Professional Documents
Culture Documents
Gawat Ibu
Gawat Ibu
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Angka kematian ibu di Indonesia menempati urutan pertama di Negara kawasan Asia Tenggara yaitu
307/100.000 kelahiran hidup sedangkan angka kematian bayi juga masih tinggi yaitu 35/1000 kelahiran
hidup (Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2007). Sejalan dengan komitmen pemerintah
dalam menunjang upaya pencapaian Millenium Development Goals (MDG’s) no 4 dan 5 didalam
menurunkan angka kematian ibu dan bayi adalah pencapaian angka kematian ibu menjadi 112/100.000
kelahiran hidup dan angka kematian bayi menjadi 20/1000 kelahiran hidup.
Dari berbagai faktor yang berperan pada kematian ibu dan bayi, kemampuan kinerja petugas kesehatan
berdampak langsung pada peningkatan kualitas pelayanan kesehatan maternal dan neonatal terutama
kemampuan dalam mengatasi masalah yang bersifat kegawatdaruratan. Semua penyulit kehamilan atau
komplikasi yang terjadi dapat dihindari apabila kehamilan dan persalinan direncanakan, diasuh dan
dikelola secara benar. Untuk dapat memberikan asuhan kehamilan dan persalinan yang cepat tepat dan
benar diperlukan tenaga kesehatan yang terampil dan profesional dalam menanganan kondisi
kegawatdaruratan.
2. RUMUSAN MASALAH
3. TUJUAN
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Askeb V (Kebidanan
Komunitas) pada jurusan D3 Kebidanan Semester IV di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Tri
Mandiri Sakti Bengkulu
4. MANFAAT
Manfaat dari penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui tindakan apa saja yang dilakukan pada
Pertolongan Pertama Kegawatdaruratan Obstetric dan Neonatal
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Preeklampsia adalah perkembangan hipertensi, protein pada urin dan pembengkakan, dibarengi dengan
perubahan pada refleks (Curtis, 1999).
Preeklampsia adalah suatu penyakit vasospastik, yang melibatkan banyak sistem dan ditandai oleh
hemokonsentrasi, hipertensi, dan proteinuria (Bobak, dkk., 2005).
Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai dengan proteinuria
(Prawirohardjo, 2008).
Pre-eklamsi dan eklamsi, merupakan kesatuan penyakit, yakni yang langsung disebabkan oleh
kehamilan, walaupun belum jelas bagaimana hal itu terjadi. Pre eklamasi diikuti dengan timbulnya
hipertensi disertai protein urin dan edema akibat kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau
segera setelah persalinan (Ilmu Kebidanan Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiharjo, Fak. UI Jakarta,
1998).
Diagnosis pre-eklamsia ditegakkan berdasarkan adanya dua dari tiga gejala, yaitu penambahan berat
badan yang berlebihan, edema, hipertensi dan proteinuria. Penambahan berat badan yang berlebihan
bila terjadi kenaikan 1 Kg seminggu berapa kali. Edema terlihat sebagai peningkatan berat badan,
pembengkakan kaki, jari tangan, dan muka. Tekanan darah > 140/90 mmHg atau tekanan sistolik
meningkat >30 mmHg atau tekanan diastolik >15 mmHg yang diukur setelah pasien beristirahat selama
30 menit.(Kapita Selekta Kedokteran, Mansjoer Arif, Media Aesculapius, Jakarta, 2000).
B. Etiologi
Penyebab pre-eklamsi belum diketahui secara pasti, banyak teori yang coba dikemukakan para ahli untuk
menerangkan penyebab, namun belum ada jawaban yang memuaskan. Teori yang sekarang dipakai
adalah teori Iskhemik plasenta. Namun teori ini juga belum mampu menerangkan semua hal yang
berhubungan dengan penyakit ini. (Ilmu Kebidanan Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiharjo, Fak. UI
Jakarta, 1998).
C. Klasifikasi Pre-eklamsi
Pre-eklamsia ringan :
· kenaikan tekanan darah diastolik 15 mmHg atau >90 mmHg dengan 2 kali pengukuran berjarak 1jam
atau tekanan diastolik sampai 110mmHg.
