Professional Documents
Culture Documents
51%. Andri Setiawan
51%. Andri Setiawan
Abstrak
Momentum politik pasca runtuhnya orde baru adalah menjunjung tinggi HAM. Salah satu penunjang
utama adalah adanya lembaga independen dan dipercaya oleh semua pihak sehingga perlindungan HAM
berjalan dengan efektif. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia menunjuk
Komnas HAM sebagai penyelidik kasus pelanggaran HAM, yang bersifat independen sebagai salah satu
unsur penegakan hukum dalam pelanggaran terhadap HAM, yang diberi kewenangan subpoena. Namun
dalam perjalanannya banyak kasus pelanggaran HAM berat yang masih terabaikan dan tidak
mendapatkan keadilan, hal ini didasarkan pada sistem birokrasi yang begitu rumit. Menggunakan Metode
penelitian yuridis-normatif dengan pendekatan perundang-undangan, konseptual dan perbandingan
menghasilkan bahasan bahwa Dalam upaya pengungkapannya harus melalui lintas kekuasaan yang
melibatkan Komnas HAM, Jaksa Agung, Eksekutif, Legislatif dan yudikatif. Hal ini berbeda dari di
Afrika Selatan dengan Truth and Reconciliation Commision (TRC) yang berhasil mengungkap
pelanggaran HAM berat dengan menghubungkan kebenaran dan pengampunan secara bersama-sama.
Sedangkan di Indonesia kewenangan Komnas HAM dalam upaya pengungkapan hanya terbatas pada
penyelidikan, sehingga ini jauh dari harapan dan cita-cita sebagai lembaga independen. Hasil dari
penelitian ini menunjukan bahwa kewenangan Komnas HAM begitu lemah sebagai lembaga independen
yang tidak dapat secara cepat menuntaskan pelanggaran HAM, maka perlu adanya rekonstruksi terhadap
kewenangan komnas HAM dalam mengupayakan penegakan keadilan pelanggaran HAM.
Abstract
The political momentum after the collapse of the New Order was to uphold human rights. One of the
main supports is the existence of an independent institution that is trusted by all parties so that the
protection of human rights runs effectively. Law No. 39 of 1999 concerning Human Rights appoints
Komnas HAM as investigators of cases of human rights violations, which are independent in nature as
one of the elements of law enforcement in violations of human rights, which are given the authority of the
subpoena. However, along the way, many cases of gross human rights violations are still ignored and do
not get justice, this is based on a very complicated bureaucratic system. Using the juridical-normative
research method with a statutory, conceptual and comparative approach resulted in the discussion that in
an effort to disclose it must go through cross-powers involving Komnas HAM, Attorney General,
Executive, Legislative and Judiciary. This is different from the one in South Africa where the Truth and
Reconciliation Commission (TRC) succeeded in uncovering gross human rights violations by linking
truth and forgiveness together. Meanwhile, in Indonesia, the authority of Komnas HAM in disclosure
efforts is only limited to investigations, so this is far from the hopes and aspirations of being an
independent institution. The results of this research indicate that the authority of the National
Commission on Human Rights is so weak as an independent institution that cannot quickly resolve human
rights violations, it is necessary to reconstruct the authority of the National Commission on Human
Rights in seeking justice for human rights violations.
DPR
Mekanisme penyelidikan oleh Komnas HAM dilanjutkan oleh Jaksa Agung, kemudian
penilaian DPR dalam usulan pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc terlalu panjang dan akan
memakan waktu terlalu lama. Tak heran jika banyak kasus pelanggaran HAM berat masa lalu
sampai hari ini tidak mendapat keadilan. Hal ini yang membuat keberadaan Komnas HAM tidak
memiliki peran signifikan dalam penegakan pelanggaran HAM.
