You are on page 1of 29

REFERAT

“KONJUNGTIVITIS VERNAL”

Pembimbing :
dr. Wahid Heru Widodo, Sp. M

Disusun Oleh :
Dita Yulianti G4A017045
Hesti Tri Yuliani G4A017047

STAF MEDIK FUNGSIONAL ILMU KESEHATAN MATA


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
PURWOKERTO
2019

i
HALAMAN PENGESAHAN

REFERAT
“KONJUNGTIVITIS VERNAL”

Disusun oleh :
Dita Yulianti G4A017045
Hesti Tri Yuliani G4A017047

Diajukan untuk memenuhi syarat ujian kepaniteraan klinik di bagian


Ilmu Kesehatan Mata RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo
Purwokerto

Telah disetujui,
pada tanggal: Juli 2018

Mengetahui,
Dokter Pembimbing,

dr. Wahid Heru Widodo, Sp. M


19621118 198803 1 006

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Referat yang
berjudul “Konjungtivitis Vernal”. Penulisan presentasi kasus ini merupakan salah
satu syarat untuk mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Kesehatan
Mata RSUD Prof. dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Penulis berharap referat ini
dapat bermanfaat untuk kepentingan pelayanan kesehatan, pendidikan, penelitian
dan dapat dipergunakan dengan sebaik-baiknya oleh berbagai pihak yang
berkepentingan. Terima kasih penulis ucapkan kepada dr. Wahid Heru Widodo,
Sp. M selaku dosen pembimbing yang telah memberikan saran dan motivasi
dalam penyusunan referat ini.
Penulis sadar bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
presentasi kasus ini. Oleh karena itu, segala masukan yang bersifat membangun
sangat diharapkan.

Purwokerto, Juli 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... ii
KATA PENGANTAR ................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................. iv
I. PENDAHULUAN................................................................................. 1

II. PEMBAHASAN
A. Anatomi Mata dan Palpebrae ........................................................... 3
B. Konjungtivitis Vernal........................................................................ 4
1. Definisi........................................................................................ 4
2. Epidemiologi ............................................................................... 5
3. Etiologi dan Faktor Risiko........................................................... 5
4. Patofisiologi................................................................................. 6
5. Klasifikasi.................................................................................... 7
6. Manifestasi Klinis ....................................................................... 8
7. Diagnosis Banding ...................................................................... 13
8. Penegakan Diagnosis................................................................... 17
9. Tata Laksana................................................................................ 18
10. Komplikasi................................................................................... 21
11. Prognosis Konjungtivitis Vernal.................................................. 21

III. KESIMPULAN...................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 23

iv
I. PENDAHULUAN

Konjungtivitis merupakan kondisi inflamasi atau infeksi pada konjungtiva


yang ditandai dengan dilatasi pembuluh darah konjungtiva sehingga terjadi
hiperemia dan edema pada konjungtiva (Azari, 2013). Konjungtivitis dapat
disebabkan karena infeksi ataupun non infeksi. Konjungtivitis yang disebabkan
oleh mikro-organisme (terutama virus dan kuman atau campuran keduanya)
ditularkan melalui kontak dan udara (Vaughan, 2010). Terdapat beberapa bentuk
konjungtivitis tertentu yang terjadi pada kelompok usia tertentu. Pada anak, sering
terjadi keratokonjungtivitis vernal, sedangkan keratokonjungtivitis atopik dan
alergika sering terjadi pada dewasa muda (Azari, 2013). Sekitar 1-3% pengguna
kontak lensa terkena konjungtivitis dengan papiler coblestone. Konjungtivitis
infeksius mengenai perempuan dan laki-laki dengan insidens yang sama. Namun,
konjungtivitis sicca lebih sering terjadi pada perempuan. Sebaliknya,
keratokonjungtivitis vernal dan konjungtivitis akibat kimia dan mekanik lebih
sering terjadi pada pria ( Erwin, 2012).
Beberapa dekade terakhir diagnosis penyakit alergi telah meningkat dan
konjungtivitis alergi telah muncul sebagai masalah yang signifikan, yang dapat
menyebabkan penyakit permukaan mata yang parah yang awalnya ditandai
dengan keluhan gatal, berair dan kemerahan. Ini dapat mengakibatkan penurunan
kualitas hidup, karena pasien dengan gejala berat, jika dibiarkan tidak diobati atau
diperlakukan dengan buruk, dapat menurunkan kualitas hidup seseorang (Rathi,
2017).
Berdasarkan keparahannya konjungtivitis alergi yang sering dikenal adalah
seasonal conjungtivitis (SAC), Parennial conjungtivitis (PAC), Vernal
keratoconjungtivitis (VKC), dan Atopic Keratokonjungtivitis (AKC) (Rathi,
2017). Konjungtivitis vernal merupakan salah satu konjungtivitis yang sering
ditemui di negara-negara tropis, yang salah satunya adalah negara-negara di Asia.
Konjungtivitis vernal merupakan peradangan pada konjungtiva yang disebabakan
oleh reaksi hipersensitivitas tipe 1 karena respon imun terhadap allergen.
Konjungtivitis vernal ini sering dijumpai bersamaan dengan keratitis yang
ditandai dengan peradangan bilateral kronik dari konjungtiva atau kornea yang