· kenaikan tekanan darah sistolik 30 mmHg atau > atau mencapai 140 mmHg.
· protein urin positif 1, edema umum, kaki, jari tangan dan muka. Kenaikan BB > 1Kg/mgg.
Pre-eklampsia berat :
Tekanan diastolik >110 mmhg, Protein urin positif 3, oliguria (urine, 5gr/L). hiperlefleksia, gangguan
penglihatan, nyeri epigastrik, terdapat edema dan sianosis, nyeri kepala, gangguan kesadaran.
D. Patologi
Pre-eklamsi ringan jarang sekali menyebabkan kematian ibu. Oleh karena itu, sebagian besar
pemeriksaaan anatomik patologik berasal dari penderita eklampsi yang meninggal. Pada penyelidikan
akhir-akhir ini dengan biopsi hati dan ginjal ternyata bahwa perubahan anatomi-patologik pada alat-alat
itu pada pre-eklamsi tidak banyak berbeda dari pada ditemukakan pada eklamsi. Perlu dikemukakan
disini bahwa tidak ada perubahan histopatologik khas pada pre-eklamsi dan eklamsi. Perdarahan, infark,
nerkosis ditemukan dalam berbagai alat tubuh. Perubahan tersebut mungkin sekali disebabkan oleh
vasospasmus arteriola. Penimbunan fibrin dalam pembuluh darah merupakan faktor penting juga dalam
patogenesis kelainan-kelainan tersebut.
1. Perubahan hati
2. Retina
3. Otak
- Spasme pembuluh darah arteriol otak menyebabkan anemia jaringan otak, perdarahan dan nekrosis
4. Paru-paru
5. Jantung
- Perdarahan sub-endokardial
- Spasme arteriol yang mendadak menyebabkan asfiksia berat sampai kemaian janin
7. Perubahan ginjal
- Spasme arteriol menyebabkan aliran darah ke ginjal menurun sehingga fitrasi glomerolus berkurang
- Penyerapan air dan garam tubulus tetap terjadi retensi air dan garam
- Permeabilitasnya terhadap protein makin tinggi sehingga terjadi vasasi protein ke jaringan
- Hemokonsentrasi darah yang menyebabkan gangguan fungsi metabolisme tubuh dan trombosis.
(Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan, Ida Bagus
Gede Manuaba, Jakarta : EGC, 1998).
Dimulai dengan kenaikan berat badan diikuti edema. Pada kaki dan tangan, kenaikan tekanan darah, dan
terakhir terjadi proteinuria. Pada pre-eklamsi ringan gejala subjektif belum dijumpai, tetapi pada pre-
eklamsia berat diikuti keluhan sebagai berikut :
- Gangguan penglihatan
- Gangguan kesadaran
G. Diagnosis
Pada umumnya diagnosis diferensial antara pre-eklamsia dengan hipertensi manahun atau penyakit
ginjal tidak jarang menimbulkan kesukaran. Pada hipertensi menahun adanya tekanan darah yang
meninggi sebelum hamil.pada keadaan muda atau bulan postpartum akan sangat berguna untuk
membuat diagnosis.
Untuk diagnosis penyakit ginjal saat timbulnya proteinuria banyak menolong. Proteinuria pada pre-
eklamsia jarang timbul sebelum TM ke 3, sedangkan pada penyakit ginjal timbul lebih dulu.
(Ilmu Kebidanan Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiharjo, Fak. UI Jakarta, 1997).
H. Pencegahan Pre-Eklamsia
Belum ada kesepakatan dalam strategi pencegahan pre-eklamsia. Beberapa penelitian menunjukkan
pendekatan nutrisi (diet rendah garam, diit tinggi protein, suplemen kalsium, magnesium dan lain-lain).
Atau medikamentosa (teofilin, antihipertensi, diuretic, asapirin, dll) dapat mengurangi timbulnya pre-
eklamsia.
I. Penanganan
Jika salah satu diantara gejala atau tanda berikut ditemukan pada ibu hamil, dapat diduga ibu tersebut
mengalami preeklamsia
4. Keluhan subyektif (nyeri epigastrium, gangguan penglihatan, nyeri kepala, edema paru, sianosis,
gangguan kesadaran).