Selain terdapat masalah kelembagaan juga terdapat masalah sistem dalam penyelesaian
kasus pelanggaran HAM berat. Jika dilihat dari penjelasan umum UU Pengadilan HAM
menyatakan bahwa pelanggaran HAM yang berat merupakan kejahatan luar biasa (extra-
ordinary crimes), bukan tindak pidana yang diatur dalam KUHP sehingga diperlukan langkah-
langkah khusus dalam penyelesaiannya. Namun, anehnya dalam Pasal 10 UU Pengadilan HAM
menyatakan bahwa pelanggaran HAM berat diselesaikan menggunakan hukum acara pidana.
Padahal KUHAP didesain sebagai hukum acara bagi tindak pidana biasa (ordinary crimes),
sehingga dapat dipastikan tidak bisa diberlakukan secara optimal untuk menangani kasus
pelanggaran HAM berat.
Tidak dapat diingkari dibentuknya UU Pengadilan HAM yang masih bermasalah secara
substansial merupakan reaksi terhadap dunia internasional yang ingin mengadili akibat
kejahatan tindak kemanusian yang di lakukan di Timor-Timor. Resolusi PBB No. 1264 tahun
1999 mengecam akan tindakan tersebut dan meminta pertanggungjawaban di depan pengadilan.
Konsekuensi ini sangat serius yang mungkin akan di jatuhkan sangsi politik dan ekonomi pada
Indonesia. Sehingga Indonesia memutuskan untuk menyelesaikan sendiri melalui pengadilan
nasional yang substansi hukumnya di sesuaikan dengan ICC Radjab, (2018).
Menurut Romli Atmasasmita(Marzuki, 2014, hlm. 161) di adopsinya Statuta Roma
untuk menghindari jurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dan ini merupakan strategi yang
dirancang agar kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia tidak serta-merta dibawa ke
Mahkamah Pindana International Sayangnya, bahwa adopsi Statuta Roma sebagai rules
perlindungan HAM tidak sepenuhnya dilakukan tetapi hanya secara bagian-bagian saja dan
parsial termasuk ‘The Elements of Crime’ dan ‘Rule of Procedure and Evidence’ Mulyadi,
(2013).
2. Penanganan HAM Berat di Negara Lain: Studi Kasus Afrika Selatan
George Jellinek mengemukakan kewajiban utama negara dengan teori dan konsep kewajiban
positif dan negatif. Kewajiban positif ditandai dengan adanya intervensinya negara, terhadap
tindakan-tindakan aktif atau tindakan lainnya terlebih terhadap hak ekonomi, sosial, dan
budaya. Sedangkan kewajiban negatif ditandai dengan kehadiran negara hanya sebatas
menghormati dan menghargai hak-hak setiap orang, sehingga tidak ada intervensi langsung dari
negara Suhendarto, (2021). Kewajiban menghormati (to respect) mengharuskan negara untuk
menghindari intervensi langsung terhadap hak setiap orang. Contohnya, negara tidak melakukan
pembunuhan untuk menghormati hak hidup orang. Selain itu terdapat kewajiban melindungi (to
protect) yang mengharuskan negara mengambil tindakan nyata untuk mencegah terjadinya
pelanggaran HAM yang berat. Sedangkan, kewajiban memenuhi (to fulfill) negara memiliki
kewajiban mengambil tindakan legislatif, administratif, peradilan dan langkah lain yang
diperlukan guna memastikan bahwa para pejabat negara dapat melaksanakan penghormatan dan
perlindungan HAM Suhendarto, (2021).