1
dimanifestasikan dengan adanya papilla rasaksa / coble stone pada tarsus/limbus
(keratokonjungtivitis vernal) (Alemayehu, 2019).
Berdasarkan studi keratokonjungtivitis vernal sering di jumpai pada
Negara Jepang, Thailand, India, dan Singapore. Usia tersering yang didapati pada
kasus ini adalah usia 10 tahun, dimana kondisi ini sangat mempengaruhi aktivitas
normal di sekolah. Lebih dari 1/3 anak dengan keratokonjungtivitis vernal bolos
sekolah lebih dari 1 hari/bulan dan sekitar 23% pasien memiliki gejala yang
presisten dan lebih dari 60% pasien mengalami kekambuhan (De Smedt, 2012).
Pengaruh iklim, paparan sinar matahari, jenis kelamin laki-laki, status ekonomi,
paparan debu dan angin, atopi yang mendasarinya, asap minyak tanah / kayu, dan
kontak hewan yang dekat diidentifikasi faktor-faktor terkait keratokonjungtivitis
vernalis (Hayilu, 2016). Opsi manajemen yang memungkinkan dari
keratokonjungtivitis vernalis termasuk dari intervensi yang mendukung hingga
intervensi medis berdasarkan tingkat keparahannya sangat penting untuk
meningkatkan kualitas hidup dan produktivitas pasien (Alemayehu, 2019).

2
II. PEMBAHASAN

A. Anatomi Mata dan Konjungtiva


Konjungtiva merupakan selaput tipis dan transparan yang melapisi
bagian belakang sklera dan bagian dalam kelopak mata. Konjungtiva dibagi
tiga bagian yaitu konjungtiva palpebra, konjungtiva bulbar dan forniks.

Gambar 2.1. Anatomi palpebral (Azari, 2013).

Konjungtiva palpebra melapisi bagian dalam palpebra, dibagi lagi


menjadi tiga bagian yaitu marginal, tarsal dan orbital. Bagian marginal
terletak di tepi palpebra hingga 2mm ke dalam palpebra, bagian tarsal
melekat di tarsal plate, sedangkan bagian orbital terletak di antara
konjungtiva tarsal dan forniks. Pada konjungtiva palpebra terdapat
kelenjar henle dan sel goblet yang memproduksi musin. Konjungtiva
bulbar melapisi bagian anterior bola mata dan dipisahkan dengan
sklera anterior oleh jaringan episklera. Konjungtiva yang berbatasan
dengan kornea disebut limbal conjunctiva. Pada konjungtiva bulbar terdapat
kelenjar manz dan sel goblet. Konjungtiva forniks merupakan penghubung
konjungtiva palpebra dengan konjungtiva bulbar. Daerah tersebut
memiliki kelenjar lakrimal aksesoris yaitu kelenjar krause dan wolfring
yang menghasilkan komponen akuos air mata (Cantor, 2014; Nari, 2017).

3
Gambar 2.2 Struktur Konjungtiva

B. Konjungtivitis Vernal
1. Definisi
Konjungtivitis alergi adalah peradangan pada konjungtiva
(disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe I) karena respon imun terhadap
allergen, Sedangkan keratoconjunctivitis vernal (VKC) adalah peradangan
bilateral kronis dari konjungtiva / kornea yang dimanifestasikan oleh
adanya papila raksasa / batu bulat di tarsus / limbus (Alemayehu, 2019).
Berdasarkan literatur lain, Keratoconjunctivitis Vernal
didefinisikan sebagai adanya papila tarsal dan atau limbal berdiameter
lebih dari 1 mm dengan sensasi gatal dan setidaknya satu dari gejala
fotofobia, lendir lengket, kemerahan, robek dan sensasi benda asing dalam
6 bulan terakhir. Palpebral Vernal Keratoconjunctivitis didefinisikan
sebagai kehadiran papila> 1 mm pada konjungtiva tarsal tanpa keterlibatan
limbal dengan sensasi gatal dan setidaknya salah satu dari fotofobia, lendir
lengket, kemerahan, robek dan sensasi benda asing dalam 6 bulan terakhir.
Sedangkan limbal keratokonjungtivitis vernal didefinisikan sebagaii
kondisi dimana terjadi penebalan, pelebaran, kekeruhan, titik-titik Horner-
Trantas pada konjungtiva/kornea yang disertai salah satu gejala berikut
dalam 6 bulan terakhir: fotofobia, lendir lengket, kemerahan, sobek dan
sensasi benda asing (Hayilu, 2016).

4
2. Epidemiologi
Prevalensi Konjungtivitis Vernalis lebih tinggi di daerah tropis
seperti Afrika, India, Mediteranian, Amerika Tengah dan Selatan, serta
Timur Tengah. Konjungtivitis Vernalis lebih banyak terdapat pada kulit
berwarna dibandingkan kulit putih. Penyakit ini lebih banyak didapatkan
pada laki-laki dengan perbandingan 3 : 1. Sebagian besar pasien berusia
antara 3-25 tahun (Khurana, 2007).

