetes berisiko tinggi untuk
severe Covid-19, sementara data lain menunjukkan bahwa SARS-CoV-2
menginfeksi jantung, mengakibatkan miokarditis, dan miokard infark.
Pasien dengan penyakit kardiovaskular yang mendasari (komorbid) berada
pada peningkatan risiko badai sitokin dan outcome yang buruk. Pasien
Covid-19 dengan penyakit komorbid kardiovaskular juga berisiko lebih
tinggi mengalami miocard injury (dengan peningkatan troponin jantung
(TnT)) serta aterosklerosis dan tromboemboli seperti stroke, ketidakstabilan
plak, vaskulitis dan infark miokard (Bhaskar, et al., 2020).
Disfungsi mikro dan makrovaskular severe serta proses proinflamasi
dapat menyebabkan ketidakstabilan plak dan mengakibatkan

21
berkembangnya sindrom koroner akut. Infeksi saluran pernapasan
mengaktifkan badai sitokin dan kemudian sel T/makrofag menginfiltrasi
ke miokardium dan mengakibatkan miokarditis dan kerusakan jantung.
20
Selain itu, SARS-CoV-2 menginvasi miosit jantung secara langsung,
menyebabkan disfungsi miokard dan komplikasi lebih lanjut, yaitu gagal
jantung akut dan/atau aritmia (Kowalik, et al., 2020).
Masa inkubasi rata-rata 7 hari, namun dapat sampai 14 hari. Mungkin
P

terdapat pelepasan virus asimtomatik, presimtomatik, atau postsimtomatik,


kemungkinan besar berkontribusi terjadinya transmisi cepat. Biomarker
AU

jantung seperti high-sensitivity troponin (hsTroponin) dapat dideteksi pada


pasien saat onset gejala dan bersifat prognostik. Peningkatan troponin
yang berkelanjutan bersama dengan peningkatan sitokin memprediksi
kebutuhan perawatan di ICU, ventilasi dan komplikasi vaskular. Bersama
dengan peningkatan sitokin, peningkatan NTproBNP dapat memprediksi
risiko miokarditis atau gagal jantung. Limfopenia, dengan supresi sel T dan
clearance virus yang tidak efisien, terjadi tahap over stimulasi makrofag,
amplifikasi sitokin dan hemofagositosis dengan gagal organ, termasuk
jantung (Liu, et al., 2020).

Manifestasi Klinis Sistem Kardiovaskular pada Covid-19 dengan Badai Sitokin 121
21
20
Gambar 6.3 Covid-19 dan Sistem Kardiovaskular (Kowalik, et al., 2020)
P

MANIFESTASI KARDIOVASKULAR PADA COVID-19


DENGAN BADAI SITOKIN
AU

Infeksi severe Covid-19 berkaitan dengan inflamasi sistemik, badai sitokin


pro-inflamasi dan sepsis menyebabkan MOF dan kematian. Berikut ini
adalah manifestasi cardiovascular injury pada pasien Covid-19 (Guzik,
et al., 2020).

ARITMIA
Infeksi virus berhubungan dengan disfungsi metabolik, inflamasi miokard,
dan aktivasi sistem saraf simpatis, sehingga berpotensi menyebabkan
aritmia jantung. Dalam laporan terbaru tentang 138 pasien Covid-19 yang
dirawat di rumah sakit, 16,7% pasien berkembang menjadi aritmia, dan
menempati peringkat kedua di antara komplikasi setelah ARDS. Aritmia

122 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


diamati pada 7% pasien yang tidak dirawat di ICU dan pada 44% subjek
yang dirawat di ICU (Golemi Minga, et al., 2020).
Laporan National Health Commission of China menyatakan bahwa
selama awal outbreak, sebagian besar pasien lebih sering memiliki
gejala kardiovaskular, seperti palpitasi dan dada sesak daripada gejala
pernapasan (Guzik, et al., 2020). pada studi kohort 137 pasien, palpitasi
dilaporkan pada 7,3%. pasien. Dalam studi terbaru dari 191 pasien, 2%
menunjukkan detak jantung > 125. Dalam penelitian terbaru dari 138
pasien yang dirawat di rumah sakit, 16,7% pasien mengalami aritmia.
Aritmia lebih banyak ditemukan pada pasien ICU (44,4%) dan hanya 6,9%
pasien non-ICU. pada pasien ARDS, telah dilaporkan aritmia dikaitkan
dengan peningkatan mortalitas. Dalam sebuah penelitian dari 282 pasien
dengan ARDS, 28% berkembang menjadi fibrilasi atrium (AF). New onset

21
AF (NoAF) selama ARDS dikaitkan dengan peningkatan mortalitas 90
hari [new onset AF 43% versus tanpa new onset AF 19%; rasio odds, 3,09;
confidence interval (CI) 95% 1,24-7,72; P = 0,02]. Perkembangan new onset
20
aritmia dijelaskan pada 21% dari 1051 pasien di ICU. Faktor risiko aritmia
terkait dengan ARDS, sepsis berat, syok septik, disfungsi ginjal akut
gangguan elektrolit, dan pasien dengan ventilator dan vasopresor (Golemi
Minga, et al., 2020).
P

ACUTE CARDIAC INJURY DAN MIOKARDITIS


AU

Miokarditis dapat terjadi pada pasien Covid-19 dalam beberapa hari


setelah mulai demam. Mekanisme myocardial injury yang diinduksi
SARS-CoV-2 terkait dengan peningkatan regulasi ACE2 di jantung dan
pembuluh koroner. Kegagalan pernapasan dan hipoksia pada Covid-19
juga dapat menyebabkan kerusakan miokardium dan mekanisme imun
inflamasi miokard. Sebagai contoh, cardiac injury menyebabkan aktivasi
respons imun innate dengan pelepasan sitokin proinflamasi, serta aktivasi
mekanisme tipe auto-imun adaptif melalui mimikri molekular (European
Society of Cardiology, 2020).
Myocardial injury dan miokarditis akut dapat disebabkan oleh infiltrasi
virus secara langsung, tetapi juga dapat terjadi akibat hipoksia berat dan

Manifestasi Klinis Sistem Kardiovaskular pada Covid-19 dengan Badai Sitokin 123
respons badai sitokin terhadap infeksi sistemik (Golemi Minga, et al., 2020;
Guzik, et al., 2020). pada pasien Covid-19, myocardial injury dilaporkan
sekitar 7–17% pasien dari beberapa penelitian di China (Golemi Minga, et
al., 2020). Laporan terbaru National Health Commision of the China, nekrosis
miosit dan infiltrat sel mononuklear ditemukan dalam spesimen otopsi
otot jantung mekanisme lain termasuk badai sitokin dipicu oleh respons
yang tidak seimbang dari sel T helper tipe 1 dan tipe 2 dan disfungsi
pernapasan dengan hipoksemia berakibat pada kerusakan sel miokard
(Alemzadeh-Ansari, 2020; Golemi Minga, et al., 2020).
Secara klinis, miokarditis Covid-19 dapat bermanifestasi hanya sebagai
mild chest discomfort dan palpitasi, dan sulit dibedakan dari penyebab lain.
Demikian pula miokarditis juga dapat bermanifestasi menjadi miokarditis
fulminan. Perubahan EKG transien sering terjadi sebagai petunjuk adanya

21
dan derajat keparahan cedera miokard. Miokarditis dapat berkembang
menjadi blok konduksi, takiaritmia, dan gangguan fungsi ventrikel kiri
(Guzik, et al., 2020).
20
Diagnosis miokarditis dipastikan melalui magnetic resonance imaging
(MRI) dengan tanda spesifik cedera miokard akut. Endomyocardial biopsy
(EMB) merupakan uji diagnostik gold standard, yang dapat menunjukkan
nekrosis miosit dan infiltrat sel mononuklear. Studi biopsi pasien dengan
P

miokarditis akut di Eropa menunjukkan bahwa etiologi virus berkisar


antara 37,8% dan 77,4%. Namun demikian, MRI dan EMB jantung sebagai
AU

alat diagnostik kemungkinan besar menjadi sulit diterapkan selama


pandemi Covid-19 (Guzik, et al., 2020).
Kadar biomarker myocardial injury secara signifikan lebih tinggi pada
pasien yang dirawat di ICU dibandingkan pasien non ICU (median creatin
kinase-MB, 18 versus 14 U/L; high sensitivity troponin level, 11,0 versus 5,1
pg/mL; P = 0,004). Dalam satu penelitian elevasi troponin dilaporkan pada
17% pasien dan lebih tinggi pada pasien yang meninggal (46% versus 1%;
P<0,0001). Peningkatan troponin sering terjadi pada pasien ARDS dan
berhubungan dengan luaran klinis yang lebih buruk (rasio hazard yang
disesuaikan, 1,45; 95% CI, 1,17-1,81; P = 0,01) (Golemi Minga, et al., 2020).
pada penelitian 150 kasus pasien Covid-19, 7% kematian dikaitkan
dengan kerusakan miokard dengan kegagalan sirkulasi dan pada 33%

124 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


kasus gabungan kegagalan pernapasan dan kerusakan miokard. pada
pasien dengan miokarditis, C-reaktif protein (CRP) lebih tinggi terkait
dengan luaran yang lebih buruk. Meskipun CRP lebih tinggi pada pasien
yang meninggal versus discharged (126,6 versus 34,1; P < 0,001), sejauh ini
tidak ada studi secara khusus yang melihat korelasi CRP pada pasien
dengan Covid-19 dan miokarditis (Golemi Minga, et al., 2020).
Myocardial injury secara signifikan lebih sering pada pasien yang
dirawat di ICU (22,2% versus 2,0%; P < 0,0001) dan pasien yang meninggal
(59% versus 1%; P < 0,0001). Hui, et al melakukan studi retrospektif dari
41 pasien berturut-turut menggunakan cardiac computed tomographic
imaging terhadap jaringan adiposa epikardial yang menunjukkan cardiac
inflammation pada Covid-19. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cardiac
injury akibat Covid-19 jarang terjadi pada kasus ringan dan sering terjadi

21
pada pasien yang parah, dengan CT-scan menunjukkan densitas jaringan
adiposa epikardial yang rendah pada kasus yang severe. National Health
Commission of China melaporkan bahwa di antara pasien yang meninggal
20
karena Covid-19, 11,8% pasien tanpa penyakit kardiovaskular sebelumnya,
memiliki peningkatan kadar troponin enzim atau cardiac arrest selama
rawat inap (Golemi Minga, et al., 2020).
P

ACUTE CORONARY SYNDROME


AU

Pasien Covid-19 berisiko menderita acute coronary syndrome (ACS). Data


yang dipublikasikan tentang Covid-19 dan ACS masih sedikit. Namun,
selama epidemi influenza, terjadi peningkatan kematian akibat penyakit
kardiovaskular. Risiko myocardial injury berkaitan dengan infeksi influenza,
pneumonia, bronkitis akut, dan infeksi dada lainnya (Golemi Minga,
et al., 2020).
ACS disebabkan oleh ruptur plak aterosklerotik, yang mengandung
sel inflamasi, yang dapat diaktifkan oleh infeksi di tempat lain di tubuh.
Pasien ACS juga mengalami penurunan cardiac reserve dan infeksi dapat
menyebabkan iskemia miokard. Pasien dengan acute myocardial injury
menjadi lebih buruk bila mereka membutuhkan respiratory support.
Kira-kira 1 dari 23 pasien yang dirawat di rumah sakit dengan ST-segment

Manifestasi Klinis Sistem Kardiovaskular pada Covid-19 dengan Badai Sitokin 125
elevation myocardial infarction (STEMI) akan membutuhkan respiratory
support dalam bentuk ventilasi mekanis invasif atau ventilasi non-invasif.
Hal ini dapat menjadi sangat signifikan pada pasien dengan Covid-19
(Golemi Minga, et al., 2020).

HEART FAILURE DAN SYOK


Heart Failure (HF) dapat menjadi faktor risiko kematian pasien Covid-19,
serta sepsis. Sepsis adalah penyebab utama kematian pasien gagal jantung
kronis. Namun, HF juga dapat terjadi sebagai komplikasi sepsis. Badai
sitokin dapat menghambat penggunaan oksigen oleh mitokondria, dan
dapat menyebabkan gagal jantung akut bahkan pada dewasa muda tanpa
faktor risiko jantung atau kelainan arteri koroner lainnya (Golemi Minga,
et al., 2020).

21
Heart Failure telah dilaporkan terjadi sekitar 23% pasien Covid-19.
Temuan ini sering terjadi pada pasien rawat inap yang non survive
dibandingkan dengan mereka yang survive (51,9% versus 11,7%; P < 0,0001).
20
Peningkatan kadar pro-B type natriuretic peptide (pro-BNP), yang diukur
pada pasien HF, juga telah dilaporkan pada pasien Covid-19. Dalam sebuah
penelitian dari 150 pasien, peningkatan kadar pro-BNP dilaporkan pada
22,2% pasien dan pada kasus critically ill mencapai 79% pasien (P < 0,0001)
P

(Golemi Minga, et al., 2020).


AU

Right-sided HF juga menjadi komplikasi yang signifikan pada pasien


Covid-19. Cor pulmonale akut adalah faktor risiko independen yang
dikaitkan dengan peningkatan mortalitas 28 hari pada pasien ARDS. Pasien
yang membutuhkan ekstracorporeal membrane oxygenation (ECMO) telah
dilaporkan dalam beberapa penelitian. ECMO dapat berfungsi sebagai
intervensi lifesaving rescue pada ARDS. pada 2 penelitian melibatkan 138
dan 1099 pasien, 5 dan 4 pasien membutuhkan ECMO, dan dilaporkan
tidak ada kematian. pada studi oleh Yang, et al., 2020, 5 dari 6 pasien yang
menggunakan ECMO meninggal. Pada sebuah studi oleh Zhou et al.,2020,
yang melibatkan 191 pasien, 3 pasien membutuhkan ECMO dan kemudian
meninggal (Golemi Minga, et al., 2020).

126 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Beberapa penelitian juga menunjukkan kadar interleukin (IL)-6
berbeda secara signifikan antara survivor dan non-survivor pasien
Covid-19, dengan non-survivor memiliki nilai hingga 7 kali lebih
tinggi. Selama ECMO, konsentrasi IL-6 secara konsisten meningkat
dan berbanding terbalik berkorelasi dengan kelangsungan hidup pada
anak-anak dan orang dewasa. Pasien yang survive dari ECMO mampu
menormalkan konsentrasi IL-6, sedangkan pasien yang meninggal terus
meningkat nilainya (Golemi Minga, et al., 2020).

TROMBOEMBOLI VENA
Angka kejadian komplikasi venous thromboembolism (VTE) pada pasien
Covid-19 masih belum dapat dipastikan. Dalam satu penelitian, D-dimer

21
yang meningkat (> 0,5 mg/L) berkaitan dengan kasus yang lebih parah
(59,6% versus 46,4%). Dalam sebuah studi oleh Zhou et al, D-dimer tinggi
(> 1 g/L) ditemukan pada 81% pasien Covid-19 yang meninggal. Kadar
D-dimer yang meningkat (> 1 g/L) sangat terkait dengan kematian pada
20
pasien rawat inap, (Golemi Minga, et al., 2020; Guzik, et al., 2020). Dua kasus
dari Wuhan China dilaporkan mengalami komplikasi emboli paru. Kedua
pasien menunjukkan peningkatan kadar D-dimer. Satu kasus didiagnosis
pada hari ke 10, dan yang lainnya didiagnosis pada hari ke-6. Penting juga
P

melakukan tindakan profilaksis untuk menghindari komplikasi VTE pada


AU

pasien Covid-19 (Golemi Minga, et al., 2020).

KELAINAN KOAGULASI
Gambaran koagulasi intravaskular diseminata dan emboli paru ditandai
dengan peningkatan kadar D-dimer dan degradasi fibrin sering terjadi
pada Covid-19. DIC telah diamati pada 71,4% non-survivor dan terjadi
emboli paru masif. Pengalaman dari China menunjukkan bahwa D-dimer
yang meningkat memberikan luaran yang buruk pada Covid-19. pada
studi kohort retrospektif, peningkatan kadar D-dimer (> 1 g/L) sangat
terkait dengan mortalitas di rumah sakit, dan hubungan ini konsisten
dengan hasil penelitian analisis multivariat (OR 18,4, 95% CI 2,6–128,6;
P = 0,003) (Guzik, et al., 2020).

Manifestasi Klinis Sistem Kardiovaskular pada Covid-19 dengan Badai Sitokin 127
MANAJEMEN

STRATEGI TERAPEUTIK DENGAN TARGET BADAI SITOKIN


Berbagai tahapan jalur badai sitokin dijadikan target dalam terapi.
Badai sitokin memiliki pemicu (infeksi virus) serta faktor-faktor yang
berpotensi menimbulkan efek patogenik dan mempermudah siklus
hiperinflamasi. Imunomodulasi dapat meningkatkan luaran klinis
meskipun tanpa obat antivirus. Interaksi antarobat yang digunakan untuk
terapi SARS-CoV-2 serta strategi terapi badai sitokin dengan antivirus,
antiretroviral, antimalaria (misalnya chloroquine dan hydroxychloroquine)
atau imunomodulator (misalnya tocilizumab) dipertimbangkan berdasarkan
kasus per kasus (Bhaskar, et al., 2020).

21
Untuk melawan patogenesis virus fase awal, obat antivirus yang
digunakan meliputi remdesivir, oseltavir, lopinavir, ritonavir dan lain-
lain. Meskipun efikasi dilaporkan masih kontroversi, chloroquin dan
hydroxychloroquin, karena bersifat basa lemah, obat ini dapat membantu
20
mengubah pH mukosa alveolar, menghambat masuknya virus dengan
mengubah glikosilasi pada reseptor ACE2 dan protein spike dan juga dapat
sebagai imunomodulator. Untuk menghindari infeksi bakteri ditambahkan
moxifloxacin, makrolid (Garg, et al., 2020).
P

Untuk menekan respons humoral yang diaktifkan digunakan


obat anti inflamasi seperti glukokortikosteroid (laporan yang saling
AU

bertentangan namun tetap disarankan untuk digunakan hanya dalam


waktu yang singkat untuk menghindari komplikasi); Imunosupresan
seperti mycophenolate mofetil, tacrolimus, cyclosporin; Inhibitor sitokin
inflamasi seperti tocilizumab sebagai antibodi monoklonal IL-6R,
antibodi monoklonal Rituximab-CD20; Anakinra sebagai antagonis IL-1;
Baricitinib sebagai penghambat Janus kinase OR JAK serta penghambat
AAK1 yang bekerja pada proses endositosis pada reseptor ACE2; Intravena
imunoglobulin (IVIG) dapat digunakan karena dapat memberikan respons
anti inflamasi dan melawan berbagai penanda inflamasi; Plasmaferesis
atau terapi plasma yaitu komponen plasma darah dikeluarkan, dibersihkan
dan dikembalikan ke tubuh atau diambil dari pasien yang pulih untuk

128 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


menekan proses peradangan; Penggunaan antioksidan seperti vitamin
C, vitamin E, glutathione dan superoksida dismutase untuk mengurangi
injury akibat radikal bebas (Garg, et al., 2020).

KORTIKOSTEROID DAN NSAID


Kortikosteroid dan NSAID secara efektif dapat menekan respons
hiperinflamasi, namun eradikasi virus yang tertunda dapat menyebabkan
komplikasi lebih lanjut dan juga meningkatkan risiko penularan.
Meskipun kortikosteroid dapat digunakan secara akut untuk target badai
sitokin, penggunaannya pada infeksi virus pernapasan dikaitkan dengan
peningkatan mortalitas, peningkatan risiko infeksi bakteri atau jamur
sekunder, dan masuk ICU yang berkepanjangan. Selain itu, kortikosteroid

21
dapat menutupi demam terkait Covid-19. Dengan demikian, kortikosteroid
dan NSAID tidak direkomendasikan untuk manajemen rutin pasien
Covid-19, meskipun secara teoritis bermanfaat dalam mengurangi risiko
badai sitokin (Bhaskar, et al., 2020).
20
TARGET INTERLEUKIN
Interleukin-6 (IL-6) berperan pada badai sitokin. Memblokir IL-6 adalah
P

strategi terapeutik potensial. Tocilizumab adalah antibodi monoklonal


terhadap reseptor IL-6 (IL-6-R) yang berikatan dengan IL-6-R yang terikat
AU

membran dan larut (mIL-6R dan sIL-6R), sehingga mencegah transduksi


sinyal downstream IL-6 dan mengikat protein membran gp130. Sebuah
penelitian terhadap 21 pasien Covid-19 yang diobati dengan tocilizumab
mengungkapkan bahwa manifestasi klinis membaik setelah pemberian.
Tocilizumab menjalani uji klinis fase IV (ChiCTR2000029765) dan telah
disetujui untuk digunakan dalam mengobati pneumonia Covid-19 dan
meningkatkan kadar IL-6 di China. Badan Pengatur Obat Italia sedang
melakukan uji coba fase II tocilizumab pada pasien Covid-19 (TOCIVID-19).
Efek pro-inflamasi IL-6 terjadi melalui jalur trans-signaling menggunakan
sIL-6R. Di sisi lain, efek anti-inflamasi dan regeneratif dari IL-6 melibatkan
cis-signalling pathway melalui mIL-6R, yang terdapat pada makrofag,
neutrofil, beberapa limfosit T dan hepatosit. Tocilizumab tidak selektif

Manifestasi Klinis Sistem Kardiovaskular pada Covid-19 dengan Badai Sitokin 129
untuk sIL-6R dan dapat menghambat mIL-6R, sehingga menyebabkan
efek samping negatif seperti infeksi saluran pernapasan bagian atas.
Protein gp130 rekombinan terlarut (sgp130) dapat menjadi alternatif untuk
tocilizumab karena ia berikatan dengan sIL-6R, sehingga mengurangi efek
pro-inflamasi ketika ia berikatan dengan IL-6. Penghambat IL-1 dapat
menjadi alternatif untuk mengobati hipersitokinemia Covid-19. Uji klinis
fase III anakinra menunjukkan manfaat survival tanpa peningkatan efek
samping. IL-37 dan IL-38 dapat dievaluasi sebagai pilihan terapeutik
untuk Covid-19 karena menghambat efek pro-inflamasi IL-1 (Bhaskar, et
al., 2020).

JANUS KINASE INHIBITOR

21
SARS-CoV-2 memasuki sel host melalui endositosis yang dimediasi
reseptor, yang diatur oleh numbassociated kinase (NAK) seperti adapter
complex protein 2 (AP2)-associated protein kinase (AAK1) dan G-terkait kinase
(GAK). Afinitas AAK1 blocker ruxolitinib yang tinggi sedang diteliti untuk
20
terapi Covid-19 . Untuk mencapai penghambatan NAK, diperlukan dosis
toksik dari AAK1 blocker. Baricitinib dapat menghambat AAK1 dan GAK
(dosis 2-4mg setiap hari) dan secara selektif dapat menghambat JAK 1 dan
2, sehingga mengurangi efek inflamasi IL-6 melalui jalur pensinyalan JAK-
P

STAT. Lebih lanjut, baricitinib dapat dipertimbangkan dalam kombinasi


AU

terapi antivirus dan anti-inflamasi karena interaksi yang minimal dengan


enzim sitokrom P450 (CYP) dan ikatan protein plasma yang rendah
(Bhaskar et al., 2020).

OBAT JANTUNG
Meskipun belum banyak penelitian klinis secara khusus tentang obat
jantung tertentu dan luaran pasien Covid-19, berikut ringkasan yang
dapat dipertimbangkan untuk pengobatan jantung (Golemi Minga,
et al., 2020).

130 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


1. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI) dan Angiotensin
Receptor Blocker (ARB)
Angiotensin converting enzyme-2 adalah homolog ACE yang mengubah
angiotensin II menjadi angiotensin 1-7, sehingga terjadi vasokonstriksi
yang dimediasi oleh sistem renin angiotensin. Penggunaan ACEI dan ARB
sering terjadi pada gangguan kardiovaskular (hipertensi, penyakit arteri
koroner, gagal jantung kongestif, dan DM). Ada data yang bertentangan
dari penelitian yang menunjukkan apakah obat ini meningkatkan atau
memiliki efek minimal pada ACE2. Masuknya SARS-CoV-2 ke dalam sel
bergantung pada ACE2, namun ACE2 melindungi dari acute lung injury.
Dalam model murinee, pengikatan protein spike SARS-CoV ke ACE2
menyebabkan downregulation ACE2, yang mengarah pada peningkatan
angiotensin II dan akhirnya meningkatkan permeabilitas pembuluh darah

21
paru, menginduksi edema paru dan penurunan fungsi paru. Pengobatan
dengan ACE2 rekombinan dan losartan mengurangi derajat lung injury
(Alemzadeh-Ansari, 2020).
20
American College of Cardiology (ACC) / Heart Failure Society of America
/ American Heart Association merekomendasikan tidak menghentikan
ACE-I dan ARB. Terapi ACE dan ARB merupakan pondasi terapi dalam
penurunan mortalitas pada pasien CVD dan gagal jantung kongestif, dan
P

penghentian obat tersebut dapat menyebabkan penurunan fungsi jantung


dan gagal jantung dalam beberapa hari sampai minggu. Dalam penelitian
AU

yang dilakukan di China, terjadi peningkatan kadar kreatinin pada


1,6–4,5% kasus, dengan kadar kreatinin yang lebih tinggi pada pasien ICU
dan yang meninggal. Penghentian ACE/ARB pada pasien harus dievaluasi
berdasarkan derajat kidney injury {Formatting Citation}.
Saat ini, tidak ada data yang menunjukkan ACEI atau ARB mendorong
masuknya virus corona dengan meningkatkan ekspresi ACE2 pada hewan
dan manusia. Data pada hewan menunjukkan peningkatan ekspresi ACE2
memberikan efek protektif. Kesimpulannya, ACEI dan ARB seharusnya
tidak dihentikan karena infeksi virus corona. Selain itu sebuah studi
yang telah dipublikasikan menegaskan bahwa tidak ada peningkatan
risiko berkembangnya severity Covid-19 di antara > 5.800 pasien yang
positif Covid-19 dan berada pada lima kelas umum obat antihipertensi

Manifestasi Klinis Sistem Kardiovaskular pada Covid-19 dengan Badai Sitokin 131
(ACEI, reseptor angiotensin blocker, beta blocker, calcium channel blocker atau
thiazide diuretik). Sebagai tambahan, studi berbasis populasi di wilayah
Lombardy di Italia yang melibatkan > 6.200 pasien, ACEI dan ARB lebih
sering digunakan pada pasien Covid-19 karena prevalensi CVD yang
tinggi di antara pasien tersebut. Demikian pula, tidak ada bukti bahwa
obat tersebut meningkatkan risiko Covid-19 yang memburuk (Imazio,
et al., 2020).

2. Statin
Sifat anti-inflamasi statin telah diketahui sebelumnya tentang peran
potensial statin pada pasien dengan infeksi virus akut. Beberapa laporan
menunjukkan bahwa statin mengurangi penurunan CRP sebesar 60%.
Beberapa studi observasi telah melaporkan terapi statin dikaitkan

21
dengan penurunan berbagai luaran kardiovaskular termasuk kematian
pada pasien dengan influenza atau pneumonia. Namun, ada bukti
penelitian yang masih kontroversi. Satu randomized controlled trial (RCT)
20
menunjukkan pemberian statin memiliki efek menguntungkan untuk
mengurangi mortalitas pada pasien dengan ventilator terkait pneumonia,
namun sebaliknya, RCT lain tidak mendukung penggunaan statin.
American College of Cardiology merekomendasikan penggunaan statin
P

pada pasien Covid-19, mengingat risiko cardiac injury dari virus. Namun,
studi lain menyarankan bahwa kelanjutan statin dapat memiliki beberapa
AU

efek negatif, termasuk berdampak pada sistem kekebalan tubuh, cedera


hepatoseluler dan efek pada sel otot. Baik disfungsi hati dan rhabdomyolyses
telah dilaporkan sebagai kemungkinan komplikasi pada pasien dengan
Covid-19 (Minga et al., 2020)
Penggunaan statin pada ARDS juga memiliki data campuran. Dalam
sebuah penelitian terhadap 128 pasien yang dirawat di ICU karena sepsis,
disimpulkan bahwa pasien yang menggunakan statin sebelum menderita
sepsis, kejadian ARDS cenderung berkurang (7% versus 29%; P = 0,005) 0,84.
Dalam suatu trial Hydroxymethylglutaryl-CoA Reductase Inhibition dengan
simvastatin pada acute lung injury untuk mengurangi disfungsi paru, dari
540 pasien dengan ARDS (41% dari pneumonia), peneliti tidak menemukan
perbedaan apa pun antara kelompok yang tidak menggunakan ventilator,

132 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


lama perawatan di rumah sakit, atau kematian pada 28 hari. Namun,
analisis sekunder dari penelitian menunjukkan bahwa hyperinflammatory
sub-phenotype ARDS telah meningkatkan kelangsungan hidup dengan
simvastatin dibandingkan dengan plasebo. Terapi statin lanjutan pada
pasien Covid-19 untuk kasus yang lebih moderate hingga severe reasonable
dan statin dihentikan jika terjadi komplikasi pada hati dan rhabdomyolysis
( Minga, et al., 2020).

3. β-Blocker
β-blocker merupakan salah satu terapi dasar di bidang kardiovaskular yang
memberikan manfaat, khususnya dalam menurunkan kematian. Efek
β-blocker pada pasien Covid-19 masih belum banyak diteliti. Penggunaan
β-blocker pada syok septik dapat menimbulkan kerugian, mengingat

21
penurunan denyut jantung sebagai efek blokade terhadap reseptor
β-adrenergik. pada RCT dari 77 pasien dengan syok septik, esmolol
digunakan pada pasien dengan HR ≥ 95 bpm, yang juga membutuhkan
20
norepinefrin untuk mempertahankan tekanan arteri rata-rata ≥ 65
mmHg. Studi ini tidak menunjukkan efek samping penggunaaan esmolol
yang meningkat. Namun demikian, β-blocker juga dilaporkan dapat
meningkatkan mortalitas pada pasien dengan ARDS (Minga, et al., 2020).
P

Karena β-blocker adalah terapi jantung yang penting, dan data terkini
tidak menyarankan pertimbangan apa pun dengan pasien Covid-19,
AU

menahan β-blocker dapat menyebabkan kerusakan pada jantung dan


kemungkinan terjadi aritmia yang dapat memengaruhi luaran yang buruk
pada pasien Covid-19 ( Minga, et al., 2020).

4. Antiaritmia dan Digoksin


Belum ada guideline spesifik penggunaan obat antiaritmia atau digoksin
pada pasien Covid-19. Meskipun mungkin aman, untuk melanjutkan obat
ini harus dipertimbangkan kemungkinan terjadinya penyakit yang lebih
akut. Amiodarone memiliki potensi toksisitas paru dan ARDS fulminan.
Individualisasi dari setiap kasus spesifik harus dipertimbangkan untuk
menjamin keamanan penggunaan obat ini. Insufisiensi ginjal telah
dilaporkan pada pasien Covid-19 dan mungkin penyesuaian dosis

Manifestasi Klinis Sistem Kardiovaskular pada Covid-19 dengan Badai Sitokin 133
pemberian digoksin diperlukan. Mengingat banyak pasien dengan severe
Covid-19 berkembang menjadi aritmia, digoksin dan antiaritmia lainnya
diperlukan dalam tata laksananya ( Minga, et al., 2020).

5. Anti-inflamasi Nonsteroid, Antiplatelet, dan Antikoagulan


NSAID menghambat enzim siklooksigenase (COX-1 dan COX-2), yang
diregulasi pada limfosit B manusia yang diaktifkan dan dibutuhkan untuk
sintesis antibodi yang optimal. Dalam penelitian in vitro telah ditemukan
bahwa NSAID menghambat produksi antibodi pada dosis farmakologis.
pada sebuah penelitian terhadap 168 anak dengan infeksi virus akut,
penggunaan NSAID dikaitkan dengan peningkatan risiko empiema (
Minga, et al., 2020).
Namun, NSAID juga ditemukan memiliki aktivitas antivirus.

21
Indometasin diteliti secara in vitro pada model hewan, dan ditemukan
memiliki aktivitas antivirus langsung yang kuat melawan SARS-CoV-2.
Demikian pula, aspirin digunakan pada pasien dengan penyakit jantung
20
atau terpasang stent arteri koroner yang membutuhkan terapi antiplatelet
ganda. Saat ini, tidak ada data mengenai efek berbahaya dari NSAID pada
pasien Covid-19 ( Minga, et al., 2020).
Antikoagulan profilaksis penting untuk mencegah komplikasi
P

VTE apapun. Untuk pasien non-STEMI atau STEMI selama rawat inap,
antikoagulan seperti heparin penting diberikan dan berkorelasi langsung
AU

dengan luaran klinis dan kematian. Perhatian khusus terapi antiplatelet


dan antikoagulan harus diberikan pada pasien dengan risiko perdarahan,
jumlah trombosit yang lebih rendah dan koagulasi intravaskular
diseminata. pada pasien-pasien tersebut, penilaian klinis serta penilaian
risiko dan manfaat harus digunakan dalam terapi antiplatelet dan
antikoagulan (Minga, et al., 2020).

INTERAKSI OBAT
Banyak obat yang baru dipelajari berinteraksi ekstensif dengan
obat kardiovaskular lainnya, termasuk antihipertensi, antiaritmia,
antikoagulan, antiplatelet, dan statin. Obat yang sedang diteliti meliputi

134 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Tabel 6.1 Proses Potensial, Target Terapeutik, dan Agen Kandidat untuk
Covid-19 (Liu, et al., 2020)

Potential Targeted Process Candidate Agent


Antiviral/anti-inflammatory general Convalescent serum (patient
with COVID-19), type I interferon,
immunoglobulins, mesenchymal stem
cells
ACE2 entry Soluble recombunant ACE2
TMPRS S2 protease S Priming Protease inhibitor (camostat mesylate)
Receptor endocytosis Chloroquine or hydroxycloroquine
RNA polymerase for replication Remdesivir, favipiravir
Viral proteases Lopinavir/vitonavir
Importin nuclear transport ivermectin
Interleukin-1 excess activation
Angiotensin II excess

Cytokine storm
21Anakinra, canakinumab, coichicine
ACE inhibitors/angiotensin receptor
blocker, recombinant ACE2
Torcizumab, sarilumab, or situximab
20
(interleukin-6 inhibitors) or
baricitinib (JAK inhibitor), lenzilumab
(granulocytemacrophage colony-
stimulating factor inhibitor)
Oxidate stress Deferoxamine, Vitamin C
P

Fibrosis Nintedanib
AU

Bacterial Infection/inflamation Azithromycin


Coagulopathy Normal or High-dose anticoagulation
regimen
Severe acute respiratory syndrome Multiple vaccine candidates, including
coronavirus 2 Bacille Calmette-Guerin

antivirus (misalnya, remdesivir, ribavirin, lopinavir/ritonavir, favipiravir),


antimalaria (misalnya klorokuin, hydroxychloroquine), azitromisin,
kortikosteroid dan tocilizumab (Long, et al., 2020).
Lopinavir/ritonavir dapat menyebabkan pemanjangan interval QT
dan PR, terutama pada mereka dengan interval QT yang memanjang atau
mereka yang mengonsumsi obat yang dapat menyebabkan pemanjangan
interval QT. Obat-obatan juga dapat memengaruhi obat antikoagulan,

Manifestasi Klinis Sistem Kardiovaskular pada Covid-19 dengan Badai Sitokin 135
Tabel 6.2 Pengobatan dan Sistem Kardiovaskular (Long, et al., 2020)

Cardiovascular effect and


Medication Mechanism
medication interactions
Remdesivir Nucleotide-analog - May cause hypotension,
inhibitor of RNA arrhythmias
polymerases
Rihavirin Inhibits RNA and DNA - Interacts with anticoagulants
virus replication - May cause severe hemolytic
anemia
Lopinavir/ Lopinavir inhibits protease - Interacts with anticoagulants,
Ritonavir Ritonavir inhibits CYP3A antiplatelets, statins,
metabolism antiarrhytmics
- May result in prolonged QTc, AV
blocks, Torsades de pointes
Favipiravir Inhibits RNA-dependent - Interacts with anticoagulants

Chloroquine
RNA polymerases

Changes endosomal/
21 -

-
statins, antiarrhytmics
May cause severe hemolytic
anemia
Interacts with antiarrhytmics
20
and Hydroxy- organelle pH - May cause direct myocardinal
chloroquine toxicity; worsen cardiomyopathy;
alter cardiac conduction; result
inbundle branch block, AV block,
ventricular arrhythmias, Torsades
de pointes
P

Azithromycin interferes with protein - Interacts with anticoagulants,


synthesis, bind to 50s statins, antiarrhytmics, orther QT
AU

ribosome prolonging agents


- May results in dysrhythmias,
prolonged QTc, Torsades de
pointes
Interferon Immune system activation - May cause direct myocardial
toxicity; worsen cardiomyopathy;
alter cardiac conduction; cause
hypotension or cardiac ischema
Methylpred- Reduces inflammation - Interact with anticoagulants
nisolone - May cause fluid retentation,
hypertension, electrolyte changes
Tocilizumab Inhibits IL-6 - May increase medication
metabolism such as statins
- May cause hypertension

136 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


antiplatelet agen dan statin. Klorokuin dan hidroksikloroquin
memengaruhi pH intraseluler, yang dapat mengakibatkan kelainan
elektrolit, kardiotoksisitas dan interval QT yang memanjang; dan mereka
juga dapat berinteraksi dengan agen antiaritmia. Methylprednisolone
dapat menyebabkan gangguan elektrolit, retensi cairan dan hipertensi.
Ringkasan mekanisme kerja dan efek obat ini berada pada Tabel 6.2 (Long,
et al., 2020).

PROGNOSIS
Derajat severe Covid-19 terjadi pada sekitar 15% pasien yang membutuhkan
rawat inap dan sekitar 5% pasien dalam kondisi kritis membutuhkan
perawatan intensif. Penyebab utama kematian pada Covid-19 adalah

21
acute respiratory distress (ARDS), tetapi ada juga keterlibatan organ vital
lain yang signifikan, termasuk sistem kardiovaskular. Dengan adanya
penyakit jantung kronis atau manifestasi kardiovaskular berdampak
20
terhadap angka kematian yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien
tanpa penyakit kardiovaskular (Wang, et al., 2020; Xu, et al., 2020; Zheng,
et al., 2020).
Pasien Covid-19 yang mengalami cardiac injury dan inflamasi biasanya
P

memiliki luaran yang lebih buruk dan mengalami komplikasi selama


dirawat di rumah sakit. Cardiac injury meningkatkan risiko pemakaian
AU

ventilasi mekanis, sebesar 46%, lebih dari sepuluh kali lipat risiko
dibanding pasien dengan jantung intak. Insiden ARDS juga lebih tinggi,
hampir 59% vs. 15% pada pasien tanpa cardiac injury. Acute kidney injury,
ketidakseimbangan elektrolit, dan gangguan pembekuan semuanya secara
signifikan jauh lebih tinggi pada pasien Covid-19 dengan cardiac injury
(Thakkar, et al., 2020).
Prognosis pasien dengan cardiac injury yang terkait Covid-19 adalah
buruk. Studi sebelumnya menunjukkan bahwa biomarker jantung yang
meningkat menandakan memburuknya prognosis (Thakkar, et al., 2020).

Manifestasi Klinis Sistem Kardiovaskular pada Covid-19 dengan Badai Sitokin 137
RINGKASAN DAN REKOMENDASI
Pandemi Covid-19 telah memengaruhi sejuta lebih pasien dan merupakan
ancaman kesehatan utama di dunia. Penyakit Covid-19 disebabkan oleh
SARS-CoV-2 dan memengaruhi banyak sistem organ terutama paru dan
jantung. Infeksi severe Covid-19 berkaitan dengan inflamasi sistemik,
badai sitokin pro-inflamasi dan sepsis yang menyebabkan MOF dan
kematian. Manifestasi cardiovaskular injury meliputi aritmia, myocardial
injury, miokarditis, acute coronary syndrome, heart failure dan syok, serta
tromboemboli vena. Diperlukan terapi yang tepat untuk masalah
kardiovaskular pada pasien Covid-19.

DAFTAR PUSTAKA

21
Alemzadeh-Ansari, M. 2020. Coronavirus disease 2019 (Covid-19) and
cardiovascular events. Res Cardiovasc Med, 9 (Issue 1):1-27. doi:10.4103/rcm.
rcm_9_20.
20
Bavishi, C., Bonow, R.O., Trivedi, V., Abbott, J.D., Messerli, F.H., and Bhatt, D.L. 2020.
Acute myocardial injury in patients hospitalized with Covid-19 infection: A
review. Prog Cardiovasc Dis, 63(5):682-689. doi:10.1016/j.pcad.2020.05.013.
Bhaskar, S., Sinha, A., Banach, M., Mittoo, S., Weissert, R., Kass, J.S., et al. 2020.
Cytokine storm in Covid-19—immunopathological mechanisms, clinical
P

considerations, and therapeutic approaches: The REPROGRAM Consortium


Position Paper. Front Immunol,11:1648. doi:10.3389/fimmu.2020.01648.
AU

de Figueiredo Neto, J.A., Marcondes-Braga, F.G., Moura, L.Z., de Figueiredo,


A.M.E.S., de Figueiredo, V.M.E.S., Mourilhe-Rocha, R., et al. 2020. Coronavirus
disease 2019 and the myocardium. Arq Bras Cardiol, 114:1051–1057. doi:10.36660/
abc.20200373.
European Society of Cardiology. 2020. ESC Guidance for the Diagnosis and
Management of CV Disease during the Covid-19 Pandemic. Eur Heart J. pp.
1–115.
Garg, S., Garg, M., Prabhakar, N., Malhotra, P., and Agarwal, R. 2020. Unraveling
the mystery of Covid-19 cytokine storm: From skin to organ systems.
Dermatol Ther, 33:e13859. doi:10.1111/dth.13859.
Guzik, T.J., Mohiddin, S.A., Dimarco, A., Patel, V., Savvatis, K., Marelli-Berg, F.M.,
et al. 2020. Covid-19 and the cardiovascular system: implications for risk

138 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


assessment, diagnosis, and treatment options. Cardiovasc Res, 116:1666–1687.
doi:10.1093/cvr/cvaa106.
Imazio, M., Klingel, K., Kindermann, I., Brucato, A., De Rosa, F.G., Adler, Y.,
et al. 2020. Covid-19 pandemic and troponin: Indirect myocardial injury,
myocardial inflammation or myocarditis?. Heart, 106:1127–1131. doi:10.1136/
heartjnl-2020-317186.
Kowalik, M.M., Trzonkowski, P., Łasińska-Kowara, M., Mital, A., Smiatacz, T., and
Jaguszewski, M. 2020. Covid-19 — Toward a comprehensive understanding
of the disease. Cardiol J, 27:99–114. doi:10.5603/CJ.a2020.0065.
Lang, J.P., Wang, X., Moura, F.A., Siddiqi, H.K., Morrow, D.A., and Bohula, E.A.
2020. A current review of Covid-19 for the cardiovascular specialist. Am.
Heart J, 226:29–44. doi:10.1016/j.ahj.2020.04.025.
Liu, P.P., Blet, A., Smyth, D., and Li, H. 2020. The science underlying Covid-19:
implications for the cardiovascular system. Circulation, 2019:68–78. doi:10.1161/
CIRCULATIONAHA.120.047549.

21
Long, B., Brady, W.J., Koyfman, A., and Gottlieb, M. 2020. Cardiovascular
complications in Covid-19. Am J Emerg Med, 38:1504–1507. doi:10.1016/j.
ajem.2020.04.048.
20
Minga, G.I., Golemi, L., Tafur, A., and Pursnani, A. 2020. The Novel Coronavirus
Disease (Covid-19) and its impact on cardiovascular disease. Cardiol Rev,
28:163–176. doi:10.1097/CRD.0000000000000317.
Teuwen, L.A., Geldhof, V., Pasut, A., and Carmeliet, P. 2020. Covid-19: the
P

vasculature unleashed. Nat Rev Immunol, 20:389–391. doi:10.1038/s41577-


020-0343-0.
AU

Thakkar, S., Arora, S., Kumar, A., Jaswaney, R., Faisaluddin, M., Ammad, M.,
et al. 2020. A systematic review of the cardiovascular manifestations and
outcomes in the setting of Coronavirus-19 Disease short title: Thakkar, et
al., Covid-19 and CV manifestations. medRxiv, 2020.08.09.20171330. Available
from: https://doi.org/10.1101/2020.08.09.20171330.
Wang, D., Hu, B., Hu, C., Zhu, F., Liu, X., Zhang, J., et al. 2020. Clinical
characteristics of 138 hospitalized patients with 2019 Novel Coronavirus-
Infected Pneumonia in Wuhan, China. JAMA - J Am Med Assoc, 323:1061–
1069. doi:10.1001/jama.2020.1585.
Wiersinga, W.J., Rhodes, A., Cheng, A.C., Peacock, S.J., and Prescott, H.C. 2020.
Pathophysiology, transmission, diagnosis, and treatment of Coronavirus
Disease 2019 (Covid-19): A review. JAMA - J Am Med Assoc, 324(8):782-793.
doi:10.1001/jama.2020.12839.

Manifestasi Klinis Sistem Kardiovaskular pada Covid-19 dengan Badai Sitokin 139
Wu, L., O’Kane, A.M., Peng, H., Bi, Y., Motriuk-Smith, D., and Ren, J. 2020. SARS-
CoV-2 and cardiovascular complications: From molecular mechanisms to
pharmaceutical management. Biochem Pharmacol, 178:114114. doi:10.1016/j.
bcp.2020.114114.
Xu, Z., Shi, L., Wang, Y., Zhang, J., Huang, L., Zhang, C., et al. 2020. Pathological
findings of Covid-19 associated with acute respiratory distress syndrome.
Lancet Respir Med, 8:420–422. doi:10.1016/S2213-2600(20)30076-X.
Zheng, Y.Y., Ma, Y.T., Zhang, J.Y., and Xie, X. 2020. Covid-19 and the cardiovascular
system. Nat Rev Cardiol, 17:259–260. doi:10.1038/s41569-020-0360-5.

21
20
P
AU

140 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


PENGARUH COVID-19 PADA
SALURAN CERNA

Nur Arafah, Titong Sugiharto, Muhammad Miftahussurur

PENGANTAR

21
Coronavirus disease 2019 (Covid-19) merupakan penyakit yang disebabkan
oleh severe acute respiratory syndrome coronavirus (SARS-CoV-2) dan masuk
20
dalam genus betacoronavirus (Gorbalenya, et al., 2020). Covid-19 pertama
kali dilaporkan di Wuhan China pada Desember 2019 yang kemudian
menyebar ke negara-negara lainnya dan menimbulkan masalah kesehatan
global. World Health Organization (WHO) pada bulan Maret tahun 2020
P

telah menetapkan Covid-19 sebagai pandemi, infeksi yang disebabkan oleh


virus SARS-CoV-2 ini telah menginfeksi hampir 6,2 juta orang seluruh
AU

dunia dan menyebabkan kematian sebanyak hampir 400 ribu orang di


seluruh dunia. Indonesia merupakan salah satu negara yang terjangkit
Covid-19 dengan jumlah penderita sebanyak hampir 28.000 orang
dengan jumlah yang meninggal sebanyak 1.500 lebih orang (WHO, 2020).
Besarnya jumlah pasien yang terinfeksi, waktu penyebaran yang cepat dan
tingginya angka kematian dalam rentang waktu yang singkat tidak hanya
menimbulkan masalah dalam sistem kesehatan namun juga berefek buruk
terhadap ekonomi dunia saat ini (Chakraborty and Maity, 2020).
Covid-19 utamanya memberikan gambaran manifestasi klinis pada
sistem pernapasan seperti sesak napas, batuk, dan demam. Manifestasi
sistem pernapasan pasien yang terinfeksi Covid-19 memiliki gambaran
yang sangat bervariasi, mulai dari gejala yang sifatnya ringan, sedang dan

141
berat hingga menimbulkan hipoksia berat. Gejala yang paling sering dari
infeksi SARS-CoV-2 adalah demam dan gangguan saluran napas seperti
batuk dan sesak (Huang, et al., 2020). Meskipun virus SARS-CoV-2 lebih
banyak menyerang saluran napas, sekitar 11,4% pasien Covid-19 ditemukan
gangguan pada sistem gastrointestinal (Jin et al., 2020). Adanya manifestasi
selain dari sistem pernapasan diduga karena virus SARS-CoV-2 masuk ke
dalam sel melalui reseptor angiotensin converting enzyme 2 (ACE2), di mana
reseptor ini berada hampir di seluruh tubuh termasuk sel epitel esophageal
serta enterosit pada ileum dan kolon sehingga infeksi Covid-19 ini dapat
menimbulkan manifestasi pada gastrointestinal (Tian, et al., 2020).
Sekitar 50,5% pasien Covid-19 dengan gangguan sistem pernapasan
dan demam disertai dengan gangguan pada gastrointestinal. Kewaspadaan
terhadap pasien yang menunjukkan gejala ekstrapulmonal sangat penting

21
dilakukan karena beberapa pasien Covid-19 dapat tidak disertai dengan
gejala pernapasan sehingga pasien dapat tidak terdiagnosis dan terlambat
mendapatkan penangangan yang tepat (Pan, et al., 2020). Pasien dengan
20
gejala gastrointestinal dikaitkan dengan durasi penyakit yang lebih
lama, namun dalam pengamatan jangka pendek pasien dengan gejala
gastrointestinal cenderung untuk dirawat di ruang intensif berkurang serta
angka mortalitas yang lebih rendah (Nobel, et al., 2020). Beberapa studi
P

terakhir membuktikan adanya penemuan reseptor ACE2 pada sel epitel


rongga mulut, hal ini memungkinkan rongga mulut dapat menjadi cara
AU

penularan SARS-CoV-2. Selain itu, dari hasil pemeriksaan pada feses juga
ditemukan adanya virus (Chen, et al., 2020). Penemuan ini menunjukkan
adanya kemungkinan penyebaran SARS-CoV-2 dapat melalui fekal-oral,
sehingga perlu adanya tindakan dan pencegahan untuk menghindari
terjadinya penularan (Amirian, 2020).

PATOFISIOLOGI
Infeksi Covid-19 tidak sebatas di sistem pernapasan tetapi virus juga
bereplikasi di enterosit sehingga menyebabkan diare dan luruh di feses,
juga urine dan cairan tubuh lainnya (Wang, Qiang and Ke, 2020). SARS-
CoV-2 masuk ke tubuh melalui reseptor ACE2 diikuti dengan priming

142 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


oleh TMPRSS 2. Selain itu diduga FURIN pada S protein SARS-CoV-2
juga memiliki potensi meningkatkan proses priming terhadap pengikatan
reseptor ACE2 (Lukassen et al., 2020). Proses virus menginfeksi host-nya
terdiri atas 5 tahapan, yakni attachment, penetration, biosynthesis, maturation,
dan release. Mulanya virus melakukan attachment pada pada reseptor host
terjadi proses endositosis atau penetrasi. Setelah itu virus melepaskan
konten virusnya, selanjutnya RNA virus masuk dalam nukleus untuk
melakukan replikasi (Yuki, Fujiogi and Koutsogiannaki, 2020). Replikasi
dan pelepasan virus menyebabkan sel tubuh mengalami pyroptosis dan
melepaskan molekul yang merangsang sel epitel, sel endotel dan makrofag
alveolar untuk melepaskan sitokin proinflamasi dan kemokin. Masuknya
SARS-CoV-2 akan mengaktifkan sistem imun innate seperti makrofag.
Selain itu Sel T dan sel B yang merupakan imun adaptif diaktivasi

21
oleh antigen presenting cell/APC (sel dendritik) tidak hanya berperan
mengeliminasi virus namun juga merangsang terjadinya sekresi dari
sitokin ( Zhang, et al., 2020). Sitokin dan kemokin termasuk IL-6, IP-10 dan
20
macrophage inflammatory protein 1α (MIP1α), MIP1β, dan MCP1. Mekanisme
ini merangsang monosit, makrofag dan sel T sehingga memicu terjadinya
inflamasi yang lebih luas (Tay, et al., 2020). Adanya ketidakseimbangan
Th1 dan Th2 pada Covid-19 diduga berperan pada beratnya penyakit, di
P

mana Th2 lebih dominan daripada Th1 yang berperan mengeliminasi


virus melalui aktifasi makrofag dan sel T sitotoksik. Th2 yang dominan
AU

menjelaskan timbulnya gejala gastrointestinal pada beberapa pasien


Covid-19 yang mengalami sesak (Roncati, et al., 2020).
Mekanisme terjadinya diare pada pasien Covid-19 belum sepenuhnya
dipahami, diduga infeksi virus dapat menyebabkan kerusakan langsung
pada jaringan mengingat ditemukannya reseptor ACE2 pada epitel saluran
gastrointestinal, perubahan pada permeabilitas usus, gangguan absorbsi
pada enterosit, inflamasi pada usus. Jika dilihat dari proses patofisiologi
ketika terjadi infeksi SARS-CoV-2, proses inflamasi terjadi akibat adanya
infiltrasi dari sel plasma dan limfosit, lamina propria pada lambung,
duodenum dan rektum yang mengalami edema, peradangan yang difus
pada submukosa pembuluh darah kecil usus halus, selain itu diduga
terjadi iskemia pada mesenterik yang memicu small bowel injury (D’Amico,
et al., 2020; Gupta, et al., 2020).

Pengaruh Covid-19 pada Saluran Cerna 143


Acure respiratory distress syndrome (ARDS) yang diakibatkan oleh
cytokine storm merupakan penyebab kematian terbanyak dari Covid-19.
Infeksi oleh SARS-CoV-2 memicu munculnya respons imun lokal, aktivasi
makrofag, dan monosit. Terlepasnya sitokin, sel T dan B yang merupakan
respons imun adaptif yang utama (Tay, et al., 2020). Cytokine storm terjadi
karena adanya respons inflamasi sistemik yang tidak terkontrol akibat
pelepasan sitokin proinflamasi dalam jumlah besar seperti interferon,
interleukin, kemokin, colony-stimulating factors, dan TNF-alpha (Coperchini,
et al., 2020). Studi lain didapatkan bahwa keparahan Covid-19 berkaitan
dengan TNF-α, IL-6 and IL-10, selain itu pasien yang dirawat di ICU
didapatkan penurunan CD4 and CD8 sel T (Diao, et al., 2020). Melalui
pemahaman terhadap peran cytokine storm maka imunoterapi spesifik
dapat menjadi modalitas terapi yang sangat penting (Maggo, et al., 2020)

MANIFESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS 21


20
Infeksi Covid-19 dapat menimbulkan gejala ringan, sedang, atau berat.
Gejala klinis utama yang muncul yaitu demam (suhu > 38°C), batuk, dan
kesulitan bernapas. Selain itu dapat disertai dengan sesak memberat,
fatigue, mialgia, gejala gastrointestinal seperti diare dan gejala saluran
P

napas lain (Huang, et al., 2020). Penelitian lain yang dilakukan pada 140
pasien Covid-19 di Wuhan China didapatkan gambaran klinis berupa
AU

demam, batuk, lemah badan, sesak napas, gejala gastrointestinal seperti


diare, nausea, anorexia, abdominal pain, sendawa, dan muntah (Zhang,
et al., 2020). Pasien dapat bergejala ringan, sedang, berat, hingga kritis.
Berdasarkan penelitian sebelumnya kebanyakan pasien yang dirawat
memiliki gejala sedang yakni sebanyak 63% (Pan, et al., 2020). pada
kasus berat perburukan secara cepat dan progresif, seperti ARDS, sepsis,
syok septik, asidosis, heart failure, dan disfungsi sistem koagulasi dalam
beberapa hari (Zhou, et al., 2020). pada beberapa pasien, gejala yang
muncul ringan, bahkan tidak disertai dengan demam. Kebanyakan
pasien memiliki prognosis baik, dengan sebagian kecil dalam kondisi
kritis bahkan meninggal, seperti penelitian terdahulu sebanyak 66,66%
pasien tidak membutuhkan suplementasi oksigen (Young, et al., 2020). pada

144 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


pemeriksaan fisik dengan gejala yang berat dapat ditemukan penurunan
kesadaran, frekuensi nadi meningkat, frekuensi napas meningkat, tekanan
darah normal atau menurun, suhu tubuh meningkat. Saturasi oksigen
dapat normal atau turun, serta rales pada ke dua paru (Jin, et al., 2020).
Beberapa kasus Covid-19 dengan keluhan gastrointestinal seperti
diare dapat muncul dengan atau tanpa gejala respiratori. Dengan demikian
pasien yang datang dengan keluhan awal diare yang sebelumnya pernah
kontak dengan penderita Covid-19 harus dicurigai meskipun tidak ada
gejala batuk, sesak napas, nyeri tenggorokan, ataupun demam. Jika
memungkinkan pasien dilakukan pemeriksaan dengan sampel yang
diambil dari saluran napas dan tinja. Hal yang harus menjadi perhatian
adalah gejala-gejala pada gastrointestinal seperti mual, muntah ataupun
diare merupakan gejala yang banyak juga ditunjukkan oleh penyakit lain,

21
namun ketika terjadi kondisi pandemi dengan prevalensi Covid-19 yang
tinggi pada semua pasien dengan gejala gastrointestinal akut yang disertai
riwayat kontak sebaiknya dipertimbangkan terinfeksi Covid-19. Kegagalan
20
dalam mengenali pasien-pasien ini lebih awal dapat meningkatkan risiko
penyebaran Covid-19 itu sendiri.
Sebuah penelitian yang dilakukan di Wuhan China yang melaporkan
23% pasien memberikan gejala gastrointestinal, 34% didapatkan gejala
P

pada pencernaan dan gejala pada pernapasan, sedangkan 43% pasien


menunjukkan gejala gangguan pernapasan saja (Han, et al., 2020). Gejala
AU

pada gastrointestinal yaitu penurunan nafsu makan, diare, muntah,


dan nyeri perut. Sebanyak 50,5% pasien dirawat dengan keluhan pada
gastrointestinal (Pan, et al., 2020). Diare berlangsung rata-rata 5,4 hari
(± 3,1 hari) dengan frekuensi buang air besar per hari sebanyak 4,3 kali
(SD ± 2,2 kali). pada penelitian juga didapatkan lama perawatan pasien
Covid-19 dengan gejala gastrointestinal lebih lama yakni selama 16 hari
sejak keluhan pertama kali muncul. Peneliti menduga lamanya perawatan
yang dibutuhkan pada pasien yang memiliki gejala gastrointestinal
memiliki viral load yang lebih tinggi jika dibandingkan pasien dengan
gangguan pernapasan saja (Han, et al., 2020). pada observasi jangka pendek
yang dilakukan didapatkan bahwa pasien dengan gejala gastrointestinal
seperti diare dan muntah pada saat dilakukan pemeriksaan PCR secara

Pengaruh Covid-19 pada Saluran Cerna 145


signifikan akan memberikan kemungkinan hasil positif yang lebih
tinggi, yakni 61% sedangkan 39% saja yang memerikan hasil negatif
(Nobel, et al., 2020).
Pasien Covid-19 yang memiliki gejala diare, sebanyak 19,4% di
antaranya justru muncul keluhan diare terlebih dahulu baru kemudian
muncul gejala pada pernapasan sedangkan sisa pasien lainnya didapatkan
gejala diare setelah 10 hari sejak onset gejala pernapasan muncul. Jenis
kelamin wanita lebih banyak mengeluhkan diare (65,7%) jika dibandingkan
dengan pria (51,1%). Diare yang dialami pasien Covid-19 sebanyak 52,2%
dilaporkan “watery”, untuk keluhan rasa tidak nyaman dan nyeri perut
jarang ditemukan (Han, et al., 2020). Penelitian lain yang dilakukan di
Wuhan China dengan melibatkan 1141 pasien yang telah terkonfirmasi
Covid-19 sebanyak 16% dari pasien hanya terdapat gangguan pada sistem

21
gastrointestinal mereka, di mana jenis kelamin pasien yang mengalami
gejala gastrointestinal tersebut hampir sama, yakni 44% pada wanita
dan 56% pada laki-laki. Gejala yang paling sering ditemukan adalah
20
penurunan nafsu makan yakni sebanyak 98%, selain itu juga ditemukan
keluhan gastrointestinal lainnya seperti muntah (65%) nausea (73%), diare
(37%), nausea yang disertai muntah (20%), abdominal pain (25%), abdominal
pain yang disertai diare (9%), semua gejala yang disebutkan sebelumnya
P

sebanyak 7%. pada studi ini juga didapatkan bahwa beberapa pasien lebih
menunjukkan gejala gastrointestinal dibandingkan dengan manifestasi
AU

pada sistem pernapasan (Luo, Zhang and Xu, 2020).


Pasien Covid-19 dengan gangguan gastrointestinal tidak semua
didapatkan demam, hanya sekitar 62,4% saja yang didapatkan gejala
gastrointestinal yang disertai demam. Diare pada pasien Covid-19 dapat
muncul sebelum demam sebanyak 20,4% orang dan diare yang muncul
setelah terjadi demam 10,2% orang sedangkan sisanya onset awal demam
dan diare muncul secara bersamaan (Han, et al., 2020). Sedangkan studi
oleh Ai et al semua pasien yang mengalami gejala gastrointestinal juga
didapatkan keluhan demam, sementara keluhan pernapasan tidak semua
didapatkan (Ai, et al., 2020). Sudi lain menunjukkan, dari 204 pasien yang
terkonfirmasi Covid-19 sebanyak 103 pasien (50,5%) memiliki keluhan pada
gastrointestinal mereka. Dari semua pasien tersebut didapatkan 6 pasien

146 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


(3%) yang datang dengan keluhan gastrointestinal saja tanpa disertai
dengan gejala pada pernapasan sedangkan 97% lainnya memiliki gejala
baik pada pernapasan dan gastrointestinal. Gejala gastrointestinal yang
sering dikeluhkan yakni penurunan nafsu makan (78,64%), diare (33,98%),
muntah (3,88%) dan abdominal pain (1,94%) (Pan, et al., 2020).
Pada endoskopi ditemukan bahwa epitel saluran gastrointestinal
pasien Covid-19 yaitu esofagus, lambung, duodenum dan rektum
mengalami kerusakan (Xiao, et al., 2020). Namun meskipun Covid-19
dapat bermanifestasi pada sistem pencernaan tidak ada pedoman untuk
dilakukan pendekatan diagnostik dengan endoskopi mengingat adanya
kemungkinan penularan virus melalui fekal-oral (Tian, et al., 2020).
Endoskopi dilakukan dengan jarak yang sangat dekat dengan pasien
dan jarak antar petugas juga sangat berdekatan, pada daerah yang

21
angka kejadian Covid-19 tinggi memungkinkan terjadinya penularan.
Namun studi di Italia didapatkan kesimpulan bahwa kemungkinan
pasien ataupun petugas kesehatan tertular Covid-19 setelah tindakan
20
endoskopi sangat kecil, peneliti menduga hal ini dikarenakan penggunaan
alat perlindungan diri yang tepat untuk menghindari transmisi tersebut
(Repici, et al., 2020).
P

DIAGNOSIS COVID-19
AU

Pasien dengan gejala ringan mungkin tidak menunjukkan tanda positif.


Pasien dalam kondisi parah mungkin mengalami sesak napas, radang
lembab di paru-paru, suara napas melemah, perkusi tumpul, dan
peningkatan atau penurunan tactile speech tremor, dll ( Jin, et al., 2020).
pada pemeriksaan laboratorium, limfopenia menjadi temuan yang
paling umum (hingga 80%) pada tahap awal penyakit. Temuan ini
mungkin menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 bekerja pada limfosit dengan
menginduksi badai sitokin di dalam tubuh. Penelitian lain mendukung
bahwa SARS-CoV-2 mengkonsumsi banyak sel kekebalan dan menghambat
fungsi normal tubuh (Galanopoulos, et al., 2020).
Pemeriksaan radiologi dapat menunjukkan gambaran yang sangat
bervariasi dan sangat mirip dengan infeksi yang disebabkan virus corona

Pengaruh Covid-19 pada Saluran Cerna 147


lainnya seperti SARS dan MERS. Gambaran pencitraan yang abnormal
ditemukan pada 85% pasien dan sekitar 75% mengenai kedua paru
(bilateral). Daerah paru yang sering terkena pada awalnya adalah supleural
dan perifer paru, seringkali gambaran konsolidasi terjadi secara progresif
terutama pada orang tua (Hosseiny, et al., 2020). Gambaran radiologis yang
ditemukan yakni opasitas bilateral, konsolidasi subsegmental, lobar atau
kolaps paru atau nodul, tampilan ground glass. pada tahap awal, terlihat
bayangan multipel plak kecil dengan perubahan interstisial yang jelas
menunjukkan di perifer paru dan kemudian berkembang menjadi bayangan
multiple ground-glass dan infiltrat di kedua paru. pada kasus berat, dapat
ditemukan konsolidasi paru bahkan “white-lung” dan efusi pleura (Xu, et
al., 2020). Beberapa pasien memerlukan kombinasi pemeriksaan CT-scan,
rapid test dan RT PCR, karena pada beberapa pasien didapatkan hasil RT

21
PCR false negative dengan gambaran CT-scan mengarah ke Covid-19 (Xie,
et al., 2020). Hasil CT-scan normal tidak menghilangkan kemungkinan
diagnosis Covid-19 karena sekitar 15% pasien Covid-19 memberikan
20
gambaran radiologis yang normal (Hosseiny, et al., 2020).
Deteksi pada saluran napas dapat juga dilakukan untuk mendeteksi
atau menyingkirkan diagnosis yang disebabkan oleh patogen lainnya
seperti adenovirus, parainfluenza, respiratory syncytial virus (RSV),
P

mikoplasma, klamidia, virus influenza A dan B (Jin, et al., 2020). Hal ini
didukung oleh studi sebelumnya yang mendeteksi patogen pada pasien
AU

Covid-19 juga ditemukan mycoplasma pneumonia dan RSV (Zhang,


et al., 2020).
Potensi penularan Covid-19 melalui fekal-oral harus sangat
dipertimbangkan. Banyak studi merekomendasikan pengujian reverse
transcriptase-polymerase chain reaction (rRT-PCR) real-time untuk sindrom
pernapasan akut parah SARS-CoV-2 dari tinja harus dilakukan secara
rutin pada pasien SARS-CoV-2 (Cipriano, Ruberti and Giacalone,
2020). Dalam diagnosis dan terutama dalam tindak lanjut diare
terkait Covid-19, pengukuran calprotectin dapat memainkan peran
potensial dalam memantau penyakit. Selain itu, diare mungkin terjadi
akibat peradangan yang disebabkan virus disebabkan oleh masuknya
sel-sel inflamasi ke dalam mukosa usus, termasuk neutrofil dan limfosit,

148 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


dan gangguan mikrobiota usus. Partikel SARS-CoV-2 terdeteksi dalam
tinja selama fase kedua Covid-19, disertai dengan penurunan puncak
peradangan. Oleh karena itu, diare inflamasi terkait Covid-19 dikaitkan
dengan penurunan tingkat RNA SARS-CoV-2 tinja (Villapol, 2020).

COVID-19 DAN INFLAMMATORY BOWEL DISEASE (IBD)


Inflammatory bowel disease (IBD) yakni penyakit kronik inflamasi pada usus,
penyakit ini termasuk dalam penyakit autoimun yang terdiri atas penyakit
chrone dan kolitis ulseratif di mana perjalanan penyakitnya dapat terjadi
remisi dan relaps (Fakhoury et al., 2014). Kondisi imunosupresi seperti
pada pasien IBD seringkali infeksi virus tidak menunjukkan gejala yang
atipikal (Estevinho and Magro, 2020).

21
Seperti diketahui sebelumnya bahwa pada pada usus dan kolon
banyak ditemukan reseptor ACE2. Keberadaan reseptor ACE2 ini diduga
dapat membantu proses penyerapan nutrien, di mana reseptor ini
20
berperan sebagai co-reseptor. pada pasien yang mengalami IBD didapatkan
peningkatan dari ekspresi ACE2, hal ini diduga karena pada IBD terjadi
pelepasan sitokin seperti IFN-gamma yang berpotensi dapat menginduksi
ekspresi ACE2 selain itu pada IBD didapatkan peradangan mukosa yang
P

juga berperan meningkatkan ekspresi ACE2. Meskipun expresi ACE2 pada


pasien IBD lebih tinggi namun belum didapatkan bukti bahwa pasien
AU

IBD memiliki risiko lebih tinggi untuk menderita Covid-19. Hal lain yang
perlu ditelaah lebih lanjut apakah infeksi SARS-CoV-2 pada pasien IBD
dapat memicu terjadinya flare, sampai saat ini belum ada bukti yang kuat
berkaitan dengan hal tersebut (Neurath, 2020; Zhan, et al., 2020).
Hal lain yang perlu dikaji adalah manajemen pasien IBD saat kondisi
pandemi Covid-19, seperti diketahui pasien IBD mendapatkan imunoterapi
untuk mencapai remisi penyakit. Penggunaan imunoterapi memberikan
dampak pada penekanan kaskade pensinyalan intraseluler dalam sistem
imun sehingga menurunkan kemampuan tubuh dalam melawan patogen
(Fakhoury, et al., 2014). Pasien IBD yang terinfeksi SARS-CoV-2 penggunaan
imunosupresif sebaiknya diberhentikan terlebih dahulu hingga infeksi
teratasi, namun jika berdasarkan pertimbangan klinis pasien harus

Pengaruh Covid-19 pada Saluran Cerna 149


meneruskan terapi dengan imunosupresif dan terapi spesifik IBD juga
tetap diberikan (Neurath, 2020).
Pemberian kortikosteroid sistemik pada pasien IBD juga disarankan
untuk diturunkan dosisnya secara bertahap hingga dosis terkecil dengan
efek yang masih optimal bahkan jika memungkinkan pasien tanpa
kortikostreoid sistemik. pada IBD yang terjadi flare dapat dipertimbangkan
pemberian budesonide atau beclamethasone (Al-Ani, et al., 2020).Untuk saat
ini belum ada bukti kuat yang menyarankan untuk menghentikan terapi
spesifik pasien IBD sebelumnya. Selain itu pertimbangan pasien yang
telah mencapai remisi apabila obat-obat sebelumnya dihentikan dapat
menimbukan flare pada pasien tersebut dan meningkatkan kemungkinan
pasien dirawat di rumah sakit dalam kondisi pandemik. Sehingga saat ini
rekomendasi yang diberikan adalah pasien IBD dapat melanjutkan terapi

21
spesifik yang didapatkan sebelumnya (Neurath, 2020).

TRANSMISI COVID-19 MELALUI FEKAL-ORAL


20
Ekspresi dan distribusi ACE2 pada tubuh manusia mengindikasikan
adanya potensi rute infeksi dari Covid-19. Reseptor ACE2 selain di saluran
napas juga diekspresikan pada rongga mulut terutama pada tempat dengan
P

jumlah sel epitelial yang tinggi seperti lidah kemudian bukal dan gingiva.
Penemuan ini mendukung mukosa pada rongga mulut berpotensi sebagai
AU

rute masuknya atau transmisi infeksi Covid-19 (Xu, et al., 2020). Sebuah
penelitian di Singapura melaporkan 18 pasien pertama yang di diagnosis
dengan Covid-19 yang dirawat antara Januari dan Februari. Penelitian ini
juga melakukan deteksi virus pada feses. Dari 18 pasien tersebut, sebanyak
8 pasien terdapat virus pada fesesnya. Meski ada virus yang terdeteksi
pada tinja, dari semua pasien tersebut hanya 50% yang menunjukkan
gejala gastrointestinal, seperti diare (Young, et al., 2020). Lebih dari 20%
pasien yang terinfeksi SARS-CoV-2 dari pemeriksaan viral load pada feses
tetap menunjukkan hasil yang positif meskipun pemeriksaan pada saluran
napas sudah menunjukkan hasil yang negatif. Dengan demikian infeksi
virus pada saluran cerna dan penularan melalui transmisi fekal oral masih
dapat berlangsung (Xiao, et al., 2020).

150 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Meskipun dari beberapa pemeriksaan feses ditemukan virus SARS-
CoV-2, untuk mendukung hipotesis terjadinya transmisi virus tersebut
melalui fekal oral masih memerlukan banyak penelitian. Penelitian tentang
kemungkinan penularan feses oral dari SARS-CoV-2 harus mencakup studi
lingkungan untuk mengetahui kondisi lingkungan yang mendukung virus
SARS CoV2 untuk bertahan hidup dan mendukung terjadinya penularan
tersebut. Selain itu, studi tentang keterlibatan enterik dan ekskresi SARS-
CoV-2 dalam tinja diperlukan untuk menyelidiki apakah konsentrasi RNA
SARS-CoV-2 dalam tinja berkorelasi dengan tingkat keparahan penyakit
dan manifestasinya pada sistem gastrointestinal (Yeo, Kaushal and Yeo,
2020). Terdapatnya gejala gastrointestinal dan ditemukannya SARS-CoV-2
memberikan dampak terhadap perawatan dan pengendalian infeksi
yang mencegah terjadinya transmisi. Feses yang tidak tertangani dengan

21
baik dapat menjadi sumber penularan virus terutama ketika terjadinya
aerosol (Wong, Lui and Sung, 2020). Implikasi lainnya dengan adanya
kemungkinan transmisi melalui fekal oral ini adalah perlunya edukasi
20
terhadap petugas kebersihan tentang kemungkinan rute penularan,
pelatihan tentang praktik terbaik untuk sanitasi dan pencegahan termasuk
hand hygiene yang baik sehingga tidak terinfeksi virus dan menjadi carier
(Amirian, 2020).
P

GEJALA GASTROINTESTINAL SEBAGAI FAKTOR


AU

PROGNOSIS PASIEN COVID-19


Studi terdahulu menyelidiki 74 pasien yang terinfeksi SARS-CoV-2 dengan
gejala gastrointestinal seperti diare, mual, dan muntah. pada kelompok
pasien dengan gejala gastrointestinal memiliki derajat penyakit yang
lebih berat jika dibandingkan dengan kelompok pasien tanpa gejala
gastrointestinal. pada kelompok pasien ini lebih banyak yang mengalami
demam > 38,5°C, derajat penyakit berat hingga membutuhkan ventilator,
terbentuknya family clustering, serta kerusakan hati yang ditandai dengan
ditemukannya peningkatan kadar aspartat transaminase (Jin, et al., 2020).
pada studi lain didapatkan hasil pasien Covid-19 yang disertai gejala
gastrointestinal sebanyak 63% pasien masuk dalam kategori moderate,

Pengaruh Covid-19 pada Saluran Cerna 151


severe 13,59% dan critical sebanyak 22,33%. meskipun gejala gastrointestinal
semakin nyata pada pasien yang mengalami perburukan tidak didapatkan
perbedaan yang nyata untuk lama perawatan atau angka mortalitas antara
kelompok dengan gejala gastrointestinal ataupun kelompok tanpa gejala
gastrointestinal (Pan, et al., 2020). Sebuah studi meta-analisis didapatkan
hubungan antara gejala gastrointestinal dan tingkat keparahan penyakit, di
mana pasien yang memiliki gejala gastrointestinal lebih sering mengalami
derajat penyakit yang lebih berat yakni 17,1% (Cheung, et al., 2020).
Penelitian lain melaporkan pada pasien yang memiliki gejala diare
menunjukkan gejala respirasi yang lebih berat yakni sebanyak 53%
sedangkan pada pasien tanpa gejala diare yang mengalami perburukan
kondisi sekitar 19%. Sekitar 31% pasien dengan diare memutuhkan
perawatan intensif serta 12% pasien membutuhkan bantuan ventilator,

21
sedangkan pasien tanpa diare yang memerlukan perawatan intensif 11%
dan membutuhkan ventilator sebanyak 2% (Wan, et al., 2020). Studi lain
dilaporkan bahwa didapatkan peningkatan gejala gastrointestinal pada
20
pasien-pasien yang mengalami perburukan kondisi. Hasil ini diduga
karena munculnya gejala-gejala pada gastrointestinal menunjukkan
adanya replikasi virus dan viral load dalam saluran pencernaan sehingga
menunjukkan manifestasi yang lebih berat (Pan, et al., 2020). Berbeda
P

dengan laporan penelitian lainnya, penelitian yang dilakukan Lin, et


al., 2020 memberikan hasil berbeda, yakni tidak ada perbedaan yang
AU

bermakna secara statistik baik kondisi demografi umum maupun kondisi


klinis pasien dengan gejala gastrointestinal jika dibandingkan dengan
pasien tanpa gejala gastrointestinal (Lin, et al., 2020).

TERAPI COVID-19 DENGAN MANIFESTASI


GASTROINTESTINAL
Untuk penanganan Covid-19, selama ini tidak ada terapi khusus yang
diberikan, semua penanganan bersifat suportif, sehingga sampai saat
ini tidak ada pemberian terapi khusus pada pasein yang disertai dengan
gejala gastrointestinal. Salah satu gejala yang sering muncul pada
Covid-19 adalah diare, pasien yang mengalami diare langkah pertama tetap

152 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


dilakukan evaluasi terhadap status dehidrasinya dan bila perlu diberikan
hidrasi yang adekuat (Doe and Barr, 1981), monitoring terhadap kelainan
elektrolit yang terjadi seperti hiponatremi juga sangat diutamakan pada
pasien diare (Jin, et al., 2020). pada pasien yang didapatkan abdominal pain
dapat diberikan obat antispasmodik (Tian, et al., 2020).
Studi melaporkan pemberian antibiotik dan antivirus lebih banyak
diberikan pada pasien-pasien yang memiliki keluhan pada gastrointestinal
meskipun demikian tidak dijelaskan mengenai indikasi lebih lanjut
tentang pemberian terapi tersebut (Pan, et al., 2020). Hal penting lainnya
yang perlu diperhatikan adalah pemberian antivirus dan antibiotik
dapat memengaruhi keseimbangan mikrobiota usus, mengingat adanya
hubungan antara lung-axis tidak menutup kemungkinan justru akan
menimbulkan diare (Dhar and Mohanty, 2020).

21
Adanya kecurigaan tentang keterkaitan gut-lung axis pada penderita
Covid-19 dengan mengatasi kondisi dysbiosis pada pasien menggunakan
probiotik diduga dapat mengatasi infeksi Covid-19 (Kageyama, Akiyama
20
and Nakamura, 2020). Seperti diketahui probiotik memiliki efek yang
baik terhadap pasien dengan pneumonia, di mana pemberian probiotik
menurunkan kebutuhan penggunaan ventilator. Meskipun belum ada
bukti langsung tentang efektivitas penggunaan probiotik pada Covid-19,
P

China memberikan terapi probiotik pada pasien yang dirawat dengan


kategori critical (Gao, Chen and Fang, 2020).
AU

RINGKASAN DAN REKOMENDASI


Covid-19 yang disebabkan oleh SARS-CoV-2 memasuki host melalui
reseptor ACE2. Reseptor ACE2 banyak diekspresikan oleh sel tubuh
sehingga dapat menimbulkan manifestasi ekstrapulmonal, salah satunya
pada saluran cerna sehingga menimbulkan manifestasi berupa diare,
mual, muntah, anorexia, abdominal pain. Adanya ekspresi dan distribusi
ACE2 pada rongga mulut dan penemuan virus SARS-CoV-2 pada feses
mengindikasikan adanya potensi rute infeksi dari Covid-19 melalui
fekal oral. Pasien yang telah memiliki riwayat penyakit inflamasi kronik
saluran cerna sebelumnya seperti IBD diduga memiliki risiko lebih tinggi

Pengaruh Covid-19 pada Saluran Cerna 153


untuk menderita Covid-19 dan terjadinya flare namun masih memerlukan
penelitian lebih lanjut.
Infeksi Covid-19 memberikan pengaruh pada saluran cerna dalam
berbagai macam manifestasi klinis. Diperlukan sebuah langkah yang cepat
dan tepat untuk mendiagnosis sehingga dapat dilakukan terapi definitif
dan simtomatis sesuai dengan manifestasi klinisnya.

DAFTAR PUSTAKA
Ai, J.W., et al. 2020. Clinical Characteristics of Covid-19 patients with gastrointestinal
symptoms: an analysis of seven patients in China. Frontiers in Medicine,
7(June):1–9. doi: 10.3389/fmed.2020.00308.
Al-Ani, A.H., et al. 2020. Review article: prevention, diagnosis and management

21
of Covid-19 in the IBD patient. Alimentary Pharmacology and Therapeutics,
52(1):54–72. doi: 10.1111/apt.15779.
Amirian, E.S. 2020. Potential fecal transmission of SARS-CoV-2: current evidence
and implications for public health. International Journal of Infectious Diseases,
20
95(4): 363-370. The Author(s). doi: 10.1016/j.ijid.2020.04.057.
Chakraborty, I. and Maity, P. 2020. Covid-19 outbreak: migration, effects on
society, global environment and prevention. Science of the Total Environment,
728:138882. doi: 10.1016/j.scitotenv.2020.138882.
Chen, Y., et al. 2020. The presence of SARS-CoV-2 RNA in the feces of Covid-
P

19 patients. Journal of Medical Virology, 92(7):833-840 (March). doi: 10.1002/


jmv.25825.
AU

Cheung, K.S. et al. 2020. Gastrointestinal manifestations of SARS-CoV-2 infection


and virus load in fecal samples from a Hong Kong cohort: systematic
review and meta-analysis. Gastroenterology, pp. 81–95. doi: 10.1053/j.
gastro.2020.03.065.
Cipriano, M., Ruberti, E. and Giacalone, A. 2020. Gastrointestinal infection could
be new focus for coronavirus diagnosis. Cureus, 12(3):e7422–e7422. doi:
10.7759/cureus.7422.
Coperchini, F., et al. 2020. The Cytokine storm in Covid-19: An overview of the
involvement of the chemokine/chemokine-receptor system. Cytokine &
Growth Factor Reviews. 53:25-32. doi: 10.1016/j.cytogfr.2020.05.003.
D’Amico, F., et al. 2020. Diarrhea during Covid-19 infection: pathogenesis,
epidemiology, prevention, and management. Clinical Gastroenterology and
Hepatology, 18(8):1663–1672. doi: 10.1016/j.cgh.2020.04.001.

