You are on page 1of 76

SKRIPSI

PERBANDINGAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DAN


SUSU FORMULA TERHADAP PENURUNAN KADAR
BILIRUBIN PADA BAYI IKTERUS NEONATORUM
FISIOLOGI DI RSUD I LAGALIGO WOTU
KABUPATEN LUWU TIMUR

Oleh:
MUSDALIPA
04.2019.158

PROGRAM STUDI S1 KEBIDANAN


INSTITUT KESEHATAN DAN BISNIS
KURNIA JAYA PERSADA PALOPO
2022
SKRIPSI

PERBANDINGAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DAN


SUSU FORMULA TERHADAP PENURUNAN KADAR
BILIRUBIN PADA BAYI IKTERUS NEONATORUM
FISIOLOGI DI RSUD I LAGALIGO WOTU
KABUPATEN LUWU TIMUR

Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Kebidanan (S.Keb)


Pada Program Studi Strata Satu Kebidanan Institut Kesehatan dan Bisnis
Kurnia Jaya Persada Palopo

Oleh:
MUSDALIPA
04.2019.158

PROGRAM STUDI S1 KEBIDANAN


INSTITUT KESEHATAN DAN BISNIS
KURNIA JAYA PERSADA PALOPO
2022
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN

Yang bertandatangan dibawah ini:


Nama : Musdalipa
NIM : 04.2019.158
Program Studi : S1 Kebidanan Institut Kesehatan dan Bisnis Kurnia Jaya
Persada Palopo

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi dengan judul: “Perbandingan


Pemberian ASI Eksklusif dan Susu Formula terhadap Penurunan Kadar
Bilirubin pada Bayi Ikterus Neonatorum Fisiologi di RSUD I Lagaligo Wotu
Kabupaten Luwu Timur”, adalah hasil karya saya sendiri yang belum pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan
sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat pendapat yang pernah ditulis atau
diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan
disebut dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau
keseluruhan skrisi ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas
perbuatan tersebut.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Palopo, Januari 2022


Yang Menyatakan,

Musdalipa
NIM. 04.2019.158
LEMBAR PERSETUJUAN

PERBANDINGAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DAN SUSU FORMULA


TERHADAP PENURUNAN KADAR BILIRUBIN PADA BAYI IKTERUS
NEONATORUM FISIOLOGI DI RSUD I LAGALIGO WOTU
KABUPATEN LUWU TIMUR

Disusun Oleh:
MUSDALIPA
04.2019.158

Skripsi ini telah disetujui


Tanggal Januari 2022

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Rusdiana Junaid, M.Hum., M.A. Nurhasanah, S.ST., M.Keb.


NIDN. 0024065801 NIDN. 0904078903

Mengetahui,
Ketua Program Studi S1 Kebidanan

Samsinar, S.ST., M.Kes.


NIDN. 0919078901

iii
iv
LEMBAR PENGESAHAN

PERBANDINGAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DAN SUSU FORMULA


TERHADAP PENURUNAN KADAR BILIRUBIN PADA BAYI IKTERUS
NEONATORUM FISIOLOGI DI RSUD I LAGALIGO WOTU
KABUPATEN LUWU TIMUR

Disusun Oleh:
MUSDALIPA
NIM. 04.2019.158
Telah diuji di depan Panitia Ujian Skripsi
Pada tanggal, 28 Januari 2022
Dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Tim Penguji:

1. Sirjhon Paladan, SKM. M.Kes. ( )

2. Nurhasanah, S.ST., M.Keb. ( )

3. Dr. Rusdiana Junaid, M.Hum., M.A. ( )

Tim Pembimbing

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Rusdiana Junaid, M.Hum., M.A. Nurhasanah, S.ST., M.Keb.


NIDN. 0024065801 NIDN. 0904078903

Mengetahui,

Rektor Institut Kesehatan dan Bisnis Ketua Program Studi


Kurnia Jaya Persada Palopo S1 Kebidanan

Dr. Rusdiana Junaid, M.Hum., M.A. Samsinar, S.ST., M.Kes.


NIDN. 0024065801 NIDN. 0919078901

v
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke Hadirat Allah SWT. atas segala

rahmat, hidayah, serta karunia-Nya yang dilimpahkan dalam bentuk kesehatan dan

kesempatan sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan

judul: “Perbandingan Pemberian ASI Eksklusif dan Susu Formula terhadap

Penurunan Kadar Bilirubin pada Bayi Ikterus Neonatorum Fisiologi di RSUD I

Lagaligo Wotu Kabupaten Luwu Timur”.

Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan

terima kasih yang tulus kepada kedua orang tua atas segala perhatian,

pengorbanan, kasih sayang serta doa restunya yang luar biasa buat keberhasilan

penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di Institut Kesehatan

dan Bisnis Kurnia Jaya Persada Palopo.

Demikian pula dengan kerendahan hati, penulis menyampaikan rasa terima

kasih dan penghargaan yang tulus kepada:

1. dr. Indah Mustika Sari, S.Ked., Ketua Yayasan Institut Kesehatan dan Bisnis

Kurnia Jaya Persada Palopo.

2. Dr. Rusdiana Junaid, M.Hum., M.A., Rektor Institut Kesehatan dan Bisnis

Kurnia Jaya Persada Palopo sekaligus sebagai Pembimbing I atas segala saran

dan kritikan guna pengembangan isi skripsi ini.

3. Samsinar, S.ST., M.Kes., Ketua Program Studi S1 Kebidanan Institut

Kesehatan dan Bisnis Kurnia Jaya Persada Palopo.

4. Nurhasanah, S.ST., M.Keb., Pembimbing II yang telah banyak memberikan

ilmu dan arahan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

vi
5. Semua dosen dan staf Institut Kesehatan dan Bisnis Kurnia Jaya Persada

Palopo yang telah memberikan kemudahan bagi penulis dalam menyelesaikan

pendidikan selama ini.

6. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi S1 Kebidanan Institut Kesehatan dan

Bisnis Kurnia Jaya Persada Palopo yang tidak dapat penulis tuliskan satu per

satu, yang secara langsung maupun tidak langsung telah memberikan

dukungan selama perkuliahan sampai menyelesaikan skripsi.

7. Kepada semua pihak yang tidak sempat penulis tulis namanya satu per satu,

terima kasih atas bantuan kalian.

Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan bernilai bagi

perkembangan ilmu keperawatan. Semoga Allah berkenan meridhoi segala apa

yang telah diupayakan hamba-Nya dan memberikan pahala yang tak terhingga.

Palopo, Januari 2022

Penulis

vii
ABSTRAK

PERBANDINGAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DAN SUSU FORMULA


TERHADAP PENURUNAN KADAR BILIRUBIN PADA BAYI IKTERUS
NEONATORUM FISIOLOGI DI RSUD I LAGALIGO WOTU
KABUPATEN LUWU TIMUR

Musdalipa, Rusdiana Junaid, Nurhasanah


Ikterus neonatorum merupakan masalah yang sering dijumpai pada
perawatan bayi baru lahir normal, yaitu munculnya warna kuning pada kulit dan
sklera karena terjadinya hiperbilirubinemia sampai bayi usia 72 – 120 jam dan
akan kembali normal setelah 7 – 10 hari. Ikterus pada bayi baru lahir pada minggu
pertama terjadi pada 60% bayi cukup bulan dan 80% bayi kurang bulan. Tujuan
dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan pemberian asi eksklusif
dan susu formula terhadap penurunan kadar bilirubin pada bayi ikterus
neonatorum fisiologi di RSUD I Lagaligo Wotu Kabupaten Luwu Timur.
Penelitian ini merupakan penelitian komperatif non eksperimental dengan
rancangan prospektif yang bertujuan untuk mengeksplorasi dan mendiskripsikan
tentang perubahan nilai kadar bilirubin pada tiap kelompok dengan pemberian
cairan yang berbeda.Populasi dalam penelitian ini adalah semua bayi ikterus
neonatorum fisiologi di RSUD I Lagaligo sebanyak 14 bayi. Sampel dalam
penelitian ini yaitu bayi ikterus neonatorum fisiologi di RSUD I Lagaligo
sebanyak 14 bayi, terdiri dari 7 bayi yang diberikan ASI eksklusif dan 7 bayi yang
diberikan susu formula. Analisis data menggunakan Mann-Whitney Test.
Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan pemberian ASI eksklusif dan
susu formula terhadap penurunan kadar bilirubin pada bayi ikterus neonatorum
fisiologi di RSUD I Lagaligo Wotu Kabupaten Luwu Timur, nilai signifikansi (p)
yang diperoleh = 0,002 < α = 0,05.
Kesimpulan dalam penelitian ini yaitu ada perbedaan pemberian ASI eksklusif
dan susu formula terhadap penurunan kadar bilirubin pada bayi ikterus
neonatorum fisiologi di RSUD I Lagaligo Wotu Kabupaten Luwu Timur. Peneliti
selanjutnya dapat mengembangkan penelitian untuk mengetahui faktor lain
terhadap peningkatan kadar bilirubin pada neonatus ikterus selain dengan ASI dan
susu formula.

Kata Kunci: ASI eksklusif, susu formula, kadar bilirubin, ikterus

viii
ABSTRACT

COMPARISON OF EXCLUSIVE BREASTFEEDING AND FORMULA MILK TO


THE REDUCTION OF BILIRUBIN LEVELS IN PHYSIOLOGIC NEONATAL
JAUNDICE AT RSUD I LAGALIGO WOTU, EAST LUWU REGENCY

Musdalipa, Rusdiana Junaid, Nurhasanah

Neonatal jaundice is a problem that is often encountered in the care of


normal newborns, namely the appearance of a yellow color on the skin and sclera
due to hyperbilirubinemia until the baby is 72-120 hours old and will return to
normal after 7-10 days. Jaundice in newborns in the first week occurs in 60% of
term infants and 80% of preterm infants. The purpose of this study was to
determine the comparison of exclusive breastfeeding and formula milk to the
reduction of bilirubin levels in physiologic neonatal jaundice at RSUD I Lagaligo
Wotu, East Luwu Regency.
This study is a non-experimental comparative study with a prospective
design that aims to explore and describe changes in the value of bilirubin levels in
each group with different fluid administration. The population in this study were
all 14 infants with physiological neonatal jaundice in RSUD I Lagaligo. The
sample in this study were physiologic neonatorum jaundice at RSUD I Lagaligo
as many as 14 babies, consisting of 7 babies who were exclusively breastfed and 7
babies who were given formula milk. Data analysis using Mann-Whitney Test.
The results showed that there were differences between exclusive
breastfeeding and formula milk in reducing bilirubin levels in infants with
physiological jaundice neonatorum at I Lagaligo Wotu Hospital, East Luwu
Regency, the significance value (p) obtained = 0.002 < = 0.05.
The conclusion in this study is that there is a difference between exclusive
breastfeeding and formula milk in reducing bilirubin levels in infants with
physiologic neonatal jaundice at I Lagaligo Wotu Hospital, East Luwu Regency.
Further researchers can develop research to determine other factors to increase
bilirubin levels in jaundiced neonates other than breast milk and formula milk.

