You are on page 1of 13

MONOPOLI DALAM PERSAINGAN USAHA TIDAK B.

Perumusan Masalah
SEHAT (STUDI KASUS PRAKTIK MONOPOLI YANG 1. Bagaimana ruang lingkup pengaturan dari
MENGHALANGI PELAKU USAHA TERTENTU UNTUK Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
MELAKUKAN KEGIATAN USAHA YANG SAMA Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha
PADA PASAR YANG BERSANGKUTAN)1 Tidak Sehat?
Oleh: Aldy Christo Kaumbur 2 2. Bagaimana perjanjian yang dilarang dalam praktik
M. Hero Soepeno 3 monopoli dan persaingan usaha tidak sehat?
Rudy M.K. Mamangkey 4
C. Metode Penelitian
ABSTRAK Penelitian ini menggunakan metode yuridis
Tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu untuk normatif
mengetahui bagaimana ruang lingkup pengaturan
dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang PEMBAHASAN
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha A. Ruang Lingkup Perkembangan Undang-Undang
Tidak Sehat dan bagaimana perjanjian yang dilarang Nomor 5 Tahun 1999
dalam praktik monopoli dan persaingan usaha tidak Kebijakan pembangunan bidang ekonomi
sehat, yang dengan metode penelitian hukum Indonesia telah mulai dirintis pasca kemerdekaan
normatif disimpulkan: 1. Pengaturan Undang- Indonesia ketika pada tanggal 12 April 1947 dibentuk
Undang Nomor 5 Tahun 1999 meliputi: perjanjian oleh Presiden suatu badan bernama Panitia Pemikir
yang dilarang (10 bagian dan 13 Pasal, dari Pasal 4 Siasat Ekonomi. Panitia Pemikir tersebut telah
sampai Pasal 16), kegiatan yang dilarang (4 bagian berhasil merumuskan rencana sementara yang
dan 8 Pasal, dari Pasal 17 sampai dengan Pasal 24), berjudul “Dasar Pokok Daripada Plan Mengatur
dan posisi dominan (4 bagian dan 5 Pasal, dari Pasal Ekonomi Indonesia. Panitia ini diketuai oleh
25 sampai dengan Pasal 29). 2. Analisis terhadap Mohammad Hatta, Wakil Presiden ketika itu, dengan
Keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha wakil-wakil ketua, A.K. gani, Mohammad Roem dan
Nomor 22/KPPU-I/2016 menunjukan bahwa perkara Sjafruddin Prawira Negara.5 Akan tetapi ketika itu
tersebut telah memenuhi unsur-unsur yang sistem politik yang berlaku, berakibat jatuh
menimbulkan persaingan usaha tidak sehat yaitu bangunnya kepemimpinan negara sehingga
perjanjian tertutup: unsur pelaku usaha, perjanjian, kebijakan pembangunan ekonomi tidak berjalan
mengenai harga atau potongan harga, barang, sebagaimana mestinya.
memuat persyaratan tidak akan membeli barang, Kebijakan pembangunan khususnya bidang
dan tidak akan membeli barang dari pelaku usaha ekonomi yang terencana, terpadu dan
pesaing. berkesinambungan, baru mulai terwujud ketika
Kata Kunci: Perjanjian; Monopoli; Persaingan Usaha Rencana Pembangunan Lima Tahun Pertama
Tidak Sehat. (Repelita I) disusun dan dimulai pelaksanaannya
sejak 1 April 1969, diikuti dengan Repelita II pada
PENDAHULUAN tanggal 1 April 1974,6 dan seterusnya setiap lima
A. Latar Belakang tahun dalam periode Pembangunan Jangka Panjang.
Ketentuan yang ada di dalam Undang-Undang Kebijakan pembangunan sejak masa orde baru di
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik bawah kepemimpinan Presiden Soeharto mulai
Monopoli dan Persaingan dengan jelas melarang tertuang di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara
para pelaku usaha melakukan perbuatan-perbuatan (GBHN), yakni ketentuan-ketentuan pokok mengenai
yang dapat menimbulkan praktik monopoli dan jalannya pemerintahan atau kebijakan politik dalam
persaingan usaha tidak sehat, akan tetapi masih negara, dengan kata lain, garis politik baik mengenai
terdapat beberapa pelaku usaha yang melanggar politik dalam negeri maupun politik luar negeri.
ketentuan di dalam Undang-Undang tersebut, GBHN merupakan landasan kerja bagi segala
seperti melakukan perjanjian terlarang yang dapat
menimbulkan praktik monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat.

1 Artikel Skripsi 5 Bintoro Tjokroamidjojo, Perencanaan Pembangunan, (Jakarta:


2Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM 18071101007 Gunung Agung, 1986), hlm.34.
3 Fakultas Hukum Unsrat, Doktor Ilmu Hukum 6 Ibid, hlm.37.
4 Fakultas Hukum Unsrat, Magister Ilmu Hukum
aparatur pemerintahan yang turut mengisi struktur pula halnya dalam pembangunan di bidang ekonomi
pemerintahan itu.7 di Indonesia meskipun telah disusun dalam suatu
Sedangkan dalam Ketetapan MPR No. GBHN. Ketika masa orde baru, titik berat
IV/MPR/1999 tentang GBHN, dirumuskan pembangunan ekonomi menjadi dipentingkan dan
pengertiannya bahwa GBHN adalah haluan negara didahulukan. Tetapi dengan Trilogi Pembangunan,
tentang penyelenggaraan negara dalam garis-garis khususnya yang menekankan pada stabilitas
besar sebagai pernyataan kehendak rakyat secara nasional, dan pertumbuhan ekonomi, praktik
menyeluruh dan terpadu yang ditetapkan oleh penyelenggaraan kenegaraan berlangsung represif,
Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk lima tahun dalam arti kata tidak membolehkan adanya
guna mewujudkan kesejahteraaan rakyat yang perbedaan pendapat, kerusuhan, karena
berkeadilan.8 mengganggu stabilitas nasional yang melindungi
Dari kilas balik sejarah pembangunan nasional, kegiatan perekonomian, khususnya pertumbuhan
maka tidak dapat dipisahkan dari kepemimpinan ekonomi.
nasional termasuk yang berperan dalam menyusun Contoh nyata ialah pemberian lisensi kepada
dan melaksanakan kebijakan pembangunan. M. kroni-kroni tertentu yang dekat dengan elit
Daman Rahardjo mencatat bahwa: “Pada dasawarsa politik/elit negara, pemberian subsidi, praktik
1950 telah muncul tiga pola pemikiran yang monopoli dan oligopoli yang meluas di segala bidang,
menonjol yang dapat disebut sebagai tiga wawasan dan lain sebagainya. Semua itu walaupun sangat
pembangunan yang berbeda. Pertama, pola ditentang oleh kalangan pakar yang memiliki
pemikiran Mohamamd Hatta, ketika itu berperan kepedulian, akan tetapi di masa orde baru tentangan
sebagai Wakil Presiden yang memiliki perhatian dan kritikan tersebut tidak ditanggapi secara nyata.
khusus terhadap masalah-masalah pembangunan Kasus yang paling dikenal pada masa orde baru
ekonomi. Kedua, pola pemikiran Sjafruddin adalah kasus monopsoni yang dilakukan Badan
Prawiranegara, terutama dalam posisinya sebagai Penyangga Pemasaran Cengkeh (BPPC), dibawah
Gubernur Bank Sentral, walaupun sebelumnya koordinasi Tommy Soeharto, semua petani dipaksa
pernah menjabat menjadi Menteri Kemakmuran dan untuk menjual cengkeh mereka pada BPPC dengan
dua kali Menteri Keuangan. Ketiga, pola pemikiran harga murah yang disertai dengan berbagai alasan
Sumitro Djojohadikusumo, baik dalam kedudukan yang dipaksakan.11 UU No. 5 Tahun 1999 mengatur
dan peranannya sebagai Menteri Perdagangan dan monopsoni ini secara khusus dalam Pasal 18 yang
Perindustrian, ketika Sjafruddin telah menjadi menyatakan, bahwa:
Gubernur Bank Indonesia”.9 1) Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan
Dijelaskan oleh M. Dawam Rahardjo lebih lanjut, pasokan atau menjadi membeli tunggal atas
jika digambarkan dalam suatu bagan, maka posisi barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan
pandangan Sjafruddin berada di sisi paling kanan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik
dalam spektrum wawasan perekonomian nasional, monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
dalam arti paling liberal. Pemihakannya terhadap 2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap
pelaku ekonomi dalam perekonomian nasional lebih menguasai penerimaan pasokan atau menjadi
mengarah pada sektor swasta yang dipandang paling pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam
produktif dan efisien, kemudian koperasi dan baru ayat (1) apabila satu pelaku usaha atau satu
terakhir ialah sektor negara. Berhadapan dengan itu, kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50%
Hatta menduduki posisi paling kiri, dalam arti paling (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis
sosialis kerakyatan. Hatta jelas berpihak kepada barang atau jasa tertentu.
koperasi, kemudian Badan Usaha Milik Negara Salah satu pakar hukum ekonomi yang cukup
(BUMN). Sementara itu Sumitro berada di tengah- lantang menentang praktik monopoli dan oligopoli,
tengah.10 ialah T. Mulya Lubis, yang pernah mengemukakan:
Pemikiran baik sebagai konsep maupun di dalam “Menghadapi bahaya monopoli dan oligopoli ini
implementasinya tidak selalu sama, dan demikian banyak reaksi yang muncul. Salah satu di antaranya

