You are on page 1of 42

MAKALAH

KANKER PAYUDARA PADA KEHAMILAN, KEHAMILAN DENGAN KATUP


JANTUNG PROSTETIK DAN KEHAMILAN SETELAH TRANSPLANTASI GINJAL

Disusun untuk memenuhi Mata Kuliah Fetomaternal


Semester Ganjil Tahun 2023

Disusun Oleh :

Suci Nur Hasanah PO.62.24.2.23.981


Tri Wahyuningsih PO.62.24.2.23.982
Yaya Kristiana PO.62.24.2.23.983
Afifah Wulandari PO.62.24.2.23.899
Yeyen Siana PO.62.24.2.23.984
Sri Yendanie PO.62.24.2.23.980
Siti Rahma Wati PO.62.24.2.23.979
Yun Welly PO.62.24.2.23.985

PROFESI BIDAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN PALANGKARAYA
TAHUN 2023

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Kanker Payudara Pada Kehamilan,
Kehamilan dengan Katup Jantung Prostetik dan Kehamilan Setelah Transplantasi Ginjal”
dengan tepat waktu. Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Fetomaternal.
Selain itu makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang Peran Pembimbing, Definisi,
Kelemahan, Keuntungan, Hambatan dan Proses Metode Pembelajaran, bagi para pembaca dan
juga bagi penulis.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Sofia Mawaddah, SST., M.Keb
selaku dosen mata kuliah Fetomaternal. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua
pihak yang telah membantu diselesaikannya makalah ini. Penulis menyadari makalah ini
masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang membangun diharapkan demi
kesempurnaan makalah ini.
Palangkaraya, Agustus 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman Sampul…………………………………………………………………. i
Kata Pengantar……………………………………………………………….…..... ii
Daftar Isi……………………………………………………………………….….. iii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………… 1
1. Pendahuluan……..………………………………………………………… 1
2. Rumusan Masalah ……………………………………………………........ 2
3. Tujuan……………………………………………………………………… 2
BAB II TINJAUAN TEORI……………………………………………………… 3
1. Kanker Payudara…………………………………………………………… 3
2. Kanker Payudara dengan Kehamilan………………………………………. 7
3. Kehamilan dengan Katup Jantung Prostenik………………………………. 25
4. Kehamilan Setelah Transplanyasi Ginjal………………………………….. 28
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………... 37
1. Kesimpulan………………………………………………………………… 37
2. Saran ……………………………………………………………………… 38
DAFTRAR PUSTAKA…………………………………………………………… 39

iii
1

BAB I
PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG
Kanker adalah penyebab paling umum kedua kematian pada wanita selama masa
reproduksi. Kanker payudara adalah kanker kedua yang paling sering didiagnosis pada
wanita dengan umur diatas 35 tahun di Inggris. Kanker payudara adalah salah satu kanker
yang paling sering didiagnosis selama kehamilan, masuknya kanker payudara pasca-
partum dalam beberapa studi, dan kelangkaan informasi mengenai kanker dalam masa
kehamilan masih sedikit sehingga informasi masih beum dapat dipercaya. Sebagai
perempuan dalam masyarakat maju sering menunda kehamilan, sehingga kejadian
keganasan meningkat seiring dengan bertambahnya usia, dan situasi di mana kanker
payudara dalam kehamilan lebih sering didapatkan (Hariadi, 2004)
Para pasien wanita dengan kelainan pada katup jantung pada beberapa tahun yang lalu
memiliki angka harapan hidup dan kemungkinan untuk hamil yang kecil. Kini wanita-
wanita yang memiliki kelainan pada katup jantung tersebut dapat menjalani kehidupan
yang normal dan bereproduksi setelah menjalani penggantian katup yang sakit tersebut
dengan katup prostetik. Namun demikian kehamilan dengan katup prostetik dapat
meningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu maupun konsepsinya. Keadaan ini haruslah
menjadi bahan kajian untuk ahli obstetri, dokter anestesi dan dokter anak (Hariadi, 2004).
Kehamilan pada wanita dengan katub jantung prostetik, merupakan hal yang sangat
beresiko bagi ibu dan janin. Ashour Z.A. et al, 2000, melaporkan adanya 100 kehamilan
pada 67 wanita dengan katub jantung mekanik (dengan usia antara 19-45 tahun). Dari
penelitian tersebut didapatkan kejadian fetal loss sebanyak 44 kasus dengan penyebab
abortus spontan (28 kasus), kematian janin intrauteri (4 kasus), stillbirth (3 kasus),
kematian neonatal (1 kasus), persalinan prematur (2 kasus), inkompatibilitas rhesus (2
kasus) dan kematian maternal (4 kasus) (Hariadi, 2004).
Kehamilan dengan transplantasi ginjal merupakan kasus yang jarang dilaporkan. Telah
disebutkan bahwa kemungkinan melahirkan dengan sehat pada ibu hamil tersebut adalah
sepersepuluh dari ibu hamil yang sehat. Pada kehamilan ini, dianjurkan untuk
mengeliminasi faktor risiko seperti hipertensi arterial dan proteinuria ,
menyesuaikan terapi imunosupresan dengan tepat dan merencanakan kehamilan dengan
hati-hati. Telah dilaporkan bahwa komplikasi ibu seperti hipertensi
gestasional , preeklampsia dan diabetes gestasional dan hasil janin yang merugikan

1
seperti retardasi pertumbuhan intrauterin (IUGR), persalinan prematur dan operasi
caesar lebih sering terjadi pada kehamilan ini dibandingkan dengan kehamilan normal.
Berdasarkan latar belakang diatas penulisi tertarik membuat makalah yang membahas
mengenai kanker payudara pada kehamilan, kehamilan dengan katup jantung prostetik
dan kehamilan setelah transplantasi ginjal.

2. RUMUSAN MASALAH
a. Bagaimana kanker payudara pada kehamilan,
b. Bagaimana kehamilan dengan katup jantung prostetik
c. Bagaimanan kehamilan setelah transplantasi Ginjal.

3. TUJUAN PENULISAN
a. Mengetahui kanker payudara pada kehamilan,
b. Mengetahui kehamilan dengan katup jantung prostetik
c. Mengetahui kehamilan setelah transplantasi ginjal.

2
3

BAB II
TINJAUAN TEORI

1. KANKER PAYUDARA
a. Pengertian
Kanker adalah sekelompok penyakit di mana sel-sel dalam tubuh berubah dan
tumbuh di luar kendali. Sebagian besar sel kanker akhirnya bergabung bersama
untuk membentuk massa atau massa yang disebut tumor, yang mendapatkan
namanya dari bagian tubuh di mana ia tumbuh. Jaringan payudara, juga dikenal
sebagai lobulus atau kelenjar susu, adalah tempat kanker payudara dimulai (Society,
2020).
Tumor ganas payudara yang dapat berkembang di epitel duktus atau lobusnya
dikenal sebagai kanker payudara, atau Ca payudara. Ca payudara adalah tumor ganas
yang tumbuh dan berkembang tanpa kendali dan dapat menyebar ke bagian tubuh
lain atau antar jaringan dan organ di dekat payudara (Mulyani, 2019).
b. Stadium Kanker Payudara
Anggita, (2018) mencantumkan kategori senjata kanker payudara berikut:
1) Stadium 1 Tumor berukuran kurang dari 2 sentimeter dan belum tumbuh di luar
payudara.
2) Stadium I B Kanker ditemukan di pusat getah bening di dekat 6 payudara.
Pertumbuhan seharusnya tidak terlihat melewati dada dan kira-kira 2 cm.
3) Stadium II A
a) Ukuran pertumbuhan adalah 2 cm. Pertumbuhan dilacak di satu hingga tiga
pusat getah bening di dada, panggul, atau di sekitar tulang dada.
b) Ukuran pertumbuhan 2-5 cm. Itu hilang di pusat getah bening.
4) Stadium II B
a) Pusat getah bening memiliki sedikit daerah kanker, lebar pertumbuhan tidak
kurang dari 2-5 cm.
b) Kanker setinggi 2 hingga 5 cm dan telah menyebar ke 1 hingga 3 pusat
getah bening di dekat tulang dada atau ketiak.
5) Stadium III A
a) Ada 4-9 kelenjar getah bening di ketiak atau dekat dengan tulang dada, dan
tidak ada pertumbuhan besar atau kecil di lapisan luar payudara.
b) Di pusat getah bening pertumbuhan ada sel penyakit lebih dari 5 cm.

3
c) Pertumbuhan ini melebihi 5 cm dalam ukuran dan menyebar ke tiga pusat
getah bening di ketiak atau dekat dengan tulang dada.
6) Tahap III B
Stadium IIIB sel penyakit mulai menyebar ke kulit dada dan 7 dinding
dada.Pada kondisi ini, jaringan kulit rusak dan membesar oleh sel
penyakit.Kontaminasi juga mulai menyebar ke sembilan kelenjar getah bening
di ketiak dan satu kelenjar getah bening dekat dengan tulang dada.
7) Stadium III
Sel-sel pertumbuhan ganas yang berstruktur di kulit payudara dapat membesar
atau mengalami ulserasi, terlepas dari jenis kankernya.Selain itu, saat ini
pertumbuhan ganas telah tiba di dinding dada.
8) Stadium IV
Sel-sel pertumbuhan ganas telah menyebar ke selain payudara, tulang, paru-
paru, hati, pikiran, dan kelenjar getah bening leher.
c. Faktor Resiko
1) Faktor Dermografi
a) Jenis Kelamin
Jenis kelamin kanker payudara lebih sering terjadi pada wanita dan
kurang umum pada pria. Kasus kanker payudara pria menyumbang kurang
dari 1 persen dari semua kasus pria yang lebih tua dengan
ketidakseimbangan hormon, sering terpapar radiasi, atau riwayat keluarga
kanker payudara lebih mungkin untuk mengembangkan kanker payudara
laki-laki (Salehiniya, 2019).
b) Usia
Tergantung pada jenis kelamin, usia merupakan faktor risiko yang
signifikan untuk kanker payudara. Usia secara signifikan meningkatkan
risiko terkena kanker payudara (Salehiniya, 2019). Risiko terus meningkat
kemudian. Hal ini karena wanita yang lebih tua terpapar hormon estrogen
dan progesteron lebih lama. Keduanya mengontrol perkembangan dan
pertumbuhan.
c) Golongan Darah
Penelitian telah menunjukkan bahwa, dibandingkan dengan wanita
dengan golongan darah AB yang berambut merah negatif, wanita dengan
golongan darah A yang berambut merah positif memiliki risiko lebih rendah

4
terkena kanker payudara. Temuan ini dikonfirmasi dalam sebuah studi
tahun 2015, tetapi faktor risiko ini masih diperdebatkan karena banyak
peneliti tidak dapat menemukan hubungan antara risiko kanker payudara
dan golongan darah(Salehiniya, 2019).
2) Faktor Hormonal
a) Pil kontrasepsi
Kontrasepsi menggunakan kontrasepsi selama lima sampai sepuluh
tahun sebelum berhenti dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker
payudara.
b) Postmenopausal Hormon Therapy Terapi
Hormon menopause terapi hormon kombinasi pascamenopause telah
dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker payudara setidaknya selama dua
tahun.
3) Faktor yang berhubungan dengan payudara
a) Menyusui meningkatkan tingkat perlindungan seiring dengan meningkatnya
waktu menyusui.
b) Tumor jinak payudara Tumor payudara jinak Karakteristik histopatologis
dan riwayat keluarga kanker payudara mempengaruhi hubungan antara
payudara jinak kanker dan peningkatan risiko(Salehiniya, 2019).
4) Gaya hidup
a) Obesitas
Ada hubungan antara obesitas dan kanker payudara karena lebih banyak
estrogen diproduksi oleh lebih banyak jaringan adiposa. Selain itu, ini
terkait dengan kadar insulin-orang gemuk memiliki kadar insulin yang lebih
tinggi, yang dapat mendorong pertumbuhan sel kanker(Salehiniya, 2019).
b) Konsumsi alkohol
Orang yang suka minum alkohol lebih mungkin terkena kanker payudara.
c) Durasi tidur
Jumlah waktu yang dihabiskan untuk tidur. Tidak ada hubungan antara lebih
banyak waktu yang dihabiskan untuk tidur dan lebih banyak faktor risiko
kanker payudara.

