You are on page 1of 12

Dua belas tahun yang lalu, kalau tidak salah, saat itu Seora masih duduk di kelas sebelas

sekolah menengah barunya di Busan. Dia terpaksa pindah karna ayahnya ditugaskan untuk
bekerja di sana. Seora tidak keberatan meskipun dia tidak mempunyai teman. Tidak sama sekali.
Karena ada banyak hal yang membuatnya sangat jatuh hati pada kota besar itu. Selain toko es
krim langganannya yang selalu buka setiap hari, Seora menyukai bagaimana seseorang
memandangnya dari kejauhan sambil tersenyum tanpa suara.

Dia Jeon Jungkoook, teman sekelas Seora.

Seora tidak tahu banyak tentang lelaki itu. Namun setidaknya, Seora tahu betul bahwa
lelaki itu sangat baik.. Dia adalah putra dari pemilik perusahaan terbesar sekaligus wali kota di
Busan. Dia adalah orang yang hangat namun dingin di saat yang sama. Seora bahkan pernah
memergoki Jungkook ketika sedang membantu seorang nenek yang kesulitan berdri setelah
terjatuh dari kursi roda saat hendak menyebrang jalan, atau menangkap basah lelaki itu saat
sedang menolong seekor anak anjing yang terluka karena tertabrak mobil. Namun lebih dari itu,
Seora sangat terkejut saat mengetahui satu fakta yang selalu melekat pada diri seorang Jeon
Jungkook bahwa lelaki itu adalah orang yang pendiam dan tidak suka bersosialisasi.

Jungkook akan selalu menyendiri di sudut kelas sambil mendengarkan musik melalui
earphone kesayangannya, lalu sibuk bermain kubik. Dia sangat pandai dalam memainkan benda
itu. Apalagi ketika tangannya sangat lincah dalam memisahkan tiap bagian yang berwarna sama.
Dia sepertinya tidak peduli tentang apa yang terjadi di sekitarnya. Dia sangat asyik dnegan
dunianya.

Ketika kaki mungil itu memasuki kelas dengan jantung berdebar kencang—hampir keluar
dari tempatnya, Seora berusaha untuk tetap tersenyum pada lusinan orang asing yang dengan
malang menatapnya. Dengan pengecualian satu orang yang masih sibuk memainkan kubiknya
yang berhasil menarik perhatian Seora selama ini. Apalagi saat suara si gadis terdengar keras
untuk memperkenalkan diri, dia masih sama, berpura-pura mendengarkan meskipun Seora yakin
telinganya tidak benanr-benar pekak

“Halo, nama saya Ji Seora. Saya harap kita bisa berteman baik.”

Banyak gunjingan tiba-tiba terdengar dari beberapa orang asing setelah kalimat itu
meluap andai saja Pak Han tidak cepat melerai dengan memerintahkan Seora untuk duduk di
kursinya, di sana, di samping lelaki itu. Namun, lagi-lagi Seora merasa seperti gadis malang yang
tidak beruntung karena sejak mendududkkan di kursinya tepat di sebelah Jungkook beberapa
menit terakhir, semua orang mulai menatapnya degan tatapan mengintimidasi yang jujur saja
berhasil membuatnya bergidik ngeri. Seora tidak tahu berbuat apa. Dia hanya terus menatap
kosong dan mulai mengajukan banyak pertanyaan acak di kepalanya tentang apa yang sebenarnya
terjadi.

Ya Tuhan, aku tidak melakikan kesalahan, bukan?

“Apa ekspektasimu tentang sekolah in?” Demi apa pun Sora terkejut. Seorang lelaki baru
saja melontarkan satu pertanyaan yang sejujurnya tidak sulit untuk ia jawab. Seora sempat
membaca kartu nama lelaki itu. Ah, ternyata namanya Jeon Jungkook. Dia berbicara dengan
Seora untuuk pertama kalinya. Tentu dengan wajah datar dan menyebalkan miliknya yang sedari
tadi setia terpatri.