154 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Dhar, D. and Mohanty, A. 2020. Gut microbiota and Covid-19- possible link and
implications. Virus Research, 285:198018. doi: 10.1016/j.virusres.2020.198018.
Diao, B., et al. 2020. Reduction and functional exhaustion of T cells in patients
with Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Frontiers in Immunology, 11:1–14.
doi: 10.3389/fimmu.2020.00827.
Doe, W.F. and Barr, G.D. 1981. Acute diarrhoea in adults. Australian Family Physician,
10(6):438–446. doi: 10.1136/bmj.b1877.
Estevinho, M.M. and Magro, F. 2020. The impact of SARS-CoV-2 on inflammatory
bowel disease. GE Portuguese Journal of Gastroenterology, 2:227–229. doi:
10.1159/000508114.
Fakhoury, M., et al. 2014. Inflammatory bowel disease: Clinical aspects and
treatments’, Journal of Inflammation Research, 7(1):113–120. doi: 10.2147/JIR.
S65979.
Galanopoulos, M., et al. 2020. Covid-19 pandemic: Pathophysiology and

21
manifestations from the gastrointestinal tract. World journal of gastroenterology.
26(31):4579–4588. doi: 10.3748/wjg.v26.i31.4579.
Gao, Q.Y., Chen, Y.X. and Fang, J.Y. 2020. 2019 Novel coronavirus infection
and gastrointestinal tract. Journal of Digestive Diseases, 21(3):125–126. doi:
20
10.1111/1751-2980.12851.
Gorbalenya, A.E., et al. 2020. The species Severe acute respiratory syndrome-
related coronavirus: classifying 2019-nCoV and naming it SARS-CoV-2.
Nature Microbiology, 5(4):536–544. doi: 10.1038/s41564-020-0695-z.
P

Gupta, A., et al. 2020. Extrapulmonary manifestations of Covid-19. Nature Medicine.


26(7):1017–1032. doi: 10.1038/s41591-020-0968-3.
AU

Han, C., et al. 2020. Digestive symptoms in Covid-19 patients with mild
disease severity: clinical presentation, stool viral RNA testing, and
outcomes. The American journal of gastroenterology, pp. 1–8. doi: 10.14309/
ajg.0000000000000664.
Hosseiny, M. et al. 2020. Radiology perspective of Coronavirus Disease 2019
(Covid-19): lessons from severe acute respiratory syndrome and middle east
respiratory syndrome. American Journal of Roentgenology, 214(5):1078–1082.
doi: 10.2214/AJR.20.22969.
Huang, C., et al. 2020. Clinical features of patients infected with 2019 novel
coronavirus in Wuhan, China. The Lancet, 395(10223):497–506. doi: 10.1016/
S0140-6736(20)30183-5.

Pengaruh Covid-19 pada Saluran Cerna 155


Jin, X., et al. 2020. Epidemiological, clinical and virological characteristics of 74
cases of coronavirus-infected disease 2019 (Covid-19) with gastrointestinal
symptoms. Gut, pp. 1–8. doi: 10.1136/gutjnl-2020-320926.
Jin, Y.H. et al. 2020. A rapid advice guideline for the diagnosis and treatment of
2019 novel coronavirus (2019-nCoV) infected pneumonia (standard version).
Medical Journal of Chinese People’s Liberation Army, 45(1):1–20. doi: 10.11855/j.
issn.0577-7402.2020.01.01.
Kageyama, Y., Akiyama, T., and Nakamura, T. 2020. Intestinal dysbiosis and
probiotics in Covid-19. Journal of Clinical Trials, pp. 1–5. doi: 10.35248/2167-
0870.20.10.421.
Lin, L., et al. 2020. Gastrointestinal symptoms of 95 cases with SARS-CoV-2
infection. Gut, (February):1–5. doi: 10.1136/gutjnl-2020-321013.
Lukassen, S., et al. 2020. SARS CoV2 receptor ACE 2 and TMPRSS 2 are primarily
expressed in bronchial transient secretory cells. The EMBO Journal, pp. 1–15.
doi: 10.15252/embj.20105114.

21
Luo, S., Zhang, X. and Xu, H. 2020. Don’t OVERLOOK DIGESTIVE SYMPTOMS
IN PATIENTS WITH 2019 Novel Coronavirus Disease (Covid-19). Clinical
Gastroenterology and Hepatology. AGA Institute, (April):116–117. doi: 10.1016/j.
20
cgh.2020.03.043.
Maggo, S., et al. 2020. Cytokine storm syndrome in Covid-19: diagnosis and
management strategies. International Journal of Health Sciences and Research,
10(May):140–149.
P

Neurath, M.F. 2020. Covid-19 and immunomodulation in IBD. Gut, 69(7):1335–1342.


doi: 10.1136/gutjnl-2020-321269.
AU

Nobel, Y.R., et al. 2020. Gastrointestinal symptoms and Covid-19: case-control


study from the United States. Gastroenterology. 159(1): 373-375e2.doi: 10.1053/j.
gastro.2020.04.017.
Pan, L., et al. 2020. Clinical characteristics of Covid-19 patients with digestive
symptoms in Hubei, China. The American Journal of Gastroenterology,
115(May):1. doi: 10.14309/ajg.0000000000000620.
Repici, A. et al. 2020. Coronavirus (Covid-19) outbreak: what the department of
endoscopy should know. Gastrointestinal endoscopy, 92(1):192–197. doi: 10.1016/j.
gie.2020.03.019.
Roncati, L. et al. 2020. Signals of Th2 immune response from Covid-19 patients
requiring intensive care. Annals of Hematology, pp. 1–2. doi: 10.1007/s00277-
020-04066-7.

156 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Tay, M.Z., et al. 2020. The trinity of Covid-19: immunity, inflammation and
intervention. Nature Reviews Immunology, pp. 1–12. doi: 10.1038/s41577-020-
0311-8.
Tian, Y., et al. 2020. Review article: gastrointestinal features in Covid-19 and the
possibility of faecal transmission. Alimentary Pharmacology and Therapeutics,
51(9):843–851. doi: 10.1111/apt.15731.
Villapol, S. 2020. Gastrointestinal symptoms associated with Covid-19: impact on
the gut microbiome. Translational research: the journal of laboratory and clinical
medicine, 226:57–69. doi: 10.1016/j.trsl.2020.08.004.
Wan, Y., et al. 2020. Enteric involvement in hospitalised patients with Covid-19
outside Wuhan. The Lancet Gastroenterology and Hepatology, 5(6):534–535. doi:
10.1016/S2468-1253(20)30118-7.
Wang, Z., Qiang, W. and Ke, H. 2020. A Handbook of 2019-nCoV pneumonia
control and prevention. Hubei Science and Technology Press, pp. 1–108.

21
WHO. 2020. WHO Coronavirus Disease (Covid-19) Dashboard, Covid-19 Dashboard.
Wong, S.H., Lui, R.N.S. and Sung, J.J.Y. 2020. Covid-19 and the digestive system.
Journal of Gastroenterology and Hepatology (Australia), pp. 0–3. doi: 10.1111/
jgh.15047.
20
Xiao, F., et al. 2020. Evidence for Gastrointestinal Infection of SARS-CoV-2.
Gastroenterology,158(6):1831-1833.e3. doi: 10.1053/j.gastro.2020.02.055.
Xie, X., et al. 2020. Chest CT for typical 2019-nCoV pneumonia: relationship
to negative RT-PCR testing. Radiology, p. 200343. doi: 10.1148/
P

radiol.2020200343.
Xu, H., et al. 2020. High expression of ACE2 receptor of 2019-nCoV on the epithelial
AU

cells of oral mucosa. International Journal of Oral Science, 12(1):1–5. doi: 10.1038/
s41368-020-0074-x.
Xu, X., et al. 2020. Imaging features of 2019 novel coronavirus pneumonia. European
Journal of Nuclear Medicine and Molecular Imaging, 47(5):1022–1023. doi: 10.1007/
s00259-020-04720-2.
Yeo, C., Kaushal, S. and Yeo, D. 2020. Enteric involvement of coronaviruses: is
faecal–oral transmission of SARS-CoV-2 possible?. The Lancet Gastroenterology
and Hepatology, 5(4):335–337. doi: 10.1016/S2468-1253(20)30048-0.
Young, B.E., et al. 2020. Epidemiologic features and clinical course of patients
infected with SARS-CoV-2 in Singapore. JAMA - Journal of the American
Medical Association, 323(15):1488–1494. doi: 10.1001/jama.2020.3204.
Yuki, K., Fujiogi, M. and Koutsogiannaki, S. 2020. Since January 2020 Elsevier
has created a Covid-19 resource centre with free information in English and

Pengaruh Covid-19 pada Saluran Cerna 157


Mandarin on the novel coronavirus Covid-19. The Covid-19 resource centre is
hosted on Elsevier Connect, the company’s public news and information.
Zhan, H., et al. 2020. Alterations in gut microbiota of patients with Covid-19 during
time of hospitalization.
Zhang, C., et al. 2020. The cytokine release syndrome (CRS) of severe Covid-19
and Interleukin-6 receptor (IL-6R) antagonist Tocilizumab may be the key
to reduce the mortality. International Journal of Antimicrobial Agents, pp. 55.
doi: 10.1016/j.ijantimicag.2020.105954.
Zhang, J. J, et al. 2020. Clinical characteristics of 140 patients infected with SARS-
CoV-2 in Wuhan, China. Allergy: European Journal of Allergy and Clinical
Immunology. doi: 10.1111/all.14238.
Zhou, F., et al. 2020. Clinical course and risk factors for mortality of adult inpatients
with Covid-19 in Wuhan, China: a retrospective cohort study. The Lancet,
395(10229): 1054–1062. doi: 10.1016/S0140-6736(20)30566-3.

21
20
P
AU

158 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


MANIFESTASI KLINIS COVID-19
PADA SISTEM GINJAL

Nur Samsu

PENGANTAR

21
Spektrum klinis akibat infeksi SARS-CoV-2 sangat luas, dari yang
asimtomatik atau dengan gejala saluran napas atas ringan hingga penyakit
20
yang kritis dengan keterlibatan multiorgan, termasuk pada organ ginjal
(Nadim, et al, 2020). Keterlibatan ginjal pada pasien Covid-19 paling sering
bermanifestasi sebagai acute kidney injury (AKI), hematuria atau proteinuria
(Palevsky, et al, 2020). Angka kejadian Covid-19 ini cukup tinggi, terutama
P

pasien yang kritis, sehingga AKI telah dikenal sebagai komplikasi yang
biasa pada pasien Covid-19 (Nadim, et al, 2020). Di samping menyebabkan
AU

AKI, infeksi SARS-CoV-2 juga dapat memengaruhi berbagai penyakit ginjal


kronik (PGK) yang sudah ada sebelumnya meliputi pasien hemodialisis
(HD) dan transplantasi ginjal serta berbagai kondisi terkait PGK termasuk
hipertensi (Palevsky, et al, 2020). Pasien penyakit ginjal kronik tahap akhir
(PGTA) sangat rentan terhadap Covid-19 berat karena umumnya dengan
kondisi usia yang lebih tua dan komorbiditas yang lebih banyak, seperti
diabetes dan hipertensi (Wu C et al, 2020; Valeri et al, 2020). Hipertensi dan
diabetes merupakan penyebab tersering PGK, sebaliknya PGK merupakan
penyebab hipertensi sekunder tersering. Adanya keterlibatan ginjal, baik
berupa AKI maupun pasien dengan PGK baik yang pradialisis maupun
yang menjalani HD berhubungan dengan peningkatan angka kematian
(Aasgharpour, et al, 2020). Hampir sepertiga dari pasien HD yang dirawat

159
di rumah sakit (RS) dengan Covid-19 meninggal (Valeri, et al, 2020). pada
penelitian lain, didapatkan setengah dari pasien HD yang sakit kritis
meninggal dalam 28 hari setelah masuk ke intensive care unit (ICU) (Flythe,
et al, 2020).
Kondisi lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah keluhan
pasien HD yang terinfeksi SARS-CoV-2. Pasien HD ini lebih cenderung
mengalami perubahan status mental dan keluhan gastrointestinal dan
cenderung tidak mengalami gejala pernapasan (misalnya batuk atau sesak
napas) ataupun demam (Flythe, et al., 2020; Wu, J., et al., 2020). Di samping
itu, dari gambaran radiologi dada sering tumpang tindih dengan gambaran
uremic lung, sehingga dibutuhkan kewaspadaan yang lebih tinggi terhadap
kemungkinan Covid-19 pada pasien-pasien HD. Mengingat prognosis
pasien Covid-19 dengan keterlibatan ginjal yang lebih buruk serta dengan

21
manifestasi klinis yang tidak biasa pada pasien PGK, maka deteksi faktor
risiko AKI atau diagnosis AKI secara dini merupakan hal yang utama
sebagai pencegahan terjadinya AKI atau tindakan intervensi secara dini
20
untuk mencegah semakin beratnya stadium AKI (Palevsky et al, 2020).
Adapun mengenai tata laksana komplikasi ginjal pada Covid-19, masih
bersifat non-spesifik dan terapi suportif. Pasien PGK dan hipertensi, obat-
obat penghambat RAAS, seperti penghambat ACE atau ARBs, umumnya
P

masih tetap dapat diberikan, kecuali didapatkan hiperkalemia atau


hipotensi yang berisiko dapat memperburuk kondisi AKI. Seperti halnya
AU

infeksi SARS-CoV2 pada sistem lainnya, maka sampai saat ini belum ada
antivirus yang khusus untuk pasien Covid-19, khususnya pasien-pasien
Covid-19 dengan keterlibatan sistem ginjal (Aasgharpour, et al, 2020).

EPIDEMIOLOGI KETERLIBATAN SISTEM GINJAL PADA


COVID-19
Angka kejadian keterlibatan ginjal pada Covid-19 belum diketahui
secara pasti (Qian, et al, 2020). Begitu juga angka kejadian AKI yang
dilaporkan juga sangat bervariasi. Secara umum, berdasarkan bukti-
bukti yang ada menunjukkan kejadian AKI terjadi pada lebih dari 20%
pasien Covid-19 yang dirawat di RS dan terjadi pada lebih dari 50%

160 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


pasien Covid-19 yang dirawat di ICU (Guan, et al, 2020; Wu, C., et al, 2020).
Berdasarkan kriteria AKI sesuai K-DIGO, dilaporkan kejadian AKI pada
pasien Covid-19 dengan kondisi yang kritis adalah sebesar 42.9%, dan
sebanyak 74,4% dari pasien dengan AKI tersebut merupakan AKI stadium
III (Gabarre, et al, 2020). pada penelitian observasional yang melibatkan
5.449 pasien Covid-19, didapatkan AKI pada 37% dari keseluruhan pasien.
Berdasarkan stadiumnya, didapatkan AKI ringan sebanyak 47%, AKI
sedang 22%, dan AKI berat 31%. Sedangkan hematuria dan proteinuria
didapatkan masing-masing pada 46% dan 42% pasien. Tindakan dialisis
dilakukan pada 15% dari semua pasien AKI, dan 97% pasien AKI yang
membutuhkan dialisis adalah pasien Covid-19 yang menggunakan
ventilasi mekanik. Sekitar 1/3 pasien, AKI terjadi pada atau dalam 24 jam
setelah masuk RS (Hirsch, et al, 2020). Adanya perbedaan data dari beberapa

21
penelitian ini dapat disebabkan oleh inkonsistensi dalam menerapkan
definisi AKI, perbedaan karakteristik pasien (komorbiditas), derajat
beratnya penyakit, adanya variasi lokal dalam manajemen cairan dan
20
hemodinamik, strategi penggunaan ventilasi mekanik dan penggunaan
obat (Abdelaziz, 2020; Gabarre, et al., 2020). Yang jelas, AKI telah dikenal
sebagai komplikasi yang biasa terjadi pada pasien Covid-19 (Nadim, et al.,
2020), terutama pada pasien kondisi yang kritis (Qian, et al., 2020) (pasien
P

ARDS berat, yang memerlukan ventilasi mekanik), pada pasien yang


berusia lebih tua serta pada pasien dengan komorbiditas seperti PGK,
AU

hipertensi atau diabetes (Gabarre et al., 2020). Jika dibandingkan dengan


keterlibatan pada organ lain, misalnya kejadian cedera jantung maupun
disfungsi hati, maka kejadian AKI merupakan komplikasi di luar paru
yang paling sering terjadi (Yan, et al., 2020).

PATOGENESIS KELAINAN SISTEM GINJAL PADA COVID-19


Keterlibatan sistem ginjal pada Covid-19 dapat terjadi melalui mekanisme yang
tidak spesifik maupun yang spesifik. Mekanisme spesifik meliputi cedera
virus secara langsung melalui reseptor ACE2 yang diekspresi tinggi pada sel-
sel ginjal, adanya gangguan keseimbangan RAAS, peningkatan sitokin pro-
inflamasi dan trombosis mikrovaskular (Gambar 8.1) (Gabarre, et al., 2020).

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Sistem Ginjal 161


21
20
P

Gambar 8.1 Mekanisme AKI infeksi SARS-CoV-2. SARS-CoV-2 dapat menembus sel
AU

tubulus proksimal melalui ikatan dengan ACE2 dan CD147, serta di podosit, melalui
ikatan dengan ACE2. Masuknya virus dapat menyebabkan disfungsi podosit, yang
menyebabkan penyakit glomerulus seperti glomerulosklerosis fokal segmental
(FSGS), dan cedera tubulus proksimal akut yang menyebabkan nekrosis tubular.
SARS-CoV-2 bertanggung jawab atas aktivasi RAAS yang tidak seimbang yang
memicu disfungsi glomerulus, fibrosis, vasokonstriksi, dan peradangan. Infeksi SARS-
CoV-2 juga memicu aktivasi koagulasi, yang menyebabkan cedera vaskular ginjal
seperti glomeruli iskemik dan nekrosis fibrinoid. Obstruksi kapiler glomerulus oleh
eritrosit juga telah dilaporkan selama infeksi SARS-CoV-2. Peningkatan sitokin yang
dipicu oleh infeksi SARS-CoV-2 yang berat juga dapat berperan dalam pembentukan
AKI. Faktor tidak spesifik yang berhubungan dengan manajemen intensive care unit
(ICU) juga dapat memperburuk cedera ginjal (Gabarre, et al., 2020).

162 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


MEKANISME YANG TIDAK SPESIFIK
Faktor-faktor risiko penting terhadap keterlibatan ginjal pada Covid-19
adalah usia yang lebih tua, hipertensi, dan diabetes. Hipertensi dan
diabetes merupakan faktor yang telah dikenal dengan baik terkait
dengan kerentanan ginjal, juga telah diidentifikasi sebagai kontributor
perkembangan AKI pada pasien dengan gagal napas akut (Panitchote,
et al., 2019). Faktor lain meliputi demam yang berkepanjangan, takipnea,
masalah gastro-intestinal (Guan, et al., 2020; Huang, et al., 2020), pemakaian
kontras radiografi untuk evaluasi tromboemboli (khususnya emboli paru),
obat-obat antibiotik, antivirus, oral anti-inflamasi nonsteroid (OAINS) atau
pengobatan tradisional (Gabarre, et al., 2020). Mekanisme lain adalah terkait
acute respiratory distress syndrome (ARDS) yang berakibat adanya gangguan

21
pertukaran gas dan hipoksemia berat (Darmon, et al., 2009). Gangguan
hemodinamik terkait peningkatan tekanan vena sentral, peningkatan
tekanan intra-toraks atau kondisi hipervolemia juga dapat menyebabkan
inisiasi atau memberatnya komplikasi pada ginjal (Joannidis, et al., 2020),
20
begitu juga keadaan tekanan intra-toraks yang tinggi dan PEEP yang tinggi
dapat memengaruhi keluarnya urine dan filtrasi glomerulus (Husain-
Syed, et al., 2016). Efek inflamasi penggunaan ventilasi mekanik invasif
juga dapat berkontribusi terhadap kejadian cedera pada ginjal (Ranieri,
P

et al., 2000).
AU

MEKANISME SPESIFIK

1. SARS-CoV-2 masuk dalam sel ginjal


Sistem ginjal berperan penting terhadap regulasi dari RAAS. Di lain
pihak virus SARS-CoV-2, untuk dapat menginvasi sel-sel inangnya, sangat
bergantung pada reseptor fungisonalnya, yaitu ACE2 yang diekspresi
sangat tinggi pada sel-sel ginjal, terutama di tubulus proksimal (pada
apical brush borders), sel podosit, arteriol aferen, duktus kolektivus, dan
thick ascending limb dari Henle (Santos, et al., 2013). Ekspresi ACE2 pada
ginjal hampir 100 kali lipat lebih tinggi daripada di jaringan paru (Li,
et al., 2003). ACE2 sendiri merupakan homolog ACE yang mengubah

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Sistem Ginjal 163


angiotensin II menjadi angiotensin 1–7, yang menurunkan vasokonstriksi
terkait sistem renin-angiotensin (Gambar 8.2). Ada 2 bentuk ACE2, yaitu
ACE2 yang terlarut dan ACE2 yang terikat membran (Gabarre, et al.,
2020). Adanya ekspresi ACE2 yang tinggi pada ginjal memungkinkan
terjadinya cedera langsung oleh SARS-CoV-2 pada sel-sel ginjal. Bukti-
bukti yang mendukung hal tersebut antara lain ditemukannya asam
nukleat virus dalam urine (Ling, et al., 2020), didapatkannya akumulasi
antigen NP SARS-CoV-2 dalam sitoplasma tubulus ginjal (Diao, et al., 2020),
yang menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 terutama menyebabkan nekrosis
tubular akut dengan menginfeksi tubulus ginjal secara langsung. Partikel
virus ini juga ditemukan dalam sitoplasma epitel tubulus proksimal ginjal
dan podosit serta dalam jumlah yang lebih sedikit di tubulus distal (Su,
H. et al., 2020).

21
Virus corona yang masuk dalam sel tergantung pada pengikatan
protein spike virus (S) ke reseptor seluler dan protein S yang dipasok oleh
protease sel inang. Oleh karena itu, invasi virus pada sel inang bergantung
20
pada ekspresi ACE2 dan juga keberadaan protease TMPRSS2 (transmembrane
protease serine 2), yang mampu membelah protein spike virus (Hofmann,
et al., 2020). TMPRSS2 juga telah terdeteksi pada ginjal khususnya pada
tubulus proksimal (Pan, et al., 2020). Disamping melalui ACE2, invasi
P

SARS-CoV-2 pada sel inang juga dapat melalui rute baru yaitu CD147
(Wang, et al., 2020). CD147 ini merupakan glikoprotein transmembran yang
AU

diekspresikan di mana-mana dan sangat diekspresikan pada sel epitel


tubulus proksimal dan sel-sel inflamasi dan telah terbukti terlibat dalam
berbagai penyakit ginjal (Chiu, et al., 2018).

2. Ketidakseimbangan Aktivasi RAAS


Pada saat SARS-CoV-2 menempel pada ACE2 akan menginduksi
peningkatan regulasi ACE2 yang terikat membran yang selanjutnya
mendorong akumulasi angiotensin II melalui penurunan degradasinya
menjadi angiotensin 1-7. Oleh karena itu, akumulasi angiotensin II yang
dimediasi Covid-19 ini dapat meningkatkan aktivasi RAAS yang tidak
seimbang, yang dapat menyebabkan inflamasi, fibrosis, dan vasokonstriksi
(Vaduganathan, et al., 2020) (Gambar 8.2). Di lain hal, ACE2 biasanya

164 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Internalisasi ACE2
Lysosome
Membran sel Aktivasi RAAS Vasolidasi
Vasokonstriksi Inflamasi
Fibrosis Fibrosis

21
Gambar 8.2 Peran ACE2 dan RAAS pada Infeksi SARS-CoV-2. Angiotensinogen
diubah menjadi angiotensin I oleh renin dan kemudian menjadi angiotensin II (juga
20
dikenal sebagai angiotensin (1–8)) oleh ACE. Angiotensin II berikatan dengan AT1R,
sehingga mengaktivasi RAAS (menyebabkan fibrosis, peradangan, vasokonstriksi).
ACE2 melawan efek merusak aktivasi RAAS dengan mengubah angiotensin I
menjadi angiotensin (1-9) dan angiotensin II menjadi angiotensin 1-7 yang mengikat
reseptor Mas dan memberikan efek anti-inflamasi dan vasodilatasi. SARS-CoV-2
P

berikatan dengan ACE2 yang terikat membran dan menginvasi membran sel melalui
endositosis sehingga mengurangi kadar ACE2 yang terikat membran. Invasi sel
AU

bergantung pada ekspresi ACE2 dan juga pada keberadaan TMPRSS2 protease, yang
mampu membelah protein spike virus. Penurunan ACE2 menghasilkan akumulasi
angiotensin II yang bertanggung jawab atas aktivasi RAAS yang berlebihan, yang
menyebabkan peningkatan inflamasi, fibrosis, vasokonstriksi. ACE2 yang bersirkulasi
dapat bertindak sebagai umpan dan mengikat SARS-CoV-2, sehingga mencegah
internalisasi ACE2 yang terikat membran oleh SARS-CoV-2. pada kondisi fisiologis,
ACE2 terikat dengan AT1R, membentuk kompleks yang mencegah degradasi ACE2
yang terikat membran melalui internalisasi lisosom. Angiotensin II terhubung ke
AT1R dan menurunkan interaksi antara ACE2 dan AT1R, menyebabkan ubiquitinasi
dan internalisasi ACE2. ARB dapat meningkatkan ketersediaan ACE2 yang terikat
membran dengan mencegah internalisasinya. Namun, karena virus memerlukan
internalisasi ACE2 yang terikat membran untuk penetrasi sel, ARB juga dapat
menurunkan kerentanan terhadap virus dengan mencegah internalisasi virus-ACE2
(Gabarre, et al., 2020).

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Sistem Ginjal 165


berinteraksi dengan reseptor AT1, membentuk kompleks yang dapat
mencegah internalisasi dan degradasi ACE2 yang terikat membran
kedalam lisosom. Adanya akumulasi angiotensin II akan menurunkan
terjadinya interaksi ini dan menginduksi ubiquitinasi dan internalisasi
ACE2 yang terikat membran kedalam lisosom (Deshotels, et al., 2014)
(Gambar 8.2).

3. Peranan penghambatan RAAS


Berdasarkan bukti adanya aktivasi RAAS dan interaksi antara SARS-CoV-2
dengan ACE2, beberapa peneliti menyarankan pemberian penghambat
RAAS sebagai terapi potensial terhadap infeksi Covid-19 (Gabarre, et
al., 2020). Sebaliknya, peneliti lain menunjukkan bahwa pemberian
penghambat ACE atau ARB dapat meningkatkan ekspresi ACE2, sehingga

21
kemungkinan dapat meningkatkan kerentanan pasien terhadap infeksi
SARS-CoV-2 (Ferrario, et al., 2005; Vuille-dit-Bille, et al., 2015). ACE2 yang
terikat membran dan yang bersirkulasi dapat memberikan efek antagonis
20
pada invasi Covid-19. ACE2 yang bersirkulasi dapat bertindak sebagai
umpan terhadap virus, sehingga dapat mencegah masuknya SARS-CoV-2
ke dalam sel target yang bergantung pada reseptor ACE2 yang terikat
membran. Hal ini berarti bahwa selain keseimbangan ACE/ACE2, juga
P

sama pentingnya adalah adanya keseimbangan ACE2 terlarut/ACE2 yang


terikat-membran (Gabarre, et al., 2020).
AU

Berdasarkan bukti penelitian menunjukkan, bahwa terapi penghambat


RAAS tidak berdampak pada risiko Covid-19 atau kematian (Mancia,
et al., 2020), bahkan ada penelitian yang menunjukkan adanya manfaat
terhadap penghambatan RAAS pada pasien Covid-19, yaitu penurunan
risiko semua penyebab kematian pada pasien Covid-19 yang mendapatkan
terapi penghambat ACE atau ARB (Zhang, et al., 2020), kecenderungan
proporsi pasien kritis maupun angka kematian yang lebih rendah (Yang,
G., et al., 2020). Atas dasar hal tersebut, maka direkomendasikan untuk
tidak menambah atau menghentikan terapi penghambat RAAS pada
pasien Covid-19.

166 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


4. Peranan aktivasi imun dan peningkatan sitokin
Aktivasi imun mempunyai peran yang penting terhadap berkembangnya
AKI pada Covid-19. Hal ini terutama berkaitan dengan dilepaskannya
sejumlah besar faktor-faktor pro-inflamasi, sehingga menyebabkan
terjadinya kondisi yang disebut sindroma badai sitokin atau cytokine
storm syndrome (CSS). Banyak bukti menunjukkan bahwa pasien Covid-19,
terutama yang dirawat di ICU, didapatkan peningkatan kadar sitokin pro-
inflamasi (Gabarre, et al., 2020). Kadar IL-1, IL-2, IL-6, IL-7, IL-10, IL-12, G-CSF,
MCP-1, IFN-α, dan TNF-α meningkat lebih tinggi pada pasien Covid-19
yang kritis (Qian, et al., 2020; Huang, et al., 2020). Cytokine storm syndrome
kemungkinan berperan penting terhadap terjadinya sindrom disfungsi
organ multipel pada pasien yang berat (Qian, et al., 2020). Sitokin-sitokin ini

21
dapat berpartisipasi terhadap terjadinya AKI pada pasien Covid-19, melalui
interaksi dengan sel residen ginjal dan menyebabkan disfungsi endotel dan
tubulus. TNF-α dapat langsung terikat pada reseptor sel tubulus, selanjutnya
akan memicu jalur reseptor kematian apoptosis (Cunningham, et al., 2020).
20
IL-6 mempunyai peran yang merusak yang telah dibuktikan pada berbagai
model AKI, yaitu pada AKI iskemik, AKI yang diinduksi oleh nefrotoksin
dan AKI yang diinduksi oleh sepsis (Su, et al., 2017; Nechemia-Arbely, et al.,
2008). IL-6 juga menginduksi peningkatan permeabilitas vaskular ginjal,
P

sekresi sitokin atau kemokin pro-inflamasi oleh sel endotel ginjal dan dapat
berpartisipasi pada disfungsi mikrosirkulasi (Desai, et al., 2002). Berdasarkan
AU

hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa sitokin ini mempunyai peran
yang penting terhadap perkembangan AKI pada pasien Covid-19.

5. Peranan trombosis
Kejadian trombosis yang paling sering didapatkan pada pasien Covid-19
adalah pada paru, yaitu 16,7%, utamanya pada pasien Covid-19 yang
kritis (Helms, et al., 2020). Sedangkan pada ginjal didapatkan disregulasi
homeostasis koagulasi, yang ditandai adanya deposit fibrin di loop
glomerulus (Su, et al., 2020). Deposit fibrin ini dapat menimbulkan disfungsi
mikrosirkulasi ginjal dan berkembangnya AKI. Prevalensi emboli paru
yang tinggi selama infeksi SARS-CoV-2 dan gagal jantung kanan berikutnya
juga dapat menyebabkan kongesti vena dan perkembangan AKI.

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Sistem Ginjal 167


GAMBARAN KETERLIBATAN SISTEM GINJAL PADA
COVID-19

HEMATURIA DAN PROTEINURIA


Hematuria dan proteinuria sering ditemukan pada pasien Covid-19.
Berdasarkan data pada 59 pasien Covid-19, didapatkan albuminuria masif
pada 34% pasien pada hari pertama masuk dan proteinuria pada 63%
pasien selama dirawat di rumah sakit (Li, et al., 2020). Data lain pada 710
pasien didapatkan proteinuria dan hematuria pada 44% pasien sedangkan
hematuria pada 26,9% pasien (Cheng, et al., 2020). Adanya hematuria dan
proteinuria pada Covid-19 mencerminkan adanya cedera atau gangguan
pada glomerulus maupun tubulus. Hal ini terkait dengan tingginya

21
ekspresi reseptor ACE2 pada sel podosit dan sel tubular proksimal
ginjal (Pan, et al., 2020). Di samping berkaitan dengan terjadinya cedera
virus secara langsung pada sel podosit, hematuria dan proteinuria juga
20
dapat terjadi akibat aktivasi RAAS. Adanya akumulasi angiotensin II
dapat menyebabkan endositosis nefrin dan selanjutnya meningkatkan
permeabilitas glomerulus dengan proteinuria (Martinez-Rojaz, et al.,
2020). Hematuria dan proteinuria ini penting untuk diperhatikan, karena
P

sangat terkait dengan peningkatan mortalitas di rumah sakit (Cheng,


et al., 2020).
AU

KALIURESIS
Hipokalemia didapatkan pada 93% pasien saat masuk ICU. Hipokalemia
dengan peningkatan kaliuresis, dapat digunakan sebagai penanda adanya
aktivasi RAAS, yang ditandai dengan peningkatan kadar angiotensin II.
Kondisi ini terkait dengan bentuk infeksi SARS-CoV-2 yang paling berat,
yang membutuhkan perawatan di ICU (Chen, D., et al., 2020). Meskipun
demikian, hipokalemia juga dapat terjadi akibat diare yang diinduksi
SARS-CoV-2, penggunaan diuretik atau tubulopati yang diinduksi obat-
obatan (Gabarre, et al., 2020).

168 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Tabel 8.1 Definisi AKI berdasar KDIGO

Stadium Kriteria Kreatinin Kriteria Produksi urine


1 Peningkatan SCr sebesar < 0,5 cc/kg BB/jam selama 6–12 jam
≥ 0.3 mg/dL dalam 48 jam,
atau ≥ 1.5–1.9 kali dari
baseline,
2 Peningkatan 2–2,9 kali dari < 0,5 cc/kg BB/jam selama > 12 jam
baseline
3 Peningkatan > 3× dari < 0,3 cc/kg BB/jam selama > 24 jam,
baseline, atau atau
Peningkatan > 4 mg/dL, Anuria > 12 jam
atau
Inisiasi dialisis (terapi
penggantian ginjal), atau
Untuk pasien < 18 tahun,
dengan LFG menurun (< 35
cc/menit/1,73 m²)
21
20
PERUBAHAN STRUKTURAL GINJAL
Berdasarkan pemeriksaan radiologi ginjal pada pasien Covid-19,
didapatkan penurunan densitas korteks ginjal yang menunjukkan adanya
inflamasi dan edema pada parenkim ginjal (Liz, et al., 2020). Berdasarkan
P

biopsi didapatkan gambaran patologis utama pada ginjal, yaitu nekrosis


AU

dan degenerasi sel epitel tubular, disertai dengan hiperemia interstisial,


mikrotrombus, atau fibrosis fokal (NHC, 2020).

MANIFESTASI KLINIS KELAINAN SISTEM GINJAL PADA


COVID-19

PASIEN ACUTE KIDNEY INJURY (AKI)


Pasien Covid-19 dapat mengalami berbagai derajat disfungsi ginjal, yang
ditandai oleh peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, penurunan
produksi urine serta pada urinalisis dapat ditemukan adanya hematuria dan
proteinuria (Gabarre, et al., 2020). AKI ditandai oleh peningkatan kreatinin

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Sistem Ginjal 169


atau penurunan produksi urine dan dibagi menjadi 3 stadium (Tabel 8.1).
Manifestasi klinis AKI-Covid-19 pada dasarnya tidak berbeda dengan AKI
oleh penyebab yang lain. AKI merupakan komplikasi ginjal pasien Covid-19
yang paling sering ditemukan, terutama pada pasien kritis, sehingga
manifestasi klinis umumnya sesuai dengan kondisi dari faktor risiko
terjadinya AKI. Adapun yang merupakan prediktor independen untuk
terjadinya AKI pada pasien Covid-19 adalah usia yang lebih tua, diabetes,
hipertensi, penyakit kardiovaskular, penggunaan ventilasi mekanik, kadar
interleukin-6 yang tinggi, dan penggunaan obat vasopresor (Hirsch, et
al., 2020; Xia, et al., 2020). Secara umum, angka kematian pasien Covid-19
lebih tinggi pada pasien dengan kondisi komorbiditas atau komplikasi
multi-organ seperti penyakit jantung, ARDS, AKI, gangguan elektrolit,
proteinuria, hipoproteinemia, dan gangguan koagulasi dibandingkan

21
dengan pasien tanpa komorbiditas atau komplikasi (Martinez-Rojas, et al.,
2020). AKI berkorelasi dengan derajat beratnya penyakit dan merupakan
faktor prognosis yang buruk. Didapatkan kaitan yang bermakna antara
20
kejadian AKI dengan peningkatan kematian (Gabarre, et al,. 2020).

PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIK (PGK) DAN HIPERTENSI


Di antara pasien-pasien Covid-19, baik PGK dan hipertensi merupakan
P

faktor risiko terhadap kondisi penyakit yang lebih berat (Palevsky, et al.,
AU

2020). Prevalensi PGK pada Covid-19 bervariasi, mulai dari 0,7 hingga 6,5%
(Zhao, et al., 2020). Tetapi satu penelitian kohort melaporkan PGK sebesar
40% dalam bentuk gangguan fungsi ginjal, hematuria, atau proteinuria
(Cheng, et al., 2020). PGK yang sudah ada sebelumnya merupakan faktor
risiko independen untuk terjadinya AKI (Chawla, et al., 2014). Meskipun
demikian berdasarkan analisis regresi, PGK belum menunjukkan
sebagai faktor prognostik penting terhadap luaran Covid-19 yang lebih
buruk (Guan, et al., 2020). Sedangkan hipertensi secara independen telah
dikaitkan dengan Covid-19 yang berat (Palevsky, et al., 2020). Hipertensi
dan diabetes merupakan penyebab tersering PGK. Di pihak lain PGK
merupakan penyebab tersering terjadinya hipertensi sekunder. Oleh
karena itu, penggunaan obat-obat penghambat RAAS merupakan hal

170 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


yang biasa pada pasien-pasien PGK. pada awal-awal terjadinya pandemik
muncul kekhawatiran terkait dengan penggunaan penghambat RAAS
ini karena obat-obat tersebut dapat meningkatkan regulasi ekspresi
ACE2 pada pasien diabetes tipe 2 dan hipertensi (Martinez-Rojas, et al.,
2020). Tetapi pada kenyataannya pasien-pasien yang mendapatkan terapi
penghambat RAAS, ternyata tidak didapatkan adanya peningkatan risiko
terkait Covid-19 (Mancia, et al., 2020).

PASIEN HEMODIALISIS (HD)


Pasien PGK terutama PGTA yang menjalani HD memiliki status imunitas
yang lebih rendah sehingga rentan terhadap berbagai jenis infeksi
termasuk SARS-CoV-2 ini (Ishigami, et al., 2019). Meskipun demikian,

21
berdasarkan data 37 pasien HD yang terinfeksi Covid-19 sebagian besar
ternyata mempunyai gambaran klinis yang ringan (Naicker, et al., 2020).
Berdasarkan data penelitian multisenter pada 7.154 pasien HD, didapatkan
154 pasien terkonfirmasi positif Covid-19 (Xiong, et al., 2020). Di antara 154
20
pasien dengan Covid-19, 77% adalah pasien ringan atau sedang, sedangkan
23% adalah pasien berat atau kritis. Tidak ada perbedaan yang signifikan
antara infeksi Covid-19 berat dan ringan atau sedang terkait dengan usia,
jenis kelamin, status merokok dan komplikasi seperti diabetes, penyakit
P

paru obstruktif kronik, dan kanker. Pilihan dialisis (HD atau PD), akses,
AU

frekuensi cuci darah tidak berpengaruh signifikan terhadap derajat


keparahan penyakit Covid-19. Gejala penyakit pada pasien HD serupa
dengan populasi umum, tetapi hanya 50% dari mereka mengalami demam
dan hampir 25% tidak menunjukkan gejala selama keseluruhan perjalanan
klinis infeksi Covid-19 (Xiong, et al., 2020). Gejala gastrointestinal (GI) agak
tidak biasa dan tampaknya merupakan presentasi klinis infeksi Covid-
19 yang tertunda (Ferrey, et al., 2020). Temuan radiologi serupa dengan
yang ditunjukkan pada populasi umum, tetapi terkadang sulit untuk
membedakan dengan perubahan paru-paru karena status uremia atau
dialisis yang tidak memadai (Gagliardi, et al., 2020). Sebagian besar pasien
yang menjalani HD, yang dipantau secara teratur, menunjukkan kondisi
klinis yang stabil selama pengobatan Covid-19 dan peradangan paru
secara bertahap diserap.

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Sistem Ginjal 171


PASIEN TRANSPLANTASI GINJAL
Pasien transplantasi ginjal yang menerima terapi imunosupresan,
kemungkinan memiliki risiko lebih tinggi untuk tertular Covid-19
(Martinez-Rojas, et al., 2020). Begitu juga, jika dibandingkan populasi
umum, angka kematian pasien transplantasi ginjal adalah lebih
tinggi, yaitu 19–25% (Gagliardi, et al., 2020). Selain itu, dengan kondisi
imunosupresif, manifestasi klinis, pengobatan dan prognosis pneumonia
Covid-19 pada transplantasi ginjal kemungkinan berbeda dibandingkan
dengan populasi umum (Fishman, et al., 2020). Respons imun pasien
transplantasi ginjal, terutama respons imun sel T, secara signifikan ditekan
karena asumsi jangka panjang obat imunosupresif. Meskipun demikian,
ternyata presentasi klinis Covid-19 pada pasien transplantasi ginjal, serupa

21
dengan yang dilaporkan untuk populasi umum. Mengenai pengobatan
penerima transplantasi, salah satu tantangannya adalah menyesuaikan
obat imunosupresif dan pada saat yang sama melindungi fungsi ginjal
transplan. Strategi umum adalah pengurangan (atau bahkan penghentian)
20
sementara obat imunosupresan, yang memungkinkan diperoleh kembali
kekebalan anti infeksi dalam waktu singkat, yang kondusif untuk eliminasi
virus. Meskipun rata-rata onset penyakit yang relatif jinak, sebagian
besar pasien menunjukkan gambaran radiografi dada yang memburuk
P

dan akibatnya membutuhkan peningkatan oksigen tambahan. Angka


kematian sebesar 25% yang lebih tinggi dibandingkan polulasi umum,
AU

meskipun dengan pendekatan penghentian imunosupresi secara agresif


dan pemberian terapi antivirus lebih awaL (Gagliardi, et al., 2020).

PRINSIP MANAJEMEN KETERLIBATAN GINJAL PADA


PASIEN COVID-19
Prinsip manajemen pasien Covid-19 dalam kaitannya dengan keterlibatan
ginjal ditekankan pada strategi pencegahan sebelum komplikasi pada
ginjal terjadi. Pencegahan AKI melalui kontrol tepat keseimbangan cairan
dan elektrolit, menghindari obat nefrotoksik dan pemantauan harian
fungsi ginjal dan keluaran urine, sangat penting dalam meningkatkan
hasil akhir pasien Covid-19. Untuk itu pada setiap pasien Covid-19 harus

172 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


selalu dilakukan identifikasi faktor risiko potensial terhadap terjadinya
AKI, baik faktor risiko demografik, faktor risiko saat pasien masuk RS,
dan faktor risiko selama pasien dirawat di RS (Tabel 8.3).

TATA LAKSANA STANDAR


Secara prinsip tata laksana AKI-Covid-19 adalah sama dengan penyebab
AKI lainnya pada pasien yang sakit kritis (Tabel 8.2; Gambar 8.3). Strategi
terapi ditujukan pada tindakan umum dan suportif, serta penggunaan
obat terapeutik empiris. pada awalnya, pasien Covid-19 sering dalam

Tabel 8.2 Tata laksana berdasar risiko AKI pada pasien Covid-19

Tindakan Risiko rendah Risiko sedang Risiko tinggi


Monitor kreatinin
serum
Monitor produksi
urine
Perawatan
standar (harian)
Evaluasi cairan
masuk & keluar
21
Setiap 12 jam
sampai menurun
Evaluasi secara
ketat cairan
Setiap 12 jam
sampai menurun
Evaluasi secara
ketat cairan
20
setiap 12 jam masuk & keluar; masuk & keluar;
Kateter Foley Kateter Foley
Kondisi status Perawatan Jika oliguria, Balan cairan
volume standar; balan cairan jika jika CVP < 8
furosemid sesuai CVP < 8; dan kondisi
P

kebutuhan Tunda furosemid hipovolemia


kecuali kondisi (bukan hanya
AU

edema paru oliguria); tunda


furosemid
Hindari obat Perawatan Perawatan Hindari OAINS
nefrotoksik standar standar atau penghambat
ACE/ARBs;
Penyesuaian
dosis obat
Tata laksana Perawatan Perawatan Monitor SVO2,
kardiak standar standar ekokardiografi
atau kateter PA
jika < 55%;
Inotrop untuk
menjaga CI > 2.2
Evaluasi ulang – 24 jam 12 jam
penanda

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Sistem Ginjal 173


Risiko Tinggi AKI Stadium 1 AKI Stadium 2 AKI Stadium 3
Perawatan standar untuk mencegah dan mengelola kerusakan multiorgan
Individualisasi manajemen cairan, hindari garam kecuali ada indikasi yang spesifik

Pertimbangkan pemantauan hemodinamik secara dinamis


Pantau kadar kreatinin serum dan produksi urine
Koreksi hipoglisemia
Pertimbangkan alternatif terhadap radiokontras jika memungkinkan
Hindari bahan atau obat nefrotoksik jika memungkinkan
Pertimbangkan risiko AKI dalam memilih strategi ventilator
Work-up diagnostik
Pertimbangkan perubahan farmakokinetik
Pertimbangkan terapi penggantian ginjal
Hindari akses subklavian

Efek virus langsung: Efek tidak langsung: - Infeksi sekunder Efek manajemen klinis
Infeksi virus corona - Hipervolemia - Rabdomyolisis - Nefrotoksin
pada ginjal - Cedera pada paru-paru - Pembentukan trombi - Hipervolemia
- Inflamasi sistemik

21
Gambar 8.3 Manajemen AKI-Covid-19 Berbasis Stadium AKI. Prinsip tata laksana
AKI-Covid-19 pada pasien kritis tidak berbeda dengan penyebab AKI lainnya.
Meskipun demikian ketika mengelola AKI-Covid-19 perlu untuk mempertimbangkan
- Lung-Kidney crosstalk
20
mekanisme penyakit atau kondisi yang mendasarinya (KDIGO, 2012).

kondisi hipovolemia, sehingga sangat penting manajemen cairan secara


individual, dengan target euvolemia dan menghindari hipervolemia yang
P

berpotensi memperburuk status respiratorik pasien. Resusitasi cairan dan


vasopresor berdasarkan penilaian hemodinamik pasien untuk mengurangi
AU

risiko AKI-Covid-19. KDIGO merekomendasikan cairan balan, kecuali


ada indikasi lain (misalnya menggunakan salin 0,9% bila didapatkan
hipovolemia disertai hipoklorid) (Nadim, et al., 2020).

STRATEGI SPESIFIK PADA COVID-19


Belum ada terapi spesifik Covid-19, oleh karena itu tata laksana masih
mengikuti rekomendasi dari konsensus untuk AKI yang ada saat ini
(Tabel 8.2). pada Covid-19 derajat berat direkomendasikan strategi ventilasi
mekanis pelindung paru. Perlu diperhatikan, bahwa PEEP yang berlebihan
dapat menyebabkan tekanan vena sistemik yang tinggi dan penurunan
perfusi ginjal dan filtrasi glomerulus, sehingga direkomendasikan untuk

174 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


melakukan individualisasi positive end-expiratory pressure (PEEP) dengan
pertimbangan risiko dan manfaatnya. Posisi tengkurap pada gagal napas
tidak berdampak terhadap risiko AKI (Nadim, et al., 2020).

STRATEGI SPESIFIK PADA AKI


Inisiasi untuk melakukan terapi penggantian ginjal (renal replacement
therapy, RRT), lokasi akses vaskular, modalitas RRT yang dipilih tergantung
pada kebutuhan pasien, pengalaman serta ketersediaan sarana dan tenaga
ahli secara lokal. Keputusan untuk memulai RRT akut pada pasien AKI-
Covid-19 harus bersifat individual, dan harus mempertimbangkan konteks
klinis, tidak hanya berdasarkan stadium AKI atau derajat fungsi ginjal
(Nadim, et al,. 2020). Obat-obat yang diekskresikan dan atau dimetabolisme

21
melalui ginjal perlu dilakukan penyesuaian dosis sesuai dengan derajat
gangguan fungsi ginjal, terutama pasien yang menjalani RRT. Selain itu,
farmakokinetik obat-obatan seperti antibiotik atau antikoagulan, mengalami
perubahan pada pasien AKI, sehingga monitor kemungkinan efek samping
20
harus menjadi perhatian. Tata laksana nutrisi juga menjadi bagian yang
penting untuk diperhatikan. Asupan protein harus ditingkatkan secara
bertahap menjadi 1,3–1,5 g/kg per hari pada pasien dengan AKI yang tidak
menjalani RRT; 1,0–1,5 g/kg per hari untuk pasien dengan RRT intermiten
P

dan hingga 1,7 g/kg per hari untuk pasien dengan RRT yang berkelanjutan
AU

(continuous RRT). Lebih dipilih untuk lebih awal pemberian nutrisi enteral
daripada parenteral, dan posisi tengkurap bukan merupakan kontraindikasi
untuk pemberian makan enteral (Nadim, et al., 2020).

STRATEGI PADA PASIEN PGK DAN HIPERTENSI


Pasien-pasien yang mendapatkan terapi penghambat ACE atau ARBs harus
tetap melanjutkan pengobatan dengan obat-obat ini (kecuali ada indikasi
untuk penghentian seperti hiperkalemia atau hipotensi yang berpotensi
dapat memperburuk AKI). Pasien dengan penyakit kardiovaskular, PGK,
hipertensi, dan diabetes (yaitu penyakit dengan prevalensi penggunaan
penghambat RAAS yang tinggi) seringkali dengan perjalanan klinis
infeksi SARS-CoV-2 yang lebih berat. Meskipun demikian tidak ada bukti

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Sistem Ginjal 175


yang mendukung adanya hubungan antara penggunaan penghambat
RAAS dan penyakit Covid-19 yang lebih berat, begitu juga tidak ada
bukti yang mendukung bahwa penghentian penghambat ACE atau ARB
mengurang beratnya Covid-19. Pendekatan ini juga telah didukung oleh
beberapa panduan (Palevsky, et al., 2020).

RINGKASAN DAN REKOMENDASI


Penyakit ginjal pada pasien Covid-19 dapat bermanifestasi sebagai AKI,
hematuria, atau proteinuria. AKI berkorelasi dengan tingkat keparahan
penyakit; AKI hampir universal di antara pasien yang menggunakan
ventilasi mekanis (90%) tetapi lebih jarang pada pasien yang tidak sakit
kritis (22%). Adapun prediktor independen AKI meliputi usia yang lebih

21
tua, diabetes, hipertensi, penyakit kardiovaskular, penggunaan ventilasi
mekanis, kadar interleukin-6 yang lebih tinggi, dan penggunaan obat
vasopressor.
20
Di samping komplikasi AKI, SARS-Cov-2 juga memengaruhi
kondisi PGK yang sudah ada sebelumnya. pada pasien PGK, pasien
hipertensi, pasien transplantasi ginjal, dan pasien HD berisiko
lebih tinggi tertular dan berkembangnya bentuk infeksi Covid-19
P

yang lebih berat. Hipertensi secara independen telah dikaitkan


AU

dengan beratnya Covid-19. Hal lain yang perlu ddiperhatikan


terkait dengan manifestasi klinis pasien Civid-19 dengan HD yang
agak berbeda dengan pasien Covid-19 pada umumnya. Pasien
HD cenderung tidak mengalami gejala pernapasan atau demam
dan cenderung mengalami perubahan status mental dan keluhan
gastrointestinal. Begitu juga dari pemeriksaan foto toraks juga
sering ada tumpang tindih dengan gambaran uremic lung. Kondisi
ini berpotensi menyulitkan penegakan diagnosis.
Adapun mengenai penyebab atau mekanisme kelainan sistem ginjal
khususnya AKI pada pasien Covid-19 bersifat multifaktorial, antara lain
karena perubahan hemodinamik akibat sepsis, dehidrasi atau deplesi
volume intravaskuler, sindroma badai sitokin (cytokine storm syndrome,

176 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


CSS), rabdomiolisis, hipoksia atau akibat sitotoksisitas virus secara
langsung pada ginjal melalui reseptor.
Strategi terapi pada pasien Covid-19 ditujukan pada tindakan umum
dan suportif, serta penggunaan obat-obat empiris. Tindakan pencegahan
terhadap komplikasi ginjal merupakan pendekatan yang paling tepat dalam
meningkatkan luaran pasien Covid-19. Langkah pertama dalam tindakan
pencegahan komplikasi ginjal adalah selalu melakukan identifikasi risiko
AKI pada setiap pasien Covid-19 yang masuk RS. Pencegahan AKI melalui
kontrol tepat keseimbangan cairan dan elektrolit, menghindari obat
nefrotoksik dan pemantauan harian fungsi ginjal dan keluaran urine,
merupakan prinsip-prinsip dasar manajemen pasien Covid-19 yang sangat
penting. Manajemen cairan secara individual, dengan target euvolemia
dan menghindari hipervolemia yang berpotensi dapat memperburuk

21
status respiratorik pasien. Penelitian lebih lanjut mengenai keterlibatan
ginjal pada penyakit Covid-19 masih perlu dilakukan agar dapat dilakukan
strategi pencegahan dan penanganan dini AKI yang lebih efektif.
20
Beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan yaitu, dengan
mengonfirmasi diagnosis AKI-Covid-19 berdasarkan pada kadar kreatinin
serum atau produksi urine (Tabel 8.1), serta derajat beratnya Covid-19
sebagai dasar untuk melakukan tata laksana klinis yang tepat (Tabel 8.2).
P

Kemudian paada setiap pasien Covid-19 kelompokkan berdasarkan risiko


untuk terjadinya AKI berdasarkan komorbiditas dan demografi pasien.
AU

Untuk itu diperlukan informasi tentang stadium PGK, komorbiditas,


dan demografi pasien secara individual untuk menentukan profil
risiko AKI-Covid-19 (Tabel 8.3). Evaluasi pada pasien Covid-19 dengan
mempertimbangkan faktor risiko AKI saat MRS dan saat dalam perawatan,
derajat keparahan penyakit, proses perawatan, serta indikasi perawatan
di ICU. Selanjutnya melakukan pemantauan pasien AKI-Covid-19
selama dirawat di RS dan setelah keluar dari RS, melakukan tata
laksana pemberian cairan dan pemantauan hemodinamik secara ketat
terutama untuk pasien Covid-19 yang berat dengan target euvolemia, serta
melakukan pembatasan paparan obat nefrotoksik dan pemantauan secara
hati-hati jika diperlukan obat yang nefrotoksik, termasuk penyesuaian
dosis obat berdasarkan laju filtrasi glomerulus.

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Sistem Ginjal 177


Tabel 8.3 Faktor-Faktor Risiko Potensial terhadap AKI-Covid-19

Faktor Risiko Demografis Faktor Risiko AKI saat MRS


• Usia tua • Derajat beratnya Covid-19
• Diabetes melitus • Derajat viremia
• Hipertensi • Status respiratorik
• Penyakit kardiovaskular • Keterlibatan organ non-respiratorik, misal
atau gagal jantung diare
kongestif • Lekositosis
• Obesitas • Limfopenia
• Penyakit ginjal kronik • Peningkatan kadar penanda inflamasi,
• Faktor risiko genetik misal feritin, C-reactive protein, D-dimers
(misal genotipe APOL1, • Hipovolemia/dehidrasi
polimorfisme ACE2) • Rabdomiolisis
• Kondisi supresi imun • Paparan obat-obatan, misal penghambat
• Riwayat merokok ACE dan atau ARBs, statin, OAINS
Faktor risiko AKI selama rawat inap



Vasopresor
21
Nefrotoksik (obat-obatan, paparan kontras)

Ventilasi, positive end-expiratory pressure yang tinggi


20
• Dinamika cairan (overload atau hipovolemia)

DAFTAR PUSTAKA
P

Abdelaziz, T.S. 2020. Kidney diseases and Covid-19 pandemic – a review article.
Macedonian Journal of Medical Sciences, 8(T1):103-108.
AU

Asgharpour, M., Zare, E., Mubarak, M., Alirezaei, A. 2020. Covid-19 and kidney
disease: update on epidemiology, clinical manifestations, pathophysiology
and management. J Coll Physicians Surg Pak, 30(Supp1):S19-S25.
Chen, D., Li, X., Song, Q., et al. 2020. Hypokalemia and clinical implications
in patients with coronavirus disease 2019 (Covid-19). MedRxiv. DOI:
10.1101/2020.02.27.20028530.
Cheng, Y., Luo, R., Wang, K., et al. 2020. Kidney disease is associated with in-
hospital death of patients with Covid-19. Kidney Int, 97(5):829-38.
Chiu, P.F., Su, S.L., Tsai, C.C., et al. 2018. Cyclophilin A and CD147 associate with
progression of diabetic nephropathy. Free Radic Res, 52:1456–1463.
Cunningham, P.N., Dyanov, H.M., Park, P., et al. 2002. Acute renal failure in
endotoxemia is caused by TNF acting directly on TNF receptor-1 in kidney.
J Immunol, 168:5817–5823.

178 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Darmon, M., Schortgen, F., Leon, R., et al. 2009. Impact of mild hypoxemia on renal
function and renal resistive index during mechanical ventilation. Intensiv
Care Med, 35:1031–1038.
Desai, T.R., Leeper, N.J., Hynes, K.L. 2002. Interleukin-6 causes endothelial barrier
dysfunction via the protein kinase C pathway. J Surg Res, 104:118–123.
Deshotels, M.R., Xia, H., Sriramula, S., et al. 2014. Angiotensin II mediates
angiotensin converting enzyme type 2 internalization and degradation
through an angiotensin II type I receptor-dependent mechanism.
Hypertension, 64:1368–1375.
Diao, B., Wang, C.H., Wang, R.S., et al. 2020. Human kidney is a target for novel
severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) infection.
medRxiv. doi: https://doi.org/10.1101/2020.03.04.20031120.
Ferrario, C.M., Jessup, J., Chappell, M.C., et al. 2005. Effect of angiotensin-
converting enzyme inhibition and angiotensin II receptor blockers on cardiac

21
angiotensin-converting enzyme 2. Circulation, 111:2605–2610.
Ferrey, A.J., Choi, G., Hanna, R.M. 2020. Nephrology a case of Novel Coronavirus
Disease 19 in a chronic hemodialysis patient presenting with gastroenteritis
and developing severe pulmonary disease. Am. J. Nephrol, 92868:337–342.
20
Fishman, J.A., Grossi, P.A. 2020. Novel Coronavirus-19 (Covid-19) in the
immunocompromised transplant recipient. Am J Transplant, 20 (7):1765-
1767.
Flythe, J.E., Assimon, M.M., Tugman, M.J., et al. 2020. Characteristics and outcomes
P

of individuals with pre-existing kidney disease and Covid-19 admitted to


intensive care units in the United States. Am J Kidney Dis, 77(2):190-203. DOI:
AU

https://doi.org/10.1053/j.ajkd.2020.09.003.
Gabarre, P., Dumas, G., Dupont, T., et al. 2020. Acute kidney injury in critically ill
patients with Covid-19. Intensive Care Med, 46(7):1339-1348.
Gagliardi, I., Patella, G., Michael, A., et al. 2020. Covid-19 and the kidney: from
epidemiology to clinical practice. J. Clin. Med, 9(8):2506.
Guan, W.J., Ni, Z.Y., Hu, Y., et al. 2020. Clinical characteristics of coronavirus
disease 2019 in China. N Engl J Med, 382(19):1861–1862.
Helms, J., Tacquard, C., et al. 2020. High risk of thrombosis in patients with severe
SARS-CoV-2 infection: a multicenter prospective cohort study. Intensive Care
Medicine, 46(6):1089-1098.
Hirsch, J.S., Ng, J.H., Ross, D.W., et al. 2020. Acute kidney injury in patients
hospitalized with Covid-19. Kidney Int, 98(1):209–218.

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Sistem Ginjal 179


Hofmann, M., Kleine-Weber, H., Schroeder, S., et al. 2020. SARS-CoV-2 cell entry
depends on ACE2 and TMPRSS2 and is blocked by a clinically proven
protease inhibitor. Cell, 181(2):271-280.
Huang, C., Wang, Y., Li, X., et al. 2020. Clinical features of patients infected with
2019 novel coronavirus in Wuhan, China. Lancet, 395:497–506.
Husain-Syed, F., Slutsky, A.S., Ronco, C. 2016. Lung-kidney cross-talk in the
critically Ill patient. Am J Respir Crit Care Med, 194:402–414.
Ishigami, J., Matsushita, K. 2019. Clinical epidemiology of infectious disease
among patients with chronic kidney disease. Clin Exp Nephrol, 23: 437– 447.
Joannidis, M., Forni, L.G., Klein, S.J., et al. 2020. Lung-kidney interactions in
critically ill patients: consensus report of the Acute Disease Quality Initiative
(ADQI) 21 Workgroup. Intensiv Care Med, 46:654–672.
Kidney Disease: Improving Global Outcomes. 2012. KDIGO clinical practice
guideline for acute kidney injury (2012). Kidney Int, 2 (Suppl. 1):1–138.

21
Li, W., Moore, M.J., Vasilieva, N., et al. 2003. Angiotensin-converting enzyme 2 is
a functional receptor for the SARS coronavirus. Nature, 426(6965):450–4.
Li, Z., Wu, M., Yao, J.W., et al. 2020. Caution on kidney dysfunctions
of 2019-nCoV pat ient s. medR xiv. Ava i lable f rom: ht t ps://doi.
20
org/10.1101/2020.02.08.20021212
Ling, Y., Xu, S.B., Lin, Y.X., Tian, D., Zhu, Z.Q., Dai, F.H., et al. 2020. Persistence
and clearance of viral RNA in 2019 novel coronavirus disease rehabilitation
patients. Chin Med J (Engl),133(9):1039–43.
P

Mancia, G., Rea, F., Ludergnani, M., et al. 2020. Renin angiotensin-aldosterone
system blockers and the risk of Covid-19. N Engl J Med, 382:2431-2440.
AU

Martinez-Rojas, M.A., Vega-Vega, O., Bobadilla, N.A. 2020. Is the kidney a target
ofSARS-CoV-2?. Am J Physiol Renal Physiol, 318: F1454–F1462.
Nadim, M.K., Forni, L.G., Mehta, R.L. 2020. Covid-19-associated acute kidney
injury: consensus report of the 25th Acute Disease Quality Initiative (ADQI)
Workgroup: Consensus Statement. Nature Reviews, Nephrology.
Naicker, S., Yang, C., Hwang, S., et al. 2020. The novel coronavirus 2019 epidemic
and kidneys. Kidney Int, 97(5):824-8.
Nechemia-Arbely, Y., Barkan, D., Pizov, G., et al. 2008. IL-6/IL-6R axis plays a
critical role in acute kidney injury. JASN, 19:1106–1115.
Palevsky, P.M., Radhakrishnan, J. and Townsend, R.R. 2020. Coronavirus disease
2019 (Covid-19): Issues related to kidney disease and hypertension. Uptodate.
Last updated: Nov 18.

180 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Pan, X., Xu, D., Zhang, H., et al. 2020. Identification of a potential mechanism of
acute kidney injury during the Covid-19 outbreak: A study based on single-
cell transcriptome analysis. Intensive Care Med, 46(6):1114-1116.
Panitchote, A., Mehkri, O., Hastings, A., et al. 2019. Factors associated with acute
kidney injury in acute respiratory distress syndrome. Ann Intensiv Care,
9(1):74.
Qian, J.Y., Wang, B., Liu, B.C. 2020. Acute Kidney Injury in the 2019 Novel
Coronavirus Disease. Kidney Dis, 6:318–323.
Ranieri, V.M., Giunta, F., Suter, P.M., Slutsky, A.S. 2000. Mechanical ventilation
as a mediator of multisystem organ failure in acute respiratory distress
syndrome. JAMA, 284:43–44.
Santos, R.A., Ferreira, A.J., Verano-Braga, T., Bader, M. 2013. Angiotensin-
converting enzyme 2, angiotensin-(1-7) and Mas: new players of the renin-
angiotensin system. J Endocrinol, Jan;216(2):R1–17.

21
Su, H., Lei, C.T., Zhang, C. 2017. Interleukin-6 signaling pathway and its role in
kidney disease: an update. Front Immunol, 8:405
Su, H., Yang, M., Wan, C., et al. 2020. Renal histopathological analysis of 26 post
mortem findings of patients with Covid-19 in China. Kidney Int, 98(1):219-
20
227.
Vaduganathan, M., Vardeny, O., Michel, T., et al. 2020. Renin-AngiotensinAldosterone
system inhibitors in patients with Covid-19. N Engl J Med, 382:1653–1659.
Valeri, A.M., Robbins-Juarez, S.Y., Stevens, J.S., et al. 2020. Presentation and
P

Outcomes of Patients with ESKD and Covid-19. J Am Soc Nephrol, 31(7):1409-


1415.
AU

Vuille-dit-Bille, R.N., Camargo, S.M., Emmenegger, L., et al. 2015. Human intestine
luminal ACE2 and amino acid transporter expression increased by ACE-
inhibitors. Amino Acids, 47:693–705.
Wang, K., Chen, W., Zhou, Y.S., et al. 2020. SARS-CoV-2 invades host cells via a
novel route: CD147-spike protein. bioRxiv. DOI: 10.1101/2020.03.14.988345.
Wu, C., Chen, X., Cai, Y., et al. 2020. Risk factors associated with acute respiratory
distress syndrome and death in patients with Coronavirus Disease 2019
pneumonia in Wuhan, China. JAMA Intern Med, 180(7):934-943.
Wu, J., Liu, J., Zhao, X., et al. 2020. Clinical characteristics of imported cases of
Covid-19 in Jiangsu province: a multicenter descriptive study. Clin Infect.
Dis, 71:706–712.

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Sistem Ginjal 181


Xia, P., Wen, Y., Duan, Y., et al. 2020. Clinicopathological features and outcomes of
acute kidney injury in critically III Covid-19 with prolonged disease course:
a retrospective cohort. J Am Soc Nephrol, 31(9):2205-2221.
Xiong, F., Tang, H., Liu, L., et al. 2020. Clinical characteristics of and medical
interventions for Covid-19 in hemodialysis patients in Wuhan, China. J Am
Soc Nephrol, 31:1387–1397.
Yan, R., Zhang, Y., Li, Y., et al. 2020. Structural basis for the recognition of SARS-
CoV-2 by full-length human ACE2. Science, 367: 444 –1448.
Yang, G., Tan, Z., Zhou, L., et al. 2020. Effects of ARBs and ACEIs on virus infection,
inflammatory status and clinical outcomes in Covid-19 patients with
hypertension: a single center retrospective study. Hypertension, 76:51–58.
Zhang, P., Zhu, L., Cai, J., et al, 2020. Association of inpatient use of angiotensin
converting enzyme inhibitors and angiotensin II receptor blockers with
mortality among patients with hypertension hospitalized with Covid-19.
Circ Res, 126(12):1671-1681.

21
Zhao, W., Yu, S., Zha, X., et al, 2020. Clinical characteristics and durations of
hospitalized patients with Covid-19 in Beijing: A retrospective cohort study.
MedRxiv. doi: https://doi.org/10.1101/2020.03.13.20035436.
20
P
AU

182 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


MANIFESTASI KLINIS COVID-19
PADA SISTEM KULIT

Muhammad Yulianto Listiawan, Ni Putu Susari Widianingsih

PENGANTAR

21
Pada bulan Desember 2019, telah dilaporkan kasus pertama pneumonia
tanpa diketahui penyebabnya di Wuhan, China. Pathogen baru yang
20
disebut sebagai severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2),
telah diisolasi dari pasien yang terinfeksi, yang bahan sampelnya diambil
dari saluran pernapasan bagian bawah penderita dan hasilnya dikenal
dengan sebutan Covid-19 (Galván Casas, et al., 2020). Virus ini dengan cepat
P

menyebar sehingga menyebabkan situasi pandemi. Coronavirus disease


2019 (Covid-19), menimbulkan banyak masalah pada bidang dermatologi
AU

dan perawatan kulit. Masalah yang timbul ini selain penting tapi juga
menantang, karena minimnya data yang dijadikan rekomendasi dasar
(Feldman and Freeman, 2020).
Covid-19 bisa mengenai sistem organ yang berbeda, termasuk juga
kulit. Hanya ada beberapa deskripsi tentang manifestasi kulit dari Covid-19
ini. Dua puluh persen penderita di bangsal rumah sakit di Italia memiliki
gejala di kulit, digambarkan sebagai rash atau urtikaria dan satu kasus
dideskripsikan seperti lesi cacar air (‘chickenpox-like’ lesions). Laporan kasus
lainnya menggambarkan lesi kulit yang salah didiagnosis sebagai dengue, acro-
ischaemia pada anak-anak dan pasien kritis, plak pada tumit, dan urtikaria.
Sebagian besar laporan tersebut tidak terekam gambarnya, disebabkan karena
faktor keamanan dan sedikitnya pasien di rumah sakit. (Casas, et al., 2020)

183
Manifestasi kulit pada infeksi Covid-19 dapat menyerupai kelainan
kulit pada penyakit lain. Berikut akan dibahas berbagai manifestasi kulit
yang mungkin didapatkan pada penderita yang terinfeksi Covid-19 yang
penting untuk diketahui oleh para sejawat dokter, serta aspek lain yang
berkaitan dengan infeksi SARS-CoV-2 dan manajemen pasien.

EPIDEMIOLOGI
Covid-19 pertama kali dilaporkan di Indonesia pada tanggal 2 Maret
2020 sejumlah 2 kasus (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2020b). Data pada tanggal 18 Oktober 2020 menunjukkan kasus yang
terkonfirmasi Covid-19 di Indonesia berjumlah 361.867 kasus, dengan
angka kasus baru mencapai 4105 pada tanggal yang sama, dan dengan

21
angka kematian sebesar 12.511. Provinsi DKI Jakarta merupakan wilayah
dengan kasus Covid-19 terkonfirmasi paling tinggi sebesar 93.356, dan
diikuti oleh Provinsi Jawa Timur sebesar 48.690 kasus (Kementerian
20
Kesehatan Republik Indonesia, 2020a; Susilo, et al., 2020).
Manifestasi klinis kasus Covid-19 secara utama berupa pneumonia
interstitial dan gagal napas, dari berbagai belahan dunia dilaporkan bahwa
Covid-19 ini dapat berhubungan dengan manifestasi kutaneus spesifik
P

(Daneshgaran, Dubin and Gould, 2020). Studi awal dari Tiongkok Tengah
melaporkan frekuensi penyakit kulit pada pasien Covid-19 relatif rendah.
AU

Di antara 1.099 kasus yang dikonfirmasi Covid-19 di Wuhan, hanya 0,2%


yang menunjukkan gejala pada kulit. Hal tersebut juga ditemukan pada 14
dari 48 pasien Covid-19 terkonfirmasi di Italia, namun dengan penjelasan
lebih lanjut terkait semiologinya (Wollina, et al., 2020).
Baru-baru ini di Thailand disebutkan bahwa hampir semua pasien
Covid-19 memiliki gejala kulit. Hal tersebut berlawanan dengan pasien
Tibet yang tinggal di daerah dataran tinggi yang tidak terdapat manifestasi
kelainan kulit yang dilaporkan, di mana perjalanan penyakit Covid-19
umumnya ringan (Wollina, et al., 2020).

184 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


PATOFISIOLOGI
Manifestasi kutaneus dari Covid-19 belum diketahui pasti namun diduga
mempunyai dua pola mekanisme. Mekanisme yang pertama adalah (1)
memiliki kemiripan dengan eksantema karena virus, di mana terjadi
respons imun terhadap nukleotida dari virus, dan (2) erupsi kutaneus
sekunder sebagai akibat dari konsekuensi sistemik Covid-19, terutama
berupa vasculitis dan vaskulopati trombotik. pada lesi yang menyerupai
pernio atau chilblain diduga karena adanya proses inflamasi primer. Lesi
yang menyerupai pernio biasanya tidak iskemik yang menandakan tidak
adanya proses trombosis intravaskuler. Interferonopati, sebuah kondisi
genetik dengan produksi interferon tipe 1 yang berlebih bisa didapatkan
pada lesi yang menyerupai pernio, menandakan adanya respons interferon

21
yang kuat. Interferon tipe 1 sendiri memiliki aktivitas antiviral sehingga
peningkatan kadarnya bisa diprediksi pada orang sehat yang terpapar
SARS CoV-2 dan menandakan respons imun yang baik terhadap virus
namun berkontribusi terhadap munculnya lesi pernio. Sebaliknya
20
respons interferon yang lambat mengakibatkan respons buruk terhadap
replikasi virus yang dikaitkan dengan meningkatnya kemungkinan
badai sitokin namun rendahnya kemunculan lesi pernio (Feldman and
Freeman, 2020).
P

Keratinosit mungkin menjadi target sekunder setelah aktivasi dari sel


AU

Langerhans, menginduksi berbagai spektrum dari manifestasi kulit. Dapat


disimpulkan bahwa virus sendiri tidak langsung menyerang keratinosit
namun respons imun terhadap infeksi yang menyebabkan aktivasi dari
sel Langerhans mengakibatkan suatu kondisi vasodilatasi dan spongiosis.
Lesi yang berupa livido retikularis dapat disebabkan oleh akumulasi
dari mikrotrombosis pada organ lain, menyebabkan peredaran darah ke
kulit menurun. Koagulasi intravaskular diseminata derajat rendah dan
akumulasi dari darah yang memiliki kadar oksigen rendah pada pleksus
vena juga dapat menjadi penyebab kelainan kulit tersebut. Masih belum
dapat disimpulkan bahwa manifestasi pada kulit merupakan konsekuensi
sekunder atau infeksi primer pada kulit. Lebih memungkinkan bahwa
kombinasi dari dua mekanisme tersebut yang menyebabkan manifestasi
kutaneous pada pasien Covid-19 (Sachdeva, et al., 2020).

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Sistem Kulit 185


MACAM-MACAM MANIFESTASI KLINIS COVID-19 DI KULIT
Serial kasus dari seluruh belahan dunia telah mengidentifikasi rentang
kejadian manifestasi kulit pada Covid-19. Frekuensinya berkisar dari
0,2% sampai 20,4% kasus dan waktu munculnya manifestasi kulit pada
Covid-19 sulit dipastikan. Hal lain yang juga belum jelas adalah hubungan
manifestasi kulit tertentu dengan tingkat keparahan penyakit. Selain itu,
tidak dapat dipungkiri bahwa beberapa penderita yang mengalami gejala di
kulit menunjukkan reaksi kulit yang disebabkan oleh sejumlah terapi yang
diberikan dalam menangani Covid-19 (Feldman and Freeman, 2020).
Saat ini belum ada klasifikasi atau deskripsi secara detail dari
manifestasi kulit pasien dengan Covid-19. Informasi ini mungkin
bisa berguna dalam mengelola pasien dan mengenali pasien dengan

21
paucisymptomatic, dan mungkin bisa memberikan informasi prognostik.
Pengenalan pasien dengan paucisymptomatic bisa sangat membantu untuk
pengendalian epidemiologi, khususnya di area dengan tes diagnostik yang
masih jarang atau langka (Casas, et al., 2020).
20
Oleh karena itu, beberapa peneliti melaporkan melalui jurnal dan
telah melakukan survei kasus nasional di antara para ahli kulit, untuk
memungkinkan deskripsi cepat dari manifestasi kulit penyakit Covid-19
dan menghubungkannya dengan temuan klinis lainnya.
P

Dari sebuah studi yang dilakukan Casas, G., et al., selama masa
AU

puncak epidemis di Spanyol, mengumpulkan data dari 429 kasus, telah


melakukan survei pengumpulan gambar kasus dan data klinis secara
nasional. Konsensus yang didapat dari hasil review terhadap gambar atau
penampakan klinis menghasilkan adanya lima pola klinis utama. Hampir
semua pasien bisa diklasifikasikan ke dalam lima pola tersebut, dan
hanya sedikit pasien dengan kasus yang tidak biasa diberi highlight dalam
deskripsinya. Berikut adalah lima pola klinis utama (Casas, et al., 2020):
1. Area akral eritema-edema dengan beberapa vesikel atau pustula
(pseudo-chilblain) (19% kasus). Lesi tersebut mungkin mirip chilblains
dan ada area purpuric juga, mengenai tangan dan kaki (Gambar 1a,
b.), lesi ini biasanya tidak simetris.

186 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


2. Erupsi vesikuler lainnya (9%), Beberapa muncul di badan dan terdiri
atas vesikel monomorfik (terjadi pada stadium yang sama, tidak
seperti vesikel polimorfik pada cacar air) (Gambar 1c). Gambaran
ini juga bisa mengenai ekstremitas, mengandung hemorargi dan
bisa meluas.
3. Lesi urticarial (19%) (Gambar 1d). Gambaran ini sebagian besar
didapatkan di badan atau menyebar. pada beberapa kasus bisa
muncul di area palmar (telapak tangan).

21
20
P
AU

Gambar 9.1 Pasien Terkonfirmasi Covid-19. (a,b) Area akral eritema-edema dengan
vesikel atau pustula (pseudo-chilblain); (c) vesikel menyebar monomorfik (yaitu
pada tahap yang sama); (d) Lesi urtikaria. )*

*) diambil dari Casas, C., et al., (2020), Classification of the cutaneous manifestations
of Covid‐19: a rapid prospective nationwide consensus study in Spain with 375 cases.

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Sistem Kulit 187


4. Bentuk makulopapuler lainnya (47%). pada kelompok ini menunjukkan
distribusi perifolikuler dan adanya berbagai tingkatan kulit yang
mengelupas (scaling) (Gambar 2a). Beberapa lesi digambarkan mirip
pityriasis rosea. Kadang-kadang bisa nampak juga purpura, dalam
bentuk seperti punctate atau dalam bentuk area yang lebih lebar.
Hanya sedikit kasus menunjukkan papul dengan infiltrat pada
ekstremitas, sebagian besar di bagian punggung tangan, yang terlihat
seperti pseudovesiculer (Gambar 2b) atau mirip erythema elevatum
diutinum atau erythema multiforme (Gambar 2c).
5. Livedo atau nekrosis (6%). Di sini pasien menunjukkan berbagai
derajat lesi yang diduga penyakit oklusif pembuluh darah, yang
meliputi area badan atau akral dengan iskemia (Gambar 2d).

21
20
P
AU

Gambar 9.2 Pasien Terkonfirmasi Covid-19 (a) Erupsi makulopapular. Beberapa lesi
bersifat perifollikular; (b) Papula infiltrasi pada akral (pseudovesikuler); (c) Papula
pada akral (seperti eritema multiforme); (d) Area livedoid. )*

*) diambil dari Casas, C. et al. (2020), Classification of the cutaneous manifestations


of Covid‐19: a rapid prospective nationwide consensus study in Spain with 375 cases.

188 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Beberapa pasien menunjukkan manifestasi yang berbeda seperti
enanthem atau lesi purpurik di area lipatan kulit. Para dermatologis juga
mendapati adanya peningkatan jumlah kasus herpes zoster pada pasien
Covid-19 (Casas, et al., 2020).
Sachdeva, M., et al. melaporkan 3 kasus berbagai macam manifestasi
kulit pada pasien terkonfirmasi Covid-19, bahwa lesi makulopapuler
exanthema (morbiliformis) adalah lesi yang paling sering ditemukan (36,1%)
dan sebagian besar lesi didapatkan di area badan (66,7%), sedangakan 19,4%
didapatkan di tangan dan kaki (Gambar 3A, B) (Sachdeva, et al., 2020).

21
20
P
AU

Gambar 9.3 Pasien Terkonfirmasi Covid-19. (A) lesi makulopapuler eksantem yang
diffuse pada badan. (B) rash makula hemorrhagic pada lengan.)*

*) diambil dari kepustakaan Sachdeva, M., et al., 2020, Cutaneous manifestations of


Covid-19: Report of three cases and a review of literature.

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Sistem Kulit 189


21
20
Gambar 9.4 Urtikaria di dahi, akral tangan, dan kaki pada pasien perempuan di
Prancis (WHO, 2020).
P
AU

Gambar 9.5 Ruam purpura pada kedua regio periaksila pada pasien Covid-19 di
Spanyol (WHO, 2020).

190 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


21
20
Gambar 9.6 Papul merah keunguan pada dorsal jari-jari kedua tangan serta
eritema di daerah subungual pada pasien di Kuwait (WHO, 2020)

Telah dilaporkan pada 10 anak di Italia selama masa pandemi Covid-19


P

ini, manifestasi kulit yang disebut sebagai multisystem inflammatory


syndrome in children (MIS-C), yaitu suatu rash berwarna merah, polimorfik,
AU

bisa disertai indurasi kemerahan dan/atau indurasi yang agak keras pada
tangan dan kaki, mukosa rongga mulut (oral mucositis), dan konjungtivitis,
disertai gejala sistemik, kelainan laboratorium dan foto imaging yang
atipikal yang didapat pada penyakit Kawasaki berat. Kasus yang sama
dilaporkan juga terjadi di Inggris, Amerika Serikat, dan beberapa negara
lainnya (Feldman and Freeman, 2020).
Pada beberapa bayi baru lahir dari ibu yang menderita Covid-19
pada saat kelahiran terjadi rash yang bersifat sementara. Dari suatu
review sejumlah 9 serial kasus kecil di China yang melibatkan 65 wanita
hamil yang terinfeksi SARS-CoV-2 selama hamil dan 67 bayi baru lahir,
dua di antaranya mengalami rash. Rash tersebut digambarkan sebagai
suatu makulo papuler yang difuse yang akan memudar dalam waktu

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Sistem Kulit 191


satu hari dengan terjadinya deskuamasi (pengelupasan), dan pada bayi
lainnya digambarkan sebagai erupsi seperti miliaria, kemerahan, yang
akan menghilang dalam waktu 10 hari tanpa pengobatan (Feldman and
Freeman, 2020).
Young S, et.al., dari klinik Cleveland, USA, melaporkan beberapa kasus
Covid-19 dengan gejala kulit yang tidak biasa. Seorang wanita berusia
64 tahun, mengeluhkan timbulnya rash yang mirip dengan Symmetrical
Drug-Related Intertriginous and Flexural Exanthema (SDRIFE) pada hari ke-4
setelah penderita mengalami gejala demam. Meskipun SDRIFE biasanya
berhubungan dengan erupsi kulit karena obat, pada kasus ini pengarang
tidak bisa menentukan obat penyebabnya (Young and Fernandez, 2020).
Beberapa medikasi yang diberikan kepada penderita Covid-19
diketahui bisa memberikan berbagai macam erupsi kulit (Tabel 9.1).