Keywords: exclusive breastfeeding, formula milk, bilirubin levels, jaundice

ix
DAFTAR ISI
Halaman

HALAMAN JUDUL....................................................................................... i

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI......................................... ii

HALAMAN PERSETUJUAN....................................................................... iii

HALAMAN PENGESAHAN........................................................................ iv

KATA PENGANTAR.................................................................................... v

ABSTRAK....................................................................................................... vii

ABSTRACT..................................................................................................... viii

DAFTAR ISI................................................................................................... ix

DAFTAR TABEL........................................................................................... xi

DAFTAR GAMBAR...................................................................................... xii

DAFTAR LAMPIRAN................................................................................... xiii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 1

A. Latar Belakang................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah........................................................................... 4

C. Tujuan Penelitian............................................................................ 4

D. Manfaat Penelitian.......................................................................... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................... 6

A. Tinjauan Umum tentang ASI Eksklusif.......................................... 6

B. Tinjauan Umum tentang Susu Formula.......................................... 13

C. Tinjauan Umum tentang Ikterus Neonatorum................................ 18

D. Tinjauan Umum tentang Bilirubin.................................................. 25

E. Penelitian Terkait............................................................................ 28

x
BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

A. Kerangka Konsep............................................................................ 31

B. Hipotesis Penelitian........................................................................ 32

BAB IV METODE PENELITIAN................................................................ 33

A. Desain Penelitian............................................................................ 33

B. Populasi, Sampel dan Sampling..................................................... 33

C. Variabel Penelitian.......................................................................... 34

D. Definisi Operasional....................................................................... 34

E. Tempat Penelitian........................................................................... 35

F. Waktu Penelitian............................................................................. 35

G. Instrumen Penelitian....................................................................... 35

H. Prosedur Pengumpulan Data........................................................... 35

I. Analisis Data................................................................................... 37

J. Etika Penelitian............................................................................... 37

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN................................ 40

A. Hasil................................................................................................ 40

B. Pembahasan.................................................................................... 44

C. Keterbatasan Penelitian.................................................................. 49

D. Implikasi Hasil Penelitian untuk Kebidanan.................................. 50

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN........................................................ 51

A. Kesimpulan..................................................................................... 51

B. Saran............................................................................................... 51

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 53

LAMPIRAN.................................................................................................... 55

xi
DAFTAR TABEL
Halaman

Tabel 2.1 Penelitian terkait............................................................................ 28

Tabel 4.1 Definisi operasional perbandingan pemberian ASI eksklusif dan


susu formula terhadap penurunan kadar bilirubin pada bayi
ikterus neonatorum fisiologi di RSUD I Lagaligo Wotu
Kabupaten Luwu Timur................................................................. 34

Tabel 5.1 Distribusi Bayi Berdasarkan Jenis Kelamin di RSUD I Lagaligo


Wotu Tahun 2021.......................................................................... 40

Tabel 5.1 Distribusi Bayi Berdasarkan Berat Badan di RSUD I Lagaligo


Wotu Tahun 2021.......................................................................... 40

Tabel 5.3 Distribusi Bayi Berdasarkan Jenis Kelamin di RSUD I Lagaligo


Wotu Tahun 2021.......................................................................... 41

Tabel 5.4 Distribusi Bayi Berdasarkan Berat Badan di RSUD I Lagaligo


Wotu Tahun 2021.......................................................................... 41

Tabel 5.5 Kadar Bilirubin Bayi yang Diberi ASI Eksklusif dan Susu Formula
Sebelum Fototerapi di RSUD I Lagaligo WotuTahun 2021.......... 42

Tabel 5.6 Kadar Bilirubin Bayi yang Diberi ASI Eksklusif dan Susu Formula
Setelah Fototerapi di RSUD I Lagaligo WotuTahun 2021............ 43

Tabel 5.7 Perbandingan Pemberian ASI Eksklusif dan Susu Formula terhadap
Penurunan Kadar Bilirubin pada Bayi Ikterus Neonatorum Fisiologi
di RSUD I Lagaligo Wotu Kabupaten Luwu Timur...................... 43

xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman

Gambar 3.1 Kerangka konsep........................................................................... 31

xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman

Lampiran 1. Lembar observasi......................................................................... 55


Lampiran 2. Master tabel.................................................................................. 56
Lampiran 3. Hasil olah data SPSS.................................................................... 57

xiv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ikterus neonatorum merupakan masalah yang sering dijumpai pada

perawatan bayi baru lahir normal, khususnya di Asia, yaitu munculnya warna

kuning pada kulit dan sklera karena terjadinya hiperbilirubinemia sampai bayi

usia 72 – 120 jam dan akan kembali normal setelah 7 – 10 hari. Ikterus pada

bayi baru lahir pada minggu pertama terjadi pada 60% bayi cukup bulan dan

80% bayi kurang bulan. Hal ini adalah keadaan yang fisiologis. Walaupun

demikian, sebagian bayi akan mengalami ikterus yang berat sehingga

memerlukan pemeriksaan dan tata laksana yang benar untuk mencegah

kesakitan dan kematian (Nur, 2021).

Laporan dari World Health Organization (WHO), setiap tahunnya kira-

kira 3% (3,6 juta) dari 120 juta bayi baru lahir mengalami ikterus neonatorum

dan hampir 1 juta bayi ini kemudian meninggal. Menurut United Nations

Childrens Fund (UNICEF) terdapat 1,8% kematian bayi yang disebabkan oleh

hiperbilirubin dari seluruh kasus perinatal yang terjadi di dunia. Data dari

World Health Organization (WHO) kejadian ikterus neonatal di negara

berkembang seperti Indonesia sekitar 50% bayi baru lahir normal yang

mengalami perubahan warna kulit, mukosa dan wajah mengalami kekuningan

(ikterus), dan 80% pada bayi kurang bulan (premature). Di Provinsi Sulawesi

Selatan jumlah bayi ikterus sebanyak 316 (0,56% dari total bayi yang lahir).

1
2

Ketika bayi berada di dalam kandungan, sel darah ini akan dikeluarkan

melalui uri (plasenta) dan diuraikan oleh hati ibu. Bila kadar bilirubin darah

melebihi 2 mg%, maka ikterus akan terlihat namun pada neonatus ikterus

masih belum terlihat meskipun kadar bilirubin darah sudah melampui 5 mg%.

Ikterus terjadi karena peninggian kadar bilirubin indirek (unconjugated) dan

atau kadar bilirubin direk (conjugated). Bilirubin sendiri adalah anion organik

yang berwarna orange dengan berat molekul 584. Asal mula bilirubin dibuat

daripada heme yang merupakan gabungan protoporfirin dan besi. Ikterus

dibedakan menjadi 3 tipe ikterus fisiologi, ikterus patologik, kern ikterus.

Ikterus fisiologik adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan hari ketiga

yang tidak mempunyai dasar patologik, kadarnya tidak melewati kadar yang

membahayakan atau yang mempunyai potensi menjadi kern ikterus dan tidak

menyebabkan suatu morbiditas pada bayi. Ikterus patologi adalah ikterus yang

mempunyai dasar patologi atau kadar bilirubinnya mencapai suatu nilai yang

disebut hiperbilirubinemia (Nur, 2021).

Hiperbilirubinemia merupakan salah satu kegawatan yang sering terjadi

pada bayi baru lahir. Sebanyak 25-50% terjadi hiperbilirubinemia pada bayi

cukup bulan dan 80% pada bayi dengan berat lahir rendah. Hiperbilirubinemia

merupakan diagnosa awal sebelum terjadi kernikterus. Hiperbilirubinemia

adalah kadar bilirubin yang dapat menimbulkan efek patologi. Untuk

mengendalikan kadar bilirubin pada bayi baru lahir dapat dilakukan pemberian

ASI sedini mungkin. Pemberian ASI pada bayi dianjurkan 2-3 jam sekali atau

8-12 kali dalam sehari. Dengan Pemberian ASI yang lebih sering mencegah

bayi mengalami dehidrasi dan kekurangan asupan kalori. Terlambatnya bayi

mendapatkan nutrisi (ASI) mengakibatkan bilirubin direk yang sudah


3

mencapai usus tidak terikat oleh makanan dan tidak dikeluarkan melalui anus

bersama makanan. Di dalam usus, bilirubin direk ini diubah menjadi bilirubin

indirek yang akan diserap kembali ke dalam darah dan kondisi tersebut akan

mengakibatkan menetapnya kondisi hiperbilirubin (Indanah, 2019).

Yuliawati (2018), dalam penelitiannya menunjukan bahwa sebagian

besar bayi baru lahir yang diberi ASI esklusif berusia tiga sampai lima hari

berpotensial mengalami peningkatan kadar bilirubin, peningkatan rata-rata

kadar bilirubin total 17,696 mg/dl sedangkan Non eksklusif lebih cenderung

kenaikan kadar bilirubin pada usia lebih dari lima sampai 7 hari dengan

peningkatan kadar bilirubin total rata – rata 16,787 mg/dl.

Ikterus yang terkait pemberian ASI, sekitar 1-200 bayi cukup bulan yang

menyusu ASI terdapat kenaikan bermakna dari bilirubin tak terkonjugasi

antara umur 4 dan 7 hari, mencapai kadar maksimal setinggi 10-30 mg/dL

selama minggu ke-2 sampai ke-3. Jika pemberian ASI dilanjutkan,

hiperbilirubinemia secara bertahap menurun dan kemudian dapat menetap

selama 3-10 minggu pada kadar yang lebih rendah. Jika pemberian ASI

dihentikan, kadar bilirubin serum turun dengan cepat, biasanya mencapai

normal dalam beberapa hari. Penghentian ASI selama 1-2 hari dan

penggantian ASI dengan susu formula mengakibatkan penurunan bilirubin

serum yang cepat, sesudahnya pemberian ASI dapat dimulai lagi dan

hiperbilirubinemia tidak kembali ke kadar yang tinggi seperti sebelumnya.

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul “Perbandingan Pemberian ASI Eksklusif dan Susu

Formula terhadap Penurunan Kadar Bilirubin pada Bayi Ikterus Neonatorum

Fisiologi di RSUD I Lagaligo Wotu Kabupaten Luwu Timur”.


4

B. Rumusan Masalah

Bagaimana perbandingan pemberian ASI eksklusif dan susu formula

terhadap penurunan kadar bilirubin pada bayi ikterus neonatorum fisiologi di

RSUD I Lagaligo Wotu Kabupaten Luwu Timur?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui perbandingan pemberian ASI eksklusif dan susu

formula terhadap penurunan kadar bilirubin pada bayi ikterus neonatorum

fisiologi di RSUD I Lagaligo Wotu Kabupaten Luwu Timur.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui pemberian ASI eksklusif terhadap penurunan kadar

bilirubin pada bayi ikterus neonatorum fisiologi di RSUD I Lagaligo

Wotu Kabupaten Luwu Timur.

b. Untuk mengetahui pemberian susu formula terhadap penurunan kadar

bilirubin pada bayi ikterus neonatorum fisiologi di RSUD I Lagaligo

Wotu Kabupaten Luwu Timur.

c. Mengetahui perbandingan pemberian ASI eksklusif dan susu formula

terhadap penurunan kadar bilirubin pada bayi ikterus neonatorum

fisiologi di RSUD I Lagaligo Wotu Kabupaten Luwu Timur.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi institusi

Hasil penelitian merupakan salah satu sumber informasi yang dapat

dijadikan sebagai bahan bacaan bagi institusi perguruan tinggi khususnya

di Institut Kesehatan dan Bisnis Kurnia Jaya Persada Palopo.


5

2. Bagi masyarakat

Pada masyarakat khususnya bagi ibu yang baru melahirkan agar

memperhatikan atau waspada pada bayinya untuk memeriksa jika perlu

memastikan bayinya apabila tampak kuning (ikterus) pada tangan dan kaki

dan memberikan ASI ekslusif yang cukup.

3. Bagi peneliti selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber informasi dan

bahan studi, khususnya bagi peneliti lain yang tertarik

mengembangkannya untuk pengembangan pengetahuan kebidanan.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum tentang ASI Eksklusif

1. Air susu ibu (ASI)

Secara alamiah, seorang ibu mampu menghasilkan Air Susu Ibu

(ASI) segera setelah melahirkan. ASI diproduksi oleh alveoli yang

merupakan bagian hulu dari pembuluh kecil air susu. ASI merupakan

makanan yang paling cocok bagi bayi karena mempunyai nilai gizi yang

paling tinggi dibandingkan dengan makanan bayi yang dibuat oleh

manusia ataupun susu yang berasal dari hewan seperti susu sapi, susu

kerbau, atau susu kambing. Pemberian ASI secara penuh sangat

dianjurkan oleh ahli gizi diseluruh dunia. Tidak satupun susu buatan

manusia (susu formula) dapat menggantikan perlindungan kekebalan

tubuh seorang bayi, seperti yang diperoleh dari susu kolostrum (Yenrina,

2015).

Pemberian ASI yang dianjurkan adalah ASI eksklusif selama 6 bulan

yang diartikan bahwa bayi hanya mendapatkan ASI saja tanpa makanan

atau minuman lain termasuk air putih. Pemberian ASI secara eksklusif

dianjurkan untuk jangka waktu setidaknya selama 4 bulan, tetapi bila

mungkin sampai 6 bulan (Roesli, 2015).