5
d) Merokok
Merokok setelah menopause dan selama kehamilan, perokok aktif memiliki
risiko lebih tinggi terkena kanker payudara. Risiko kanker payudara juga
dapat ditingkatkan dengan menghirup asap rokok(Salehiniya, 2019).
e) Bekerja larut malam
Risiko kanker payudara meningkat dengan bekerja lembur. Ini karena kadar
melatonin dapat dikurangi dengan pencahayaan buatan(Salehiniya, 2019).
Efeknya meningkatkan kadar estrogen dalam tubuh dan meningkatkan
risiko terkena kanker payudara.
5) Faktor Keturunan
a) Faktor genetik
Kanker payudara herediter menyumbang sekitar 40% kasus. Mutasi
dominan autosomal pada gen BRCA1 dan BRCA2 adalah penyebab paling
umum(Salehiniya, 2019).
b) Riwayat keluarga dengan kanker payudara
Kanker payudara dalam keluarga Kanker payudara dalam keluarga
Penting untuk dicatat bahwa 8 dari 10 orang dengan kanker payudara tidak
pernah memiliki penyakit ini dalam keluarga mereka. Risiko terkena kanker
payudara dapat berlipat ganda untuk wanita yang ibu, saudara perempuan,
atau anak perempuannya tinggal di kota yang sama(Sebayang, 2018).
d. Penatalaksanaan
Pembedahan, radioterapi, kemoterapi, terapi hormonal, radioterapi, dan yang
terbaru, terapi imun (antibodi) semuanya digunakan untuk mengobati kanker
payudara. Menurut Kemenkes RI (2017), tujuan terapi ini adalah menghilangkan
gejala (palliasi), menyembuhkan (cure), dan semoga memperpanjang umur penderita
kanker payudara.
e. Pencegahan
1) Pencegahan primer
Strategi yang ditujukan untuk mencegah kanker payudara disebut pencegahan
primer. Mengurangi faktor risiko yang diduga sangat erat kaitannya dengan
peningkatan kejadian kanker payudara merupakan salah satu cara untuk
mencapai pencegahan primer (Kemenkes RI, 2017).
Realisasi, juga dikenal sebagai diagnosis payudara sendiri, adalah salah satu
tindakan pencegahan yang paling efektif dan sederhana (Dhanabalan, 2018).

6
2) Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder skrining kanker payudara adalah salah satu metode
pencegahan sekunder. Tes skrining kanker payudara adalah salah satu yang
mencari kelainan yang dapat menyebabkan kanker payudara pada orang atau
kelompok yang tidak mengeluh.
Menurut Kemenkes RI (2017), tujuan skrining adalah untuk mengurangi
morbiditas dan mortalitas yang terkait dengan kanker payudara. Pemeriksaan
payudara sendiri (Sadari), pemeriksaan payudara klinis (Sadanis), mamografi,
dan MRI adalah beberapa metode skrining (Sun et al., 2017).

2. KANKER PAYUDARA DALAM KEHAMILAN (Hariadi, 2004)


a. Pendahuluan
Kanker payudara, bersama dengan kanker serviks, merupakan salah satu
kanker yang paling sering didiagnosis dalam kehamilan. Komplikasi diagnostik dan
terapeutik dalam pengaturan klinis yang khusus. Para wanita ini biasanya hadir
dengan stadium penyakit yang lebih lanjut yang membawa prognosis yang lebih
buruk. Dengan demikian dokter ditantang untuk menyeimbangkan perawatan ibu
dengan modifikasi sesuai yang akan menjamin perlindungan janin.
Meskipun kanker payudara dikenal di zaman kuno sampai abad ke-19.
Laporan kasus pertama pada kanker payudara selama kehamilan terjadi pada tahun
1869. Kanker payudara yang berhubungan dengan kehamilan didefinisikan sebagai
kanker payudara didiagnosis selama kehamilan atau dalam satu tahun setelah
melahirkan.
Kanker adalah penyebab paling umum kedua kematian pada wanita selama
masa reproduksi, dan kanker payudara adalah kanker kedua yang paling sering
didiagnosis pada wanita dengan umur diatas 35 tahun di Inggris. Kanker payudara
adalah salah satu kanker yang paling sering didiagnosis selama kehamilan, masuknya
kanker payudara pasca-partum dalam beberapa studi, dan kelangkaan informasi
mengenai kanker dalam masa kehamilan masih sedikit sehingga informasi masih
beum dapat dipercaya. Sebagai perempuan dalam masyarakat maju sering menunda
kehamilan, sehingga kejadian keganasan meningkat seiring dengan bertambahnya
usia, dan situasi di mana kanker payudara dalam kehamilan lebih sering didapatkan.

7
b. Fisiologis Kehamilan
Seiring berkembangnya janin, tubuh sang ibu juga mengalami perubahan-
perubahan yang dimaksudkan untuk keperluan tumbuh dan kembang sang bayi.
Perubahan tersebut difasilitasi oleh adanya perubahan kadar hormon estrogen dan
progesteron selama kehamilan. Baik dari segi anatomis maupun fisiologis, perubahan
yang ditimbulkan terjadi secara menyeluruh pada organ tubuh ibu yang berjalan
seiring dengan usia kehamilan dalam trimester. Perubahan-perubahan tersebut
meliputi :
1) Sistem Reproduksi
a) Trimester 1
Terdapat tanda Chadwick, yaitu perubahan warna pada vulva, vagina
dan serviks menjadi lebih merah agak kebiruan/keunguan. pH vulva dan
vagina mengalami peningkatan dari 4 menjadi 6,5 yang membuat wanita hamil
lebih rentan terhadap infeksi vagina. Tanda Goodell yaitu perubahan
konsistensi serviks menjadi lebih lunak dan kenyal.
Pembesaran dan penebalan uterus disebabkan adanya peningkatan
vaskularisasi dan dilatasi pembuluh darah, hyperplasia & hipertropi otot, dan
perkembangan desidua. Dinding-dinding otot menjadi kuat dan elastis, fundus
pada serviks mudah fleksi disebut tanda Mc Donald. Pada kehamilan 8 minggu
uterus membesar sebesar telur bebek dan pada kehamilan 12 minggu kira-kira
sebesar telur angsa. Pada minggu-minggu pertama, terjadi hipertrofi pada
istmus uteri membuat istmus menjadi panjang dan lebih lunak yang disebut
tanda Hegar. Sejak trimester satu kehamilan, uterus juga mengalami kontraksi
yang tidak teratur dan umumnya tidak nyeri.
Proses ovulasi pada ovarium akan terhenti selama kehamilan.
Pematangan folikel baru juga ditunda. Tetapi pada awal kehamilan, masih
terdapat satu corpus luteum gravidarum yang menghasilkan hormon estrogen
dan progesteron. Folikel ini akan berfungsi maksimal selama 6-7 minggu,
kemudian mengecil setelah plasenta terbentuk.
b) Trimester 2
Hormon estrogen dan progesteron terus meningkat dan terjadi
hipervaskularisasi mengakibatkan pembuluh-pembuluh darah alat genetalia
membesar. Peningkatan sensivitas ini dapat meningkatkan keinginan dan
bangkitan seksual, khususnya selama trimester dua kehamilan. Peningkatan

8
kongesti yang berat ditambah relaksasi dinding pembuluh darah dan uterus
dapat menyebabkan timbulnya edema dan varises vulva. Edema dan varises ini
biasanya membaik selama periode pasca partum.
Pada akhir minggu ke 12 uterus yang terus mengalami pembesaran
tidak lagi cukup tertampung dalam rongga pelvis sehingga uterus akan naik ke
rongga abdomen. Pada trimester kedua ini, kontraksi uterus dapat dideteksi
dengan pemeriksaan bimanual. Kontraksi yang tidak teratur dan biasanya tidak
nyeri ini dikenal sebagai kontraksi Braxton Hicks, muncul tiba-tiba secara
sporadik dengan intensitas antara 5-25 mmHg.1 Pada usia kehamilan 16
minggu, plasenta mulai terbentuk dan menggantikan fungsi corpus luteum
gravidarum.
c) Trimester 3
Dinding vagina mengalami banyak perubahan sebagai persiapan untuk
persalinan yang seringnya melibatkan peregangan vagina. Ketebalan mukosa
bertambah, jaringan ikat mengendor,dan sel otot polos mengalami hipertrofi.
Juga terjadi peningkatan volume sekresi vagina yang berwarna keputihan dan
lebih kental.
Pada minggu-minggu akhir kehamilan, prostaglandin mempengaruhi
penurunan konsentrasi serabut kolagen pada serviks. Serviks menjadi lunak
dan lebih mudah berdilatasi pada waktu persalinan.
Istsmus uteri akan berkembang menjadi segmen bawah uterus pada
trimester akhir. Otot-otot uterus bagian atas akan berkontraksi sehingga
segmen bawah uterus akan melebar dan menipis, hal itu terjadi pada masa-
masa akhir kehamilan menjelang persalinan. Batas antara segmen atas yang
tebal dan segmen bawah yang tipis disebut lingkaran retraksi fisiologis.
2) Payudara / mammae
a) Trimester 1
Mammae akan membesar dan tegang akibat hormon
somatomamotropin, estrogen dan progesteron, akan tetapi belum
mengeluarkan ASI. Vena-vena di bawah kulit juga akan lebih terlihat. Areola
mammae akan bertambah besar pula dan kehitaman. Kelenjar sebasea dari
areola akan membesar dan cenderung menonjol keluar dinamakan tuberkel
Montgomery.