7 M. Solly Lubis, Asas-asas Hukum Tata Negara, (Bandung: 10Ibid, hlm.27.


Alumni, 1982), hlm.52-53. 11 Andi Fahmi Lubis, Anna Maria Tri Anggraini, dkk, Hukum
8 Lihat Ketetapan MPR RI No. IV/MPR/RI/1999 tentang Garis- Persaingan Usaha (edisi kedua), (Jakarta, Komisi Pengawas
garis Besar Haluan Negara (GBHN). Persaingan Usaha, 2017), hlm.161.
9 M. Dawam Rahardjo, Habibienomics, Telaah Ekonomi

Pembangunan Indonesia, (Jakarta: Pustaka Cidesindo,1997),


hlm.15.
adalah pendapat tentang perlunya kita memiliki Berupa perjanjian penetapan harga, perjanjian
Antitrust Law seperti di Amerika Serikat. Pada pihak diskriminasi harga, harga pemangsa atau jual rugi,
lain ada pendapat yang lebih eksplisit menginginkan dan penetapan harga jual kembali.
agar kita mempunyai Undang-Undang Anti Monopoli c. Pembagian Wilayah (Pasal 9)
dan Undang-Undang Anti Oligopoli. Lalu ada juga Pembagian Wilayah yaitu perjanjian yang
reaksi bahwa kita sudah semakin jauh dari sistem mengikat untuk membagi wilayah pasar antara
ekonomi Pancasila”.12 produsen dengan pertimbangan memaksimalkan
Pemikiran di atas yang tertuang dalam tulisan keuntungan.
pada buku terbitan tahun 1992 tersebut, memang d. Pemboikotan (Pasal 10)
berada pada situasi dan kondisi di mana praktik Pemboikotan yaitu perbuatan yang mengajak
monopoli dan oligopoli merajalela di masa orde orang lain untuk tidak berhubungan dengan orang
baru. ketiga.
Tentunya beberapa praktik negara lainnya di e. Kartel (Pasal 11)
dalam mencegah berkembang biaknya monopoli dan Kartel yaitu kombinasi keseluruhan
oligopoli, perlu menjadi bahan perbandingan bagi pengontrolan produksi, penjualan dan harga, yang
Indonesia. Amerika Serikat misalnya, telah bertujuan untuk memonopoli atau membatasi suatu
mengeluarkan The Sherman Antitrust Act, 1980, The kompetisi.
Clayton Antitrust Act, 1914, Robinson Patman Act, f. Trust (Pasal 12)
1936, Celler-Kefauver Act, 1950 dan The Federal Trust yaitu perjanjian untuk melakukan
Trade Commission Act, 1914. kerjasama dengan membentuk gabungan
Di Jerman telah ada Undang-Undang tentang perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan
Unfair Competition sejak tahun 1909. Di Philipina, tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan
ada satu Chapter khusus tentang Frauds in hidup masingmasing perusahaan.15
Commerce and Trade pada Penal Code-nya yang g. Oligopsoni (Pasal 13)
direvisi pada tahun 1930 dengan Act Nomor 3815.13 Oligopsoni yaitu perjanjian yang dilakukan oleh
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang pelaku usaha dengan pelaku usaha lain untuk
secara lengkap berjudul tentang Larangan Praktik bersama-sama menguasai pembelian atau
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, adalah penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan
perundangan yang pertama kalinya di Indonesia harga atas barang atau jasa dalam pasar yang
mengatur secara khusus, komprehensif, dan bersangkutan.16
integratif perihal larangan monopoli dan persaingan h. Integrasi Vertikal (Pasal 14)
usaha tidak sehat. Undang-Undang ini sering Integrasi Vertikal yaitu penguasaan serangkaian
disingkat sebagai Undang-Undang Anti Monopoli. proses produksi yang berlanjut atas layanan suatu
Secara umum materi atau ruang lingkup dari jasa tertentu oleh seorang pelaku usaha tertentu.17
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang i. Perjanjian Tertutup (Pasal 15)
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Perjanjian Tertutup adalah suatu perjanjian yang
Tidak Sehat ini adalah:14 Pengaturan perjanjian yang terjadi antara mereka yang berada pada level yang
dilarang dilakukan oleh pelaku usaha meliputi 10 berbeda pada proses produksi atau jaringan
bagian dan 13 Pasal, dari Pasal 4 sampai Pasal 16, distribusi suatu barang atau jasa.18
yaitu: j. Perjanjian Dengan Pihak Luar Negeri (Pasal 16)
a. Oligopoli (Pasal 4) Perjanjian ini dilarang apabila memuat
Oligopoli yaitu hanya beberapa perusahaan yang ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya
menjual produk yang sama, yang mengakibatkan praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak
kompetisi terbatas dan harga tinggi. sehat.
b. Penentapan Harga (Pasal 5-Pasal 8) Kegiatan yang dilarang oleh pelaku usaha yang
Penentapan Harga yaitu kerjasama dengan meliputi 4 bagian dan 8 Pasal, dari Pasal 17 sampai
perusahaan pesaing untuk menetapkan harga pasar. dengan Pasal 24, yaitu:

12 T. Mulya Lubis, Hukum dan Ekonomi, (Jakarta: Pustaka Sinar 15 C.S.T. Kansil, Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang
Harapan, 1992), hlm.109. Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm.193.
13 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Anti Monopoli, (Jakarta: 16 Ibid, hlm.194.

Rajawali Pers, 1999), hlm.17. 17 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, (Bandung: PT. Citra
14 Andi Fahmi Lubis, Anna Maria Anggraini, dkk, Hukum Aditya Bakti, 2005), hlm.220.
Persaingan Usaha Antara Teks dan Kontex, (Jakarta: ROV 18 Suyud Margono, Hukum Anti Monopoli, (Jakarta: Sinar Grafika,

Creative Media, 2009), h.116. 2009), hlm.98.


