You are on page 1of 40

Laporan Kasus

KEJANG DEMAM SEDERHANA

Oleh:

dr. Steffi Isliana

Pembimbing:
dr. Susiana Hermawati, SpA

Pendamping:
dr. Fitri Isneni

RSUD SITI AISYAH LUBUKLINGGAU


PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA
LUBUKLINGGAU
2021 - 2022

i
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

Kejang Demam Sederhana

Oleh:
dr. Steffi Isliana

Telah diterima sebagai salah satu syarat mengikuti Program Internsip Dokter
Indonesia di RSUD Siti Aisyah Lubuklinggau, periode 13 Agustus 2021 – 13
November 2021

Lubuklinggau, Oktober 2021


Pembimbing

dr. Susiana Hermawati , SpA

ii
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

KEJANG DEMAM SEDERHANA

Oleh:
dr. Steffi Isliana

Pendamping:
dr. Fitri Isneni

Wahana :
RSUD SITI AISYAH LUBUKLINGGAU

Telah dipresentasikan dan diterima sebagai salah satu syarat untuk mengikuti
Program Internsip Dokter Indonesia

Lubuklinggau, Januari 2021

Pembimbing Pendamping

dr. Susiana Hermawati, Sp.A dr. Fitri Isneni


NIP. 198107282008032001

iii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat dan rahmat-Nya laporan kasus yang berjudul “Kejang Demam
Sederhana” ini dapat diselesaikan tepat waktu. Laporan kasus ini dibuat untuk
memenuhi salah satu syarat Program Internsip Dokter Indonesia di RSUD Siti
Aisyah Lubuklinggau, periode 13 Agustus 2021- 13 November 2021.
Penulis juga ingin menyampaikan terimakasih kepada dr. Susiana
Hermawati, Sp.A dan dr. Fitri Isneni atas bimbingannya sehingga penulisan ini
menjadi lebih baik. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan
laporan kasus ini. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat
penulis harapkan untuk penulisan yang lebih baik di masa yang akan datang.

Lubuklinggau, Oktober 2021

dr. Steffi Isliana

iv
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................. i


HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................. ii
KATA PENGANTAR ............................................................................................. iv
DAFTAR ISI ............................................................................................................. v
BAB I. PENDAHULUAN........................................................................................1
BAB II. STATUS PASIEN .......................................................................................2
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................13
BAB IV. ANALISIS KASUS...................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................33

v
BAB I
PENDAHULUAN

Demam adalah peninggian suhu tubuh dari variasi suhu normal sehari-hari
yang berhubungan dengan peningkatan titik patokan suhu di hipotalamus. Suhu
tubuh normal berkisar antara 36,5-37,2°C. Derajat suhu yang dapat dikatakan
demam adalah suhu rektal ≥ 38,0°C atau suhu oral ≥ 37,5°C atau suhu aksila ≥
37,2°C.1
Pada anak, demam umumnya merupakan suatu tanda infeksi. Demam
akibat infeksi bisa disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur, ataupun parasit.
Demam akibat keganasan cukup jarang terjadi pada anak.4 Infeksi virus lebih
sering terjadi dibanding infeksi bakteri.
Infeksi bakteri yang pada umumnya menimbulkan demam pada anak-anak
antara lain pneumonia, bronkitis, osteomielitis, apendisitis, tuberkulosis,
bakteremia, sepsis, gastroenteritis, meningitis, ensefalitis, selulitis, otitis media,
infeksi saluran kemih, dan lain-lain. 2
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh
(suhu di atas 38⁰C) yang tidak disebabkan oleh suatu proses intrakranial . Kejang
demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan – 5 tahun.3 Kejang demam
diklasifikasikan menjadi kejang demam sederhana (simple febrile seizure) dan kejadn
demam komples (complex febrile seizure). Kejang demam merupakan penyebab
kejang paling umum pada anak dan sering pula menimbulkan ketakutan dan
kekhawatiran pada orangtua. Diagnosis kejang demam pada umumnya dibuat
berdasarkan temuan klinis dan deskripsi orang tua. Meskipun sebagian besar
kejang demam adalah ringan, namun kondisi ini penting untuk dievaluasi untuk
mengurangi kecemasan orangtua dan mengidentifikasi penyebab demam.4

1
BAB II
STATUS PASIEN

I. IDENTIFIKASI
Identitas Pasien
a. Nama : Anak Rasya Nadhifasa Syantoro
b. Umur : 10 januari 2021 ( 0 tahun 9 bulan 1 hari)
c. Jenis Kelamin : Laki-laki
d. Alamat : Lingkungan 2 Pasar Muara Beliti
e. Agama : Islam
f. Suku bangsa : Sumatera Selatan
g. No RM : 194494
h. MRS Tanggal : 11 oktober 2021

II. ANAMNESIS
(Alloanamnesis dilakukan tanggal 11 Oktober 2021, diberikan oleh ibu pasien
pukul 13.45 WIB)

A. Keluhan Utama : Kejang


B. Riwayat Penyakit
1hari SMRS os demam (+), demam dirasakan naik turun, menggigil (-). Os
juga mengeluhkan batuk(+) dan filek (+), os muntah sebanyak 3x, isi apa yang
dimakan. BAB dan BAK (+) normal.
15menit SMRS os demam (+), os mengalami kejang 1x mata mendelik
keatas dan badan kaku, selama kurang lebih 2menit. Kejang bersifat umum.
Setelah kejang os langsung menangis dan merontah.
Os langsung dibawah ke UGD RSSA.

C. Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat kejang dengan demam sebelumnya (+) 1x.

2
 Riwayat trauma kepala (-)
 Riwayat keluar cairan dari telinga (-)
 Riwayat keganasan pada otak (-)
 Riwayat penyakit radang otak dan selaput otak tidak ada

D. Riwayat Penyakit Dalam Keluarga


 Riwayat dalam keluarga yang pernah mengalami kejang demam (+)
 Riwayat epilepsi dalam keluarga disangkal.

E. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran


Lahir dari ibu P2A0
Masa Kehamilan : 38 minggu
Partus : SC
Ditolong oleh : Dokter Spesialis Kandungan
Kondisi lahir : Langsung menangis
Tanggal : 10 januari 2021
BB : 3500 gram
PB : 50 cm
LK : ibu lupa
Riwayat ibu demam saat hamil (-), riwayat KPSW (-), riwayat ketuban hijau
dan berbau (-), riwayat penyakit lain pada ibu saat hamil (-).