9
b) Trimester 2
Pada kehamilan 12 minggu keatas dari puting susu dapat keluar cairan
kental kekuning-kuningan yang disebut kolostrum. Kolostrum ini berasal dari
asinus yang mulai bersekresi selama trimester dua. Pertumbuhan kelenjar
mammae membuat ukuran payudara meningkat secara progresif. Bila
pertambahan ukuran tersebut sangat besar, dapat timbul stria stria seperti pada
abdomen. Walaupun perkembangan kelenjar mammae secara fungsional
lengkap pada pertengahan masa hamil, tetapi laktasi terlambat sampai kadar
estrogen menurun, yakni setelah janin dan plasenta lahir.
c) Trimester 3
Pembentukan lobules dan alveoli memproduksi dan mensekresi cairan
yang kental kekuningan yang disebut kolostrum. Pada trimester 3 aliran darah
di dalamnya lambat dan payudara menjadi semakin besar.
3) Perubahan Hormonal Selama Kehamilan
Perubahan hormonal yang terjadi selama kehamilan terutama meliputi
perubahan konsentrasi hormon seks yaitu progesteron dan estrogen. Pada awal
kehamilan, terjadi peningkatan hormon hCG dari sel-sel trofoblas. Juga terdapat
perubahan dari korpus luteum menjadi korpus luteum gravidarum yang
memproduksi estrogen dan progesteron.
Pada pertengahan trimester satu, produksi hCG menurun, fungsi korpus luteum
gravidarum untuk menghasilkan estrogen dan progesteron pun digantikan oleh
plasenta. Pada trimester dua dan tiga, produksi estrogen dan progesteron terus
megalami peningkatan hingga mencapai puncaknya pada akhir trimester tiga.
Kadar puncak progesteron dapat mencapai 400 mg/hari dan estrogen 20 mg/hari.
Estrogen dan progesteron memiliki peran penting yang mempengaruhi sistem
organ termasuk rongga mulut. Reseptor bagi estrogen dan progesteron dapat
ditemukan pada jaringan periodontal. Maka dari itu, ketidakseimbangan hormonal
juga dapat berperan dalam patogenesis penyakit periodontal. Peningkatan hormon
seks steroid dapat mempengaruhi vaskularisasi gingiva, mikrobiota subgingiva, sel
spesifik periodontal, dan sistem imun lokal selama kehamilan. Beberapa
perubahan klinis dan mikrobiologis pada jaringan periodontal :
 Peningkatan kerentanan terjadinya gingivitis dan peningkatan kedalaman saku
periodontal.
 Peningkatan kerentanan terjadinya infeksi.
10
 Penurunan kemotaksis neutrofil dan penekanan produksi antibodi.
 Peningkatan sejumlah patogen periodontal (khususnya Porphyromonas
gingivalis).
 Peningkatan sintesis PGE2.
c. Epidemiologi
Berdasarkan National Cancer Institute Surveillance, Epidemiologi, dan Hasil
Akhir Program Statistik Ulasan Kanker sejak 2001 sampai 2003, 12,67 % wanita
akan mengalami kanker payudara selama hidup mereka. Perbandingan resiko
wanita menderita kanker payudara satu dari delapan wanita . Selain itu, catatan
pada ulasan bahwa usia rata-rata saat diagnosis kanker payudara 2000-2003 adalah
61 tahun, dan hanya sekitar 12,7 % dari perempuan yang berusia antara 20 sampai
44.
Perempuan didiagnosa menderita kanker payudara lebih muda dari 40 tahun,
hanya sekitar 10 % yang hamil . Data ini menunjukkan rendahnya insiden kanker
payudara selama kehamilan. Bahkan, secara historis, kejadian diperkirakan 1 dari
3000 kehamilan. Meskipun secara keseluruhan insidennya rendah, namun, kanker
payudara pada kehamilan merupakan keganasan selama kehamilan yang paling
sering ditemukan, kedua setelah kanker serviks. Khususnya, banyak yang
menduga bahwa kejadian ini hanya akan meningkat karena lebih banyak
perempuan menunda melahirkan sampai di kemudian hari.
Kekhawatiran ini didasarkan pada fakta bahwa kanker payudara dalam
kehamilan sangat berkaitan dengan usia, dan wanita dengan kehamilan pertama
diatas usia 30 tahun memiliki dua sampai tiga kali risiko lebih tinggi terkena
kanker payudara dibandingkan wanita yang memiliki kehamilan pertama mereka
sebelum usia 20 tahun.Saat ini, kebanyakan studi mendukung usia rata-rata saat
diagnosis dari 32 sampai 34 tahun.
Belum diketahui pasti faktor risiko spesifik untuk kanker payudara pada
kehamilan. Faktor risiko genetik atau lingkungan adalah faktor risiko kanker
payudara yang disesuaikan menurut umur pada populasi umum. Mengingat usia
tentu muda di diagnosis, wanita dengan kanker payudara selama kehamilan harus
dirujuk untuk konseling genetik.
d. Pemeriksaan Fisik

11
Kanker payudara pada kehamilan biasanya muncul sebagai benjolan tanpa rasa
sakit dan terlambat di sadari oleh wanita tersebut. Perubahan fisiologis kanker
payudara pada kehamilan, dapat berupa pembengkakan, hipertrofi, dan nipple
discharge. Oleh karena itu, keterlambatan diagnosis sering terjadi, sehingga
kebanyakan pasien terdiagnosis ke tahap yang lebih lanjut. Akibatnya, kanker
payudara pada kehamilan dikaitkan dengan metastasis, dan prognosis yang jelek,
daripada kanker payudara pada wanita yang tidak hamil.
Benjolan pada payudara secara klinis mencurigakan selama kehamilan harus
diselidiki melalui biopsi. Meskipun sekitar 80% dari lesi payudara selama
kehamilan adalah jinak, dokter dapat dengan aman menggunakan USG,
mamografi, dan biopsi untuk menyingkirkan kanker payudara.
e. Perubahan Patologis
Temuan histopatologi dan imunohistokimia kanker payudara pada kehamilan
adalah sama dengan pada wanita yang tidak hamil yang lebih muda dari 35 tahun.
Pasien hamil paling sering didiagnosis dengan Karsinoma duktal invasif (71-
100%). kanker payudara gestasional berhubungan dengan tumor yang lebih besar
dan insiden yang lebih tinggi keterlibatan nodal (53-71%) dibandingkan pada
pasien yang tidak hamil. Fitur patologis dari kanker payudara tampaknya tidak
diubah oleh kehamilan, tetapi ditentukan oleh usia.
f. Diagnosis
Kebanyakan wanita didiagnosa menderita kanker payudara dalam kehamilan
akan datang dengan massa tidak nyeri pada payudara. Setiap benjolan payudara
yang mencurigakan atau payudara meradang perlu penyelidikan lebih lanjut.
Karena kanker payudara yang terjadi pada wanita hamil cukup langka dan jarang
terjadi, hanya ada beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk meneliti kanker
payudara pada wanita hamil. Diagnosis banding dari kehamilan dengan massa
pada payudara cukup luas dan mencakup:
 Karsinoma invasif
 Adenoma menyusui
 Fibroadenoma
 Penyakit Cystic
 Hiperplasia lobular
 Kista retensi susu (Galaktokel)

12
 Abses
 Lipoma
 Hamartoma dan jarang leukemia
 Limfoma
 Sarkoma
 Neuroma
 Tuberkulosis
Meskipun 80% dari massa ini jinak, evaluasi lebih lanjut diperlukan jika
temuan bertahan lebih dari 2 sampai 4 minggu. Evaluasi dimulai dengan
pemeriksaan klinis menyeluruh, dan pemeriksaan payudara direkomendasikan
pada kunjungan prenatal pertama.

Gambar 1
Inflamasi kanker payudara selama kehamilan dengan pembesaran kelenjar getah
bening aksila atas payudara kiri

Pemeriksaan diagnostik payudara selama kehamilan perlu dilakukan oleh


dokter yang terampil, karena kehamilan mengubah struktur jaringan pada
payudara. Ultrasonografi payudara adalah alat diagnostik yang pertama kali

13
dianjurkan ketika terdapat massa pada payudara dan massa pada daerah aksila
perlu dinilai pada wanita hamil, karena non-pengion dan memiliki sensitivitas
yang tinggi dan spesifisitas yang tinggi. USG menawarkan peran yang sangat baik
di awal kerja pada massa payudara tanpa risiko radiasi janin.
Selanjutnya, ketika kanker payudara pada kehamilan didiagnosis, penyakit
bilateral dan multicentric dapat disingkirkan dengan pemeriksaan mamografi.
Mamografi dalam keadaan hamil muda dan wanita menyusui (< 35 tahun) sering
menampakkan parenkim payudara yang padat, berperan terhadap rekomendasi
mamografi yang tidak boleh digunakan untuk tujuan skrining rutin pada populasi
pasien ini. Mengenai risiko radiasi janin, dengan pelindung perut yang tepat,
perkiraan dosis radiasi janin dari standar two-view mammogram ( 200 hingga 400
mrad) kurang dari 0,004 Gy. Ini diabaikan dan jauh di bawah ambang batas
pemaparan 100 mGy yang dikaitkan dengan risiko 1 % malformasi janin dan
tengah masalah sistem saraf yang diterbitkan oleh International Commission of
Radiological Protection.
FNA, biopsi jarum halus, dan biopsi eksisi merupakan pemeriksaan yang
sangat di anjurkan. Riwayat hiperplastik disaat kehamilan dengan perubahan
atipia diperkirakan akan menghasilkan FNA positif palsu. Namun beberapa
peneliti mendapatkan hasil yang akurat dan menurunkan angka pemeriksaan
biopsi lewat operasi pada pasien yang sedang hamil dan sedang menyusui.
Pemeriksaan core biopsi dan biopsi eksisi dapat juga digunakan. Hanya ada satu
laporan kasus yang mendukung adanya komplikasi berupa fistula yang di
akibatkan oleh air susu, dan kompliasi ini dapat di cegah dengan memerah air
susu pada payudara sebelum dilakukan biopsi kemudian di kompres dengan es
batu, dan pemberian obat bromocriptine.
Pemeriksaan metastatik kanker payudara selama kehamilan termasuk
rontgen dada, ultrasonografi hati, dan non-kontras MRI tulang. Pada pemeriksaan
foto toraks dapat dilakukan, tetapi harus dilakukan hanya ketika hasil akan
mengubah manajemen klinis. Ketika risiko diperkirakan penyakit metastasis
rendah, penundaan pemeriksaan sampai setelah melahirkan dapat
dipertimbangkan. Ahli radiologi dan dokter kedokteran nuklir harus menjadi
bagian dari perencanaan strategi diagnostik untuk memperkirakan kumulatif
toksisitas janin dan mengurangi paparan radiasi terhadap janin. Modalitas
pencitraan lebih dapat diterima untuk staging, sebagai klinis yang ditunjukkan,