Bentuk penyelesaian pelanggaran berat HAM di setiap negara dalam praktiknya,
memiliki perbedaan sesuai dengan kondisi masing-masing negara dan pendekatan yang
dilakukan sebagian besar merupakan kompromi. Karena pelanggaran HAM bukanlah semata-
mata masalah hukum, namun “many violations are kinled to long standing political, economic,
and social problems that require more than law alone can repair”, maka penyelesaiannya pun
tidak hanya secara hukum Sujatmoko, (2005). Hal ini dapat terlihat pada negara lain, seperti
Australia, Afrika Selatan dan Jerman yang telah memulai bahkan sebagian besar sudah
berdamai dengan sejarah kelamnya. Seharusnya Indonesia pun dapat melakukan demikian,
terlebih hukum HAM internasional telah merumuskan kewajiban utama negara terkait
pelanggaran HAM yang berat. Afrika selatan menjadi contoh yang menarik dalam
menyelesaikan kasus pelanggaran HAM diskriminasi rasial politik dan apartheid. Pemerintahan
Nelson Mandela, berhasil melakukan upaya penghapusan diskriminasi rasial hingga membentuk
Truth and Reconciliation Commision (TRC) untuk melakukan rekonsiliasi dan pemulihan
nasional serta berperan memberikan pemikiran dalam penentuan kebijakan nasional Ilmar,
(2017) Artinya, upaya pemulihan dan pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM yang berat
menunjukkan penghargaan bagi para korban yang juga manusia dan negara hadir dengan
menunjukkan tanggung jawabnya.
Pembentukan institusi nasional HAM merupakan salah satu langkah dari proses
penegakan dan pemulihan serta pemenuhan dalam kasus pelanggaran HAM. Institusi dimaksud
haruslah merupakan lembaga yang mempunyai kelayakan serta efektif untuk disebut sebagai
sebuah institusi nasional. Oleh karenanya, pembentukan institusi tersebut harus memenuhi
elemen-elemen yang diatur di dalam standar internasional pembentukan institusi nasional HAM
sebagaimana disebutkan di dalam Prinsip-Prinsip Paris 1991 (Paris Principle 1991) Sriyana,
(2007).
Afrika Selatan merupakan salah satu negara yang memiliki institusi nasional HAM.
Pemikiran mengenai institusi nasional HAM tersebut telah diusulkan sejak tahun 1992, namun
pembicaraan secara serius mengenai institusi ham dapat terealisasi setelah Nelson Mandela
dipilih sebagai presiden pada tahun 1994 Erfandi, (2021). Isu yang paling krusial selama
negosiasi dalam penyusunan konstitusi sementara pada akhir tahun 1993 adalah soal apakah
diberikan amnesti atau tidak bagi para pelanggar, sebagaimana diinginkan militer dan
pemerintah Hayner, (2005). Hingga tanggal 19 juli 1995 Mandela mengeluarkan “Promotion of
National Unity and Reconciliation Act 34 of 1995” yang bertujuan untuk mengusut pelanggaran
HAM Berat. Undang-Undang ini juga mengamanatkan pembentukan Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi. Komisi ini dirancang untuk bekerja dalam tiga komite yang saling terkait yaitu
Komite Amnesti memproses dan memutuskan aplikasi individual untuk amnesti, Komite
Pelanggaran Hak Asasi bertanggung-jawab untuk mengumpulkan pernyataan dari para korban
dan saksi dan mencatat sejauh mana terjadinya pelanggaran hak asasi, dan Komite Pemulihan
dan Rehabilitasi merancang dan mengajukan saran untuk program pemulihan Erfandi, (2021).
Dalam penerapan kebijakannya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika ini tidak
hanya mengungkap kebenaran, namun membentuk pola yang tidak pernah ada sebelumnya
dengan sebuah model baru yang menghubungkan kebenaran dan pengampunan secara bersama-
sama. Komisi ini memiliki kekuasaan untuk memberikan pengampunan kepada setiap individu
yang datang menghadap komisi untuk menceritakan semua yang mereka ketahui tentang
kejahatan-kejahatan politik mereka di masa lalu Erfandi, (2021). Priscilla B. Hayner yang
merupakan seorang peneliti serta aktivis HAM menceritakan bahwa komisi ini telah menjadi
pusat perhatian di Afrika Selatan. Hal itu disebabkan karena dilakukannya secara terbuka
kepada publik proses dengan kesaksian (hearing) korban dan pelaku. Proses itu sangat terbuka
dan banyak diliput oleh berbagai media, surat kabar dan media massa lainnya, bahkan lembaga
penyiaran, melakukan ‘Live’ selama berjam-jam setiap hari dan cuplikan hasil dengar kesaksian
tersebut juga di tayangkan ulang di televisi pada malam harinya.