F. Riwayat Imunisasi
Riwayat imunisasi dasar Lengkap

G. Riwayat Nutrisi
ASI ekslusif : 0 - 6 bulan, frekuensi ±10 kali sehari
Tahapan makanan
1. Pada usia 6 bulan anak diberikan makanan pendamping ASI berupa bubur susu
dan buah yang diberikan dengan frekuensi 4 kali sehari, satu mangkuk kecil setiap
kali makan.

3
III. PEMERIKSAAN FISIK
A. PEMERIKSAAN FISIK UMUM
Keadaan Umum : Tampak rewel
Kesadaran : Compos mentis
BB : 10 kg
Nadi : 118 kali/menit, reguler, cepat, isi dan tegangan
cukup
Pernapasan : 28 kali/menit
Suhu : 39 oC
SpO2 : 99%
Kulit : tidak ada kelainan

B. PEMERIKSAAN KHUSUS
KEPALA
Mata : Cekung (-), konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-),
edema palpebra (-), pupil isokor 3 mm, refleks cahaya
(+/+),
Hidung : Kavum nasi dextra ex sinistra lapang, secret (+),
perdarahan (-)
Telinga : CAE dextra et sinistra lapang, secret (-), serumen (-),
refleks cahaya membran timpani (+)
Mulut : Perdarahan gusi (-), karies dentis (-), mukosa bibir pucat
(-), mukosa bibir kering (-), cheilitis angularis (-)
Faring – Tonsil : Dinding faring hiperemis (+), tonsil T1 – T1 tenang,
hiperemis (+)

LEHER
Pembesaran KGB (-), JVP (5-2 mmHg)

4
THORAX
Paru-paru
Inspeksi : Statis dan dinamis simetris
Palpasi : Strem fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : RR= 26 kali/menit, Vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-/-),
wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis dan thrill tidak teraba
Perkusi : Jantung dalam batas normal
Auskultasi : HR = 108 kali/menit, Bunyi jantung I dan II (+) normal,
irama reguler, murmur dan gallop (-)

ABDOMEN
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+)
Palpasi : Lemas, Hepar dan lien tidak teraba, turgor kulit segera
kembali
Perkusi : Timpani

Lipat paha dan genitalia


Tidak dilakukan pemeriksaan

EKSTREMITAS
Superior : Akral hangat, pucat (-), sianosis (-), edema (-),
petechie (-), CRT <3s
Inferior : Akral hangat, pucat (-), sianosis (-), edema (-),
petechie (-), CRT <3s

5
C. STATUS NEUROLOGIS
Lengan Tungkai
Kanan Kiri Kanan Kiri
Fungsi motoric
Gerakan Luas Luas Luas Luas
Kekuatan 5 5 5 5
Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni
Klonus - -
Reflex fisiologis Normal Normal Normal Normal
Reflex patologis - - - -
Gejala rangsang Kaku kuduk (-), Brudzinsky I, II (-), Kernig sign
meningeal (-)
Fungsi sensorik Baik
Nervi craniales Baik

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Hasil Laboratorium (Tanggal 12 Oktober 2021)
Pemeriksaan Hasil Nilai normal
Darah Rutin
Hb 10,70 g/dl 14.0-17.0 g/dL
Leukosit 9900/µL 4.5 – 11 /µL
Trombosit 178 ribu/µL 150 – 450
ribu/µL
Hematokrit 31.00 % 41.50 - 50.40 %
Diff Count 0/0/3/31/52/314
Basofil 0% 0–1%
Eosinofil 0% 0–4%
Neutrofil 3% 3–5%
Batang 31 % 30-55 %
Neutrofil 51% 30-48 %
Segmen 14 % 3–9%
Limfosit
Monosit
MCV 69.50 fl 75.00-87.00
MCH 24.00 24.00-30.00
MCHC 34.50 31.00-37.00
GDS 107mg/dl 60-140

6
Elektrolit
Natrium 137 mmol/L 136-146
Kalium 4.22mmol/L 3.50-5.50
Clorida 102mmol/L 98-109
Calcium Ion 1.20 mmol/L 1.17-1.29
Rapid Test Antibodi SARS CoV-2
IgM Non-reaktif Non-reaktif
IgG Non-reaktif Non-reaktif

V. DIAGNOSIS BANDING
 Kejang demam sederhana + Rhinofaringitis akut + GEA tanpa dehidrasi
 Ensefalitis + Rhinofarigitis Akut + GEA tanpa dehidrasi

VI. DIAGNOSIS KERJA


Kejang demam sederhana + Rhinofaringitis Akut

VII. PENATALAKSANAAN
 Pasien Rawat Inap
 O2 nasal canul 2-3LPM k/p bila kejang
 IVFD D5 ¼ NS gtt XXX/menit (Micro)
 Ceftriaxone 1 x 500 mg (iv) st
 Paracetamol 4 x 15 cc
 Diazepam 5mg IV k/p bila kejang
Rencana :Konsultasi dr. Susiana Hermawati,Sp.A

VIII. FOLLOW UP
Tanggal Follow Up
11/10/21 Pasien masuk igd rsud siti aisyah
(hari rawatan pertama)

S : Demam sejak pagi, kejang 1x dirumah, langsung menangis saat


sampai diIGD, Muntah 3x isi apa yang dimakan sejak pagi.