14
termasuk rontgen dada dengan pelindung perut (paparan radiasi janin < 0,01
mGy), USG perut atau MRI dan MRI toraks / lumbal. MRI dengan atau tanpa
kontras tidak dianjurkan, karena Gandolinium melewati plasenta dan dapat
menyebabkan kecacatan pada janin sehingga gandolinium masuk obat kategori C
selama kehamilan. Pemeriksaan CT-scan tulang rutin untuk mengetahui
metastasis tulang pada kanker payudara selama kehamilan tidak dianjurkan karena
dapat memberikan paparan radiasi 4,7-1,8 mGy pada janin, yang bervariasi
dengan usia kehamilan, hal ini tidak dianjurkan selama kehamilan.
g. Penanganan
Penanganan terapeutik pada kanker payudara saat hamil hampir mirip dengan
penanganan kanker payudara saat tidak hamil yaitu untuk mencapai kontrol lokal
dan mencegah terjadinya metastasis sistemik, tidak ada lagi penanganan berupa
pengguguran bayi atau aborsi. Pedoman pengobatan untuk pasien kanker
payudara saat kehamilan yang diikuti adalah perindungan pada janin dan ibu.
Pendekatan setiap pasien harus secara individual, memperhitungkan usia
kehamilan saat dilakukan penanganan, tahap penyakit pasien, dan keinginan dari
pasien itu sendiri. Pendekatan multidisplin harus berjalan secara sinergi,
memungkinkan terjadi kerjasama yang erat antara onkologi medis, bedah
onkologi, dan dokter spesialis kandungan. Konseling genetik sangat dianjurkan
oleh semua wanita. Dukungan psikologis sangat di butuhkan pada penderita
kanker payudara di saat kehamilan.
Gambar 2-4 menunjukkan algoritma untuk pengobatan kanker payudara
untuk tiga trimester kehamilan. Algoritma ini mengacu pada prinsip-prinsip
umum dan tidak selalu mencakup semua situasi klinis. Tidak ada data yang jelas
kelangsungan hidup bagi perempuan yang menerima pengobatan mereka setelah
melahirkan. Oleh karena itu, kelahiran prematur atau keterlambatan dalam
mendiagnosis atau perawatan untuk periode pasca-partum harus dihindari.
Kelahiran prematur adalah kekhawatiran tetapi dapat dicegah dengan pengobatan
kanker selama kehamilan.
1) Trimester pertama
Jika usia kehamilan anda telah menginjak 3 bulan atau kurang, daftar
panduan membahas kemungkinan untuk mengakhiri kehamilan. Panduan ini
tidak menyatakan bahwa anda harus mengakhiri kehamilan anda karena anda
telah didiagnosa kanker payudara. Namun ini merupakan salah satu pilihan

15
yang bisa anda ambil. Pada kehamilan bulan ketiga, jika anda memutuskan
untuk melanjutkan kehamilan anda, langkah selanjutnya yang bisa anda ambil
adalah operasi mastektomi. Mastektomi lebih disarankan daripada terapi
radiasi, karena radiasi tidaklah aman selama masa kehamilan.

Gambar 2
Algoritma untuk pengobatan kanker payudara didiagnosis selama trimester pertama
kehamilan
* Jika hasil perubahan manajemen klinis, sangat penting selama trimester pertama.

16
2) Trimester kedua
Jika kanker payudara ditemukan saat kehamilan anda memasuki trimester
kedua, daftar panduan menyarankan operasi mastektomi atau lumpektomi.
Kemoterapi juga dapat dimulai sebelum melakukanoperasi.

Gambar 3
Algoritma untuk pengobatan kanker payudara didiagnosa antara 12 dan 28 minggu kehamilan
* Jika hasilnya akan mengubah manajemen klinis.

17
3) Trimester ketiga
Daftar panduan menyarankan jika anda telah didiagnosa mengidap kanker payudara
pada trimester ketiga kehamilan anda, anda dapat menjalani mastektomi maupun
lumpektomi. Kemoterapi dapat dilakukan secara aman jika dibutuhkan. Terapi radiasi
dan hormon, jika memungkinkan, akan diberikan setelah wanita tersebut melahirkan.

Gambar 4
Algoritma untuk pengobatan kanker payudara didiagnosis dari umur 29 minggu kehamilan
dan seterusnya

* Jika didiagnosis ≥35 minggu, pertimbangkan untuk menjalani pengobatan kemoterapi dan
radiasi setelah melahirkan .
† Jika hasilnya akan mengubah manajemen klinis.
‡ Jika hanya satu siklus kemoterapi yang dibutuhkan untuk mencapai kematangan janin,
pertimbangkan untuk melahirkan pada usia kehamilan ≥35 minggu dan semua kemoterapi
setelah melahirkan.
18
4) Terminasi Kehamilan
Dilakukan pada pasien telah memiliki anak, keinginannya untuk tidak
melanjutkan kehamilan ini, dan reaksi putus asa ketika pasien terdiagnosis kanker
payudara selama kehamilan. Pasien dan pasangannya harus diberitahu tentang
pilihan pengobatan yang berbeda dan dokter harus menjelaskan bahwa penghentian
kehamilan tampaknya tidak meningkatkan hasil ibu, tetapi keputusan untuk
melanjutkan atau mengakhiri kehamilan adalah keputusan pribadi pasien. Dalam
studi menunjukkan, kelangsungan hidup lebih rendah pada pasien yang memilih
terminasi dibandingkan pada wanita yang melanjutkan kehamilan mereka. Wanita
dengan prognosis yang buruk pada saat didiagnosis yang mungkin lebih cenderung
memilih untuk mengakhiri kehamilan mereka dibandingkan perempuan dengan
prognosis yang baik.
5) Pembedahan
Terapi pembedahan sangatlah aman pada penderita kanker payudara pada masa
kehamilan, akantetapi terapi pembedahan ini sangat aman pada usia kehamilan 12
minggu mengingat risiko aborsi spontan paling banyak terjadi pada masa
kehamilan trimester pertama . Pada saat operasi antara dokter bedah payudara,
anestesi, dan dokter kandungan harus fokus pada pencegahan hipoksia, hipotensi,
hipoglikemia, demam, nyeri, infeksi, atau trombosis karena peristiwa ini dapat
memiliki efek samping yang serius pada perkembangan janin. Perawatan ibu
selama periode perioperatif sangatlah penting untuk kesehatan janin. Dokter
menggunakan pemantauan denyut jantung janin selama operasi untuk mendeteksi
gawat janin (gambar 5). Kelahiran yang prematur dapat diakibatkan oleh nyeri,
sehingga obat analgetik cukup diperlukan. Tocometry pascaoperasi akan
mengidentifikasi aktivitas his uterus yang hilang oleh pengaruh obat analgesia.
Selain itu, operasi pada kehamilan dapat mengakibatkan trombosis-terlepas
akibat dari penyakit keganasan, sehingga thromboprophylaxis heparin dengan berat
molekul rendah sangat di perlukan.

19
Gambar 5
Pemantauan kontraksi uterus dan pemantauan denyut jantung janin selama operasi
kanker payudara

Terapi konservasi payudara (BCT) semakin disarankan pada penderita wanita


muda, meskipn dibatasi oleh paparan radiasi pada janin pasca operasi. Walaupun
lumpectomi dianggap aman untuk dilakukan pada semua trimester, namun terapi
radiasi yang dilakukan setelah operasi dan untuk memperoleh kontrol lokal yang
optimal dianggap masih menjadi kontra indikasi pada semua trimester. Penderita yang
sesuai mendapatkan pengobatan BCT adalah wanita yang terdiagnosis menderita
kanker payudara disaat usia kehamilan trimester kedua atau trimester ketiga sehingga
terapi radiasi dapat ditunda sampai pasien telah melahirkan, dan wanita yang
menderita kanker payudara stadium lanjut yang mendapatkan terapi neoadjuvant dapat
ditunda terlebih dahulu dan dilakukan reseksi lokal.
6) Radiasi
Risiko radiasi pada janin yang paling sering terjadi pada trimester pertama
(sebelum proses organogenesis selesai), dan pada saat trimester ketiga. Risikonya
antaralain teratogenicity, abortus spontan, dan neoplasma pada masa bayi srta
gangguan hematologi. Selama minggu ke 2 dan ke 8 terjadi proses organogenesis
sehingga dapat terjadi malformasi pada janin dengan dosis paparan radiasi lebih besar
dari 100 sampai 200 mGy. Selama minggu ke 8 sampai ke 25 sistem saraf pusat sangat
sensitif terhadap radiasi dengan ambang paparan dosis 0,1 sampai 0,2 Gy dapat
mengakibatkan penurunan IQ pada janin, sedangkan paparan janin 1 Gy dapat
meningkatkan janin menderita ketebelakangan mental yang berat. Selain itu, paparan

20
radiasi pada janin dengan dosis 0,01 Gy dapat meningkatkann kejadian kanker spontan
pada anak dan leukemia sebesar 40%. Dosis khusus radiasi pada penderita kanker
payudara atau radiasi dinding dada adalah 50 Gy, hasilnya akan menghasilkan
paparan pada janin sebesar 0,05-0,15 Gy dan meningkat sampai 2 Gy pada akhir
kehamilan dan saat posisi radiasi berdekatan dengan janin .11
7) Terapi Sistemik
Kemoterapi memegang peranan penting dalam terapi neoadjuvant dan
ajuvant pada pasien kanker payudara pada masa kehamilan, dikarenakan kebanyakan
pasien datang sudah dalam stadium lanjut. Semua jenis obat kemoterapi yang
digunakan dalam pengobatan kanker payudara adalah Kategori D (dapat
menimbulkan efek teratogenik), dan sangat berbahaya apabila diberikan pada umur
kehamilan trimester pertama. Komplikasi yang tersering di dapatkan kelahiran
prematur, berat bayi lahir rendah, leukopeni pada bayi baru lahir, dan terhambatnya
pertumbuhan janin intrauterine. Trimester kedua dan ketiga kehamilan terutama
ditandai dengan pertumbuhan janin dan pematangan. Pengobatan sitotoksik pada
periode ini tidak terkait dengan anomali janin, meskipun para peneliti telah
melaporkan pembatasan pertumbuhan, intrauterin dan kematian neonatal,
prematuritas, dan penindasan haemopoietik. Doll dan rekan pada tahun 1989
mencatat bahwa kejadian malformasi pada janin dengan terapi kemoterapi pada
trimester pertama berkisar antara 14% sampai 19%. Dan 1,3% kejadian malformasi
pada janin pada pemberian kemoterapi di trimester kedua dan ketiga.
Kemoterapi sebagai bagian dari pengobatan kanker payudara primer
diindikasikan pada sebagian besar pasien kanker payudara muda. Untuk kanker
payudara pada kehamilan, keputusan untuk mengelola kemoterapi harus mengikuti
pedoman yang sama seperti pada pasien tidak hamil, dengan mempertimbangkan
usia kehamilan dan rencana perawatan keseluruhan (misalnya, waktu operasi, perlu
untuk radioterapi). Kemoterapi dapat adjuvant atau neoadjuvant dan harus diberikan
setelah trimester pertama.
Kebanyakan pasien kanker payudara pada masa kehamilan diterapi
menggunakan kemoterapi sistotoksik pada trimester kedua dan ketiga sebanyak 24
perempuan yang berasal dari pusat kanker universitas MD anderson texas. Pada
tahun 1999, berry dan rekan mengevaluasi penderita kanker payudara pada masa
kehamilan menggunakan regimen kemoterapi CAF (5-fluouracil, doxorubicin, dan
cyclophosphamide) dan kelompok ini dilaporkan tidak ada komplikasi antepartum