21
Selanjutnya, pada banyak penyakit virus biasanya berhubungan dengan
eksantema dan telah dilaporkan hanya beberapa saja pasien Covid-19
yang mempunyai kelainan pada kulitnya, tidak diketahui pasti apakah
20
manifestasi kulit tersebut memang benar-benar spesifik pada infeksi
SARS-CoV-2.

Tabel 9.1 Reaksi obat pada kulit yang disebabkan oleh terapi pada penderita
P

Covid-19*

Reaksi obat pada kulit Reaksi obat pada kulit


AU

Terapi
yang sering didapat yang jarang didapat
Hydroxychloroquine/ - Morbilliform drug SJS, AGEP, psoriasiform
Chloroquine eruption, Dermatitis
- Hyperpigmentation,
pruritus
Azithromycin - Morbilliform drug Drug reaction with
eruption, eosinophilia and systemic
- Urticarial eruption symptoms, AGEP, SJS
Remdesivir Unknown Unknown
Tocilizumab Unknown Papulopustular eruptions,
Psoriasiform dermatitis, SJS
AGEP= acute generalized exanthematous pustulosis; SJS= Steven-Johnson syndrome
*) disalin dari kepustakaan Young, S., Fernandez, A.P. Skin Manifestations of Covid-19.
Cleveland Clinic Journal of Medicine, 2020. ccjm.org

192 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


KARAKTERISTIK YANG BERHUBUNGAN DENGAN
MASING-MASING MANIFESTASI KLINIS
Adanya perbedaan pola klinis berhubungan dengan perbedaan demografis
dan manifestasi klinis lainnya (Galván Casas, et al., 2020). Lesi pseudo-
chilblain banyak didapatkan pada penderita usia muda, akan menghilang
dalam waktu lebih lama (rata-rata 12,7 hari), muncul agak lambat pada
perjalanan penyakit Covid-19 dan berhubungan dengan derajat penyakit
yang tidak terlalu parah (dalam hal perawatan di rumah sakit, pneumonia,
perawatan di intensive care unit atau tingkat kematian). Lesi ini bisa
menyebabkan rasa nyeri (32%) atau gatal (30%). Lesi vesikuler muncul
pada usia pertengahan, sembuh dalam waktu rata-rata 10,4 hari, lebih
sering muncul dibandingkan tipe lain (15%) sebelum munculnya gejala

21
dan berhubungan dengan derajat keparahan sedang. Sering didapatkan
rasa gatal (68%) (Casas, et al., 2020).
Lesi urtikaria dan makulopapuler menampakkan pola yang mirip.
Keduanya sembuh lebih cepat yaitu dalam waktu rata-rata 6,8 hari untuk
20
lesi urtikaria dan 8,6 hari untuk lesi makulopapuler), biasanya muncul
pada waktu bersamaan dengan gejala lain dan berhubungan dengan
derajat Covid-19 yang lebih parah (2% tingkat kematian dengan lesi
makulopapuler). Rasa gatal sering ditemui pada lesi urtikaria (92%) dan
P

didapatkan 56% pada lesi makulopapuler. Lesi livedoid atau nekrotik


didapatkan pada penderita usia lanjut dengan kondisi Covid-19 yang
AU

lebih parah (tingkat kematian 10%). Akan tetapi manifestasi Covid-19


pada kelompok ini lebih bervariasi, termasuk transien livedo dan beberapa
penderita Covid-19 yang tidak memerlukan perawatan di rumah sakit
(Galván Casas, et al., 2020).
Tingkat keparahan penyakit digambarkan sebagai berikut, dari
mulai tingkat penyakit yang tidak parah pada lesi pseudo-chilblain hingga
ke tingkat yang paling parah yaitu pasien dengan manifestasi kulit
livedoid, yang ditunjukkan dengan meningkatnya gejala pneumonia,
perlunya perawatan di rumah sakit dan di intensive care unit (Galván Casas,
et al., 2020).

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Sistem Kulit 193


Lesi livedoid ini diperkirakan sebagai sekunder vaskulopati
thrombotik yang dipicu oleh Covid-19. Bila lesi ini muncul pada pasien
Covid-19 dengan sistemik vaskulopati thrombotik maka perlu diketahui
lebih awal, dan bisa jadi mempunyai nilai prognostik pada pasien tersebut
(Young and Fernandez, 2020).
Penderita dengan manifestasi kulit urtikaria mendapat obat lebih
banyak dibandingkan lesi kulit pseudo-chilblain atau vesikuler, tapi lebih
sedikit dibanding lesi makulopapuler atau lesi livedoid, yang sebanding
dengan meningkatnya keparahan penyakit.

KELAINAN KULIT YANG BERHUBUNGAN DENGAN


PANDEMI COVID-19

21
Selama masa pandemi Covid-19, pekerja kesehatan di garis depan bekerja
tanpa lelah dalam jangka waktu cukup panjang untuk merawat pasien-
pasien Covid-19. Meskipun COVID bukan suatu penyakit kulit (dermatropic),
20
kontak yang cukup lama dengan personal protective equipment (PPE, seperti
goggles, face-shield/visor, N 95 respirator, double-layered gloves, coverall/gowns,
head cover and shoe cover) bisa menyebabkan berbagai macam gejala pada
kulit. Beberapa kelainan kulit yang dilaporkan karena pemakaian PPE,
P

seperti cedera kulit karena tekana/gesekan (pressure injury), dermatitis


kontak, urtikaria karena tekanan, dan eksaserbasi kelainan kulit yang
AU

sudah dimiliki seperti dermatitis seborhoik dan akne. Selain pemakaian


PPE, dermatoses ditengarai juga disebabkan adanya penerapan kebersihan
tangan baik dengan menggunakan hand sanitizers ataupun dengan sering
mencuci tangan dengan sabun dan air (Feldman and Freeman, 2020; Singh,
et al., 2020).
Cedera pada kulit (skin injury) yang dipicu karena pemakaian
PPE – pekerja di bidang kesehatan yang merawat penderita-penderita
dengan Covid-19 atau penderita yang berpotensi menderita severe acute
respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) akan menggunakan PPE
dalam jangka waktu yang cukup lama sepanjang hari. American Academy
of Dermatology (AAD) telah mengeluarkan rekomendasi dalam mencegah
dan mengatasi kondisi dermatitis akibat kerja selama pandemi Covid-

194 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


19. Lamanya durasi pemakaian PPE (>6 jam per hari) meningkatkan
kejadian cedera kulit. Pemakaian masker, goggles, face shields, dan sarung
tangan menimbulkan tekanan pada kulit, memicu terjadinya abrasi, dan
membuat kelembaban kulit bertahan, bisa mencederai cekungan hidung
(nasal bridge), pipi, dahi dan tangan. Termasuk juga terjadinya kulit yang
mengelupas, kemerahan, maserasi, keretakan kulit, luka, bintil-bintil, dan
erosi, yang merangsang rasa gatal dan nyeri. Pemakaian PPE juga bisa
memicu kekambuhan kelainan kulit yang dimiliki seseorang sebelumnya
(Feldman and Freeman, 2020).
Pencegahan trauma kulit yang dipicu pemakaian PPE akan berpotensi
mengurangi pelanggaran dalam menjalankan protokol yang disebabkan
karena ketidaksengajaan dan sentuhan. Pemakaian lapisan penghalang
atau dressing pada tempat yang mengalami tekanan sebelum memakai

21
PPE bisa mengurangi trauma tersebut. Akan tetapi efek dari tata cara
pencegahan yang dilakukan ini belum diketahui apakah bisa mencegah
penyebaran virus, sebaiknya diperlukan kehati-hatian.
20
Dermatitis yang disebabkan karena hand hygiene – Hand hygiene
dianggap merupakan kunci utama melawan penyebaran Covid-19.
Eksema pada tangan diketahui sering terjadi pada pekerja kesehatan dan
tampaknya kasusnya meningkat seiring dengan meningkatnya perilaku
P

mencuci tangan dan memakai sarung tangan selama pandemi ini.


Frekuensi kejadian dermatitis kontak iritan pada tangan bisa dikurangi
AU

dengan sesering mungkin mengoleskan pelembab, mencuci tangan dengan


air hangat dibanding air panas, serta menggunakan pembersih tangan
berbahan alcohol-based ketika tangan tidak terlalu tampak kotor. Penerapan
hand hygiene yang berlebihan juga bisa menyebabkan eksema di populasi
umum (Feldman and Freeman, 2020).
Lamanya pemakaian goggles dan masker, keringat berlebih dan
masker yang ketat, semua kondisi tersebut bisa meningkatkan sensasi
iritasi. Sebagian besar reaksi kulit akan membaik dengan pelembab
topikal, lotion calamine, dan antihistamin oral. Secara keseluruhan, 21%
pekerja kesehatan menjalani libur disebabkan oleh karena gejala kulit
yang di derita (Singh, et al., 2020).

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Sistem Kulit 195


RINGKASAN DAN REKOMENDASI
Manifestasi klinis kulit pada penderita Covid-19 masih jarang ditemukan,
biasanya muncul bersamaan dengan gejala sistemik termasuk demam,
batuk kering, memendeknya pernapasan, myalgia, dan kelelahan yang
sering ditemui pada penderita Covid-19 dengan pneumonia. Sebagian
besar manifestasi kulit dilaporkan dalam bentuk laporan kasus atau
serial kasus.
Telah diuraikan beberapa pola klinis dari manifestasi kulit pada
penderita Covid-19, juga manifestasi kulit pada pekerja kesehatan yang
berhubungan langsung dengan penderita Covid-19 yang disebabkan oleh
penggunaan PPE dan penerapan hand hygiene, dan penanganannya. Hal
ini mungkin bisa diterapkan oleh para klinisi dalam pendekatan diagnosis

21
pasien dengan keluhan kulit dan dalam mengenali kasus dengan sedikit
gejala. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan sampel yang lebih besar
dengan peningkatan tes diagnostik dalam mengkorfirmasi Covid-19 dan
bagaimana mengekslusi infeksi lain.
20
DAFTAR PUSTAKA
Casas, C.G., et al. 2020. Classification of the cutaneous manifestations of COVID-19:
P

a rapid prospective nationwide consensus study in Spain with 375 cases.


British Journal of Dermatology, 183(1):71–77. doi: 10.1111/bjd.19163.
AU

Daneshgaran, G., Dubin, D.P. and Gould, D.J. 2020. Cutaneous Manifestations of
Covid-19: An Evidence-Based Review. American Journal of Clinical Dermatology,
21(5):627–639. doi: 10.1007/s40257-020-00558-4.
Feldman, S.R. and Freeman, E.E. 2020. Coronavirus disease 2019 (Covid-
19):Cutaneous manifestations and issues related to dermatologic care.
UpToDate, Inc. Available at: https://www.uptodate.com/contents/coronavirus-
disease-2019-Covid-19-cutaneous-manifestations-and-issues-related-to-
dermatologic-care.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2020a. Info Infeksi Emerging Kemeterian
Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2020b. Pedoman Pencegahan dan
Pengendalian Cornavirus Disease (Covid-19) Revisi Ke-5. 4(3):1–214.

196 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Sachdeva, M., et al. 2020. Cutaneous manifestations of Covid-19: Report of three
cases and a review of literature. Journal of Dermatological Science, 98(2):75–81.
doi: 10.1016/j.jdermsci.2020.04.011.
Singh, M., et al. 2020. Personal protective equipment induced facial dermatoses
in healthcare workers managing Coronavirus disease 2019. Journal of
the European Academy of Dermatology and Venereology, 34(8). doi: 10.1111/
jdv.16628.
Susilo, A., et al. 2020. Coronavirus Disease 2019: Tinjauan Literatur Terkini. Jurnal
Penyakit Dalam Indonesia, 7(1):45. doi: 10.7454/jpdi.v7i1.415.
WHO. 2020. Report of the WHO-China joint mission on Coronavirus Disease 2019
(Covid-19). The WHO-China Joint Mission on Coronavirus Disease 2019, 2019
(February):16–24. Available from: https://www.who.int/docs/default-source/
coronaviruse/who-china-joint-mission-on-Covid-19-final-report.pdf.
Wollina, U., et al. 2020. Cutaneous signs in COVID-19 patients: A review.

21
Dermatologic Therapy, 33(5). doi: 10.1111/dth.13549.
Young, S. and Fernandez, A.P. 2020. Skin manifestations of Covid-19. Cleveland
Clinic Journal of Medicine. doi: 10.3949/ccjm.87a.ccc031.
20
P
AU

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Sistem Kulit 197


AU
P
20
21
MANIFESTASI KLINIS COVID-19
PADA KEHAMILAN

Ernawati, Eighty Mardiyan Kurniawati, Dana Hendrawan Putra

PENGANTAR

21
Pandemi Covid-19 memberikan dampak yang besar bagi sistem kesehatan
di seluruh dunia, tidak terkecuali pada wanita hamil. SARS-CoV-2 adalah
20
virus yang baru, sehingga semua populasi suseptibel karena belum ada
kekebalan yang terbentuk pada masyarakat. Di seluruh dunia, hingga saat
ini tercatat lebih dari 50 juta penderita Covid-19. Di Amerika Serikat, kasus
wanita hamil dengan Covid-19 tercatat lebih dari 36.000 wanita hamil
P

dengan mayoritas pada kelompok usia 25–29 tahun. Tidak didapatkan data
yang pasti jumlah kasus Covid-19 pada kehamilan di Indonesia, namun
AU

dari data RS. Dr. Soetomo sebagai rumah sakit rujukan Covid di Jawa
Timur menunjukkan data yang cukup tinggi, tercatat sebanyak 380 kasus
ibu hamil yang dirawat dengan dugaan Covid dan Covid terkonfirmasi
(weekly report RSDS).
Hingga saat ini, pengetahuan tentang pengaruh infeksi Covid-19
dalam kehamilan masih terbatas. Wanita hamil umumnya dianggap
sebagai populasi risiko tinggi yang rentan terhadap penyakit infeksius.
Hal ini karena adanya perubahan fisiologi dan sistem imun saat hamil
yang memengaruhi suseptibilitas wanita hamil terhadap patogen.
Berkaca pada kasus-kasus infeksi saluran pernapasan di masa lalu seperti
pada saat SARS dan MERS, ada kekhawatiran bahwa akan munculnya
komplikasi serta mortalitas yang tinggi dengan adanya pandemi ini

199
(Wong, et al., 2004). Bukti mengenai komplikasi yang dapat muncul
terkait proses infeksi Covid-19 selama kehamilan juga masih belum jelas,
karena hasil studi yang bervariasi. Kehamilan dan masa nifas secara
umum tidak meningkatkan risiko infeksi Covid-19, namun kehamilan
dapat memperburuk manifestasi klinis pada pasien hamil dan masa nifas
dibandingkan dengan populasi tidak hamil dengan usia yang sama. Hal
ini diduga berhubungan dengan patofisiologi Covid-19 yang memicu
timbulnya respons inflamasi yang berat (badai sitokin), dan kehamilan
sendiri menyebabkan terjadinya perubahan sistem imunologis yang dapat
berespons lebih berat pada inflamasi ini.
Beberapa manifestasi klinis Covid-19 dalam kehamilan tumpang
tindih dengan gejala pada kehamilan normal seperti kelelahan, napas
pendek-pendek, hidung buntu, mual/muntah. Sehingga kita harus berhati-

21
hati terhadap pasien hamil yang terinfeksi Covid-19 namun tanpa gejala.
Gejala ini kadang juga sulit dibedakan dengan gejala komplikasi kehamilan
seperti pre-eklampsia berat. Hingga saat ini, sebuah pertanyaan penting
20
yang masih belum terjawab adalah apakah SARS-CoV-2 dapat ditularkan
dari ibu hamil ke janinnya, sebuah proses yang disebut transmisi vertikal,
dan bagaimana mekanismenya jika hal itu terjadi.
P

RESPONS IMUN MATERNAL TERHADAP INFEKSI VIRUS


COVID-19
AU

Pada saat terjadi kehamilan, terjadi adaptasi sistem imunologis yang unik
di mana sistem imun maternal harus mempertahankan toleransi alogenik
dari fetus dengan tetap memberikan perlindungan pada terhadap mikroba
dan patogen. Terdapat beberapa tahapan perubahan sistem imun yang
terjadi selama periode kehamilan: fase pro inflamatori pada trimester
I yang memfasilitasi terjadinya implantasi, fase anti-inflamatori pada
trimester II untuk menunjang pertumbuhan fetus dan fase pro-inflamatori
tahap kedua yang bertujuan untuk mendukung persiapan persalinan pada
trimester III (Mor, et al., 2017).
Ada beberapa bukti kuat bahwa infeksi virus dapat memengaruhi
kehamilan (Racicot, et al., 2017). Selama kehamilan, sistem imun innate

200 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


(nonspesifik) seperti sel NK dan monosit akan bereaksi lebih hebat pada
paparan infeksi virus, sementara respons imun adaptif seperti sel T dan sel
B ditekan. Infeksi Covid-19 dikaitkan dengan badai sitokin yang ditandai
oleh meningkatnya konsentrasi plasma dari IL-2, IL-7, IL-10, interferon
gamma, TNF alpha, monocyte chemoattractant protein 1, dan macrophage
inflammatory protein 1 alpha. (Huang, et al., 2020). Berdasarkan teori bahwa
wanita pada trimester I dan III berada pada fase pro inflammatori, SARS-
CoV-2 dikhawatirkan dapat menginduksi badai sitokin pada wanita hamil
yang terinfeksi dan dapat menyebabkan gangguan perkembangan organ
fetus terutama pada otak yang dapat menyebabkan disfungsi neuronal
(Mor, et al., 2017). Meskipun belum ada studi yang melaporkan bahwa
wanita hamil dengan Covid-19 akan memperburuk kondisi klinisnya,
penting untuk melindungi wanita hamil dari infeksi Covid-19 karena

21
alterasi pada sistem imun tersebut tetap dapat menyebabkan morbiditas
dan mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan populasi pada
umumnya.
20
GEJALA COVID-19 PADA WANITA HAMIL
Manifestasi klinis Covid-19 pada wanita hamil tidak berbeda dengan pasien
P

yang tidak hamil. Seperti pasien tidak hamil sebagian besar wanita hamil
yang terinfeksi Covid-19 asimptomatis atau tidak bergejala. Proporsi secara
AU

pasti berapa kasus asimptomatis tidak diketahui dengan pasti, namun dari
beberapa laporan penelitian menunjukkan hampir 80% kasus wanita hamil
dengan Covid-19 tanpa gejala. Pasien tanpa gejala ini umumnya terdeteksi
pada saat dilakukan skrining secara umum (RCOG). Data yang hampir
sama didapatkan di RSUD Dr. Soetomo, di mana didapatkan 79% kasus
kehamilan dengan Covid-19 tanpa gejala (asimptomatis) (Departemen
Obstetrik & Ginekologi RS Dr. Soetomo, 2020).
Manifestasi klinis dari infeksi Covid-19 sangatlah beragam. Gejala
yang sering muncul adalah demam, batuk, myalgia, sesak dan beberapa
gejala lain yang dapat muncul adalah gejala saluran pencernaan
seperti mual, muntah dan diare (Zhou, F., et al., 2020). Beberapa studi
juga melaporkan gejala neurologis seperti anosmia, hypogeusia hingga

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Kehamilan 201


gangguan kesadaran. Gejala tersebut juga dapat ditemukan pada wanita
hamil. Wanita hamil umumnya mengalami gejala ISPA/flu-like symptoms
derajat ringan sampai berat. Perlu menjadi perhatian bahwa gejala seperti
sesak, badan terasa pegal dan mual muntah adalah gejala umum yang
dirasakan pada wanita hamil dan perlu dicermati pada wanita tanpa
gejala lainnya.
Systematic review yang melibatkan 11.000 wanita hamil yang diduga
terinfeksi Covid-19 baik masih suspek maupun telah terkonfirmasi
menunjukkan gejala sebagai berikut: panas (40%), batuk (39%), sesak
(19%), hilang rasa pengecapan (15%), nyeri otot/myalgia (10%), diare (75%)
(Allotey, 2020). Penelitian lain juga melaporkan adanya gejala pilek/ hidung
buntu, mual muntah, tidak bisa membau (anosmia). Namun dikatakan
lebih sedikit wanita hamil yang mengalami gejala panas dan nyeri otot

21
dibandingkan wanita tidak hamil. Data yang dilaporkan dari laporan
mingguan di RSUD. Dr. Soetomo Surabaya menunjukkan dari 69 kasus
wanita hamil dengan konfirmasi infeksi Covid-19 menunjukkan gejala
20
yang sedikit berbeda. Gejala yang paling banyak yaitu 47% batuk, 27%
demam, 23% sesak. Hal ini berbeda dengan beberapa studi lainnya karena
lebih banyak pasien yang menunjukkan gejala sesak pada saat masuk
ke rumah sakit (Departemen Obstetrik & Ginekologi RS Dr. Soetomo,
P

2020).
Pemeriksaan laboratorium pada wanita hamil dengan Covid-19
AU

menunjukkan gambaran limfopenia (35%), lekositosis (27%), peningkatan


prokalsitonin (21%), peningkatan enzim liver (11%), dan trombositopenia
(8%) (Allotey, 2020).
Klasifikasi Gejala berdasarkan National Institute of Health:
1. Gejala Ringan
Setiap tanda dan gejala (misalnya, demam, batuk, sakit tenggorokan,
malaise, sakit kepala, nyeri otot) tanpa sesak napas, atau foto toraks
abnormal.
2. Gejala Sedang
Adanya bukti gangguan saluran napas bawah dengan penilaian
klinis atau pencitraan dan saturasi oksigen (SpO₂) > 93% pada suhu
kamar.

202 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


3. Gejala Berat
Frekuensi pernapasan > 30 kali per menit, SpO₂ ≤ 93 persen pada suhu
kamar, rasio PaO₂/FiO₂ < 300, atau infiltrasi paru > 50 %.
4. Kritis
Gagal napas, syok sepsis, dan/atau beberapa disfungsi organ. Definisi
lain dari keparahan (misalnya, saturasi oksigen periferal ibu [SpO₂]
≤ 94% pada suhu, memerlukan oksigen tambahan, ventilasi mekanis,
atau oksigenasi membran ekstracorporeal)

KOMPLIKASI COVID-19 PADA KEHAMILAN


Kehamilan tidak meningkatkan risiko terinfeksi Covid-19, namun
kehamilan berpotensi memperparah infeksi jika dibandingkan dengan

21
wanita yang tidak hamil pada rentang usia yang sama (Allotey, 2020). Hal
ini dikaitkan dengan respons wanita hamil yang mengalami perubahan
imunitas, sehingga muncul inflamasi berat karena pelepasan sitokin yang
20
berhubungan dengan peningkatan terjadinya penyakit berat, morbiditas
dan mortalitas. pada sebuah studi systematic review, wanita hamil dengan
Covid-19 lebih berisiko membutuhkan perawatan ICU jika dibandingkan
dengan wanita yang tidak hamil (OR = 1,62) dan dengan wanita yang tidak
P

terinfeksi Covid-19 (OR = 72). Faktor risiko yang dapat memengaruhinya


antara lain usia > 35 tahun, obesitas, hipertensi dan diabetes pregestasional
AU

(Zambrano, et al., 2020).


Peningkatan risiko kelahiran prematur dan peningkatan jumlah
persalinan sesar telah dilaporkan pada berbagai studi. Demam dan
hipoksemia dapat meningkatakan risiko kelahiran prematur, ketuban
pecah dini, dan pola detak jantung janin yang abnormal. Beberapa
kelahiran prematur yang merupakan tindakan iatrogenik karena
pertimbangan pemberatan kondisi ibu, dan hanya 6% saja yang terjadi
secara spontan. Pasien yang simptomatik memiliki risiko 3 kali untuk
melahirkan secara prematur dibandingkan pasien asimtomatik (23% vs
8%). pada studi prospektif di Inggris, dilaporkan kejadian stillbirth tiga
kali lipat lebih tinggi dibandingkan sebelum pandemi (11,5 % vs 4,1% per
1000 kelahiran) (Knight, et al., 2020).

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Kehamilan 203


SKRINING DAN DIAGNOSIS COVID-19 PADA KEHAMILAN
Semua ibu hamil dan yang akan melahirkan perlu dilakukan skrining
secara rutin. Hal ini berdasar temuan pada studi di New York, di mana dari
215 ibu yang melahirkan, terdapat 15.3% (33 kasus) yang positif, dengan
mayoritas kasus yang positif tersebut (88%) tanpa gejala (Sutton, et al., 2020).
Systematic review oleh Alloy, dkk juga menunjukkan dari pemeriksaan atau
skrining rutin wanita hamil ditemukan 7% kasus terkonfirmasi positif.
Dari kasus ini ¾ nya tanpa gejala. Sebaliknya, pada wanita yang bergejala,
18% nya terbukti positif Covid-19. Karena itu idealnya semua ibu hamil
yang akan melahirkan dilakukan skrining.
Idealnya perlu dilakukan pemeriksaan Reverse Transcription Polymerase
Chain Reaction Test (RT-PCR) melalui sampel dari usap nasofaring dan

21
orofaring yang merupakan standar baku untuk diagnosis Covid-19
(WHO, 2020). Tidak ada perbedaan skrining secara khusus pada ibu
hamil, yaitu tetap dilakukan anamnesis tentang gejala seperti demam,
batuk, pilek, dan gejala infeksi saluran pernapasan lainya serta riwayat
20
kontak dan juga perjalanan ke daerah dengan transmisi lokal Covid-19
serta pemeriksaan laboratorium yang diperlukan. pada daerah dengan
transmisi lokal Covid-19 yang tinggi, perlu dilakukan skrining yang lebih
ketat karena mayoritas ibu hamil dengan Covid-19 datang tanpa gejala.
P

Dari hasil skrining, pasien akan dikelompokan menjadi kasus non Covid,
AU

suspek atau kasus konfirmasi. Jika pasien disuspek terinfeksi Covid-19,


maka hasil evaluasi skrining perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan swab
RT-PCR sesuai ‘Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 revisi
5 Kemenkes’. Pasien suspek diperlakukan sebagai pasien positif Covid-19
sampai terbukti tidak, dan selama menunggu hasil, pasien dirawat di
ruang isolasi dan jika persalinan tidak dapat ditunda, maka persalinanya
akan dilaksanakan sesuai protokol persalinan dengan Covid-19. Pasien
dengan gejala ringan, tanpa komorbid dan tanpa kegawatdaruratan
obstetri dapat melakukan isolasi mandiri di rumah dengan pengamatan
khusus, sementara pasien dengan gejala sedang atau berat harus dirawat
di ruang isolasi di rumah sakit.

204 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


21
Gambar 10.1 Algoritma skrining dan diagnosis ibu hamil di RS (Rekomendasi
Penanganan Covid-19 pada maternal POGI, 2020)
20
ASUHAN ANTENATAL SELAMA PANDEMI COVID-19
Mengacu pada rekomendasi POGI, selama pandemi Covid-19, asuhan
antenatal rutin tetap penting untuk dilakukan sebagai penapis dan
P

deteksi dini komplikasi pada kehamilan seperti anemia, preeklampsia,


pertumbuhan janin terhambat, diabetes melitus gestasional dan juga
AU

IUGR. Pemeriksaan antenatal selama pandemic tetap harus dilakukan


karena dilaporkan terjadinya peningkatan kasus stillbirth pada beberpa
negara yang melakukan pengurangan pemeriksaan antenatal dan
melakukan persalinan dirumah selama masa lockdown (Khalil, et al.,
2020). Bagi ibu hamil yang sehat, tetap disarankan untuk melanjutkan
asuhan antenatal secara rutin. Dapat dilakukan penyesuaian pada jumlah
kunjungan sesuai dengan kondisi kehamilan, kehamilan risiko rendah
atau kehamilan risiko tinggi. Penyesuaian jumlah kunjungan ini dapat
digantikan dengan melakukan telemedicine. Pemeriksaan laboratorium
atau skrining rutin dapat dilakukan modifikasi dengan melakukan jadwal
pemeriksaan laboratorium satu waktu saat datang sehingga pasien tidak
perlu sering dating ke rumah sakit atau layanan kesehatan lain.

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Kehamilan 205


Tabel 10.1 Panduan POGI pemeriksaan antenatal pada masa pandemi
(Rekomendasi Penanganan Covid-19 pada maternal POGI, 2020)

Usia Tipe
Ultrasonografi Rincian
Kehamilan Kunjungan
< 12 Minggu Telefon/ - Anamnesis untuk
Video jika skrining faktor
diperlukan risiko, keluhan
tatap muka yang berhubungan
dapat dengan kehamilan
dilakukan - Konseling
(berdasarkan pencegahan COVID-
faktor risiko) 19
- Konseling tanda
Bahaya kehamilan
yang memerlukan

12 Minggu Tatap muka


21
Konfirmasi
usia kehamilan
dan taksiran
kunjungan ke RS
- Laboratorium rutin
- ~< 12 Minggu
apabila belum
20
persalinan, mendapatkan
skrining layanan antenatal
aneuplodi (NT) sebelumnya
bila ada indikasi
20–24 Minggu Tatap muka Anatomi janin Beri permintaan
P

pertumbuhan pemeriksaan
janin Laboratorium: DPL,
AU

UL, TTGO untuk


dibawa hasilnya
pada pemeriksaan
berikutnya
28 Minggu Tatap muka Bila diperlukan Evaluasi hasil
pemeriksaan
laboratorium
pertumbuhan janin
32 Minggu Tatap muka Pertumbuhan
janin, jumlah
cairan ketuban,
lokasi plasenta
36 Minggu Tatap muka ANC rutin
37–41 Minggu Tatap muka ANC rutin

206 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Jika ibu hamil terduga atau terkonfirmasi Covid-19 sehingga
membutuhkan isolasi mandiri atau perawatan di RS, maka pemeriksaan
antenatal ditunda sampai masa isolasi selesai atau ibu hamil dinyatakan
sembuh dari Covid-19. Bagi ibu hamil dengan riwayat gejala berat,
disarankan untuk dilakukan pemeriksaan USG 14 hari pasca sembuh
untuk mengevaluasi pertumbuhan janin dan bisa lebih cepat jika ada
indikasi obstetri.
Beberapa penyesuaian yang dapat dilakukan pada tempat layanan
antara lain pemakaian APD yang sesuai, memakai masker, menjaga
jarak dan rutin mencuci tangan selama mendapat asuhan antenatal
antara ibu hamil, tenaga medis dan petugas lainnya, pada saat
melakukan pemeriksaan antenatal dianjurkan ibu hamil datang sendiri
tanpa pengantar. Semua ibu yang akan melahirkan, disarankan untuk

21
melakukan isolasi mandiri di rumah minimal selama 14 hari sebelum
hari taksiran persalinanya.
20
TATA LAKSANA COVID-19 PADA KEHAMILAN
Tidak semua kehamilan dengan Covid-19 perlu dilakukan perawatan
di rumah sakit. Rekomendasi dari POGI menyatakan bahwa ibu hamil
P

dengan gejala ringan namun memiliki komorbid, ibu dengan gejala


sedang atau berat yang harus mendapatkan perawatan di rumah sakit.
AU

Penanganan pasien dengan gejala berat harus ditangani oleh tim multi
disiplin di rumah sakit rujukan tipe B atau A dan memiliki unit perawatan
intensif (ICU).
Pasien dilakukan perawatan di ruang isolasi khusus Covid-19 untuk
mencegah penularan, namun jika tidak memungkinkan maka dilakukan
kohorting, dengan mengelompokkan pasien suspek bersama dengan
pasien suspek dan tidak bercampur dengan wanita hamil normal.
Prinsip manajemen ibu hamil yang dirawat di rumah sakit:
a. Monitoring janin
Monitoring janin selama perawatan harus dilakukan karena janin
akan terpengaruh oleh kondisi ibu yang hipoksia. NST/CTG dapat
dilakukan 1–2×/ hari sesuai kondisi klinis ibu dan janin

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Kehamilan 207


b. Monitor tanda persalinan prematur
Kondisi ibu dengan stres fisik dan psikis akan memicu persalinan
prematur, sehingga tanda persalinan prematur harus dipantau
terutama pasien yang dirawat di ruang non obstetrik.
c. Bantuan pernapasan
Pasien dengan infeksi Covid-19 rawan terjadi hipoksia sampai
ARDS sehingga seringkali memerlukan bantuan pernapasan.
Selama perawatan, kadar oksigen/saturasi perifer pada ibu harus
dipertahankan di atas 95% untuk memastikan difusi oksigen dari
ibu ke janin berlangsung dengan baik.
d. Pencegahan tromboemboli
Terdapat peningkatan risiko tromboemboli pada wanita hamil dengan

21
Covid-19 (Turan, et al., 2020). Kondisi kehamilan akan menyebabkan
pasien kurang mobilisasi, dehidrasi dapat meningkatkan risiko.
American Society of Hematology, The Society of Critical Care Medicine dan
International Society on Thrombosis and Haemostasis merekomendasikan
20
pemberian obat pencegahan tromboemboli vena (venous
thromboembolism = VTE) pada semua wanita hamil dengan Covid-19
kecuali ada kontra indikasi yaitu perdarahan atau trombositopenia.
Dosis yang disarankan adalah unfractional heparin 5000 unit/12 jam
P

bila pasien akan segera melahirkan atau low molecular weight heparin
(enoxaparin) 40 mg/hari pada pasien yang persalinan masih lama
AU

atau paska persalinan (Thachil, et al., 2020).


e. Dexamethasone
Dexamethasone 6 mg IV/12 jam diberikan pada pasien dengan
kondisi berat selama 10 hari atau samapai pasien keluar rumah
sakit. Jika pasien mempunyai indikasi pemberian steroid untuk
pematangan paru dapat diberikan sesuai dosis yaitu 4 dosis 6 mg
dexamethasone/12 jam, kemudian dilanjutkan pemberian sesuai
jadwal dexamethasone untuk terapi Covid-19.
f. Obat anti nyeri
Asetaminofen direkomendasikan sebagai obat penurun panas
dan obat anti nyeri. Penggunaan NSAID sebaiknya dihindari
(WHO, 2020).

208 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


g. Pemberian obat antivirus
Penggunaan obat antivirus pada terapi Covid-19 masih dalam
penelitian. Obat-obat antivirus yang dipakai selama ini telah dipakai
untuk indikasi yang lain. Penelitian penggunaan antivirus sampai
saat ini masih berjalan seperti SOLIDARITY trial, RECOVERY trial.
Obat antivirus yang digunakan antara lain: Remdesivir, Lopinavir,
Ritonavir. Obat lain yang digunakan antara lain chloroquin dan
hydroxichloroquin.
h. Plasma konvalesen
Penggunaan plasma konvalesen bersama terapi yang lain akan
memberi hasil yang bagus termasuk pada infeksi Covid-19 pada
kehamilan (Zhang, et al., 2020).
i. Persalinan

21
• Sampai saat ini belum ada cukup bukti bahwa salah satu metode
persalinan memiliki luaran yang lebih baik dibandingkan yan
lainnya (Boelig, 2020). Sehingga Rencana persalinan harus
20
didasarkan pada kondisi ibu dan janin serta indikasi obstetri.
Wanita hamil dengan Covid-19 bukanlah indikasi mutlak untuk
dilakukan tindakan SC. SC hanya boleh dilakukan ketika ada
indikasi medis bagi kondisi maternal atau fetal, karena SC tidak
P

menurunkan risiko infeksi neonatal dan dapat menyebabkan


banyak risiko maternal lainnya. Stres fisiologis yang diinduksi
AU

oleh SC diketahui dapat meningkatkan komplikasi postpartum


(Sandall, J, 2018).
• Pada wanita hamil dengan suspek atau terkonfirmasi Covid-
19 pada persalinan pervaginam, dipertimbangkan dilakukan
tindakan untuk mempercepat kala II pada ibu dengan yang telah
menunjukan tanda kelelahan atau adanya tanda hipoksia. Delayed
umbilical cord clamping dikhawatikan dapat meningkatkan risiko
trasmisi transplasental, namun sampai saat ini delayed umbilical
cord clamping tidak meningkatkan risiko transmisi patogen dari
ibu ke fetus.

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Kehamilan 209


• Penggunaan cairan selama persalinan harus dibatasi karena
rawan terjadi edema paru yang dapat memperberat kondisi ibu.
• Waktu persalinan: persalinan dilakukan atas indikasi obstetri,
jika memungkinkan, perlu dilakukan penundaan setelah kasus
Covid-19 sembuh.
- Kasus Ringan – Sedang: Tidak ada indikasi persalinan,
pasien dirawat konservatif sampai kasus Covid-19 sembuh.
Namun jika ada indikasi lain misalnya ketuban pecah atau
pre-eklampsia, maka persalinan sesuai indikasi obstetri.
- Kasus Berat: pada kasus berat indikasi terminasi disesuaikan
kasus perkasus, jika terminasi kehamilan dipandang akan
memperbaiki fungsi napas ibu (karena perut yang besar
pada hamil aterm akan mendorong diafragma sehingga

21
memperberat fungsi napas ibu) maka terminasi kehamilan
sebaiknya dilakukan. Biasanya pertimbangan ini dilakukan
bila usia kehamilan di atas 32–34 minggu.
20
TRANSMISI VERTIKAL
Saat ini tidak ada bukti penularan Covid-19 secara transplasenta dalam
P

kandungan dari ibu hamil yang terinfeksi ke janin. Meskipun ada


beberapa laporan yang menunjukkan bahwa mungkin terjadi transmisi
AU

secara vertikal, studi tersebut perlu divalidasi lagi apakah penularannya


dalam kandungan atau postnatal. Chen, dkk., melaporkan bahwa tidak
ditemukan asam nukleat Covid-19 pada plasenta ibu hamil terkonfirmasi
Covid-19. Namun, ibu yang terinfeksi mungkin berisiko lebih tinggi
mengalami komplikasi pernapasan. Ibu yang terinfeksi dapat menularkan
virus Covid-19 melalui droplet saluran pernapasan akibat kontak erat
dengan bayi. Oleh karena itu, ibu terduga Covid-19 atau terkonfirmasi
Covid-19 harus mematuhi standar pencegahan Covid-19 selama menyusui
(Mojgan, et al., 2020).

210 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


RAWAT GABUNG DAN MENYUSUI
Studi systematic review meneliti kaitan ASI dan proses menyusui terhadap
penularan Covid-19 bagi bayi. Sampel ASI dari 46 pasangan ibu-bayi diuji
untuk keberadaan SARS-CoV-2 dan antibodi terhadap virus. Sebanyak 43
ASI dinyatakan tidak mengandung partikel virus, sedangkan tiga lainnya
positif. Dari data bayi yang mengonsumsi tiga ASI yang mengandung
virus ini, satu bayi ternyata dilaporkan positif Covid-19 dan dua lainnya
negatif (satu menyusui secara langsung dan satu lagi diberi ASI setelah
hasil viral load tidak terdeteksi). Menariknya, 13 bayi dinyatakan positif
Covid-19. padahal, hanya 3 sampel ASI yang mengandung virus. Karena
itu, tidak bisa dipastikan sumber infeksi secara tepat. Tidak dijelaskan
rute infeksinya, apakah melalui ASI atau droplet (tetesan) akibat kontak

21
dekat dengan ibu yang terinfeksi. Viabilitas atau virulensi virus dalam
ASI juga belum diteliti. Penelitian replikasi Covid-19 dalam kultur sel dari
ASI dan infektivitas pada model hewan diperlukan untuk memastikan
ASI berpotensi menularkan.
20
Sisi positif ASI terkait adanya sekresi antibodi imunoglobulin A (IgA)
terhadap virus Covid-19 yang ditemukan pada 12 di antara 15 sampel
ASI dari ibu dengan Covid-19. Artinya, ASI justru memberi perlindungan
terhadap Covid-19 untuk bayi. Penelitian lanjutan perlu dilakukan untuk
P

memastikan kekebalan para bayi ASI ini. Studi systematic review tentang
AU

pasangan ibu-bayi tersebut masih berupa laporan kasus, seri kasus, atau
laporan dari klaster keluarga. Belum ada penelitian lain seperti studi
kohort atau studi kasus-kontrol.
Menjawab keprihatinan ini, WHO telah merilis pernyataan bahwa
ASI aman. Ibu boleh memberikan ASI bagi bayi mereka karena manfaat
menyusui lebih besar daripada risiko infeksi Covid-19. Selain itu, tidak
ada bukti yang signifikan bahwa virus ditemukan dalam ASI. Oleh karena
itu, upaya menjaga hak ASI harus dilakukan. Pertama, terus melakukan
edukasi tentang manfaat pemberian ASI eksklusif untuk bayi (juga
melanjutkan hingga 2 tahun) dan meyakinkan ASI tidak menularkan
Covid-19 pada bayi. Kedua, memperkuat peran tenaga kesehatan dan
layanan kesehatan dalam menyebarkan informasi yang benar. Selama

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Kehamilan 211


ini pemerintah belum memberi banyak perhatian tentang kesehatan ibu
dan bayi saat Covid-19. Bidan, dokter umum, dokter kandungan, dan
dokter anak sebaiknya mendapatkan pelatihan khusus tentang ini. Ketiga,
memaksimalkan peran keluarga untuk mendukung ibu memberi ASI.
Kegagalan pemberian ASI sering disebabkan mitos tentang ASI tidak
cukup, bayi rewel, dan menangis terus yang kemudian diselesaikan
dengan pemberian susu formula. Sosok breast feeding father semakin
dibutuhkan dalam situasi pandemi ini. Ibu bisa mengalami kelelahan fisik
dan psikis, baik pasca melahirkan maupun kondisi terkait pandemi (krisis
finansial, di rumah saja, takut terinfeksi). Hormon oksitosin yang berperan
dalam mengalir lancarnya ASI akan turun. Akibatnya, ASI terproduksi
banyak, tapi tak bisa mengalir deras, bahkan terjadi bendungan ASI.
Situasi ini pun membuat psikis semakin terganggu. Peran ayah adalah

21
untuk mendukung dan memberi semangat. Keempat, peran ibu sendiri
untuk tetap melindungi diri dari paparan Covid-19. Yakni, menghindari
pertemuan fisik, memakai masker dan pelindung wajah, rajin mencuci
20
tangan, dan selalu menjaga jarak bila bertemu orang lain. Ibu juga harus
bisa memonitor diri mereka sendiri apabila menemukan gejala Covid-19.
Misalnya, demam, gejala infeksi saluran napas, sesak, nafsu makan turun
atau diare, anosmia (tidak dapat membau), atau pusing berkepanjangan.
P

Jika muncul gejala tersebut maka disarankan agar ibu segera ke fasilitas
kesehatan terdekat.
AU

Yang harus diperhatikan, ibu dengan suspek atau terkonfirmasi


Covid-19 tidak dirawat gabung dengan bayi. Orang tua harus mengetahui
bahwa bayi berisiko tertular jika dilakukan rawat gabung dan pemberian
ASI. Jika tidak memungkinakan dirawat terpisah maka dapat dilakukan
rawat gabung dan ibu harus selalu menggunaakan masker, bayi diberikan
jarak dengan tempat tidur ibu. Risiko penularan SARS-CoV-2 dari konsumsi
ASI masih belum jelas, meskipun beberapa studi melaporkan bahwa
semua sampel ASI dari ibu dengan Covid-19 dites negatif (Liu, W., 2020).
Menyusui boleh dilakukan karena dipandang banyak manfaatnya bagi
ibu dan bayi. Jika terjadi infeksi Covid-19 pada ibu, bayi dapat menerima
perlindungan antibodi pasif dari virus karena ASI merupakan sumber
antibodi dan faktor anti infeksi lainnya. Idealnya ASI diberikan dengan

212 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


pompa ASI khusus, ibu harus memakai masker bedah dan membersihkan
tangan dan payudara mereka secara menyeluruh dengan sabun dan air
serta membersihkan bagian pompa, botol, dan puting susu.

RINGKASAN DAN REKOMENDASI


Hasil dari beberapa studi yang telah dilakukan, tidak ada bukti bahwa
wanita hamil lebih berisiko dibandingkan dengan populasi umum.
Namun perubahan fisiologis terutama pada sistem kekebalan tubuh dapat
memengaruhi kerentanan ibu hamil terhadap infeksi. Oleh karena itu perlu
adanya proteksi, khususnya pada ibu hamil agar terlindungi dari Covid-19.
Asuhan antenatal tetap harus dilakukan dengan beberapa modifikasi
selama terjadinya pandemi untuk mengurangi risiko infeksi yang dapat

21
terjadi selama tatap muka. pada ibu hamil yang terduga atau terkonfirmasi
Covid-19, maka perawatan akan disesuaikan dengan derajat keparahan
infeksi. Pemilihan jenis persalinan tidaklah ditentukan berdasarkan status
20
infeksi dari ibu, melainkan berdasarkan indikasi obstetri seperti pada
umumnya. Perawatan pasca persalinan dilakukan sesuai perawatan nifas
non covid. Pemisahan perawatan ibu dan bayi tidak terbukti bermanfaat,
namun harus disesuaikan dengan indikasi klinis dengan pertimbangan
P

dari ibu dan tenaga medis.


Beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan yaitu, pemeriksaan
AU

baku emas untuk menegakkan diagnosis pada wanita hamil dengan


dugaan infeksi Covid-19 adalah dengan pemeriksaan RT-PCR dengan
sampel usap orofaring/nasofaring; skrining universal harus dilakukan
pada saat ibu hamil datang ke rumah sakit; gejala umum pada wanita
hamil dengan Covid-19 secara umum tidak berbeda dengan populasi
umum, namun perlu dicermati antara gejala yang biasa muncul dalam
kehamilan dengan gejala Covid-19; pasien dengan gejala ringan, tanpa
komorbid dan tanpa kegawatdaruratan obstetri dapat melakukan isolasi
mandiri dengan tetap dilakukan pengawasan; pasien dengan gejala
Covid-19 sedang atau berat perlu dirawat oleh tim multidisiplin di RS
yang mempunyai fasilitas perawatan intensif isolasi; asuhan antenatal
tetap dilakukan dengan penyesuaian selama pandemi Covid-19 kecuali

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Kehamilan 213


jika sudah terkonfirmasi Covid-19; pemeriksaan antenatal sebaiknya
tetap secara tatap muka langsung minimal 6x dengan opsi pemeriksaan
secara telemedicine jika dibutuhkan; selama asuhan antenatal, petugas
medis, wanita hamil maupun elemen pendukung lainnya harus mematuhi
protokol kesehatan yang berlaku; pilihan persalinan pada ibu hamil
dengan Covid-19 harus ditentukan berdasarkan indikasi obstetri terlepas
dari status infeksinya dan ditentukan kasus perkasus; persalinan wanita
hamil dengan suspek atau terkonfirmasi Covid-19 harus dilakukan di
fasilitas kesehatan yang memenuhi standar pelayanan untuk Covid-19;
perawatan pada ibu pasca persalinan dengan suspek atau terkonfirmasi
Covid-19 tanpa disertai gejala sama dengan perawatan postpartum rutin;
jika ditemukan ibu dengan Covid-19 bergejala berat, maka pertimbangkan
untuk dilakukan perawatan di ruang ICU; kriteria pemulangan ibu pasca

21
bersalin sama dengan pasien pada umumnya; ibu dengan suspek atau
konfirmasi Covid-19 sebaiknya tidak dirawat gabung dengan bayinya
dan perlu diinformasikan tentang risiko penularan tentang keputusan
20
dilakukanya inisiasi menyusui dini. ASI tetap diberikan melalui
ASI perah.

DAFTAR PUSTAKA
P

Allotey, J., Stallings, E., Bonet, M., et al. 2020. Clinical manifestations, risk factors,
AU

and maternal and perinatal outcomes of coronavirus disease 2019 in


pregnancy: living systematic review and meta-analysis. BMJ, 370:m3320.
A m e r i c a n S o c i e t y o f H e m a t o l o g y. 2 0 2 0. C o v i d -19 a n d V T E /
Anticoagulation:Frequently Asked Questions. Available from: https://www.
hematology.org/Covid-19/Covid-19-and-vte-anticoagulation.
Anderson, J., Schauer, J., Bryant, S., Graves, C.R. 2020. The use of convalescent
plasma therapy and remdesivir in the successful management of a critically
ill obstetric patient with novel coronavirus 2019 infection: A case report. Case
Rep Womens Health, 27:e00221.
Berghella, V., Hughes, B. 2020. Coronavirus disease 2019 (Covid-19): Pregnancy
issues and antenatal care, UpToDate, Waltham, M.
Boelig, R.C., Manuck, T., Oliver, E.A., et al. 2020. Labor and delivery guidance for
Covid-19. AmJ Obstet Gynecol MFM, 2:100110.

214 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Chen, H., Guo, J., Wang, C., Luo, F., Yu, X., Zhang, W., et al. 2020. Clinical
characteristics and intrauterine vertical transmission potential of Covid-19
infection in nine pregnant women: a retrospective review of medical records.
The Lancet, 395(10226):809-815.
Della Gatta, A.N., Rizzo, R., Pilu, G., Simonazzi, G. 2020. Coronavirus disease
2019 during pregnancy: a systematic review of reported cases. Am J Obstet
Gynecol, 223(1):36-41.
Departemen Obstetrik & Ginekologi RS Dr. Soetomo. 2020. Laporan Mingguan
Kasus Covid-19 pada Bidang Obstetri. Unpublished.
Karimi-Zarchi, M., Neamatzadeh, H., Dastgheib, S.A., Abbasi, H., Mirjalili, S.R.,
Behforouz, A., Ferdosian,F., & Bahrami, R. 2020. Vertical Transmission
of Coronavirus Disease 19 (Covid-19) from Infected Pregnant Mothers to
Neonates: A Review, Fetal and Pediatric Pathology, 39(3):246-250.
Kementerian Kesehatan RI. 2020. Buku Pedoman Pencegahan dan Pengendalian

21
Coronavirus Disease (Covid-19) Revisi ke-5.
Khalil, A., Dadelszen, P., Draycott, T., et al. 2020. Change in the Incidence of
Stillbirth and Preterm Delivery During the Covid-19 Pandemic. JAMA,
324(7):705-706.
20
Knight, M., Bunch, K., Vousden, N., et al. 2020. Characteristics and outcomes of
pregnant women admitted to hospital with confirmed SARS-CoV-2 infection
in UK: national population-based cohort study. BMJ, 369:m2107.
Liu, W., Wang, J., Li, W., et al. 2020. Clinical characteristics of 19 neonates born to
P

mothers with Covid-19. Front Med, 14:193.


Mor, G., et al. 2017. The unique immunological and microbial aspects of pregnancy.
AU

Nat.Rev. Immunol, 17:469–482.


NIH. 2020. Covid-19 Treatment Guidelines. Available from: https://www.
covid19treatmentguidelines.nih.gov
Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. 2020. Rekomendasi Penanganan
Covid-19 pada maternal POGI. Available from: https://pogi.or.id/publish/wp-
content/uploads/2020/10/Rekomendasi-Covid-Maternal-POGI.pdf
Racicot, K., Mor, G., et al. 2017. Risks associated with viral infections during
pregnancy. J. Clin. Invest, 127:1591–1599.
Reale, S.C., Fields, K.G., Lumbreras-Marquez, M.I., et al. 2020. Association between
number of in- person health care visits and SARS-CoV-2 infection in
obstetrical patients. JAMA,324(12): 1210-1212.

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Kehamilan 215


Sandall, J., Tribe, R.M., Avery, L., et al. 2018. Short-term and long-term effects
of caesarean section on the health of women and children. Lancet,
392(10155):1349-1357. doi:10.1016/S0140-6736(18)31930-5
Society of Critical Care Medicine. 2020. Covid-19 Guidelines. Available from: https://
www.sccm.org/Surviving SepsisCampaign/Guidelines/Covid-19
Sutton, D., Fuchs, K., D’Alton, M., Goffman, D. 2020. Universal screening for SARS-
CoV-2 in women admitted for delivery. N Engl J Med, 382:2163-2164. doi:
10.1056/NEJMc2009316.
Thachil, J., Tang, N., Gando, S., et al. 2020. ISTH interim guidance on recognition
and management of coagulopathy in Covid-19. J Thromb Haemost, 18:1023.
Turan, O., Hakim, A., Dashraath, P., et al. 2020. Clinical characteristics, prognostic
factors,and maternal and neonatal outcomes of SARS-CoV-2 infection among
hospitalized pregnant women: A systematic review. Int J Gynaecol Obstet,
151(1):7-16.

21
Huang, C., et al., 2020. Clinical features of patients infected with 2019 novel
coronavirus in Wuhan, China. Lancet, 395 (10223):497–506.
Wong, S.F., Chow, K.M., Leung, T.N., et al. 2004. Pregnancy and perinatal outcomes
of women with severe acute respiratory syndrome. Am J Obstet Gynecol,
20
191:292.
WHO. 2020. Pencegahan dan pengendalian Infeksi (PPI) untuk Novel Coronavirus
(Covid-19).
WHO. 2020. Breastfeeding and Covid-19. Scientific Brief. 23 June 2020.
P

Zambrano, L.D., Ellington, S., Strid, P., et al. 2020. Update: Characteristics of
Symptomatic Women of Reproductive Age with Laboratory-Confirmed-
AU

SARS-Covid-2 Infection by Pregnancy Status. MMWR Morb Mortal Wkly


Rep. ePub:2.
Zhang, B., Liu, S., Tan, T., et al. 2020. Treatment with convalescent plasma for
critically ill patients with severe acute respiratory syndrome Coronavirus
2 infection. Chest, 158:e9.
Zhou, F., Yu, T., Du, R., et al. 2020. Clinical course and risk factors for mortality
of adult inpatients with Covid-19 in Wuhan, China: a retrospective cohort
study. Lancet, 395:10541062.

216 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


MANIFESTASI KLINIS COVID-19
PADA SISTEM HEMATOLOGI DAN
KOAGULASI
Siprianus Ugroseno Yudho Bintoro

PENGANTAR

21
Infeksi SARS-CoV-2 yang utamanya pada saluran pernapasan juga dapat
menyerang berbagai sistem, telah menyebabkan peningkatan morbiditas
20
dan mortalitas di seluruh dunia (John Hopkin Resources Center, 2021; Zhu,
et al., 2019; WHO, 2020a). Covid-19 merupakan penyakit infeksi sistemik
yang sangat berpengaruh terhadap sistem imun, hematopoisis, dan
hemostasis (WHO, 2020b; Wu and McGoogan, 2019). Manifestasi hematologi
P

pada pasien Covid-19 sebagian besar diketahui melalui pemeriksaan darah


perifer berupa anemia, limfopenia, lekopenia, penurunan jumlah eosinofil,
AU

trombositopenia, lekosistosis, netrofilia, peningkatan rasio netrofil/


limfosit; peningkatan penanda inflamasi antara lain peningkatan LED,
dan parameter koagulasi abnormal yaitu peningkatan D-dimer (Guan, et
al., 2020; Fan, et al., 2020; Huang, et al., 2020).

ABNORMALITAS DARAH PERIFER


Abnormalitas darah perifer yang dimaksud meliputi jumlah komponen
sel lekosit, eritrosit, dan trombosit. Limfopenia, trombositopenia, dan
lekopenia lebih sering ditemukan pada kasus-kasus Covid-19 yang berat
dibandingkan dengan kasus tidak berat. Sekitar 96,1% pasien Covid-19
berat menunjukkan limfopenia, sedangkan pasien Covid-19 ringan-sedang

217
80,4% mengalami limfopenia. Demikian juga dengan trombositopenia dan
leukopenia; 57,7% pasien dengan kasus berat mengalami trombositopenia
sedangkan 31,6% pada kasus tidak berat sebesar dan 61,1% pasien kasus
berat mengalami lekopenia sedangkan pada kasus tidak berat hanya
ditemukan 28,1%. Rasio neutrofil/limfosit dan rasio trombosit/limfosit
memiliki nilai prognostik derajat keparahan penyakit. Dari suatu meta-
analisis leukositosis, limfopenia dan trombositopenia dikaitkan dengan
keparahan yang lebih besar dan bahkan kematian pada kasus Covid-19
(Henry, et al., 2020; Leticia, et al., 2020)

LIMFOPENIA
Limfopenia sering didapatkan pada infeksi virus, seperti campak yang

21
berat, ensefalitis West Nile, Ebola, Respiratory syncytial virus (RSV),
influenza A H1/N1, dan limfopenia sering dihubungkan dengan derajat
keparahan penyakit dan luaran klinis yang jelek. Limfopenia pada
Covid-19 yang signifikan menunjukkan nilai prognostik yang buruk
20
(Bhatraju, et al., 2020; Tan, et al., 2020).
Patofisiologi terjadinya limfopenia antara lain adalah:
a. Efek sitotoksik langsung virus terhadap sel limfosit yang diperantarai
P

oleh ikatan terhadap reseptor ACE2;


b. Apoptosis limfosit;
AU

c. Inhibisi asam laktat dalam proliferasi limfosit;


d. Di st rof i l i mpa da n dest r u k si ja r i nga n l i m foid a k ibat
hiperinflamasi.
Guan, et al., (2019) mendapatkan data sebanyak 1.099 pasien dari 552
lokasi yang berbeda. Dilaporkan bahwa saat masuk rumah sakit, 83,2%
pasien mengalami limfopenia dan 33,7% menderita leukopenia (Guan, et
al., 2020). Penelitian pada pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit
di Singapura, menunjukkan limfosit secara signifikan lebih rendah pada
pasien yang dirawat di ICU dan menunjukkan neutrofilia pada pasien yang
dirawat di ICU (Fan, et al., 2020). Demikian halnya penelitian di Wuhan
melaporkan bahwa pada kasus yang berat menunjukkan neutrofil yang
lebih tinggi, limfosit yang lebih rendah, rasio neutrofil/limfosit yang lebih

218 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


tinggi serta prosentase monosit, eosinofil dan basofil yang lebih rendah.
Arentz, et al., juga melaporkan bahwa pasien pasien Covid-19 yang dirawat
di ICU di negara bagian Washington didapatkan limfopenia pada sekitar
67% pasien (Arentz, et al., 2020). Demikian pula, Bhatraju, et al., melaporkan
bahwa data dari wilayah Seattle didapatkan limfopenia pada 75% pasien
yang kritis (Bhatraju et al., 2020)

TROMBOSITOPENIA
Trombositopenia lebih jarang terlihat pada pasien Covid-19. Kejadian
trombositopenia bervariasi kurang dari 5% hingga 53,6%. Trombositopenia
ringan antara 100 - 150 × 10⁹/L dilaporkan sekitar 20%–36% kasus Covid-
19 (Guan, et al., 2020; Fan, et al., 2020). Sedangkan trombositopenia berat

21
(< 50 × 10⁹/L) jarang terjadi. pada kasus yang dirawat di ICU Wuhan,
trombositopenia di bawah 100 × 10⁹/L hanya didapatkan pada 5% kasus
(Huang, et al., 2020). Di Perancis, trombositopenia ringan didapatkan pada
25% pasien yang dirawat inap dengan Covid-19 (Macquet, et al., 2014).
20
Dua metaanalisis menunjukkan bahwa jumlah trombosit yang lebih
rendah dikaitkan dengan peningkatan risiko Covid-19 yang berat dan
kematian. Dalam studi multisenter oleh Guan et al. (Guan, et al., 2020),
trombositopenia saat masuk rumah sakit lebih sering pada pasien Covid-19
P

yang berat (57,7%) (Guan, et al., 2020; Shi, et al., 2020). Zhou, et al. melaporkan
AU

bahwa 20% dari non-survivor Covid-19 mempunyai trombosit lebih rendah


dibandingkan dengan yang survive (Zhou, et al., 2020)
Beberapa mekanisme yang menyebabkan trombositopenia pada Covid-19
adalah:
a. Infeksi langsung sel sumsum tulang oleh virus, kerusakan sel-sel
progenitor sumsum tulang oleh badai sitokin
b. Peningkatan kerusakan platelet oleh auto antibodi dan kompleks
imun;
c. Agregasi platelet di paru-paru, mengakibatkan mikrotrombi dan
konsumsi platelet
d. Badai sitokin penyakit parah dapat menyebabkan limfohistiositosis
hemofagositik sekunder (Mehta, et al., 2020)

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Sistem Hematologi dan Koagulasi 219


ANEMIA
Anemia bukan merupakan ciri utama Covid-19, walaupun pada
kasus yang berat. Beberapa kasus dilaporkan terjadi anemia hemolitik
autoimun, namun lebih dari 50% pada kasus tersebut didapatkan kelainan
hematologis yang mendasari (Fan, et al., 2020; Huang, et al., 2020).

HAPUSAN DARAH TEPI DAN GAMBARAN MORFOLOGI


Hapusan darah tepi merupakan pemeriksaan yang penting dari penilaian
hematologis dan seringkali dapat membantu membuat diagnosis
penyakit darah. pada kasus Covid-19 ciri-ciri yang sering dilaporkan
adalah peningkatan limfosit reaktif dan plasmasitoid, secara signifikan
terjadi granulopoesis dengan hipergranular, neutrofil yang tervakuolasi

21
dan leukoeritroblastik. Laporan terbaru pada beberapa kasus Covid-19
yang berat yang dilakukan aspirasi sumsum tulang didapatkan
limfohistiositosis hemofagositik sekunder (sHLH) (Wood, et al., 2020;
20
Prilutskiy, et al., 2020).

GANGGUAN KOAGULASI PADA COVID-19


P

Patogenesis koagulopati yang diinduksi Covid-19 belum sepenuhnya


dapat dijelaskan, tetapi beberapa mekanisme mungkin tumpang tindih
AU

dengan koagulopati akibat bakterial/DIC. Setelah masuk melalui reseptor


ACE-2 , SARS-CoV-2 akan masuk ke dalam sel dan akan menginduksi
pembentukan fibrinogen. SARS-CoV-2 secara simultan memicu produksi
TNF, INF1, IL-1, IL-6, dan IL-12. SARS-CoV 2 juga masuk ke dalam
trombosit dan selanjutnya terjadi konversi prostaglandin H2 menjadi
tromboksan A-2, menyebabkan agregasi trombosit dan vasokonstriksi.
Sitokin, tromboksan serta mediator inflamasi yang dikeluarkan akan
menyebabkan kaskade koagulasi. Jalur kaskade koagulasi baik jalur
intrinsik dan jalur bersama menyebabkan pembentukan fibrin. Fibrin
selanjutnya terakumulasi dan mengikat trombosit sehingga menyebabkan
hiperkoagulasi dan pembentukan clot.

220 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Produksi sitokin proinflamasi yang berlebihan, peningkatan kadar
damage associated molecular patterns (DAMPs), stimulasi mekanisme kematian
sel, dan kerusakan endotel pembuluh darah merupakan penyebab utama
gangguan koagulasi pada kasus Covid-19 berat. Infeksi Covid-19 selalu
disertai dengan aktivasi komplemen, peningkatan LDH, D-dimer, bilirubin,
anemia ringan, gangguan ginjal dan jantung serta ditemukannya trombosis
mikroangiopati difus (Cui, et al., 2020; Tang, et al., 2020; Bowles, et al., 2020).
Data terbaru dari penelitian kohort di Prancis menunjukkan bahwa
sekitar sepertiga pasien Covid-19 terbukti dijumpai adanya emboli paru
secara CT-scan. Demikian juga penelitian di Belanda pada pasien Covid-
19 yang dirawat di ICU juga teridentifikasi 31% mengalami trombosis
yaitu didapatkan pulmonale emboli (PE), deep vein thrombosis (DVT) dan
stroke iskemik, meskipun semua pasien telah mendapatkan antikoagulan

21
profilaksis (Tang, et al., 2020; Bowles, et al., 2020; Escher, et al., 2020).
Penelitian pada 150 pasien Covid-19 yang dirawat di ICU, 43% pasien
mengalami venous thromboemboli (VTE) dan 16,7% manifestasi VTE adalah
20
emboli paru. Dua puluh delapan dari 29 pasien yang menjalani terapi
CRRT terjadi gumpalan di ekstrakorporeal, dan 2 dari 12 pasien (8%)
mengalami oklusi trombotik pada pompa sentrifugal. Jika dibandingkan
dengan 145 pasien non-Covid-19 yang kritis, pasien Covid-19 memiliki
P

komplikasi trombotik yang lebih signifikan (11,7 : 2,1% untuk PE) (Spiezia,
et al., 2020). Dalam sebuah penelitian di Italia terhadap 388 pasien Covid-
AU

19, kejadian tromboemboli terjadi pada 7,7% kasus, dengan sepertiga


(33%) di antaranya adalah PE. stroke iskemik 2,5% dan sindrom koroner
akut (SKA) 1,1% (Zheng, et al., 2020). Li dan kawan kawan melaporkan
penelitian pada 221 pasien Covid-19 yang terkonfirmasi di Wuhan, data
menunjukkan bahwa secara keseluruhan, 5% terjadi stroke iskemik akut
dan 0,5% mengalami stroke hemoragik. Pasien positif Covid-19 dengan
cerebrovascular disease (CVD) baru pada orang tua secara signifikan lebih
sering terjadi pada mereka yang memiliki faktor risiko atau predisposisi
seperti tekanan darah tinggi, diabetes mellitus dan riwayat CVD
sebelumnya serta memiliki kadar C-reaktif protein dan D-dimer tinggi
(Llitjos, et al., 2020). Laporan otopsi pasien yang meninggal karena gagal
napas menunjukkan trombosis mikrovaskular.

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Sistem Hematologi dan Koagulasi 221


PENANDA KOAGULOPATI PADA COVID-19
Pasien Covid-19 yang terkonfirmasi atau probable Covid-19 harus diperiksa
status koagulasi saat masuk rumah sakit meliputi D-dimer, PT, aPTT,
fibrinogen, dan jumlah trombosit. Meningkatnya D-dimer yang terkait
dengan nonsurvivor, dan penurunan fibrinogen yang cepat terkait dengan
DIC, dapat dilihat dalam 7 hingga 11 hari setelah timbulnya gejala atau
4 hingga 10 hari setelah rawat inap (Bhatraju, et al., 2020; Maquet, et al.,
2020; Lazatian, et al., 2020). Peningkatan D-dimer, pemanjangan PT,
dan aPTT, dengan penurunan fibrinogen dan jumlah trombosit, dalam
durasi rawat inap dimulai antara 7 dan 10 hari setelah masuk, meskipun
peningkatan D-dimer dapat dimulai pada hari 4. Pasien-pasien ini sakit
kritis dengan fisiologi sepsis; di mana perubahan koagulasi progresif

21
dapat menunjukkan perkembangan DIC yang mungkin tidak tergantung
pada efek Covid-19 dan karena rawat inap yang berkepanjangan, ventilasi
mekanis, superinfeksi, dan penyebab khas ICU lainnya. Penanda
koagulopati yang disepakati oleh NCCN, AS, ISTH adalah jumlah platelet,
20
prothrombine time, fibrinogen, dan D-dimer. Penelitian retrospektif pada
pasien Covid-19 yang terkonfirmasi menunjukkan peningkatan D-dimer
yang signifikan pada pasien dengan infeksi berat (59% kasus) (Leticia, et
al., 2020). D-dimer pada studi prospektif pasien Covid-19 yang dirawat
P

di rumah sakit, mengungkapkan bahwa peningkatan D-dimer dan


AU

pemanjangan waktu protrombin (PT) secara signifikan berkaitan dengan


mortalitas lebih tinggi. Peningkatan PT, APTT dan D-dimer telah terbukti
menyertai peningkatan troponin-T yang memperkuat hubungan antara
respons inflamasi sistemik, gangguan koagulasi dan injuri di jantung.
Dalam sebuah penelitian retrospektif terhadap 201 pasien dengan
pneumonia Covid-19 yang terkonfirmasi, gangguan penanda koagulasi
dikaitkan dengan peningkatan risiko ARDS dan kematian. Pemanjangan
PT dikaitkan dengan ARDS sementara peningkatan D-dimer dikaitkan
dengan ARDS dan kematian (Qin, et al., 2020). Tang, dkk., melaporkan
dari 183 pasien pneumonia Covid-19 di rumah sakit Tongji di China ,
bahwa pasien non-survivor memiliki D-dimer, produk FDP , PT, dan APTT
yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan survivor. Di samping itu, 71,4%

222 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


pasien non survivor mengalami DIC dengan skor lebih dari 5 berdasarkan
kriteria DIC dari ISTH (Tang, et al., 2020) dengan rerata terjadinya DIC
adalah 4 hari.

PERANAN PROFILAKSIS ANTIKOAGULAN PADA


KOAGULOPATI COVID-19
Antikoagulan pada pasien Covid-19 memiliki peranan sebagai profilaksis
dan terapeutik pada vena tromboemboli. Pemeriksaan profil koagulasi
pada Covid-19 yang dianjurkan adalah pemeriksaan D dimer, prothrombin
time (PT), trombosit, dan fibrinogen. Peningkatan kadar D-dimer
berhubungan dengan mortalitas pasien Covid-19, sehingga perlu diberikan
tromboprofilaksis dengan antikoagulan dosis profilaksis pada semua

21
pasien Covid-19 yang rawat inap, jika tidak ada kontraindikasi (risiko
perdarahan tinggi, perdarahan aktif, trombosit < 25.000/uL) (Tang,
et al., 2020).
20
Tabel 11.1 Penilaian Risiko VTE (skor Tabel 11.2 Penilaian Risiko VTE (Skor
IMPROVE) PADUA)

Faktor Risiko Nilai Variabel Skor


Riwayat VTE 3 Riwayat VTE 3
P

Trombofilia 2 Thrombophilia 3
Paralisis tungkai bawah 2 Imobilitas 3
AU

Kanker aktif 2 Kanker aktif 3


Imobilisasi > 7 hari 1 Trauma atau operasi 1 2
Rawat di ICU/CCU 1 bulan sebelumnya
Umur > 60 tahun 1 Usia ≥ 70 1
Skor total 12, interpretasi nilai: 0–1 risiko Heart and/or respiratory 1
rendah, 2–3 risiko sedang, > 4 risiko tinggi. failure
Sumber: Pedoman Nasional Tromboemboli Ischemic stroke atau acute 1
Vena, 2018. myocardial infarction
Acute rheumatologic 1
disorder and/or infeksi akut
Obesitas 1
Hormonal therapy 1
Interpretasi: Skor < 4 = low risk VTE;
Skor ≥ 4 = high risk VTE

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Sistem Hematologi dan Koagulasi 223


Tabel 11.3 Skoring risiko perdarahan IMPROVE

Faktor Risiko Poin


Insufisiensi ginjal moderat (Klirens kreatinin 30–50 mL/menit) 1
Pria 1
Usia 40–84 tahun 1.5
Kanker aktif 2
Penyakit reumatik 2
Pemakaian kateter vena sentral 2
Admisi di ICU/CCU 2.5
Insufisiensi renal berat (klirens kreatinin < 30) ml/menit 2.5

Insufisiensi liver (INR > 1.5) 2.5


Usia ≥ 85 tahun 3.5
Trombositopenia < 50.000/Ul
Riwayat perdarahan dalam 3 bulan terakhir
Ulkus gastro-intestinal aktif 21 4
4
4
20
Skor total 30.5 Interpretasi : < 7 risiko rendah, > 7 peningkatan risiko perdarahan.
Sumber: Panduan Nasional Tromboemboli Vena, 2018

Keuntungan terapi antikoagulan telah dibuktikan penelitian Tang,


dkk., yang melibatkan 449 pasien Covid-19 berat di mana 99 di antaranya
P

mendapatkan terapi profilaksis heparin (terutama LMWH). pada kasus


AU

suspected atau probable Covid-19, asesmen risiko VTE harus dilakukan


dengan menggunakan skor IMPROVE atau PADUA. Kondisi pasien,
penyakit penyerta, penggunaan obat-obatan yang memengaruhi status
koagulasi dan rencana tindakan invasif dipertimbangkan pada terapi
antikoagulan pasien Covid-19 (Xu, et al., 2020)
Kondisi pasien, penyakit penyerta, penggunaan obat-obatan
yang memengaruhi status koagulasi dan rencana tindakan invasif
dipertimbangkan pada program tromboprofilaksis atau terapi antikoagulan
pasien Covid-19 (Wang, et al., 2020; Hajra, et al., 2020; Zhai, et al., 2020).
Semua pasien Covid-19 yang dirawat inap direkomendasi
menggunakan profilaksis antikoagulan jika tidak ada kontraindikasi
(trombosit < 25 × 10⁹/L). Pasien Covid-19 ringan-moderat yang rawat inap,

224 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


direkomendasi untuk dilakukan asesmen risiko VTE menggunakan
skor PADUA atau IMPROVE. Penilaian harus bersifat dinamis terhadap
risiko VTE dan/atau perdarahan dalam hal penyakit penyerta, komorbid,
obat-obat yang dikonsumsi serta tindakan/prosedur invasif untuk
menyesuaikan strategi tromboprofilaksis.(Wang, et al., 2020; Hajra,
et al., 2020; Zhai, et al., 2020).
Diagnosis VTE dibuat berdasar beberapa modalitas antara lain
kecurigaan klinis, data laboratorium dan imaging. Diagnosis VTE pada
Covid-19 tidak mudah karena adanya gejala yang overlapping misalnya
emboli paru dengan gejala gagal napas dan hipoksia pada Covid-19,
kesulitan pemeriksaan imaging karena pasien tidak transportable dan
cepatnya perburukan klinis. (Wang, et al., 2020; Hajra, et al., 2020; Zhai,
et al., 2020).
Diagnosis klinis VTE adalah perburukan dispnea, penurunan
saturasi oksigen <90%, peningkatan kebutuhan suplementasi oksigen
dan instabilitas hemodinamik. Adanya edema ekstremitas asimetris juga
21
20
meningkatkan kecurigaan adanya deep vein thrombosis (DVT). Adanya
pengenalan tanda dan gejala gejala tersebut sangat penting dan bila
diagnosis definitif dan imaging tidak dapat dilakukan. (Hajra, et al., 2020;
Zhai, et al., 2020)
P

Seluruh P asien
AU

COVID- 19
Rawat Inap Low risk thromboemboli?
High risk Thromboemboli?
Sesak ,
Respiratory Rate > 24
O2 saturasi < 90 % D- Dimer >3 mcg/mL D- Dimer level <0 .0 5 D- Dimer 0 .5- 3
C- Reactive P rotein meningk at atau > 30 0 0 ng/ml mcg/mL FEU** atau < mcg/mL FEU atau
Rising D- Dimer meningk at FEU** 50 0 ng/ml 50 0 - 30 0 0 ng/ml
Elevated Fibrinogen meningk at

Enoxaparin Enoxaparin Enoxaparin 40


1mg/k g BID *** 40 mg per hari mg BID ***

Intensive Care Unit ?

TIDAK :
P osititf Terapi antik oagulasi
YA: Enoxaprin 1
diterusk an
Heparin drip mg/k g BID*** OR
P arenteral ( P E) Heparin drip per P E
( active prothromboplastin protocol ( aP TT target 60 -
time [ aP TT] target 60 - 85 85)
Mencari site Negatif De- ek sk alasi
thromboemboli Enoxaparin 40 mg
( P OCUS) point of BID***
care USG

Gambar 11.1 Alur Pemberian Profilaksis Antikoagulan pada Pasien Covid-19

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Sistem Hematologi dan Koagulasi 225


21
Gambar 11.2 Pertimbangan Pemberian Antikoagulan Terapeutik pada Pasien
Covid-19. Pemberian antikoagulan terapeutik disarankan pada pasien dengan
20
kecurigaan atau konfirmasi terdapat thromboemboli vena (Hajra, et al., 2020)

No. Setting Antikoagulan


1 ICU • UFH 80 U/kg bolus + 18 u/kg/jam infus atau
• Enoxaparin 1 mg/kg sc tiap 12 jam
P

2 Non-ICU • Enoxaparin 1 mg/kg sc tiap 12 jam


AU

3 Gangguan ginjal • UFH: tidak dibutuhkan penyesuaian dosis


• Enoxaparin: CrCl 15–29 ml/menit, 1 mg/kgBB
sc tiap 6 jam
4 Obesitas • BMI > 40 atau > 120 kg
• Enoxaparin:
CrCl > 30 ml/m 0,75 ml/menit tiap 12 jam
CrCl < 30 ml/menit 0,75 mg/kg sc tiap 6 jam

Risiko timbulnya VTE dapat dinilai menggunakan beberapa sistem


skor yang dapat menyusun terapi. Beberapa penelitian menggunakan skor
PADUA dan skor IMPROVE ( The International Medical Prevention Registry
on Venous Thrombolism) seperti tercantum di atas. Sebuah studi dari Zhia
(2020) dengan menggunakan skor PADUA menunjukkan 40% dari pasien
Covid-19 yang dirawat inap memiliki risiko tinggi terjadi VTE.

226 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Antikoagulasi setelah pasien pulang dapat diberikan pada pasien dengan
kriteria berikut
1. Modified skor IMPROVE VTE ≥ 4
2. Modified skor IMPROVE VTE ≥ 2 dan D-dimer > 2 kali batas atas nilai
normal
3. Usia ≥ 75 tahun atau usia > 60 tahun dan D-dimer > 2 kali batas atas
nilai normal
4. Usia 40–60 tahun, D Dimer > 2 kali batas atas nilai normal dan riwayat
VTE atau kanker
Regimen yang diberikan adalah Rivaroxaban 10 mg/hari, sampai dengan
31–39 hari (Hajra, et al., 2020).

RINGKASAN
21
Covid-19 merupakan penyakit infeksi sistemik yang sangat berpengaruh
terhadap sistem imun, hematopoisis dan hemostasis. Manifestasi
20
hematologi pada penderita Covid-19 sebagian besar diketahui melalui
pemeriksaan darah perifer berupa anemia, limfopenia, lekopenia,
penurunan jumlah eosinofil, trombositopenia, lekosistosis, netrofilia,
peningkatan rasio netrofil/limfosit; peningkatan penanda inflamasi antara
P

lain peningkatan LED. Covid-19 mengakibatkan jejas endotel dan aktivasi


AU

sitokin proinflamasi yang dapat memicu aktivasi kaskade koagulasi dan


thromboemboli. Diagnosis VTE pada Covid-19 tidak mudah karena
adanya kesulitan melakukan pemeriksaan imaging sehingga diperlukan
stratifikasi risiko untuk memberikan profilaksis. Kecurigaan klinis episode
VTE dan skor prediktif dapat dipakai membantu klinisi memberikan
antikoagulan terapeutik

DAFTAR PUSTAKA
Arentz, M., Yim, E., Klaff, L. 2020. Characteristics and outcomes of 21 critically
ill patients with Covid-19 in Washington State. JAMA, 323(16):1612-1614.
doi:10.1001/jama.2020.4326

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Sistem Hematologi dan Koagulasi 227


Bhatraju, P.K., Ghassemieh, B.J., Nichols, M., et al. 2020. Covid-19 in critically ill
patients in the Seattle region – case series. N Engl J Med, 382(21):2012-2022.
Bowles, L., Platton, S., Yartey, N., et al. 2020. Lupus anticoagulant and abnormal
coagulation tests in patients with Covid-19. N Engl J Med, 383(3):288-290.
Cui, S, Chen, S., Li, X., Liu, S., Wang, F. 2020. Prevalence of venous thromboembolism
in patients with severe novel coronavirus pneumonia. J Thromb Haemost,
18(6):1421-1424.
Escher, R., Breakey, N., Lämmle, B. 2020. Severe Covid-19 infection associated with
endothelial activation. Thromb Res,190:62.
Fan, B.E., Chong, V.C.L., Chan, S.S.W., et al. 2020. Hematologic parameters in
patients with Covid-19 infection. Am J Hematol, 95(6).131–134.
Guan, W.J., Ni, Z.Y., Hu, Y.U., et al. 2020. Clinical characteristics of coronavirus
disease 2019 in China. N Engl J Med, 382(18):1708-1720.
Hajra, A., Mathai, S.V., Somedeb, B., Bandyopadhyay, D., Veyseh, M., Chakraborty,

21
S., Lavie, C.J., Aronow, W.S. 2020. Management of Thrombotic Complications
in Covid-19: An Update. Drugs, 80:1553–1562.
Helms, J., Tacquard, C., Severac, F., Leonard-Lorant, I., Ohana, M., Delabranche,
X. 2020. High risk of thrombosis in patients in severe SARSCoV-2 infection:
20
a multicenter prospective cohort study. Intensive Care Med, 46:1089-1098.
Henry, B.M., de Oliveira, M.H.S., Benoit, S., Plebani, M., Lippi, G.2020. Hematologic,
biochemical and immune biomarker abnormalities associated with severe
illness and mortality in coronavirus disease 2019 (Covid-19): a meta-analysis.
P

Clin. Chem. Lab. Med, 58(7):1021-1028.


Huang, C., Wang, Y., Li, X., et al. 2020. Clinical features of patients infected with
AU

2019 novel coronavirus in Wuhan, China. Lancet, 395:497-506.


John Hopkins University. 2020. Covid-19 Map–Johns Hopkins Coronavirus
Resource Center. https://coronavirus.jhu.edu/map.html. Accessed April 25,
2020.
Lazarian, G., Quinquenel, A., Bellal, M., et al. Autoimmune haemolytic anaemia
associated with Covid-19 infection. Br J Haematol, 190:29-31. Available from:
https://doi.org/10.1111/bjh.16794
Letícia de Oliveira Toledo, S. et al. 2020. Covid-19: Review and hematologic impact.
Clinica Chimica Acta, 510:170–176.
Llitjos, J.F., Leclerc, M., Chochois, C., et al. 2020. High incidence of venous
thromboembolic events in anticoagulated severe Covid-19 patients. J Thromb
Haemost, 18(7):1743-1746.

228 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Maquet, J., Lafaurie, M., Sommet, A., et al. 2020. Thrombocytopenia is
independently associated with poor outcome in patients hospitalized for
Covid-19. British Journal of Haematology, 190(5):e276-279. Available from: http://
dx.doi. org/10.1111/bjh.16950
Mehta, P., McAuley, D.F., Brown, M., Sanchez, E., Tattersall, R.S., Manson, J.J. 2020.
Covid-19: consider cytokine storm syndromes and immunosuppression.
Lancet, 395:1033-1034
Prilutskiy, A., Kritselis, M., Shevtsov, A., et al. SARS-CoV-2 infection associated
hemophagocytic lymphohistiocytosis: an autopsy series with clinical and
laboratory correlation. n.d.
Qin, C., Zhou, L., Hu, Z., et al. 2020. Dysregulation of immune response in patients
with Coronavirus 2019 (Covid-19) in Wuhan, China. Clinical Infectious
Diseases, 71(15):762-768Available from: http://dx.doi.org/10.1093/cid/ ciaa248
Shi, Y., Wang, Y., Shao, C., et al. 2020. Covid-19 infection: the perspectives on

21
immune responses. Cell Death Differ, 27:1451-1454.
Spiezia, L., Boscolo, A., Poletto, F., et al. 2020. Covid-19-related severe
hypercoagulability in patients admitted to intensive care unit for acute
respiratory failure. Thromb Haemost, 120(06):998-1000.
20
Tang, N., Bai, H., Chen, X., et al. 2020. Patients with coagulopathy. J Thromb Haemost,
18(5):1094-1099.
Tang, N., Li, D., Wang, X., Sun, Z. 2020. Abnormal coagulation parameters
are associated with poor prognosis in patients with novel coronavirus
P

pneumonia. J Thromb Haemost, 18:844-847.


