You are on page 1of 189

DAFTAR ISI

Contents

DAFTAR ISI..............................................................................................................................i

Liburan bersama keluarga......................................................................................................1

Berubah.....................................................................................................................................2

Aku, Kamu, dan Laut..............................................................................................................8

Anak yang Mengangkat Derajat Keluarga..........................................................................21

Segenggam Harapan..............................................................................................................24

Cukup Kalian.........................................................................................................................31

Keluarga Sakinah...................................................................................................................34

Ini Hidupku, Ini Kisahku......................................................................................................40

Keluarga?................................................................................................................................42

End of Talk.............................................................................................................................47

Rindu ayah..............................................................................................................................56

I and My Family.....................................................................................................................61

Perjalanan Hidup...................................................................................................................63

Faktor Kelupaan atau Ketidaktahuan.................................................................................65

Keluargaku.............................................................................................................................68

Tak lagi sama..........................................................................................................................74

Rumah yang benar benar rumah.........................................................................................79

An Anthology of Time | i
Mimpi cincin ajaib.................................................................................................................84

Dekapan di ujung asa.............................................................................................................93

KELUARGA.........................................................................................................................104

Sebelum Mentari Terbenam...............................................................................................110

Kenangan Terindah.............................................................................................................119

Sepucuk harapan..................................................................................................................126

Gara-Gara Hujan.................................................................................................................130

Kesalahpahaman..................................................................................................................140

Impian...................................................................................................................................145

The hope of my parents.......................................................................................................148

Keluargaku adalah Hartaku...............................................................................................153

Impian si bungsu kecil.........................................................................................................154

Keluarga adalah segalanya..................................................................................................160

Rumah tak ramah................................................................................................................164

Kakak....................................................................................................................................166

Hadiah terbaik......................................................................................................................174

An Anthology of Time | ii
Liburan bersama keluarga
Ahmad Rizky R.

Pada Hari Jumat kemarin, saya berangkat sekolah dengan perasaan yang senang. Karena
akhir pekan ini saya dengan keluarga akan pergi berlibur ke pantai. Saat di sekolah saya
sudah tidak sabar ingin cepat pulang dan prepare untuk berlibur hari Sabtu.
Setelah pulang sekolah, dengan semangat saya menyiapkan barang dan baju yang akan
dibawa besok. Dia membawa beberapa baju untuk berlibur karena harus menginap 2 hari 1
malam. Setelah semua siap, saya dan keluarga pergi pada siang harinya. saya dan keluarga
sampai di rumah saudara pada pukul 7 malam. Perjalanan yang jauh membuat semua orang
capek, sehingga sesampainya di rumah saudara langsung istirahat sebentar.
Setelah rasa capek mulai hilang, saya dan keluarga semua bergegas ganti pakaian dan
bermain di pantai. saya sangat senang akhir pekan ini bisa berlibur ke pantai bersama dengan
keluarga. Tujuan utama saya senang ke pantai, karena ingin naik kuda.
Setibanya di pantai, saya mencari kuda hingga bertanya ke saudara saya yang sedang
berjualan di pantai. Namun ternyata pantai tersebut sudah tidak menyediakan kuda lagi. Adik
saya pun sedih karena dirinya tidak jadi naik kuda.
Namun sedihnya hilang saat Ibu dan Ayah tiba-tiba memesan perahu untuk berlayar ke
pantai. Saya dengan rasa senang dan sedihnya pun ikut menghilang. Setelah naik perahu, ibu
dan ayah memesan makanan yang lumayan banyak buat makan bersama. Setelah makan saya
beserta keluarga langsung bermain lagi ke pantai sampai sore.
Setelah dari pantai saya mengajak keluarga untuk jalan-jalan di mall. Kebetulan di mall
itu sedang ada acara memberi makan hewan, jadi saya dan keluarga jalan-jalan di Mall.
Di mall, saya dan keluarga makan malam bersama. Kami makan di Solaria. Ayah
memesan nasi goreng. saya suka sekali nasi goreng Solaria, karena rasanya enak.
Lalu, setelah makan malam, saya dan keluarga memberi makan hewan. Ada domba,
kambing, kelinci, dan marmot. Saya membeli wortel untuk memberi makan domba dan
kambing. Penjaga hewan tersebut memberikan izin untuk mengelus kepala domba-domba di
situ.
Setelah selesai bermain dengan binatang, saya dan ayah membeli camilan sosis dan donat
juga minuman dingin. Ayah mengajak keluarga menonton film, saat itu sedang diputar film
Gundala. Gundala adalah super hero asli Indonesia.
Setelah pulang dari mall saya dan keluarga pun kembali ke rumah saudara tadi untuk tidur
dan istirahat untuk melanjutkan perjalanan pulang esok harinya
tiba di esok harinya saya dan keluarga pun bersiap untuk melanjutkan perjalanan pulang
mulai dari pukul 9 pagi sampai rumah pukul 1 siang karena di tengah perjalanan terjebak
kemacetan

An Anthology of Time | 1
Berubah
Amanda Nayla Z.

Pagi itu langit biru kehitaman di sambut dengan turunnya hujan rintik-rintik. Aku bangun
begitu mendengar suara gemercik hujan disertai dengan sedikit guntur yang menyambar. Aku
meraih handuk dan bersiap-siap berangkat sekolah. Seperti hari-hari sebelumnya aku berjalan
kaki tidak jauh dari rumah untuk naik angkot. Sesekali aku menggambar di kaca berembun
dengan jariku dan memandang jalanan pagi yang basah karena rintik hujan. Sesampainya
disekolah aku melepas tas dan meletakkannya di kursi. Aku mengeluarkan buku pelajaran
untuk belajar, hari itu 2 mata pelajaran mengadakan ulangan harian. Tanganku mulai dingin
beberapa menit sebelum ulangan. Tak disangka semua soal ulangan bisa aku jawab dengan
mudah.
Dengan hati senang aku memasukkan alat tulis di mejaku, tak lama kemudian bel pulang
terdengar menggelegar ke seluruh lingkungan sekolah. Aku berjalan ke depan sekolah dan
duduk di halte yang tidak jauh dari gerbang sekolah. Hari itu aku menunggu angkot untuk
pulang yang tidak pasti datangnya, kadang cepat dan kadang lama. Angkot datang setelah aku
menunggu sekitar 15 menit. Sesampainya di rumah, aku melempar tasku di sembarang
tempat dan merebahkan badan di tempat tidur. 10 menit setelah aku merebahkan badan, aku
mendengar langkah kaki, itu ibu. Ibu datang membawa nasi bungkus sisa jualan. Telur, mi
goreng, dan tempe sudah menjadi makanan siangku sehari-hari. Ibuku adalah seorang
pedagang. Ibu menjual jajanan pasar, lauk, nasi bungkus, dll. Hari-hari ibu mulai berjualan
sebelum matahari terbit. Tak heran jika aku bangun pagi keadaan rumah sangat sepi.
Aku melahap sesuap demi sesuap nasi, setelah makan aku membersihkan diri. Jam
dinding menunjukkan pukul 14.30 siang, mataku sudah tidak kuat menahan kantuk. Suara
sepeda motor membangunkan tidurku, itu ayah. Mataku terbuka, jam dinding di depan mata
menunjukkan pukul 20.30 malam. Setiap hari ayahku pulang malam, kecuali hari libur.
Ayahku seorang karyawan di sebuah kantor. Aku selalu rindu ketika ayah bekerja dan selalu
senang ketika ayah pulang.
“Bulan, ayah membawa ayam kesukaanmu, ayo makan,” terdengar suara ayah mendekati
pintu kamarku.
“Iya ayah” jawabku dengan senang.
Kakiku melangkah menuju ruang makan, malam itu aku banyak berbincang dengan
keluargaku.
“Ayah bagaimana kerjanya?” tanyaku pada ayah.
“Baik-baik saja bulan, teman kerja ayah juga baik sama ayah,” jawabnya.
“Baiklah ayah,” sahutku.
“Bulan, besok ada tugas?” tanya ibu.
“Oh iya, bulan lupa, bu, bulan belum mengerjakan,” jawabku dengan khawatir.
Dengan buru-buru aku mencuci tangan dan berjalan menuju meja belajar. Buku
matematika di meja segera aku buka dan aku kerjakan. Tak terasa sudah malam, mataku tidak
terasa berat dan mengantuk. Aku merebahkan badan di tempat tidur sembari mendengar
musik dari handphone. Beberapa menit setelahnya aku tertidur lelap dengan suara musik
yang lupa aku matikan.

***

“Bulan ayo bangun, sudah jam setengah 6,” suara lembut ibu membangunkanku.
An Anthology of Time | 2
“Iya, bu,” jawabku dengan suara yang pelan.
Aku melangkah ke kamar mandi dan memakai seragam sekolah. Hari ini ibu tidak
berjualan karena ibu ingin istirahat di rumah saja. Ibu menyiapkanku sarapan. Padahal
biasanya jika ibu bekerja, aku tidak sarapan. Nasi goreng masakan ibu selalu menjadi menu
wajib saat sarapan. Sudah jam 06.20, aku berpamitan ke ibu. Ayahku sudah berangkat jam
05.25 karena tempat kerjanya lumayan jauh dari rumah. Seperti sebelumnya aku berjalan
untuk menaiki angkot agar bisa berangkat ke sekolah. Hari ini aku ada 4 mata pelajaran,
namun hanya 2 mata pelajaran yang terisi, karena beberapa guru mengikuti lomba voli.
Biasanya bel pulang bunyi pukul 13.30, namun hari ini terdapat sosialisasi yang
mengharuskan pulang lebih lama. Lelah sekali mendengar sosialisasi yang tidak tahu kapan
selesainya. Aku melihat jam di layar handphone menunjukkan pukul 15.30 dan pada saat itu
juga bel pulang terdengar. Senyumku lebar setelah mendengar bel, aku tidak sabar untuk
pulang dan bertemu ibu. Dengan jalan yang sedikit cepat tibalah aku di penjual bakso, aku
membeli 2 bungkus bakso di depan sekolah. Penjual memberikan bakso yang aku pesan tadi,
aku berjalan menuju halte untuk menunggu angkot. Tak lama-lama menunggu, angkot sudah
berada didepaku dan aku segera menaikinya.
Setelah 15 menit perjalanan akhirnya aku sampai juga. Aku membuka pintu rumah dan
segera mengambil 1 bakso yang kubeli tadi. Aku memberikan Bakso itu kepada ibu dan
memakannya bersama. Hari ini aku banyak berbincang dengan ibu, apalagi ibu tidak bekerja,
jadi banyak waktu untuk berbincang.
“Bulan, makasih sudah membelikan ibu bakso ya, ibu kenyang,” ucapan terimakasih ibu
padaku.
“Iya bu, ini bulan belinya juga memakai uang yang di kasih ibu,” jawabku.
“Loh, kenapa kamu buat untuk membelikan ibu?” tanya ibu.
“Tidak apa-apa bu, bulan senang bisa membelikan ibu bakso,” jawabku dengan senyum
lebar.
“Baiklah, sekali lagi makasih ya bulan,” sahutku ibuku dengan senyum.
“Iya, bu,” kataku.
Setelah berbincang-bincang dengan ibu, aku masuk kamar dan meletakkan tas di atas
meja belajar. Membersihkan diri sehabis pulang dari sekolah adalah kebiasaanku. Hari ini
aku tidak tidur siang, aku membantu ibu untuk menyiapkan adonan-adonan untuk bahan
jualan besok. Lelah sekali, tidak bisa membayangkan betapa lelahnya ibu yang selalu
membuat adonan dan menjualnya. Aku selalu berpikir untuk membantu ibu menghasilkan
uang. Sesekali aku bertanya kepada ibu untuk membantunya jualan dan tidak bersekolah,
tetapi ibu melarangnya dan menyuruhku untuk belajar saja. Ibu juga selalu berkata bahwa
masa depanku sangat penting. Di situ aku tidak bisa menentang ibu, karena aku tahu pilihan
ibu pasti baik untukku. Adonan untuk jualan sudah siap semua, hanya tinggal di goreng saja.
Aku ingin membantu menggoreng, tapi ibu bilang tidak boleh dan aku harus belajar. Aku
menurut apa kata ibu. Aku memutar badan dan melangkahkan kaki ke kamar. Jam di layar
handphone menunjukkan pukul 19.00. besok banyak tugas, tapi aku memilih untuk
beristirahat sebentar di tempat tidurku. Tiba-tiba ayah datang dengan suara motornya yang
membuat aku semangat untuk mengerjakan tugas. Ayah masuk ke kamarku dan memberiku
hadiah, itu adalah sepatu sekolah. Aku terkejut saat itu.
“Ini hadiah untuk kamu bulan,” kata ayahku sambil mengangkat kardus berisi sepatu
tersebut tinggi-tinggi.
“Apa itu ayah?” jawabku dengan senyuman bahagia.

An Anthology of Time | 3
“Ini sepatu untuk bulan sekolah,” jawab ayah sembari membuka sepatu yang terbungkus
kardus.
“Wow terimakasih ayah, bulan sayang ayah,” sahutku.
“Iya bulan, ayah juga sayang bulan,” jawab ayah pelan dengan tangannya yang
memelukku erat.
Bahagia sekali memiliki sepatu baru. saat ayah merapatkan tangannya ke badanku dan
menepuk pundakku dengan pelan ibuku berjalan menuju ke arah kami berdua. Ibu membuka
kedua tangannya lebar-lebar dan mendekatkan badannya ke aku dan ayah. Kita bertiga
berpelukan. Malam itu adalah malam Sabtu, di mana hari minggunya adalah hari ulang
tahunku. Aku bertanya kepada ayah, mengapa dia tidak memberikannya besok saja. Ternyata
di saat itu juga ayah mengatakan bahwa ayah akan pergi meninggalkan rumah dan bekerja di
luar kota yang sangat jauh dari rumah. Aku terkejut dan tidak tahu harus berekspresi seperti
apa pada saat itu. Ibu menepukkan tangannya ke pundakku. Tentu saja aku merasa sedih,
namun aku tidak menangis, meskipun sebenarnya hatiku sudah menangis terlebih dahulu.
Aku merasa sedikit kecewa kepada ayah, karena ayah lebih memilih untuk bekerja dari pada
keluarganya. Setelah aku diam sejenak. Ayah dan ibu menyuruhku tidur. Itu sudah terlalu
malam. Aku melangkahkan kaki ke tempat tidur dengan hati yang sedih. Besok hari ulang
tahunku. Aku membayangkan betapa sepinya tanpa kehadiran ayahku, bahkan aku dan ibu
akan berpamitan ke ayah.
Malam itu aku mendengarkan musik. Musik sedih membuatku tiba-tiba meneteskan air
mata. Suara tangisanku hanya didengar oleh barang-barang di kamarku. Aku takut ibu dan
ayah mendengar tangisanku. Notif handphone membuatku melihat ke arahnya, layar
handphone menunjukkan pukul 23.47. 13 menit lagi adalah hari ulang tahunku. Aku berpikir
untuk memberikan ayah hadiah, agar ayah selalu ingat aku saat bekerja. Tengah malam di
hari ulang tahunku aku memutuskan untuk membuat hadiah untuk ayah. Tengah malam tidak
ada toko yang menjual kado. Aku meraih kertas warna-warni yang ada di meja belajarku dan
mulai melipat-lipatnya dengan tanganku. Aku membuat cincin dari kertas, selain itu aku
membuat berbagai bentuk hewan. Terakhir aku membuat pigura dari stik yang di tengahnya
aku menempelkan foto keluargaku. Sudah 2 jam aku membuat hadiah untuk ayah. Segera aku
masukkan kadonya dan aku bungkus dengan kertas kado sisa di pojok kamarku. Tidak lupa
aku membuat surat untuk ayah yang sangat panjang dan aku jadikan satu di samping kado
lainnya. Malam itu aku tidak peduli dengan ulang tahunku. Yang aku ingat hanya ayah.
Hari minggu pagi yang cerah dimulai dengan suara alarm dari handphone. Mataku
terbuka dan segera keluar kamar. Ayah sudah bersiap-siap, aku memeluk ayah dan
mengucapkan selamat pagi kepadanya. Ayah mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku.
Beberapa menit setelahnya ayah berpamitan. Sontak aku melangkahkan kaki degan cepat
menuju kamar dan mengambil hadiah untuk ayah. Aku memegang hadiah untuk ayah dengan
erat. cepat-cepat aku memutarkan badan dan berlari ke ayah.
“Ayah, ini hadiah untuk ayah,” kataku dengan tangan memberikan hadiah kepada ayah.
“Wah, apa ini bulan?” tanya ayah.
“Nanti ayah tahu sendiri, kalau sudah sampai jangan lupa dibuka ya,” jawabku dengan
senyum lebar.
“Iya, terima kasih anakku,” jawab ayah.
Hadiah ayah memang aku berikan dengan senyum lebar, tetapi sebenarnya saat itu aku
ingin sekali meneteskan air mata, hanya saja aku menahannya. Ayah memelukku dengan erat
dan memberikan beberapa pesan untukku. Ayah meneteskan air mata. Aku tidak bisa

An Anthology of Time | 4
menahan tangisku, akhirnya aku mulai meneteskan sedikit demi sedikit air mata. Ibu melihat
aku dan ayah berpelukan di belakang. Seperti yang sudah aku duga, ibu juga menangis. Kita
bertiga menangis dan berpelukan beberapa saat. Beberapa menit setelahnya suara mobil
mendekati rumah, itu rekan kerja ayah. Ayah keluar dengan membawa menggenggam hadiah
yang aku berikan tadi. Ibu dan aku mengikuti ayah keluar. Ayah memasuki mobil. Ibu
merangkulku, aku melambaikan tangan ke ayah. Hanya beberapa detik saja, ayah sudah
menghilang dari penglihatanku. Aku dan ibu masuk rumah. Ibu memasakkanku ayam goreng
kesukaanku. Kata ibu karena hari ini hari spesial jadi ibu memasakkan untukku. Aku duduk
di ruang makan hanya berdua dengan ibu. Baru beberapa menit ayah pergi, aku sudah rindu.
Sesuap nasi dan ayam aku masukkan bergantian, begitu juga ibu.

***

hari Senin dimulai. ibu sudah tidak ada di rumah. Pagi ini hujan rintik-rintik dan aku
bangun sedikit terlambat. Segera aku menegakkan badan dan mengambil handuk untuk
bersiap-siap sekolah. Ibu tidak ada, jadi aku tidak sarapan. Aku mengambil payung dan
membukanya, Payungku mulai basah terkena tetesan air hujan. Seperti biasa, aku berjalan
untuk menaiki angkot. Setelah aku menaiki angkot ternyata hujan mulai deras. Dingin sekali.
Aku melangkahkan kakiku keluar angkot dan berjalan ke kelas. Seharusnya hari ini ada
upacara, tetapi tidak jadi karena hujan deras. Aku duduk di bangku, tak lam kemudian bu
guru datang, mata pelajaran kimia memulai hari Senin dengan langit yang mendung. Hari itu
4 mata pelajaran selesai, bel pulang sekolah terdengar ke seluruh lingkungan sekolah. Para
murid langsung tersenyum mendengarnya, begitu juga aku. Siang itu aku mampir ke tempat
jualan ibu dengan menaiki angkot. Ibu sudah mulai membersihkannya jualannya, aku dan ibu
pulang bersama. Ibu tidak pernah berhenti mengatakan bahwa ibu rindu ayah. sudah 1 bulan
setelah ayah pergi. Ayah masih sering menghubungi aku dan ibu, namun rasa rinduku masih
belum terbalaskan. Aku ingin sekali bertemu ayah meskipun hanya satu hari. Aku tidak
pernah berhenti bertanya kepada ayah kapan ia pulang.
Hari-hariku berlangsung seperti sebelumnya. Hari itu hari Sabtu. Aku tertidur pulas di
tempat tidur. Mataku terbuka pukul 09.00, aku mendengar suara ibu di dapur. Aku segera
menghampirinya dan bertanya-tanya mengapa ibu tidak jualan.
“Bu, mengapa tidak jualan?” kataku bertanya-tanya.
“Ibu kurang enak badan, bulan,” jawab ibu dengan sedikit batuk.
“Mending ibu tidur saja, biar bulan yang melanjutkan masaknya, bu,” sahutku dengan
khawatir.
“Terima kasih ya, Bulan, ibu istirahat dulu,” kata ibu.
“Iya bu, setelah ini Bulan ke kamar ibu, bawakan obat,” jawabku.
Ibu berjalan kamarnya dan merebahkan badan. Aku melanjutkan masak yang dimulai ibu
tadi, dari dapur aku beberapa kali mendengar ibu batuk. Aku merasa cemas, takut ibu kenapa-
kenapa. Dengan cepat aku mengambilkan ibu makan dan membawakan obat, aku
mengantarkan ke kamarnya. Aku menyuapi ibu dan memberikan obat. Tidak lama setelahnya
ibu tertidur pulas. Aku segera membersihkan dapur yang kotor dan mengisi perutku. Pagi itu
aku rindu ayah. Sudah 12 hari ayah tidak menghubungi, sibuk katanya. Handphone ibu
tergeletak di atas meja, aku mengambilnya dan menghubungi ayah, namun tidak di jawab.
Ingin sekali aku menghampiri ayah ke tempat kerjanya, tetapi ibu tidak mengizinkan.
Malam hari tiba, aku dari tadi tidur di samping ibu. Badan ibu panas, aku khawatir.
kubangunkan ibu dan membawanya ke puskesmas. Ibu mendapatkan obat resep dokter, lalu

An Anthology of Time | 5
kita pulang. Dalam perjalanan pulang, aku mampir ke penjual sate. Ibu lapar belum makan,
kita berdua makan di pinggir jalan. Saat pesananku dan ibu belum datang, ibu tak berhenti
berkata kalau ia sangat rindu ayah. Sampai malam itu juga, ayah belum menjawab pesan yang
aku kirim tadi pagi. Setelah beberapa menit berbincang dengan ibu, akhirnya pesananku dan
ibu datang. Ibu makan dengan lahap, hatiku teriris-iris melihat ibu sakit tetapi ayah tidak
menghiraukannya. Hari itu pandanganku terhadap ayah tidak lagi sama. Ayah tidak
meluangkan waktu untuk keluarganya, aku terus berpikir ayah sudah melupakanku dan ibu.
Aku kecewa. Setelah beberapa jam di sana, aku dan ibu pulang ke rumah naik angkot. Sudah
20 menit di dalam angkot, akhirnya sampai di rumah. Aku langsung mengantarkan ibu ke
kamarnya. Malam itu aku bermalam dikamar ibu, aku tidur sembari memeluk ibu dengan
erat.
Besok paginya, aku bangun dan meraba kasur sebelah kananku. Ibu tidak ada, aku berdiri
dan langsung mencari ibu, ternyata ibu memasak di dapur. Hatiku lega, aku menghampirinya
dan mengangkat tanganku untuk memeriksa badan ibu. Badan ibu sudah tidak panas lagi, ibu
sudah sembuh. Tiba-tiba pagi itu handphone ibu berdering, seseorang menelepon. Ternyata
itu adalah ayah, setelah 1 minggu tidak mengabari akhirnya ayah menelepon. Aku
memberikan handphone-nya kepada ibu, namun ibu tidak ingin menjawabnya. Ibu sama
sepertiku, terlanjur kecewa dengan ayah karena tidak mengabari sama sekali. Ayah terus
menghubungi ibu, namun ibu tetap tidak menjawabnya, bahkan handphone ibu dimatikan.
Pagi itu ibu diam saja, tidak mengeluarkan suara sama sekali. Aku bingung.
Sore harinya, terdengar suara mobil mendekati rumah. Aku keluar rumah dan itu ayah,
aku memang rindu ayah, tetapi aku sudah tidak tahu harus berekspresi seperti apa saat ayah
pulang karena dia tidak pernah menanyai kabar keluarganya. Ibu hanya diam saja dan bahkan
tidak menghampiri ayah sama sekali. Ayah melangkahkan kaki memasuki rumah, aku hanya
diam saja dan salim kepada ayah. Tidak tahu apa yang terjadi, ayah tidak mengobrol dengan
ibu. Ayah lebih memilih tidur dengan temannya dari pada dengan ibu. Keadaan rumah sangat
sepi meski ayah datang, bahkan tidak ada suara keluar sama sekali.
Langit mendung, hari Senin aku seharusnya sekolah, Tapi hari itu aku tidak sekolah, aku
bolos. Tidak lama ayah datang dari rumah temannya dan mengajak berbincang satu sama
lain. Ayah masuk ke kamar ibu.
“Bu ayah minta maaf, ayah tidak mengabari ibu,” kata ayah.
Namun, ibu tidak menjawabnya, aku masuk ke kamar ibu dan bertanya kepada ayah.
“Ayah kenapa tidak pernah mengabari kita?” tanyaku dengan nada tinggi.
“Ayah minta maaf bulan, ayah sangat sibuk,” jawab ayah.
“Ayah kurang memperhatikan keluarga! Ayah lupa sama ibu dan bulan? Meskipun ayah
sibuk harusnya sesekali hubungi ibu,” sahut ibu dengan nada tinggi.
“Iya bu, ayah minta maaf, ayah kurang ada waktu untuk kalian,” jawab ayah dengan
pelan.
Di situ aku keluar kamar, ayah dan ibu masih berdebat. Harusnya saat ayah pulang rasa
rinduku terbalaskan, tapi ayah membuatku kecewa. Kakiku melangkah ke kamar, di pagi itu
hujan turun dengan deras. Aku mengunci pintu kamar dan mendengarkan musik dengan
kencang agar tidak mendengar suara ayah dan ibu yang berdebat dengan nada tinggi. Aku
masih bertanya-tanya mengapa ayah semalam tidak langsung minta maaf dan lebih memilih
tidur di rumah temannya. Sesekali aku mematikan musik di handphone-ku, namun suara ayah
dan ibu sangat terdengar jelas, aku meringkuk ketakutan dan berusaha menguatkan diri.
Setelah beberapa jam telingaku mendengarkan musik yang kencang, aku memberanikan diri

An Anthology of Time | 6
untuk mematikannya. Rumahku sepi, aku keluar kamar. Ayah duduk di teras depan rumah
dan ibu di kamar. Kakiku menuju dapur, aku lapar sekali, biasanya ayah pulang membawa
makanan, tapi kali ini berbeda, ayah tidak membawanya. Ini bukan ayah yang aku kenal.
Jam dinding menunjukkan pukul 14.00, aku memutuskan untuk tidur meski tidak
mengantuk. Aku berusaha melupakan semua yang terjadi. Tiba-tiba ayah mengetuk pintu
kamarku pukul 20.00 dan mengajakku duduk di ruang tamu. Di sana sudah ada ibu.
“Bulan, ibu, ayah minta maaf atas semua yang terjadi,” kata ayah.
Aku dan ibu terdiam.
“Ayah salah, ayah tidak meluangkan waktu untuk kalian, ayah tidak pernah pulang ke
rumah, bahkan ayah tidak tahu kalau ibu pernah sakit,” sahut ayah dengan pelan.
Aku dan ibu hanya mendengarkan ayah berbicara tanpa keluar satu kata sekalipun
“Bulan, ibu, ayah minta maaf. Ayah hanya berpikir kalau ayah harus terus bekerja untuk
kalian, ayah tidak sadar bahwa yang kalian ingin bukan ayah yang bekerja, tetapi kalian
hanya ingin adanya kehadiran ayah,” kata ayah dengan suara kecil.
Saat itu juga ibu meneteskan air mata.
“Ibu rindu ayah yang dulu,” jawab ibu dengan tetesan air mata yang turun.
Sesaat setelah ibu bicara, aku dan ayah menangis. Ibu rindu ayah yang dulu, begitu juga
aku. Ayah memeluk ibu dan aku. Kita meneteskan air mata. Setelah kita menenangkan diri,
ayah bicara.
“Ibu, bulan, ayah sudah kembali bekerja seperti dulu,” kata ayah.
Lagi-lagi aku dan ibu hanya terdiam
“Sebenarnya ayah masih bisa bekerja di sana, tetapi ayah tidak ingin hal seperti ini terjadi
lagi,” kata ayah.
“Baiklah ayah, bulan rindu sekali sama ayah, Bulan pernah satu kali kecewa sama ayah,
jangan diulangi ya ayah,” sahutku.
Malam itu ayah juga memberi alasan mengapa ayah tidur di rumah temannya. Kata ayah,
ayah menunggu waktu yang tepat untuk mengobrol. Tidak ada kata lelah, aku, ibu, dan ayah
berpelukan sekali lagi. Aku rindu suasana ini, aku rindu ayah pulang malam dan
membawakan ayam kesukaanku. Pada saat itu ayah juga menyuruh ibu untuk tidak berjualan
lagi. Ayah tahu ibu sakit karena lelah jualan. Malam itu pukul 21.30, aku dan keluargaku
makan bersama di ruang makan. Aku sangat merindukan suasana ini, aku dan ayah banyak
sekali berbincang, mulai dari tempat kerja ayah, ayah juga menanyakan bagaimana
sekolahku. Setelah 1 jam duduk di ruang makan, aku berdiri dan berjalan ke kamar. Aku
duduk di tempat tidur dan aku bermain handphone sebentar. Tidak lama kemudian ayah
masuk ke kamar dan memberikanku hadiah, itu jam tangan. Ayah juga banyak memberikan
banyak pesan kepadaku. Setelah itu, ayah menyuruhku untuk tidur karena besok sekolah.
Matahari pagi bersinar terang. Aku sudah siap untuk berangkat sekolah, ayah
mengantarku sekolah sekalian dengan berangkat kerja. Sebelum berangkat aku juga sarapan
nasi goreng buatan ibu bersama ayah. Mulai sekarang aku bisa merasakan nasi goreng buatan
ibu setiap hari. Mulai hari ini juga, aku tidak menaiki angkot untuk berangkat sekolah. Ayah
tidak lagi berangkat kerja pukul 05.25, karena kantor ayah sudah berpindah lebih dekat dari
rumah. Sesampainya aku di depan gerbang sekolah aku berpamitan dengan ayah. Aku
menjalani hari dengan hati yang senang. Ayah sekarang selalu meluangkan waktu untukku,
begitu juga ibu.

An Anthology of Time | 7
Aku, Kamu, dan Laut.
Ananda Putri Nabila

Semilir angin sore berhembus lembut menerpa pipi dan membuat rambut pendekku
sedikit bergoyang, dengan dihiasi corak jingga di langit indah itu. Layaknya perasaan, ada
yang terang namun di sisi lain diselimuti kegelapan. Pantas saja, namanya juga kehidupan. Di
sinilah aku, gadis muda berseragam abu-abu yang tengah duduk di pinggiran pantai dengan
pandangan khasku. Nabila, panggilan dari orang-orang dekatku. Trianna —sebut saja begitu
— adalah sebuah nama yang kubuat sendiri untuk melabeliku. Pantai dan laut adalah tempat
paling tenang yang pernah ada, sudah menjadi list di rutinitasku untuk duduk di desiran
ombak tiap minggu.

“Wah wahhh, nampak muram sekali rupanya wajah gadis muda ini... ada apa puan?, kau
sedang tidak ingin menenggelamkan diri bersamaan dengan beban hidupmu, bukan?” Celetuk
pemuda tampan karismatik yang tiba-tiba saja berdiri 1 meter di sebelahku. Aku menoleh
dengan menyipitkan kedua mataku yang minus seperempat untuk memperjelas pandanganku.

“Memangnya menikmati indahnya senja di pesisir pantai selalu berkonotasi dengan


kesedihan? Kau saja belum tahu makna sebuah senja yang bisa menggambarkan ketenangan”.
Jawabku dengan ketus karena merasa sedikit kesal dengan pernyataan pemuda itu.
Lantas pemuda itu duduk di sebelahku mengacak rambut pendek wolfcut -ku pelan
sambil mengatakan “Tenang kok dicari, bukannya ada ketenangan di tiap-tiap sesuatu
didunia ini yang mungkin belum kau sadari?” Wah.. apa benar begitu? Ku menghela napas
kasar sembari menjawabnya.

“Aku tiba-tiba berpikir, Dewa Tartarus yang akan selalu ada di tiap-tiap urusan manusia”
ujarku yang tiba-tiba saja menyinggung dewa-dewi legenda Yunani Kuno —sepertinya
memang aku terlalu banyak membaca dongeng Yunani— tapi bukankah benar begitu? Dewa
Tartarus alias sang pemberi kegelapan selalu memiliki jatahnya tanpa batas untuk
memberikan kegelapan di sebuah masalah di mana manusia hidup pun untuk menyelesaikan
masalah itu dan mencari kunci terang.

Ntah beberapa lama kemudian aku beradu diam dengannya, hening, tak ada dialog antara
kami berdua. Hanya terdengar khasnya desiran ombak pantai dan semilir angin sore. Kicauan
burung yang melayang terbang beraturan, sepertinya tengah sibuk saling menjalin pertanyaan
“Pulang ke arah mana?”. Disusul dengan terpaan ombak yang menyapa pipiku setengah
menit lalu —kalau tidak salah hitung— masih kuberikan gelar labil pada diriku yang sudah
hampir menginjak delapan belas tahun ini.

Tiba-tiba saja pemuda itu menarikku berlari ke arah laut. Spontan aku memberontak “HEI
APA YANG KAU LAKUKAN? STOP! STOP!” aku berteriak dan mencoba melepas
genggamannya, namun naas ototnya yang besar mengalahkan tenagaku. Saat itu yang
kurasakan hanya takut dan tak bisa bernapas —aku tidak bisa berenang dan menyelam—
disusul dengan suara kicauan burung Cikalang yang semakin memudar. Gelap, hening, dan
tak bisa apa-apa.

An Anthology of Time | 8
Kubuka mataku dengan tubuh yang terbaring di atas tempat tidur besar berwarna putih
bersih yang di sekelilingnya dihiasi ukiran berwarna biru. Sepertinya tempat ini tak terlihat
sangat asing... Ya benar, aku ada di dasar laut sekarang. Terdengar suara decitan pintu
terbuka dari sisi kananku. Lagi-lagi pemuda itu, batinku sambil memutar kedua bola mataku
kesal.

“Bagaimana tidurmu, Tuan Putri?” Tanya sang pemuda sambil berjalan mendekat ke
arahku.

“Hei tuan, kau sebe-”

“Aku siapa? Kau ingin menanyakan itu bukan? Ck, pertanyaan klasik” Potongnya.
Dengan tak menggubrisku, pemuda itu menarikku keluar, dan anehnya aku bisa bernapas dan
menyelam.

Sekitar sepuluh menit aku dibawanya pergi mengelilingi kota laut yang gelap, sangat
asing dan tampak kelam bagiku. Namun, kulihat raut wajah orang-orang yang berlalu-lalang
nampak sangat bahagia dan dikelilingi ketenangan. Di tiap raut wajahnya, ada mutiara kecil
terbang yang bersinar menyinari wajah bahagia mereka.

Di sela-sela perjalanan, kutanyakan nama pemuda itu “Tuan, jika boleh tau, namamu
siapa?”. Sindunath, jawabnya singkat tanpa menolehkan wajahnya padaku —cukup indah
untuk nama seseorang yang selalu membuatku kesal—  kupanggil namanya dengan sebutan
Ndu.

Tak terasa kedua kakiku telah berjalan cukup jauh, Ndu membawaku duduk di sebuah
taman laut yang isinya hanya dihiasi gemerlap mutiara-mutiara kecil dan beberapa orang
yang ada di sana. Ku di sebelahmu nyanyian itu keluar dari mulut Ndu sembari duduk di
samping kananku. Di tiap kursi taman itu kudapati banyak sekali orang yang tengah berdebat.
Antara ayah dan anak perempuannya, ibu dan anak laki-lakinya, suami dan istrinya, serta
kakak dan adiknya.

“Lihatlah mereka, tampak suram dan kelam bukan?” Tanya Ndu padaku.

Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala dan tatapan kosongku. Dia menanyakan
hal itu seolah-olah sudah tau perasaanku saat ini. Di antara mereka yang sedang bertengkar,
suara gemuruh dan angin kencang seakan ingin menerpa seluruh samudra.
Seketika aku terdiam, mengingat semua kejadian di rumah yang membuatku harus
menatap desiran ombak pada saat itu.

“Ndu, aku ingin-”

“Apa? Kau ingin menceritakan sesuatu tentang apa yang kau rasakan? Iya? Atau... ingin
bercerita sedikit tentang keluarga yang menyebabkanmu sedih? Iya, bukan?”

An Anthology of Time | 9
Belum selesai aku mengajukan tawaran, Ndu memotong dengan pertanyaannya yang
membuatku semakin mematung. Semenit dua menit aku mencerna semua apa yang terjadi,
seketika isi kepalaku menjadi berisik, banyak suara-suara yang tak ingin kudengar, banyak
hal yang tak kuinginkan, banyak hal yang belum kugapai.

Kuceritakan tiap kisah di lembaran hidup yang kujalani kepada Ndu. Iring-iringan derita
yang menjamu dari masa lalu. Menyambut hari ini sebagai kemenangan. Namun, tubuh dan
mata disusupi setan dari kelelahannya sendiri. Menganggap barisan ingatan itu, sedang
meminta tebusan, untuk tidak semakin buas. Padahal mereka sang carut marut itu... Kerutan
di kening dan ujung mata itu... Sedang merayakan syukur karena merasa terhormat telah
menjadi bagian dari bagaimana satu jiwa tumbuh. “Bukankah kita adalah macam-macam
kejutan? Dari satu yang hancur menjadi bentuk lainnya, dari satu bentuk ke tumbuh baru”.

***

Tepat pada ulang tahunku yang ke-12 tahun, ada kue kecil putih yang dihiasi whipped
cream mawar berwarna merah rose yang di atasnya juga terdapat tulisan selamat ulang tahun.
Kue itu dihadiahkan oleh keluargaku di sebuah kamar berukuran 5×5m² ba'da isya. Momen
itu merupakan suatu hal yang sangat berarti bagiku. Seiring bertambahnya waktu dan umur,
kue itu sudah tak pernah nampak lagi di hadapanku. Pudar, kemudian menghilang.

Semakin dewasa, semakin kuingin memupuk keinginan, memupuk harapan. Berharap


bisa membanggakan orang tua, berharap bisa diterima society, berharap bisa dengan mudah
mendapatkan ini dan itu.

Ketika aku duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, aku merasa itu adalah masa
paling menyenangkan. Ragaku hanya terpaku pada kegiatan luar, tapi tidak dengan
akademikku. Suatu ketika, ketika pembagian rapor, ranking satu yang seharusnya kududuki,
ternyata digantikan oleh orang lain, hal itu yang membuat orang tua dan keluargaku kecewa.

“Hei gadis! Bagaimana kau ini, sudah tidak becus di rumah sekarang disekolah pula?”
Bentak ayahku.

Aku hanya bisa diam, dan diam, menahan rasa sesak yang menyeruak, sakit. Tak hanya
itu, diikuti oleh beberapa bentakan lagi dari ibu, serta cemoohan dari nenekku. “Nabila,
sungguh kau tak berguna!” Gumamku sambil menahan air mata.

An Anthology of Time | 10
Ku kunci pintu kamar agar tak ada seorang pun yang tahu bahwa raga yang mereka kira
kuat ternyata juga bisa rapuh. Isi kepala seakan berantakan, kusut dan tak dapat berlepasan.
Ku tutup mataku, sembari mengistirahatkan hati dan jiwa. Hembusan demi hembusan napas
mulai terdengar, gelap, lalu lelap.

***

Aku terbangun karena suara alarm dengan dering ringtone yang cukup keras. Saat itu aku
adalah seorang gadis muda berusia 17 tahun, duduk di bangku kelas 11 SMA, suka coklat dan
matcha tak lupa novel Laut Bercerita yang selalu kugenggam, cukup cerewet dengan tinggi
badan sekitar 150cm dan yaa.. kurang lebih seperti itu.

Suatu hari di mana aku memakai seragam coklat muda dan tua, jam dinding menunjukkan
pukul 15.30. Aku pulang dengan membawa lembaran kertas ulangan matematika yang
berhasil kuraih semampuku meski babak belur.

“Jika kau berjuang lebih baik, kau pasti akan mendapatkan nilai sempurna” Kata ibu
ketika kutunjukkan kertas itu.

Ya Tuhan, semoga aku tidak menghabiskan waktu seumur hidup untuk memenuhi
ekspektasinya. Aku muak sekali mengikuti kemauannya yang tak pernah merasa cukup.

“Bu, ini saja aku sudah berusaha semaksimal mungkin, kini Ibu membuatku merasa
semakin menyesal dan merasa jauh lebih tidak berguna. Kau membuatku tak pernah merasa
cukup. Kau tahu itu, Ibu?” Balasku padanya saat itu.

Padahal setiap pulang ke rumah, aku harap kami tidak perlu bertengkar. Sebetulnya yang
lebih menyakitkan, adalah upaya menyampaikan perasaanku membuatku seperti anak yang
durhaka. Hal itu membuatku merasa sangat buruk. Padahal, kan, dia memang berhak tau.

Ibu juga tetap memaksaku untuk masuk ke fakultas kedokteran demi masa depanku. Tapi
aku terus menolak hingga hubungan kami terkadang renggang. “Silahkan lakukan dengan
caramu. Pada akhirnya, jika kau tidak berhasil, kau pasti mencariku”. Katanya.

Ucapannya membakar semangatku. Di tahun kedua aku bersekolah di SMA, semangatku


untuk mencari ilmu bergejolak walau terkadang ingin runtuh. Lambat laun, rasa itu terkadang
memudar dan terkadang tidak. 1 bulan, 2 bulan, bulan selanjutnya aku merasa seperti sampah
masyarakat. Aku takut ucapan ibu benar.

Selama ini, aku harus mengikuti kemauan Ibu sampai aku tidak tahu bagaimana caranya
mengambil keputusan untuk hidupku. Ya Tuhan, ini berbahaya. Aku sangat ketakutan.

Awan, teman kecilku tahu bahwa keadaanku kacau. Dia sering datang ke kamar tidurku
atau mengajakku ke kedai kopi. “Bagaimana menggambarmu?” tanya Awan suatu hari. “Yah
begitulah. Setiap hari aku hanya duduk di meja dan menggambar, seperti tidak punya
kehidupan. Aku takut ibuku benar, aku orang yang tidak bisa apa-apa jika tidak diarahkan
olehnya”.

An Anthology of Time | 11
“Nah, hati-hati. Gara-gara itu juga ada banyak hal yang kau lewatkan. Sepertinya kau
harus membuka kacamata kudamu” Ucap Awan.

Aku tidak mengerti ucapannya. Dia ini agak-agak sepen Epictetus, seorang filsuf yang
hidupnya jadi budak. Tapi justru dia adalah orang paling merdeka yang kukenal. Dia tampak
tidak dikendalikan keadaan, dia mengendalikan dirinya sendiri. Terbalik denganku, keadaan
rasanya mengendalikanku sebagai budak kehidupan.

***

Tiada doa yang mampu menerangi manusia yang masih hidup. Jika dirinya tidak mau
berusaha.

“Ukhukuhuk!”

