You are on page 1of 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Hal yang paling membahagiakan dalam kehidupan adalah ketika dipersunting
sebagai pendamping hidup dan membangun mahligai rumah tangga yang bahagia,
kekal penuh dengan rasa cinta dan kasih sayang. Untuk membangun rumah tangga,
diperlukan ilmu yang cukup tentang perkawinan, sehingga bisa selalu menjaga
keutuhan rumah tangganya.
Pernikahan bukanlah hal yang mudah, karena menyatukan dua insan dalam
satu biduk rumah tangga. Sehingga dalam perjalanannya terkadang banyak konflik
atau masalah yang terjadi. Bisa karena masalah ekonomi, pekerjaan, ketaatan istri,
keluarga besar, egoisme, pihak ketiga, dll. Berbagai masalah yang muncul tersebut
ada yang dapat diselesaikan, dan pada akhirnya dapat membuat hubungan rumah
tangga menjadi semakin harmonis dan kuat. Namun tak jarang ada permasalahan
yang tak mampu menemui titik terang penyelesaiannya, sehingga berakhir pada
perpisahan (perceraian).
Oleh sebab itulah kami ingin membahas tentang pengertian dan hal-hal yang
berkaitan dengan khulu’, nusyuz, dan syiqaq.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Khulu’?
2. Apa yang dimaksud dengan Nusyuz?
3. Apa yang dimaksud dengan Syiqoq?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui bagaimana penjelasan Khulu’.
2. Untuk mengetahui bagaimana penjelasan Nusyuz.
3. Untuk mengetahui bagaimana penjelasan Syiqoq.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Khulu’
1. Pengertian
Khulu’ yang dibenarkan oleh islam berasal dari khala’as sauba yang
berarti menanggalkan pakaian, maksudnya seorang perempuan sebagai pakaian
bagi laki-laki, sedangkan laki-laki sebagai pakaian perempuan. Dalam firman
Allah SWT yang Artinya : “….mereka itu adalah pakaian bagimu dan kamupun
pakaian bagi mereka.” (Q.S. Al Baqarah: 187).
Khulu’ menurut istilah syara’ adalah perceraian yang diminta oleh istri
dengan memberikan ganti sebagai tebusannya. Artinya istri memisahkan diri dari
suaminya dengan memberikan ganti rugi kepadanya. Mengenai kebolehan khulu
ini menurut kebanyakan ulama, berdasarkan firman Allah yang artinya : “….maka
tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang di berikan oleh istri untuk
menebus dirinya.” (Q.S. Al Baqarah: 229).
Dalam masalah ini, Abu Bakar bin Abdullah Al-Mazani berbeda pendapat
dengan ulama. Menurutnya bahwa suami tidak boleh mengambil suatu apapun dari
istri. Alasannya yang di kemukakan bahwa firman Allah SWT yang artinya: “ dan
jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah
memberikan kepada seseorang diantara mereka harta yang banyak, maka dan
janganlah kamu mengambil barang sedikitpun.” (Q.S.An-Nisa’ : 20)
Jumhur ulama, mengatakan bahwa maksud arti ayat diatas adalah
manakala harta tersebut tanpa kerelaan istri. Apabila ada kerelaannya maka hal itu
diperbolehkan.1

2. Syarat-syarat
a. Suami

1
Slamet Abidin.Fiqh Munakahat, (Bandung,Pustaka Setia,1997) hal:88

2
Syarat suami menceraikan istrinya dalam bentuk khulu’ sebagaimana
yang berlaku thalaq adalah seseorang yang ucapannya telah dapat
diperhitungkan secara syara’, yaitu:
1) Akil
2) Balig
3) Bertindak atas kehendaknya sendiri dan dengan kesengajaan
Berdasarkan syarat ini, bila suami belum dewasa, atau suami sedang
dalam keadaan gila, maka yang akan menceraikan dengan nama khulu’ adalah
walinya. Demikian pula keadaannya seseorang yang berada di bawah
pengampuan karena kebodohannya yang menerima permintaan khulu’ istri
adalah walinya.2
b. Istri yang di khulu’
Istri yang mengajukan khulu’ kepada suaminya disyaratkan hal-hal
sebagai berikut:
1) Ia adalah seorang yang berada dalam wilayah si suami.
2) Ia adalah seorang yang telah dapat bertindak atas harta/
Khulu’ boleh terjadi dari pihak ketiga, seperti walinya dengan
persetujuan istri. Khulu’ sepeerti ini disebut khulu’ ajnabi. Pembayaran iwadh
dalam khulu’ seperti ini ditanggung oleh pihak ajnabi tersebut.
c. Adanya uang tebusan, atau ganti rugi, atau iwadh
Tentang iwadh ini ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama
menempatkan iwadh itu sebagai rukun yang tidak boleh ditinggalkan oleh
sahnya khulu’. Pendapat lain, diantara nya disatu riwayat dari Ahmad dan
Imam Malik mengatakan boleh terjadi khulu’ tanpa iwadh. Alasanya adalah
bahwa khulu’ itu adalah salah satu bentuk dari putusnya perkawinan, oleh
karenanya boleh tanpa iwadh, sebagaimana berlaku dalam thalaq. Adapun yang
berkenaan dengan syarat dan hal-hal yang berkenaan dengan iwadh itu menjadi
perbincangan di kalangan ulama.
2
Amir.Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan Undang-
Undang Perkawina(Jakarta: Kencana, 2006) hal: 231.