Melalui peran dari TRC tersebut, pemerintah Afrika Selatan juga berhasil
mengimplementasikan kebijakannya secara langsung serta mengkomunikasikannya melalui
metode hearing tersebut yang disiarkan dan disaksikan langsung oleh rakyat Afrika Selatan.
Sekalipun terdapat resistensi dari para pelaku, dukungan publik terhadap kebijakan tersebut
sangat tinggi. Hal tersebut juga tidak terlepas dari peran elit yang memegang suprastruktur
politik seperti Mandela dan De Klerk serta Uskup Demond Tutu (TRC) sebagai dua kelompok
elit dari rezim yang berbeda yang menggerakkan sistem dengan menjalankan fungsi-fungsinya
dengan baik. Dukungan tersebut kemudian menjadi sebuah input baru dalam sistem, yang
kemudian merekomendasikan Reformasi UU dan institusi negara yang siap diterapkan pada
pemilu 1999, dan pendirian monumen untuk menjaga ingatan serta program reparasi bagi
korban, serta adanya prosekusi bagi para pelaku. Kritik tentu saja ada, terutama karena Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan tidak dapat memenuhi keadilan prosedural dan
formal sebagaimana bila jalur legal yang ditempuh, namun tidak dapat dipungkiri, Afrika
Selatan telah menjadi kiblat utama bagi upaya penyelesaian pelanggaran HAM Erfandi, (2021).
Konsep keadilan transisional (transitional justice) dalam hal ini perlu menjadi suatu
pertimbangan bagi tataran pembuat kebijakan mengingat proses pembuktian adanya
pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan pelaku ataupun sebagai korban menyebabkan
kasus tersebut membutuhkan waktu yang lama dalam penyelesaiannya seperti Peristiwa Rumoh
Geudong dan Peristiwa Talangsari yang sulit mengidentifikasi pelaku pelanggaran HAM
tersebut. Dalam hal ini upaya pemenuhan hak korban seringkali terabaikan sebagai akibat
perhatian Pemerintah lebih tertuju pada penghukuman pelaku, sehingga keadilan bagi
masyarakat yang menjadi korban tidak tercapai, baik dari segi hukum, maupun ekonomi dan
sosial. Sehingga, konsep keadilan transisional ini akan berimplikasi pada pengembalian kembali
hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya yang sebelumnya telah dilanggar.
Beberapa upaya yang dapat dilakukan dalam mewujudkan keadilan transisional adalah:
(a) penegakan hukum pidana terhadap pelanggaran HAM yang berat masa lalu, yang umumnya
ditujukan terhadap ‘pembuat keputusan’ yang bertanggungjawab atas kejahatan yang bersifat
massal dan sistematik; (b) mekanisme ini juga dapat mengungkapkan seluruh kejahatan yang
dilakukan, dan juga untuk mengembalikan martabat korban, serta mengembalikan kepercayaan
publik pada rule of law; dan (c) Pengadilan Nasional diutamakan dalam proses ini, akan tetapi
karena sangat jarang dapat dilakukan, maka muncullah ad hoc international criminal tribunals,
hybrid courts, dan ICC.