Tubuhku tiba-tiba terkejut untuk mencari napas yang sepertinya dihentikan oleh asmaku.
Napas yang kuhirup terasa berat. Di sela-sela sengalan, jemariku mengeras mencengkeram
ujung kemeja putih yang ku pakai saat itu. Serangan panic dating seperti biasa. Perutku terasa
mual, leherku mulai merinding, disertai jantung lemah yang mulai berdebar kencang diikuti
keringat dingin yang mengucur deras.

Kucoba untuk membiarkan raga ini duduk, mengatur semua yang ada. Perlahan, napas
yang ku hirup sudah mulai menjinak, detak jantungku sudah tidak lagi seperti ingin berburu
hewan buas.

Hari ini, Sabtu yang tidak kelabu-kelabu amat, biru langit yang jarang awan
menghembuskan anginnya ke sela-sela setiap pohon di bumi. Aku putuskan untuk berdiam
diri di rumah sambil merehatkan jiwa dengan melakukan sesuatu yang kusuka. Ya, benar!
Kuhabiskan waktu sepanjang hari untuk melukis.

Pada kanvas berukuran 30x40cm itu, ku lukis dua insan yang saling berdansa. Kuhiasi
dengan beberapa bekas lipstick dari bibir mungilku —yaa setidaknya menurutku itu unik dan
bagus— ketika lukisan itu hampir selesai, kudengar suara Ayah yang cukup lantang
memanggilku. Langsung saja kuhampiri, karena jika tidak segera kutemui, mungkin trompet
pertanda Perang Dunia III akan ditiup.

“Bantu adikmu menyelesaikan pekerjaan rumahnya!” Perintahnya sambil memberiku


buku tebal berisi soal yang harus kuselesaikan.

An Anthology of Time | 12
“Tapi kan, Yah, aku sakit. Lagi pula aku yakin adik bisa menyelesaikan semua ini, jika
butuh beberapa bantuan tanyakan saja padaku” Tolakku, karena aku merasa belum terlalu
sehat untuk mengerjakan sekitar 50 soal matematika.

“Mau jadi apa kau nanti? Minta bantuan sedikit saja sudah malas-malasan! Tak berguna!”
Jawaban Ayah dengan nada yang sedikit meninggi membuatku langsung mematung seketika.

“Aku? Aku… Tak berguna? Lalu bagaimana dengan adik yang tiap harinya hanya
menonton televisi dan menghibur dirinya sendiri sedangkan aku yang mati-matian untuk
bertahan dan berjuang di sini? Apa aku harus menunjukkan beberapa pasal yang ada dalam
Undang-undang tentang keadilan pada anak?” Batinku.

Seketika langsung ku kerjakan semua soal yang ada di dalam lembaran buku itu. Meski
dengan dada yang terasa sesak dan tetes air mata yang hampir jatuh, tangan kananku terus
bergerak dan mengikuti alur.

Banyak sekali suara terperangkap yang ingin ku suarakan. “Ayah, Ibu.. Anakmu ini bisa
lelah. Bisakah untuk sebentar saja seisi dunia berpihak padaku? Apakah semua akan baik-
baik saja? Bolehkah aku untuk tetap berada dalam dekapanmu? Maukah kau mencium
keningku dan mengusap ubun-ubun ku lagi? Aku masih ingin bermimpi untuk beberapa
waktu ke depan. Mungkin, jika kau tau seberapa lelahnya aku, kau akan bersikap jauh lebih
baik padaku” Pikirku.

Tidak ada anak yang ingin terlahir, anehnya orang tua selalu menyalahkan. Aku sering
merasa dipojokkan berkedok ‘nasihat’ dari kedua mulut mereka. Rumah yang kukira nyaman
untuk kujadikan tempat pulang ternyata tak lebih baik daripada pinggir jalan.

“Kamu gaboleh capek”

“Capek ngapain kamu? Kerjaannya main hp aja!”

“Gitu aja gabisa”.

Dialog itu seakan-akan terus melilit benang lurus yang ada di dalam kepalaku. Namun,
kucoba untuk memulihkan diriku sendiri, lelah memang.. Tapi, mau bagaimana lagi?

Suara-suara itu meronta berebut podium tentang siapa yang paling salah. Suara-suara itu
meminta tempat paling aman untuk mendarat. Suara-suara itu menghakimi kenapa tidak
pernah diberi izin untuk hidup sebagai kenyataan. Suara-suara itu menetap karena kita
memotong sayapnya tapi menyalahkan kenapa tak pernah terbang. Suara-suara itu, suaramu,
yang tak pernah kau suarakan. Suara-suara itu akhirnya mensunyikan dirimu sendiri.

***

“Matilah engkau mati, kau akan lahir berkali-kali…”

An Anthology of Time | 13
Saat aku berumur 17 tahun, untuk pertama kalinya aku mengalami ledakan di perutku
seolah ada perayaan tahun baru di dalamnya. Aku menyimpan rasa lebih kepada seorang
pemuda bernama Arjuna.

Meski namanya mirip salah satu tokoh yang ada di series Mahabharata, Juna —aku
memanggilnya seperti itu— ia bak malaikat yang bisa meluluhkan hatiku dengan busur panah
asmaranya. Dengannya aku jadi senang melakukan apa saja. Salah satunya makan.

Kau tau, makan itu seperti mengerjakan PR. Tapi dengan Juna, aku baru tahu makan
adalah sesuatu yang lebih dari itu. Kami makan waffle, es krim, bolu, siomay, telur gulung,
nasi goreng, semua yang dia suka, jadi kusukai juga.

Lalu ketika kami sedang kencan serius, aku dipinjamkannya jaket dan membiarkanku
menyimpannya. Kami juga paling suka pergi ke bioskop. Kami bodoh dan menyenangkan.
Dan justru karena merasa bodoh, kami ingin belajar menikmati dunia. Dan dunia lebih enak
dinikmati berdua. Lima bulan bersama Juna merupakan waktu bagiku merasa begitu berarti
sebagai manusia. Aku dicari, aku dibutuhkan, aku dicintai, aku mampu membahagiakan. Aku
ingin bersamanya selamanya.

“Kau tahu, aku sudah mencintaimu lima juta detik!”

“Aku sudah 5,5 juta detik karena aku yang lebih dulu suka padamu!” Balas Juna di
aplikasi chat.

Sampai suatu hari, kami menemukan ujung dunia. Juna akan ikut dengan orang tuanya
dan bertempat di luar kota. Hubungan kami berakhir, Juna menganggapku tidak
menyayanginya, karena aku tidak bisa mengikuti kemauannya untuk pindah di kota tempat ia
akan menetap.

“Aku berhak mendapatkan wanita yang lebih baik,” ucap Juna sebelum kami putus.

Cinta memang bisa membuat orang bodoh. Aku contohnya, karena aku mempercayainya.
Kami berpisah dan aku merasa tidak bernilai. Eh, tidak sampai di situ. Aku jadi malas
memikirkan bagaimana ke depannya. Paksaan ibuku agar aku kuliah di Jurusan Fakultas
Kedokteran terus menerus menyerangku. Aku menolaknya, karena, apa itu kedokteran?
Sayangnya aku tidak punya keberanian melawan. Ibu tak pernah memberi ruang diskusi, atau
membuat anaknya sendiri menyampaikan keinginannya dan menganggapnya itu hal yang
penting.

Pada keadaan tertentu, aku merasa, aku tidak punya kuasa atas hidupku sendiri. Sebentar,
apa ini termasuk rencana Tuhan? Karena masa mudaku bak badai katrina, dan aku ada di
dalamnya.

Bertemu dengan seseorang yang hadir jadi penyembuh tetapi berakhir jadi luka baru yang
lagi-lagi harus disembuhkan adalah pengalaman yang menyakitkan. Setelah berpisah dari
Arjuna, disambung kesedihan yang tiada ujungnya, kesepian dan kehilangan hebat nan

An Anthology of Time | 14
panjang menyambar. Aku mengalami depresi yang cukup berat. Ibuku tidak membantu sama
sekali. Dia malah menyuruhku banyak bersyukur.

Aku menaikkan volume musik di kamar, menangis di sudut tempat tidur karena tiba-tiba
ada banyak sekali suara di kepalaku; tawa, tangis, amarah. Aku terus menangis sampai aku
kelelahan dan tertidur.

Esok harinya aku terbangun dengan keadaan diri yang terasa sepenuhnya baru dan
berbeda. Aku tidak merasakan warna di sekitarku, semuanya tampak hitam, putih, dan abu-
abu. Kupaksakan untuk bangun dari tempat tidur dan aku merespons orang-orang hanya
seperlunya, berusaha bertahan dari suara-suara destruktif yang masih tersisa di dalam kepala.
Begitu keadaanku berbulan-bulan.

Akhirnya aku mendatangi psikiater yang disarankan. Psikiater itu sudah memiliki
beberapa data tentangku, tetapi ia masih perlu menanyakan beberapa pertanyaan untuk
memastikan kondisiku. Pada pertemuan kesekian, akhirnya aku diresepkan dua jenis obat
yang mulai kukonsumsi secara rutin.

Sebelum meresepkan obat, psikiaterku itu sempat bertanya, “Apa suara di kepalamu
mengganggu sampai mempengaruhi keputusan-keputusan di keseharianmu?”

Kujawab, “Mungkin iya. Suaranya menyebalkan, tapi aku sudah tidak begitu merasa
terganggu. Semua kegiatanku memang berantakan tapi bukan karena suara itu. Memang aku
saja yang berantakan. Justru dengan suara itu aku jadi merasa punya teman yang jauh lebih
menderita,”

Yang membuatku merasa tidak berfungsi normal adalah ada hebat atas apa yang kubenci
dari hidupku, tapi tidak bisa melawannya. Aku memilih diam di kamar, menggambar banyak-
banyak, tetapi melupakan tanggung jawabku.

Pada pertemuan lainnya, psikiaterku menjelaskan, ‘Keinginan untuk mengenyahkan rasa


sakit adalah hal yang wajar. Beberapa orang memang bisa melenyapkannya, tetapi, begini,
ketika tubuhmu berusaha untuk melenyapkan rasa sakit, kau membuat salah satu bagian dari
otakmu untuk tidak berfungsi, yang mana, kau juga membuat tubuhmu tidak bisa merasakan
kesenangan tertentu. Rasa sakit itu berasal dari stressor, dan stressor itu sebetulnya
menyehatkan jika dihadapi dengan baik,”

Saat aku memproses pertanyaan itu, suara di kepalaku sempat berteriak, “Mana ada
penyebab stress yang sehat? Wah psikiater ini sepertinya perlu pertolongan juga!”

Aku hampir tertawa, tetapi kembali fokus. “Oke, tetapi dalam kasusku, semua stressor
dan rasa sakit membuatku berantakan, bukan? Lalu bagaimana bisa stressor itu baik untukku?
Boleh tidak sih aku tidak ingin memiliki masalah saja. Atau, adakah obat untuk
menghilangkan rasa sakit ini?”

An Anthology of Time | 15
“Biar kusederhanakan analoginya. Bayangkan stressor atau penyebab rasa sakitnya ada di
angka 10. Untuk membuat itu menjadi sesuatu yang lebih sehat, adalah kemampuan
mengolah yang setidaknya ada di angka 8-10. Apa yang meningkatkan kemampuanmu
mengolah? Adalah keinginan untuk menghadapi. Jadi kabar buruknya, kau tidak bisa begitu
saja menghilangkan semua rasa sakit atau masalah yang ada tanpa kau hadapi dan
selesaikan,” jelasnya.

Aku termenung cukup lama, yang dikatakannya itu pahit. Aku hanya ingin sembuh, dan,
oh, mengapa rasa sakit ini tidak seperti sakit gigi yang bisa dihentikan sekali minum obat
saja.

“Agak aneh karena aku jadi kesulitan menggambar lantaran emosiku terasa datar, tetapi
jadi lebih mudah bagiku untuk kembali berkuliah. Aku jadi punya sedikit keberanian untuk
datang ke sekolah dan menghadapi tugas-tugas maupun materi-materi baru,” jawabku.

“Wajar kau merasa datar. Tapi sebetulnya tidak, hormonmu bekerja secara seimbang.
Kemarin, hormon stressmu yang bekerja terlalu banyak. Jadi, datar yang kau rasakan
mungkin keadaan stabil yang baru tubuhmu alami. Lalu, bagaimana dengan suara di
kepalamu?”

“Tidak hilang, bahkan kadang makin menjadi. Tapi menariknya, jadi ada suara lain yang
muncul di kepalaku,”

“Suara lain?”

“Ya, suara lain yang tugasnya menenangkan suara yang ter-dengar seperti monyet yang
loncat-loncat dan terus-terusan cemas ini,”

Psikiaterku mengernyit, entah itu pertanda baik atau tidak.

Tak lama setelahnya, dia pun tersenyum, lalu bertanya lagi, “Apakah keberadaan suara
baru, atau kedua suara itu mengganggumu?”

Aku mengerti psikiaterku sebetulnya khawatir. Suara di kepalaku ini adalah hal yang
sepenuhnya aneh, tetapi aku menikmatinya. Aku tahu mereka bukan sesuatu yang berbahaya.

“Sejujurnya mereka tidak mengganggu. Bahkan... sepertinya aku agak menikmatinya.


Aku jadi merasa punya teman, dan kadang kami melakukan hal-hal menyenangkan bersama,”

Psikiaterku hanya mencatat sesuatu dan berpesan jika suatu hari suara-suara itu
memperburuk keadaanku, jangan segan-segan untuk menceritakannya.

***

Tak terasa sudah sekitar 2.700 detik aku duduk di kursi taman laut bersama Ndu dan
menceritakan tiap bait paragraf yang ada di dalam hidupku. Kudapati Ndu sedang menatap
kedua bola mataku lekat sambil tersenyum —matanya indah bak mutiara ungu— 12 detik

An Anthology of Time | 16
yang cukup lama untukku. Usapan telapak Ndu di atas kepalaku membuyarkan lamunanku
padanya.

“Tuan Putri, kau sedang tidak terpesona padaku, bukan?” tanya Ndu mengejekku.

Kubuang wajahku yang sudah dihiasi warna pink di kedua pipi ini. “Tidak” Jawabku.

Sindunath mulai berdiri dan mengelilingiku sambil memberiku saran terhadap badai yang
sekarang sedang kuhadapi ini.

“Trianna, kau adalah gadis muda yang sejak kecil sudah dituntut untuk menjadi
sempurna, ya?” Ndu memulai interogasinya.

“Okelah, mungkin tidak segamblang itu. Tapi mungkin, kau dituntut untuk selalu
bertingkah laku baik, dilarang untuk menangis, dipaksa untuk menyampingkan rasa
penasaran agar tidak berulah, dibanding-bandingkan dengan anak lain, dan diberi banyak
tuntutan untuk jadi ini-jadi itu. Intinya semua itu mengarahkan kamu untuk menjadi
sempurna. Perlu kau ketahui, tidak ada orang tua yang sempurna, karena mereka juga
manusia. The thing is, a perfect parent doesn’t exist,” lanjutnya.

“Tapi sebagai orang tua, mereka harusnya belajar, agar anak-anak mereka tidak
memberontak dan menjadi seperti ini,” Ujarku ingin membela diri.

“They do care, cuma kebanyakan orang tua mengira, memenuhi kebutuhan fisik aja udah
cukup. Makan kita, kebersihan kita, dan kenyamanan kita, those are very important, too, dan
aku nggak menyalahkan orang tua di sini, karena kalau jadi orang tua pun, kita mungkin akan
kewalahan dan belum tentu lebih baik dari mereka. Kita, kita yang merasa this is not enough,
karena mungkin dari kecil, kita sangat diagungkan, semua yang kita inginkan bisa dipenuhi,
bahkan kadang belum kita minta pun udah tersedia. Lalu, kita beranjak dewasa, semua
privilege itu hilang, dan kita merasa nggak sepantasnya diperlakukan seperti itu. Belum lagi
kalau kita punya saudara, atensi orangtua biasanya jadi terpecah, akan lebih banyak teralih
kepada saudara kita yang lebih kecil. Dan, banyak dari kita yang nggak bisa menerima itu,
membuat ini jadi sebuah masalah,” Jelas Ndu.

Diriku kembali mematung, selain mencoba untuk memahami bahwa keadaanku saat ini
sedang tidak baik-baik saja, aku juga mencerna apa yang dijelaskan oleh Ndu. “Jadi, apakah
kuncinya adalah aku dan orang tuaku harus saling memahami? Seperti itu?” Tanyaku.

“Benar, kita dan orang tua kita yang sama-sama tidak sempurna. Orang tua kita tidak
sempurna, mereka juga pertama kalinya menjadi orang tua. Pun kita sebagai anak juga baru
pertama kalinya menjadi seorang anak. Kita sama-sama masih terus belajar untuk
menjalankan peran-peran itu. Saling memaafkan ketidaksempurnaan adalah kuncinya,” Ujar
Ndu sambil sesekali mengusap lembut ubun-ubunku.

Aku hanya bisa mengangguk mengiakan semua yang ia jelaskan dan mulai menerima hal
yang seharusnya aku lakukan.

An Anthology of Time | 17
“Soal lelaki yang bernama Arjuna itu, kau ingin aku memberimu saran tentangnya?”
Tanya Ndu.

“Ya jelas mau lah, pertanyaanmu sungguh retoris Tuan Sindunath,” Tegasku.

“HAHAHAHA baikkah, baiklah. People come and go, Trianna. Kau jangan
menggantungkan kebahagiaan pada manusia lain yang sudah jelas-jelas tidak kokoh,”
Katanya sambil mulai duduk di sebelahku lagi.

“Huft… Soal kehilangan ini memang cukup sulit bukan? Semua orang akan mengalami
yang namanya kesepian. Kalau benar pernah merasakan itu, maka, selamat, kita pernah
mencicipi rasanya loneliness. Kalau nggak ya tinggal tunggu tanggal mainnya. Bukan
mendoakan atau senang, sih. Lebih ke, semua orang akan mengalami fase ini pada akhirnya.
Sebuah fase pembelajaran,”

“Tapi, rasanya sakit sekali Ndu,” Ucapku sambil sedikit meringis.

Ndu menghela napas panjang untuk kesekian kalinya, kali ini ia terlihat jauh lebih serius
daripada sebelumnya —jika boleh jujur ia terlihat sedikit menyeramkan— ia menatapku lekat
sambil merapikan anak rambutku yang berantakan. Ia juga mengeluarkan sesuatu dari dalam
kantung bajunya. Kalung mutiara berwarna ungu yang sangat cantik, ia memakaikannya di
leherku.

Ndu berkata sembari mendekap tubuhku pelan, “Kita sebagai manusia, nggak bisa selalu
bersama. akan ada waktunya renggang, menjauh, berpisah. Kita nggak akan selalu menjadi
prioritas seseorang, dan salah juga sebenarnya kalau kita berpikirnya begitu. Pada akhirnya,
hubungan kita dengan manusia lain nggak selalu bisa diandalkan dan dijadikan prioritas,”

Kurasakan usapan lembut dari tangan Ndu di punggungku, nyaman, dan hangat. Kubalas
dekapan itu erat sambil mengangguk untuk mengiakan apa yang tadi ia ucapkan.

Mataku lelah, kepalaku mulai pusing dan samar-samar kulihat sesuatu berukuran kecil
yang bersinar mendekat menghampiriku dan Ndu. Namun, tak sempat aku melihat benda
apakah itu, semuanya sudah terasa gelap.

***

Kubuka mata dan ternyata aku terlelap di bawah pohon kelapa besar pinggir pantai. Aku
mengusap wajah dengan kedua telapak tanganku dan kejutan! Ada sebuah mutiara kecil dan
sepucuk surat di dalamnya, “Ya Tuhan. Apakah tadi aku benar-benar ke kota dasar laut?”
gumamku. Tunggu dulu, aku merasa ada sesuatu yang aneh di leherku, dan ternyata ada
sebuah kalung mutiara yang sudah terpakai ntah sejak kapan.

An Anthology of Time | 18
Untukmu, Trianna.

“In the wind we hear their laughter


In the rain we see their tears…”

Hai, apa kabarmu baik? Aku juga haik, sepertinya. Aku menulis surat ini setelah sampai
di pantai di mana kau berada, aku mengirimkannya untuk kamu.
Ketika kamu membaca surat ini, Kamu telah bebas. Wujudkan segala mimpimu tanpa
kekangan dan terbanglah jauh mengarungi mimpi yang tak pernah ada habisnya. Jika sedang
lelah, istirahat saja dulu. Bayangkan Tuhan sedang mengusap kepalamu dan tengah berucap
bahwa saat kamu kembali berlari, Tuhan akan berlari bersamamu.
Kamu indah. temukan cinta suci milikmu yang tak akan menyakiti keindahan itu. Tulis
kisah kamu yang telah disetujui dengan bahagia oleh keduanya, bukan salah satunya. Jatuh
oleh cinta itu penuh dengan risiko, mengerti? Jangan sampai ada karma yang menghampiri
dan menghancurkan jiwamu. Karena setiap orang bisa berdamai dengan lukanya, tapi tidak
semua orang bisa sembuh dari luka itu.
Jangan pernah melupakan keberadaanku, ya?

With love, Sindunath.

“Ahh,sudahlah,” Aku bergegas kembali pulang dengan perasaan yang jauh lebih bahagia
daripada sebelumnya. Akan aku simpan surat itu, pasti dan untuk selamanya. Semoga kita
bisa bertemu lagi.

Terima kasih, Sindunath.

Kiranya badai, tidak pernah menguji ketangguhan bahu dan punggung mereka tahu dan
jeli, kita begitu keras kepala mengendalikan dunia, tanpa pernah belajar mengendalikan diri,
bagaimana jadi pelaut, yang sebetulnya memegang roda kemudi. Karena tidak ada badai,
yang berusaha mengendalikan tubuh-tubuh pelaut. Dan pelaut tahu, yang mereka harus
kendalikan, adalah layar, dan arah kemudinya sendiri. Tepuk tanganlah, untuk mereka, dan
dirimu sendiri. Yang menerima, dan mengakui. Semua yang pernah, dan sedang ada. Angkat
doa, dan bersulanglah. Untuk bentuk baru dirimu dan terbukalah, demi Semesta dan dirimu
sendiri. Karena kalian terhubung. Untuk saling membentuk. Dan saling memperjuangkan.

An Anthology of Time | 19
Dan beranilah, Untuk memiliki, ruangmu sendiri. Pulih, dan tumbuhlah. Manusia dan
kemalasannya, gemar mengambil hikmah, ketimbang sikap, mungkin menyerah adalah pintu
pembuka, dari satu dosa ke satu doa. Mungkin mereka, sudah lama terlalu takut, untuk
mengulang. Padahal mereka, tak pernah benar-benar kembali, Menyerahlah, dan berhenti
Melawan dirimu sendiri. Maka peluklah, semua kemungkinan dan kejutan, berserahlah,
maka Semesta akan menyerahkan, semua yang pantas, masuk ke dalam dirimu. Terlahirlah
diri mereka yang baru, berkali-kali.

Mungkin akhirnya tak jadi satu


Namun bersorak pernah bertemu.

***

Tamat

An Anthology of Time | 20
Anak yang Mengangkat Derajat Keluarga
Angger Tuggal W.

Namaku Resa Deri Balande, biasa dipanggil Resa. Profesiku seorang Polisi di kota
kelahiranku. Hidup memang tidak ada yang tahu. Aku tidak menyangka, anak seorang buruh
cuci bisa menjadi anggota Polisi. Terlebih lagi itu bisa mengangkat derajat keluargaku.
Bagaimana tidak aku hanya hidup dengan seorang ibu dan abang dengan ekonomi kategori
pas-pasan. Sedangkan ayahku, beliau meninggal ketika aku duduk di kelas 6 SD dan abangku
saat itu sudah di kelas 1 SMA.  Otomatis hanya ibulah yang menjadi tulang punggung
keluarga kami semasa aku dan abang sekolah. Beliau yang berusaha memenuhi kebutuhan
sehari-hari kami dan membayar uang kontrakan rumah kami.

Setelah abangku menyelesaikan pendidikannya di SMA, barulah ibuku dibantu abangku


dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari kami. Aku ingat betul, begitu berkorbannya ibuku
untuk menghidupi kami. Beliau yang berperan sebagai ibu sekaligus berperan menjadi ayah.
Ibuku sangat memegang teguh bahwa anak-anaknya haruslah tamat sekolah setidaknya harus
tamat SMA. Ibuku begitu gigih bekerja untuk kami. Sehari-hari beliau bekerja menjadi buruh
cuci sekaligus mengasuh di rumah salah satu tetangga kami. Dan beliau juga membuat
makanan untuk dititip di warung-warung dekat rumah kami. Semua itu Ibuku lakukan hanya
demi aku dan abangku agar bisa terus sekolah sampai akhirnya mendapatkan ijazah SMA.

Waktu begitu cepat berjalan, saat itu abangku sudah mulai bekerja di sebuah perusahaan
kecil di kotaku, hal itu sangat membantu perekonomian keluarga kami dan aku sudah duduk
di kelas XII SMA. Masih teringat jelas di otakku, waktu aku kelas XI aku sempat cerita sama
wali kelasku.  Kami sekelas memang dekat dengan wali kelas kami. Beliau membolehkan
kami, untuk bercerita dengannya jika seandainya kami ada masalah. Dan saat itu aku pun
mengambil kesempatan itu, untuk bercerita dengan beliau. Kebetulan saat itu wali kelasku
baru selesai mengajar di kelasku.

“Bu, maaf Bu, Resa boleh cerita nggak?” Tanyaku ke wali kelasku.

“Boleh, Sa. Resa mau cerita apa, nak?” Ujar wali kelasku dengan lembut.

“Jadi gini Bu, Resa mohon maaf sekali. Resa belum bisa bayar uang SPP Bu. Sebenarnya
Resa malu sekali Bu, Resa udah nunggak banyak sekali sedangkan kita sebentar lagi mau
Ujian Semester,” Ucapku.

“Resa sudah kasih tahu orang tua Resa belum? Kalau kita ada kewajiban membayar
SPP?”

“Udah Bu, Resa tiap hari tanya Ibu Resa tapi jawaban Ibu Resa selalu belum ada uang.
Beliau bilang sabar ya, nak, gaji Ibu bulan ini hanya cukup untuk bayar kontrakan, nak.
Selalu seperti itu bu,” Ujarku dengan mata yang berkaca-kaca.

An Anthology of Time | 21
“Kalau Abang gimana, nak? Kalau Ibu tidak salah Abangnya Resa udah bekerja kan, Nak
ya?” Tanya wali kelasku lagi.

“Iya Bu, Abang memang bekerja Bu. Tapi itu tadi, dari gaji abang itulah yang disisihkan
Bu untuk bayar SPP sedikit demi sedikit dan sisanya untuk biaya makan sehari-hari Bu.
Itulah mengapa, SPP Resa baru lunas di kelas X saja Bu, sedangkan Resa udah dikelas XI,”

“Tidak apa-apa nak, pokoknya Resa angsur saja terus SPP-nya, Resa tabung uang-uang
yang diberikan abang untuk bayar SPP, lama-lama nanti SPP Resa lunas juga Nak. Yang
penting diangsur dan ditabung,”

“Pernah kemarin Bu, Ibu Resa sampai marah sama Resa karena Resa terus mintak
dibayarkan uang sekolah, karena Resa rasanya udah malu sekali dengan sekolah. Mungkin
karena geram, Ibu Resa langsung bilang gimana mau dipaksakan bayar nak, kamu lihatkan
perekonomian kita sedang tidak baik. Kalau kamu seperti ini terus enggak mengerti keadaan
berhenti saja sekolahnya. Uang terus yang kamu mintak sama Ibu,” akhirnya tangisku pun
pecah.

“Terus Resa jawab apa ketika Ibu menyuruh Resa berhenti?”


Dengan suara yang tercekat dan air mata yang mulai mengalir “Resa jawab, Resa mau
sekolah terus bu. Resa masih ada harapan Bu. Resa tidak mau berhenti sekolah Bu. Resa ada
cita-cita yang ingin Resa capai Bu,”

“Tapi kan Resa masih tetap diperbolehkan sekolah kan Nak. Mungkin kemarin itu, Ibu
Resa hanya emosi. Tidak ada orang tua, yang mau anaknya berhenti sekolah. Buktinya Resa
sampai sekarang masih disuruh sekolah kan. Terus SPP nya Resa juga masih terus
diusahakan sama abang kan Nak?”

“Iya Bu, disuruh sekolah terus Bu. SPP juga kata abang, jangan khawatir nanti biar abang
yang usahakan. Tugas Resa sekolah yang rajin, kejar cita-citanya,”

“Nah kan Nak, benar kata Abang Resa. Tugas Resa itu sekolah. Dan satu lagi betul kata
Resa, Resa itu masih ada harapan. Perjalanan Resa masih panjang. Lihatlah Nak, Resa punya
badan bagus dan tingginya juga bagus. Tinggal Resa jaga badan Resa dan pola hidup sehat
serta olahraga yang rajin. Siapa tahu nanti sudah tamat SMA, Resa ikut tes Polisi atau TNI
dan qadar Allah Resa yang lolos Nak. Kita tidak pernah tahu jalan hidup seseorang Nak.
Kalau Abang, bisa Resa lihat sendiri, mungkin batas inilah. Sedangkan Resa masih panjang
sekali perjalanan. Siapa tahu nanti Resa yang bisa menaikkan derajat orang tua Resa nak.
Resa harus semangat walaupun dengan keadaan perekonomian yang seperti ini. Satu lagi Ibu
pernah baca dalam 1 keluarga pasti akan ada satu anak yang dapat mengangkat derajat orang
tuanya, nah siapa tahu di keluarga Resa, Resa yang dapat memegang amanah tersebut
mengangkat derajat orang tua. Sekali lagi kita tidak pernah tahu apa yang Allah siapkan
untuk hamba-hamba-Nya,” Ujar wali kelasku dengan lembut.

An Anthology of Time | 22
Aku pun terdiam dan terkesima mendengar ucapan wali kelasku, bagaimana tidak cara
beliau menasihatiku sangatlah menusuk sampai ke relung hati dan seketika membuat aku
semangat dan sangat bertekad untuk sekolah yang rajin dan menggapai cita-citaku. Benar
kata beliau, aku punya harapan dan potensi yang tidak boleh diragukan lagi. Akan kuingat
selalu perkataan dari ibuku, abangku dan wali kelasku. Tak terasa sekarang aku sudah di
akhir kelas XII dan aku sangat bertekat untuk mengikuti seleksi menjadi anggota Polisi.
Karena aku sangat ingat perkataan dari wali kelasku, kita tidak pernah tahu, siapa tahu aku
yang bisa menaikkan derajat keluargaku. Aku berusaha keras, menyiapkan dokumen-
dokumen yang menjadi persyaratan dan tidak lupa aku berolahraga dan menjaga pola hidup
sehatku.

Semua administrasi untuk cek-cek kesehatan, fotokopi persyaratan dan transport ke sana
kemari itu semua abangku yang menanggulangi walaupun beliau terkadang sampai pinjam
uang sama teman dan bos di tempat kerjanya. Sampai akhirnya, aku pun tes dan sampai di tes
terakhir. Tak lupa kuminta doa restu ke Ibuku, Abangku dan Wali kelas serta guru-guruku.
Benar kata beliau, aku punya harapan dan potensi yang tidak boleh diragukan lagi. Akan
kuingat selalu perkataan dari ibuku, abangku dan wali kelasku.

Tak terasa sekarang aku sudah di akhir kelas XII dan aku sangat bertekat untuk mengikuti
seleksi menjadi anggota Polisi. Karena aku sangat ingat perkataan dari wali kelasku, kita
tidak pernah tahu, siapa tahu aku yang bisa menaikkan derajat keluargaku. Aku berusaha
keras, menyiapkan dokumen-dokumen yang menjadi persyaratan dan tidak lupa aku
berolahraga dan menjaga pola hidup sehatku. Semua administrasi untuk cek-cek kesehatan,
fotokopi persyaratan dan transport ke sana kemari itu semua abangku yang menanggulangi
walaupun beliau terkadang sampai pinjam uang sama teman dan bos di tempat kerjanya.
Sampai akhirnya, aku pun tes dan sampai di tes terakhir. Tak lupa kuminta doa restu ke
Ibuku, Abangku dan Wali kelas serta guru-guruku. Dan masyaallah, ketika pengumuman
kelulusanku Allah menakdirkanku lulus dan menakdirkanku menjadi salah satu anak yang
dapat menaikkan derajat keluarganya.

Sungguh kita tidak tahu apa yang Allah rencanakan untuk hamba-Nya dan sungguh aku
tidak pernah menyangka dapat menjadi anggota Polisi karena pada zamanku ini. Semuanya
pakai uang dan relasi sedangkan aku yang notabenenya dari keluarga yang sederhana. Yang
tinggal dikontrakan dan ibuku yang menjadi tulang punggung keluarga dikarenakan ayahku
telah meninggal serta abangku yang alhamdulillah sangat membantu aku dan ibuku untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sampai akhir pun Ibuku dan abangku adalah penyokong
terbaik dalam prosesku mengejar cita-citaku. Dan satu lagi wali kelasku yang merupakan
salah satu support sistem terbaik yang kumiliki, sehingga pikiranku bisa terbuka dan kembali
semangat untuk sekolah dan mengejar cita-cita saat itu.

An Anthology of Time | 23
Segenggam Harapan
Annisa Dwi S.

Dalam sunyi yang membuat seisi jiwa sepi, di situlah aku menemukan segenggam
harapan, masalah yang selalu terpikir di benakku seakan ingin menjatuhkan, tapi aku adalah
hujan yang bisa menghapus jejak kaki itu, angin terus membawaku jauh menuju lautan
harapan, tapi aku adalah daun dari ranting terakhir, walau terkoyak oleh angin aku akan tetap
bertahan itu akan selalu, meskipun akhirnya harus jatuh.
Deru birunya ombak seakan mengantar daun ini menuju asa yang baru, aku ingin semua
harapan itu terpenuhi dengan hasil yang kumau, aku ingin semua mengerti tapi sulit untuk
menceritakan indahnya pelangi kepada orang yang buta warna.
Menjadi awal dari setiap kisahku, aku tak ingin sedih aku hanya ingin numpang tertawa,
tapi aku sadar hidup ini adil dalam meratakan perasaan, hingga malam tiba aku selalu
berangan-angan apakah semua orang merasakan apa yang aku rasakan?, dan apakah semua
orang bisa mewujudkan mimpinya?, Biar sudah itu jadi urusanku biar aku yang mengatur
Sejauh ini yang kutemukan adalah pena dan kertas, Tuhan memberikan waktu untuk kita
menulis kisah indah dalam kertas itu, aku memulai dengan goresan tinta yang kecil itu, selalu
membuka halaman baru, aku yakin bahwa akan ada cerita indah untukku.
Dan perkenalkan namaku Brina Dwi Annisa, yang biasa dipanggil dengan nama 'Brina' .
Aku sudah 4 bulan menduduki bangku SMA, yang artinya aku masih kelas 10. Aku
bersekolah di salah satu sekolah favorit di kotaku. Usiaku tahun ini masih 15 tahun, karena
aku lahir pada tahun 2006 tepatnya bulan Maret. Aku adalah anak ke dua dari dua
bersaudara. Aku memiliki kakak perempuan yang jarak umurnya kurang lebih 6 tahun
denganku. Ia sedang menempuh pendidikan agar bisa mendapat gelar sebagai Sarjana Gizi.
Entah mengapa ia mengambil jurusan gizi, mungkin agar sama seperti ayahku. Terkadang hal
itu membuat aku terus berpikir apakah aku bisa seperti ayah dan kakakku. Tak hanya ayah
dan kakakku, ibuku juga seseorang yang hebat. Ia memang tidak bekerja seperti ibu-ibu yang
lainnya, karena memang tidak dibolehkan oleh ayahku. Ibuku adalah seorang lulusan salah
satu pesantren, yang di mana pada saat dipesantren ibuku juga memiliki beberapa murid yang
sampai kini sampai menghormati ibuku. Setiap malam aku berpikir, akan jadi apakah aku?
Apakah aku bisa memenuhi ekspektasi keluargaku kepadaku?

***

Lumajang, 23 Oktober 2021


Pagi ini cuaca sedikit mendung, aku bangun dari tempat tidurku dan membuka jendela
kamarku. Setelah membuka jendela, aku tak sengaja melihat cermin yang di sana terlihat
wajahku dengan mata sembab yang menandakan kepedihan. Tak ingin lama-lama
memandangi cermin, aku segera keluar dari kamarku menuju ke kamar mandi untuk mencuci
muka. Setelah selesai cuci muka, aku pergi ke dapur yang di situ ada ibuku sedang
menyiapkan sarapan, seperti biasanya saat hari libur aku dan ibuku membagi tugas, ibuku
memasak dan membersihkan dapur sedangkan aku mencuci baju dan membersihkan rumah.
Pukul 10.00

An Anthology of Time | 24
Tak terasa, semua tugasku untuk membantu ibu telah selesai. Aku memutuskan untuk
merebahkan diriku sebentar di atas kasur empukku itu sambil memandangi langit-langit
kamarku yang terdapat tempelan bintang-bintang. Dalam bintang-bintang itu, terdapat
harapan-harapanku di masa depan. Tiba-tiba notif handphone-ku berbunyi, lalu ku buka
handphone-ku. Ternyata itu pesan dari sahabat-sahabatku yang mengajakku untuk pergi
bermain nanti malam, biasanya sih anak muda menyebutnya dengan “malming” atau malam
minggu. Masih ku biarkan pesan itu, sambil berpikir jawaban apa yang akan aku berikan.
Karena sejujurnya aku tidak pernah keluar saat malam minggu seperti teman-temanku. Notif
pesan dari teman-temanku terus berbunyi, karena aku tidak enak dengan mereka akhirnya aku
balas “aku tanya orang tuaku dulu ya guyss, nanti aku kabari jadi engganya,” lalu dibalas
dengan “oke” oleh 8 temanku.
Pukul 18.30
Notifikasi pesan dari teman-temanku kembali berbunyi. Mereka menanyakan bagaimana
keputusanku, apakah jadi ikut bermain atau tidak. 'Bingung' adalah satu kata yang bisa
menggambarkanku sekarang . Aku takut untuk meminta ijin kepada ayahku, tapi kasihan juga
teman - temanku yang menunggu kabar dariku. Ku hempaskan napas dan mengucap
“bissmillah” lalu aku menuju ke ruang tamu, karena di situ terdapat ayah dan ibuku.
Pandangan ayah dan ibuku langsung tertuju padaku, saat aku mendudukkan diri di dekat
mereka. Perasaan takut itu semakin terasa, aku mengambil napas dan ku hempaskan. Aku
memberanikan diri untuk memanggil ayahku, “yah” ucapku dengan suara seperti ketakutan.
Ayahku memandangku dan berkata “ada apa?” . Ku jawab dengan banyak keraguan “emm
teman-temanku mengajakku main sekarang, aku kan juga ga pernah main malam sama
temen-temen,” Ucapku sambil menahan nafas melihat ekspresi ayahku, “JANGAN
MACAM-MACAM...!!!”. Ucap ayahku sambil menaikkan alisnya dan menatap tajam
padaku, ia langsung memberikanku lontaran kata-kata “Kamu ini perempuan ga pantas keluar
malam, Sekolah juga belum bener, mau jadi apa kamu keluar malam - malam, Sudah sana
kembali ke kamar...!!!”, Air mataku mulai mengalir dari mataku menuju pipi, aku
menutupinya dengan lenganku sambil kembali ke kamar, dan aku memberi tau teman teman-
temanku jika aku tidak bisa untuk malam ini, setelahnya aku mulai mendekap bantal di
sampingku sambil mengusap air mata. Sebenarnya aku tidak heran jika Ayahku tidak
mengizinkanku aku hanya sedih karena ia selalu melontarkan kata-kata yang membuat hatiku
sakit saat ia marah, dan aku pun tertidur dengan sisa - sisa air mata itu.

***

Keesokan harinya
Alarm ku berbunyi yang menandakan sudah subuh, aku bangun dan menuju kamar mandi
untuk mencuci muka agar aku tidak terlihat habis menangis semalaman, dan mengambil
wudu untuk Shalat, setelah Shalat aku ingat ada janji untuk CFD (Car Free Day) dengan
sahabatku, aku pun bergegas untuk mandi dan ganti baju, aku bilang kepada ayahku bahwa
aku sudah ada janji mulai dua hari yang lalu, ayahku menyetujuinya karena ini aktivitas
bagus menurutnya, namun saat aku bergegas mengeluarkan motorku ibuku menghampiri ku
dan berkata “Brina ibu pinjam dulu sepedanya mau ke pasar beli sayur”. Dan aku menjawab
“iyaa jangan lama-lama ya Bu”. Dan jawab ibuku sambil naik motor “iyaaa”. Kemudian aku

An Anthology of Time | 25
menunggu di sofa ruang tamuku, 20 menit menunggu ibuku belum kembali, aku masih sabar
menunggu, dan sahabatku mengirim pesan di WhatsApp “kamu kok lama Brin ini sudah
kesiangan buat CFD-an”. Kemudian aku jawab “Sabarr....motorku di pinjam ibu”. Temanku
yang bernama Alief menjawab “Baiklah”. 40 menit menunggu ibuku belum juga datang,
dalam hatiku berkata “huuu katanya sebentarrr”. Dan aku mulai berinisiatif untuk
menelefonnya, tapi tidak juga di angkat dan 1 Jan menunggu akhirnya ibuku datang, aku pun
protes kepada ibuku “huu katanya sebentarrr”. Dan ibuku sambil senyum bilang “huss ini
juga buat makanmu”. Dan aku bergegas berangkat sambil menunjukkan ekspresi kesal karena
menunggu lama, Kemudian aku sampai di rumah sahabatku dan kita berangkat ke alun-alun
untuk CFD, di sana aku bertemu teman-teman yang lainnya kemudian kita jalan - jalan
bersama, di sekitar alun - alun sambil membeli jajanan - jajanan yang enak dan
mendengarkan cerita - cerita teman - temanku yang menceritakan tentang keseruan saat
malam mingguan, aku hanya bisa tersenyum membayangkan asyiknya mereka saat malam
mingguan, “Brin kamu kok bengong saja sih”. Ucap Najwa sambil terheran, dan aku
mengedipkan mataku yang sedari tadi membayangkan cerita teman temanku “gaa ga papa,
aku hanya membayangkan asyiknya malam mingguan” ucapku sambil tersenyum, dan
Ashilah bilang “Oiya kamu semalam ga ikut kita ke Cafe untuk malam mingguan, rugi kamu
Brin..,” Dan aku menjawab
“Iya padahal aku pengen...banget malam mingguan, tapi kalian tau kan kalau ayahku
gimana”. Ucapku sambil murung, dan Alief bilang “gimana kalau kita sekarang main ke
Ranu Klakah, sebagai gantinya kamu ga ikut ke cafe semalam?” Ucapnya sambil
bersemangat, aku dan teman - temanku lainya serentak bilang “Gasss”. Tapi seketika aku
berpikir kalau aku tidak akan di izini sama ayahku, kemudian aku bilang ke teman - temanku
“tapi aku pasti gak di beri izin sama ayahku” ucapku sambil murung, temanku yang bernama
Nisa berkata “ga usah bilang kalau kita mau ke Ranu Klakah gimana Brin?”. Sebenarnya aku
takut tetapi karena aku jarang sekali main sama teman - temanku jadi aku putuskan untuk
pergi bersama 8 temanku, tanpa izin ke orang tuaku, kami pun pergi dari Alun - alun tempat
CFD tadi untuk bergegas menuju Ranu Klakah.