3
d. Shighat atau ucapan cerai yang disampaikan oleh suami yang dalam ungkapan
tersebut dinyatakan “uang ganti” atau iwadh.
e. Adanya alasan untuk terjadinya khulu’
Baik dalam ayat Al-Qur’an maupun dalam hadis Nabi terlihat adanya
alasan untuk terjadinnya khulu’ yaitu istri khawatir tidak akan mungkin
melaksanakan tuganya sebagai istri yang menyebabkan dia tidak dapat
menegakkan hukum Allah SWT.3
3. Hukum
Para ulama Fiqh mengatakan bahwa Khulu' itu mempunyai dua hukum
tergantung kondisi dan situasinya. Dua hukum dimaksud adalah:
a. Mubah
Hukumnya menurut Jumhur Ulama adalah boleh atau mubah.4 Isteri
boleh-boleh saja untuk mengajukan khulu' manakala ia merasa tidak nyaman
apabila tetap hidup bersama suaminya, baik karena sifat-sifat buruk suaminya,
atau dikhawatirkan tidak memberikan hak-haknya kembali atau karena ia takut
ketaatan kepada suaminya tidak menyebabkan berdiri dan terjaganya ketentuan
ketentuan Allah. Dalam kondisi seperti ini, khulu’ bagi si isteri boleh dan sah-sah
saja, Dasar dari kebolehannya terdapat dalam Al-Qur’an yang Artinya: "Jika
kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-
hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan
oleh istri untuk menebus dirinya. (Q.S. Al Baqarah: 229)
Demikian juga berdasarkan hadits berikut ini:
Artinya: "Dari Ibnu Abbas, bahwasannya isteri Tsabit bin Qais datang kepada
Nabi saw sambil berkata: "Ya Rasulullah, Saya tidak mendapati kekurangan dari
Tsabit bin Qais, baik akhlak maupun agamanya. Hanya saja, saya takut saya
sering kufur (maksudnya kufur, tidak melaksanakan kewajiban kepada suami
dengan baik) dalam Islam. Rasulullah saw lalu bersabda: "Apakah kamu siap
mengembalikan kebunnya?" Wanita itu menjawab: "Ya, sanggup. Saya akan
3
Ibid hal : 233
4
Ibid hal : 237

4
mengembalikan kebun itu kepadanya". Rasulullah saw lalu bersabda (kepada
Tsabit): "Terimalah kebunnya itu dan ceraikan dia satu kali cerai". (HR.
Bukhari).
b. Haram
Khulu’ bisa dikatakan haram jika berada dalam dua keadaan, yaitu :
1) Apabila si isteri meminta Khulu' kepada suaminya tanpa ada alasan dan
sebab yang jelas, padahal urusan rumah tangganya baik-baik saja, tidak
ada alasan yang dapat dijadikan dasar oleh isteri untuk mengajukan
Khulu'. Hal ini didasarkan kepada firman Allah SWT yang artinya:
" Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah
kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak
akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa
keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah,
maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh
istri untuk menebus dirinya" (QS. Al-Baqarah: 229).
2) Apabila si suami sengaja menyakiti dan tidak memberikan hak-hak si
isteri dengan maksud agar si isteri mengajukan Khulu', maka hal ini juga
haram hukumnya. Apabila Khulu' terjadi, si suami tidak berhak
mendapatkan dan mengambil 'iwadh, uang gantinya karena maksudnya
saja sudah salah dan berdosa. Dalam hal ini Allah berfirman yang
Artinya: "Dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak
mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan
kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata"
(QS. An-Nisa: 19). Namun, apabila si suami berbuat seperti di atas
lantaran si isteri berbuat zina misalnya, maka apa yang dilakukan si suami
boleh-boleh saja dan ia berhak mengambil 'iwadh tersebut5