O:
 Keadaan Umum
 Kesadaran : Compos mentis

7
 Berat badan : 10 kg
 Frekuensi Nadi : 118x/i
 Frekuensi Pernapasan : 28x/i
 Suhu tubuh : 39C
 Saturasi oksigen : 99%
A : Kejang Demam Sederhana
P:
 Pasien dirawat inap
 O2 nasal canul 2-3LPM k/p bila kejang
 IVFD D5 ¼ NS gtt XXX/menit (Micro)
 Ceftriaxone 1 x 500 mg (iv) st
 Paracetamol 4 x 15 cc
 Diazepam 5 mg IV k/p bila kejang
 Rencana : Konsultasi dr. Susiana Hermawati,Sp.A

12/10/21 Hari rawatan kedua


S : Demam naik turun, Batuk, Muntah (+), BAB Cair.
O:
 Keadaan Umum
- Kesadaran : Compos mentis
- Berat badan : 10kg
- Frekuensi Nadi : 110x/i
- Frekuensi Pernapasan : 32x/i
- Suhu tubuh : 38,7oC
- Saturasi oksigen : 98%
A : Kejang Demam Sederhana + Rhinofaringitis Akut + GEA tanpa
dehidrasi
P:
 IVFD D5 ¼ NS gtt XXX/menit (Micro)
 Ceftriaxone 1 x 500 mg (iv) st
 Paracetamol 4 x 15 cc
 Diazepam 5mg (iv) K/P bila kejang
 Dexamethason 3 x 1.5mg (iv)
 Luminal 2x25mg
13/10/21 Hari rawatan ketiga
S : Demam naik turun, Batuk, BAB cair (+), muntah (-)
O:
 Keadaan Umum
 Kesadaran : Compos mentis

8
 Berat badan : 10 kg
 Frekuensi Nadi : 105x/i
 Frekuensi Pernapasan : 30x/i
 Suhu tubuh : 38,2C
 Saturasi oksigen : 99%
A : Kejang Demam Sederhana + Rhinofaringitis Akut + GEA tanpa
dehidrasi
P:
 IVFD D5 ¼ NS gtt XXX/menit (Micro)
 Ceftriaxone 1 x 500 mg (iv) st
 Paracetamol 4 x 15 cc
 Diazepam 5mg (iv) K/P bila kejang
 Dexamethason 3 x 1.5mg (iv)
 Luminal 2x25mg
 Zinc syr 1x 20mg PO
 Probiotic 1 x 1 sachet
14/10/21 Hari rawatan ke-empat
S : Demam (-) Batuk (+) BAB cair (+)
O:
 Keadaan Umum
 Kesadaran : Compos mentis
 Berat badan : 10 kg
 Frekuensi Nadi : 100x/i
 Frekuensi Pernapasan : 31 x/i
 Suhu tubuh : 37,1oC
 Berat badan : 55 kg
 Saturasi oksigen : 99%
A : Kejang demam sederhana + Rhinofaringitis akut+ GEA tanpa
dehidrasi
P:
 Luminal 2x25mg
 Zinc syr 1x 20mg PO
 Probiotic 1 x 1 sachet
 Oralit
15/10/21 Hari rawatan kelima
S : Batuk (+) Muntah 3x, BAB cair (-)
O:
- Keadaan Umum : Baik
- Kesadaran : Compos mentis
- Frekuensi Nadi : 105 x/i

9
- Frekuensi Pernapasan : 30 x/i
- Suhu tubuh : 36,9oC
- Berat badan : 10 kg
- Saturasi oksigen : 99%
A : Kejang Demam Sederhana + Rhinofaringitis Akut+ GEA tanpa
dehidrasi
P:
Obat pulang :
- Cefadroxil Sirup 2x2cth
- Amroxol sirup 3x1cth
- Cetirizin sirup 1x ½ cth

Non Medikamentosa:
 Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik.
 Memberitahukan cara penanganan kejang.
 Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.
 Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat
adanya efek samping.

IX. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 KEJANG DEMAM


3.1.1 Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak
berumur 6 bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh
(suhu di atas 380C, dengan metode pengukuran suhu apa pun) yang
tidak disebabkan oleh proses intrakranial.3
Keterangan:
1. Kejang terjadi karena kenaikan suhu tubuh, bukan karena gangguan
elektrolit atau metabolik lainnya.
2. Bila ada riwayat kejang tanpa demam sebelumnya maka tidak
disebut sebagai kejang demam.
3. Anak berumur antara 1-6 bulan masih dapat mengalami kejang
demam, namun jarang sekali.
National Institute of Health (1980) menggunakan batasan lebih dari
3 bulan, sedangkan Nelson dan Ellenberg (1978), serta ILAE
(1993) menggunakan batasan usia lebih dari 1 bulan. Bila anak
berumur kurang dari 6 bulan mengalami kejang didahului demam,
pikirkan kemungkinan lain, terutama infeksi susunan saraf pusat.
4. Bayi berusia kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam
rekomendasi ini melainkan termasuk dalam kejang neonatus.

3.1.2 Epidemiologi
Kejang demam terjadi pada 2-5% anak berumur 6 bulan – 5
tahun.3 Kejang demam merupakan penyebab tersering kejang pada
anak. Insiden kejang demam di dunia bervariasi antara 2%-5% di
Amerika Serikat, Amerika Selatan, dan Eropa Barat, 5%-10% di
India, 8,3%-9,9% di Jepang, dan 14% di Guam. 2,3 Perbedaan

11
tersebut mungkin disebabkan oleh faktor kerentanan (suseptibilitas)
secara genetik.
Kejang demam cenderung terjadi dalam satu keluarga, walaupun
pola pewarisan sampai sekarang belum jelas. Anak yang mengalami
kejang demam cenderung mempunyai riwayat kejang demam pada
keluarga. Anak yang mengalami kejang demam juga lebih sering
dijumpai riwayat kejang tanpa demam pada keluarga, walaupun masih
belum ada bukti yang jelas.9

3.1.3 Etiologi
Kejang demam dipicu oleh proses infeksi ekstrakranium. Infeksi
ini menyebabkan naiknya suhu tubuh yang berlebihan (hiperpireksia)
sehingga timbul kejang. Penelitian Nelson dan Ellenberg (1978) serta
Lewis (1979) menunjukkan pencetus kejang demam terbanyak adalah
infeksi saluran napas atas (38%), diikuti dengan otitis media (23%),
pneumonia (15%),gastroenteritis (7%), roseola infantum (5%), dan
penyakit non-infeksi (12%). Imunisasi juga dapat menjadi penyebab
kejang demam namun insidennya sangat kecil.10

3.1.4 Patofisiologi
Kejang demam merupakan kejadian yang berhubungan dengan
usia (age-spesific). Demam sendiri merupakan salah satu respon
alamiah tubuh terhadap danya infeksi dan inflamasi, namun
bagaimana demam dapat menyebabkan kejang hingga sekarang masih
belum dapat dimengerti dengan jelas. 4
Penelitian belakangan ini memperkirakan adanya keterlibatan
sitokin proinflamasi, faktor age-spesifik, dan etiologi yang mendasari
terjadinya demam, dengan terjadinya kejang selama periode demam.
Sitokin proinflamasi dilepaskan sebagai respon terhadap kerusakan
selular dan infeksi. Sitokin tersebut antara lain interleukin-1β (IL-1β).
Interleukin-1β berperan sebagai pirogen yang menyebabkan timbulnya
demam, dan diperkirakan sitokin ini juga memiliki peran dalam