***

RANU KLAKAH
Sesampainya di Ranu Klakah, aku dan teman-temanku memilih untuk duduk di salah satu
cafe. Kita melihat pemandangan Ranu Klakah yang sangat indah ditemani dengan camilan
dan minuman yang telah kita pesan. Tiba-tiba salah satu temanku yang bernama Alief
memulai pembicaraan dengan berkata “guys, kalian mikir kaya aku juga ngga nanti bakalan
jadi apa? maksudnya bingung aja gitu nanti mau ngambil kuliah jurusan apa” lalu temanku
yang bernama Najwa menjawab “ah iya, padahal 2 tahun lagi kita udah kuliah, tapi sekarang
belum kepikiran mau jadi apa, di antara kalian ada yang udah kepikiran ga mau jadi apa? “ 7
temanku yang lainnya kompak menjawab “belum juga sih” sedangkan aku hanya terdiam, tak
menjawab apa pun sehingga pandangan teman-temanku tertuju kepadaku “kalau kamu
gimana Brin?” Tanya Najwa padaku. Dan ku jawab “aku juga sama belum tau, setiap hari
aku mikirin gimana masa depanku nanti. Tapi ayahku nyuruh aku buat coba masuk Stan”
temanku yang bernama Nisa menjawab “udah ya guys, kita emang harus mikirin masa depan

An Anthology of Time | 26
kita, tapi jangan sampai dipikir terlalu keras kasian dirimu sendiri. Mending kita berusaha
semaksimal mungkin supaya nilai kita bagus terus, nantikan kalau nilai kita bagus universitas
mana sih yang ngga nerima kita. Bener gak?” Aku dan teman-temanku kompak menjawab
“yaa benar, Nisaa.” Tak terasa aku dan teman-temanku telah berbincang-bincang cukup lama.
Aku menyalakan handphone-ku untuk melihat jam, aku terkejut karena jam sudah
menunjukkan pukul 14.15 tapi yang lebih mengejutkan lagi banyak panggilan tak terjawab
dari ayahku. Aku bilang pada teman-temanku “guyss pulang yuk, ayahku udah nyariin ni aku
takut” semua teman-temanku menjawab “iyaa ayo,” kita pun meninggalkan cafe tersebut dan
bergegas untuk pulang ke rumah kami . Di sepanjang jalan aku panik takut ayahku marah,
karena aku sudah keluar dari pagi sedangkan sekarang suda menjelang sore.
Pukul 15.00 aku sampai di rumah, setelah memarkirkan sepeda motorku aku segera
membuka pintu rumahku. Saat aku membuka pintu, di ruang tamu sudah terlihat ayahku
dengan posisi tangannya yang sedekap. “Dari mana?” Tanya ayahku dengan nada yang
dingin. Aku berusaha tenang dan menjawab, “Tadi habis CFD aku ke rumah Alief, yah, terus
ketiduran soalnya kelelahan habis fisik” lalu ayahku menjawab, “Oke kalau begitu, cepet
bersih-bersih terus belajar kamu udah deket sama ujian semester” “baik yah” jawabku. Lagi-
lagi aku bohong pada ayahku ya mau gimana lagi, kalau aku jujur ayahku pasti sangatt
marah. Apalagi aku mainnya sangat jauh. Aku sadar aku memang beda sama teman-temanku
yang lain, yang bisa keluar ke mana saja dan kapan saja. Orang tuaku ngelakuin itu juga buat
kebaikanku. Tapi aku juga ingin seperti teman-temanku yang tanpa dikekang oleh orang
tuanya.
Pukul 20.00.
Saat ini aku masih berkutik dengan bukuku dan tugas-tugasku. Tapi tiba-tiba perutku
berbunyi, aku lupa kalau aku belum makan malam. Aku menuju ke dapur untuk mengambil
makan. Memang aku jika sudah mengutik tugas sekolah akan lupa dengan semuanya karena
tugas sekolahku setiap hari sangattt banyakk tapi aku tetap sayang sekolahku kok hehee.
Setelah selesai makan aku melanjutkan tugasku, karena tinggal sedikit. Jam menunjukkan
pukul 21.14 WIB semua tugasku telah selesai, aku memutuskan untuk tidur karena seharian
ini kegiatanku lumayan melelahkan.

***

Lumajang, 25 Oktober 2021.


Pukul 05.00 aku terbangun, seperti biasanya aku bangun langsung membuka jendela
kamarku supaya udara dalam kamarku bisa berganti. Hari ini adalah hari Senin, rasa
semangatku untuk pergi ke sekolah sangat sedikit karena cuaca hari ini sangat cerah,
sedangkan aku harus mengikuti upacara bendera terlebih dahulu sebelum pembelajaran. Tapi
tidak boleh seperti itu, upacara bendera sudah menjadi kewajiban kita sebagai warga negara
Indonesia. Seperti biasanya pukul 06.30 aku berangkat ke sekolah dengan sepeda motor pink
kesayanganku. Sesampainya di sekolah aku segera menaruh tasku dan mengambil topi lalu
menuju ke lapangan untuk mengikuti upacara bendera.
Pukul 18.00.
Aku baru sampai rumah saat magrib, karena sepulang sekolah aku harus mengikuti
bimbel terlebih dahulu. Sesudah dikamar, aku menaruh tasku melepas bajuku dan

An Anthology of Time | 27
membersihkan wajahku lalu segera menuju ke kamar mandi karena tubuhku sudah penuh
dengan bau keringat hari ini. Setelah selesai mandi, aku merebahkan tubuhku sebentar di
kasurku yang empuk . Tiba-tiba ibu mengetuk pintu kamarku, ia menyuruhku untuk makan
malam. Aku segera menuju ke meja makan karena ayah juga sudah menunggu di sana. Tidak
ada pembicaraan selama kita makan, hanya ada suara sendok yang beradu dengan piring.
Setelah selesai makan aku kembali lagi ke kamarku untuk mengerjakan tugas sekolahku.
Sepanjang mengerjakan tugas rasa kantuk menyerangku. Tiba-tiba ayahku mengetok pintu
kamarku, ia bertanya “masih banyak tugasnya?” “Emm engga kok yah tinggal sedikit lagi,
kenapa emang yah?” jawabku “nggapapa, ayah mau tanya sesuatu, tapi karena kamu masih
ngerjain tugas ya gajadi deh” jawabnya, lalu aku menjawab “lah, tanya aja yah gapapa kok ga
ngeganggu juga” wajah ayahku terlihat bingung, membuat aku semakin penasaran hal apa
yang ingin ia sampaikan. Beberapa menit hanya ada sunyi di antara kita, tak ada yang
membuka suara. Tak lama kemudian, ayahku membuka suara “ayah ingin tau kamu nanti
mau kuliah di mana? Pingin jadi apa? Kalau ayah, melihat sekarang mencari kerja itu susah
ayah sarankan kamu untuk mencari sekolah yang langsung bisa dapat pekerjaan seperti
kedinasan” ucap ayahku sambil meyakinkanku, aku pun menganggukkan kepala dengan
perasaan yang masih belum yakin dengan pilihan ayahku itu, kemudian ayahku bilang,”
kamu sudah harus mulai menata masa depanmu, selagi ayah dan ibu bisa membantumu”.
Akupun termenung selagi ayahku menyuruhku untuk tidur “kalau nugas jangan malam-
malam, cepat tidur biar besok ga kesiangan”. Sambil keluar menutup pintu kamar ku “iya
yah.,” jawabku, aku mulai memikirkan ucapan-ucapan ayahku yang membuatku berangan-
angan apakah aku bisa mewujudkan harapan ayahku? Apa aku bisa? Aku menatap ke arah
langit-langit kamarku, Hingga aku tertidur setelah terlalu memikirkan itu.

***

Lumajang, 26 Oktober 2021.


Aku bangun subuh seperti biasanya dan aku lupa kalau buku-buku tugasku masih
berantakan di atas tempat tidur ku aku mulai membereskannya hingga suara sayang ratu
terdengar “BRINA.....BRINA....CEPAT MANDI.....,”.ucap ibuku menggunakan nada tinggi
berulang kali, aku menutup telinga sambil berkata “IYA BU SEBENTAR..,”. kemudian aku
langsung menuju kamar mandi setelah mandi dan ganti baju aku menyiapkan semua, dan
ibuku menghampiriku “Ini bekalnya, nanti di makan biar tambah pinter,” ucap ibuku sambil
tersenyum “iya kanjeng ratu..,” Jawabku, kemudian aku berpamitan kepada kedua orang
tuaku dan mulai berangkat ke sekolah, sesampainya di sekolah aku lupa kalau buku tugasku
ketinggalan di kamar, akhirnya aku dihukum karena tidak menggumpulkan tugas hehehe,
kemudian aku belajar dan bermain menikmati masa mudaku di SMA seperti biasanya.
Pukul 16.00
Hari ini aku pulang lebih awal dari biasanya karena guru bimbelku hari ini meminta agar
bimbelnya diganti lain hari karena ia ada acara hari ini .akhirnya aku bisa istirahat lebih awal,
sesampainya dirumah aku memutuskan untuk membersihkann kamarku, jarena kamarku tidak
begitu terurus beberapa hari ini, tapi saat aku membersihkan kamarku aku ingat bahwa ada
yang hilang, aku mencoba ingat-ingat lagi apa yang hilang. Setelah beberapa menit aku ingat
yaitu tiket ke Ranu klakah, dan ayahku langsung memanggilku saat itu juga “BRINA...,”

An Anthology of Time | 28
Ucap ayahku dengan keras yang membuatku sangat ketakutan “Mati aku...,” Ucapku dalam
hati, aku menghampiri ayahku dengan ekspresi yang tegang, saat menghadapnya benar saja
ayahku sudah megah tiket Ranu kelakah itu, “APA INI?,” Tanya ayahku sambil menatap
tajam ke arahku “Itu tiket yah”jawabku sambil terpatah-patah, “Kenapa kamu berbohong
kepada ayah, katanya kamu CFD-an, kok bisa tiba - tiba sampai ke Ranu kelakah”, ucap
ayahku dengan ekspresi wajah penuh amarah, “aku di ajak teman-temen yah”.jawabku sambil
berkaca kaca, kemudian ayahku memarahiku dan seperti biasanya ayahku pasti akan
mengungkit-ungkit masa depanku.aku sudah lelah, sudah bosan dengan kata-kata
menyakitkan itu, aku sudah lelah diam aku juga ingin mengeluarkan kata hatiku yang selama
ini aku tahan. Tak tertahan sudah aku mulai mengeluarkan air mata di depan ayahku dan aku
mulai mengeluarkan kata hatiku, “Maaf Ayah aku sebenarnya tidak berniat berbohong, tapi
aku ingin sekali saja main bersama teman-temanku, tentang masa depan aku selalu berusaha
yah, aku ingin membahagiakan ayah dan ibu, aku juga selalu memikirkan tentang masa
depan,”ucapku sambil menangis. Aku tidak kuat... aku ingin pergi... aku pergi keluar rumah
tanpa mendengarkan apa jawaban ayah, aku menaiki sepeda motor pink kesayanganku
mengelilingi kota untuk menenangkan pikiranku. Aku tak tahu mau ke mana, aku lelah
mengemudi sepeda tapi aku tak mau pulang sebelum diriku tenang. Akhirnya aku
memutuskan untuk berhenti di alun-alun kotaku karena disana sedang sepi setelah hujan
deras. Cukup lama aku duduk disana, menangis, mencerna kata-kata yang diucapkan ayahku.
Tiba-tiba saja sesorang duduk disampingku yang menbuatku menghentikan tangisku. “Hai,
are you okay? dari matamu sih tidak” ucapnya. Aku tidak menjawab apa pun karena aku
takut tidak kenal orang itu. Tak lama kenudian dia berkata lagi “nangis aja, kenapa berhenti?
kamu kan ga kenal aku, jadi gausa malu.,” “justru karena ga kenal aku takut buat nangis”
tiba-tiba mulutku ingin menjawab omonganya. “Nangis bukan berarti lemah kok, aku juga
sering nangis tapi sendirian.kalau di rumah mah aku harus keliatan kuat” ucapnya sambil
ekspresi wajahnya yang sedikit senyum “oh ya kenalin namaku aldi, nih aku kenalan biar
kamu gak malu lagi mau nangis”. Lalu aku menjawabnya “iyaa sama, aku juga harus pura-
pura kuat didepan orang tuaku, tapi tadi aku sudah tidak kua. Oh ya namaku brina” dia
tersenyum kepadaku sambil berkata “nama yang cantik, dan orang yang kuat. Semangat ya,
aku tau kamu bisa melewati semua, aku pamit dulu semoga kita nanti bisa bertemu lagi”
“iyaa hati hati” jawabku padanya. Aku sudah merasa tenang, karena dihibur oleh orang yang
bernama aldi tadi, sehingga aku memutuskan untuk pulang. Sesampainya dirumah, lampu
lampu sudah dimatikan, yang berarti ayah dan ibuku sudah tidur. Aku memutuskan untuk
menuju ke kamarku dan tidur karena menangis tadi membuatku mengantuk.

***

Lumajang, 27 Oktober
Pagi ini, aku takut untuk keluar kamar dan bertemu ayahku setelah perdebatan tadi
malam yang belum selesai. Tapi, tiba-tiba ibuku memanggilku dengan suara yang
keras”BRINAA, AYO SARAPAN SUDAH SIANG NANTI KAMU TERLAMBAT” . “Iyaa
bu sebentarr” jawabku, aku membuka pintu kamarku dengan mengucap “bissmillah” dan
mulai melangkahkan kaki ke meja makan. Selama makan, ayahku tidak melihat ke arahku
sama sekali, dan tidak ada pembicaran diantara kita. Beberapa menit kemudian setelah selesai

An Anthology of Time | 29
makan, ayahku mengelus kepalaku dan berkata dengan lembut “Brina..ayah tidak bermaksud
mengekangmu tapi ayah hanya khawatir denganmu, kalau ayah tidak begini pantaskah ayah
menjadi seorang ayah?, Ayah ingin masa depan lebih indah dari ayah dan ibu nak” aku
terkejut kata-kata itu keluar dari mulut ayahku, aku pun mulai berfikir jika Ayahku ada
benarnya tentang itu. “Ayah, aku pasti mengusahakan yang terbaik supaya bisa jadi yang
seperti ayah dan ibu inginkan. Aku juga ingin bisa menjadi lebih baik dari ayah dan ibu, ayah
harus percaya akan itu” ucapku menjawab ucapan ayahku. Lalu ayahku menjawab “iya nakk,
maafin ayah ya selama ini sudah mengekang kamu. Sebagai gantinya, bagaiman besok kalau
kita liburan? Kan besok hari Sabtu kakakmu datang jadi kita liburan berempat” “iya yahh
boleh saja” jawabku. setelah perdebatan itu akhirnya aku mulai lega karena aku bisa
mengungkapkan perasaanku yang ku pendam, namun juga sebaliknya aku sudah mengerti
dengan perasaan ayahku.
Sebenarnya aku tak masalah akan waktu bermain dengan teman temanku yang terbuang,
aku rela kehilangan itu untuk menggapai cita-citaku. Tapi yang membuatku sakit hati adalah
ketika ayah mengeluarkan kata-kata yang menyakithatiku, yang membuat aku berpikir ayah
tidak percaya bahwa aku sudah berusaha mencapai itu. Aku pasti banggakan ayah dan ibu,
tapi pada waktu yang telah ditentukan oleh tuhan.

SELESAI

An Anthology of Time | 30
Cukup Kalian
Azizi Falaqi A. T.

Di malam yang sunyi, bulan memancarkan cahayanya yang agung. Seorang anak tertidur
dengan air mata mengalir dipipinya. Air mata itu seolah menyuarakan isi hatinya. “Ayah!,
Bunda! Jangan tinggalkan aku sendiri!. Aku takut, jangan tinggalkan aku!. Ayah! Bunda!
Dimana kalian!. “
Hingga akhirnya dia terbangun melihat seorang wanita paruh baya yang berusaha
membangunkannya “Mengapa kamu menangis. Apa yang sedang kamu mimpikan hingga
membuat dirimu menangis. “ Entah mengapa aku selalu memimpikan dua orang yang terasa
sangat dekat denganku. Aku ingin menceritakannya namun, bibirku terasa berat untuk
mengungkapkannnya. “Tidak apa-apa, jika memang hal yang tidak perlu diungkapkan. “Aris
adalah namaku dan wanita paruh baya yang berada didepanku adalah Nenekku. Aku hidup
dengannya sedari kecil.
Aku tinggal di sebuah desa kecil yang terletak dipinggiran kota. Aku tidak mengetahui
siapa orang tuaku. Namun, dua orang yang berada di mimpiku terasa dekat yang membuat
perasaanku hangat ketika memikirkannya. Seolah mereka berdua adalah orang tua yang
selalu kurindukan.
“Aris! ayo turun! Jangan hanya dikamar saja! Bantu nenek di bawah! “. Aku yang sedang
dikamar pun terkejut mendengar teriakan nenek dan segera mengikuti apa yang
diperintahkannya. Nenek menyuruhku untuk membeli barang yang nenek lupakan di warung.
“Bu, beli telurnya setengah kilo” si penjual dengan tanggap langsung memberi apa yang
kuminta. Saat diperjalanan pulang, aku melihat seorang pasangan suami istri yang terlihat
tidak asing dimataku. Seolah aku pernah bertemu dengan mereka namun entah dimana.
Mereka terlihat kebingungan. Tanpa kusadari, pasangan tersebut mendekat kearahku dan
bertanya”Dik, tau alamat rumah ini tidak? “ Aku yang tidak hafal dengan lingkungan sekitar
pun kebingungan “Maaf pak, saya kurang tau dengan alamat yang bapak beri” Bapak tersebut
tersenyum dan berterima kasihku kepada walaupun aku tidak membantu apa pun.
Sesampainya dirumah, aku pun dengan tanggap membantu nenek untuk memasak makan
malam yang sederhana. Setelah selesai, kami pun memakan makan malam yang telah
terhidang. Saat makan, terlintas dibenakku untuk bertanya kepada nenek tentang orang tuaku
“Nek, sebenarnya Ayah sama Bunda ada dimana sihh? Aris tu rindu dengan mereka walau
Aris lupa dengan tampang mereka berdua. “ Nenek terlihat gemetar dan kebingungan untuk
menjawab pertanyaanku. Aku yang tidak sabar pun mulai kesal dengan nenek “Nekk! Jawab
pertanyaan Aris!! Sebenarnya mereka ada dimana?! Apakah mereka tidak sayang denganku
hingga menelantarkan anaknya sendirian!! Aris juga ingin seperti anak normal lainnya!
Jawab pertanyaanku nek! Tolong!. “ Secara tidak sadar aku mulai meneteskan air mata
sembari mengharap jawaban yang selama ini kupertanyakan dari nenek. “Aris, maaf nenek
masih belum siap untuk memberi tahu yang sebenarnya. Maaf Aris. “ Sontak aku pun berlari
ke kamarku sambil menangis menghiraukan semua teriakan nenekku. Aku pun meringkuk
didalam selimut sambil menangis “Ayah, Bunda dimana kalian? Aris rindu kalian, Aris rindu
suara kalian, Aris rindu pelukan kalian, Aris rindu kalian,” Tanpa kusadari, mataku mulai
terasa lelah menangis hingga akhirnya masuk kedalam dunia mimpi.

An Anthology of Time | 31
Waktu terus berjalan, hingga sang surya memancarkan sinarnya yang menyilaukan
mataku. Aku bangun dengan keadaan yang cukup berantakan. Aku pun mulamembersihkan
diri untuk menyambut hari. Aku turun dan melihat nenek sedang menyiapkan sarapan pagi.
Suasana cukup canggung pagi hari ini. Aku yang merasa kurang nyaman memulai
percakapan “Nek, Aris nanti mau main keluar sebentar” nenek mengizinkanku untuk pergi
main. Aku pun pergi keluar dengan membawa layang-layang karena angin cukup kuat untuk
hari ini.
Tak terasa berapa lama aku bermain hingga menyadari bahwa sang surya mulai meredup.
Aku pun dengan terburu-buru pulang memikirkan nenek yang khawatir dengan cucu satu
satunya. Sesampainya didepan rumah, terdapat 2 pasang sandal yang tertata di teras. Rasa
penasaran mulai menyelimuti, dengan perlahan aku masuk kedalam rumah. Terdapat 3 orang
didalam, nenek dan 2 orang yang kutemui kemarin. Mereka terlihat sedang membicarakan
sesuatu, nenek juga terlihat senang akan kehadiran mereka.
Rasa penasaran semakin menguasai diriku hingga aku memutuskan untuk memenuhi rasa
penasaranku “Nek, siapa mereka? Mengapa nenek terlihat senang? “ bukan nenek yang
menjawab, melainkan kedua orang yang kutemui kemarin memelukku erat dan menjawab
pertanyaanku. “Aris, ini Ayah dan Bunda nak. Ayah dan Bunda sangat rindu dengan kamu.
Aris pasti rindu dengan kami bukan? “ Amarah dan kebencian mulai merasukiku “Kenapa
Ayah dan Bunda disini? Kalian tidak rindu dengan Aris bukan? Kenapa Ayah dan Bunda
baru datang! Kemana saja selama ini! Aris sendirian disini! Kenapa Ayah dan Bunda
meninggalkan Aris disini! Apakah Ayah dan Bunda tidak sayang Aris!. “ Aku pun berlari
dengan berderai air mata kekamar dan mengunci pintu. Terdengar suara Ayah dan Bunda
dibalik pintu meneriakkan namaku. “Pergi! Aris benci Ayah dan Bunda! “. Teriakan dan
ketukan terus bergema. Aku berusaha untuk menutup mata dengan paksa dan menghiraukan
semua suara hngga kegelapan menjemputku.
Matahari kembali menujukkan sosoknya, menandakan hadirnya hari baru. Dengan malas
aku bangun dan mempersiapkan diri. Terdengar suara yang cukup ramai di bawah, suara
nenek dan kedua orang tuaku. Aku pun turun dan melihat keadaan dimana Ayahku sedang
membaca koran di ruang tamu, sedangkan Bunda bersama nenekku sedang menyiapkan
hindangan pagi. Tanpa basa-basi aku langsung pergi keluar melewati Ayahku. Namun, upaya
kabur ku tidak sesuai dengan harapan. Tanganku di cengkram Ayahku "Mau ke mana Aris?
Pagi-pagi langsung keluar aja. Duduk disebelah Ayah sini. Ayah ingin mengobrol dengan
anak ayah yang ganteng ini" Aku yang sudah muak tanpa sadar langsung membentak Ayahku
"Lepasin! Aris mau main! Aris bosen dirumah!,”
Ayah langsung mendudukkanku di tempat yang lebih tinggi agar bisa melihat wajahku.
"Siapa yang mengajari Aris untuk bicara kasar? Ayah tidak pernah mengajari Aris seperti
itu". Ayah memarahiku, akibat kegaduhan di ruang tamu, Bunda dan nenekku menghampiri
kami. "Pagi-pagi kok udah ribut aja. Ada apa sih Aris?" Bunda ikut serta memarahiku. Air
mata terbentuk diujung mata tanpa kusadari. Malas mendengar semua omelan mereka,
langsung saja ku berlari ke kamar. Sayangnya ayah jauh lebih cepat dariku untuk menahan
pintu tetap terbuka. "Pergi! Aris ingin sendirian! Aris benci kalian!,” Dengan itu, ayah
langsung melepaskan pintu dan aku langsung mengunci pintu beberapa waktu.
Terdengar dibalik pintu nenek mengingtkan Ayah untuk memberiku waktu sendiri. Nenek
sepertinya memahami perasaanku. Aku masih tidak paham dengan kedua orang tuaku.

An Anthology of Time | 32
Mengapa mereka meninggalkanku sendiri, mengapa mereka pergi tanpa meninggalkan pesan
apa pun. Lelah dengan apa yang dipikirkan, aku memutuskan untuk membaca sesuatu, hingga
akhirnya kegelapan kembali menjemputku.
Cukup lama jiwaku meninggalkan raganya, hingga aku merasa terusik dengan kehadiran
seseorang dikedua sisiku. Siluet sinar mulai menyilaukan mataku menunjukkan bahwa aku
telah bangun dari tidur. Aku melihat Ayah dan Bunda berada dikedua sisiku. Tidak nyaman
dengan posisi saat ini, aku menggeliat hingga menyebabkan kedua orang tuaku bangun dari
tidurnya. "Loo, Aris udah bangun. Ayo tidur lagi bunda temani,” Bunda memelukku
mengelus kepalaku, dan melantunkan lantunan yang menenangkan. Perasaan hangat yang
telah lama hilang menyelimuti kembali. Membuat kedua pipiku kembali basah dengan aliran
mata. Ingin diriku untuk menahan suara namun entah mengapa mereka lolos dari mulutku.
Sontak kedua orang tuaku terkejut melihatku mulai mengeluarkan suara yang tertahankan.
"Aris kenapa nangis? Ayah dan Bunda ada disini, Aris diam ya,” Tangisanku semakin
kuat atas kerinduan, pelukanku semakin erat. Aku bertanya kepada mereka disela tangisanku
"Mengapa ayah dan bunda meninggalkan Aris sendirian? Apa ayah dan bunda sudah tidak
sayang Aris?". Disela kantuknya ayah menjawab pertanyaanku " Sebenarnya ayah tidak ingin
meninggalkan Aris. Namun, Ayah dan Bunda mempunyai hal yang harus di urus saat Aris
masih kecil. Tidak memungkinkan untuk mengajak Aris waktu, sehingga Ayah menitipkan
Aris dengan nenek. Maafkan Ayah dan Bunda ya nak" Aku tidak menjawab, berusaha
memuaskan kerinduanku akan mereka. Kehampaan selama ini perlahan terisi kembali.
Kesuraman selama ini tergantikan kebahagiaan yang nyata. Cukup dengan kalian hidupku
kembali cerah. Teruslah berada disisiku. Ayahku, Bundaku yang tercinta, jangan tinggalkan
aku.

An Anthology of Time | 33
Keluarga Sakinah
Barid Fani A. F.

Eeeits…jangan salah dulu (:6 ..Sakinah bukan nama seseorang,ya..keluarga sakinah


itu adalah keluarga yang semua anggota keluarganya merasakan cinta kasih, keamanan,
ketenteraman, perlindungan, bahagia, keberkahan, terhormat, dihargai, dipercaya, dan
dirahmati oleh Allah SWT. Semoga keluargamu, keluargaku dan keluarga kita semua
termasuk di dalamnya, aamiin allahumma aamiin.. Yuuuk..nikmati sajian kisahku semoga
dapat menginspirasi semuanya. Yuuk, tengok sejenak rangkaian kisahku berikut..Secuil
ulasan dan gambaran singkat dari lukisan perjalanan keluargaku.
Keluarga bagiku rumah idamanku, Baitii al Jannatii. rumahku bagiku surga buatku,
karena dari sinilah segalanya tercipta indah. Umi madrasah utama yang pertama sebelum aku
mengenal apa pun di dunia ini. Bagiku Umi yang mengenalkan ilmu kalalu masih dalam
kandungannya hingga aku di usia remaja ini. Abi pemimpin bagi istrinya, yang tidak lain
adalah Umiku dan panutan bagi kami putra-putrinya. Kakakku tempatku untuk mencurahkan
kekonyolan dan guyonan bahkan keusilanku. Adikku, satu-satunya cewek centil yang selalu
buatku usil, dari mulai suaranya, tingkahnya bahkan keunikannya selalu buatku jahil.
Hari-hariku selalu dihiasi dengan kesibukan kami masing-masing, ditambah dengan
Umi yang juga sibuk mengurus pengajaran di tempat kerjanya, maklumlah, karena Beliau
adalah seorang guru di salah satu Taman Kanak-Kanak atau Raudlatul Atfal di kota ini. Abi
yang sibuk bekerja sebagai pengelola tambak udang di banyak kota di luar tempat tinggal
kami, sehingga kami hanya bisa berjumpa dalam durasi waktu yang tak menentu. Kakakku
yang baru menapakkan kakinya ke salah satu perguruan tinggi negeri di wilayah kota
pahlawan, yang juga sanggup menjadi contoh bagi adik-adiknya. Aku sendiri terkadang
mengajak teman-temanku untuk menghabiskan waktu senggang di rumah, tak jarang kami
bermain bareng (red.: mabar), belajar, bersenda gurau di rumahku, karena Umiku lebih suka
memperhatikan aku dan teman-temanku di rumahku, selain pengawasannya
memudahkannya, beliau juga beranggapan bahwa bermain di tempatku lebih hemat
ketimbang aku menghabiskan dan menghambur-hamburkan uang di luar untuk hal-hal yang
tak berguna, mending disisihkan untuk kebutuhan nantinya yang lebih berguna dan sudah ada
dalam rencana. Tak jarang pula teman adik kecilku bermain dan meramaikan suasana rumah
berjam-jam, baik untuk bermain-main, berteriak kegirangan, seru-seruan bahkan untuk mem-
bully hingga melelehkan tangisan. Suara kegaduhan bocah di rumahku biasanya ada di siang
hari hingga senja pun tiba. Di saat itulah Umi biasanya menyiapkan kelas les calistungnya

An Anthology of Time | 34
buat sekelompok bocil baik mereka yang dari TK tempatnya mengais nafkah maupun mereka
yang bersekolah di tempat lain. Keramaian belajar mereka berlangsung dari senja hingga
malam menjelang. Sekalipun demikian, Umi selalu mengingatkan kami, aku, adikku,
Kakakku, teman-temanku maupun murid-murid kecilnya untuk selalu ingat Shalat dan
membaca Al Quran selepas Magrib hingga Isya’, agar kelak hingga dewasa kami bisa
mengefektifkan waktu dan membiasakan diri agar kami bisa meluangkan waktu kami untuk
menyirami nurani dengan siraman rohani, sebagai benteng mental dan keimanan kami.
Semua itu merupakan rangkaian kebahagiaan kami, yang kurasa tak semua orang
dapat menikmati apa yang sudah kudapatkan. Kata orang, “ Hidup itu sawang sinawang”, apa
yang didapat dan dilihat oleh seseorang di ujung sana tak akan sama dengan yang dirasakan
atau yang dinikmati oleh orang lain di tempat ini. Segalanya tak bisa diukir dengan materi,
karena materi itu hanya penunjang saja, walaupun materi bukan segala-galanya, namun untuk
mendapatkan kelayakan di sekitar kita terkadang juga butuh banyak materi. Apalah arti
materi yang banyak kalau tak ada cinta kasih diantara keluarga yang menunjang? Tapi…
memang betul juga,ya..cinta kasih diantara suatu keluarga tanpa materi yang tercukupi, pasti
hati dan jiwa penghuni keluarga itu tidak akan tenang, dong??ya kan?! Oleh karena itu, kedua
hal itu merupakan sisi manis yang tak akan pernah bisa dikikis, karena keduanya merupakan
dua sisi yang harus terpenuhi dalam kehidupan suatu keluarga. Bagaimana dengan keluarga
kalian? Semoga keluarga kalian pun juga mendapatkan kebahagiaan seperti yang kudapatkan.
Tidak harus mewah untuk bisa menghilangkan resah dan gelisah. Sederhana pun bisa
mewujudkan kebahagiaan yang sempurna. Bagaimana tidak? Kekayaan yang berlimpah kata
banyak orang dapat membuat sang pemiliknya sampah karena anak-anaknya tak pernah
merasakan buaian orang tuanya, orang tuanya tak pernah ada di rumah, sekali ngumpul di
rumahnya pun sering bikin marah, hanya ada nafsu serakah untuk dapat menggaet harta
keserakahan lainnya. Jiwa tak tenang, tak heran kalau terpenuhinya pun lewat banyak hutang,
banyak lintah darat menjeratkan hidup si serakah dengan haramnya hutang, lalu lalang pasti
diincar banyak orang, hidupnya dalam kungkungan.
Apakah hidup seperti itu aman? Tentu tidak, kan? Meleng sedikit dihibah, hati pun
gundah. Nah.. Alhamdulillahirobbil ‘alaamiin. Itu yang selalu kupanjatkan bersama-sama
dengan Umi, Kakak dan adikku sebagai rasa syukur kami yang tak terhingga karena walau
hidup kami belum mewah namun kebahagiaan yang kami terima lebih dari harta yang
mewah, dan keluarga kami hidup tentram dan penuh kesejahteraan. Ketentraman yang
dirasakan oleh keluarga kami merupakan sebongkah rasa yang selalu berlimpah dan berhias
warna-warni kesejahteraan penuh dengan ketentraman dalam kehidupan keluarga kami.
Orang tuaku yakin bahwa kenyamanan dan ketentraman dalam keluarga merupakan akibat
dari adanya persatuan dan kesatuan di rumah. Jika kita bersatu mau apa saja tetap satu suara,
akhirnya kesatuan, keguyuban dan kerukunan yang didambakan dapat segera terwujud.
Sejahtera menurut keluargaku adalah dalam jiwa, bathin dan perjalanan hidupnya aman,
sentosa makmur serta selamat lahir dan bathin terlepas dari gangguan apa pun, sedangkan
tentram bagi keluargaku yaitu rasa aman, penuh damai, tidak ada tekanan ataupun pikiraan
negative yang meresahkan, saling bantu satu sama lainnya. Seperti layaknya orang tuaku,
selalu membantu satu sama lainnya, peduli terhadap semua yang diperlukan anak-anaknya,
memenuhi segala kebutuhan anak-anaknya, memfasilitasi apa saja yang diperlukan anak-
anaknya dalam lingkungan keluarga.

An Anthology of Time | 35
Umi dan Abiku adalah sahabat terdekatku. Beliau berdua kedua orang yang sangat
memahamiku, Beliau mampu menjadi orang yang sabar mendengarkan segala keresahanku,
Beliau berdua yang selalu mengingatkanku agar terhindar dari ancaman yang mengganggu
mentalku menuju masa remajaku. Perlahan aku dapat menyadari apa yang dapat
kukerjakan sebagai baktiku pada Beliau berdua tanpa memberontak apa yang Beliau sarankan
atau yang Beliau mintakan padaku dan semua anak-anaknya. Aku, Kakakku dan adikku pun
tak berani menolak ataupun melakukan sesuatu yang dilarang oleh orangtua kami. Bagi Umi
dan Abi yang terpenting buat kami, anak-anaknya adalah menyadari perkembangan mental
kami, maka kami, anak-anaknya dapat merasa selalu dihormati dan dihargai apa yang
menjadi pendapat anak-anaknya. Sebagai seorang laki-laki remaja, pastilah aku juga
mengalami apa yang dinamakan pubertas, namun dengan didampingi Umiku, aku dapat
menjalani pengalaman itu dengan baik dan gembira. Di usia remaja sekarang ini, aku merasa
apa yang dulu menjadi perintah dari Abi dan Umi, sekarang seolah menjadi pernyataan penuh
makna yang terucap dari seorang sahabat, sehingga aku menjalaninya dengan penuh suka
cita. Hal seperti itu yang membuat kami, anak-anaknya, selalu berunding tentang banyak hal
yang baru yang akan kami lalui, tentang kasmaran di era millennial sekarang ini, tentang apa
yang belum kami ketahui, hingga tak ragu lagi menapakkan kaki kami sebagai anaknya, dan
kami pun tetap dapat belajar bagaimana menjadi anak yang selalu berbakti pada kedua orang
tuanya, agar kami pun sebagai anak-anaknya tidak mendapatkan hukuman dari orang tua
kami. Abi dan Umi pun tak pernah memberikan segala macam aturan tambahan lain yang
dapat membebani mental anak-anaknya yang dapat mengakibatkan renggangnya hubungan
antara kami dan orangtua kami. Abi dan Umi semakin akrab dengan kami, anak- anaknya
kami pun menganggap orangtua kami sebagai penmbimbing jalan hidup bersama Allah SWT
sehingga kami bisa terus bersama seumur hidup kami.
Suatu hari, saat pembelajaran berlangsung di rumah saja, di hari itu genap satu bulan
sudah aku di rumah, akibat adanya pandemic wabah virus yang tak kasat mata , namun
menyebarnya cepat dan sudah melanda ke mana-mana. Bertepatan dengan itu kala itu
tepatnya pelaksanaan puasa Ramadhan, selama itu pula aku belajar, berdoa, bermain dan
aktivitas yang lainnya hanya di rumah saja bersama dengan Kakak dan adikku, Zahra, adik
bungsuku, yang selalu meluncurkan candaannya di sela-sela ketegangan covid-19 merajalela,
tak lupa juga aku ditemani dengan Umi tercintaku, karena Abi, selalu berpesan agar kami
tetap berkumpul di rumah dengan dipenuhinya kebutuhan kami di rumah supaya terhindar
dari penyakit yang saat itu melanda, sementara Abi sendiri sibuk mengais rizki di zona
rantau.
Aku, Fani, begitu Umi dan teman-temanku mamangilku, adalah anak kedua yang
selalu setia menemani dan membantu Umi dan adikku di rumah kami. Sebagai anak yang
terlahir kedua menggantikan Kakakku, aku dengan senang hati membantu Umi dan menjaga
adik kecilku, hal itu sebagai tanggung jawabku karena Abi bekerja di luar kota, walau kala itu
Kakakku juga sedang berkuliah di luar kota karena ada informasi perkuliahan bisa
dilangsungkan secara daring (red : online) namun, masih ada juga beberapa mata kuliah
lainnya yang juga bisa diselenggarakan secara bertatap muka di kampus, sehingga aku selalu
berlatih untuk bisa menjadi yang terdepan dalam membela Umi,adik dan keluargaku, dan aku
sadar pengorbananku sering belum bisa meyakinkan orang tuaku, terutama Abi, aku pun terus
berlatih agar sikap dan tindakan dapat meyakinkan Beliau. Abi juga mengajarkanku agar aku

An Anthology of Time | 36
bisa mengayomi Umi dan adikku. Aku pun berusaha mewujudkan apa yang diutarakan dan
diharapkan Abi dan Kakakku di saat mereka berdua sedang tidak di rumah seperti sekarang
ini. Demi ketentraman dan cinta kasih yang sudah terjalin, aku pun berusaha
mewujudkannya.
Sejenak terlintas di pikiranku..Pada waktu aku kelas 6 SD, tepatnya pada tahun 2017 Abi
pergi untuk bekerja di luar kota demi mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga kami. Aku dan
adikku yang dapat dibilang masih usia anak- anak, menangis saat Abi pergi untuk bekerja.
Abi pun demikian, mengingat ikatan orang tua dan anak yang sangat erat, dan kami pun
tidak pernah jauh ataupun terpisah dari keluarga yang membuat Beliau cukup sedih untuk
meninggalkan rumah tepatnya keluarga kami. Namun kebutuhan ekonomilah yang
mengharuskan Abi untuk bekerja jauh. Sehari setelah Abi pergi bekerja, suasana rumah
terasa sangat jauh berbeda. Tapi, aku dan adikku, juga Umi saling bercanda tawa untuk
mengembalikan suasana awal rumah. Umi berperan sangat penting, selain bekerja menjadi
seorang guru, ibu, sekaligus merangkap tugas Abi juga harus dapat Beliau kerjakan, tak
heran kalau beliau selalu menyelesaikan segala pekerjaan rumah sendiri.
Awalnya, aku menganggap bahwa Abi seringkali memberi beban padaku untuk
menjadi panutan dan teladan bagi adiku, padahal, kadang aku pun ingin dimanja layaknya
mereka yang selalu dibuai manja oleh ayahnya, namun demi terwujudnya cita-cita Abi, aku
harus rela mengalah meninggalkan masa remajaku yang berhamburkan hura-hura.
Sayangnya, Abi sering mengabaikan pengorbananku. Aku sadar beliau kurang
memperhatikan hal-hal yang kuinginkan karena sibuk dengan pekerjaannya demi kami anak-
anaknya. Dan beliau menganggap aku mampu menjalaninya dengan baik. Teman-temanku
sendiri yang sama-sama terlahir sebagai anak tengah sering mengeluhkan hal yang sama
seperti yang kualami. Mereka bilang dalam keluhannyaa,”Betapa capeknya jadi anak
tengah,ya,”Lantas sebagian temanku yang lain bilang,”Kita sebagai anak tengah harus bisa
mengalah pada adik dan bertanggung jawab mengawasi dan menjaga adik kita, membantu
tugas Umi, menghargai Kakak sehingga kita tidak bebas bergerak semau kita dan tidak bebas
bermain,” Terkadang Abi sering mengabaikan hal itu, Beliau tidak pernah melihat itu semua
sebagai pengorbananku, namun memandang hal itu lumrah yang memang seharusnya terjadi
dan dialami oleh anak laki-laki dalam keluarganya. Umi sebagai penegah mampu menjadi
pengayomku, sehingga kedamaian tetap dapat kurasakan, tanpa harus merasa lalah atau
kalah. Bagi Umi anak tengah itu karakternya tidak berpihak pada siapa pun, pendiriannya
kokoh, tidak egois, memperhatikan dan mendengarkan apa yang ada di sekitarnya, peduli dan
dewasa. Tak semua orang tengah itu mengalah, dan tak semua yang kalah itu menderita.
Itulah kekuatan dan motivasiku, agar keutuhan keluargaku selalu bisa kami rasakan sampai
kapan pun. Aku juga ingin mengangkat derajatnya kedua orangtuaku. Tabarokallah..
“Faniiiii…”terdengar seruan Umi memanggilku, menyadarkan aku dari renungan dan
lamunanku di hari puasa Ramadan kala itu, itu tandanya aku harus membantu beliau
menyiapkan segala sesuatunya untuk keperluan berbuka nanti. Sembari membantu Umi di
dapur, hatiku masih merenungkan apa yang sudah ditanamkan Abi padaku dan Kakakku.
Alhamdulillah….puji syukur aku padaMU, Ya Rabb..aku tidak menganggap hal yang
kualami itu separah yang teman-temanku katakan, karena aku menyadari, mungkin saat
kedua orang tuaku memiliki aku sebagai anak laki-laki keduanya, beliau berdua terlalu
cemas dan khawatir akan segala hal tentangku, sehingga beliau cenderung memberi banyak

An Anthology of Time | 37
larangan padaku dibandingkan kepada adik kecilku karena khawatir akan keselamatan dan
kesejahteraanku. Kebetulan selisih usiaku dengan adik kecilku sekitar terpaut agak jauh, kira-
kira delapan tahunan, jadi aku punya adik, ketika aku bersekolah di bangku SD kelas dua.
Saat itulah Abi selalu ketat memberikan larangan padaku agar aku bisa selalu
waspada menjaga adik, demi untuk keselamatan adik kecilku. Kemudian di kala aku duduk di
bangku kelas enam, aku merasa tugasku bertambah satu lagi, yaitu menyiapkan bersekolah di
jenjang yang lebih tinggi, karena kedua orangtuaku berkeinginan memiliki seorang anak
yang bersekolah di sekolah yang didamkan mereka berdua, mengingat dalam anggapannya
bersekolah di SMP yang beliau berdua idamkan sangatlah memudahkan pengetahuan
anaknya dalam memahami dan menuntut ilmu. Kala itu bertepatan aku punya adik, Beliau
berdua sangat senang terhadapnya, karena kehadirannya sangat melengkapi keluarga kami.
Mengapa? Karena adik kecilku itu seorang cewek atau putri yang memiliki karakter yang
unik yang berbeda dibandingkan dengan kami berdua. Begitu pula perhatian yang nampak
dicurahkan oleh kedua orangtua kami pada adik putri bungsu kami itu. Kedua orang tuaku
memperlakukannya bak Tuan Putri yang sangat dikaguminya, seolah-olah jangan pernah ada
apa pun yang menyentuh ataupun menyakitinya.Aku pun beranggapan bahwa Umi dan Abi
memperlakukan anak bungsu, putrid kecilnya lebih sayang dan lebih santai dalam
menerapkan peraturan di dalam rumah. Nampak bahwa beliau tidak lagi mencemaskan dan
mengkhawatirkan aku dan Kakakku karena beliau selalu beranggapan aku dan Kakaku
mamapu dan sanggup bertanggung jawab pada adik kecil kami, sehingga aku bertekad untuk
mampu menjadi anak baik dan anak teladan dengan penuh tanggung jawab, tanpa pernah
membiarkan adik kecilku menjadi anak “nakal” atau centil liar. Tsumma na’udzu billah!
“Kak, kapan Abi pulang?”, setiap kali Zahra, si bungsu kecil itu menanyakan
kedatangan Abi, dengan kondisi yang tidak memungkinkan bagi Abi untuk pulang karena
kondisi dalam protokol pemerintah yang semakin jelas untuk tidak boleh dilanggar. Aku dan
Kakakku semakin yakin bahwa tugas Abi dalam keluarga harus kami, aku dan Kakakku yang
dapat mewujudkannya baik bagi Umi maupun bagi adik kecil kami. Hingga aku teringat apa
yang pernah Abi nasihatkan di suatu hari, “Le, kamu harus berhasil,Nak.Kalian kedua anak
laki-laki yang Abi idam-idamkan. Kalian harus bisa menjadi pengganti Abi buat Umi dan
mampu menjadi pelindung buat adikmu kelak. Di suatu saat nanti adikmu pasti sangat
menginginkan kamu yang memutuskan persoalannya. Kamu pasti bisa menjadi pahlawan
buat adik perempuanmu,”
Hari ini kurenungkan apa yang sudah Abi pesankan..Aku pun tak akan pernah
membiarkan airmata Umi meleleh karena kondisi keluarga kami. Setahun lagi aku harus
menuntaskan sekolahku agar aku bisa membantu Abi demi keutuhan dan kesejahteraan
keluarga kami.
Pelajaran yang dapat kupetik dari perjalan kisahku kali ini adalah apa yang sudah
ditanamkan Abi beberapa waktu yang lalu yang memang buatku sudah dipersiapkan untuk
masa-masa seperti ini. Tak kenal lelah kupanjatkan doa buat Abi dan Umi,”Maaf atas segala
kesalahan, perilaku maupun tutur kataku yang kurang berkenan bagi Abi dan Umi.. Kelak
akan kuwuwjudkan apa yang Abi dan Umi cita-citakan..Maafkan aku,ABi..Umi, karena aku
masih belum bisa excellent untukmu..,”Dalam doaku di sepanjang hidupku ini semoga
harapanku selalu mendapatkan ridloNYA..Aamiin...
Siang syahdu, Ahad271222

An Anthology of Time | 38
An Anthology of Time | 39
Ini Hidupku, Ini Kisahku
Bunga Lailatuz Z.