B. Nusyuz

5
Kamil.Muhammad,fiqh Sunnah Wanita (Jakarta Timur,Puataka Al-Kautsar, 2008) hal:472

5
1. Pengertian
Nusyuz berasal dari kata an-Nasyzu yang artinya tempat yang tinggi. Dan
secara istilah : maksiat yabg dilakukan oleh orang seorang istri kepada suaminya
pada apa-apa yang telah diwajibkan Alah SWT, kepadanya untuk ditaati, sehingga
ia seolah mengangkat dan meninggikan dirinya dihadapan suaminya.
2. Dasar hukum Nusyuz
Nusyuz adalah haram, karena Allah SWT, telah menetapkan hukuman
atasnya apabila istri yang bersifat nusyuz tidak bisa diluruskan dengan nasehat.
Dan suatu hukuman tidak ditetapkan kecuali karena melakukan perbuatan yang
haram atau karena meningalkan suatu kewajiban. Allah SWT, berfirman, ‘ wanita-
wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka ditempat tidur mereka, dan pukulan mereka. Kemudian jika
merka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkanya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi dan Maha Besar.’ ( QS. An-
Nisa : 34).6
3. Cara Untuk Menangani istri yang Nusyuz
Jika seorang istri telah menampakan nusyuz secara jelas, seperti jika ia
enggan mendatangi kasurnya, atau keluar dari rumahnya tanpa seizinya, atau
menolak untuk berpergian bersamanya atau yang lainya. Maka dalam kondsi ini
disyariatkan bagi suai untuk menanganinya dengan cara-cara yang telah
disebutkan di dalam ayat di atas, sesuai dengan urutanya. Sehingga hendaklah ia
memulai dengan :
 Nasehat
Maka hendaklah ia menasehati istrinya dengan lemah lembut, dan
mengingatkanya tentang apa yang telah diwajibkan Allah kepadanya,
yakni menaati suami dan tidak menentangnya.
 Memisahkan Tempat Tidurnya

6
Abu Malik Kamal ibn as-Sayyid Salim, Fikih Sunnah Wanita (Jakarta, Qisthi Press, 2013) hal 572

6
Memisahkan di sini maksudnya meninggalkan tempat tidurnya atau
memustuskanya. Allah SWT, berfirman, “ dan pisahkanlah mereka di
tempat tidur mereka.” ( QS. An-Nisa :34).7
 Masa Waktu Meninggalkanya
Seorang suami boleh meninggalkan tempat tidur istrinya selama yang ia
kehendaki sampai istrinya kembali kepada ketaatanya: ini adalah mahzab
jumhur : mahzab Hanafi, Syafii’i, dan Hambali.8
 Memukul
Ini boleh dilakukan oleh seorang suami terhadap istrinya yang nusyuz,
jika tidak bisa lagi di ingatkan dengan nasehat dan pemisahan tempat
tidur, demikian kesepakatan para ulama. Akan tetapi, di dalam memukul
perlu diperhatika hal-hal berikut :
a. Pukulan itu tidak boleh sampai melukai: seperti misalnya sampai
mematahkan tulang atau merusak dagingnya sebagaimana pukulan
orang yang membalas dendam. Karen Allah SWT, berfirman “.. Dan
pulullah mereka.” ( QS. An-Nisa : 34)
b. Tidak lebih dari sepuluh kali dalam memukul : berdasarkan hadist
Nabi SAW, bersabda, “ tidak boleh mencambuk lebih dari sepuluh
kali keculai dalam hukum had dari hukum yang ditetapkan Allah.”
c. Tidak memukul wajah, dan dijaga agar pukulan itu tidak mengenai
bagian-bagian vital yang dapat membahayakan. Karena pukulan itu
seperti ini sama dengan merendahkan wanita dan menghinaknya, di
samping tentunya menyakiti dan merusak tubuhnya, jika seorang
suami melakukan ini maka ia berdosa, dan istrinya berhak untuk
meminta cerai dan qishas.
d. Hendaknya ia memiliki keyakinan lebih bahwa pukulan itu akan
menyadarkan istrinya: karena pukulan tersebut merupakan sarana
untuk memperbaiki.
7
Ibid hal : 573
8
Ibid hal : 574