12
kejadian kejang pada periode demam. Sitokin proinflamasi juga
diketahui dapat mempengaruhi eksitasi neuron, sehingga berpengaruh
terhadap transmisi sinaptic pada kelainan kejang. 4
Pada manusia, ditemukan adanya peningkatan produksi sitokin
IL-1β pada cairan serebrospinal pasien anak dengan kejang demam
dan pada pasien rawat inap temporal lobe epilepsy with hippocampal
sclerosis. Selain itu, IL-1β adalah N-methyl-D-aspartate (NMDA)
receptor agonist, sehingga bersifat prokonvulsan. Data tersebut
mendukung adanya hubungan IL-1β pada mekanisme terjadinya
kejang demam.5
Adanya peningkatan temperatur akan mempengaruhi berbagai
proses seluler, termasuk eksitasi neuronal, dan perubahan fungsi
berbagai channel ion neuronal. Adanya peningkatan suhu pada otak
akan mempengaruhi rate, magnitude, dan pattern neuronal firing,
sehingga akan menyebabkan kejang. Percobaan pada hewan
menunjukkan bahwa kejang yang terjadi lebih dari 19 menit akan
menyebabkan perubahan pada h-channel (saluran-h). h-channel adalah
channel pacemaker atau hyperpolarization-activated cation channel,
yang dapat bersifat eksitasi maupun inhibisi. Perubahan pada h-
channel akan meningkatkan kerentanan terhadap kejang, aktivitas
channel ini akan menyebabkan hyperpolarization-activated
conductance pada CA1 sel piramidal, yang merupakan faktor kunci
terjadinya hipereksitasi hipokampus. 5

3.1.5 Klasifikasi
a. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)
Kejang demam yang berlangsung singkat (kurang dari 15
menit), bentuk kejang umum (tonik dan atau klonik), serta tidak
berulang dalam waktu 24 jam.3
Keterangan:

13
1. Kejang demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh
kejang demam.
2. Sebagian besar kejang demam sederhana berlangsung kurang
dari 5 menit dan berhenti sendiri.
b. Kejang demam kompleks (Complex febrile seizure)
Kejang demam dengan salah satu ciri berikut:3
1. Kejang lama (>15 menit)
2. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului
kejang parsial
3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam waktu 24 jam
Keterangan:
1. Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15
menit atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan di antara
bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang lama terjadi pada 8%
kejang demam.
2. Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum
yang didahului kejang parsial.
3. Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari,
dan di antara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang
terjadi pada 16% anak yang mengalami kejang demam.

3.1.6 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada
kejang demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber
infeksi penyebab demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat
dikerjakan atas indikasi misalnya darah perifer, elektrolit, dan gula
darah (level of evidence 2, derajat rekomendasi B).
a. Pungsi lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk
menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis.
Berdasarkan bukti-bukti terbaru, saat ini pemeriksaan pungsi

14
lumbal tidak dilakukan secara rutin pada anak berusia <12 bulan
yang mengalami kejang demam sederhana dengan keadaan umum
baik.
Indikasi pungsi lumbal (level of evidence 2, derajat
rekomendasi B):
1. Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal
2. Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan klinis
3. Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang
sebelumnya telah mendapat antibiotik dan pemberian antibiotik
tersebut dapat mengaburkan tanda dan gejala meningitis.

b. Elektroensefalografi (EEG)
Indikasi pemeriksaan EEG:
 Pemeriksaan EEG tidak diperlukan untuk kejang demam,
KECUALI apabila bangkitan bersifat fokal.
Keterangan:
EEG hanya dilakukan pada kejang fokal untuk menentukan adanya
fokus kejang di otak yang membutuhkan evaluasi lebih lanjut.

c. Pencitraan
Pemeriksaan neuroimaging (CT scan atau MRI kepala) tidak rutin
dilakukan pada anak dengan kejang demam sederhana (level of
evidence 2, derajat rekomendasi B). Pemeriksaan tersebut
dilakukan bila terdapat indikasi, seperti kelainan neurologis fokal
yang menetap, misalnya hemiparesis atau paresis nervus kranialis.

3.1.7 Diagnosis Banding


Kejang dengan demam yang disebabkan proses intrakranial
seperti meningitis, meningoensefalitis, dan ensefalitis.

15
3.1.8 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan dilakukan untuk
memastikan bahwa tidak ada penyebab kejang di intrakranial.

3.1.9 Terapi
a. Penatalaksanaan saat Kejang
Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rerata 4 menit)
dan pada waktu pasien datang, kejang sudah berhenti. Apabila saat
pasien datang dalam keadaan kejang, obat yang paling cepat untuk
menghentikan kejang adalah diazepam intravena. Dosis diazepam
intravena adalah 0,2-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 2
mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 10
mg. Secara umum, penatalaksanaan kejang akut mengikuti
algoritma kejang pada umumnya.
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orangtua di rumah
(prehospital) adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah
0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat
badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 12
kg.
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum
berhenti, dapat diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama
dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali pemberian
diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di
rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena. Jika kejang masih
berlanjut, lihat algoritme tatalaksana status epileptikus.
Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya
tergantung dari indikasi terapi antikonvulsan profiaksis.3

b. Pemberian Obat pada saat Demam

16
Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik
mengurangi risiko terjadinya kejang demam (level of evidence 1,
derajat rekomendasi A). Meskipun demikian, dokter neurologi anak
di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis
parasetamol yang digunakan adalah 10-15 mg/kg/kali diberikan
tiap 4-6 jam. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali sehari.