5. Pada pemeriksaan, ditemukan kadar enzim hati meningkat disertai ikterus, perdarahan pada retina,
dan trombosit kurang dari 100.000/ mm.
Diagnosis eklamsia harus dapat dibedakan dari epilepsy, kejang karena obat anesthesia, atau koma
karena sebab lain seperti diabetes. Komplikasi yang terberat adalah kematian ibu dan janin.
1. Larutan magnesium sulfat 40% sebanyak 10 ml (4 gram) disuntikkan intra muskulus pada bokong kiri
dan kanan sebagai dosis permulaan, dan dapat diulang 4 gram tiap jam menurut keadaan. Obat tersebut
selain menenangkan juga menurunkan tekanan darah dan meningkatkan dieresis.
2. Klorpomazin 50 mg intramuskulus.
3. Diazepam 20 mg intramuskulus.
1. Jika setelah penanganan diastolik tetap lebih dari 110 mmHg, beri obat anti hipertensi sampai tekanan
diastolik di antara 90-100mmHg.
5. Jika jumlah urin kurang dari 30 ml/jam, hentikan magnesium sulfat dan berikan cairan IV NaCl 0,9%
atau Ringer laktat 1 L/ 8 jam dan pantau kemungkinan edema paru.
6. Jangan tinggalkan pasien sendirian. Kejang disertai aspirasi muntah dapat mengakibatkan kematian
ibu dan janin.
9. Hentikan pemberian cairan IV dan beri diuretic (mis: furosemid 40 mg IV sekali saja jika ada edema
paru).
10. Nilai pembekuan darah jika pembekuan tidak terjadi sesudah 7 menit (kemungkinan terdapat
koagulopati).
Perdarahan setelah melahirkan atau hemorrhagic post partum (HPP) adalah konsekuensi perdarahan
berlebihan dari tempat implantasi plasenta, trauma di traktus genitalia dan struktur sekitarnya, atau
keduanya.
Perdarahan post partum dini jarang disebabkan oleh retensi potongan plasenta yang kecil, tetapi plasenta
yang tersisa sering menyebabkan perdarahan pada akhir masa nifas. Kadang-kadang plasenta tidak
segera terlepas. Bidang obstetri membuat batas-batas durasi kala tiga secara agak ketat sebagai upaya
untuk mendefenisikan retensio plasenta shingga perdarahan akibat terlalu lambatnya pemisahan
plasenta dapat dikurangi. Combs dan Laros meneliti 12.275 persalinan pervaginam tunggal dan
melaporkan median durasi kala III adalah 6 menit dan 3,3% berlangsung lebih dari 30 menit. Beberapa
tindakan untuk mengatasi perdarahan, termasuk kuretase atau transfusi, menigkat pada kala tiga yang
mendekati 30 menit atau lebih.
Efek perdarahan banyak bergantung pada volume darah pada sebelum hamil dan derajat anemia saat
kelahiran. Gambaran perdarahan post partum yang dapat mengecohkan adalah nadi dan tekanan darah
yang masih dalam batas normal sampai terjadi kehilangan darah yang sangat banyak.
A. Klasifikasi
Perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama. Penyebab utamanya adalah atonia uteri, retention
plasenta, sisa plasenta dan robekan jalan lahir. Banyaknya terjadi pada 2 jam pertama
B. Etiologi
1. Atonia uteri
Keadaan lemahnya tonus/konstraksi rahim yang menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan
terbuka dari tempat implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir. (Merah) Pada atonia uteri uterus
terus tidak mengadakan konstraksi dengan baik, dan ini merupakan sebab utama dari perdarahan post
partum.
b. Kelelahan karena persalinan lama atau persalinan lama atau persalinan kasep.
c. Ibu dengan keadaan umum yang jelek, anemis, atau menderita penyakit menahun.