7
e. Pukulan harus dihentikan jika ia menaatinya berdasarkan firman
Allah SWT,. “ dan pukulan mereka, kemudian jika mereka
menaatimu, maka jangan lah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkanya.” (QS.An-Nisa : 34)
 Peringatan
Tidak selayaknya bagi seorang suami untuk menggunakan cara mengatasi nusyuz
yang telahdi syariatkan Allah ini memukul setelah tidak bisa lagi di ingatkan
dengan nasehat danmemisahkan tempat tidurnya sebagai kebiasaan. Sehingga ia
dengan mudah memukul istrinya-baik ia berlaku nusyuz maupun tidak, karena
perilaku ini tidak boleh dan bertentangan dengan ajaran Nabi SAW.9

C. Syiqoq
1. Pengertian Syiqaq
Syiqaq menurut bahasa adalah perselisihan, percekcokan, dan
permusuhan. Perselisihan yang berkepanjangan dan meruncing anatara suami.
syiqaq merupakan perselisihan yang berawal dan terjadi pada kedua belah pihak
suami dan istri secara bersama-sama. Dengan demikian syiqaq berbea dengan
Nusyuz, yang perselisihannya terjadi pada salah satu pihak, yaitu dari pihak suami
dan istri.10
2. Dasar Hukum Syiqaq
Dasar hukum syiqaq ialah firman Allah SWT, dalam surat An-Nisa ayat 35 :
“ Dan jika kamu bimbingkan perpecahan di antara mereka berdua (suami atau
istri) maka lantikanlah “orang tengah” (untuk seorang dari keluarga perempuan
jika kedua-dua “orang tengah” itu (denga ikhlas) bertujuan hendak
menadamaikan. Niscaya Allah akan menjadikan kedua (suami istri itu) berpakat
baik. Sesungguhnya Allah senantias mengetahui, lagi amat mendalam
pengetahuanNya.” (QS. An-Nisa : 35)

9
Ibid hal : 577
10
Dahlan Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT Intermasa, 1997) hlm.1708

8
Berdasarkan firman Allah SWT, tersebut jika terjadi kasus syiqaq antara suami
istri, maka diutus seorang hakam dari pihak suami dan hakam dari pihak istri
untuk mengadakan penelitian dan penyelidikan tentang ses musabab tetang
terjadi nya syiqaq serta berusaha mendamaikanya. Atau mengambil prakarsa
putusannya perkawinan kalu sekiranya jalan inilah yang sebaik-baik nya. 11
3. Bentuk-Bentuk Syiqaq
a. Istri tidak Memenuhi Kewajiban Suami
Standar utama mencapai keharmonisan dan cinta kasih serta sayang adalah
kepatuhan istri dalam rumah tangganya. Allah menggambarkan perempuan
yang sholeh dengan perempuan yang patuh terhadap suaminya serta menjadi
wali bagi suaminya. Dalam hal ini seorang istri harus menta’ati perintah dari
seorang suami, asalkan perintah tersebut tidak melenceng dari jalan Islam.
b. Tidak memuaskan hasrat seksual suami, melakukan pisah ranjang dan
menolak untuk menanggapi panggilannya
Seks adalah kebutuhan pria dan wanita, karena itu para istri adalah pakaian
bagi kamu (suami) dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Hubungan seks
dalam rumah tangga ternyata bukan sebatas sarana melainkan sebagai satu
tujuan. Terpenting yang harus dijaga oleh kaum perempuan agar kepuasan
seks suaminya tetap terjaga. Dari ungkapan itu istri wajib memuaskan seks
suami selagi masih dalam batas-batas kewajaran dan tidak menyalahi hukum
syariat Islam. Istri wajib memenuhi tugas seksualnya terhadap suami. Istri
tidak boleh menolak kecuali karena alasan-alasan yang dapat diterima atau
dilarang hukum.
c. Keluar dari rumah tanpa seizin suami atau tanpa hak syar’i
Keluarnya istri dari rumah tanpa seijin suami walaupun untuk menjenguk
orang tua adalah merupakan kedurhakaan istri terhadap suami, karena hal itu
bisa menyebabkan kerusakan dan kehancuran rumah tangga.
d. Tidak mampu mengatur keuangan