Antikonvulsan
Pemberian obat antikonvulsan intermiten
Yang dimaksud dengan obat antikonvulsan intermiten adalah
obat antikonvulsan yang diberikan hanya pada saat demam.
Profiaksis intermiten diberikan pada kejang demam dengan salah
satu faktor risiko di bawah ini:
 Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral
 Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
 Usia <6 bulan
 Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39 derajat
Celsius
 Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh
meningkat dengan cepat.
Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3 mg/kg/kali
per oral atau rektal 0,5 mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan <12 kg
dan 10 mg untuk berat badan >12 kg), sebanyak 3 kali sehari,
dengan dosis maksimum diazepam 7,5 mg/kali. Diazepam
intermiten diberikan selama 48 jam pertama demam. Perlu
diinformasikan pada orangtua bahwa dosis tersebut cukup tinggi
dan dapat menyebabkan ataksia, iritabilitas, serta sedasi.

17
Pemberian obat antikonvulsan rumat
Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak
berbahaya dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping
yang tidak diinginkan, maka pengobatan rumat hanya diberikan
terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek (level of evidence
3, derajat rekomendasi D). Indikasi pengobatan rumat:
1. Kejang fokal
2. Kejang lama >15 menit
3. Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau
sesudah kejang, misalnya palsi serebral, hidrosefalus, hemiparesis.
Keterangan:
 Kelainan neurologis tidak nyata, misalnya keterlambatan
perkembangan, BUKAN merupakan indikasi pengobatan rumat.
 Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa
anak mempunyai fokus organik yang bersifat fokal.
 Pada anak dengan kelainan neurologis berat dapat diberikan
edukasi untuk pemberian terapi profiaksis intermiten terlebih
dahulu, jika tidak berhasil/orangtua khawatir dapat diberikan
terapi antikonvulsan rumat.

Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat


Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari
efektif dalam menurunkan risiko berulangnya kejang (level of
evidence 1, derajat rekomendasi B).
Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan
gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat
pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasus,
terutama yang berumur kurang dari 2 tahun, asam valproat dapat
menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis asam valproat adalah
15-40 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis, dan fenobarbital 3-4
mg/kg/hari dalam 1-2 dosis.

18
Lama pengobatan rumat
Pengobatan diberikan selama 1 tahun, penghentian
pengobatan rumat untuk kejang demam tidak membutuhkan
tapering off namun dilakukan pada saat anak tidak sedang demam.

3.1.10 Prognosis
a. Kecacatan atau kelainan neurologis
Prognosis kejang demam secara umum sangat baik.
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak
pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis
umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal.
Kelainan neurologis dapat terjadi pada kasus kejang lama atau
kejang berulang, baik umum maupun fokal. Suatu studi
melaporkan terdapat gangguan recognition memory pada anak
yang mengalami kejang lama. Hal tersebut menegaskan
pentingnya terminasi kejang demam yang berpotensi menjadi
kejang lama

a. Kemungkinan berulangnya kejang demam


Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus.
Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah:
1. Riwayat kejang, demam dan keluarga
2. Usia kurang dari 12 bulan
3. Temperatur yang rendah saat kejang
4. Cepatnya kejang setelah demam
Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulangnya
kejang demam tersebut adalah 80%, sedangkan bila tidak terdapat
faktor tersebut kemungkinan berulangnya kejang demam hanya
10-15%. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar
pada tahun pertama. 3

19
b. Faktor risiko terjadinya epilepsi
Faktor risiko lain adalah terjadinya epilepsi di kemudian hari.
Faktor risiko menjadi epilepsi adalah:
1. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum
kejang demam pertama.
2. Kejang demam kompleks.
3. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung.
Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan
kejadian epilepsi sampai 4%-6%, kombinasi dari faktor risiko
tersebut meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10%-49%
(Level II-2). Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah
dengan pemberian obat rumat pada kejang demam.3

c. Kematian
Kematian langsung karena kejang demam tidak pernah
dilaporkan. Angka kematian pada kelompok anak yang
mengalami kejang demam sederhana dengan perkembangan
normal dilaporkan sama dengan populasi umum.

3.1.11 Edukasi pada Orang Tua


Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang
tua. Pada saat kejang sebagian besar orang tua beranggapan bahwa
anaknya telah meninggal. Kecemasan ini harus dikurangi dengan
cara yang diantaranya:
1. Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai
prognosis baik.
2. Memberitahukan cara penanganan kejang.
3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.
4. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi
harus diingat adanya efek samping.

20
3.1.12 Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang
1. Tetap tenang dan tidak panik.
2. Longgarkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher.
3. Bila anak tidak sadar, posisikan anak miring. Bila terdapat
muntah, bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung.
4. Walaupun terdapat kemungkinan (yang sesungguhnya sangat
kecil) lidah tergigit, jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut.
5. Ukur suhu, observasi, dan catat bentuk dan lama kejang.
6. Tetap bersama anak selama dan sesudah kejang.
7. Berikan diazepam rektal bila kejang masih berlangsung lebih dari
5 menit. Jangan berikan bila kejang telah berhenti. Diazepam
rektal hanya boleh diberikan satu kali oleh orangtua.
8. Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit
atau lebih, suhu tubuh lebih dari 40 derajat Celsius, kejang tidak
berhenti dengan diazepam rektal, kejang fokal, setelah kejang
anak tidak sadar, atau terdapat kelumpuhan.

4.1 RHINOFARINGITIS AKUT


4.1.1 Definisi
Rhinofaringitis Akut adalah adalah sindroma inflamasi yang terjadi
pada nasofaring yang disebabkan oleh berbagai jenis mikroorganisme.

4.1.2 Etiologi
Penyakit disebabkan oleh lebih dari 200 agen virus yang
berbeda secara serologis. Agen utamanya adalah rhinovirus, yang
menyebabkan lebih dari sepertiga dari semua kasus ; koronavirus
menyebabkan sekitar 10%. Selain itu juga bisa disebabkan oleh
adenovirus,  dan  parainfluenza virus. Masa infektivitas berakhir dari
beberapa jam sebelum munculnya gejala sampai 1-2 hari sesudah
penyakit nampak. Streptokokus grup A adalah bakteri utama yang
menyebabkan Rhinofaringitis Akut.

21
4.1.3 Epidemiologi
Setiap tahunnya ±40juta orang mengunjungi pusat pelayanan
kesehatan karena faringitis. Banyak anak-anak dan orang dewasa
mengalami 3-5 kali infeksi virus pada saluran pernafasan atas. Secara
global di dunia ini viral Rhinofaringitis Akut merupakan penyebab
utama seseorang absen bekerja atau sekolah. National Ambulatory
Medical Care Survey menunjukkan ±200 kunjungan ke dokter tiap
1000 populasi antara tahun 1980-1996 adalah karena viral
Rhinofaringitis Akut. Viral Rhinofaringitis Akut menyerang semua ras,
etnis dan jenis kelamin. Viral Rhinofaringitis Akut menyerang anak-
anak dan orang dewasa dan lebih sering pada anak-anak.