Halo semua, disini aku akan bercerita tentang kehidupan seseorang yang bernama Zahra.
Cerita ini mungkin seperti curhat ya? Tapi ini tidak ada unsur curhatnya Cuma ingin berbagi
cerita yang pernah zahra rasakan.
Zahra ialah anak pertama yang lahir di keluarga sederhana. Zahra mempunyai adik
perempuan yang berumur 3 tahun. Zahra termasuk anak yang pendiam, dan dia tidak mudah
bergaul dengan orang yang baru ia kenal. Sekarang ini zahra sudah berumur 16 tahun dan dia
masih duduk di bangku SMA. Kehidupan zahra berubah sejak dia mulai tumbuh dewasa,
dimana dia sudah mulai mengerti tentang banyaknya cobaan di kehidupannya.
Dulu zahra pernah berfikir bahwa dewasa itu menyenangkan akan tetapi sekarang dia
merasakan bahwa dirinya seolah-olah di paksa untuk menjadi dewasa oleh keadaan. Dia
selalu merasa bahwa dirinya tidak berguna bagi siapapun, zahra sudah berusaha menjalani
kehidupannya dengan baik akan tetapi semua berjalan tak seindah yang ia bayangkan.
Zahra juga menginginkan keluarganya selalu harmonis dan bahagia namun, tidak ada
kehidupan jika tidak ada cobaan. Ketika zahra melakukan kesalahan dia di tegur dan di
nasehati oleh kedua orang tuanya dan zahra juga sadar bahwa dirinya bersalah. Zahra juga
berusaha untuk memeperbaiki diri sesuai apa yang diinginkan oleh kedua orang tuanya. Akan
tetapi usaha zahra tidak membuahkan hasil, apa pun yang ia lakukan selalu terlihat salah
dimata kedua orang tuannya, ia melakukan hal baik pun masih tetap salah. Seolah-olah semua
yang dia lakukan itu tidak ada yang benar entah dia melakukan hal baik ataupun hal buruk.
Kedua orang tua zahra semakin hari semakin seperti tidak mempercayainya. Ia selalu
bersabar dan tetap optimis dalam menjalani ataupun menyelesaikan masalah yang ia alami.
Dia anak yang pintar menyembunyikan semua masalahnya, dia tidak pernah
menunjukkan kepada semua orang bahwa dirinya sedang tidak baik-baik saja melainkan
zahra selalu bahagia di depan semua orang ataupu teman-temannya. Zahra berharap dirinya
dapat melewati ini semua, dan kembali hidup seperti dahulu yang selalu ceria yang tidak
pernah sedih. Selain itu zahra juga anak yang cengeng dia selalu menangis pada malam hari,
dia menangis bukan berarti dia menyerah, dia hanya capek dengan keadaan yang semakin
hari semakin kacau dan perlakuan kedua orang tuanya yang selalu menyalahkan dirinya tanpa
mengerti hati dan batinnya. Dia hanya butuh menangis sebentar untuk menenagkan hati dan
yang pastinya hati itu sudah sangat rapuh dan banyak luka yang tak terlihat namun luka itu
membekas. Zahra juga sering tak dianggap jika sedang bersama orang-orang terdekatnya,
bukan berarti mereka mengucilkan Zahra, ia terkadang bercerita kepada mereka akan tetapi
mereka asik berbicara sendiri sedangkan Zahra bercerita pun tak di dengarkan. Zahra
sebenernya tidak mengambil hati tentang perlakuan orang-orang terdekatnya, namun dia
merasa bahwa ia bercerita kepada siapapun tidak akan ada yang mau mendengarkan
ceritanya. Maka dari itu zahra menjadi seseorang yang tidak gampang terbuka oleh siapapun,
ia menjadi pribadi yang lebih pendiam. Sesekali dia bercerita hanya kepada beberapa orang
terdekatnya yang bener-bener mengerti akan dirinya.
Dari beberapa masalah yang ia alami, zahra sedikit demi sedikit menyadari bahwa
semuanya pasti dapat bisa dilaluinya dan mungkin yang dilakukan oleh kedua orang tua zahra
itu baik buat masa depan dirinya, maka dari itu zahra bersyukur telah mempunyai keluarga
An Anthology of Time | 40
yang membuat zahra sadar terhadap apa yang zahra lakukan itu tidak semuanya benar
menurut zahra saja, melainkan orang lain pun juga ikut menilai perilaku yang ia lakukan.
Seperti benar menurut dia akan tetapi salah menurut orang lain. Ternyata gini ya proses
dewasa, tidak segampang yang pernah zahra bayangkan.
Zahra banyak mendapatkan pelajaran dan pengalaman dari kisah permasalahan zahra
sendiri, ia sekarang dapat mengerti kesalahan-kesalahan yang ia lakukan. Dia dapat lebih
berhati-hati dalam melakukan suatu hal ataupun perilakunya terhadap orang lain. Banyak
kenyataan pahit yang diterima dan banyak juga pengalaman atau pelajaran yang bisa diambil
dari beberapa masalah. Apapun masalahnya pasti ada solusinya jika kita bisa melewati
sebuah masalah atau apa pun itu dengan pikiran tenang, sabar dan tidak menyangkut pautkan
emosi, pasti masalah yang kita hadapi dapat teratasi.
Dan sekarang zahra sudah mulai belajar untuk menjadi seseorang yang lebih dewasa, ia
dapat belajar dari beberapa kejadian yang telah dia lalui agar dia lebih mengerti tentang orang
lain bukan hanya dirinya saja.
Baiklah itulah rangkaian cerita dari kisah hidup seseorang yang bernama zahra, kalian
dapat mempelajari dan mengambil hikmah dari kisah tersebut.

An Anthology of Time | 41
Keluarga?
Danang Khairul N.

Hai, ini sedikit cerita dari kisahku, meskipun sebenarnya tidak ada yang spesial dalam
hidupku. Perkenalkan namaku Angkasa Alwijaya dan aku biasa di panggil angkasa. Aku
adalah seorang anak yang merasa selalu di banding-banding kan, mungkin karna aku adalah
anak laki laki satu satunya dari 3 bersaudara dan bisa di bilang aku juga tidak terlalu pintar
jika di bandingkan dengan kedua kakak ku. Aku menjalani keseharian layaknya orang-orang
pada umumnya, aku bangun tidur seperti biasa setelah bangun tidur aku pergi mandi dan
bersiap siap untuk sarapan pagi, setiap kali aku sarapan pagi selalu saja mendengar kedua
orang tuaku bercekcok entah itu karna hal-hal kecil hingga masalah-masalah lainnya, dan aku
hanya diam saja berpura pura tidak mendengar atau bahkan berpura pura tidak melihat apa
pun dan melanjutkan sarapan pagiku yang sedikit membuat moodku menurun di pagi hari
bahkan aku terkadang bersarapan cepat-cepat hanya karna aku tidak ingin mendengarkan
pertengkaran yang membuat mood pagiku yang seharusnya bersemangat untuk menjalani
hari-hari menjadi bad mood atau sebut saja tidak bersemangat menjalani hari.
Jujur saja aku juga tidak terlalu dekat dengan keluargaku sendiri bahkan dalam satu
keluarga yang kuanggap dekat denganku hanya kakakku yang ke dua, Namanya Prisca
Anastasya Al Wijaya atau yang biasa aku panggil Kak Ica. Dan kita saat ini tidak tinggal satu
rumah karna kak Ica sedang berkuliah di luar kota, terkadang aku sedikit menceritakan
tentang apa saja yang telah aku lakukan atau apa saja yang telah aku ikuti tetapi hal ini tidak
selalu terjadi karna aku tidak ingin mengganggu konsentrasinya dalam mengerjakan tugas
kuliahnya. Ketika aku masih kecil aku merasa lebih dekat dengan kakakku yang pertama
mungkin karena semenjak aku masih bersekolah di taman kanak-kanak kakakku yang
pertama inilah yang biasa mengantar aku berangkat ke sekolah karna ayah dan ibuku sibuk
dengan pekerjaannya dan juga pada saat itu kakakku yang pertama ini juga sudah bekerja
atau magang gitu.... Aku sedikit lupa karna ya namanya juga posisiku waktu itu hanyalah
seorang anak yang sedang duduk di bangku taman kanak kanak/TK. aku tak tau apa yang
terjadi antara aku dan dia yang kutau pasti ku benci untuk mencintaimu jangeh o Oohh iya
aku lupa memperkenalkan nama kakakku yang pertama namanya Felicia Berlian Alwijaya
aku biasa memanggilnya kak cia sampai mana tadi ceritaku!? Oohh iya.. selain aku dekat
dengan kak Cia karna kak Cia sering mengantarkanku ke sekolah kak Cia juga bisa di bilang
sering membelikan mainan untukku, yaaahhh namanya juga anak kecil pasti mudah sekali
dekat dengan seseorang karna sering di belikan mainan hahhahah, tetapi seiring waktu
mungkin karna perbedaan umur yang bisa di bilang cukup jauh dengan kak Cia jadinya aku
tidak se akrab ketika aku masih kecil di tambah juga kak Cia sudah menikah dan sudah
mempunyai anak ketika aku sedang duduk di bangku Sekolah Dasar/SD hal ini sudah cukup
kuat sebagai alasan mengapa aku tidak lagi dekat dengan kak Cia.
Oohh iyyaaa aku tadi kan semat bilang kalau aku sudah terbiasa di tinggal kedua orang
tuaku bekerja sejak masih kecil, dulu aku pasti jika waktu pulang telah tiba ketika masih TK
aku sering pulang jalan kaki bersama teman temanku dan aku selalu pulang ke rumah nenek
karna di dekat rumah nenekku banyak sekali rumah teman temanku jadi aku bisa pergi
bermain bersama dan juga aku punya sepupu yang bernama dika dan kami selalu bermain
bersama setelah pulang sekolah mulai dari TK hingga SD karna kita selalu satu sekolah
An Anthology of Time | 42
namun semenjak smp kita sudah mulai jarang bermain bersama karna kami sudah tidak satu
sekolahan lagi. Semoga saja tidak curiga karna aku sedikit nge cheat sih jujur bingung mau
cerita apa lagi capek loh woi dikira tugasnya xuma ini aja apa nggak wei ini kapan saja dan
tidak tau apa itu tugas dan tanggung jawab ku tak bisa di bilang sering membelika Okay
kembali ke topik pembahasan utama, jujur saja aku masih mempertanyakan apa arti keluarga
itu sendiri sebenarnya hhhmmmmm. Oh iyaa karna kedua orang tuaku sangat sibuk sekali
mencari uang jadi aku sangat jarang sekali pergi bersama kedua orang tuaku bahkan saat saat
bersama kedua orang tuaku bisa di hitung dengan jari hehehe :v, hal ini membuatku merasa
kesepian karna aku juga sering di larang untuk pergi bermain bersama teman teman dan ini
juga membuatku memiliki sifat yang introvert, oh iyaa kalian pernah ga sih mendengar orang
tua kalian menyuruh kalian pergi keluar rumah untuk mengikuti beberapa kegiatan karna ada
tetanggamu atau saudaramu yang ikut kegiatan atau acara tersebut dan mereka
memenangkannya pasti kalian pernah mengalaminyakan?! Jujur rasanya nggak enak banget
kalau di banding bandingkan, jadi ketika aku memasuki bangku sekolah menengah pertama
aku ingin menghapuskan sifat introvert ku ini dengan mengikuti organisasi organisasi yang
ada di sekolah dan juga beberapa kegiatan yang ada di sekolah karna jujur saja menjadi orang
yang introvert itu tidaklah menyenangkan. Sebenarnya aju ingin mengungkapkan rasa tapi
mengapa aku slalu tak bisa bagai mana caranya agar dirimu bisa tau kalau aku suka suka suka
suka sama kamu awoakaok saiki aku wes sadar terlalterlalu bodou mendintai. aku mengikuti
beberapa organisasi ini juga karna aku sangat malas sekali untuk pulang ke rumah. Ya bukan
tanpa alasan mengapa aku sangat malas sekali pulang ke rumah alasannya karna tidak ada
yang bertanya”bagaimana dengan harimu?” tetapi ini bukanlah alasan utamanya, alasan
utamanya adalah karna terkadang aku merasa lelah setelah menjalani kegiatan keseharianku
Dan ketika sampai di rumah terkadang ada saja hal kecil yang selalu di bahas oleh ayahku
seperti ketika aku setelah pulang tidak langsung meletakkan barang barang ke tempat yang
seharusnya hal ini langsung akan di bahas oleh ayahku dan biasanya aku bilang” tunggu
sebentar lagi pasti akan ku taruh lagi barang barang itu ke tempat yang seharusnya” tetapi
ayahku selalu terus mengomel tentang hal ini hingga aku selesai meletakkan barang barang
itu ia pasti akan masih terus menjadikan ini menjadi trending topik yang akan terus di
bahasnya sepanjang malam itu, dan hal ini membuatku menjadi terbiasa langsung masuk ke
dalam kamar setelah pulang sekolah ketika sampai rumah. Dan bila suatu saat nanti kita akan
berpisah maka izinkanlah aku beritau aku vara melupakan mu seperti ku berharap kau
bahagia saiki aku wes sadar terlalu bodoh mencintai mu rungkat entek entek an aann na na na
na na na jangaan anggap kau sendiri hadapi oooo ada aku di sini walau dia kini tlah la Dan
bisa di lihat juga dari beberapa hal itu bahwa aku dan ayahku terkadang tidak terlalu akur,
habisnya ayahku sangat menjengkelkan ya meskipun itu demi kebiasaan yang baik... Dan
Ayahku Selalu mengunci pintu rumahku bahkan ia tidak memperhatikan aku ada di rumah
atau tidak padahal aku hanya pergi ke warung yang berada tak jauh dari rumahku dan ketika
aku mengetuk dan memanggil untuk meminta di bukakan pintu ia pasti sangat lama untuk
membukanya hal ini jugalah yang membuat aku semakin jengkel dengan ayahku. Yaahh
meskipun hal ini berjutuan untuk keamanan rumah karna kan rumahku juga berada di sebuah
desa dan juga rumahku berada di ujung gang dimana sangat sepi dan jarang sekali rumah,
bukan jarang juga sih lebih ke sepi hehehhe. Lal Meri Anak Bebek di dunia pisan ndek
umahku di dunia pisan ndek umahku di dunia pisan ndek umahku di dunia pisan ndek

An Anthology of Time | 43
umahku di dunia pisan ndek umahku di dunia pisan ndek umahku di dunia pisan ndek
umahku di dunia pisan ndek umahku di dunia pisan kang mas Vera Wang Lee yang mungkin
bis Sebenarnya aku hingung harus bercerita apa lagi mungkin saking terlalu banyaknya cerita
hidupku hahahhah!. Oke aku akan menceritakan pengalaman ternakalku saat di sekolah
jangan bilang ke siapa siapa ya ini rahasia kita hehehe, sebenernya aku sewaktu duduk si
bangku sekolah menengah pertama aku perna bolos sekolah karna ya gatau kayak pengen aja
gitu ngerasain bolos hehehehe jangan di tiru ya aksi si anak bodoh yang nakal ini dan
pastinya ngga Cuma sampai di situ aja aku juga sangat nakal di sekolah menengah pertama
hingga sering di panggil oleh guru bk bahkan orang tuaku pernah di panggil oleh bk kalau di
ingat ingat ya pastinya malu tapi kapan lagi yakan prinsipku adalah nikmatilah masa mudamu
dengan segala sesuatu yang membuatmu bahagia tetapi harus masih dalam batas yang wajar
yaaaa meskipun tingkahku itu tadi sedikit melebihi batas wajar hehehe.ketika mimpi’mu tak
begitu indah tak pernah terwujud ya sudahlah jangan kau bersedih malu dengan cinta ai aku
ingin menjadi seorang bilioner tenang tenang yang tak kunjung datang menanti nanti
cahayamu beri aku petunjuk mu okey to cry cause your little wwaile heheh hah ha hait’s Dan
kenakalan ku di bangku sekolah menengah pertama berakhir pada saat aku duduk di bangku
kelas 8 atau kelas 2 Sekolah menengah pertama karna terjadi atau terdapat wabah dari virus
COVID -19 yang memiliki dampak besar dan membuat proses belajar mengajar dilakukan
secara dari dan ini berjalan selama kurang lebih dua tahun lamanya dan selama daring ini
juga aku lulus dadi sekolah menengah pertama dan melanjutkan ke jenjang sekolah
menengah atas oh iya kenapa aku bisa se nakal itu dulu sewaktu sekolah menengah pertama
karna pada saat aku bersekolah bertemu dengan teman teman yang nakal nakal juga hehe
Karna dulu nakal itu sama dengan keren ngakak ga sih rada aneh emang. ketika mimpi’mu
tak begitu indah tak pernah terwujud ya sudahlah jangan kau bersedih malu dengan cinta ai
aku ingin menjadi seorang bilioner tenang tenang yang tak kunjung datang menanti nanti
cahayamu beri aku petunjuk mu okey to cry cause your little wwaile heheh hah ha salah kah
ku menisedih sih tapi ya mau bagaimana lagintai mnamanya Lanjut ke cerita sewaktu daring
kan lebih sering di rumah dan ini juga semakin membangkitkan jiwa introvert ku ya kan tau
sendiri kita di suruh ber isolasi mandiri oleh pemerintah dan jarang sekali berinteraksi dengan
orang atau bahkan bisa di bilang hampir tidak pernah, oh iya bagaimana pengalaman kalian
sewaktu sekolah online atau daring ada yang sama dengan aku nggak? Aku sewaktu daring
pasti Cuma ketika guru meng absen saja ada di dalam room tersebut ketika sudah di panggil
namaku aku langsung pergi mengambil makanan dan gurunya aku tinggal menonton film
hehehe jangan di tiru ya! Jujur hal ini membuat rindu masa masa pandemi tapi tidak ingin
pandemi terulang lagi heheh amit amit dong karna aku tadi sempat bilang juga kan kalau aku
aktif berorganisasi di sekolah menengah atas dan jika pandemi bergejolak kembali maka akan
banyak event event seru yang akan di batalkan dan ini bisa membuat kehilangan masa terseru
di bangku sekolah yaitu ketika di bangku sekolah menengah atas kata orang orang sih sekolah
menengah atas adalah masa terseru di bangku sekolahan saya setuju sih dengan prespektif ini
karna sekolah menengah pertama kan masa dimana kita sudah berada di ujung masa remaja
dan akan berproses menjadi lebih dewasa dan di bangku Sekolah menengah atas ini banyak
juga kan yang mengenal namanya cinta. Ini cerita ku tentang apa sih sampai lupa karna
terbawa suasana hehehe ini udah agak melenceng dari topik pembahasan utamanya padahal
kan ini verita tentang keluarga kenapa aku malah cerita tentang masa masa sekolah ku. ketika

An Anthology of Time | 44
mimpi’mu tak begitu indah tak pernah terwujud ya sudahlah jangan kau bersedih malu
dengan cinta ai aku ingin menjadi seorang bilioner tenang tenang yang tak kunjung datang
menanti nanti cahayamu beri aku petunjuk mu okey to cry cause your little wwaile heheh hah
ha hketika mimpi’mu tak begitu indah tak pernah terwujud ya sudahlah jangan kau bersedih
malu dengan cinta ai aku ingin menjadi seorang bilioner tenang tenan Okey kembali ke topik
utama yang sesuai dengan judul yang bercerita temtang keluarga dan aku yang bingung di
dengan apa itu arti keluarga, sewaktu dulu setelah orang tuaku di panggil oleh guru BK dan
yang datang itu bunda ku dan setelah pulang dari panggilan itu dan setelah aku pulang
sekolah sesampainya di rumah aku di omeli habis habisan karna mempermalukan nama
keluarga sebenarnya aku juga bingung kenapa aku melakukan ini apakah karna aku sedang
mencari perhatian dari orang tuaku namun caraku juga salah hhhmmmmm. ketika mimpi’mu
tak begitu indah tak pernah terwujud ya sudahlah jangan kau bersedih malu dengan cinta ai
aku ingin menjadi seorang bilioner tenang tenang yang tak kunjung datang menanti nanti
cahayamu beri aku petunjuk mu okey to cry cause your little wwaile heheh hah ha hketika
mimpi’mu tak begitu indah tak pernah terwujud ya sudahlah jangan kau bersedih malu
dengan cinta ai aku ingin menjadi seorang bilioner tenang Pada waktu itu Kak Ica yang
sedang duduk di bangku sekolah menengah atas sewaktu pulang sekolah juga mungkin
merasa sangat kecewa, saking kecewanya Kak Ica kepadaku aku di lempari dengan sepatu
dong dan waktu itu aku Cuma bisa diam dan menerima semua hukuman karena aku sangat
pantas untuk menerima hukuman di sisi lain aku merasa si anggap karna menjadi pusat
perhatian memang agak aneh sih hahahah. Dan satu tahun berlalu tentang permasalahan itu
dan semua keluargaku telah mengabaikan berita buruk itu dan aku pun berusaha untuk
membuat bundaku bangga kepadaku karna aku tidak ingin hanya bisa menyakiti hati bunda
dan aku ingin menebus segala kesalahan yang pernah ku perbuat kepada bundaku tercinta.
Okey kembali ke topik utama yang sesuai dengan judul yang bercerita temtang keluarga
dan aku yang bingung di dengan apa itu arti keluarga, sewaktu dulu setelah orang tuaku di
panggil oleh guru BK dan yang datang itu bunda ku dan setelah pulang dari panggilan itu dan
setelah aku pulang sekolah sesampainya di rumah aku di omeli habis habisan karna
mempermalukan nama keluarga sebenarnya aku. Dan aku dulu sebenarnya tidak di izinkan
untuk bersekolah di sekolah menengah atas melainkan aku di sarankan atau di suruh ke
sekolah menengah kejuruan oleh kak Cia karna mengingat aku adalah anak laki laki jadi di
hadapkan kalau aku sekolah di sekolah menengah kejuruan bisa segera mendapatkan
pekerjaan supaya bisa mendapat penghasilan sendiri dan kelak aku kan pasti akan
menghidupi anak istriku alasan Kak Cia gitu sih, Aku pun menurutinya dan di pendaftaran
gelombang pertama aku tidak lolos dan Kak Cia bilang kalau sampai aku tidak lolos maka
aku akan di sekolahkan di sekolah menengah kejuruan swasta dan aku sontak menolak dong
karna melihat nilaiku yang tidak bagus bagus banget dan juga karna aku selalu bersekolah di
sekolah negeri, dan ketika aku yang takut masuk di sekolah swasta ini tiba tiba mendapatkan
informasi tentang pendaftaran sekolah menengah atas gelombang terakhir dan memiliki kuota
yang sangat banyak jadi aku iseng mendaftar di salah satu sekolah menengah atas terfavorit
yang berada si kota ku dan aku di sini mendaftar secara diam diam dan setelah aku lolos aku
baru bilang ke kak cia kalau aku lolos di sekolah menengah atas bukan di sekolah menengah
kejuruan dan sekolah menengah atas ini juga merupakan sekolah menengah atas kak Ica jadi
mau ngga mau ya harus mau dong hehehe agak maksa tapi gapapa lah. Bingung mau nulis

An Anthology of Time | 45
apa karna aku tidak tahu apa yang terjadi di dalam sanggar seni ikuti festival etnik Tabalong
yang tidak ikut pelantikan laksana surgaku Yovie and Nuno mengejar mimpi aku tidak bisa
hadir di Indonesia yang memiliki UU no 1 opo ga ada yang ultah pada bulan April tahun ini
saya akan coba untuk ikuti Dan di sekolah menengah atas inilah aku bersekolah sekarang di
mana aku mencoba untuk aktif di kegiatan maupun di oragani sasi karena selain aku ingin di
kenal oleh warga sekolah aku juga ingin membuat bangga orang tuaku dengan cara yang
tidak melenceng lagi karna aku tidak ingin melihat surgaku meneteskan air matanya lagi dan
juga di sekolah ini kak Ica juga pernah mwnjadi inti suatu organisasi yaitu kak Cia sebagai
ketua wanita pada organisasi tersebut. Dan karna sewaktu kelas sepuluh aku tidak mengikuti
ekskul apa apa jadinya aku mengikuti organisasi yang ada di sekolah menengah atas oh iya
pasti pada bertanya tanya kan nama sekolahku apa? Kamu nanya? Hehehe kamu nanya? Aku
jawab! Jadi aku bersekolah di SMA negeri Tunas Bangsa sudah kan terjawab sudah apa nama
sekolahku mweeheheh. Kelas swpuluh aku tidak mengikuti ekskul apa apa jadinya aku
mengikuti organisasi yang ada di sekolah menengah atas oh iya pasti pada bertanya tanya kan
nama sekolahku apa? Kamu nanya? Hehehe kamu nanya? Aku jawab! Jadi aku bersekolah di
SMA negeri Tunas Bangsa sudah kan terjawab sudah di trans TV pukul pantat saya tidak
tahu apa Jadi mungkin itu saja sedikit cerita yang bisa aku ceritakan semoga bisa menghibur
anda yang sedang membaca ini dan saya berharap anda selalu mendapatkan momen momen
kebersamaan bersama keluarga anda karna itu adalah hal paling berharga yang ada dalam
sebuah keluarga jadi jangan sampai seperti saya yang tidak memiliki momen momen
kebersamaan dengan ayah atau pun bunda karna mereka sibuk dengan pekerjaannya masing
masing end then terkadang aku merasa iri ketima melihat anak anak yang sedang bergurau
dengan orang tuanya bahakan terkadang air mata tak mampu ku bendung ketika mwlihat
momen momen berbahagia itu karna masa kecil tidak biaa di ulang kembali. Dan jangan lah
engkau bertengkar dengan kedua orang tuamu terutama ibu mu karna engkau tidak akan
mencium aroma surga jika engkau mwnyakiti hati ibumu jadi aku berusaha sangat keras intuk
membuat bundaku yang tersayang berbahagia selalu dan semoga kelak ketika aku sudah
sukses aku mampu menjadikan ibuku seperti ratu yang bisa ku penuhi semua keinginannya
tentu saja atas izin Tuhan. Sudah sekian dari saya dan ingat ingatlah pesan pesan yang telah
saya sampaikan jujur saya Bingung harus menulis apa lagi sebentar yaa saya sedang berfikir
akan menulis apa lagi untuk di sampaikan kepada anda yang sedang membaca, ooohhh I
know aku ingin menyampaikan jangan lupa untuk selalu bersemangat menjalani hari hari
anda yang tentu saja tak kan mudah dan aku yakin anda pasti akan bisa melalui semuanya dan
aku yakin badai akan segera berakhir jadi bersemangat lah selalu dan ingatlah bahwa tuhan
tidak pernah tertidur jadi ingatlah selalu jika anda masih memiliki Tuhan yang mampu
mendengar semua curhatan curhatan anda san karna susah mencapai tiga ribu kata saya pamit
undur diri bye bye jangan lupa untuk selalu bersemangat dan tebarkan aura positif mu karna
orang akan merasa bahagia jika terkena vibes yang positif heheh bye bye.....

An Anthology of Time | 46
End of Talk
Diva Rizkyah R.

Sepi, sama seperti biasanya. Itulah yang aku rasakan setiap sepulang sekolah. Rambut
yang sedikit keluar dari kerudung yang kukenakan, berpadu sempurna dengan wajah lesu
yang menghiasi wajah manisku. Aku terlahir dari keluarga yang sederhana dan biasa-biasa
saja, bukan pejabat, apalagi ningrat. Menjadi anak pertama dari dua bersaudara memaksaku
menjadi lebih kuat lagi dalam menjalani takdir kehidupan. Perkenalkan, aku Diosa Keyna
Zahwa, panggil saja “Osa”.
Mungkin bagi kebanyakan manusia di dunia ini, takdir sering berlaku tidak adil. Hal itu
juga berlaku bagiku. Takdir seakan akan mempermainkan hidupku. Dan kini, aku tumbuh
menjadi remaja yang tak peduli bagaimana cara semesta mengabulkan keinginanku.
Nama Diosa yang berarti Ratu seakan sengaja diberikan untuk menggambarkanku.
Tanggung jawab yang kumiliki sangat besar di samping untuk diriku. Dan aku dipaksa untuk
mampu. Inilah aku, sosok yang akan menjadi contoh untuk adik-adikku.
Kriing... Kriing...
Kedua kelopak mata indah itu perlahan terbuka. Gadis itu terlonjak kaget mendengar
dering alarm yang mungkin telah berbunyi ratusan kali dan sekarang menunjukkan pukul
05.30.
“SUMPAH JAM SETENGAH ENAM??” seruku setengah berteriak sambil memastikan
kembali dengan jam dinding berbentuk bulan yang terpasang di atas pintu. Dan benar, aku
terlambat bangun. Tak perlu menunggu lama, dengan secepat kilat aku telah melesat masuk
ke dalam kamar mandi.
“Pagi, ma, Osa langsung berangkat ya? Soalnya udah telat ini, ngga enak juga sama Er
udah nunggu lama,” Ucapku dengan menyalami tangan mama.
“Iya, hati-hati kak. Uang sakunya ambil di meja depan ya!” jawab mama yang kubalas
dengan acungan jempol.
Ketika di rumah, aku memang selalu dipanggil kakak. Baik mama, adik maupun papa
juga memanggilku dengan sebutan itu. Mungkin agar kedua adik kecilku bisa menghormati
kakaknya, hehe.
“Maaf Er, aku bangun telat banget tadi,” Ujarku dengan nada lemah.
“Santai aja Sa. Yang lagi ulang tahun mah hari ini bebas deh yaa” goda Er, teman sekolah
sekaligus tetanggaku.
“Apaan sih.. udah yuk berangkat aja. Jam pertama aku ada PH nih, kalau sampai telat
awas aja kamu!” ancamku.
“Iya deh iyaa... cepet naik, Sa!” Jawab Er pasrah.
Sesampainya di sekolah, aku langsung melangkahkan kakiku menuju kelas. Suasana riuh
langsung menyambut kedatanganku, dan aku tidak peduli. Toh itu lumrah karena sudah
siang. Ngomong-ngomong tentang sekolah, aku bersekolah di salah satu SMA yang cukup
terkenal di kota ini. Terkenal siswanya, terkenal prestasinya, dan sistem pengajarannya.
“Tumben banget Sa,” Ucap Hyldan, teman sebangkuku.
“Biasa, Hyl, kesiangan,” Jawabku sambil menaruh tas di bangku dan segera duduk. Di
kelas ini aku duduk di baris kedua yang sudah menjadi tempat andalanku. Bagaimana tidak,
dekat dengan kipas dan papan terlihat jelas. Sungguh perpaduan yang tepat.
Kegiatan pembelajaran akan dimulai lima belas menit lagi. Untuk mengusir jenuh, aku
mengambil sebuah novel di dalam kolong mejaku. Ketika hendak mengambil, aku sedikit

An Anthology of Time | 47
terperanjat. Tanganku menyentuh benda asing yang tak kukenali. Kutarik perlahan dan
terlihat jelas sebuah kotak putih berhiaskan pita merah. Cantik, batinku.
“Dari siapa Hyl?” tanyaku. Hyldan menoleh dan menggeleng pertanda tak tahu.
Netraku menyusuri seluruh isi kelas. Barangkali ada orang asing yang mungkin adalah
pengirimnya. Namun nihil, tidak ada yang mencurigakan.
Hyldan yang melihatku sedikit gusar berkata, “Buka saja Sa, mungkin itu memang
untukmu?”
“Kalau pengirimnya mungkin dari Lyta atau Mega?” imbuhnya.
Aku terdiam. Ucapan Hyldan ada benarnya, boleh jadi itu dari mereka.
“Iya sih, nanti aku tanyakan,”
Tanpa menghiraukan kotak itu lagi, aku langsung memasukkannya kembali ke dalam
kolong meja. Aku tidak ingin jika konsentrasiku terganggu hanya karena kotak berpita itu.
Namun sekeras apa pun aku berusaha, pikiranku tetap melayang memikirkan siapa
pengirimnya bahkan hingga bel pulang sekolah berbunyi. Aku melesat pergi setelah
pembelajaran di tutup dan guru telah keluar, juga tak lupa kotak itu yang telah berada di
dalam tasku. Langkahku berjalan dengan santai menyusuri lorong kelas MIPA di tengah-
tengah suasana riuh khas pulang sekolah.
“Lyta!!” panggilku sedikit berteriak. Di depan sana, Lyta dengan backpack yang ia
kenakan beserta totebag di bahu sebelah kirinya menoleh, memandang sekilas, kemudian
berbalik menuju ke arahku.
“Halo Osa sahabatku, Happy Sweet Seventeen yaa,” Ucapnya dengan riang setelah
berada di hadapanku.
“Iyaa makasih, Ta,” Jawabku dengan menyunggingkan senyum.
“Oh iya Ta ini dari kamu? “ tanyaku.
“Hehe iya.. Sekali lagi selamat ulang tahun ya Sa,” Ucapnya dengan tampang tak berdosa
setelah membuatku sangat penasaran.
“Duh, Ta, sok misterius banget sih.. tau ngga kalau aku tadi pusing banget mikirin siapa
yang ngasih aku kotak ini. Lain kali ngga usah repot-repot deh Ta, aku jadi ngga enak ke
kamu,” Ujarku sungkan.
“Hahahaha itu tujuanku sih. Lagian kayak sama siapa aja, udah terima aja. Btw ini dari
aku sama Mega, dan Mega ngga masuk hari ini makanya aku sendirian,” Papar Lyta.
“Ih kasihan... parah ngga, Ta?”
“Kayaknya sih ngga. Paling juga besok udah masuk,”.
Sore itu setelah berbicara dengan Lyta aku memutuskan untuk pulang. Semburat senja
tetap terlihat walaupun gerimis membasahi bumi. Daun-daun melambai seakan menyapaku,
angin berhembus halus menerpa kulitku, dan aku duduk termenung sendirian di halte depan
sekolah. Mengamati kendaraan yang berlalu lalang dan jalan raya yang mulai terlihat padat.
Hari ini aku tidak pulang bersama Er karena ia ada les setelah pulang sekolah. Oleh karena
itu, mau tidak mau aku harus menunggu mama atau ayah menjemputku. Orang tuaku sama-
sama bekerja, dan jam pulangnya kadang tak menentu. Bisa lebih cepat, atau lebih lambat.
Namun yang paling sering adalah pulang terlambat. Dan untuk hari ini aku berharap agar bisa
lebih cepat.
“Semoga saja sebentar lagi,” Ujarku pelan menatap langit yang semakin mendung.
Perlahan tapi pasti, hujan mulai turun dengan derasnya.
Tinn.. Tiin..