Perdarahan dalam keadaan di mana plasenta telah lahir lengkap dan kontraksi rahim baik, dapat
dipastikan bahwa perdarahan tersebut berasal dari perlukaan jalan lahir.
a. Robekan Perineum
Tingkat I : robekan hanya pada selaput lendir vagina dengan atau tanpa mengenai kulit perineum
Tingkat II : robekan mengenai selaput lendir vagina dan otot perinei transversalis, tetapi tidak mengenai
sfingter ani
Tingkat III : robekan mengenai seluruh perineum dan otot sfingter ani
Kolporeksis adalah suatu keadaan di mana terjadi robekan di vagina bagian atas, sehingga sebagian
serviks uteri dan sebagian uterus terlepas dari vagina. Robekan ini memanjang atau melingkar.
Robekan serviks dapat terjadi di satu tempat atau lebih. Pada kasus partus presipitatus, persalinan
sungsang, plasenta manual, terlebih lagi persalinan operatif pervaginam harus dilakukan pemeriksaan
dengan spekulum keadaan jalan lahir termasuk serviks.
b. Hematoma vulva
Hematoma yang biasanya terdapat pada daerah-daerah yang mengalami laserasi atau pada daerah
jahitan perineum.
d. Robekan serviks
plasenta tetap tertinggal dalam uterus 30 menit setelah anak lahir. Plasenta yang sukar dilepaskan
dengan pertolongan aktif kala III dapat disebabkan oleh adhesi yang kuat antara plasenta dan uterus.
Faktor predisposisi :
a. Plasenta previa
b. Bekas SC
c. Kuret berulang
d. Multiparitas
Penyebab :
a. Fungsional
Plasenta yang sukar lepas karena sebab-sebab tersebut di atas disebut plasenta adhesiva
b. Patologi- Anatomis
Plasenta akreta ada yang komplit ialah kalau seluruh permukaannya melekat dengan erat pada dinding
rahim dan ada yang parsialis ialah kalau hanya beberapa bagian dari permukaannya lebih erat
berhubungan dengan dinding rahim dari biasa. Plasenta akreta yang terjadi komplit begitu juga placenta
increta dan percreta jarang terjadi. Sebabnya plasenta akreta adalah kelainan decidua misalnya desidua
yang terlalu tipis. Plasenta akreta menyebabkan retensio plasenta.
Pada retensio plasenta, sepanjang plasenta belum terlepas, maka tidak akan menimbulkan perdarahan
yang cukup banyak (perdarahan kala III) dan harus diantisipasi dengan segera melakukan plasenta
manual.
Sisa plasenta bisa diduga bila kala uri berlangsung tidak lancar, atau setelah melakukan plasenta manual
atau menemukan adanya kotiledon yang tidak lengkap pada saat melakukan pemeriksaan plasenta dan
masih ada perdarahan dari ostium uteri eksternum pada saat konstraksi rahim sudah baik dan robekan
jalan lahir sudah terjahit. Untuk itu, harus dilakukan eksplorasi ke dalam rahim dengan cara manual atau
kuret dan pemberian uterotonika.
Pada pemeriksaan penunjang ditemukan hasil pemeriksaan faal hemostasis yang abnormal. Waktu
perdarahan dan waktu pembekuan memanjang, trombositopenia, terjadi hipofibrinogenemia, dan
terdeteksi adanya FDP (fibrin degradation product) serta perpanjangan tes protombin dan PTT (partial
thromboplastin time).
Predisposisi untuk terjadinya hal ini adalah solusio plasenta, kematian janin dalam kandungan,
eklampsia, emboli cairan ketuban, dan sepsis. Terapi yang dilakukan adalah dengan transfusi darah dan
produknya seperti plasma beku segar, trombosit, fibrinogen dan heparinisasi atau EACA (epsilon amino
caproic acid).
1. Sisa Plasenta
Sisa plasenta dan ketuban yang masih tertinggal dalam rongga rahim dapat menimbulkan perdarahan
postpartum dini atau perdarahan pospartum lambat (biasanya terjadi dalam 6 – 10 hari pasca persalinan).
Pada perdarahan postpartum dini akibat sisa plasenta ditandai dengan perdarahan dari rongga rahim
setelah plasenta lahir dan kontraksi rahim baik. Pada perdarahan postpartum lambat gejalanya sama
dengan subinvolusi rahim, yaitu perdarahan yang berulang atau berlangsung terus dan berasal dari
rongga rahim. Perdarahan akibat sisa plasenta jarang menimbulkan syok.