21
yang diakibatkan oleh pengobatan kemotrapi tersebut dan didukung bahwa skor
Apgar, berat lahir, dan segala kesehatan postpartum normal pada semua bayi.
Data ini diperkuat dan baru-baru ini diumumkan oleh Hahn dan rekan pada
bulan September 2006. Lima puluh tujuh wania yang telah menderita kanker
payudara pada masa kehamilan dan telah diberikan regimen kemoterapi CAF (5-
fluouracil, doxorubicin, dan cyclophosphamide) pada tirmster kedua dan ketiga, dan
setelah itu orangtua dan bayi di follow up sampai 2 bulan. Para peneliti melaporkan
tidak ada kecacatan, keguguran, atau kematian perinatal yang terjadi berhubungan
dengan terapi. Hanya tiga pasien yang disampaikan lahir pada usia 34 minggu, salah
satunya kurang dari 29 minggu sebagai akibat dari preeklampsia ibu. Hanya 6 anak
yang di timbang berat badan kurang dari 2500 gram. Yang paling penting dilaporkan
adalah komplikasi neonatal berupa kesulitan bernafas, dan 10% dari bayi baru lahir
diperlukan ventilasi mekanik. Satu anak menderita perdarahan subarachnoid
postpartum hari ke 2, yang diakibatkan oleh trombositopeni (trobosit <89.000) dan
neutropenia. Akhirnya, satu anak lahir dengan sindrom down. Hanya dua anak dari
usia sekolah membutuhkan perhatian khusus di sekolah dan selebihnya dianggap
menunjukkan perkembangan normal.
Masih menjadi perhatian khusus terapi menggunakan anthracycline
diakrenakan efek cadriotoksik pada janin. Ada beberapa studi yang mendukung
tentang pengaruh cardiotoksik pada janin dan kematian janin dalam rahim setelah
terpapar penggunan idarubicin atau epirubicin. Selain itu, Peccatori dan rekan lebih
memilih penggunaan epirubicin dikarenakan indeks terapeutiknya lebih baik, efek
toksik sistemik dan cardiotoksiknya sedikit.
Penggunaan methotrexate merupakan penyebab tersering terjadinya aborsi,
dan harus dihindari selama masa kehamilan . Ada beberapa laporan kasus yang
mendukung penggunaan taxanes aman diberikan pada penderita kanker payudara
selama masa kehamilan, akan tetapi tidak ada yang memberikan informasi pasti
mengenai dosis yang aman terapi anthracycline dengan atau tanpa pemberian taxanes
selama kehamilan. Akhirnya, hanya ada satu laporan kasus yang mendokumentasika
penggunaan trastuzumab pada kehamilan. Watson menjelaskan kasus anhidramnion
reversibel, sedangkan dua laporan kasus lainnya tidak mendapatkan kelainan pada
janin ataupun bayi yang baru lahir. Terapi tamoxifen selama kehamilan dikaitkan
dengan kejadian penyakit alat kelamin ganda, dan sindrom goldenhar. Tamoxifen
tidak dianjurkan bagi ibu hamil.

22
Bifosfonat sangat efektif pada pasien premenopause dalam kombinasi dengan
terapi endokrin, 87 tapi sejauh ini belum disetujui untuk pengobatan kanker payudara
primer. Hasil studi bifosfonat telah menunjukkan toksisitas ibu, keterbelakangan
janin, embryolethality, hipokalsemia, dan keterbelakangan skeletal. Oleh karena itu
Bifosfonat merupakan kontraindikasi pada kehamilan dan dinilai kategori C risiko
kehamilan oleh US Food and Drug Administration. Penggunaannya pada wanita
premenopause sebelum pembuahan atau selama kehamilan bisa menimbulkan risiko
teratogenik, karena bifosfonat tetap dalam tulang mineralisasi selama beberapa
tahun.
Saat ini penentuan dosis kemoterapi berdasarkan berat badan. Pada keadaan
ini mungkin rumit di terapkan pada keadaan hamil dikarenakan peningkatan volume
plasma, peningkatan fungsi hepatorenal, penurunan konsentrasi albumin, dan
penurunan motilitas lambung . Terapi kemoterapi tidak boleh dilakukan 3 sampai 4
minggu sebelum melahirkan untuk menurunkan risiko komplikasi infeksi dan
perdarahan yang diakibatkan dari pancytopenia.

h. Pengobatan Suportif Pada Kanker Payudara


Kebanyakan dokter melaporkan tentangpengalaman efek samping kemoterapi kurang
jelas pada wanita hamil dibandingkan pada wanita yang tidak hamil, meskipun studi
formal belum dilakukan. Prinsip umum selama kehamilan, obat tidak boleh digunakan bila
tidak ada indikasi, begitu juga harus diterapkan pada terapi suportif. Dokter telah
menggunakan faktor-faktor pertumbuhan untuk sel darah putih selama kehamilan tanpa
mencatat efek samping, namun bukti klinis terhadap keselamatan mereka selama
kehamilan masih dipertanyakan. Namun, para peneliti ini tidak memberikan argumen
untuk melarang penggunaan terapi suportif ini jika diindikasikan. Dalam kasus tertentu
steroid, methylprednisolone dan hidrokortison dimetabolisme di plasenta dan steroid ini
sering diberikan selama kehamilan. Deksametason dan betametason dapat melewati
plasenta dan pemberian berulang steroid ini selama trimester pertama dapat menyebabkan
tingginya tingkat cerebral palsy, dan peningkatan insiden sumbing langit-langit.

i. Perawatan Prenatal
Terlepas dari penyakit serius pada ibu, pemeriksaan dan pengobatan onkologi kanker
payudara dapat mengganggu perkembangan janin yang normal. Oleh karena itu, pasien
harus dirawat di high care unit. Secara umum, pasien hamil harus ditindaklanjuti dan

23
diperlakukan dengan cara yang sama seperti pasien kebidanan yang berisiko tinggi seperti
keadaan yang berkaitan dengan pematangan paru dan cara persalinan yang tepat buat
kodisi ibu dan janin. Meskipun tidak ada pedoman telah dikeluarkan untuk dokter
kandungan untuk memonitor pasien hamil dirawat karena kanker payudara. Sebelum
pemeriksaan pementasan atau pengobatan onkologi dimulai, pengembangan struktur janin
dan pertumbuhan harus dinilai untuk menyingkirkan kelainan yang sudah ada sebelumnya.
Karena dalam serangkaian pasien, risiko persalinan prematur dan hambatan pertumbuhan
meningkat, perinatologist harus memberikan perhatian khusus untuk persalinan prematur
dan hambatan pertumbuhan janin. Pemberian anthracyclines, harus mempertimbangkan
pertimbangan kondisi ibu yang melibatkan sistem kardiovaskular (misalnya, pre-
eklampsia).
Tujuan dari persalinan pada > umur kehamilan 37 minggu ini penting karena
prematuritas mempengaruhi perkembangan kognitif dan emosional anak-anak. Ketika
kanker payudara pada kehamilan didiagnosis pada trimester ketiga dan ketika hanya satu
siklus kemoterapi diperlukan sebelum taksiran persalinan, persalinan pada umur kehamilan
35 minggu dan mulai postnatal kemoterapi dapat dipertimbangkan. Keputusan ini diambil
karena risiko akhir prematur dan informasi mengenai efek pada janin setelah terpapar
kemoterapi pada akhir kehamilan masih kurang. Pemberian obat kemoterapi dengan
interval 3 minggu harus dibiarkan pada siklus terakhir kemoterapi dan untuk menghindari
masalah yang terkait dengan perdarahan, infeksi, anemia pada ibu dan bayi, dan untuk
menghindari akumulasi obat pada janin. Kami menyarankan pemeriksaan plasenta pada
semua pasien hamil dengan kanker metastasis. Untuk kanker payudara, Pavlidis dan
Pentheroudakis telah menjelaskan 14 kasus metastasis plasenta, namun tidak satupun
metastasis ke janin. Pengobatan onkologi Post-partum, termasuk kemoterapi dan
radioterapi, dapat dimulai kembali segera setelah melahirkan. Pada operasi caesar, selang
seminggu pengobatan onkologi dapat dilanjutkan. Setelah kemoterapi selama kehamilan,
terjadi penghambatan produksi susu dan disarankan untuk mencegah akumulasi agen
lipofilik seperti taxanes karena dapat larut dalam ASI. Menyusui dalam minggu-minggu
pertama setelah kemoterapi tidak dianjurkan.

24
3. KEHAMILAN DENGAN KATUP JANTUNG PROSTENIK (Hariadi, 2004)
a. Pendahuluan
Kehamilan menyebabkan perubahan anatomi, fisiologis dan biokimia pada ibu
hamil. Pada pasien dengan penyakit katub jantung yang telah menjalani koreksi
dengan pemasangan katub jantung prostetik akan memiliki beberapa permasalahan
khusus Resiko terjadinya komplikasi pada wanita hamil dengan katub jantung
prostetik bersifat multifaktorial. Hal tersebut berkaitan dengan peningkatan volume
hemodinamik, status hiperkoagulasi pada kehamilan dan resiko penggunaan
antikoagulan terhadap fetus. Perlu diperhatikan bahwa perubahan bermakna terhadap
faktor-faktor pembekuan akan meningkatkan resiko trombosis selama kehamilan.
Trombosis pada katub jantung prostetik telah banyak dilaporkan akibat pemberian
antikoagulan yang tidak adekuat (Indriani, dkk 2018).
Para pasien wanita dengan kelainan pada katup jantung pada beberapa tahun
yang lalu memiliki angka harapan hidup dan kemung-kinan untuk hamil yang kecil.
Kini, wanita-wanita yang memiliki kelainan pada katup jantung tersebut dapat
menjalani kehidupan yang normal dan bereproduksi setelah men-jalani penggantian
katup yang sakit tersebut dengan katup prostetik. Namun demikian kehamilan
dengan katup prostetik dapat me-ningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu maupun
konsepsinya. Keadaan ini haruslah menjadi bahan kajian untuk ahli obstetri, dokter
anestesi dan dokter anak (Hariadi, 2004).
Kehamilan pada wanita dengan katub jantung prostetik, merupakan hal yang
sangat beresiko bagi ibu dan janin. Ashour ZA et al, 2000, melaporkan adanya 100
kehamilan pada 67 wanita dengan katub jantung mekanik (dengan usia antara 19-45
tahun). Dari penelitian tersebut didapatkan kejadian fetal loss sebanyak 44 kasus
dengan penyebab abortus spontan (28 kasus), kematian janin intrauteri (4 kasus),
stillbirth (3 kasus), kematian neonatal (1 kasus), persalinan prematur (2 kasus),
inkompatibilitas rhesus (2 kasus) dan kematian maternal (4 kasus) (Hariadi, 2004)
b. Tanda Gejala
Keluhan awal berupa sesak saat beraktifitas yang dirasakan semakin lama
semakin memberat bahkan muncul pada saat istirahat (Indriani, dkk 2018).
c. Komplikasi
Managemen kehamilan dengan katub jantung prostetik merupakan
permasalahan pelik bagi semua institusi kesehatan, terutama mengenai keselamatan
ibu dan bayi. Komplikasi meningkat seiring dengan perubahan hemodinamik dan