Toh, C.H., Hoots, W.K. 2007. The scoring system of the scientific and standardisation
AU

committee on disseminated intravascular coagulation of the international


society on thrombosis and haemostasis: a 5-year overview. J Thromb Haemost,
5:604-606.
Wang, F., Nie, J., Wang, H., et al. 2020. Characteristics of peripheral lymphocyte
subset alteration in Covid-19 pneumonia. J Infect Dis, 221(11):1762-1769.
Wood, H., Jones, J., Hui, K., et al. 2020. Secondary HLH is uncommon in severe
Covid-19. British Journal of Haematology, 190(5):e283-285. Available from: http://
dx.doi. org/10.1111/bjh.16934
World Health Organization. 2020. Clinical Management of Severe Acute Respiratory
Infection (SARI) When Covid-19 Disease is Suspected: Interim Guidance, 13
March 2020. Geneva PP - Geneva: World Health Organization.
World Health Organization. 2020. Modes of transmission of virus causing Covid-
19: implications for IPC precaution recommendations 2020. Available from:

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Sistem Hematologi dan Koagulasi 229


https://www.who.int/publications-detail/modes-of-trans mission-of-virus-
causi ng-Covid-19-impli catio ns-for-ipc-preca ution recommendations.
Accessed May 11, 2020.
Wu, Z., McGoogan, J.M. 2020. Characteristics of and important lessons from the
coronavirus disease 2019 (Covid-19) outbreak in China: Summary of a report
of 72314 cases from the Chinese Center for Disease Control and Prevention.
JAMA, 323:1239-1242.
Xu, H., Zhong, L., Deng, J., et al. 2020. High expression of ACE2 receptor of 2019-
nCoV on the epithelial cells of oral mucosa. Int J Oral Sci, 12:1-5.
Zhai, Z., Li, C., Chen, Y., Gerotziafas, G., Zhang, Z., Wan, J., et al. 2020. Prevention
and treatment of venous thromboembolism associated with coronavirus
disease 2019 infection: a consensus statement before guidelines. Thromb
Haemost, 120(06):937–48. Available from: https ://doi.org/10.1055/s-0040-17100
19.

21
Zheng, M., Gao, Y., Wang, G., et al. 2020. Functional exhaustion of antiviral
lymphocytes in Covid-19 patients. Cell Mol Immunol, 17:533-535.
Zhou, F., Yu, T., Du, R., et al. 2020. Clinical course and risk factors for mortality
of adult inpatients with Covid-19 in Wuhan, China: a retrospective cohort
20
study. Lancet, 395:1054-1062.
Zhu, N.A., Zhang, D., Wang, W., et al. 2020. A novel coronavirus from patients
with pneumonia in China, 2019. N Engl J Med, 382:727-733.
P
AU

230 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


MANIFESTASI KLINIS COVID-19
PADA SISTEM IMUN

Cesarius Singgih Wahono

PENGANTAR

21
Respons imun terhadap SARS-CoV-2 melibatkan semua komponen sistem
imun yang bertanggung jawab dalam eliminasi virus serta pemulihan dari
20
infeksi. Meskipun demikian, ternyata respons imun dapat menyebabkan
progresivitas penyakit menjadi lebih parah dan mematikan. Hal ini
mendukung hipotesis bahwa spektrum klinis Covid-19 adalah konsekuensi
dari variasi spektrum respons imun terhadap virus. Titik kritis di mana
P

perburukan penyakit mulai terjadi, tampaknya berpusat pada hilangnya


regulasi antara respons imun yang protektif dengan respons yang berubah
AU

akibat dari eksaserbasi komponen inflamasi (Garcia, 2020). Bagaimanakah


hal ini terjadi? Meskipun belum jelas benar, hal ini sangat menarik untuk
dikupas di sini. pada bab ini juga kami bahas respons imun terhadap
SARS-CoV-2, baik imunitas bawaan maupun adaptif, kondisi badai sitokin
serta kewaspadaan terhadapnya, dan mekanisme penghindaran imun
oleh SARS-CoV-2.

INFEKSI SARS-COV-2
SARS-CoV-2 didapat melalui paparan mikrodroplet yang ada dalam
saluran pernapasan individu yang terinfeksi atau melalui kontak dengan
partikel virus yang ada dalam fomites yang terkontaminasi. Setelah virus

231
mencapai bronkiolus dan alveolus, target utamanya adalah sel epitel
bronkial dan pneumosit ACE2 + tipe II dari epitel alveolar. Infeksi SARS-
CoV menginduksi autofagi (Fung, et al., 2020; Shi, et al., 2020), terlepasnya
membran basal, dan menghambat ekspresi ACE2 (Perlman, et al., 2005;
Kuba, et al., 2020), sehingga memungkinkan angiotensin II mengikat
reseptor AT1aR, yang mengakibatkan kerusakan paru akut (Imai, et al.,
2005). Mekanisme pertahanan awal utama sel yang terinfeksi adalah
produksi interferon(IFN) tipe-I dan tipe -III dan, meskipun Coronavirus
sensitif terhadap efek antivirusnya, virus ini mampu menghambat induksi
IFN tersebut (Li, et al., 2020; Perlman, et al., 2005). Pelepasan sejumlah besar
virion menyebabkan infeksi sel target yang berdekatan, serta terjadinya
viremia, yang mengakibatkan infeksi sistemik karena sel ACE2 + tersebar
luas di banyak jaringan (Hamming, et al., 2004; Zou, et al., 2020).

21
Proses patologis Covid-19 menunjukkan spektrum manifestasi klinis
yang luas, mulai dari infeksi tanpa gejala, infeksi ringan (seperti flu
biasa), sedang, hingga yang berat (~15%) yang membutuhkan perawatan
20
di ICU untuk mendapatkan bantuan pernapasan dan perawatan medis
lainnya sampai pasien sembuh, atau mungkin meninggal. Berbagai
manifestasi klinis yang ditemukan pada pasien Covid-19 dikaitkan
dengan beberapa faktor risiko misalnya jenis kelamin dan usia. Diabetes,
P

penyakit kardiovaskular, serta penyakit-penyakit dan/atau pengobatan


yang memengaruhi sistem imun, merupakan faktor risiko tertinggi yang
AU

menyebabkan penyakit menjadi lebih parah dan kematian (Chen, et al., 2020;
Wu, et al., 2020, Yang, et al., 2020). Namun, diperkirakan hampir 80% dari
semua infeksi tetap tidak terdokumentasi, baik karena pasien asimtomatik
atau hadir dengan gejala yang sangat ringan (Fauci, et al., 2020).
Dari sudut pandang epidemiologi, orang yang terinfeksi namun tidak
bergejala mungkin memiliki viral load yang rendah, namun tetap dapat
menyebarkan virus, dan oleh karena itu bertanggung jawab terhadap
terjadinya epidemi sunyi (silent epidemic), dan terjadinya penularan kepada
individu yang rentan sehingga bermanifestasi klinis, serta berkontribusi
untuk pembentukan kekebalan kawanan (herd immunity) (Raoult, et al.,
2020; Li, et al., 2020).

232 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


IMUNITAS BAWAAN (INNATE IMMUNITY)
Setelah virus memasuki sel inang, mereka akan dikenali oleh pattern
recognition receptors (PRR) misalnya TLR7 dan TLR8 dalam kasus virus
RNA untai tunggal (ssRNA), RIG-I-like (RLRs), dan NLR, yang semuanya
diekspresikan oleh sel epitel serta sel lokal respons imun bawaan, misalnya
makrofag alveolar (Fung, et al., 2020). Setelah mengikat ligan, PRR merekrut
protein adaptor yang mengaktifkan faktor transkripsi hilir yang penting,
yaitu faktor regulasi interferon (IRF), NF-κB, dan AP-1, yang menghasilkan
Interferon (IFN) tipe-I dan III dan beberapa jenis kemokin (Blanco-Melo,
et al., 2020). Kemokin ini menarik lebih banyak sel imun bawaan (leukosit
polimorfonuklear, monosit, sel NK, sel dendritik), yang juga menghasilkan
kemokin, misalnya MIG, IP-10, dan MCP-1, yang mampu merekrut limfosit,

21
yang pada gilirannya, akan mengenali antigen virus yang disajikan oleh
sel dendritik (Perlman, et al., 2005; Chen, et al., 2007).
Publikasi terbaru menyoroti fase awal infeksi SARS-CoV-2, yang
dibandingkan dengan virus korona lain, dan pengaruhnya terhadap
20
respons imun serta respons inflamasi selanjutnya. Chu, et al., (2020)
membandingkan infeksi in vitro SARS-CoV dan SARS-CoV-2 pada
paru manusia dan menunjukkan bahwa kedua virus dapat sama-sama
menginfeksi pneumosit tipe-I dan II, ditambah makrofag alveolar,
P

meskipun SARS-CoV-2 memiliki kapasitas yang lebih baik untuk


AU

jaringan paru. Menariknya, sementara SARS-CoV mampu menginduksi


ekspresi IFN-I, IFN-II, dan IFNIII, SARS-CoV-2 gagal untuk menginduksi
mediator kekebalan dan juga kurang efisien dalam menginduksi sitokin
lain. SARSCoV menginduksi produksi 11 sitokin yang diteliti, sedangkan
SARS-CoV-2 hanya menginduksi lima (IL-6, MCP1, CXCL1, CXCL5,
dan CXCL10/IP10). Blanco-Melo (2020), mempelajari respons transkripsi
untuk SARS-CoV-2, dibandingkan dengan SAR-CoV, MERS-CoV, virus
pernapasan syncytial (RSV), virus parainfluenza 3 (HPIV3), dan virus
influenza A (IAV), infeksi in vitro garis keturunan sel pernapasan, infeksi
in vivo eksperimental musang, dan sampel paru-paru post-mortem pasien
Covid-19. Hasilnya menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 mempunyai ciri
yang spesifik yaitu berkurangnya respons IFN-I dan IFN-III serta induksi

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Sistem Imun 233


beberapa kemokin proinflamasi, yaitu IL-1B, IL-6, TNF, dan IL-1RA yang
signifikan. Temuan ini didukung oleh terdapatnya peningkatan kadar
serum sitokin-sitokin tersebut pada pasien Covid-19. Secara keseluruhan,
studi tersebut menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 berbeda dengan virus
korona lain dalam kapasitasnya untuk bereplikasi di dalam jaringan paru,
kemampuan menghindari efek antivirus IFN-I dan IFN-III, kemampuan
mengaktifkan respons bawaan, dan kemampuan menginduksi produksi
sitokin yang diperlukan untuk perekrutan sel imunitas adaptif.

RESPONS IMUN ADAPTIF


Transisi antara respons imun bawaan dan adaptif sangat penting untuk
perkembangan klinis infeksi SARS-CoV-2. pada saat yang sangat penting

21
inilah regulasi imun (yang masih kurang dipahami), akan mengarah
pada perkembangan respons imun protektif atau respons imun yang
memperburuk inflamasi (Tay, et al, 2020; Cao, et al, 2020). Respons imun
20
protektif bergantung pada sel TCD4⁺ yang “membantu” sel B, untuk
menghasilkan antibodi penetral spesifik (specific neutralizing antibodies), dan
sel TCD8⁺ sitotoksik yang mampu mengeliminasi sel-sel yang terinfeksi
virus. Perlu dicatat bahwa 80% sel yang menginfiltrasi pada Covid-19
P

adalah sel TCD8⁺. Sebaliknya, respons imun disfungsional tidak dapat


menghambat replikasi virus ataupun mengeliminasi sel yang terinfeksi,
AU

sehingga dapat menyebabkan respons inflamasi yang berat yang mungkin


mengarah ke badai sitokin, yang secara klinis bermanifestasi sindrom
gangguan pernapasan akut berat (ARDS) dan konsekuensi sistemik,
misalnya koagulasi intravaskular diseminata (DIC) (Li, et al., 2020).
Dalam model infeksi primata SARS-CoV, Clay, et al., (2012)
menunjukkan bahwa virus bereplikasi di paru-paru sampai hari ke-10
pasca infeksi; tetapi yang mengejutkan, peradangan paru-paru menjadi
lebih intens setelah pembersihan virus, mencapai puncaknya pada hari
ke-14 dan tetap demikian hingga hari ke-28. Hasil ini menunjukkan bahwa
fase awal yang bergantung pada replikasi virus memang terjadi, sementara
fase selanjutnya yang tidak tergantung virus dan bergantung pada imun
tampaknya disertai dengan komponen inflamasi yang diperburuk. Fase

234 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


21
Gambar 12.1 Respons imun terhadap virus korona dan virus pernapasan lainnya
(dikutip dari Azkur, et al., 2020). Setelah epitel terinfeksi SARS-CoV-2, replikasi virus
dapat menyebabkan lisis sel dan kerusakan langsung pada epitel. Epitel menyajikan
20
antigen virus ke sel TCD8⁺. Sel TCD8⁺ dan sel natural killer (NK) dengan perforin
dan granzimnya dapat menunjukkan sitotoksisitas pada sel epitel yang terinfeksi
virus dan menginduksi apoptosis. Sel dendritik subepitelial (DC) mengenali antigen
virus dan menyajikannya ke sel T CD4+ dan menginduksi diferensiasi sel T tersebut
menjadi Th1, Th17, dan T follicular helper (TFH). Sel TFH membantu sel B berkembang
P

menjadi sel plasma (PC) dan menghasilkan antibodi spesifik virus isotipe IgM, IgA,
dan IgG. Makrofag jaringan (MΦ) dan DC juga menyajikan antigen virus untuk sel
AU

T CD4⁺.

virus-independen telah dijelaskan oleh reaksi inflamasi sekunder terhadap


penghambatan ACE2 atau oleh fenomena autoimun akibat penyebaran
epitop yang disebabkan oleh kerusakan jaringan yang berkepanjangan
(Perlman, et al., 2005, Huang, et al., 2020). Masih harus dibuktikan apakah
jalur dua fase yang serupa juga terjadi pada Covid-19.
Meskipun sel T dan B, makrofag, dan sel dendritik tidak
mengekspresikan ACE2, beberapa laporan menunjukkan bahwa DC-
SIGN dapat berfungsi sebagai reseptor trans untuk SARS-CoV di sel
dendritik, yang meskipun tidak terinfeksi dapat mentransfer virus ke sel
rentan lainnya (Yang, et al., 2004). Vandakari dan Wilce, 2020, melaporkan

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Sistem Imun 235


bahwa CD26, suatu aminopeptidase yang terlibat dalam aktivasi sel T,
dapat mengikat protein S SARS-CoV-2, sehingga mengakibatkan infeksi
sel T yang tidak produktif. Wang, dkk., (2020), melaporkan bahwa
CD147, protein dari superfamili imunoglobulin yang menginduksi
metaloproteinase dari matriks ekstraseluler, berikatan dengan domain
S1 dan memfasilitasi masuknya virus ke dalam sel inang. Signifikansi
infeksi sel T non-produktif tidak jelas; namun, diperkirakan bahwa hal itu
mungkin terkait dengan limfopenia yang ditemukan pada pasien SARS,
MERS, dan COVID19 (Wang, et al., 2020). Pengikatan protein S SARS-
CoV-2 ke molekul seperti CD26 dan CD147, yang berpartisipasi dalam
aktivasi sel T, akan menunjukkan bahwa infeksi sel T yang tidak produktif
dapat mengakibatkan kematian sel yang diinduksi oleh aktivasi (AICD).
MERS-CoV telah dilaporkan menginduksi apoptosis sel T (Fung, et al.,

21
2020; He, et al., 2004), dan ada bukti bahwa sel T mengalami kelelahan
secara fungsional pada pasien dengan Covid-19 parah (Zheng, et al., 2020).
Ringkasan respons imun terhadap infeksi SARS-CoV-2 dapat dilihat pada
20
Gambar 12.1.

RESPONS IMUN HUMORAL (ANTIBODI)


P

Beberapa bukti mendukung bahwa respons imun humoral, terutama


antibodi terhadap protein S, memblokir perlekatan virus ke sel ACE2⁺ yang
AU

rentan (Tai, et al., 2020; Ou, et al., 2020). Namun, masih banyak pertanyaan
mengenai signifikansi antibodi terhadap protein virus yang berbeda, dan
reaktivitas silang antibodi terhadap alfa- dan beta-coronavirus yang sangat
lazim, meskipun tampaknya reaktivitas silang sebagian besar terjadi pada
beta-coronaviridae (Huang, et al., 2020; Guo, et al., 2020), khususnya antara
SARS-CoV dan SARS-CoV-2 yang berbagi 90% urutan asam amino di S1
(Walls, et al., 2020). Namun, hal itu juga dapat terjadi dengan antigen lain,
seperti yang ditunjukkan dalam wabah HCoV-OC43 di British Columbia
(Kanada) di mana ditemukan reaktivitas silang antibodi anti-N dengan
SARS-CoV (Patrick, et al., 2006). Namun demikian sampai saat ini belum
ada informasi mengenai apakah orang yang selamat dari epidemi SARS
dan MERS dapat terinfeksi SARS-CoV-2 (Patrick, et al., 2006).

236 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Gambar 12.2 Model umum respons sel T dan sel B (plasmablas, antibodi) terhadap
infeksi SARS-CoV-2 yang diproyeksikan sampai lebih dari 1 tahun setelah infeksi.
Antibodi penetral, sel B memori, dan sel T CD4⁺ dan CD8⁺ memori terhadap SARS-
CoV-2 yang ditimbulkan oleh infeksi, vaksinasi, atau setelah pajanan ulang oleh

21
SARS-CoV-2, adalah kunci menuju kekebalan terhadap penyakit ini. Garis putus-
putus mewakili respons puncak sel B, sel T, dan antibodi setelah infeksi (Dikutip
dari Sethepens & Mc Elrath, 2020).
20
Antibodi IgM dan IgA dapat dideteksi lebih awal selama minggu
pertama setelah awitan (onset) gejala, sedangkan IgG dapat dideteksi
sekitar 14 hari setelah dimulainya gejala (Huang, et al., 2020; Guo, et al.,
P

2020; Theel, et al., 2020). Meskipun demikian, belum diketahui berapa


lama tingkat perlindungan dari antibodi ini akan tetap aktif, mengingat
AU

pandemi Covid-19 masih belum terlalu lama untuk melihat efek tersebut.
pada kohort penderita SARS yang diikuti selama 6 tahun, Tang, dkk.,
(2020), menemukan bahwa antibodi anti-SARS-CoV tidak terdeteksi pada
21/23 pasien dan tidak satu pun dari mereka yang memiliki sel B memori
spesifik, sedangkan sel T memori spesifik terdapat pada 14/23 (60,9%) dari
penderita SARS yang diteliti (Tang, et al., 2011).
Peran sekretori imunoglobulin A (sIgA) dalam Covid-19 masih
mendapat sedikit perhatian, meskipun terdapat fakta bahwa SARS-CoV-2
masuk ke dalam tubuh melalui mukosa pernapasan dan sIgA sangat
penting bagi pertahanan mukosa. Selain itu, beberapa penelitian tentang
Covid-19 telah menunjukkan adanya IgA serum terhadap SARS-CoV-2
(Okba, et al., 2020; Patel, et al., 2020) dan dalam penelitian praklinis dengan

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Sistem Imun 237


vaksin anti-SARS, yang diberikan baik secara sublingual atau intranasal,
adanya IgA penetral dapat ditunjukkan pada bronkhoalveolar lavas (Shim,
et al., 2020; Du, et al., 2020). Temuan ini mendukung pentingnya menyelidiki
keberadaan sIgA dalam sekresi pasien dengan Covid-19 dan menentukan
kemungkinan aktivitas antivirus di mukosa saluran pernapasan (Bene, et
al., 2020). Rangkuman respons imun adaptif, baik selular maupun humoral,
dapat dilihat pada Gambar 12.2.

ANTIBODY-DEPENDENT ENHANCEMENT (ADE)


Fenomena menarik yang mengkhawatirkan banyak dokter dan peneliti
adalah "Antibody-Dependent Enhancement" (ADE), yang dikaitkan dengan
keparahan infeksi virus corona dan mungkin dapat menimbulkan kesulitan

21
dengan vaksin baru (Tetro, et al., 2020; Iwasaki, et al., 2020). Ho, dkk., (2005),
mempelajari respons antibodi pada SARS, menemukan bahwa pasien
dengan perjalanan klinis yang lebih parah memiliki respons antibodi
20
yang lebih awal dan lebih tinggi, dan berhipotesis bahwa responsden
sebelumnya mungkin memiliki, selama fase akut, antibodi yang bereaksi
silang dengan virus korona non-SARS. Jaume, dkk., (2009), dan Yip, dkk.,
(2014), mendemonstrasikan bahwa antibodi anti-S, selain menghambat
P

masuknya virus dalam sel permisif, juga mempotensiasi infeksi dengan


mengikat sel dengan reseptor-II Fc IgG positif (FcγRII +), misalnya sel B
AU

dan makrofag. Jadi, antibodi IgG anti-S yang terikat pada FcγRII pada
membran fagosit mononuklear meningkatkan masuknya virus melalui
jalur reseptor virus kanonik, seperti yang ditunjukkan untuk MERS-
CoV (Wan, et al., 2020), dengan demikian mengaktifkan sel-sel ini dan
mendorong produksi sitokin proinflamasi. Namun sampai sekarang hal
ini masih belum terbukti pada infeksi SARS-CoV-2 (Vabret, et al., 2020).

BADAI SITOKIN
Produksi sitokin yang abnormal dan tidak terkontrol (cytokine storm = badai
sitokin) terjadi pada pasien dengan pneumonia Covid-19 yang sakit kritis
(Wu, et al., 2020 ), berperan dalam memburuknya gejala dan progrevisitas

238 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


penyakit ini, serta merupakan faktor utama yang berkontribusi pada
kematian Covid-19. Produksi berlebihan sitokin inflamasi yang tidak
terkontrol berkontribusi pada cedera paru akut dan sindrom gangguan
pernapasan akut (ARDS). Dalam hal ini, penyakit Covid-19 memiliki
kesamaan dengan penyakit virus lainnya seperti SARS, MERS, dan
influenza, di mana perkembangan badai sitokin merupakan tanda
peringatan akan eskalasi penyakit (Wu, et al., 2020).
Badai sitokin atau sindroma pelepasan sitokin (CRS=Cytokines release
syndrome), merupakan kondisi respons imun yang berpotensi fatal yang
ditandai dengan proliferasi cepat dan hiperaktivasi sel T, makrofag, sel
Natural Killer (NK), dan produksi berlebihan berbagai sitokin proinflamasi
dan mediator kimiawi yang dilepaskan oleh sel imun atau nonimun
(Osterholm, et al., 2020; Teijaro, et al., 2020). pada infeksi virus, pelepasan

21
faktor pro-inflamasi yang menyimpang, menyebabkan apoptosis sel
epitel dan endotel paru yang merusak pembatas (barrier) sel epitel
mikrovaskuler dan alveolar paru, yang menyebabkan kebocoran vaskular,
20
edema alveolar dan hipoksia. Produksi faktor pro-inflamasi yang tidak
terkontrol, yang mengandung IL-6, IL-8, IL-1β, dan GM-CSF, serta kemokin
seperti CCL2, CCL-5, IP-10, dan CCL3, bersama dengan spesies oksigen
reaktif menyebabkan ARDS menyebabkan fibrosis paru dan kematian
P

(Reghunathan, et al., 2020). Pemeriksaan histologis dan sampel biopsi yang


diperoleh dari pasien yang meninggal akibat infeksi SARS-CoV-2 yang
AU

parah menunjukkan peningkatan konsentrasi sel T CCR4 + CCR6 + Th17


+ CD4 yang sangat proinflamasi, menunjukkan bahwa hiperaktivasi sel
T berkontribusi sebagian pada cedera kekebalan yang parah di pasien ini
(Xu, et al., 2020).
Sekresi berbagai macam sitokin ini, berkaitan erat dengan manifestasi
klinis; misalnya, IFN-γ dapat menyebabkan demam, menggigil, sakit
kepala, pusing, dan kelelahan; TNF-α dapat menyebabkan gejala mirip flu
yang mirip dengan IFN-γ, dengan demam, malaise umum, dan kelelahan,
tetapi juga dapat menyebabkan kebocoran vaskular, kardiomiopati, cedera
paru, dan sintesis protein fase akut (Shimabukuro-Vornhagen, et al., 2018).
IL6, dapat menyebabkan kebocoran vaskular, aktivasi komplemen dan
kaskade koagulasi, yang mengarah ke gejala karakteristik CRS yang parah,

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Sistem Imun 239


seperti koagulasi intravaskular difus (DIC) (Tanaka, et al., 2016; Hunter,
et al., 2015). Perlu dicatat bahwa IL-6 kemungkinan dapat menyebabkan
kardiomiopati karena dapat menyebabkan disfungsi miokard (Pathan,
et al., 2004). Disfungsi endotel pada keadaan ini, dapat menyebabkan
kebocoran kapiler, hipotensi, dan koagulopati (Hay, et al., 2017).

MANIFESTASI KLINIS BADAI SITOKIN


Gejala klinis pasien dengan badai sitokin bervariasi dari gejala mirip
influenza ringan hingga gejala parah yang mungkin suatu respons
inflamasi sistemik yang tidak terkontrol, koagulasi intravaskular
diseminata (DIC), syok dan kegagalan multiorgan (MOF) (Cron, et al., 2019;
Shimabukuro-Vornhagen, et al., 2018 ). Gambaran klinis umum dari CSS

21
termasuk demam persisten, splenomegali, hepatomegali disertai dengan
gangguan fungsi hati, limfadenopati, gangguan koagulasi, sitopenia, dan
gejala sistem saraf pusat, terutama ditandai dengan perjalanan penyakit
akut atau subakut (1–4 minggu) (Murthy, et al., 2019). Gejala pernapasan
20
juga umum terjadi pada pasien dengan badai sitokin, dan kasus ringan
dapat ditandai dengan batuk dan sesak napas, sementara yang parah
P
AU

Gambar 12.3 Representasi skematis dari gambaran klinis versus respons sitokin
inflamasi patogen pada infeksi SARS-CoV-2 (Diadaptasi dari Sun, et al., 2020).

240 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


dapat berkembang menjadi ALI dan ARDS dengan kelainan radiologis.
Selain itu, gagal ginjal atau insufisiensi jantung juga dapat terjadi
(Shimabukuro-Vornhagen, et al., 2018). Kelainan laboratorium yang umum
yaitu pansitopenia (anemia, leukopenia, trombositopenia), peningkatan
kreatinin serum, enzim hati dan protein C-reaktif (CRP), hiperferritinemia,
serta kelainan koagulasi (Shen, et al., 2016). Ringkasan hubungan antara
sel-sel, sitokin serta manifestasi klinis pada kondisi badai sitokin Covid-19,
dapat dilihat pada Gambar 12.3.

KEWASPADAAN TERHADAP BADAI SITOKIN


Belum ada standar terpadu untuk diagnosis Covid-19 yang terkait dengan
CSS, dan diperlukan penelitian klinis dan laboratorium lebih lanjut. Gao,

badai sitokin pada Covid-19:


21
dkk., (2020), mengusulkan prinsip dasar untuk pertimbangan adanya

1. perkembangan tiba-tiba atau cepat dengan keterlibatan berbagai


organ (seperti cedera hati, jantung, atau ginjal);
20
2. penurunan jumlah limfosit darah tepi yang signifikan;
3. peningkatan indikator inflamasi sistematis (seperti CRP, serum
feritin, laju sedimentasi eritrosit) yang signifikan;
4. peningkatan beberapa sitokin, seperti IL-1b, IL-2R, IL-6, IFN-c, IP-10,
P

MCP-1, TNF-a dan MIP1a.


AU

Mengingat bahwa badai sitokin adalah kondisi yang sangat heterogen


dan mungkin muncul dengan sindrom yang tidak spesifik, diagnosis
badai sitokin pada Covid-19 sangat menantang dan pengembangan tes
diagnostik khusus yang membantu mendiagnosis badai sitokin lebih dini
adalah prioritas tinggi di masa depan (Gao, et al., 2020).
Caricchio, dkk., (2020) mengembangkan dan mengusulkan suatu
kriteria untuk memprediksi adanya badai sitokin pada pasien Covid-19
(dapat dilihat pada Tabel 12.1). Terdapat kriteria masuk (entry criteria)
yang harus dipenuhi semua, yaitu: (i) gejala Covid-19, (ii) hasil RT-PCR
yang positif, (iii) gambaran ground glass opacity (GGO) pada HRCT atau
foto polos dada, (iv) kadar ferritin serum > 250ng/mL (v) CRP > 4,6 mg/dL
(Caricchio, et al., 2021).

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Sistem Imun 241


Tabel 12.1 Kriteria Prediksi Badai Sitokin (Caricchio, et al., 2021)

Entry criteria (must be all met) Cut-off values


+ Signs/symptoms of COVID-19
± RT-PCR positive for COVID-19
+ GGO by HRCT (or chest X-ray)
Ferritin > 250 ng/mL
C reactive protein > 4.6 mg/mL
AND (one variable from each cluster)
Cluster I
Albumin < 2.8 g/dL
Lymphocytes (%) < 10.2
Neutrophil Abs > 11.4 K/mm³
Cluster II
ALT
AST
D-dimers
21 > 60 U/L
> 87 U/L
> 4,930 ng/mL
20
LDH > 416 U/L
Troponin I > 1.09 ng/mL
Cluster III
Anion gap < 6.8 mmol/L
Chloride > 106 mmol/L
P

Potassium > 4.9 mmol/L


AU

BUN: creatinine ratio > 29 ratio

Criteria are met when patients fulfil all the entry criteria and at least one criterion per each
cluster. Cut-off values were calculated using a genetic algoritm. Abs, absolute numbers;
ALT, alanine aminotransferase; AST, aspartate aminotransferase; BUN, blood urea nitrogen;
GGO, ground-glass opacity; HTCT, high-resolution CT; LDH, lactate dehydrogenase; RT-PCR,
reverse transcriptase PCR.

Kriteria ini dipenuhi bila semua kriteria masuk di atas, terpenuhi,


ditambah minimal salah satu parameter pada setiap klaster dalam kriteria
ini (terdapat 3 klaster). Klaster pertama yaitu penurunan kadar albumin
dan persentase limfosit, disertai peningkatan jumlah absolut neutrofil.
Klaster kedua meliputi peningkatan kadar alanine aminotransaminase
(ALT), aspartate aminotransferase (AST), D-dimer, LDH dan troponin

242 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


I. Klaster ketiga meliputi penurunan anion gap dan peningkatan kadar
klorida, kalium dan rasio nitrogen urea darah (BUN): kreatinin (Caricchio,
et al., 2021).

SPEKTRUM KLINIS-IMUNOLOGIS COVID-19


Untuk memahami imunopatogenesis Covid-19, penting untuk memahami
apa yang menjadi akar kegagalan respons imun yang terjadi pada individu
yang terinfeksi yang mengakibatkan penyimpangan respons imun
sehingga menjadi disfungsional. Hal ini akan menyebabkan sindrom
pelepasan sitokin (CRS = cytokines release syndrome), atau cytokines storm
(badai sitokin) yang diikuti inflamasi berat dan kemudian terjadi kegagalan
organ multi-sistemik. Pemahaman yang lebih baik tentang kejadian-

21
kejadian ini akan berkontribusi pada desain pendekatan terapeutik yang
berbeda, tergantung pada stadium penyakit, dan untuk penggambaran
penanda prognostik dan prediktif (Garcia, 2020).
20
Dari sudut pandang imunologi, spektrum klinis Covid-19 yang luas
memungkinkan kita untuk mendalilkan hipotesis yang berbeda, beberapa
di antaranya telah terbukti, sisanya memerlukan lebih banyak informasi
dan observasi tindak lanjut yang lebih lama terhadap pasien yang pulih.
P

Gambar 12.4A menunjukkan hasil yang beragam selama Covid-19 dan


memungkinkan untuk analisis tanggapan kekebalan pada setiap tahap
AU

klinis. Namun, harus dicatat bahwa respons imun dikondisikan oleh


variabel epidemiologi, seperti intensitas dan durasi pajanan terhadap
virus dan kemungkinan variasi dalam virulensi virus dan, pada sisi host,
kerentanan/resistansi genetik dan kondisi kesehatan pada saat terjadinya
paparan. Yang terakhir ini mencakup usia dan keberadaan penyakit
penyerta yang mungkin secara langsung memengaruhi sistem kekebalan
(Wu, et al., 2020; Zhou, et al., 2020).
Meskipun infektivitasnya tinggi, tidak semua orang yang terpapar
SARS-CoV-2 menjadi terinfeksi (Shi, et al., 2020). Alasan terjadinya hal ini
masih belum diketahui secara pasti. Ada kemungkinan bahwa inokulum
kecil tidak mencapai saluran pernapasan bagian bawah, di mana sel target
yang rentan ditemukan. Namun demikian, kondisi genetik yang belum

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Sistem Imun 243


teridentifikasi juga dapat menjelaskan resistansi ini sendiri. Dalam hal
ini, tidak ditemukan hubungan SARS dengan polimorfisme ACE2 (Chiu,
et al., 2020).
Respons imun protektif terdapat pada pasien dengan infeksi
asimtomatik dan ringan, dan bahkan pada beberapa pasien dengan infeksi
sedang yang tidak berkembang menjadi penyakit parah. Respons ini harus
mampu menghambat replikasi virus dan menghilangkan sel inang yang
terinfeksi dengan kerusakan jaringan minimal dan manifestasi inflamasi
yang rendah (Garcia, 2020). (Gambar 12.4B).
Respons adaptif mencakup keberadaan kondisi genetik untuk
presentasi antigen virus oleh molekul HLA-I dan II ke sel T CD8 dan
CD4. Dalam konteks ini, Grifoni, dkk., (2020), dengan menggunakan
pendekatan bioinformatis, mengidentifikasi 241 kandidat epitop untuk alel

21
20
P
AU

Gambar 12.4 Spektrum Klinis dan Imunologis Covid-19 (Dikutip dan diterjemahkan
dari: Garcia, 2020). A) Stadium klinis Covid-19; B) Spektrum imunitas protektif dan
inflamasi pada Covid-19.

244 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


HLA-II di SARS-CoV-2, dan 628 untuk alel kelas I, yang mungkin terikat
oleh alel HLA yang lebih umum, terlepas dari kelompok etnis mereka.
Jumlah epitop yang tinggi, yang juga terdapat pada SARS-CoV (Janice, et
al., 2012), dapat menjelaskan kurangnya hubungan yang konsisten antara
SARS dengan antigen HLA (Wang, et al., 2012; Ng et al ., 2010).

PROFIL IMUNOLOGI PASIEN COVID-19


Pada infeksi Covid-19 yang parah, terjadi respons inflamasi paru dan
sistemik yang memburuk, yang ditandai dengan peningkatan kadar
penanda inflamasi dalam serum, seperti C-reactive protein (CRP), lactic
dehydrogenase (LDH), ferritin, D-dimer, dan IL-6 (Guan, et al., 2020; Chen,
et al., 2020; Mehta, et al., 2020), yang semuanya dapat mengakibatkan

21
badai sitokin (Mehta, et al., 2020; Pedersen, et al., 2020), serupa dengan
SARS dan MERS (Channappanavar, et al., 2017; Perlman, et al., 2005). Tabel
13.1 membandingkan profil imunologi darah pasien Covid-19 sedang
20
dan berat.

PERUBAHAN PADA SEL YANG BERSIRKULASI


Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa limfopenia, meskipun
P

terdapat pada infeksi sedang, lebih sering terlihat pada Covid-19 berat
(Chen, et al., 2020, Zou, et al., 2020) dan terutama memengaruhi sel T,
AU

termasuk Th1CD4⁺ dan Treg, tetapi terutama sel TCD8⁺ (Chen, et al., 2020,
Zou, et al., 2020). Selain itu, pada Covid-19 yang parah, jumlah sel T naif
yang bersirkulasi meningkat dan jumlah sel T memori menurun (Qin, et
al., 2020). Sel TCD8⁺ yang bersirkulasi pada pasien dengan Covid-19 parah
menunjukkan fenotipe yang terkait dengan fungsi abnormal (CD8 + IFN-γ
+ GM-CSF +) dan kelelahan (Tim3 + Pd-1 +) (Zhou, et al., 2020) atau (NKG2
+ CD107a + IFN-γ + grzB +) (Zheng, et al., 2020). Fenotipe terakhir juga
ditemukan di sel NK. Menariknya, korelasi negatif telah dilaporkan antara
kadar serum IL-6 dan IL-8 dan kandungan perforin sel NK dan CD8⁺,
yang juga berkorelasi negatif dengan peningkatan jumlah sel penekan
turunan myeloid yang bersirkulasi (myeloid derived suppressor cell = MDSC)
(Bordoni, et al., 2020) .

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Sistem Imun 245


Meskipun jumlah sel TCD4+ menurun, sel-sel ini mengekspresikan
penanda aktivasi seperti CD69, CD38, CD44, dan HLA-DR, termasuk sel
Th17 CD4+ CCR6+. Sel NK juga menurun baik pada kasus penyakit sedang
dan berat (107, 110). Monositopenia juga ditemukan pada pasien Covid-
19, terutama pada kasus yang parah, tetapi monosit yang bersirkulasi
sebagian besar termasuk dalam subset monosit inflamasi CD14+ CD16+
(Zheng, et al., 2020).

PERUBAHAN PADA KADAR SITOKIN/KEMOKIN PLASMA


Kadar sitokin dan kemokin plasma juga meningkat pada Covid-19, tetapi
lebih tinggi pada infeksi berat, dan termasuk IL-2, IL-2R, IL-6, IL-7, IL-8 IL-
10, IP10, MIP1A, dan TNF-α (Chen, et al., 2020; Qin, et al., 2020; Bordoni, et

21
al., 2020). Kadar IL-6 plasma yang tinggi telah secara konsisten dilaporkan
pada Covid-19 dan bahkan tampaknya dikaitkan dengan prognosis yang
buruk dan risiko kematian (Wu, et al., 2020). Liu (2020) mempelajari
enam puluh pasien Covid-19, setengah di antaranya memiliki kasus
20
penyakit yang parah dan tingkat IL-6 yang tinggi. IL-6 dasar lebih tinggi
pada kasus yang lebih parah dan berkorelasi dengan keterlibatan paru
interstisial bilateral dan suhu tubuh yang tinggi, serta dengan penanda
serum lain untuk inflamasi akut. Dari 30 pasien dengan penyakit berat, 25
P

membaik secara klinis dan menunjukkan penurunan yang signifikan pada


AU

tingkat IL-6, sedangkan tingkat ini meningkat pada tiga pasien dengan
perkembangan penyakit (Liu, et al., 2020).

PENGARUH USIA PADA RESPONS IMUN TERHADAP


SARS-COV-2
Salah satu faktor risiko yang paling kuat berhubungan dengan Covid-19
yang parah dan kematian adalah usia lanjut. Immunosenesen yang terjadi
pada orang tua memengaruhi imunitas bawaan (Shaw, et al., 2013), tetapi
terutama respons adaptif yang tergantung sel T (Nikolich-Zugich, et al.,
2014; Goronzy, et al., 2015). Bukti eksperimental menunjukkan bahwa tikus
tua meningkat kadar sitokin proinflamasinya dan alveolarnya makrofag

246 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


sulit untuk aktivasi oleh IFN-γ (Canan, et al., 2014). Temuan ini relevan
karena respons protektif yang mengeliminasi virus bergantung pada
sel TCD8 sitotoksik dan respons Th1, dengan IFN-γ memainkan peran
penting dalam kedua respons tersebut, seperti pada SARS dan MERS (Lin,
et al., 2020, Zhang, et al., 2017).

PENGHINDARAN TERHADAP RESPONS IMUN (IMMUNE


EVASION) OLEH SARS-COV-2
Penelitian pada Coronavirus, termasuk SARS-CoV-2, menunjukkan
bahwa virus ini sangat mampu untuk menghindari deteksi respons
imun sehingga dapat meredam respons imun manusia. 17 Haplotipe HLA
rentan, viral load tinggi, dan imunitas yang terganggu, dapat menyebabkan

21
virus menghindar dari respons imun (Maggi, et al., 2020).
Penghindaran dari respons imun oleh SARS-CoV-2 terutama terjadi
pada individu dengan gangguan imunitas (immunocompromised),
20
misalnya pada orang tua, pasien dengan defisiensi imun atau individu
yang memiliki alel HLA yang tidak dapat menyajikan peptida SARS-
CoV-2 dengan tepat ke limfosit T. Selain itu, viral load yang tinggi dapat
mengatasi respons imun. Virus yang dapat menghindar tersebut dapat
P
AU

Gambar 12.5 Mekanisme Penghindaran Respons Imun (Immune Evasion) oleh


SARS-CoV-2. (Dikutip dan diterjemahkan dari Maggi, et al., 2020)

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Sistem Imun 247


menghambat IFN-1 serta menginfeksi baik sel imunitas bawaan dan
adaptif dengan menggunakan efek sitopatik. Fungsi sel imun dan efek
antivirus IFN-1 yang terganggu ini akan menyebabkan penghindaran imun
yang lebih lanut, yang mengakibatkan efek patologis berat. Rangkuman
penghindaran imun oleh SARS-CoV-2 dapat dilihat pada Gambar 12.5
(Maggi, et al., 2020).

RINGKASAN DAN REKOMENDASI


Respons imun terhadap SARS-CoV-2 dapat bersifat protektif, sehingga
pasien hanya bergejala ringan atau asimptomatik, namun bila berlebihan
justru akan memperparah penyakit ini, bahkan sampai meninggal. Respons
imun yang berlebihan akibat disregulasi imun akan menyebabkan kondisi

21
yang dinamakan badai sitokin, di mana sekresi sitokin proinflamasi
menjadi tidak terkontrol sehingga terjadi perburukan penyakit. Spektrum
klinis-imunologis ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:
20
viral load, usia, gen (HLA), serta penyakit komorbid. Hal ini juga akan
meningkatkan kemampuan SARS-CoV-2 untuk menghindar dari serangan
respons imun kita.
Spektrum klinis-imunologis ini harus dikenali dengan baik oleh para
P

klinisi yang merawat pasien Covid-19, sehingga penanganan yang tepat


dan cepat merupakan salah satu kunci kesembuhan pasien.
AU

DAFTAR PUSTAKA
Azkur, A.K., Akdis, M., Azkur, D., Sokolowska, M., van de Veen, W., Brüggen, M.C.,
O’Mahony, L., et al. 2020. Immune response to SARS-CoV-2 and mechanisms
of immunopathological changes in Covid-19. Allergy, 75:1564–1581.
Bene, M.C., de MC, Eveillard, M., Lebri, Y. 2020. Good IgA bad IgG in SARS-CoV-2
infection?. Clin Infect Dis, 71(15):897-898. doi: 10.1093/cid/ciaa426.
Blanco-Melo, D., Nilsson-Payant, B.E., Liu, C.W., Uhl, S., Hoagland, D., Moller, R.,
et al. 2020. Imbalanced host response to SARS-CoV-2 drives development of
Covid-19. Cell, 181:1036–45.e9. doi: 10.1016/j.cell.2020.04.026.

248 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Bordoni, V., Sacchi, A., Cimini, E., Notari, S., Grassi, G., Tartaglia, E., et al. 2020.
An inflammatory profile correlates with decreased frequency of cytotoxic
cells in Covid-19. Clin Infect Dis, doi: 10.1093/cid/ciaa577.
Canan, C.H., Gokhale, S.N., Carruthers, B., Lafuse, P.W., Schlesinger, S.L., Torrelles,
B.J., et al. 2014. Characterization of lung inflammation and its impact on
macrophage function in aging. J Leuk Biol, 96:473– 80. doi: 10.1189/jlb.4A0214-
093RR.
Cao, X. 2020. Covid-19: immunopathology and its implications for therapy. Nat
Rev Immunol, 20:269–70. doi: 10.1038/s41577-020-0308-3.
Caricchio, R., Gallucci, M., Dass, C., Zhang, X., Galucci, S., Fleece, D., et al. 2021.
Preliminary predictive criteria for Covid-19 cytokine storm. Ann Rheum Dis,
80:88–95. doi:10.1136/annrheumdis-2020-218323.
Clay, C., Donart, N., Fomukong, N., Knight, B.J., Lei, W., Price, L., et al. 2012.
Primary severe acute respiratory syndrome coronavirus infection limits

21
replication but not lung inflammation upon homologous rechallenge. J Virol,
86:4234–44. doi: 10.1128/JVI.06791-11.
Chen, J., Subbarao, K. 2007. The immunobiology of SARS. Annu Rev Immunol,
25:443–72. doi: 10.1146/annurev.immunol.25.022106.141706.
20
Chu, H., Chan, F.J., Wang, Y., Yuen, T.T., Chai, Y., Hou, Y., et al. 2020. Comparative
replication and immune activation profiles of SARS-CoV-2 and SARS-CoV
in human lungs: an ex vivo study with implications for the pathogenesis of
Covid-19. Clin Infect Dis, doi: 10.1093/cid/ciaa410.
P

Chen, G., Wu, D., Guo, W., Cao, Y., Huang, D., Wang, H., et al. 2020. Clinical and
immunological features of severe and moderate coronavirus disease 2019. J
AU

Clin Invest, 130:2620–9. doi: 10.1172/JCI137244.


Chen, T., Wu, D., Chen, H., Yan, W., Yang, D., Chen, G., et al. 2020. Clinical
characteristics of 113 deceased patients with coronavirus disease 2019:
retrospective study. BMJ, 368:m1091. doi: 10.1136/bmj.m1091.
Channappanavar, R., Perlman, S. 2017. Pathogenic human coronavirus infections:
causes and consequences of cytokine storm and immunopathology. Semin
Immunopathol, 39:529–39. doi: 10.1007/s00281-017-0629-x.
Chiu, R.W., Tang, L.N., Hui, S.D., Chung, T.G., Chim, S.S., Chan, C.K., et al. 2004.
ACE2 gene polymorphisms do not affect outcome of severe acute respiratory
syndrome. Clin Chem, 50:1683–6. doi: 10.1373/clinchem.2004.035436.
Cron, R.Q., Behrens, E.M. 2019. Cytokine Storm Syndrome. Switzerland: Springer
Nature.

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Sistem Imun 249


Du, L., Zhao, G., Lin, Y., Sui, H., Chan, C., Ma, S., et al. 2008. Intranasal vacChination
of recombinant adeno-associated virus encoding receptor-binding domain
of severe acute respiratory syndrome coronavirus (SARS-CoV) spike
protein induces strong mucosal immune responses and provides long-term
protection against SARS-CoV infection. J Immunol, 180:948–56. doi: 10.4049/
jimmunol.180.2.948.
Fauci, A.S., Lane, C.H., Redfield, R.R. 2020. Covid-19–navigating the uncharted.
N Engl J Med, 382:1268–9. doi: 10.1056/NEJMe2002387.
Fung, T.S., Liu, D.X. 2019. Human coronavirus: host-pathogen interaction. Annu
Rev Microbiol, 73:529–57. doi: 10.1146/annurev-micro-020518-115759.
García, L.F. 2020. Immune response, inflammation, and the clinical spectrum of
Covid-19. Front. Immunol, 11:1441. doi: 10.3389/fimmu.2020.01441.
Gao, Y.M., Xu, G., Wang, B., Liu, B.C. 2020. Cytokine storm syndrome in
coronavirus disease 2019: A narrative review. J Intern Med, 289(2):147-161.
https://doi.org/10.1111/joim.13144.

21
Goronzy, J.J., Fang, F., Cavanagh, M.M., Qi, Q., Weyand, C.M. 2015. Naive T cell
maintenance and function in human aging. J Immunol, 194:4073– 80. doi:
10.4049/jimmunol.1500046.
20
Grifoni, A., Sidney, J., Zhang, Y., Scheuermann, H.R., Peters, B., Sette, A. 2020.
A sequence homology and bioinformatic approach can predict candidate
targets for immune responses to SARS-CoV-2. Cell Host Microbe, 27:671–80.
e2. doi: 10.1016/j.chom.2020.03.002.
P

Guan, W.J., Ni YZ, Hu Y, Liang HW, Ou QC, He XJ, et al. Clinical characteristics
of coronavirus disease 2019 in China. N Engl J Med. (2020) 382:1708–20. doi:
AU

10.1056/NEJMoa2002032
Guo L, Ren L, Yang S, Xiao M, Chang D, Yang F, et al. 2020. Profiling early humoral
response to diagnose novel coronavirus disease (Covid-19). Clin Infect Dis,
71(15):778-785. doi: 10.1093/cid/ciaa310.
Hamming, I., Timens, W., Bulthuis, L.M., Lely, T.A., Navis, G., van Goor .H.
2004. Tissue distribution of ACE2 protein, the functional receptor for SARS
coronavirus. A first step in understanding SARS pathogenesis. J Pathol,
203:631– 7. doi: 10.1002/path.1570mm.
Hay, K.A., Hanafi, L., Li, D. et al. 2017. Kinetics and biomarkers of severe cytokine
release syndrome after CD19 chimeric antigen receptor-modified T-cell
therapy. Blood, 130 (21):2295–2306.
He, Y., Zhou, Y., Liu, S., Kou, Z., Li, W., Farzan, M., et al. 2004. Receptor-binding
domain of SARS-CoV spike protein induces highly potent neutralizing

250 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


antibodies: implication for developing subunit vaccine. Biochem Biophys
Res Commun, 324:773–81. doi: 10.1016/j.bbrc.2004.09.106.
Ho, M.S., Chen, J.W., Chen, Y.H., Lin, F.S., Wang, C.M., Di, J., et al. 2005. Neutralizing
antibody response and SARS severity. Emerg. Infect Dis, 11:1730–7. doi: 10.3201/
eid1111.040659.
Huang, A.T., Garcia-Carreras, B., Hitchings, T.D.M., Yang, B., Katzelnick, L.,
Rattigan, M.S., et al. 2020. A systematic review of antibody mediated
immunity to coronaviruses: antibody kinetics, correlates of protection, and
association of antibody responses with severity of disease. medRxiv. doi:
10.1101/2020.04.14.20065771
Hunter, C.A., Jones, S.A. 2015. IL-6 as a keystone cytokine in health and disease.
Nat. Immunol, 16 (5):448–457.
Imai, Y., Kuba, K., Rao, S., Huan, Y., Guo, F., Guan, B., et al. 2005.
Angiotensinconverting enzyme 2 protects from severe acute lung failure.

21
Nature, 436:112–6. doi: 10.1038/nature03712.
Iwasaki, A., Yang, Y. 2020. The potential danger of suboptimal antibody responses
in Covid-19. Nat Rev Immunol, 20:339–41. doi: 10.1038/s41577-020-0321-6.
Janice Oh, H.L., Ken-En, G.S., Bertoletti, A., Tan, Y.J. 2012. Understanding the T
20
cell immune response in SARS coronavirus infection. Emerg Microbes Infect,
1:e23. doi: 10.1038/emi.2012.26.
Jaume, M., Yip, S.M., Cheung, Y.C., Leung, L.H., Li, H.P., Kien, F., et al. 2011.
Anti-severe acute respiratory syndrome coronavirus spike antibodies
P

trigger infection of human immune cells via a pH- and cysteine protease-
independent FcgammaR pathway. J Virol, 85:10582–97. doi: 10.1128/JVI.00
AU

671-11.
Kuba, K., Imai, Y., Rao, S., Gao, H., Guo, F., Guan, B., et al. 2005. A crucial role of
angiotensin converting enzyme 2 (ACE2) in SARS coronavirus-induced lung
injury. Nat Med, 11:875–9. doi: 10.1038/nm1267.
Li, G., Fan, Y., Lai, Y., Han, T., Li, Z., Zhou, P., et al. 2020. Coronavirus infections
and immune responses. J Med Virol, 92:424–32. doi: 10.1002/jmv.25685.
Li, R., Pei, S., Chen, B., Song, Y., Zhang, T., Yang, W., et al. 2020. Substantial
undocumented infection facilitates the rapid dissemination of novel
coronavirus (SARS-CoV2). Science, 368:489– 93. doi: 10.1126/science.abb3221
Lin, L., Lu, L., Cao, W., Li, T. 2020. Hypothesis for potential pathogenesis of SARS-
CoV-2 infection: a review of immune changes in patients with viral pneumonia.
Emerg Microb Infect, 9:727–32. doi: 10.1080/22221751.2020.1746199.

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Sistem Imun 251


Liu, T., Zhang, J., Yang, Y., Ma, H., Li, Z., Zhang, J., et al. 2020. The potential role
of IL-6 in monitoring severe case of coronavirus disease 2019. medRxiv. doi:
10.1101/2020.03.01.20029769.
Maggi, E., Canonica, G.W., Moretta, L. 2020. Covid-19: Unanswered questions on
immune response and pathogenesis. J Allergy Clin Immunol, 146:18-22.
Mehta, P., McAuley, F.D., Brown, M., Sanchez, E., Tattersall, S.R., Manson, J.J. 2020.
Covid-19: consider cytokine storm syndromes and immunosuppression.
Lancet, 395:1033–4. doi: 10.1016/S0140-6736(20)30628-0.
Murthy, H., Iqbal, M., Chavez, J.C., Kharfan-Dabaja, M.A. 2019. Cytokine release
syndrome: current perspectives. Immunotargets Ther, 8:43–52.
Ng, M.H., Cheng, H.S., Lau, M.K., Leung, M.G., Khoo, S.U., Zee, C.B., et al. 2010.
Immunogenetics in SARS: a case-control study. Hong Kong Med J, 16:29–33.
Nikolich-Zugich, J. 2014. Aging of the T cell compartment in mice and humans:
from no naive expectations to foggy memories. Jf Immunol, 193:2622–9. doi:
10.4049/jimmunol.1401174.

21
Okba, N.M.A., Muller, A.M., Li, W., Wang, C., GeurtsvanKessel, H.C., Corman,
M.V., et al. 2020. Severe acute respiratory syndrome coronavirus 2-specific
antibody responses in coronavirus disease 2019 patients. Emerg Infect Dis,
20
26:841. doi: 10.3201/eid2607.200841.
Osterholm, M.T., . 2005. Preparing for the next pandemic, N. Engl. J. Med,
352(18):1839–1842.
Ou, X., Liu, Y., Lei, X., Li, P., Mi, D., Ren, L., et al. 2020. Characterization of spike
P

glycoprotein of SARS-CoV-2 on virus entry and its immune cross-reactivity


with SARS-CoV. Nat Commun, 11:1620. doi: 10.1038/s41467-020-15562-9.
AU

Patrick, D.M., Petric, M., Skowronski, M.D., Guasparini, R., Booth, F.T., Krajden,
M., et al. 2006. An outbreak of human coronavirus OC43 infection and
serological cross-reactivity with SARS coronavirus. Canad J Infect Dis Med
Microbiol, 17:330–6. doi: 10.1155/2006/152612.
Patel, R., Babady, E., Theel, S.E., Storch, A.G., Pinsky, A.B., St. George, K., et al. 2020.
Report from the American Society for Microbiology Covid-19 International
Summit, 23 March 2020: value of diagnostic testing for SARSCoV-2/Covid-19.
mBio, 11:20. doi: 10.1128/mBio.00722-20.
Pathan, N., Hemingway, C.A., Alizadeh, A.A., et al. 2004. Role of interleukin
6 in myocardial dysfunction of meningococcal septic shock, Lancet,
363(9404):203–209.
Pedersen, S.F., Ho, Y.C. 2020. SARS-CoV-2: a storm is raging. J Clin Invest, 130:2202–5.
doi: 10.1172/JCI137647.

252 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Perlman, S., Dandekar, A.A. 2005. Immunopathogenesis of coronavirus infections:
implications for SARS. Nat Rev Immunol, 5:917–27. doi: 10.1038/nri1732.
Qin, C., Zhou, L., Hu, Z., Zhang, S., Yang, S., Tao, Y. 2020. Dysregulation of
immune response in patients with Covid-19 in Wuhan, China. Clin Infect
Dis, 71(15):762-768. doi: 10.2139/ssrn.3541136.
Raoult, D., Zumla, A., Locatelli, F., Ippolito, G., Kroemer, G. 2020. Coronavirus
infections: epidemiological, clinical and immunological features and
hypothesis. Cell Stress, 34345:216. doi: 10.15698/cst2020.04.216.
Reghunathan, R., Jayapal, M., Hsu, L.Y., et al. 2005. Expression profile of immune
response genes in patients with severe acute respiratory syndrome. BMC
Immunol, 6:2.
Shaw, A.C., Goldstein, R.D., Montgomery, R.R. 2013. Age-dependent dysregulation
of innate immunity. Nat. Rev Immunol, 13:875–87. doi: 10.1038/nri3547.
Sen, E.S., Clarke, S.L., Ramanan, A.V. 2016. Macrophage activation syndrome.
Indian J Pediatr, 83:248–53.

21
Shi, Y., Wang, Y., Shao, C., Huang, J., Gan, J., Huang, X., et al. 2020. Covid-19
infection: the perspectives on immune responses. Cell Death Differ, 27:1451–4.
doi: 10.1038/s41418-020-0530-3.
20
Shim, B.S., Stadler, K., Nguyen, H.H., Yun, H.C., Kim, W.D., Chang, J., et al. 2012.
Sublingual immunization with recombinant adenovirus encoding SARS-CoV
spike protein induces systemic and mucosal immunity without redirection
of the virus to the brain. Virol J, 9:215. doi: 10.1186/1743-422X-9-215.
P

Shimabukuro-Vornhagen, A., Godel, P., Subklewe, M., et al. 2018. Cytokine release
syndrome. J. Immunother. Cancer, 6(1):56.
AU

Stephens, D.S., McElrath, J. 2020. Covid-19 and the path to immunity. JAMA,
324(13).
Sun, X., Wang, T., Cai, D., Hu, Z., Chen, J., Liao, H. 2020. Cytokine storm
intervention in the early stages of Covid-19 pneumonia. Cytokine Growth
Factor Rev, 53:38-42.
Tanaka, T., Narazaki, M., Kishimoto, T. 2016. Immunotherapeutic implications of
IL-6 blockade for cytokine storm. Immunotherapy, 8(8):959–970.
Tai, W., He, L., Zhang, X., Pu, J., Voronin, D., Jiang, S., et al. 2020. Characterization
of the receptor-binding domain (RBD) of 2019 novel coronavirus: implication
for development of RBD protein as a viral attachment inhibitor and vaccine.
Cell Mol Immunol, 17:621–30. doi: 10.1038/s41423-020-0400-4.
Tang, F., Quan, Y., Xin, Z.T., Wrammert, J., Ma, M.J., Lv, H., et al. 2011. Lack of
peripheral B cell memory responses in recovered patients with Severe Acute

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Sistem Imun 253


Respiratory Syndrome: A six years follow-up study. J Immunol, 186:7264–8.
doi: 10.4049/jimmunol.0903490.
Tay, M.Z., Poh, M.C., Rénia, L., MacAry, A.P., Ng, L.F.P. 2020. The trinity of
COVID19: immunity, inflammation and intervention. Nat Rev Immunol,
20:363–74. doi: 10.1038/s41577-020-0311-8.
Teijaro, J.R., Walsh, K.B., Rice, S., Rosen, H., Oldstone, M.B. 2014. Mapping the
innate signaling cascade essential for cytokine storm during influenza virus
infection, Proc. Natl. Acad. Sci. U. S. A. 111 (10) (2014) 3799–3804.
Tetro, J.A. 2020. Is Covid-19 receiving ADE from other coronaviruses? Microbes
Infect, 22:72–3. doi: 10.1016/j.micinf.2020.02.006.
Theel, E.S., Slev, P., Wheeler, S., Couturier, R.M., Wong, J.S., Kadkhoda, K. 2020.
The role of antibody testing for SARS-CoV-2: is there one?. J Clin Microbiol,
58(8):e00797-20. doi: 10.1128/JCM.00797-20.
Vabret, N., Britton, G.J., Gruber, C., Hegde, S., Kim, J., Kuksin, M., et al. 2020.

org/10.1016/j.immuni.2020.05.002.
21
Immunology of Covid-19: Current State of the Science. Immunity, 52. doi.

Vankadari, N., Wilce, J.A. 2020. Emerging Covid-19 coronavirus: glycan shield and
structure prediction of spike glycoprotein and its interaction with human
20
CD26. Emerg Microb Infect, 9:601–4. doi: 10.1080/22221751.2020.1739565.
Walls, A.C., Park, J.Y., Tortorici, A.M., Wall, A., McGuire, T.A., Veesler, D. 2020.
Structure, function, and antigenicity of the SARS-CoV-2 spike glycoprotein.
Cell, 181:281–92.e6. doi: 10.1016/j.cell.2020.02.058.
P

Wan, Y., Shang, J., Sun, S., Tai, W., Chen, J., Geng, Q., et al. 2020. Molecular
mechanism for antibody-dependent enhancement of coronavirus entry. J
AU

Virol, 94:19. doi: 10.1128/JVI.02015-19.


Wang, K., Chen, W., Zhou, S.Y., Lian, Q.J., Zhang, Z., Du, P., et al. 2020. SARSCoV-2
invades host cells via a novel route: CD147-spike protein. bioRxiv. doi:
10.1101/2020.03.14.988345.
Wang, S.F., Chen, H.K., Chen, M., Li, Y.W., Chen, J.Y., Tsao, H.C., et al. 2011.
Humanleukocyte antigen class I Cw 1502 and class II DR 0301 genotypes
are associated with resistance to severe acute respiratory syndrome (SARS)
infection. Viral Immunol, 24:421–6. doi: 10.1089/vim.2011.0024.
Wang, X., Xu, W., Hu, G., Xia, S., Sun, Z., Liu, Z., et al. 2020. SARS-CoV-2 infects T
lymphocytes through its spike protein-mediated membrane fusion. Cell Mol
Immunol, doi: 10.1038/s41423-020-0424-9.
Wu, C., Chen, X., Cai, Y., Xia, J., Zhou, X., Xu, S., et al. 2020. Risk factors associated
with acute respiratory distress syndrome and death in patients with

254 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


coronavirus disease 2019 pneumonia in Wuhan, China. JAMA Intern Med.
180(7):934-943. doi: 10.1001/jamainternmed.2020.0994.
Wu, J.T., Leung, K., Leung, G.M. 2020. Nowcasting and forecasting the potential
domestic and international spread of the 2019-nCoV outbreak originating
in Wuhan, China: a modelling study. Lancet, 395(10225):689-697. Available
from: http://refhub.elsevier.com/S1359-6101(20)30048-4/sbref0005.
Xu, Z., Shi, L., Wang, Y., et al. 2020. Pathological findings of Covid-19 associated
with acute respiratory distress syndrome, Lancet Respir. Med, 8(4):420-422.
Yang, J., Zheng, Y., Gou, X., Pu, K., Chen, Z., Guo, Q. et al. 2020. Prevalence of
comorbidities in the novel Wuhan coronavirus (Covid-19) infection: a
systematic review and meta-analysis. Int. J Infect. Dis, 94:91–5. doi:10.1016/j.
ijid.2020.03.017.
Yang, Z.Y., Huang, Y., Ganesh, L., Leung, K., Kong, P.W., Schwartz, O. et al. 2004.
pH-dependent entry of severe acute respiratory syndrome coronavirus is

21
mediated by the spike glycoprotein and enhanced by dendritic cell transfer
through DC-SIGN. J Virol, 78:5642–50. doi: 10.1128/JVI.78.11.5642-5650.2004.
Yip, M.S., Leung, H.N., Cheung, Y.C., Li, H.P., Lee, H.H., Daeron, M., et al. 2014.
Antibodydependent infection of human macrophages by severe acute
20
respiratory syndrome coronavirus. Virol J, 11:82. doi: 10.1186/1743-422X-11-
82.
Zhao, J., Alshukairi, N.A., Baharoon, A.S., Ahmed, A.W., Bokhari, A.A., Nehdi,
M.A., et al. 2017. Recovery from the Middle East respiratory syndrome is
P

associated with antibody and T-cell responses. Sci Immunol, 2:aan5393. doi:
10.1126/sciimmunol.aan5393.
AU

Zheng, M., Gao, Y., Wang, G., Song, G., Liu, S., Sun, D., et al. 2020. Functional
exhaustion of antiviral lymphocytes in Covid-19 patients. Cell Mol Immunol,
17:533–5. doi: 10.1038/s41423-020-0402-2.
Zhou, Y., Zhang, Z., Tian, J., Xiong, S. 2020. Risk factors associated with disease
progression in a cohort of patients infected with the 2019 novel coronavirus.
Ann Palliat Med, 9:428–36. doi: 10.21037/apm.2020.03.26.
Zhou, Y., Fu, B., Zheng, X., Wang, D., Zhao, C., Qi, Y., et al. 2020. Pathogenic T cells
and inflammatory monocytes incite inflammatory storm in severe Covid-19
patients. Natl Sci Rev, nwaa041. doi: 10.1093/nsr/nwaa041.
Zou, X., Chen, K., Zou, J., Han, P., Hao, J., Han, Z. 2020. Single-cell RNA-seq
data analysis on the receptor ACE2 expression reveals the potential risk
of different human organs vulnerable to 2019-nCoV infection. Front Med,
14:185–92. doi: 10.1007/s11684-020-0754-0.

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Sistem Imun 255


AU
P
20
21
PELAYANAN DI BIDANG
ORTHOPAEDI DAN
TRAUMATOLOGI SELAMA
PANDEMI COVID-19
Mouli Edward, Tri Wahyu Martanto

PENGANTAR

21
Pada akhir tahun 2019, tepatnya pada bulan Desember, ditemukan kasus
pneumonia tidak umum yang pertama kali didapatkan di kota Wuhan,
20
Provinsi Hubei. Setelah 7 hari, kasus tersebut dapat diidentifikasi dengan
Coronavirus jenis baru (Novel Coronavirus). Coronavirus merupakan
keluarga besar virus yang menimbulkan gejala ringan hingga berat.
Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) adalah penyakit jenis baru yang belum
P

pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Virus penyebab Covid-19


ini dinamakan Sars-CoV-2.(Guan et al., 2020) Berdasarkan beratnya kasus,
AU

Covid-19 dibedakan menjadi tanpa gejala, gejala ringan, sedang, berat,


dan kritis. Tanpa gejala merupakan kondisi paling ringan dengan tidak
ditemukan gejala. pada kondisi ringan didapatkan gejala tidak spesifik
seperti demam, batuk, fatigue, anoreksia, napas pendek, dan mialgia,
namun tanpa ada bukti pneumonia ataupun hipoksia. pada kondisi sedang
terdapat tanda klinis pneumonia (demam, batuk, sesak, napas) tetapi tidak
ada tanda pneumonia berat dan saturasi oksigen di atas 93% dengan
udara ruangan. Kondisi berat, pasien dengan tanda klinis pneumonia
(demam, batuk, sesak, napas cepat) ditambah dengan frekuensi napas
lebih dari 30×/menit, distress pernapasan berat atau saturasi oksigen di
bawah 93%(Burhan et al., 2020) pada kondisi kritis, pasien dengan Acute
Respiratory Syndrome (ARDS), sepsis dan syok sepsis. Gejala di bidang

257
Orthopaedi dan Traumatologi, sampai saat ini kami belum menemukan
gejala spesifik di bidang muskuloskeletal sistem, kecuali adanya nyeri
otot dan kaku sendi yang menyertai flulike syndrome. Kondisi pandemik
ini menjadikan bidang ortopaedi harus selektif terhadap pasien yang
akan dioperasi dan tindakan yang akan dilakukan sehingga aman untuk
tenaga medis dan pasien itu sendiri. Kasus Covid-19 di Indonesia mulai
dilaporkan dari tanggal 2 Maret 2020 dengan terlapornya 2 kasus yang
ditemukan di Ibu Kota Jakarta dan semenjak saat itu kasus Covid-19
semakin menyebar di seluruh Indonesia termasuk di Surabaya. Secara
global, per 15 Desember 2020, terdapat 71.581.532 kasus Covid-19 yang
terkonfirmasi dan 1.618.374 kematian yang dilaporkan ke WHO (WHO,
2020). Indonesia sendiri sejak tanggal 15 Desember 2020 terdapat 629.429
kasus terkonfirmasi. Sedangkan di Surabaya terdapat 17.472 kasus yang

21
dikonfirmasi (0,56% penduduk Surabaya) (Kemenkes, 2020; Satgas Covid19
Jatim, 2020). Penanganan Covid-19 harus dilakukan dengan diawali dari
langkah preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Perihal penanganan preventif,
20
pemerintah Indonesia telah menerapkan langkah 3M, yaitu menggunakan
masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Namun hingga saat ini, angka
kejadian Covid-19 masih terus meningkat sehingga menyebabkan beban
kerja tenaga kesehatan di penanganan kuratif semakin bertambah. Tenaga
P

medis sebagai garda terdepan dalam penanganan Covid-19 sangat rentan


untuk tertular. Fakta menunjukan, per tanggal 6 Desember 2020 tercatat
AU

192 dokter meninggal dunia karena Covid-19. Perlu adanya perhatian


khusus terhadap perlindungan tenaga medis, khususnya dokter.

GAMBARAN PELAYANAN ORTHOPAEDI DAN


TRAUMATOLOGI SELAMA PANDEMI COVID-19
RSUD Dr. Soetomo selain sebagai tempat pendidikan bagi calon dokter
umum dan calon dokter spesialis, juga sebagai pusat rujukan pasien
Covid-19 di Surabaya. Tata laksana kasus Covid-19 di RSUD Dr. Soetomo
sudah dilakukan dari Instalasi Gawat Darurat (IGD) dengan memilah
setiap pasien dan memisahkan pasien yang dicurigai Covid-19 dan tidak.

258 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Gambar 13.1 Daftar sebaran berdasarkan jenis kelamin pasien orthopaedi dengan
Covid-19 di RSUD Dr. Soetomo, Surabaya, Jawa Timur

21
Ruang Infeksi Khusus (RIK) RSUD Dr. Soetomo saat ini terdapat 5 ruangan
dengan RIK 1 dan 2 merupakan Intensif Care Room. Tenaga Kesehatan yang
20
ikut berperan dalam penanganan Covid-19 di RSUD Dr. Soetomo salah
satunya merupakan Peserta Pendidikan Program Dokter Spesialis (PPDS)
termasuk Peserta PPDS Orthopaedi dan Traumatologi yang dalam hal ini
menangani pasien Covid-19 dengan kasus Orthopaedi.
P

Sejauh ini terdapat 52 Peserta PPDS Orthopaedi RSUD Dr. Soetomo


yang aktif dalam menangani pasien Covid-19. Ruang lingkup kerja Peserta
AU

PPDS Orthopaedi dimulai dari IGD, Poli, Rawat Inap dan Kamar Operasi.
Hingga hari ini, pasien dengan kasus Orthopaedi dengan Covid-19 yang
dirawat di RSUD Dr. Soetomo terdapat 85 kasus. Pasien-pasien tersebut
tersebar dari RIK 1 hingga RIK 5. Berikut data sebaran pasien yang dirawat
dirawat inap oleh peserta PPDS Orthopaedi dengan Covid-19 di RSUD
Dr. Soetomo berdasarkan usia, jenis kelamin, berdasarkan beratnya kasus
dan jumlah kematian.
Terdapat total sebanyak 85 pasien dengan kasus Orthopaedi yang
pernah dirawat di RSUD Dr. Soetomo hingga 6 Desember 2020. Sebaran
jenis kelamin kasus yang ditangani antara lain sebanyak 51 Pria dan 34
Wanita (Gambar 13.1).

Pelayanan di Bidang Orthopaedi dan Traumatologi Selama Pandemi Covid-19 259


Gambar 13.2 Daftar sebaran berdasarkan usia pasien orthopaedi dengan Covid-19
di RSUD Dr. Soetomo, Surabaya, Jawa Timur

21
Sebaran usia pada pasien Orthopaedi dengan Covid-19 di RSUD
Dr. Soetomo (Gambar 13.2) ditemukan terbanyak pada usia 51–60 tahun
yaitu sebanyak 26 orang, dan termuda terdapat pada usia 0–10 tahun.
20
pada usia 11–20 tahun terdapat 18 pasien, pada usia 21–30 tahun terdapat
8 pasien, pada sebaran usia 31–40 tahun terdapat 10 pasien, pada sebaran
usia 41–50 tahun terdapat 14 pasien dan pada usia lebih dari 70 tahun
terdapat 2 pasien.
Penderita Covid-19 yang ditangani di RSUD Dr. Soetomo akan
P

dirawat di ruang RIK dengan pasien yang memiliki derajat keparahan


AU

berat akan dirawat di RIK 1 atau 2. Sebaran derajat keparahan pasien


Covid-19 yang terbanyak merupakan tanpa gejala yaitu sebanyak 30 pasien
dan yang paling sedikit dengan derajat keparahan berat yaitu 17 pasien
(Tabel 13.1).

Tabel 13.1 Daftar sebaran berdasarkan derajat keparahan pasien orthopaedi


Covid-19 di RSUD Dr. Soetomo, Surabaya, Jawa Timur

Derajat Keparahan Jumlah Pasien


Tanpa Gejala 30
Ringan 25
Sedang 17
Berat 13

260 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Tabel 13.2 Sebaran pasien orthopaedi dengan Covid-19 yang meninggal di
RSUD Dr. Soetomo, Surabaya, Jawa Timur

Jenis Kelamin Usia Komorbid


Laki-laki 60 Diabetus Millitus Tipe 2
Perempuan 50 Ca Paru dan Hipertensi
Laki-laki 59 Chronic Kidney Disease
Laki-laki 14 Tidak ada
Perempuan 51 Tidak ada

Tabel 13.3 Sebaran pasien orthopaedi dengan Covid-19 yang terkonversi


dari negatif menjadi terkonfirmasi Covid-19 ketika berada dirawat inap RSUD
Dr. Soetomo, Surabaya, Jawa Timur

Pasien
Jumlah Hari
Terkonversi
1

5
2

3
3

19
4

4
21
5

12
6

8
7

5
8

17
9

3
10

1
11

6
12

6
20
Selama pandemi Covid-19, pasien yang dirawat oleh Orthopaedi
dengan kasus Covid-19 di RSUD Soetomo telah didapatkan 5 pasien
meninggal dunia dengan sebaran 3 laki-laki, 2 perempuan, usia tertua
adalah 60 tahun dan usia termuda adalah 14 tahun. pada pasien-pasien
P

tersebut juga memiliki komorbid yang beragam dan ada juga yang tidak
memiliki komorbid.
AU

Selain pasien dengan kasus Orthopaedi dengan Covid-19 yang


didapat sebelum dirawat di RSUD Dr. Soeotmo, terdapat juga pasien
yang terkonfirmasi Covid-19 setelah beberapa hari dirawat di RSUD
Dr. Soetomo (Tabel 13.3). Selama ini terdapat 12 pasien yang didapatkan
terkonversi dari tidak terkonfirmasi Covid-19 menjadi terkonfirmasi Covid-
19 ketika dilakukan perawatan di RSUD Dr. Soeotmo. Jarak hari dari tidak
terkonfirmasi menjadi terkonfirmas bervariasi, mulai dari 1 hari hingga
19 hari perawatan baru terkonfirmasi Covid-19.
Sebagai Peserta PPDS Orthopaedi selain di IGD, Poli, dan rawat
inap, ruang lingkup kerja juga berada di Kamar Operasi. Kamar operasi
di RSUD Dr. Soetomo teradapat 3 kamar operasi, yaitu di Kamar Operasi
Minor IGD, Kamar Operasi Mayor IGD, dan Kamar Operasi Gedung

Pelayanan di Bidang Orthopaedi dan Traumatologi Selama Pandemi Covid-19 261


Gambar 13.3 Sebaran pasien orthopaedi dengan Covid-19 yang dilakukan tindakan
di kamar operasi di RSUD Dr. Soetomo, Surabaya, Jawa Timur

21
Bedah Pusat Terpadu (GBPT) (Gambar 13.3). pada Kamar Operasi Minor
IGD telah dilakukan tindakan sebanyak 13 pasien Orthopaedi dengan
Covid-19. pada Kamar Operasi Mayor IGD terdapat 20 tindakan pasien
20
Orthopaedi dengan Covid-19. Sedangkan pada Kamar Operasi GBPT
terdapat 18 pasien Covid-19 yang telah dinyatakan sembuh terlebih dahulu
kemudian dilakukan tindakan.
Tingkat risiko tertular Covid-19 sangat tinggi. Paparan Peserta PPDS
P

terhadap Covid-19 sebagai Tenaga Kesehatan yang menangani pasien-


pasien di RSUD Dr. Soetomo sangatlah besar. Selain paparan langsung
AU

terhadap pasien Covid-19 yang dirawat juga ada kemungkinan terpapar


dari keluarga pasien yang bisa saja membawa virus Covid-19 dengan
tanpa gejala.
Sebagai salah satu antisipasi untuk menjaga Peserta PPDS terhadap
Covid-19, setiap Peserta PPDS yang berisiko tertular Covid-19 akan
dilakukan pemeriksaan rapid atau swab tergantung dari besarnya risiko

Tabel 13.4 Jumlah pemeriksaan rapid dan swab PCR terhadap PPDS orthopaedi
RSUD Dr. Soetomo yang berisiko

Pemeriksaan Jumlah Tindakan


Rapid Test 220
Swab PCR 205

262 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


tertular Covid-19. Selama pandemi telah dilakukan sebanyak 220 rapid
test dan 205 swab test terhadap PPDS Orthopaedi yang berisiko tertular
Covid-19. Total ada 5 orang PPDS Orthopaedi yang terjangkit Covid-19
dan ada 1 orang di antaranya yang mengalami reinfeksi 3 bulan setelah
dinyatakan sembuh dari infeksi pertama. Empat orang di antaranya
mengalami gejala ringan–sedang. Jumlah staf konsulen Orthopaedi yang
terjangkit Covid-19 ada 3 orang di mana 2 orang mengalami gejala ringan–
sedang dan 1 staff Orthopaedi meninggal dunia setelah dirawat selama
sebulan di RSUD Dr. Soetomo.

RINGKASAN
Setiap individu memiliki risiko tertular Covid-19 baik pasien maupun

21
peserta PPDS yang merawat. Berdasarkan hasil data di atas, terdapat
pasien yang tidak memiliki gejala namun positif Covid-19 yang
menyebabkan Peserta PPDS harus tetap waspada terhadap seluruh pasien
20
yang ditanganinya. Selain itu, berdasarkan data di atas, terdapat pasien
rawat inap yang awalnya negatif Covid-19 menjadi positif (Aiyer et al.,
2020; Malhotra, Gautam and George, 2020). Hal tersebut memiliki banyak
faktor, salah satunya virus Covid-19 terbawa dari keluarga pasien yang
P

tanpa gejala (Chang et al., 2020). Penegakaan regulasi terhadap penunggu


pasien termasuk keluarga pasien misalnya supaya tidak bergantian
AU

dengan penunggu dari luar dengan memfasilitasi/ memudahkan fasilitas


kebutuhan dasar di rumah sakit (makanan, masker, peralatan mandi, dan
sebagainya) bagi penunggu supaya tidak perlu sering-sering keluar masuk
rumah sakit mencari kebutuhan. Selain itu disiplin ketat dan aturan yang
ketat juga dibutuhkan untuk membuat hal ini terjaga.
Penjabaran situasi dan kondisi pandemi Covid-19 di atas menunjukkan
bahwa penyakit ini juga berisiko di seluruh segmen tenaga kesehatan
tidak terkecuali ruang lingkup Orthopaedi dan Traumatologi yang
bekerja dibidang sistem musculoskeletal baik penanganan medis maupun
pembedahan. Hal ini membuat kita perlu meningkatkan kewaspadaan
tersendiri, khususnya para tenaga medis karena termasuk berisiko tinggi
tertular Covid-19. Kondisi pandemik ini juga harus membuat kita semua

Pelayanan di Bidang Orthopaedi dan Traumatologi Selama Pandemi Covid-19 263


dan kususnya bidang orthopaedi harus selektif terhadap pasien dan
pilihan tindakan yang harus dilakukan demi keamanan tenaga medis
dan pasien itu sendiri tanpa meninggalkan nilai luhur dunia kedokteran
untuk membantu masyarakat Indonesia yang membutuhkan pelayanan
kesehatan. Semoga kita semua selalu diberi kesehatan dan pandemi ini
dapat tertangani dengan baik sehingga dapat segera berakhir.

DAFTAR PUSTAKA
Aiyer, A.A., et al. 2020. The impact of Covid-19 on the orthopaedic surgery
residency application process. Journal of the American Academy of Orthopaedic
Surgeons, 28(15):E633–E641. doi: 10.5435/JAAOS-D-20-00557.
Burhan, E., Susanto, A.D., Nasution, S.A. et al. 2020. Pedoman Tatalaksana Covid-

21
19, edisi 3. Jakarta:PDPI, PERKI, PAPDI, PERDATIN, IDAI. 2020. 3-7 p.3
Chang, D.G. et al. 2020. The impact of Covid-19 pandemic on orthopaedic
resident education: a nationwide survey study in South Korea. International
Orthopaedics, 44(11):2203–2210. doi: 10.1007/s00264-020-04714-7.
20
Guan, W., et al. 2020. Clinical characteristics of coronavirus disease 2019 in China.
New England journal of medicine, 382(18):1708–1720.
Kemenkes. 2020. Peta Sebaran Covid-19, Satgas Covid.
Malhotra, R., Gautam, D. and George, J. 2020. Orthopaedic resident management
during the Covid-19 pandemic – AIIMS model. Journal of Clinical Orthopaedics
P

and Trauma, 11(xxxx):S307–S308. doi: 10.1016/j.jcot.2020.05.001.


Satgas Covid19 Jatim. 2020. Dashboard Covid-19 Jawa Timur, Info Covid 19 Jatim.
AU

WHO. 2020. WHO Coronavirus Disease (Covid-19) Dashboard, WHO.