1) Larangan Praktik Monopoli (Pasal 17) yang bersaing, baik dari segi harga maupun
Larangan Praktik Monopoli yaitu larangan untuk kualitas.
memusatkan kegiatan ekonomi oleh suatu atau lebih b) Membatasi pasar dan pengembangan teknologi,
pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya atau
produksi atau pemasaran atas barang atau jasa c) Menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi
tertentu. menjadi pesaing untuk memasuki pasar
2) Monopsoni (Pasal 18) bersangkutan.
Monopsoni yaitu tindakan penguasaan pangsa Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja
pasar untuk membeli suatu produk tertentu. mengemukakan, tidak dapat dipungkiri bahwa
Kegiatan ini dilarang jika satu pelaku usaha atau satu selama beberapa dekade belakangan ini, negara kita
kelompok pelaku usaha telah menguasai 50% pangsa telah mencatat banyak kemajuan yang cukup berarti
pasar dari satu jenis produk tertentu.19 dalam pembangunan ekonomi. Semua itu tidak
3) Penguasaan Pasar (Pasal 19-Pasal 21) terlepas dari dorongan dan pengaruh berbagai
Penguasaan Pasar yaitu dengan kata lain menjadi kebijakan ekonomi dan hukum yang dikeluarkan.
penguasa dipasar merupakan keinginan dari hampir Tetapi pertumbuhan ekonomi yang tinggi saja tidak
semua pelaku usaha, karena penguasaan pasar yang cukup, perlu ada pemerataan hasil-hasil
cukup besar memiliki korelasi positif dengan tingkat pembangunan ekonomi yang telah diperoleh
keuntungan yang mungkin bisa diperoleh oleh tersebut agar tidak terjadi ketimpangan dan
pelaku usaha.20 kepincangan serta kecemburuan sosial di dalam
4) Persekongkolan (Pasal 22-Pasal 24) masyarakat. Antara penguasa dan pengusaha dapat
Persekongkolan yaitu merupakan kerjasama melahirkan hubungan yang merugikan masyarakat
yang melibatkan dua perusahaan atau lebih dengan banyak dan menimbulkan kecenderungan
sama-sama melakukan tindakan melawan hukum. monopolistic karena pengusaha diberi berbagai
Bentuk kegiatan ini tidak hanya dibuktikan dengan fasilitas oleh penguasa.21
adanya perjanjian, namun juga dapat dibuktikan Penjelasan umum atas Undang-Undang No. 5
dengan adanya bentuk kegiatan yang tidak mungkin Tahun 1999 juga memperjelas pemikiran Ahmad
dilakukan oleh satu perjanjian. Persekongkolan Yani dan Gunawan Widjaja terhadap fenomena
dapat berupa tender, persekongkolan membocorkan perekonomian nasional, sehingga lebih
rahasia dagang dan persekongkolan menghambat memperburuk keadaan. Penyelenggaraan ekonomi
perdagangan. nasional kurang mengacu pada amanat Pasal 33 UUD
Terakhir adalah Posisi dominan, meliputi 4 1945 dan cenderung menunjukkan corak yang sangat
bagian dan 5 Pasal, dari Pasal 25 sampai dengan monopolistic. Para pengusaha yang dekat dengan elit
Pasal 29. Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun kekuasaan mendapat kemudahan-kemudahan yang
1999, posisi dominan didefinisikan sebagai suatu berlebihan sehingga berdampak kepada
keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai kesenjangan sosial. Munculnya konglomerasi dan
pesaing yang berarti atau suatu keadaan dimana sekelompok kecil pengusaha kuat yang tidak
pelaku usaha mempunyai posisi lebih tinggi daripada didukung oleh semangat kewirausahaan sejati
pesaingnya pada pasar yang bersangkutan dalam merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan
kaitan pangsa pasarnya, kemampuan keuangan, ketahanan ekonomi menjadi sangat rapuh dan tidak
akses pada pasokan atau penjualan serta mampu bersaing.
kemampuan menyesuaikan pasokan atau Memperhatikan situasi dan kondisi tersebut di
permintaan barang atau jasa tertentu. Mengenai atas, menuntut kita untuk mencermati dan menata
posisi dominan dapat dilihat dari ketentuan Pasal 25 kembali kegiatan usaha di Indonesia, agar dunia
Ayat (1). Pasal ini berbunyi sebagai berikut: Pelaku usaha dapat tumbuh serta berkembang secara sehat
usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik dan benar, sehingga tercipta iklim persaingan usaha
seacara langsung maupun tidak langsung untuk: yang sehat, serta terhindarnya pemusatan kekuatan
a) Menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan ekonomi pada perorangan atau kelompok tertentu,
tujuan untuk mencegah dan/atau menghalangi antara lain dalam bentuk praktik monopoli dan
konsumen memperoleh barang dan/atau jasa persaingan usaha tidak sehat yang merugikan

19Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Op.Cit. hlm.223. 21 Loc. Cit.


20 Andi Fahmi Lubis, Anna Maria Anggraini, dkk, Hukum
Persaingan Usaha Antara Teks dan Kontex, (Jakarta: ROV
Creative Media, 2009), hlm.138.
masyarakat, yang bertentangan dengan cita-cita atau sebab yang halal. Hardijan Rusli menjelaskan
keadilan sosial. perihal keempat syarat ini sebagai berikut: “Keempat
Berdasarkan apa yang diuraikan tadi, jelaslah syarat ini merupakan syarat pokok bagi setiap
bahwa demokrasi di bidang ekonomi itu harus perjanjian. Artinya, setiap perjanjian harus
diimplementasikan secara konsisten dalam kegiatan memenuhi keempat syarat ini bila ingin menjadi
usaha, karena memang mempunyai arti yang penting perjanjian yang sah”.22
dan strategis dalam rangka pembangunan ekonomi. Ketentuan tersebut diperinci lagi sebagai syarat
Penciptaan iklim persaingan usaha yang sehat subjektif, dan syarat objektif. Syarat subjektif terdiri
sebagai sarana penciptaan demokrasi di bidang dari adanya kata sepakat kedua belah pihak, dan
ekonomi itu perlu terus diupayakan secara terencana adanya kecakapan untuk bertindak dari masing-
dan terus-menerus, dan diikuti oleh penyusunan masing pihak. Syarat objektif terdiri dari adanya hal
kebijakan persaingan usaha serta upaya pencegahan tertentu, misalnya benda, dan adanya kausa (isi,
dan penindakaan terhadap para pelaku usaha yang sebab) yang halal.23
melakukan praktik monopoli dan persaingan usaha Hardijan Rusli menerangkan mengenai
tidak sehat. Untuk mencegah dan menindak pelaku perbedaan dari syarat-syarat sahnya perjanjian
usaha yang melakukan persaingan usaha tidak sehat dalam dua kelompok, yang oleh para ahli hukum
itu diperlukan adanya aturan hukum. Tanpa adanya digunakan untuk mengetahui apakah perjanjian itu
aturan hukum, persaingan usaha yang sehat batal demi hukum (Void ab initio) atau merupakan
mungkin tidak dapat diwujudkan. Oleh karena itu, perjanjian yang dapat dimintakan pembatalannya
untuk menjamin adanya persaingan usaha yang (Voidable). Dijelaskannya bahwa perjanjian yang
sehat itu dibuatlah Undang-Undang Nomor 5 Tahun batal demi hukum (Void ab initio) adalah perjanjian
1999 yang mengatur berbagai mekanisme yang dari semua sudah batal, hal ini berarti tidak
persaingan usaha dan menjamin terwujudnya pernah ada perjanjian tersebut. Sedangkan
persaingan usaha yang sehat dan adil. perjanjian yang dapat dimintakan pembatalannya
Sosialisasi Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, (Voidable), adalah perjanjian yang dari semula
sesuai buku pedomannya, Undang-Undang ini ingin berlaku tetapi perjanjian ini dapat dimintakan
mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pembatalannya dan bila tidak dimintakan
pengaturan persaingan usaha yang sehat. Undang- pembatalannya maka perjanjian ini tetap berlaku.24
Undang ini menjamin adanya persaingan usaha yang Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999,
sehat dan kepastian serta kesempatan berusaha perjanjian-perjanjian yang dilarang tercantum pada
yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha BAB III mulai dari Pasal 4 sampai dengan Pasal 16,
menengah, dan pelaku usaha kecil. Undang-Undang dengan rincian sebagai berikut:
ini juga tidak hanya memberikan kesempatan yang a. Oligopoli
sama bagi setiap pelaku usaha untuk berusaha, Perjanjian yang bersifat oligopolistik, berasal
tetapi juga memberikan jaminan kepastian hukum dari kata “Oligopoli”, disebutkan pada Pasal 4 ayat
kepada pelaku usaha di Indonesia. Adanya jaminan (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang
kepastian hukum di dalam berusaha, pelaku usaha menyatakan “Pelaku usaha dilarang membuat
akan terjamin dalam menjalankan usahanya dan perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara
akan dicegah dari gangguan perilaku pelaku usaha bersama-sama melakukan penguasaan produksi
lain yang tidak jujur (unfair) dalam menjalankan dan/atau pemasaran barang dan jasa yang dapat
usahanya. mengakibatkan terjadinya praktik monopoli
dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Tidak ada
B. Perjanjian Yang Dilarang dan Pelanggaran penjelaan atas pasal ini, akan tetapi ketentuan
Terhadap Undang-Undang Anti Monopoli larangan perjanjian ini ditunjukkan kepada larangan
1. Perjanjian Yang Dilarang praktik oligopoli.
Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Apa yang dimaksudkan dengan “Oligopoli", oleh
Perdata menentukan syarat-syarat sahnya suatu Sudarsono dirumuskannya bahwa “Oligopoli ialah
perjanjian, yang berisikan: Adanya kata sepakat dari keadaan pasar di mana produsen pembekal barang
masing-masing pihak, adanya kecakapan membuat
perjanjian, adanya hal tertentu, serta adanya kausa