25
perubahan fisiologis jantung yang terjadi selama kehamilan. Penggunaan obat-obatan
kardiovaskular (terutama antikoagulan) dapat menyebabkan berbagai komplikasi
bagi janin dan ibu. Disamping itu, kehamilan menyebabkan suatu kondisi
hiperkoagulasi sehingga dapat meningkatkan kejadian tromboemboli (Indriani, dkk
2018).
Oleh karena resiko terjadinya komplikasi selama kehamilan pada wanita
dengan katub jantung prostetik tergantung pada alat prostetik yang digunakan (jenis
dan ukuran), lokasi implantasi dan fungsi katub prostetik, yang dapat mempengaruhi
fungsi jantung, gejala klinis yang muncul dan kapasitas fungsional, maka harus
dilakukan evaluasi dan konsultasi prekonsepsi yang baik sehingga dapat diketahui
fungsi jantung beserta katubnya. Pasien dan keluarga harus diberikan pengertian
bahwa komplikasi mayor yang potensial terjadi selama kehamilan termasuk
diantaranya adalah gejala klinis dan hemodinamik dapat memburuk, tromboemboli,
perdarahan, endokarditis, SVD pada pengguna katub bioprostetik dan anemia
hemolitik (Indriani, dkk 2018).
f. Diagnosis
Penatalaksaan diagnosis penderita ini dilakukan dengan membentuk tim yang
terdiri dari bagian obstetri-ginekologi, anak, kardiologi, paru, dan anestesi. Dengan
melakukan berbagai pemeriksaan klinis transthoracic echocardiography (TTE) dasar
bermanfaat sebagai acuan standar pada pasien jika dicurigai terjadi trombosis katub,
pemeriksaan echokardiogram serta pemeriksaan diastolic half-time (untuk prostetik
katub mitral) dan dimensionless index (ratio antara LV outflow time velocity dibagi
dengan peak aortic valve velocity untuk prostesa pada aorta ) harus digunakan untuk
menilai fungsi prostesa (Indriani, dkk 2018).
g. Penatalaksaan
Penggunaan/antikoagulan yang biasa dipergunakan adalah derivat koumarin,
oleh karena koumarin tersebut memiliki berat molekul yang kecil (1000) maka
koumarin dapat melewati plasenta dan menimbulkan efek antikoagulan terhadap
janin. Embriopati Warfarin dapat terjadi pada ibu yang memakai prepa-rat ini, gejala
yang timbul berupa hipoplasi tulang hidung dan khondrodisplasi punctata.
Mekanisme yang sebenarnya terjadi tidak diketahui tapi ada postulat yang
menyatakan kalau ini hasil dari suatu pendarahan mikro. Hall, dkk menunjukkan
bahwa embriopati dapat terjadi bila ibu memakai derivat koumarin pada usia gestasi

26
6-9 minggu; akan tetapi pada tahap itu faktor pembekuan K-dependen belum
terbentuk, sehingga hipotesa inipun disingkirkan (Hariadi, 2004).
Sementara Raivo, dkk mendapatkan bahwa gejala tersebut dapat terjadi pada
ibu yang memakai obat-obat tersebut selama trismester kedua dan ketiga kehamilan.
Sementara 855 ibu yang memakai obat tersebut pada pada kehamilan trismester
pertama dapat menimbulkan abortus spontan. Antikoagulan lain yang dapat dipakai
adalah heparin yang karena memiliki berat molekul yang besar (8.000 -15.000) tidak
dapat melewati plasenta sehingga tidak menimbulkan efek antikoagulan pada fetus.
Tapi pada pemakaian yang lama ( > 100 hari) heparin juga dapat mempengaruhi ibu
dan janin, seperti kematian janin, alopesia, trombositopenia dan
osteoporosis(Hariadi, 2004).
Asam salisilat dan dipyridamol pun dapat menimbulkan gangguan pada ibu
dan janin, seperti trombosis, kematian neonatus dan IUFD. Oleh karena tidak ada
antikoagulan yang ideal maka para ahli merekomendasikan pemakaian heparin pada
trisemester pertama, usia kehamilan 6 dan 12 minggu, dipakai selama kurang dari
100 hari. Sedang mulai usia kehamilan 13 minggu dipakai derivat koumarin. Jadi
bahaya untuk terjadinya embriopati warfarin dapat dicegah. Pemakaian heparin
untuk menggantikan derivat koumarin selama 2 atau beberapa hari sebelum
partuspun direkomendasikan, tetapi hasilnya tidak memuaskan (Hariadi, 2004).
Ada laporan yang menyatakan terjadinya perdarahan peripartum sebanyak
13% pada pasien yang menerima heparin dosis rendah. Penggantian dari heparin ke
koumarin dan sebaliknya ternyata meningkatkan terjadinya trombosis katup atau
tromboemboli. Oleh karena itu diperkenalkan cara lain, seperti konversi cepat dari
derivat koumarin dengan fresh frozen plasma. Walaupun secara teoritis prosedur
tersebut tidak memperbaiki efek antikoagulan janin. Oleh karena faktor yang
dependen terhadap vitamin K tidak dapat melewati plasenta dalam jumlah cukup,
pada pengamatan ditemukan adanya faktor-faktor II dan IX didalam tubuh janin.
Faktor-faktor ini menurut hasil pengamatan cukup untuk mencegah terjadinya
perdarahan fetus dan neonatus, tanpa menimbulkan risiko pada ibu seperti trombosis
ataupun perdarahan hebat. Poin penting lain untuk dipertimbang-kan, yaitu ketika
kita memakai antikoagulan selama kehamilan, pakailah heparin pada dosis yang
cukup untuk mempertahankan partial tromboplastin time antara 1,5 dan 2,0 kali dari
kontrol (Hariadi, 2004)

27
4. KEHAMILAN SETELAH TRANSPLANTASI GINJAL
a. Pendahuluan
Gagal ginjal stadium akhir merupakan kondisi yang mengancam nyawa ibu
dan janin selama kehamilan maupun pada populasi normal. Transplantasi
ginjal meningkatkan derajat kesehatan dan kualitas hidup pasien dibandingkan
dengan hemodialis. Prognosis kehamilan setelah transplantasi ginjal jauh lebih baik
daripada pasien hemodialisis. Telah dilaporkan bahwa keberhasilan kehamilan
meningkat secara signifikan pada wanita transplantasi
Kehamilan dengan transplantasi ginjal merupakan kasus yang jarang
dilaporkan. Telah disebutkan bahwa kemungkinan melahirkan dengan sehat pada ibu
hamil tersebut adalah sepersepuluh dari ibu hamil yang sehat. Pada kehamilan ini,
dianjurkan untuk mengeliminasi faktor risiko seperti hipertensi arterial
dan proteinuria , menyesuaikan terapi imunosupresan dengan tepat dan
merencanakan kehamilan dengan hati-hati. Telah dilaporkan bahwa komplikasi ibu
seperti hipertensi gestasional , preeklampsia dan diabetes gestasional dan hasil janin
yang merugikan seperti retardasi pertumbuhan intrauterin (IUGR), persalinan
prematur dan operasi caesar lebih sering terjadi pada kehamilan ini dibandingkan
dengan kehamilan normal.
b. Efek transplantasi
Keuntungan adanya ginjal yang baru cepat dirasakan oleh pasien wanita,
mengatasi masalah yang diamati. Yang menonjol diantaranya adalah mengembalikan
fungsi normal ovarium dan dengan itu, mengembalikan siklus menstruasi. Perubahan
ini terjadi dalam 6 bulan, secara umum, tapi ovulasi sering terjadi lebih cepat setelah
transplantasi dan pasien yang aktif secara seksual dapat hamil. Aspek ini menjadi hal
yang kritis bila pasien mempunyai masalah penting lain yang merupakan
kontraindikasi untuk terjadinya kehamilan. Perencanaan kontrasepsi yang hati-hati
merupakan bagian evaluasi preoperatif.
c. Efek kehamilan
Dalam suatu evaluasi prospektif yang sangat baik terhadap fungsi ginjal sebelum
kehamilan dan semasa hamil, Davidson membuktikan bahwa perubahan-perubahan
yang terjadi pada pasien pasien normal seperti meningkatnya glomerular filtration
rate (GFR) dan creatinin clearence, juga terjadi pada resipien transplantasi ginjal,
walaupun pada level yang lebih rendah. Pada keadaan yang sama Absy dkk
membuktikan bahwa perubahan ini sebanding dengan peningkatan volume graft, dan

28
volume ini merubah secara paralel penurunan yang lambat dari fungsi ini yang
tampak kemudian pada trimester ketiga. Peningkatan sedikit dari proteinuria (diatas
300 mg / 24 jam) sering terjadi pada resipien transplantasi ginjal, dan proteinuria
dapat menjadi lebih berat pada trimester ketiga, walaupun pada mereka yang
fungsinya normal sebelum terjadinya konsepsi. Sebaliknya, hipertensi yang ada
sebelumnya atau fungsi graft yang borderline jelas merupakan predisposisi untuk
terjadinya kelainan selama kehamilan yang muncul berupa hipertensi yang progresif,
meningkatnya kreatinin serum dan nitrogen urea darah, serta proteinuria. Telah
dilaporkan bahwa 40-60% resipien mengalami proteinuria yang signifikan sepanjang
kehamilan trimester kedua dan ketiga.
Faktor yang menguntungkan pada tulisan ini yaitu family-related donors,
dimana tak seorangpun dari kelompok ini mendapatkan komplikasi kehamilan
(kecuali seorang yang akan didiskusikan nanti). Sebaliknya, diantara resipien graft
dari pasien yang meninggal adalah kelompok pasien dengan gangguan fungsi ginjal
sedang dan merupakan kelompok yang disertai komplikasi kehamilan. Pasien-pasien
ini mungkin merupakan 10-20% mereka yang fungsi ginjalnya terganggu oleh
kehamilan.
Sejumlah pasien berlanjut terjadinya perubahan yang merugikan selama periode
postpartum, yang berakhir dengan reaksi penolakan, sedangkan yang lainnya
membaik. Umur ginjal donor tampaknya tidak mempengaruhi fungsi selama
kehamilan, kasus yang ekstrim adalah pasien yang dilaporkan oleh Coulam dkk yang
hamil saat ginjal berusia 75 tahun dan 10 tahun setelah transplantasi. Penolakan graft
telah dilaporkan terjadi pada 9% pasien, sepertinya tidak berbeda bermakna
dibandingkan penolakan pada pasien pasien saat tidak hamil. Tidak didapati faktor
predisposisi untuk penolakan ini. Manifestasi klinis sama dan kadang-kadang
menyerupai komplikasi kehamilan, seperti pielonefritis dan timbulnya preeklampsia.
USG dengan resolusi tinggi dapat mengkonfirmasi kecurigaan kita, karena ada
perubahan karakteristik ekogenik dari parenkim ginjal bila terjadi penolakan. Bukti
konfirmasi mungkin dapat diperiksa dengan biopsi jarum, sebagaimana dilakukan
pada pasien-pasien yang tidak hamil.
d. Komplikasi kehamilan
Jika sebagian orang membiarkan gagalnya kehamilan pada trimester pertama
seperti baru dibicarakan, sebagian lagi mungkin diharapkan akan diterminasi pada