3. Rekonstruksi Kewenangan Komnas HAM
Marwan Mas menegaskan, bahwa tujuan dibentuknya lembaga negara atau alat kelengkapan
negara, adalah menjalankan fungsi negara dan fungsi pemerintahan secara faktual. Secara
praktis, lembaga negara difungsikan untuk melaksanakan dasar atau ideologi negara dalam
mencapai tujuan negara. Dalam negara hukum yang demokratis, hubungan antara infrastruktur
politik (socio political sphere), dimana rakyat selaku pemilik kedaulatan (political sovereignty)
dengan suprastruktur politik (governmental political sphere) sebagai pemegang pelaksana
kedaulatan rakyat menurut hukum (legal sovereignty), terdapat hubungan yang saling
menentukan dan saling mempengaruhi Mas, (2014). Jika pembentukan hukum dapat segera
direalisasikan, bahwa pelanggaran HAM yang berat sebenarnya sama dengan korupsi dan
terorisme dan sebagainya dalam alasan yang wajar, maka menghalangi penegakan pelanggaran
HAM yang berat akan memperoleh semua perhatian dan intensitas yang tinggi. Selain itu,
pelanggaran HAM yang berat adalah jenis tindakan yang kerugiannya terasa langsung oleh
orang-orang (korban), sehingga dengan cara apa pun harus sesegera mungkin dilakukan.
Kedudukan Komnas HAM di sistem ketatanegaraan Indonesia tidak disebutkan dalam
UUD 1945 akan tetapi materi perlindungan HAM telah diakui dalam konstitusi. Meskipun
pembentukan dan pengaturan HAM didasarkan atas Undang-Undang, tetapi kedudukannya
sebagai lembaga negara mempunyai apa yang disebut constitutional importance yang sama
dengan lembaga-lembaga negara lainnya yang disebutkan explisit dalam UUD 1945 Sumolang,
(2019).
Masa kelam yang pahit akibat kekuasaan otoriter memicu lahirnya Komnas HAM yang
berangkat dari krisis kepercayaan Buyamin & Huda, (2013) terhadap lembaga yang ada,
sehingga Komnas HAM dikategorikan lembaga independen Karisma & Ariana, (2016) yang
berusaha menegakkan pelanggaran HAM pada masa itu. Bagi sebuah lembaga yang
independen, tidak ada yang dapat melakukan intervensi atau mengikatnya dalam mengambil
sikap atau kebijakan yang diprediksinya dapat membawa kemaslahatan bagi tujuan yang telah
di tentukan padanya. Sebagai lembaga negara yang independen, tujuan untuk kemaslahatan
bangsa dan negara adalah satu-satunya pengikat bagi independensinya Nurtjahjo, (2005).
Sebagai lembaga independen, Komnas HAM memiliki fungsi untuk melaksanakan,
pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi tentang hak asasi manusia.
Selain itu Komnas HAM diharapkan mampu mengungkap berbagai bentuk pelanggaran HAM
dengan diberikannya kewenangan subpoena yang diatur dalam pasal 95 UU 39 Tahun 1999
tentang HAM Sriyana, (2007). Namun, penyematan independen pada Komnas HAM masih
menjadi perdebatan Noor, (2020) karena kemandirian Komnas HAM tidak didukung dengan
regulasi yang memberikan kewenangan luas sebagai lembaga negara yang berciri independen
Ramadani, (2020). Sehingga tak jarang masyarakat menyebut Komnas HAM hari ini seperti
‘macan ompong’ dikarenakan masih banyaknya kekurangan dalam dasar pembentukan dan
kewenangannya.
Salah satu contoh adalah ketiadaanya kewenangan yang bersifat quasi yudisial(Risnain,
2014, hlm. 51) pada Komnas HAM yang dapat menunjang kemandiriannya dalam mengusut
kasus pelanggaran HAM. Padahal jika menilik sejarah terbentuknya UU HAM dan Komnas
HAM tersebut akibat desakan internasional dan tidak percayanya masyarakat terhadap lembaga
pemerintahan. Maka seharusnya kewenangan Komnas HAM sebagai lembaga independen
haruslah diperluas dengan diberikannya kewenangan quasi yudisial.