“Tidak ada,” jawabnya.

“Syukurlah.”

“Untuk apa?”

“Kau masih bisa mengbaikan mereka yang menggodamu. Mereka semua iblis.” Jungkook
berkata dengan samar. Tidak. Seora sama sekali tidak peduli dengan gunjingan yang semakin
dibiarkan itu semakin membuat telinganya terasa panas. Ribuan kutukan masih tersimpan rapi di
pangkal lidahnya. Dia tidak akan melepaskannya secara cuma-cuma untuk orang-orang seperti
mereka.

Tahan,Ji. Kau harus menahannya.

Suasanan mendadak mengerikan setelah Jungkook menyelesaikan kalimatnya. Dalam


beberapa detik yang singkat, lelaki itu dengan cepat berdiri dari kursinya, meletakkan kubik di
sisi meja, meninggalkan suara kursi yang berderit kencang mengisi kekosongan ruang kelas yang
berhasil mengundang banyak pasang mata untuk melihatnya. Dia lalu melangkah ringan dengan
kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Anehnya semua orang tiba-tiba terdiam, kelas
menjadi sunyi, tidak ada yang bergerak, membuat Seora segara menyadari bahwa Jeon
Jungkoook adalah seseorang yang paling ditakuti di sekolahnya.
Satu minggu adalah waktu yang cuukup untuk Seora mengenal Jungkook. Bagaimana
sifatnya, bagaimana caranya berbicara, ataupun bagaimana caranya menulis mengggunakan
tangan kirinya. Seora mengenal hal-hal kecil dalam diri Jungkook.

Perkenalan Seora dan Jungkook sebenarnya bisa dibilang sangat klise. Mereka hanya
sebatas teman sekelas, mereka hanya akan berbicara jika diperlukan, selebihnya mereka seperti
tidak saling mengenal. Jungkook adalah seorang penyendiri. Dia akan langsung pulang ketika bel
sekolah berbunyi, atau bahkan mampir sebentar ke kedai Ramen Paman Goo untuk mengisi
perutnya yang keroncongan. Seora mengetahuinya karena jarak antara rumah mereka bisa
dikatakan cukup dekat—hanya berjarak beberapa bangunan—mereka bertetangga. Meskipun
begitu, Seora tidak pernanh melihat lelaki itu keluar rumah atau sekedar menyapa tetangganya.

Jeon Jungkook, dia sangat kesepian.

“Sstt, … Jung, kau tahu jawaban nomor dua?” Seora berbisik pelan. Jantungnya berdegup
kencang karena pengawas terus mengamati setiap gerak-gerik siswa yang sedang mengerjakan
ujian. Orang yang ditanya cepat menggidikkan bahunya dengan acuh tak acuh.

“Ayolah, kumohon …”

Terdengar Junngkook mendecakkan lidahnya. Dia sekilas melihat ke lembar jawaban


milik Seora yang belum terisi. “Begitu saja tidak tahu. Kau bodoh atau apa, sih?” tanyanya, lalu
kembali mengerjakan soal.

“Iya, aku tahu aku bodoh. Kalau begitu cepat berikan jawabanmu.”

“Tidak semudah itu.”

“Apa yang kau inginkan? Cepat beritahu aku.”

Jungkook tampak berpikir sejenak. “Aku ingin kau memanjat pohon di bekanag rumahku
dan kemudian mengambil sarang lebah di sana dengan tangan kosong.” Tetapi, tidak. Jungkook
tidak benar-benar mengatakannya. Jadi, dia hanya berkata, “Tidak akan. Kau tahu, menyontek
tidak akan membuatmu pintar.”