An Anthology of Time | 48
Suara klakson mobil membuyarkan lamunanku. Sedikit tersentak aku berlari-lari kecil
menuju sumber suara tadi yang merupakan mobil ayahku. Aku membuka pintu samping
kemudi, masuk, lalu menutupnya. Aku merebahkan diri dan bernapas lega, bersyukur karena
tak perlu menunggu lebih lama lagi.
“Pasti capek ya, kak?” tanya Ayah.
“Tentu, Yah,” Jawabku.
Mobil mulai melaju membelah kemacetan kota yang dipenuhi kendaraan para pencari
rezeki yang telah usai bekerja. Rupanya, hujan tak menjadi alasan bagi mereka untuk tidak
pulang. Mobil kemudian berhenti yang ternyata lampu hijau di depan sana telah berubah
kembali menjadi warna merah. Senyum yang semringah, pejalan yang tergesa-gesa, raut
wajah kusut, dan senyum yang tak luntur. Itulah beberapa hal yang dapat kutangkap dari
keadaan di lampu merah saat ini. Oh tunggu, mataku menatap suatu hal yang berbeda dari
lainnya. Aku terus memandangi seorang wanita paruh baya yang nampak lesu tetapi juga
nampak bersemangat. Wanita itu membawa banyak barang, baik di depan maupun di
belakang jok motornya. Dari jauh aku terus mengamatinya hingga tiba-tiba datang seorang
pengemis tua menghampiri wanita itu. Bukannya menolak seperti kebanyakan orang, beliau
malah membuka jas hujannya, merogoh tas dan mengambil selembar uang untuk diberikan
kepada pengemis itu. Selain uang, ia juga memberikan sekotak makanan yang ia bawa
disertai senyuman yang sangat indah ketika memberikan kepada pengemis itu.
Dalam hati aku berkata, “Mulia sekali ibu itu..,”
“Kenapa, kak? Heran ya karena masih ada orang sebaik itu?”
Astaga, ternyata interaksi ibu itu juga tak luput dari pandangan ayah. Aku menoleh dan
mengangguk membenarkan pertanyaannya.
“Kak, di dunia ini masih banyak kok orang-orang yang seperti itu. Hanya jarang dijumpai
saja. Berbuat kebaikan itu tak ada tolak ukurnya. Siapa pun, kapan pun, dan di mana pun
tempatnya, hal-hal baik selalu bisa dilakukan,” Imbuh Ayah.
Aku terdiam, mencoba memaknai perkataan ayah barusan. Namun, hari ini aku terlalu
letih, otakku tidak bisa diajak bekerja sama. Tanpa sadar kedua kelopak mataku mulai
tertutup dan aku tertidur dengan lelapnya.
Tidurku terusik, dan akhirnya aku terbangun karena mobil melaju dengan pelan. Melihat
bangunan-bangunan di hadapanku aku mengerti, ternyata sudah hampir sampai rumah.
Seratus meter lagi belok kiri, kanan, lalu ke kiri lagi dan aku telah sampai di rumah. Di depan
sana, bangunan bercat putih bersih dengan pagar berwarna cream yang cukup tinggi berdiri
dengan kokohnya.
Aku melihat sepasang sepatu berwarna maroon berjejer rapi di atas rak dan itu tandanya
mama juga sudah pulang. Aku melepas sepatu dan menaruhnya di rak yang sama lalu
mengucap salam dan masuk ke dalam rumah. Berjalan menuju dapur untuk menemui mama
kemudian menyalaminya.
“Langsung ganti baju ya kak,” Perintah mama.
Aku berbalik dan menjawab, “Iya ma,”
Berjalan santai menapaki beberapa anak tangga hingga tiba di kamarku. Kamar paling
ujung di lantai dua rumah ini.
Kriett...
Decitan pintu kamar terdengar saat aku membukanya. Aku masuk dan tak lupa
menutupnya kembali. Menyalakan lampu dan, berantakan, itu kata yang tepat untuk
menggambarkan kondisi kamarku saat ini, sama seperti saat kutinggalkan tadi. Aku memang

An Anthology of Time | 49
belum sempat merapikan kamar karena hampir terlambat. Merasa tak nyaman melihat kondisi
kamar yang mengenaskan, kutaruh tasku terlebih dahulu di samping meja belajar kemudian
menyibak gorden, menampilkan langit jingga yang hampir tenggelam. Kegiatanku hampir
selesai saat kudengar suara ketukan dari luar kamarku. Mau tidak mau aku harus
membukanya terlebih dahulu.
“Loh kok belum ganti baju?? “ tanya seseorang itu ketika telah kubukakan pintu.
“Sebentar, ma. Aku tadi masih beres-beres kamar,” Jawabku. Yang mengetuk tadi adalah
mama. Sepertinya aku dipanggil agar segera makan.
“Kalau sudah selesai cepat turun ya, Kak. Sudah ditunggu di bawah,” Imbuh Mama
dengan mengelus rambutku pelan kemudian berlalu pergi.
Aku tidak salah dengar kan, “Ditunggu? Siapa yang menungguku?” lirihku.
Tak ingin mama marah, kuletakkan saja kotak itu di atas meja belajar dan langsung
menggunakan bergo instan lalu turun.
Dari tangga nampak seseorang di ruang tamu bersama dengan ayahku. Ketika tiba di anak
tangga terakhir, mama menghampiri dengan membawa nampan berisi teh kemudian
menyuruhku untuk menyuguhkannya di ruang tamu.
“Nah ini dia anaknya,” Ucap Ayah ketika aku tiba.
Kuletakkan teh itu di atas meja kemudian menyalami tamu ayah yang datang bersama
laki-laki muda, mungkin anaknya, pikirku. Kutaksir usianya sekitar dua puluh tahunan,
menggunakan celana bahan yang dipadu dengan kemeja cream dan kaus putih di dalamnya.
Tak lupa kacamata frame oval dan rambut yang klimis. Jika melihat style-nya, sepertinya ia
adalah mahasiswa. Walaupun remaja sekarang juga banyak yang berpenampilan sama,
feeling-ku kuat saja jika ia telah berkuliah. Aku hendak kembali, namun mendengar ayah
memanggil spontan aku menoleh,
“Sini, Kak,” Tahan ayah dengan menepuk kursi di sebelahnya memberi isyarat padaku
untuk segera duduk.
“Nah, perkenalkan beliau ini Om Basro, teman ayah. Dan yang di sebelahnya itu Sagara
anaknya. Sagara ini kuliah di universitas yang kamu inginkan itu loh kak,” Jelas ayah
memperkenalkan.
Aku mengangguk mengerti. Benar bukan kataku, laki-laki muda itu yang tak lain adalah
Kak Sagara adalah seorang mahasiswa.
“Saya Diosa, masih anak SMA tingkat akhir,” Ucapku memperkenalkan. Tak lupa dengan
seulas senyum manis yang kutampilkan.
“Sudah besar juga anakmu, Ka. Pasti sekarang sedang masa-masa sibuk seperti Sagara
dulu,” Ucap Pak Basro menanggapi. Sebutan ‘Ka’ itu untuk ayahku, karena nama ayahku
adalah Eka. Ayah membalas ucapan Om Basro dengan tertawa renyah dan mengangguk
membenarkan.
“Makanya itu, Bas, tujuanku menyuruhmu ke sini bersama Sagara itu untuk
membicarakan anakku,” Imbuh ayah.
Aku melirik ayah. Aku? Memangnya aku kenapa? Tanyaku dalam hati. Perasaanku terasa
tidak enak, tidak mungkin aku dijodohkan bukan? Tidak, aku tidak mau. Agar tidak
menimbulkan spekulasi-spekulasi aneh lainnya, aku menggeleng-gelengkan kepalaku seolah
mengusir pemikiran itu.
“Loh loh kenapa, Kak?” tanya Ayah heran.
“Hah, o-oh ngga papa kok, Yah,”

An Anthology of Time | 50
Jawaban anehku ternyata membuat Kak Sagara tersenyum, tipis sekali. Astaga, aku
sangat malu. Pasti dia berpikir kalau aku adalah gadis yang aneh. Tapi biar saja, aku tidak
peduli.
“Bas, Osa kan sudah kelas dua belas akhir yang sebentar lagi mau masuk perguruan
tinggi, kalau Sagara tidak sibuk apa bisa mengajari Osa?” tanya Ayahku dengan nada serius.
“Oalah Ka.. santai sajalah. Itu langsung tanya aja ke anaknya,” jawab Om Basro
menyenggol putranya.
Kak Sagara menoleh, menatap ayahnya. Lalu Om Basro bertanya,
“Kamu juga dengar kan apa kata Om Eka tadi? Gimana? Sibuk ngga?”
Ayah menatap Kak Sagara, Kak Sagara menatapku sekilas kemudian menjawab,
“Kalau saya Insya Allah senggang, Om, mahasiswa akhir seperti saya ini hanya tinggal
menunggu panggilan sidang saja,”
Raut wajah ayah langsung terlihat semringah mendengar jawaban dari Kak Sagara.
Dengan bersemangat ayah bertanya, “Bagaimana Kak? Kamu mau kan?”
Sebenarnya aku masih ragu terhadap pilihanku. Di satu sisi aku tak kenal Kak Sagara, dan
di sisi lain belum tentu cara mengajarnya dapat aku mengerti. Lagi pula, setelah lulus dari
SMA aku ingin menunda satu tahun karena ingin mencari pengalaman baru. Tetapi niatku ini
belum kusampaikan pada ayah dan mama. Dari tindakan dan wajah ayah yang terlihat
bahagia ini sudah cukup menjelaskan jika ayah ingin aku melanjutkan sekolah ke perguruan
tinggi langsung. Tak ingin membuat ayah sedih, akhirnya aku mengiakan permintaan ayah.
“Alhamdulillah..,”
“Terima kasih banyak ya, Bas, Sagara juga. Om sangat senang kamu bisa mengajari Osa
untuk mempersiapkan pendidikannya,”
Di sini aku hanya bisa tersenyum, otakku terasa makin penuh.
Aku merebahkan diri ke kasur. Menghela napas kasar, bertanya tanya mengapa hari ini
banyak sekali kejadian yang memaksaku untuk berpikir keras. Aku menguap lebar saat tiba-
tiba teringat jika ada tugas dan kemudian menuju meja belajarku. Saat tengah larut dalam
soal-soal itu,
Triing!
Bunyi notifikasi dari ponselku. Astaga, siapa malam-malam begini? Mengganggu
konsentrasiku saja.
“HUH!” aku berseru kesal. Mengentak-entakkan kaki dan bergerak mengambil ponsel di
atas kasur.
Mataku memicing, nampak dua notifikasi dari nomor tak dikenal di sana. Kubuka pesan
itu yang isinya,
Tidur Sa. Tidak perlu terlalu dipikirkan.
Tak ada profil dan tak ada bio. Hanya inisial ‘S’ yang dapat terlihat di bawah profil jika
kita belum menyimpan kontaknya.
Aku kembali berpikir, jemariku tak bisa diam mengetuk-ngetuk layar ponsel. Teman-
temanku tidak ada yang berinisial huruf S, lalu siapa? Bagai lampu yang dinyalakan, sedetik
kemudian aku paham, bisa jadi itu Kak Sagara. Karena tadi sebelum ia pulang, kita sempat
bertukar nomor telepon agar lebih mudah mendiskusikan waktu untuk mengajariku.
Kuketikkan balasan dengan cepat bertanya apakah itu memang dia. Dan ya, lagi-lagi aku
benar. Itu memang Kak Sagara.
Ia mengetik. Lama sekali, batinku. Malas menunggu dan merasa lelah berdiri, akhirnya
aku duduk di samping ranjang. Satu menit, dua menit, dan kulihat ternyata masih sama,

An Anthology of Time | 51
sedang mengetik. Sedetik kemudian akhirnya hal yang kutunggu terkirim juga. Fokusku
langsung teralihkan pada pesan terakhir yang dikirim Kak Sagara. Membaca pesan itu
membuatku terdiam cukup lama. Bagaimana bisa ia mengetahui apa yang kualami? Dan
malam itu akhirnya aku memutuskan untuk langsung tidur dan melupakan tugas yang
kukerjakan tadi.
Sinar mentari menerobos masuk ke dalam kamar melalui sel-sela gorden yang tak tertutup
sepenuhnya. Cahayanya menerpa wajah sang empu pemilik kamar. Ia menggeliat, merasakan
tidur nyenyaknya terusik.
Aku membuka mata dan berdiam diri bermalas-malasan membayangkan betapa
nyenyaknya tidurku semalam. Aku membuka ponsel dan melihat jam yang menunjukkan
pukul 06.30. Aku biasa saja, toh hari ini adalah hari Sabtu yang artinya sekolah libur.
Membuka selimut kemudian melipatnya lalu merapikan tempat tidur. Pesan Kak Sagara
semalam masih teringat jelas dalam benakku. Aku menghela napas pelan kemudian menuju
kamar mandi untuk mencuci muka.
Segar. Itu kesan yang tepat untuk udara pagi hari. Menikmati lembutnya sinar mentari
yang hangat dari balkon kamarku ditemani dengan secangkir kopi yang kubuat sebelum
kemari. Pemandangan di hadapanku terlihat jelas tanpa kabut, dan itu hal jarang kujumpai.
Saat sedang asyik menikmati hamparan hijau di hadapanku, suara notifikasi ponsel
membuyarkan fokusku. Aku membukanya, dan lagi-lagi adalah Kak Sagara. Ia memberikan
rincian jadwal senggangnya kepadaku, dan itu sama artinya dengan waktu belajarku
dengannya. Kuperhatikan jadwal itu, dan ternyata hari ini sudah termasuk ke dalamnya.
Triing!
Satu pop up masuk,
“Hari ini jam sepuluh kujemput di rumahmu. Kita belajar di perpustakaan kota saja,”
“Iya,”
Begitulah isi pesan dari Kak Sagara yang kubalas singkat.
Rasa-rasanya aku malas sekali hari ini. Sudah hari libur, masa harus ditambah belajar
lagi. Tapi tak mengapa, di rumah saja juga akan membuatku jenuh.
Aku turun dan mengatakan pada mama jika hari ini aku akan belajar bersamanya di
perpustakaan kota lalu mama mengangguk meng-iya kan. Setelah itu aku naik lagi ke kamar
dan bersiap-siap untuk berangkat.
Ponselku berdering, pop up pesan terlihat,
“Sa, aku sudah di depan,”
Aku terkejut membacanya. Ini masih jam sembilan lebih lima belas dan dia sudah datang,
benar-benar manusia penuh kejutan. Merasa kasihan jika harus menunggu lama, akhirnya aku
mengenakan pakaian yang simple saja. Kulot hitam dipadukan kardigan abu-abu dan bergo
hitam instan. Kupandang diriku di depan kaca, dan tersenyum puas. Kali ini aku membawa
totebag bermotif daun monstera yang di dalamnya berisi buku-buku untuk UTBK, dompet,
dan earphone. Berjalan menuruni tangga dengan santai dan melihat Kak Sagara sedang
berbincang dengan mama dan ayah. Dua detik kemudian aku sudah sampai di ruang tamu.
Mama yang sadar akan kehadiranku bertanya kenapa aku lama sekali. Karena tak tahu
harus menjawab apa, aku hanya tersenyum saja.
“Ngga mau sarapan dulu, Ga?” tanya ayah.
“Iya benar. Ayo sarapan dulu saja di sini,” Imbuh mama.
“Sudah, om, tante, terima kasih. Kalau saya nanti saja, mungkin kalau Osa mau sarapan
dulu tidak apa-apa,” jawab Kak Sagara menolak halus.

An Anthology of Time | 52
Takut menungguku terlalu lama, aku juga menolak untuk sarapan terlebih dahulu.
“Kakak juga nanti aja, ma. Udah kenyang barusan habis minum kopi, hehe”
Kedua orang tuaku hanya mengangguk saja. Melihat itu aku langsung menyalami mereka
yang disusul dengan Kak Sagara kemudian berangkat menuju tempat tujuan kami.
Ketika sudah masuk ke dalam mobilnya aku bertanya karena sudah sangat penasaran,
“Kak, kok datangnya lebih cepet satu jam sih,”
“Gapapa,”
Aku menatapnya yang sedang fokus menyetir. Kesal, itu yang kurasakan. Jawaban apa
itu, sudah seperti perempuan saja. Jarak yang ditempuh dari rumah menuju perpustakaan
sebenarnya tak terlalu jauh, tapi sudah dari tadi kami berangkat namun tak kunjung sampai.
Jika kuamati, ternyata kita menggunakan pakaian yang mirip. Ia mengenakan kaus hitam dan
sweatpants abu-abu tak lupa kacamata yang bertengger di batang hidungnya. Tangannya
bergerak menyalakan audio mobil, tak lama alunan musik milik Banda Neira bersenandung
merdu memasuki telinga penikmatnya. Aku menyandarkan punggung, merasa tenang.
Kulayangkan pandanganku lurus ke arah jalan raya yang tak terlalu padat, menatap plang
yang menunjukkan arah perpustakaan kota. Aku mengernyit keheranan, mobil Kak Sagara
berbelok berlawanan arah dengan perpustakaan kota.
“Mau ke mana sih kak? Ini kan bukan arah ke perpustakaan,” tanyaku gusar. Bagaimana
tidak, aku saja tidak terlalu mengenalnya. Dan sekarang, aku akan dibawa ke mana oleh
manusia satu ini.
“Kak Saga, jawab aku!”
Ia menoleh lalu menjawab,
“Tenang Sa, aku ngga mau nyulik kamu. Lagian siapa yang mau nyulik bocah SMA
kayak kamu, hobi makan lagi,” Ujarnya meledekku.
Dengan sebal aku menjawab, “Apasih. kak. Jawab aja pertanyaanku, kita ini mau ke
mana sih? Katanya mau belajar,”
“It’s special place, Osa. Dan aku pikir kamu juga akan menyukainya,”
Kak Sagara benar, aku menyukai tempat ini. Ia membawaku ke cafe yang ada di puncak.
Suasanya sejuk, tak terlalu ramai, dan menampilkan view bukit yang tak bisa kujelaskan lagi
seberapa indahnya. Ini sangat menyenangkan.
Aku memilih tempat duduk outdoor agar dapat menikmati semilir angin dan memanjakan
kedua mataku. Kak Saga menurut saja mengikutiku. Kami memesan beberapa camilan dan
minuman di sini. Saat sedang asyik memotret pemandangan di sini, suara deheman
membuatku menoleh padanya.
“Sa, ayo bicara,”
Aku menggelengkan kepala, tak mengerti apa yang ia maksud. Kuletakkan ponsel di
dalam totebag dan mencoba berfokus padanya.
“Ungkapkan saja apa yang kamu rasakan, Osa,”
“Apa, kak?” lagi-lagi aku tak mengerti apa yang ia katakan.
“Kamu berhak memilih jalan kehidupanmu. Jangan berpasrah diri seperti itu. Yang akan
menjalani semuanya itu kamu Sa,”
Aku menegakkan dudukku, mulai paham arah pembicaraan ini. Ini berhubungan dengan
pesan terakhir yang dikirimnya kemarin malam. Kak Sagara paham, ternyata ia juga pernah
berada di posisiku.
“Ngga semudah itu, Kak. Semua orang menaruh harapan besar padaku,”

An Anthology of Time | 53
“Lagi pula ayah sepertinya sangat bahagia dengan keputusanku kemarin,” ucapku dengan
nada lemah.
“Kamu sudah membicarakan keinginanmu pada mereka?” tanyanya.
“Belum,”
Iya, aku memang belum membicarakan keinginanku pada mereka. Aku terlalu takut jika
pilihanku akan mengecewakannya.
“Osa, dengarkan aku. Seperti kataku kemarin, aku juga pernah berada di posisi seperti ini.
Dan kamu tahu bukan jika feeling orang tua itu tak pernah salah? Bicarakan dulu perihal
keinginanmu, Sa... Bukankah semuanya akan lebih mudah jika mendapat rida orang tua?”
“Aku paham alasanmu mengambil keputusan ini. Kamu tidak ingin membuat mereka
kecewa kan? Pemikiranku saat itu juga sama, Sa, aku tidak ingin mereka kecewa karenaku,”
Kak Saga melayangkan pandangannya jauh, menghela napas, kemudian melanjutkan,
“Kehadiranku untuk membantumu mempersiapkan semuanya tidak akan maksimal jika
niatmu belum terbentuk, Sa. Bicarakan pada mereka,” Pinta Kak Sagara.
“Kakak menyudutkanku?”
“Tidak sama sekali. Aku hanya menyarankan solusi terbaik. Jika keinginanmu itu bisa
mereka terima, bukankah kamu merasa sedikit bebanmu terlepas? Daripada menjalani
semuanya seolah ini memang keinginanmu. Jangan begitu, Sa, kamu akan makin tersiksa,”
Ucapnya lembut.
Aku menunduk, mencerna semua perkataannya. Dadaku terasa sesak, perkataan Kak Saga
sangat tepat hingga menembus ulu hati. Aku lelah, aku juga rapuh seperti anak perempuan
lainnya. Aku, tak benar-benar sekuat yang mereka bayangkan. Tanpa sadar buliran halus
membasahi pipiku. Kuusap dengan cepat buliran itu tak ingin ia melihat. Kak Sagara benar,
seharusnya aku membicarakan keinginanku itu pada mama dan ayah. Kuangkat kepalaku
mantap. Aku akan berusaha.
“Terima kasih, Kak, karena mau memberiku pengertian. Aku akan mencoba saranmu,”
Ucapku disertai senyuman terbaik yang kupunya.
Kak Sagara tersenyum, dan kali ini lebih lebar dari sebelumnya. Aku sangat bersyukur,
perasaanku jauh lebih tenang sekarang.
Akhirnya hari ini kami tidak jadi belajar, kami hanya berbincang mengenai strategi apa
saja yang harus kulakukan. Tak mengapa, apa pun keputusannya nanti, mempersiapkan lebih
awal tidak masalah, bukan?
Aku tiba di rumah sekitar pukul tiga sore. Kak Sagara hanya masuk sebentar dan
langsung berpamitan pulang. Aku mengganti pakaianku lalu turun. Di ruang keluarga terlihat
mama dan ayah sedang menonton TV. Itu artinya mereka tidak sibuk, dan ini saat yang tepat,
batinku.
Aku menghampiri mereka, berbasa-basi sebentar sebelum menuju inti topik pembahasan
kali ini. Baiklah, akan aku mulai. Aku belum mengatakan apa pun tapi mama sudah berkata,
“Kenapa Kak? Ada yang mau diomongin?” tanyanya.
“Oh ehh-m itu, iya ma,” Jawabku gelagapan.
Ayah pun juga menoleh, sekarang semua pandangan tertuju padaku.
“Ngomong aja kak,” Kata ayah.
“Jadi gini, yah, ma, kalau kaka nunda satu tahun setelah lulus SMA apa boleh?” tanyaku
ragu.
“Loh kenapa mau nunda Kak? Ada masalah?” tanya mama.

An Anthology of Time | 54
“Ngga, ma.. kakak cuma mau cari pengalaman dan coba hal-hal lain. Biar kakak paham
apa sih sebenernya yang aku cari, tujuan hidup kakak. Dan juga supaya bisa memahami
berbagai karakter manusia agar nantinya ngga kaget kalau udah lulus kuliah dan terjun
langsung ke masyarakat,” Paparku.
Hening. Mungkin mereka mencoba memahami apa yang aku inginkan. Aku merasa
jantungku berdegup sangat kencang, takut jika jawabannya tak sesuai apa yang kubayangkan.
“Ehm!” ayahku berdehem.
“Kak, itu yang kamu inginkan ya? Kenapa tidak bilang dari awal pada ayah maupun
mama? Kasihan kamu harus memendam semuanya sendiri. Berat sekali ya, nak..,” sambung
ayah dengan nada lembut sembari membelai kepalaku.
Aku hampir menangis mendengarnya. Tapi tidak, aku tidak akan menangis.
“Kalau memang Kak Osa mau seperti itu, ayah tidak apa-apa, kak. Pilihannya kan
memang ada di kamu,”
“Benar, kak.. yang nanti menjalani adalah kamu. Kita sebagai orang tua hanya memantau
dan mengarahkan anak-anaknya pada jalan yang benar. Jika alasanmu seperti itu, sudah jelas
kamu tidak keberatan,” Imbuh mama dengan senyum manisnya.
Air mata yang kutahan mati-matian akhirnya meluruh juga. Aku tak tahan lagi, jawaban
dari mereka sungguh membuatku bahagia.
“Jadi, kakak boleh kan ya?”
“Iya Kak,” Jawab mereka kompak.
Spontan aku langsung memeluk keduanya. Dalam hati kuucapkan syukur pada-Nya dan
beribu-ribu terima kasih pada Kak Sagara. Karen kehadirannya yang seolah tahu apa masalah
dan hal yang kuinginkan membuatku merasa memiliki sosok seorang kakak sehingga dapat
menuntunku.
“Terima kasih, Ma, Yah. Terima kasih sudah mengerti kakak,”
“Jangan lupa pesan Ayah ya Kak. Selalu tebarlah kebaikan di mana pun kamu berada
nanti,”
“Siap, yah!”
Ternyata memang benar, semuanya akan jauh lebih mudah jika kita membicarakannya
dari awal. Hari ini, akhirnya aku mampu memilih jalan yang kuinginkan. Takdir itu telah
ditentukan, semesta tidak pernah salah, semuanya tergantung dari apa yang kita lakukan.
Seberapa besarkah usaha yang kita kerahkan untuk menggapai semuanya. Apa yang kita
tanam, itulah yang kita tuai.

An Anthology of Time | 55
Rindu ayah
Edwan Putra P.

Setelah 7 tahun akhirnya bisa merasakan kasih sayang seorang ayah

Di sebuah daerah dengan suasana yang dingin nan sejuk. Hiduplah sebuah keluarga
yang harmonis dan berbahagia. Suami bernama pak Ahmad dan istrinya bernama ibu
Aminah. Pada saat itu ibu Aminah sedang dalam kondisi hamil dengan usia kandungannya
yaitu 5 bulan.
Mengingat usia kandungan ibu Aminah semakin hari semakin besar maka untuk
prosesi kelahiran pastinya membutuhkan biaya yang cukup besar untuk memenuhi kebutuhan
sebelum dan sesudah melahirkan. Pada waktu itu kondisi ekonomi di keluarga pak Ahmad
sedang dalam kondisi yang serba cukup karena, pak Ahmad pada saat itu hanya bekerja
sebagai petani di tempat ia tinggal. Dengan kondisi pada saat itu pak Ahmad berniat untuk
pergi merantau ke daerah lain dengan harapan mampu membiayai semua biaya yang
diperlukan istrinya untuk melahirkan. Namun, tuhan berkehendak lain, selama ia mencari
pekerjaan di daerah lain, pak Ahmad tidak mendapatkan satu pekerjaan sehingga ia harus
pulang ke tempat ia tinggal.
Tiba di rumah dengan perasaan yang sedih. Dengan niat dan tekad yang kuat pak
Ahmad kemudian memberitahu istrinya bahwa dirinya berkeinginan untuk pergi merantau
keluar negeri untuk yaitu Negara Malaysia. Disisi lain ia juga harus pergi meninggalkan
istrinya yang sedang hamil dan tidak lama lagi akan melahirkan . Sebelum pak Ahmad pergi,
ia meninggalkan satu buah hanphone yang nantinya bisa ibu Aminah gunakan untuk bisa
berkomunikasi dengan pak Ahmad selama ia bekerja merantau di Malaysia. Akhirnya,
dengan suasana dan perasaan yang sedih pak Ahmad pergi meninggalkan istri dan anak yang
ada dalam kandungan istrinya.
Hari demi hari telah berganti kini usia kandungan ibu Aminah sudah memasuki usia 8
bulan dan dalam waktu tidak lama lagi ia akan melahirkan. Suatu hari pak Ahmad menelepon
ibu Aminah, ia senang mendapat kabar dari pak Ahmad yang cukup lama belum ada
komunikasi semenjak ia pergi 3 bulan yang lalu. Pak Ahmad menanyakan kondisi istrinya.
Mendengar pertanyaan tersebut ibu Aminah memberitahu bahwa tidak lama lagi ia akan
melahirkan dan ia sangat mengharapkan kehadiran sang suami untuk mendampinginya
melahirkan. Mendengar pernyataan tersebut pak Ahmad kemudian menjawab ia sebenarnya
juga ingin pulang untuk menemani istrinya melahirkan namun, karena pekerjaan yang tidak
bisa ia tinggalkan menjadikan ia tidak bisa pulang lebih cepat dan harus menyelesaikan
pekerjaanya, dan ia juga belum mengurus semua keperluan surat-surat yang diperlukan
seperti: Paspor, tiket pesawat dan lain-lain. Pak Ahmad menyampaikan kepada ibu Aminah
bahwa ia harus dengan ikhlas menerima kenyataan ini ia akan melahirkan tanpa kehadiran
seorang suami dan ia akan segera pulang untuk menemui mereka secepatnya. Ibu Aminah
pun merima pernyataan dari pak Ahmad dengan perasaan sedih dan sedikit kecewa namun ia
tetap bersabar menerimanya.

An Anthology of Time | 56
Tepat 9 bulan. Akhirnya ibu Aminah melahirkan anaknya yang pertama dan berjenis
kelamin laki-laki, selang beberapa waktu kemudian tiba-tiba perut ibu Aminah merasa sakit
dan ternyata ia melahirkan kembali anak laki-laki dan berjenis kelamin laki-laki. Melihat hal
tersebut ibu Aminah merasa bersyukur karena telah dikaruniai dua buah hati kembar dan bisa
melalui proses kelahiran dengan selamat dan berjalan lancar tanpa kekurangan sedikit apa
pun meskipun tanpa kehadiran sang suami. Selang beberapa waktu ia melahirkan kemudian
telepon berbunyi dan ternyata itu adalah telepon dari pak Ahmad. Kemudian pak Ahmad
bertanya tentang kondisi istrinya, ibu Aminah menjawab dengan suasana terharu, ia
mengatakan bahwa ia telah selesai melahirkan dan ia telah melahirkan dua anak kembar yang
berjenis kelamin laki-laki dengan keadaan sehat dan lancar. Mendengar kabar tersebut pak
Ahmad merasa senang akhirnya istri dan kedua buah hatinya lahir dengan selamat dan tidak
kekurangan sedikit apa pun dan ia minta maaf kepada istrinya ia tidak bisa menemani dirinya
pada saat melahirkan dan ibu Aminah menjawab bahwa ia tidak memikirkan hal itu, yang
penting ia sudah melahirkan dan melewati semuanya dengan selamat dan berjalan lancar.
Meskipun suaminya jauh dengan dirinya ia tetap bersyukur karena suaminya masih ada dan
bertanggung jawab sebagai seorang ayah untuk menafkahi keluarganya.
Pada saat itu pak Ahmad memberi tahu istrinya bahwa ia akan mengirimkan paket
yang berisi kebutuhan untuk dirinya yang nantinya bisa di gunakan untuk keperluan sehari-
hari melalui kurir yang nantinya paket tersebut akan langsung menuju ke tempat tujuan. Ibu
Aminah merasa senang karena ia tidak perlu lagi untuk pergi keluar untuk membeli
kebutuhan sehari-hari dan ia akan lebih mudah untuk merawat kedua buah hatinya tersebut.
Beberapa waktu kemudian datang sebuah truk box yang berhenti di depan rumah ibu Aminah
dan ternyata itu adalah mobil pengantar paket. Sebelum menurunkan paket tersebut kurir
paket tersebut menanyakan alamat penerima paket yang dituju. Setelah sesuai kemudian
paket tersebut di turunkan oleh kurir dari dalam bak truk tersebut yang kemudian di letakkan
di dalam rumah setelah semuanya selesai ibu Aminah diminta menanda tangani surat sebagai
bukti bahwa paket tersebut telah diterima dengan sah atas nama ibu Aminah dan ia pun
menanda tangani surat tersebut dan akhirnya kurir paket tersebut pergi.
Di dalam rumah ibu Aminah kemudian membuka isi dari paket tersebut. Paket
tersebut cukup besar sehingga untuk membukanya diperlukan cukup waktu dan kesabaran
karena paket dilapisi solatip yang cukup banyak. Setelah selesai membuka semua penutup
yang melapisi kardus tersebut kemudian ibu Aminah mengeluarkan satu per satu isi dari
paket tersebut. Paket tersebut berisi: pakaian anak-anak, pakaian orang dewasa, susu kaleng ,
susu bubuk, sabun cuci serbuk, sabun cuci cair, sabun mandi, shampo, sepatu, selimut, kain
spray, sandal, setrika baju, botol minuman, ikan kalengan, jaket, kain gorden, alat gorden.
Semuanya telah ia keluarkan dan kemudian ia menelepon suaminya, ia mengatakan kepada
suaminya bahwa paket sudah dikirim dan sudah diterima sesuai dengan apa yang ia perlukan
sehari hari.
Mendengar hal tersebut pak Ahmad juga memberitahu istrinya bahwa ia akan
mengirimkan paket 3 sampai 4 bulan sekali untuk istrinya, karena kebutuhannya pasti akan
lebih banyak yang diperlukan untuk keperluan sehari-harinya dan ia tidak akan mungkin
menyempatkan untuk pergi ke warung meninggalkan sang buah hatinya dan juga
mempermudah merawatnya. Hari demi hari telah berlalu pak Ahmad tidak ada kabar sama
sekali biasanya ia selalu menghubungi ibu Aminah setiap saat, namun sudah 3 bulan pak

An Anthology of Time | 57
Ahmad tidak ada kabar ibu Aminah selalu menelponya berkali kali namun tidak ada kabar.
Akan tetapi satu bulan kemudian datang truk dengan box yang sama yaitu pengantar paket
yang berbeda dan sama seperti pengantar sebelumnya kurir paket tersebut menanyakan
tentang alamat penerima paket yang dituju. Setelah sesuai kemudian paket diturunkan dan di
masukkan ke dalam rumah ibu Aminah dan setelah paket diturunkan kurir paket tersebut
meminta tanda tangan kepada ibu Aminah sebagai tanda bukti bahwa paket telah sampai
kepada penerima. Kemudian kurir paket itu pun pergi.
Setelah semuanya selesai, ibu Aminah kemudian membuka paket tersebut. Paket
tersebut lebih besar dari sebelumnya dan pelapis solatipnya juga makin banyak sehingga
untuk membukanya juga harus dengan waktu yang cukup lama. Setelah semua terbuka ibu
Aminah kemudian mengeluarkan satu persatu isi di dalam paket tersebut dan isinya juga
sama dengan paket sebelumnya tetapi jumlahnya yang lebih banyak dari pada sebelumnya.
Setelah semua paket di keluarkan ibu Aminah langsung menelepon pak Ahmad namun,
teleponnya tak kunjung ia terima. Ibu Aminah merasa heran mengapa dalam waktu lebih dari
3 bulan pak Ahmad tidak bisa di hubungi, tetapi paket tiba di tempat dan sesuai dengan
alamat yang dituju. Pada saat itu ibu Aminah merasa khawatir tentang sesuatu yang sedang
terjadi kepada pak Ahmad.
Dua tahun sudah berlalu kini sang buah hati berusia dua tahun namun kabar juga tak
kunjung tiba dari pak Ahmad. Akan tetapi paket terus datang setiap empat bulan sekali tetapi
tidak dengan pak Ahmad, ia tidak bisa di hubungi dan ibu Aminah mencoba berulang ulang
kembali namun pak Ahmad tetap tidak bisa ia hubungi. Ibu Aminah tetap berpikir baik
tentang apa yang terjadi kepada suaminya dan mendoakan semoga suaminya selalu dalam
keadaan yang sehat dan selamat.
Lima tahun sudah berlalu kini sang buah hati mulai tumbuh besar tanpa kehadiran dan
kasih sayang dari seorang ayah dan sebentar lagi mereka akan menempuh dunia pendidikan.
Paket kiriman selalu datang dan sesuai tujuan namun yang terus menjadi keheranan adalah
kabar dari pak Ahmad yang belum menemui kepastian tentang kondisinya saat ini itulah
yang ada di dalam perasaan hati dari ibu Aminah yang selalu rindu akan kedatangannya.

Enam tahun genap usia sang buah hati kini mereka sudah memasuki pendidikan
tingkat Sekolah dasar dan mereka kini duduk dibangku kelas 1 SD. Mereka mulai menuntut
ilmu seiring dengan tidak ada rasa kehadiran dan kasih sayang seorang ayah dan mereka
dengan polosnya tidak mengetahui kabar dari sang ayah mereka. Setiap hari mereka
menjalani hidup dengan ibu mereka, ibu Aminah selalu dengan perasaan terus mengharapkan
kehadiran sang suaminya. Menginjak semester pertama telah selesai. Kedua putra kecil
kembar dari Ibu Aminah dan bapak Ahmad melakukan acara khitan di mana pada saat itu
prosesi khitan masih dalam suasana yang kurang lengkap karena tidak adanya kehadiran dari
pak Ahmad, pelaksanaan khitan pun berjalan dengan lancar tanpa ada kendala sedikit pun.
Hari demi hari terus berlalu kini mereka telah duduk di bangku kelas 2 sekolah dasar
dan mereka menjalani hidup mereka seperti biasanya bermain dan belajar dengan teman-
temannya menikmati masa bermain mereka. Keceriaan mereka terlihat dengan kegembiraan
mereka bermain bersama teman mereka tanpa ada rasa sedih tanpa merasakan kasih sayang

An Anthology of Time | 58
seorang ayah. Mereka tetap bermain layaknya anak - anak pada umumnya dan tidak jarang
mereka pulang sore. setelah bermain mereka kemudian pergi ke masjid untuk mengaji.
Usia mereka kini telah 8 tahun dan kini mereka telah duduk di bangku kelas 3 SD dan
pada saat itu mereka masih belum berpikir tentang ayahnya dan mereka hanya menikmati
masa belajar dan bermain mereka kebersamaan bersama teman-teman mereka yang
menjadikan mereka menjadi anak yang tumbuh seiring dengan usia mereka.
Pada suatu waktu ketika sore hari datang sebuah mobil yang ternyata itu adalah mobil
travel. Mobil itu berhenti di depan rumah ibu Aminah dan turunlah seorang laki-laki dan
ternyata itu adalah pak Ahmad yang selama ini ibu Aminah rindukan. Tidak perlu waktu
lama pak Ahmad langsung memeluk istri dan kedua anaknya yang masih kecil dengan
persaaan senang dan bahagia bisa bertemu mereka setelah Tujuh tahun berpisah. Namun,
sang buah hati kembar tersebut sedikit takut pada pak Ahmad karena mereka tidak
mengetahui bahwa yang memeluknya adalah ayah kandung mereka sendiri. Pak Ahmad tidak
merasa heran melihat tingkah laku dari si kembar, ia merasa wajar jika mereka terlihat
ketakutan karena mereka lama tidak bertemu selama Tujuh tahun lamanya.
Saat berada di ruang keluarga sang istri menanyakan tentang selama beberapa tahun
terakhir suaminya yang tidak bisa dihubungi. Mendengar pertanyaan tersebut pak Ahmad
langsung merespons bahwa selam ini handphone yang telah ia pegang selama ini telah hilang
dan saat dicari handphone tersebut sudah tidak ada, maka dari itu ia membeli handphone baru
dan sim cardnya namun tidak menyimpan nomor istrinya. Oleh karena itu ia tidak bisa di
hubungi. Selain itu ia tetap mengirim paket setiap 4 bulan sekali karena ia masih ingat alamat
tujuan untuk pengiriman paket tersebut. Mendengar penjelasan dari suaminya bu Aminah
akhirnya percaya kepada suaminya dan kini ia bersyukur bisa kembali berkumpul bersama
dengan keluarga yang lengkap.
Pada saat si Kembar duduk di bangku kelas 5 SD. Pak Ahmad memiliki keinginan
untuk mengadakan hajatan untuk memperingati acara khitan si Kembar dan juga untuk
menyenangkan hati mereka yang telah sekian lama tidak mendapatkan kasih sayang dari
seorang ayah. Pak Ahmad mengadakan hajatan dengan berbagai macam acara yaitu : acara
doa bersama , hiburan berupa Reog, dan juga Kuda Kencak. Acara demi acara berlangsung
dengan meriah, terlihat kebahagiaan terutama tertuju pada wajah si Kembar dan juga sang
istri. Melihat suasana tersebut pak Ahmad merasa bahagia dengan hasil kerja kerasnya kini
ia bisa membahagiakan istri dan kedua anaknya dan melepas semua kerinduan yang telah
terpendam di dalam hatinya. Akhirnya acara demi acara telah selesai dilaksanakan dengan
lancar dan aman.
Setelah acara selesai, hari- hari pun berjalan seperti biasanya. Si Kembar pergi ke
sekolah untuk menuntut ilmu dan ibu Aminah bertugas mengurus rumah tangga. Sedangkan
pak Ahmad telah memiliki usaha dan beralih profesi sebagai pengusaha miliknya pribadi
yaitu berdagang kayu. Dengan usaha ini dia merasa keluarga akan terasa menjadi lebih
lengkap dan tidak akan ada lagi yang menjauhkan ia dari keluarganya. Dari usahanya tersebut
pak Ahmad bisa membiayai kedua anaknya bersekolah hingga tingkat SMA dan mampu
untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh istri dan juga anak-anaknya sehingga
mereka menjadi hidup berbahagia dan harmonis.
Manusia tidak akan pernah lepas dari tanggung jawab dan pastinya semua
membutuhkan perjuangan untuk meraihnya. Rasa sabar dan ikhlas akan menjadikan diri kita

An Anthology of Time | 59
menjadi lebih kuat dan tabah dalam menghadapi berbagai macam cobaan hidup. Dengan niat
yang di dukung usaha maka kita akan mendapatkan apa yang kita inginkan . Karena usaha
tidak akan menghianati hasil

An Anthology of Time | 60
I and My Family
Edwin Putra P.

Halo......Namaku Ed aku anak ke 5 dari 5 bersaudara kakak yang pertama wanita dan
kakak yang ke dua sampai ke empat laki-laki ,aku adalah anak kembar,aku terlahir di
keluarga yang sederhana, kakak pertamaku Bekerja sebagai seorang guru disekolah dasar,
sedangkan kakak ke dua dan ketiga memilih untuk tidak melanjutkan pendidikannya mereka
lebih memilih untuk bekerja.
Pendidikanku diawali mulai dari sekolah dasar,karena waktu itu aku tidak ingin untuk
sekolah TK,Semasa Duduk di sekolah dasar aku hanya tinggal bersama kakak pertama dan ke
empat serta ibu,Ayahku Bekerja merantau di Malaysia dengan kakakku yang ke 2 dan 3 ,
setelah aku duduk di bangku kelas 3 ayah pun datang,Namun kedatangannya pun tidak terasa.
3 tahun kemudian aku pun lulus dari bangku sekolah dasar,aku melanjutkan pendidikan
ke sekolah menengah pertama, setelah Ayah pulang dari merantau ia memilih untuk bekerja
di Indonesia saja,ia menjadi pedagang kayu,sedangkan ibuku menjadi pengurus rumah
tangga,aku sangat jarang berkomunikasi dengan ayah karena sibuk bekerja,Namun aku sadar
pekerjaan yang dilakukan oleh ayah tidak lain adalah demi kesuksesan ku dimasa depan.
Suatu malam kami kumpul sekeluarga dan ayah bertanya kepadaku “setelah lulus SMP
mau lanjut ke mana?” “SMA yah”ujarku. Namun ibu berkata lain”ndk usah SMA mending
mondok biar pinter ngaji” “Wes ndk mondok Mondokan,nanti kedepannya mau jadi apa
kamu?,kamu kan udah khatam ngaji jadi nggak usah hiraukan ibumu” Saut ayahku,”wes
mondok aja,ntar juga siapa yang enak, kerja di rumah,ngajar ngaji,dan ndk susah susah
“,”sekarang gini aja keputusan mu gimana nak?” Tanya ayah padaku, Gini yah Bu saya nanti
mau tetap lanjut ke SMA, setelah itu saya akan memikirkan karir dan cita cita saya
kedepannya,dan urusan ngaji saya akan terus mengaji meski sudah khatam karena itu salah
satu prioritas utama” “yaudah nak kalo itu keputusan kamu ayah dukung kamu,dan
rencananya kamu mau SMA dimana?” “wes ndk usah jauh jauh le di daerah kita kan ada
kejar paket mending ikut kejar paket, apalagi sekolahnya seminggu sekali ,dan itu pun
bayarnya Murah”.
“Nggak Bu saya nggak mau,saya maunya sekolah di kota, apalagi sekolah dikota pastinya
lebih lengkap fasilitasnya,dan pasti sudah canggih” “ya udah le, masalah biaya biar ayah
yang tanggung,yang penting kamu semangat terus sekolahnya,jangan Sampek lupa doa biar
kamu diberi kemudahan dalam
Pendidikanmu”. “ Aamiin terima kasih ya, semoga ayah diberi kelancaran dan panjang
umur Amiin,” Ya wes le , apa pun keputusanmu ibu juga dukung,yang penting itu sesuai
dengan keinginanmu” saut ibu.
“Makasih Yah,Bu semoga kalian semua diberi kesehatan selalu dan diberi panjang umur,
supaya nanti anakmu ini bisa membalas semua jasa dan pengorbanan kalian”.
“Aamiin”.
Dari pertanyaan Ayah dan ibu aku menyadari bahwa mereka ingin anaknya bahagia
dimasa depan,dan aku sadar bahwa setelah pendidikanku selesai, tanggung jawabku semakin
besar karena awal dari kehidupan sesungguhnya baru saja dimulai.dan semestinya akan
banyak sekali orang-orang yang bertanya-tanya mengenai diriku “ Sekarang udah kerja apa?,

An Anthology of Time | 61
jabatannya apa?” Dan aku mulai paham mengapa ayah selalu merenung di teras rumah,dan
mengapa ibu selalu bangun di sepertiga malam.
Itu tadi sedikit tentang kehidupan keluargaku, meskipun aku terlahir dari keluarga
sederhana,namun aku selalu bangga dan bahagia karena masih ada orang tua yang selalu
mendukung dan mengorbankan semua demi anaknya, banyak anak diluar sana yang tidak
seberuntung diriku,dan disaat diriku sukses nanti aku akan selalu mengingat dan membalas
semua pengorbanan orangtua ku,dan aku akan selalu berdoa semoga mereka selalu diberi
kesehatan dan umur panjang, melihat mereka tersenyum bahagia menjadikan alasan
mengapa aku harus sukses dimasa depan.
Teruntuk teman-teman semua disaat kalian masih memiliki kedua orang tua jangan
sampai kalian menyakiti hatinya,walau kadang mereka sering menasihati kita sadarilah
bahwa itu semua demi kebaikan kita, karena restu orang tua merupakan restu dari yang maha
kuasa, bersyukurlah karena banyak anak-anak diluar sana yang tidak seberuntung kita
dan juga untuk teman-teman semua yang sudah ditinggal oleh orang tua tetap semangat
menjalani semua karena meskipun dengan kekurangan yang kalian miliki bukan menjadi
alasan untuk kita menjalani kehidupan ini,orang tua kalian pasti bangga dengan kalian.
Terimakasih ayah ibu semua pengorbananmu akan aku balas yang terbaik.
Terimakasih teman teman semuanya yang sudah bersedia mendengarkan cerita ini
semoga dapat menjadikan inspirasi dan dorongan bagi teman semuanya

An Anthology of Time | 62
Perjalanan Hidup
Fabrian Ilyasa

Haloo nama aku fabrian ilyasa sering dipanggil ilyas, lahir di kota lumajang tepatnya
tanggal 27 februari 2006.
Aku suka warna biru dan hijau,makanan favoritku bakso,aku suka ketenangan,main di
alam hanya untuk menenangkan diri.
Aku anak ke 2 dari 2 bersaudara kakak saya bernama alfin farjri noor syamsi yang 3
tahun lebih tua dari pada aku.
dari kecil aku selalu bermain dengan kakakku dia selalu membuat hal konyol demi
membuat aku tertawa.
kakak ku adalah orang yang pintar dalam bidang pelajaran namun agak kurang dalam
bidang olahraga,malah sebaliknya aku kurang mampu dalam olahraga tapi pintar dalam
olahraga.
dari kecil saya sudah dikenalkan dunia olahraga sampai sekarang pun aku masih
mencintai olahraga tepatnya di futsal,namun dulu aku bukan pemain futsal tapi atlet karate.
aku di kenalkan karate sama ayahku saat kelas 2 SD dari situ aku mulai menekuni
olahraga itu dan coba coba ikut perlombaan Alhamdulillah bisa langsung menjuarai lomba itu
di kategori usia dini karena umurnya yang masih kecil.

dari situ aku mulai meranjak ke kompetisi yang lebih tinggi dan akhirnya bisa
mendapatkan beberapa medali dan piala dalam kompetensi yang bergengsi dari tingkat
kabupaten,provinsi dan nasional.
namun semuanya itu selesai karena pernah mengalami cedera di kaki saat latihan karate
dan memilih untuk pensiun menjadi atlet karate,waktu berlalu dan aku pun sudah mulai naik
ke tingkat SMP.
Disitu aku mencoba untuk memulai hal baru dan memilih mencoba olahraga
futsal,seperti biasanya aku mulai giat untuk berlatih futsal dan akhirnya dipilih untuk menjadi
tim inti futsal di sekolah tersebut.
bersyukur debutku bisa membawa oulang piala pertamaku di lomba futsal bersama temen
temen satu tim.mulai dari situ aku tambah giat menekuni olahraga futsal sampai sekarang.