22 Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, 23 Benyamin Asri dan Thabrani Asri, Tanya Jawab Pokok-pokok
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), hlm.44. Hukum Perdata dan Hukum Agraria, (Bandung: Armico, 1987),
hlm.77.
24 Hardjan Rusli, Op.Cit. hlm.44-45.
hanya sedikit sehingga mereka atau seorang dari harus dibayar oleh para pembeli atas barang yang
mereka dapat mempengaruhi harga pasar”.25 sama atau jasa yang sama. Pelaku usaha dilarang
Tony McAdams merumuskan “oligopoli” yakni : membuat perjanjian untuk menetapkan harga yang
“An economic condition in which the market for a berbeda-beda kepada para pembeli untuk barang
particular good or service is controlled by a small atau jasa yang sama. Hal ini akan mengakibatkan
number of producer or distributors”.26 Sementara terjadinya persaingan yang tidak sehat di pasar dan
pada Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 akan dapat merugikan para pembeli barang atau jasa
Tahun 1999 disebutkan bahwa “Pelaku usaha patut tersebut (Pasal 6).
diduga atau dianggap secara bersama-sama Penetapan harga di bawah harga pasar,
melakukan penguasaan produksi dan atau merupakan perjanjian yang dilarang, karena
pemasaran barang dan/atau jasa, sebagaimana penetapan harga di bawah harga pasar dapat
dimaksud ayat (1), apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) mengakibatkan terjadinya persaingan usaha yang
pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha tidak sehat. Untuk itu pelaku usaha dilarang
menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga
Penguasaan pangsa pasar oleh sedikit pelaku pasar (Pasal 7).
usaha, dengan cara berupaya mematikan atau tidak Selanjutnya ialah penjualan kembali barang atau
memberikan kesempatan bagi para pelaku usaha jasa di bawah harga yang telah ditetapkan, yang
lainnya, berakibat pelaku usaha yang bersangkutan maksudnya ialah, penerima barang atau jasa tidak
dapat menentukan harga pasar untuk mendapatkan akan menjual atau memasok kembali barang atau
laba sebanyak-banyaknya. Ketiadaan para pesaing jasa yang diterimanya dengan harga yang lebih
tentunya memberikan peluang bagi pelaku usaha rendah daripada harga yang telah diperjanjikan. Ini
tertentu untuk melakukan praktik yang bersifat berarti penerima barang harus menjual atau
oligopolistik ini. memasok kembali barang atau jasa tersebut sesuai
b. Penetapan Harga dengan harga yang telah ditetapkan oleh pelaku
Perjanjian lain yang dilarang menurut Undang- usaha tersebut. Hal ini dilarang oleh Undang-undang
Undang Nomor 5 tahun 1999, ialah perihal karena dapat mengakibatkan terjadinya persaingan
penetapan harga, diatur dalam Pasal 5 sampai usaha yang tidak sehat (Pasal 8).
dengan Pasal 8. Secara garis besar menurut Undang- c. Pembagian Wilayah
Undang Nomor 5 Tahun 1999, penetapan harga yang Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 juga
dimaksudkan ialah: melarang pembagian wilayah. Pelaku usaha dilarang
1) Penetapan harga yang dibuat secara bersama- menetapkan pembagian wilayah pemasaran atau
sama oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lokasi pasar berdasarkan Undang-Undang ini. Apalagi
pesaingnya. hal ini dilakukan oleh pelaku usaha pesaingnya. Hal
2) Diskriminasi harga. ini dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli
3) Penetapan harga di bawah harga pasar. dan persaingan usaha yang tidak sehat (Pasal 9).
4) Penjualan kembali barang atau jasa di bawah Bahwa dengan adanya pembagian wilayah
harga yang telah ditetapkan. pemasaran akan menciptakan persaingan yang tidak
Penetapan harga yang dibuat secara bersama- kompetitif. Misalnya Perusahaan A hanya boleh
sama oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha memproduksi barang atau memasarkan di daerah X.
pesaingnya, mengakibatkan konsumen atau Dan perusahaan B hanya boleh memasarkan di
pelanggan harus membayar harga yang ditetapkan daerah Y. Jadi perusahaan A tidak boleh memasarkan
untuk barang atau jasa tertentu, adalah salah satu atau menjual barangnya di daerah Y dan Perusahaan
perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang ini B juga tidak boleh memasarkan atau menjual
(Pasal 5 ayat 1). Ketentuan pada Pasal 5 ayat 1 barangnya di daerah X. Hal ini akan dapat
tersebut tidak berlaku bagi suatu perjanjian yang mengurangi atau meniadakan persaingan usaha
dibuat dalam bentuk usaha patungan atau suatu yang sehat dan ini bertentangan dengan ketentuan
perjanjian yang berdasarkan kepada Undang- Undang-Undang ini.
Undang yang berlaku (Pasal 5 ayat 2). Demikian pula, perjanjian yang dimaksud di
Perihal diskriminasi harga, dimaksudkan di sini dalam Pasal 9 ini dapat bersifat vertikal atau
adalah menetapkan harga yang berbeda-beda yang horizontal. Pembagian wilayah pasar atau alokasi