Penilaian klinis sulit untuk memastikan adanya sisa plasenta, kecuali apabila penolong persalinan
memeriksa kelengkapan plasenta setelah plasenta lahir. Apabila kelahiran plasenta dilakukan oleh orang
lain atau terdapat keraguan akan sisa plasenta, maka untuk memastikan adanya sisa plasenta ditentukan
dengan eksplorasi dengan tangan, kuret atau alat bantu diagnostik yaitu ultrasonografi. Pada umumnya
perdarahan dari rongga rahim setelah plasenta lahir dan kontraksi rahim baik dianggap sebagai akibat
sisa plasenta yang tertinggal dalam rongga rahim.
Pada subinvolusio proses mengecilnya uterus terganggu. Faktor yang menyebabkan itu antara lain
tertinggalny aplasenta dan selaput ketuban dalam uterus. Pada peristiwa ini lochea bertambah banyak
dan tidak jarang terjadi perdarahan. Pada pemeriksaan ditemukanuterus lebih besar dan lebih lembek
daripada seharusnya, mengingat lamanya masa nifas.
3. Anemia
3. Plasenta lengkap
1. Perdarahan pervagina
C. Diagnosis
Untuk membuat diagnosis perdarahan postpartum perlu diperhatikan ada perdarahan yang menimbulkan
hipotensi dan anemia. apabila hal ini dibiarkan berlangsung terus, pasien akan jatuh dalam keadaan
syok. perdarahan postpartum tidak hanya terjadi pada mereka yang mempunyai predisposisi, tetapi pada
setiap persalinan kemungkinan untuk terjadinya perdarahan postpartum selalu ada.
Perdarahan yang terjadi dapat deras atau merembes. perdarahan yang deras biasanya akan segera
menarik perhatian, sehingga cepat ditangani sedangkan perdarahan yang merembes karena kurang
nampak sering kali tidak mendapat perhatian. Perdarahan yang bersifat merembes bila berlangsung lama
akan mengakibatkan kehilangan darah yang banyak. Untuk menentukan jumlah perdarahan, maka darah
yang keluar setelah uri lahir harus ditampung dan dicatat.
Kadang-kadang perdarahan terjadi tidak keluar dari vagina, tetapi menumpuk di vagina dan di dalam
uterus. Keadaan ini biasanya diketahui karena adanya kenaikan fundus uteri setelah uri keluar. Untuk
menentukan etiologi dari perdarahan postpartum diperlukan pemeriksaan lengkap yang meliputi
anamnesis, pemeriksaan umum, pemeriksaan abdomen dan pemeriksaan dalam.
Pada atonia uteri terjadi kegagalan kontraksi uterus, sehingga pada palpasi abdomen uterus didapatkan
membesar dan lembek. Sedangkan pada laserasi jalan lahir uterus berkontraksi dengan baik sehingga
pada palpasi teraba uterus yang keras. Dengan pemeriksaan dalam dilakukan eksplorasi vagina, uterus
dan pemeriksaan inspekulo. Dengan cara ini dapat ditentukan adanya robekan dari serviks, vagina,
hematoma dan adanya sisa-sisa plasenta.
1. Bila setelah bayi dan plasenta lahir ternyata perdarahan masih aktif dan banyak, bergumpal
2. Pada palpasi didapatkan fundus uteri masih setinggi pusat atau lebih
4. Perlu diperhatikan pada saat atonia uteri didiagnosis, maka pada saat itu juga masih ada darah
sebanyak 500-1000 cc yang sudah keluar dari pembuluh darah, tetapi masih terperangkap dalam uterus
dan harus diperhitungkan dalam kalkulasi pemberian darah pengganti.
2. Pimpin persalinan dengan mengacu pada persalinan bersih dan aman (termasuk upaya pencegahan
perdarahan pasca persalinan)
3. Lakukan observasi melekat pada 2 jam pertama pasca persalinan (di ruang persalinan) dan lanjutkan
pemantauan terjadwal hingga 4 jam berikutnya (di ruang rawat gabung).