264 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


MINI-REVIEW: MANIFESTASI
KLINIS PADA NEONATUS SELAMA
PANDEMI COVID-19
Risa Etika, Hodimatum Mahiroh

PENGANTAR

21
Penyakit Covid-19 pertama kali muncul di Wuhan, Tiongkok pada bulan
Desember 2019. Sekitar 14% orang yang terinfeksi Covid-19 menderita
20
penyakit parah sehingga membutuhkan perawatan rumah sakit,
dukungan oksigen, dan 5% di antaranya masuk ke unit perawatan intensif
(CDC Weekly, 2020). Covid-19 dinyatakan sebagai pandemi global oleh
WHO (World Health Organization) sejak 11 Maret 2020 dengan sejumlah
P

219 negara terjangkit dan 178 di antaranya merupakan negara dengan


transmisi lokal. Menurut informasi di situs Kementerian Kesehatan pada
AU

tanggal 23 November 2020, kasus kematian karena Covid-19 di Indonesia


sebesar 15.884 dengan Case Fatality Rate 3,2%. Anak perempuan berusia
< 5 tahun yang terjangkit Covid-19 sebesar 5.002, sedangkan anak laki-laki
berusia < 5 tahun yang terjangkit Covid-19 sebesar 4.671 (Kemenkes, 2020).
pada masa onset penyakit, anak-anak yang terinfeksi menunjukkan gejala
demam, kelelahan, dan batuk, yang disertai dengan hidung tersumbat,
pilek, harapan, diare, sakit kepala, dan lain sebagainya. Mayoritas anak-
anak mengalami demam sedang, bahkan tidak demam sama sekali.
Dyspnea, Cyanosis, dan gejala lainnya bisa terjadi karena biasanya kondisi
berkembang setelah satu minggu penyakit, disertai dengan gejala sistemik
beracun seperti malaise atau gelisah, nafsu makan rendah, dan aktivitas
rendah (Chen, et al., 2020).

265
Covid-19 sangat berisiko pada wanita hamil daripada populasi
wanita yang tidak hamil dikarenakan meningkatnya konsumsi oksigen
dan penurunan kapasitas residu fungsional selama kehamilan. Kondisi
kehamilan dapat menekan imunitas dan system kekebalan akan terganggu
sehingga wanita hamil rentan terinfeksi (Fan, Cuifang; Lei, Di; Fang,
2020). pada wanita hamil yang telah melakukan kontak dengan pasien
terinfeksi Covid-19 dan terkonfirmasi, maka harus diuji dengan tes
amplifikasi asam nukleat SARS-CoV-2, walaupun tidak terdapat gejala.
Wanita hamil dengan infeksi SARS-CoV-2 yang telah dikonfirmasi pada
pemeriksaan laboratorium, harus dipantau gejala klinis yang mungkin
terjadi saat di rumah setidaknya 14 hari walaupun tidak menunjukkan
gejala. Pasien seperti ini meskipun mereka pulih dari penyakit ringan
tetap harus dipantau dengan ultrasound terkait pertumbuhan janin

21
setiap dua bulan sekali. Penilaian Doppler juga perlu dilakukan karena
risiko potensial dalam pembatasan pertumbuhan intrauterin. Wanita
hamil dengan Covid-19 pneumonia harus dirawat oleh tim multidisiplin
20
di pusat perawatan tersier. Ketika penilaian kegagalan organ terkait
sepsis terpenuhi, pasien harus dipindahkan ke unit perawatan intensif
(Favre, et al., 2020). Selama masa pandemi, diharapkan ibu dan bayi tetap
mendapatkan pelayanan esensial, dapat mengenali faktor risiko sejak
P

dini, ibu dan bayi mendapatkan akses pertolongan kegawatdaruratan,


serta tenaga kesehatan dapat terhindar dari penularan Covid-19 (Favre,
AU

et al., 2020).

GAMBARAN KLINIS NEONATUS YANG LAHIR DARI IBU


TERINFEKSI COVID-19
Di antara laporan neonatus yang memiliki tes positif Covid-19, beberapa
di antaranya asimtomatik, adapula yang mengalami gejala penyakit (Li
et al., 2020). Bayi yang positif Covid-19 disertai gejala menunjukkan masa
onset penyakit yang bervariasi, mulai dari dalam 1 atau 2 jam setelah
kelahiran, 24 hingga 72 jam pertama kehidupan, dan adapula hingga
beberapa hari atau minggu setelah kelahiran (Zaigham and Andersson,
2020). Beberapa dari kasus tersebut dianggap mencurigakan bahwa kasus

266 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


tersebut merupakan transmisi vertikal dari ibu ke bayi, tetapi mekanisme
dan waktu untuk neonatus terinfeksi masih belum diketahui (Zaigham
dan Andersson, 2020).
Gambaran klinis neonatus yang lahir dari ibu positif Covid-19
bervariasi, di antaranya demam, gejala saluran pernapasan bagian atas,
dan gejala gastrointestinal. Sedangkan kelahiran prematur juga bisa terjadi
pada ibu dengan Covid-19 disebabkan oleh hipoksemia yang diinduksi
Covid-19 atau dikarenakan oleh faktor-faktor lainnya seperti preeklamsia
dan ketuban pecah dini (Li, et al., 2020)(Zhu. et al., 2020). Kematian neonatal
hanya terjadi pada satu kasus yang lahir dari ibu terinfeksi Covid-19.
Anak tersebut mengalami trombositopenia, gangguan koagulasi dan
peningkatan kadar transaminase, serta mengalami kegagalan beberapa
organ, anak tersebut tidak mendapatkan pengobatan yang adekuat dan

21
akhirnya meninggal pada usia 9 hari. Penyebab kematiannya tidak jelas,
hal tersebut dimungkinkan terkait dengan imunitas neonatal yang buruk
atau buruknya keadaan klinis ibu. Meskipun penularan secara vertikal
20
masih kontroversial, hal ini tidak boleh dikesampingkan sepenuhnya
karena skrining negatif dalam darah tali pusat dan plasenta dapat
dikaitkan dengan viral load yang rendah pada saat persalinan hal ini tidak
dapat dideteksi oleh (Polymerase Chain Reaction) PCR. Sehingga dibutuhkan
P

studi lebih lanjut (Wang, et al., 2020).


Penelitian yang dilakukan oleh Zeng, et. al., 2020 menunjukkan
AU

bahwa terdapat karakteristik simtomatis pada neonatus yang lahir dari


ibu dengan positif Covid-19 setelah uji RT-PCR pada masa onset pertama
penyakit. Dua neonatus pada usia 40⁴/⁷(term) minggu dan satu neonatus
pada usia 31²/⁷ (preterm) minggu. Hasil x-ray dada menunjukkan bahwa
tiga neonatus menunjukkan tanda-tanda pneumonia. Neonatus preterm
menunjukkan respiratory distress syndrome dan pneumonia dengan
tanda-tanda sepsis and koagulopati. Neonatus tersebut diberikan ventilasi
mekanis non infasif dan terapi antibiotic. Gejala klinis lainnya adalah
demam, tachypnea, intoleransi makanan dan cyanosis. Sedangkan
hasil analisis laboratorium mengungkapkan bahwa terjadi leukositosis,
limfopenia, trombositopenia, dan peninggian creatinine kinase-MB fraksi.
Hasil RT-PCR dari Covid-19 dari nasofaring dan swab menunjukkan hasil

Mini-Review: Manifestasi Klinis pada Neonatus Selama Pandemi Covid-19 267


positif pada hari kedua dan keempat pada ketiga neonatus tersebut dan
menunjukkan hasil negatif pada hari keenam. Tidak ada bukti bahwa
imunoglobulin, antivirus, dan steroid dapat meningkatkan keparahan
Covid-19 (Li, et al., 2020).
Sedangkan pada masa onset akhir penyakit walaupun tidak ada
laporan kasus, respiratory distress telah terjadi pada beberapa bayi 1
hingga 3 minggu setelah lahir dan/atau dipulangkan. Kasus-kasus ini
kemungkinan mewakili penyakit yang diperoleh secara postnatal dan
umumnya ringan. Setelah bayi dipulangkan, setidaknya ada 15% atau
lebih peluang penularan horisontal yang lebih tinggi dari kontak di rumah
tanpa adanya hambatan transmisi (Bi et al., 2020).

21
RISIKO TRANSMISI COVID-19 SELAMA MENYUSUI
Hingga saat ini transmisi Covid-19 pada neonatus bisa terjadi pada
periode postnatal melalui droplet dari ibu, keluarga, pengasuh, tenaga
20
kesehatan atau pasien lain yang terinfeksi Covid-19 (National Center for
Immunization and Respiratory Diseases (NCIRD), 2020) (Cheema, et al.,
2020). Berbagai komponen imun terkandung dalam ASI seperti secretory
immunoglobulin A (sIgA), laktoferin, interferon-y, lisozim, dan lainnya
P

(WHO, 2020; Anatolitou, 2012). sIgA sebagai respons imun terhadap Covid-
19 ditemukan pada 12 dari 15 sampel ASI ibu yang terinfeksi Covid-19,
AU

namun efek proteksi antibody IgA tersebut terhadap Covid-19 pada bayi
masih belum diteliti lebih lanjut (WHO, 2020; Fox, Alisa; Marino, Jessica;
Amanat Fatima, 2020).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Zeng et al., 2020 menunjukkan
bahwa terdapat kemungkinan penularan terjadi secara vertikal. pada
penelitian tersebut dilakukan skrini pada semua neonatus (n = 33) yang
lahir dari ibu positif Covid-19, 3 neonatus (9%) di antaranya menunjukkan
bahwa hasil swab test nasofaring dan tenggorokan dinyatakan positif
Covid- 19, sehingga menunjukkan bahwa kemungkinan penularan vertikal
dapat terjadi. Namun, keterbatasan penelitian ini adalah ukuran sampel
yang belum mencukupi (Zeng, et al., 2020).

268 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


TATA LAKSANA COVID-19 PADA NEONATUS
Wanita hamil yang terkonfirmasi Covid-19 terus mengalami peningkatan di
seluruh dunia. Mayoritas neonatus yang dilahirkan dari ibu terkonfirmasi
Covid-19 dinyatakan tidak terjangkit Covid-19 tetapi beberapa neonatus
menunjukkan hasil yang positif (Schwartz et al., 2020). Menurut WHO
sampai saat ini belum ada bukti atau laporan tentang transmisi vertical
Covid-19 dari ibu ke janin maupun adanya vidur SARS-CoV-2 pada ASI
ibu. Bayi sehat yang lahir dari ibu terkonfirmasi Covid-19 merupakan
kriteria kontak erat risiko tinggi (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2020),
sehingga perlu dilakukan hal sebagai berikut:
1. Swab pada bayi dilakukan di hari ke-1 dan ke-14 untuk pemeriksaan
SARS-CoV-2,

oleh dokter,
21
2. Bayi dirawat terpisah dari ibu, sampai ibu dinyatakan sembuh

3. ASI diberikan kepada bayi dalam bentuk ASI perah,


4. Pompa ASI hanya digunakan oleh ibu tersebut dan dibersihkan
20
setelah digunakan,
5. Kebersihan peralatan untuk memberikan ASI perah harus
diperhatikan,
6. Memberikan dukungan kesehatan mental dan psikososial kepada
P

ibu dan keluarga,


AU

7. Bayi dimonitor dengan ketat dan di follow up hingga pulang,


8. Jika bayi menunjukkan gejala, bayi dirawat sebagai PDP (Pasien
Dalam Pengawasan) di ruang isolasi tekanan negatif. Jika tidak
memungkinkan, bayi dirawat di ruang isolasi.

RINGKASAN
Covid-19 merupakan penyakit yang bisa menyerang berbagai kelompok
usia begitu pula neonatus juga menjadi kelompok rentan terinfeksi virus
SARS-CoV-2. Beberapa studi menunjukkan bahwa gejala klinis Covid-19
pada neonatus bervariasi, bisa asimtomatik maupun simtomatik. Oleh
karena itu, perlu tata laksana yang memadai untuk neonatus yang

Mini-Review: Manifestasi Klinis pada Neonatus Selama Pandemi Covid-19 269


terinfeksi Covid-19. Selain itu, penularan secara vertikal dari ibu ke bayi
masih belum terbukti secara ilmiah sehingga perlu studi lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA
Anatolitou, F. 2012. Human milk benefits and breastfeeding. Journal of Pediatric
and Neonatal Individualized Medicine, 1(1):11–18. doi: 10.7363/010113.
Anderson, P. 2020. Evaluation and Management Considerations for Neonates At
Risk for Covid-19. National Center for Immunization and Respiratory Diseases
(NCIRD).
Bi, Q., Wu, Y., Mei, S., et. al. 2020. Epidemiology and Transmission of Covid-19
in Shenzhen China: Analysis of 391 cases and 1,286 of their close contacts.
medRxiv. 20(9):911-919. doi: https://doi.org/10.1101/2020.03.03.20028423.
CDC Weekly, C. 2020. The epidemiological characteristics of an outbreak of 2019

doi: 10.46234/ccdcw2020.032.
21
Novel Coronavirus Diseases (Covid-19) — China, 2020. China CDC Weekly.

Cheema, R., et al. 2020. Protecting Breastfeeding during the Covid-19 Pandemic.
20
American Journal of Perinatology. doi: 10.1055/s-0040-1714277.
Chen, Z.M., et al. 2020. Diagnosis and treatment recommendations for pediatric
respiratory infection caused by the 2019 novel coronavirus. World Journal of
Pediatrics.16:240-246. doi: 10.1007/s12519-020-00345-5.
Fan, C., Lei, D., Fang, C., et al. 2020. Perinatal transmission of 2019 Coronavirus
P

Disease–Associated severe acute respiratory syndrome Coronavirus 2:


should we worry?. Clinical Infectious Diseases. doi: https://doi.org/10.1093/cid/
AU

ciaa226.
Favre, G., et al. 2020. Guidelines for pregnant women with suspected SARS-CoV-2
infection. The Lancet Infectious Diseases. doi: 10.1016/S1473-3099(20)30157-2.
Fox, A., Marino, J., Amanat F., Krammer, F., Holbrook, J.H., Pazner, S.Z., Powell,
R.L. 2020. Evidence of a significant secretory-IgA-dominant SARS-CoV-2
immune response in human milk following recovery from Covid-19. medRxiv.
doi: https://doi.org/10.1101/2020.05.04.20089995.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2020. Panduan Klinis Tata Laksana Covid-19 pada
Anak. Edisi 2. IDAI.
Kemenkes. 2020. Situasi Terkini Perkembangan Coronavirus Disease (Covid-19) 23
November 2020.

270 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Li, Y. et al. 2020. Lack of vertical transmission of severe acute respiratory
syndrome Coronavirus 2, China. Emerging Infectious Diseases. doi: 10.3201/
eid2606.200287.
Schwartz, D.A. et al. 2020. Confirming vertical fetal infection with Covid-
19: neonatal and pathology criteria for early onset and transplacental
transmission of SARS-CoV-2 from infected pregnant mothers. Archives of
Pathology & Laboratory Medicine, 144(12): 1451-1456. doi: 10.5858/arpa.2020-
0442-sa.
Wang, S., et al. 2020. A case report of neonatal Covid-19 infection in China. Clin
Infect Dis, 71(15):853-857. doi: 10.1093/cid/ciaa225.
World Health Organization. 2020. Breastfeeding. Available from: https://www.
who.int/health-topics/breastfeeding
Zaigham, M. & Andersson, O. 2020. Maternal and perinatal outcomes with Covid-
19: A systematic review of 108 pregnancies. Acta Obstetricia et Gynecologica

21
Scandinavica,99(7): 832-829. doi: 10.1111/aogs.13867.
Zeng, L., Xia, S., Yuan, W. et al. 2020. Neonatal Early-Onset Infection With SARS-
CoV-2 in 33 Neonates Born to Mothers With Covid-19 in Wuhan, China.
JAMA Pediatrics, 174(7):722-725.
20
Zhu, H. et al. 2020 Clinical analysis of 10 neonates born to mothers with 2019-nCoV
pneumonia, Translational Pediatrics.9(1):51-60.
P
AU

Mini-Review: Manifestasi Klinis pada Neonatus Selama Pandemi Covid-19 271


AU
P
20
21
MANIFESTASI KLINIS COVID-19
PADA TUMBUH KEMBANG ANAK

Irwanto, Dian Dwi Sary, Muhammad Shofi Rafsyanjani, Archie Arman Dwiyatna

PENGANTAR

21
Pandemi Covid-19 telah menghasilkan morbiditas tinggi dan angka
kematian dalam populasi global, serta risiko pertumbuhan dan
20
perkembangan anak. Peningkatan stres orang tua, pengurangan kegiatan
ruang kelas, isolasi sosial, gizi, paparan stres, dan kurangnya aktivitas
fisik akan memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Kasus
Covid-19 pada anak secara global berkisar antara 1–7% dari total kasus.
P

Sedangkan di Indonesia mencapai 8,3% kasus. Sebagian besar tanpa


gejala atau gejala ringan (15–60%) dan kurang dari 2% kasus anak yang
AU

memerlukan perawatan intensif, tetapi anak sangat rentan terhadap infeksi


Covid-19 walaupun gejalanya lebih ringan dibandingkan dengan orang
dewasa. Angka kematian pada kelompok usia anak juga lebih rendah
dibandingkan kelompok usia lain. Tanda dan gejala Covid-19 pada anak
sulit dibedakan dari infeksi saluran pernapasan lainnya. Banyak kasus
yang ditemukan terjadi karena penularan transmisi keluarga (Rajmil, 2020).
Protokol kesehatan sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan wabah
Covid-19 di Indonesia telah dilakukan, tetapi protokol kesehatan untuk
anak-anak harus tetap memenuhi kebutuhan dasar untuk pertumbuhan
dan perkembangan yang optimal walaupun di masa pandemi, supaya
kualitas generasi masa depan Indonesia dapat terus berkembang dan tetap
terjaga. Upaya peningkatan kesehatan dasar berupa asuhan yang esensial,

273
imunisasi, pemenuhan nutrisi lengkap seimbang, stimulasi, deteksi dan
intervensi dini tumbuh kembang harus tetap dijalankan sesuai dengan
waktunya tanpa lagi menunda karena anak-anak memiliki tingkat risiko
dan kerentanan terhadap Covid-19. World Health Organization (WHO)
mengatakan bahwa walaupun anak-anak dan remaja memiliki risiko lebih
rendah untuk menjadi sakit parah daripada kelompok usia dewasa akibat
Covid-19, tetapi dapat mengancam jiwa mereka (WHO, 2020a). Menurut
UNICEF dampak sosial dan kestabilan pendapatan keluarga mengancam
kebutuhan gizi, pendidikan, dan perlindungan anak disabilitas, sehingga
berkonsekuensi kepada timpangnya tumbuh kembang mereka selama
masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan masa study from home
yang mengubah gaya hidup dan kebiasaan pada anak-anak kita beberapa
waktu belakangan (UNICEF, 2020a, UNICEF, 2020b).

21
MANIFESTASI KLINIS COVID-19 PADA TUMBUH
KEMBANG ANAK
20
Data manifestasi klinis Covid-19 atau dampak Covid-19 pada tumbuh
kembang anak sangat sedikit. Menjaga kesehatan anak selama kondisi
stres seperti pandemi membutuhkan perhatian yang lebih besar.
P

Kesehatan anak adalah salah satu masalah terpenting dalam Sustainable


Development Goals (SDGs), dan predisposisi genetik yang dimodifikasi
AU

oleh lingkungan, seperti selama pandemi akan memengaruhi kapasitas


belajar, perilaku adaptif, fisik seumur hidup dan kesehatan mental, dan
produktivitas. Pandemi, seperti Covid-19, menghasilkan potensi risiko
pada gangguan perkembangan anak akibat risiko penyakit, pengurungan
pelindung, isolasi sosial, dan peningkatan tingkat stres orang tua dan
pengasuh. Situasi ini menjadi pengalaman masa kanak-kanak yang buruk
dan dapat menimbulkan stres, dengan konsekuensi potensi gangguan
perkembangan otak anak, kesehatan individu dan masyarakat, gangguan
kognisi jangka panjang, kesehatan mental dan fisik, dan kapasitas kerja
di masa depan (Araújo et al., 2020).

274 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


PENINGKATAN STUNTING
Pandemi Covid-19 diperkirakan akan meningkat risiko semua bentuk
malnutrisi, termasuk stunting (Headey, et al., 2020). Deteksi dini hambatan
pertumbuhan anak melalui pos pelayanan terpadu (posyandu) sangat
penting. Deteksi kekurangan gizi, termasuk stunting diawali dengan
keterlambatan pertumbuhan balita, bila ditangani dengan cepat dan
tepat dapat mengurangi risiko stunting pada balita. Saat ini posyandu di
Indonesia hampir tidak dilaksanakan akibat pandemi Covid-19, karena
itu risiko peningkatan stunting akibat pandemi Covid-19 akan semakin
banyak. Keterlibatan aktif keluarga untuk memantau pertumbuhan
balita secara berkala ke posyandu menjadi sangat penting sebagai upaya
pencegahan secara dini kekurangan gizi, baik akut maupun kronis,

21
termasuk stunting. Saat ini data peningkatan stunting akibat pandemi
Covid-19 masih terbatas, salah satu adalah data penelitian oleh Wiwin
di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang mendapatkan peningkatan
angka stunting akibat pandemi Covid-19 seperti pada Gambar 15.1
20
(Wiwin, 2020).

JADWAL IMUNISASI TERTUNDA


P

Dampak Pandemi Covid-19 juga berimbas pada jadwal imunisasi anak.


Tidak sedikit orang tua yang ragu membawa anaknya ke rumah sakit atau
AU

puskesmas untuk melakukan imunisasi karena takut tertular virus yang

Gambar 15.1 Prevalensi Stunting Sebelum dan Selama Pandemi Covid-19 di Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung (sumber: e-PPGBM Kementerian Kesehatan 2020)

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Tumbuh Kembang Anak 275


sudah menginfeksi jutaan orang di seluruh dunia ini, padahal kondisi ini
akan mengakibatkan dampak wabah yang lain, seperti contoh kejadian
wabah Ebola di Afrika Barat pada tahun 2014, efek tidak langsung yang
timbul melebihi dampak dari wabah itu sendiri yakni angka kematian
anak akibat campak (measles) meningkat tajam dikarenakan jadwal
imunisasi yang terganggu (Elston, et al., 2017). Seharusnya pelayanan
imunisasi untuk anak tetap berjalan sesuai jadwal, meski saat ini
Indonesia tengah menghadapi pandemi Covid-19, agar tidak terjadi
wabah penyakit lain yang dapat dicegah dengan Imunisasi dasar yang
sudah dilakukan selama ini oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia.
pada wilayah dengan penularan luas Covid-19, jika tidak memungkinkan
imunisasi dapat ditunda 1 bulan, namun segera diberikan apabila situasi
memungkinkan. Kegiatan imunisasi juga diberlakukan protokol khusus

21
terkait adanya pandemi dengan prinsip pembatasan sosial. Imunisasi
dasar lengkap diberikan kepada anak bukan tanpa alasan. Imunisasi
lewat pemberian vaksin akan membantu sistem imun anak memproduksi
20
antibodi khusus untuk melawan beragam penyakit infeksi berbahaya yang
mengancam anak-anak, seperti hepatitis B difteri, tetanus, campak dan
polio. Bila melewatkan imunisasi ini, anak dikhawatirkan menjadi rentan
tertular penyakit tersebut dan bisa mengalami sakit berat sampai kematian
P

(Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan, Direktorat Jenderal


Pencegaham dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan, 2020).
AU

KESEHATAN MENTAL ANAK TERGANGGU


Anak-anak memiliki risiko mengalami gangguan kesehatan mental pada
masa pandemi, kondisi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Penyakit
itu sendiri dan lingkungan yang diliputi kekhawatiran terhadap penyakit,
penghindaran/isolasi anak-anak dari lingkungan sekolah dan teman-
teman mereka, akan menimbulkan masalah mental bagi anak. Anak-anak
cenderung mengalami kekhawatiran, kecemasan, dan ketakutan, kondisi
ketakutan yang sangat mirip dialami oleh orang dewasa, seperti ketakutan
akan kematian, atau ketakutan saat menerima perawatan medis. Berada
di rumah juga dapat menempatkan beberapa anak pada peningkatan

276 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


risiko keterpaparan terhadap, insiden kekerasan dalam rumah tangga
atau membuat mereka menjadi saksi kekerasan di dalam rumah (WHO,
2020b). Dalam satu studi di China, di provinsi Hubei, tempat pandemi
berasal, pada sampel yang terdiri atas 2.330 anak sekolah mendapatkan
setelah satu bulan karantina, 37,3% merasa khawatir akan terinfeksi
penyakit tersebut, 22,6% melaporkan gejala depresi dan 18,9% mengalami
kecemasan (Xie, et al., 2020). Studi lain juga menyebutkan bahwa pandemi
Covid-19 merupakan ancaman kesehatan mental yang signifikan di antara
anak-anak di Bangladesh. Penelitian itu menyebutkan 30,5% menderita
gangguan mental ringan dengan rata-rata Major Depressive Disorder
(MDD-10) 8.9, 19.3% menderita gangguan mental sedang (rata-rata MDD-10
15,9), dan 7,2% anak menderita gangguan mental parah (rata-rata MDD-10
25,2). Kelompok rentan pada penelitian ini terutama berasal dari keluarga

21
yang tinggal di perkotaan, orangtua berpendidikan tinggi, pendapatan
keluarga tinggi dan rendah, orangtua yang merokok, orangtua yang
mengalami gejala depresi dan anak dengan perilaku (Yeasmina, et al.,
20
2020). Kondisi lain yang bisa memengaruhi kesehatan mental anak adalah
persoalan kesehatan mental sebelumnya (Imran, et al., 2020). Kondisi
layanan kesehatan mental berbasis sekolah yang ditutup selama masa
pandemi akan memengaruhi pelayanan kesehatan terhadap siswa tersebut
P

(Golberstein, et al., 2020). Penelitian selanjutnya tentang stres pada anak


yang dilakukan oleh Gosh menyebutkan 28–34% anak akan mengalami
AU

post traumatic stress dan hal ini terutama terjadi pada keluarga yang
terinfeksi Covid-19 yang mengalami stigmatisasi (Gosh, et al., 2020).

KEKERASAN PADA ANAK


Banyak negara di seluruh dunia yang telah menerapkan pembatasan sosial
(lockdown), anjuran untuk tetap di rumah, dan menjaga jarak fisik untuk
mencegah penyebaran Covid-19. Tetapi rumah tidak selalu merupakan
tempat yang aman untuk anak-anak, remaja, perempuan, dan lansia
yang mengalami atau berisiko mengalami kekerasan. Pandemi Covid-19
telah mengakibatkan konsekuensi negatif bagi anak-anak yaitu kekerasan
dan pelecehan. WHO melaporkan penutupan sekolah akibat pandemi

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Tumbuh Kembang Anak 277


mengakibatkan orang tua menjadi stres dan cemas karena kehilangan
pendapatan, isolasi sosial, dan potensi keramaian di rumah, selain itu,
lebih banyak waktu daring dapat membuat anak-anak semakin berisiko
mengalami eksploitasi seksual melalui daring (WHO, 2020b). Faktor risiko
terjadinya kekerasan, pelecehan, dan penelantaran pada anak yang terkait
dengan Covid-19 (The Alliance for Child Protection in Humanitarian Action,
End Violence Against Children, UNICEF, WHO, 2020.) meliputi:
1. Meningkatnya kemiskinan dan kerawanan pangan karena hilangnya
pekerjaan dan pendapatan.
2. Ketidakmampuan anak-anak untuk mengakses pendidikan baik
secara langsung maupun online.
3. Peningkatan aktivitas digital anak-anak dan penurunan pemantauan
oleh pengasuh.

sekolah.
21
4. Tidak adanya makanan bergizi yang sebelumnya disediakan oleh

5. Gangguan jaringan dukungan teman sebaya dan sosial untuk anak-


20
anak/pengasuh.
6. Terganggunya layanan dukungan masyarakat dan sosial untuk anak-
anak/pengasuh.
7. Gangguan dalam rutinitas untuk anak-anak/pengasuh.
P

8. Peningkatan penggunaan alkohol dan obat-obatan narkotika oleh


remaja/pengasuh.
AU

9. Pengaturan penitipan anak.


Aturan pembatasan meningkatkan potensi angka kekerasan,
pelecehan, dan penelantaran pengasuhan anak di rumah ataupun di panti
asuhan sebanyak 20–30% (Usher, et al., 2020). Sebuah studi melaporkan
antara 23 Maret dan 23 April 2020, bulan pertama isolasi diri di Inggris
didapatkan 10 anak dirawat karena dugaan trauma kepala di rumah sakit
di London terkait pelecehan anak. Dua orang tua melaporkan menunda
perawatan karena mereka takut terinfeksi virus Corona. Cedera tersebut
termasuk pendarahan otak dan patah tulang tengkorak (Kuehn, 2020).

278 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


PERUBAHAN PEMBELAJARAN ANAK
Tantangan lain yang dihadapi saat ini, semua aktivitas dibatasi untuk
mencegah penyebaran virus Corona, termasuk aktivitas pendidikan.
Di Indonesia, sudah lebih beberapa bulan, semua aktivitas pendidikan,
mulai dari tingkat dasar dan menengah hingga tingkat perguruan tinggi
dilakukan secara daring, tanpa tatap muka antara pengajar dan peserta
didik. Pembelajaran daring, serta merta menyadarkan kita akan potensi
luar biasa internet yang belum dimanfaatkan sepenuhnya dalam berbagai
bidang, termasuk bidang pendidikan anak. Tanpa batas ruang dan
waktu, kegiatan pendidikan bisa dilakukan kapanpun dan di manapun.
Terlebih lagi, di era di mana belum ada kepastian kapan pandemi ini
akan berakhir, sehingga pembelajaran daring adalah kebutuhan mutlak

21
yang harus dipenuhi oleh seluruh masyarakat Indonesia. Namun,
di balik setiap sisi positif suatu hal, pastilah tersimpan sisi negatif,
atau setidaknya kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi. Meskipun
secara formal kegiatan pendidikan masih bisa dilakukan secara daring,
20
namun karena anak harus belajar di rumah, pendidikan karakter selama
masa pandemi ini, rasanya menjadi sedikit terabaikan. Sebelumnya,
ketika kegiatan pendidikan dilakukan di sekolah, pendidikan karakter
dilakukan dengan pengawasan langsung dari guru. Kegiatan-kegiatan
P

yang mendukung pendidikan karakter juga bisa dilakukan langsung,


secara intensif dan bisa diukur tingkat keberhasilannya. Akan tetapi
AU

saat ini, ketika kegiatan pendidikan dilakukan secara daring, di mana


yang terjadi lebih banyak hanyalah proses pembelajaran, atau transfer
pengetahuan saja, tak ada yang bisa menjamin siswa atau mahasiswa
mendapatkan pendidikan karakter dari kedua orangtua mereka sesuai
dengan nilai-nilai yang selama ini diajarkan oleh institusi pendidikan.
Misalnya saja di beberapa sekolah Islam, yang menekankan pendidikan
karakter dengan kegiatan peribadatan seperti sholat sunnah dan wajib
secara berjama’ah, atau pengajian Al Quran, otomatis saat ini tidak bisa
melakukan kegiatan tersebut, karena siswa-siswa harus belajar di rumah.
Memang, mungkin saja beberapa sekolah telah membuat mekanisme

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Tumbuh Kembang Anak 279


pelaporan kegiatan ibadah siswa di rumah, namun tetap saja kehadiran
guru dan pendidik serta interaksi mereka dengan para siswa secara
langsung diperlukan untuk pelaksanaan pendidikan karakter yang
komprehensif (Solina, 2020).

REKOMENDASI UPAYA MENINGKATKAN TUMBUH


KEMBANG ANAK
WHO, UNICEF, dan IDAI mengeluarkan berbagai upaya yang dapat
dilakukan oleh orang tua atau pengasuh agar anak-anak berada di
lingkungan yang ramah dan tidak merasa tertekan oleh situasi pandemic
Covid-19 terlebih di masa pembelajaran secara daring ini (Bender, 2020;
Burhan, et al., 2020).

21
Pertama, menjaga keterbukaan komunikasi antara anak dan orang
tua, perlunya menciptakan suasana yang suportif agar anak-anak
dkapat menjalin interaksi bebas dan tetap jujur terhadap apa yang
20
mereka temukan selama masa pandemik ini baik melalui media
internet atau hal-hal lain seperti informasi yang beredar di kalangan
sebayanya. Orangtua diharuskan menggunakan peranti lunak
yang dapat memantau aktivitas mereka selama daring, hal-hal apa
P

saja yang mereka buka selama daring menjadi fokus utama yang
harus diprioritaskan, namun tetap memberikan mereka ruang dan
AU

kesempatan untuk berekspresi dan bersenang-senang agar tetap


timbul rasa percaya diri dan aman dalam diri mereka.
• Kedua, membiasakan perilaku sehat dalam dunia daring, edukasi
terhadap berbagai bentuk cyberbullying, misleading information, hingga
penghasutan harus dikenalkan kepada mereka agar anak-anak kita
dapat memahami situasi komunikasi yang secara bebas dapat diakses
oleh siapapun, hal sederhana dapat dimulai dari pengenalan bentuk
sterotip negatif, iklan-iklan yang tidak sesuai usia untuk dilihat dan
berbagai informasi tidak sehat lain yang kerap muncul begitu saja di
layar gawai kita.
• Ketiga, menciptakan kebiasaan rutin yang fleksibel namun konsisten
di lingkungan rumah, meskipun kegiatan yang mereka lakukan

280 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


secara penuh dilakukan di dalam rumah, orang tua tetap dianjurkan
untuk melakukan penjadwalan teratur kegiatan mereka termasuk
di dalamnya study from home, berolahraga, bermain, istirahat, dan
berinteraksi dengan orang tua tentang apa yang mereka lakukan
pada hari itu. Menciptakan dan berinovasi pada metode belajar
dengan dan tanpa teknologi juga perlu dilakukan oleh setiap orang
tua sehingga keterampilan dan pengetahuan yang esensial tidak
bergantung pada ketersediaan sumber daya yang ada.
• Keempat, menjadikan diri kita sebagai role model bagi anak-anak
di rumah, karena mereka akan meniru apa yang kita lakukan,
tunjukkan bagaimana mereka harus menerapkan perilaku hidup
bersih dan sehat serta menjaga diri tetap aman dengan menggunakan
masker jika memang harus berpergian keluar rumah.

21
Kelima, mendukung kebutuhan dan gizi anak selama dalam
pengasuhan. Sesuai dengan konsep tumbuh kembang bahwa
perkembangan terjadi bersamaan dengan pertumbuhan, setiap
20
pertumbuhan disertai dengan perubahan fungsi, dan setiap anak
tidak akan bisa melewati satu tahap perkembangan sebelum ia
melewati tahapan sebelumnya. Mengenali potensi anak bagi orang
tua di masa pandemi sangat bermanfaat, menumbuhkan minat
P

mereka dan mengalihkan bakat dari yang biasa mereka lakukan


kepada hal-hal lain sehingga perkembangan motorik kasar, motorik
AU

halus, sosialisasi kemandirian, dan bahasa bicara anak tetap sesuai


tahapannya. Pembinaan tumbuh kembang anak secara komprehensif
dan berkualitas dilakukan melalui stimulasi, deteksi, dan intervensi
dini oleh orang tua dan pengasuh di rumah.
• Keenam, Pencegahan stunting dengan pelayanan gizi tersebut antara
lain meliputi: promosi dan dukungan menyusui, kampanye gizi
seimbang dan perilaku hidup bersih dan sehat, Edukasi dan konseling
pada masa Covid-19 tetap harus dilakukan dengan memanfaatkan
media seperti telepon, SMS, atau WhatsApp group, media cetak,
dan media sosial, untuk menyampaikan pesan kesehatan dan gizi.
Kegiatan ini dapat melibatkan semua sektor dan mitra. Dengan
tidak beroperasinya atau ditundanya kegiatan posyandu, hendaknya

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Tumbuh Kembang Anak 281


asuhan gizi dilakukan secara mandiri oleh orang tua. Apabila ibu
atau pengasuh mengalami kesulitan, ibu bisa berkonsultasi kepada
ahli gizi atau tenaga kesehatan atau konselor di fasilitas pelayanan
kesehatan melalui media yang dapat mereka akses. Bagi Tenaga
Kesehatan, walaupun memiliki kesulitan dalam memperoleh data
gizi balita dan ibu hamil akibat keterbatasan kegiatan di posyandu,
tetap dapat melakukan analisis dari data surveilans gizi yang ada
saat sebelum masa pandemi. Apabila teridentifikasi anak dengan
gizi kurang dan ibu hamil KEK, maka dapat dilakukan pemantauan
melalui kunjungan rumah oleh tenaga kesehatan dan kader
melalui perjanjian dengan tetap memperhatikan physical distancing
(Kemenkes, 2020).

21
Di masa tatanan baru, anak dan remaja perlu mendapatkan
pemahaman sesuai dengan usianya tentang Covid-19 secara dasar melalui
sumber yang terpecaya dan dapat memilah secara mandiri. pada anak-
anak diusia pra sekolah anak-anak diajarkan hal-hal sederhana tentang
20
kebiasaan hidup sehat seperti budaya batuk dan bersin, melatih tata cara
mencuci tangan sesuai standard baik menggunakan sabun atau hand
sanitizer, mengenalkan kepada mereka untuk segera menyampaikan
atau berbicara terbuka terhadap tanda-tanda yang membuat tubuh
P

mereka tidak nyaman seperti sakit tenggorokan, mudah lelah, sesak,


dan rasa gelisah, orang tua dapat mengenalkan cara yang mudah untuk
AU

mengenalkan arti jaga jarak antar sesama dengan melentangkan kedua


tangan mereka (Bender, 2020; UNICEF, 2020a; UNICEF, 2020b). Bagi anak-
anak di usia remaja, pengenalan dilakukan lebih komprehensif secara
luas hingga ke hubungan interpersonal. pada anak usia remaja, orang tua
dan pengasuh dapat memberikan makna lebih dalam mengenali konsep
dan tujuan pembatasan sosial dan risiko dari Covid-19, sehingga mereka
dapat memahami dampaknya dan dapat melakukan tindakan preventif
hingga edukasi terhadap teman sebaya (Burhan, et al., 2020). Ajak para
remaja untuk melawan dan mengenali stigma di lingkungan sekitar dan
mengajaknya untuk menelaah berbagai informasi tersebut (Bender, 2020;
Burhan, et al., 2020).

282 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


DAFTAR PUSTAKA
Araújo, L.A., Veloso, C.F., Souza, M.C., Azevedo, J.M.C., and Tarro,
G. 2020. The potential impact of the Covid-19 pandemic on child
growth and development: a systematic review. J Pediatr (Rio J), S0021-
7557(20)30209-6.
Bender, L. 2020. Guidance For Covid-19 Prevention And Control In Schools.
Available from: https://www.unicef.org/media/66036/file/Key%20
Messages%20and%20Actions%20for%20COV
Burhan, E., Susanto, A., Nasution, S., Ginanjar, E., Pitoyo, C., Susilo, A.
and Firdaus, I., et al. 2020. Protokol Tata laksana Covid-19. Available
from: https://www.idai.or.id/about-idai/idai-statement/protokol-tata
laksana-Covid-19

21
Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan, Direktorat Jenderal
Pencegaham dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan.
2020. Petunjuk Teknis Pelayanan Imunisasi pada masa Pandemi
Covid-19. Available from: https://covid19.kemkes.go.id/protokol-
20
Covid-19/petunjuk-teknis-pelayanan-imunisasi-pada-masa-pandemi-
Covid-19/#.X7dWUa1g3jE.
Elston, J.W.T., Cartwright, C., Ndumbi, P., and Wright, J. 2017. The health
impact of the 2014–15 Ebola outbreak. Public Health, 143: 60–70.
P

Golberstein, E., Wen, H. and Miller, F.D. 2020. Coronavirus Disease 2019
AU

(Covid-19) and Mental Health for Children and Adolescents. JAMA


Pediatr, 174(9):819-820.
Ghosh, R., Dubey, M.J., Chatterjee, S. and Dubey, S. 2020. Impact of COVID
-19 on children: special focus on the psychosocial aspect. Minerva
Pediatr, 72:226-35.
Headey, D., Heidkamp, R., Osendarp, S., Ruel, M., Scott, N., Black, R., and
Shekar, M. 2020. Impacts of Covid-19 on childhood malnutrition and
nutrition-related mortality. The Lancet, 396(10250):P519-21.
Imran, N., Zeshan, M., and Pervaiz, Z. 2020. Mental health considerations
for children & adolescents in Covid-19 Pandemic. Pak J Med Sci,
36(COVID19-S4):S67-72.

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Tumbuh Kembang Anak 283


Kementerian Kesehatan. 2020. Pengendalian Stunting di Era Pandemi
Covid-19. Available from: https://kesmas.kemkes.go.id/portal/
konten/~rilis-berita/060912-pengendalian-stunting-di-era-pandemi-
Covid-19
Kuehn, B.M. 2020. Surge in child abuse, harm during Covid-19 pandemic
reported. JAMA, 324(7):621. doi:10.1001/jama.2020.14433
Moreno C, Wykes, T., Galderisi, S., Nordentoft, M., Crossley, N., Jones, N.,
Cannon, M., Correll, C.U., Byrne, L., Carr, S., Chen, E.Y.H., Gorwood,
P., Johnson, S., Kärkkäinen, H., Krystal, J.H., Lee, J., Lieberman, J.,
López-Jaramillo, C., Männikkö, M., Phillips, M.R., Uchida, H., Vieta,
E., Vita, A., and Arango, C. 2020. How mental health care should
change as a consequence of the Covid-19 pandemic. The Lancet,
7(9):813-24.

21
Rajmil, L. 2020. Role of children in the transmission of the Covid-19
pandemic: a rapid scoping review. BMJ Paediatrics Open, 4:e000722.
Solina, D.F. 2020. Digital parenting terhadap anak pada masa
20
pandemi Covid-19. Available from: https://www.researchgate.net/
publication/342354095_DIGITAL_PARENTING_TERHADAP_ANAK_
PADA_MASA_PANDEMI_Covid-19_DEWI_FORTUNA_SOLINA
The Alliance for Child Protection in Humanitarian Action, End Violence
P

Against Children, UNICEF, WHO. 2020. Covid-19: Protecting Children


from Violence, Abuse and Neglect in the Home, Version 1, May 2020.
AU

Available from: https://www.unicef.org/sites/default/files/2020-05/


Covid-19-Protecting-children-from-violence-abuse-and-neglect-in-
home-2020.pdf
Usher, K., Bhullar, N., Durkin, J., Gyamfi, N., and Jackson, D. 2020. Family
violence and Covid-19: Increased vulnerability and reduced options
for support. Int J Ment Health Nurs, 10.1111/inm.12735.
UNICEF. 2020a. UNICEF Data: Monitoring the situation of children and
women. 2020. Covid-19 And Children. Available from: https://data.
unicef.org/topic/Covid-19-and-children/
UNICEF. 2020b. Covid-19:Children In Indonesia At Risk Of Lifelong
Consequences. Available from: https://www.unicef.org/indonesia/

284 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


press-releases/Cov id-19 - c h i ldren-i ndonesia-r isk-l i felong-
consequences.
Wiwin, E. 2020. Berdampakkah Pandemi Covid-19 terhadap Stunting di
Bangka Belitung? JJKI, 03:154-7.
World Health Organization (Europe). 2020a. Mental health and psychological
resilience during the Covid-19 pandemic. Available at: https://www.
euro.who.int/en/health-topics/health-emergencies/coronavirus-Covid-
19/news/news/2020/3/mental-health-and-psychological-resilience-
during-the-Covid-19-pandemic.
World Health Organization. 2020b.  Covid-19 and ending violence against
women and girls. Available from: https://www.unwomen.org/-/media/
headquarters/attachments/sections/library/publications/2020/issue-
brief-Covid-19-and-ending-violence-against-women-and-girls-en.
pdf?la=en&vs=5006.

21
Xie, X., Xue, Q., Zhou, Y., Zhu, K., Liu, Q., Zhang, J., and Song, R. 2020.
Mental health status among children in home confinement during the
20
Coronavirus Disease 2019 outbreak in Hubei Province, China. JAMA
Pediatr, Published online April 24, 2020.
Yeasmina, S., Banik, R., Hossaind, S., Hossaine, N., Mahumuda, R., Salmaa,
N., and Hossaina, M., 2020. Impact of Covid-19 pandemic on the
P

mental health of children in Bangladesh: A cross-sectional study.


Child Youth Serv Rev, 117(2020): 105277. Available from: https://doi.
AU

org/10.1016/j.childyouth.2020.105277.

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Tumbuh Kembang Anak 285


AU
P
20
21
MANIFESTASI KLINIS COVID-19
PADA PASIEN KANKER

Djoko Heri Hermanto, Nina Nur Arifah

PENGANTAR

21
Novel Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) pertama kali muncul sebagai
wabah di provinsi Hubei, China, pada Desember 2019, dengan virion
20
penyebabnya secara resmi dikenal sebagai severe acute respiratory syndrome
coronavirus 2 (SARS-CoV-2). SARS-CoV-2 adalah virus corona beta, dalam
genus yang sama dengan Middle East respiratory syndrome coronavirus
(MERS-CoV) dan severe acute respiratory syndrome (SARS) (Yeoh, et al.,
P

2020), yang diperkirakan berasal dari inang hewan dengan akhirnya


menyebar ke manusia. Covid-19 menjadi pandemi global dalam hitungan
AU

bulan, memengaruhi lebih dari 100 negara dan total 81.142.113 infeksi dan
1.771.884 kematian di seluruh dunia per 28 Desember 2020 (Worldometer,
2020). Kondisi imunokompromi, seperti penyakit autoimun, penyakit
radang nonautoimun, pasien dengan pengobatan imunosupresif dan/atau
penerima transplantasi organ, dan kanker aktif merupakan kelompok
rentan terhadap paparan Covid-19 dan diduga berisiko memiliki derajat
yang lebih parah (Zhou, et al., 2020).
Telah dilaporkan oleh beberapa literatur bahwa pasien dengan kanker
yang aktif memiliki peningkatan risiko Covid-19 (Liang, et al. 2020).
Keganasan menjadi faktor risiko independen terhadap derajat keparahan
Covid-19. Pengobatan antikanker sistemik, seperti kemoterapi, juga dapat
meningkatkan risiko infeksi Covid-19 yang parah (Rolston, 2017). Data dari

287
China menunjukkan bahwa pasien kanker yang terinfeksi Covid-19 berisiko
3,5 kali lebih besar membutuhkan ventilasi mekanis atau kebutuhan ruang
intensif (ICU), dibandingkan dengan populasi umum (Liang, et al, 2020).
Faktor-faktor risiko tersebut diperberat dengan kunjungan rumah sakit
berulang yang diperlukan pasien kanker untuk mendapatkan perawatan
kanker, di mana hal ini akan meningkatkan risiko paparan terhadap virus
SARS-CoV-2 di rumah sakit (Zhou, et al, 2020).

TUJUAN YANG INGIN DICAPAI


1. Memberikan gambaran bahwa pasien kanker yang aktif memiliki
peningkatan risiko Covid-19 dan berisiko lebih besar membutuhkan
ventilasi mekanis atau kebutuhan ruang intensif (ICU), dibandingkan

2.
dengan pasien non kanker.

21
Menunjukkan gejala klinis dan gambaran laboratorium pasien kanker
aktif yang menderita Covid-19.
20
3. Memahami faktor-faktor risiko yang signifikan terhadap derajat
keparahan dan kematian pasien kanker dengan Covid-19.
4. Memahami perubahan perawatan/ pengobatan pasien kanker dengan
berpedoman pada rekomendasi terapi kanker dimasa pandemic
P

Covid-19.
AU

KANKER, COVID-19, DAN SISTEM IMUN


Pasien kanker seringkali memiliki kondisi tertentu, di mana
terjadi gangguan atau penekanan kekebalan primer atau sekunder
(immunocompromised), berisiko lebih tinggi terjadinya manifestasi klinis yang
lebih buruk ketika terpapar Covid-19 (Fung dan Babik, 2020). Sedangkan
sindrom klinis Covid-19 yang parah pada pasien kanker , yang ditandai
dengan gagal napas atau kematian, seringkali berhubungan dengan "badai
sitokin". Meskipun belum secara tegas ditentukan oleh kriteria klinis atau
laboratorium, istilah ini telah digunakan untuk merujuk adanya keadaan
hiperinflamasi, yang secara biologis ditandai dengan peningkatan kadar
sitokin dan secara klinis berupa sindrom gangguan pernapasan akut. Bukti

288 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


lain yang mendukung teori badai sitokin sebagai penyebab perburukan
pasien Covid-19 adalah adanya peningkatan kadar sitokin proinflamasi,
seperti interleukin-6 (IL -6) (Mangalmurti dan Hunter, 2020).
Hipotesis lain tentang mekanisme yang mendasari kondisi klinis
Covid-19 yang parah adalah "badai bradikinin". Hipotesis ini didasarkan
pada analisis data sekuensing RNA dari sampel bronchoalveolar lavage
yang menunjukkan bahwa ACE mengalami downregulation, ketika ACE-2
mengalami upregulation pada pasien Covid-19. Secara fisiologis, ACE
mengurangi bradikinin dan ACE2 meningkatkan peptida bradikinin
yang peka reseptor (angiotensin 1-9). Perubahan ini akan menginduksi
vasodilatasi, hiperpermeabilitas vaskular, akumulasi asam hialuronat, di
mana kondisi ini berkontrobusi terhadap perburukan manifestasi klinis
Covid-19 yang parah. Meski demikian, hipotesis "badai bradikinin" dan

21
"badai sitokin" tidak sepenuhnya eksklusif, karena IL-2 juga diregulasi
oleh bradikinin (Garvin, et al., 2020).
Pada pasien kanker, fungsi sistem imun dapat mengalami penekanan/
20
supresi atau menjadi hiperaktif. Hal ini disebabkan oleh penyakit
kanker itu sendiri atau oleh terapi yang digunakan untuk mengobati
kankernya. Fenomena keterbalikan mekanisme tumor immune evasion
telah menghasilkan terapi anti kanker yang efektif, yaitu immune checkpoint
P

inhibitor (ICIs) (Sharma dan Allison, 2015). Keganasan hematologi dan tumor
padat dapat meningkatkan risiko berbagai infeksi akibat neutropenia,
AU

limfopenia, gangguan pada anatomi permukaan sebagai barier awal


(seperti mukosa hidung), defek limpa dan humoral, dan pemberian
obat-obat sitotoksik dan/atau terapi imunosupresif lainnya. Penekanan
kekebalan ini dapat menjadi salah satu faktor yang meningkatkan risiko
infeksi SARS-CoV-2 pada pasien kanker (Liang, et al., 2020; Rogado,
et al., 2020).
Yang menarik adalah apakah agen kemoterapi sitotoksik dan targeted
therapy dapat meningkatkan risiko terkait infeksi SARS-CoV-2 dan apakah
terapi anti-kanker tertentu perlu ditunda. Interaksi biologis antara berbagai
agen sitotoksik dan targeted therapy untuk kanker, dan sistem imun sangat
beragam. Efek yang dimaksud termasuk penekanan/efek supresi dan
stimulasi sistem imun (seperti melalui deplesi sel regulator imun), dan

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Pasien Kanker 289


kondisi ini bergantung pada mekanisme kerja spesifik dari masing-masing
agen. Oleh karena itu, pada saat yang bersamaan pilihan dokter harus
dambil berdasarkan bukti keamanan agen tertentu, tujuan pengobatan
pasien, dan penilaian risiko infeksi SARS-CoV-2 (Schrag, et al., 2020).
Kanker juga berhubungan dengan kondisi proinflamasi kronis
dengan adanya aktivasi sistem imun innate (Coussens dan Werb, 2002), di
mana imunoterapi sebagai antikanker telah menjadi bagian dari standar
perawatan untuk berbagai jenis kanker. Terapi ini, termasuk ICI, bispesifik
T cell engager (BiTEs), terapi berbasis sitokin, terapi sel tumor-infiltrating
lymphocyte atau chimeric antigen receptor T (CAR-T), dan transplantasi sel
induk alogenik, menyebabkan respons imun antikanker. Tetapi terapi ini
juga merangsang respons imun umum yang dapat memengaruhi jaringan
normal yang sehat dan menyebabkan efek samping terkait imun (Postow,
et al., 2018; Waldman, et al., 2020).

21
Salah satu efek samping yang berhubungan dengan sistem imun
adalah pneumonitis (Postow, et al., 2018). Selain penurunan fungsi
20
pernapasan yang ditimbulkan oleh pneumonitis, kondisi ini juga tumpang
tindih dengan pneumonitis yang diinduksi ICI dan pneumonia Covid-19,
di mana keduanya berpotensi meningkatkan risiko kerusakan paru-paru
yang dimediasi sistem imun pada pasien terinfeksi Covid-19 (Ackermann,
P

et al., 2020; Reuss, et al., 2020). Selain risiko efek samping terkait imun
spesifik pada paru, imunoterapi juga menimbulkan risiko aktivasi imun
AU

sistemik yg berlebihan, yang secara hipotetis dapat mempotensiasi


pelepasan sitokin, sedangkan banyak sitokin serupa yang terlibat dalam
efektivitas ICI juga memediasi badai sitokin, seperti interferon gamma
(IFN-γ), tumor necrosis factor alpha (TNF-α), faktor perangsang koloni
granulosit-makrofag, dan IL-2. Hal ini terutama berlaku untuk sel CAR-T
dan terapi BiTE, yang memiliki komplikasi cukup berat yaitu sindrom
pelepasan sitokin, di mana sindrom ini memiliki banyak kesamaan dengan
badai sitokin yang terkait dengan Covid-19 (Shimabukuro-Vornhagen, et al.,
2018). Baru-baru ini ditemukan bahwa potensi interaksi antara imunoterapi
dan infeksi SARS-CoV-2 melalui ekspresi reseptor virus ini yaitu ACE2,
yang diregulasi oleh IFN-γ yang merupakan efektor hilir dari imunoterapi
(Ziegler, et al., 2020). Dalam sebuah studi kohort oleh Robilotti, et al., (2020),

290 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


21
Gambar 16.1 Interaksi antara SARS-CoV-2 dan Biologi Kanker (Bakouny, Z., et al,
2020). (A) Internalisasi SARS-CoV-2; (B) Interaksi kekebalan; (C) Peristiwa trombosis
arteri dan vena.
20
terapi ICI untuk kanker berhubungan dengan klinis dan keluaran yang
lebih buruk pada pasien kanker yang terinfeksi Covid-19.
Mempertimbangkan faktor-faktor tersebut di atas, dokter dan pasien
dihadapkan dengan ketidakpastian yang belum pernah terjadi sebelumnya
P

tentang keamanan pasien dengan kanker serta pengobatan kanker


selama pandemi ini. Perlu adanya keseimbangan antara risiko paparan
AU

SARS-CoV-2 dan risiko penundaan perawatan kanker yang bertujuan


untuk menyelamatkan jiwa atau memperpanjang hidup. Adanya bukti
yang menunjukkan bahwa respons imun terhadap SARS-CoV-2 dapat
memainkan peran yang berbeda pada pasien kanker, dapat dilihat pada
Gambar 16.1.

MANIFESTASI KLINIS COVID-19 PADA PASIEN KANKER


Manifestasi klinis pasien kanker yang terinfeksi SARS-CoV-2 tidak jauh
berbeda dengan gejala Covid-19 pada umumnya. Gejala yang paling
umum saat pasien kanker dengan Covid-19 masuk rumah sakit adalah
demam (82,1%), batuk kering (81%), kelelahan (64,3%), dan dispnea

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Pasien Kanker 291


(50,0%) (Kooshkaki et all 2020). Pasien kanker paru-paru, di mana mereka
mengalami penurunan fungsi paru-paru, cenderung lebih sering jatuh
ke kondisi anoksia yang lebih parah dan prograsif bila terinfeksi Covid-
19. Meskipun spektrum klinis Covid-19 cukup heterogen, pasien dengan
kanker aktif cenderung mengalami kondisi klinis yang lebih parah dan
tingkat kematian yang lebih tinggi (akibat Covid-19), yang berkisar antara
5% dan 61%, dengan perkiraan berbasis meta-analisis baru-baru ini sebesar
25,6% (Dai, et al., 2020; Giannakoulis, et al., 2020; Kuderer, et al., 2020; Mehta,
et al., 2020; Saini, et al., 2020).
Penelitian Zhang, et al., (2020) menunjukkan beberapa hasil
laboratorium yang sering muncul pada pasien kanker dengan Covid-
19. Sekitar 75% pasien menunjukkan anemia, 32,1% pasien mengalami
leukopenia, dan 82,1% pasien menunjukkan limfopenia. Hipoalbuminemia

21
dialami oleh 89,3% pasien, dan kadar globulin meningkat pada 39,3%
pasien. Kadar laktat dehidrogenase yang meningkat ditunjukkan pada
50% pasien, dan peningkatan laju endap darah ditunjukkan pada 57,1%
20
pasien. Sebagian besar pasien mengalami peningkatan kadar prokalsitonin
(92,9%) dan d-dimer meningkat pada 39,9% pasien.
pada pemeriksaan radiologi, semua pasien menunjukkan hasil yang
abnormal pada CT dada, di mana 78,6% mengalami keterlibatan infiltrat
P

bilateral dan sisanya menunjukkan infiltrat fokal yang unilateral. Opasitas


berupa gambaran ground-glass diamati pada 75%. Konsolidasi yang tidak
AU

homogen merupakan temuan kedua paling umum pada pasien kanker


dengan Covid-19 (46,3%). Abnormalitas interstisial, termasuk gambaran
retikuler, fibrosis, dan/atau penebalan septum interlobular, ditemukan
14,3% pasien.
Komplikasi Covid-19 yang paling sering dialami pasien kanker adalah
Acute Respiratory Distress Syndrome (28,6%), diikuti dengan emboli paru
(7,1%), syok sepsis (3,6%) dan infark miokard akut (3,6%). Pasien kanker
sangat rentan terhadap patogen pernapasan dan mudah mengalami
pneumonia berat karena berada pada keadaan imunosupresif akibat
keganasan dan terapi antitumor. Dalam 14 hari, terapi antitumour secara
signifikan berhubungan dengan manifestasi klinis yang parah pada pasien
kanker dengan Covid-19. Dari penelitian yang dilakukan oleh Zhang, et al.,

292 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


(2020) di antara pasien kanker, kanker paru-paru adalah jenis kanker
yang paling sering terinfeksi Covid-19 (n = 7, 25,0%), diikuti oleh kanker
oesofageal (n = 4, 14,3%) dan kanker payudara (n = 3, 10,7%).
Faktor-faktor risiko yang signifikan terhadap derajat keparahan
dan kematian pasien kanker dengan Covid-19 adalah sebagai berikut
(Curigliano, G., et al, 2020):
• Status kanker yang aktif dan/atau progresif
• Usia lanjut
• Status performa yang buruk (berdasarkan ECOG)
• Merokok
• Adanya komorbiditas lain
• Jenis kanker, seperti keganasan hematologis (termasuk leukemia


21
kronis, limfoma, dan mieloma) atau keganasan di toraks
Pengobatan kemoterapi sitotoksik, baik yang sedang berlangsung
atau diterima ≤ 3 bulan
Pengobatan terapi radiasi ekstensif
20
• Transplantasi sumsum tulang atau sel induk ≤ 6 bulan, atau
pengobatan dengan obat-obatan penekan imun
• Gangguan sistem kekebalan karena leukositopenia, kadar
imunoglobulin yang rendah, atau imunosupresi jangka panjang
P

Ada beberapa hambatan dalam penegakkan diagnosis Covid-19


AU

pada pasien kanker. Pasien kanker dengan Covid-19 mungkin memiliki


manifestasi klinis yang atipikal, atau muncul gejala ringan dengan
perburukan yang cepat. Pasien kanker juga sering menunjukkan bahwa
gejala sepsis neutropenik dan pneumonitis yang berhubungan dengan
terapi kanker, namun hal ini juga dapat serupa dengan gejala Covid-19.
Kondisi limfopenia mungkin terjadi pada pasien kanker karena kanker
itu sendiri atau pengobatan kanker, di mana limfopenia umum terjadi
pada pasien Covid-19. Mengingat gejala dan tanda Covid-19 yang tumpang
tindih dengan kondisi kanker (serta pengobatannya), maka pengujian atau
screening terhadap pasien kanker yang memiliki gejala dan tanda khas
Covid-19 dapat diprioritaskan (Curigliano, G., et al., 2020).

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Pasien Kanker 293


Mengingat risiko signifikan Covid-19 terhadap pasien kanker, strategi
proaktif untuk meningkatkan deteksi dini dan mengurangi kemungkinan
infeksi menjadi prioritas utama bagi institusi perawatan kesehatan yang
menyediakan perawatan pasien-pasien onkologis.

PROSEDUR PENGUJIAN/TES COVID-19 PADA PASIEN


KANKER
Prinsip yang digunakan dalam merawat dan melindungi pasien kanker
yang rentan selama pandemi Covid-19 mencakup penerapan algoritme
pemeriksaan dan tes yang kuat untuk pasien dan penyedia layanan
kesehatan, di mana harus fokus pada lingkungan fisik, jarak yang tepat,
dan alat pelindung diri tenaga kesehatan. Dua tes laboratorium yang

21
paling banyak digunakan untuk SARS-CoV-2 yaitu Real Time Polymerase
Chain Reaction (RT-PCR) dan tes antibodi (serologi). Metode tes yang dipilih
untuk skrining dan diagnosis adalah tes RT-PCR, sedangkan tes berbasis
20
antibodi berfungsi sebagai alat tambahan untuk melacak respons imun
(Tang, et al., 2020).
Panduan ASCO tentang perawatan pasien kanker selama pandemi
Covid-19 didasarkan pada rekomendasi IDSA, yaitu terkait prosedur
P

program pra-skrining dan skrining pada pasien rawat jalan (ASCO, 2020b).
Dalam semua kasus pasien yang bergejala, baik dirawat inap atau rawat
AU

jalan, direkomendasikan untuk dilakukan tes (Tabel 16.1). Demikian

Tabel 16.1 Mengidentifikasi Covid-19 pada Penderita Kanker

• Pasien yang akan memulai terapi anti-kanker untuk pertama kalinya dapat
dipertimbangkan untuk dilakukan tes SARS-CoV-2 menggunakan amplifikasi
asam nukleat untuk viral RNA (RT-PCR).
• Semua pasien yang menjalani terapi untuk kanker harus diskrining terlebih
dahulu menggunakan kuesioner pada saat 48–72 jam sebelum siklus
pengobatan berikutnya.
• Jika positif pada kuesioner skrining, maka pasien harus dirujuk untuk tes RT-
PCR sebelum pengobatan.
• Jika skrining negatif, skrining ulang harus dilakukan pada hari pengobatan
dan jika tidak bergejala dan tanpa paparan Covid-19 yang diketahui, maka
dapat dilanjutkan dengan pengobatan yang direncanakan.

294 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


pula, semua pasien yang akan memulai pengobatan dengan kemoterapi
sitotoksik, transplantasi sel induk, terapi biologis jangka panjang,
imunoterapi seluler, atau kortikosteroid dosis tinggi untuk pertama
kalinya, pasien harus dipertimbangkan untuk dilakukan tes skrining
pada saat 48–72 jam sebelum siklus berikutnya menggunakan kuesioner
standar yang membahas gejala dan potensi paparan. Jika pasien memiliki
riwayat pajanan Covid-19, gejala pernapasan, atau dua gejala lain (batuk,
sesak napas, demam, menggigil, mialgia, sakit tenggorokan, kehilangan
rasa atau bau, atau gejala mirip flu lainnya), pasien harus diprioritaskan
untuk dilakukan pemeriksaan RT-PCR lebih dulu. Jika memungkinan,
dianjurkan untuk melakukan tes di tempat selain fasilitas perawatan
kanker untuk menghindari mobilisasi/distribusi kasus positif ke fasilitas
perawatan kanker (ASCO, 2020b).

21
Jika skrining menunjukkan hasil negatif (dan tidak ada gejala atau
riwayat kontak erat dengan kasus konfirmasi Covid-19), pasien harus
segera menerima terapi sesuai rencana. Setibanya di fasilitas perawatan
20
kesehatan, pasien harus diskrining kembali untuk menentukan apakah
telah terjadi perubahan status dan/atau kebutuhan untuk tes atau
tes ulang.
Pada pasien kanker dengan gejala serupa Covid-19 dengan hasil
P

swab Covid-19 negatif, maka pasien dapat dipindahkan ke bangsal


biasa. Alat pelindung diri tenaga medis yang merawat pasien tersebut,
AU

harus dipastikan baik. Jika skrining swab PCR tidak memungkinkan,


maka dianjurkan untuk melakukan pemantauan/cohorting pasien kanker
dengan gejala Covid-19 yang memerlukan rawat inap. Pasien dirawat
secara terpisah dari pasien lain dan petugas kesehatan yang merawat
mengenakan APD standar. Investigasi lebih lanjut diprioritaskan pada
pasien dengan kondisi yang mendesak (urgent) atau mengancam nyawa
(life-threatening) sampai swab Covid-19 negatif (FDA, OECD, WHO, 2020).
Jika seorang pasien kanker memiliki hasil tes yang positif, perawatan
dihentikan atau ditunda segera. Namun, beberapa pasien masih dapat
menerima pengobatan jika menggunakan rejimen berisiko rendah, kondisi
penyakit mengharuskan dilakukan dengan tetap mengingat risiko yang
mungkin muncul, dan ada area pengobatan Covid-19 dan staf khusus.

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Pasien Kanker 295


Waktu memulai kembali pengobatan setelah hasil tes positif tidak
ditentukan secara jelas oleh berbagai panduan yang telah diterbitkan.
Namun, konsensus ahli yang sejalan dengan pedoman ASCO menyatakan
bahwa perlu memastikan hasil tes PCR negatif dua kali berturut-turut
dengan jarak minimal 24 jam. Jika tes PCR tidak tersedia atau tidak
diwajibkan oleh pedoman lokal, maka dapat menggunakan konteks
dan penilaian klinis, di mana didefinisikan dengan minimal 10–14 hari
sejak onset gejala, tidak ada demam atau gejala yang signifikan selama
setidaknya 48–72 jam.

PERUBAHAN DALAM PERAWATAN KANKER


Pandemi Covid-19 menimbulkan tantangan unik dalam pemberian

21
perawatan onkologis, utamanya dalam hal pendefinisian ulang model
pemberian perawatan kanker. Kunci untuk perubahan praktik klinis
adalah beradaptasi dengan skenario spesifik yang terus berkembang
20
seiring volume kasus lokoregional.

TELEHEALTH
Telehealth atau telemedicine dapat menjadi salah satu alternatif yang baik
P

bagi pasien kanker untuk konsultasi real-time dalam aspek triase dan
manajemen, seperti konsultasi dan koordinasi paska-opname untuk
AU

meminimalisir kunjungan pasien kanker ke rumah sakit dengan tidak


mengurangi prinsip perawatan suportif yang holistik, seperti edukasi
kesehatan, pantauan aktivitas fisik dan diet, penilaian risiko kesehatan,
kepatuhan pengobatan serta fungsi kognitif. Namun bagaimanapun,
konsultasi tatap muka tetap diperlukan dalam hal. Penyampaian informasi
kunci terkait kanker (misalnya kanker yang baru terdiagnosis/rencana
pengobatan, kekambuhan penyakit atau adanya progresivitas, atau
keputusan untuk tidak melanjutkan pengobatan, akan lebih efektif dan
empatik bila disampaikan dengan tatap muka daripada konsultasi jarak
jauh (video atau telepon), dengan tetap mempertimbangkan risiko paparan
SARS-CoV-2 (Hollander dan Carr, 2020).

296 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Sejauh mana telehealth dapat memengaruhi kualitas dan hasil dalam
perawatan kanker masih sedang dalam tahap penelitian. Sebuah tinjauan
sistematis Cochrane dari 93 percobaan (N = 22.047 partisipan) mengevaluasi
efektivitas telehealth sebagai aditif, alternatif, atau perbandingan dengan
perawatan biasa di beberapa kondisi klinis. Studi ini menunjukkan bahwa
tidak ada perbedaan dalam semua penyebab kematian (Flodgren et al.,
2015). Studi tersebut juga menyatakan adanya peningkatan kualitas hidup
mereka yang memanfaatkan telehealth dibandingkan dengan perawatan
biasa, serta adanya peningkatan pengendalian penyakit pada diabetes,
hiperkolesterolemia, dan hipertensi. Dari sisi onkologis, hasil dari meta-
analisis dari 20 randomized-controlled trials yang menilai efek intervensi
telehealth versus perawatan biasa pada pasien dengan kanker payudara
menunjukkan bahwa telehealth dikaitkan dengan kualitas hidup dan

21
efikasi diri yang lebih tinggi, serta tingkat depresi yang lebih rendah,
dibandingkan dengan perawatan biasa (Chen, et al., 2018). pada kondisi
pandemi Covid-19, keuntungan lain dari telehealth termasuk mengurangi
20
kebutuhan APD, membatasi paparan, dan mengurangi waktu perjalanan
dan waktu tunggu pasien.
Pemilihan fasilitas onkologi telehealth perlu dilakukan secara
saksama. Baik ESMO dan ASCO menyarankan bahwa pasien yang tidak
P

memerlukan pemeriksaan, pengobatan, atau diagnostik secara tatap


muka dapat melakukan konsultasi melalui telehealth selama pandemi
AU

Covid-19. Pertimbangan terjadinya konsekuensi yang tidak diinginkan


dari penggunaan telehealth juga perlu dipikirkan. Ada potensi risiko
serius yang memperburuk disparitas kesehatan antara pasien dengan
status sosial ekonomi yang berbeda jika layanan telehealth diterapkan,
serta adanya kemungkinan pengamatan dan penilaian kondisi pasien
yang kurang akurat sehingga seorang klinisi memberikan saran yang
kurang tepat. Oleh karena itu, azas kehati-hatian harus tetap digunakan
dalam melaksanakan konsultasi pasien kanker dengan telehealth terutama
di masa pandemi Covid-19.

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Pasien Kanker 297


SKRINING DAN DIAGNOSIS KANKER SELAMA PANDEMI
COVID-19
Masalah global terhadap skrining kanker muncul karena pembatasan
nasional akibat pandemi Covid-19. Penangguhan skrining kanker rutin
dan prosedur diagnostik dilakukan hingga ada ketentuan yang sesuai
dan tindakan keamanan (protokol institusi, kemampuan pengujian, dan
inventaris APD) diterapkan. Akibatnya, skrining rutin turun sebanyak
85%–90% (London, et al., 2020).
Pedoman ASCO dan ESMO merekomendasikan bahwa layanan
skrining kanker, termasuk kolonoskopi, pap smear, dan mammogram,
dilanjutkan sesuai dengan otoritas kesehatan negara bagian dan lokal.
Perluasan kapasitas yang ada sebaiknya dilakukan secepat mungkin
dalam upaya mempercepat penentuan keputusan atas pemberian
perawatan kanker.
21
TERAPI UNTUK KANKER SELAMA PANDEMI COVID-19
20
1. Faktor Klinis, Biomarker, dan Model Prognostik
Meskipun diketahui bahwa pasien kanker dengan Covid-19 memiliki
peningkatan risiko keluaran yang buruk (Garassino, et al., 2020; Kuderer,
P

et al., 2020), stratifikasi risiko tetap harus dilakukan untuk, menyesuaikan


AU

langkah-langkah pencegahan, serta pengobatan kanker dan Covid-19.


Stratifikasi risiko dijabarkan pada Tabel 16.2.
Faktor terkait tumor tampaknya menjadi faktor prognostik yang
signifikan pada pasien kanker. Kanker paru-paru lebih berpotensi
mengalami perburukan karena berkurangnya cadangan pernapasan.
Demikian juga dengan keganasan hematologis karena adanya penekanan
sistem imun yang terkait dengan kanker itu sendiri serta regimen
terapeutik yang sering digunakan untuk mengobati kanker (Rubinstein
dan Warner, 2020).
Status tumor (aktif, stabil atau progresif, atau remisi) juga
memengaruhi prognosis pasien kanker yang terinfeksi Covid-19. Pasien
kanker stadium lanjut serta progresif secara konsisten ditemukan memiliki

298 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Tabel 16.2 Beberapa contoh pada kondisi risiko rendah dan tinggi di mana
penundaan pengobatan kanker dapat memengaruhi hasil klinis

Risiko Rendah bila Terapi Ditunda Risiko Tinggi bila Terapi Ditunda
• Kanker kulit nonmelanoma • Kegawatan onkologi (kompresi
• Keganasan hematologi kronis spinal cord, hiperkalsemia, dll)
• Limfoma low grade • Sarcoma high grade
• Kanker payudara nonlocally • Massa paru berukuran besar
advanced HER2+ (> 2 cm)
• Sebagian besar kanker tiroid • Leukemia akut dan limfoma
• Radioterapi untuk kanker prostat agresif
risiko rendah • Kanker kepala-leher
• Indikasi paliatif (tanpa tujuan • Kemoterapi untuk kanker testis
survival) dan rektum
• Radioterapi untuk kanker
ginekologi, rektum, paru dan leher.

(Al-Quteimat, O.M. dan Amer, A.M, 2020)

21
luaran yang lebih buruk (dibandingkan dengan mereka yang memiliki
20
penyakit lokal atau yang sedang dalam masa remisi).
Kooshkaki, et al., (2020) menulis dalam penelitiannya bahwa pasien
kanker memiliki risiko tinggi mengalami perburukan sehingga disarankan
untuk menghindari perawatan kanker yang menyebabkan imunosupresi.
Pertimbangan penting lainnya pada pasien Covid-19 dengan kanker adalah
P

waktu melakukan terapi kemo dan radiasi, serta risiko yang terkait dengan
AU

penggunaannya. Meskipun perawatan kanker dapat meningkatkan efek


virus terhadap terganggunya sistem kekebalan tubuh, dengan peningkatan
risiko kematian dan efek samping lainnya, kurangnya pengobatan yang
secara khusus ditujukan pada kanker meningkatkan risiko kematian akibat
keganasan itu sendiri. Diperkirakan ada 16% peningkatan risiko kematian
untuk setiap bulan keterlambatan radioterapi pada pasien dengan kanker
kepala dan leher (Chen, et al., 2008).

2. Bedah Onkologi
Selama jumlah kasus Covid-19 terus meningkat, hampir semua operasi
elektif ditunda. Dampak penundaan ini terhadap pertumbuhan kanker
hingga kematian sebagai belum diketahui. Namun, para peneliti dari

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Pasien Kanker 299


Tabel 16.3 Rekomendasi Terapi pada Kanker di Masa Pandemi Covid-19

Penggunaan • Untuk menurunkan risiko febrile neutropaenia,


G-CSF dan pertimbangkan memperluas indikasi G-CSF untuk
tromboprofilaksis pasien dengan risiko sedang (10%-20%) dan risiko
tinggi dari febrile neutropaenia (>20%), serta pada
pasien usia lanjut dengan komorbiditas.
• Pada pasien kanker yang terinfeksi Covid-19, terdapat
peningkatan risiko kejadian tromboemboli dan
komplikasi terkait seperti sindrom inflamasi trombo
obstruktif pembuluh paru. Dianjurkan memberikan
profilaksis menggunakan LMWH atau NOACs.
Imunoterapi • Untuk indikasi pengobatan neoadjuvant yang disetujui,
di mana ada manfaat kelangsungan hidup yang
signifikan, ICI tidak boleh ditunda jika tidak ada infeksi
SARS-CoV-2. pada pasien yang terkonfirmasi positif

21
SARSCoV-2, ICI neoadjuvant harus ditunda sampai
sembuh (sesuai kriteria sembuh lokoregional).
• Untuk pasien dengan melanoma metastatik, mRCC
risiko sedang/rendah, NSCLC dengan PD-L1 positif
20
dan karsinoma hepatoseluler, di mana ada manfaat
kelangsungan hidup yang jelas, pengobatan ICI
harus dihentikan karena Covid-19. Terapi ICI harus
dimulai setelah infeksi Covid-19 sembuh total setelah
pengujian RT-PCR negatif. Kombinasi ICI dengan
kemoterapi sitotoksik dapat dipertimbangkan dan
P

didiskusikan dengan pasien jika rasio cost-benefit


menguntungkan (mengacu pada OS) sesuai dengan
AU

faktor risiko dan preferensi pasien.


• Steroid dosis tinggi merupakan faktor risiko potensial
kematian pada pasien kanker yang terinfeksi
SARS-CoV-2. Jika didapatkan efek samping terkait
imun grade 3, maka steroid harus diganti ke agen
imunosupresan lain.
• Kombinasi anti-CTLA4 dan anti-PD-(L)1 diberikan
jika penyakit pasien memerlukan terapi ICI tersebut
(sesuai indikasi yang tepat), mengingat kurangnya
bukti bahwa sekuens anti-PD-(L)1 dan agen anti-
CTLA4 menujukkan efektivitas yang baik atau tidak
toksik.

300 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


• Untuk diagnosis banding efek samping terkait imun
berupa pneumonitis, tes swab nasofaring utk PCR
dan CT-scan dada resolusi tinggi harus dilakukan. Jika
hasilnya negatif, maka BAL harus dipertimbangkan
untuk diagnosis banding efek samping terkait imun
versus Covid-19.
Targeted Therapy- • TKI dari aksis PI3K/AKT/mTOR atau RAS/RAF/MEK
TKI dapat mengganggu jalur penting yang terlibat
dalam respons imun innate atau adaptif. Keputusan
menunda terapi TKI ini tergantung pada perhitungan
keuntungan dan kerugiannya. Sehingga besaran
manfaat TKI harus dipertimbangkan dalam proses
pengambilan keputusan sampai lebih banyak data
klinis tersedia.
• Pada kondisi Covid-19, terapi TKI pada pasien kanker
dengan stable disease harus dihentikan sampai pasien

21
tersebut sembuh. TKI tidak boleh dihentikan pada
pasien dengan Covid-19 yang tidak terlalu parah
atau pada mereka yang mengidap tumor oncogene-
addicted high-volume, karena akan berisiko terjadinya
20
kekambuhan setelah TKI dihentikan.
Kemoterapi Dijabarkan untuk masing-masing kanker pada Tabel 16.4
Radioterapi • Pasien yang menjalani radioterapi adjuvan atau
definitif pada paru berisiko mengalami komplikasi
P

yang parah bila terinfeksi Covid-19. Untuk mengurangi


risiko perawatan dan kunjungan di rumah sakit selama
pandemi Covid-19, pengurangan fraksi radioterapi
AU

harus didiskusikan secara multidisiplin dengan


mempertimbangkan manfaat risiko dari keputusan
tersebut.
• pada pasien Covid-19 yang didiagnosis kanker paru-
paru, direkomendasikan untuk melanjutkan radioterapi
yang bertujuan kuratif, dengan mempertimbangkan
derajat keparahan sindrom klinis Covid-19, risiko
kekambuhan/progresivitas tumor bila pengobatan
dihentikan, serta sumber daya lokal.
Transplantasi • Bila memungkinkan, tunda transplantasi yang tidak
sumsum tulang mendesak
dan sel induk • Transplantasi sel induk hematopoietik (HSCT) sering
membutuhkan rawat inap yang lama dan terapi
imunosupresi berkepanjangan

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Pasien Kanker 301


• Tergantung pada status dan risiko kekambuhan
penyakit, HSCT mungkin tidak dapat ditunda
- jika penyakit berisiko rendah, pertimbangkan untuk
menunda proses HSCT selama beberapa minggu
hingga berbulan-bulan
- jika penyakit berisiko tinggi, pertimbangkan untuk
menunda sampai asimtomatik dengan tes PCR
negatif
• Pertimbangkan untuk melakukan HSCT di pusat rawat
jalan untuk kasus yang sesuai

Inggris menggunakan hazard ratios dari studi observasional pada tahun


2013 hingga 2017 yang memelajari pertumbuhan kanker dan loss of life years
yang terjadi akibat penundaan operasi. Penundaan pembedahan selama 3

21
atau 6 bulan pada semua kanker stadium 1-3 akan menyebabkan 4.755 dan
10.760 kematian (masing-masing), di antara 94.912 pasien yang menjalani
reseksi untuk kanker besar per tahun (Sud, et al., 2020).
20
3. Terapi Sistemik dan Radiasi
Keputusan pemberian terapi sistemik pada pasien kanker selama Covid-19
harus dipandu oleh perawatan onkologi rutin dan karakteristik efek terapi
P

sistemik terhadap sistem imun. Seperti yang dijelaskan oleh Schrag dan
rekannya, pengobatan onkologi umumnya terbagi dalam empat kategori,
AU

yaitu: (1) kuratif, (2) kepentingan klinis sedang, (3) dampak marginal
terhadap kualitas atau kuantitas hidup, dan (4) kelangsungan hidup dan
pengawasan (Schrag, et al., 2020), dan rekomendasi pemberian terapi untuk
kanker dijabarkan pada Tabel 16.3.
Terapi kuratif, atau terapi yang bertujuan life saving, tidak boleh
ditunda. Perawatan yang diindikasikan untuk pasien penyintas dan
pengawasan/evaluasi dapat dilanjutkan, mengingat bahwa kemoterapi
oral dan terapi hormonal umumnya dapat dipantau dari jarak jauh dan
membutuhkan kunjungan ke rumah sakit yang lebih jarang. Namun,
ketika manfaat tambahan dari pengobatan sistemik mungkin marjinal
atau belum jelas, maka keputusan klinis diambil dengan prinsip kehati-
hatian karena belum ada panduan yang jelas.