Namun, karena merasa tidak puas dengan semuanya, Seora berusaha merebut lembar
jawaban itu secara paksa, tetapi dengan mudah Jungkook menahannya. Mata keduanya sempat
bertemu satu sama lain bersama kilatan melintas di sudut mata keduanya. Dan dalam sekali
sentakan, lembar jawaban itu terbelah menjadi dua bagian. Jungkook menganga tidak percaya.
Semua orang melototi mereka berdua yang hanya dapat terdiam dalam beberapa detik.

Tamatlah sudah.

Dan semenjak saat itu, Seora berjanji tidak akan pernah menyontek lagi.

Pertemuan Seora dengan Jungkoook adalah hal terkonyol yang pernah ada. Mereka
hanya bertemu di sekolah. Itu jika Jungkook tidak membolos atau tidak masuk sekolah dengan
berpura-pura sakit. Kemudian mencoba hal terbodoh yang tidak pernah Seora pikirkan
sebelumnya, yaitu menyalin tanda tangan orang tuanya di akhir surat. Oh, sungguh, dia sangat
memalukan. Well, padahal Seora sangat senang ketika Jungkook sudah lelah menunggu berjam-
jam di depan rumahnya dan dengan gesit menghadang Seora dengan kedua tangan terlentang di
udara saat gadis itu sedang berjalan menuju sekolah.

Jeon Jungkook sepertinya buru-buru menyerahkan surat itu kepada Seora dengan tangan
gemetar dan gugup saat dia berkata, “Aku tidak sekolah hari ini. Badanku sedikit merianng. Aku
serahkan ini padamu,” lalu berbalik cepat setengah belari kecil—hampir tersandung kakinya
sendiri. Dia bahkan lupa mengucapkan terima kasih dan dengan begitu mudah meninggalkam
kehadiran Seora yang terlihat begitu bingung.

“Hei, apa kau berpikir surat ini akan diterima oleh Pak Han?” Dia menghentikan
langkahnya, menatap Seora dari kejauhan sambil menyipitkan matanya, lalu dengan cepat
menggdikkan bahunya dengan acuh tak acuh.

“Lagi pula, kau bukan peniru ulung.”

“Apa?” Jungkook bingung, dia tidak mengerti apa yang dikatakan gadis itu.

“Kau menyalin tanda tangan ayahmu, bukan? Dan, ya, kenapa kau memakai seragam
sekolah saat sedang sakit?” Lelaki itu terdiam saat Seora melanjutkan bicara, “Apa susahnya, sih,
membolos tanpa surat?” Seora mencibikkan bibirnya saat dia mengangkat surat itu tinggi-tinggi
ke udara lalu merobeknya menjadi potongan-potongan kecil. Si Jeon terlihat marah, dia berteriak
emosi, mendekati Seora yang terlihat puas di seberang sana.

“Apa yang kau lakukan?”


“Merobeknya, tentu saja.” Gadis itu menjawab dengan santai. Tangannya dilipat di depan
dada, mengangkat kepala untuk melihat lelaki jangkung di depannya yang tiba-tiba membuat
Jungkook malu dan akhirnya berpaling.

“Kau menyukaiku?"

Persis.

Jungkook terlihat malu sebelum akhirnya menggelengkan kepalanya dengan tegas—


berusaha menyakinkan gadis itu meskipun ekspresi malu yang ditayangkannya berhasil membuat
Seora geram setengah mati.

“Kau berbohong. Lihat, pipimu memerah.” Seora mencubut pipi Jungkook dengan kedua
tanngan, terkikik geli setelah mengacaukan rambut hitam berkilaunya, Sayangnya Jungkook
cepat-cepat menepis tangan si gadis. Tetapi lebih dari itu, hal-hal selanjutnya yang terjadi benar-
benar di luar dugaan Seora.

Jungkook sepertinya sudah gila, Dia mengambil beberapa langkah ke depan—membuat


Seora melangkah mundur sehingga punggungnnya bertabrakan dengan tembok. Mereka sekarang
berada di lorong yang sepi. Jarak di anatara mereka sangat dekat. Embusan napas menggelitik
permukaan wajah si gadis, Seora menelan ludahnya dengan kesulitan. Karena itu, tersenyum
menngerikkan setelah meletakkan salah satu tangannya bertumpu pada tembok, Jungkook
memandang Seora yang terlihat ketakutan, tetapi berusah untuk terlihat baik-baik saja.