3. Etiologi dan Faktor Resiko


Berdasarkan penjelasan oleh Baab dan Kinzer (2018) etiologi
konjungtivitis vernal dan konjungtivitis alergi lainnya sebagai berikut :
a. Simple allergic conjunctivitis: Sebagian besar kasus sekunder akibat
paparan alergen sederhana pada permukaan okular.
b. Vernal keratoconjunctivitis : Etiologi yang tepat tidak dipahami
dengan baik tetapi beberapa kombinasi dari iklim dan allergen dapat
menjadi penyebab dari kondisi ini.
c. Keratoconjunctivitis atopik: Etiologi tidak jelas tetapi tampaknya
merupakan kombinasi dari paparan alergen, dermatitis atopik (lebih
dari 90% kasus) dan kecenderungan genetik.
d. Giant Papillary Conjunctivitis: Pajanan alergen dan respons
selanjutnya sekunder terhadap benda asing okuler yang menyimpan
alergen pada permukaannya atau melukai struktur mata yang
memfasilitasi infiltrasi alergen. Ini dapat dilihat dengan banyak benda
asing mata yang berbeda (mis., Lensa kontak, prostesis, lem
sianoakrilat, jahitan).
Studi yang dilakukan di Uganda menyatakan bahwa sinar
ultraviolet dan nagin memiliki peran yang penting dalam peningkatan
paparan allergen dalam debu dan serbuk sari. Anak-anak secara umum
berisiko karena lebih suka menghabiskan waktu diluar rumah. Pada
penelitian didapatkan juga variasi musim dimana kejadian VKC
meningkat pada musim kemarau dan panas. Penggunan minyak
tanah/kayu bakar untuk memasak, paparan debu, anak anak dengan

5
penyakit alergi non ocular dan riwayat alergi non ocular pada keluarga
juga merupakan factor risiko dari VKC. Studi penelitian-kontrol yang
dilakukan di Rwanda menunjukkan bahwa pada VKC parah, paparan debu
adalah faktor risiko utama. Dipercayai bahwa hal ini disebabkan oleh
reaktivitas konjungtiva yang lebih cepat ketika rangsangan nonspesifik
datang bersamaan dengan mukosa konjungtiva, meskipun mekanisme-
isme untuk ini tidak dipahami (Haliyu, 2016).

4. Patogenesis
Konjungtivitis alergi sederhana (akut, musiman, dan abadi) adalah
reaksi hipersensitivitas yang dimediasi imunoglobulin E (IgE) (tipe I) dan
degranulasi sel mast yang terjadi akibat kontak langsung dengan alergen
ke permukaan okular. Dengan demikian, ada fase langsung dan tertunda
dari reaksi yang dimediasi oleh modulator inflamasi yang berbeda.
Mekanisme pasti yang terlibat dalam keratoconjunctivitis vernal tidak
dipahami dengan baik, tetapi ada kemungkinan bahwa ada
hipersensitivitas termediasi IgE serta keterlibatan sel T dalam reaksi
(Gambar 2.2). Keratokonjungtivitis atopik tampaknya merupakan
kombinasi dari tipe IV dan hipersensitifitas tipe I terhadap paparan
alergen okular. Konjungtivitis papiler raksasa terjadi sekunder akibat
iritasi / cedera mekanis langsung dan respons imun selanjutnya (tipe I dan
tipe IV). Benda asing dapat dilapisi dengan alergen yang berbeda atau
cedera jaringan epitel dan memungkinkan paparan alergen yang lebih
dalam dan memicu respons imunologis.

6
Gambar 2.3. Reaksi Hipersensitivitas tipe 1

5. Manifestasi Klinis
Gejala pada konjungtivitis vernal meliputi gatal pada mata,
kemerahan, bengkak, dan keluarnya cairan. Gatal dapat terjadi sangat
hebat sehingga pasien sering menggaruk mata dengan ujung kuku. Pasien
sering mengalami fotofobia dan terkadang sangat parah sehingga sangat
menganggu aktivitas. Tanda yang paling khas adalah papila raksasa di
konjungtiva tarsal atas (Gambar 2.3). Pembengkakan yang terjadi biasa
disebut Cobble stone. Kuarang lebih 10-20 cobble stone ditemukan pada
konjungtiva tarsal, dan mereka dapat dilihat dengan mudah dengan
'membalik' kelopak mata atas (La Rosa et. al., 2013).

Gambar 2.4 Giant papilare

7
Pada papila raksasa secara histologi dipenuhi dengan sel-sel
inflamasi dan edema. Neutrofil, sel plasma, sel mononuklear, dan eosinofil
banyak ditemukan. Ada juga banyak aktivitas sel mast dalam papila
raksasa. Sel mast juga dapat ditemukan di epitel konjungtiva, lokasi di
mana mereka biasanya tidak ada. Air mata pasien VKC mengandung IgE
dan mediator sel mast tingkat tinggi (Friedlaender ,2009). Histamin,
leukotrien, prostaglandin, dan kinase dapat ditemukan pada air mata pasien
VKC. Pada kondisi ini lama kelamaan dapat terjadi Keratitis punctate,
yang dikenal sebagai keratitis epithelialis vernalis dari El Tobgy, dapat
dimulai di kornea sentral. Titik-titik dapat bergabung untuk membentuk
opacity syncytial. Ini sering menyebabkan plak keputihan atau keabu-
abuan di bawah epitel (Gambar 2.4). Plak vernal ini dapat mengganggu
penglihatan dan menyebabkan jaringan parut sentral kornea. Plak dapat
diangkat dengan keratektomi superfisial, tetapi jarang teratasi tanpa
intervensi bedah. Secara histologis, plak terdiri dari sel musin dan epitel
(La Ros, 2013).
Selain itu gambaran khas pada VKC juga dapat ditemukan Titik-
titik Tranta terdiri dari gumpalan eosinofil nekrotik, neutrofil, dan sel
epitel. Titik-titik mewakili koleksi eosinofil yang hampir murni (Gambar
2.5). Sel-sel ini berkumpul dalam crypts, yang dibentuk oleh invaginasi di
persimpangan kornea dan konjungtiva. Titik-titik Trantas cenderung
muncul ketika VKC aktif, dan menghilang ketika gejala mereda (La Rosa,
2013).