2. Manfaat menyusui dan keunggulan ASI

Pemberian ASI merupakan metode pemberian makanan bayi yang

terbaik, terutama bayi berumur kurang dari 6 bulan. ASI mengandung

6
7

berbagai zat gizi dan cairan yang dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan

gizi bayi pada 6 bulan pertama setelah kelahiran (Prasetyono, 2016).

a. Manfaat menyusui bagi bayi

1) ASI merupakan makanan alamiah yang baik untuk bayi, praktis,

ekonomis, mudah dicerna karena memiliki komposisi dan zat gizi

yang ideal sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan pencernaan

bayi.

2) ASI mengurangi risiko infeksi gastrointestinal dan enterokolitis

pada bayi prematur.

3) ASI meningkatkan kemampuan kognitif bayi.

4) ASI mengandung faktor-faktor antibakterial, anti virus, anti infeksi

dan anti inflamasi yang memberikan perlindungan bagi bayi.

5) Proses pemberian ASI dapat menjalin hubungan psikologis antara

ibu dan bayi (Roesli, 2015).

b. Manfaat menyusui bagi ibu

Menurut Roesli (2015), manfaat menyusui bagi ibu antara lain:

1) Isapan bayi dapat membuat rahim menciut, mempercepat kondisi

ibu untuk kembali ke masa pra kehamilan.

2) Mengurangi risiko terkena kanker rahim dan kanker payudara.

3) Isapan bayi pada payudara akan merangsang terbentuknya

oksitosin oleh kelenjar hipofisis. Oksitosin membantu involusi

uterus dan mencegah terjadinya pendarahan post partum.

4) Dengan menyusui maka kesuburan ibu menjadi berkurang untuk

beberapa bulan (menjarangkan kehamilan).


8

5) ASI lebih murah karena ibu tidak perlu membeli susu formula

beserta perlengkapannya.

6) Lemak di sekitar panggul dan paha yang ditimbun pada masa

kehamilan berpindah ke dalam ASI, sehingga ibu lebih cepat

langsing kembali.

3. Pengertian ASI eksklusif

ASI Eksklusif adalah bayi hanya diberikan ASI tanpa diberi

tambahan cairan lain seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, bahkan air

putih sekalipun. Selain tambahan cairan, bayi juga tidak diberi makanan

padat lain, seperti pisang, pepaya, bubur susu, biskuit, bubur nasi, tim, dan

lain – lain. Pemberian ASI Eksklusif dianjurkan untuk jangka waktu 6

bulan (Roesli, 2015).

UNICEF memperkirakan bahwa pemberian ASI Eksklusif sampai

usia 6 bulan dapat mencegah kematian 1,3 juta anak dibawah lima tahun.

Suatu penelitian di Ghana yang diterbitkan dalam jurnal Pediatrics

menunjukan, 16% kematian bayi dapat dicegah melalui pemberian ASI

pada bayi sejak hari pertama kelahirannya. Angka ini naik menjadi 22%

jika pemberian ASI dimulai dalam satu jam pertama setelah kelahiran bayi

(Baskoro, 2015).

Penelitian membuktikan bahwa ASI Eksklusif selama 6 bulan

memang baik bagi bayi. Naluri bayi akan membimbingnya saat bayi baru

lahir, insting bayi membawanya untuk mencari puting sang bunda. Pada

jam pertama, bayi menemukan payudara ibunya, ini adalah awal hubungan

menyusui yang berkelanjutan dalam kehidupan antara ibu dan bayi

menyusu. Proses setelah IMD dilanjutkan pemberian ASI Eksklusif


9

selama 6 bulan dan diteruskan hingga 2 tahun. Berdasarkan penelitian, jika

bayi yang baru lahir dipisahkan dengan ibunya, maka hormon stress akan

meningkat 50%. Otomatis, hal itu akan menyebabkan kekebalan atau daya

tahan tubuh bayi menurun (Baskoro, 2015).

4. Dampak kegagalan pemberian ASI eksklusif

Bayi yang diberi susu formula sangat rentan terserang penyakit.

Berikut ini penyakit yang bisa disebabkan karena kegagalan pemberian

ASI Eksklusif.

a. Meningkatnya resiko kematian

Para ahli meneliti 1.204 bayi yang meninggal pada usia 28 hari

sampai satu tahun akibat selain kelainan bawaan atau tumor berbahaya

dari 7.740 bayi masih hidup pada usia satu tahun. Mereka menelusuri

angka kematian, keterkaitan bayi tersebut dengan ASI dan durasi

dampak reaksinya. Bayi yang tidak pernah mendapat ASI beresiko

meninggal 21% lebih tinggi dalam periode sesudah kelahiran dari pada

bayi yang mendapat ASI. Pemberian ASI lebih lama dihubungkan

dengan resiko yang lebih rendah, Mempromosikan pemberian ASI

berpotensi menyelamatkan 720 kematian sesudah kelahiran di AS

setiap tahunnya (Setianingsih, 2014).

b. Infeksi saluran pencernaan (muntah, mencret)

Penelitian oleh Eka Putri Rahmadhani tahun 2015 menjelaskan

bahwa bayi yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif lebih sering

terkena diare, penelitian ini didapatkan bayi usia 0-5 bulan 29 hari

yang masih mendapat ASI saja sebanyak 41 bayi (30,4%) dan yang

sudah mendapat campuran lain selain ASI sebanyak 28 bayi (20,7%).


10

c. Infeksi saluran pernafasan

Sejumlah sumber digunakan untuk meneliti hubungan pemberian

ASI dengan resiko anak inap karena penyakit saluran pernapasan

bawah. Penelitian tersebut dilakukan pada bayi sehat yang lahir cukup

umur dan punya akses pada fasilitas kesehatan yang memadai.

Kesimpulannya dinegara maju, bayi yang diberi susu formula

mengalami penyakit saluran pernapasan tiga kali lebih parah dan

memerlukan rawat inap di rumah sakit dibandingkan bayi yang diberi

ASI secara eksklusif selama 6 bulan.

d. Meningkatkan gizi buruk

Pemberian susu formula yang encer untuk menghemat

pengeluaran dapat mengakibatkan kekurangan gizi dan berakibat pada

gizi buruk karena asupan yang kurang pada bayi. Secara tidak

langsung, kurang gizi juga akan terjadi jika anak sering sakit, terutama

mencret dan radang saluran pernapasan.

5. Langkah keberhasilan ASI Eksklusif

Untuk keberhasilan menyusui tidak diperlukan alat – alat khusus dan

biaya mahal, yang diperlukan hanyalah kesabaran, waktu, sedikit

pengetahuan tentang menyusui dan dukungan dari lingkungan terutama

suami. Ada beberapa langkah yang perlu dilaksanakan untuk membentu

ibu agar berhasil menyusui (Perinasia, 2014), yaitu:

a. Memberikan informasi yang benar tentang ASI

Informasi tentang ASI perlu diberikan kepada siapa saja dan

sedini mungkin agar terjadi lingkungan yang mendukung pemberian

ASI.
11

b. Tatalaksana di tempat bersalin yang mendukung ASI (Rumah Sakit

Sayang Bayi)

Setiap fasilitas yang memberikan pelayanan kesehatan ibu dan

perawatan bayi baru lahir seharusnya mempunyai pedoman tertulis

tentang menyusui yang mencakup perawatan calon ibu, ibu yang baru

melahirkan serta ibu yang menyusui. Tatalaksana yang menunjang

keberhasilan menyusui harus dilaksanakan.

c. Bayi segera diberikan kepada ibu

Reflek hisap bayi paling kuat adalah pada jam-jam pertama

setelah lahir, setelah itu bayi mengantuk. Bila bayi lahir tidak

bermasalah maka sesegera mungkin setelah lahir bayi diberikan

kepada ibunya untuk merangsang payudara.

1) Merawat bayi bersama ibunya (ada fasilitas rawat gabung)

2) Mengajakan teknik menyusui yang benar

3) Mengusahakan keberhasilan mmenyusui bagi ibu yang bekerja

Salah satu kendala mensukseskan program ASI Eksklusif adalah

meningkatnya tenaga kerja wanita, sedang cuti melahirkan hanya 12

minggu itupun 4 minggu harus diambil sebelum melahirkan. Hal ini

bisa diantisipasi dengan cara:

1) Cuti melahirkan diperpanjang sampai paling kurang 4 bulan untuk

ibu yang menyusui dengan jaminan gaji penuh selama cuti dan

pekerjaan masih tetap terbuka bila cuti selesai

2) Selama cuti, ibu hanya memberikan ASI jangan memperkenalkan

susu formula dengan alasan agar terbiasa bila ditinggal kerja.


12

3) Tempat bekerja disiapkan menjadi “mother-friendly working

place” dimana fasilitas untuk memerah dan menyimpan ASI.

4) Bila fasilitas mengizinkan disediakan tempat penitiapan bayi.

d. Menyediakan fasilitas menyusui ditempat umum

Masyarakat kita masih sungkan untuk menyusui di depan umum.

Agar bayi tidak terganggu menyusu maka perlu disediakan fasilitas

menyusui di tempat umum misalnya stasiun, kereta api, bandara, mall

dan sebagainya.

e. Memilih tenaga kesehatan yang mendukung pemberian ASI Eksklusif.

f. Mencari ahli persoalan menyusui seperti klinik laktasi dan atau

konsultasi laktasi untuk persiapan apabila kita menemui kesukaran.

g. Menciptakan suatu sikap yang positif tentang ASI da menyusui.

6. Faktor – faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan atau kegagalan

pemberian ASI eksklusif

Pemberian ASI esklusif selama enam bulan pada kenyataannya tidak

sesederhana yang dibayangkan. Berbagai kendala dapat timbul dalam

upaya memberikan ASI eksklusif selama enam bulan pertama kehidupan

bayi. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemberian ASI eksklusif

dibedakan menjadi tiga, yaitu 1) faktor pemudah (predisposing factors)

meliputi pendidikan, pengetahuan, tradisi dan kepercayaan masyarakat,

pekerjaan 2) faktor pendorong (reinforcing factors) meliputi dukungan

suami, dukungan petugas kesehatan 3) faktor pendukung (enabling

factors) meliputi pendapatan keluarga, ketersediaan waktu, kesehatan ibu,

seperti diungkapkan dalam teori Lawrence Green.


13

B. Tinjauan Umum tentang Susu Formula

1. Pengertian susu formula

Susu formula merupakan susu sapi yang susunan nutrisinya diubah

sedemikian rupa hingga dapat diberikan kepada bayi tanpa memberikan

efek samping (Khasanah, 2015). Susu formula bayi adalah cairan atau

bubuk dengan formula tertentu yang diberikan pada bayi dan anak-anak.

Mereka berfungsi sebagai pengganti ASI. Susu formula memiliki peran

penting dalam makanan bayi karena seringkali bertindak sebagai satu-

satunya sumber gizi bagi bayi. Oleh karena itu, komposisi susu formula

yang diperdagangkan dikontrol degan hati-hati dan FDA (Food and Drugs

Association/ Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika) mensyaratkan

produk ini harus memenuhi standar ketat tertentu (Nirwana, 2014).

2. Kandungan susu formula

a. Lemak

Kadar lemak yang disarankan dalam susu formula adalah antara

2,7-4,1 gr tiap 100 ml. Komposisi asam lemaknya harus sedemikian

rupa sehingga bayi umur 1 bulan dapat menyerap sedikitnya 85%

lemak yang terdapat dalam susu formula.

b. Protein

Kadar protein dalam susu formula harus berkisar antara 1,2-1,9

gr tiap 100 ml. Pemberian protein yang terlalu tinggi dapat

menyebabkan tingginya kadar ureum, amoniak, serta asam amino

tertentu dalam darah.