Di lain sisi aku mulai beranjak dewasa dan mulai mengenal cinta,tapi itu hanya sebagai
ungkapan perasaanku.
dan mulai membiasakan di lingkungan sekolah, disitu aku mengenal banyak teman-teman
baik yang bisa membuatku bahagia tidak mandang dari segi apa pun itu,aku bersyukur bisa
mengenal mereka.
orang tuaku juga mengajarkanku buat tidak memilih² teman maupun dari segi agama,suku
dan gender.dan orang tuaku tidak menuntut aku harus punya nilai baik atau apa yang
diinginkan mereka tapi orangtuaku selalu mendukung bakat yang aku punya apa pun itu.
mereka bangga jika anaknya berprestasi dan aku pun senang kalau melihat mereka
bahagia.

An Anthology of Time | 63
disekolah aku terbilang menjadi siswa yang biasa aja tidak terlalu berambisi dengan
nilai,aku tidak tertarik mengikuti organisasi sekolah seperti osis,mpk atau organisasi apa pun
itu.
karena aku tipe orang yang gamau buang buang waktu bermainku dimasa sekolah ya
walaupun aku tau itu juga penting tapi difikaranku sekarang Cuma bermain menikmati masa
remajaku.

Singkat cerita aku pun beranjak ke SMA dan kakakku kuliah di surbaya,sekarang sudah
sibuk sendiri sendiri memikirkan masa depan.
aku jarang ketemu kakakku dan tidak bisa bermain bersama lagi seperti dulu,di masa
SMA ku ini aku lebih menikmati masa remajaku dengan memperbanyak teman karena hanya
teman yang membuatku bahagia.
Di lingkungan SMA ku ini banyak orang baik,namun dibalik semua itu sekolahku
SMADA mempunyai tugas-tugas yang sangat banyak sehingga banyak waktu yang terbuang
hanya untuk mengerjakan tugas.
sering main bareng sama temen ke tempat jauh hanya untuk menikmati alam dan
menenangkan pikiran ataupun Cuma nongkrong-nongkrong biasa tapi dengan hal sederhana
itu membuat hidupku menjadi berwarna.
tapi kita juga harus bisa memilah meilih teman yang baik atau yang buruk,buruk dalam
hal pergaulan dan syukur aku bisa mendapatkan teman-teman yang baik dan pergaulan yang
sehat.
Aku masih tidak berfikir untuk mengejar cita-citaku tapi menjalani hidup hidupku yang
penuh misteri ini dan biarin semua itu berjalan.
Di sisa masa remajaku ini aku mencoba untuk produktif mengikuti event olahraga atau
apa pun itu yang sekiranya aku mampu untuk diikuti.
Mungkin sehabis lulus sekolah aku ingin kuliah di UNAIR Surabaya untuk mengikuti
jejak kakakku itu.
Mulai dari sekarang aku mencoba untuk giat belajar agar bisa mencapai apa yang aku
inginkan.

An Anthology of Time | 64
Faktor Kelupaan atau Ketidaktahuan
Fachri Izal D. R.

Udara dingin terasa di tubuhku, suara traktor yang membajak sawah yang sangat
bergemuruh, bebek berjalan sambil berbincang satu sama lain. Disitulah hari dimana anak
bernama khalid dimulai. Pagi itu khalid sedang melakukan aktivitas seperti biasanya, tiba tiba
ada kejadian misterius, "Maa... Maa.. mana HP ku ?". Kata Khalid, lalu Ibunya menyaut "Kan
HP nya selalu di kamu kok tanya Mama ?". Saut ibunya. Lalu Khalid pun mencarinya,
"Nggak ada Maaa.,” kata Khalid, kemudian Ibunya masuk kekamar nya dan mencarinya.
Setelah beberapa lama HP nya Khalid pun belum ketemu. Lalu Khalid pun pergi keluar
rumah dan ke rumah temannya yaitu Wisnu, "Nu.. Wisnu..,”Khalid memanggil. Tak lama
Wisnu pun keluar, "Apa cuy mau main PS?" Saut Wisnu sambil keluar pintu. "Hp ku hilang
bre" kata Khalid, "Kok bisa ??"disaut Wisnu. Lalu Khalid menjelaskan kronologi HP nya
yang hilang.
Tak lama kemudian ada seorang sahabat mereka datang yaitu Sumbul, "Cuy ingfokan
main PS !!", Kata Sumbul sambil berjalan ke arah mereka. Sumbul pun melihat mereka
seperti sedang kebingungan lalu ia berkata lagi "Kenapa rek ?", "Ini HP nya Khalid hilang"
kata Wisnu. "Kok bisa ??? Hilang dimana ?? Kapan hilang nya ??? Siapa yang ngambil ??"
Kata Sumbul sambil terkaget. Lalu Khalid pun menjelaskan kronologi Hp nya yang hilang
itu. Sumbul pun punya ide untuk mengungkapkan hilang nya Hp Khalid dengan cara reka
adegan kejadian hilangnya Hp Khalid dari awal dia bangun tidur. Mereka bertiga pun setuju
untuk mencoba ide tersebut dan langsung pergi ke rumah Khalid. Mereka pun memulai nya
dengan di kamar Khalid, "Jadi tadi kamu awalnya gimana ?" Kata Sumbul, Khalid pun
meragakan awal dia bangun, Sumbul pun mulai menganalisis gerakan yang dilakukan Khalid
seperti layaknya dedektif sungguhan.
"Habis itu gimana lagi ?" Kata Sumbul sambil menyilangkan tangannya di dada nya
seperti dedektif di film. Khalid pun menuruti perkataan Sumbul dia pun meragakan adegan
selanjutnya. Wisnu yang terdiam hanya bisa melihat kelakuan Sumbul, tetapi Wisnu sambil
mencari di sela sela sampai sudut kamar Khalid. Setelah beberapa lama mereka pun tidak
menemukan petunjuk sama sekali dari apa yang mereka lakukan. Akhirnya mereka pun
memutuskan untuk pergi keluar, di pinggir jalan mereka pun termenung bagaimana cara
untuk menemukan HP Khalid yang hilang tersebut. Lalu Sumbul pun mengajak mereka untuk
bermain PS, “Cuy mau main Ps gak ?” , lalu mereka berdua pun setuju untuk melupakan
masalah yang terjadi dan pergi main Ps di rental terdekat. “Main Pes kah kita ?” kata Wisnu,
“Ayo.. yang kalah nambah biling”kata Sumbul. Lalu mereka berdua bermain PES, disisi lain
Khalid hanya bisa melihat mereka berdua bermain dan memikirkan dimana HP nya berada
saat ini. Tak lama kemudian Wisnu terpikiran suatu cara “Gimana kalau kita telpon saja Hp
nya ?”, kemudian Sumbul pun mencoba menelepon ke nomor Hp nya Khalid. “Gimana bisa
gak ?” kata Wisnu, “Gak bisa ditolak terus” saut Sumbul. Mereka pun mencoba nya sampai
beberapa kali tapi terus ditolak, “Mungkin Hp mu dibawa orang deh lid” kata Sumbul. Khalid
pun hanya bisa pasrah pada keadaan yang ada, dia hanya murung dan memikirkan Hp
miliknya ada dimana.
“Ada satu cara lagi yang kita bisa lakukan dan cara ini hanya satu satunya jalan bagi kita
untuk menemukan Hp nya Khalid yang hilang ditelan bumi, dengan cara ini kita tidak usa
An Anthology of Time | 65
cemas dengan Hp kita, kita akan cepat mengungkap pelakunya dan kita akan bisa
menguas…”, “udah cepetan Sumbul !!!” kata Wisnu. “Oke oke caranya kita download
aplikasi find my phone dulu” kata Sumbul, Wisnu pun membuka playstore dan mendownload
aplikasi yang dibilang Sumbul tadi. Sembari menunggu selesai mendownload mereka
melanjutkan permainan mereka. “Kok bisa kepikiran sekarang ya, kenapa gak dari tadi kita
mencoba car aitu ?” kata Wisnu sambil bermain game, “Ntah aku baru kepikiran tadi…” saut
Sumbul.
Tak lama kemudian aplikasinya pun telah selesai di download mereka pun langsung
menggunakan nya, tapi mereka juga tidak tahu cara mengoprasikannya. “Terus ini gimana
mbul cara nya ?” kata Wisnu, “Aku juga nggak tahu caranya, aku Cuma tau aplikasi itu dari
Instagram, katanya bisa menemukan Hp yang hilang udah gitu aja gak ad acara
menggunakannya” kata Sumbul. “Dahlah nonton cara nya di youtube aja sudah.,” kata
Khalid. Mereka pun menonton tutorial cara menggunakan Hp tersebut. Setelah menonton
tutorial mereka pun mulai menggunakan aplikasi tersebut, lalu setelah aplikasi itu berkerja
sudah terlihat dimana titik lokasi hp itu berada. “Disini cuy Hp mu !!” kata Sumbul, letak dari
titik loksai tersebut tak lain berada di rumah Khalid itu sendiri. Mereka terheran bagaimana
bisa lokasinya ada dirumah Khalid, padalah mereka dari tadi mencari disitu tidak ketemu.
“Mau ke mana cuy ?” kata Sumbul, “yah ke rumah Khalid lah !!” saut Wisnu, “habisin
dulu lah billingnya rugi kalau gak habis.. “ kata Sumbul. Wisnu dan Khalid pun terdiam
sambil muka mereka terlihat datar seperti ingin memukuli Sumbul. “Sungguh kau masih
memikirkan game daripada membantu teman mu ??” kata Wisnu dengan ekspresi yang sama
seperti tadi. “hehe, ayo lah main sebentar kurang sepuluh menit habis ini ayo lah sebentar
saja…,” Kata Sumbul. “Sudahlah turuti saja dia toh hp ku kemungkinan di rumah” kata
Khalid, mereka pun menuruti melanjutkan main sampai waktunya habis. Kemudian mereka
pun lanjut pergi ke rumah Khalid, “ke mana cuy, Shalat dulu dhuhur nih…” kata Sumbul,
“Oke lah…” jawab Wisnu dengan sabar, mereka pun pergi ke musholah terdekat untuk
melaksanakan Shalat dhuhur terlebih dahulu.
Setelah itu mereka melanjutkan pergi ke rumah Sumbul, saat di perjalanan mereka bertiga
bertemu dengan seorang kakek yang sedah kesusahan membawa sebuah barang. Mereka
bertiga pun menghampiri kakek kakek tersebut, “Mau dibantu Kek ??” kata Wisnu,
“Alhamdulillah, tolong angkat yang ini” kata kakek itu. “Mau dibawa kemna ini Kek ?” kata
Sumbul sambil membawa barang tersebut, “Bawa ke rumah kakek saja” jawab Kakek
tersebut, “rumah kakek dimana ??” tanya Khalid sambil membawa barang, “rumah kakek gak
jauh kok, cuma ada di sebrang jalan itu aja…” jawab kakek tersebut sambil berjalan
membawa tongkat. Mereka pun berjalan dengan mengikuti kakek itu sambil membawa
barang bawaan, setelah sekian lama berjalan mereka merasa ada yang aneh, mereka bertiga
merasa seperti belum sampai sampai ke lokasi rumah kakek tersebut. “Kita kok gak sampai
sampai ya ??” kata Sumbul, “Ntah lah mungkin sebentar lagi” jawab Khalid, “kita gak boleh
berpikiran kaya gitu rek” kata Wisnu. Tak lama kemudian mereka akhirnya sampai dirumah
si Kakek tersebut, rumah nya terlihat biasa saja, dimana ada banyak kucing disana dan juga
banyak tanaman tanaman yang menjalar.
“Taruh disana sudah nak…,” Kata Kakek, “Siap kek” jawab mereka bertiga. “Terima
kasih ya nak udah bantuin.,” kata Kakek, “Iya kek sama sama” jawab mereka bertiga. “Oh ya
satu lagi ini kakek ada permen buat kalian, kakek gak punya apa apa buat diberi” kata Kakek,

An Anthology of Time | 66
“Gak usa sudah kek kita ikhlas bantuin” kata Wisnu, “Gak papa terima saja ini hadiah dari
kakek, sama kakek cuma mau titip pesan sama kalian. Janganlah kalian apa pun yang terjadi
hari ini, bersikaplah lebih tenang. Semua yang terjadi, walau pun mungkin rasanya tidak
enak, sesungguhnya terjadi dengan baik. Bersikaplah baik, supaya hasil dari semua ini adalah
kebaikan,”, tak lama setelah mereka dapat pesan tersebut mereka bertiga pun langsung jalan
keluar rumah tersebut dan pergi ke rumah Khalid. Tapi mereka merasa aneh dengan keadaan
yang ada, lalu ada orang yang melihat mereka keluar dari rumah tersebut dan
mempertanyakan nya. “Habis ngapain dek kok dari situ ??” kata orang tersebut, “Habis dari
bantuin kakek kakek disana bang.,” jawab Sumbul. “Loh… disana kan rumah kosong dek
kok bisa dari situ, terus kakek dari mana ? enggak ada orang sama sekali disana dek.,” kata
orang tersebut. Khalid, Sumbul, dan Wisnu pun terkaget dan terheran denga napa yang
dikatakan orang itu tadi, lalu mereka mencoba melihat kembali rumah yang mereka datangi
barusan dan ternyata rumah tersebut ialah rumah kosong dengan banyak ilalang dan semak
belukar yang ada. Tak lama setelah melihat Sumbul pun lari dan membuat yang lain ikut lari.
Setelah mereka berlari mereka pun sampai di rumah Khalid lalu mereka melanjutkan
pencarian hp nya Khalid yang hilang dengan menggunakan aplikasi tadi. Mereka pun
menccari di seluruh tempat rumah sampai ke halaman rumah juga. “Ketemu gak cuy.,” kata
Sumbul, “Belum nih aku nyari ga ketemu sama sekali” jawab Wisnu, “Gimana lid ketemu ?”
kata Wisnu, “Belum emang dimana sih lokasinya ?” jawab Khalid. Merek pun mencarinya
sampai beberapa waktu.
Tak lama kemudian ibunya Khalid pun dating, “Nyariin apa rek ?” kata Ibunya Khalid,
“Hp ku masih ga ketemu Maa…” jawab Khalid. Lalu tak lama adiknya Khalid pun datang,
“Lagi ngapain kok rame-rame ?”, “Loh itu kan hp ku.,”kata Khalid. “Kok bisa di adek hp
nya.,”kata Khalid, “Kan hp nya aku pinjem buat zoom kak… Tadi malam kan aku udah
ngomong pinjem hp nya besok buat zoom trs kakak ngomong iya, terus pas aku mau zoom
kakak masih tidur dibangunin ga bangun ya udah aku ambil hpnya,” Kata Adiknya Khalid.
“Mama kok ga ngomong hpnya ada di adek..?”kata Khalid, “Kan mama ga tau kalau adek
yang ngambil.,” kata Ibunya khalid sambil berjalan masuk ke rumah.
“Terus kita ngapain dari tadi ? kalau gitu kita main PS aja” kata Sumbul, “Ay mbul main
Ps” kata wisnu. Sumbul dan Wisnu pun pergi ke rental PS untuk main lagi, sementara itu
Khalid masih terheran dan bingung denga napa yang dia alami hari ini. Hari yang dimana
biasa biasa saja menurut Khalid tapi untuk kali ini berbeda, dia merasa di de ja vu oleh
dirinya sendiri.

An Anthology of Time | 67
Keluargaku
Fahreza Amna A.

19 April tahun 2006, seorang bayi lahir di Lumajang besar di Lumajang, inilah cerita
pendekku Fahreza Amna Aminurllah tentang keluargaku. Memiliki 1 kakak yang sangat usil
juga membuatku rindu jika tidak bertemu dengannya. Dia usil dan aku juga memposisikan
diri untuk bisa selalu diusili. Itu yang membuat kedua orang tuaku kadang harus menepuk
dada untuk mengurus kami berdua. Mas Robi memang menjadi kakak yang selalu aku
rindukan untuk membuat hariku berwarna.

Pada tahun 2019 ia mengawali jenjang kuliah di Universitas Diponegoro Fakultas


Kedokteran, Semarang. Jujur pada saat ditinggalkan oleh saudara kandung perasaan ini
bercampur aduk, antara sedih dan senang. Sedih karena ditinggal untuk melanjuti kuliahnya
dan menjadi kesepian, Senang karena dia berhasil mencapai cita

citanya, yaitu dokter. Namun aku juga boleh dong untuk berdoa semoga suatu saat nanti
bisa seperti masku yang juga berhasil mencapai cita citanya, cita citaku juga ingin menjadi
dokter semenjak kecil sudah bertekad untuk menjadi dokter karena ayah dan mama saya
bekerja di bidang kesehatan. Ah, keluargaku menjadi sangat sepi kehilangan 1 anggota
keluarga, namun tidak boleh merasa seperti itu karena mas Robi juga berusaha untuk
membahagiakan orang tua. Kalian tahu? rasanya aku seperti melihat sosok Ayah didalam diri
Mas Robi,jangan berfikiran pekerjaan Ayah tidak ada yang meneruskan, mungkin jika takdir
mengatakan jalan kehidupan Mas Robi tidak menjadi dokter, mungkin aku yang akan
meneruskannya. Hehe. Aamiin.

Suatu saat keluargaku ingin menjenguk

Mas Robi yang sedang berada di Semarang. Lelah tentu dirasakan oleh Ayah dan Mama
karena sepanjang perjalanan dari Lumajang ke Semarang dengan jarak 450 km. Tetapi rasa
lelah itu terkalahkan oleh rasa lega karena akhirnya sudah mencapai Semarang dengan
berfikiran "aduh,aku pengen cepet cepet an ketemu mas Robi". Sesaat sudah mencapai hotel
yang terletak di Tembalang, Kabupaten Semarang, orang tuaku segera menghubungi mas
Robi "le ndang merene,ayah mama kangen" ucap mama. Dengan tegasnya Mas Robi
mengucapkan "Siap maa!!". Sesaat kemudian setelah 10 menit berlalu, Mas Robi mengetuk
pintu hotel dan membukanya. Serontak ayah dan mama histeris melihat kedatangan mas robi.
"Lee, mama kangen karo sampean nakk" ucap mama sambil memeluk erat. "Iyo

maa, aku pisan" ucap Mas Robi. Kemudian Mas Robi datang kepadaku dan berkata "yopo
kabar e koe sa" "apik mas". Jujur waktu itu sangat senang karena bisa mendengar suara Mas
Robi lagi. Ayah dan Mama pun berbincang - bincang dengan Mas Robi, sementara aku hanya
mendengarkan saja. Di tengah - tengah pembicaraan, ayah tiba tiba bilang "sa koe sok mben
ate dadi opo?" "jelasnya sih ya aku pengen jadi dokter kayak sampean dan Mas Robi"
ucapku. Kemudian mama berkata "berarti koe yo kudu rajin koyok masmu ikii, pas SMA

An Anthology of Time | 68
masmu iki rajin belajar,rajin ngaji dan lain lain". Ah, lagi lagi aku dinasihatin padahal
perlakuanku juga seperti apa yang diinginkan oleh mamaku,akan tetapi juga tidak boleh
marah dengan apa yang diucapkan oleh Mama, bagaimanapun juga kita harus menghormati
kepada orang tua, toh juga

menasehati seperti itu juga memiliki niat baik "iyaa mamakuu" ucapku. Setelah itu, Ayah
dan Mama lapar ingin mencari makan. Akan tetapi Mas Robi bilang "gausah ma, ini pake
aplikasi gojek aja buat anterin apa yang mama ayah inginkan".
"Jaman jaman sekarang sudah mulai canggih ya, dulu waktu mama muda ga ada iki
kayak aplikasi buat anterin makanan,harus beli sendiri,berangkat sendiri" ucap mamaku
dengan keheranan
"ya gimana lagi ma,namanya perkembangan jaman,masa kita masih tetep tetep an stuck
di zaman dulu? teknologi sekarang sudah semakin canggih, apa yang di inginkan tinggal
mencet mencet sudah ada" ucapku dengan santai.
Kemudian Mas Robi meng order ayam geprek untuk Ayah, Mama, Aku, dan Mas

Robi untuk mengisi perut di malam itu. Setelah beberapa menit, makanannya sudah
sampai dan kemudian pada malam itu juga keluargaku makan bersama anggota yang lengkap.
Sungguh momen inilah yang aku tunggu tunggu, yaitu makan bersama sama. Dimana kita
dapat berbicara bareng, makan bareng, berbahagia bahagiaan, dan lain lain. Aku rindu dengan
suasana anggota keluarga yang lengkap, jika 1 anggota saja tidak ada rasanya seperti kayak
ada yang kurang, hening, gelisah, bingung, dan lain lain. Setelah makan malam di kamar
hotel, Ayah dan Mama langsung tidur sedangkan aku dan Mas Robi bermain hp sampai jam
12 malam, baru lanjut tidur. Sebelum tidur aku berfikir "enak ya kalau keluargaku lengkap
seperti ini, tidak ada rasa kekurangan,saling mengisi satu sama lain, aku tidak ingin menjalani
momen berpisah

dengan Mas Robi ketika sudah pulang dari Semarang" berfikir sambil nangis.

Besoknya disambut pagi yang cerah dan indah dengan pemandangan gedung gedung di
kota Semarang dan mengingat kejadian malam kemarin yang sangat indah menambah mood
ku dipagi hari. Waktu saya bangun Mas Robi masih tidur,ternyata masih tetep saja
perlakuannya, susah untuk bangun tidur dari dulu. "Ya, memang sudah pisah dengan
keluarga, tapi bukan berarti juga kelakuannya sudah berbeda" pikirku waktu itu. Kemudian
Ayah dan Mama mengajakku untuk sarapan di hotel tersebut. Makanannya enak enak banget,
ada sosis, sate, ayam panggang, nasi goreng dan lain lain. Sedangkan camilannya juga ada
roti, buah buah an, sereal, dan lain sebagainya. Sangat

memuaskan sarapan di hotel tersebut. Kemudian Mas Robi datang ke tempay sarapannya
setelah tidur yang lamaaa banget dan berkata "kok aku ditinggal". "yo mean mas yang
bangun e kesiangan" ucapku dengan ngeledek. Semuanya tertawa terbahak bahak, kemudian
Mas Robi juga mengambil makanannya. Setelah sarapan, aku dan Mas Robi berenang, view
saat berenang bagus banget karena berada di lantai paling atas. Sebelum berenang, aku dan
Mas Robi foto foto berhubung viewnya sangat bagus. Viewnya terdapat gedung gedung

An Anthology of Time | 69
pencakar langit, gunung gunung, dan lain lain. Setelah foto foto, kita lanjut berenang. Saat
berenang aku menantang Mas Robi untuk lomba cepet cepet an berenang "Mas Rob, ayo
cepet cepet an renang"
"ayo" ucap masku dengan santai.
Hasil dari pertandingan ini, dimenangkan

oleh Mas Robi karena saya lelet berenangnya, kaget Mas Robi ternyata berenangnya
cepet. Berenang berlangsung sekitaran 30 menit, setelah berenang langsung ke kamar untuk
bilas dan mandi. Ayah dan Mama sudah ber siap siap untuk mengajak aku dan Mas Robi
pergi ke Kota Semarang untuk belanja (shopping) / main main. Pertama pergi ke mall yang
ada di Semarang, disana aku dibelikan sepatu oleh ayahku, Mas Robi juga dibelikan sepatu
oleh ayahku. Lanjut ke matahari, disana juga dibelikan celana jeans hitam dan baju
bergambar oleh ayahku, sedangkan Mas Robi dibelikan jaket. Setelah berbelanja sepuas
mungkin, perut mulai berbunyi seolah olah berbicara "lapar lapar". Langsung pergi dari mall
dan lanjut ke Restauran yang terkenal akan makanannya yang sedap, yaitu Restauran
Kampung Laut Semarang. Disana banyak

menu menu yang berbau air tawar dan laut yang kesannya menarik, ada gurame bakar
atau goreng dengan variasi gurame bakar madu, gurame dengan bumbu telur asin, gurame
tepung dan lain sebagainya. Banyak juga menu menu yang menarik bukan hanya gurame
saja, banyak seperti ikan patin, cumi, udang, dan lain sebagainya. Restauran ini terletak di
dekat laut cocok dengan nama restauran nya. Ciri ciri dari restauran ini yaitu mengapung di
air dengan sanggahan kayu dibawahnya, jadi pondasi yang dimiliki oleh restauran ini yaitu
hanya kayu yang terletak di bawah nya. Di restauran ini, keluargaku memesan gurame tepung
dengan bumbu asam manis, gurame bakar madu, dengan sayur cah kangkung. Lalu
minumannya memesan esteh, lemon squash, dan es jeruk. Makan sekisaran 30 menit, setelah
makan langsung pergi ke Masjid karena

sudah jam 3 dengan jamak qashar dhuhur dua rakaat dan ashar 2 rakaat. Setelah Shalat
pergi ke hotel untuk beristirahat karena sudah capek dengan aktivitas di hari ini. Beristirahat
sampai jam 6, keluargaku langsung membeberkan sajadah untuk Shalat berjamaah dengan
jamak qashar maghrib 3 rakaat dan isya 2 rakaat. Setelah Shalat, Ayah dan Mama mengajak
untuk menonton film yang ada di bioskop
"le ayo nonton film, film e lagi bagus bagus" ucap mamaku dengan nada mengajak
"gas ma" ucap aku dan Mas Robi.
Saat itu,aku tidak sabar ingin menonton keseruan filmnya bersama keluargaku, penasaran
dengan reaksinya. Pukul 19.00 filmnya sudah dimulai. Sekarang sudah pukul jam 18.55,
keluargaku langsung siap siap untuk pergi ke bioskop dan memesan

tiket nya dengan popcorn yang dijual. Film sudah dimulai yang berdurasi selama 3 jam.
Setelah jam 21.00, film sudah selesai dan Ayah berkata
"bagaimana film barusan? bagus gak?" ucap ayah dengan nada kegirangan
"bagus banget yah" ucapku dengan senang

An Anthology of Time | 70
film ini menceritakan peristiwa yang terjadi dalam rentang waktu lima tahun berselang
dari film sebelumnya, Avengers: Infinity War. Pada Avengers: Infinity War, dikisahkan
bahwa setengah populasi dunia hilang karena ulah Thanos. Dua puluh tiga hari setelah
peristiwa itu, Captain Marvel menyelamatkan Tony Stark dan Nebula dari luar angkasa.
Mereka pun bergabung dengan para Avengers yang tersisa. Para Avengers tersebut kemudian
membuat misi untuk mengambil infinity stone dari Thanos, namun Thanos telah

menghancurkannya. Thor yang marah kemudian membunuh Thanos. Lima tahun setelah
peristiwa yang disebut blip itu terjadi, orang-orang yang ditinggalkan masih merasakan
kehilangan yang amat dalam, tak terkecuali para Avengers yang tersisa. Meski begitu,
mereka pun mulai berusaha menjalani kehidupan masing-masing, Tony Stark hidup bahagia
bersama Pepper Potts dan telah memiliki seorang putri. Thor menghabiskan waktunya untuk
mabuk dan menonton TV. Sementara Steve Rogers dan Natasha Romanoff tetap berada di
markas mereka. Harapan baru muncul saat Scott Lang atau Ant Man keluar dari dunia
quantum realm. Scott Lang yang kaget dengan keadaan dunia dan putrinya yang menghilang
pun bertemu dengan para Avengers. Scott Lang kemudian meyakinkan Avengers bahwa teori
quantum realm

memungkinkan mereka untuk melakukan perjalanan waktu dan mengambil infinity stone
sebelum dicuri oleh Thanos. Tony Stark , Bruce Banner, dan Rocket kemudian membuat
sebuah mesin waktu. Mereka kemudian membentuk tim untuk menyebar dan mengambil
infinity stone di berbagai tempat tersebut.Saat para Avengers hampir berhasil membuat
infinity gauntlet seperti milik Thanos, Nebula dari masa lalu yang masih memihak Thanos
menggunakan mesin waktu tersebut dan menghancurkan rencana para Avengers. Thanos dari
masa lalu pun kemudian datang ke masa tersebut dan kembali berhadapan dengan para
Avengers. Pertarungan besar pun terjadi. Thanos mengerahkan semua pasukannya.
Sementara Avengers yang hampir kalah kemudian mendapat bantuan dari semua pahlawan
yang datang. Saat para

Avengers kembali tersudut, Tony Stark akhirnya mengorbankan dirinya untuk mengambil
infinity gauntlet Thanos dan menggunakannya untuk mengembalikan populasi dunia yang
menghilang.
Kekuatan yang terlalu besar dari infinity gauntlet pun membuat Tony Stark tewas.
Pemakamannya dihadiri oleh seluruh Avengers yang kini telah kembali. Setelah itu, Thor,
memberikan kekuasaan Asgard pada Valkyrie dan kemudian bergabung dengan tim
Guardians of the Galaxy. Sementara Steve Rogers bertugas mengembalikan Mjolnir milik
Thor dan infinity stone ke tempatnya semula. Saat kembali ke masa sekarang, Steve Rogers
telah berubah menjadi tua karena ia memilih untuk pensiun dan hidup menjadi orang biasa di
masa lalu. Perisainya pun diberikan kepada Sam Wilson atau Falcon dan disaksikan oleh
Bucky Barnes atau

Winter Soldier.Sementara Steve Rogers bertugas mengembalikan Mjolnir milik Thor dan
infinity stone ke tempatnya semula. Saat kembali ke masa sekarang, Steve Rogers telah
berubah menjadi tua karena ia memilih untuk pensiun dan hidup menjadi orang biasa di masa

An Anthology of Time | 71
lalu. Perisainya pun diberikan kepada Sam Wilson atau Falcon dan disaksikan oleh Bucky
Barnes atau Winter Soldier.

Film tersebut ialah Avengers:End Game, setelah menonton itu keluargaku terus
membahasnya
"Huiw! film tadi sangat seru yah" ucap Mas Robi dengan kesenangan
"iya le, jalan ceritae keren banget, akting dan efek efek e bagus" ucap ayah
"kapan lagi nonton film dengan anggota keluarga yang lengkap" ucap mama dengan
terharu

"iya ma, langka nemen momen kayak gini" ucap Mas Robi
Aku yang mendengar percakapannya seakan akan terharu mengalahkan rasa senang
setelah menonton film sebagus itu. Setelah itu, pergi dari mall dan mencari makan di
restauran pinggir jalan. 20 menit setelah itu, keluargaku dengan segera langsung ingin pergi
ke hotel,hendak untuk beristirahat. Jujur untuk hari ini sangat capek dan juga senang, banyak
kegiatan bersama keluarga bareng bareng. Semua anggota keluarga sudah berposisi untuk
tidur, akan tetapi aku tidak, aku termenung tertabrak oleh pikiran banyak karena besok sudah
pulang ke halaman rumah di Lumajang. Aku kepikiran terus menerus hingga air mata ini
keluar dengan sendiri nya. Aku tidak ingin hari ini cepat berlalu, aku ingin keluarga ini tetap
lengkap seperti ini. Aku tidak ingin cepat pagi, namun

bagaimana lagi, waktu tetap berjalan. Akhirnya setelah beberapa waktu, aku pun tertidur
dan bermimpi masih bermain main dengan keluarga. Di mimpi ku seperti kembali ke masa
lalu dimana aku masih kecil, anggota keluarga masih lengkap. Sungguh ingin terus menerus
keluarga ini tidak kehilangan satu anggota.

Besoknya kemudian disambut dengan pagi yang cerah. Akan tetapi meskipun disambut
dengan semesta, perasaan ini sangat bimbang. Seperti biasa, aku sudah bangun, orang tua ku
sudah bangun, Mas Robi masih tidurr. Ayah dan Mama segera membangunkan Mas Robi
untuk pergi ke tempat sarapan di hotel. Siap siap untuk keluar dari kamar seperti sikat gigi,
cuci muka, dan lain lain. Lalu segera pergi ke tempat sarapan. Sesaat sampai, ingin membuka
makanan membuka dengan

mengambil sereal terlebih dahulu, sereal itu yaitu choco crunch dengan susu. Setelah
makan sereal, lanjut makan Ayam bumbu pedas dengan nasi putih. Ayah dan Mama
mengambil nasi campur sedangkan Mas Robi makan makanan sosis dengan nasi putih. Untuk
minumannya hanya es jeruk tiga dan air putih satu. Setelah itu, langsung pergi ke kamar
untuk segera mempersiapkan barang barang untuk dikemas. Pada momen ini, aku sangat
sedih terus menerus berfikir bagaimana ketika momen perpisahan nanti. Setelah semua sudah
mengemas barang,sudah siap dengan pakaiannya, keluargaku check out hotel dan segera
pergi ke Super Indo untuk mempersiapkan kebutuhan Mas Robi kedepannya. Setelah belanja
kebutuhannya, keluargaku mengajak untuk belanja oleh oleh pusat khas Semarang. Saat ini
sudah mendekati momen yang

An Anthology of Time | 72
paling tidak ingin aku alami. Setelah itu, aku meminta untuk dibelikan baju yang
bertemakan Lawang Sewu. Ayah dan Mama membeli makanan seperti bakpia, wingko, dan
lain lain. Setelah belanja, keluargaku mengajak untuk makan siang dan ini adalah kegiatan
terakhirku dengan Mas Robi. Makan siang di Restauran Spesial Sambel memang enak
menunya, akan tetapi terkalahkan oleh keadaan yang akan membuatku sedih. Aku sangat
bingung dalam keadaan ini, aku sangat bimbang, aku ingin menangis akan tetapi malu
didepan keluarga. Saat makan, aku sungguh tidak nafsu dengan makanan itu karena kepikiran
terus menerus bagaimana keadaanku yang habis ini momen yang aku alami akan membuatku
sedih. Saat makan sudah selesai, Ayah dan Mama membayar makan makanan tersebut dan ini
lah momen yang tidak aku inginkan terjadi. Momen Perpisahan dengan Mas Robi. Perpisahan
memang sebuah kata yang mengandung makna kesedihan. Selalu ada kecewa, selalu ada air
mata dan pasti ada rasa yang tidak ikhlash ketika momen ini terjadi. Perpisahan memang
menyakitkan saat kita larut akan kesedihan. Namun dari perpisahan itu juga kita belajar arti
dari sebuah kehilangan dan belajar untuk menghargai apa yang telah diputus kan. Selama ini
Mas Robi selalu aku rindukan, mengukir kenangan dengan keluarga, segala apa pun itu diraih
dengan kesenangan, tertanam di dalam hati
dan terkenang di memori.
"le aku tak pulang sik yo, kapan kapan ketemu maneh" ucap mama sambil memeluk dan
menangis kejer.
"iyo le, aku tak pulang cekno tutuk omah nggak kebengen" ucap ayah dengan rasa
kesedihan.
"ohh iyo ma yah, ati ati dek dalan" ucap Mas Robi sembari memeluk mama.
"disek mas rob" ucapku
Jujur aku sangat malu ketika mengucapkan selamat tinggal kepada Mas ku, jadinya aku
hanya mengucapkan disek mas rob saja,aku tidak ingin terlihat kesedihan agar Mas ku tidak
menganggap aku bener bener kehilangan sesosok saudara yang usil, seru, dan lain lain.
"iyo sa,tiati" ucap masku
Ketika sudah berpisah dengan Mas Robi, jujur sangat kehilangan banget satu orang di
anggota keluargaku. Rasanya langsung hampa, sepi, tidak menarik. Juga melakukan
perjalanan jauh lagi Semarang sampai Lumajang. Tentu rasa sedih dicampur dengan rasa
lelah akan menjadi rasa yang benar benar hancur dalam diri. Sesaat sampai di rumah, mukaku
tidak
berekspresi terus menerus kepikiran dengan Mas Robi. Tentunya ini juga sebuah
pelajaran bagiku untuk menerima kejadian yang memang harus terjadi. Mas Robi juga
berusaha untuk membahagiakan orang tua dengan cara berusaha belajar terus menerus hingga
menjadi dokter suatu saat nanti. Sama sepertiku yang ingin menjadi dokter. Suasana keadaan
keluargaku pun menjadi sepi. Tapi aku yakin, suatu saat nanti Mas Robi akan kembali dengan
sosok yang berwibawa, berprofesi, dan membanggakan orang tua sehingga orang tuaku
senangg melihatnya. Apabila suatu saat nanti aku menjadi dokter, aku juga akan
membahagiakan orang tua layaknya seperti masku yang harus berpisah dengan keluarga demi
membahagiakan orang tua.

An Anthology of Time | 73
Tak lagi sama
Fidiyah Ramadhani

Dalam rindu yang kadang kala tak karuan. Ada banyak cerita yang ingin kusampaikan, ada
banyak moment yang ingin kuciptakan denganmu, ada banyak makanan yang ingin kulahap
bersamamu, ada ribuan tempat yang ingin kujelajahi bersamamu, dan terlebih lagi ada banyak
tanya yang menanti jawab darimu.
Namun waktu masih saja membiarkanku menunggu. Menunggu bersama harapan yang tak
tahu kapan berujung. Sudah berapa musim yang berlalu, hujan kali ini sudah kali ke berapa
kunikmati. Entahlah, rintik hujan semakin deras, semakin mencipta rindu yang kian candu.
Tak terpikirkah olehmu tentang penantian sesosok manusia ini yang terhanyut dalam
belenggu tentangmu.

Waktu begitu sederhana, hari demi hari, jam demi jam, menit bahkan detik kulalui dengan
perlahan. Banyak rintangan dan hambatan yang kulalui untuk sebuah kehidupan. Dan pada
akhirnya membawaku kepada pengalaman menjadi seseorang yang mempunyai segalanya,
baik dari segi ekonomi, kecerdasan, di segala bidang apa pun.

Terkadang semesta menjauhkan dari orang yang salah dengan cara yang sakit. Begitupun
diiringi dengan kebahagiaan yang tiada henti. Aku pernah berpikir. Kuatkah aku melewati
semua perjalanan ini? Lalu tersadar dengan kalimat untuk apa aku hidup hingga aku lupa
pada rasa syukur yang aku punya.

Diana Putri Rahmadhani, itu nama lengkap ku yang sering dipanggil dengan panggilan Dian,
lahir di Kabupaten Lumajang pada tanggal 07 Oktober 2008 pukul 20:00 WIB, aku tinggal di
rumah Bunda dan Ayah, yang bercat abu gelap. Ayahku bekerja sebagai anggota Tentara
Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD) dan bundaku hanyalah seorang wirausaha
biasa. Aku terlahir dari keluarga yang bisa dikatakan cukup mampu, aku hidup bahagia
dengan keluarga ku dengan apa yang ku punya. Hingga suatu ketika waktu aku masih SD
hidupku berubah secara drastis. Usaha bunda ku yang telah dibangun sejak aku kecil gulung
tikar begitu saja, tak tersisa sedikit pun. Pada masa itu bundaku salah mengambil langkah
dengan telah tertipu oleh para oknum yang tidak bertanggung jawab, yang imbasnya
mengakibatkan gulung tikar nya usaha bundaku, sungguh amat disayangkan.

Di saat itu aku mulai memasuki masa remaja yang dimana masa itulah masa untuk memulai
dan mencoba banyak hal baru, seperti mulai mencoba memakai skincare karena jerawat
jerawat yang sudah bermunculan karena sudah memasuki masa pubertas, membeli berbagai
macam outfit yang tidak kalah keren dan yang terpenting yaitu membeli berbagai macam
perlengkapan ku untuk melanjutkan pendidikan ku di jenjang Sekolah Menengah Pertama
atau yang biasa disebut dengan SMP.

Disinilah aku akan bercerita kehidupan ku pada masa itu. Pada masa itu sangat menyedihkan
sekali kehidupan ku bagiku, karena usaha bundaku yang gulung tikar disaat aku memasuki

An Anthology of Time | 74
masa remaja. Aku sangat ingat sekali betapa sedihnya nasib keluarga ku pada saat itu,
Bundaku yang memiliki banyak hutang sana sini dengan begitu besar nominal nya yang
sangat menjadi hambatan yang sangat besar waktu itu bagi keluargaku, yang dilakukan
keluargaku waktu itu hanya gali lubang tutup lubang untuk menutup hutang hutang Bunda
ku, berjalan seperti itu terus menerus. Aku yang selalu melihat kericuhan suasana rumah, itu
seperti hal yang sudah biasa bagiku. Di sisi lain, Ayahku juga membutuhkan biaya untuk
melanjutkan pra tugas nya yang pada masa itu Ayah ditugaskan di Ambon selama kurang
lebih 1 tahun. Semakin menyedihkan nya hidupku kala itu, sangat menyedihkan. Karena
sedikitnya pemasukan yang didapatkan, sampai sampai keluargaku hanya makan satu kali
dalam sehari, tidak hanya di situ saja waktu itu aku sudah memasuki sekolah SMP yang
dimana harus membayar banyak uang untuk seragam yang cukup besar nominalnya.

Aku tak tahu, apakah keadaan ekonomi keluarga ku akan seperti ini seterusnya atau akan kah
menjadi lebih baik. Jawaban nya hanyalah rahasia Tuhan. Karena keadaan ekonomi yang
sangat kurang, aku memiliki suatu ide untuk memulai bisnis yaitu bisnis online shop. Untuk
mendapatkan modal pertama, aku membuka tabungan ku yang sudah lama ku simpan
uangnya. Dengan adanya bisnis online shop ini, aku bisa sedikit demi sedikit mengurangi
beban Bunda untuk biaya sekolahku. Dan tiba saat yang aku tunggu, bisnis online shop ku
sudah mulai ada pemasukan, untuk mengambil kain seragamku di sekolah tapi hanya 200.000
saja uangnya tentu itu sangat amat kurang. Tetapi syukur alhamdulillah sekolah SMP-ku
memperbolehkan untuk menyicil seragamnya.