Gambar 2.5 Trantas dots

8
6. Klasifikasi. Tipe dan Grading
Konjuntivitis vernalis merupakan salah satu tipe dari konjungtivitis
alergi. Berdasarkan tingkat keparahannya konjungtivitis alergi dibagi
menjadi tiga yaitu sebagai berikut (Tabel 2.1).
Tabel 2.1 Klasifikasi Konjungtivitis Alergi

1. Seasonal Allegic Conjunctivitis


Seasonal allegic conjungtivitis merupakan konjungtivitis alergi
yang sering dijumpai, yang dapat terjadi pada semua usia dan terjadi
pada musim tertentu, seperti saat bulan Mei dan Juni saat musim gugur
dan pollen tersebar. Gejala yang muncul berupa gatal yang diikuti
dengan mata berair dan sensasi terbakar, serta dapat diikuti oleh gejala
bersin bersin dan hidung berair (So, 2016).
2. Perennial Conjunctivitis
PAC memiliki tanda-tanda dan gejala yang mirip dengan SAC
dan seperti namanya kojungtivitis ini dapat terjadi sepanjang tahun.
PAC disebabkan alergi terhadap bulu binatang, tungau dan bulu.
Frekuensi kejadian meningkat seiring bertambahnya usia. Para pasien
mengalami gatal-gatal, kemerahan dan pembengkakan konjungtiva.
Keterlibatan kornea dalam SAC dan PAC jarang terjadi (Kansakar,
2011).
3. Vernal Keratoconjunctivitis
Vernal keratokonjunctivitis merupakan konjungtivitis yang
terjadi karena pengaruh iklim hangat dan terutama terjadi pada laki-
laki usia muda (8-12 tahun). Kondisi ini terjadi bilateral dan dapat
memburuk dengan adanya paparan angina, debu, dan sinar matahari.
Pasien dengan VKC sering kali memiliki riwayat asma dan eksim.

9
Biasanya pasien datang dengan keluhan mata terasa gatal yang hebat,
kemerahan, discharge putih dan fotofobia. Terdapat 3 tipe VKC secara
klinis, yaitu tipe limbal atau bulbar, tipe palpebral, dan campuran
(Gambar, 2.6). Bentuk limbal sering kali ditemukan pada orang kulit
gelap, sedangkan pada orang Asia bentuk campuran lebih sering
disbanding bentuk lainnya (Kansakar, 2011; De Smedt, 2013,
Rathi,2017).

Gambar 2.6 Tipe Keratokonjungtivitis Vernalis (Rathi, 2017).

Pada Konjungtivitis vernal dibagi menjadi tiga tipe, yaitu tipe


palpebral, tipe limbal, dantipe campuran.
a) Tipe Palpebrae
Terutama mengenai konjungtiva palpebra superior yaitu terdapat
pertumbuhan papil yang besar yang disebut cobble stone. Pada
beberapa tempat akan mengalami hiperlpasi dan diberbagai tempat
terjadi atrofi, perubahan mendasar terdapat di substansia propia,
dimana substanti propia ini mengalami infiltrasi oleh sel-sel limfosit
plasma dan eosinafil. Pada stadium yang lanjut jumlah sel-sel lapisan

10
plasma dan eosinafil akan semakin meningkat sehingga terbentuk
tonjolan-tonjolan jaringan di daerah tarsus dengan disertai
pembentukan pembuluh darah baru kapiler ditengahnya (Vaughn,
1989).

Gambar 2.7 Cobblestone pada Konjungtivitis Vernal Tipe Palpebrae

b) Tipe Limbal
Terjadi perubahan yang serupa sebagaimana yang terjadi pada tipe
palpebral. Pada bentuk limbal ini terjadi hipertrofi limbal yang
membentuk jaringan hiperplastik gelatine. Hipertrofi limbus ini
disertai bintik-bintik yang sedikit menonjol, keputihan, yang dikenal
sebagai Horner-Trantas dots yang merupakan degenerasi epithel
kornea, atau eosinafil dengan bagian epithel limbus kornea (Wade,
2012).

11
Gambar 2.8 Horner Trantas dots pada Konjungtivitis vernal Tipe
Limbal

Konjungtivitis vernal atau yang dalam klasifikasi terbaru


disebut sebagai keratokonjungtivitis vernal dibagi berdasarkan tingkat
keparahannya menjadi 6 grade, yaitu sebagai berikut :
Tabel 2.2 Grading Keratokonjungtivitis vernal
Grade 0 - Belum didapatkan gejala
(Quiescent) - Didapatkan papil tanpa disertai gejala lokal (no
conjunctival hyperemia)
Garde 1 - Mulai tampak gejala saat musim semi
(Mild - Didapatkan papil disertai gejala berupa tanda inflamasi
Intermittent) (mild hyperemi)
- Tanpa keterlibatan kornea
Grade 2 - Mulai tampak gejala yang sama dengan Grade 1, namun
(Moderate frekuensi lebih sering dan mengganggu aktivitas
intermittent/ - Didapatkan papil hipertrofi dan injeksi konjungtiva
persistent) (mild to severe papil reaction and conjunctival
hyperemia)
- Intermittent: tanpa keterlibatan kornea
- Persisten: Disertai keterlibatan korne (Superficial
Punctate keratitis)
Grade 3 - Gejala timbul setiap hari dan menghambat aktivitas
(Severe) - Didapatkan reaksi papil dan severe conjunctival
hyperemia disertai adanya Horner-Trantas dits
- Disertai keterlibatan kornea berupa Superficial Punctate
keratitis
Grade 4 - Gejala disertai dengan rasa gatal dan fotofobia yang
(Very severe) dirasakan hamper setiap hari