302 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Tabel 16.4 Pertimbangan Terapeutik untuk Beberapa Jenis Kanker Selama
Pandemi SARS-CoV-2

Tipe Kanker Pertimbangan Terapi


Kanker Ductal Carcinoma in-situ (DCIS)
Payudara - Menunda operasi hingga 3–5 bulan
- Terapi DCIS dengan estrogen receptor (ER)+ dengan
terapi endokrin
Triple-Negative/HER2+ Invasive:
- Penggunaan neoadjuvant chemotherapy (NAC) sebagai
terapi
- Operasi darurat harus dilakukan
Kanker Tunda operasi. Lanjutkan dengan operasi kuratif pada
Kolorektal pasien-pasien non-metastatik. Untuk kanker rektuum bisa
diberikan NAC dan radiasi (5 × 5 Gy)
Kanker Ginjal

21
Pengelolaan reseksi endoskopi dapat dipertimbangkan pada
lesi kanker ginjal cT1a atau cT1b sesuai indikasi. Pasien yang
menyelesaikan NAC dapat tetap menjalani kemoterapi
20
Kanker Tiroid Penyakit Grave’s yang berat dan tidak berespons terhadap
terapi sebaiknya dioperasi dengan prinsip ‘urgent’, begitu
pula dengan pasien dengan Goiter yang berat.
Kanker Adrenal Kanker adrenokortikal, sindroma Cushing’s, feokromositoma
dan paraganglioma tidak berespons terhadap terapi
P

sebaiknya dioperasi dengan prinsip ‘urgent’


Tumor Tumor neuroendokrin usus kecil yang bergejala dan tumor
AU

Neuroendokrin dengan pertumbuhan yang signifikan (atau dengan waktu


penggandaan yang singkat) harus segera dioperasi.
Keganasan Operasi pasien dengan obstruksi usus ganas masih mungkin
Permukaan dilakukan. Tunda CRS/HIPEC (kombinasi agresif operasi dan
Peritoneal kemoterapi) untuk neoplasma musinosa apendiks low grade.
Pertimbangkan NAC untuk metastasis peritoneal dari kanker
apendiks high grade, kanker lambung, kanker kolorektal,
mesotelioma high grade, kanker ovarium, dan tumor small
round cell desmoplastik.
Kanker Paru Durasi NAC untuk pasien kanker paru dengan stadium
rendah dan prognosis lebih baik dapat dilanjutkan selama
pandemi. Untuk pasien dengan kelenjar getah bening NAC
paskaoperasi dengan mutasi gen EGFR, EGFR tirosin kinase
inhibitor (EGFR-TKI) oral sebagai pengobatan NAC dapat
digunakan sebagai pilihan pengobatan.

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Pasien Kanker 303


Pasien dengan mutasi gen termasuk EGFR, fusi anaplastic
lymphoma kinase (ALK), dan fusi ROS1, dapat dapat
diberikan terapi targated oral selama pandemi SARS CoV-2
(tanpa perlu kombinasi terapi)
Kanker Kepala Operasi dapat dilakukan segera pada kondisi-kondisi di
dan Leher bawah ini:
- HNSCC dengan HPV negatif (terutama yang memiliki
masalah jalan napas).
- HNSCC dengan HPV positif dengan beban penyakit yang
signifikan atau keterlambatan diagnosis, dan HNSCC
rekuren.
Pertimbangkan untuk menunda operasi sekurang-kurangnya
> 30 hari dalam kondisi berikut:
- PTC risiko rendah tanpa metastasis
- Karsinoma saliva derajat rendah
Kanker
Ovarium
21
NAC lebih disarankan bahkan jika operasi sitoreduksi primer
dapat dipertimbangkan untuk dilakukan.
Untuk pasien yang harus menjalani operasi, dapat
dilanjutkan dengan kemoterapi, dan operasi dilakukan
20
setelah enam siklus kemoterapi.
Kanker Pada keterlibatan kelenjar getah bening, prosedur
Endometrium histerektomi dengan adneksektomi bilateral lebih
disarankan. Tunda operasi selama 1 hingga 2 bulan pada
kanker endometrium risiko rendah. Untuk pasien berisiko
P

tinggi, disarankan untuk melakukan PET-CT dan biopsi


kelenjar getah bening.
AU

Kanker Serviks Tunda evaluasi diagnostik selama 6–12 bulan.


Kanker serviks stadium awal: lanjutkan dengan perawatan
standar jika memungkinkan. Tunda trakelektomi radikal
atau histerektomi radikal selama 6–8 minggu atau sampai
pandemik hilang. pada penyakit risiko rendah (< 2 cm,
histologi risiko rendah) pertimbangkan konisasi atau
trakelektomi sederhana ± kelenjar getah bening yang
terlibat. Dalam tumor yang terlihat, pertimbangkan NAC.

Terapi radiasi, yang merupakan pilar utama dalam perawatan kanker


mengingat perannya yang bersifat kuratif dan paliatif, juga dipengaruhi
oleh pandemi Covid-19. Penundaan terapi radiasi dilaporkan sebanyak
92%, dengan penundaan pengobatan terbanyak adalah untuk prostat
risiko rendah (88%) dan kanker payudara stadium awal (73%). Namun,

304 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


angka penundaan pengobatan untuk jenis tumor yang lebih agresif
(seperti gastrointestinal, sistem saraf pusat, dan kanker paru-paru small
cell) adalah kurang dari 15%. Hasil ini menunjukkan keamanan dan
pentingnya pemberian terapi radiasi yang merupakan terapi esensial bagi
banyak jenis kanker.

RINGKASAN
Pandemi Covid-19 telah menimbulkan tantangan berat bagi pasien kanker,
dokter, dan semua aspek yang terlibat. Saat pandemi merajalela di seluruh
dunia, sangatlah penting untuk mempelajari lebih lanjut interaksi kanker
dan Covid-19 untuk lebih menyesuaikan manajemen pasien dengan
kanker dan meminimalkan interupsi pada perawatan kanker. Namun

21
penyesuaian terhadap pandemi ini perlu diimbangi dengan penelitian
dan data klinis sebagai tumpuan dan dasar dalam mengambil keputusan
yang tidak lepas dari keuntungan dan kerugian masing-masing.
20
DAFTAR PUSTAKA
Ackermann, M., Verleden, S.E., Kuehnel, M., Haverich, A., Welte, T., Laenger, F., et
al. 2020. Pulmonary vascular endothelialitis, thrombosis, and angiogenesis
P

in Covid-19. N. Engl. J. Med., 383:120-128.


Al-Quteimat, O.M. dan Amer, A.M. 2020. The Impact of the Covid-19 Pandemic
AU

on Cancer Patients. Am J Clin Oncol, 43:452–455.


ASCO. 2020. ASCO special report: a guide to cancer care delivery during the
Covid-19 pandemic. Available from: https://www.asco.org/sites/new-www.
asco.org/files/content-files/2020-ASCO-Guide-Cancer-COVID19.pdf
Bakouny, Z., Hawley, J.E., Choueiri, T.K., Peters, S., Rini, B.I., Warner, J.L., et al.
2020. Covid-19 and Cancer: Current Challenges and Perspectives. Cancer Cell,
38:629-642. https://doi.org/10.1016/j.ccell.2020.09.018
Chen, Z., King, W., Pearcey, R., Kerba, M., Mackillop, W.J. 2008. The relationship
between waiting time for radiotherapy and clinical outcomes: asystematic
review of the literature. Radiother Oncol, 87:3–16. 10.1016/j.radonc.2007.11.016
Coussens, L.M. dan Werb, Z. 2020. Inflammation and cancer. Nature, 420:860-
867.

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Pasien Kanker 305


Curigliano, G., Banerjee, S., Cervantes, A., Garassino, M.C., Garrido, P., Girard,
P., et al. 2020. Managing cancer patients during the Covid-19 pandemic: an
ESMO multidisciplinary expert consensus. J Annonc, 31(Issue:10):1320-1334.
DOI https://doi.org/10.1016/j.annonc.2020.07.010.
Dai, M., Liu, D., Liu, M., Zhou, F., Li, G., Chen, Z., Zhang, Z., et al. 2020. Patients
with cancer appear more vulnerable to SARS-CoV-2: a multicenter study
during the Covid-19 outbreak. Cancer Discov, 10:783.
ESMO. 2020. Cancer Patient Management during the Covid-19 Pandemic.
ESMO. Available from: https://www.esmo.org/guidelines/cancer-patient-
management-during-the-Covid-19-pandemic.
FDA. 2020. Policy for coronavirus disease e 2019 tests during the public health
emergency. Dilihat 29 Desember 2020. Available from: https://www.fda.gov/
regulatoryinformation/search-fda-guidance-documents/policy-coronavirus-
disease-2019-tests-during-public-health-emergency-revised.

21
Flodgren, G., Rachas, A., Farmer, A.J., Inzitari, M., Shepperd, S. 2015. Interactive
telemedicine: effects on professional practice and health care outcomes.
Cochrane Database Syst. Rev. 2015: CD002098
Fung, M. dan Babik, J.M. 2020. Covid-19 in immunocompromised hosts: what we
20
know so far. Clin. Infect. Dis, 72(2):340-350. 10.1093/cid/ciaa863.
Garassino, M.C., Whisenant, J.G., Huang, L.C., Trama, A., Torri, V., Agustoni, F.,
et al. 2020. Covid-19 in patients with thoracic malignancies (TERAVOLT):
first results of an international, registry-based, cohort study. Lancet Oncol,
P

21:914-922.
Garvin, M.R., Alvarez, C., Miller, J.I., Prates, E.T., Walker, A.M., Amos, B.K., et
AU

al. 2020. A mechanistic model and therapeutic interventions for Covid-19


involving a RAS-mediated bradykinin storm. Elife, 9:e59177.
Giannakoulis, V.G., Papoutsi, E., Siempos, I.I. 2020. Effect of cancer on clinical
outcomes of patients with Covid-19: a meta-analysis of patient data. JCO
Glob. Oncol, 6:799-808.
Hollander, J.E. dan Carr, B.G. 2020. Virtually perfect? Telemedicine for Covid-19.
N Engl J Med, 382(18):1679e1681.
IDSA. 2020. Covid-19 Resource Center. Available from: https://www.idsociety.org/
public-health/Covid-19-Resource-Center/
Kooshkaki, O., Derakhshani, A., Conradie, A. M., Hemmat, N., Barreto, S. G.,
Baghbanzadeh, A., et al. 2020. Coronavirus Disease 2019: A Brief Review
of the Clinical Manifestations and Pathogenesis to the Novel Management

306 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Approaches and Treatments. Frontiers in oncology, 10, 572329. https://doi.
org/10.3389/fonc.2020.572329.
Kuderer, N.M., Choueiri, T.K, Shah, D.P., Shyr, Y., Rubinstein, S.M., Rivera, D.R.,
Shete, S., Hsu, C.Y., et al. 2020. Clinical impact of Covid-19 on patients with
cancer (CCC19): a cohort study. Lancet, 395:1907-1918.
Liang, W., Guan, W., Chen, R., Wang, W., Li, J., Xu, K., et al. 2020. Cancer patients
in SARS-CoV-2 infection: a nationwide analysis in China. Lancet Oncol, 21:
335-337.
London, J.W., Fazio-Eynullayeva, E, Palchuk, M.B., Sankey, P., McNair, C. 2020.
Effects of the Covid-19 pandemic on cancer-related patient encounters. JCO
Clin. Cancer Inform. pp. 657-665.
Mangalmurti, N. dan Hunter, C.A. 2020. Cytokine storms: understanding Covid-
19. Immunity, 10.1016/j.immuni.2020.06.017.
Mehta, V., Goel, S., Kabarriti, R., Cole, D., Goldfinger, M., Acuna-Villaorduna, A.,

21
et al. 2020. Case fatality rate of cancer patients with Covid-19 in a New York
hospital system. Cancer Discov., 10, pp. 935-941.
OECD. 2020. Testing for Covid-19: a way to lift confinement restrictions. Dilihat
29 Desember 2020. Available from: http://www.oecd.org/coronavirus/policy-
20
responses/testing-for-Covid-19-a-way-to-lift-confinement-restrictions-
89756248/.
Postow, M.A., Sidlow, R., Hellmann, M.D. 2018. Immune-related adverse events
associated with immune checkpoint blockade. N. Engl. J. Med., 378:158-168.
P

Reuss, J.E., Suresh, K., Naidoo, J. 2020. Checkpoint inhibitor pneumonitis:


mechanisms, characteristics, management strategies, and beyond. Curr.
AU

Oncol. Rep., 22(6):56. 10.1007/s11912-020-00920-z.


Robilotti, E.V., Babady, N.E., Mead, P.A., Rolling, T., Perez-Johnston, R., Bernardes,
M., et al. 2020. Determinants of Covid-19 disease severity in patients with
cancer. Nat. Med., 26:1218-1223.
Rogado, J., Obispo, B., Pangua, C., Serrano-Montero, G., Marino, A.M., Pérez-
Pérez, M., López-Alfonso, A., et al. 2020. Covid-19 transmission, outcome and
associated risk factors in cancer patients at the first month of the pandemic
in a Spanish hospital in Madrid. Clin. Transl. Oncol., 22:2364-2368. 10.1007/
s12094-020-02381-z.
Rolston, K.V. 2017. Infections in cancer patients with solid tumors: a review. Infect
Dis Ther, 6:69-83.
Rubinstein, S.M. dan Warner, J.L. 2020. Covid-19 and haematological malignancy:
navigating a narrow strait. Lancet Haematol, 7(10):701-703. 10.1016/s2352-
3026(20)30252-0.

Manifestasi Klinis Covid-19 pada Pasien Kanker 307


Saini, K.S., Tagliamento, M., Lambertini, M., McNally, R., Romano, M., Leone,
M., et al. 2020. Mortality in patients with cancer and coronavirus disease
2019: a systematic review and pooled analysis of 52 studies. Eur. J. Cancer,
139:43-50.
Schrag, D., Hershman, D.L., Basch, E. 2020. Oncology practice during the Covid-19
pandemic. J. Am. Med. Assoc. 10.1001/jama.2020.6236.
Sharma, P. dan Allison, J.P. 2020. Immune checkpoint targeting in cancer therapy:
toward combination strategies with curative potential. Cell, 161(2):205-14.
10.1016/j.cell.2015.03.030.
Shimabukuro-Vornhagen, A., Gödel, P., Subklewe, M., Stemmler, H.J., Schlößer,
H.A., Schlaak, M., et al. 2018. Cytokine release syndrome. J. Immunother.
Cancer. 6(1):56. 10.1186/s40425-018-0343-9.
Tang, Y.W., Schmitz, J.E., Persing, D.H., Stratton, C.W. 2020. Laboratory diagnosis
of Covid-19: current issues and challenges. J. Clin. Microbiol, 58(6):e00512-20.
10.1128/JCM.00512-20.

21
Waldman, A.D., Fritz, J.M., Lenardo, M.J. 2020. A guide to cancer immunotherapy:
from T cell basic science to clinical practice. Nat. Rev. Immunol. 20:651-668.
10.1038/s41577-020-0306-5.
20
WHO. 2020. Maintaining essential health services during the Covid-19 outbreak.
Dilihat 29 Desember 2020. Available from: https://www.who.int/emergencies/
diseases/novel-coronavirus-2019/related-health-issues
Worldometer. 2020. Covid-19 CORONAVIRUS PANDEMIC, dilihat 28 Desember
P

2020, <https://www.worldometers.info/coronavirus/>
Yeoh, C.B., Lee, K.J., Rieth, E.F., Mapes, R., Tchoudovskaia, A.V., Fischer, G.W., et
AU

al. 2020. Covid-19 in the Cancer Patient, Anesthesia & Analgesia. 131(Issue
1):16-23. doi: 10.1213/ANE.0000000000004884
Zhang, L., Zhu, F., Xie, L., Wang, C., Wang, J., Chen, R., et al. 2020. Clinical
characteristics of Covid-19-infected cancer patients: a retrospective case
study in three hospitals within Wuhan, China. Annals of Oncology, 31(Issue
7):894-901. https://doi.org/10.1016/j.annonc.2020.03.296.
Zhou, F., Yu, T., Du, R., Fan, G., Liu, Y., Liu, Z., et al. 2020. Clinical course and risk
factors for mortality of adult inpatients with Covid-19 in Wuhan, China: a
retrospective cohort study. Lancet, 395:1054–1062.
Ziegler, C.G.K., Allon, S.J., Nyquist, S.K., Mbano, I.M., Miao, V.N., Tzouanas, C.N.,
et al. 2020. SARS-CoV-2 receptor ACE2 is an interferon-stimulated gene in
human airway epithelial cells and is detected in specific cell subsets across
tissues. Cell, 181:1016-1035.e19.

308 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


MANIFESTASI KLINIS PASIEN
KRITIS PNEUMONIA COVID-19

Buyung Hartiyo Laksono, Arie Zainul Fatoni, Ramacandra Rakhmatullah,


Muhammad Rodli, Ahmad Feza Fadhlurrahman, Bambang Pudjo Semedi

PENGANTAR

21
Severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) adalah
Betacoronavirus novel RNA ber-envelope yang muncul pada Desember
20
2019 di Wuhan, China, dan merupakan penyebab penyakit Coronavirus
2019 (Covid-19). Presentasi klinis Covid-19 yang parah adalah pneumonia
dengan demam, batuk dan dyspnoea. Pusat Pengendalian dan Pencegahan
Penyakit China melaporkan bahwa dari 44.500 infeksi yang dikonfirmasi,
P

sebagian besar pasien yang terinfeksi (80%) mengalami penyakit ringan


(tanpa atau hanya pneumonia ringan), 14% menjadi penyakit yang berat
AU

(dengan dyspnoea, hipoksia atau lebih dari 50% paru yang terdampak
dari gambaran radiologis) dan 5% berkembang menjadi penyakit kritis
(ditandai dengan gagal napas, syok sepsis atau kegagalan multiorgan).
Sekitar 20–30% pasien yang dirawat di rumah sakit karena pneumonia
terkait Covid-19 memerlukan perawatan intensif (Merad, M. 2020).
Angka mortalitas pada pasien Covid-19 dengan kondisi kritis sangat
tinggi yaitu berkisar 20–90%. Faktor risiko terkait meningkatnya keparahan
penyakit dan risiko kematian telah dilaporkan pada berbagai penelitian
adalah usia yang lebih tua dan adanya komorbid seperti hipertensi,
diabetes mellitus, penyakit jantung dan penyakit paru paru sebelumnya.
Manifestasi klinis pasien Covid-19 yang mengalami kondisi kritis sebagian
besara adalah pasien dengan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS),

309
Acute Kidney Injury (AKI), kardiomiopati, komplikasi thrombosis (emboli
paru dan emboli vena trombosis), sepsis dan syok sepsis (Shang, et al.,
2020; Zarate, et al., 2020; Chand, et al., 2020).
ARDS merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan edema paru
non kardiogenik, inflamasi pada paru, hipoksemia, dan penurunan
komplians paru. ARDS yang dipicu oleh pneumonia Covid-19 biasa disebut
sebagai CARDS. Meskipun CARDS memenuhi kriteria ARDS Berlin 2012,
manifestasi klinis nya tidak sepenuhnya sama. Hal ini membuat beberapa
perbedaan pada tata laksananya terutama terkait ventilasi mekanik pada
CARDS. Angka mortalitas pasien CARDS masih sangat tinggi, antara 50%
hingga 80% (Gattinoni, Chiumello dan Rossi, 2020; McElroy, 2020). Selain
ARDS, pada Covid-19 derajat berat/kritis dapat terjadi komplikasi emboli
paru, sepsis dan syok sepsis. Hal ini terjadi karena interaksi SARS-CoV-2

21
dan Angiotensin converting enzyme 2 (ACE-2) yang menimbulkan cytokine
storm karena meningkatnya sitokin pro inflamasi seperti interleukin-2
(IL-2), interleukin-6 (IL-6), interleukin-8 (IL-8) dan tumor necrosis factor-α
20
(TNF-α). Hal ini mendorong aktivasi gangguan hiperkoagulabilitas
dan koagulasi darah sehingga meningkatkan risiko mikrotrombosis
intravaskular yang mendorong terjadinya emboli vena dalam dan emboli
paru yang mengancam jiwa (Jose, et al., 2020). Oleh sebab itu pada bab
P

ini, kami akan membahas tentang manifestasi klinis dan manajemen


pasien kritis Covid-19 yang meliputi kondisi ARDS, sepsis-syok sepsis,
AU

dan emboli paru.

TUJUAN YANG INGIN DICAPAI


1. Mengetahui tanda dan gejala ARDS, sepsis, syok sepsis, dan emboli
paru pada Covid-19
2. Mengetahui cara penegakan diagnosis ARDS, sepsis, syok sepsis, dan
emboli paru pada Covid-19
3. Mengetahui manajemen ARDS, sepsis, syok sepsis, dan emboli paru
pada Covid-19

310 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


PATOFISIOLOGI COVID-19
Masa inkubasi rata-rata SARS-CoV-2 adalah 5 hari, viral load mencapai
puncaknya sebelum gejala muncul dan menurun setelah gejala mereda.
Viral load dapat dideteksi dari swab naso/orofaring selama minimal 8
hari dan median 20 hari dari mulainya gejala. Gejalanya bervariasi,
mulai dari demam, lemas, batuk kering, diare, nyeri tenggorok sampai
hilangnya pengecapan. pada banyak pasien gejala-gejala ini diikuti oleh
fase infeksi pulmonal, dengan ciri khas gejala respiratorik dan adanya
dispneu, infiltrat pulmonal pada radiografik, dan hipoksemia (Torres dan
Singer, 2020).
Sebagian besar morbiditas dan mortalitas yang berhubungan
dengan Covid-19 terjadi pada fase inflamasi, yang karakteristiknya

21
adalah disregulasi respons imun dan kondisi hiperkoagulabilitas yang
dapat menyebabkan komplikasi berbahaya, seperti gagal jantung dan
gagal ginjal, penyakit serebrovaskuler, sepsis dan ARDS. pada pasien
yang bertahan hidup, terjadi fase pemulihan, di mana terjadi perbaikan
20
inflamasi dan regenerasi jaringan paru yang rusak, dan akhirnya
homeostasis sistem organ kembali (Gambar 17.1). ARDS merupakan
P
AU

Gambar 17.1 Perjalanan klinis pneumonia Covid-19 yang berkembang menjadi


ARDS. Rata-rata perubahan masa inkubasi dan Viral Load (CT Value) terjadi pada
hari ke 0, 7, 14, dan 21. Median (Interquartile Range) dari onset gejala ringan
menjadi sesak/dispneu adalah 4-9 hari, menjadi ARDS 8-15 hari, dan menjadi
sembuh atau meninggal 17-25 hari (Torres dan Singer, 2020)

Manifestasi Klinis Pasien Kritis Pneumonia Covid-19 311


sequel yang paling sering terjadi pada fase inflamasi, dan merupakan
penyebab utama mortalitas pada pasien pneumonia Covid-19 (Torres dan
Singer, 2020; McElroy, 2020).
Patogenesis infeksi SARS-CoV-2 pada manusia secara sederhana
dapat dilihat melalui siklus hidup virus dengan inangnya yang terdiri
atas 5 langkah berikut: perlekatan, penetrasi, biosintesis, pematangan
dan pelepasan. Setelah virus mengikat reseptor inang (perlekatan), virus
memasuki sel inang melalui endositosis atau fusi membran (penetrasi).
Setelah isi virus dilepaskan di dalam sel inang, RNA virus memasuki
nukleus untuk replikasi. mRNA virus digunakan untuk membuat protein
virus (biosintesis). Kemudian, partikel virus baru dibuat (pematangan)
dan dilepaskan. Replikasi cepat SARS-CoV-2 di paru-paru dapat memicu
respons imun yang kuat dan dapat bermanifestasi mulai dari gejala yang

21
ringan hingga gejala yang berat (Haimei, 2020).
Pada Covid-19 kondisi kritis, dan diketahui terjadi pada sebagian
besar pasien yang dirawat di ICU, respons host terhadap virus dapat
20
menyebabkan ARDS, sepsis atau syok sepsis seperti yang didefinisikan
oleh konsensus internasional untuk ARDS, sepsis dan syok septik
(sepsis-3). SARS-CoV-2 memasuki sel di saluran pernapasan melalui
reseptor angiotensin-converting enzyme 2 (ACE-2) yang kemudian dapat
P

memicu badai sitokin dan menghasilkan mediator inflamasi yang tinggi


pada pasien Covid-19, yang dikaitkan dengan keparahan dan kematian.
AU

pada kasus berat juga memiliki beberapa karakteristik umum sepsis yang
berasal dari pernapasan, seperti sekresi lendir yang padat di saluran
udara, kerusakan alveolar difus, peningkatan peradangan paru, dan
tingginya sitokin proinflamasi sistemik, mungkin sebagai konsekuensi
dari peningkatan angiotensin II disebabkan oleh interaksi SARS-CoV-2
dan ACE-2, serta tingginya kadar IL-6 dan sitokin proinflamasi lain yang
teridentifikasi pada pasien Covid-19, berkontribusi pada koagulopati
(Garcia, et al., 2020).
Patofisiologi Covid-19 sejauh ini, diketahui bahwa pada Covid-19
ringan, makrofag dapat menahan virus setelah paru terinfeksi SARS-
CoV-2; sistem imun secara efisien dapat menghambat replikasi virus
sehingga pasien lebih cepat pulih. Namun, pada kasus Covid-19 yang kritis,

312 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


diketahui integritas dari endotel dan epitel paru terganggu, akibatnya,
selain ada komponen plasma eksudat di rongga alveolar, juga dapat
muncul berbagai sitokin proinflamasi seperti TNF-α, interleukin, caspase,
protease, leukotrien, kinin, reactive oxygen species, nitrit oksida, asam
arakidonat, platelet activating factor, dan eikosanoid. Sitokin proinflamasi
seperti tumor nekrosis faktor α, interleukin-1β, dan interleukin-6 akan
mengaktifkan rantai koagulasi dan menghambat fibrinolisis. Sedangkan
Protein C yang teraktivasi (APC), adalah modulator penting dari rantai
koagulasi dan inflamasi, akan meningkatkan proses fibrinolisis dan
menghambat proses trombosis dan inflamasi (Gambar 17.2) (Bernard, et
al., 2001; Irvan, Febyan and Suparto, 2018).

21
20
P
AU

Gambar 17.2 Patofisiologi Virus SARS-CoV-2 (Li, et al., 2020)

Manifestasi Klinis Pasien Kritis Pneumonia Covid-19 313


Aktivasi komplemen dan rantai koagulasi akan turut memperkuat
proses tersebut. Endotelium vaskular merupakan tempat interaksi
yang paling dominan terjadi dan sebagai hasilnya akan terjadi cedera
mikrovaskular, trombosis, dan kebocoran kapiler. Semua hal ini akan
menyebabkan terjadinya iskemia jaringan. Gangguan endotelial ini
memegang peranan dalam terjadinya disfungsi organ dan hipoksia
jaringan yang dapat mengakibatkan syok (Li, et al., 2020). Oleh karena
itu, terapi antivirus yang efektif dan langkah-langkah untuk memodulasi
respons imun bawaan dan memulihkan respons imun adaptif sangat
penting untuk memutus rantai patofisiologi ini dan meningkatkan luaran
pasien (Li, et al., 2020).

KEADAAN HIPERKOAGULASI COVID-19

21
Terdapat beberapa mekanisme yang dapat berkontribusi pada keadaan
hiperkoagulasi dan pulmonary microthrombosis (PMT) pada Covid-19. Perlu
diketahui, terdapat 2 aspek faktor pembentukan hiperkoagulabilitas
20
dan penyakit trombotik: pertama, terdapat peningkatan koagulasi
dan yang kedua adalah melemahnya antikoagulasi dan fibrinolisis.
Angiotensin-converting enzyme 2 yang dihasilkan dari aktivasi reseptor
ACE-2 merupakan komponen penting dari RAS (renin-angiotensin system)
P

dan diekspresikan pada sel endotel vaskular. ACE-2 secara bergantian


AU

mengubah angiotensin (Ang)-II menjadi Ang-(1-7) dan Ang I menjadi Ang-


(1-9) (Gambar 17.3). Ang-(1-9) meningkatkan perkembangan trombosis,
menurunkan konsentrasi plasma tissue plasminogen activator (t-PA), dan
meningkatkan level plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1). Oleh karena itu,
keseimbangan antara t-PA dan PAI-1 menjadi rusak dan produksi plasmin
menjadi berkurang, sehingga meningkatkan risiko trombosis di pembuluh
darah (Haimei, et al., 2020).
Dari kaskade koagulasi yang dapat dilihat pada Gambar 4, dapat
dilihat bahwa peningkatan koagulasi dapat terjadi melalui jalur intrinsik
atau ekstrinsik, yang menyebabkan meningkatnya faktor koagulasi dan
pembentukan trombin. Banyak faktor yang menjadi activator dari sistem
koagulasi, dan kerusakan pada endotel vaskular adalah pemicu utama

314 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


21
20
Gambar 17.3 Patogenesis SARS-CoV-2 yang berikatan dengan reseptor ACE-2
dan mekanisme ACE-2 dalam memengaruhi hiperkoagulabilitas darah (Haimei, et
al., 2020)

terjadinya koagulasi. Inti dari sistem fibrinolitik adalah plasmin, yang


P

digunakan untuk mendegradasi gumpalan benang-benang fibrin. Plasmin


AU

diaktivasi oleh plasminogen di bawah kendali t-PA dan kemudian dengan


cepat bergabung dengan a2-antiplasmin untuk membentuk kompleks
plasmin-antiplasmin (PAP). Sel endotel vaskular mensekresikan t-PA, yang
biasanya dalam bentuk kompleks tPA-PAI-1. Sel endotel vaskuler memiliki
peran penting dalam mengatur sistem koagulasi, antikoagulasi, dan
fibrinolisis dan terkait erat dengan keadaan hiperkoagulasi tubuh dan
terjadinya penyakit trombotik (Haimei, et al., 2020).
Dari penjabaran di atas, diketahui bahwa SARS-CoV-2 mengikat
reseptor ACE2 dan kemudian masuk ke dalam sel, menyebabkan
jaringan luas dan kerusakan sel endotel organ. pada saat yang sama,
aktivitas koagulasi yang menjembatani regulasi renin angiotensin system
(RASI meningkat, aktivitas antikoagulasi dan fibrinolitik melemah,

Manifestasi Klinis Pasien Kritis Pneumonia Covid-19 315


21
20
Gambar 17.4 Sistem Koagulasi, Antikoagulasi, dan Fibrinolisis (Haimei,
et al., 2020)
P

dan trombosis ekstensif dapat muncul di pembuluh darah, yang


selanjutnya mengarah kepada DIC dan emboli paru. Apabila keadaan
AU

hiperkoagulabilitas terjadi secara ekstensif dan trombosis intravaskular


terjadi secara difus, hal ini dapat menjadi penyebab terjadinya komplikasi
seperti seperti emboli paru (Haimei, et al., 2020). Selain itu, konsekuensi
patologis langsung dan tidak langsung dari Covid-19, seperti hipoksia
berat, penyakit penyerta yang sudah ada sebelumnya, dan disfungsi organ
terkait dapat memengaruhi kelainan hemostatik, salah satunya adalah
disseminated intravascular coagulation (DIC). Hipoksia dapat memengaruhi
trombosis dengan meningkatkan viskositas darah dan melalui jalur
pensinyalan yang bergantung pada faktor transkripsi yang diinduksi
hipoksia. Terdapat juga peningkatan disfungsi endotel faktor von Willebrand
(vWF), aktivasi reseptor Toll-like (TLR), dan aktivasi jalur faktor jaringan
dapat menginduksi efek proinflamasi dan prokoagulan melalui aktivasi

316 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


komplemen dan pelepasan sitokin, mengakibatkan disregulasi kaskade
koagulasi dengan pembentukan bekuan fibrin intra-alveolar atau sistemik
(Sakr, et al., 2020).

ARDS PADA COVID-19

ALUR DIAGNOSTIK
Angka mortalitas dan morbiditas pada pasien Covid-19 dengan critically
ill sangat tinggi. Sebuah studi single centre menemukan bahwa sebagian
besar pasien Covid-19 kritis mengalami disfungsi organ, di mana 67%
di antaranya dengan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), 29%
dengan Acute Kidney Injury (AKI), 23% dengan cardiac injury dan 29%

21
dengan disfungsi hepar (Shang, et al, 2020). Mortalitas pasien ARDS karena
pneumonia Covid-19 sangat tinggi, antara 50% hingga 80% (McElroy, 2020).
Luaran pasien ARDS karena Covid-19 lebih buruk daripada ARDS karena
20
sebab lain. Berbeda dengan mortalitas pada pasien ARDS non Covid-19
yang hanya sekitar 35.3–40.0% (Gibson, Qin dan Puah, 2020). Tingginya
angka mortalitas memerlukan perhatian lebih dari semua pihak. ARDS
yang dipicu oleh pneumonia Covid-19 biasa disebut sebagai Covid-19
P

ARDS (CARDS) (Gattinoni, Chiumello dan Rossi, 2020).


Konsensus tentang ARDS yang tercatat sejak 1994 melalui American-
AU

European Consensus Conference (AECC) sampai dengan konsensus terakhir


yaitu Berlin 2012, dapat ditemui manifestasi klinisnya pada pasien
pneumonia Covid-19. ARDS dikenal dengan banyak nama lain, yaitu
shock lung, Da Nan lung (dari perang Vietnam), stiff-lung syndrome, leaky
capillary pulmonary edema, noncardiogenic pulmonary edema, acute lung injury,
adult respiratory distress syndorme di mana tampak gambaran morfologis
kerusakan alveoli inflamatorik difus. Kriteria Berlin mendefinisikan ARDS
dengan gagal napas hipoksemik akut setelah suatu kejadian (seperti infeksi
virus pernapasan) dengan tanda munculnya infiltrat bilateral pada foto
thoraks tanpa etiologi kardiogenik atau hidrostatik. ARDS yang dipicu
oleh pneumonia Covid-19 biasa disebut sebagai CARDS (Gattinoni, et al,
2020; Fan, et al, 2018; Marino et al, 2014).

Manifestasi Klinis Pasien Kritis Pneumonia Covid-19 317


Tabel 17.1 ARDS Definisi Berlin 2012 (Force, et al., 2012)

Kriteria Definisi Berlin


Waktu Dalam 1 minggu dari pencetus klinis yang diketahui atau gejala
pernapasan baru atau perburukan gejala
Gambaran Opasitas bilateral yang tidak dapat dijelaskan dengan efusi,
thoraks kolaps lobus/paru, atau nodul pada radiografi dada atau CT
Oksigenasi Ringan : PaO₂/FiO₂ > 200 mmHg tetapi < 300 mmHg dengan
PEEP atau CPAP > 5 cmH₂O
Sedang : PaO₂/FiO₂ > 100 mmHg tetapi < 200 mmHg dengan
PEEP > 5 cmH₂O
Berat : PaO₂: FiO₂ < 100 mmHg dengan PEEP > 5 cmH₂O
Asal edema Gagal napas yang tidak dapat dijelaskan dengan gagal jantung
atau kelebihan cairan (memerlukan penilaian objektif, seperti
ekokardiografi, untuk mengeksklusi edema hidrostatik bila

21
tidak ada faktor risiko)

Definisi ARDS Berlin 2012 dijelaskan dengan empat kriteria seperti


pada Tabel 17.1, yaitu berkaitan dengan waktu/onset, gambaran toraks,
20
tingkat oksigenasi dengan pemberian Positive End Expiratory Pressure
(PEEP), dan atau Continues Positive Airway Pressure (CPAP), dan asal mula
dari edema (Force, et al, 2012).
P

GAMBARAN THORAKS DAN OKSIGENASI


AU

Gattinoni, Chiumello dan Rossi mengusulkan dua tipe hipoksemia


yang terjadi pada pasien pneumonia Covid-19. Tipe 1 disebut sebagai
tipe non ARDS, sedangkan tipe 2 disebut sebagai tipe ARDS (CARDS).
pada publikasi yang lain, Gattinoni et al menyebut tipe 1 sebagai fenotipe
L, dan tipe 2 sebagai fenotipe H. Foto toraks tidak bisa membedakan
keduanya dengan jelas. Perbedaannya dapat diketahui dengan melakukan
pemeriksaan CT-scan thoraks seperti pada Gambar 17.5. Jika tidak tersedia
CT-scan, mungkin bisa dibedakan dengan melalukan evaluasi dari Dynamic
Lung Compliance terhadap penggunaan PEEP.
Tipe 1 yang disebut juga dengan fenotipe L memiliki karakteristik
compliance paru yang mendekati normal. Hipoksemia tetap terjadi
meskipun compliance sistem respirasi lebih dari 50 ml/cm H₂O, volume

318 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


gas paru tinggi dan rekruitabilitas minimal. Terjadi pencampuran vena
kanan ke kiri kurang lebih sekitar 50%. Berat paru-paru tetap rendah,
hanya meningkat sedikit, karena pada CT-scan hanya tampak densitas
ground glass di subpleural dan di sepanjang fisura paru. Hipoksemia
diduga disebakan oleh hilangnya refleks hypoxic pulmonary vasoconstriction
dan gangguan regulasi aliran darah pulmonal sehingga terjadi ventilasi/
perfusi (VA/Q) mismatch. PEEP tinggi dan posisi prone tidak banyak
memperbaiki oksigenasi melalui perekrutan area yang kolaps, tetapi
tetap dapat meredistribusi perfusi pulmonal, sehingga tetap mampu
memperbaiki hubungan VA/Q meski kurang signifikan. Tipe 2 yang
disebut juga dengan fenotipe H, memiliki karakteristik elastansi paru
yang tinggi karena terjadi peningkatan tekanan dan edema pada paru
dependen. Hal ini menyebabkan peningkatan shunt dari kanan ke kiri

21
karena cardiac output tetap memberikan perfusinya ke jaringan yang non
aerated. Analisis kuantitatif CT-scan thoraks menunjukkan penambahan
berat paru-paru > 1,5 kg, penambahan tersebut sesuai dengan derajat
20
ARDS yang terjadi. Area non aerated cukup banyak, seperti severe ARDS
pada umumnya sehingga peluang perekrutan paru-paru cukup tinggi
(Fan, et al, 2020; Gattinoni, et al., 2020).
Pemeriksaan auskultasi dan CT-scan yang dilakukan di luar intensive
P

care unit (ICU) sulit dilakukan pada pasien Covid-19. Foto toraks bedside
juga memiliki keterbatasan. Kendala tersebut membuat Li, Liu, dan
AU

Qi memilih metode evaluasi parenkim paru yang lebih baik dari foto
thoraks yaitu dengan Point of Care Lung Ultrasound (LUS) sesuai dengan
protokol Bedside Lung Ultrasound in Emergency (BLUE). Metode untuk
mendapatkan karakteristik CARDS dengan non-invasif, nyaman, real
time, dan bisa menilai fungsi paru sekaligus menilai organ tubuh yang
lain. Hasil pemeriksaan LUS tampak di gambar 17.5. Studi dilaksanakan
secara observasi klinis di Institute of Anesthesia and Critical Care Medicine,
Union Hospital. Studi terhadap 42 pasien di Union Hospital tersebut
mendapatkan gambaran yang konsisten pada CARDS, yaitu berupa
Alveolar Interstitial Syndrome (AIS) pada dinding dada anterior (85,7–100%)
dengan didapatinya B-lines yang difuse dan multiple (Gambar 17.5 Bagian I).
Didapati juga konsolidasi paru (71,4–95,2%) dengan shred sign (80,9–95,2%)

Manifestasi Klinis Pasien Kritis Pneumonia Covid-19 319


21
20
Gambar 17.5 Kondisi CT-scan empat pasien. tipe 1 kolom A, P/F ratio 95; Tipe
1 kolom B, berat paru 1192 g, volume udara 2774 ml, persentase jaringan yang
tidak teraerasi/non-aerated 8,4%, venous admixture 56%, P/F ratio 68, dan lung
compliance 80 ml/cmH₂O; tipe 2 kolom A, P/F ratio 84; Tipe 2 kolom B, berat paru
1441 g, volume udara 1640 ml, persentase jaringan yang tidak teraerasi/non-
P

aerated 39%, venous admixture 49%, P/F ratio 61, dan lung compliance 43 ml/
cmH₂O (Gattinoni, Chiumello dan Rossi, 2020; Gattinoni, et al., 2020).
AU

pada Posterolateral Alveolar or Pleural Syndrome (PLAPS) point (Gambar 17.5


Bagian II), bersamaan dengan penebalan pleura (Gambar 17.5 Bagian III)
di regio anterior dan posterior (76,2–95,2%) (Li, et al., 2020).

MANAJEMEN KLINIS SINGKAT


Tata laksana utama dari ARDS adalah mengatasi hipoksemia akut
diikuti dengan identifikasi dan terapi penyebab ARDS. Sehingga,
terapi oksigen dan dukungan napas juga merupakan kunci tata laksana
CARDS. Manajemen hipoksemia tentunya tidak lepas dari manajemen
jalan napas (airway) dan pernapasan (breathing). Manajemen jalan napas

320 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


dapat dilakukan secara non invasif maupun invasif dengan intubasi dan
ventilator mekanik. Shang et al (2020) mempublikasikan protokol terapi
napas untuk pasien CARDS melalui Ann Intensive Care seperti pada
Gambar 17.7.
Prinsip penanganan CARDS yang menggunakan ventilator mekanik
memakai prinsip Lung Protective Ventilation. Lung Protective Ventilation
harus dijalankan dalam memberikan ventilasi mekanik guna mencegah
terjadinya volutrauma, atelektrauma dan biotrauma (Ferrando, et al, 2020;
Thompson, et al, 2017). Standar terapi ventilasi mekanik konvensional
(sejak dikenalnya positive pressure ventilation) adalah dengan menggunakan
volume tidal besar (12–15 ml/kg) untuk mencegah terjadinya atelektasis,
dua kali lipat volume tidal saat bernapas biasa (6–7 ml/kg). pada pasien
dengan CARDS, lesi/infiltrasi heterogen, tetapi terutama tampak pada area

21
posterior yang merupakan area dependen pada posisi supine (Gambar
17.7). Daerah anterior merepresentasikan area fungsional paru yang akan
menerima volume inflasi. Pemberian volume inflasi yang tinggi akan
20
terakumulasi di area anterior dan menyebabkan overdistensi.
P
AU

Gambar 17.6 Gambaran Ultrasonography Paru-paru ARDS Akibat Covid-19. Kiri


atas gambar I B-lines tampak difuse dan multiple pada dinding dada depan; II
Tampak konsolidasi dan shred sign (panah kuning) yang merefleksikan jaringan
pada PLAPS point, (A: penampang longitudinal, B: penampang melintang); III Panah
merah tampak garis pleura menebal ireguler dan kasar dari probe convex (A, B) dan
probe linier (C), panah biru menunjukkan efusi pleura minimal (Li, et al., 2020).

Manifestasi Klinis Pasien Kritis Pneumonia Covid-19 321


21
Gambar 17.7 Protokol Terapi Respirasi dan Rescue untuk CARDS (Shang, et al.,
2020; Alhazzani, et al., 2020). Singkatan: NIV Non Invasive Ventilation, HFNC High
Flow Nasal Canule, PBW Predicted Body Weight, ECMO Extracorporeal Membrane
Oxygenation, ROX index didapat dari persamaan (SpO₂/FiO₂)/Frekuensi Napas.
20
Overdistensi akan melukai epitel dan memperberat peradangan
(volutrauma). Pembukaan dan penutupan berulang unit paru memperkuat
P

ketegangan paru regional dan mengurangi jumlah surfaktan (atelektrauma).


Cedera epitel dan endotel menyebabkan translokasi mediator proinflamasi
AU

dan produk bakteri, yang menyebabkan perburukan sistemik (biotrauma).


Hasil otopsi pada pasien CARDS menunjukkan terjadinya oklusi akibat
inflamasi dan nekrosis pada small airway. Target volume tidal dan PEEP
harus disesuaikan untuk meminimalkan driving pressure ≤ 14 cm H₂O,
dengan tujuan mencegah terjadinya VILI ataupun P-SILI (Fan, et al, 2020;
Ferrando, et al, 2020; Thompson, et al, 2017; Shang, et al, 2020).
Pemberian terapi ventilasi mekanik harus disesuaikan dengan kondisi
pasien. Marini dan Gattinoni mempublikasikan strategi terapi ventilasi
untuk pasien CARDS melalui JAMA insight seperti tampak pada tabel 17.2,
di mana dukungan ventilasi yang diberikan disesuaikan dengan tipe dan
waktu atau kondisi pasien (Ferrando, et al., 2020; Marini dan Gattinoni,
2020). Fan, et al., memberikan rekomendasi melalui The Lancet Respiratory

322 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Tabel 17.2 Dukungan ventilasi untuk pasien CARDS sesuai kondisi selama
terapi (Marini dan Gattinoni, 2020)

Pilihan Dukungan
Kondisi Target Keterangan
Ventilasi
Sebelum Pertukaran gas Suplemen Oksigen, Respiratory efforts
intubasi adekuat CPAP, NIV, HFNC, posisi yang terlalu kuat
Menghindari P-SILI prone saat sadar penuh, memberikan stress/
mengurangi frekuensi tekanan lebih pada paru
napas dan pembuluh darah,
bisa menyebabkan
injury.
Selama Menghindari Minimalkan PEEP, Meminimalkan stress
Ventilasi injury paru dan frekuensi dan volume transpulmonal dan
Mekanik terjadinya VILI tidal. Lakukan stress vaskuler
penyesuaian untuk
mencapai pertukaran

21
gas yang adekuat. Jaga
keseimbangan cairan.
Turunkan kebutuhan
Oksigen. Pertimbangkan
ECMO
20
Setelah Meminimalkan Tipe L*: Gunakan PEEP Tidal volume rendah
Intubasi stress paru rendah (< 10 cmH₂O), tidak dibutuhkan. PEEP
Oksigenasi Optimal Tidal Volume bisa tinggi tidak efektif,
Menghindari VILI liberal, sesuai dengan bisa menimbulkan
kebutuhan (7–9 mL/kg). dead space dan dapat
P

Turunkan kebutuhan memutarbalikkan blood


Oksigen. Pertimbangkan flow
posisi prone
AU

Mengurangi dan Tipe H*: gunakan PEEP Karakteristik lebih mirip


mendistribusikan lebih tinggi (< 115 dan lebih berespons
stress/tekanan cmH₂O), Tidal Volume seperti ARDS pada
terhadap paru rendah (5–7 mL/kg). umumnya
dan vaskuler Turunkan kebutuhan
secara merata, Oksigen. Terapkan
optimalisasi posisi prone
oksigenasi, hindari
VILI
Fase Hindari perburukan Hati-hati saat proses Usaha napas spontan
weaning kembali kondisi transisi, hindari yang berat/terlalu
paru dengan perubahan secara kuat meningkatkan
memicu mendadak, SBT hanya di kebutuhan oksigen,
terjadinya VILI akhir proses penyapihan meningkatkan
dan memperberat terjadinya edema dan
edema memicu P-SILI

Manifestasi Klinis Pasien Kritis Pneumonia Covid-19 323


Medicine bahwa manajemen/tata laksana pasien CARDS harus berdasarkan
evidence-based, kondisi fisik aktual bedside, dan data pendukung luaran
dari terapi yang diberikan. Penafsiran yang berlebihan dan kurang tepat
terhadap fenotipe heterogen dari CARDS berpotensi merugikan pasien.
Pendekatan ini termasuk Lung Protective Ventilation, individualized PEEP,
posisi prone, dan ECMO seperti rekomendasi guideline ARDS Internasional
yang berlaku.
Singkatan: ARDS, Acute Respiratory Distress Syndrome; CARDS,
Covid-19 dengan ARDS; CPAP, Continuous Positive Airway Pressure; ECMO,
Extracorporeal Membrane Oxygenation; HFNC, High-Flow Nasal Cannula; NIV,
Noninvasive Ventilation; P-SILI, Patient Self-Inflicted Lung Injury; PEEP, Positive
End-Expiratory Pressure; VILI, Ventilator-Induced Lung Injury; SBT, Spontaneus
Breathing Trial. *Tipe L: Infiltrat ground-glass scattered, compliance paru

21
lebih tinggi (> 50 mL/cmH₂O), tidak responsif terhadap PEEP; lebih tidak
dispneu. Tipe H: Infiltrat sampai dengan atelektasis dan edema ekstensif,
compliance lebih rendah, responsif terhadap PEEP, sesak berat.
20
SEPSIS DAN SYOK SEPSIS PADA COVID-19

ALUR DIAGNOSTIK
P

Sepsis didefinisikan sebagai disfungsi organ yang mengancam jiwa


AU

disebabkan oleh disregulasi dari respons tubuh pasien terhadap infeksi.


Syok septik adalah bagian dari sepsis di mana terjadi abnormalitas sirkulasi
dan metabolisme seluler yang dapat meningkatkan mortalitas. Disfungsi
organ dapat ditunjukkan oleh peningkatan dari penilaian kegagalan organ
(terkait sepsis) yang berkelanjutan (Sequential Organ Failure Assessment
atau disingkat SOFA) dengan skor 2 poin atau lebih (Tabel 2). Skor SOFA
yang lebih tinggi dikaitkan dengan peningkatan probabilitas mortalitas.
Covid-19 merupakan virus patogen yang dapat menyebabkan sepsis dan
syok sepsis, karena Covid-19 dapat menyebabkan infeksi dan disregulasi
imun yang pada akhirnya dapat menyebabkan disfungsi organ yang dapat
mengancam jiwa. Adapun kriteria klinis pasien sepsis dapat diketahui
dengan menggunakan skor SOFA. Skor SOFA dirasa lebih mudah untuk

324 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


dimengerti dan sederhana. Apabila pasien yang mengalami infeksi
didapatkan Skor SOFA ≥ 2 maka sudah tegak diagnosis sepsis (Tabel 3)
(Hong, 2020; Singer, et al., 2016; Fatoni, dkk., 2020).
Ketika mendapatkan pasien infeksi perlu dilakukan skrining
kemungkinan terjadinya sepsis. Skrining ini bisa dilakukan di mana
saja dan kapan saja. Metodenya dengan quick SOFA (qSOFA). Skoring ini
dirasa kuat dan lebih sederhana serta tidak memerlukan pemeriksaan
laboratorium. Skor qSOFA dinyatakan positif apabila terdapat 2 dari 3
kriteria di atas. Skor ini dapat digunakan dengan cepat oleh klinisi untuk

21
20
P
AU

Gambar 17.8 Algoritma Skrining dengan Kecurigaan Sepsis dan Syok Septik (Arifin,
dkk, 2017)

Manifestasi Klinis Pasien Kritis Pneumonia Covid-19 325


Tabel 17.3 Kriteria qSOFA dan SOFA

Laju Pernapasan ≥ 22 kali/menit


Perubahan kesadaran (Skor Glasgow Coma Scale ≤ 13)
Tekanan darah sistolik ≤ 100mmHg

mengetahui adanya disfungsi organ, untuk menginisiasi terapi yang tepat,


dan sebagai bahan pertimbangan untuk merujuk ke tempat perawatan
kritis atau meningkatkan pengawasan. Jika qSOFA positif selanjutnya akan
dilakukan skoring dengan metode SOFA (Tabel 3) (Tabel 4) (Rhodes, et al.,
2017). Sedangkan syok sepsis dapat diidentifikasi dengan adanya klinis
sepsis dengan hipotensi menetap yang membutuhkan obat vasopresor
untuk mempertahankan MAP ≥ 65 mmHg dan kadar laktat serum > 2

21
mmol/L (18 mg/dL) meskipun volume resusitasi sudah cukup (Arifin,
dkk., 2017).
20
MANAJEMEN KLINIS SINGKAT
Penanganan sepsis dan syok sepsis sebisa mungkin dilakukan dalam 1
jam setelah terdiagnosis sepsis (1 hour bundle of care). Menurut surviving
sepsis campaign 2018 prinsip penanganan sepsis/ 1 hour bundle of care harus
P

mencakup 5 poin yaitu, 1) cek kadar laktat, mengukur ulang apabila


laktat awal > 2 mmol/L, 2) kultur darah sebelum memberikan antibiotic,
AU

3) memberikan antibiotic/antivirus spektrum luas, 4)bila hipotensi atau


kadar laktat ≥ 4 mmol/L mulai melakukan resusitasi cairan denfan cairan
kristaloid 30 ml/kgBB. 5) berikan vasopressor bila pasien hipotensi selama
atau sesudah resusitasi cairaan untuk mempertahankan MAP ≥ 65 mmHg
(Levy, et al., 2018).
Terapi lain yang dibutuhkan adalah perbaikan oksigenasi dengan
target SpO₂ 92–96%. Bila terdapat kondisi sepsis yang diduga kuat oleh
karena ko-infeksi bakteri, pemilihan antibiotik disesuaikan dengan kondisi
klinis, fokus infeksi dan faktor risiko yang ada pada pasien. Pemeriksaan
kultur darah harus dikerjakan dan pemeriksaan kultur sputum (dengan
kehati-hatian khusus) patut dipertimbangkan. Penggunaan antivirus
(sampai sekarang belum ada terapi definitif untuk Covid-19) dapat

326 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Tabel 17.4 Sequential (Sepsis-Related) Organ Failure Assessment Scorea (Rhodes, et al., 2017)

Score
System
0 1 2 3 4
Respiration
PaO₂/FiO₂, mm Hg (kPa) ≥ 400 (53.3) < 400 (53.3) < 300 (40) < 200 (26.7) with < 100 (13.3) with
respiratory support respiratory support
Coagulation
Platelets, × 10³/μL ≥ 150 < 150 < 100 < 50 < 20
Liver
Bilirubin, mg/dL < 1.2 (20) 1.2–1.9 (20–30) 2.0–5.9 (33–101) 6.0–11.9 (10–204) > 12.0 (204)
AU
(μmol/L)
Cardiovascular MAP ≥ 70 mm Hg MAP < 70 mm Hg Dopamine < 5 or Dopamine 5.1–15 or Dopamine > 15 or
dobutamine (any epinephrine ≤ 0.1 epinephrine > 0.1
P dose)b or norepinephrine or norepinephrine
≤ 0.1b > 0.1b
Central nervous system
Glasgow Coma Scale 15 13–14 10–12 6–9 <6
scorec
20
Renal
Creatinine, mg/dL < 1.2 (110) 1.2–1.9 (110–170) 2.0–3.4 (171–299) 3.5–4.9 (300–440) > 5.0 (440)
(μmol/L)
Urine output, mL/d < 500 < 200
21
Abbreviations: FiO₂, fraction of inspired oxygen; MAP, mean arterial b Catecholamine doses are given as μg/kg/min for at least 1 hour.

Manifestasi Klinis Pasien Kritis Pneumonia Covid-19


presure; PaO₂, partial pressure of oxygen. c Glasgow Coma Scale scores range from 3–15; higher score
a Adapted from Vincent et al. indicates better neurological function.

327
dipertimbangkan remdesivir 200 mg IV drip/3jam dilanjutkan 1 × 100 mg
IV drip/3 jam selama 9–13 hari atau favipiravir (Avigan sediaan 200 mg)
loading dose 1600 mg/12 jam/oral hari ke-1 dan selanjutnya 2 × 600 mg
(hari ke 2–5) atau kombinasi Lopinavir + Ritonavir (Aluvia) 2 × 400/100mg
selama 10 hari. Deksametason dengan dosis 6 mg/24 jam selama 10 hari
atau kortikosteroid lain yang setara seperti hidrokortison pada kasus berat
yang mendapat terapi oksigen atau kasus berat dengan ventilator serta
pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada (Burhan, dkk., 2020).

EMBOLI PARU PADA COVID-19

ALUR DIAGNOSTIK

21
Penyakit tromboemboli vena adalah suatu spektrum penyakit yang
mencakup trombosis vena dalam (DVT) dan emboli paru. DVT terjadi
akibat pembentukan gumpalan darah di dalam vena besar, biasanya di
20
kaki. Emboli paru pada Covid-19 dapat disebabkan dari DVT yang telah
putus dan berjalan ke sirkulasi arteri pulmonal atau suatu PMT (Longo,
et al., 2020; Sakr, et al., 2020). Dalam studi observasional prospektif dari 150
pasien yang dirawat di empat ICU di dua rumah sakit Prancis, emboli paru
P

terjadi pada 16,7% pasien meskipun sudah dilakukan tromboprofilaksis


Penelitian tersebut juga melaporkan bahwa kejadian tromboemboli lebih
AU

sering terjadi pada pasien Covid-19 dengan ARDS (Helms, et al., 2020).
Manifestasi emboli paru kadang tidak menunjukkan gejala/
asimtomatik atau muncul dengan kematian mendadak. Tanda dan gejala
karakteristik yang dapat dijumpai adalah takikardia, dispnea, nyeri
dada, hipoksemia, dan syok. Dalam penelitian Prospective Investigation of
Pulmonary Embolism Diagnosis II (PIOPED II), pasien dengan emboli paru
memiliki berbagai tanda dan gejala. Tanda-tanda umum adalah takipnea
(54%) dan takikardia (24%). Gejala yang paling umum adalah dispnea,
biasanya timbul dalam hitungan detik, saat istirahat atau dengan aktivitas
(73%), nyeri pleuritik (44%), nyeri betis atau paha (44%), pembengkakan
betis atau paha (41%), dan batuk (34%) (Thachil, et al., 2020).

328 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


21
20
Gambar 17.9 Algoritma Pemeriksaan dan Tata Laksana Pasien Covid-19 dengan
Kecurigaan Emboli Paru oleh Konsortium Tim Respons Emboli Paru (PERT). aSkor
probabilitas PE yang perlu dipertimbangkan mencakup kriteria Wells, skor Jenewa,
P

dan Pulmonary Embolism Rule-out Criteria. bMengacu pada rincian spesifik tentang
stratifikasi risiko dalam dokumen praktek konsensus Konsorsium PERT untuk.
AU

cKarena sifat dari lokasi hotspot Covid-19, kemampuan menangani pasien Covid-19

di laboratorium kateterisasi dan ruang operasi berkenaan dengan transportasi,


keterpaparan/kesiapsiagaan staf, dan lain sebagainya telah berkembang sejak awal
pandemi dan akan terus berkembang. Algoritma ini menunjukkan cara merawat
pasien di institusi Covid-19 bervolume tinggi di mana sumber daya mungkin terbatas.
Di area bervolume rendah, penyedia layanan memiliki kemungkinan lebih kecil a
untuk mengarahkan pasien ke jalur aktivator plasminogen jaringan sistemik jika
pasien akan mendapat manfaat dari terapi invasif dan tidak ada penghalang atau
sumber daya yang terbatas. AC = anticoagulation; COVID-19 = coronavirus disease
2019; CTA = CT angiografi; ECMO = extracorporeal membrane oxygenation; LE =
lower extremity; LMWH = low-molecular-weight heparin; PCR = polymerase chain
reaction; PE = pulmonary embolysm; PERT = pulmonary embolism response team;
PESI = PE severity index; RV = right ventricular; sPESI = simplified PE severity index;
TTE = transthoracic echocardiogram.

Manifestasi Klinis Pasien Kritis Pneumonia Covid-19 329


Tabel 17.5 Sistem Skoring Geneva (Octaviani and Kurniawan, 2018)

Variabel Poin
Usia > 95 tahun 1
Riwayat terjadinya emboli paru atau DVT 3
Tindakan pembedahan atau fraktur dalam 1 bulan terakhir 2
Keganasan aktif 2
Nyeri pada tungkai bawah bersifat unilateral 3
Hemoptisis 2
Nyeri pada palpasi vena dalam pada tungkai bawah disertai dnegan 4
edema unilateral
Nadi 75 hingga 94 kali per menit 3
Nadi lebih dari 95 kali per menit 5

21
Pembagian probabilitas emboli paru berdasarkan Skor 0–3 = probabilitas rendah,
4–10 = probabilitas sedang, > 10 = probabilitas tinggi
20
Tabel 17.6 Kriteria WELLS (Octaviani and Kurniawan, 2018)

Variabel Poin
Tanda dan gejala DVT 3
Diagnosis banding lainnya memiliki probabilitas rendah dibandingkan 3
P

dengan emboli paru


Nadi > 100×/menit 1.5
AU

Imobilisasi atau tindakan operasi dalam 4 minggu terakhir 1.5


Riwayat terjadinya DVT atau emboli paru sebelumnya 1.5
Hemoptisis 1
Kanker (mendapatkan tata laksana dalam 6 bulan terakhir atau 1
mendapatkan tata laksana paliati
Pembagian probabilitas emboli paru berdasarkan Skor 0–1 = probabilitas rendah,
2–6 = probabilitas sedang, > 6 = probabilitas tinggi

Adanya emboli paru yang menyulitkan infeksi Covid-19 (atau pada


orang yang sedang diselidiki terinfeksi Covid-19) harus dipertimbangkan
ketika pasien menunjukkan ketidakstabilan hemodinamik atau fungsi
pertukaran gas buruk yang tidak sepenuhnya dapat dijelaskan atau
tidak proporsional dengan stadium, durasi, dan laju perkembangan

330 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


infeksi Covid-19 (Poissy, et al., 2020). Penggunaan biomarker seperti
D-dimer untuk membantu mengidentifikasi pasien dengan Covid-19
yang berisiko mengembangkan tromboemboli vena telah dieksplorasi
dalam beberapa seri kasus dan studi kohort. Dalam sebuah studi kohort
pusat tunggal dengan 198 pasien, peningkatan D-dimer dikaitkan dengan
peningkatan risiko sebesar 50% untuk mengembangkan tromboemboli
vena (Middeldorp, et al., 2020). Mengingat keterbatasan data untuk
mendukung penggunaan biomarker untuk mendiagnosis emboli paru
pada pasien dengan Covid-19, pengujian diagnostik standar harus
dipertimbangkan seperti dalam algoritma yang disusun oleh consortium
pulmonary embolism response team (PERT) dan dapat dilihat di (Gambar
17.9). Namun, karena kekhawatiran mengenai pajanan pada staf, tes
diagnostik standar termasuk CT angiografi (CTA) mungkin tidak mudah

21
untuk diperoleh. Sebagai alternatif, ekokardiogram dan ultrasonografi
ekstremitas bawah dapat menjadi pemeriksaan tambahan penting dalam
menegakkan diagnosis emboli paru. Jika terdapat bukti mengenai dilatasi
20
atau disfungsi ventrikel kanan, tanda McConnell, atau gerakan septum
paradoks trombus intrakardiak, atau bekuan dalam transit yang akut atau
tidak dapat dijelaskan, pasien harus dianggap menderita emboli akut
dan pengobatan dengan antikoagulasi dosis penuh harus segera dimulai
P

(Rosovsky, et al., 2020).


AU

MANAJEMEN KLINIS SINGKAT


International Society on Thrombosis and Haemostasis (ISTH) dan American
Society of Hematology (ASH) merekomendasikan dosis profilaksis low
molecular weigh heparin (LMWH) 1 × 40 mg subkutan atau unfractionated
heparin (UFH) subkutan 3 × 5000 IU harus dimulai pada semua pasien yang
dicurigai atau dikonfirmasi Covid-19 yang dirawat di rumah sakit. pada
pasien dengan trombositopenia yang diinduksi heparin, dapat digunaka
fondaparinux 1 × 2.5 mg subkutan. Antikoagulan dosis terapeutik
merupakan landasan dalam pengelolaan pasien Covid-19 dengan Ddimer
naik > 6 kali lipat ataupun adanya tanda tanda emboli paru dan DVT.
Obat antikoagulan diberikan dengan dosis LMWH 1–1,5 mg/kgBB per

Manifestasi Klinis Pasien Kritis Pneumonia Covid-19 331


Tabel 17.7 Dosis Modifikasi Heparin Berdasarkan Nilai APT T (Burhan,
dkk, 2020)

APTT (detik) Dosis Modifikasi


< 35 detik (1,2× normal) 80 unit/kg bolus, naik drip 4 unit/kg/jam dari
sebelumnya
35–45 (1,2–1,5× normal) 40 unit/kg bolus, naik drip 2 unit/kg/jam dari
sebelumnya
46–70 (1,5–2,3× normal) Tidak ada penyesuaian dosis
71–90 (2,3–3× normal) Turun drip 4 unit/kg/jam
> 90 (> 3× normal) Hentikan drip 1–2 jam. Mulai drip 3 unit/kg/jam

kali sebanyak dua kali sehari subkutan atau UFH dengan dosis loading 80
unit/kgBB iv dilanjutkan drip kontinyu 18 unit/kgBB/jam dengan monitor

21
APTT untuk menyesuaikan dosis dengan target 1,5–2,5× kontrol. Dosis
UFH memerlukan titrasi dosis sesuai dengan nilai APTT, dapat dilihat
pada tabel 7 (Sakr, et al., 2020; Burhan, dkk, 2020).
20
Pasien Covid-19 dengan probabilitas emboli paru dan kondisi klinis
yang tiba-tiba memburuk seperti adanya tanda-tanda ketidakstabilan
hemodinamik yang jelas (emboli paru masif atau berisiko tinggi dengan
hipotensi atau henti jantung mendadak) serta bukti pada pemeriksaan bed-
P

side ekokardiografi berupa onset baru adanya peningkatan beban ventrikel


kanan atau hipertensi arteri pulmonalis, terapi trombolitik harus segera
AU

dimulai dengan memperhatikan kontraindikasi. Dosis dan agen yang tepat


harus dipilih sesuai dengan protokol kelembagaan dan konsensus dari tim
yang merawat. Terapi trombolitik membawa risiko perdarahan yang harus
diperhitungkan dalam pengambilan keputusan klinis. Beberapa penelitian
telah menyoroti risiko perdarahan pada pasien dengan Covid-19 memiliki
angka yang bervariasi. Beberapa agen trombolisis yang telah diterima
sebagai regimen yang cocok diberikan pada emboli paru adalah:
1. Recombinant tissue plasminogen activator (rtPA): 100 mg dalam 2 jam atau
0.6 mg/kg dalam 15 menit. Dosis maksimal pemberian rtPA adalah
50 mg.
2. Streptokinase: 250.000 unit dalam 30 menit, diikuti dengan 100.000
unit/jam selama 12–24 jam.

332 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


3.
21
Gambar 17.10 Algoritma Tata Laksana Emboli Paru pada Pasien Covid-19
20
4. Urokinase: 4.400 unit dalam 10 menit, diikuti dengan 4.400 unit/kg/
jam selama 12–24 jam. (Rosovsky, et al., 2020; Poissy, et al., 2020)

Tabel 17.8 Kontraindikasi Pemberian Terapi Fibrinolitik (Rosovsky, et al., 2020;


P

Poissy, et al., 2020)


AU

Kontraindikasi Absolut Kontraindikasi Relatif


Stroke hemoragik atau stroke dengan Transient ischemic attack dalam
penyebab belum diketahui waktu 6 bulan terakhir
Stroke iskemik dalam waktu 6 bulan Pemakaian terapi antikoagulan
terakhir oral
Kerusakan pada sistem saraf pusat atau Kehamilan atau keadaan 1
neoplasma minggu postpartum
Trauma mayor, operasi atau trauma pada Hipertensi refraktori, dengan
kepala dalam waktu 3 minggu terakhir tekanan darah sistolik > 180
mmHg
Perdarahan gastrointestinal dalam waktu Penyakit organ hati stadium
1 bulan terakhir lanjut
Perdarahan aktif Endokarditis infektif
Peptic ulcer aktif

Manifestasi Klinis Pasien Kritis Pneumonia Covid-19 333


Dalam kasus syok refraktori atau henti jantung, ECMO bisa menjadi
pilihan, dalam kombinasi dengan trombektomi bedah atau perawatan
yang diarahkan kateter sebagai upaya penyelamatan. Sebuah rekomendasi
algoritma tatakalaksana emboli paru pada pasien Covid-19 diajukan oleh
Adams, et al. pada (Gambar 17.10) sebagai panduan dalam pemilihan terapi
sesuai kondisi pada pasien Covid-19 dengan emboli paru (Zhai, et al., 2020;
Adams, et al., 2020).

RINGKASAN DAN REKOMENDASI


• Manifestasi kritis pasien Covid-19 antara lain ARDS, emboli paru,
sepsis dan syok sepsis dengan tingkat mortalitas yang masih tinggi
• ARDS pada Covid-19 dapat didiagnosis dengan kriteria Berlin dengan


21
pendekatan manajemen sesuai dengan tipenya (tipe L dan tipe H)
Manajemen ventilator pada ARDS sesuai dengan prinsip lung protective
ventilation dan disesuaikan dengan tipe ARDS
20
• Sepsis dan syok sepsis Covid-19 adalah disfungsi organ yang
mengancam jiwa disebabkan oleh disregulasi dari respons tubuh
pasien terhadap infeksi SARS-CoV-2. Syok septik adalah bagian dari
sepsis di mana terjadi abnormalitas sirkulasi dan metabolisme seluler
P

yang dapat meningkatkan mortalitas


• Manajemen sepsis dan syok sepsis meliputi 1 hour bundle dan terapi
AU

supportif untuk oksigenasi serta stabilisasi hemodinamik


• Emboli paru pada Covid-19 merupakan manifestasi dari PMT dan
DVT yang memerlukan pencegahan dan penanganan dengan obat
obatan antikoagulan
• Pada kondisi emboli paru Covid-19 yang mengancam jiwa dapat
dipertimbangkan penggunaan trombolisis dan tindakan intervensi
yang lain

DAFTAR PUSTAKA
Adams, E., Broce, M., Mousa, A. 2020. Proposed algorithm for treatment
of pulmonary embolism in Covid-19 patients. Ann Vasc Surg, S0890-
5096(20)30768-8. doi: 10.1016/j.avsg.2020.08.088.

334 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Alhazzani, W., Møller, M.H, Arabi, Y.M. et al.,. 2020. Surviving Sepsis
Campaign: guidelines on the management of critically ill adults with
Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Intensive Care Med, 46(5):854-887.
doi: 10.1007/s00134-020-06022-5.
Arifin, dkk. 2017. Penatalaksanaan Sepsis dan Syok Septik Optimalisasi
Fasthugsbid, Perhimpunan Dokter Intensive Care Indonesia
(PERDICI). Jakarta.
Bernard, G.R., Vincent, J.L., Laterre, P.F., LaRosa, S., Dhainaut, J.P.,
Rodriguez, A.L., et al. 2001. Efficacy and safety of recombinant human
activated protein c for severe sepsis. N Eng J Med, 344 (10):699-709.
Burhan, E., Susanto, A.D., Nasution, S.A. et al. 2020. Pedoman Tata Laksana
Covid-19: Edisi 2. Jakarta: PDPI, PERKI, PAPDI, PERDATIN, dan
IDAI.

21
Chand, S., Kapoor, S., Orsi, D., et al. 2020. Covid-19-associated critical
illness—report of the first 300 patients admitted to intensive care units
at a New York City Medical Center. Journal of Intensive Care Medicine,
20
35(10):963-970. doi:10.1177/0885066620946692
Fan, E., Beitler, J.R., Brochard, L., Calfee, C.S., Ferguson, N.D., Slutsky,
A.S., Brodie, D. 2020. Covid-19-associated acute respiratory distress
syndrome: is a different approach to management warranted? Lancet
P

Respir Med, 8(8):816-821. doi: 10.1016/S2213-2600(20)30304-0.


Fan, E., Del Sorbo, L., Goligher, E.C., Hodgson, C.L., Munshi, L., Walkey,
AU

A.J., et al. 2017. An official American Thoracic Society/European


Society of intensive care medicine/society of critical care medicine
clinical practice guideline: mechanical ventilation in adult patients
with acute respiratory distress syndrome. Am J Respir Crit Care Med,
195(9):1253-63.
Fatoni, A.Z., Suwarman, Hariyanto, H., Tampubolon, O.E., Jaya, W. 2020.
Low-dose heparin for sepsis-associated disseminated intravascular
coagulation and septic shock. Crit Care Shock, 2020.23:260-265.
Ferrando, C., Suarez-Sipmann, F., Mellado-Artigas, R., et al. 2020. Clinical
features, ventilatory management, and outcome of ARDS caused by
Covid-19 are similar to other causes of ARDS. Intensive Care Med.
2020;1-12. doi:10.1007/s00134-020-06192-2

Manifestasi Klinis Pasien Kritis Pneumonia Covid-19 335


Force, A.R.D.S.D.T., Ranieri, V.M., Rubenfeld, G.D., Thompson, B.T.,
Ferguson, N.D., Caldwell, E., Fan, E., Camporota, L., Slutsky, A.S. 2012.
Acute respiratory distress syndrome: the Berlin definition. JAMA,
307(23):2526–33.
García, J., Osca-Verdegal, R., Pallardó, F.V., Ferreres, J., Rodríguez, M.,
Mulet, S., Sanchez, C.F., Corbonell, N. & García-Giménez, J. L. 2020.
Sepsis and Coronavirus Disease 2019: common features and anti-
inflammatory therapeutic approaches. Critical Care Medicine, pp 1-4.
Gattinoni, L., Chiumello, D., Caironi, P., et al. 2020. Covid-19 pneumonia:
different respiratory treatments for different phenotypes? Intensive
Care Med, 46:1099–1102. https://doi.org/10.1007/s00134-020-06033-2.
Gattinoni, L., Chiumello, D., Rossi, S. 2020. Covid-19 pneumonia: ARDS or
not? Critical Care, 24:154 https://doi.org/10.1186/s13054-020-02880-z.

21
Gibson, P.G., Qin, L., Puah, S.H. 2020. Covid-19 acute respiratory distress
syndrome (ARDS): clinical features and differences from typical pre-
Covid-19 ARDS. MJA, 213(2):2020. https://doi.org/10.5694/mja2.50674
20
Haimei, M.A. 2020. Pathogenesis and treatment strategies of Covid-19-
related hypercoagulant and thrombotic complications. Clinical and
Applied Thrombosis/Hemostasis, 26, p.1076029620944497.
Helms, J, et al. 2020. High risk of thrombosis in patients with severe SARS-
P

CoV-2 infection: a multicenter prospective cohort study. Intensive Care


Medicine, 46(6): 1089-1098. doi:10.1007/s00134-020-06062-x
AU

Lin, H.Y. 2020. The severe Covid-19: A sepsis induced by viral infection?
And its Imunomodulatory therapy. Chinese Journal of Traumatology,
24(3):190-195.
Irvan, I., Febyan, F. and Suparto, S. 2018. Sepsis dan Tata Laksana Berdasar
Guideline Terbaru. JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia), 10(1):62. doi:
10.14710/jai.v10i1.20715.
Jose, R.J., Manuel, A. 2020. Covid-19 cytokine storm: the interplay between
inflammation and coagulation. Lancet Respir Med, 8(6):e46-e47.
doi:10.1016/S2213-2600(20)30216-2.
Levy, M., Evans, L., Rhodes. 2018. The surviving sepsis campaign bundle:
2018 data. Intensive Care Medicine. 44:925-928.

336 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Li, R., Liu, H., Qi, H. 2020. Lung ultrasound assessment of acute
respiratory distress syndrome caused by coronavirus disease 2019:
An observational study. Hong Kong Journal of Emergency Medicine, 2020
page 1–7. https://doi.org/10.1177/1024907920969326.
Longo, D.L., Fauci, A.S., Kasper, D.L., Hauser, S.L., Jameson, J.L. and
Loscalzo, J., 2012. Harrison's principles of internal medicine 18E Vol 2 EB.
McGraw Hill Professional. 2020;191:9–14.
Marini, J.J., Gattinoni, L. 2020. Management of Covid-19 Respiratory
Distress. JAMA, 323(22):2329-2330. doi: 10.1001/jama.2020.6825. PMID:
32329799.
Marino PLea, editor. 2014. Marino’s, The ICU Book, 4th Ed Chapter 23:
Acute Respiratory Distress Syndrome. Philadelphia: Wolters Kluwer
Health/Lippincott Williams & Wilkins.

21
McElroy, M.C. 2020, Coronavirus ARDS (CARDS)-Healing a Broken Lung’.
Available from: https://eureka.criver.com/coronavirus-ards-cards-
healing-a-broken-lung/
20
Merad, M., Martin, J.C. 2020. Pathological inflammation in patients
with Covid-19: a key role for monocytes and macrophages. Nat Rev
Immunol, 20:355–362. https://doi.org/10.1038/s41577-020-0331-4
Middeldorp, S., Coppens, M., van Haaps, T.F., et al. 2020. Incidence of
P

venous thromboembolism in hospitalized patients with Covid-19. J


Thromb Haemost, 18(8):1995-2002.
AU

Octaviani, F. and Kurniawan, A., 2018. Emboli Paru. Medicinus, 4(8): 313-
322.
Poissy, J., Goutay, J., Caplan, M., et al. 2020. Pulmonary embolism in
COVID-19 patients: awareness of an increased prevalence. Circulation,
142(2):184-186.
Rhodes, A., Evans, L.E., Alhazzani, W., et al. 2017. Surviving Sepsis
Campaign: International Guidelines for Management of Sepsis and
Septic Shock: 2016. Intensive Care Med. 2017 Mar;43(3):304-377. doi:
10.1007/s00134-017-4683-6. Epub 2017 Jan 18. PMID: 28101605.
Rosovsky, R.P., Grodzin, C., Channick, R., Davis, G.A., Giri, J.S., Horowitz,
J., Kabrhel, C., Lookstein, R., Merli, G., Morris, T.A. and Rivera-Lebron,
B. 2020. Diagnosis and treatment of pulmonary embolism during

Manifestasi Klinis Pasien Kritis Pneumonia Covid-19 337


the Covid-19 pandemic: a position paper from the national pert
consortium. Chest, 158(6):2590-2601.
Sakr, Y., Giovini, M., Leone, M., Pizzilli, G., Kortgen, A., Bauer, M., Tonetti,
T., Duclos, G., Zieleskiewicz, L., Buschbeck, S. and Ranieri, V.M.,
2020. Pulmonary embolism in patients with coronavirus disease-
2019 (Covid-19) pneumonia: a narrative review. Annals of Intensive
Care, 10(1):1-13.
Shang, Y., Pan, C., Yang, X., Zhong, M., Shang, X., Wu, Z., Yu, Z., Zhang,
W., Zhong, Q., Zheng, X., Sang, L., Jiang, L., Zhang, J., Xiong, W., Liu,
J., Chen, D. 2020. Management of critically ill patients with Covid-19
in ICU: statement from front-line intensive care experts in Wuhan,
China. Ann. Intensive Care, 10:73. https://doi.org/10.1186/s13613-020-
00689-1

21
Singer, M., Deutschman, C.S., Seymour, C.W., Shankar-Hari, M., Annane,
D., Bauer, M., et al. 2016. The third international consensus definitions
for sepsis and septic shock (sepsis-3). JAMA, 315:801-10.
20
Thachil, J., Srivastava, A. 2020. SARS-2 Coronavirus-associated hemostatic
lung abnormality in Covid-19: is it pulmonary thrombosis or
pulmonary embolism? Semin Thromb Hemost, 46(7):777-780. https ://
doi. org/10.1055/s-0040-17121 55.
P

Thompson, B.T., Drazen, J.M., Chambers, R.C., Liu, K.D. 2017. Acute
Respiratory Distress Syndrome. New England Journal of Medicine,
AU

377(6):562-72.
Torres, A.M.A., Singer, B.D. 2020. Pathogenesis of Covid-19-induced ARDS:
implications for an aging population. Eur Respir J, 56(3):2002049.
https://doi.org/10.1183/13993003.02049-2020
Zarate, D.G., Sánchez, K.R., Carrillo, J.C.F., Ahumada, S.M., Franco, M.M.
2020. Early management of critically ill patients with COVID-19. Jounral
of the American College of Emergency Physcicians Open. 1(6):1418-1426.
First published: 19 October 2020 https://doi.org/10.1002/emp2.12294
Zhai, Z., Li, C., Chen, Y., Gerotziafas, G., Zhang, Z., Wan, J., et al. 2020.
Prevention and treatment of venous thromboembolism associated
with coronavirus disease 2019 infection: a consensus statement before
guidelines. Thromb Haemost, 120: 937–48.

338 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


MANIFESTASI PSIKOLOGIS
PASIEN COVID-19

Royke Tony Kalalo

PENGANTAR

21
Infeksi virus telah lama dikenal dapat menginfeksi otak dan menimbulkan
manifestasi gangguan psikiatrik, seperti gangguan fungsi kognitif,
20
mood/afek, persepsi, dan perilaku (Mednick, et al., 1988; Arciniegas and
Anderson, 2004; Parboosing, et al., 2013). Pengamatan yang dilakukan pada
beberapa pandemi influenza yang terjadi sebelumnya di abad 18 dan 19
(Menninger, 1926; Honigsbaum, 2013) menyimpulkan adanya peningkatan
P

gejala gangguan tidur insomnia, depresi, bunuh diri, mania, delirium,


dan psikotik (Troyer, Kohn, and Hong, 2020). Wabah akibat infeksi virus
AU

tampaknya berkontribusi terhadap risiko gangguan jiwa baik secara


langsung maupun tidak langsung (Yamamoto, et al., 2020).
Pasien yang dirawat dalam ruang perawatan khusus infeksi memiliki
kecenderungan mengalami berbagai kondisi yang membuat stres seperti
kurangnya pemahaman akan kondisi penyakit yang dialami, kecemasan
menjalani proses perawatan, kekhawatiran akan prosedur pemeriksaan
atau tindakan yang mungkin menimbulkan rasa sakit, jauh dari rumah
dan keluarga, serta kecenderungan akan mengalami stigma (Kotrotsiou, et
al., 2001 dalam Cates, Gomes and Krasilovsky, 2018). Sementara itu, pasien-
pasien yang telah melewati kondisi terinfeksi virus ternyata masih memiliki
kerentanan mengalami gejala depresi, ansietas, gangguan penyesuaian,
kondisi stres akut, dan gangguan stres pasca trauma (Kuhlmanet, et al.,

339
2018; Wheaton, et al., 2012; van Hoek, et al., 2011; Koopman, et al., 1995;
Noone, 2013, dalam Guo, et al., 2020). Juga dilaporkan adanya efek
gangguan psikiatrik yang berkepanjangan, termasuk kondisi gangguan
psikotik (Kępińska, et al., 2020).

MEKANISME NEUROBIOLOGIK GANGGUAN PSIKIATRIK


PASIEN COVID-19
Beberapa mekanisme neurobiologik telah diusulkan untuk menjelaskan
manifestasi psikologis Covid-19, seperti: infiltrasi langsung sistem saraf
pusat, disregulasi jaringan sitokin di mana didapatkan aktivasi sitokin
secara sentral dan periferal yang menyebabkan inflamasi sistem saraf
pusat, transmigrasi peripheral immune cell, mekanisme yang menembus

21
sawar darah otak, dan autoimunitas pasca infeksi (Jasti, et al., 2020; Troyer,
Kohn, and Hong, 2020). Usulan terhadap beberapa mekanisme di atas
pada awalnya didapatkan berdasarkan studi gejala-gejala neuropsikiatrik
20
pada virus influenza, H1N1, encephalitis lethargica, dan SARS-CoV-1, yang
kemungkinan besar mekanismenya dapat dipakai untuk menjelaskan
kemunculan gejala-gejala neuropsikitrik pada pasien Covid-19 (Troyer,
Kohn, and Hong, 2020).
P

INFILTRASI SISTEM SARAF PUSAT


AU

Coronavirus yang di antaranya SARS-CoV-2 dikenal bersifat neurotropik


dan dapat menginfiltrasi otak dengan beberapa mekanisme. Okusaga, et
al., 2011 mengusulkan bahwa virus dapat secara langsung memengaruhi
otak dan atau respons sistem imun akibat virus yang memengaruhi otak
(Verma, et al., 2020). Beberapa studi terhadap pasien dengan MERS-CoV
and SARS-CoV juga turut membuktikan bahwa coronavirus memengaruhi
sistem saraf pusat karena terdeteksi berada dalam cairan serebrospinalis
(Arabi, et al., 2015; Tsai, et al., 2005 dalam Guo, et al., 2020). Mekanisme
utama yang saat ini dikenal yaitu melalui jalur hematogen dan transmisi
neuronal (Roy, et al., 2020). Jalur transmisi neuronal seperti jalur saraf
olfaktorik dapat menimbulkan respons inflamasi yang signifikan dengan

340 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


manifestasi gangguan sistem saraf tepi dan sistem saraf pusat (Desforges,
et al., 2019; Ferrando, 2020), hal ini menurut Wu, et al. sering terdeteksi pada
tahap awal dari infeksi (Wu, et al., 2020 dalam Guo, et al., 2020).
Coronavirus menginfeksi saraf tepi dan memasuki sistem saraf pusat
melalui transport aktif akson. Saat berada di otak, virus seperti HCoV-
OC43 menunjukkan penyebaran mulai dari bulbus olfaktorik menuju
korteks dan turun ke medulla. Serebelum tampaknya tidak terpengaruh
akan penyebaran virus ini. Strain virus ini juga diketahui menginfeksi
hipokampus dan medulla spinalis. Aspek neurodegeneratif yang
diakibatkan coronavirus dapat terjadi karena respons tidak langsung dari
sistem imun dan atau kerusakan langsung sel-sel saraf karena replikasi
partikel virus sebagaimana kondisi ensefalitis akut (Berth, et al., 2009;
Desforges, et al., 2013 dalam Roy, et al., 2020).