29
saat viable. Komplikasi kehamilan tetap ada, diantaranya yang penting adalah
hipertensi, infeksi berbagai sistem organ, IUGR, dan prematuritas.
1) Hipertensi
Hipertensi sedang sampai berat mempengaruhi sejumlah besar resipien allograft.
Dengan follow-up yang ketat, preeklampsia (atau PIH) sendiri didiagnosis
sekitar 30% dari seluruh kehamilan. Bahkan satu kasus dengan eklampsia
fulminan dan IUFD telah dilaporkan, sebagaimana yang lainya dengan
persalinan bayi prematur yang mati. Oleh karena itu kondisi hipertensi ini perlu
didiskusikan bersama. Tidak ada tanda klinik atau laboratorium (kecuali biopsi)
yang patognomonik. Kebanyakan kelainan berupa proteinuria sedang sampai
berat (sampai 10-12 g/hari), menurunnya kreatinin klirens, atau peningkatan
blood urea nitrogen dan kreatinin serum, dimana semuanya tidak dapat
mendukung diagnosis preeklampsia. Demikian juga, trombositopenia dan
peningkatan LFT dapat terlihat pada mereka yang mendapat obat
imunosupresan.
2) Infeksi
Pemberian obat imunosupresif merupakan predisposisi untuk terjadinya infeksi.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, komplikasi ini merupakan penyebab
segera pada hampir separuh kematian pada pasien transplantasi. Infeksi yang
paling sering ditemukan adalah infeksi traktus urinarius–sistitis atau
pielonepritis– yang harus mendapat terapi dengan antibiotika spesifik dan untuk
selama periode yang cukup. Infeksi virus tampaknya mempunyai prevalensi
yang tinggi pada pasien penerima transplantasi sebanyak mereka yang
direncanakan untuk mendapat transplantsi (pasien dialisis).
Kebanyakan berupa infeksi virus herpes, hepatitis B, dan sedikit infeksi
sitomegalovirus. Vaksin yang tersedia saat ini telah memperbaiki prognosis
bayi-bayi karier hepatitis B. Sepsis dapat disebabkan oleh berbagai organisme
mulai dari Pseudomonas dan Stafilokokus sampai Pneumonitis carinii. Keadaan
ini lebih berbahaya khususnya pada pasien pasien dengan gangguan
metabolisme glukosa.
3) Pertumbuhan Janin Terhambat (PJT)
Pertumbuhan yang baik dari konsepsi, sepadan dengan usia kehamilan secara
kronologis dengan beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi seperti
malnutrisi, infeksi virus, dan abnormalitas genetik. Seorang resipien allograf

30
secara prinsif mempunyai posisi yang tidak menguntungkan karena pada
kebanyakan kasus ia telah menderita hipertensi sebelum transplantasi dan secara
teratur mendapat obat-obat imunosupresif, yang merupakan predisposisi untuk
terjadinya berbagai infeksi akut ataupun kronik.
Sudah merupakan fakta bahwa infeksi kronis menyebabkan PJT. Yang tidak
diketahui adalah apakah pemakaian obat imunosupresif akan menyebabkan
gangguan pertumbuhan atau tidak. Pengamatan terhadap ibu-ibu hamil
menunjukkan bahwa 861 terdapat jumlah yang signifikans pasien-pasien
penerima transplantasi yang menyebabkan bayi-bayi SGA saat lahir. Insidens
berkisar 16-40%. Mekanismenya masih belum diketahui, tapi mungkin saja
melalui beberapa sistem organ. Mungkin kombinasi dari faktor-faktor ini
mendasari insufisiensi pertumbuhan janin.
4) Prematuritas
Terminasi kehamilan prematur merupakan salah satu komplikasi yang sering
pada pasien-pasien resipien allograf. Penelitian secara umum mendapatkan
insidens sebesar 25-60%. Kondisi yang menyebabkan kelahiran preterm
bervariasi. Diantara masalah obstetri yang sering ditemukan adalah KPSW,
dimana proporsinya lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Alasan fenomena
ini tidak sepenuhnya dimengerti, walaupun efek steroid yang melemahkan
jaringan ikat membran pernah diperkirakan. Kondisi hipertensi yang tidak
terkontrol dengan terapi standar seringkali merupakan alasan untuk melakukan
terminasi kehamilan. Kemungkinan partus prematurus yang dikarenakan
hipertensi jumlahnya sama dengan yang disebabkan oleh KPSW.
e. Pengawasan janin
Agar dapat mendapatkan suatu kehamilan yang viabel menjelang aterm atau
aterm dokter harus memonitor secara ketat respons ibu terhadap kehamilan
sebagaimana respons janin terhadap manipulasi obat-obat farmakologi yang
diperlukan untuk melindingi allograf dari reaksi penolakan. Sayangnya, kehamilan
yang tidak direncanakan terjadi dengan frekuensi yang cukup besar, dan rencana
yang baik (lihat di bawah) jarang dilakukan. Selama masa kehamilan awal
pemeriksaan sonografi harus dilakukan untuk mendapat usia gestasi dan tanggal
taksiran persalinan.
Pemeriksaan USG diulang setiap 4-5 minggu secara teratur, dimana
pemeriksaan ini merupakan alat yang paling tepat untuk mendiagnosis pertumbuhan

31
janin yang tidak sesuai dan jumlah cairan amnion. Bila 862 kehamilan telah
mencapai 28 minggu, pemeriksaan DJJ dan kontraksi uterus dapat dimulai,
khususnya pada pasien-pasien hipertensi dan mereka yang mempunyai tandatanda
PJT (profil biofisik). Tes ini harus dilakukan tiap minggu pada pasien-pasien dengan
kehamilan berkomplikasi. Pada kehamilan tanpa komplikasi dimulai pada kirakira
kehamilan 33 minggu dan dilanjutkan tiap minggu.
Reevaluasi dilakukan lebih cepat bila tes menunjukkan hasil yang kurang baik
(fetal compromise). Alat lain untuk mengevaluasi sirkulasi darah arteri telah
digunakan pada klinik: ratio gelombang sistolik/diastolik darah yang diukur dengan
ultrasonografi (baik Doppler kontinyus atau pulsatif). Bagaimanapun metode ini
belum dilakukan pada sejumlah besar pasien transplantasi, tapi pada mereka yang
mempunyai kondisi patologik lain tampaknya berguna. Tes evaluasi hormonal
tampaknya sedikit kegunaannya.
f. Cara persalinan
Keputusan kapan dan bagaimana terminasi kehamilan harus dibuat
sebagaimana untuk kehamilan normal, setelah dilakukan evaluasi faktor ibu dan
janin secara hati-hati. Bila kehamilan tanpa sesuatu yang serius seseorang bisa
menunggu sampai terjadi persalinan spontan pada kehamilan aterm. Indikasi
maternal paling banyak sebelum persalinan adalah terjadinya eksaserbasi hipertensi
yang tidak dapat dikontrol tanpa menggunakan obat yang akan membahayakan janin,
Gangguan fungsi ginjal, episode penolakan, dan.KPSW. Sedangkan indikasi janin
yaitu berupa gawat janin dan adanya tanda-tanda PJT.
Cara persalinan yang dipilih adalah persalinan pervaginam, yang direncanakan
pada sebagian besar pasien. Pemeriksaan DJJ dan kontraksi uterus secara kontinyus
harus dilakukan untuk memeriksa pola kontraktilitas uterus, dosis oksitosin bila
digunakan, dan 863 respon janin terhadap persalinan. Bila mera-gukan untuk
menginterpretasi DJJ, pengambilan contoh darah kulit kepala janin harus dilakukan
tanpa ragu-ragu. Antibiotik profilaksis harus diberikan pada kasus kasus KPSW dan
dengan riwayat infeksi traktus genitalia sehubungan dengan penggunaan steroid pada
pasien-pasien ini.
Diantara aspek khusus yang penting untuk dipertimbangkan pada pasien-
pasien imuno-supresif adalah terjadinya kelemahan umum jaringan ikat mereka
(karena penggunaan steroid jangka panjang). Hal ini menyebabkan laserasi atau

32
perluasan luka perineum, perluas-an luka irisan uterus, atau bahkan menyebabkan
ruptura spontan.
Persalinan dengan seksiosesar dilakukan hanya atas indikasi ibu dan janin,
misalnya kelainan ibu yang tak terkontrol, gawat janin, DKP (absolut atau relatif),
letak janin abnormal, kemajuan persalinan yang tidak baik, atau persalinan terhalang
oleh transplantasi allograf yang terlalu rendah. Jenis insisi uterus harus dipilih,
sebagaimana pada kasus-kasus lain, berdasarkan berat janin, lebarnya SBR, dan jenis
anestesi yang ada. Insidens seksiosesar bervariasi antara 9%, 50%, 75%, bahkan
sampai 100%.
g. Morbiditas dan mortalitas ibu
Episode penolakan yang berat mungkin memerlukan terminasi kehamilan
segera. Kehamilan yang tidak memberi respons pada obat obat anti penolakan dapat
menjadi lebih buruk, baik terjadinya keguguran atau perlu intervensi tanpa
memperhatikan viabilitasnya. Kasus kasus yang memerlukan nefrektomi dan bahkan
histerektomi pernah dilapor-kan. dan kematian ibu pernah terjadi. Bagaimanapun,
komplikasi berat yang sering terjadi, baik berhubungan ataupun tidak dengan
hipertensi, adalah episode penolakan yang berhasil diatasi selama kehamilan.
Namun selama periode pospartum kebanyak-an pasien pasien yang berhasil
ditangani selama kehamilan memburuk dan kehilangan fungsi allograf dalam
beberapa bulan atau tahun. Komplikasi intrapartum, postpartum atau postseksiosesar
yang biasa terjadi diobservasi pada pasien. Yang terpenting adalah perdarahan,
episode infeksi seperti khorioamnionitis (diikuti KPSW), endomio-metritis,
tromboflebitis pelvis, atau sistitispielitis. Sangat dianjurkan untuk memberi-kan
antibiotika profilaksis. Tampaknya tidak ada efek jangka panjang yang signifikans
dari kehamilan terhadap fungsi allograf atau harapan hidup resipien jika
dibandingkan dengan pasien pasien yang tidak hamil.
Proporsi penolakan dan kematian yang dilaporkan dalam jangka panjang
mempunyai angka yang sama dibandingkan dengan populasi yang mendapat
transplantasi secara keseluruhan. Dalam penelitian para ahli ada satu kematian ibu
yang disebabkan oleh penyakit serebrovaskuler (CVA): seorang pasien yang tidak
kontrol dan meninggal 2 tahun setelah persalinan. Dua kasus kegagalan graft
postpartum, 2 dan 5 tahun setelah persalinan. Salah satu pasien ini adalah penerima
ginjal saudaranya, tapi ternyata diketahui bahwa keluarga ini mempunyai kondisi
genetik yang menyebabkan glomerulonefritis membranasea.