5. Segera lakukan penlilaian klinik dan upaya pertolongan apabila dihadapkan dengan masalah dan
komplikasi
6. Atasi syok
7. Pastikan kontraksi berlangsung baik (keluarkan bekuan darah, lakukam pijatan uterus, berikan
uterotonika 10 IU IM dilanjutkan infus 20 IU dalam 500cc NS/RL dengan 40 tetesan permenit.
8. Pastikan plasenta telah lahir dan lengkap, eksplorasi kemungkinan robekan jalan lahir.
Banyaknya darah yang hilang akan mempengaruhi keadaan umum pasien. Pasien bisa masih dalam
keadaan sadar, sedikit anemis, atau sampai syok berat hipovolemik. Tindakan pertama yang harus
dilakukan bergantung pada keadaan kliniknya. 13
Pada umunya dilakukan secara simultan (bila pasien syok) hal-hal sebagai berikut :
- Pemberian oksitosin dan turunan ergot melalui i.m, i.v, atau s.c
Penjahitan robekan perineum tingkat I dapat dilakukan dengan memakai catgut yang dijahitkan secara
jelujur atau dengan cara jahitan angka delapan (figure of eight).
Sebelum dilakukan penjahitan pada robekan perineum tingkat I atau tingkat II, jika dijumpai pinggir
robekan yang tidak rata atau bergerigi, maka pinggir yang bergerigi tersebut harus diratakan terlebih
dahulu. Pinggir robekan sebelah kiri dan kanan masing-masing dijepit dengan klem terlebih dahulu,
kemudian digunting. Setelah pinggir robekan rata, baru dilakukan penjahitan luka robekan.
Mula-mula otot-otot dijahit dengan catgut, kemudian selaput lendir vagina dijahit dengan catgut secara
terputus-putus atau delujur. Penjahitan mukosa vagina dimulai dari puncak robekan. Sampai kulit
perineum dijahit dengan benang catgut secara jelujur.
Pada robekan tingkat III mula-mula dinding depan rektum yang robek dijahit, kemudian fasia perirektal
dan fasial septum rektovaginal dijahit dengan catgut kromik, sehingga bertemu kembali. Ujung-ujung otot
sfingter ani yang terpisah akibat robekan dijepit dengan klem / pean lurus, kemudian dijahit dengan 2 – 3
jahitan catgut kromik sehingga bertemu lagi. Selanjutnya robekan dijahit lapis demi lapis seperti menjahit
robekan perineum tingkat II.
Pada robekan perineum tingkat IV karena tingkat kesulitan untuk melakukan perbaikan cukup tinggi dan
resiko terjadinya gangguan berupa gejala sisa dapat menimbulkan keluhan sepanjang kehidupannya,
maka dianjurkan apabila memungkinkan untuk melakukan rujukan dengan rencana tindakan perbaikan di
rumah sakit kabupaten/kota.
Penangana hematoma :
1. Penanganan hematoma tergantung pada lokasi dan besar hematoma. Pada hematoma yang kecil,
tidak perlu tindakan operatif, cukup dilakukan kompres.
2. Pada hematoma yang besar lebih-lebih disertai dengan anemia dan presyok, perlu segera dilakukan
pengosongan hematoma tersebut. Dilakukan sayatan di sepanjang bagian hematoma yang paling
terenggang. Seluruh bekuan dikeluarkan sampai kantong hematoma kosong. Dicari sumber perdarahan,
perdarahan dihentikan dengan mengikat atau menjahit sumber perdarahan tersebut. Luka sayatan
kemudian dijahit. Dalam perdarahan difus dapat dipasang drain atau dimasukkan kasa steril sampai
padat dan meninggalkan ujung kasa tersebut diluar.
Bibir depan dan bibir belakang serviks dijepit dengan klem Fenster. Kemudian serviks ditarik sedikit untuk
menentukan letak robekan dan ujung robekan. Selanjutnya robekan dijahit dengan catgut kromik dimulai
dari ujung robekan untuk menghentikan perdarahan.