Detik-detik terasa begitu lambat, hingga akhirnya Seora dengan sigap mendorong pundak
lelaki di depannya hingga terjatuh di atas tanah yang lembab sambil mengerang kesakitan—
merasakan bagaimana bokongnya terasa panas dan pegal secara bersamaan saat menyentuh
permukaan tanah dengan cukup keras. Seora merendahkan tubuhnya, melipat tangannya ke arah
lelaki itu—menginstruksikan untuk bangkit lalu berkata manis dan antusias.

“Hei, ayo, apa kau mau pergi bolos bersamaku?”

Seora pikir bahwa Jungkook akan langsung mneolaknya sejak dia memeintanya utu k
pergi bersama, atau berusaha keras untuk menghindarinya dan mengira Seora adlab
pengganagagua persis seperti cerita picisan yang sering dibacanya di perpustakaan kota setiap
akhir pecan. Namun, tidak. Ini benar-benar mebawa perubahan besar di antar mereka. Keduanya
tampak lebih akrab dari sebelumnya. Mereka berteman baik. Jeon Jungkook memiliki seorang
teman—untuk pertama kali dalam hidupnya.
Seora tiba-tiba teringat ketika dirinya bertanya dengan sangat serius, Kira-kira pertanyaan
seperti ini,”Kenapa kau mau berteman denganku?” Alia gadis itu terangkat saat menatap
kehadiran Jungkook yang sepertinya berpikir sejenak sebelum akhirnya menggidikkan bahunya.

“Menurutmu?” Dia balik bertanya, menghentikan langkahnya secara sepihak da


kemudian menendang kerikil kecil di depannya. Seora hanya diam beberapa detik lalu menjawab,
“Aku tidak tahu. Itu sebabnya aku bertanya.” Si gadis memutar bola matanya malas. Menyablkan
sekali. Jeon jungkook selalu menjawab tidak srius jika ditanya.

“Dan, kau, kenapa ingin berteman denganku?” Sekarang giliran Jungkook yang
penasaran. “Karena aku tidak punya teman,” jawabnya cepat. Seora tidak berbohong. Itu
kenyataan. Dia bersmupah bahwa dia akan mengorek pantat siapa pun dengan menggunakan
obeng jika saja dia punya teman selain Jungkook. Baiklah, itu terlihaht berlebihan.

“Tidak. Itu Karen kau bodoh. Lagi pula, sejak kapan aku menganggapmu teman?” Ya
Tuhan, lebih baik Seora tidak mendengar jawaban apa pun dari mulut Jungkook jika jawaban
yang didapatnya seperti ini. Jadi, selama ini hanya Seora yang mengira bahwa Jungkook adalah
teman, tetapi dia tidak?

“Sialan, dasar berengs—“

“Cepat bersembunyi.” Tak sempat melanjutkam, Jungkook terlebih dahulu menarik


lengan Seora cukup kuat sehingga tubuh mungil itu menghantam dada lebar lelaki itu. Mereka
bersemmbunyi di balik salah satu mobil yang diparkir di pinggir jalan. Seora terkejut kafrena
Jungkook tiba-tiba melakukan ini. Jantungnya berdebar kencang.

“Aku baru saja melihat Pak Han,” kata Jungkook dengan lemah. Wajahnya berkerinnagt,
dia menggigit bibir bawahnya dengan glisah. Mereka akan mati jika Pak Han melihat mereka
berdua bolos saat jam pelajarandan berkeliaran di sekitar sekolah. Itu tidak baik.