14

c. Karbohidrat

Kandungan karbohidrat yang disarankan untuk susu formula,

yaitu antara 5,4-8,2 gr tiap 100 ml. Dianjurkan supaya sebagian

karbohidrat hanya atau hampir seluruhnya memakai laktosa,

selebihnya glukosa atau maltose.

d. Mineral

Kandungan sebagian besar mineral dalam susu sapi lebih tinggi

3-4 kali dibandingkan dengan yang terdapat dalam ASI.

e. Vitamin

Biasanya, berbagai vitamin ditambahkan pada pembuatan

formula hingga dapat mencukupi kebutuhan sehari-harinya.

f. Kandungan zat tambahan

Salah satu zat tambahan yang ada di dalam susu formula adalah

DHA. Penambahan ini diperbolehkan karena zat tersebut merupakan

zat-zat mikro dan penambahannya pun harus mengikuti standar yang

berlaku (Khasanah, 2015).

3. Kelemahan susu formula

a. Kandungan susu formula tidak selengkap ASI

Susu formula (susu sapi) tidak mengandung DHA seperti halnya

ASI sehingga tidak bisa membantu meningkatkan kecerdasan bayi.

Terdapat lebih dari 100 jenis zat gizi yang terdapat dalam ASI antara

lain DHA, tauri, dan spingomyelin yang tidak terdapat dalam susu sapi

(Khasanah, 2015).
15

b. Mudah tercemar

Pembuatan susu formula sering mudah tercemar oleh bakteri,

terlebih bila ibu menggunakan botol, dan tidak merebusnya setiap

selesai memberi susu. Hal ini karena bakteri tumbuh sangat cepat pada

susu formula sehingga berbahaya bagi bayi sebelum susu tercium basi.

c. Diare dan sering muntah

Pengenceran susu formula yang kurang tepat dapat mengganggu

pencernaan bayi, sedangkan susu yang terlalu kental dapat membuat

usus bayi sulit mencerna, sehingga sebelum dicerna, susu akan

dikeluarkan kembali lewat anus yang mengakibatkan bayi mengalami

diare. Meskipun tidak membahayakan, diare bisa menyebabkan

dehidrasi atau kekurangan cairan.

d. Infeksi

Susu sapi tidak mengandung sel darah putih hidup dan antibody

untuk melindungi tubuh terhadap infeksi. Selain itu, proses penyiapan

susu formula yang kurang streril juga bisa menyebabkan bakteri

mudah masuk. Bayi yang diberi susu formula lebih sering sakit diare

dan infeksi saluran pernapasan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

bayi yang mendapat susu botol empat kali lebih banyak menderita

diare dibandingkan bayi yang mendapat ASI.

e. Obesitas

Suatu penelitian pernah membandingkan pola pertumbuhan

normal antara bayi yang diberi ASI dengan susu formula. Hasil yang

didapatkan pada beberapa bulan pertama didapatkan bukti sebagai

berikut:
16

1) Bayi yang diberi ASI dan yang diberi susu formula memiliki pola

pertumbuhan yang sama pada beberapa bulan pertama

2) Pada usia 4-6 bulan, bayi yang diberi susu formula mengalami

kenaikan berat badan yang cenderung lebih cepat dibanding bayi

yang diberi ASI setelah 6 bulan pertama, bayi yang mendapat ASI

cenderung lebih ramping dibanding dengan bayi yang diberi susu

formula

Kelebihan berat badan pada bayi yang mendapatkan susu

formula diperkirakan karena kelebihan air dan komposisi lemak tubuh

yang berbeda dibanding bayi yang mendapat ASI.

f. Pemborosan

Pemberian susu formula secara tidak langsung juga menambah

anggaran untuk membeli susu formula. Hal ini tidak akan jadi masalah

ketika ibu berasal dari keluarga menengah ke atas. Akan tetapi, ia yang

berasal dari keluarga ekonomi lebih mungkin tidak mampu membeli

cukup susu untuk bayinya.

Dampaknya, ia mungkin memberikan susu formula dalam

jumlah sedikit atau menaruh susu formula dalam jumlah yang sedikit

ke dalam botol. Sebagai akibatnya, bayi yang diberi susu formula

sering kelaparan dan kekurangan gizi (Khasanah, 2015).

g. Kekurangan vitamin dan zat besi

Susu sapi tidak mengandung vitamin yang cukup untuk bayi. Zat

besi dari susu sapi juga tidak diserap sempurna seperti zat besi dari

ASI. Bayi yang diberi susu formula bisa terkena anemia karena

kekurangan zat besi.


17

h. Terlalu banyak garam

Susu sapi mengandung garam terlalu banyak yang kadang-

kadang menyebabkan hypernatremia (terlalu banyak garam dalam

tubuh) dan kejang, terutama bila bayi terkena diare. Selain itu, kadar

garam yang tinggi akan memperberat kerja ginjalnya.

i. Lemak yang tidak cocok

Susu sapi lebih banyak mengandung asam lemak jenuh

dibanding ASI. Untuk pertumbuhan bayi yang sehat asam lemak tak

jenuh sangat diperlukan. Susu sapi tidak mengandung asam lemak

esensial dan asam linoleat yang cukup sehingga kemungkinan juga

tidak mengandung kolesterol yang cukup bagi pertumbuhan otaknya.

j. Protein yang tidak cocok

Susu sapi mengandung terlalu banyak protein kasein karena

kasein mengandung campuran asam amino yang tidak cocok dan sulit

dikeluarkan oleh ginjal bayi yang belum sempurna.

k. Sulit dicerna

Susu sapi lebih sulit dicerna karena tidak mengandung enzim

untuk membantu pencernaan zat gizi karena susu sapi lambat dicerna

sehingga lebih lama mengisi lambung bayi ketimbang ASI.

l. Alergi

Bayi yang diberi susu sapi terlalu dini mungkin menderita lebih

banyak masalah alergi, misalnya asma dan eksim. Sistem kekebalan

tubuh bayi akan melawan protein yang terdapat dalam susu sapi

sehingga gejala-gejala reaksi alergi pun akan muncul.


18

4. Kondisi yang dibenarkan bayi diberikan susu formula

Menurut Khasanah (2015), ada beberapa bagian keadaan yang tidak

memungkinkan ibu untuk menyusui bayinya antara lain sebagai berikut :

a. Berhubungan dengan kesehatan ibu. Seperti ibu yang menderita sakit

tertentu (kanker atau jantung, Hb rendah) dan ibu yang menderita

HIV/AIDS dan hepatitis B.

b. Air susu ibu tidak keluar sama sekali sehingga satu-satunya makanan

yang dapat menggantikan ASI adalah susu sapi

c. Ibu meninggal sewaktu melahirkan atau bayi masih memerlukan ASI

d. ASI keluar, tetapi jumlahnya tidak cukup untuk memenuhi bayi

sehingga perlu tambahan seperti susu formula

e. Ibu kecanduan narkotika dan zat adiktif lainnya atau (NAPZA)

f. Adanya anggapan bayinya menolak atau diare karena minum ASI dan

sebagainya, meskipun kasus ini jarang terjadi.

C. Tinjauan Umum tentang Ikterus Neonatorum

1. Pengertian ikterus neonatorum

Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai

oleh pewarnaan kuning pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin

tak terkonjugasi yang berlebih. Ikterus secara klinis akan mulai tampak

pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah 5-7 mg/dL.

Hiperbilirubinemia adalah istilah yang dipakai untuk ikterus neonatorum

setelah ada hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan kadar

serum bilirubin. Hiperbilirubinemia didefinisikan sebagai kadar bilirubin

serum total ≥5 mg/dL (Jitowiyono, 2015).


19

Ikterus pada bayi baru lahir, suatu tanda umum masalah yang

potensial, terutama disebabkan oleh bilirubin tidak terkonjugasi, produk

pemecahan sel hemoglobin (Hb) setelah lepas dari sel-sel darah merah

yang telah dihemolisis. Ikterus atau warna kuning sering dijumpai pada

bayi baru lahir dalam batas normal pada hari kedua sampai ketiga dan

menghilang pada hari kesepuluh. Oleh karena itu, bayi menjelang pulang

dan terjadi ikterus harus mendapat perhatian karena mungkin sifatnya

patologis (Bobak, 2015).

2. Etiologi

Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun

dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar etiologi ikterus

neonatorum dapat dibagi sebagai berikut (Hasan, 2016):

a. Produksi yang berlebihan

Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya,

misalnya pada hemolisis yang meningkat pada inkomptabilitas darah

Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi enzim glukosa fosfat

dehidrogenase (G6PD), piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.

b. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar

Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya

substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat

asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukorinil

transferase. Penyebab lain ialah defisiensi protein Y dalam hepar yang

berperan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar.


20

c. Gangguan transportasi

Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat

ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh

obat-obatan misalnya salisilat, sulfafurazole. Defisiensi albumin

menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas

dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.

d. Gangguan dalam ekskresi

Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di

luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan

bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan

hepar oleh penyebab lain.

3. Klasifikasi ikterus

a. Ikterus fisiologis

Ikterus fisiologis adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan

hari ketiga yang tidak mempunyai dasar patologik, kadarnya tidak

melewati kadar yang membahayakan atau yang mempunyai potensi

menjadi kern ikterus dan tidak menyebabkan suatu morbiditas pada

bayi (Marmi, 2015). Dalam keadaan normal, kadar bilirubin indirek

dalam serum tali pusat adalah sebesar 1-3 mg/dL dan akan meningkat

dengan kecepatan kurang dari 5 mg/dL/24 jam. Dengan demikian

ikterus dapat dilihat pada hari ke-2 dan ke-4 dengan kadar 5-6 mg/dL

dan menurun sampai di bawah 2 mg/dL antara umur 5 dan 7 hari

kehidupan. Ikterus akibat perubahan ini dinamakan ikterus fisiologis

dan diduga sebagai akibat hancurnya sel darah merah janin yang
21

disertai pembatasan sementara pada konjugasi dan ekskresi bilirubin

oleh hati.

Pada bayi prematur kenaikan bilirubin serum cenderung sama

atau sedikit lebih lambat daripada kenaikan bilirubin pada bayi cukup

bulan tetapi jangka waktunya lebih lama, yang biasanya

mengakibatkan kadar yang lebih tinggi, puncaknya dicapai antara hari

ke-4 dan ke-7, pola yang akan diperlihatkan bergantung pada waktu

yang diperlukan oleh bayi preterm mencapai pematangan mekanisme

metabolisme ekskresi bilirubin. Kadar puncak sebesar 8-12 mg/dL

tidak dicapai sebelum hari ke-5 sampai ke-7 dan kadang-kadang

ikterus ditemukan setelah hari ke-10. Diagnosis ikterus fisiologis pada

bayi aterm atau preterm dapat ditegakkan dengan menyingkirkan

penyebab ikterus berdasarkan anamnesis dan penemuan klinik dan

laboratorium (Green, 2014). Pola ikterus fisiologis ini bervariasi sesuai

faktor-faktornya. Sebagai contoh, bayi ras Cina cenderung untuk

memiliki kadar puncak bilirubin maksimum pada hari ke 4 dan 5

setelah lahir. Faktor yang berperan pada munculnya ikterus fisiologis

pada bayi baru lahir meliputi peningkatan bilirubin karena polisitemia

relatif, pemendekan masa hidup eritrosit (pada bayi 80 hari

dibandingkan dewasa 120 hari), proses ambilan dan konjugasi di hepar

yang belum matur dan peningkatan sirkulasi enterohepatik.

b. Ikterus patologis (hiperbilirubinemia)

Ikterus patologis terjadi ketika kadar bilirubin total meningkat

lebih dari 5 mg/dL/hari, melebihi 12 mg/dL pada bayi cukup bulan

atau 10 hingga 14 mg/dL pada bayi kurang bulan dan menimbulkan


22

ikterus yang nyata dalam 24 jam pertama setelah kelahiran. Bilirubin

tak terkonjugasi sangat toksik bagi neuron. Oleh sebab itu, bayi yang

mengalami hiperbilirubinemia berat berisiko tinggi mengalami kern

ikterus (ensefalopati bilirubin) (Green, 2014). Pengamatan dan

penelitian di RSCM Jakarta menunjukkan bahwa dianggap

hiperbilirubinemia apabila:

1) Ikterus terjadi pada 24-36 jam pertama

2) Peningkatan konsentrasi bilirubin >5 mg/dL/24 jam

3) Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg/dL pada neonatus

kurang bulan dan 12,5 mg/dL pada neonatus cukup bulan

4) Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah,

defisiensi enzim G6PD dan sepsis)

5) Ikterus yang disertai keadaan sebagai berikut:

a) Berat lahir kurang dari 2000 gram

b) Masa gestasi kurang dari 36 minggu

c) Asfiksia, hipoksia, sindrom gangguan pernafasan

d) Infeksi

e) Trauma lahir pada kepala

f) Hipoglikemia, hiperkarbia

c. Bilirubin encephalopathy dan kern ikterus

Istilah bilirubin encephalopathy lebih menunjukkan kepada

manifestasi klinis yang timbul akibat toksis bilirubin pada sistem saraf

pusat yaitu basal ganglia dan pada berbagai nuklei batang otak.