21
DISREGULASI JARINGAN SITOKIN (KONSEP PSIKONEURO-
IMUNOLOGI)
20
Pada awal pasien terdeteksi mengalami Covid-19, dilaporkan 5–15%
responden mengalami satu hingga 3 gejala somatik di luar gejala utama
(somatik fungsional). Adanya gejala-gejala somatik fungsional ini
mencetuskan dugaan mengenai aspek psikoneuroimunologi Covid-19.
P

Covid-19 yang menyebabkan sindrom respiratori akut menimbulkan


pelepasan sitokin, termasuk interleukin (IL)-1β dan IL-6 dari traktus
AU

respiratorius. Keduanya seringkali didapatkan meningkat pada gangguan


depresi mayor dan sindroma somatik fungsional. Hal ini yang menjadi
penjelasan awal mengenai Covid-19, depresi dan sindroma somatik
fungsional kemungkinan besar terkait dalam aspek psikoneuroimunologi
(Viljoen and Panzer, 2005; Liu, et al., 2012; Ng, et al., 2018; Conti, et al., 2020;
dalam Wang, et al., 2020). Kemungkinan hubungan antara infeksi virus
pernapasan dan gangguan mood juga telah dilaporkan sebelumnya pada
abad ke-19, di mana didapatkan kasus-kasus gangguan mood depresi dan
mania pasca influenza pada pasien-pasien yang sebelumnya tidak memiliki
riwayat gangguan jiwa sebelumnya (Tuke,1892; Harrison, 1958; Steinber
et al., 1972; Maurizi, 1985 dalam Verma, et al., 2020). Studi yang dilakukan

Manifestasi Psikologis Pasien Covid-19 341


oleh Kuhlman dan koleganya menambahkan informasi tentang adanya
hubungan positif antara peningkatan IL-6 dan gejala depresi serta gejala
gangguan kognitif setelah mendapatkan vaksinasi influenza musiman
(Kuhlman, et al., 2018 dalam Guo, et al., 2020). Sementara itu beberapa studi
mengenai gangguan depresi mayor menunjukkan hubungan antara gejala
depresi dan biomarker proses inflamasi (Valkanova, et al., 2013; Köhler, et
al., 2017; Shafiee, et al., 2017; dalam Guo, et al., 2020). Selain IL-1β dan IL-6,
kemudian didapatkan dari beberapa studi bahwa Covid-19 mencetuskan
produksi berlebihan IL-8, IL-10, IL-2R, tumor necrosis factor (TNF)-alpha,
dan CRP yang menunjukkan derajat berat penyakit di mana terkait dengan
kemunculan gejala-gejala neuropsikiatrik (L. Wang, 2020; Troyer, Kohn,
and Hong, 2020; Wang et al., 2020). Sitokin pro inflamatorik bertanggung
jawab atas respons fase akut pada otak yang menginduksi depresi. Kunci

21
penentu aksi sitokin di otak ini adalah sebuah enzim yang dikenal dengan
indoleamine 2,3 dioxygenase (IDO) yang mendegradasikan tryptophan, sebagai
asam amino esensial yang membatasi sintesis serotonin. Peningkatan IDO
20
akan terkait dengan perubahan neurotransmitter serotonin di otak yang
akan menyebabkan gejala dan perilaku depresif (Orsini, et al., 2020). Guo et
al. mengobservasi pula bahwa level CRP terkait dengan level gejala depresi
(Guo, et al., 2020). Studi-studi ini menjadi dasar teori imunitas-inflamasi
P

untuk gangguan mood.


Kondisi gangguan depresi sebagian besar juga terjadi sebagai akibat
AU

disfungsi aksis Hipotalamus – Pituitari – Adrenal (HPA axis) (Arborelius,


et al., 1999; Marques-Deak, et al., 2005). Interleukin 6 dan TNF-α dapat
meningkatkan aktivasi HPA axis (Besedovsky, et al., 1991; Wang and Dunn,
1998). Karenanya efektifitas medikasi anti inflamasi untuk Covid-19
diharapkan dapat memperbaiki kondisi gangguan mood pada pasien (Guo,
et al., 2020). Selain IL-6 dan TNF-α, didapatkan bahwa IL-1, interferon-
alpha (IFN-α), dan jalur kynurenine dapat menginduksi gangguan depresi.
Selama aktivasi jalur kynurenine, terjadi penurunan tryptophan untuk
dikonversikan menjadi serotonin sehingga memunculkan gejala depresi
(Dursun, et al., 2001 dalam Verma, et al., 2020).
Kondisi stres psikologik selama infeksi Covid-19 akan menyebabkan
pelepasan corticotropin-releasing hormone (CRH) dan mengaktivasi HPA axis

342 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


yang selain depresi, dapat menimbulkan berbagai gangguan jiwa lainnya
termasuk kecemasan dan gangguan stres pasca trauma/posttraumatic stress
disorder (PTSD) (Li, et al., 2020; Steenblock, et al., 2020 dalam Kempuraj, et al.,
2020). Produksi sel mast dan reaksinya terhadap CRH dan neuropeptide
lainnya dapat mengeksaserbasi kondisi neuroinflamasi. Peranan sel
mast sebagai mediator ini memegang peranan penting pada patogenesis
penyakit yang diinduksi stres termasuk penyakit neuroinflamasi dan
penyakit autoimun. Berbagai kondisi yang membuat stres selanjutnya akan
memperburuk penyakit-penyakit inflamatorik (Kempuraj, et al., 2020).
Kesemua studi ini memberikan penjelasan bahwa virus dapat
memengaruhi sistem saraf pusat dan menginduksi gejala neuropsikiatrik
dengan mengaktivasi respons imun, yang dapat diobservasi dari “badai
sitokin” yang saat ini berkembang sebagai faktor utama penjelasan

21
patofisiologi Covid-19 (Verma, et al., 2020). Badai sitokin yang seringkali
memengaruhi tingkat keparahan dan mortalitas pasien Covid-19
tampaknya turut menimbulkan manifestasi psikologis, termasuk
20
menimbulkan efek pada berbagai sistem dan organ tubuh yang dapat
menyebabkan perubahan jangka panjang pada otak dan perilaku. Teori
inflamasi kronis derajat rendah (chronic low-grade inflammation) yang selama
ini sering dipakai untuk menjelaskan terjadinya berbagai gangguan jiwa,
P

termasuk psikosis, tampaknya dapat direvisi atau digabungkan dengan


model teori badai sitokin yang menjelaskan jalur distres psikologis yang
AU

terjadi segera (Debnath, Berk, and Maes, 2020).

MANIFESTASI PSIKOLOGIS PASIEN COVID-19


Manifestasi psikologis pasien Covid-19 meliputi berbagai kondisi mulai
dari masalah psikologis ringan hingga terjadinya gangguan psikiatrik.
Pasien yang terkonfirmasi Covid-19 secara umum memperlihatkan gejala-
gejala seperti penolakan, penyesalan, ketidakberdayaan, iritabilitas,
deprivasi tidur, fobia, cemas hingga gejala serangan panik. Evaluasi
psikologis di ruang isolasi mendapatkan data sekitar 48% pasien
konfirmasi Covid-19 mengalami stres psikologis di awal masuk rumah
sakit sebagai suatu bentuk respons emosi terhadap stres (Liang, et al.,

Manifestasi Psikologis Pasien Covid-19 343


2020 dalam PP PDSKJI, 2020). pada pasien kritis, kasus yang terbanyak
dilaporkan adalah delirium. Laporan kasus ensefalitis yang diinduksi
SARS-CoV-2 berhubungan juga dengan gejala psikologis seperti iritabilitas
dan perubahan kesadaran (PP PDSKJI, 2020). Berbagai manifestasi
psikologis pasien Covid-19 dijabarkan pada Tabel 18.1:

Tabel 18.1 Manifestasi Psikologis Pasien Covid-19 (dari berbagai sumber)

Strategi mekanisme koping maladaptif dalam proses kerjasama terapeutik


seperti:
• Perilaku menghindar
• Pasien menyangkal mengalami hal-hal yang tidak nyaman

Ketakutan, rasa bersalah, perasaan tidak berdaya, iritabilitas

Stigma
21
Menarik diri dari semua lingkungan pergaulan

(merupakan hal utama yang seringkali diutarakan pasien)


20
Ketidakpastian mengenai perkembangan penyakit dan kesembuhannya
(merupakan hal utama yang seringkali diutarakan pasien)

Perasaan stres selama dalam perawatan ruang khusus infeksi / isolasi


(Kekhawatiran perjalanan penyakit, prosedur pemeriksaan dan tindakan
medis, perasaan terisolasi dan ditinggalkan, kehilangan kendali diri dalam
P

perawatan di ruang kecil/sempit)


AU

Perubahan kesadaran

Delirium
(sering terjadi pada fase akut)

Gangguan Kognitif: gangguan fungsi eksekutif, kehilangan daya ingat jangka


pendek
(termasuk pada kondisi setelah keluar rumah sakit)

Psikotik akut
(termasuk pada kondisi setelah keluar rumah sakit)

Gaduh gelisah, impulsifitas, agresif

Penggunaan zat psikoaktif secara berlebihan

344 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Gangguan mood, khususnya depresi
• Merupakan gejala yang sering terjadi
• Termasuk pada kondisi setelah keluar rumah sakit
• Dapat terjadi jangka panjang

Fatigue/rasa lelah berlebihan


(Dapat terjadi jangka panjang)

Ide bunuh diri hingga percobaan bunuh diri


(diprediksi 20–30% mengalami peningkatan selama masa pandemi Covid-19)

Gangguan cemas, fobia, panik


• Merupakan gejala yang sering terjadi
• Termasuk pada kondisi setelah keluar rumah sakit
• Dapat terjadi jangka panjang

Gangguan obsesif kompulsif

Reaksi stres akut

Gangguan penyesuaian 21
20
Gangguan Stres Pasca Trauma
(termasuk pada kondisi setelah keluar rumah sakit)

Gangguan tidur

Perubahan pola makan


P

Gangguan kebiasaan dan impuls


AU

Berikut beberapa studi mengenai manifestasi psikologis pasien Covid-19


pada beberapa bulan pertama pandemi Covid-19 terjadi:

PASIEN DENGAN MASALAH ATAU GANGGUAN JIWA


SEBELUMNYA
Studi yang dilakukan Lee, et al., di Korea Selatan, terhadap 216.418 orang
yang dilakukan tes SARS-CoV-2, sejak 1 Januari hingga 15 Mei 2020,
didapatkan hasil tes positif pada 1391 (3%) dari 47.058 pasien tanpa adanya
gangguan jiwa sebelumnya dibandingkan dengan hasil tes positif pada
1383 (2,9%) dari 48.058 pasien dengan gangguan jiwa sebelumnya. Dalam
observasi lanjutan studi longitudinal tersebut, ternyata 109 (8,3%) dari

Manifestasi Psikologis Pasien Covid-19 345


1320 pasien tanpa gangguan jiwa mengalami kondisi Covid-19 yang berat.
Sementara itu, kondisi Covid-19 yang berat juga didapatkan pada 128
(9,7%) dari 1320 pasien dengan gangguan jiwa. Tampaknya pasien dengan
gangguan jiwa sebelumnya memiliki risiko yang agak tinggi mengalami
kondisi Covid-19 yang berat dibandingkan pasien-pasien tanpa gangguan
jiwa sebelumnya. Temuan studi ini memberikan pertimbangan kepada
para dokter untuk lebih waspada akan derajat berat Covid-19 yang dapat
terjadi dalam kaitannya dengan pasien-pasien yang sebelumnya memiliki
kondisi masalah atau gangguan jiwa (Lee, et al., 2020).

PERASAAN NEGATIF, STIGMA, KETIDAKPASTIAN, KECEMASAN,


DAN DEPRESI

21
Analisis kualitatif yang dilakukan Guo, et al., menunjukkan beratnya gejala
Covid-19 pada pasien yang melaporkan merasakan perasaan-perasaan
negatif, termasuk ketakutan, perasaan bersalah dan tidak berdaya. Stigma
dan ketidakpastian akan perkembangan infeksi virus turut menjadi dua
20
hal yang seringkali dinyatakan oleh pasien Covid-19. Pasien-pasien dengan
Covid-19 menunjukkan tingginya gejala depresi, kecemasaan, dan gejala
stres pasca trauma, dibandingkan dengan kelompok kontrol normal (Guo,
et al., 2020).
P

Studi yang dilakukan Nalleballe, et al., yang mengamati 40.469 pasien


Covid-19 pada periode Januari 2020 s.d. Juni 2020, mendapatkan pasien
AU

dengan gangguan cemas sebanyak 1869 pasien (4.6%), pasien dengan


gangguan mood sebanyak 1549 pasien (3.8%), gangguan tidur 1394 pasien
(3.4%), dan adanya ide bunuh diri pada 63 pasien (0.2%) (Nalleballe,
et al., 2020).
Pada studi yang dilakukan di Inggris yang dilakukan terhadap 555
partisipan di mana 98 orang terkonfirmasi positif Covid-19 (18%), 206
partisipan (37%) memenuhi kriteria gangguan depresi, 145 (27%) memenuhi
kriteria gangguan kecemasan, dan secara keseluruhan 41% partisipan
memenuhi kriteria mengalami gangguan kecemasan dan/atau gangguan
dengan 22% memenuhi kriteria diagnosis untuk keduanya (Dawson and
Golijani-Moghaddam, 2020).

346 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


PSIKOSIS
Review sistematik dan meta analisis dari studi-studi di awal masa
pandemi Covid-19 (Januari s.d. April 2020) bahkan menunjukkan adanya
kondisi delirium yang signifikan terjadi pada pasien di tahap akut.
Berbeda dengan pasien yang mengalami SARS-CoV atau MERS-CoV, yang
umumnya membaik tanpa adanya kondisi gejala gangguan jiwa, pasien
dengan SARS-CoV-2 (Covid-19) menunjukkan munculnya kondisi delirium
secara signifikan (Rogers, et al., 2020).
Terlepas dari adanya potensi stresor yang multipel dan faktor
fisiologik yang menyebabkan kondisi psikosis pada pasien Covid-19,
studi yang dilakukan Ferrando melaporkan adanya kondisi psikosis akut
terkait dengan infeksi Covid-19, khususnya potensi neuropatogenesis

21
yang dimediasi aspek imunologik. Hal ini tentunya masih membutuhkan
observasi dan studi lebih lanjut. Temuan ini perlu dilanjutkan dengan
studi-studi tentang aspek ketidaknormalan kognitif, onset, perjalanan
gangguan, prognosis, dan hubungannya dengan penanda inflamasi pusat
20
dan periferal, seperti CRP, IL-6, dan lainnya. Apabila ternyata didapatkan
hubungan antara Covid-19 dan psikosis, medikasi antipsikosis selain tetap
berpotensi efektif dalam mengatasi gejala psikotik, tampaknya akan bisa
juga dikurangi dengan memperkuat terapi yang mendasari proses infeksi
P

dan inflamasi Covid-19 (Ferrando, 2020).


AU

EFEK SEKUNDER OBAT COVID-19


Perhatian khusus perlu juga diberikan kepada efek sekunder obat-obat
untuk Covid-19 yang dapat menginduksi kemunculan gejala-gejala
gangguan jiwa, misalnya efek sekunder glukokortikoid dapat menimbulkan
gaduh gelisah, ketegangan, halusinasi, depresi, gangguan tidur insomnia
(Munster, et al., 2020 dalam Wang, Wang, and Yang, 2020).

PERUBAHAN POLA MAKAN


Kondisi isolasi, kurangnya stimulasi, dan rasa kebosanan dapat
menimbulkan kesulitan untuk mempertahankan kontrol dan

Manifestasi Psikologis Pasien Covid-19 347


kualitas nutrisi dibandingkan sebelum terjadinya pandemi. Terdapat
kecenderungan dalam mengkonsumsi makanan tinggi kalori. Tampaknya
didapatkan hubungan antara konsumsi makanan-makanan yang berkadar
gula tinggi, makanan/minuman yang diproses khusus (seperti minuman
ringan berkarbonasi, permen, aneka kue, dan minuman berenergi), dengan
berkurangnya fungsi sistem kekebalan tubuh bawaan dan adaptif yang
meningkatkan kerentanan terhadap infeksi virus Covid-19, termasuk
terjadinya derajat berat dari infeksi (Renzo, et al., 2020).

MANIFESTASI PSIKOLOGIS PASIEN COVID-19 PASCA


PERAWATAN RUMAH SAKIT
Selain itu didapatkan beberapa kondisi lainnya seperti kesadaran berubah,

21
depresi, kecemasan, gangguan stres pasca trauma dan adanya sindroma
gangguan fungsi eksekutif saat pasien keluar rumah sakit. Studi ini turut
mengingatkan para dokter untuk waspada akan kemungkinan adanya
gejala depresi, ansietas, fatigue, gangguan stres pasca trauma, dan sindroma
20
gangguan neuropsikiatri, yang dapat terjadi dalam pengamatan jangka
panjang (Rogers, et al., 2020).

FAKTOR RISIKO MANIFESTASI PSIKOLOGIS HINGGA


P

GANGGUAN PSIKIATRIK
AU

Beberapa faktor risiko manifestasi psikologis pada pasien Covid-19 maupun


pada populasi umum yang didapatkan dari berbagai studi adalah: telah
mengalami masalah/stresor khusus hingga gangguan jiwa sebelumnya,
perempuan muda yang mengasuh anak di usia pra sekolah, seorang yang
tidak memiliki pekerjaan, tidak memiliki aktivitas pendapatan ekonomi
seperti pada pelajar atau mahasiswa penuh waktu, kondisi penghasilan
menengah ke bawah (Pierce, et al., 2020). Dalam studi yang dilakukan di
China, Turki, Italia, dan Spanyol, tampaknya perempuan yang seringkali
dijumpai mengalami kondisi stres berlebih, kecemasan, bahkan depresi
(Özdin and Bayrak Özdin 2020; Cuiyan Wang, et al., 2020 dalam Shah et
al., 2020). Beberapa alasan lain mengenai kerentanan perempuan adalah
dalam kaitannya dengan aspek hormonal, tanggung jawab dalam keluarga

348 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


dan mempertahankan kestabilan, serta kemungkinan kondisi jaringan
saraf yang lebih reaktif terkait dengan perasaan takut. Namun dari studi
yang dilakukan Chen, et al., menemukan bahwa laki-laki pun mengalami
kondisi gangguan psikologis yang dilaporkan tinggi, kemungkinan karena
berbagai laporan mengenai angka kematian yang tinggi pada laki-laki
dibandingkan perempuan akibat infeksi Covid-19 (Verma, et al., 2020).
Studi yang dilakukan Shah, et al., yang mengaitkan faktor risiko
tertentu dengan terjadinya tiga kondisi khusus seperti stres bermakna,
kecemasan, hingga depresi, mendapatkan bahwa para pekerja yang tidak
lagi bekerja selama masa pandemi memiliki kerentanan mengalami stres
yang lebih tinggi. Sementara orang yang tidak memiliki pekerjaan sebelum
pandemi rentan mengalami stres dan depresi. Usia 18–24 tahun, tidak
menikah, dan kurang memiliki aktivitas fisik sering mengalami stres,

21
kecemasan, dan sekaligus depresi. Seorang yang tidak menikah atau telah
bercerai didapatkan risiko mengalami depresi. Pelajar rentan mengalami
kecemasan dan depresi (Shah, et al., 2020).
20
Beberapa faktor risiko lainnya termasuk status ekonomi yang kurang,
memiliki banyak konflik interpersonal, daya resiliensi yang kurang,
kurangnya dukungan sosial, penggunaan berlebihan media sosial tanpa
penyaringan sehingga mudah terpengaruh dengan misinformasi dan
P

informasi populer sensasional (Taylor and Asmundson, 2004; Garfin, et al.,


2019; Mowbray, 2020; Zhan and Yang, 2020; Stamu-O’Brien, et al., 2020).
AU

Kondisi terisolasi termasuk perawatan khusus di ruang infeksi dapat


menimbulkan manifestasi psikologis. Muncul perasaan kehilangan kendali
terkait dengan perawatan di ruangan kecil/sempit dalam jangka waktu
yang tidak dapat ditentukan (Cates, Gomes and Krasilovsky, 2018).
Perhatian khusus dalam perawatan pasien Covid-19 adalah
mendeteksi faktor-faktor risiko khususnya dalam kaitan dengan adanya
kondisi kerentanan masalah psikologik, stres, dan gangguan jiwa
sebelumnya (Lee, et al., 2020). Adanya gangguan jiwa akan menimbulkan
kerentanan terjadinya kondisi mortalitas yang tinggi saat mengalami
penyakit, memengaruhi pola hidup, kebiasaan, status ekonomi, prognosis
komorbiditas, yang kesemuanya akan memengaruhi kejadian klinis
Covid-19. Karena itu bagi pasien yang terinfeksi SARS-CoV-2 dan memiliki

Manifestasi Psikologis Pasien Covid-19 349


gangguan jiwa sebelumnya, sangat direkomendasikan pendampingan dan
proses konsultasi khusus dari psikiater.

FAKTOR PELINDUNG
Di samping faktor-faktor risiko yang memengaruhi manifestasi psikologis
pasien Covid-19, faktor-faktor pelindung dapat berupa: kehadiran keluarga
yang dapat menurunkan derajat berat penyakit (Shah, et al., 2020), berlatih
memberikan perhatian penuh untuk apapun yang kita lakukan pada suatu
waktu - tanpa menghakimi - dalam mengatasi masalah, usia yang lebih
tua, sebagai orang tua, tinggal bersama orang-orang yang kita kasihi, dan
memiliki hubungan interpersonal yang saling membangun (Conversano,
et al., 2020).

21
PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF MANIFESTASI
PSIKOLOGIS PASIEN COVID-19
20
PERENCANAAN DIAGNOSIS
Usulan perencanaan diagnosis di Rumah Sakit dapat berupa: skrining
P

aspek neuropsikologik, pemeriksaan psikometrik, dan pemeriksaan umum


sitokin dalam menentukan karakteristik aktivasi sistem imun sentral dan
AU

perifer, yang meliputi CRP, IL-6, tumor necrosis factor-alpha, IL-8, IL-10,
IL-2R hingga pemeriksaan cairan serebrospinalis (dengan lumbal punctie)
untuk mendeteksi Covid-19 RNA yang mengindikasikan invasi virus ke
dalam susunan saraf pusat.
Pemeriksaan status mental pasien yang meliputi tingkat stres
psikologis, mood / emosi, kualitas tidur, dan adanya perasaan tertekan
harus diamati setiap minggu setelah masuk rumah sakit dan sebelum
lepas rawat (Liang, et al., 2020 dalam PP PDSKJI, 2020). Pemeriksaan
psikometrik yang dapat digunakan adalah instrumen periksa mandiri
seperti Self-Reporting Questionnaire 20 (SRQ-20), Patient Health Questionnaire
9 (PHQ-9), dan Generalized Anxiety Disorder 7 (GAD-7). Instrumen yang
dipakai dokter adalah Hamilton Depression Rating Scale (HAM-D), Hamilton

350 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Anxiety Rating Scale (HAM-A), Positive and Negative Syndrome Scale (PANSS).
Kondisi ruangan khusus seperti pada ruang isolasi, pemeriksaan
psikometrik dapat pula dilakukan dengan menggunakan telepon untuk
membantu pasien mengisi instrumen tersebut. Psikiater dapat melakukan
wawancara dan memeriksa dengan instrumen secara langsung atau
daring (PP PDSKJI, 2020).

PERENCANAAN TERAPI
Beberapa perencanaan dalam penatalaksanaan manifestasi psikologis
pasien Covid-19 dapat berupa:
1. Terapi medikasi psikofarmaka
Dalam pemilihan obat termasuk psikofarmaka sangat penting untuk

21
memerhatikan interaksi obat dan efek terhadap sistem pernapasan.
Perhatian khusus termasuk untuk pasien usia pertengahan dan usia
lanjut dengan Covid-19 yang seringkali memiliki kondisi kompleks
20
dengan adanya gangguan fisik lain seperti hipertensi dan diabetes
(PP PDSKJI, 2020).
a. Penggunaan Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI),
seperti Citalopram, Escitalopram, dll. dapat dipakai untuk
P

memperbaiki gejala cemas dan depresi (Liang, et al., 2020 dalam


PP PDSKJI, 2020).
AU

b. Antidepresan seperti Fluoxetine dari golongan Selective Serotonin


Reuptake Inhibitor (SSRI) telah diketahui mengurangi sitokin pro
inflamasi dengan menurunkan efek perilaku dan neuroendokrin
dari aktivasi sistem imun. Masih dibutuhkan studi lanjutan
untuk mengukur efektifitas antidepresan sebagai bagian strategi
anti inflamasi dari Covid-19 dengan mengurangi gejala depresi
dan gejala somatik fungsional (Lu, et al., 2017 dalam Wang,
et al., 2020).
c. Untuk mengatasi gejala cemas dan kualitas tidur yang terganggu,
dapat dipertimbangkan penggunaan benzodiazepine seperti
Estazolam dan Alprazolam (Liang, et al., 2020 dalam PP PDSKJI,
2020). Namun sangat penting untuk memberikan perhatian

Manifestasi Psikologis Pasien Covid-19 351


khusus atau kehati-hatian dalam penggunaan benzodiazepine
ini. Dengan mengaktivasi reseptor GABA-A dalam sel-sel
imun, benzodiazepine meningkatkan kerentanan infeksi
dan melipatgandakan risiko infeksi sekunder pada pasien
kritis (Obiora, et al., 2013; Lee, et al., 2020). Masih dibutuhkan
studi lanjutan untuk menilai apakah derajat berat Covid-19
berhubungan dengan penggunaan benzodiazepine (Lee, et al.,
2020). Sehingga dokter perlu mempertimbangkan keuntungan
vs risiko dalam penilaian indikasi pemberian benzodiazepine,
khususnya pada pasien kritis atau derajat infeksi berat.
d. Unt uk mengatasi gejala psikotik yang muncul dapat
dipertimbangkan pemberian Olanzapine atau Quetiapine (Liang,
et al., 2020 dalam PP PDSKJI, 2020).

21
e. Pilihan terbaik psikofarmaka adalah medikasi yang tidak bekerja
pada sitokrom P450 atau medikasi yang bekerja minimalis pada
sitokrom P450, misalnya citalopram, escitalopram, olanzapine,
20
dan asam valproate, untuk menghindari interaksi dengan obat
antivirus yang umumnya dimetabolisme melalui sitokrom P3A4
dan sitokrom P2D6 (Orsini, et al., 2020).
2. Terapi psikologik, dengan karakteristik:
P

a. Dukungan Kesehatan Jiwa dan PsikoSosial (DKJPS) atau Mental


Health and PsychoSocial Support (MHPSS) yaitu dukungan jenis
AU

apa pun dari luar atau lokal yang bertujuan melindungi atau
meningkatkan kesejahteraan psikologis dan/atau mencegah serta
menangangi kondisi kesehatan jiwa dan psikososial.
Berikut perencanaan Dukungan Kesehatan Jiwa dan Psiko-
Sosial (DKJPS) pada Orang Tanpa Gejala (OTG), Orang Dalam
Pemantauan (ODP), Pasien Dalam Pengawasan (PDP), dan pasien
konfirmasi Covid-19 yang disajikan dalam bentuk tabel:

352 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Tabel 18.2 DKJPS pada OTG, ODP, PDP, dan pasien konfirmasi Covid-19 (Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Kementerian Kesehatan RI, 2020)

OTG ODP PDP Pasien Konfirmasi Covid-19


1. Mengurangi 1. Pada ODP isolasi 1. Bantuan layanan Psikiatri Konseling selama 1. Untuk pasien Covid-19 yang dirawat di Ruang
stresor dengan mandiri di rumah, masa pandemi Covid-19 dapat dilakukan Isolasi:
mengurangi penanganan secara daring baik melalui medsos PDSKJI atau - Pencegahan masalah kesehatan jiwa
membuka media dukungan aplikasi SEHATPEDIA. dan psikososial dapat dilakukan dengan
sosial tentang kesehatan jiwa melaksanakan tindakan untuk orang sehat,
Covid-19 dan dan psikososial OTG dan ODP dan bila tidak ada perbaikan
hanya mencari pada OTG dapat dapat berkonsultasi dengan tim kesehatan
informasi yang pula diberikan jiwa.
benar dari kepada ODP. - Pertahankan komunikasi positif dengan
AU
sumber terper- Layanan dalam pasien secara daring.
caya. bentuk daring - Anggota keluarga dan teman dekat dapat
dapat dilakukan. memberikan dukungan emosi positif
P secara intensif, paling sedikit 3 kali sehari
disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan
pasien.
2. Relaksasi fisik: 2. Pada ODP 2. Melakukan asesmen singkat terhadap kondisi 2. Untuk pasien Covid-19 yang dirawat di ICU:
menarik napas yang diisolasi PDP untuk mengetahui kondisi kesehatan mental - Setiap melakukan tindakan kepada
dalam, relaksasi di Fasilitas klien. Selanjutnya dilakukan langkah-langkah pasien, panggil nama pasien dan jelaskan
20
otot progresif, Kesehatan untuk mengurangi kecemasan dan gangguan tindakan yang akan dilakukan, dan sedapat
olah raga secara Sekunder (RS psikologis yang terjadi, seperti: mungkin berikan pujian atas perkembangan
rutin. Tipe C dan D) - Mendengar aktif tentang keluhan-keluhan klien, kesehatan yang membaik.
mendapat layanan - Memandu untuk melakukan relaksasi, - Pertahankan komunikasi positif dengan
kesehatan jiwa - Memandu dan memfasilitasi klien untuk pasien di ICU.
dan psikososial mengekspresikan emosi negatif dengan cara - Perdengarkan musik yang lembut dan
21
dari tim yang yang adaptif, menenangkan dapat juga berupa ayat-ayat
terlatih merawat - Memandu dan memfasilitasi klien untuk berpikir kitab suci, voice note yang positif dari

Manifestasi Psikologis Pasien Covid-19


di fasilitas dan berperilaku positif berdasarkan prinsip anggota keluarga dan teman.
kesehatan. prinsip terapi kognitif perilaku atau psikoterapi
yang lain.

353
OTG ODP PDP Pasien Konfirmasi Covid-19

354
3. Mengembang- 3. Dukungan 3. Layanan pekerja sosial dapat membantu 3. Untuk pasien Covid-19 yang sembuh dan
kan berpikir Keluarga untuk mengidentifikasi kebutuhan dan pulang:
positif seperti ODP adalah tantangan (risiko) ODP dan keluarganya, - Dukungan pada pasien di rumah dengan
afirmasi / posi- dengan me- mengidentifikasi sistem sumber penting mengupayakan agar keluarga memberikan
tive self talk mertahankan yang terkait dalam pemenuhan kebutuhan perhatian dan tidak melakukan penolakan
tentang diri, komunikasi rutin serta membantu memfasilitasi ODP dan terhadap anggota keluarganya, namun
keluarga, dan keluarga dengan keluarga kepada semua sistem sumber lebih banyak menguatkan agar pasien
kehidupan. ODP melalui yang dibutuhkan dalam situasi ini. bisa melewati sakit dengan mudah,
Juga hentikan media sosial, memberikan ruangan tersendiri agar
pikiran negatif memfasilitasi dapat melakukan isolasi secara mandiri,
AU
dengan segera. keluarga menyiapkan berbagai fasilitas dan
mengidentifikasi kebutuhan agar mampu menghadapi
dan menghu- proses penyembuhan dengan baik.
bungkan
sumber-sumber
P - Dukungan pada keluarga di rumah
adalah agar keluarga tetap harus

Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


di sekitar dalam mendapatkan informasi benar tentang
memenuhi status anggota keluarganya yang
kebutuhan. sembuh, dan memberikan nomor hotline
untuk mendapatkan layanan psikologi
secara daring.
20
- Dukungan sosial untuk pasien dan
keluarga agar pasien dan keluarganya
tidak dijauhkan dari interaksi sosial,
tidak melakukan penolakan atau tetap
memberikan kesempatan sebagai warga
21
di lingkungannya, dan saling meyakinkan
satu dengan yang lain tentang perlunya
kehati-hatian, namun tidak melakukan
tindakan reaktif agresif pada pasien dan
keluarganya, serta tetap mendukung lewat
kelompok media sosial.
OTG ODP PDP Pasien Konfirmasi Covid-19
4. Memertah- 4. Memberikan
ankan dan dukungan
meningkatkan informasi,
hubungan emosi, peng-
interpersonal hargaan, dan
dengan saling instrumental
menyapa, untuk memper-
memberi siapkan kondisi
pujian, psikologis
memanfaatkan agar mampu
teknologi menghadapi
AU
informasi, permasalahan
berbagi cerita dan dapat
positif melalui kembali
media sosial,
berbagi
beradaptasi
dengan
P
perasaan lingkungan
pada orang sosialnya.
yang dapat Layanan dapat
dipercaya, berbentuk
20
meningkatkan KIE, Psycho-
komunikasi logical First
antar anggota Aid, telekon-
keluarga. seling dan
pemberdayaan
21
komunitas.

Manifestasi Psikologis Pasien Covid-19


355
b. Konseling atau Psikoterapi yang fokus kepada fleksibilitas
psikologik, mekanisme koping, dan aspek kesejahteraan/
wellbeing:
Fleksibilitas psikologik adalah kemampuan untuk mengenali
dan beradaptasi dengan tuntutan situasional dalam mengejar
hasil jangka panjang yang bermakna secara pribadi. Penerapan
fleksibilitas psikologik ini telah secara konsisten dapat mengurangi
stres, kecemasan, depresi, dan meningkatkan kesejahteraan.
Melalui fleksibilitas psikologik, seseorang dapat memilih
mekanisme koping yang sesuai dengan situasi yang dihadapi.
Ketiadaan fleksibilitas psikologik akan membuat seseorang
mengembangkan mekanisme koping menghindar, tidak ingin
menyelesaikan masalah, bahkan mempergunakan napza untuk

21
lari dari masalah yang dihadapi. Penilaian ada atau tidaknya
fleksibillitas psikologik dapat menjadi prediktor bagaimana
seseorang terdampak dan mengembangkan mekanisme koping
20
di tengah berbagai tantangan selama masa pandemi ini. Terapi
psikologik perlu menjadikan aspek fleksibilitas psikologik ini
sebagai target intervensi (Dawson and Golijani-Moghaddam,
2020). Dokter perlu menilai klien / pasien mengindentifikasikan
P

masalah-masalah apa saja yang dipikirkannya dan bagaimana


kemungkinan cara-cara dalam beradaptasi, mekanisme koping,
AU

target individu dan keluarga, serta mengambil keputusan


tindakan langsung. Secara bertahap, dokter mendampingi klien/
pasien dalam mencapai target-target fleksibilitas psikologik
sampai di tahap terlihat usaha mengejar hasil nyata.
c. Konseling atau Psikoterapi yang fokus kepada resiliensi:
Resiliensi adalah kemampuan untuk menghadapi dan mengatasi
peristiwa dramatik atau suatu masa/periode yang sulit (Renzo,
et al., 2020). Seorang memiliki resiliensi saat dapat mengatasi
masalah yang ada menggunakan mekanisme koping yang matur
dan dapat bangkit kembali. Pandemi Covid-19 telah menjadi suatu
peristiwa dramatik atau suatu masa yang sulit di mana terjadi

356 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


perubahan yang besar dalam rutinitas, kebiasaan, dan gaya hidup
dengan adanya risiko infeksi yang sangat luas.
Cara-cara yang dapat dilakukan untuk membangun resiliensi
adalah: menentukan motivasi, pemahaman akan masalah yang
dihadapi, dan mekanisme pemecahan masalah berorientasi tugas.
Bagi tenaga kesehatan upaya membangung resiliensi berarti
memberikan pengetahuan, motivasi kerja serta profesionalitas,
dan pemahaman luas bidang kerja meliputi aspek klinis, teknis
kerja, psikososial, dan perspektif komunitas.
d. Psikoterapi spesifik:
Psikoterapi kognitif perilaku yang fokus kepada aspek trauma/
Trauma Focused – Cognitive Behavior Therapy (TF-CBT) dapat
dimodifikasi untuk kondisi pandemi Covid-19 dengan penekanan
pada hal-hal berikut:

21
1) Edukasi mengenai dampak psikologik pandemi Covid-19.
2) Pe nge m ba nga n ke t e ra mpi l a n p s i ko s o s i a l u nt u k
20
mengoptimalkan penyesuaian emosional dan perilaku selama
masa karantina atau di Indonesia lebih dikenal dengan PSBB
(Pembatasan Sosial Berskala Besar) dengan penerapan khusus
di masing-masing daerah.
P

3) Mengekspresikan afektif dan pemecahan masalah untuk


mengatasi masalah-masalah emosi.
AU

4) Fomulasi kognitif dalam mengilustrasikan hubungan antara


proses pikir, perasaan, dan perilaku.
5) Menghadapi pemikiran mengenai pikiran-pikiran negatif
selama masa pandemi atau memodifikasi pemikiran-
pemikiran tersebut.
6) Menarasikan trauma, untuk memberikan kesempatan
individu atau masyarakat menceritakan pikiran dan perasaan
traumatik selama masa pandemi Covid-19.
7) Teknik relaksasi yang dapat dilakukan di rumah dan
peningkatan keterampilan manajemen stres melalui pelatihan/
bimbingan secara daring.

Manifestasi Psikologis Pasien Covid-19 357


8) Terapi kedukaan untuk mengatasi perasaan kehilangan
anggota keluarga atau kenalan yang meninggal akibat Covid-
19;
9) Sesi dukungan kelompok secara daring dalam memberikan
kesempatan saling bercerita mengenai pikiran/perasaan
trauma.
10) Memperkuat pencegahan dan keamanan individu atau
masyarakat agar tidak terpapar dengan infeksi Covid-19.
11) Paparan pengingat trauma agar individu/masyarakat tidak
terus menerus menghindari situasi yang tidak lagi berisiko
setelah pandemi berakhir. Tipe atau cara paparan ini perlu
berbagai pertimbangan sebelumnya.
Pelaksanaan TF-CBT ini membutuhkan kerjasama berbagai

21
organisasi, khususnya dalam mengembangkan kesiapan
pelaksanaan secara daring, termasuk ketersediaan psikiater,
dokter, psikolog, konselor, dan tentunya masyarakat dalam
20
mengadopsi sistem kesehatan mental yang baru di masa
pandemi (Wang, et al., 2020)
3. Mitigasi manifestasi psikologis yang muncul dari proses
isolasi di ruang perawatan khusus infeksi (Cates, Gomes, and
P

Krasilovsky, 2018):
a. Perhatian pada aspek komunikasi dan kendali proses perawatan,
AU

meliputi sikap empatik sejak pertemuan pertama dengan pasien,


menjelaskan proses pengendalian infeksi dan alasan-alasan yang
mendasari prosedur tersebut, orientasi mengenai ruangan / unit
perawatan kepada pasien, berikan kesempatan pasien untuk
bertanya, sampaikan informasi penting beberapa kali hingga
dapat dipahami pasien dengan tepat, gunakan semua fasilitas
media dalam memberikan penjelasan baik secara komunikasi
verbal langsung, tertulis, dan video, sediakan pula penerjemah
bila pasien mengalami kesulitan berkomunikasi dengan bahasa
yang berbeda. Selain itu, selama proses perawatan, pasien dapat
dibantu untuk melakukan aktivitas secara rutin dengan ritme
yang dikehendaki, termasuk memfasilitasi kegiatan belajar bagi

358 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


anak – remaja usia sekolah, memberikan kesempatan pasien dapat
beribadah sesuai agama/kepercayaannya, bila tidak ada kondisi
masalah nutrisi tertentu, keluarga dapat pula diizinkan membawa
makanan rumah atau pesanan khusus pasien.
b. Perhatian pada lingkungan fisik/fasilitas ruangan, meliputi
ketersediaan jam, kalender, jendela ke arah luar dan ke arah unit/
koridor lain, gambar-gambar menenangkan di dinding ruangan,
pasien pun diizinkan membawa gambar yang disukainya dari
rumah, dekorasi yang ramah anak, mainan sesuai usia anak,
dapat pula dipertimbangkan adanya televisi dengan program
layanan acara khusus yang tetap membatasi paparan informasi
yang dapat meresahkan, serta izin penggunaan gadget.
c. Perhatian pada aspek interaksi staf medis – paramedis dengan

21
pasien, meliputi tulisan nama tenaga kesehatan di gaun yang
dipakai, kesiapan tenaga kesehatan dalam proses mendengarkan
pasien dengan seksama dan bertanya untuk mengklarifikasi,
20
komunikasi yang jelas dan konsisten (“clear and consistent
communication”), pelatihan kepada tenaga kesehatan mengenai
manifestasi psikologis yang dapat terjadi di ruangan isolasi
dan cara meminimalkannya, memfasilitasi kesempatan pasien
P

berinteraksi dengan keluarga dan kenalannya, berikan penjelasan


yang jujur dan konsisten mengenai rencana keluar rumah sakit
AU

4. Aspek nutrisi.
Peranan berbagai usulan mengenai diet anti inflamasi dapat
membantu untuk memperkuat sistem daya tahan tubuh dan
menurunkan stres oksidatif. Butler et al. menyarankan tipe diet
yang dapat memengaruhi daya tahan individu dan mengurangi
virulensi. Tipe makanan-makanan yang didapatkan dari proses
pabrik berulang-ulang (ultra-processed food) haruslah dihindari (Butler
and Barrientos, 2020; Renzo, et al., 2020).
5. Beberapa kegiatan dan batasan yang menunjang kesejahteraan orang
dewasa selama isolasi mandiri di rumah (Inter-Agency Standing
Committee, 2020):

Manifestasi Psikologis Pasien Covid-19 359


a. Melakukan kegiatan olahraga ringan seperti senam dan
pelenturan otot
b. Latihan-latihan kognitif
c. Mendapatkan informasi dari sumber-sumber terpercaya
d. Mengurangi paparan media mengenai informasi-informasi yang
terkesan menakutkan
e. Mengurangi waktu mendengarkan rumor-rumor
f. Membatasi waktu dalam mencari informasi misalnya 1–2 kali per
hari, dan bukan setiap jam

MANIFESTASI PSIKOLOGIS PASIEN COVID-19 ANAK DAN


REMAJA

21
Pada anak dan remaja yang mengalami infeksi Covid-19, manifestasi
psikologis yang dapat terjadi, khususnya saat anak dan remaja dirawat
dalam ruang perawatan khusus infeksi, adalah perasaan sedih, sendiri/
20
kesepian, rindu rumah (homesick), cemas, takut, gangguan tidur, dan gejala
depresi. Selain itu juga dilaporkan adanya kondisi regresi/bersikap seperti
usia mental sebelumnya, kemarahan, sikap menuntut, bahkan agresifitas
(Thurber, et al., 2007; Meltzer and Mindell, 2009; Shields, 2010; Salmela, et
P

al., 2010 dalam Cates, Gomes and Krasilovsky, 2018).


Pembatasan aktivitas baik berupa karantina atau lockdown telah
AU

terbukti dapat mengurangi penyebaran virus di masa pandemi ini. Di


sisi lain, pembatasan ini menimbulkan berbagai kerentanan terhadap
masalah psikologis termasuk pada anak dan remaja saat aktivitas sekolah
dan kegiatan di luar rumah yang biasanya menjadi bagian keseharian,
kini tidak dapat lagi dilakukan.
Aspek lingkungan yang menunjang menjadi fondasi yang turut
membentuk ciri kepribadian anak dan remaja. Perubahan yang terjadi
di masa pandemi ini tentunya menjadi risiko tersendiri dalam proses
perkembangan kepribadian dan perilaku anak di kemudian hari terkait
dengan keterampilan sosialnya.

360 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Tabel 18.3 Intervensi untuk anak dan remaja mengatasi stres selama pandemi
Covid-19 (World Health Organization, 2020)

Mendengarkan • Anak-anak kadang menanggapi situasi yang


secara aktif dan meresahkan dengan cara bersikap manja, tampak
mengembangkan sikap gelisah, marah, menyendiri, mengalami mimpi
pengertian dengan buruk, menunjukkan suasana hati yang berubah-
anak – remaja. ubah, bahkan mengompol.
Membantu anak • Menciptakan lingkungan yang aman dan
mendapatkan mendukung anak dapat mengekspresikan
cara positif dalam perasaannya.
mengungkapkan • Memfasilitasi kegiatan bermain, menggambar, dan
perasaan yang tidak kegiatan kreatif akan mempermudah proses ini
nyaman
Menciptakan • Menunjukkan kasih sayang, memberikan tambahan
lingkungan yang aman, waktu memerhatikan anak dalam masa-masa sulit.
sensitif, dan peduli
anak
Pengelolaan emosi
orang tua dan orang
21
• Bila memungkinkan, dapat menambah waktu
bermain bersama dan bersantai bersama anak.
• Anak-anak sering terpengaruh dengan cara orang
dewasa menanggapi masalah atau krisis.
20
dewasa lain • Orang tua dan orang dewasa lainnya perlu
mengelola emosi dengan baik, bersikap tenang,
mendengarkan kekhawatiran anak, berbicara
dengan nada lembut, dan menghibur anak.
• Jika pantas dan sesuai usia, orang tua/pengasuh
dapat memeluk anak sambil lebih sering
P

menyatakan bahwa mereka mengasihi dan bangga


terhadap anak tersebut.
AU

Memastikan anak tetap • Jika anak harus dipisahkan dari pengasuh utama,
dekat dengan orang perlu dipastikan bahwa anak mendapatkan
tua dan keluarganya pengasuh alternatif dan petugas sosial atau yang
setara yang dapat sering menengok anak.
• Jika anak terpisah dari pengasuhnya, kontak
pada anak harus sering dilakukan baik melalui
telepon, komunikasi daring, dengan terus menerus
menenangkan anak serta memastikan langkah
perlindungan untuk keamanan anak.
Menjalankan jadwal • Membantu menciptakan juga aktivitas baru seperti
dan rutinitas yang bermain, belajar, dan bersantai.
teratur • Kegiatan belajar dapat disesuikan dengan
kebijakan pemerintah (daring atau luring)

Manifestasi Psikologis Pasien Covid-19 361


Memberikan fakta dan • Memberikan informasi tentang apa yang terjadi
informasi yang jelas dan apa yang mungkin terjadi dengan jujur sesuai
yang sesuai untuk umur anak sambil menenangkannya.
anak dan remaja • Mengenai mengurangi risiko infeksi dan tetap
aman dalam bahasa yang dimengerti.
• Mendemonstrasikan protokol kesehatan misalnya
cara mencuci tangan.
• Tidak berspekulasi mengenai rumor atau informasi
yang belum pasti di dekat anak.
Mendukung orang • Dalam kegiatan-kegiatan ini sebaiknya tetap
dewasa/pengasuh menjelaskan tentang virus.
dengan kegiatan untuk • Menjaga agar anak tetap aktif ketika tidak masuk
anak selama isolasi/ sekolah.
karantina di rumah. • Melakukan aktivitas kreatif seperti: permainan
mencuci tangan dengan lagu, cerita fiktif tentang
penjelajahan virus di dalam tubuh, menjadikan

21
pembersihan dan disinfeksi rumah dengan
permainan menyenangkan, atau melalui gambar
virus/mikroba yang kemudian diwarnai oleh anak,
sambil jelaskan alat perlindungan diri (APD) kepada
20
anak agar mereka tidak takut

Beberapa kondisi yang menjadi perhatian pada anak-anak di masa


pembatasan aktivitas di luar rumah ini adalah kemungkinan munculnya
perilaku iritabilitas, kegelisahan, perasaan mudah cemas, kurangnya
P

konsentrasi, reaksi stres, gangguan penyesuaian, dan perasaan berduka


AU

yang besar saat kehilangan anggota keluarga akibat Covid-19. Anak-anak


berkebutuhan khusus, termasuk anak-anak yang terlantar atau hidup
di jalanan tentunya lebih rentan lagi mengalami manifestasi psikologis
di masa pandemi ini. Hal lain yang juga perlu diantisipasi adalah
kemungkinan peningkatan kekerasan dalam rumah tangga termasuk
kekerasan kepada anak dan remaja (Roy, et al., 2020).
Cara untuk membantu anak dan remaja mengatasi manifestasi
psikologis ini adalah intervensi yang mengkombinasikan dengan kegiatan
belajar, bermain dan beraktivitas sesuai usia perkembangannya, penataan
ruangan perawatan yang ramah anak dan remaja, model komunikasi
spesifik antara tenaga kesehatan dan pasien anak, juga menyediakan
kesempatan untuk anak dapat tetap berinteraksi dengan keluarga dan

362 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


teman-teman sebayanya (komunikasi daring terkendali). Tabel 18.3 di
bawah ini menjelaskan panduan umum intervensi untuk anak dan remaja
(termasuk untuk non pasien) dalam mengatasi stres selama masa pandemi
Covid-19.

MANIFESTASI PSIKOLOGIS PANDEMI COVID-19 NON


PASIEN

MANIFESTASI PSIKOLOGIS PADA MASYARAKAT UMUM


Selain manifestasi psikologis yang terjadi pada pasien dengan Covid-19,
kondisi pandemi ini secara keseluruhan juga memberikan dampak
terhadap populasi umum dan tentunya pada pekerja kesehatan/health

21
care workers (HCW). pada populasi umum didapatkan gejala kecemasan
yang relatif tinggi berkisar dari 6.33% hingga mencapai 50.9%, gejala
depresi (14.6–48.3%), gangguan stres pasca trauma (7–53.8%), distres
psikologis (34.43–38%), dan perasaan stres secara umum (8.1–81.9%), hal
20
ini telah dilaporkan dalam populasi umum selama pandemi Covid-19
di China, Spanyol, Italia, Iran, Amerika Serikat, Turki, Nepal, dan
Denmark. Faktor – faktor risiko terkait kondisi ini meliputi jenis kelamin
perempuan, kelompok usia muda (usia ≤40 tahun), adanya gangguan
P

jiwa kronis sebelumnya, tidak memiliki pekerjaan, bersatatus sebagai


AU

pelajar, dan terekspos terus menerus pada media sosial atau berita-berita
(yang simpang siur) mengenai Covid-19 (Xiong, et al., 2020). Didapatkan
prevalensi gangguan jiwa yang tinggi dalam hubungannya dengan
paparan sosial media/SME (Social Media Exposure) selama masa pandemi
Covid-19. Penemuan ini mengimplikasikan bahwa pemerintah perlu
memberikan perhatian khusus pada kesehatan mental di populasi umum
pada saat yang sama dengan usaha maksimal dalam mengatasi Covid-19
(Gao, et al., 2020).
Pada masa awal pandemi Covid-19, studi yang dilakukan di China,
melaporkan separuh responsden mengalami dampak psikologik dari
Covid-19 pada level sedang hingga berat, dan hampir sepertiganya
melaporkan level kecemasan sedang hingga berat dalam masa dua minggu

Manifestasi Psikologis Pasien Covid-19 363


pertama pandemi (Wang, et al., 2020). Sementara di Itali, didapatkan
kondisi masalah stres pasca trauma (30%), gangguan penyesuaian (22,9%),
ansietas (20,9%), depresi (17,3%), insomnia (7,3%) dari 18.147 partisipan
(Rossi, et al., 2020). Hal lain yang perlu diberikan perhatian khusus adalah
kecenderungan peningkatan kekerasan dalam rumah tangga. Beberapa
negara seperti Norwegia, Jerman, Prancis, Italia, dan Spanyol mencoba
mengatasi kondisi ini dengan menciptakan semacam kode yang disebut
“MASK 19” di mana seseorang yang membutuhkan bantuan akibat
mengalami kekerasan dalam rumah tangga dapat meminta bantuan di
supermarket atau apotek dengan menyebutkan kode kata ini (Yamamoto,
et al., 2020).
Pengembangan program kesehatan jiwa berbasis komunitas /
masyarakat akan dapat membantu mengatasi manifestasi psikologis

21
pada masyarakat umum. Prinsip-prinsip yang mendasari pengembangan
program ini adalah memastikan rasa aman dan tenang, peran bersama
/ koneksi individu bersama lingkungan, dan membangkitkan harapan-
20
harapan (National Center for PTSD, 2020). Program – program ini dilakukan
dengan kerjasama lintas sektoral, penyesuaian media komunikasi dan
partisipasi baik luring (offline) maupun daring (online), serta dengan
dukungan studi berkelanjutan atau survey kesehatan jiwa masyarakat
P

sehingga dapat memberikan solusi yang berbasis bukti.


AU

MANIFESTASI PSIKOLOGIS PADA TENAGA KESEHATAN


Pada tenaga kesehatan, kondisi yang didapatkan akibat pandemi Covid-
19 adalah gangguan psikosomatik yang bila terdeteksi pada tenaga
kesehatan akan menjadi prediktor kondisi yang dapat menjadi lebih berat
lagi khususnya bila bertugas di unit perawatan khusus/intensif. Kondisi
lain yang sering didapatkan adalah insomnia dan gangguan kecemasan.
Studi lanjutan dibutuhkan untuk mendapatkan data mengenai gangguan
psikiatrik yang sering terjadi pada para tenaga kesehatan (Sheraton,
et al., 2020).
Baik tenaga kesehatan yang bekerja di ruang perawatan khusus
maupun yang tidak, keduanya sama-sama dapat mengalami masalah

364 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


psikologis. Bahkan studi yang dilakukan Li, et al., mendapatkan tenaga
kesehatan yang bekerja di masyarakat dan di luar ruang perawatan khusus
Covid-19 ternyata dapat mengalami kondisi trauma yang tinggi (Li, et al.,
2020 dalam Guo, et al., 2020).
Belasan studi pada responsden tenaga kesehatan yang bekerja secara
langsung menangani Covid-19 mendapatkan kondisi manifestasi stres
pada 2.2 hingga 14.5% partisipan (Bohlken, et al., 2020 dalam Shah, et
al., 2020). Terlebih lagi beberapa kondisi di awal pandemi yang terjadi
saat tenaga kesehatan bekerja dalam jumlah waktu kerja yang banyak,
kekurangan waktu istirahat/tidur, dan risiko terpapar infeksi yang cukup
tinggi, termasuk kemungkinan kekhawatiran menularkannya kepada
keluarga (Verma, et al., 2020).
Beberapa usulan untuk mengatasi manifestasi psikologis pada tenaga

21
kesehatan adalah dengan mengupayakan penatalaksanaan psikologik
yang berfokus pada resiliensi, membangkitkan motivasi kerja baik
secara individu maupun kerjasama tim, pengaturan jadwal kerja, proses
20
pendampingan yang mengupayakan deteksi awal faktor risiko psikologik,
pengenalan gejala-gejala masalah psikiatrik, psikoedukasi berulang dan
bantuan konseling bagi tenaga kesehatan.
P

REKOMENDASI
AU

Kewaspadaan yang lebih dibutuhkan dalam merawat pasien-pasien yang


sebelumnya memiliki kondisi masalah atau gangguan jiwa yang dapat
meningkatkan risiko terjadinya infeksi derajat berat Covid-19. Pelatihan
tenaga kesehatan dan kerjasama/kolaborasi dengan bidang psikiatrik perlu
secara intensif dilakukan.
Pengamatan gejala dan tanda gangguan psikiatrik perlu diobservasi
sejak pasien dirawat di rumah sakit hingga saat pasien keluar rumah sakit.
Dokter dan tenaga kesehatan lainnya perlu memberikan edukasi kepada
pasien dan keluarganya untuk peka terhadap gejala dan tanda masalah
psikologik serta segera mengkonsultasikan kondisi stres yang mungkin
terjadi. Pengamatan jangka panjang dibutuhkan untuk mewaspadai
kemungkinan adanya gejala depresi, ansietas, fatigue, gangguan stres

Manifestasi Psikologis Pasien Covid-19 365


pasca trauma, dan sindroma gangguan neuropsikiatri. Pengamatan jangka
panjang ini membutuhkan perhatian khusus para tenaga kesehatan dan
membutuhkan penelitian-penelitian berkelanjutan guna mendapatkan
rencana penatalaksanaan yang optimal untuk pasien pasca perawatan.
Edukasi yang berulang-ulang perlu dilakukan untuk memberikan
pengetahuan dan peningkatan keterampilan masyarakat dalam mengenali
dan mengatasi manifestasi psikologis langsung maupun tidak langsung
dari Covid-19. Para tenaga kesehatan yang memiliki kerentanan tinggi
saat bertugas baik risiko infeksi maupun kerentanan secara psikologis
perlu mendapatkan perhatian khusus semua pihak, yang terwujud dalam
upaya program komprehensif dukungan, skrining fisik dan mental, serta
pendampingan berkelanjutan.

RANGKUMAN
21
Pandemi Covid-19 dapat menimbulkan risiko gangguan jiwa baik secara
20
langsung maupun tidak langsung. Dampak secara langsung Covid-19
kepada manifestasi psikologis terjadi karena beberapa mekanisme
neurobiologik seperti: infiltrasi langsung ke sistem saraf pusat dan
disregulasi jaringan sitokin (konsep psikoneuroimunologi). Virus dapat
P

memengaruhi sistem saraf pusat dan menginduksi gejala neuropsikiatrik


dengan mengaktivasi respons imun, yang dapat diobservasi dari “badai
AU

sitokin” yang saat ini berkembang sebagai faktor utama penjelasan


patofisiologi Covid-19.
Manifestasi psikologis pada pasien Covid-19 meliputi berbagai
kondisi mulai dari masalah psikologis ringan hingga terjadinya gangguan
psikiatrik. Stigma dan ketidakpastian akan perkembangan infeksi virus
menjadi dua hal yang seringkali dinyatakan oleh pasien Covid-19. Pasien
kemungkinan dapat memunculkan mekanisme koping yang maladaptif
dalam proses kerjasama terapeutik seperti perilaku menghindar dan atau
menyangkal mengalami hal-hal yang tidak nyaman, sehingga tenaga
kesehatan akan mengalami kesulitan dalam memberikan perawatan yang
optimal karena kurangnya kerjasama pasien ini. Berbagai manifestasi
psikologis lainnya dari Covid-19 seperti berbagai spektrum ansietas/

366 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


kecemasan, depresi, bahkan psikotik dapat terjadi sejak pasien mulai
dirawat hingga keluar rumah sakit. pada fase akut atau pasien kritis
seringkali dijumpai kondisi delirium.
Pendekatan penatalaksanaan dilakukan dengan perencanaan
diagnosis medik dan diagnosis psikiatrik, termasuk aspek skrining
psikometrik. Perencanaan terapi meliputi medikasi psikofarmaka dan
terapi psikologik seperti Dukungan Kesehatan Jiwa dan PsikoSosial
(DKJPS), konseling atau psikoterapi yang fokus kepada fleksibilitas
psikologik, mekanisme koping, aspek kesejahteraan/wellbeing, dan fokus
kepada resiliensi. Terapi psikologik lainnya termasuk Trauma-Focused
Cognitive Behavior Therapy (TF-CBT) dan mitigasi manifestasi psikologis
yang muncul sejak dari ruang perawatan di rumah sakit. Selain itu proses
penatalaksanaan perlu memberikan perhatian pada aspek nutrisi, dan

21
peningkatan kesejahteraan di semua proses perawatan (proses isolasi
mandiri di rumah, penatalaksanaan di rumah sakit, dan pemantauan
pasca perawatan rumah sakit).
20
Manifestasi psikologis dapat terjadi pada pasien Covid-19 dewasa
dan juga pada anak-remaja yang membutuhkan penatalaksanaan secara
khusus. Manifestasi psikologis pun dapat terjadi pada non pasien Covid-19
seperti masyarakat umum dan tenaga kesehatan, yang kesemuanya
P

turut membutuhkan perhatian khusus dalam upaya bersama mengatasi


pandemi Covid-19.
AU

DAFTAR PUSTAKA
Arciniegas, D. and Anderson, A. 2004. Viral encephalitis: Neuropsychiatric and
neurobehavioral aspects. Current Psychiatry Reports, 6(5):372–379.
Butler, M. J. and Barrientos, R. M. 2020. The impact of nutrition on Covid-19
susceptibility and long-term consequences. Brain, Behavior, and Immunity,
87(January):53–54.
Cates, D. S., Gomes, P. G. and Krasilovsky, A. M. 2018. Behavioral Health Support
for Patients, Families, and Healthcare Workers, in Hewlett, A. Murthy, A.
(ed.) Bioemergency Planning. Springer International Publishing AG, pp. 195–
214. doi: 10.1007/978-3-319-77032-1_16.

Manifestasi Psikologis Pasien Covid-19 367


Conversano, C., Di Giuseppe, M., Miccoli, M., Ciacchini, R., Gemignani, A., Orrù,
G., et al. 2020. Mindfulness, age and gender as protective factors against
psychological distress during Covid-19 pandemic. Frontiers in Psychology,
11(September).1–9. doi: 10.3389/fpsyg.2020.01900.
Dawson, D.L. and Golijani-Moghaddam, N. 2020. Covid-19: Psychological
flexibility, coping, mental health, and wellbeing in the UK during the
pandemic. Journal of Contextual Behavioral Science, 17(June):126–134. doi:
10.1016/j.jcbs.2020.07.010.
Debnath, M., Berk, M. and Maes, M. 2020. Changing dynamics of
psychoneuroimmunology during the Covid-19 pandemic. Brain, Behavior,
& Immunity - Health, 5(June), p. 100096. doi: 10.1016/j.bbih.2020.100096.
Desforges, M., Le Coupanec, A., Dubeau, P., Bourgouin, A., Lajoie, L., Dubé, M., et
al. 2019. Human coronaviruses and other respiratory viruses: Underestimated
opportunistic pathogens of the central nervous system? Viruses, 12(1):1–28.
doi: 10.3390/v12010014.

21
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian
Kesehatan RI. 2020. Pedoman Dukungan Kesehatan Jiwa dan Psikososial pada
Pandemi Covid-19. 1st Edn. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
20
Ferrando, S., Klepacz, L., Lynch, S., Tavakkoli, M., Dornbush, R., Baharani, R., et
al. 2020. Covid-19 Psychosis: A Potential New Neuropsychiatric Condition
Triggered by Novel Coronavirus Infection and the Inflammatory Response?
Psychosomatics, 61(5):551–555.
P

Gao, J., Zheng, P., Jia, Y., Chen, H., Mao, Y., Chen, S., et al. 2020. Mental health
problems and social media exposure during Covid-19 outbreak. PLoS ONE,
AU

15(4):1–10. doi: 10.1371/journal.pone.0231924.


Guo, Q., Zheng, Y., Shi, J., Wang, J., Li, G., Li, C., et al. 2020. Immediate psychological
distress in quarantined patients with Covid-19 and its association with
peripheral inflammation: A mixed-method study. Brain, Behavior, and
Immunity, 88(April):17–27. doi: 10.1016/j.bbi.2020.05.038.
Inter-Agency Standing Committee. 2020. Catatan Tentang Aspek Kesehatan Jiwa dan
Psikososial Wabah Covid-19 Versi 1.0, World Health Organization.
Jasti, M., Nalleballe, K., Dandu, V., Onteddu, S., et al. 2020. A review of
pathophysiology and neuropsychiatric manifestations of Covid-19. Journal
of Neurology, 3(June):1–6. doi: 10.1007/s00415-020-09950-w.
Kempuraj, D., Selvakumar, GP., Ahmed, ME., Raikwar, SP., Thangavel, R.,
Khan, A. et al. 2020. Covid-19, Mast Cells, Cytokine Storm, Psychological

368 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Stress, and Neuroinflammation. Neuroscientist, 26(5–6):402–414. doi:
10.1177/1073858420941476.
Kępińska, A.P., Iyegbe, C.O., Vernon, A.C., Yolken, R., Murray, R.M., Pollak, T.A.
et al. 2020. Schizophrenia and Influenza at the Centenary of the 1918-1919
Spanish Influenza Pandemic: Mechanisms of Psychosis Risk. Frontiers in
Psychiatry, 11(February):1–19. doi: 10.3389/fpsyt.2020.00072.
Lee, S.W., Yang, J.M., Moon, S.Y., Yoo, I.K., Ha, E.K., Kim, S.Y., et al. 2020. Articles
Association between mental illness and Covid-19 susceptibility and clinical
outcomes in South Korea: a nationwide cohort study. The Lancet Psychiatry,
(September):1–7. doi: 10.1016/S2215-0366(20)30421-1.
Mednick., S.A., Machon, R.A., Huttunen, M.O., Bonett, D. 1988. Schizophrenia
Following Prenatal Exposure to an Influenza Epidemic. Arch Gen Psychiatry,
45(February):189–192.
Nalleballe, K., Reddy Onteddu, S., Sharma, R., Dandu, V., Brown, A., Jasti, M., et

21
al. 2020. Spectrum of neuropsychiatric manifestations in Covid-19. Brain,
Behavior, and Immunity, 88(June):71–74. doi: 10.1016/j.bbi.2020.06.020.
National Center for PTSD. 2020. For Providers and Community Leaders : Helping People
Manage Stress Associated with the Covid-19 Virus Outbreak.
20
Obiora, E., Hubbard, R., Sanders, R.D., Myles, P.R., et al. 2013. The impact
of benzodiazepines on occurrence of pneumonia and mortality from
pneumonia: A nested case-control and survival analysis in a population-
based cohort. Thorax, 68(2):163–170. doi: 10.1136/thoraxjnl-2012-202374.
P

Orsini, A., Corsi, M., Santangelo, A., Riva, A., Peroni, D., Foiadelli, T., et al. 2020.
Challenges and management of neurological and psychiatric manifestations
AU

in SARS-CoV-2 (Covid-19) patients. Neurological Sciences, 41(9):2353–2366. doi:


10.1007/s10072-020-04544-w.
Parboosing, R., Bao, Y., Shen, L., Schaefer, C.A., Brown, A.S., et al. 2013. Gestational
influenza and bipolar disorder in adult offspring. JAMA Psychiatry, 70(7):677–
685. doi: 10.1001/jamapsychiatry.2013.896.
Pierce, M., Hope, H., Ford, T., Hatch, S., Hotopf, M., John, A., et al. 2020. Mental
health before and during the Covid-19 pandemic: a longitudinal probability
sample survey of the UK population. The Lancet Psychiatry, 7(10):883–892. doi:
10.1016/S2215-0366(20)30308-4.
Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia /
PP PDSKJI. 2020. Panduan Penatalaksanaan Untuk Psikiater Yang Bertugas Di
Layanan Kesehatan Jiwa Di Era Epidemi Covid-19. Jakarta.

Manifestasi Psikologis Pasien Covid-19 369


Renzo, L.D., Gualtieri, P., Cinelli, G., Bigioni, G., Soldati, L., Attinà, A., et al. 2020.
Psychological aspects and eating habits during Covid-19 home confinement:
Results of ehlc-Covid-19 italian online survey. Nutrients, 12(7):1–14. doi:
10.3390/nu12072152.
Rogers, J.P., Chesney, R., Oliver, D., Pollak, T.A., McGuire, P., Fusar-Poli, P., et
al. 2020. Psychiatric and neuropsychiatric presentations associated with
severe coronavirus infections: a systematic review and meta-analysis with
comparison to the Covid-19 pandemic. The Lancet Psychiatry, 7(7):611–627.
doi: 10.1016/S2215-0366(20)30203-0.
Rossi, R., Socci, V., Talevi, D., Mensi, S., Niolu, C., Pacitti, F., et al. 2020. Covid-
19 pandemic and lockdown measures impact on mental health among the
general population in Italy. Frontiers in Psychiatry, 11(August):7–12. doi:
10.3389/fpsyt.2020.00790.
Roy, D., Ghosh, R., Dubey, S., Dubey, M.J., Benito-León, J., Ray, B.K. 2020.

21
Neurological and Neuropsychiatric Impacts of Covid-19 Pandemic. Canadian
Journal of Neurological Sciences/Journal Canadien des Sciences Neurologiques,
5(Agustus):1–16. doi: 10.1017/cjn.2020.173.
Shah, S.M.A., Mohammad, D., Qureshi, M.F.H., Abbas, M.Z., Aleem, S.
20
2020. Prevalence, Psychological Responses and Associated Correlates
of Depression, Anxiety and Stress in a Global Population, During the
Coronavirus Disease (Covid-19) Pandemic. Community Mental Health Journal,
27(October). doi: 10.1007/s10597-020-00728-y.
P

Sheraton, M., Deo, N., Dutt, T., Surani, S., Hall-Flavin, D., Kashyap, R. 2020.
Psychological effects of the COVID 19 pandemic on healthcare workers
AU

globally: A systematic review. Psychiatry Research, 292(August). doi: 10.1016/j.


psychres.2020.113360.
Stamu-O’Brien, C., Carniciu, S., Halvorsen, E., Jafferany, M. 2020. Psychological
aspects of Covid-19. Journal of Cosmetic Dermatology, 19(9):2169–2173. doi:
10.1111/jocd.13601.
Troyer, EA., Kohn, JN. and Hong, S. 2020. Are we facing a crashing wave of
neuropsychiatric sequelae of Covid-19? Neuropsychiatric symptoms
and potential immunologic mechanisms. Brain, Behavior, and Immunity,
87(April):34–39. doi: 10.1016/j.bbi.2020.04.027.
Verma, A.K., Prasad, P.D., Kumar, B., and Kohli, E. 2020. Brain and Covid-19
Crosstalk: Pathophysiological and Psychological Manifestations. ACS
Chemical Neuroscience, 11(20):3194–3203. doi: 10.1021/acschemneuro.0c00446.

370 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Wang, C., Pan, R., Wan, X., Tan, Y., Xu, L., McIntyre, R.S., et al. 2020. A longitudinal
study on the mental health of general population during the Covid-
19 epidemic in China. Brain, Behavior, and Immunity, 87(April):40–48. doi:
10.1016/j.bbi.2020.04.028.
Wang, C., Pan, R., Wan, X., Tan, Y., Xu, L., Ho, C.S., et al. 2020. Immediate
Psychological Responses and Associated Factors during the Initial Stage
of the 2019 Coronavirus Disease (Covid-19) Epidemic among the General
Population in China. International Journal of Environmental Research and Public
Health, 113(5):311–312. doi: 10.1093/qjmed/hcaa110.
Wang, J., Wang, J.X. and Yang, G.S. 2020. The psychological impact of Covid-19
on chinese individuals. Yonsei Medical Journal, 61(5):438–440. doi: 10.3349/
ymj.2020.61.5.438.
Wang, L. 2020. C-reactive protein levels in the early stage of Covid-19. Médecine et
Maladies Infectieuses, 50(4):332–334.

21
World Health Organization. 2020. Helping Children Cope With Stress During the
2019-nCoV Outbreak, World Health Organization. Geneva.
Xiong, J., Lipsitz, O., Nasri, F., Lui, L.M.W., Gill, H., Phan, L., et al. 2020. Impact of
Covid-19 pandemic on mental health in the general population: A systematic
20
review. Journal of Affective Disorders, 277(August):55–64. doi: 10.1016/j.
jad.2020.08.001.
Yamamoto, V., Bolanosa, J.F., Fiallosa, J., Stranda, S.E., Morrisa, K., Shahrokhinia,
S., et al. 2020. Covid-19: Review of a 21st Century Pandemic from Etiology to
P

Neuro-psychiatric Implications. Journal of Alzheimer’s Disease, 77(2):459–504.


doi: 10.3233/JAD-200831.
AU

Manifestasi Psikologis Pasien Covid-19 371


AU
P
20
21
MANIFESTASI GANGGUAN FUNGSI
PADA PASIEN COVID-19

Nur Khozin

PENGANTAR

21
Seluruh dunia saat ini mengalami masa pandemi Covid-19 atau Coronavirus
Disease 2019, yaitu kondisi penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus
20
Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Masalah
yang terjadi saat ini bukan hanya meliputi pada aspek kesehatan saja
tetapi sudah berimbas pada aspek sosial dan ekonomi. Langkah langkah
penanggulangan penyebaran virus SARS-CoV-2 telah dilakukan
P

oleh beberapa negara, dari yang melakukan PSBB (Pembatasan Sosial


Berskala Besar) sampai memberlakukan lockdown. Tentunya kebijakan
AU

yang diambil memberi andil pada dampaknya di aspek sosial dan aspek
perekonomian.
Manifestasi klinis Covid-19 saat ini ada bermacam macam, meski
diawal munculnya Covid-19 memberi gambaran klinis yang lebih
banyak ke saluran pernapasan, dengan gambaran klinis dan radiologis
yang bervariasi. Meskipun mayoritas pasien Covid-19 menunjukkan
gambaran klinis yang relatif ringan, namun dilaporkan juga sekitar
15–20% kasus dengan keluhan berat. Tingkat mortalitas dari Covid-19
juga cukup signifikan 2–3% dari lama perawatan hingga meninggal
6–41 hari (Stein, Visco, and Barbuto, 2020). Pasien dengan usia yang lebih
tua atau ada kondisi medis kronis seperti hipertensi, diabetes mellitus,

373
asma, atau penyakit paru obstruktif kronik lebih berpotensi keluhan
menjadi berat. Data lain dari Chinese Cohort, pada 191 pasien Covid-19
dewasa yang membutuhkan rawat inap didapatkan 61% membutuhkan
perawatan ICU dengan lama perawatan rata-rata 3 minggu (Zhou, F.,
et al., 2020). Cukup banyak pasien Covid-19 dengan keluhan berat yang
perlu perawatan intensif dan perawatan yang lama. Dan kondisi seperti
ini tentu kedepannya perlu diperhatikan akan adanya problem lanjutan
pasca perawatannya.
Adanya anggapan saat ini bahwa problem Covid-19 selesai bila dalam
pemeriksaan swab hasilnya negatif dan pasien telah keluar dari perawatan
rumah sakit. padahal pada pasien penyakit kritis dengan perawatan
lama seperti sindrom gangguan pernapasan akut akibat Covid-19, juga
bisa menyebabkan kondisi yang disebut dengan PICS (Post Intensive Care

21
Syndrome). Seiring dengan bertambah baiknya perawatan dan bertambah
banyaknya pasien survival Covid-19, beberapa gangguan fungsi seperti
gangguan paru persisten, gangguan sistem saraf pusat dan kognisi,
20
dekondisi, neuropati, miopati, disfagia, kekakuan dan nyeri sendi, dan
masalah kejiwaan, tentu juga akan bertambah (Kim, et al., 2020). Dan
gangguan fungsi yang terjadi tersebut tentu akan menurunkan derajat
kualitas hidup penderitanya.
P

Rehabilitasi medik memiliki falsafah meningkatkan kemampuan


fungsional pasien sesuai dengan potensi yang dimiliki untuk
AU

mempertahankan dan atau meningkatkan kualitas hidup dengan cara


mencegah atau mengurangi impairmen, disabilitas, dan handicap
semaksimal mungkin. Laporan pasien dari John Hopkins Hospital, dari
895 pasien yang dirawat dari Maret hingga Juli 2020, didapatkan sekitar
60–70% pasien memerlukan tindakan Rehabilitasi Medis (Kim, et al.,
2020). Dengan proporsi pasien dengan gangguan fungsi atau kecacatan
terkait Covid-19 yang terus berkembang dengan pesat, maka tindakan
pencegahan dengan rehabilitasi lebih awal menjadi sangat penting untuk
mengurangi gangguan fungsi atau kecacatan selain memperbaiki keluhan
yang terjadi dan mengurangi komplikasi yang akan terjadi.

374 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


21
Gambar 19.1 Diagram munculnya gangguan fungsi (Inoue, S., et. al., 2019)
20
PATHOEPIDEMIOLOGI GANGGUAN FUNGSI PADA PASIEN
COVID-19
P

Infeksi virus SARS-CoV-2 memicu pelepasan badai sitokin yang


menyebabkan peradangan hebat, yang kemudian mengakibatkan
AU

kerusakan paru yang ditandai dengan edema, eksudat protein yang


prominen, penyumbatan pembuluh darah, dan kluster inflamasi dengan
fibrinoid dan sel giant berinti banyak serta tampak gejala klinis hipoksia
yang menonjol (Tian et al., 2020). Sehingga beberapa pasien yang terinfeksi
Covid-19 sebagian akan mengalami gejala yang berat dan memerlukan
perawatan intensive (ICU) dengan waktu yang cukup lama. Kondisi yang
sering terjadi setelah pasien menjalani perawatan lama adalah terjadi
peradangan yang persisten, terjadi imunosupresi dan katabolisme yang
biasa disebut sebagai Post Intersive Care Syndrome (PICS). PICS didefinisikan
sebagai gangguan fungsi baru atau kondisi gangguan fungsi yang
memberat secara fisik, seperti kelemahan neuromuskular, gangguan
kognisi baik thinking maupun judgement, bahkan bisa mengganggu status

Manifestasi Gangguan Fungsi pada Pasien Covid-19 375


kesehatan mental (Rawal, Yadav and Kumar, 2017). pada sebuah study di
Italia pada 143 pasien setelah follow up minggu ke 7 setelah keluar dari
rumah sakit, didapatkan 53% dilaporkan mengalami fatigue, 43% sesak
napas, dan 27% nyeri pada sendi (Carfì, Bernabei, and Landi, 2020).

GANGGUAN FUNGSI PERNAPASAN DAN GANGGUAN PARU


PERSISTEN
Gangguan yang paling sering dijumpai pada pasien Covid-19 adalah
gangguan saluran pernapasan dengan keluhan sesak atau sesak persisten.
Dalam sebuah studi pada 97 orang yang survive dari SARS-CoV, dalam
setahun perawatan lanjutan didapatkan 24% memiliki diffusi karbon
monoksida paru yang signifikan disertai penurunan kapasitas latihan

21
(Hui, et al., 2005). Gambaran lain dari gangguan paru persisten adalah
adanya dispnea persisten yang bisa muncul saat istirahat, mobilisasi pasif,
atau hanya dengan aktivitas ringan. Adanya penurunan saturasi oksigen
(SatO₂) yang persisten pada saat istirahat atau selama mobilisasi pasif atau
20
aktif, juga dilaporkan dengan disertai perburukan dari dyspneanya.
Beberapa pasien yang survival dari infeksi Severe Acute Respiration
Syndrome (SARS) di tahun 2003, mengalami gangguan sisa fibrosis paru
terutama pada pasien dengan usia lebih tua. Dari studi otopsi pada pasien
P

yang meninggal karena SARS juga menunjukkan gambaran fibrosis dalam


berbagai tingkat. Fibrosis paru memang secara umum adalah sebagai
AU

akibat dari infeksi virus pada salah pernapasan, tetapi terlihat lebih
bermakna setelah terjadinya infeksi oleh SARS Coronavirus (SARS-CoV).
Beberapa study otopsi menunjukkan bahwa terjadi kerusakan yang
diffuse pada alveolar (DAD) dengan terbentuknya hyaline membrane dan
penebalan pada daerah interstitial setelah infeksi SARS-CoV pada paru.
DAD juga terjadi ketika ada trauma atau injury pada alveolar dan sel
ephitelial bronchiolar yang akan menyebabkan penyempitan saluran akhir
oleh karena sumbatan plug cairan dan debris sel yang bisa di lihat dengan
pemeriksaan fisik maupun radiologis.
Pada salah satu study menunjukkan sebanyak 45% pasien
menunjukkan ground-glass appearance yang menunjukkan indikasi

376 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


adanya fibrosis. Penilaian berdasar score chest X-ray dan high-resolution
computerized tomography satu bulan pasca infeksi. Ground-glass
opacification pada paru juga terlihat pada CT imaging.
Pada sebuah study pada binatang tentang perubahan fibrosis paru
yang diamati setelah infeksi SARS-CoV, menunjukkan bukti bahwa fibrosis
paru disebabkan oleh respons host yang hiperaktif terhadap cedera pada
paru yang dimediasi oleh signal epidermal growth factor receptor (EGFR).
Dengan menghambat signal epidermal growth factor receptor (EGFR), ternyata
dapat mencegah respons fibrotik yang berlebihan terhadap SARS-CoV.

GANGGUAN FUNGSI DEKONDISI


Pada studi yang dilakukan oleh Ong, dkk. didapatkan bahwa sebagian

21
besar penderita Covid-19 menunjukkan penurunan kapasitas fungsi
latihan yang penyebabnya bukan hanya karena gangguan fungsi parunya.
Penurunan saturasi oksigen bisa menjadi salah satu sebab penurunan
kapasitas fungsi latihan ini. Kelemahan pada otot karena polineuropaty
20
maupun miopaty juga bisa berperan pada terjadinya dekondisi.
Kontraksi otot membutuhkan Adenosine Triphosphate (ATP) yang
dihasilkan melalui jalur energi anaerobik dan aerobik. Proses anaerobik
hanya menghasilkan lebih kurang 5% dari ATP potensial dari molekul
P

glukosa yang terdegradasi menjadi CO₂ dan H₂O. Proses aerobik, yang
AU

menggunakan glikogen, lemak, dan protein sebagai substrat energi


akan menghasilkan ATP dalam jumlah yang lebih besar untuk energi.
Selain faktor energi, pengiriman oksigen ke sel dan kapasitas untuk
mengirimkannya ke jaringan juga turut menentukan tingkat aktivitas
seseorang. Kemampuan jantung dan paru-paru untuk mensuplai oksigen
ke seluruh tubuh dalam jangka waktu yang lama dinamakan dengan VO₂
max, sedangkan kebutuhan energi untuk homeostasis basal ditunjukkan
dengan METs, dengan 1 MET sama dengan sekitar 3,5 ml O₂ per kg berat
badan. Aktivitas seseorang membutuhkan daya tahan yang dipengaruhi
dan berdampak pada kualitas sistem kardiovaskuler, pernapasan, dan
sistem peredaran darah atau kemampuan maksimal dalam memenuhi
VO₂ max. Gangguan pada pertukaran O₂ dan CO₂ juga berpengaruh pada
pemenuhan oksigen.