11
Kamal Muchtar , Asas-Asas Hukum Islam, (Jakarta: PT. Karya Unipress, 1974) h. 78.

9
Disamping istri wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya, istri juga
wajib memelihara harta suaminya. Dengan kata lain tidak boros, berlaku
hemat demi masa depan anak-anaknya dan belanja secukupnya tidak hura-
hura. Kalau istri boros, itu merupakan kesalahan istri dalam mengatur
keuangan keluarga, karena hal itu sama halnya dengan seorang istri yang tidak
dapat menjaga harta kekayaan suami yangdipercayakan kepadanya. Bila hal
ini dilakukan terus maka akan mengakibatkan munculnya keretakan dalam
rumah tangga.
e. Meninggalkan kewajiban-kewajiban agama atau sebagainya
Suami atau istri tidak menjalankan kewajiban dalam tuntutan agama
seperti shalat, puasa, dan zakat serta kewajiban yang lain.
f. Seorang Suami tidak memenuhi kewajiban istri
Dalam rumah tangga tidak hanya istri yang selalu memenuhi kewajibannya
sebagai istri, suami pun harus memenuhi kewajibannya sebagai suami
terhadap istri. Karena kedua belah pihak sudah melakukan ikatan pernikahan.
Maka kedua-duanya harus menjalankan kewajibannya masing-masing.
g. Ketidakmampuan suami menafkahi keluarganya
Setiap suami harus memahami bahwa istri adalah amanah yang dibebankan di
pundak suami dan merupakan keharusan baginya untuk memberikan nafkah
sejauh kemampuannya. Suami harus memberikan nafkah lahir batin pada
istrinya dengan kemampuannya, suami memberi makan, minum dan pakaian
serta menggaulinya dengan sebaik mungkin dan dengan kemampuannya
asalkan tidak menzalimi istrinya.
h. Suami tidak pengertian kepada istri
Banyak sang suami yang tidak mengetahui gangguan-gangguan kodrati yang
dialami istri, seperti sedang hamil, haid, nifas, dan lain lain. Apalagi disaat
istri sedang mengidam sang suami harus pengertian pada sang istri.
Mengidam adalah keinginan sang istri yang sangat mendesak terhadap sesuatu
disaat dalam keadaan hamil. Boleh jadi mengidam itu diingini oleh semangat

10
ketidaksukaannya terhadap sesuatu, sehingga ia tidak bisa melihat atau
menciumnya, kadang juga membenci sang suami dan rumah. Dalam keadaan
ini suami istri harus mengerti kondisi yang dialami sang istri.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Khulu’ menurut istilah syara’ adalah perceraian yang diminta oleh istri dengan
memberikan ganti sebagai tebusannya. Artinya istri memisahkan diri dari suaminya
dengan memberikan ganti rugi kepadanya. Mengenai kebolehan khulu ini menurut
kebanyakan ulama, berdasarkan firman Allah yang artinya : “….maka tidak ada dosa

11
atas keduanya tentang bayaran yang di berikan oleh istri untuk menebus dirinya.”
(Q.S. Al Baqarah: 229).
Nusyuz berasal dari kata an-Nasyzu yang artinya tempat yang tinggi. Dan
secara istilah : maksiat yabg dilakukan oleh orang seorang istri kepada suaminya pada
apa-apa yang telah diwajibkan Alah SWT, kepadanya untuk ditaati, sehingga ia
seolah mengangkat dan meninggikan dirinya dihadapan suaminya.
Syiqaq menurut bahasa adalah perselisihan, percekcokan, dan permusuhan.
Perselisihan yang berkepanjangan dan meruncing anatara suami. syiqaq merupakan
perselisihan yang berawal dan terjadi pada kedua belah pihak suami dan istri secara
bersama-sama. Dengan demikian syiqaq berbea dengan Nusyuz, yang perselisihannya
terjadi pada salah satu pihak, yaitu dari pihak suami dan istri.

B. SARAN
Penulis sangat menyadari akan kekurangan-kekurangan yang ada pada
makalah ini. Baik dari segi ilmunya maupun dari segi penulisannya. Itu semua
disebabkan kurangnya referensi yang digunakan dan kurangnya pengalaman penulis.
Untuk itu, apabila ada kritik maupun saran dari pembaca yang bersifat membangun
sangat penulis harapkan, agar di penulisan berikutnya penulis dapat memperbaikinya.

DAFTAR PUSTAKA

Slamet Abidin. Fiqh Munakahat. Bandung : Pustaka Setia. 1997.


Amir.Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawina. Jakarta : Kencana. 2006.
Kamil.Muhammad, fiqh Sunnah Wanita.Jakarta Timur : Puataka Al-Kautsar. 2008.
Abu Malik Kamal ibn as-Sayyid Salim. Fikih Sunnah Wanita. Jakarta : Qisthi Press. 2013.
Dahlan Abdul Aziz. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta : PT Intermasa. 1997.
Kamal Muchtar . Asas-Asas Hukum Islam. Jakarta : PT. Karya Unipress. 1974.

12

You might also like