“Apa?” Seora tergagap. Kepalamya tiba-tiba teras pusing. Apa lagi saat ia menciumbau
parfum Jungkook dari jarak sedekat ini. Itu benar-benar memmbuatnya mual.

“Dia menuju kemari.” Lelaki itu mendekap mulut Seora sambil memeluknya dengan erat
—berharap gadis itu tidak akan berteriak atau bersuara. Entah apa yang membuat Jungkook
berani melakukan itu, tetapi melihat bagaimana situasinya aman, mata keduaya sempat
bersirobok—mengirim jutaan kupu-kupu terbang melintasi dada mereka dalam waktu yang
sangat lambat. Seora kehilangan akalnya, dan Jungkook menjadi malu dan secara reflex
mendorong gadis di pelukannya untuk jatuh ke aspal sambil meringis kesakitan.

Jungkook berdiri sambil menepuk seluruh tubuhnyq. Tidak membiarkan sedikit pun debu
milik Seora menempel di pakaiannya, kemudian menatap gadis itu dengan tatapan tajam sambil
membentak kasar. “Apa-apaan ini?”

Kenapa Jungkook tiba-tiba berubah sseperti ini?

“Kau memelukku.” Seora berdiri kesulitatn, pakaiannya kotor, lengannya terluka. Dia
kesal—hampir meledakkan emosinya saat menemukan Jungkook melakukan pembelaaan andai
saja Pak Han cepat menghampiri mereka dari kejauhan. Pak Han menyelas setelah itu memnawa
keduanya untuk menghadap kepala sekolah dan berakhir mendapatkan hukuman. Mereka berdua
dihukum berdiri dengan salah satu kaki di tengah terik matahari di lapangan.

“Kau tidak ssehausnya mengajakku membolos”

“Jadi, kau menyalahknku?”

“Tentu saja, kau penyebab ini semua terjadi.”

“Kenapa kau tidak menolak?”

Andai saja mereka berdua tidak menyalahkaan satu sama lain. Mungkin mereka tidak
akan berkahir seperti ini. Alih-alih berkerja sama untuk bisa lolos dari hukuman. Seora dan
Jungkook malah bersikeras untuk mmbela diri masing-msing apalagi di depan kepala sekolaj
hingga akhirnya mereka bertengjar di tengah lapangan yang sukses menarik banyak perhatian sisa
dan siswi di sekolah tak termasuk guru yang sedang mengajar.

Seora mengepalkan tangannya dengan erat—hampir meledakkan amarahnya. Dia tidak


tahan lagi, maka yang Seora lakukan selanjurnya adalah menjambak rambut lelaki itu dengan
kuat dan Jungkook membalasnya dengan melakukan hal yang sama.

“Rasakan ini, Jung. Rasakan—argh.”

“Aku tidak akan kalah.”

“Argh—Jeon Jungkook sialan.”


Seora berhasil menguasai tubuh Jungkook dengan dirinya berada di atas tubuh lelaki itu.
Namun. Jungkook dengan cepat mengunci tubuh sang gadis hingga sekarang giliran Jungkook
yang berada di atasnya. Peluh bercucuran, wajah memerah, semua orang melihat sambil
menganga tidak percaya. Mereka bersorak—menentukan siapa yang akan memjadi pemenang
dari perkelahian sengit itu. Suasana mendadak dramatis.

Tidak sampai di situ, mererka semakin parah saat berguling-guling di tengah lapangan.
Mencekik leher, menarik rambut, megumpat kasar, meluapkan kekesalan dalam diri. Seora
sempat tidak sekolah selama dua hari karena menahan malu. Dia bersumpah tidak akam pernah
mengingatnya lagi, itu sudah sangat lama, tetapi entah kenapa masih terasa sangat segar di
kepalanya.