1. kalau placenta dalam ½ jam setelah anak lahir, belum memperlihatkan gejala-gejala perlepasan, maka
dilakukan pelepasan, maka dilakukan manual plasenta.
a. Teknik pelepasan placenta secara manual: alat kelamin luar pasien di desinfeksi begitu pula tangan
dan lengan bawah si penolong. Setelah tangan memakai sarung tangan, labia disingkap, tangan kanan
masuk secara obsteris ke dalam vagina. Tangan luar menahan fundus uteri. Tangan dalam kini
menyusuri tali pusat yang sedapat-dapatnya diregangkan oleh asisten.
b. Setelah tangan dalam sampai ke plasenta, maka tangan pergi ke pinggir plasenta dan sedapat-
dapatnya mencari pinggir yang sudah terlepas.
c. Kemudian dengan sisi tangan sebelah kelingking, plasenta dilepaskan ialah antara bagian plasenta
yang sudah terlepas dan dinding rahim dengan gerakan yang sejajar dengan dinding rahim. Setelah
plasenta terlepas seluruhnya, plasenta dipegang dan dengan perlahan-lahan ditarik ke luar.
2. Plasenta akreta
Terapi : Plasenta akreta parsialis masih dapat dilepaskan secara manual tetapi plasenta akreta komplit
tidak boleh dilepaskan secara manual karena usaha ini dapat menimbulkan perforasi dinding rahim.
Terapi terbaik dalam hal ini adalah histerektomi.
Klasifikasi kehamilan resiko rendah dan resiko tinggi akan memudahkan penyelenggaraan pelayanan
kesehatan untuk menata strategi pelayanan ibu hamil saat perawatan antenatal dan melahirkan dengan
mengatur petugas kesehatan mana yang sesuai dan jenjang rumah sakit rujukan. Akan tetapi, pada saat
proses persalinan, semua kehamilan mempunyai resiko untuk terjadinya patologi persalinan, salah
satunya adalah perdarahan pasca persalinan. Antisipasi terhadap hal tersebut dapat dilakukan sebagai
berikut :
1. Persiapan sebelum hamil untuk memperbaiki keadaan umum dan mengatasi setiap penyakit kronis,
anemia, dan lain-lain sehingga pada saat hamil dan persalinan pasien tersebut ada dalam keadaan
optimal.
2. Mengenal factor predisposisi perdarahan pasca persalinan seperti mutiparitas, anak besar, hamil
kembar, hidramnion, bekas seksio, ada riwayat perdarahan pasca persalinan sebelumnya dan kehamilan
resiko tinggi lainnya yang resikonya akan muncul saat persalinan.
3. Persalinan harus selesai dalam waktu 24 jam dan pencegahan partus lama.
5. Kehamilan resiko rendah agar melahirkan di tenaga kesehatan terlatih dan menghindari persalinan
dukun
1. Pada umumnya pengeluaran sisa plasenta dilakukan dengan kuretase. Dalam kondisi tertentu apabila
memungkinkan, sisa plasenta dapat dikeluarkan secara manual.
Kuretase harus dilakukan di rumah sakit dengan hati-hati karena dinding rahim relatif tipis dibandingkan
dengan kuretase pada abortus.
2. Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan dengan pemberian obat uterotonika
melalui suntikan atau per oral.
3.Penemuan secara dini hanya mungkin dengan melakukan pemeriksaan kelengkapan plasenta setelah
dilahirkan. Pada kasus sisa plasenta dengan perdarahan pasca persalinan lanjut, sebagian besar pasien
akan kembali lagi ke tempat bersalin dengan keluhan perdarahan
3. Berikan antibiotika, ampisilin dosis awal 1g IV dilanjutkan dengan 3 x 1g oral dikombinasikan dengan
metronidazol 1g supositoria dilanjutkan dengan 3 x 500mg oral.