Kemudian kewenangan Komnas HAM dalam proses pengungkapan yang hanya terbatas
pada penyelidikan, membuat banyaknya kasus pelanggaran HAM berat tidak terselesaikan, hal
ini akibat adanya penyelesaian melalui ‘lintas kekuasaan’. Padalah latar belakang berdirinya
Komnas HAM sebagai upaya untuk mengungkap kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh
negara, sehingga terbentuklah lembaga independen agar terhindar dari segala bentuk intervensi
pemerintahan. Namun dalam proses pengungkapannya harus melalui persetujuan pemerintah
baik eksekutif maupun legislatif. Sedangkan keberadaan pemerintahan pasca orde baru adalah
hasil reformasi yang kental dengan negosiasi politik Marzuki, (2014) dan bisa saja hasil
negosiasi tersebut menjadikan impunity bagi pelanggar HAM berat yang bersembunyi di dalam
pemerintahan.
Maka, seharusnya kewenangan Komnas HAM dalam penyelidikan dapat diperluas
hingga penyidik dan penuntutan. Hal tersebut untuk memberikan penguatan pada lembaga
negara yang berlabel independen, sehingga Komnas HAM dapat berdiri sendiri sebagai lembaga
yang mandiri dan bebas intervensi dari pihak manapun. Untuk itu perlunya pencantuman
keberadaan Komnas HAM dalam Konstitusi sebagaimana Prinsip Paris menyebutkan bahwa
lembaga nasional harus di ikuti dengan kompetensi, didirikan berdasarkan landasan konstitusi
atau perundang-undangan yang jelas dan harus diberikan mandat seluas mungkin Lindsnaes
dkk., (2000). Mengingat kewenangan Komnas HAM selaku penyelidik pro-yustisia dalam kasus
pelanggaran HAM yang berat bersinggungan dengan institusi negara lainnya.
Selain itu, dalam mencari proses penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu
terdapat upaya pilihan dalam pengungkapannya. Beberapa negara telah melakukan pengadilan
HAM berat tetap diselenggarakan untuk meminta pertanggungjawaban hukum para pelaku dan
dipenjarakan. Selain proses pengadilan, ditempuh pula mekanisme diluar pengadilan (non-
judicial) melalui mekanisme pembentukan Komisi khusus seperti Afrika selatan dengan Truth
and Reconciliation Commision adalah pilihan yang harus di sediakan. Hal ini disebabkan jika
merujuk pada korban atau masyarakat yang terdampak kasus pelanggaran HAM, mereka tidak
hanya mengalami kerugian pada hak-hak fundamental saja, tetapi hak-hak ekonomi dan sosial
juga ikut dilanggar. Oleh karena itu, sangat penting untuk menyelesaikan pelanggaran HAM
yang berat dengan memulihkan hak-hak korban dengan harapan korban memperoleh kebutuhan
materiil, medis, maupun rehabilitasi psikososial.
DAFTAR PUSTAKA
Buku, Jurnal dan Berita.
Amindoni, A. (2019). Kejaksaan Agung kembalikan berkas kasus pelanggaran HAM berat, bagaimana
komitmen Presiden Jokowi. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-46822119
Buyamin, & Huda, N. (2013). Politik Hukum Pelembagaan Komisi-komisi Negara Dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia. Jurnal Hukum dan Peradilan, 2(1).
Conde, H. V. (1999). A Handbook of Interna Onal Human Rights Terminology. University of Nerbraska
Press.
Erfandi, T. (2021). Tinjauan Yuridis dalam Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Melalui Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi di Afrika Selatan dan Indonesia. Jurnal Program Magister Hukum
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1(4).
Hayner, P. B. (2005). Kebenaran Tak Tebahasakan: Refleksi Pengalaman Komisi-Komisi Kebenaran,
Kenyataan dan Harapan (ELSAM, Penerj.). ElSAM.
Ibrahim, J. (2006). Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif (2 ed.). Bayumedia.
Ilmar, A. (2017). Penegakan Hak Asasi Manusia Di Masa Transisi Demokrasi: Kasus Afrika Selatan Dan
Indonesia. Global Insight, 1(2).
Indriawati, T. (2022). Kasus Pelanggaran HAM Berat di Indonesia yang Belum Terselesaikan.
https://www.kompas.com/stori/read/2022/09/15/140000879/kasus-pelanggaran-ham-berat-di-
indonesia-yang-belum-terselesaikan?page=all
Karisma, G. M., & Ariana, P. (2016). Kedudukan Komisi Nasional Hak asasi Manusia sebagai Lembaga
Negara Independen Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Kertha Negara, 4(5).