12
- Disertai keluarnya secret berupa mucus pada
permukaan mata dan papil
- Didapatkan Horner –Trantas dots
- Sering disertai komplikasi pada kornea
Grade 5 - Didapatkan reaksi papil
(Evolution) - Didapatkan komplikasi pada kornea
- Didapatkan fibrosis konjungtiva pada bagian superior
tarsal konjungtiva atau pada fornix

4. Atopic Conjunctivitis
Akut conjunctivitis merupakan penyakit peradangan bilateral
pada permukaan mata dan kelopak mata yang dapat terjadi sepanjang
hidup. Pasien dengan AKC biasanya memiliki lesi pada kulit dan
memiliki riwayat atopi. Pada konjungtiva akan terbentuk papilla atau
trantas dots. Pada pasien ini dapat bterjadi pembentukkan katarak.
Berikut table yang membedakan antara conjunctivitis vernal dan atopik
(Tabel 2.2).
5. Giant papillary conjunctivitis
Kondisi ini dapat terjadi karena penggunaan kontak lensa
sehingga terjadi trauma padatarsal konjungtiva atas dan membentuk
papilla rasaksa (giant papillary). Reaksi alergi toksik juga dapat terjadi
pada penggunaan obat obatan seperti neomisin, atropine, epineprin
atau bahan pengawet seperti thiomer-sol.
6. Contact hypersensitivity reactions
Gejala yang muncul pada kondisi ini tergantung pada
keparahan reaksi masing masing individu dan bagian kontak. Beberpa
gejala yang mungkin dialami pasien diantaranya kemerahan, kemosis,
reaksi folikel dan kadang-kadang gagal jantung. Keterlibatan kornea
bisa dalam bentuk keratitis superfisplunctata, pseudodendrit atau
infiltrat stroma keabu-abuan.
Tabel 2.2. Perbedaan antara VKC dan AKC

13
7. Diagnosis Banding
Konjungtivitis vernalis termasuk dalam kelainan pada bola mata
yang menyebabkan gejala mata merah tanpa penurunan visus. Secara garis
besar konjungtivitis dibagi menjadi konjungtivitis bakteri, konjungtivitis
Clamydia, konjungtivitis viral, dan konjungtivitis alergi (yang terbagi
menjadi konjungtivitis atopi, konjungtivitid simple, konjungtivitis vernal,
dan konjungtivitis seasonal / musiman “hay fever”) (Dhiman, 2010).
Tabel 2.3. Diagnosis Banding Konjungtivitis
Virus Bakteri Klamidia Alergi
Gatal minimal minimal minimal Hebat
Hiperemi umum umum umum Umum
Air mata banyak sedang sedang Sedang
Eksudasi Minimal banyak banyak Minimal
Adenopati Sering jarang Pada -
preaurikuler konjungtivitis
inkusi
Kerokan monosit PMN PMN, sel Eosinofil
eksudat plasma, inklusi
Sakit kadang kadang Tak pernah Tak pernah
tenggorokan,
demam

14
Pengobatan Sulfonamide, Antihistamin,
gentamicin kortikosteroid
0,3%,
kloramfenikol
0,5%

Selain itu, konjungtivitis vernali juga harus dibedakan dengan


konjungtivitis alergi lainnya. Menurut Baab dan Kinzer (2018) terdapat
gejala khas lain yang dapat membedakan Antara konjungtivitis vernal
dengan konjungtivitis alergi lainnya sebagai berikut ;
a. Konjungtivitis Alergi Sederhana: discharge yang jernih dan berair
biasanya bilateral dan mengeras pada pagi hari. Nyeri dan penurunan
ketajaman visual tidak umum dilaporkan pada konjungtivitis alergi
sederhana dan harus meminta penyedia untuk mempertimbangkan
diagnosis lain. Edema dan kemosis kelopak mata tidak jarang terjadi.
b. Keratoconjunctivitis Vernal: Gejala biasanya paling parah pada musim
semi dan meliputi keluarnya lendir yang kental, nyeri, fotofobia, dan
penglihatan kabur. Pasien juga akan sering mengeluhkan sensasi benda
asing. Pada pemeriksaan, bisul kornea dan infiltrat konjungtiva
kadang-kadang dapat ditemukan. Papila raksasa pada konjungtiva
tarsal secara universal terlihat pada pemeriksaan.
c. Konjunctivitis atopik: Gejala biasanya menetap dan termasuk rasa
sakit, penglihatan kabur, fotofobia, dan sensasi benda asing.
Pemeriksaan mengungkapkan temuan yang mirip dengan
konjungtivitis alergi sederhana dengan penambahan perubahan
inflamasi kronis pada permukaan okular (jaringan parut kornea dan
neovaskularisasi) dan berbagai perubahan pada kelopak mata dan kulit
peri-orbital yang berkisar dari atopi ringan hingga likenifikasi (Gambar
2.9).