4.1.4 Faktor Resiko

a) Usia. Bayi dan anak-anak prasekolah sangat rentan terhadap common cold
karena mereka belum mengembangkan kekebalan terhadap sebagian besar
virus. Namun sistem kekebalan tubuh belum menghasilkan adalah bukan
satu-satunya yang membuat anak-anak rentan. Namun sistem kekebalan
tubuh yang belum sempurna bukan satu-satunya alasan. Anak-anak sering
menghabiskan waktu dengan anak-anak lain dan tidak berhati-hati
mencuci tangan dan juga menutup mulut dan hidung saat batuk dan bersin.
b) Imunitas. Seiring penambahan usia, semakin bagus kekebalan terhadap
virus. Namun disaat imunitas yang menurun mudah sekali untuk
mendapatkan penyakit ini.
c) Waktu tahun. Biasa terjadi pada musim dingin.

4.1.5 Gejala
Gejala dan tanda yang ditimbulkan tergantung pada
mikroorganisme yang menginfeksi. Gejala Rhinofaringitis Akut meliputi
gejala peradangan pada faring ( faringitis) dan hidung. Secara garis besar
Rhinofaringitis Akut menunjukkan tanda dan gejala-gejala seperti, nyeri

22
tenggorokan, faring yang hiperemis, tonsil membesar, pinggir palatum
molle yang hiperemis, kelenjar limfe pada rahang bawah teraba dan nyeri
bila ditekan dan bila dilakukan pemeriksaan darah mungkin dijumpai
peningkatan laju endap darah dan leukosit bila bakteri penyebabnya, selain
ditemukan gejala pada faring, dapat pula ditemukan gejala yang berkaitan
dengan hidung, seperti hidung tersumbat dan pilek,. Selain itu juga dapat
ditemukan gejala seperti nafsu makan berkurang, myalgia, sakit kepala.
Demam juga dapat terjadi pada pasien dengan Rhinofaringitis Akut,
terutama pada bayi atau anak – anak.

Faringitis Viral
Rinovirus menimbulkan gejala rhinitis dan beberapa hari kemudian
akan menimbulkan faringitis. Demam disertai rinorea, mual, nyeri
tenggorokan dan sulit menelan. Pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil
hiperemis. Virus influenza, Coxsachievirus, dan cytomegalovirus tidak
menghasilkan eksudat. Coxsachievirus dapat menimbulkan lesi vesicular
di orofaring dan lesi kulit berupa maculopapular rash. (3,4,5)

Gambar 4.1. Viral Pharyngitis

23
Adenovirus selain menimbulkan gejala faringitis, juga
menimbulkan gejala konjungtivitis terutama pada anak. Epstein-Barr virus
(EBV) menyebabkan faringitis yang disertai produksi eksudat pada faring
yang banyak. Terdapat pembesaran kelenjar limfa di seluruh tubuh
terutama retroservikal dan hepatosplenomegali. Faringitis yang disebabkan
HIV menimbulkan keluhan nyeri tenggorok, nyeri menelan, mual dan
demam. Pada pemeriksaan tampak faring hiperemis, terdapat eksudat,
limfadenopati akut di leher dan pasien tampak lemah.

Faringitis Bakterial
Nyeri kepala yang hebat, muntah, kadang-kadang disertai demam
dengan suhu yang tinggi dan jarang disertai dengan batuk. Pada
pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis dan
terdapat eksudat di permukaannya. Beberapa hari kemudian timbul bercak
petechiae pada palatum dan faring. Kelenjar limfa leher anterior
membesar, kenyal dan nyeri pada penekanan.

Gambar 4.2. Streptococcal Pharyngitis

24
Faringitis akibat infeksi bakteri streptococcus group A dapat
diperkirakan dengan menggunakan Centor criteria, yaitu :
- demam
- Anterior Cervical lymphadenopathy
- Tonsillar exudates
- absence of cough
Tiap kriteria ini bila dijumpai diberi skor 1. bila skor 0-1 maka pasien
tidak mengalami faringitis akibat infeksi streptococcus group A, bila skor
1-3 maka pasien memiliki kemungkian 40% terinfeksi streptococcus group
A dan bila skor 4 pasien memiliki kemungkinan 50% terinfeksi
streptococcus group A.

Tabel perbedaan antara nasofaring karena virus dan bakteri :

Virus Bakteri

Demam ringan atau tanpa demam Demam ringan sampai sedang

Jumlah sel darah putih normal atau Jumlah sel darah putih meningkat ringan
agak meningkat sampai sedang

Kelenjar getah bening normal atau Pembengkakan ringan sampai sedang pada
sedikit membesar kelenjar getah bening

Tes apus tenggorokan memberikan Tes apus tenggorokan memberikan hasil


hasil negative positif untuk strep throat

25
Pada biakan di laboratorium tidak Bakteri tumbuh pada biakan di
tumbuh bakteri laboratorium

4.1.6 Patogenesis
infeksi virus:

26
5.
6.
7.
8.
9.

Virus masuk melalui bagian depan hidung kemudian berikatan dengan


reseptor (ICAM 1) yang terdapat pada sel di nasal dan adenoid yang
terdapat di dalam rongga nasofaring.

27
10.
Setelah virus berikatan dengan reseptornya, virus masuk ke dalam sel
yang akan diserang dan mendudukinya. virus akan bereplikasi dalam sel
yang terinfeksi dan akan melepaskan virus virus baru sedangkan sel
yang terinfeksi akan mati. Dengan jumlah virus yang sedikit saja,kira –
kira 1 – 30 partikel virus bisa menyebabkan infeksi. Virus
membutuhkan waktu 8 - 12 jam untuk berplikasi dan membentuk virus
baru,. Inilah yang disebut periode inkubasi. Sedangkan untuk
menimbulkan gejala membutuhkan waktu kira – kira 36 – 72 jam.