4. Lakukan eksplorasi (bila servik terbuka) dan mengeluarkan bekuan darah atau jaringan. Bila servik
hanya dapat dilalui oleh instrument, lakukan evakuasi sisa plasenta dengan AMV atau dilatasi dan
kuretase
5. Bila kadar Hb<8 gr% berikan transfusi darah. Bila kadar Hb>8 gr%, berikan sulfas ferosus 600 mg/hari
selama 10 hari. 5
2) Pimpin persalinan dengan mengacu pada persalinan bersih dan aman (termasuk upaya pencegahan
perdarahan pasca persalinan)
3) Lakukan observasi melekat pada 2 jam pertama pasca persalinan (di ruang persalinan) dan lanjutkan
pemantauan terjadwal hingga 4 jam berikutnya (di ruang rawat gabung).
5) Segera lakukan penlilaian klinik dan upaya pertolongan apabila dihadapkan dengan masalah dan
komplikasi
6) Atasi syok
7) Pastikan kontraksi berlangsung baik (keluarkan bekuan darah, lakukam pijatan uterus, berikan
uterotonika 10 IU IM dilanjutkan infus 20 IU dalam 500cc NS/RL dengan 40 tetesan permenit.
8) Pastikan plasenta telah lahir dan lengkap, eksplorasi kemungkinan robekan jalan lahir.
Asfiksia neonatarum dapat disebabkan oleh beberapa factor, diantaranya adalah adanya
(1) penyakit pada ibu sewaktu hamil seperti hipertensi, gangguan atau penyakit paru, dan gangguan
kontraksi uterus;
(4) factor janin itu sendiri, seperti terjadi kelainan pada tali pusat, seperti tali pusat menumbung atau
melilit pada leher atau juga kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir; serta
(5) factor persalinan seperti partus lama atau partus dengan tindakan tertentu.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada bayi dengan asfiksia neonatorum adalah sebagai berikut :
Pemantauan gas darah, denyut nadi, fungsi system jantung dan paru dengan melakukan resusitasi,
memberikan oksigen yang cukup, serta memantau perfusi jaringan tiap 2-4 jam.
Mempertahankan jalan napas agar tetap baik, sehingga proses oksigenasi cukup agar sirkulasi darah
tetap baik. Cara mengatasi asfiksia adalah sebagai berikut.
2. Bersihkan jalan napas dengan menghisap lender pada hidung kemudian mulut.
4. Lakukan observasi tanda vital, pantau APGAR skor, dan masukkan ke dalam incubator.
Asfiksia Sedang APGAR skor (4-6)
3. Rangsang pernapasan dengan menepuk telapak kaki. Apabila belum ada reaksi, bantu pernapasan
dengan masker (ambubag).
4. Bila bayi sudah mulai bernapas tetapi masih sianosis, berikan natrium bikarbonat 7,5% sebanyak 6cc.
Dekstrosa 40% sebanyak 4cc disuntikkan melalui vena umbilikalis secara perlahan-lahan untuk
mencegah tekanan intracranial meningkat.
5) Apabila bayi sudah mulai bernapas tetapi masih sianosis berikan natrium bikarbonat 7,5% sebanyak
6cc. Selanjutnya berikan dekstrosa 40% sebanyak 4cc.
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN
Proses suatu persalinan dikatakan berhasil apabila selain ibunya, bayi yang dilahirkan juga berada dalam
kondisi yang optimal. Memberikan pertolongan dengan segera, aman dan bersih adalah bagian asensial
dari asuhan bayi baru lahir. Sebagian besar kesakitan dan kematian bayi baru lahir disebabkan oleh
asfiksia, hipotermi dan atau infeksi. Kesakitan dan kematian bayi baru lahir dapat dicegah bila asfiksia
segera dikenali dan ditatalaksana secara adekuat, dibarengi pula dengan pencegahan hipotermi dan
infeksi
DAFTAR PUSTAKA
Ilmu Kebidanan Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiharjo, Fak. UI Jakarta, 1998.
Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan, Ida Bagus Gede
Manuaba, Jakarta : EGC, 1998.
Ilmu Kebidanan Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiharjo, Fak. UI Jakarta, 1997.
Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadi T. Syok Hemoragika dan Syok Septik. Dalam : Ilmu Bedah
Kebidanan. Edisi 3. Jakarta : YBP-SP. 2002.
Hidayat, Alimul Aziz. A. 2008. Ilmu Kesehatan Anak Untuk Pendidikan Kebidanan. Jakarta: Salemba
Medika