33
h. Morbiditas dan mortalitas janin
Risiko kematian neonatal secara proportional meningkat karena tingginya
insiden prematuritas dan PJT. Berlawanan dengan ini, banyak laporan tingginya
tingkat harapan hidup berkisar 90% sampai 100%. Penyebab umum yang banyak
adalah RDS, malformasi kongenital, atau infeksi. Infeksi virus kongenital (hepatitis
B dan sitomegalovirus) dan sepsis merupakan hal yang cukup memerlukan perhatian.
Semua bayi yang lahir dari ibu yang positif HBSAg harus menerima vaksin dan
imunoglobulin dalam waktu 48 jam postpartum.
Risiko malformasi kongenital, secara teoritis, tinggi karena lebih banyaknya
pemakaian azatioprin yang secara laboratorium bersifat teratogenik pada binatang.
Pengalaman membuktikan bahwa penggunaan azatioprin dan prednison dengan dosis
moderat standar tidak menyebabkan malformasi kongenital. Bagaimanapun, efek
azatioprin lain pada neonatus tampak pada beberapa kasus. Tampak bahwa
trombositopenia dan lekopeni neonatal.
Pada pemberian prednison tampaknya menimbulkan imunosupresi transien
pada neonatus. Problem neonatal lain yang tampak adalah insufisiensi adrenokortikal
dan abnormalitas kromosom sementara, efek hipokalsemia sekunder yang
disebabkan supresi hormon paratiroid, yang merupakan konsekuensi dari
hiperkalsemia yang timbul pada pasien pasien transplantasi. Sedikit sekali
pengalaman dengan imunosupresan baru siklosporin A dalam kehamilan. Masih
diperlukan banyak penelitian sebelum pernyataan definitif tentang hal ini dibuat.
i. Risiko penolakan selama kehamilan dan pascakehamilan dini
Keseimbangan imunologik antara resipien dan graft lebih berbahaya dari yang
diperkirakan. Dosis obat imunosupresif sedikit-sedikit dikurangi dalam tahun
pertama setelah transplantasi. Adaptasi atau homeostasis yang berkembang dalam
beberapa bulan tergantung pada perubahan baik graft maupun host. Prosesnya terjadi
baik secara pasif maupun aktif. Organ yang ditransplantasikan menjadi kurang
bersifat imunogenik seiring dengan waktu, dan resipien mengembangkan mekanisme
umpan balik yang menjaga kerusakan imunologik dari graft. Fungsi allograft ginjal
yang stabil telah diamati selama ± 30 tahun, tapi pemeliharaannya membutuhkan
dosis obat imunosupresif yang rendah seperti prednison (10-15 mg sehari) dan
azatioprin (100-150 mg sehari).
Fungsi ginjal harus dimonitor tiap minggu selama 3-4 minggu setelah terkena
serangan penyakit virus yang berat. Satu-satunya reaksi penolakan yang terjadi

34
selama kehamilan dalam penelitian para ahli adalah seorang wanita yang diketahui
tidak cocok dengan regimen imunosupresi yang diberikan dan menderita penolakan
kronik sebelum hamil. Kadar kreatinin serumnya lebih dari 2,0 mg/dl sebelum
kehamilan, dan ia juga menderita hipertensi. Dua wanita lainnya juga grafnya tidak
berfungsi. Satu graft gagal 5 tahun setelah persalinan.
Fungsi ginjal diketahui normal sampai 4 tahun setelah persalinan; pada saat itu
ia menghentikan minum obat imunosupresif dan tidak kontrol lagi ke dokter. Satu
wanita lagi meninggal 2 tahun setalah persalinan karena terserang CVA. Para ahli
mendukung sepenuhnya kriteria utama Davison untuk memprediksi kemungkinan
kehamilan yang berhasil setelah transplantasi ginjal: kondisi kesehatan baik selama 2
tahun setelah transplantasi, tidak ada hipertensi, kadar kreatinin serum kurang atau
sama dengan 2 mg/dl.
j. Perawatan Reaksi Penolakan Selama Kehamilan
Beberapa obat dapat mengubah metabolisme obat obat imunosupresif melalui
sistem sitokrom P-450 atau melalui beberapa jalur lain, misalnya fenitoin (Dilantin),
simetidin, dan obat anti jamur oral. Transfusi yang mengandung platelet atau lekosit
dahulu tidak diberikan karena ditakutkan alloantigen yang ada akan memicu reaksi
penolakan. Akhir akhir ini darah lengkap dan platelet dapat diberikan bila ada
indikasi; tidak ada bukti bahwa hal ini menyebabkan reaksi penolakan.
Jika penolakan terjadi selama kehamilan, pasien diobati sama seperti resipien
transplantasi lainnya, yang biasanya memerlukan injeksi intravena metilprednisolon
(250-1000 mg) 2-3 kali sehari. Jika fungsi ginjal tidak membaik pada hari ketiga,
langsung diberikan pan-T-limfosit monoklonal antibodi OKT-3 untuk 10 sampai 14
hari. Dosis azatioprin atau siklosporin biasanya tidak ditingkatkan selama episode
penolakan.
k. Penanganan dengan obat imunosupresif selama kehamilan
Obat obat imunosupresif pemeliharaan biasanya menggunakan salah satu
kombinasi di bawah ini.
 Azatioprin + prednison
 Siklosporin + prednison
 Azatioprin + siklosporin + prednison
Ketiga obat di atas diminum satu atau dua kali sehari. Jika resipien tidak dapat
minum obat, masing-masing obat ada persediaan injeksi intravena. Steroid parenteral

35
yang paling sering digunakan adalah hidrokortison atau metilprednisolon. Biasanya
diberikan setiap 8 atau 12 jam, dan dosis ditingkatkan untuk mengatasi stres sesuai
kebutuhan pasien yang akan mengalami pembedahan. Azatioprin intravena diberikan
hanya sekali sehari dan dosisnya sama seperti dosis per oral. Dosis siklosporin intravena
hanya sepertiga dosis oral dan biasanya dibagi untuk dua kali pemberian (tiap 12 jam).

36
37

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

1. KESIMPULAN
Kanker payudara selama kehamilan bukan merupakan keadaan yang darurat dan
memerlukan waktu berkonsultasi dengan tim ahli agar tidak memperburuk prognosis.
Diskusi multidisiplin pertama harus mempertimbangkan strategi diagnostik yang bertujuan
untuk mengurangi beban paparan radiasi janin. Prognosis ibu perlu didefinisikan.
Meskipun data dokter menunjukkan dapat menggunakan kemoterapi dan radioterapi
selama kehamilan, akan tetapi perlu diperhatikan hasil jangka panjang janin yang terkena
perawatan ini saat di dalam rahim. Prematuritas akan menambah hasil yang negatif dalam
waktu jangka panjang dan harus dihindari. Penderita kanker pada saat kehamilan
disarankan harus lebih aktif baik dalam pengobatan.
Pasien dengan katup jantung buatan memiliki risiko tinggi terhadap morbiditas dan
mortalitas ibu maupun janin. Risiko tertinggi dihadapi pasien dengan protese mekanik dan
menggunakan anti koagulan. Risiko keguguran janin dihadapi pasien ketika kehamilannya
tidak direncanakan menghadapi kondisi tersebut. Semua pasien dengan katup jantung
buatan, yang memerlukan antikoagulan, seharusnya merencanakan kehamilannya dengan
menerima heparin pada kehamilan antara minggu ke-6 dan ke-12, untuk menjaga partial
thromboplastin time tetap pada kisaran 1,5-2,0 kali nilai kontrol.
Kehamilan masih memungkinkan untuk resipien allograft, walaupun 30% kehamilan
gagal sebelum mencapai trimester kedua. Untuk kehamilan yang dapat mencapai masa ini,
sejumlah masalah serius berkembang dan ada insiden komplikasi perinatal yang tinggi.
Kebanyakan kehamilan berlanjut tanpa halangan yang mayor. Hasil yang baik ini dicapai
hanya jika kehamilan direncanakan, dikontrol ketat oleh ahli obstetri dan spesialis
transplantasi, dan janin ditangani oleh ahli neonatus yang berpengalaman saat persalinan.
Sebagaimana semua subyek penerima imunosupresif, resipien allograft ginjal mempunyai
risiko tinggi untuk berkembang menjadi suatu keganasan. Keganasan ginekologik
tampaknya terjadi dengan insidens lebih tinggi dibanding populasi umum. Evaluasi yang
sering dilakukan harus dapat membantu menemukan proses keganasan ini secara dini.

37
2. SARAN
Dari kesimpulan di atas penulis mengusulkan beberapa saran yaitu kepada bidan baik
yang bertugas dipuskesmas maupun instalasi kesehatan lainnya agar lebih gencar
memberikan penyuluhan-penyuluhan terkait pemeriksaan payudara sendiri. Tujuannya
adalah agar masyarakat memiliki pengetahuan yang lebih dalam tentang penyakit kanker
payudara serta menyadari bahwa deteksi dini penyakit ini sangat penting dilakukan.
Sehingga mampu menekan jumlah penderita dan tidak terjadi lagi keterlambatan dalam
mengakses pengobatan modern dan harapan untuk sembuh pun semakin tinggi. Serta bidan
mampu memberikan KIE kepada pasien ibu hamil degan kelainan katup jantung, sehingga
dengan adanya edukasi risiko tinggi terhadap morbiditas dan mortalitas ibu maupun janin
dapat diketahui semenjak awal kehamilan.

38
DAFTAR PUSTAKA

Anggita, M. dan. (2018). Hubungan Tingkat Pengetahuan Remaja Putri Tentang Kanker
Payudara Dengan Sikap Terhadap Pemeriksaan Payudara Sendiri (Sadari) Pada
Siswi Kelas Ii Di Sma Negeri 8 Batam. Jurnal Penelitian Kebidanan, 1(1).
https://doi.org/10.52999/jpkebidanan.v1i1.8

Hariadi R,(2004). Buku Kedokteran Fetomaternal. Himpunan Kedokteran Fetomaternal


Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia : Surabaya.

Indriani, (2018). Studi Kasus: Kehamilan dengan dengan Katub Jantung Prostetik Mekanik
dan Penggunaan Antikoagulan. Journal of Issues in Midwifery, April – Juli 2018,
Vol. 2 No. 1, 20-29. file:///C:/Users/sitin/Downloads/Documents/admin,
+2+Anin+Indriani.pdf

Laconi, E., Marongiu, F., & DeGregori, J. (2020). Cancer as a disease of old age: changing
mutational and microenvironmental landscapes. British Journal of Cancer, 122(7),
943– 952. https://doi.org/10.1038/s41416-019-0721-1

Salehiniya, M. dan. (2019). Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Remaja Putri Kelas 2
Jurusan Ipa Tentang Sadari (Periksa Payudara Sendiri) Di Sma Pgri 2
Banjarmasin. AnNadaa: Jurnal Kesehatan Masyarakat, 5(2), 64.
https://doi.org/10.31602/ann.v5i2.1652

Sebayang, W. (2018). Hubungan Pengetahuan dan Sikap dengan Tindakan SADARI dalam
Mendeteksi Dini Ca. Mammae pada Wanita Usia Subur di Klinik Nana Diana
Medan Tahun 2018. Jurnal Ilmiah Kebidanan Imelda, 4(2), 0–4.

39

You might also like