15
Gambar 2.9. Gambaran Likenifikasi Periorbita pada Konjungtivitis Atopik
d. Giant Papillary Conjunctivitis: Gejala-gejala yang konsisten dengan
konjungtivitis alergi sederhana seringkali menyebabkan gatal semakin
parah dan keluarnya lendir yang tebal. Pasien biasanya mengeluhkan
nyeri yang memburuk dan penglihatan kabur dengan meningkatnya
rasa benda asing (lensa kontak, jahitan). Pemeriksaan mengungkapkan
temuan yang konsisten dengan konjungtivitis alergi sederhana serta
papila raksasa yang menutupi konjungtiva tarsal.

Gambar 2.10 Gian Papilary Conjungtivitis

Adapun Diagnosis banding konjungtivitis vernal adalah giant


papillary conjungtivitis, trakoma, dan konjungtivitis folikularis. Pada giant
papillary conjunctivitis kelainan juga terdapat di konjungtiva tarsal
superior namun dengan ukuran diameter papila yang lebih dari 0,3 mm,
penyebab tersering iritasi mekanik yang lama terutama karena penggunaan
lensa kontak. Kelainan ini dapat timbul baik satu minggu sesudah

16
pemakaian lensa kontak maupun setelah lama pemakaian (Ventocilla,
2010).
Walaupun secara prinsip konjungtivitis vernal sangat berbeda
dengan trakoma, namun seringkali gejalanya membingungkan dengan
penyakit tersebut. Trakhom ditandai dengan banyaknya serabut-serabut
sejati yang terpusat, sedangkan pada konjungtivitis vernal jarang tampak
serabut sejati. Pada trakhom, eosinofil tidak tampak pada kikisan
konjungtiva maupun pada jaringan, sedangkan pada konjungtivitis vernal,
eosinofil memenuhi jaringan. Trakhom meninggalkan parut-parut pada
tarsal, sedangkan konjungtivitis vernal tidak, kecuali bila terlambat
ditangani (Ventocilla, 2010).

Tabel 2.4. Diagnosis Banding Konjungtivit is Vernal.


Konjungtivitis Vernal Konjungtivitis Trakoma
folikularis

Gambaran Lesi Nodul lebar datar dalam Penonjolan merah Pada kasus dini, kelainan
susunan muda pucat tersusun papula kecil
cobble stone teratur seperti atau bercak merah bertabur
pada konjungtiva tarsal deretan beads an dengan bintik putih-
atas dan bawah yang kuning (folikel trakoma).
diselimuti lapisan susu Pada konjungtiva tarsal
(kasus lanjut) granula
(menyerupai butir sagu) da
n parut,terutama
konjungtiva tarsal atas.

Ukuran dan Penonjolan besar tipe Penonjolan kecil Penonjolan besar lesi
lokasi lesi tarsus atau palpebra; terutama konjungtiva konjungtiva tarsal atas dan
tarsal bawah dan lipatan retrotarsal kornea-
forniks bawah tarsusti panus
dak terlibat
Tipe sekresi Bergetah, bertali,seperti Mukoid atau purulen Kotoran air berbusa atau
susu “frothy” pada stadium
lanjut.

Pulasan Eosinofil karakteristik Kerokan tidak Kerokan epitel dari


dan konstan pada sekresi karakteristik konjungtiva dan kornea
(pneumokokkus, memperlihatkan
stafilokokus) ekfoliasi, proliferasi,
inklusi seluler

17
8. Penegakan Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, hasil pemeriksaan
mata, dan hasil laboratorium.
a) Anamnesis
Gejala kilnis utama adalah mata merah, mata terasa gatal yang
terus menerus pada mata, mata sering berair, rasa terbakar atau seperti
ada benda asing di mata. Gejala lainnya adalah fotofobia dan sekret
mata berbentuk mukus seperti benang tebal berwarna hijau atau kuning
tua (Widyastuti & Siregar, 2004).

Gambar 2.11. Bagan Penegakan Diagnosis Konjungtivitis Vernal.

b) Pemeriksaan Fisik
Hasil pemeriksaan fisik mata pada konjungtiva tarsalis superior
dapat dijumpai gambaran papil cobblestone yang menyerupai
gambaran mozaik atau hipertrofi papil. Pemeriksaan fisik mata pada
limbus dijumpai satu atau lebih papil berwarna putih yang disebut
sebagai trantas dots, yaitu terdiri dari tumpukan sel-sel eosinophil
(Widyastuti & Siregar, 2004).

18
c) Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan berupa kerokan
konjungtiva untuk mempelajari gambaran sitologi. Pada pemeriksaan
laboratorium didapatkan kadar IgG serum, IgE serum dan air mata,
kadar histamin serum dan air mata meningkat serta adanya IgE
spesifik. Pemeriksaan mikroskopik dari scraping konjungtiva
ditemukan tanda patognomonik konjungtivitis vernal bila dijumpai >
2 sel eosinofil dengan pembesaran lensa objektif 40x. Gambaran
histopatologik jaringan konjungtiva pada konjungtivitis vernal
dijumpai sel eosinofil, sel mast dan sel basofil. Selain itu, gambaran
histologik jaringan konjungtiva juga didapatkan perubahan pada
mikrovaskular dari sel endotel serta ditemukannya deposit jaringan
fibrosis, infiltrasi sel limfosit dan netrofil (Widyastuti & Siregar, 2004;
Ilyas et al, 2010).