Sungguh memalukan

Sekitar satu bulan setelah kejadian itu, Seora dikejutkan dengan berita tentang Jungkook
yang diskors karena berkelahi dengan siswa kelas sebelah. Semua orang sepertinya bergegas
menuju area koridor hanya untuk melihat perkelahian antara kedua anak yang sekarang sudah
benar-benar buruk. Bibir memar, pelipis dan hidung berdarah, miris, tidak ada yang berani
memisahkan sebelum akhirnya salah satu gutu mulai kesulitan membubaroan kerumunan dan
membawa kedua siswa yang terluka parah itu untuk di siding.

Jeon Jungkook diskors, dia tidak pergi ke sekolah selama seminggu. Seora seharusnya
tidak merasa sedih seperti ini mengingat Jungkook sering terlibat perkelahian termasuk berkelahi
dengannya hingga mendapatkan surat peringatan. Well, kali ini terasa berbeda. Dia yakin
Jungkook tidak peduli meski tindakannya kasar. Hanya saja Seora merasa kesepiam, dia tidak
punya teman.

Seora pernah mendapat pertanyaan seperti ini, “Ji, bagaimana jika kau kehilangan
seseorang yang kau cintai? Apakah kaku akan sedih?” tanyanya dengan mata rusa yang selalu
menghalangi Soera untuk menyelami dasarnya—terlalu jauh. Saat itu Seora tidak mendapatkan
jawabannya. Dia tidak tahu, jadi dia hanya menggelengkan bahunya, menjawab asal terlalu
ssederhana—tidak serius, hanya bercanda—barangkali bisa membuat rasa penasaran lelaki itu
terbayarkan.

“Entah, aku tidak tahu. Mungkin akan lebih baik jika aku mati saja.” Seora tertawa
hambar saat dia menyelesaikan kata-katanya. Tidak ada yang lucu, memang. Dan kau tahu apa
bagaimana reaksi lelaki itu? Seora melihat Jungkook tiba-tiba terdiam setelah
mendengrakannnya. Seora merasa bersalah karenanya.

“Apa terjadi sesuatu, Jung?” Gadis itu memastikam. Tangannya bergerak menggeggam
tangan si lelaki yang tiba-tiba diam, sedangkan Jungkook cepat menggeleng samar. “Ah, tidak
ada. Hanya bertanya,” jawabnya. Tetapi Seora yakin sesuatu yang buruk sedang terjadi padanya
—sesuatu yang sulit untuk dikatakan, sesuatu yang menyakitkan di balik senyum tipis yang
manis itu.

Namun, Seora lagi-lagi menyesalinya. Dia tidak bisa memberikan jawaban yang bagus
untuk pertanyaan yang Jungkook tanyakan paanya. Seora hanya bisa menjawab ketika dia
teringat ayahnya pernah berkata padanya. “Ji, jika kau dihadapkan pada rasa kehilangan
seseorang kau cinta, ketahuilah bahawa perpisahan lebih menyakitkan dari pada itu.” Dan ayah
benar. Sampai detik ini ayah selalu benar dalam perkataannya.

Seora tidak tahu kalau hari itu adalah hari perpisahan mereka. Itu adalah pertemuan
terakhir mereka. Andai saja saat itu Seora memeluk tubuh Jungkoook dengan erat untuk
meraskan kehangatannya. Andai saja Seora memberian jawaban yang terbaik. Andai saja Seora
tidak melepaskannya begitu saja. Andai saja Seora meminta kepada Tuhan utuk tidak
dipertemulan dengannya bila memang berakhir menyakitkan seperti ini. Andai. Mngkin semua itu
tidak akan terjadi.

Tetapi setidaknya Seora bisa bernapas laga. Karena ada bayak hal yang membuat Seora
percaya bahawa semuanya akan baik-baik saja. Orang-orang mengatakan kepadanya bahwa
kehilangan seseorang yang dicintai adalah kiamat kecil bagi mereka. Seora tidak merasa itu salah,
dia membenarkannya karena sebenarnya ia sudah merasakan bagaimana rasanya kehilangan
sosok luar biasa dalam hidupnya yang pada kenyataannya bukanlah perkara yang mudah. Namun,
di antara rasa kehilangan itu sendiri, ada satu hal yang menyakitkan bagi Seora lebih dari apa pun,
dan itu adalah perpisahan.