Keadaan ini tampak pada minggu pertama sesudah bayi lahir dan

dipakai istilah akut bilirubin encephalopathy. Sedangkan kern ikterus


23

adalah perubahan neuropatologi yang ditandai oleh deposisi pigmen

bilirubin pada beberapa daerah di otak terutama di ganglia basalis,

pons dan sereblum. Kern ikterus digunakan untuk keadaan klinis yang

kronik dengan sekuele yang permanen karena toksik bilirubin. Kern

ikterus terjadi pada 1/3 kasus dengan penyakit hemolisis dan kadar

bilirubin >25-30 mg/dL yang tidak mendapat pengobatan. Onset

biasanya pada bayi umur 1 minggu dan dapat juga pada umur 2-3

minggu. Bayi dengan masa gestasi yang makin kurang maka bayi

makin suseptibel untuk mengalami kern ikterus.

4. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan ikterus neonatorum adalah sebagai berikut

(Purnamaningrum, 2014):

a. Ikterus fisiologis

1) Ikterus fisiologis tidak memerlukan penanganan khusus, kecuali

pemberian minum sedini mungkin dengan jumlah cairan dan kalori

yang cukup. Pemberian minum sedini mungkin menyebabkan

bakteri diintroduksi ke usus. Bakteri dapat mengubah bilirubin

direk menjadi urobilin yang tidak dapat diabsorbsi kembali,

sehingga kadar bilirubin serum akan turun.

2) Orangtua harus diajari menjemur bayi di bawah sinar matahari

selama 15-20 menit setiap hari pada rentang pukul 06.30 sampai

08.00.

3) Ikterus fisiologis tidak memerlukan penanganan khusus dan dapat

dirawat jalan dengan nasehat untuk kunjungan ulang setelah tujuh

hari. Jika bayi tetap kuning maka lakukan penilaian lengkap.


24

4) Apabila ikterus makin meningkat intensitasnya, harus segera

dicatat dan dilaporkan karena mungkin diperlukan penanganan

khusus.

b. Ikterus patologis

1) Tujuan primer penanganan hiperbilirubin adalah mencegah

ensefalopi bilirubin.

2) Fototerapi

Dilakukan sesuai anjuran dokter, diberikan pada neonatus

dengan kadar bilirubin indirek lebih dari 10 mg%. Fototerapi

adalah terapi untuk menurunkan kadar bilirubin serum pada

neonatus dengan hiperbilirubinemia jinak sampai moderat. Dengan

fototerapi maka akan terjadi isomerisasi bilirubin indirek yang

mudah larut dalam plasma dan lebih mudah diekskresikan oleh hati

dalam saluran empedu. Foto bilirubin yang meningkat di dalam

empedu ke dalam usus sehingga peristaltik usus meningkat dan

bilirubin akan lebih cepat meninggalkan usus. Energi dari sinar

fototerapi akan mengubah senyawa bilirubin menjadi senyawa

bilirubin yang bentuk isomernya mudah larut dalam air.

3) Transfusi tukar

Digunakan untuk mengurangi kadar bilirubin indirek,

mengganti eritrosit yang dapat di hemolisis, membuang antibodi

yang menyebabkan hemolisis dan mengoreksi anemia. Transfusi

tukar adalah penggantian darah sirkulasi neonatus dengan darah

darah dari donor dengan cara mengeluarkan darah neonatus dan

memasukkan darah donor secara berulang dan diganti sama dengan


25

yang dikeluarkan. Penggantian darah ini dapat mencapai 75-85%

dari jumlah darah neonatus.

D. Tinjauan Umum tentang Bilirubin

1. Pengertian bilirubin

Bilirubin merupakan pigmen empedu yang dihasilkan melalui

pemecahan sel darah merah yang terbentuk dari degradasi sel darah merah

pada sel retikuloendotelial yang beredar dalam plasma. Kemudian diambil

oleh sel-sel hati dan dikonjugasikan menjadi bilirubin diglukuronid

(Dorland, 2015). Bilirubin adalah hasil pemecahan sel darah merah. Salah

satu komponen sel darah merah adalah hemoglobin. Satu gram

hemoglobin akan menghasilkan 35 mg bilirubin (Murray, 2014).

2. Pembentukan bilirubin

Pembentukan bilirubin berlangsung terutama di hati. Pembentukan

ini dapat dibagi menjadi tiga proses yaitu penyerapan bilirubin oleh sel

parenkim hati, konjugasi bilirubin dengan glukuronat di retikulum

endoplasma dan sekresi bilirubin terkonjugasi ke dalam empedu (Murray,

2014). Proses yang pertama adalah biliverdin dibentuk dari heme dengan

bantuan enzim heme oksigenase yang merupakan enzim yang sebagian

besar terdapat dalam sel hati dan beberapa organ lain. Pada proses ini juga

terbentuk besi yang akan digunakan kembali untuk pembentukan

hemoglobin dan karbonmonoksida yang dieksresikan ke dalam paru.

Selanjutnya biliverdin akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim

biliverdin reduktase (Kosim, 2014).


26

Biliverdin bersifat larut dalam air dan diubah langsung menjadi

bilirubin melalui reaksi bilirubin reduktase, sedangkan bilirubin bersifat

lipofilik dan terikat dengan hidrogen dan pada PH normal bersifat tidak

larut. Mekanisme transport dan eliminasi sangat diperlukan dalam

mengekskresikan bilirubin. Pada bayi yang baru dilahirkan, sebanyak 75%

bilirubin diproduksi dari katabolisme heme haemoglobin dari eritrosit

sirkulasi. Satu gram hemoglobin akan menghasilkan sebanyak 34

mgbilirubin dan sisanya sekitar 25% disebut juga dengan early labelled.

Bilirubin ini berasal dari pelepasan hemoglobin karena eritropoesis yang

tidak efektif didalam sumsum tulang, jaringan yang mengandung protein

heme seperti mioglobin, sitokrom, katalase, peroksidase, dan heme bebas.

Pada bayi baru lahir akan memproduksi bilirubin 8-10 mg/kgbb/hari,

sedangkan pada orang dewasa sekitar 3-4 mg/kgbb/hari. Peningkatan

kadar bilirubin pada bayi baru lahir disebabkan karena masa hidup eritrosit

bayi relatif lebih pendek yaitu 70-90 hari, sedangkan pada orang dewasa

selama 120 hari. Faktor lain yang memengaruhi peningkatan kadar

bilirubin pada bayi baru lahir adalah degradasi heme, turn over sitokrom

yang meningkat dan juga reabsorbsi bilirubin dari usus yang meningkat

disebut juga dengan sirkulasi enterohepatik (Kosim, 2014).

3. Transportasi bilirubin

Pembentukan bilirubin terjadi di sistem retikuloendotelial yang

selanjutnya akan dilepaskan ke sirkulasi dan akan berikatan dengan

albumin. Bayi baru lahir mempunyai kapasitas ikatan plasma yang rendah

terhadap bilirubin karena konsentrasi albumin yang rendah dan kurangnya

kapasitas ikatan molar. Bilirubin yang terikat pada albumin serum ini
27

merupakan zat non polar dan tidak larut dalam air. Bilirubin ini akan

ditransport ke sel hepar. Bilirubin yang terikat dengan albumin tidak dapat

memasuki susunan saraf pusat. Selain itu, albumin mempunyai afinitas

yang tinggi terhadap obat-obatan yang bersifat asam seperti penisilin dan

sulfonamid. Obat-obatan yang dapat melepaskan bilirubin dari albumin

dengan cara menurunkan afinitas albumin adalah digoksin, gentamisin,

dan furosemid (Kosim, 2014).

Menurut Kosim (2014), ikatan bilirubin pada bayi prematur akan

lebih lemah yang pada dasarnya merupakan komplikasi dari hipoalbumin,

hipoksia, hipoglikemi, asidosis, hipotermia, hemolisis, dan septikemi. Hal

ini akan mengakibatkan peningkatan jumlah bilirubin bebas dan juga

menyebabkan nerotoksisitas. Bilirubin dalam serum terbagi atas 4 bentuk

yang berbeda, yaitu:

a. Bilirubin tak terkonjugasi yang terikat dengan albumin

b. Bilirubin bebas

c. Bilirubin terkonjugasi yang dieksresikan melalui ginjal atau sistem

bilier

d. Bilirubin terkonjugasi yang terikat dengan albumin serum

Pada keadaan kompleks bilirubin dan albumin akan mencapai

membran plasma hepatosit, albumin terikat ke reseptor permukaan sel.

Kemudian bilirubin ditransport melalui sel membran yang terikat dengan

ligandin (protein Y) dan protein ikatan sitosolik lainnya (Kosim, 2014).


E. Penelitian Terkait

Tabel 2.1 Penelitian terkait


Analisis PICOT
No Judul/Peneliti/Lokasi Desain
Patient Intervention Comparison Outcomes
Penelitian
1 Pengaruh Pemberian Penelitian ini Seluruh bayi baru Pengumpulan Hasil penelitian ini
ASI Awal terhadap merupakan lahir yang dilahirkan data menunjukkan bahwa
Kejadian Ikterus Pada penelitian case secara normal pada menggunakan terdapat pengaruh antara
control bulan Maret-Mei 2016 data yang ada di pemberian
Bayi Baru Lahir 0-7
yang persalinannya rekam medis ASI awal terhadap
Hari ditolong oleh bidan di kejadian ikterus pada bayi
Yanti Herawati (2017) RSUD Cicalengka. baru lahir 0-7 hari.
Jumlah populasi pada
6 bulan terakhir
adalah sebanyak 206
bayi, dalam penelitian
ini peneliti mengambil
jumlah sampel
sebanyak 46
responden
2 Pengaruh Pemberian Metode Jumlah populasi 20 Pengumpulan Hasil penelitian
Air Susu Ibu dan penelitian orang, pengambilan data dilakukan menunjukkan bahwa
Fototerapi terhadap adalah sampel dilakukan dengan cara sebanyak 13 responden
retrospektif dengan teknik total observasi di (31,7%) dilakukan
Ikterus Neonatorum di
yaitu sampling, sehingga RSUD Pasaman pemberian ASI, sebanyak
Ruang Perinatologi melakukan besar sampel adalah Barat. 63,4% dilaksanakan
RSUD Pasaman Barat penelitian 20 orang Pendekatan yang fototerapi dan Sebanyak
terhadap digunakan adalah 24,4% responden

28
29

Yulia M. Nur (2020) kejadian yang cross sectional mengalami ikterus


telah lampau yaitu neonatorum. Berdasarkan
pengambilan data analisis bivariat
independen dan didapatkan p value 0,049
dependen (Pemberian
dilakukan pada ASI) dan 0,001
saat yang (Fototerapi). Berdasarkan
bersamaan. Data hasil uji Chi Square
yang telah disimpulkan terdapat
dikumpulkan pengaruh
kemudian diolah pemberian ASI dan
secara manual fototerapi terhadap
dan dianalisis kejadian ikterus
secara neonatorum
komputerisasi
dengan analisa
univariat dan
bivariat
3 Hubungan Frekuensi Desain Cara pengambilan Pengumpulan Hasil penelitian ini
Pemberian ASI penelitian sampel dalam data menunjukkan bahwa Lebih
terhadap Kejadian penelitian ini penelitian ini adalah menggunakan dari separoh ibu (56,1%)
adalah dengan cara total data yang ada di memberikan ASI kurang
Ikterus Fisiologis
Deskriptif sampling yaitu rekam medis dari 8 kali sehari Lebih
Pada Bayi Baru Lahir Analitik dengan semua dijadikan dari separoh bayi (61,0%)
di Semen Padang pendekatan sampel. Sampel dalam mengalami kejadian
Hospital Tahun 2017 Cross penelitian ini adalah ikterus fisologis. Terdapat
Delvi Dasnur (2018) Sectional bayi dengan umur 4 hubungan yang bermakna
Study. Cross- hari, antara frekuensi pemberian
30