Tak lama kemudian, bisnis online shop ku berhenti ditengah jalan, karena uang modal dan
yang lainnya terpakai untuk kebutuhan keluargaku sehari hari. Sangat amat sedih pada masa
itu. Merenung kembali, apa yang harus ku lakukan. Sedangkan, Ayah jauh di Ambon sana.
Aku pun sedih melihat Bundaku yang kerja nya serabutan, pekerjaan apa pun ia lakukan agar
mendapatkan uang untuk kebutuhan sehari-hari.

Tentu, jika ditanya apakah aku iri dengan teman sebayaku yang ekonominya tidak terhambat
aku akan menjawab “iya sangat sangat iri sekali” dimana mereka bisa membeli apa yang
mereka mau tanpa harus menabung. Sedangkan aku? Apa yang aku ingin beli harus diam dan
memikirkan dampak nya jika aku membeli barang tersebut. Tapi aku selalu berdoa dan selalu
bersyukur mungkin ini memang cobaan dan ujian yang diberikan Tuhan kepadaku dan
keluargaku. Tapi terkadang aku juga sering mengeluh dengan keadaan ekonomi keluargaku
pada saat itu karena sangat amat menyedihkan jika di ingat ingat kembali.

Ayah aku susah mendapatkan sinyal saat di telepon karena beliau sudah mulai memasuki
daerah hutan yang dimana minim sinyal untuk berkomunikasi. Aku masih ingat sekali
dimana aku dan keluargaku ke mana ke mana harus berjalan kaki dikarenakan barang barang
yang ada di rumah sudah dijual untuk makan dan kebutuhan sehari hari.

Benar benar tidak tega sekali melihat Bundaku berjalan sejauh mungkin untuk mendapatkan
pekerjaan, aku sebagai anak yang belum mempunyai penghasilan hanya bisa menangis dan
berdoa agar Bundaku cepat mempunyai pekerjaan yang layak dan bisa berkomunikasi dengan

An Anthology of Time | 75
Ayah kembali. Pada saat itu tak ada malam yang tidak ditemani dengan suasana tangis, setiap
malam aku menangis merenungi keadaan keluargaku. Aku merasa sangat terpuruk, mengapa
bisa seperti ini kondisi dan nasib keluargaku. Sangat amat menyedihkan.

Aku juga pernah beranggapan bahwa takdir Tuhan sangatlah tidak adil, mengapa harus
keluargaku yang mengalami cobaan dan ujian seperti ini, belum tentu keluargaku mampu
menghadapi masalah dan kondisi seperti ini. Tetapi aku juga lupa akan nikmat yang diberikan
Tuhan kepada ku dan keluargaku, seperti nikmat sehat wal afiat, nikmat menghirup udara
bebas dan banyak sekali nikmat yang telah Tuhan berikan kepada ku dan keluargaku, kembali
lagi aku bersyukur akan hal itu.
Aku sangat terharu melihat kesabaran Bundaku yang tiada habisnya menghadapi masalah dan
kondisi seperti ini, sangat amat luar biasa sabar nya. Jika aku diposisi Bundaku belum tentu
diriku sekuat dirinya untuk menghadapi berbagai masalah yang sangat amat berat ini.

Setelah cukup lama mencari kerja akhirnya Bundaku mendapatkan pekerjaan sebagai pencuci
piring di sebuah restoran, rasanya lega sekali sekian lama menunggu akhirnya Bundaku
mendapatkan pekerjaan, yaa walaupun cuma pencuci piring yang gajinya tidak seberapa
tetapi harus beryukur karena itu rezeki yang diberikan oleh Tuhan. Aku yang melihat
Bundaku pagi sudah bergegas untuk bekerja dan malam hari baru pulang dari bekerja, ia
sangat terlihat lelah dan letih.

Hari hari telah berlalu dengan keadaan yang begitu begitu saja, Bundaku sering mengeluh
tentang ekonomi keluargaku yang makin lama makin memburuk, Pada suatu ketika terdapat
nonor tidak dikenal menelfon, dan ternyata itu Ayahku yang sedang bertugas disana.
Sungguh amat senang sekali pada saat itu, akhirnya bisa kembali berkomunikasi dengan
Ayah. Ayah bisa menelfon aku dan Bunda karena Ayah sudah turun dari wilayah hutan, dan
aku sangat amat bersyukur mendengar kabar dan kondisi Ayah disana, namun Ayah masih
lama untuk pulang.

Aku sering terlalu banyak menghalu dan mengingat betapa orangtuaku sangat sering
menuruti apa mauku kala itu, seperti.
“Bun, aku mau beli baju ini ya, kan aku belum punya gaya yang seperti ini,”
“Iya, boleh beli saja nak” jawab ibu.
“Ayah aku mau hp baru apa boleh?” tanya aku
“Iya boleh, tapi nunggu sebentar,” jawab ayah
“Baik ayah, terima kasih,” jawab aku
Enak sekali bukan hehehe, tapi itu dulu berbeda dengan pada masa ekonomi keluargaku yang
menurun dan sangat cepat berubah secara drastis.

Dari cobaan yang diberikan tuhan pada saat itu aku benar benar sangat amat kaget dan tidak
percaya. Ternyata aku dan keluargaku sudah sangat kuat menjalani hari demi hari dengan
kondisi ekonomi yang sangat menurun. Dengan menurunnya kondisi ekonomi keluarga,
bukan berarti aku melupakan tugasku sebagai pelajar, yaitu belajar, belajar, dan belajar. Pada

An Anthology of Time | 76
masa itu aku sangat yakin bahwa kondisi ekonomi keluargaku tidak akan seperti ini
selamanya, pasti akan ada perubahan yang datang, aku yakin itu.

Dan mulai memasuki kelas 8 SMP, aku memulai hal baru seperti mulai berjualan makanan
seperti risol sayur, pisang coklat, dan beberapa pekerjaanku yang lain dan waktu itu juga aku
udah mempunyai pekerjaan yang gajinya tetap yaitu sebagai penjaga toko, meskipun gajinya
tidak seberapa tapi gaji itu sangat membantu kebutuhan ku sendiri maupun keluarga
walaupun aku tidak mengasih banyak kepada keluargaku.
Tetapi aku sangat bangga sekali dimana pada umurku yang masih 13 tahun bisa memenuhi
kebutuhanku sendiri dan bisa membantu ekonomi keluarga. Pada masa kelas 8 SMP, Ayah
sudah mulai mendekati waktu untuk pulang dari Ambon, aku sangat senang sekali pada saat
mendengar informasi itu dari Ayah. Tapi di sisi lain aku juga merasa senang karena bisa
berpenghasilan sendiri dan bisa berjualan sedikit demi sedikit bisa membantu mengurangi
beban Bundaku untuk mencari uang demi kebutuhan sehari hari.

Waktu berjalan dengan sangat cepat, tidak terasa begitu saja. Kehidupan ku dan keluargaku
ku smakin lama smakin membaik, sangat amat bersyukur. Dan pada suatu hari aku tertarik
pada dunia model dan endorse suatu barang atau endorse tempat photoshoot, dan tepat sekali
aku bertemu kakak yang sangat amat cantik yang bernama Kak Linda yang bisa membantuku
untuk mencari endorsan. Awal menjalani dunia model dan endorse tidak semudah dengan apa
yang ku bayangkan. Ternyata cukup sulit dan sangat susah untuk mencari endorsan. Tetapi
aku sangat beruntung dengan bertemu dengan Kak Linda.

Kak Linda sangat baik kepadaku, ia selalu membantuku tanpa minta balasan sedikit pun, kita
berdua juga sering kerja sama bareng untuk lomba lomba membuat video kreatif, photoshoot
bareng, dan lain-lain. Seiring berjalannya waktu aku juga menekuni dunia menyanyi, aku
sering juga bernyanyi di suatu café-cafe di kotaku. Pada awalnya aku kurang percaya diri
dengan kemampuan menyanyi ku, karena suaraku yang pas-pas an, namun Kak Linda
meyakinkan ku dan mengajarkan aku untuk percaya diri dan yakin pasti bisa.
Dari pekerjaan aku itu lah aku bisa memenuhi kebutuhan keluargaku dan bisa mengubah
hidupku yang jauh lebih baik lagi dari pada sebelumnya, sangat amat bersyukur.

Dan aku juga bisa membantu Bundaku untuk membayar hutangnya, kini ayahku juga sudah
pulang dari Ambon, namun Ayah ditempatkan di satuan lain tepatnya berada di Madura.
Aku sering menanyakan kabar ayahku lewat handphone saja, saat ini aku sering menangis
karena teringat kepada ayahku, yang dulunya sering menghabiskan waktu bersama untuk
bercanda, bercerita cerita tentang banyak hal, melakukan hal lucu dan konyol bersama.
Tetapi sekarang kita berjauh jauhan dan hanya berbicara lewat handphone saja.
Tetapi ayahku selalu menyemangatiku dan selalu berdoa untuk aku disini dan bundaku,
Bundaku selalu menyemangati supaya tidak pantang menyerah dan selalu bersyukur dengan
apa yang kita punya dan apa yang kita jalani saat ini. Sungguh amat bahagia sekali jika
kondisi keluargaku sekarang sangat amat lebih baik dari pada sebelum-sebelumnya. Untuk
hutang-hutang Bundaku, sudah terbayarkan semua nya. Sedikit demi sedikit menutup hutang

An Anthology of Time | 77
Bunda dan ternyata sudah tertutup semuanya. Tiada henti hentinya untuk selalu bersyukur,
sangat amat bersyukur.

Aku sangat tidak menyangka bahwa kondisi keluarga ku akan menjadi seperti ini, terkadang
terpikir bahwa kejadian ini hanya lah mimpi, namun sekarang ini benar benar terjadi. Siapa
sangka bahwa takdir akan berubah jika kita bersabar menghadapi nya. Pasti akan ada
perubahan bagi ia yang berusaha, kini kondisi ekonomi keluargaku sangat berbeda dengan
pada waktu itu, aku sangat berterimakasih kepada Tuhan karena telah mengubah nasib dan
takdir keluargaku menjadi lebih baik, dan aku juga berterimakasih kepada Kak Linda, karena
ia sangat amat baik padaku, ia selalu menemani, menyemangati, dan mengajarkan ku banyak
hal yang belum ku tau.

Begitulah kehidupan.
Kita tidak bisa tahu bagaimana kehidupan kita selanjutnya bagaimana.
Dan dari cobaan yang diberikan Tuhan kepadaku, aku lebih bersyukur dan selalu menghadap
ke bawah untuk melihat orang yang lebih susah daripada aku dan lebih lebih beryukur.

Dari ceritaku aku hanya ingin berpesan untuk kalian.


Hidup itu tidak selalu di atas dan tidak selalu sesuai dengan keinginan kita. Hidup itu seperti
roda yang berputar, kadang di atas kadang di bawah. Seringkali juga kita gagal dalam suatu
proses yang kita kerjakan, tapi itu tidak berkemungkinan kita selalu gagal ketika kita
berusaha.
Dan untuk mencapai suatu proses atau keinginan kita, kita harus berusaha dan berdoa kepada
tuhan untuk dilancarkan segala sesuatu yang kita kerjakan.
Mengeluh boleh asal jangan berhenti untuk terus berusaha.

Dan jika kalian benar benar sudah berhasil dalam mencapai suatu impian kalian.
Pesanku hanya satu. Jangan sekali-sekali untuk menyombongkannya

SEKIAN

An Anthology of Time | 78
Rumah yang benar benar rumah
Hanna Salsabila

bunyi alarm yang membuatku terbangun dari tidur ku pagi ituu adalah hal yang sedikit ku
bencii karena harus bangun dan menghadapi cerita hidup yang mungkin sedikit rumitt untuk
aku hadapii.Hanna itulah namaku yang sering tercatat di buku piket poss setiap pagii,aku
bukan termasuk anak yang pemalas tapi entah kenapaa sering terlambat kesekolah sudah
menjadi kebiasaanku.Aku tauu mungkin kebiasaan ini tidak menjadi kebanggaan tapi ntah
mengapa mungkin masalah dari rumah lah yang membuatku menjadi dirikuu banyak
memikirkan hal yang seharusnya tidak ku pikir berat dan malah menjadii penghambat bagiku
untuk pergi ke sekolaah dengan semangat.

bel sekolah sudah terdengar dari luarr tapi aku masih saja sibuk menyari tempat parkir,aku
tergesa gesa untuk menempatkan sepeda motorku ditempat yang aman dan segera ku cabutt
kontak sepedaku dan terus berlari sekencang-kencangnya agar bisa lolos masuk dan tidak
tercatat lagi namaku dibuku piket pagi ituu.aku berhasil masuk jam pelajaran pagi ituu dan
lanjut mengikuti kegiatanku pada mata pelajaran pagi kala itu.

jam bel istirahat berbunyi yang membuatku semangat dari pelajaran yang membuatku
suntuk sejak tadi pagi.Aku berdiri dan bergegas mencari dompetku untuk mengambil sedikit
uang yang akan aku jajankan di istirahat pertama ini.Ku cari di tass kecil hitam ku tetapi tak
kutemukan dompet pink kecilku,aku panik dan memikirkan apakah dompetku tertinggal
dirumah.Tak terlalu kupikirkan dan ku duduk kembali dan tetap dikelas tak ikut teman-teman
ke kantin.
Tetapi istirahat pertama itu adalah awal perubahan yang membuat hidupku menjadi sebuah
kejutan untuk kehidupan ku yang tak ku duga kedepanya
"hanna ada yang nyariin kamu " kata teman kelasku yang sedang duduk didepan lorong kelas
memanggilku
aku segera berdiri dan menemui siapa yang mencariku
"dekk kamu yang tadi pagi diparkiran bawa sepeda scopy itu kan" katanya sambil
menyodorkan dompet kecil berwarna pink
"iyaa kak,ini dompet siapa ? " kataku mengambil dompet itu sambil menyakinkan siapa
pemilik dompet ini
" pas kamu lari masuk sekolah dompetmu jatuh dari saku mu " ucapnya lembut sambil
berjalan pamitan dari diriku yang masih belum mengucap terimah kasih dan bingung siapa
kakak kelas ituu

An Anthology of Time | 79
hari ini adalah hari pemilihan ekskul disekolahku untuk kelas 10 dan aku salah satu siswi
yang harus memilih esktrakurikuler untuk aku ikuti 1 tahun kedepan.Ku baca satu persatu apa
saja ekstrakurikiler yang ada disekolahku.Satu nama ekskul yang membuatku tertarik dan
ingin mengikuti ekskul itu adalah pecinta alam.Pada pemilihan ini terjajar meriah stan stan
ekskul untuk menarik para peserta didik baru mengikuti ekskul yang ada disekolahku.Setelah
ku pikir pikir tak salah jika aku bertanya dan mencoba mengikuti kegiatan baru untuk masa-
masa SMA ku
"boleh dek kalau mau ikutt ekskul ini seru bangett loo kita seru seru an bareng kakak kelas
dan temen-temenmu yang lain" ucap salah satu pengurus ekskul yang ku minati
"kalau boleh tau emang kegiatan nya apa aja ya kak" tanyaku basa basi ke pengurus ekskul
ini
"wiih banyak bangett dekk,kita lestarikan alam,kita beri donasi jika ada bencana alam,kita
gerakkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga alam dan yang pasti kita ada
agenda muncak nyaa yang paling utama di ekskul ini "
tak banyak ku tanya setelah sedikit berbincang-bincang ku daftarkan diriku menjadi anggota
ekstrakuriler pecinta alam ini

bel pulang sekolah telah berbunyi menandakan waktunya untuk diriku kembali kerumah
yang sebenarnya kurasa bukan itulah rumahku.Ku berjalan pelan-pelan sambil mencari
sepeda yang ntah dimana kuletakkan tak beraturan tadi.Setelah ku temukan sepedaku ku
pasang earphone ditelingaku agar menenangkan diriku yang sedikit lelah untuk sekolah hari
ini.

Sampai dirumah ku parkirkan sepedaku digarasi samping rumah dan masuk ke dalam untuk
bergegas isitirahat untuk hari ini.Seperti biasai baru saja masuk depan pintu omelan-omelan
tak berarturan yang sedikit menyakitkan sering diucapkan menjadi hal yang biasa bagiku dan
membuatku memiliki prinsip tak semua kata harus dipikirkan walau itu menyakitkan.Ku
masuk ke kamarku tanpa menggubris kata-kata dari orang tuaku yang membahas
permasalahan sepele yang selalu diungkit-ungkit.
"anak jaman sekarang kalau diajak bicara mana bisa menghargai,dinasehati malah ga digubris
sama sekali,haduuh nyesel aku besarin kamu "
kata-kata ini sudah biasa terdengar di telinga ku yang mungkin jika teman-temanku
mendengarnya akan terkejut,lagipula siapa yang akan mendengarkan nasehat jika selalu
diberi ejekan disetiap tutur kata yang keluar.Tak ku bawa ke hati dan aku lanjutt mandi dan
berencana lanjut main kerumah temanku

"assalamualaikum"ucapku didepan pintu gerbang rumah temenku

An Anthology of Time | 80
"waalaikumsalam,bentarr hann mau ambil galon dulu masuko aee yaa" kata temanku sambil
terburu buru berlari ke toko kelontong depan rumahnya
ku tunggu dia diruang tamu sambil memainkan hp ku.Masuk notif dari grub kelas yang
mengumumkan silahkan masuk ke grub ekstrakurikuler masing-masing,aku masuk ke salah
satu grub whatsaap yang sudah kudaftarkan tadii.
"ayo gass han maiin" kata temanku sambil membawa galon berisi 5 liter air
"ayokk,mana mamamu ?" tanyaku untuk sekalian berpamitan,yang dimana mama temanku
sudah ku anggap sebagai mama kedua ku.
"masuk aja mama didapur" sambil menyemprotkan parfum dibajunya
sebelumnya kenalin namanya yessi dia adalah teman baikku diawal kelas 7 smp dulu,yang
selalu membantu aku disaat rumahku bisa dibilang hampir hancur berantakan.Dia adalah
tipikal teman yang tidak suka membandingkan aku dengan dirinya,ia menganggap aku adalah
bagian dari keluarganya dan selalu memposisikan diriku sebagai teman terbaiknya untuk
awal masa sekolah menengah pertama nya.Aku bersyukur bertemu dia hari itu yang
membuatku sadar di kehidupan ini tuhan masih memberiku seseorang yang merasa aku masih
pantas disayang dan dihargai sebagai bagian dari keluarganya.Ia selalu berusaha aku merasa
tidak sendiri dikehidupan ini dan membantuku disegala hal dan tidak meninggalkanku saat
masalah datang bertubi-tubi.

Saat sampai di cafe yang kita tuju,aku mulai membaca menu pada cafe itu dan memilih
mana yang ingin aku pesan hari itu.Setelah selesai memilih dan membayar pesananku,aku
duduk disamping jendela kaca yang dapat melihatkan bangku-bangku kosong dihalaman cafe
itu.Mataku menulusuri cafe ramai itu dan bola mataku terhenti pada salah satu meja yang
membuat perasaan ku berkata seperti aku mengenal satu orang ditongkrongan itu.
"yes liat kamu kenal mas itu gak?"tanyaku bisik bisik
"ohh itu kan mas mas pecinta alam yang tadi pas di stan" jawab yesi dengan santai
"hah kok aku ga liat mas yang itu sii" tanya ku heran
"ehm,kenapa kok nanya mas itu suka yaaa kamu?" tanya nya sambil sedikit mengejekku
"nggak lah,tadi mas itu ngambilin dompetku yang jatuh" jawabku ketus tak suka diejek
uhukk uhukkk yessi tersedak saat aku menjawab pertanyaan mengejek tadi
"hah yang benerr mas itulo terkenal judes" jawab yessi dengan sedikit kepo
"apasih tadi baik kok ngembaliin dompetku yang jatuh"
banyak topik yang dimulai dari cerita ini.Ternyata kakak kelas yang pagi tadi adalah kakak
kelas yang terkenal dengan gaya nya keren dan banyak ditakuti siswa siswi dari sekolah
ini,dikenal jugaa ketua dari geng berandal yang ada kota ku.Tak terlalu kupikirkan tentang
kakak kelas itu,aku pun mulai melanjutkan perbincangan untuk topik lainya tetap pada cafe
ini.

An Anthology of Time | 81
Tak berlangsung lama aku mulai lelah duduk dikursi semen di cafe ini aku mengajak
sahabatku untuk pulang kerumah dan menyelesaikan tugas sekolah untuk besok,aku berdiri
dan tak sengaja menatap kakak kelas yang tadi pagi ke kelasku dan ternyata dia sudah
menatapku dadi tadi tapi tak kupedulikan karena pikirku mungkin karena dia ke kelasku tadi
pagi.
kembali kerumah dengan keaadan yang seperti biasa tak pernah ada keharmonisan dalam
keluarga sepi sunyi dan hanya ramai jika aku melakukan kesaalahan yang sepele.Aku masuk
kamar dan mulai memejamkan mata untuk istirahatku malam ini.

pagii ini aku kembali dengan kebiasaanku yaitu telat masuk sekolahh,lagi lagi harus
membersihkan area lapangan.aku mulai membersihkan lapangan dan tak sengaja aku
menabrak seseorang saat aku menyapu mundur,yaa itu kakak kelas yang kemarin aku temui
di cafe
"telat lagi?" tanya nya sambil menyapu lapangan yang sama
"ohh kakak yang kemarin" ntah kenapa untuk pertemuan yang ketiga kali aku mulai merasa
ada yang berbeda
mulai dari sini lah awal mula kedekatanku dengan kakak kelass.Anggara namanya kelas 12
ips 3 pengurus di ekstrakurikuler pecinta alam yang membuat aku mencari tau segala tentang
nya

semua kegiatan ekstrakurikuler dimulai minggu depan,aku mulai berkumpul dan mengikuti
segala latian rutin yang ada selama satu bulan penuh kedekatanku semakin dekat dengan kak
anggara dimana ia sering kali mengantarku pulang sehabis ekskul dan menjemputku ketika
ada kegiatan ekskul diluar sekola.Kedekatan inilah yang membuat kak anggara sering
kerumah dan membuat orang tua semakin menjadi dan keharmonisan dirumahku semakin tak
ada,perdebatan selalu ramai memenuhi isi telinga dan pikiranku.Tak perlu waktu lama orang
tua ku memutuskan untuk mengakhiri hubungan dan hidup masing masing.Aku anak tunggal
yang tak tau harus ikut dengan siapa, aku tinggal sendiri dirumah yang ditinggal oleh kedua
orang tuaku.Kak anggara lah yang selalu membantu saat aku butuh sesuatu dan selalu
menenangkan saat kehidupanku mulai hancur berantakan.

Rumah tak selalu berbentuk bangunan,rumah adalah tempat dimana kita merasa nyaman.Di
sahabat ku dan kak Anggara lah aku merasa aman dan nyaman kehidupan memang sangat
suram saat kedua orang tua ku bercerai tetapi dari sinilah aku bangkit untuk mencari rumah
baru ku.Aku tinggal sendirian dirumah yang terkadang ditemani oleh sahabatku,aku merasa
mereka lah pengganti kedua orang tuaku.

Disaat kondisi mental dan keadaan mulai membaik aku mulai mencoba menjalani hidup
dengan aktif di organisasi, aku ikutt segala perlombaan yang ada diesktrakurikuler ku dan
mencoba mencalonkan diri sebagai kandidat ketua,disaat reformasi pergantian ketua aku lah

An Anthology of Time | 82
yang terpilih menjadi ketua.Dari sinilah perjalananku mulai bangkit.Aku dibantu kak
Anggara untuk semua kegiatan yang ada diekskul ini,aku mulai memimpin dan mulai berani
mengambil resiko besar dengan membawa nama baik pecinta alam.Kedekatan kami yang
sudah lama,perlahaan lahan kak Anggara ingin memperjelas hubungan ini.Kak anggara mulai
menyatakan perasaannya kepadaku dan memulai hubungan.

Tetapi ini bukannlah awal yang baik,kak anggara yang kukira selama ini adalah pengganti
peran ayahku ternyata tak jauh beda dengan sifatnya yang tak cukup dengan satu wanita.Kak
anggara menjalin hubungan dengan siswi sma lain yang sudah berhubungan lebih lama dari
ku yang selama ini tak kusadari,kak anggara benar benar membantuku bangkit tetapi juga
menjatuhkan ku sedalam dalamnya.Aku mulai menutup komunikasi dengan kak anggara dan
fokus untuk mengurus pecinta alam.

Saat aku sudah naik kelas 11 aku mulai menyeleksi anggota baru pecinta alam disaat
diklat.Ada satu siswa yang membuat ku tertarik karena kelucuanya.
Disaat itu ada seleksi lapangan yang membuatku harus lebih akrab dengan anggota,karena
disini aku sebagai ketua pecinta alaam.Satu anggota yang membuatku tertarik mulai dekat
denganku tetapi trauma sebelumnya yang membuatku jatuh 2 kali tak bisa kulupakan.tetapi
dia mampu meyakinkanku dengan membuktikan dia berbeda.dia mampu menyadarkanku
bahwa tak semuanya sama.Warna dkhidupku sedkkit demi sedikit mulai kembali.hidupku
mulai cerah sejak aku dekat denganya.Dion namanya seorang yang mampu membuatku yakin
bahwa tuhan memang baik dengan mengirimkan seorang yang tulus dan mampu
menyakinkanku.Dia adalah anggota baru adik kelasku.Aku mulai diperkenalkan ke
kekeluargaannya dan merasa aku punya rumah yang benar benar rumah.

An Anthology of Time | 83
Mimpi cincin ajaib
Helmi Gamawan F.

Malam itu aku berlari sekuat tenaga di lorong remang remang. Aku mengejar sebuah
siluet hitam, ia seakan ingin menuntunku ke suatu tempat jauh disana. Setelah lama
pengejaran, telah sampailah aku ke sebuah tempat. Dengan terengah engah kebingungan, aku
melihat sebuah kamar rumah sakit. Siluet hitam itu dengan perlahan merebahkan tubuhnya
diatas kasur lalu mengucapkan “selamat tinggal,”. Setelah mendengar kalimat tersebut, aku
merasakan sebuah terkanan yang sangat hebat yang membuatku seakan jatuh dari ketinggian.
Adzan subuh berkumandang. Dengan perlahan aku membuka mataku dan menatap langit
langit kamar. Aku tersadar bahwa semua itu hanyalah mimpi. Segera aku bangun dari ranjang
dan bersiap untuk melaksanakan salat subuh. Disaat aku berjalan keluar dari kamar, aku
mendengar sebuah bisikan kecil “kemari,”. Namun aku tidak menghiraukannya dan berpikir
bahwa aku masih terbawa mimpi.
Waktu berlalu dengan cepat, saat itu pada Minggu pagi aku dan keluarga berkunjung ke
rumah nenek. Udara segar pedesaan menusuk tulang. Nyanyian kicau burung terdengar
merdu. Sinar mentari di cakrawala menembus jendela jendela rumah. Pagi itu aku bertemu
dengan seorang anak kecil dengan pakaian kuno.
“Kak kemari, ada sesuatu yang ingin kuberi kepadamu,” ucap dia sambil merogoh kantung di
selendang bermotif batik yang ia pakai.
“Apa itu?” jawabku sambil melirik tangan kecilnya sedang menggenggam sesuatu.
Diapun menjawab dengan mata penuh antusias, “Lihatlah, ini adalah sebuah cincin ajaib
dengan kekuatan magis didalamnya. Segera pakai dan kau akan tau kenapa aku menyebutnya
ajaib,”
Segera aku memakai cincin yang dibilang ajaib tersebut. Namun aku tidak merasakan apa
pun dan menganggap dia hanyalah anak tetangga yang sedang iseng.
Setelah anak itu pergi ntah ke mana, aku kembali kedalam rumah dan aku diajak oleh
kakek untuk bersepeda. Aku mengayuh sepeda tua bersamanya, sambil menikmati hijaunya
sawah padi yang masih muda. Kakekku adalah orang yang suka bercerita. Sepanjang
perjalanan ia bercerita tentang kisahnya saat menjadi angkatan laut. Aku terlarut dalam cerita
yang penuh ketegangan itu. Kata demi kata yang terucap terbayang di benakku. Udara segar
lautan, suara bising senapan hingga bau busuk bangkai manusia tertangkap oleh panca
indraku. Seakan aku menyaksikan secara langsung peperangan yang dialami oleh kakek.
Pemandangan sawah yang harusnya terlihat berubah menjadi lautan penuh dengan kapal
perang. Ketidakfokusanku membuatku tersungkur dari sepeda dan dengan segera kakek
menolongku. Akupun kembali sadar dan semua imajinasi tersebut hilang secara tiba tiba.
“Apa yang sedang kau pikirkan hingga membuatmu terjatuh begitu?” tanya kakekku
sambil membersihkan debu pada kakiku yang luka.
“aku tak tau kek. Setelah mendengar cerita darimu semua yang kulihat tiba tiba
berubah menjadi sebuah lautan medan perang penuh dengan asap dan peluru peluru
berterbangan” jawabku sambil kebingungan.
Kakekku pun menyadari bahwa aku memakai ‘cincin ajaib’. lalu ia berteriak dengan
penuh cemas kepadaku, “Jangan dirimu sekali kali memakai cincin ini, cepat buang benda
kotor itu dan jangan pernah kau ambil!”. Namun aku tidak menghiraukan larangan kakek
karena aku masih penasaran akan cincin itu. Aku segera melepas cincin tersebut, tapi aku
hanya melempar lumpur ke tengah sawah dan kembali menyimpan cincin itu. Kakek yang
sedang sibuk merawat kakiku yang terluka mengira bahwa aku telah membuang cincin ajaib.

An Anthology of Time | 84
Aku terbangun dari tidur, kembali menatap langit langit kamar. Bedanya, sekarang
aku berada di rumah dan bukan rumah nenek. Aku tak tahu apa yang sedang terjadi. Rupanya
kejadian sebelumnya hanyalah sebuah mimpi. Namun ada hal yang aneh, mengapa aku
bermimpi didalam mimpi? Meskipun ada banyak rasa penasaran dalam benakku, aku
menganggap itu hanyalah hal yang biasa. Aku mencari HP untuk melihat pesan yang masuk.
Tidak ada pesan satupun. Aku sudah menduga hal itu, tidak ada satupun yang
menghubungiku disaat hari libur. Semua berada dalam kesibukannya masing masing.
Untuk menghilangkan kebosanan di hari libur, aku membuka aplikasi baca komik.
Aku merasakan hal yang aneh kembali datang. Segala hal yang diceritakan pada komik yang
kubaca terasa sangat nyata, sama seperti dalam mimpi. Akupun terlarut dalam cerita itu. Kata
demi kata aku tak menyadari waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa aku telah menamatkan
komik yang memiliki episode lebih dari 100. Setelah menamatkan cerita aku kembali
menjadi diriku kembali. Karena merasa lapar aku pun pergi ke meja makan untuk mengambil
makanan. Namun disaat aku baru keluar dari pintu kamar aku melihat wajah merah ibuku. Ia
terlihat sangat marah.
“Dari tadi ibu panggil kenapa kok gk direspon?!” ucap ibuku yang sedang naik pitam.
Untuk menghindari adu mulut aku pun berbohong kepadanya, “tadi aku masih
mengantuk bu, jadi aku kembali tidur,”
“Hari libur bukan berarti kamu bisa bebas bermalas malasan. Segera bangun, sarapan
dan bantu ibu membersihkan rumah,” balas ibuku.
Aku segera memakan sarapanku dan membantu membersihkan rumah. Sepanjang aku
membersihkan rumah aku selalu berpikir apa yang sedang terjadi padaku. Apa arti mimpi tadi
pagi? Kenapa aku mudah terlarut dalam cerita? Dan banyak pertanyaan lainnya mengelilingi
pikiranku.
“Mi... ngapain kok bengong?” kata ibuku.
Pertanyaan pertanyaan itu membuatku tidak fokus saat membersihkan rumah.
“Ah tidak ada bu, aku hanya mengantuk saja,” jawabku.
Akupun segera melanjutkan membersihkan rumah dan mencoba untuk tidak berpikir
hal itu terlebih dahulu. Setelah selesai membersihkan rumah aku kembali masuk kedalam
kamarku. Aku berpikir, mungkin cerita tadi terlalu bagus penulisannya hingga membuatku
mudah terlarut dalam cerita. Aku mencoba untuk membaca komik lagi, hanya untuk
memastikan dugaanku benar. Sebagai pembeda, aku membaca komik dengan tema yang
berbeda. Namun aku kembali merasakan hal yang sama. Aku kembali terlarut dalam cerita.

Akupun menjadi keterusan. Setiap ada waktu luang aku terus menerus membaca
sebuah cerita, dan menonton film. Kesenangan dalam membaca itu membuatku menjadi tidak
peduli dengan sekitar. Ibuku sering memarahiku karena aku sering tidak mempedulikan apa
yang ia katakan.
“Sudah ibu bilang berkali kali, kalau ibu panggil jangan bengong terus!”
“Maaf bu, tadi aku masih membaca novel”
“Ibu mulai muak dengan alasan konyol itu. Sudah berulang kali kamu selalu
menggunakan alasan yang tidak logis. Apa novel dan komik aneh itu lebih penting dari
keluargamu?”
Aku sadar akan kesalahanku, namun aku tetap tidak bisa berhenti membaca dan
menonton film. Aku menjadi ketergantungan.
Keesokan harinya aku menginap ke rumah nenek. Saat disana aku merasa lebih santai
karena merasakan suasana baru. Semua pikiran negatif yang ada dibenakku perlahan
menghilang dengan sendirinya. Aku seperti disembuhkan oleh suasana desa yang asri.

An Anthology of Time | 85
Disana perlahan aku dapat menghilangkan kebiasaan aneh tersebut. Aku dapat
kembali merasakan hangatnya kekeluargaan dan mulai peduli terhadap sesama.
Tapi lama kelamaan aku merasakan ada hal yang aneh. Aku seperti telah merasakan
hal yang sama sebelumnya. Aku mulai mual karena rasa bingung akan apa yang telah terjadi.
Karena itu aku mencoba mencari suasana baru, aku pergi sawah belakang rumah.
Disaat aku bersantai di gubuk ditengah sawah, aku melihat sesosok anak kecil
menggunakan kebaya bermotif batik. Aku merasa familier dengan anak tersebut. Dari jauh
aku memperhatikannya dengan seksama. Dia berdiri sendirian ditengah hamparan padi hijau
yang masih muda. Ia hanya diam bediri disana selama beberapa menit. Namun hanya dalam
sepersekian detik aku mengedipkan mata, sosok itu langsung menghilang ntah ke mana. Aku
langsung berlari kembali kedalam rumah dengan penuh ketakutan. Kakekku yang menyadari
aku lari ketakutan langsung mendatangiku dan memeluk diriku dengan erat.
“Kenapa kamu berlari seperti itu?” tanya Kakekku.
“Anak kecil... berdiri... menghilang..,” jawabku dengan penuh ketakutan.
“Tenang dulu, tarik nafas dalam dalam lalu keluarkan. Ceritakan pada kakek dengan
jelas apa yang terjadi padamu,”
“Tadi aku melihat sosok anak kecil berdiri ditengah sawah, lalu saat aku mengedipkan
mata dia menghilang secara tiba tiba,”
“Kamu pasti sedang mengantuk hingga tidak sadar sedang bermimpi. Sekarang masuk
ke rumah, nenek sudah menyiapkan makan siang,”
Sejak itu, sepanjang hari pikiranku tidak bisa tenang. Namun sepertinya apa yang
dikatakan oleh kakek adalah benar, sepertinya aku terlelap saat berada di gubuk dan tertidur.
Meski begitu aku masih tidak dapat melupakannya.
Untuk mengalihkan perhatian aku membuka HP. Setelah sekian lama tidak ada pesan,
aku mendapatkan kiriman pesan dari temanku. Ia bercerita tentang komik baru yang
diterbitkan oleh penulis favoritku. Karena itu aku secara tidak sadar kembali terjebak dalam
dunia imajinasiku sendiri. Aku menjadi kembali tidak peduli akan sekitar. Seharian di rumah
nenek ku habiskan hanya untuk membaca cerita itu.
Rembulan telah menunjukkan wajahnya dan aku baru saja menyelesaikan bacaanku.
Aku yang sudah mengantuk langsung terlelap. Aku terbangun kembali di gubuk tengah
sawah tadi. Tepat didepan wajahku ada sesosok anak kecil yang kutemui tadi. Aku ingin
berlari namun tubuhku terkujur kaku.
“Jangan takut, aku tidak akan menyakitimu,” ucapnya.
“Apa yang kau inginkan?” tanyaku.
“Aku adalah imajinasi dari alam bawah sadarmu. Akhir akhir ini dirimu sering
menggunakan kekuatanku. Aku tidak masalah dengan itu, namun aku hanya ingin
mengatakan, gunakanlah disaat yang tepat dan jangan lupa untuk memperhatikan sekitarmu.
Jika dirimu terus seperti ini, kau akan menerima akibatnya,”
Aku kembali terbangun pada tengah malam. Semua tadi hanyalah mimpi. Aku tidak
tau apa maksud dari itu namun sepertinya itu seperti sebuah isyarat. Meski begitu aku masih
saja tetap tidak terlalu memeperhatikannya. Aku malah semakin tidak mempedulikan
sekitarku.
Hari demi hari aku mengurung diri dikamar bahkan disaat seluruh keluarga besar
berkumpul. Aku terus dan terus membaca novel, komik dan menonton film. Kedua orang
tuaku mulai kesal dengan apa yang kulakukan, saking kesalnya mereka hingga
membiarkanku begitu saja.
Kakekku yang mulai jenuh melihatku begini memaksaku untuk bersepada dipagi hari.
Aku mengayuh sepeda tua bersamanya, sambil menikmati hijaunya sawah padi yang masih

An Anthology of Time | 86
muda. Kakekku adalah orang yang suka bercerita. Sepanjang perjalanan ia bercerita tentang
kisahnya saat menjadi angkatan laut. Aku terlarut dalam cerita yang penuh ketegangan itu.
Kata demi kata yang terucap terbayang di benakku. Udara segar lautan, suara bising senapan
hingga bau busuk bangkai manusia tertangkap oleh panca indraku. Seakan aku menyaksikan
secara langsung peperangan yang dialami oleh kakek. Pemandangan sawah yang harusnya
terlihat berubah menjadi lautan penuh dengan kapal perang. Ketidakfokusanku membuatku
tersungkur dari sepeda dan dengan segera kakek menolongku. Akupun kembali sadar dan
semua imajinasi tersebut hilang secara tiba tiba.
“Apa yang sedang kau pikirkan hingga membuatmu terjatuh begitu?” tanya kakekku
sambil membersihkan debu pada kakiku yang luka.
“aku tak tau kek. Setelah mendengar cerita darimu semua yang kulihat tiba tiba
berubah menjadi sebuah lautan medan perang penuh dengan asap dan peluru peluru
berterbangan” jawabku sambil kebingungan.
Aku diam sejenak, aku menyadari ada hal yang aneh. Semua kejadian ini sama persis
dengan apa yang terjadi seperti di mimpi waktu itu. Bedanya aku dapat merasakan itu semua
tanpa adanya cincin ajaib.
Aku mulai tersadar, mungkin mimpi malam itu bukan hanya omong kosong belaka.
Jika aku terus terusan cuek dengan sekitar kemungkinan akan ada sesuatu yang buruk akan
terjadi. Aku segera meminta kepada kakek untuk kembali ke rumah.
Setelah sampai dirumah, aku mencoba untuk melihat sekitar. Aku baru sadar bahwa
nenekku sedang sakit. Ia terbaring lemas dikasur tua miliknya.
“Apa yang terjadi padamu nek?” tanyaku.
“Banyak hal yang terjadi saat kau mengurung diri. Jangan pikirkan aku, pikirkan saja
apa yang akan terjadi ke depan. Kamu sekarang sudah tau apa kesalahanmu, maka dari itu
jangan kamu ulangi lagi,”
Ibuku langsung datang menghampiriku.
“Kau masih bertanya kenapa? Lihat apa yang sudah terjadi setelah apa yang kau
lakukan. Nenekmu jatuh sakit karena dirimu telah mengurung diri dan tidak keluar sama
sekali selama seminggu lebih!” ucap ibuku dengan lantang.
“Tidak usah teriak, sekarang ia sudah tau kesalahannya dan biarkan ia belajar dari
itu,”
Seharian kuhabiskan untuk merenungi kesalahan yang telah kuperbuat. Diriku merasa
sangat bersalah hingga tidak dapat menatap wajah siapapun. Rembulan kembali
menampakkan wajahnya, aku yang sudah lelah memilikirkan semua hal yang telah terjadi
langsung tertidur dengan lelap.
“Bangun. Cepat bangun ada berita penting” aku mendengar suara itu, aku tak tau apa
aku masih bermimpi atau sudah terbangun.
“Ada apa?” jawabku.
“Nenek dalam keadaan kritis dan sekarang berada di rumah sakit,”
Aku yang masih setengah sadar langsung bangun dengan jantung yang berdetak
kencang. Aku masih tidak percaya dengan apa yang terjadi. Aku segera bersiap dan pergi ke
rumah sakit dimana nenek dirawat.
Sesampainya di rumah sakit aku berlari dengan sangat kencang di lorong yang
remang remang. Aku seakan akan mengaejar sebuah bayangan yang berlari cepat didepan.
Akhirnya aku berada di kamar dimana nenekku berada. Aku langsung menghampirinya.
“Dengar, sepertinya semua sudah berkumpul disini. Aku hanya ingin menyampaikan
satu hal kepada kalian semua,” ucap nenekku dengan pelan.

An Anthology of Time | 87
“Jangan bicara seperti itu nek, kamu pasti bisa melawan penyakit yang nenek derita,”
ucapku dengan penuh khawatir.
“Semua yang memiliki awalan akan mengalami akhir. Biarkan aku pergi dengan
tenang. Selamat tinggal” nenekku menngucapkannya dan menghembuskan nafas terakhirnya.
Aku tidak dapat mengucapkan sepatah katapun. Aku benar benar terdiam setelah
melihat peristiwa itu tepat didepan mataku.
Setelah kematian nenek, aku langsung membenahi diri. Aku mulai membiasakan diri untuk
lebih peka dengan sesama, baik itu keluarga maupun orang lain.
“Kau masih ingat denganku? Aku telah mengujimu apakah dirimu sudah memiliki pemikiran
yang matang. Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Maka hukuman yang pahit akan
menjadi guru terbaik bagimu”

***
TAMAT

An Anthology of Time | 88
Albus Ariana
Iman Dhaffa R.