“Jeon Jungkook sudah pindah sekitar dua hari yang lalu. Kau tidak tahu?”

Tidak mungkin.

Seora kecewa karena dia tidak mengatakan padanya bahwa dia akan pergi. Seora
menyesal karena tidak mengmbalikan pulpen yang dia pinjam darinya. Seora menyesal karena
tidak pernah mengatakan kepada Jungkook bahwa dia adalah lelaki paling menyebalkan yang
pernah dia temui. Dan Seora menyesali diirnya sendiri karena terlambat menyatakan pperasaanya
kepada lelaki itu bahwa dia menyukainya. Seora menyukai Jungkook, sudah lama sekali, sejak
pertama kali bertemu.

“Apa kau tidak turun, Nona?”

Seora mungkin akan terjenak dengan pikirannya yamh melayang jauh jika saja mini bus
yang dia tumpangi mendarat dengan selamat di salah satu halte bus. Di luar sedang gerimis. Dia
telah menatap layar ponselnya dari waktu ke waktu, tetapi pria itu tidak membalas pesannya. Ke
mana dia pergi? Namun, sekali lagi dia segera tersadar kembali ketika sopir bus mukai menegur
untui kedua kalinya. “Nona?”

“Ya?”

Si sopir terlihat kesal di belakang kemudi, lalu menjawab dengan malas, “Kau sudah
sampai.”

Ah, Ya Tuhan.

“Baiklah.”

Seora bergegas turun dari bus denan sempoyogan. Berteduh sbenetar di halte bus.
Gerimis yang tadinya samar kini berubah menjadi hujan deras dengan gemuruh di atas sana.
Cuacanya dingin—sudah larut malam. Tiba-tiba ponselnya berderinh kencang di dalam saku jas
biru yang dikenakannnya. Tenyata Jung, gumam Seora. Dia tersenyum singkat ketika mengetahui
siapa yang menghubunginya, kemudian mulai menjawab telepon dan menenmukan lawan
bicaranya mulai meras gelisah di sisi lain yang berhasil membauatnya tertawa.

Menoleh ke kanan dan kiri—memastikan mobil milik pria yang ditunggu-tunggunya semakin
dekat. Namun, Seora dibuat bingung ketikka pria di sana bertanya, “Kau masih
memikirkannya?”

“Apa?”

“Kau mabuk?”

Wanita itu menganggukkan kepalnya meski sang pria tidak melihatnya. “Sedikit,” katanya,
sedangkan lawannya hanya bisa mendesah berat. Entah kenapa Seora merasakan sesuatu yang
buruk tengah terjadi. Jantungnya berdebar kencang. Kepalanya pening—bagia batu besar baru
saja menimpanya. Pria di sana terdiam cukup lama meskipun mereka masih berada dalam
pannggilan

“Tapi, Ji, …”

“Hm?”

Menjeda kalimat sejenak, pria itu tidak tahu harus mengatakannya atau tidak. Semuamya terlalu
sulit. Namun, menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya secara perlahan, pria itu
melanjutkan perkataannya yang sempat terhenti beberapa detik yang lalu dengan nada dingin dan
samar yang berhasil membuat Seora terpaku di depan halte dengan kedua kakinya terasa lemah—
hampir tidak bisa menahan keseimbangannya saat pria itu berkata, “Aku bukan Jeon Jungkook.
Aku kekasihmu, Kim Taehyung,”

“Ah, benar. Kau bukan.” Seora menjawab dengan cepat, menutup matanya yang terasa perih,
menangis sambil terisak kecil—hampir tak bersuara guna menahan sesak di dada, lalu tersenyum
mskipun bibirnya bergetar hebat, “Maafkan aku, Sayang.”

You might also like