25 Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), 26Tony McAdams, Law, Business and Society, (Iowa: Business
hlm.314. Publications Inc, 1986), hlm.30.
pasar di sini tidak hanya dalam pengertian 2) Kartel Harga: Harga jual produksi ditetapkan oleh
pembagian wilayah pemasaran atau alokasi pasar kartel.
secara per-wilayah saja, tetapi lebih jauh ditetapkan 3) Kartel Rayon: Daerah pemasaran untuk masing-
pembagian wilayah pemasaran atau alokasi pasar masing perusahaan yang bergabung ditetapkan
darimana saja dan dari siapa saja suatu barang atau oleh kartel. 28
jasa tertentu diperoleh atau dipasok. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
d. Pemboikotan 1999, yang dimaksudkan dengan kartel ialah suatu
Perjanjian yang dilarang selanjutnya disebut perjanjian antara pelaku usaha dengan pelaku usaha
sebagai “Pemboikotan”. Menurut Undang-Undang pesaingnya dengan maksud untuk mengatur
Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 10 ayat (1) “Pelaku usaha produksi barang dan pemasarannya atau untuk
dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha mengatur pelayanan jasa tertentu (Pasal 11).
pesaingnya, yang dapat menghalangi pelaku usaha f. Trust
lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk Selanjutnya perjanjian lainnya yang dilarang
tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar ialah apa yang disebut sebagai “Trust”. Oleh
negeri”. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Pratijihno dijelaskannya bahwa apabila beberapa
menentukan 2 (dua) cara pemboikotan, yakni: perusahaan meleburkan diri dalam satu perusahaan
1) Menghalangi pelaku usaha lain untuk masuk ke besar, terdapatlah suatu trust. Perusahaan-
dalam pasar; dan perusahaan yang meleburkan diri tadi kehilangan
2) Menolak menjual barang atau jasa pelaku usaha kebebasan dan menjadi bagian-bagian dari trust itu.
lain. Trust ada juga apabila sebuah perusahaan besar
Menghalangi pelaku usaha lain untuk masuk ke mendirikan suatu perusahaan baru.29
dalam pasar merupakan tindakan yang dilarang, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
karena hal ini menciptakan persaingan usaha yang merumuskan tentang trust, ialah pembentukan
tidak sehat dan akan mengarah kepada adanya suatu gabungan perusahaan baru. Di sini pelaku-
praktik monopoli. Apalagi hal ini secara sadar dibuat pelaku usaha yang membentuk suatu gabungan
dalam satu perjanjian yang dilakukan oleh pelaku perusahaan dengan tetap mempertahankan
usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk kelangsungan hidup masing-masing perusahaannya
menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan atau perseroannya. Pendirian satu gabungan
usaha yang sama, baik itu untuk tujuan pasar dalam perusahaan baru seperti ini dilarang oleh Undang-
negeri maupun pasar luar negeri (Pasal 10 ayat 1). Undang Nomor 5 tahun 1999, jika hal ini bertujuan
Sedangkan cara berikutnya sebagai bentuk agar para pelaku usaha tersebut dapat mengontrol
pemboikotan ialah menolak menjual barang atau produksi dan pemasaran suatu barang atau jasa
jasa pelaku usaha lain. Ketentuan ini dilarang tertentu (Pasal 12).
sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat 2. g. Oligopsoni
e. Kartel Perjanjian lainnya yang dilarang oleh Undang-
Adapun bentuk perjanjian lainya yang dilarang Undang Nomor 5 Tahun 1999, ialah apa yang disebut
menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, sebagai oligopsoni, yang dirumuskan oleh Undang-
ialah apa yang disebut sebagai “Kartel”, yang dalam Undang bahwa ”Oligopsoni adalah penguasaan
bahasa Inggris disebut Cartel. Black’s Law Dictionary pembelian atau penerimaan pasokan atas barang
sebagaimana yang dikutip oleh Ahmad Yani dan atau jasa beberapa pelaku usaha secara bersama-
Gunawan Widjaja, memberikan rumusannya bahwa sama, dengan maksud supaya dapat mengendalikan
“Cartel is a combination of producers of any product harga atas barang atau jasa terebut di pasar,
joined together to control its product ion, sale and sehingga mengakibatkan terjadinya praktik
price, so as to obtain a monopoly and restrict monopoli dan atau persaingan usaha yang tidak
competition in any particular industry or sehat”. Tindakan seperti ini dilarang oleh Undang-
commodity”. 27 Pratjihno menerangkan ada Undang Nomor 5 Tahun 1999 (Pasal 13 ayat 1).
beberapa macam kartel: Sedangkan Pasal 13 ayat 2 Undang-Undang tersebut
1) Kartel Produksi: Jumlah produksi dari tiap menentukan batas dari penguasaan pasar/atau
perusahaan yang bergabung ditetapkan. Ini pangsa pasar, apabila lebih dari 75% maka diduga
untuk mencegah adanya pasar kebanjiran melanggar ketentuan pada Pasal 13 ayat 2.
barang yang dapat menurunkan harga. h. Integrasi Vertikal

27 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Op. Cit. hlm.19. 29 Prajithno, Loc.Cit.
28 Pratjihno, Garis Besar Tata Niaga Umum di Indonesia, (Jakarta:

Djambatan, 1985), hlm.52-53.


Perjanjian berikutnya yang dilarang oleh dinamakan tying product (barang atau jasa yang
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ialah apa yang pertama kali dijual), kepada pihak kedua (pembeli)
disebut sebagai integrasi vertikal. A.F. Elly Erawaty dengan syarat pembeli tersebut harus pula membeli
(Ed), perihal integrasi vertikal ini mengemukakan produk lainnya, yang dinamakan tied product
bahwa: “Pada praktiknya para produsen sangat (barang atau jasa yang dipaksa harus dibeli oleh
berkepentingan agar produknya memenangkan pembeli), dari penjual yang sama atau setidak-
persaingan dalam pasar melawan produk sejenis tidaknya dari pihak ketiga yang ditunjuk pihak
yang dihasilkan oleh produsen pesaingnya. Dalam pertama. Dalam perjanjian bisnis semacam ini,
rangka pembenangan persaingan ini terkadang pembeli juga dibebani syarat untuk tidak membeli
ditempuh praktik bisnis yang curang yaitu dengan tied product dari penjual lainnya. Undang-Undang
cara menghilangkan semaksimal mungkin Nomor 5 tahun 1999 mengatur perihal ini pada Pasal
persaingan usaha itu sendiri, sehingga efeknya 15 ayat (2) dan (3).33 Perjanjian tertutup terdiri dari:
adalah tercipta monopoli pasar di wilayah-wilayah 1) Exclusive Distribution Agreement, yang dimaksud
tertentu.30 disini adalah pelaku usaha membuat perjanjian
Perihal istilah : “Vertikal”, bahwa “Vertikal” disini dengan pelaku usaha lain yang memuat
merujuk pada hubungan antara produsen dengan persyaratan bahwa pihak yang menerima produk
dealer yakni hubungan yang vertikal, bukan sejajar.31 hanya akan memasok atau tidak memasok
Di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, kembali produk tersebut kepada pihak tertentu
pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan atau pada tempat tertentu saja, atau dengan kata
pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai lain pihak distributor dipaksa hanya boleh
sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian memasok produk kepada pihak tertentu dan
produk barang atau jasa tertentu yang mana setiap tempat tertentu saja oleh pelaku usaha
rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan manufaktur.
atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian 2) Tying Agreement, apabila suatu perusahaan
langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengadakan perjanjian dengan pelaku usaha
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak lainnya yang berada pada level yang berbeda
sehat atau merugikan masyarakat” (Pasal 15). dengan mensyaratkan penjualan ataupun
i. Perjanjian Tertutup penyewaan suatu barang atau jasa hanya akan
Exclusive Dealing atau perjanjian tertutup adalah dilakukan apabila pembeli atau penyewa tersebut
suatu perjanjian yang terjadi antara mereka yang juga akan membeli atau menyewa barang
berada pada level yang berbeda pada proses lainnya.34
produksi atau jaringan distribusi suatu barang atau 3) Vertical Agreement on Discount, apabila pelaku
jasa.32 usaha ingin mendapatkan harga diskon untuk
Seorang pelaku usaha menentukan sendiri pihak produk tertentu yang dibelinya dari pelaku usaha
penjual atau pembeli atau pemasok di pasar, sesuai lain, pelaku usaha harus bersedia membeli
dengan kebutuhan dan berlakunya sistem atau produk lain dari pelaku usaha tersebut atau tidak
mekanisme pasar. Perjanjian yang membatasi akan membeli produk yang sama atau sejenis dari
kebebasan tersebut bertentangan dengan hukum pelaku usaha lain yang menjadi pesaing.35
pasar yang mengakibatkan timbulnya persaingan j. Perjanjian Dengan Pihak Luar Negeri
tidak sehat. Dalam Undang-Undang Anti Monopoli, Terakhir sebagai perjanjian yang dilarang oleh
diatur larangan mengenai bentuk perjanjian yang Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ialah
dapat membatasi kebebasan pelaku usaha tertentu perjanjian dengan pihak luar negeri, yang
untuk memilih sendiri pembeli, penjual atau menyebutkan pelaku usaha dilarang membuat
pemasok barang atau jasa. perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang
Di dalam kaitan ini A.F. Elly Erawaty menjelaskan memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan
bahwa suatu perjanjian di mana pihak pertama terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan
(penjual) menjual suatu produk, yang kemudian usaha tidak sehat (Pasal 16). Beberapa aspek yang