4.1.7 Diagnosis

Untuk menegakkan diagnosis Rhinofaringitis Akut dapat dimulai


dari anamnesa yang cermat dan dilakukan pemeriksaan temperature
tubuh dan evaluasi tenggorokan, sinus, telinga, hidung dan leher. Pada
Rhinofaringitis Akut dapat dijumpai faring yang hiperemis, eksudat,
tonsil yang membesar dan hiperemis, pembesaran kelenjar getah bening
di leher.

4.1.8 Penatalaksanaan

a. Non medikamentosa
- Minum banyak cairan untuk membantu mengencerkan dahak
selain itu Minum air akan mencegah dehidrasi dan menjaga
tenggorokan lembab. Beberapa dokter merekomendasikan bahwa
orang dengan pilek harus minum setidaknya delapan sampai 10
gelas air setiap hari.
- Tirah baring

28
b. Medikamentosa
Rhinofaringitis Akut biasanya adalah self limiting disease sehingga
pengobatan yang dilakukan adalah pengobatan secara simtomatk saja.
- Antibiotik tidak diperlukan apabila penyebabnya adalah virus. Jika
diduga penyebabnya adalah streptococcus group A diberikan
antibiotik yaitu Penicillin G Benzatin 50.000 U/kgBB/IM dosis
tunggal atau amoksisilin 50mg/kgBB dosis dibagi 3kali/hari
selama 10 hari dan pada dewasa 3x500mg selama 6-10 hari atau
eritromisin 4x500mg/hari

- Untuk demam, nyeri tenggorok dan nyeri badan : menggunakan


obat – obat analgesik seperti acetaminofen, ibuprofen, atau
naproxen. Acetaminofen atau paracetamol bekerja dengan
menghambat sintesis prostaglandin. Ibuprofen dan naproxen adalah
jenis obat NSAID ( non steroid anti inflamatory drugs) Ibuprofen
bekerja dengan cara menghentikan Enzim Sikloosigenase yang
berimbas pada terhambatnya sintesis prostaglandin sebagai
mediator inflamasi. Aktivitas antipiretik (penurun panas) bekerja
di hipotalamus dengan meningkatkan vasodilatasi (pelebaran
pembuluh darah). Jangan memberikan aspirin pada anak – anak
karena dapat menimbulkan reye’s syndrome.
- Batuk : menggunakan obat expectoran atau mukolitik
- Hidung tersumbat : bisa menggunakan decongestan. Decongestan
adalah alfa agonis yang bekerja dengan menyebabkan
vasokontriksi sehingga menurukan volume mukosa dan bisa
mengurangi hidung tersumbat.

 Decongestan sistemik : efedrin, fenilpropanolamin,


fenilefrin

Decongestan oral : oxymetazolin, xylometazolin yang merupakan


derivat imidazolin. Karena efeknya dapat menyebabkan depresi susunan
saraf pusat bila banyak terabsorbsi terutama pada bayi dan anak-anak,

29
maka sediaan ini tidak boleh untuk bayi dan anak-anak. Jika digunakan
berlebihan bisa bisa menyebabkan rinitis medikamentosa.

4.1.9 Pencegahan

 Jaga kebersihan tangan dan cuci tangan dengan benar memakai


sabun.
 Segera cuci tangan dengan sabun cair jika tangan kotor karena
terkena sekresi pernafasan, misalnya setelah bersin atau batuk.
 Hindari menyentuh mulut, hidung atau mata.
 Tutup hidung dan mulut bila bersin dan batuk.

4.1.10 Komplikasi

 Sinusitis paranasal
Gejala umum lebih berat, nyeri kepala bertambah, rasa nyeri dan
tekan biasanya di daerah sinus frontalis dan maksilaris. Proses sinusitis
sering menjadi kronis dengan gejala malaise, cepat lelah dan sukar
berkonsentrasi pada anak besar. Kadang-kadang disertai dengan
sumbatan hidung dan nyeri kepala yang hilang timbul, bersin yang
terus-menerus disertai skret purulen dapat unilateral maupun bilateral.
Komplikasi sinus harus dipikirkan apabila di dapat pernapasan melalui
mulut menetap dan rangsang faring yang menetap tanpa sebab yang
tetap. Pengobatan dengan antibiotika.
 Dapat terjadi penutupan tuba Eustachii dengan gejala tuli atau
infeksi menembus lansung kedaerah telingah tengah yang
menyebabkan otitis media akut (OMA). Gejala OMA pada anak
kecil dan bayi dapat disertai suhu badab yang mendadak tinggi
(hiperpireksia), kadang-kadang menyebabkan demam dan disertai
gejala muntah dan diare.

30
 Penyebaran infeksi nasofaring kebawah dapat menyebabkan saluran
nafas bagian bawah seperti laryngitis, trakeitis, bronchitis dan
broncopneumonia.

4.1.10 Prognosis

Umumnya prognosis adalah baik. Pasien dengan Rhinofaringitis


Akut biasanya sembuh dalam waktu 1-2 minggu.
Ad vitam : bonam
Ad sanationam : bonam
Ad fungsionam : bonam

31
BAB IV
ANALASIS KASUS

Pasien anak laki-laki usian 9bulan datang dengan keluhan kejang 1x


dirumah, mata mendelik ke atas, durasi +2 menit, badan kaku. Kejang berhenti
tanpa pemberian obat. Pasien kejang hanya 1 kali, setelah kejang pasien langsung
menangis dan meronta. Pasien mengalami demam sejak pagi dan Batuk yang
timbul bersamaan dengan demam. Muntah sebanyak 3x sejak pagi, muntah berisi
makanan yang dimakan. Pasien juga pernah memiliki riwayat kejang demam dan
dirawat sebelumnya.
Pada kasus didapatkan anak berusia 9 bulan yang dibawa ke RS karena
kejang, dan ketika suhu tubuh diukur menggunakan thermo-gun didapatkan hasil
39oC. Kejang demam umumnya terjadi pada anak berusia 6 bulan hingga 5 tahun
dengan kenaikan suhu tubuh (kenaikan suhu diatas 38oC dengan metode
pengukuran suhu apapun yang tidak disebabkan oleh proses intrakranial pada
anak juga tidak didapatkan adanya defisit neurologis. Hal ini dapat menapiskan
bahwa kenaikan suhu anak dan kejang disebabkan oleh suatu proses intrakranial
seperti infeksi sistem saraf pusat.1,3
Pada anamnesis didapatkan bahwa anak hanya mengalami kejang dengan
frekuensi 1 kali lamanya kurang lebih 2menit, lalu anak langsung sadar dan
menangis setelah kejang selesai. Hal ini dapat menyimpulkan bahwa diagnosis
kerja pada kasus adalah kejang demamSederhana, dimana terpenuhi salah satu
dari 3 kriteria berikut, diantaranya: kejang lama (< 15 menit), kejang umum, dan
kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam.3
Pada kasus kejang demam, tetap harus dipikirkan diagnosis banding yang
disebabkan oleh proses intrakranial seperti meningitis, meningoensefalitis, atau
ensefalitis. Dari anamnesis tidak ditemukan adanya penurunan kesadaran dan dari
pemeriksaan neurologis juga tidak dijumpai adanya kelainan, yang biasanya kita
jumpai pada pasien dengan infeksi intrakranial. Dari hasil pemeriksaan fisik tidak
ditemukan tanda-tanda infeksi sistem saraf pusat, yang biasanya ditandai dengan