Sectional Study sebanyak 41 bayi ASI dengan kejadian


adalah jenis ikterus fisologis pada bayi
penelitian yang dengan p-value 0,026di
menekankan Semen Padang Hospital
pada waktu tahun 2017.
pengukuran
atau observasi
data variabel
independen dan
dependen
hanya satu kali,
pada satu
saat
BAB III

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

A. Kerangka Konsep

Kerangka konsep merupakan uraian tentang hubungan atau kaitan

antara konsep-konsep yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian yang

telah dilakukan. Kerangka konsep ini terdiri dari variabel-variabel serta

hubungan variabel yang satu dengan yang lain (Notoatmodjo, 2014). Untuk

mengetahui keterkaitan variabel yang akan diteliti, yaitu perbandingan

pemberian ASI eksklusif dan susu formula terhadap penurunan kadar bilirubin

pada bayi ikterus neonatorum fisiologi di RSUD I Lagaligo Wotu Kabupaten

Luwu Timur akan digambarkan dalam kerangka penelitian sebagai berikut:

Pemberian Pemberian
ASI eksklusif susu formula

Penurunan
kadar bilirubin
bayi ikterus
neonatorum

Gambar 3.1 Kerangka konsep

Keterangan:

: Variabel Independen

: Variabel Dependen

31
32

B. Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini, yaitu:

1. H1: Ada perbedaan pemberian ASI eksklusif dan susu formula terhadap

penurunan kadar bilirubin pada bayi ikterus neonatorum fisiologi di RSUD

I Lagaligo Wotu Kabupaten Luwu Timur.

2. H0: Tidak ada perbedaan pemberian ASI eksklusif dan susu formula

terhadap penurunan kadar bilirubin pada bayi ikterus neonatorum fisiologi

di RSUD I Lagaligo Wotu Kabupaten Luwu Timur.


BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian komperatif non eksperimental

dengan rancangan prospektif yang bertujuan untuk mengeksplorasi dan

mendiskripsikan tentang perubahan nilai kadar bilirubin pada tiap kelompok

dengan pemberian cairan yang berbeda.

B. Populasi, Sampel dan Sampling

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan sumber data yang diperlukan dalam

suatu penelitian (Saryono, 2015). Populasi dalam penelitian ini adalah

semua bayi ikterus neonatorum fisiologi di RSUD I Lagaligo sebanyak 14

bayi.

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang akan diteliti (Hidayat,

2015). Sampel dalam penelitian ini yaitu bayi ikterus neonatorum fisiologi

di RSUD I Lagaligo sebanyak 14 bayi, terdiri dari 7 bayi yang diberikan

ASI eksklusif dan 7 bayi yang diberikan susu formula.

3. Sampling

Sampling adalah suatu cara yang ditetapkan peneliti untuk

menentukan atau memilih sejumlah sampel dari populasinya (Dharma,

2014). Pada penelitian ini sampel diambil menggunakan total sampling

yakni jumlah sampel yang diambil sama dengan jumlah populasi yang ada.

33
34

C. Variabel Penelitian

Variabel yang terlibat dalam penelitian ini ada dua, yaitu :

1. Variabel independen (bebas)

Variabel independen adalah variabel yang nilainya menentukan

variabel lain. Variabel independen dalam penelitian ini adalah pemberian

ASI eksklusif dan pemberian susu formula.

2. Variabel dependen (terikat)

Variabel dependen adalah variabel yang nilainya ditentukan oleh

variabel independen. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kadar

bilirubin bayi ikterus neonatorum fisiologi.

D. Definisi Operasional

Tabel 4.1 Definisi operasional perbandingan pemberian ASI eksklusif dan


susu formula terhadap penurunan kadar bilirubin pada bayi ikterus
neonatorum fisiologi di RSUD I Lagaligo Wotu Kabupaten Luwu
Timur

Variabel Definisi operasional Alat ukur Hasil ukur Skala


ukur
Pemberian Memberikan ASI kepada Kuisioner 1. Eksklusif Nominal
ASI eksklusif bayi tanpa memberi 2. Tidak
tambahan cairan lain eksklusif
seperti susu formula,
jeruk, madu, air teh,
bahkan air putih
sekalipun dan makanan
padat lain, seperti pisang,
pepaya, bubur susu,
biskuit, bubur nasi, tim,
dan lain – lain sampai
bayi tersebut berusia 6
bulan.
Pemberian Memberikan cairan atau Kuisioner 1. Iya Nominal
Susu formula bubuk dengan formula 2. Tidak
tertentu yang diberikan
pada bayi dan anak-anak
yang berfungsi sebagai
pengganti ASI
35

Kadar Kadar pemecahan sel Observasi 1 mg/dl-25 Rasio


bilirubin darah merah yang rekam mg/dl
tercatat di rekam medik medis

E. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di RSUD I Lagaligo Kabupaten Luwu

Timur.

F. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2021 sampai dengan

Januari 2022.

G. Instrumen Penelitian

Untuk memperoleh informasi dari responden peneliti menggunakan alat

pengumpul data berupa kuisioner yang terdiri dari 4 bagian yaitu: data

demografi bayi, pemberian ASI eksklusif, pemberian susu formula dan kadar

bilirubin bayi ikterus neonatorum.

H. Prosedur Pengumpulan Data

1. Pengumpulan data

a. Data primer yaitu sumber data yang diperoleh langsung dari sumber

asli (tidak melalui media perantara). Peneliti mengambil data primer

melalui metode survey dan observasi.

b. Data sekunder yaitu sumber data penelitian yang diperoleh peneliti

secara tidak langsung melalui media perantara (diperoleh dan dicatat

oleh pihak lain). Peneliti mengambil data sekunder dari berbagai

referensi buku dan internet.


36

Sebelum melakukan pengumpulan data terlebih dahulu peneliti

meminta izin kepada Direktur RSUD I Lagaligo untuk melakukan

penelitian di rumah sakit tersebut. Setelah mendapat izin, peneliti

melakukan observasi kepada bayi yang dijadikan sebagai responden.

Dimana pada saat pengisian kuisioner, peneliti menjelaskan petunjuk

pengisian data yang kurang dimengerti. Kuisioner yang telah diisi,

kemudian dikumpulkan dan dicek oleh peneliti untuk diolah dan dianalisis.

2. Pengolahan data

Sebelum melakukan analisis data terlebih dahulu data harus diolah

dengan tujuan mengubah data menjadi informasi. Dalam proses

pengolahan data terdapat langkah-langkah yang harus ditempuh oleh

peneliti, yaitu:

a. Seleksi

Seleksi yaitu upaya untuk memilih populasi yang akan dijadikan

sampel dalam penelitian. Sampel diambil untuk mewakili populasi

yang ada sehingga data dapat memberikan makna.

b. Editing

Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data

yang diperoleh atau dikumpulkan. Editing dapat dilakukan pada tahap

pengumpulan data atau setelah data terkumpul.

c. Coding

Coding merupakan kegiatan pembagian kode numerik (angka)

terhadap data yang terdiri atas beberapa kategori. Pemberian kode ini

sangat penting karena pengolahan dan analisa data dalam penelitian ini

menggunakan komputer.
37

d. Data entry

Data entry adalah kegiatan memasukkan data yang telah

dikumpulkan ke dalam master tabel, kemudian peneliti membuat

distribusi frekuensi sederhana.

I. Analisis Data

Dalam melakukan analisis, khususnya terhadap data penelitian akan

menggunakan ilmu statistik terapan yang disesuaikan dengan tujuan yang

hendak dianalisis. Pada penelitian ini, data yang telah terkumpul dianalisis

dengan teknik analisis univariat (satu variabel) dan bivariat (dua variabel).

1. Analisa univariat

Analisa univariat bertujuan untuk memperlihatkan atau menjelaskan

distribusi frekuensi dari variabel independen dan variabel dependen.

2. Analisa bivariat

Analisa data ditujukan untuk menjawab tujuan penelitian dan

menguji hipotesis penelitian untuk mengetahui adanya hubungan variabel

independen terhadap variabel dependen dengan menggunakan sistem

komputerisasi SPSS dan diolah menggunakan Mann-Whitney Test dimana

hipotesa diterima dengan tingkat kemaknaan p – value < 0,05 (ada

perbedaan).

J. Etika Penelitian

Masalah etika penelitian merupakan masalah yang sangat penting dalam

penelitian, mengingat penelitian ini berhubungan langsung dengan manusia,

maka segi etika penelitian harus senantiasa diperhatikan (Hidayat, 2015),

seperti:
38

1. Lembar persetujuan menjadi responden (informed consent)

Lembar persetujuan diberikan kepada subjek yang akan diteliti.

Peneliti menjelaskan maksud dan tujuan dari penelitian yang akan

dilakukan serta dampak yang mungkin terjadi selama dan sesudah

pengumpulan data. Jika calon responden bersedia untuk diteliti, maka

mereka harus menandatangani lembar persetujuan. Bila calon responden

menolak, maka peneliti tidak boleh memaksa dan tetap menghormati

haknya.

2. Tanpa nama (anonimity)

Kerahasiaan responden harus selalu terjaga. Untuk menjaga

kerahasiaan tersebut, peneliti tidak akan mencantumkan nama responden,

pada lembar pengumpulan data dan pada lembar kuisioner, cukup

diberikan kode tertentu sebagai identifikasi subjek.

3. Kerahasiaan (confidentiality)

Masalah ini merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan

kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah

lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaan

oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada

hasil riset.

4. Menghormati harkat dan martabat manusia (respect for human dignity).

5. Menghormati privasi dan kerahasiaan subyek penelitian (respect for

privacy and confidentiality).

6. Menghormati keadilan dan inklusivitas (respect for justice and

inclusiveness).
39

7. Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (balancing

harms and benefits).


BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

1. Karakteristik Responden

Pemaparan karakteristik bayi ini akan diuraikan dalam data umum

meliputi jenis kelamin dan berat badan.

a. Bayi yang diberi ASI eksklusif

1) Jenis kelamin

Tabel 5.1
Distribusi Bayi Berdasarkan Jenis Kelamin
di RSUD I Lagaligo Wotu Tahun 2021
Jenis Kelamin f %
Laki-laki 5 71,4
Perempuan 2 28,6
Total 7 100
Sumber: data primer 2021

Pada tabel 5.1 menunjukkan bahwa bayi dengan jenis kelamin laki-

laki sebanyak 5 bayi (71,4%) dan bayi dengan jenis kelamin perempuan

sebanyak 2 bayi (28,6%).

2) Berat badan

Tabel 5.1
Distribusi Bayi Berdasarkan Berat Badan
di RSUD I Lagaligo Wotu Tahun 2021
Berat Badan f %
2000 – 2500 gram 1 14,3
2500 – 3000 gram 2 28,6
> 3000 gram 4 57,1
Total 7 100
Sumber: data primer 2021

40
41

Pada tabel 5.2 menunjukkan bahwa bayi dengan berat badan 2000-

2500 gram ada 1 bayi (14,3%), bayi dengan berat badan 2500-3000 gram

ada 2 bayi (28,6%) dan bayi dengan berat badan > 3000 gram ada 4 bayi

(57,1%).

b. Bayi yang diberi susu formula

1) Jenis kelamin

Tabel 5.3
Distribusi Bayi Berdasarkan Jenis Kelamin
di RSUD I Lagaligo Wotu Tahun 2021
Jenis Kelamin f %
Laki-laki 4 57,1
Perempuan 3 42,9
Total 7 100
Sumber: data primer 2021

Pada tabel 5.3 menunjukkan bahwa bayi dengan jenis kelamin laki-

laki sebanyak 4 bayi (57,1%) dan bayi dengan jenis kelamin perempuan

sebanyak 3 bayi (42,9%).