9. Tata Laksana
Konjungtivitis vernal merupakan salah satu penyakit self-limiting
diseases (sembuh sendiri) namun medikasi yang dipakai terhadap gejala
hanya memberikan hasil jangka pendek karena dapat berbahaya jika
dipakai untuk jangka panjang. Berikut merupakan penatalaksaan
konjungtivitis vernal (Taddio, 2011; Stefano et al, 2009; Ilyas et al, 2015):
a. Medikamentosa
1. Terapi topikal
a) Steroid topikal prednisolone fosfat 1%
Steroid topikal prednisolon fosfat 1% diberikan pada
konjungtivitis vernal yang berat sebanyak 6-8 kali sehari.
Selanjutnya, Dosis akan direduksi ke dosis terendah yang
dibutuhkan oleh pasien tersebut. Pada kasus sampai dengan ke
ulkus kornes, pengobatan dapat diberikan kombinasi antibiotik
dan steroid yang sudah terbukti sangat efektif.
b) Irigasi saline steril dan mukolitik

19
Irigasi saline steril dan mukolitik seperti asetil sistein
10%–20% tetes mata dapat untuk menghilangkan sekresi
mukus. Dosisnya tergantung pada kuantitas eksudat serta
beratnya gejala. Dalam hal ini, larutan dengan konsentrasi 10%
lebih dapat ditoleransi daripada larutan 20%. Larutan alkalin
seperti sodium karbonat monohidrat 1-2% dapat membantu
melarutkan atau mengencerkan musin, tetapi tidak efektif
sepenuhnya.
c) Stabilisator sel mast
Stabilitator sel mast seperti sodium kromolin 4% dan
lodoksamid 0,l% merupakan agen profilaktik yang baik untuk
kasus konjungtivitis vernal yang sedang sampai berat.
Pengobatan dapat diberikan 4 kali sehari untuk mencegah
degranulasi sel mast.

2. Terapi Sistemik
Terapi sistemik diberikan untuk konjungtivitis dengan
gejala yang lebih parah.
a) Steroid sistemik
Steroid sistemik biasanya digunakaan berupa prednisolon
asetat, prednisolon fosfat atau deksamethason fosfat yang
diberikan sebanyak 2–3 tablet,4 kali sehari, selama 1–2
minggu.
b) Antihistamin
Antihistamin baik lokal maupun sistemik dapat
dipertimbangkan sebagai pilihan lain karena kemampuannya
untuk mengurangi rasa gatal yang dialami pasien.

20
Gambar 6. Tingkatan Tatalaksanan Konjungtivitis Vernal. Sumber: Meyer, 2006.

b. Non medikamentosa
1. Terapi pembedahan
Berbagai terapi pembedahan seperti krioterapi dan
diatermi pada papil raksasa konjungtiva tarsal kini sudah
ditinggalkan karena banyaknya efek samping yang terjadi dan
terbukti tidak efektif.
2. Edukasi
Pasien yang mempunyai riwayat konjungtivitis vernal
seharusnya bisa mengenali alergen atau agen-agen pencetus
timbulnya gejala, sehingga kita bisa memberitahu pasien untuk
menghindari bahkan mengeleminasinya supaya tidak terjadi
konjungtivitis vernal yang terus berulang. Hal tersebut bisa
dilakukan dengan cara (Khurana, 2007):
a) Membiasakan hidup bersih dengan cara rajin membersihkan
lingkungan sekitar supaya terhindar dari debu dan tungau.
b) Tidak memelihara binatang yang bisa memicu timbulnya
konjungtivitis vernal.
c) Menghindari makanan yang memicu konjungtivitis vernal.
d) Menghindari tindakan menggosok mata dengan tangan karena
dapat merangsang pembebasan mekanis dari mediator sel mast.
e) Pemakaian mesin pendingin rungan berfilter.

21
f) Menghindari daerah berangin kencang yang biasanya juga
membawa serbuk sari.
g) Menggunakan kacamata berpenutup total untuk mengurangi
kontak dengan alergen di udara terbuka.

10. Komplikasi
Konjungtivitis vernal dapat menimbulkan keratitis epitel atau ulkus
kornea superfisial sentral atau parasentral yang dapat diikuti dengan
pembentukan jaringan sikatriks yang ringan. Penyakit ini juga dapat
menyebabkan penglihatan menurun. Kadang-kadang didapatkan panus
yang tidak menutupi seluruh permukaan kornea (Salvatore, 2013).

11. Prognosis
Penyakit ini termasuk self-limiting disease dengan prognosis baik.
Apabila proses konjungtivitis tidak dapat teratasi maka prognosisnya
menjadi buruk (Widyastuti & Siregar, 2004).