Manifestasi Gangguan Fungsi pada Pasien Covid-19 377


GANGGUAN FUNGSI KELEMAHAN OTOT DAN SISTEM
NEUROMUSKULAR
Gangguan kelemahan pada otot juga banyak ditemukan. Ada beberapa
laporan dari Italia dan Prancis tentang manifestasi Covid-19 dalam bentuk
miopatik dengan pengecilan otot yang parah, dilaporkan juga terjadi
sedikit kasus manifestasi neuropati aksonal perifer (polineuropati atau
mononeuropati multipel) pada tungkai bawah dan atas.
Ada juga dilaporkan pasien yang mengalami kelemahan otot simetris
setelah nengalami perawatan yang lama di ICU karena Covid-19. Dalam
pemeriksaan EMG-NCV yang dilakukan pada anggota gerak atas dan
bawah didapatkan konduksi saraf sensorisnya normal dengan amplitud
yang kecil. EMG mengesankan pada myopathy dengan lebih menonjol
pada anggota gerak bawah. Laporan study oleh Mao dkk. mendapati

21
adanya anosmia dan ageusia pada Covid-19 yang bisa diasumsikan bahwa
penyakit ini ternyata bisa memengaruhi saraf tepi. (Mao, et al., 2020).
Pada pasien yang dirawat di ICU yang lama juga sering mengalami
20
Intensive care unit-acquired weakness (ICU-AW) yang ditandai dengan
kelemahan otot pada ekstremitas dengan pola yang simetris akibat dari
polineuropaty, myopaty, neuro myopaty dan dekondisi otot. Proses
terjadinya diawali karena iskemia microvaskular, katabolisme, imobilisasi
P

yang akan berlanjut pada iskemia pada nerve, gangguan natrium channel,
kerusakan mitochondria hingga terjadi polineuropathy, myopaty atau
AU

keduanya. (Inoue, S., et. al., 2019).

GANGGUAN FUNGSI SUARA, MENELAN, ATAU DISFAGIA


Disfagia bisa terjadi pasca ekstubasi, hal ini telah dilaporkan pada 3% sampai
62% pasien yang membutuhkan ventilasi mekanis untuk ARDS. Mekanisme
patofisiologis disfagia dapat bervariasi pada pasien dengan Covid-19, dari
penyebab mekanis, gangguan propriosepsi yang berkurang, cedera faring dan
laring serta kerusakan saraf perifer atau SSP. Disfagia juga bisa menyebabkan
aspirasi pneumoni, penurunan kemampuan pasien memproteksi sekresi oral
pada jalan napas, menurunkan kemampuan batuk. Skrining untuk disfagia
adalah penting pada pasien kritis Covid-19 setelah ekstubasi dan pada pasien
dengan usia tua dengan keluhan berat (Carda, et al., 2020).

378 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


GANGGUAN FUNGSI KOGNITIF PADA GANGGUAN SISTEM
SARAF PUSAT (SSP)
Beberapa pasien Covid-19 dengan gejala berat, memiliki manifestasi
neurologis termasuk gangguan kesadaran, gejala sistem saraf pusat (sakit
kepala, pusing, gangguan kesadaran, ataksia, kejadian serebrovaskular
akut dan epilepsi), dan gejala PNS (hipogeusia, hiposmia, hipopsia, dan
neuralgia) (Baig, et al., 2020). Sementara ada laporan baru pasien muda
yang sehat menderita stroke akibat koagulopati. Sebuah study lain pada
penderita Covid-19 yang berat dan kritis, beberapa memiliki berbagai
manifestasi neurologis seperti defisit fungsi memori dan eksekutif, ada
kebingungan dan masalah eksekutif juga yang dialami pada pasien usia
lebih tua. Studi lain menunjukkan bahwa hampir 50% penderita ARDS
menunjukkan gejala sisa kognitif pada 2 tahun setelah cedera. Defisit

21
neurologis yang terjadi ini bisa menjadi faktor yang sangat penting pada
terjadinya kecacatan secara keseluruhan, sehingga pemeriksaan fungsi
eksekutif dan memori sangat disarankan.
20
Gangguan fungsi yang terjadi disebabkan karena infeksi virus
langsung pada sistem saraf pusat atau bisa juga karena efek hipoksemia.
SARS-CoV dan Coronavirus lain pada manusia bersifat neuroinvasif dan
neurotropik, tetapi juga bisa menjadi neurovirulent yang bisa menyebabkan
P

penyakit seperti meningitis dan ensefalitis. Virus dari saluran pernapasan


dapat memasuki sistem saraf pusat (SSP) melalui penyebaran hematogen,
AU

atau melalui transmisi aksonal sistem saraf tepi. Saraf olfaktori, saraf
trigeminal atau serabut sensorik saraf vagus (PNS) adalah target paling
sering pada saraf perifer. pada penelitian dengan model tikus, didapati
kemungkinan SARS-CoV-2 dapat bertahan di SSP, mengacu pada teori
virus pemicu penyakit neurologis seperti Multiple Sclerosis (Desforges, et
al., 2019). Jaringan otak dilaporkan memiliki reseptor angiotensin converting
enzyme-2 (ACE-2). SARS-CoV-2 menggunakan reseptor SARS-CoV ACE2
untuk masuknya sel inang ke membran sel miokard. Beberapa peneliti
telah merekomendasi akses SARS-CoV-2 melalui cribriform plate ke otak
dengan potensi kerusakan kapiler endotel, mengakibatkan perdarahan
di dalam jaringan otak.

Manifestasi Gangguan Fungsi pada Pasien Covid-19 379


GANGGUAN KEKAKUAN SENDI DAN NYERI
Tirah baring lama (prolonge imobilisasi) pada perawatan intensif bisa
menjadi penyebab etiologi dari gejala kekakuan dan nyeri sendi terlebih
pada penderita usia tua. pada pengamatan pada pasien Covid-19 berat
yang dirawat dengan imobilisasi yang lama baik usia dewasa maupun
usia tua sering didapati kondisi ini. Tirah baring lama akan menurunkan
kekuatan otot sekitar 10% hingga 15% tiap minggunya dan akan mencapai
hampir setengahnya dalam waktu 3 sampai 5 minggu setelah imobilisasi
(Ditmer, D., Teasel, R, 1993). Kelemahan otot yang menjadi salah satu
pemicu terjadinya kekakuan sendi yang terjadi. Selain itu, ada laporan
kasus pasien yang dirawat di rumah sakit karena Covid-19, pada hari
ke 9 rawat inap mengalami nyeri dan kelemahan pada tungkai bawah

21
dengan nyeri tekan positif. Injury pada otot dan skeletal pada pasien
penyakit Covid-19 parah, bisa diketahui dengan adanya peningkatan
kreatinin kinase dan laktat dehidrogenase. Mioglobin, kreatinin kinase,
dan laktat dehidrogenase yang meningkat bersama dengan enzim hati bisa
20
mengarahkan pada adanya gangguan pada jaringan otot (rhabdomyolysis)
meski tidak ada konfirmasi patologi yang konsisten dengan proses
terjadinya (Mao, et al., 2020). Imobilisasi yang lama juga bisa menyebabkan
penurunan kemampuan fungsi 1,5℅ perhari atau 10℅ perminggunya.
P

Penurunan yang terjadi terutama pada kekuatan otot yang tentunya akan
mengganggu pergerakan sendi hingga terjadi stifness. Imobilisasi lama
AU

juga bisa menyebabkan terjadinya osteoporotik pada tulang yang bisa


menjadi salah satu penyebab nyeri.

REHABILITASI MEDIK GANGGUAN FUNGSI PADA PASIEN


COVID-19
Berat ringannya gejala klinis dan lama perawatan yang dilakukan di
rumah sakit, baik perawatan isolasi regular maupun perawatan intensif
(ICU) dengan atau tanpa ventilasi mekanik, turut berperan pada
munculnya gangguan fungsi yang terjadi pada pasien Covid-19. Meskipun
gangguan fungsi yang terjadi bervariasi akan tetapi proses perjalanan
hingga munculnya gangguan fungsi bisa saling terkait. Keluhan sesak

380 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


bisa menyebabkan gangguan dekondisi, dekondisi dengan penurunan
kekuatan dan kebugaran juga bisa membuat mudah sesak. Keluhan
sesak bisa menciptakan kecemasan dan tentunya memperparah sesak
yang terjadi.
Pada keluhan sesak, terapi pemberian oksigen menjadi pilihan
pertama yang diberikan bertahap yang di mulai dengan oksigenasi nasal
cannula, simple mask dan non-rebreathing mask (NRM). Bla hasilnya belum
memberikan perbaikan gejala, dilakukan langkah penting berikutnya
untuk mencegah perburukan kondisi, dengan penggunaan high flow
nasal cannula (HFNC) atau non-invasive mechanical ventilation (NIV) pada
penderita dengan ARDS atau efusi paru yang luas, bila pasien sadar
sebisa mungkin diposisikan tengkurap. Penggunaan ventilasi mekanik
diberikan bila semua usaha tersebut diatas tidak memberikan perbaikan

21
hasil, ditandai dengan indeks ROX < 3,85 yang merupakan rasio saturasi
oksigen yang diukur dengan oksimetri / FiO₂ terhadap frekuensi respirasi
(Meng et al., 2020)
20
Tindakan rehabilitasi medik yang diberikan lebih awal memiliki
peranan yang sangat penting untuk mencegah terjadinya gangguan
fungsi atau kecacatan yang akan timbul. Rehabilitasi yang terstruktur dan
dimulai sejak dini semenjak di ruang perawatan intensif (ICU) terbukti
P

cukup aman bila dilakukan dengan benar dan memberikan hasil yang
yang cukup memuaskan untuk perbaikan fisik dan klinis (Shan et al.,
AU

2020). Program rehabilitasi medik pada pasien Covid-19 secara umum


ditujukan untuk mengatasi gejala yang timbul, mencegah dekondisi pada
saluran napas dan sistem organ lain dan membantu keberhasilan proses
penyapihan ventilasi mekanik yang menjadi kunci untuk mencegah
terjadinya berbagai macam gangguan fungsi.
Program rehabilitasi medik diberikan sejak pasien dirawat di
perawatan akut (rawat inap) sampai tahap rawat jalan. Untuk rehabilitasi
pasien Covid-19 rawat akut atau rawat inap, program juga tergantung
dari kondisi dan keluhan pasien serta ruangan tempat dirawatnya. Pasien
dengan kondisi di ruang isolasi regular tentunya berbeda dengan pasien
kondisi di ruang perawatan intensif terlebih bila menggunakan ventilasi
mekanik. Pada prinsipnya program rehabilitasi pasien Covid-19 yang

Manifestasi Gangguan Fungsi pada Pasien Covid-19 381


diberikan antara lain pembersihan jalan nafas, pencegahan dekondisi
dan latihan mobilisasi dini serta program untuk gangguan fungsi lain
yang dialami pasien.

21
20
P
AU

Gambar 19.2 Peranan rehabilitasi awal pada pencegahan PICS (Inoue, S.,
et. al., 2019)

Gambar 19.3 Diagram alur perawatan pasien Covid-19

382 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


REHABILITASI PADA FASE PERAWATAN AKUT ATAU RAWAT
INAP

A. Program Rehabilitasi Medik pada Perawatan ruang Isolasi Regular


Pasien di ruang isolasi regular biasanya masih mampu melakukan
program latihan secara aktif atau dengan sedikit bantuan.
1. Program pembersihan jalan nafas
Pembersihan jalan nafasnya dapat diberikan program latihan
batuk efektif aktif dan latihan batuk dengan manual cough assist
menggunakan ambubag atau dengan mechanical cough assist, bila
pasien dengan kelemahan otot napas dan tidak ada kontraindikasi.
Teknik bersihan jalan napas yang diberikan berupa vibrasi, perkusi

21
pada semua lapang paru, anterior posterior lateral. Bersihkan jalan
napas dilakukan pula dengan cara postural drainage. Prinsip postural
drainage memanfaatkan gaya gravitasi untuk mengeluarkan sputum
yang banyak terbentuk di saluran napas sehingga dengan posisi
20
tertentu, gaya gravitasi membantu sputum keluar (Hening L., et al.
2020; Tresnasari & Dharmmika, 2020).
Diberikan latihan active cycle of breathing techniques yaitu inspirasi-
ekspirasi-inspirasi-ekspirasi-inspirasi-huffing mengikuti fase inspirasi
P

ventilator. Active cycle of breathing techniques merupakan kombinasi


AU

dari breathing control, thorax expansion, dan exhalation, yang dapat


mengeluarkan sekret bronkhus secara efektif. Sekret yang tidak
keluar dengan teknik klasik, harus dikeluarkan dengan teknik manual
assisted cough atau mechanical assisted cough (Hening L. et al, 2020).
2. Program latihan dekondisi
Pada pencegahan dekondisi sistem pernapasan, latihan rekondisi
akan mencegah penumpukan mukus saluran napan, mencegah
disfungsi otot otot pernapasan, dan memperbaiki dinamika
diafragma. Untuk rekondisi pasien di rawat regular isolasi program
rehabilitasi pencegahan dekondisi atau rekondisi harus dimulai
seawal mungkin. Program latihan yang bisa diberikan:

Manifestasi Gangguan Fungsi pada Pasien Covid-19 383


• Latihan peregangan
• Latihan otot napas
• Latihan aerobik, dapat dilakukan pada pasien dengan gejala
ringan atau umum yang tidak demam dan tidak sesak (saturasi
oksigen > 93℅)
• Latihan penguatan otot perifer
Latihan penguatan dimulai dengan intensitas beban ringan
hingga sedang yaitu 30–40% 1 RM atau menggunakan beban
1–5 kg, beban dapat ditingkatkan sesuai dengan toleransi
pasien, dengan frekuensi untuk intensitas rendah 1–2 kali per
hari. Tujuan (goal) nya adalah untuk menjaga massa otot dan
menghambat atrofi otot. Latihan yang dapat diberikan adalah
progressive resistance training dengan beban tubuh sendiri atau

21
beban dari luar misalnya elastic band. Latihan squatting, bridging,
ankle pumping adalah latihan-latihan yang dapat menjaga tonus
otot yang dapat dilakukan mandiri setelah sebelumnya diberikan
20
edukasi dan latihan dengan supervisi (Zeng et al., 2020; Hening
L. et. al, 2020).
• Latihan pernapasan
Dengan berlatih napas agar membantu memperbaiki kapasitas
P

batuk dengan edukasi pembatasan penggunaan otot napas


bantu. Positive expiratory pressure trainer dapat digunakan,
AU

positive expiratory pressure (PEP) merupakan teknik bernapas


melawan resistensi yang dapat digunakan melalui alat dengan
mengerucutkan bibir (pursed lips).
3. Program mobilisasi
Memobilisasi pasien sangat penting, karena di dalam ruangan isolasi
akan menurunkan aktivitas fisik hariannya. Tingkat penurunannya
sangat tergantung dari aktifitas pasien sebelum sakit. Latihan
dekondisi seawal mungkin akan mencegah timbulnya sindroma
dekondisi yang dapat terjadi pada banyak sistem organ.
4. Program posisioning
Posisi pasien tergantung dari area paru yang terdampak, pada
prinsipnya adalah mengefektifkan bagian paru yang masih baik. Posisi

384 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


tengkurap (prone) bisa juga dipertimbangkan untuk mengoptimalisasi
aliran oksigen, mengurangi sesak, dan mengurangi energy expenditure.
Pada posisi prone, ventilasi meningkat karena ada perubahan pada
tekanan pleura, di mana alveolus akan tetap terbuka ketika tekanan
intraalveolar melebihi tekanan pleura (Lazzeri et al., 2020).
Perlu dipertimbangkan pada posisi prone juga dapat menyebabkan
beberapa komplikasi diantaranya terjadi ekstubasi tidak terjadwal,
obstruksi ETT, hemoptysis signifikan, perburukan hipoksemia (SpO₂
< 85%) atau PaO₂ < 55 mmHg selama lebih dari 5 menit, henti jantung,
hipotensi dengan tekanan darah sistolik < 60 mmHg selama lebih
dari 5 menit, bradikardia dengan HR < 30×/ menit selama lebih dari
1 menit, serta takiaritmia yang tidak stabil, pressure ulcers, facial /
periorbital oedema, kerusakan kornea atau konjungtiva, brachial plexus

5.
21
injury, dan gangguan pada akses vena, sentral, maupun kateter
karena tekanan (Lazzeri et al., 2020).
Penghentian program rehabilitasi medik sementara
20
Beberapa kondisi yang menyebabkan penghentian sementara
intervensi yaitu didapati kelelahan dengan Borg Dyspnea Score > 3
yang tidak menurun dengan istirahat, dada terasa ditekan, sakit
kepala, pusing, pandangan kabur, berdebar-debar, berkeringat dan
P

mengalami gangguan keseimbangan. Pada latihan pernapasan,


intervensi latihan juga harus dihentikan pada kondisi SpO₂ < 90%
AU

atau menurun 4% dari pengukuran awal, laju pernapasan ≥ 40×/


menit, terdapat resistensi ventilator, alat bantu napas lepas, tekanan
sistolik < 90 dan > 180 mmHg, MAP < 65 dan > 110 mmHg, denyut
jantung < 40 dan > 120×/menit, timbul aritmia atau iskemia miokard,
kesadaran menurun, irritabilitas, palpitasi, dyspnea eksaserbasi akut
atau pasien jatuh

B. Rehabilitasi Medik pada ruang Perawatan Intensif (ICU)


Kondisi pasien di ruang perawatan intensif terlebih dengan menggunakan
ventilasi mekanik memerlukan program dengan pengawasan ketat.

Manifestasi Gangguan Fungsi pada Pasien Covid-19 385


1. Program pembersihan jalan nafas
Teknik pembersihan jalan napasnya seperti di ruang regular
tergantung kondisi, pada pasien dengan ventilasi mekanik program
dimulai sejak pasien terintubasi. Pasien yang komposmentis diberikan
dengan mengikuti instruksi, sedang pada pada pasien yang tidak
sadar atau dalam keadaan sedasi, diberikan bantuan batuk secara
pasif (cough assisted) dengan kompresi pada toraks atau abdomen saat
ekspirasi dengan tehnik manual assisted cough. Mechanical assisted cough
dapat dipertimbangkan apabila manual assisted cough tidak efektif.
Mechanical insufflation-exsufflation merupakan alat yang menggunakan
tekanan positif yang cepat berubah menjadi tekanan negatif untuk
membantu batuk pasien yang mampu membantu bersihan sekret
(Kan, et al., 2018).
2. Program latihan dekondisi
21
Pencegahan gangguan fungsi dekondisi dilakukan dengan
pertimbangan bahwa masalah utama pasien di ICU adalah gangguan
20
oksigenasi (oxygenousprimary impairment) sehingga semua latihan
yang meningkatkan beban ventilasi perfusi harus dengan penapisan
kriteria medis stabil yang ketat. Kriteria yang harus diperhatikan
adalah indeks oksigenasi > 3,0 dan hemodinamik stabil.
P

Program rehabilitasi yang diberikan diantaranya :


AU

• Latihan peregangan, tergantung tingkat kesadaran.


• Latihan otot napas, pada pasien dengan ventilasi mekanik
bertujuan untuk merekruit serabut otot napas yang usaha
napasnya sebagian masih dilakukan dengan ventilasi mekanik.
• Latihan aerobik, yang diberikan pada pasien stabil di ICU dengan
ventilasi mekanik.
Latihan aerobik pada pasien stabil di ICU dengan ventilasi
mekanik dapat dilakukan dengan pengaturan repetisi tinggi,
menggunakan ekstremitas atas atau bawah dan diberikan dengan
intensitas ringan dan tidak memicu kelelahan. Intensitas latihan
dapat diukur dari uji latih dengan menggunakan bed cycle.
Frekuensi latihan sesuai toleransi pasien, waktu latihan dapat

386 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


diberikan 30 menit setiap hari apabila memungkinkan. Bila
kondisi pasien berat maka durasi latihan dikurangi dan frekuensi
ditingkatkan (Hening L et al., 2020; Zeng et al., 2020).
• Latihan penguatan, dengan target lebih ke mempertahankan
tonus dan trofi otot.
• Neuromuscular Electrical Stimulation (NMES) dapat diberikan pada
pasien penurunan kesadaran atau karena gangguan kognisi
bahasa.
• Latihan pernafasan
Pemberian latihan pernapasan pada pasien dengan sedasi dalam
(RASS ≤ -4) dengan ventilasi mekanik tidak dianjurkan, karena
kurangnya efektifitas latihan. Ketika sedasi dikurangi (RASS ≥ -2).
Latihan pernapasan dilakukan dengan pengaturan set pressure

21
support, atau dengan sistem on and off. Pengaturan repetisi
diberikan sesuai toleransi oksigen dan usaha napas yang dipantau
dari monitor dan kondisi pasien (Hening L. et al., 2020).
20
3. Program mobilisasi
Mobilisasi dini pasien di ICU penting dilakukan termasuk pasien
dengan ventilasi mekanik. Mobilisasi dini dilakukan dengan kriteria
kontrol indikasi absolut pada MAP < 65 cm H₂O, dan Indeks oksigenasi
P

< 3,0. Monitoring dilakukan sebelum, selama dan sesudah latihan


mobilisasi. Selama proses latihan FiO₂ dapat dinaikkan bila terjadi
AU

desaturasi, atau dihentikan bila tidak terkoreksi. Batuan latihan


juga bisa dilakukan dengan menaikkan ventilatory support. Perhatian
khusus pada pasien yang menggunakan high-flow nasal oxygen dan
non invasive ventilation, serta semua alat medis dengan tekanan positif,
sebelum melatih pastikan alat tersebut terpasang sempurna, tidak ada
kebocoran atau kelonggaran, yang akan menyebabkan penyebaran
aerosol ke lingkungan pasien (pasien lain atau petugas) sehingga
perlu memantau lepasnya monitor tanda-tanda vital atau alat medis
yang menempel pada pasien selama latihan. Intensitas latihan yang
diberikan dengan kekuatan dan aktivitas ringan, dengan durasi
30 menit dan tidak menimbulkan kelelahan. Latihan diawali mobilitas
di tempat tidur, duduk di tempat tidur, mobilisasi dari tempat tidur

Manifestasi Gangguan Fungsi pada Pasien Covid-19 387


transfer ke kursi, duduk di kursi, berdiri, dan mulai ambulasi juga
latihan luas gerak sendi aktif atau pasif. Pasien dengan penurunan
kesadaran, disfungsi kognitif atau mendapat sedasi, maka terapi yang
dapat diberikan dengan lower limb passive exercise bicycle, luas gerak
sendi pasif dan latihan peregangan (Zhao et al., 2020). Alat bantu
lain seperti alat bantu batuk, NMES, Adjustment bed (tempat tidur
ICU yang dapat diatur untuk berbagai posisi) juga dibutuhkan yang
digunakan sesuai indikasi.
4. Program posisioning
Posisi prone dikatakan dapat meningkatkan oksigenasi pada pasien
ARDS akibat infeksi Covid-19. Kriteria terapi posisi prone pada ARDS
yang menyebabkan kegagalan nafas hipoksemik adalah perbandingan
PaO₂/FiO₂ < 150 mmHg, PEEP ≥ 5 cmH₂O, FiO₂ ≥ 0,6. Posisi prone

21
direkomendasikan setidaknya 12–16 jam per hari, sebaiknya dalam 72
jam setelah intubasi endotrakeal. Bila posisi ini efektif, ulangi posisi
prone hingga rasio PaO₂/FiO₂ (P/F) ≥ 150 mmHg dengan PEEP ≤ 10 cm
20
H₂O dan FiO₂ ≤ 0,60 setidaknya selama 4 jam setelah posisi supine.
Prosedur pronasi ini harus dihentikan apabila kondisi oksigenasi
memburuk, yaitu penurunan P/F sebesar 20% dibandingkan posisi
supine atau muncul komplikasi serius (Lazzeri et al., 2020).
P

Pasien yang tidak dapat dilakukan posisi prone, maka dapat dilakukan
posisi semi fowler (15–45°) sampai dengan 60° sesuai dengan kondisi
AU

dan tingkat kesadaran pasien. Manajemen posisi pada pasien


stabil secara bertahap dapat ditingkatkan sampai pasien dapat
mempertahankan posisi tegak. Posisi sepertiga bantal diletakkan
pada skapula untuk mencegah hiperekstensi kepala, dan sebuah
bantal diletakkan dibawah fossa poplitea untuk merelaksasi tungkai
bawah dan abdomen. Manajemen posisi ini dilakukan selama 30
menit sebanyak tiga sesi setiap hari (Zhao et al., 2020)
5. Penghentian program rehabilitasi medik sementara
Penghentian terapi bila didapatkan salah satu gejala berikut saturasi
oksigen darah ≤ 90% atau turun 4% dari saat mulai latihan, frekuesi
pernapasan > 40 kali/menit; sesak atau napas terasa pendek, kelelahan

388 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


dan tidak tahan terhadap lelah, tekanan darah sistolik < 90 mmHg
atau ≥ 180 mmHg, rata-rata tekanan darah arteri (MAP) < 65 mmHg
atau > 110 mmHg, atau adanya kenaikan > 20% dari saat istirahat,
frekuensi nadi < 40 kali/menit atau >120 kali/menit, adanya aritmia
saat latihan dan tanda iskemia miokard, serta adanya gangguan
kesadaran (Pincherle et al., 2020).

REHABILITASI PADA FASE PASCA PERAWATAN ATAU DI RUMAH


(WHO EUROPE, 2020)
Sisa gangguan fungsi yang belum terselesaikan atau perlu diprogram
lanjutan akan dilakukan pada program rehabilitasi pasca perawatan atau
rawat jalan. Program yang diberikan juga sangat tergantung kondisi pasien

21
dan perbaikan kemampuan fungsinya yang bisa dinilai dari pemeriksaan
atau assesment uji fungsi. Hasil uji fungsi tersebut yang akan digunakan
sebagai penentu program yang akan diberikan.
20
A. Program pada Gangguan Fungsi Pernafasan dan Gangguan Paru
Persisten
Sesak adalah problem tersering dialami pasien pasca Covid-19, sesak
bisa diakibatkan oleh gangguan pada paru atau sesak bisa juga terkait
P

dengan penurunan kekuatan otot & penurunan kebugaran. Sesak juga


bisa disebabkan dan diperparah oleh perasaan sesak atau kecemasan.
AU

Gangguan sesak akan membaik seiring dengan peningkatan kemampuan


aktifitas fisik dan latihan yang dilakukan. Program yang bisa diajarkan
ke pasien diantaranya;
• Melakukan posisi tertentu yang dapat digunakan untuk membantu
mengurangi sesak
• Melakukan latihan mengatur nafas (breathing control), untuk
membantu bisa relaks dan mengatur pernafasan dengan duduk
dalam posi nyaman bersandar, menarik nafas dari hidung dan
mengeluarkan melalui mulut (bisa seperti orang bersiul) berirama
beberapa kali (Greenhalgh, et. al., 2020).

Manifestasi Gangguan Fungsi pada Pasien Covid-19 389


• Latihan bernafas cepat, dilakukan dengan relaks dengan memikirkan
aktifitas seperti sedang naik tangga, atau sedang aktifitas lain.
Menarik nafas saat seperti sebelum mulai melangkah naik dan
menghembuskan nafas saat seperti kaki sudah napak diatasnya

B. Program pada Gangguan Fungsi Dekondisiu, Kelemahan Otot dan


Sistem Neuromuskular
Secara keseluruhan memerlukan latihan yang terprogram dan
tercatat dalam buku harian, tujuan dari Latihan deondisi antara lain
meningkatkan kebugaran, kekuatan otot, keseimbangan dan koordinasi,
energi, membantu memperbaiki pikiran dengan mengurangi stress &
memperbaiki mood serta meningkatkan kepercayaan diri. Yang penting
diingat dalam melakukan latuihan dekondisi adalah dilakukan sesuai

21
dengan peresepan intensitas latihan yang didapatkan dari pemeiksaan
uji fungsi, baik dengan 6-minute-walking-test (6MWT) atau uji fungsi
yang lain.
20
Peresepan latihan dimulai dari mengenalkan filosofi latihan yaitu
melakukan pemanasan sebelum latihan dan melakukan pendinginan
sesudah latihan. Latihan pemanasan dilakukan dengan tujuan untuk
mempersiapkan latihan dan menghindari cedera, bisa dilakukan selama
P

sekitar 5 menit, bisa dilakukan dengan duduk atau berdiri. Bila dengan
berdiri selalu dengan pegangan yang stabil dan dengan gerakan yang
AU

direpetisi 3–4 kali. Gerakan yang dilakukan bisa mengangkat bahu,


memutar bahu, bending kesamping, angkat lutut, angkat pergelangan
kaki atau memutar pergelangan kaki. Latihan pendinginan juga bisa
dilakukan selama 5 menit, tergantung Latihan yang dipilih bisa berjalan
pada kecepatan lambat atau mengulang gerakan pemanasan, bisa juga
dengan melakukan stretching otot.
Program latihan yang akan dilakukan ada latihan endurance dan
latihan Penguatan. Dalam melakukan latihan perlu di tentukan intensitas
dan jenis latihan. Intensitas latihan bisa ditentukan dengan evaluasi
subyektif dengan monitoring munculnya keluhan mual atau merasa
mual, munculnya keluhan pusing atau pusing ringan, nafas yang pendek
parah, berkeringat berlebih, merasa sesak dada, adanya nyeri yang terasa

390 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


meningkat. Cara mudahnya adalah dengan berusaha mengucapkan satu
kalimat, bila lancar maka bisa menambah dosis, bila tidak mampu maka
bisa menurunkan dosis atau berhenti sejenak. Penentuan intensitas yang
obyektif bisa menggunakan target VO₂ maksimal atau metode Heart Rate
(Fletcher G., 2001).
Latihan endurance bisa dilakukan selama 20–30 menit seminggu bisa
dilakukan 5 hari. Jenis latihan tergantung level kemampuan pasien.
• Jalan di tempat, dilakukan dengan pegangan yang stabil dengan
intensitas bisa dinaikkan dengan cara meninggikan lutut saat
diangkat
• Naik turun tangga, dilakukan dengan cara gantian kaki setiap 10
langkah, intensitas dinaikkan dengan meninggikan anak tangga atau


mempercepat waktu

21
Latihan Jalan, bisa dibantu dengan alat bantu walker, kruk atau
tongkat dengan memilih rute datar. Intensitas dinaikkan dengan
mempercepat atau menambah jarak.
20
• Jogging atau bersepeda, terganggung kondisi atau kemampuan saat
sebelum sakit
Latihan penguatan dilakukan dengan tujuan untuk menguatkan
P

otot yang lemah. Bisa dilakukan dalam tiga sesi latihan penguatan tiap
minggu 3 set persesi dengan 10 repetisi tiap setnya. Bisa dimulai dari
AU

yang ringan kemudian ditambah sesuai kemampuan, seperti saat latihan


nafas awal, menarik nafas sebelum melakukan gerakan dan menghembus
saat gerakan
Contoh latihan:
Bicep curl, Wall push off, Sit to stand, Knee strengthening, squad dan
lain-lain.

C. Program pada Gangguan Fungsi Suara, Menelan dan Disfagia


Program untuk gangguan suara bisa dilakukan dengan menganjurkan
pasien untuk sering berbicara bila memungkinkan. Tidak memaksakan
bersuara, seperti berbisik yang mengganggu pita suara. Istirahat bicara
bila lelah berbicara. Bisa juga melatih suara dengan bersenandung. Bisa

Manifestasi Gangguan Fungsi pada Pasien Covid-19 391


masih kesulitan bisa menggunakan cara komunikasi lain seperti menulis
dan mengirim pesan, atau menggunakan bahasa Gerakan. Yang tak kalah
penting adalah menganjurkan minum air mineral sepanjang hari untuk
membantu menjaga suara tetap bekerja.
Gangguan menelan dan disfagia bisa edukasikan latihan feeding.
Pada prinsipnya pasien memungkinkan menelan makanan dengan
konsistensi padat, akan tetapi untuk makan cair pasien akan lebih
kesulitan dalam pembentukan bolus makannya. Latihan yang diajarkan
adalah (Akai M., 2020) :
• Duduk tegak saat makan dan minum, serta menghindari posisi
berbaring
• Tetap tegak baik saat posisi duduk, berdiri, berjalan lebih kurang 30
menit setelah makan.


makanan yang sulit ditelan.
21
Mencoba makanan dgn konsistensi berbeda, untuk melihat konsistensi

Konsentrasi saat makan atau minum, dengan cara meluangkan waktu


20
yang cukup saat makan.
• Mengevaluasi bahwa tidak ada sisa makanan dimulut sebelum
melakukan proses makan lagi atau mulai menggigit lagi
• Makan makanan kecil sepanjang hari
P

• Berhenti jika batuk atau tersedak


AU

D. Program pada Gangguan Fungsi Kognitif pada Gangguan Sistem


Saraf Pusat (SSP)
Diantaranya adalah gangguan fungsi atensi, ingatan dan berpikir. Edukasi
yang diajarkan adalah bahwa pasien tetap atau aktif melakukan aktifitas
fisik. Berusaha melatih otaknya dengan permainan seperti puzzle atau
yang lain. Senantiasa mengatur diri dengan memplaning setiap kegiatan
dan mereminding. Mengatur pola hidup pasien dengan mengedukasi
tidur dengan kualitas cukup karena selama dalam perawatan pasien
seringkali waktu tidurnya tidak teratur. Senantiasa makan makanan
sehat dan bergizi, tetap melakukan aktifitas fisik dengan tetap melakukan
sosialisasi. Menyempatkan kegiatan relaksasi dan meningkatkan bertahap
aktifitas fisik dan hoby.

392 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


RINGKASAN
Banyak pasien yang terinfeksi Covid-19 mengalami gejala berat dan
memerlukan perawatan intensif (ICU) dengan waktu yang cukup
lama. Kondisi pasien setelah menjalani perawatan lama adalah terjadi
peradangan yang persisten, terjadi imunosupresi dan katabolisme yang
biasa disebut sebagai Post Intersive Care Syndrome (PICS). Selain itu juga
terjadi kondisi yang menjadi konsekuensi dari tirah baring lama (prolonge
imobilisasi). Sehingga kondisi gangguan fungsi persisten atau kondisi
kecacatan sangat mungkin terjadi.
Tindakan rehabilitasi lebih awal sangat dibutuhkan untuk mencegah
terjadinya kondisi tersebut. Tindakan rehabilitasi lanjutan juga dibutuhkan
mengingat kondisi gangguan fungsi juga bisa terjadi dalam jangka panjang

21
atau persisten, sehingga membutuhkan program rehabilitasi meski pasien
sudah dalam perawatan di rumah.
20
DAFTAR PUSTAKA
Akai, M., Suzuki, Y., Kimijima, N., et. al. 2015. Dysphagia Rehabilitation Manual,
Rehabilitation Manual 30, National Rehabilitation Center for Persons with
Disabilities Japan 2015.
P

Baig, A.M., et al. 2020. Evidence of the Covid-19 Virus Targeting the CNS:
Tissue Distribution, Host–Virus Interaction, and Proposed Neurotropic
AU

Mechanisms. ACS Chemical Neuroscience, 11(7):995–998. doi: 10.1021/


acschemneuro.0c00122.
Carda, S., et al. 2020. The role of physical and rehabilitation medicine in the
Covid-19 pandemic: The clinician’s view. Annals of Physical and Rehabilitation
Medicine. doi: 10.1016/j.rehab.2020.04.001.
Carfì, A., Bernabei, R. and Landi, F. 2020. Persistent symptoms in patients after
acute Covid-19. JAMA, 324(6):603. doi: 10.1001/jama.2020.12603.
Desforges, M. et al. 2019. Human Coronaviruses and other respiratory viruses:
underestimated opportunistic pathogens of the central nervous system?
Viruses, 12(1):14. doi: 10.3390/v12010014.
Ditmer, D., Teasel, R. 1993. Complication of Immobilization and bed rest part
1: musculoskeletal and cardiovascular complications. Rehabilitation Article,
Canadian Family Physician, 39:1428-1437.

Manifestasi Gangguan Fungsi pada Pasien Covid-19 393


Gerald, F. Fletcher, G.J.B,. Ezra, A., Amsterdam, et.al. 2001. Exercise standards
for testing and training: a statement for healthcare professionals from the
American Heart Association. Circulating,104:1694-740.
Greenhalgh, T., Knight, M., A’Cour, C., et. al. 2020. Management of post-acute
Covid-19 in primary care. BMJ, 370:m3026. as 10.1136/bmj.m3026.
Hui, D.S., et al. 2005. The 1-year impact of severe acute respiratory syndrome on
pulmonary function, exercise capacity, and quality of life in a cohort of
survivors. Chest, 128(4):2247–2261. doi: 10.1378/chest.128.4.2247.
Inoue S., Hatakeyama, Kondo, Y., et. al. 2019. Post-Intensive Care Syndrome:
its pathophysiology, prevention, and future directions, acute medicine &
surgery. 6(3):233-246. doi. 10.1002/ams2.415, 20196, 233-246.
Kim, S.Y., et al. 2020. Managing the rehabilitation wave: rehabilitation services
for Covid-19 Survivors. Archives of Physical Medicine and Rehabilitation.
101(12):2243-2249. doi: 10.1016/j.apmr.2020.09.372.

19. 1st Edn. Jakarta:PERDOSRI.


21
Laswati, H., et al. 2020. Panduan Tata Laksana Rehabilitasi pada Pasien dengan Covid-

Mao, L., et al. 2020. Neurological Manifestations of Hospitalized Patients with


Covid-19 in Wuhan, China: A Retrospective Case Series Study. SSRN
20
Electronic Journal, 77(6):683-690. doi: 10.2139/ssrn.3544840.
Rawal, G., Yadav, S. and Kumar, R. 2017. Post-intensive care syndrome: An
overview. Journal of Translational Internal Medicine, 5(2):90–92. doi: 10.1515/
jtim-2016-0016.
P

Stein, J., Visco, C.J. and Barbuto, S. 2020. Rehabilitation Medicine Response to the
Covid-19 Pandemic. American Journal of Physical Medicine & Rehabilitation,
AU

Publish Ah. 99(7):573-579. doi: 10.1097/PHM.0000000000001470.


Tian, S., et al. 2020. Pulmonary Pathology of Early-Phase 2019 Novel Coronavirus
(Covid-19) Pneumonia in Two Patients With Lung Cancer. Journal of Thoracic
Oncology, 15(5):700–704. doi: 10.1016/j.jtho.2020.02.010.
WHO Europe. 2020. Support for Rehabilitation after Covid-19- Related Illness. Available
from: www.euro.who.int.
Zhou, F., et al. 2020. Clinical course and risk factors for mortality of adult inpatients
with Covid-19 in Wuhan, China: a retrospective cohort study. The Lancet,
395(10229): 1054–1062. doi: 10.1016/S0140-6736(20)30566-3.

394 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


MANIFESTASI GEJALA COVID-19
ANAK

Rika Hapsari, Arda Pratama Putra Chafid, Budiman, Sjamsul Arief,


Retno Asih Setynoingrum

PENGANTAR

21
Sejak Maret 2020, Indonesia dihadapkan dengan virus novel corona
(SARS-CoV-2). Virus ini pertama kali ditemukan di Wuhan, China dan
20
menyebar secara cepat ke seluruh dunia. World Health Organization (WHO)
mendeklarasikan sebagai pandemi pada Maret 2020. Infeksi SARS-CoV-2
pada dewasa umumnya dengan gejala klinis lebih berat dibandingkan
anak. Manifestasi klinis pada anak tidak spesifik, literatur sebagian besar
P

menyatakan demam dan batuk sebagai gejala yang dominan. Meskipun


kondisi berat jarang dilaporkan pada anak dibandingkan dengan dewasa,
AU

komplikasi yang mengancam jiwa, dan kematian terkait penyakit Covid-19


pada anak mulai banyak dilaporkan (García-Salido, et al., 2020).

EPIDEMIOLOGI
Di dunia hingga 15 Desember 2020, terdapat 73,8 juta pasien dengan
konfirmasi positif Covid-19, 1,6 juta pasien meninggal dan 51,8 juta di
antaranya telah dinyatakan sembuh. Di Brazil, hingga Juni 2020 terdatap
15.322 anak usia 0-18 tahun terkonfirmasi positif Covid-19 (5,5 % dari total
kasus keseluruhan). Indonesia menjadi negara nomor 1 terbanyak di Asia
Tenggara yang terdampak Covid-19 yaitu 629.429 pasien dengan konfirmasi
positif, 19.111 pasien meninggal dunia, dan 516.656 pasien dinyatakan

395
sembuh. Sedangkan sampai Januari 2021 di RSUD Dr. Soetomo, terdapat
121 pasien bayi dan anak yang terkonfirmasi positif, 15 pasien di antaranya
meninggal dunia.
Anak-anak dari segala usia bisa tertular Covid-19. Anak-anak,
terutama mereka yang berusia di bawah 12, tampaknya lebih jarang terkena
dibandingkan orang dewasa. Data berbagai negara menunjukkan anak-
anak yang terkonfirmasi positif mencapai 13% dari keseluruhan kasus
yang terkonfirmasi. Di Amerika Serikat kasus yang dilaporkan ke Centre
for Disease Control and Prevention (CDC), kasus anak-anak usia < 18 tahun
mencapai sekitar 10–12% dari kasus yang terkonfirmasi. Jumlah kasus
mingguan yang dilaporkan ke CDC pada usia < 21 tahun telah meningkat
dari waktu ke waktu. Diantara anak-anak usia sekolah di Amerika Serikat,
63% kasus terjadi pada mereka yang berusia 12–17 tahun dan 37% pada

21
mereka yang berusia 5 hingga 11 tahun (Deville, et al., 2020).

BAGAIMANA ANAK-ANAK TERTULAR COVID-19?


20
Di awal pandemi, kebanyakan kasus pada anak-anak diakibatkan oleh
pajanan rumah tangga, biasanya dengan orang dewasa sebagai pasien
indeks. Dalam studi kasus-kontrol, kontak dekat dengan orang-orang
P

dengan Covid-19 (biasanya anggota keluarga), kedatangan pengunjung


ke rumah, dan menghadiri pertemuan dengan orang-orang di luar rumah
AU

(misalnya, fungsi sosial, kegiatan dengan anak-anak lain) dikaitkan dengan


Infeksi SARS-CoV-2 pada anak-anak dan remaja. Kemungkinan penularan
dari guru atau staf sekolah ke siswa dan diantara siswa di lingkungan
sekolah juga telah dilaporkan, selain juga dikaitkan dengan penggunaan
masker yang tidak konsisten di sekolah (Deville, et al., 2020)

APAKAH ANAK BISA MENULARKAN KE YANG LAINNYA?


Anak-anak dari segala usia dapat menularkan SARS-CoV-2 kepada orang
lain, tetapi tingkat penularan oleh anak kecil tidak pasti. Anak-anak dan
remaja yang lebih tua berpotensi lebih menularkan SARS-CoV-2. Anak-
anak yang terinfeksi menyebarkan virus SARS-CoV-2 dengan viral load

396 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


nasofaring sebanding atau lebih tinggi dibandingkan dewasa. Dalam
beberapa penelitian, penularan dari anak-anak ke kontak rumah tangga
jarang terjadi; dalam penelitian lain, tingkat penularan dari anak-anak
ke kontak rumah sama atau lebih tinggi dibandingkan dewasa. Variabel
yang mungkin berhubungan di antaranya prevalensi komunitas yang
berbeda dan tindakan mitigasi, metode mendiagnosis kasus sekunder,
waktu pengumpulan sampel, dan tingkat kepatuhan terhadap tindakan
pengendalian infeksi di rumah. Bukti terbatas menunjukkan bahwa terjadi
penularan oleh anak-anak pra-remaja yang bergejala tetapi jarang terjadi
di lingkungan pendidikan atau penitipan anak, terutama jika ukuran
kelasnya kecil, protokol kesehatan masyarakat lainnya diikuti dengan
ketat, dan penularan ke komunitas rendah. Sebaliknya, beberapa penelitian
telah mendokumentasikan penularan oleh remaja di sekolah menengah,

21
tetapi temuan ini juga tidak konsisten. Penularan oleh anak-anak dan
remaja tanpa gejala juga tampaknya jarang terjadi ketika pengujian kontak
kasus berlangsung efektif dan strategi pengendalian epidemi betul-betul
20
diterapkan (Deville, et al., 2020)

MANIFESTASI KLINIS
P

Berbagai penelitian telah berupaya untuk mempelajari manifestasi


penyakit Covid-19 pada anak-anak. Namun, presentasi klinis Covid-19
AU

yang khas pada anak-anak belum banyak disimpulkan. Bahkan studi yang
ada menunjukkan temuan yang bertentangan. Misalnya, sebuah penelitian
dari China menunjukkan bahwa anak-anak dengan Covid-19 mungkin
memiliki gejala yang berbeda dengan orang dewasa. Sebaliknya, penelitian
lain melaporkan bahwa Covid-19 memiliki manifestasi yang serupa baik
pada anak-anak maupun orang dewasa. Temuan yang bertentangan ini
juga menunjukkan seberapa jauh penyebarannya (Tiruneh, 2020).
Mukosa saluran pernapasan merupakan awal SARS-CoV-2 bisa
sampai ke paru. Dari paru, virus masuk ke dalam sirkulasi darah
dan mencapai organ yang berbeda. SARS-CoV-2 dapat menggunakan
angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2) sebagai reseptor pejamu
untuk masuk dan menyebabkan infeksi pada manusia. Reseptor ini

Manifestasi Gejala Covid-19 Anak 397


banyak ditemukan di berbagai organ, seperti saluran pencernaan, paru,
jantung, dan ginjal. Organ-organ ini menjadi sasaran SARS-CoV. Hal
ini menyebabkan munculnya hipotesis penyakit Covid-19 dengan gejala
extrapulmoner (Pousa, et al., 2020).
Sebagian besar anak yang terinfeksi mengalami gejala ringan
dan memiliki prognosis yang lebih baik. Meskipun alasannya belum
jelas, beberapa teori telah diajukan untuk menjelaskannya. Salah satu
kemungkinan bahwa anak-anak dianggap memiliki lebih sedikit reseptor
ACE2 dan TMPRSS2 di jaringan hidung mereka daripada orang dewasa.
Reseptor ini membantu masuknya virus ke tubuh inang. Itulah alasan
mengapa pneumonia dan ARDS tidak umum terjadi pada anak-anak
dengan Covid-19 dibandingkan dengan orang dewasa. Penjelasan lain
yang mungkin terkait dengan respons imun, mediator inflamasi paru

21
yang disebut sebagai badai sitokin jarang terjadi pada anak-anak. Respons
imun yang berlebihan bisa berakhir pada inflamasi yang berat, sehingga
pada akhirnya menyebabkan kerusakan yang lebih parah. Anak-anak,
20
dengan sistem kekebalan yang belum matang, tampaknya kurang mampu
untuk meningkatkan badai sitokin yang menunjukkan mengapa anak-
anak tampaknya tidak bermanifestasi berat (Tiruneh, 2020).
Penyakit Covid-19 pada dewasa memiliki gejala sistem pernapasan
P

mulai dari pneumonia sampai severe acute respiratory distress syndrome


(ARDS). Sedangkan gejala pada anak lebih ringan dan bervariasi (Rabha,
AU

et al., 2021). pada dewasa dilaporkan case fatality rate mencapai 15%
dibandingkan pada anak < 1%. pada studi kohort di China melibatkan 110
anak memiliki gejala asimptomatik dengan durasi terdeteksi virus yang
relatif pendek (11–17 hari). Sedangkan anak dengan gejala simptomatik
bermanifestasi demam, pneumonia dan limfopenia (Hobbs, et al., 2020).
Manifestasi gejala Covid-19 pada anak sangat beragam, tergantung
dari fase sakit, kondisi kesehatan sebelumnya, adanya penyakit komorbid,
serta gambaran spesifik lainnya seperti kelainan bawaan atau kelainan
dismorfik. Gambaran klinis pada anak termasuk demam, batuk, sesak
dan malaise. pada anak, gejala demam adalah yang paling sering yaitu
41,5–60% kasus dibandingkan batuk atau gejala sistem pernapasan lainnya
(Ciuca, 2020). Namun studi lain menunjukkan, 4,4% anak asimptomatis,

398 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


55,3% memiliki gejala rinofaringitis (demam, batuk, pilek), dan 8–10% anak
memiliki gejala saluran pencernaan seperti nyeri perut, diare, muntah
(Dong, et al., 2020).
Derajat penyakit ditentukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang, maka klasifikasi klinis dibagi menjadi
tanpa gejala, gejala ringan, sedang, berat dan kritis seperti dijelaskan pada
Tabel 20.1 (Erlina, et al., 2020).
Studi epidemiologi di China, dari total 2143 kasus Covid-19 anak
yang diidentifikasi, 66% kasus adalah suspek, dan 34% kasus konfirmasi
positif. Terdapat 4,4% anak dengan asimptomatis, 50,9% anak memiliki
gejala ringan, 38,8% anak memiliki gejala sdang, 5,2% anak dengan gejala
berat, dan 0,6% anak dengan gejala kritis. Gejala ringan berupa infeksi
pernapasan akut bagian atas (ISPA) termasuk batuk, nyeri tenggorokan,

21
pilek, bersin, demam, sampai fatigue. pada pemeriksaan fisik didapatkan
kelaian di faring tanpa ditemukan abnormalitas pada auskultasi paru.
pada beberapa kasus didapatkan tanpa demam, namun hanya masalah
20
saluran pencernaan seperti mual, muntah, nyeri abdomen, dan diare
(Wang and Brar, 2020).
Selain gejala respiratori, perkembangan penyakit Covid-19 pada anak
juga menunjukkan gejala sistemik atau Multisystem inflammatory syndrome
P

in Children (MIS-C). pada studi meta analisis oleh Ahmed, dari 662 anak
dengan diagnosis MIS-C, sebanyak 662 anak (100%) memiliki keluhan
AU

demam, 488 anak (73,7%) mengeluh nyeri perut dan diare, dan 452 anak
(68,3%) mengeluh muntah. Telah dilaporkan sebelumnya bahwa gejala
MIS-C hampir serupa dengan penyakit Kawasaki dan Toxic Shock Syndrome
(TSS), sebanyak 343 anak (51,8%) terdapat gejala konjungtivitis dan 372
anak (56,2%) terdapat rash. Hasil laboratorium menunjukkan peningkatan
neutrophil, C-reactive protein, ferritin, dan prokalsitonin, serta penurunan
limfosit. Dari gejala klinis tersebut, 469 anak (71%) yang terdiagnosis
MIS-C membutuhkan perawatan intensif ICU, 147 anak (22,2%) dengan
bantuan ventilator dan 29 anak (4,4%) terpasang extracorporeal membrane
oxygenation (ECMO) dikarenakan sebanyak 108 anak (16,3%) mengalami
gagal ginjal akut (Ahmed, et al., 2020).

Manifestasi Gejala Covid-19 Anak 399


Tabel 20.1 Klasifikasi Klinis

Klasifikasi Definisi
Tanpa gejala Hasil uji SARS-CoV-2 positif tanpa ada tanda dan gejala klinis.

Ringan Gejala infeksi saluran pernapasan atas seperti demam, fatigue,


mialgia, batuk, nyeri tenggorokan, pilek, dan bersin. Beberapa
kasus mungkin tidak disertai demam, namun mengalami gejala
saluran pencernaan seperti mual, muntah, nyeri perut, diare
atau gejala non-respiratori lainnya.

Sedang Gejala dan tanda klinis pneumonia. Demam, batuk, takipnue,


dapat disertai ronki atau wheezing pada auskultasi paru tanpa
distress napas dan hipoksemia.
Takipneu= frekuensi napas < 2 bulan: ≥ 60×/menit, 2–11 bulan:
≥ 50×/menit, 1–5 tahun: 30×/menit, > 5 tahun: ≥ 30×/menit.

Berat Gejala dan tanda klinis pneumonia berat berupa napas cuping

< 92%),
21
hidung, sianosis, retraksi subcostal, desaturasi (saturasi oksigen

Adanya tanda dan gejala bahaya umum seperti kejang,


penurunan kesadaran, muntah profus, tidak dapat minum,
20
dengan atau tanpa gejala respiratori.

Kritis Pasien mengalami perburukan dengan cepat menjadi acute


respiratory distress syndrome (ARDS) atau gagal napas atau
terjadi syok, ensefalopati, kerusakan miokard atau gagal
jantung, koagulopati, gangguan ginjal akut, dan disfungsi organ
P

multipel atau manifestasi sepsis lainnya.

Multisystem • Anak dan remaja 0–19 tahun yang mengalami demam ≥ 3 hari
AU

inflammatory DAN disertai dua dari:


syndrome a. Ruam atau konjungtivitis bilateral non purulenta atau tanda
(MIS-C) inflamasi mukokutaneus pada mulut, tangan dan kaki
b. Hipotensi atau syok
c. Gambaran disfungsi miokardium, pericarditis, vaskulitis,
abnormalitas koroner (terdiri atas kelainan pada
ekokardiografi, peningkatan Troponin/NT-proBNP)
d. Bukti adanya koagulopati (peningkatan PT, APTT, D-dimer)
e. Gejala gastrointestinal akut (diare, muntah, atau nyeri perut)
• Peningkatan marker inflamasi seperti LED, CRP atau
prokalsitonin
• Tidak ada penyebab keterlibatan etiologi bakteri yang
menyebabkan inflamasi meliputi sepsis bakteri, sindrom syok
karena Stafilokokkus atau Streptokokkus
• Terdapat bukti Covid-19 atau kemungkinan besar kontak
dengan pasien Covid-19.

400 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Selain itu, beberapa laporan kasus didunia menunjukkan adanya
gejala neurologis pada penyakit Covid-19 pada anak. pada dewasa, adanya
badai sitokin dan reaksi thrombosis menyebabkan risiko terjadinya stoke
iskemik dan perdarahan intraserebral. Sebaliknya, kasus neurologis pada
anak dengan Covid-19 jarang dilaporkan. Terdapat 38 anak dilaporkan
dari beberapa negara di Eropa, Amerika dan India, didapatkan gambaran
abnormal enhancement pada gambaran MRI mengarah pada acute
disseminated encephalomyelitis (ADEM) sebanyak 29%, neuritis sebanyak
71%. Hasil keluaran yang dilaporkan sebanyak 43% anak normal dan 57%
anak dengan sekuel dari gejala neurologis (Lindan, et al., 2020).
Di RSUD Dr. Soetomo sejak bulan Maret 2020 sampai bulan Januari
2021, terdapat 346 anak suspek, 131 anak dengan konfirmasi positif Covid-19,
terdiri atas 121 anak usia 2 bulan sampai 18 tahun, dan 10 neonatus usia

21
kurang dari 1 bulan. Dari keseluruhan anak, terdapat 14% anak dengan
manifestasi gejala respirasi mulai dari demam, batuk, pilek, pneumonia
ringan sampai berat. Terdapat 57,9% anak tanpa gejala respirasi seperti
20
diare dan gejala digestif lainnya, serta anak-anak yang memiliki penyakit
dasar kronis seperti keganasan, penyakit ginjal kronis dan kelainan
jantung bawaan. Terdapat 28,1% anak asimptomatik dan melakukan isolasi
mandiri di rumah. Terdapat 12% anak di antaranya meninggal dunia,
P

dikarenakan adanya penyakit komorbid seperti meningoensefalitis, edema


otak, hidrosefalus, syok septik sampai kegagalan multiorgan.
AU

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Berdasarkan data saat ini, hasil temuan laboratorium yang khas pada anak-
anak belum dapat disimpulkan. Hasil laboratorium bervariasi sesuai dengan
tingkat keparahan penyakit Covid-19. pada waktu awal setelah timbulnya
penyakit, jumlah sel lekosit normal atau menurun dan jumlah limfosit sedikit
meningkat. Mayoritas pasien memiliki jumlah neutrofil yang normal. Kasus
yang berat dapat disertai dengan; peningkatan penanda inflamasi serum seperti
D-dimer, prokalsitonin, kreatin kinase, dan interleukin-6 dan limfosit yang
semakin menurun. Tabel 2 merangkum perubahan laboratorium yang diamati
pada kasus Covid-19 ringan dan berat pada anak-anak (Tiruneh, 2020).

Manifestasi Gejala Covid-19 Anak 401


Tabel 20.2 Gambaran Laboratorium Berdasar Derajat Keparahan

Mild Covid-19 Severe Covid-19


↔ Lymphocytes ↔ Lymphocytes
↓↔ WBC Count ↓↔ WBC Count
↓ Neutrophils
↑ ESR
↑ CK-MB ↑ CK-MB
↑ Procalcitonin ↑ Procalcitonin
↑ ALT ↑ ALT
↑ LDH ↑ LDH
↑ AST
↑ IL-10
↑ CRP ↑ CRP
↑ D-dimer
Notes: ↓ Decreased, ↔ No change, ↑ Increase21 ↑ D-dimer

Abbreviations: LDH, lactate dehydrogenase; WBC, white blood cell count; ALT, alanine
20
aminotransferase; AST, aspartate aminotransferase; ESR, erythrocyte sedimentation rate;
CRP, c-reactive protein; IL-10, interleukin-10; CK-MB, creatine kinase-MB

Tabel 20.3 Perbandingan Laboratorium Anak dan Dewasa

Laboratory Finding Children Adult


P

White blood cell count Normal Abnormal


Nautrophil Decreased Increased
AU

Lymphocytes Increased Decreased


Abnormal ALT Higher Lower
Abnormal AST Similar Similar
Abnormal CK Lower Higher
Abnormal Myo Higher Lower
Abnormal PT Higher Lower
Abnormal D-dimer Similar Similar
LDH Significantly increased Increased
CRP Decreased Significantly increase
IL-6 Decreased Significantly increase
Abbreviations: ALT, alanine aminotransferase; AST, aspartate aminotransferase; CRP,
c-reactive protein; PT, prothrombin time; CK, creatine kinase; LDH, lactate dehydrogenase;
IL-6, interleukin-6

402 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Hasil pemeriksaan laboratorium pada anak hampir sama pada semua
kasus infeksi SARS-CoV-2. Kadar leukosit cenderung meningkat disertai
dengan penurunan jumlah limfosit. Trombositopenia dapat terjadi pada
beberapa kasus. Adanya peningkatan kadar C-reactive protein (CRP) dan
prokalsitonin. pada beberapa kasus, melaporkan adanya peningkatan
fungsi hati, ferritin, laktat dehidrogenase dan fungsi koagulasi yang tidak
normal serta meningkatnya D-Dimer, troponin dan BNP (Zimmermann
and Curtis, 2020a). pada serial kasus Covid-19 pada anak didapatkan
leukosit normal sebanyak 83% dan limfopenia sebanyak 3%. Peningkatan
kadar laktat dehidrogenase sebanyak 30% dan peningkatan C-reactive
protein dan prokalsitonin hanya 3% (Zimmermann and Curtis, 2020b).
Laporan laboratorium pada anak-anak berbeda dengan orang
dewasa. Berbeda dengan orang dewasa, jumlah sel darah putih anak-anak

21
semuanya normal, dengan penurunan jumlah neutrofil dan peningkatan
jumlah limfosit. Nilai prokalsitonin tidak menunjukkan perbedaan antara
anak-anak dan orang dewasa, namun, peningkatan kadar CRP dan IL-6
20
terlihat pada orang dewasa, tetapi tidak pada anak-anak. Anak memiliki
kadar LDH yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang dewasa.
Perbandingan karakteristik hasil laboratorium pada anak dan dewasa
dirangkum pada Tabel 20.3 (Tiruneh, 2020).
P

Pada pemeriksaan radiologi sering menunjukkan gambaran


konsolidasi bilateral pada perifer paru, penebalan peribronkial dan ground-
AU

glass opacities. Pemeriksaan CT-scan toraks menunjukkan multiple patchy


inflitrat di bilateral paru, konsolidasi dan nodular ground-glass opacities,
atau bayangan infiltrat di tengah dan luar area paru atau di bawah pleura.
Gambaran radiologi pada anak lebih tidak spesifik dan lebih ringan
dibandingkan pada gambaran pada dewasa (Zimmermann and Curtis,
2020b). pada studi lain menunjukkan gambaran patchy infiltrat sebesar 21%
dan ground-glass opacities sebesar 32,9% pada pemeriksaan radiologi dan
CT-scan (Hoang, et al., 2020). Hasil studi oleh Mantovani, menunjukkan
gambaran pneumonia dari hasil CT, 26,4% menunjukkan unilateral
involvement, 16% bilateral involvement, dan 9% interstitial pneumonia
(Mantovani, et al., 2020).

Manifestasi Gejala Covid-19 Anak 403


RINGKASAN
Pandemi Covid-19 saat ini merupakan masalah kesehatan global.
Penelitian yang terkait berkembang dengan sangat pesat. Pengetahuan
tentang Covid-19 pada anak terus berkembang dari waktu ke waktu.
Meskipun lebih sedikit anak-anak dengan Covid-19, mereka lebih berisiko
daripada orang dewasa untuk terinfeksi virus. Manifestasi klinis Covid-
19 pada anak-anak tidak spesifik dan seringkali ringan atau tanpa
gejala. Kondisi yang berat, seperti komplikasi yang mengancam jiwa dan
kematian dilaporkan.

DAFTAR PUSTAKA

21
Ahmed, M., Advani, S., Moreira, Axel, Zoretic, S., Martinez, J., Chorath, K., Acosta,
S., Naqvi, R., Burmeister-Morton, F., Burmeister, F., Tarriela, A., Petershack,
M., Evans, M., Hoang, A., Rajasekaran, K., Ahuja, S., Moreira, Alvaro. 2020.
Multisystem inflammatory syndrome in children: A systematic review.
20
EClinicalMedicine, 26:100527. https://doi.org/10.1016/j.eclinm.2020.100527.
Ciuca, I.M. 2020. Covid-19 in children: An ample review. Risk Manag. Healthc. Policy,
13: 661–669. https://doi.org/10.2147/RMHP.S257180.
Deville, J.G., Song, E., Ouellette, C.P. 2020. Coronavirus disease 2019 (Covid-19):
Clinical manifestations and diagnosis in children. Uptodate, https://doi.
P

org/10.1213/xaa.0000000000001218.
Dong, Y., Dong, Y., Mo, X., Hu, Y., Qi, X., Jiang, F., Jiang, Z., Jiang, Z., Tong, S.,
AU

Tong, S., Tong, S. 2020. Epidemiology of Covid-19 among children in China.


Pediatrics, 145. https://doi.org/10.1542/peds.2020-0702.
Erlina, B., Agus, S.D., Nasution, S.A., et al. 2020. Pedoman Tata laksana Covid-19
Ed 2, Edisi 3. Jakarta:PDPI, PERKI, PAPDI, PERDATIN, IDAI.
García-Salido, A., de Carlos Vicente, J.C., Belda Hofheinz, S., et al. 2020. Severe
manifestations of SARS-CoV-2 in children and adolescents: from Covid-19
pneumonia to multisystem inflammatory syndrome: a multicentre study
in pediatric intensive care units in Spain. Crit. Care, 24, 1–13. https://doi.
org/10.1186/s13054-020-03332-4.
Hoang, A., Chorath, K., Moreira, Axel, Evans, M., Burmeister-Morton, F.,
Burmeister, F., Naqvi, R., Petershack, M., Moreira, Alvaro, 2020. Covid-19 in
7780 pediatric patients: A systematic review. EClinicalMedicine, 24:100433.
https://doi.org/10.1016/j.eclinm.2020.100433.

404 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Hobbs, C.V., Khaitan, A., Kirmse, B.M., Borkowsky, W. 2020. Covid-19 in children:
a review and parallels to other hyperinflammatory syndromes. Front. Pediatr,
8:1–11. https://doi.org/10.3389/fped.2020.593455.
Lindan, C.E., Mankad, K., Ram, D., Kociolek, L.K., Silvera, V.M., Boddaert, N.,
Stivaros, S.M., Palasis, S. 2020. Neuroimaging manifestations in children
with SARS-CoV-2 infection: a multinational , multicentre collaborative
study. Lancet Child Adolesc Heal, 2: 1–11. https://doi.org/10.1016/S2352-
4642(20)30362-X.
Mantovani, A., Rinaldi, E., Zusi, C., Beatrice, G., Saccomani, M.D., Dalbeni, A.
2020. Coronavirus disease 2019 (Covid-19) in children and/or adolescents: a
meta-analysis. Pediatr. Res. https://doi.org/10.1038/s41390-020-1015-2.
Pousa, P.A., Mendonça, T.S.C., Oliveira, E.A., Simões-e-Silva, A.C. 2020.
Extrapulmonary manifestations of Covid-19 in children: a comprehensive
review and pathophysiological considerations. J. Pediatr. (Rio. J), 8:1–23.

21
https://doi.org/10.1016/j.jped.2020.08.007
Rabha, A.C., Oliveira Junior, F.I. de, Oliveira, T.A. de, Cesar, R.G., Fongaro, G.,
Mariano, R.F., Camargo, C.N., Fernandes, F.R., Wandalsen, G.F. 2021. Clinical
manifestations of children and adolescents with Covid-19: report of the first
20
115 cases from Sabará Hospital Infantil. Rev. Paul. Pediatr, 39:e2020305. https://
doi.org/10.1590/1984-0462/2021/39/2020305.
Tiruneh, F.T., 2020. Clinical Profile of Covid-19 in Children, Review of Existing
Literatures. Pediatr. Heal. Med. Ther. 11:385–392. https://doi.org/10.2147/phmt.
P

s266063.
Wang, E., Brar, K. 2020. Covid-19 in children: an epidemiology study from China.
AU

J Allergy Clin Immunol Pr, 8(8):2218–20.


Zimmermann, P., Curtis, N. 2020a. Covid-19 in children, pregnancy and neonates:
a review of epidemiologic and clinical features. Pediatr. Infect. Dis J, 39:469–
477. https://doi.org/10.1097/INF.0000000000002700.
Zimmermann, P., Curtis, N. 2020b. Coronavirus infections in children including
Covid-19: an overview of the epidemiology, clinical features, diagnosis,
treatment and prevention options in children. Pediatr. Infect. Dis. J. 39:355–
368. https://doi.org/10.1097/INF.0000000000002660.

Manifestasi Gejala Covid-19 Anak 405


AU
P
20
21
TIM PENYUSUN BUKU

21
EDITOR
DR. Dr. Sutrisno, SpOG.K sebagai editor buku
dan penulis pada bab Perkembangan Terbaru,
20
Covid-19, Penyakit Seribu Wajah. Beliau lahir di
Blora, 3 Februari 1968. Saat ini beliau menjabat
sebagai ketua IDI Wilayah Jawa Timur, ketua
Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS) Provinsi Jawa
Timur, ketua POGI Cabang Malang dan pengajar
P

di Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas


Kedokteran Universitas Brawijaya.
AU

DR. Dr. Achmad Chusnu Romdhoni, SpTHT-


KL.K, FICS sebagai editor buku dan penulis
pada bab Manifestasi Klinis Covid-19 pada Sistem
THT-KL. Beliau lahir di Surabaya, 2 September
1976. Saat ini beliau menjabat sebagai Wakil
Dekan 1 dan dosen Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga.

[ 407 ]
DR. Dr. Andrianto, SpJP.K, FIHA, FAsCC sebagai
editor buku dan penulis pada bab Manifestasi Klinis
Sistem Kardiovaskular pada Covid-19 Dengan
Badai Sitokin. Beliau lahir di Tulungagung, 26 Maret
1969. Saat ini beliau menjabat sebagai Ketua
Program Studi Jantung dan pembuluh darah FK
Unair dan dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh
Darah (Konsultan) RSUD Dr. Soetomo.

DR. Dr. Abdulloh Machin, SpS.K sebagai editor


buku dan penulis pada bab Manifestasi Klinis
Covid-19 pada sistem Saraf Pusat. Beliau lahir di

21
Surabaya, 15 Juni 1977. Saat ini beliau merupakan
Wakil Direktur Keuangan dan Sumber Daya Rumah
Sakit Universitas Airlangga.
20
KONTRIBUTOR

Prof. DR. Dr. Irwanto, SpA.K sebagai penulis


P

pada bab Manifestasi Klinis Covid-19 pada


Tumbuh kembang Anak. Beliau lahir di Surabaya,
AU

27 Februari 1965. Saat ini beliau merupakan


Guru Besar Ilmu Kesehatan Anak FK Universitas
Airlangga Surabaya.

Dr. Muhammad Miftahussurur, M.Kes., SpPD-


KGEH., Ph.D sebagai penulis pada bab Pengaruh
Covid-19 pada Saluran Cerna. Beliau lahir di
Sidoarjo, 29 September 1979. Saat ini beliau
merupakan Dosen FK Unair/ Wakil Rektor Bidang
Internasionalisasi, Digitalisasi, dan Informasi
Universitas Airlangga.

408 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


DR. Dr. Soedarsono, SpP(K) sebagai penulis
pada bab Manifestasi Klinis Covid-19 pada Sistem
Respirasi. Beliau lahir di Surabaya, 23 November
1955. Saat ini beliau merupakan Pendidik Klinis
Penyakit Paru FK Universitas Airlangga.

DR. Dr. M. Yulianto Listiawan, SpKK.K,


FINSDV, FAADV sebagai penulis pada bab
Manifestasi Klinis Covid-19 pada Sistem Kulit.
Beliau lahir di Surabaya, 22 Juli 1960. Saat ini

21
beliau merupakan Kepala SMF/ Departemen
Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD DR. Soetomo
FK Unair Surabaya, Ketua Umum PP Perdoski
(2017-2021), Ketua MPPK IDI Wilayah Jawa Timur.
20
DR. Dr. S. Ugroseno Yudho Bintoro, SpPD,
K-HOM sebagai penulis pada bab Manifestasi Klinis
Covid-19 pada Sistem Hematologi dan Koagulasi.
Beliau lahir di Kotamobagu, 16 September
P

1963. Saat ini beliau merupakan Staf Penyakit


Dalam Divisi Hematologi Onkologi Universitas
AU

Airlangga dan Ketua Kelompok Staf Medik Ilmu


Penyakit Dalam.

DR. Dr. Nur Samsu, SpPD-KGH, FINASIM


sebagai penulis pada bab Manifestasi Klinis Covid-
19 pada Sistem Ginjal. Beliau lahir di Sidoarjo, 13
Agustus 1968. Saat ini beliau merupakan Dosen FK
UB; Staf Divisi Ginjal dan Hipertensi, Departemen
Ilmu Penyakit Dalam, FK UB-RSUD Dr. Saiful Anwar
Malang. Ketua Jurusan - FK UB.

Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19 409


DR. Dr. Risa Etika, SpA.K sebagai penulis pada
bab Mini Review: Manifestasi Klinis pada Neonatus
Selama Pandemi Covid-19. Saat ini beliau
merupakan Ketua Divisi Neonatologi Dept./SMF
Ilmu Kesehatan Anak FKUA- RSUD Dr. Soetomo.

DR. Dr. Cesarius Siggih Wahono, SpPD-KR,


FINASIM sebagai penulis pada bab Manifestasi
Klinis Covid-19 pada Sistem Imun. Beliau lahir
di Trenggalek, 1 November 1967. Saat ini

21
beliau merupakan Staf medik dan Dosen Divisi
Reumatologi-Imunologi, Departemen Ilmu Penyakit
Dalam RSUD dr. Saiful Anwar/ FK Universitas
Brawijaya Malang.
20
DR. Dr. Ernawati, SpOG.KFM sebagai penulis
pada bab Manifestasi Klinis Covid-19 pada
Kehamilan. Beliau lahir di Tulungagung, 16 Juli
P

1977. Saat ini beliau merupakan Koordinator


Program Study Obstetri dan Ginekoklogi FK
AU

Universitas Airlangga- RSUD Dr. Soetomo


Surabaya.

DR. Dr. Eighty Mardiyan Kurniawati, SpOG.K


sebagai penulis pada bab Manifestasi Klinis Covid-
19 pada Kehamilan. Beliau lahir di Surabaya, 14
Agustus 1977. Saat ini beliau merupakan Dosen
dan Staf Departemen/SMF Obstetri Ginekologi FK
Unair/RSUD Dr. Soetomo Surabaya

410 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


DR. Dr. Retno Asih Setyoningrum, SpA.K
sebagai penulis pada bab Manifestasi Gejala Covid-
19 Anak. Beliau lahir di Tulungagung, 26 Maret
1971. Beliau merupakan staf medis Departemen/
SMF Ilmu kesehatan Anak RSUD Dr. Soetomo
Surabaya.

Dr. Djoko Heri Hermanto, SpPD-KHOM,


FINASIM sebagai penulis pada bab Manifestasi
Klinis Covid-19 pada Pasien Kanker. Beliau lahir di

21
Malang 25 April 1963. Saat ini beliau merupakan
Kepala Dept/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK
Universitas Brawijaya/ RSSA Malang.
20
Dr. Sjamsul Arief, SpA.K, MARS sebagai penulis
pada bab Manifestasi Gejala Covid-19 Anak. Beliau
P

lahir di Surabaya, 3 Maret 1951. Saat ini beliau


merupakan Ketua IDAI Cabang Jawa Timur.
AU

Dr. Satrio Boediman, SpA sebagai penulis pada


bab Manifestasi Gejala Covid-19 Anak. Beliau
lahir di Surabaya, 22 Juni 1962. Beliau merupakan
kepala poli anak RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19 411


Dr. Arda Pratama Putra Chafid, SpA sebagai
penulis pada bab Manifestasi Gejala Covid-19
Anak. Beliau lahir di Ende, 29 April 1983. Saat
ini beliau merupakan staf medis Departemen/
SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr. Soetoemo
Surabaya.

Dr. Rika Hapsari, SpA, M.Ked.Klin sebagai


penulis pada bab Manifestasi Gejala Covid-19
Anak. Beliau lahir di Metro, 1 Oktober 1988. Beliau

21
merupakan staf medis Departemen/SMF Ilmu
kesehatan Anak RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
20
Dr. Nuretha Hevy Purwaningtyas, M.Sc
sebagai penulis pada bab Tinjauan Epidemiologi
Manifestasi Klinis Covid-19. Beliau lahir di Maret,
P

20 Maret 1979. Saat ini beliau merupakan Kepala


Departemen Kedokteran Keluarga, Fakultas
AU

Kedokteran Universitas Brawijaya.

Dr. Rizka Fathoni Perdana, SpTHT-KL.K sebagai


penulis pada bab Manifestasi Klinis Covid-19
pada Sistem THT-KL. Beliau lahir di Surabaya, 23
Nopember 1981. Saat ini beliau merupakan dosen
THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.

412 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Dr. Puguh Setyo Nugroho, SpTHT-KL sebagai
penulis pada bab Manifestasi Klinis Covid-19
pada Sistem THT-KL. Beliau lahir di Pacitan, 23
Nopember 1979. Saat ini beliau merupakan dosen
THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga /
Rumah Sakit Univeritas Airlangga.

Dr. Rosa Falerina, SpTHT-KL sebagai penulis


pada bab Manifestasi Klinis Covid-19 pada Sistem
THT-KL. Beliau lahir di Surabaya, 5 Oktober 1982.

21
Saat ini beliau merupakan dosen THT-KL Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga / Rumah Sakit
Univeritas Airlangga.
20
Dr. Titong Sugiharto, SpPD-KGEH., FINASIM
sebagai penulis pada bab Pengaruh Covid-19 pada
Saluran Cerna. Beliau lahir di Surabaya, 27 April
P

1963. Saat ini beliau merupakan Kepala Divisi


Gastroentero-Hepatologi KSM Ilmu Penyakit Dalam
AU

RSUD Dr.Soetomo.

Dr. Ni Putu Susari Widianingsih, SpKK,


FINSDV, FAADV sebagai penulis pada bab
Manifestasi Klinis Covid-19 pada Sistem Kulit.
Beliau lahir di Singaraja, 26 Maret 1970. Saat
ini beliau merupakan Wadir Pelayanan Medik RS
Husada Utama, Direktur Utama Surabaya Skin
Centre.

Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19 413


Dr. Tri Wahyu Martanto, Sp.OT(K) sebagai
penulis pada bab Pelayanan Di Bidang Orthopaedi
dan Traumatologi Selama Pandemi Covid-19. Beliau
lahir di Jakarta Selatan, 14 Maret 1965. Saat ini
beliau merupakan dokter Spesialis Orthopaedi dan
Traumatologi RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

Dr. Mouli Edward, M.Kes, SpOT(K) sebagai


penulis pada bab Pelayanan di Bidang Orthopaedi
dan Traumatologi selama pandemi Covid-19. Beliau

21
lahir di Semarang, 9 Mei 1971. Saat ini beliau
merupakan dokter Orthopaedi RSUD Dr. Soetomo
Surabaya.
20
Dr. Bambang Pujo Semedi, SpAn, KIC sebagai
penulis pada bab Manifestasi Klinis Pasien Kritis
Pneumonia Covid-19. Beliau lahir di Ponorogo,
P

08 Februari 1973. Saat ini beliau merupakan Staf


AU

Departemen Anestesiologi dan Reanimasi- FK


Unair/RSUD Dr. Soetomo.

Dr. Buyung Hartiyo Laksono, SpAn, KNA


sebagai penulis pada bab Manifestasi Klinis Pasien
Kritis Pneumonia Covid-19. Beliau lahir di Kediri,
20 Juni 1980. Saat ini beliau merupakan dokter
spesialis Anestesi dan Terapi Intensif FKUB/ RSUD
Dr. Saiful Anwar Malang.

414 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Dr. Arie Zainul Fatoni, SpAn, KIC sebagai
penulis pada bab Manifestasi Klinis Pasien Kritis
Pneumonia Covid-19. Beliau lahir di Banyuwangi,
23 Januari 1985. Saat ini beliau merupakan dokter
spesialis Anestesi dan Terapi Intensif FKUB/ RSUD
Dr. Saiful Anwar Malang.

Dr. Ramacandra Rakhmatullah, SpAn, KIC


sebagai penulis pada bab Manifestasi Klinis
Pasien Kritis Pneumonia Covid-19. Beliau lahir di

21
Surabaya, 16 Juni 1986. Saat ini beliau merupakan
dokter spesialis Anestesi dan Terapi Intensif FKUB/
RSUD Dr. Saiful Anwar Malang.
20
Dr. Muhammad Rodli, SpAn sebagai penulis
pada bab Manifestasi Klinis Pasien Kritis Pneumonia
P

Covid-19. Beliau lahir di Gresik, 16 Juli 1983. Saat


ini beliau merupakan dokter spesialis Anestesi dan
AU

Terapi Intensif Rumah Sakit Tentara Dr. Soepraoen.

Dr. Ahmad Feza Fadhlurrahman, SpAn sebagai


penulis pada bab Manifestasi Klinis Pasien Kritis
Pneumonia Covid-19. Beliau lahir di Manado, 17
Februari 1988. Saat ini beliau merupakan dokter
spesialis Anestesi dan Terapi Intensif Rumah Sakit
Tentara Dr. Soepraoen.

Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19 415


Dr. Nina Nur Arifah, SpPD sebagai penulis pada
bab Manifestasi Klinis Covid-19 pada Pasien Kanker.
Beliau lahir di Probolinggo, 15 Oktober 1985.
Saat ini beliau merupakan staf Divisi Hematologi-
Onkologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam-
RSUD Dr. Saiful Anwar Malang.

Dr. Royke Tony Kalalo, SpKJ.K, FISCM sebagai


penulis pada bab Manifestasi Psikologis Covid-19.
Beliau lahir di Balikpapan, 23 Januari 1978. Saat
ini menjadi staf pengajar di Departemen/SMF Ilmu

21
Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga – RSUD Dr.Soetomo Surabaya. Beliau
adalah Psikiater Konsultan Psikiatri Anak dan
Remaja, juga anggota Divisi Psikiatri Biologi &
20
Neurosains serta Divisi Psikoterapi.

Dr. Nur Khozin, SpKFR sebagai penulis pada bab


P

Manifestasi Gangguan Fungsi pada Pasien Covid-


19. Beliau lahir di Lamongan, 29 Agustus 1973.
Saat ini beliau merupakan KaSMF Rehabilitasi
AU

medik RSUD Bhakti Dharma Husada, Wakil Ketua II


PERDOSRI Jatim.

Dr Heasty Oktaricha sebagai penulis pada bab


Manifestasi Klinis Sistem Kardiovaskular pada
Covid-19 Dengan Badai Sitokin. Beliau lahir di
Samarinda, 16 Oktober 1984. Saat ini beliau
merupakan PNS/PPDS Ilmu Penyakit Dalam FK
Universitas Airlangga Surabaya.

416 Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19


Dr. Nur Arafah sebagai penulis pada bab
Pengaruh Covid-19 pada Saluran Cerna. Beliau
lahir di Bima, 27 Juli 1988. Saat ini beliau
merupakan PPDS Ilmu Penyakit Dalam FK
Universitas Airlangga.

Dr. Dana Hendrawan Putra sebagai penulis


pada bab Manifestasi Klinis Covid-19 pada
Kehamilan. Beliau lahir di Surabaya, 17 Januari
1995. Saat ini beliau merupakan Dokter Umum

21
RSUD Bhakti Dharma Husada Surabaya dan
Asisten Penelitian Divisi Fertilitas Endokrinoogi
Reproduksi SMF Obstetri dan Ginekologi RSUD Dr.
Soetomo Surabaya.
20
Homidatum Mahiroh, S.KM sebagai penulis
pada bab Mini Review: Manifestasi Klinis pada
P

Neonatus Selama Pandemi Covid-19. Beliau lahir di


Lumajang, 29 Juli 1997. Saat ini beliau merupakan
AU

Asisten Divisi Neonatologi RSUD Dr. Soetomo.

Dr. Steven Christian Susianto. Beliau lahir di


Surabaya, 4 Mei 1994. Saat ini beliau merupakan
tim mitigasi Satgas Covid-19 IDI Wilayah Jawa
Timur.

Manifestasi Klinis Multiorgan Covid-19 417


AU
P
20
21
AU
P
20
21

You might also like