2) Berat badan

Tabel 5.4
Distribusi Bayi Berdasarkan Berat Badan
di RSUD I Lagaligo Wotu Tahun 2021
Berat Badan f %
2000 – 2500 gram 2 28,6
2500 – 3000 gram 3 42,8
> 3000 gram 2 28,6
Total 7 100
Sumber: data primer 2021

Pada tabel 5.4 menunjukkan bahwa bayi dengan berat badan 2000-

2500 gram ada 2 bayi (28,6%), bayi dengan berat badan 2500-3000 gram
42

ada 3 bayi (42,8%) dan bayi dengan berat badan > 3000 gram ada 2 bayi

(28,6%).

2. Variabel yang Diteliti

a. Analisa Univariat

1) Kadar bilirubin bayi yang diberi ASI eksklusif dan susu formula

sebelum fototerapi

Tabel 5.5
Kadar Bilirubin Bayi yang Diberi ASI Eksklusif dan Susu
Formula Sebelum Fototerapi di RSUD I Lagaligo Wotu
Tahun 2021
No ASI Eksklusif Susu Formula
1. 22,73 19,52
2. 13,89 13,9
3. 15,8 14,13
4. 14,57 14,47
5. 18,25 15,78
6. 20,18 13,6
7. 17,42 14,33
Rata-Rata 17,55 15,11
Sumber: data primer 2021

Pada tabel 5.5 menunjukkan bahwa rata-rata kadar bilirubin bayi

yang diberi ASI eksklusif sebesar 17,55 dan rata-rata kadar bilirubin

bayi yang diberi susu formula sebesar 15,11.


43

2) Kadar bilirubin bayi yang diberi ASI eksklusif dan susu formula

setelah fototerapi

Tabel 5.6
Kadar Bilirubin Bayi yang Diberi ASI Eksklusif dan Susu
Formula Setelah Fototerapi di RSUD I Lagaligo Wotu
Tahun 2021
No ASI Eksklusif Susu Formula
1. 14,24 8,6
2. 10,78 8,29
3. 14,32 6,4
4. 12,29 8,23
5. 14,45 9,05
6. 14,01 9,24
7. 13,06 8,29
Rata-Rata 13,31 8,3
Sumber: data primer 2021

Pada tabel 5.6 menunjukkan bahwa rata-rata kadar bilirubin bayi

yang diberi ASI eksklusif sebesar 13,31 dan rata-rata kadar bilirubin

bayi yang diberi susu formula sebesar 8,3.

b. Analisa bivariat

Tabel 5.7
Perbandingan Pemberian ASI Eksklusif dan Susu Formula
terhadap Penurunan Kadar Bilirubin pada Bayi Ikterus
Neonatorum Fisiologi di RSUD I Lagaligo Wotu
Kabupaten Luwu Timur
Test Statisticsa
Kadar Bilirubin
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 28.000
Z -3.134
Asymp. Sig. (2-tailed) .002
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .001b
a. Grouping Variable: Kelompok
b. Not corrected for ties.
44

Pada tabel 5.7 menunjukkan bahwa nilai signifikansi (p) yang

diperoleh = 0,002 < α = 0,05, berarti H0 ditolak dan Ha diterima

sehingga ada perbedaan pemberian ASI eksklusif dan susu formula

terhadap penurunan kadar bilirubin pada bayi ikterus neonatorum

fisiologi di RSUD I Lagaligo Wotu Kabupaten Luwu Timur.

B. Pembahasan

Peningkatan kadar bilirubin pada bayi baru lahir terjadi adanya fungsi

usus dan hati yang belum sempurna akibatnya banyak bilirubin yang tidak

terkonjugasi dan tidak terbuang dari tubuh dengan maksimal. Kurangnya

asupan makanan juga merupakan penyebab bayi ikterus, pada dua sampai tiga

hari pertama setelah kelahiran, kadang ASI ibu belum keluar sehingga bayi

menjadi kuning karena kekurangan asupan makanan.

Jenis kelamin merupakan salah satu faktor penyebab kejadian ikterus

noenaturum fisiologis. Pada penelitian ini jumlah bayi yang diberi ASI

Esklusif dimana laki-laki yang mengalami ikterus sejumlah 5 bayi sedangkan

pada perempuan sebanyak 2 bayi. Begitu juga pada bayi dengan pemberian

Non esklusif dimana laki-laki sebanyak 4 sedangkan pada bayi perempuan

terdapat 3 bayi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Tazzami

(2013) terdapat beberapa hal yang mempengaruhi bayi laki-laki memilki

resiko ikterus lebih tinggi dibandingkan dengan bayi perempuan dikarenakan

bayi laki-laki mengalami prevalensi Sindrom Gilbert (kelainan genetik

konjugasi bilirubin) dilaporkan lebih dari dua kali lipat ditemukan pada laki-

laki dibandingkan pada perempuan. Defisiensi Glucose 6 Phosphate

Dehydrogenase (G6PD) merupakan suatu kelainan enzim tersering pada


45

manusia, yang terkait kromosom sex dimana pada umumnya hanya

bermanifestasi pada laki-laki. Enzim G6PD sendiri berfungsi dalam menjaga

kebutuhan sel darah merah sekaligus mencegah hemolitik.

Hasil penelitian ini bahwa bayi dengan pemberian ASI eksklusif

menunjukkan bahwa bayi dengan berat badan 2000-2500 gram ada 1 bayi

(14,3%), bayi dengan berat badan 2500-3000 gram ada 2 bayi (28,6%) dan

bayi dengan berat badan > 3000 gram ada 4 bayi (57,1%). Pada bayi dengan

pemberian susu formula menunjukkan bahwa bayi dengan berat badan 2000-

2500 gram ada 2 bayi (28,6%), bayi dengan berat badan 2500-3000 gram ada

3 bayi (42,8%) dan bayi dengan berat badan > 3000 gram ada 2 bayi (28,6%).

Hal ini dikarenakan terjadi peningkatan hemolisis karena umur sel darah

merah yang pendek pada neonatus. Usia sel darah merah yang pendek ini

terjadi karena kondisi sel darah merah neonatus yang masih sangat muda

(immature), selnya berinti besar sehingga sangat mudah mengalami hemolisis

(pemecahan). Apabila mencapai masanya, sel darah merah ini akan

mengalami destruksi atau pemecahan. Sebagai manifestasinya, akan terjadi

akumulasi bilirubin bebas dalam darah neonatus yang umumnya akan terlihat

pada kulit, lapisan mukosa lainnya, serta sklera mata. Hal ini disebabkan

karena kadar bilirubin bebas larut dalam lemak, padahal konsentrasi lemak

banyak terdapat dilapisan subkutan, sehingga bilirubin akan terlarut disana

dan tampak sebagai “penyakit kuning” (Puspitosari, 2016).

ASI merupakan nutrisi penting bagi bayi. ASI memiliki beberapa zat

yang terbaik bagi bayi yang dapat memperlancar BAB/BAK (Marni, 2012).

ASI adalah suatu emulsi lemak dalam larutan protein, laktosa, dan garam

organik yang disekresi oleh kedua kelenjar payudara ibu dan merupakan
46

makanan terbaik untuk bayi. Selain memenuhi segala kebutuhan makanan

bayi baik gizi, iunilogi, atau lainnya sampai pemberian ASI memberikan

kesempatan bagi ibu mencurahkan cinta kasih serta perlindungan kepada

bayinya (Bahiyatun, 2014).

Pemberian ASI merupakan salah satu cara yang paling efektif dalam

pencegahan ikterus neonaturum fisiologis. ASI mengandung Beta

Glukoronidase akan memecah bilirubin menjadi bentuk yang larut dalam

lemak, sehingga bilirubin indirek akan meningkat dan kemudian akan

diresorbsi oleh usus. Terdapat dua jenis ikterus nonaturum terkait ASI (a)

breast- Feeding Associated Jaundice diketahui disebabkan oleh pemberian

ASI yang tidak adekuat dan buruknya intake cairan yang menyebabkan

starvation dan tertundanya pengeluaran mekonium pada neonatus. Hal tersebut

akan meningkatkan sirkulasi enterohepatik. (b) Brest milk Jaundice, keadaan

dimana terjadi peningkatan absorbsi bilirubin didalam usus (sirkulasi

enterohepatik) karena aktivitas enzim glukoromidase yang bisa terdapat pada

ASI yang abnormal (Teachers, 2012).

Penelitian yang dilakukan oleh Khairunnisak (2015) menyimpulkan

bahwa terdapat hubungan antara pemberian ASI dengan kejadian Ikterus pada

bayi baru lahir 0-7 hari di Rumah Sakit Umum Daerah dr Zainoel Abidin

Banda Aceh. Salah satu manfaat pemberian ASI bagi bayi adalah menjadikan

bayi yang diberi ASI lebih mampu menghadapi efek penyakit kuning

(ikterus). Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Tazami

(2013) yang mengatakan bahwa faktor pemberian ASI merupakan salah satu

faktor yang mempengaruhi terjadinya ikterus neonaturum fisiologis.


47

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai signifikansi (p) yang

diperoleh = 0,002 < α = 0,05, berarti H0 ditolak dan Ha diterima sehingga ada

perbedaan pemberian ASI eksklusif dan susu formula terhadap penurunan

kadar bilirubin pada bayi ikterus neonatorum fisiologi di RSUD I Lagaligo

Wotu Kabupaten Luwu Timur.

Dua kelompok dengan jenis pemberian cairan yang berbeda mengalami

penurunan yang signifikan terhadap kadar bilirubin dengan fototerapi.

Didapatkan kadar bilirubin post fototerapi mengalami penurunan dimana

penurunan kadar bilirubin total ASI esklusif rata – rata 4,24 mg/dl sedangkan

penurunan pada Non esklusif kadar bilirubin total mencapai 7,81 mg/dl. Hasil

penelitian ini usia bayi yang diberi ASI esklusif yang mengalami ikterus

berusia 3-5 hari. Ikterus fisiologis terjadi pada usia dua,tiga sampai lima hari

pada bayi yang disusui, sedangkan bayi yang diberi Non esklusif usia rata-rata

lebih dari 5 hari kondisi ini yang mempengaruhi proses penurunan kadar

bilirubin lebih cepat dibandingkan bayi yang diberi ASI esklusif dikarenakan

ikterus fisiologis akan mengalami penurunan pada usia 1 minggu sampai 14

hari.

Bayi yang mendapat ASI eksklusif dapat mengalami ikterus. Ikterus ini

disebabkan oleh produksi ASI yang belum banyak pada hari hari pertama.

Bayi mengalami kekurangan asupan makanan sehingga bilirubin direk yang

sudah mencapai usus tidak terikat oleh makanan dan tidak dikeluarkan melalui

anus bersama makanan. Di dalam usus, bilirubin direk ini diubah menjadi

bilirubin indirek yang akan diserap kembali ke dalam darah dan

mengakibatkan peningkatan sirkulasi enterohepatik. Keadaan ini tidak

memerlukan pengobatan dan jangan diberi air putih atau air gula. Untuk
48

mengurangi terjadinya ikterus dini bayi dapat diletakan diatas dada ibu selama

30-60 menit, posisi bayi pada payudara harus benar, berikan kolostrum karena

dapat membantu untuk membersihkan mekonium dengan segera. Mekonium

yang mengandung bilirubin tinggi bila tidak segera dikeluarkan, bilirubinnya

dapat diabsorbsi kembali sehingga meningkatkan kadar bilirubin dalam darah,

bayi jangan diberi air putih, air gula atau apapun lainnya sebelum ASI keluar

karena akan mengurangi asupan susu, memonitor kecukupan produksi ASI

dengan melihat buang air kecil bayi paling kurang 6-7 kali sehari dan buang

air besar paling kurang 3-4 kali sehari (Rulina dan Debby, 2018).

Diketahui bahwa bayi-bayi yang diberi ASI menghasilkan berat kotoran

individual yang lebih rendah dan memilki kotoran yang mengandung lebih

sedikit bilirubin dari pada bayi yang diberi susu formula. Penurunan berat

yang lebih banyak dan jarang buang air besar dihubungkan dengan produksi

bilirubin yang lebih tinggi (Teachers, 2012).