Komnas HAM. (2016). Jurnal HAM: Komisi Hak Asasi Manusia. Jurnal HAM, 13(8).
Komnas HAM. (2020). LKIP Biro Dukungan Penegakan HAM Tahun 2019. Komnas HAM.
Lindsnaes, B., Lindholt, L., & Yigen, K. (2000). National Human Rights Institutions Articles and
working papers. Danish Centre for Human Rights.
Marzuki, S. (2014). Politik Hukum Hak Asasi Manusia. Erlangga.
Mas, M. (2014). Hukum Dan Konstitusi Kelembagaan Negara. Rajawali Press.
Miladmahesi, R. (2019). Tantangan Reformulasi Pada Peran Komnas HAM Dalam Penegakan Hukum
Hak Asasi Manusia Di Indonesia. Jurnal Peradilan Indonesia, 7(Juli-Desember).
Mulyadi. (2013). Peradilan Hak Asasi Manusia dalam Konteks Nasional dan Internasional,. Makalah.
Muntoha. (2013). Negara Hukum Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945. Kaukaba.
Noor, S. (2020). Penguatan Eksistensi Kelembagaan Komnas HAM Sebagai Constitutional Organ
Dengan Constitutional Impoertance Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Jurist-Diction,
3(3).
Nurtjahjo, H. (2005). Lembaga, Badan Dan Komisi Negara Independen (State Auxiciliari Agencies) Di
Indonesia Tinjauan Hukum Tata Negara. Jurnal Hukum Dan Pembangunan, 35(3).
Radjab, S. (2018). Politik Hukum Pengadilan HAM di Indonesia. Nagamedia.
Ramadani, R. (2020). Lembaga Negara Independen di Indonesia Dalam Perspektif Konsep Independen
Regulatory Agencies. Ius Quia Iustum, 27(1).
Ramadhan, F., Nugraha, X., & Felany, P. I. (2020). Penataan Ulang Kewenangan Penyidikan Dan
Penuntutan Dalam Penegakan Hukum Pelanggaran HAM Berat. Veritas Et Justitia, 6(1).
Risnain, Muh. (2014). Eksistensi Lembaga Quasi Yudisial Dalam Sistem Kekuasaan Kehakiman Di
Indonesia: Kajian Terhadap Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Jurnal Hukum dan Peradilan,
3(1).
Santoso, B. (2018). Kewenangan Jaksa Agung Dalam Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat
Dihubungkan Dengan Prinsip Negara Hukum. Syiar Hukum, 16(1).
Septiani, D. (2016). Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban Dalam Pemenuhan Hak-Hak Korban
Pelanggaran HAM Berat Di Daerah [Skripsi]. Universitas Pasundan.
Shelton, D. (1999). Remedies in International Human Rights Law. Oxford University Press.
Sriyana. (2007). Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat.
Suhendarto, B. P. (2021). Pemenuhan Hak-Hak Korban Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Di
Indonesia. Jurnal Hukum Politik dan Kekuasaan, 1(2).
Sujatmoko, A. (2005). Tanggung Jawab Negara atas Pelanggaran Berat HAM: Indonesia, Timor leste
dan lainnya. Grasindo.
Sumolang, D. S. (2019). Kajian Yuridis Terhadap Kedudukan Komnas HAM Dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia. Lex Administratum, 7(1).
Febriansyah Ramadhan. (2020) Penataan Ulang Kewenangan Penyidikan dan Penuntutan dalam
Penegakan Hukum Pelanggaran Ham Berat. Jurnal Vej
Alpases P O Sinaga (2022). Analisis Kewenangan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Terhadap
Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat di Indonesia. universitas sebelas maret
surakarta
Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (Lembar Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 165; Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 3886)
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Lembar Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 208; Tambahan Lembar Negara Nomor 4026)