22
IV. RINGKASAN

1. Konjungtivitis vernal adalah peradangan konjungtiva bilateral yang sering


berulang (recurrence) yang khas dan merupakan suatu reaksi alergi.
2. Konjungtivitis vernal terjadi akibat reaksi hipersensitivitas tipe I yang
mengenai kedua mata dan sering terjadi pada orang yang mempunyai
riwayat alergi dalam keluarga.
3. Berdasarkan lokalisasinya, patomekanisme konjungtivitis vernal dibagi
menjadi tipe palpebral dan tipe limbal.
4. Penegakkaan diagnosis konjutivitis vernal berupa anamnesis (mata merah
dan mata gatal), pemeriksaan fisik mata ( ditemukan cobble stone dan
horner trantas dots), dan pemeriksaan penunjang berupa kerokan
konjungtiva.
5. Konjungtiviti s vernal merupakan salah satu penyakit self-limiting
diseases namun medikasi dapat dipakai untuk mengurangi gejala pada
penyakit tersebut.

23
DAFTAR PUSTAKA

Alemayehu AM, Yibekal BT, Fekadu SA.2019. Prevalenceof vernal


keratoconjunctivitis and its associated factorsamong children in Gambella
town, southwest Ethiopia, June 2018. PLoS ONE
14(4):e0215528.https://doi.org/ 10.1371/journal.pone.021552

Azari, A. A., & Barney, N. P. 2013. Conjunctivitis: a systematic review of


diagnosis and treatment. JAMA, 310(16), 1721–1729.
doi:10.1001/jama.2013.28031

Baab S, Kinzer EE. Allergic Conjunctivitis. [Updated 2018 Nov 18]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2019 Jan-.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK448118/

Cantor LB, Rapuano CJ, Cioffi GA. 2014. External disease and cornea. Italia:
American Academy of Ophtalmology.

De Smedt SK, Nkurikiye J, Fonteyne YS, Tuft SJ, Gilbert CE, et al. 2012. Vernal
keratoconjunctivitis in school children in Rwanda. Ophthalmology 119:
1766–1772. https://doi.org/10.1016/j.ophtha.2012.03. 041 PMID: 22683059

De Smedt S, Wildner G, Kestelyn P. 2013. Vernal keratoconjunctivitis: an update.


The British journal of ophthalmology ;97(1):9-14.

Dhiman KS, Sharma G, Singh S. 2010. A clinical study to assess the efficacy of
Triyushnadi Anjana in Kapajha Abish vernal keratoconjunctivitis. An
International Quarterly Journal of Research in Ayuverda. 31(4) : 466 – 472

Erwin. 2012. Tingkat Pengetahuan Siswa-Siswi SMA Methodist Pematang


Siantar Terhadap Konjungtivitis. (Skripsi). Universitas Sumatera Utara.
Medan.

Friedlaender MH. 2011. Ocular allergy. Curr Opin Allergy Clin Immunol. 2011
Oct; 11(5):477-82.

Hayilu D, Legesse K, Lakachew N, Asferaw M. 2006. Prevalence and associated


factors of vernal keratoconjunctivitis among children in Gondar city,
Northwest Ethiopia. BMC Ophthalmol 16: 167. https://
doi.org/10.1186/s12886-016-0345-7 PMID: 27681885

Ilyas, Sidarta., et al. 2015. Ilmu Penyakit Mata Edisi Kelima. Jakarta: badan
Penerbit FK UI

Kansakar I. 2011. Prole of vernal keratoconjunctivitis in Nepal: a hospital based


study. Nepal Medical College journal : NMCJ. 2011 Jun;13(2):92-5.

24
Katelaris CH. Ocular allergy in the Asia Pacic region. Asia Pacific allergy. 2011
Oct;1(3):108-14.12 Ukponmwan CU. Vernal keratoconjunctivitis in
Nigerians: 109 consecutive cases. Tropical doctor. 2003 Oct;33(4):242-5.

Khurana A.K. 2007. Community Ophthalmologi, Chapter 20, in Comprehensive


Ophthalmology, Fourth Edition, New Delhi, New Age International Limited
Publisher.

La Rosa, M., Lionetti, E., Reibaldi, M., Russo, A., Longo, A., Leonardi, S., …
Reibaldi, A. 2013. Allergic conjunctivitis: a comprehensive review of the
literature. Italian journal of pediatrics, 39, 18. doi:10.1186/1824-7288-39-18

O’Brien TP, Jeng BH, McDonald M, Raizman MB. 2009. Acute conjunctivitis:
truth andmisconceptions. Curr Med Res Opin.; 25(8):1953–1961. [PubMed:
19552618]

So RA, Mufti A. 2016. Vernal Keratoconjunctivitis in Kashmir: A temperate


zone. International ophthalmology. 2016 Dec;36(6):875-879. Epub 2016
Mar 10

Taddio A, Cimaz R, Caputo R, de Libero C, Di Grande L, Simonini G. 2011.


Childhood chronic anterior uveitis associated with vernal
keratoconjunctivitis with topical tacrolimus. Case series. Pediatr Rheumatol
Online J. 9 : 34.

Vaughan, A. 2010. Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta: EGC. 5. Lang GK.
2000. Lang New Delhi: New Age Publishers.

Vaughn D; Asbury T. 1989. General Ophthalmology, Lange Medical Publication,


12th ed 1989 : 320-322.

Ventocilla, M., 2010.Contact Lens Complications, Michigan Collage of


Optometry.http://www.google.co.id/ContactLens/Complications. Diakses
tanggal 14 Juli 2019.

Wade PD, Iwuora AN, Lopez L. 2012. Allergic Conjunctivitis at Sheikh Zayed
Regional Eye Care Center Gambia. J Ophtalmic Vis Res. 7(1) : 24 – 28

25

You might also like