30 A.F. Elly Erawaty, mengatur Perilaku Para Pelaku Usaha dalam 32 Suyud Margono, Hukum Anti Monopoli, (Jakarta: Sinar Grafika,

Kerangka Persaingan Usaha yang Sehat: Deskripsi Terhadap Isi 2009), hlm.98.
UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan 33 A.F. Elly Ermawaty, Ibid, hlm.40.

Persaingan Usaha Tidak Sehat, dalam A.F. Elly Erawaty (Ed), 34 Andi Fahmi Lubis, Anna Maria Anggraini, dkk, Hukum

Membenani Perilaku Bisnis Melalui UU No. 5 Tahun 1999, Persaingan Usaha Antara Teks dan Kontex, (Jakarta: ROV
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hlm.37. Creative Media, 2009), hlm.120.
31 Loc.Cit. 35 Ibid, hlm.121.
berkaitan dengan perjanjian-perjanjian yang dilarang sebagai hakim bagi masyarakat. Dimana Undang-
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, ialah Undang yang mengawasi hakim dalam
meliputi : melaksanakan tugasnya untuk menghukum orang-
1) Konsistensi dan konsekuensi dari perjanjian yang orang yang bersalah atau pelanggar hukum.38 Dalam
dilarang sehubungan dengan penggabungan, perkara yang dijelaskan pada latar belakang,
peleburan dan pengambilalihan perusahaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh PT. Tirta
(Merger, Consolidation, and Acquisition = Merjer, Investama dan PT. Balina Agung Perkasa adalah Pasal
Konsolidasi, dan Akuisisi). 15 ayat (3) huruf b (Perjanjian Tertutup) dan Pasal 19
2) Praktik monopoli dan oligologi dalam ketentuan huruf a dan b (Penguasaan Pasar) Undang-Undang
perundangan maupun kenyataannya. Nomor 5 Tahun 1999, yang disebutkan sebagai
3) Implikasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 berikut:
terhadap pasar bebas (globalisasi perdagangan). 1) Perjanjian Tertutup (exclusive dealing)
Tentang konsistensi dan konsekuensi perjanjian merupakan suatu perjanjian yang terjadi antara
yang dilarang berkaitan dengan hukum perusahaan mereka yang berada pada level yang berbeda
berdasarkan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun pada proses produksi atau jaringan distribusi
1995 tentang Perseroan Terbatas (PT), yang itu suatu barang atau jasa.39 Menurut Pasal 15
dalam rangka merjer, konsolidasi, atau akuisisi. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 menegaskan mengatur larangan perjanjian, menyatakan
bahwa perbuatan hukum penggabungan, peleburan bahwa:
dan pengambilalihan perseroan harus a) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
memperhatikan: ”Kepentingan perseroan, dengan pelaku usaha lain yang memuat
pemegang saham minoritas dan karyawan persyaratan bahwa pihak yang menerima
perseroan, dan kepentingan masyarakat dan barang dan/atau jasa hanya akan memasok
persaingan sehat dalam melakukan usaha” (Pasal dan tidak memasok kepada pihak tertentu
104 ayat (1)).36 Ketentuan ini memang sejalan dan/atau pada tempat tertentu.
dengan hakikat yang dimaksudkan oleh Undang- b) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
Undang Nomor 5 Tahun 1999, yang sudah tentu, dengan pihak lain yang memuat persyaratan
pihak yang berkompeten dalam suatu pembuatan bahwa pihak yang menerima barang
atau pendirian Perseroan Terbatas, baik notaris dan/atau jasa tertentu harus bersedia
maupun Menteri Kehakiman, berkepentingan dalam membeli barang dan/atau jasa lain dari
memantau kecenderungan pelanggaran pelaku usaha pemasok.
perusahaan-perusahaan terhadap ketentuan ini. a) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
Ketentuan dalam Pasal 104 ayat (1) Undang- mengenai harga atau potongan harga
Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan tertentu atas barang dan/atau jasa yang
Terbatas, juga kembali dipertegas dalam Peraturan memuat persyaratan bahwa pelaku usaha
Pemerintah Nomor 27 tahun 1998 tentang yang menerima barang dan/atau jasa dari
Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan pelaku usaha pemasok:
Perseroan Terbatas, yang dalam Pasal 4 ayat (1) a) harus bersedia membeli barang dan atau
menyatakan “Penggabungan, peleburan, dan jasa lain dari pelaku usaha pemasok; atau
pengambilalihan hanya dapat dilakukan dengan b) tidak akan membeli barang dan atau jasa
memperhatikan: a. kepentingan perseroan, yang sama atau sejenis.
pemegang saham minoritas, dan karyawan 2) Penguasaan pasar yaitu dengan kata lain menjadi
perseroan yang bersangkutan; b. kepentingan penguasa di pasar merupakan keinginan dari
masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan hampir semua pelaku usaha, karena penguasaan
usaha.37 pasar yang cukup besar memiliki korelasi positif
2. Pelanggaran Hukum PT. Tirta Investama dan PT. dengan tingkat keuntungan yang mungkin bisa
Balina Agung dimiliki oleh pelaku usaha. Penguasaan pasar
Menurut Aristoteles hukum hanyalah sebuah yang tidak adil akan mengakibatkankan
kumpulan peraturan yang dapat mengikat dan juga persaingan usaha yang tidak sehat.40 Menurut

36 Lihat UU No. 1/1995 tentang Perseroan Terbatas (PT). 39 Andi Fahmi Lubis, Anna Maria Anggraini, dkk, Hukum
37 Lihat PP No. 27/1998 tentang Penggabungan, Peleburan, dan Persaingan Usaha Antara Teks dan Kontex, (Jakarta: ROV
Pengambilalihan Perseroan Terbatas. Creative Media, 2009), hlm.118.
38 J.H. Rapar, Filsafat Politik Aristoteles, (Jakarta: Rajawali, 1988), 40 Munir Fuady, Hukum Antimonopoli Menyongsong Era

hlm.63. Persaingan Sehat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hlm.78.


Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 bersama-sama oleh para terlapor pada
Tentang Penguasaan Pasar menyatakan bahwa pedagang/pemilik toko dengan status SO.
pelaku usaha dilarang melakukan satu atau 6. Unsur Tidak Akan Membeli Barang dari Pelaku
beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama Usaha Pesaing
pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan Adanya bukti dokumen berupa Form Sosialisasi
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan yang memerintahkan bahwa penjual yang menjadi
usaha tidak sehat berupa: SO dari produk Terlapor I bersedia untuk tidak
a) Menolak dan atau menghalangi pelaku menjual produk dari pesaing Terlapor I dengan
usaha tertentu untuk melakukan kegiatan merek dagang Le Minerale.
usaha yang sama pada pasar bersangkutan. b. Pasal 19 huruf a dan b
b) Mematikan usaha pesaingnya di pasar 1. Unsur Pelaku Usaha
bersangkutan sehingga dapat Bahwa pelaku usaha yang dimaksud dalam
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli perkara ini adalah PT. Tirta Investama (Terlapor I)
dan atau persaingan usaha tidak sehat. dan PT. Balina Agung Perkasa (Terlapor II).
3. Analisa Kasus PT. Tirta Investama dan PT. Balina 2. Unsur Melakukan Satu atau Beberapa Kegiatan,
Agung Baik Sendiri Maupun Bersama Pelaku Usaha Lain
Pertimbangan Hakim dari aspek yuridis dalam Bahwa para terlapor telah terbukti secara
menjatuhkan sanksi terhadap PT. Tirta Investama bersama-sama telah melakukan tindakan persaingan
dan PT. Balina Agung Perkasa berkaitan dengan yang tidak sehat dengan melakukan ancaman
pemenuhan unsur-unsur dari Pasal 15 ayat (3) huruf dan/atau larangan kepada para pedagang/pemilik
b dan Pasal 19 huruf a dan b Undang-Undang Nomor toko SO untuk tidak menjual produk pesaing.
5 Tahun 1999, yang diuraikan sebagai berikut: Mekanisme degradasi terhadap para pedagang
a. Pasal 15 ayat (3) huruf b sehingga adanya klausul berupa larangan menjual
1. Unsur pelaku usaha produk kompetitor merupakan tindakan anti
Bahwa pelaku usaha yang dimaksud dalam persaingan yang sengaja dilakukan untuk
perkara ini adalah PT. Tirta Investama (Terlapor I) menghambat pertumbuhan para pesaingnya.
dan PT. Balina Agung Perkasa (Terlapor II). 3. Unsur Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik
2. Unsur Perjanjian Monopoli dan atau Persaingan Usaha Tidak Sehat
Bahwa perjanjian tertulis dalam hukum Tindakan Terlapor I yang telah mengeluarkan
persaingan dapat dimaknai sebagai perjanjian strategi anti persaingan tersebut menyebabkan Le
dengan nama apapun, perjanjian tertulis dalam Minerale sebagai kompetitor Aqua tidak bisa
perkara ini merujuk pada bukti dokumen mengenai melakukan repeat buying. Dengan latar belakang dan
“FORM SOSIALISASI PELANGGAN STAR OUTLET” objektif yang terdapat di dalam form sosialisasi
yang memerintahkan bahwa penjual SO dari produk tersebut Terlapor I telah menghambat
Terlapor I bersedia untuk tidak menjual produk Air kompetitornya yaitu PT. Tirta Fresindo Jaya
Minum Dalam Kemasan (AMDK) dengan merek produsen Le Minerale yang merupakan pesaing
dagang Le Minerale, dan bersedia menerima sanksi untuk memasuki pasar bersangkutan.
penurunan (degradasi) dari status SO menjadi 4. Unsur Menolak dan atau Menghalangi Pelaku
Wholesaler. Usaha Tertentu Untuk Melakukan Kegiatan Usaha
3. Unsur Mengenai Harga atau Potongan Harga Yang Sama Pada Pasar Bersangkutan
Berdasarkan bukti dokumen mengenai harga Bahwa tindakan para terlapor yang melarang
referensi, perbedaan harga SO dengan harga toko SO untuk menjual produk kompetitor (Le
Wholesaler memiliki selisih kurang lebih sebesar 3 Minerale), menyebabkan toko pada level SO tidak
persen. Dengan adanya perbedaan harga dalam dapat melakukan kegiatan usaha berupa menjual
status pedagang SO dan Wholesaler. produk competitor.
4. Unsur Barang 5. Unsur Menghalangi Konsumen atau Pelanggan
Bahwa yang dimaksud dengan barang dalam Pelaku Usaha Pesaingnya Untuk Tidak Melakukan
perkara ini adalah Air Minum Dalam Kemasan Air Hubungan Usaha dengan Pelaku Usaha
Mineral. Pesaingnya
5. Unsur Memuat Persyaratan Tidak Akan Membeli Tindakan para terlapor menyebabkan toko SO
Barang tidak dapat melakukan hubungan usaha dengan
Adanya larangan untuk tidak akan membeli produsen Le Minerale sebagai pesaing dari Aqua.
barang kompetitor (Le Minerale) dilakukan secara Tindakan para terlapor tersebut menyebabkan
konsumen tidak dapat melakukan pembelian produk
Le Minerale pada toko-toko SO yang mengikuti b. Tindakan Terlapor I selaku produsen dari Aqua
kebijakan dari para terlapor. menyadari keberadaan produknya yang paling
Penulis setuju dengan keputusan Majelis Komisi banyak dicari di pasar bersangkutan, sehingga
tersebut, akan tetapi menurut penulis melihat dari mampu untuk mengancam para pedagang SO.
fakta hukum seharusnya Majelis Komisi juga dapat 3. Unsur Pelaku Usaha Memiliki Posisi Dominan
menjatuhkan atau mengenakan Terlapor I yaitu PT. Para terlapor tahu bahwa keberadaanya sangat
Tirta Investama Pasal 25 Ayat (1) huruf a Undang- dicari oleh konsumen sehingga kebanyakan
Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Posisi pedagang SO segan untuk tidak loyal pada para
Dominan, bahwasannya selain telapor melakukan terlapor yang mengakibatkan mereka akan
perjanjian tertutup dan penguasaan pasar didegradasikan. Karena perbandingan harga SO dan
sebagaimana telah di putuskan oleh Majelis Komisi Wholesaler yang lumayan jauh.
terlapor juga telah melanggar ketentuan tentang Bahwasannya ketika pelaku usaha tertentu
posisi dominan. memiliki posisi dominan bukanlah suatu tindak
Posisi dominan adalah suatu keadaan dimana pidana atau bukanlah suatu tindakan yang
pelaku usaha dalam memasarkan produknya tidak melanggar hukum. Namun ketika pelaku usaha
mempunyai pesaing yang berarti di pasar yang tersebut melangar atau melakukan perbuatan yang
bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar dilarang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi dengan menggunakan posisi dominan nya maka
tertinggi diantara pesaingnya di pasar yang pelaku usaha bisa dikatakan melanggar hukum.
bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan Dilihat dari Pasal 48 Ayat (1) Undang-Undang
keuangan, kemampuan akses pada pasokan dan Nomor 5 tahun 1999 dikatakan “Pelanggaran
penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan
pasokan atau permintaan barang dan jasa tertentu.41 Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25,
Pasal 25 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Pasal 27 dan Pasal 28 diancam pidana denda
pelaku usaha dilarang memiliki posisi dominan di serendah-rendahnya Rp. 25.000.000.000 (dua puluh
pasar dimana tempat ia melakukan kegiatan usaha. lima miliar) dan setinggi-tingginya Rp.
Sedangkan Undang-Undang itu bersifat kaku. Artinya 100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau pidana
posisi dominan bukanlah kegiatan atau bukanlah kurungan pengganti denda selama-lamanya 6
perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang (enam) bulan.” Tetapi denda yang dikenakan kepada
Nomor 5 Tahun 1999, tetapi yang dilarang oleh para terlapor hanya denda administratif dan
Undang-Undang tersebut adalah pelaku usaha yang menghukum Terlapor 1 denda sebesar Rp.
memiliki posisi dominan namun melakukan 13.845.450.000 (tiga belas miliar delapan ratus
perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang. Maka empat puluh lima juta empat ratus lima puluh ribu
penulis melihat unsur-unsur dari Pasal 25 (Posisi rupiah) dan denda terhadap Terlapor II sebesar Rp.
Dominan) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 6.294.000.000 (enam miliar dua ratus sembilan
dalam perkara ini adalah sebagai berikut: puluh empat juta rupiah). Yang dimana para terlapor
1. Unsur Pelaku Usaha seharusnya dikenakan denda lebih besar dari yang
Bahwa pelaku usaha yang dimaksud dalam seharusnya dibayarkan yaitu serendah-rendahnya
perkara ini adalah PT. Tirta Investama (Terlapor I) Rp. 25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah).
dan PT. Balina Agung Perkasa (Terlapor II) KPPU mempunyai fungsi penegakan hukum
2. Unsur Pelaku Usaha Dilarang Menggunakan Posisi terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999,
Dominan Baik Secara Langsung Maupun Tidak namun KPPU bukanlah lembaga peradilan khusus
Langsung persaingan usaha yang dimana tidak berwenang
a. Bahwasannya tindakan Terlapor I dan Terlapor dalam menjatuhkan sanksi baik pidana maupun
II yang bersama-sama telah menghalangi perdata. Komisi Pengawas Persaingan Usaha hanya
kompetitornya untuk melakukan kegiatan dapat mengenakan sanksi administratif yang dimana
usaha di pasar yang sama dengan cara sanksi tersebut tidak akan memberikan efek jera
mengancam para pedagang SO akan melihat rendahnya pengenaan denda antara sanksi
didegradasi apabila menjual produk pesaing administrtif dengan sanksi pidana sebagaimana
mereka yaitu Le Minerale. diatur dalam Pasal 47 dengan Pasal 48 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999.