Terdapat perbedaan kadar bilirubin antara sebelum dan sesudah

fototerapi yang diberi ASI esklusif dan non esklusif dimana kadar bilirubin

total denganpemberian ASI esklusif rata – rata 4,24 mg/dl sedangkan yang

non Esklusif rata – rata 7,81 mg/dl. Dari hasil penelitian tersebut bahwa

perbedaan kadar bilirubin antara ASI esklusif dan non esklusif dalam

pemberian tindakan fototerapi mengalami perbedaaan yang signifikan.

Dimana dalam pemberian tindakan fototerapi terhadap bayi ikterus untuk

pemberian ASI esklusif cenderung lebih rendah sedangkan non esklusif

penurunan kadar bilirubin lebih tinggi. Rata –rata kadar bilirubin sebelum dan

sesudah fototerapi terjadi penurun antara nilai kadar bilirubin sebelum dan

sesudah pada semua kelompok dengan pemberian cairan yang berbeda.


49

Terdapat perbedaan antara nilai kadar bilirubin sebelum dengan nilai kadar

bilirubin sesudah fototerapi pada semua kelompok dengan jenis pemberian

cairan yang berbeda.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Yuliawati (2018) yang

berjudul Studi Komparatif Kadar Bilirubin Pada Bayi Baru Lahir Dengan

Fototerapi Yang Diberikan Asi Esklusif dan Non Esklusif Di Rst Malang.

hasil penelitian didapatkan kadar bilirubin total diberi ASI esklusif rata-

ratanya sebesar 13,281 mg/dl, direk 0,363 mg/dl dan indirek 12,917 mg/dl.

Sedangkan kadar bilirubin total yang diberi Non esklusi rata- ratanya 8,855

mg/dl,direk 0,278 mg/dl sedangkan bilirubin indirek 8,577 mg/dl.Dimana

kadar bilirubin total nilai probabilitas (sig) <0,05 yakni 0,000 dan semua nilai

z hitung -3,588 maka Ho ditolak dan H1 diterima. Artinya ada perbedaan yang

signifikan antara nilai kadar bilirubin total pada bayi yang diberi ASI esklusif

dan Non esklusif, rata-rata nilai penurunan kadar bilirubin total pada Non

esklusif (7,9313mg/dl) lebih tinggi dibandingkan penurunan kadar bilirubin

total pada pemberian ASI esklusif (4,4153mg/dl). Hasil penelitian rata-rata

nilai penurunan bilirubin pada bayi baru lahir yang dilakukan fototerapi

dengan pemberian Non esklusif lebih tinggi dari pada pemberian dengan ASI

ekslusif.

C. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan yang dapat diidentifikasi dalam penelitian ini yaitu

penentukan kadar bilirubin bayi di rumah sakit.


50

D. Implikasi Hasil Penelitian untuk Kebidanan

Hasil penelitian dapat dibuat acuan untuk terapi bayi ikterus yang

dilakukan fototerapi ASI merupakan makanan utama pada bayi.


BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisa data dan pembahasan hasil penelitian

Perbandingan Pemberian ASI Eksklusif dan Susu Formula terhadap

Penurunan Kadar Bilirubin pada Bayi Ikterus Neonatorum Fisiologi di RSUD

I Lagaligo Wotu Kabupaten Luwu Timur, dapat ditarik kesimpulan bahwa ada

perbedaan pemberian ASI eksklusif dan susu formula terhadap penurunan

kadar bilirubin pada bayi ikterus neonatorum fisiologi di RSUD I Lagaligo

Wotu Kabupaten Luwu Timur, nilai signifikansi (p) yang diperoleh = 0,002 <

α = 0,05.

B. Saran

1. Bagi profesi kesehatan

Menyusun strategi yang tepat dalam mengatasi hiperbilirubin dengan

pemberian ASI sesering mungkin dan selalu aktif memotivasi ibu untuk

sering memberikan ASI.

2. Bagi profesi kebidanan

Menyusun strategi yang tepat dalam mengatasi hiperbilirubin dengan

pemberian ASI sesering mungkin dan selalu aktif memotivasi ibu untuk

sering memberikan ASI.

51
52

3. Orangtua bayi

Lebih aktif dan sering untuk menyusui bayi agar kadar bilirubin

dapat menurun cepat serta selalu berfikir positif agar proses oksitosin

berjalan dengan baik dan melancarkan produksi ASI.

4. Bagi Peneliti Selanjutnya

Dapat mengembangkan penelitian untuk mengetahui faktor lain

terhadap peningkatan kadar bilirubin pada neonatus ikterus selain dengan

ASI dan susu formula.

5. Bagi Masyarakat

Dengan penelitian ini, dapat dibuktikan bahwa ASI mengandung zat

gizi yang dibutuhkan oleh bayi, bagi para ibu dianjurkan untuk

memberikan ASI ekslusif sampai usia 6 bulan pada bayinya.


53

DAFTAR PUSTAKA

Baskoro, A. 2015. ASI Panduan Praktis Ibu Menyusui. Yogyakarta: Banyu


Media.

Bobak, M. 2015. Buku Keperawatan Maternitas. Jakarta: EGC.

Delvi, Dasnur. 2018. Hubungan Frekuensi Pemberian ASI terhadap Kejadian


Ikterus Fisiologis Pada Bayi Baru Lahir di Semen Padang Hospital Tahun
2017. Jurnal Menara Ilmu, Vol. 12 No.3

Dharma, Kusuma Kelana. 2014. Metodologi Penelitian Keperawatan. Jakarta:


Trans Info Media.

Dorland, W. A. N. 2015. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta: EGC.

Green, C. 2014. Rencana Asuhan Keperawatan Maternal dan Bayi Baru Lahir.
Jakarta: EGC.

Hasan, R. 2016. Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Infomedika.

Herawati, Yanti. 2017. Pengaruh Pemberian Asi Awal Terhadap Kejadian Ikterus
Pada Bayi Baru Lahir 0-7 Hari. Jurnal Bidan, Vol. 3 No.1

Hidayat. 2015. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data.


Jakarta: Salemba Medika.

Indanah. 2019. Efektifitas Pemberian ASI terhadap Penurunan Kadar Bilirubin.


Jurnal URC, Vol. 1 No. 1.

Jitowiyono, S. 2015. Asuhan Keperawatan Neonatus dan Anak. Yogyakarta:


Nuha Medika.

Khasanah, N. 2015. ASI atau Susu Formula Ya?. Yogyakarta: Flash Books.

Kosim, M. S. 2014. Buku Ajar Neonatologi. Jakarta: IDAI.

Marmi. 2015. Asuhan Neonatus Bayi, Balita, dan Anak Prasekolah. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

Nirwana, A.B. 2014. ASI & Susu Formula. Yogyakarta : Nuha Medika.

Notoatmodjo S. 2014. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta:


Rineka Cipta.

Nur, Yulia M. 2021. Pengaruh Pemberian Air Susu Ibu dan Fototerapi terhadap
Ikterus Neonatorum di Ruang Perinatologi RSUD Pasaman Barat. Jurnal
Akademka Baiturrahim Jambi (JABJ), Vol. 10, No. 1.

Perinasia. 2014. Buku Panduan Resusitasi Neonatus. Jakarta: Perinasia.


54

Prasetyono. 2016. Buku Pintar ASI Eksklusif. Yogyakarta: Diva Press.

Purnamaningrum, YE. 2014. Penyakit pada Neonatus, Bayi dan Balita.


Yogyakarta: Fitramaya.

Roesli, U. 2015. Mengenal ASI Eksklusif. Jakarta: Trubus Agriwidya.

Saryono. 2015. Metodologi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif Dalam Bidang


Kesehatan. Jakarta: Nuha Medika.

Setianingsih, H. 2014. Manfaat ASI Eksklusif untuk Buah Hati Anda. Yogyakarta:
Gosyen Publishing.

Yenrina, D.K. 2015. Menyiapkan Makanan Pendamping ASI. Jakarta: Puspa


Swara.

Yuliawati, Fatma. 2018. Studi Komparatif Kadar Bilirubin Pada Bayi Baru Lahir
Dengan Fototerapi Yang Diberikan Asi Esklusif Dan Non Esklusif Di Rst
Malang. Jurnal Nursing News, Vol. 3 No.1.
55

FORMAT PENGUMPULAN DATA


(LEMBAR KUISIONER)

PERBANDINGAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DAN


SUSU FORMULA TERHADAP PENURUNAN KADAR
BILIRUBIN PADA BAYI IKTERUS NEONATORUM
FISIOLOGI DI RSUD I LAGALIGO WOTU
KABUPATEN LUWU TIMUR

A. Identitas Responden
1. Nama (Inisial) : …………………………
2. Umur : < 20 tahun 20-35 tahun > 35 tahun
3. Pendidikan : SD SMP SMA Sarjana
B. Pemberian ASI Eksklusif dan Susu Formula
Petunjuk: Isilah semua kolom dibawah ini secara lengkap dengan
menuliskan:
- tanda ceklis ( √ ) → bila YA diberikan pada usia tersebut
- tanda strip ( - ) → bila TIDAK diberikan pada usia tersebut

Usia anak saat pemberian makanan /


minuman
No Jenis makanan/minuman 1 2 3 4 5 6
minggu minggu minggu minggu minggu minggu
1 Air Susu Ibu (ASI)
2 Susu formula/susu botol
3 Bubur
4 Buah –buahan
5 Teh
6 Air putih
7 Obat-obatan
8. Lainnya ( jika ada)
dan sebutkan
..........................
56

C. Penurunan Kadar Bilirubin Bayi Ikterus Neonatorum Fisiologi


Kadar Bilirubin Bayi Ikterus Kadar Bilirubin Bayi Ikterus
Neonatorum Fisiologi Neonatorum Fisiologi
Sebelum Sesudah
57

MASTER TABEL
Jenis Kadar Bilirubin Bayi
NO Berat Badan Kelompok
Kelamin Sebelum Sesudah
1 1 1 1 22,73 14.24
2 1 2 1 13,89 10.78
3 2 2 1 15,8 14.32
4 1 3 1 14,57 12.29
5 1 3 1 18,25 14.45
6 2 3 1 20,18 14.01
7 1 3 1 17,42 13.06
8 1 1 2 19,52 8,6
9 2 2 2 13,9 8,29
10 1 1 2 14,13 6,4
11 1 2 2 14,47 8,23
12 1 2 2 15,78 9,05
13 2 3 2 13,6 9,24
14 2 3 2 14,33 8,29

KETERANGAN:
Jenis Kelamin: Berat Badan: Kelompok:
1 = ASI
1 = Laki-Laki 1 = 2000-2500 gram
Eksklusif
2 = Susu
2 = Perempuan 2 = 2500 - 3000 gram
Formula
3 = > 3000 gram
58

Bayi dengan Pemberian ASI

Statistics
Jenis Kelamin Berat Lahir
N Valid 7 7
Missing 0 0

Frequency Table

Jenis Kelamin
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Laki-laki 5 71.4 71.4 71.4
Perempuan 2 28.6 28.6 100.0
Total 7 100.0 100.0

Berat Lahir
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid 2000-2500 gram 1 14.3 14.3 14.3
2500-3000 gram 2 28.6 28.6 42.9
> 3000 gram 4 57.1 57.1 100.0
Total 7 100.0 100.0
59

Bayi dengan Pemberian Susu Formula

Frequency Table

Jenis Kelamin
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Laki-laki 4 57.1 57.1 57.1
Perempuan 3 42.9 42.9 100.0
Total 7 100.0 100.0

Berat Lahir
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid 2000-2500 gram 2 28.6 28.6 28.6
2500-3000 gram 3 42.9 42.9 71.4
> 3000 gram 2 28.6 28.6 100.0
Total 7 100.0 100.0
60

Perbedaan Kadar Bilirubin Bayi ASI dengan Bayi Susu Formula

NPar Tests

Mann-Whitney Test

Ranks
Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks
Kadar Bilirubin ASI Eksklusif 7 11.00 77.00
Susu Formula 7 4.00 28.00
Total 14

Test Statisticsa
Kadar Bilirubin
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 28.000
Z -3.134
Asymp. Sig. (2-tailed) .002
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .001b
a. Grouping Variable: Kelompok
b. Not corrected for ties.

You might also like