32
gangguan upper motor neuron (gejala gangguan SSP), yang biasanya ditemukan
pada kasus meningitis. Dari riwayat perjalanan penyakit didapatkan pasien tidak
pernah mengalami kejang tanpa demam sebelumnya yang berarti dapat
menyingkirkan suatu epilepsi.1,3,4
Pada kasus tidak dilakukan pemeriksaan pencitraan, EEG, atau pungsi
lumbal, karena tidak terdapat indikasi yang jelas seperti defisit neurologis, kejang
fokal, atau gerak rangsang meningeal. Selain itu pada pasien ini tidak memenuhi
indikasi dilakukan lumbal pungsi seperti adanya tanda dan gejala rangsang
meningeal, adanya kecurigaan infeksi SSP dari anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan darah tepi dilakukan untuk membantu mengidentifikasi underlying
etiology.3
Monitoring yang perlu dilakukan pada pasien adalah monitoring kesadaran
dan tanda vital untuk menilai apakah terdapat kegawatan yang dapat muncul
sewaktu-waktu serta observasi timbulnya kejang ulangan. Monitoring suhu juga
perlu dilakukan untuk kepentingan pengobatan, seperti perlu tidaknya pengobatan
intermitten diberikan, serta untuk menilai perjalanan infeksi, apakah terdapat
perbaikan dengan pemberian terapi farmakologis dan non-farmakologis.
Prognosis dari kejang demam adalah bonam apabila penyebab demam dapat
disingkirkan.13

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Pujiarto PS. Demam pada Anak. Majalah Kedokteran Indonesia, 2008; 58


(9): 346-352.
2. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi Konsep-Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Edisi 6. Jakarta : EGC; 2005
3. Pusponegoro HD, Widodo DP; Ismael S (editor). Rekomendasi
Penatalaksanaan Kejang Demam. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2016.
4. Nurindah D, Muid M, Retoprawira S. Hubungan antara Kadar Tumor
Necrosis Factor Alpha (TNF α) Plasma dengan Kejang Demam pada
Anak. Jurnal Kedokteran Brawijaya, 2014; 28 (2):115-119
5. Shellhaas R, Engel J. Febrile Seizure, a Clinical Summary pdf. Last update
2014, downloaded from http://www.medlink.com/cip.asp?UID=mlt002fc
6. Deliana M. Tatalaksana kejang demam pada anak. Sari Pediatri, 2002; 14:
59-62.
7. Greenberg DA, Aminoff MJ, Simon RP. Clinical Neurology 6th Edition.
USA : McGraw-Hill/Appleton & Lange; 2012.
8. Vebriasa, Atut, dkk. Hubungan antara Riwayat Kejang pada Keluarga
dengan Tipe Kejang Demam dan Usia Saat Kejang Demam Pertama. Sari
Pediatri, 2013; 15(3): 137-138.
9. Nindela, Rini, Msy. Rita Dewi, dan Iskandar Z. Ansori. Karakteristik
Penderita Kejang Demam di Instalasi Rawat Inap Bagian Anak Rumah
Sakit Muhammad Hoesin Palembang. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan,
2014; 1(1) 41-45.
10. Yu J., Jung K, Kang H. Comparative Study between Febrile Convulsions
and Benign Convulsions Associated with Viral Gastroenteritis. Journal oof
Epilepsy Research, 2011;1:19-26
11. Wu YZ, Liu YH, Tseng CM, Tseng YH, Chen TH. Comparison of
Clinical Characteristics Between Febrile and Afebrile Seizures Associated
With Acute Gastroenteritis in Childhood. Frontiers in Pediatrics, 2020;8:1-
8
12. Salwan H. 2010. Diare Pada Anak, Ed. 2. Palembang: Hasri Salwan
13. Sjarif D., dkk. 2011. Asuhan Nutrisi Pediatrik. Jakarta: UKK Nutrisi dan
Penykait Metabolik Ikatan Dokter Indonesia
14. Kemenkes RI. 2015. Manajemen Terpadu Balita Sakit. Jakarta:
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
15. Alsagaff, Hood & H. Abdul Mukty. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit
Paru. Surabaya : Airlangga University Press.
16. Ballenger JJ. 1994. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher.
Alih bahasa staf ahli bagian THT FK UI. Jilid 1. Edisi 13. Jakarta:
Binarupa Aksara.
17. Behrman, Richard E., dkk. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Volume 2,
Edisi 15. Jakarta: EGC
18. George L. Adams M.D, Lawrence R. Boies Jr. M.D, Peter A. Higler M.D.
1989. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC

34
19. Guyton, Arthur, dkk. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta:
EGC.
20. Martini, Frederic H. Seiger, Charles. Nath, Judi L. 2008. Fundamentals of
Anatomy & Physiology. San Fransisco: Benjamin-Cummings Publishing
Company.
21. Morgan, Geri, Hamilton, Carole. 2003. Obtetri dan Ginekologi: Panduan
Praktik, Edisi 2. Jakarta: EGC.
22. Munir, Delfitri, dkk. 2006. Epistaksis. Departemen Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok, Bedah Kepala leher. Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
23. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI. 2005. Buku Kuliah 2 Ilmu
Kesehatan Anak. Jakarta: Infomedika.

35

You might also like