41 Andi Fahmi Lubis, Anna Maria Anggraini, dkk, Hukum


Persaingan Usaha Antara Teks dan Kontex, (Jakarta: ROV
Creative Media), h.165.
Menurut hemat penulis sudah waktunya bagi menghalangi konsumen dan pelanggan pelaku
Negara Indonesia dan Pemerintah untuk segera usaha pesaingnya untuk tidak melakukan
melakukan reformulasi atau revitalisasi Undang- hubungan usaha dengan pelaku usaha
Undang Nomor 5 Tahun 1999 itu sendiri sehingga pesaingnya. Terakhir unsur-unsur dari posisi
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ataupun dominan yaitu: unsur pelaku usaha, pelaku usaha
implementasi dari Undang-Undang tersebut dilarang menggunakan posisi dominan baik
kedepannya akan menciptakan hukum persaingan secara langsung maupun tidak langsung dan
usaha yang sehat dan sesuai dengan nilai-nilai pelaku usaha memiliki posisi dominan.
Pancasila dan Undang-Undang 1945. Karena
sebagaimana telah di amanatkan oleh filosofis B. Saran
Negara Indonesia yakni Pancasila sila ke 5 yaitu 1. Berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia dan perlu diikuti dengan upaya sosialisasi di tengah-
pembukaan Undang-Undang 1945 yang dimana tengah masyarakat, baik masyarakat kampus,
menginginkan Indonesia menjadi negara yang kalangan pelaku usaha maupun aparat penegak
mampu mensejahterakan seluruh rakyatnya yang hukum, serta masyarakat umum.
dimana cita-cita tersebut merupakan ide serta 2. Berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
pemikiran dari para founding father kita yang menuntut peran masyarakat baik melalui
menginginkan Indonesia menjadi negara yang Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang
sejahtera di masa mendatang. terkait, aparat penegak hukum dan masyarakat
umum, untuk terus mengawasi, mengkaji dan
PENUTUP berperan aktif guna mencegah muncul dan
A. Kesimpulan berkembangnya praktik monopoli serta
1. Pengaturan Undang-Undang Nomor 5 Tahun persaingan usaha, baik yang selama ini telah
1999 meliputi: perjanjian yang dilarang (10 bagian berkembang maupun yang kemungkinan
dan 13 Pasal, dari Pasal 4 sampai Pasal 16), berkembang di masa-masa mendatang. Sejalan
kegiatan yang dilarang (4 bagian dan 8 Pasal, dari dengan era globalisasi perdagangan, maka
Pasal 17 sampai dengan Pasal 24), dan posisi implementasi terhadap Undang-Undang No. 5
dominan (4 bagian dan 5 Pasal, dari Pasal 25 Tahun 1999 harus diwujudkan dengan tegas dan
sampai dengan Pasal 29). Perjanjian merupakan ketat.
perbuatan hukum yang banyak digunakan dalam
masyarakat yang oleh hukum dijamin kebebasan DAFTAR PUSTAKA
untuk membuat perjanjian guna mewujudkan Asri, Benyamin dan Thabrani Asri. Tanya Jawab
keabsahan perjanjian itu sendiri. Isi perjanjian Pokok-pokok Hukum Perdata dan Hukum
tidak boleh bertentangan atau melanggar Agraria. Bandung: Armico. 1987.
ketertiban umum maupun kesusilaan, serta Erawaty, A.F. Elly, Membenani Perilaku Bisnis
melanggar undang-undang yang berlaku. Melalui UU No. 5 Tahun 1999. Bandung:
2. Analisis terhadap Keputusan Komisi Pengawas Citra Aditya Bakti. 1999.
Persaingan Usaha Nomor 22/KPPU-I/2016 Fuady, Munir. Pengantar Hukum Bisnis, Menata
menunjukan bahwa perkara tersebut telah Bisnis Modren di Era Global. Jakarta: Citra
memenuhi unsur-unsur yang menimbulkan Aditya Bakti Pers. 2002.
persaingan usaha tidak sehat yaitu perjanjian Lubis, Andi Fahmi, Anna Maria Anggraini, dkk.
tertutup: unsur pelaku usaha, perjanjian, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan
mengenai harga atau potongan harga, barang, Kontex. Jakarta: ROV Creative Media. 2009.
memuat persyaratan tidak akan membeli barang, Lubis, Andi Fahmi, Anna Maria Anggraini, dkk.
dan tidak akan membeli barang dari pelaku usaha Hukum Persaingan Usaha (edisi kedua).
pesaing. Kemudian kegiatan penguasaan pasar Jakarta: Komisi Pengawas Persaingan
telah memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: Usaha. 2017.
unsur pelaku usaha, melakukan satu atau Lubis, M. Solly. Asas-asas Hukum Tata Negara.
beberapa kegiatan baik sendiri maupun bersama Bandung: Alumni. 1992.
pelaku usaha, dapat mengakibatkan terjadinya Lubis, T. Mulya. Hukum dan Ekonomi. Jakarta:
praktek monopoli dan atau persaingan usaha Pustaka Sinar Harapan. 1992.
tidak sehat, menolak dan atau menghalangi Margono, Suyud. Hukum Anti Monopoli, Jakarta:
pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan Sinar Grafika. 2009.
usaha yang sama pada pasar bersangkutan, dan
McAdams, Tony. Law, Business and Society, Boston:
Richard D. Irwin, Inc. 1992.
Pratjihno. Garis Besar Tata Niaga Umum Indonesia.
Jakarta: Djambatan. 1985.
Rapar, J.H. Filsafat Politik Aristoteles. Jakarta:
Rajawali. 1988.
Rusli, Hardijan. Hukum Perjanjian Indonesia dan
Common Law. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan. 1996.
Tjokroamidjojo, Bintoro. Perencanaan
Pembangunan, Jakarta: Gunung Agung.
1986.
Yani, Achmad, dan Widjaja, Gunawan. Anti
Monopoli. Jakarta: Rajawali Pers. 1999.
Peraturan Perundang-Undangan, Kamus
UU Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
Sudarsono. Kamus Hukum. Jakarta: Rine Cipta. 1992.

You might also like