Setiap keluarga merupakan suatu bentuk kebahagiaan, keluarga yang tidak Bahagia
hanya tidak Bahagia dengan caranya sendiri. Disuatu kota kecil Bernama “ The Burrow “
tinggalah keluarga kecil yang tentram. Sepasang suami istri yang memiliki 2 anak hebat.
Albus sebagai kakak, dan Ariana sebagai adik. Albus seorang kakak yang penyayang dan
cerdas. Ariana seorang adik yang keras akan pendiriannya, namun disisi lain perhatian dan
penyayang.
Mereka tinggal di rumah sederhana, dan lingkungan yang cukup memprihatinkan.
Namun keterbatasan akan tempat tinggal tidak menjadi hambatan mereka untuk tetap
Bahagia. Suatu Ketika di hari yang redup, jalanan yang dikelilingi pohon kering dan langit
mendung. Allbus duduk didekat jendela rumahnya meratapi rintihan air hujan yang jatuh.
Entah apa yang dipikirkan albus saat itu, “ bagaimana caraku untuk mengangkat keluargaku
agar dapat hidup lebih layak ya?” dalam pikirnya. Sosok ayah yang tidak sengaja melihat
albus sendirian dikala hujan pun menghampirinya, “ nak, apa yang sedang kamu lakukan ?
nanti basah , ayo masuk “ ucap ayah albus. Belum sempat merespons pertanyaan ayahnya,
ayah pun melanjutkan “ apa yang sedang kamu pikirkan? Jika ada sesuatu yang mengganggu
pikiranmu jangan ragu untuk bilang ayah “. Albus pun menjawab “ tidak ada yah, hanya
sedang ingin melihat hujan dan mencari udara sejuk “. “ ohh, iya sudah “ kara ayah sembari
melangkah pergi meninggalkan albus sendiri.
Disisi lain Ariana pun sedang merenung di kamarnya, ia memiliki prinsip bahwa ia
harus sukses melebihi kakanya yang menjadi unggulan disekolahnya. Namun ia juga mellihat
kemampuan yang dimilikinya “ Bagaimana caraku bisa lebih hebat dari kakak, sementara
posisi kami berdua cukup jauh di akademik, hmmm”. Hari demi hari dilewati, ayah pergi
kerja demi menafkahi keluarganya, seorang ibu juga bekerja atas keinginannya karena
pendapatan suaminya kurang untuk mencukupi satu keluarga. Albus dan Ariana yang pergi
ke sekolah layaknya siswa pada umumnya. Hingga pada suatu saat Ariana mulai Lelah
memegang prinsipnya untuk mengejar kakanya, ia mulai memberontak. Pada awalya Ariana
hanya membolos sekolah, tidak mengerjakan tugas ataupun belajar. Melihat perubahan pada
adiknya pun albus menghampiri Ariana dan bertanya “ ada apa denganmu ? tingkah lakumu
berputar 180 derajat, ada apa?” Ariana merespons dengan keras dan nada yang tinggi “ kau
tidak perlu tahu, diam saja sudah ! “ bentaknya. “ bagaimana bisa aku tidak perlu tahu, aku
kakakmu Ariana “ saut Albus dengan cepat. Pertengkaran antar kakak beradik tersebut pun
berlalangsung lama. Setelah beberapa waktu, kedua saudara ini Lelah akan pertengkaran
mereka, “ sudahlah, ini tidak ada habisnya !” ucap Ariana. Albus yang tidak sanggup berbuat
apa apa pada saat itu hanya bisa mundur dan sedih akan apa yang terjadi pada adiknya
Malam telah tiba, pikiran Albus semakin menumpuk layaknya gunung ditambah
dengan kelakukan Ariana. Albus semakin khawatir dan tidak tenang. “ ada apa dengan
Ariana, tidak bisakah dia tidak membuatku kepikiran” pikirnya. Albus pun berpikir untuk
fokus pada urusannya terlebih dahulu dan membiarkan Ariana untuk sementara waktu. Albus
terus mencoba untuk tidak memikirkan Ariana, akan tetapi apa pun yang berkaitan dengan
Riana terus terlintas di pikirannya. Malam pun dilewati Albus dengan kegelisahan. Di
sekolah tiap kali Ariana dan Albus berpapasan, mereka seperti orang yang tidak saling

An Anthology of Time | 89
mengenal. Teman albus, severus bertanya padanya “ hey albus, kau dengan Ariana terlihat
seperti sedang ada masalah?” tanya teman Albus. “ iya nih rus, kami memang sedang
bertengkat, tapi sejujurnya aku tidak tahu apa yang membuatnya seperti itu” jawab albus.
Severus pun berkata “ kalian bersaudara kakak adik, saling memiliki satu sama lain, cobalah
untuk bertanya padanya perlahan lahan”saran dari severus. “ tidak berpengaruh rus, Ariana
berpendirian kuat dan keras pada dirinya, sudah kucoba bertanya kemarin tapi tidak ada
hasil” jawab albus lagi. Severus pun ikut bingung dan hanya bisa memberi semangat untuk
albus. Severus merupakan teman masa kecil albus dan termasuk teman baiknya. Tiap ada
masalah mereka selalu membantu satu sama lain. Severus merupakan pribadi yang tegas,
cerdas, dan juga dermawan. Tidak heran jika ia menjadi murid unggulan di sekolahnya sama
dengan Albus. Albus dan severus sering dikira saudara kembar, karena banyak sekali
kemiripan antara mereka berdua. Dimulai dari postur badan yang bagus dan ideal, wajah
yang tampan, badan tinggi, kecerdasan diatas rata rata, popular, dan sering kali beberapa
kalimat ataupun kata yang mereka ucapkan sama. Severus sendiri memiliki adik Bernama
Emma yang tidak kalah cerdas dengannya. Jika di peringkatkan, Albus berada di posisi
pertama, dilanjut dengann severus, lalu Ariana, dan di posisi ke 5 adalah Emma. Beberapa
bulan kemudian keluarga albus memutuskan untuk pindah tempat tinggal melihat kondisi
lingkungannya yang memprihatinkan. Pada saat itu Albus dan Ariana sama sama usai
memenangkan suatu kompetisi yang dimana hadiahnya begitu besar. Mereka pindah ke kota
yang lebih maju dan Makmur, yaitu “ Little Whinging “. Butuh penyesuaian bagi mereka
untuk menetap disana, wajar saja karena sebelumnya banyak sekali benda benda ataupun hal
hal yang tidak pernah mereka rasakan di tempat tinggal sebelumnya.
Setelah menetap cukup lama di kota yang baru, tibalah hari minggu, dimana pada
saaat itu sekolah sedang libur. Kekesalan Ariana pun sudah berkurang. Albus berencana
mengajak Ariana keluar untuk self healing. “ dik, keluar yuk, kita jalan jalan ke mana gitu ?”
ajak Albus. Ariana pun merespons “ hmm, yaudah ayo” dengan wajah yang sedikit murung. “
Kemana ya enaknya ? “ tanya Albus lagi. “ terserah “ jawab sang adik singkat. Akhirnya
albus memutuskan untuk pergi ke museum. ( sesampainya di museum mereka pun masuk dan
melihat lihat isi museum tersebut). Sembari melihat lihat, Ariana terfokuskan pada salah satu
patung, yaitu Leceister. Ariana pun bertanya pada kakaknya” kak, itu patung apay a?” tanya
Ariana pada Albus. Albus pun menjelaskan pada Ariana tentang patung itu, “ ohh, ini
Namanya leceister, leceister ini sebuah olahraga seperti sepak bola, jadi tujuannya untuk
memasukkan bola ke dalam beberapa ring lawan. Bedanya ini menggunakan tangan lalu
target untuk memasukkannya banyak. Dan pemain terkenalnya yaitu Oliver dijadikan sebagai
signature untuk olahraga ini” jawab Albus. Ariana pun paham mendengar penjelasan kakanya
tersebut. Sehabis melihat patung tersebut, Ariana pun heran mengapa ada cincin di antara
sekian banyak patung dan lukisan. Ariana pun bertanya Kembali pada Albus” kak kak, ini
cincin apa? Bentuknya aneh”. Albus menjelaskan lagi pada Ariana “ kalua yang ini Namanya
cincin marvolo gaunt, jadi ceritanya, dulu ada keluarga yang terpandang , yaitu keluarga
gaunt. Nah cincin ini merupakan warisan leluhur keluarga Gaunt yang masih ada sampai saat
ini, kakak hanya tahu itu mengenai cinicin ini hehe “. Tidak hanya sampai pada kedua benda
tersebut, Ariana pun banyak bertanya mengenai benda benda peninggalan yang ada di dalam
museum tersebut. Albus merasa senang karena ia berpikir karena Ariana banyak sekali
menanyakan sesuatu padanya, itu menandakan bahwa ia menikmatinya.
Sehabis mengunjungi museum, Ariana merasa lapar dan Lelah,” kak, cari makan yuk?
Sekalian istirahat sebentar” kata Ariana. Akhirnya mereka berdua pergi makan di restoran

An Anthology of Time | 90
yang ada di dekat museum. Setelah makan, Ariana pun kenyang dan ingin jalan jalan lagi. “
kak, udah kenyang nih, jalan lagi yuk ? hehe” tanya Ariana. Albus pun menurutinya, ia
berpikir bahwa ia sebagai kakak harus memberi perhatian dan pelayanan pada adiknya
semaksimal mungkin. Kakak beradik itu mengunjungi beberapa tempat seperti mall, bioskop
dan beberapa tempat hiburan lainnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam dan mereka
belum Kembali ke rumah. Ibu mereka merasa khawatir dan mencoba menghubungi Albus.
Setelah terhubung, ibu berkata pada albus” bus, posisi lagi dimana? Jangan malam malam
nak, adik ada disana?” tanya ibu. Albus pun mengganti mode panggilan ke video call dan
mengarahkannya pada Ariana,” nih Ariana bu, lagi tidur hehe, ini perjalanan pulang kok bu
habis ini sampai di rumah” jawab albus. Ibu merasa tenang karena telah mendapatkan kabar
tentang anaknya. Selagi Ariana lelap pada mimpinya, entah mengapa tiba tiba Ariana
mengigau” maaf ya kak yang kemarin” ucapnya. Albus terkejut tiba tiba Ariana meminta
maaf sambil tidur, “ yaampun, iya tidak apa apa, tidur yang nyenyak Ariana”. Sehabis itu,
Albus tersenyum dan merasa senang sepanjang jalan, dihari itu ia berhasil menjadi kakak
yang dapat menjadi penenang adiknya, dan menjadi tempat adiknya untuk pulang. Mereka
berdua pun akhirnya sampai di rumah dan langsung istirahat.
Hari demi hari dijalankan seperti biasa, albus dan Ariana yang damai dan tidak ada
pertengkaran. Membuat kehidupan Albus menjadi lebih tenang. Waktu demi waktu dilewati
dengan penuh tawa dan rasa senang. Hingga pada akhirnya, pada saat pulang ke rumah.
Albus mendapati kedua orang tuanya yang sedang berselisih, ntah apa yang diperselisihkan.
Terdengar dari pintu depan rumah,” Sudah kubilang lebih baik kita hidup sederhana namun
tentram tanpa masalah !” bentak sang ibu pada ayah. “ aku hanya ingin kita sekeluarga hidup
lebih memadai dan mendukung !” ayah pun membalas. Mendengar kedua orang tuanya
berselisih, Albus pun langsung masuk ke rumah dan mencoba melerai mereka,” Ayah, ibu,
apa yang kalian pertengkarkan ? ada apa?” tanya Albus dengan wajah yang penuh
kekhawatiran. Emosi dari sang ayah yang tidak terbendung, tersalurkan pada Albus. “
Sudahlah kamu diam saja, masuk ke kamar, dan jangan ikut campur !” Albus pun menuruti
perintah ayahnya itu. Pertengkaran antara suami istri ini berlangsung lama dan pada akhirnya
sang istri tidak kuat akan kondisi rumah tangganya saat ini. Dan pada akhirnya kedua belah
pihak memutuskan untuk cerai. Tentunya Albus dan Ariana menentang, namun mereka tidak
berani melawan kedua orang tuanya. Albus ikut dengan sang ayah, dan Ariana ikut dengan
sang Ibu.
Satu tahun berlalu semenjak mereka berdua berpisah karena orang tua mereka cerai,
mereka berdua pun tumbuh dewasa dan berkuliah di universitas ternama. Setiap hari Albus
merindukan momen momen ia kumpul penuh Bersama keluarga, begitu pula dengan Ariana.
Lalu pada suatu malam, Ketika Albus sedang berkuliah malam, ia mendapati kabar bahwa
ayah nya telah tiada. Ia begitu terpukul dan sedih atas kematian ayahnya tersebut. Albus
langsung menghubungi Ariana dan mengabari kepergian ayah mereka. Jawaban dari Ariana
di telpon justru membuat Albus semakin terpukul, “ apa?! Ada apa dengan dunia, aku baru
saja ingin menghubungimu dan mengabarkan bahwa ibu juga meninggal” respon Ariana.
Albus dan Ariana sontak menangis meronta ronta mengetahui kedua orang tuanya meninggal
di waktu yang bersamaan.
Akhirnya, mereka berdua memutuskan untuk hidup Bersama Kembali, karena albus
merasa khawatir pada adiknya karena kepergian kedua orang tua mereka. Albus berpikiran
bahwa Ariana tidak akan kuat menghadapi hidup sendiri tanpa belas kasih kedua orang tua,

An Anthology of Time | 91
maka albus berniatan sebagai kakak sekaligus menggantikan posisi orang tua. Mereka pada
akhirnya menetap di kota Bernama “Grimmauld” sebuah kota yang tidak kalah maju dengan
Little Whinging namun biaya hidup disana lebih rendah, sehingga Albus tidak terlalu berat
untuk membiayai hidupnya, dan juga Ariana.

Kehidupan Albus dan Ariana di kota baru mereka pun berlangsung cerah. Dimulai dari Albus
yang menerima banyak tawaran kerja ataupun kerja sama dari pihak pihak ternama atas
prestasi dan kemampuannya. Lalu Ariana yang di mintai banyak kontrak untuk menjadi
model atas paras dan tubuhnya yang indah. Banyak sekali rejeki yang berdatangan pada
mereka berdua selagi hidup berdampingan. Suatu Ketika albus bertanya pada adiknya, “
bagaimana hari harimu? Seru? Apa ada sesuatu ? kamu bisa menceritakan semuanya padauk
“. Sang adik, Ariana pun bercerita banyak hal pada Albus mengenai apa yang ia rasakan, dan
apa saja yang terjadi padanya selama hidup berdua dengan sang kakak.

An Anthology of Time | 92
Dekapan di ujung asa
Ivon Nuke N.

Sore itu, ditemani rintik hujan yang perlahan membasahi tanah Aravia melangkahkan
kakinya menuju halte bus untuk pulang ke rumah. Lantunan ayat suci yang diputar sebelum
adzan magrib mengiringi setiap langkahnya.

Sekian lama Aravia duduk termenung di halte tempat ia menunggu bus yang akan
membawanya pulang ke rumah, hingga sebuah bus berwarna merah berhenti tepat di
depannya. Sayangnya, bus itu sangat penuh dan terlihat orang-orang saling berdesakan di
dalamnya. Maka Aravia memilih untuk melewatkan bus itu dan tetap setia menunggu bus
selanjutnya.

Sebenarnya jam pulang sekolah Aravia sudah tiga jam yang lalu. Tetapi karena
Aravia harus mengikuti kegiatan extrakulikuler, jadilah ia harus pulang pada waktu
menjelang maghrib seperti saat ini.

“Rumahnya mana Kak ?” sapa seorang wanita paruh baya pada Aravia.

“di Jalan KH Wahid Hasyim, Bu” Aravia menjawab dengan sopan.

“Lumayan dekat Kak, nggak bawa kendaraan sendiri ?” tanya wanita paruh baya itu lagi.

Aravia tersenyum tipis. Tanda bahwa ia enggan menjawab pertanyaan yang barusan
diajukan oleh wanita paruh baya itu.Wanita itu pun menjauh, tanda ia mengerti bahwa gadis
manis berseragam SMA yang tadi disapanya sedang tidak ingin menjawab pertanyaannya
barusan.

Lima belas menit kemudian, bus yang ditunggu Aravia datang. Meskipun terlihat dari
luar jika seluruh tempat duduk telah terisi, tetapi tidak sampai berdesak-desakan seperti bus
sebelumnya. Maka Aravia pun memutuskan untuk naik.

Perjalanan selama sepuluh menit yang Aravia tempuh, ia habiskan untuk memikirkan
kegiatan apa yang harus ia lakukan setelah sampai di rumah. Biasanya, Aravia akan
mengikuti bimbingan belajar di dekat sekolahnya pukul setengah empat sore dan lanjut
belajar serta berbincang di ruang tamu dengan sang nenek.

Namun, malam ini berbeda karena besok weekend. Berarti, kegiatan bimbingan
belajar yang diikutinya pun juga libur. Selain itu, penilaian akhir semester juga telah

An Anthology of Time | 93
dilaksanakan. Aravia dan teman-temannya hanya tinggal menunggu libur panjang setelah
pembagian rapor yang akan dilaksanakan besok pagi.

Belum selesai Aravia memikirkan kegiatannya setelah ini, Bus sudah berhenti di gang
menuju rumahnya. Setelah membayar dan mengucapkan terima kasih kepada sopir yang
membawanya pada perjalanan kali ini, Aravia berlari masuk gang untuk dapat segera sampai
di rumahnya karena hujan tidak kunjung berhenti.

“Loh kakak baru pulang ? Mbak kira tadi sore yang naik ke atas kakak” suara Mbak Vina,
asisten rumah tangga di rumahnya, menyapa telinga Aravia begitu wanita muda itu
membukakan pintu untuknya. “Kakak” adalah panggilan dari orang rumah untuknya, karena
dulu orang tuanya menginginkan anak lagi. Namun sayang, hal ini tidak tercapai. Apalah
daya manusia hanya dapat berencana, tetapi Tuhan-lah yang berkehendak

“Iya, Mbak. Tadi mungkin nenek, Mbak. Soalnya tadi Ara lihat sepatu nenek diluar”

“Kakak basah banget, tadi harusnya kakak telpon Mbak biar Mbak minta tolong Pak Slamet
buat jemput kakak”

“Nggak papa kok, Mbak. Ara naik keatas dulu ya. Nanti Ara ke bawah buat ambil makan”

Selesai berpamitan, Aravia naik ke kamarnya yang berada di lantai dua. Buru-buru ia masuk
ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan berganti pakaian yang dapat menghangatkan
tubuhnya. Setelah siap, Aravia turun dari kamarnya untuk makan malam karena ia memang
sudah merasa sangat lapar.

“Mama papa belum pulang, Mbak ?” tanya Aravia kepada Mbak Vina yang sedang
menyiapkan makan malam untuknya.

“Belum, Kakk. Tapi mereka tetep pulang malam ini kok. Buat ambil rapor kakak besok”

“Eh nenek dimana Mbak ? Nggak ikut makan malam juga ?” Aravia menanyakan
keberadaan neneknya kepada Mbak Vina.

“Tadi simbah sudah makan kok Kak waktu kakak ganti baju. Sekarang nenek sedang di
kamarnya istirahat, Kak. Dari tadi pagi nenek ada acara terus diluar” jawaban Mbak Vina
disambut Aravia dengan anggukan singkat tanda bahwa ia mengerti.

Nenek disini adalah ibu dari papa Aravia. Meskipun usia nenek tergolong sudah tua, yaitu 65
tahun, tetapi nenek Aravia masih aktif melakukan kegiatan. Apalagi nenek Aravia memiliki

An Anthology of Time | 94
bisnis sebagai pemasok sayuran diluar. Hal ini membuat neneknya lebih sering berada diluar
ketika pagi hingga sore hari.

***

Malam itu, nenek Aravia pergi ke kamar sang cucu. Hal ini ia lakukan karena ia merasa
sangat rindu dengan cucunya ini. Karena meskipun mereka berada dalam satu rumah, mereka
memang jarang bertemu karena kegiatan mereka diluar rumah. Kadang, mereka
menyempatkan makan malam bersama untuk saling berbagai cerita. Nenek tidak ingin, cucu
tersayangnya ini tidak memiliki teman cerita sehingga melimpahkannya kepada hal-hal yang
merugikan.

Tok….tok….tok….

Nenek mengetuk pintu kamar Aravia. Tetapi tidak ada ada jawaban dari si pemilik kamar
bahkan setelah nenek mengetuk pintu berulang kali.

“Kakak… ini nenek” kali ini nenek menambahkan ketukannya pada pintu dengan sebuah
suara untuk memanggil sang cucu.

“Nek, nenek tau lho kamu belum tidur” nenek tidak pantang menyerah dalam mencoba.
Ketika berlaku seperti ini, biasanya sang cucu sedang memiliki masalah dan enggan bercerita
kepada siapapun. Meskipun itu kepada Mbak Vina yang sudah akrab dengannya sejak kecil.

Kalimat terakhir yang nenek ucapkan mendapatkan jawaban dari si pemilik kamar dengan
suara kunci yang diputar dari dalam. Disusul dengan gagang pintu yang ditekan dan wajah
Aravia yang muncul di hadapannya.

Tanpa menyapa atau mendengar terlebih dulu ucapan Aravia, nenek langsung masuk ke
kamar sang cucu dan duduk di kursi belajar yang ada disana. Mata nenek memberi isyarat
agar Aravia ikut duduk di tempat tidur sehingga dapat berhadapan dengannya.

“Ada apa, Kak ?” nenek membuka percakapan kali ini.

“Hah ? Nggak papa kok, Nek” jawab Aravia. Terlihat bingung dengan konteks pertanyaan
yang baru saja ditanyakan nenek kepadanya.

“Nek, pasti ada alasannya kan kenapa kakak nggak makan malam sama nenek. Biasanya kan
manja banget sampai nungguin nenek kalau mau makan malam ?”

An Anthology of Time | 95
Mengerti arah pembicaraan nenek, Aravia menautkan kedua tangannya. Menyiratkan jika
remaja itu tengah gugup dan takut untuk menyuarakan pikirannya.

“Bilang aja Kak, nenek nggak bakal marah kok” nenek menjawab ketakutan Aravia.

“Beneran, Nek ?” Aravia memastikan.

Nenek mengangguk hingga matanya berbentuk bulan sabit. Senyuman yang mmebuat Aravia
memantapkan dirinya untuk mengutarakan apa yang sedang dirasakannya kepada sang kakak.

“Nek, Ara dapat informasi dari temen Ara kalau semester ini nilak Ara menurun" Aravia
menundukkan wajahnya ketika berbicara. Takut akan respon yang akan diberikan sang
nenek.

Namun alih-alih mendengar ungkapan kecewa atau teriakan penuh amarah dari neneknya,
Aravia justru merasakan dekapan hangat melingkupi tubuhnya. Disusul dengan usapan halus
pada helaian rambut hitamnya.

Isakan mulai terdengar melingkupi ruangan tempat Aravia sering menghabiskan waktunya
ketika berada di rumah ini. Isakan yang mengundang tetes air mata lain ikut meluruh. Aravia
yang menangis karena merasa takut. Nenek yang menangis karena merasa prihatin dengan
kondisi sang cucu.

“Kakak, dengerin nenek ya” nenek mencoba menenangkan sang cucu.

“Nenek tau kok usaha kakak di semester ini. Kakak bahkan lebih milih ikut les daripada main
sama temen-temen kakak. Kakak lebih milih belajar daripada main sama temen kakak. Kakak
juga lebih suka ikut ekstrakurikuler sama rapat OSIS daripada keluyuran sama temen-temen
kakak” Nenek berhenti berbicara sebentar untuk mengawasi wajah sang cucu yang masih
terisak.

“Kakak, Tuhan ngasih tempat kita buat berusaha. Tetapi, semuanya kembali kepada-Nya.
Jika Dia berkehendak kakak masuk tiga besar, pasti kakak bakalan dapat. Kalau tidak, sekuat
apa pun usahanya kakak nggak akan dapat. Jadi, udah ya kakak nggak perlu nangis kok.
Entah yang dikatain temen kakak benar atau nggak, kakak harus terima apa pun yang kakak
dapat. Karena kakak udah berusaha, nggak ada yang perlu kakak sesalin disini” Nenek
mengakhiri kalimat penenang bagi sang cucu dengan pelukan yang lebih erat.

“Tapi, Ara takut sama mama papa Nek” Aravia berkata sambil masih terisak.

An Anthology of Time | 96
“Nanti, nenek bakalan coba bicara sama mama papa kamu ya. Sekarang kakak tenangin diri
dulu. Nggak usah mikir yang macam-macam” Nenek mengakhiri pembicaraan mereka
malam ini dengan melepaskan pelukannya dan membiarkan Aravia berbaring di kasurnya.

Mungkin karena rasa lelah setelah menangis, Aravia tidur setelah sepuluh menit berbaring di
tempat tidurnya. Nenek pun beranjak meninggalkan sang cucu untuk menuju ke kamarnya
setelah mematikan lampu dan menyalakan lilin aromaterapi kesukaan Aravia.

***

Hari pengambilan rapor telah tiba. Kedua orang tua Aravia pun telah sampai di rumah dari
perjalanan kerja di luar kota semalam. Biasanya, kedua orang tuanya akan berbagi tugas
dalam pengambilan rapor. Sang papa akan mengambil rapor Aravia, sedangkan sang mama
mendapat tugas untuk menyiapkan hadiah atas prestasi Aravia.

Biasanya, setelah mengambil rapor orang tua Aravia akan mengajak anaknya untuk makan
bersama di restoran mewah dengan pemandangan yang indah. Hal ini merupakan acara rutin
yang selalu dilaksanakan setiap semester sebagai bentuk apresiasi kepada sang anak yang
telah meraih prestasi terbaik di sekolahnya.

Namun, hal berbeda terjadi pada semester ini. Melalui Mbak Vina, orang tua Aravia
memerintahkan Aravia untuk turun dari kamar dan menemui mereka di ruang makan. Tidak
seperti biasanya, dimana Mbak Vina akan menyampaikan perintah dari orangtuanya untuk
berganti pakaian dan bersiap-siap karena mereka akan pergi keluar.

Wajah kedua orang tua Aravia terlihat masam, terutama sang mama. Maka begitu Aravia
yang diikuti oleh sang nenek, yang kebetulan sedang berada di rumah, duduk di meja makan.
Wanita yang sangat dihormati Aravia itu melempatkan sebuah rapot ke tengah meja.

“Aravia, kamu nggak pernah belajar ya ?” sang mama memulai pembicaraan dengan suara
yang cukup tinggi. Cukup untuk membuat Aravia meremas kedua tangannya di bawah meja
karena perasaan takut yang semalam juga sempat menghampirinya.

“Kamu tau nggak sih, mama sama papa bahkan rela ninggalin pekerjaan kita diluar kota buat
ambil rapor kamu ? Karena kita menghargai prestasi kamu. Tapi Ra ? kamu malah nggak
dapat apa yang kita harapin” sang mama kembali meluapkan kekesalannya.

“Ra…. kita harus apa kali ini” sang mama menangis. Membuat Aravia turut menangis sambil
berulang kali melontarkan kata maaf pada mamanya.

An Anthology of Time | 97
Sementara itu, sang papa masih diam. Pak Rifan, nama papa Aravia, terlihat tidak tertarik
sama sekali dengan apa yang terjadi di meja ini. Bahkan, beliau dengan santainya masih
meminum kopi yang sebelumnya telah disediakan oleh Mbak Vina.

“Ma…,” Aravia memanggil sang mama.

“Mama tau nggak sih usaha Ara biar bisa tetep di ranking satu terus ? Atau mama tau usaha
kakak buat dapat nilai bagus ?” Aravia berhenti sejenak untuk menghirup oksigen.

“Mama sama papa selalu kerja. Bahkan, waktu mama papa pulang Ara udah tidur. Waktu kita
berangkat pun mama sama papa belum bangun karena habis lembur semalam”

Mama Heni kini mulai mengarahkan pandangannya pada Aravia yang terlihat belum selesai
mengutarakan kalimatnya.

“Ma, aku bahkan nggak pernah protes soal itu. Aku sangat berterima kasih pada mama sama
papa yang udah ngebiayain sekolah aku selama ini. Ngasih aku uang dan ngasih semua
kebutuhan aku. Tapi, mama tau nggak kalau aku pun kadang iri sama teman-teman yang
dibekalin sama mamanya ? Yang mamanya selalu menawarkan peluk pas anaknya capek dari
kegiatan sekolah seharian ?”

“Ara, berhenti” suara tegas Pak Rifan menghentikan untaian kalimat Ara yang sepertinya
masih sangat panjang.

“Mama tau ngga---“

“ARA, PAPA BILANG BERHENTI” kalimat Aravia terpotong oleh bentakan dari sang
papa.

“Kamu nggak tau hal apa saja yang sudah kita laluin diluar demi kamu. Gimana capeknya
kerja ke sana-kesini buat biaya sekolah kamu. Kamu mau ini itu selalu kami turutin. Terus
gimana balasan kamu ? Kamu malah berani menjawab mama?” kini giliran sang papa yang
menyampaikan pendapatnya.

“Kamu sudah tau kalau kita banting tulang demi kamu. Tetapi kamu malah marahin kita
karena kurang ada waktu di rumah. Ara, kamu juga belum bisa ngasih apa-apa ke kita. Ini
balasan kamu hah ?” suara Pak Rifan kini menggelegar memenuhi ruang makan. Mbak Vina
yang masih berkutat menyiapkan makanan bahkan sampai terlonjak kaget atas suara yang
baru saja di dengarnya.

An Anthology of Time | 98
Di bawah meja makan, Aravia semakin mengeratkan genggamannya kepada sang nenek.
Tetes air mata sang cucu yang tidak sengaja jatuh pada tangan sang nenek yang tertaut
membuatnya semakin berani.

Aravia berdiri dan menyampaikan kata-kata yang sangat menusuk bagi seluruh orang yang
berada disana, “Mama sama papa mau dimengerti dan didengarkan, tetapi sama sekali nggak
pernah mau ngertiin dan dengerin kami”

Setelahnya Aravia naik ke lantai dua. Tujuannya adalah kamarnya. Meninggalkan kedua
orang tuanya yang temenung memikirkan perkataan terakhirnya.

Hari ini, Nenek Aravia bertekad tidak akan meninggalkan cucunya sendiri. Cucunya
sedang kalut dan takut, maka kemungkinan apa pun dapat terjadi. Nenek hanya ingin
memberikan perlindungan kepada sang cucu.

***

Setelah kejadian di meja makan tempo hari, beberapa hal di rumah milik keluarga Aravia
tampak berubah. Aravia yang sedang menjalani masa liburan akan turun untuk sarapan ketika
kedua orang tuanya sudah pergi bekerja. Mengerti apa yang sedang terjadi, Mbak Vina pun
tidak akan membangunkan anak itu sebelum kedua orang tuanya meninggalkan rumah.

Bukan berniat memusuhi kedua orang tuanya, tetapi Aravia berpikir jika inilah yang terbaik
untuk saat ini bagi mereka. Mereka bisa menenangkan pikiran dan memikirkan secara matang
langkah yang akan diambil setelahnya. Aravia bahkan remaja itu masih takut untuk sekedar
mendengar suara mobil orang tuanya.

Maka kini, nenek akan memberikan kenyamanan terhadap Aravia terlebih dahulu. Membuat
anak itu kembali ceria seperti semula dan tidak menyesali segala hal yang telah ia lakukan
selama satu semester ke belakang. Aravia sudah bekerja keras, jadi tidak ada yang perlu
disesali.

“Kakak, gimana perasaan kakak sekarang ?” tanya nenek yang sedang berada di kamar
Aravia. Sudah hampir sepuluh menit sejak mereka duduk bersama di kursi yang ada di
balkon.

“Mama sama papa wajar marah sama Ara, Nek”

An Anthology of Time | 99
Nenek menggelang, kemudian berniat meluruskan pemikiran cucunya. Aravia buru-buru
melanjutkan, “Tapi Ara nggak bisa mewajarkan semuanya Nek. Ara tau orang tua kita
bekerja buat kita. Seperti yang kakak bilang, ada hal-hal yang berada diluar kehendak kita”

Nenek tersenyum. Setelah dua hari tidak bertegur sapa dan terkesan menghindari kedua orang
tuanya, ternyata Aravia sedikit demi sedikit sudah mampu berdamai dengan keadaan.

“Kakak udah maafin mama ?” tanya Nenek

Aravia mengangguk. Remaja itu memberikan senyuman manis kepada sang nenek.

“Disini kita sama-sama salah, Nek. Rasanya Ara bakal jadi manusia paling egois kalau nggak
maafin orang tua yang udah merawat Ara dari kecil”

Nenek seketika bergerak maju untuk memeluk sang cucu. Jika cucunya yang masih penuh
ego ini mampu memberikan maaf kepada orang tuanya, lalu mengapa ia tidak ? Mengapa
tadi, sebelum masuk ke kamar Aravia, ia masih memikirkan cara menghukum kedua anaknya
atas masalah ini ? Bagaimana cara mereka selalu ada dan saling memberi dan melengkapi
jika tidak bertegur sapa seperti saat ini ?

“Nek, besok pagi kita minta maaf sama mama papa ya” ajak Aravia kepada sang nenek

“Kakak udah nggak papa ? Kakak udah maafin mama sama papa ?”

Aravia mengangguk dua kali. Tanda jika ia sudah rela memberikan maaf kepada orang
tuanya. Mereka sama-sama bersalah, jadi mengapa tidak saling mengakui kesalahan dan
memberikan maaf kepada sang tersayang ?

***

Pukul setengah tujuh pagi, Nenek dan Aravia sudah duduk manis di meja makan. Semalam,
ia bahkan sudah memesan menu sarapan kesukaan kedua orang tua mereka kepada Mbak
Vina. Tidak hanya itu, Aravia juga telah membuat puding coklat yang akan ia berikan kepada
orang tuanya.

Memasuki meja makan, Pak Rifan dan Bu Heni kaget mengetahui ibu dan anaknya berada
disana sambil saling bercanda satu sama lain.

“Pagi Pa, pagi Ma” sapa Aravia.

“Pagi. Kalian mau ke mana ? tumben pagi-pagi sudah mau sarapan ?” tanya sang mama.
Meskipun sebenarnya terdapat rasa bahagia yang membuncah kala mendapati ibu dan
An Anthology of Time | 100
anaknya mau berada dalam satu meja yang sama lagi, wanita paruh jiwa yang yang sangat
disayangi Aravia ini berusaha bersikap sebiasa mungkin.

Aravia kemudian menjawab pertanyaan sang mama, “Nggak mau ke mana-mana, Ma. Kita
cuma kangen sarapan sama mama papa”

Pak Rifan memandang kedua anaknya tanpa ekspresi. Hal ini tidak membuat Aravia takut.
Karena memang seperti inilah sifat ayahnya. Terlihat tak tersentuh, tapi kasih sayangnya
seluas samudra.

“Wah tumben Mbak Vina masak rawon buat sarapan” komentar Bu Heni ketika melihat
menu sarapan pagi ini.

“Itu Kakak yang minta Nyah. Katanya menu spesial buat hari ini” jawaban Mbak Vina
membuat kedua anak dirumah ini tersenyum kikuk karena merasa malu atas tingkah nya.

“Ayo dimakan” Papa mempersilakan semuanya untuk menyantap hidangan yang ada
didepannya.

Mengangguk patuh, keluarga kecil ini menikmati makannya dengan khidmat. Tidak ada
pembicaraan selama mereka makan. Kedua orang tua disana memang selalu menengaskan hal
ini. Selain karena tidak sopan, berbicara ketika makan juga bisa mengakibatkan tersedak yang
bisa berakibat fatal.

Selesai makan, Aravia dan Nenek saling berpandangan. Kini mereka sedang mengumpulkan
keberanian untuk berbicara dengan kedua orang tuanya.

“Ma, Pa, akumau minta maaf” Aravia membuka pembicaan.

“Aku minta maaf karena sudah berani membantah ucapan mama dan papa waktu itu. Aku
juga minta maaf karena tidak bisa memenuhi seluruh harapan mama dan papa” Aravia
melanjutkan, tetapi matanya tidak berani menatap tepat kearah kedua orang tuanya.

Mama Heni berdiri, kemudian menghampiri kedua anaknya satu satuuaMemeluknya, dan
mencium kening. Kebiasaan yang selalu wanita itu lakukan ketika anaknya terlelap, kini ia
lakukan ketika sang anak dalam keadaan sadar.

“Mama juga minta maaf ya sama Ara. Harusnya mama nggak maksain kehendak mama pada
Ara. Mama tau kamu udah berusaha sangat keras. Kemarin Mbak Vina juga bilang ke mama.
Kamu nggak pernah libur les atau ikut main sama teman kalian buat dapetin prestasi yang

An Anthology of Time | 101


mama sama papa inginkan” wanita itu meneteskan air matanya. Rasa haru dan sesak
memnuhi dadanya kala tau jika sang anak yang sangat ia sayangi tidak menghabiskan waktu
mereka sebagaimana mestinya, anaknya yang harusnya sekarang sedang melakukan banyak
kegiatan untuk mencari jati diri, justru ia tekan untuk memenuhi ambisinya.

“Mama sadar, nggak semua hal bisa kita atur. Ada beberapa hal diluar kehendak kita.
Meskipun kita sudah berusaha, kita nggak bisa maksain kehendak Tuhan” kata sang Mama.

Sang papa tersenyum. Memberikan waktu ternyata adalah keputusan yang tepat. Kemarin,
istrinya ingin mengejar sang anak untuk segera mentyelesaikan permasalahan mereka. Tapi,
Pak Rifan melarang. Seseorang yang sedang emosi pasti akan mengeluarkan kata-kata yang
kadang tidak berniat diucapkan. Bukannya menyelesaikan masalah, justru nantinya akan
memunculkan masalah baru.

“Papa juga minta maaf” singkat, seperti karakteristik Pak Rivan biasanya.

“Kamu mau apa ? Nanti kita beliin pulang kerja” sang Mama memberikan penawaran kepada
kedua anaknya.

“Sebenarnya Ara Cuma butuh pelukan mama papa aja waktu Ara lagi sedih. Kalian nggak
perlu selalu ada kok, cukup dengerin Ara kalau ada waktu. Mama sama papa nggak perlu
kasih apa pun buat minta maaf” ucap Aravia bijak.

“Anak mama udah bisa bijak nih” ucap Mama Heni menggoda anak bungsunya.

“Hehe” Aravia tertawa canggung.

“Mulai sekarang, kalian kalau ada apa-apa yang kalian rasain bisa bilang ke kita ya. Jangan
sungkan, apalagi malu. Kita disini orang tua kamu. Tugas kita bukan Cuma ngasih materi aja,
tepi juga ngasih kenyamanan buat kalian” ucap sang papa.

Ara disana seketika berhambur memeluk sang papa, yang dibalas dengan pelukan tak kalah
eratnya.

“Kita pergi dulu ya, udah telat nih” Mama Heni memotong adegan haru yang sedang terjadi.

“Ma, Pa, pudingnya jangan lupa dibawa ya. Masak Ara udah buat capek-capek nggak
dibawa” rajukan Aravia menutup percakapan pagi itu.

SELESAI
An Anthology of Time | 102
An Anthology of Time | 103
KELUARGA
Macy Salwa A.

Keluarga ialah lingkungan paling dekat bagi manusia karena merupakan tempat di mana
kehidupan dimulai. Seluruh hal yang membentukmu hari ini berawal dari pola asuh keluarga.
Sebelum aku menceritakan apa yang terjadi atas keluarga kecilku terlebih dahulu aku
memohon maaf jika cerita ini tidak berarti namun tujuan aku menuliskan cerita ini dengan
maksud ingin berbagi sedikit.

Memiliki keluarga adalah suatu kebanggaan dan kebahagian yang begitu sangat
berharga tersendiri bagi setiap orang, bahkan harta yang sangat berharga di dunia ini adalah
keluarga Mungkin semua manusia merasakan kehilangan harta yang sangat berharga akan
sedih, tetapi kesedihannya hanya sementara. Akan tetapi walaupun hanya sedikit diberikan
sakit pada anak putra-putrinya, maka akan timbul perasaan yang teramat mendalam sedihnya
sebenarnya setiap manusia apabila diberikan cobaan apa pun hendaklah jangan bersedih akan
tetapi haruslah banyak-banyak bersyukur dan tawakal serta ucapkan Alhamdulillah
mengapa ?Contoh kecil, anak adalah harta yang sangat berharga terkadang kita tidak ada
waktu untuk mereka bermain maupun kegiatan lainnya karena kesibukan bekerja dan lain
sebagainya.

Naaah disinilah sebenarnya mengapa saya katakan tetaplah bersyukur kepada Allah Swt
namun semua itu terkadang tanpa kita sadari, bahwa kita lupa. Sebesar apakah kasih sayang
kita kepada keluarga namun mengapa waktu dan kesempatan itu tidak mereka dapatkan dan
tidak bisa mereka rasakan. Apakah itu yang dinamakan sangat sayang dengan
keluarga. apakah hanya cukup dengan uang Tentu tidak.

Aku bernama Sisi aku memiliki keluarga yang cukup lengkap. Ada ayah, ibu dan adikku.
Kami tinggal di sebuah kota di Lumajang. Dan ayahku bekerja sebagai seorang Polisi. Ayah
pergi bekerja dan pulang jarang sekali bukan hal mdah bagi kami selalu terpisah jarak dan
waktu. Ketika aku kecil aku selalu menangis saat mengantar ayah bekerja. Aku selalu
menghalangi jalannya. Dan itu selalu membuat matanya berkaca-kaca. “Ayah pergi bekerja
demi kalian anak-anaku, demi ibu dan demi masa depan kita”. Setiap 1 minggu terakhi aku
selalu menunggu ke datangan ayah bahkan aku selalu tertidur di ruang tamu untuk menanti
kehadirannya. Bukan oleh-oleh yang kami buru. Tapi harum tubuh ayah yang kami rindukan.
Seperti saat ini pukul 19.30 ada yang mengetuk pintu.

“tok..tok..tok....Assalamualaikum”. Kami menjawab sambil berhamburan ke depan pintu.

Setelah terlihat sosok gagah itu kami langsung berhamburan kepelukannya merasakan harum
bau tubuhnya dan melepaskan rindu yang kian menggebu akhirnya terlepaskan.Keesokan
harinya merupakan momen yang kami tunggu untuk sekedar berkumpul menikmati secangkir
teh atau sarapan bersama dan itu hanya ada waktu satu minggu. Setelah itu ayah akan pergi

An Anthology of Time | 104


berangkat bekerja untuk lembur beberapa hari dan bekerja memenuhi keperluan dan masa
depan kami. Waktu sebentar itu merupakan kebahagian yang teramat sangat untuk kami

An Anthology of Time | 105


Kehidupanku dalam keluarga
Marsa Hanan M.

Di suatu hari ada seorang anak yang telah terlahir di dunia ini. Tentu saja
anak tersebut akan melalui masa - masa kehidupan yang sangat berliku - liku. Anak tersebut
akan merasakan kehidupan yang akan dijalaninya, anak tersebut bernama Reki, aku adalah
Reki, seorang anak laki - laki yang biasa saja seperti anak laki - laki pada umumnya. Aku
merupakan anak ke dua dari 2 bersaudara. Aku talah di lahirkan oleh ibuku dengan keadaan
sehat pada 02 febuari 2006. Banyak sekali cerita - cerita kehidupanku dengan keluargaku
yang telah ku lalui semenjak aku kecil hingga sekarang, mulai dari susah, senang hingga
keadaan - keadaan dimana aku sangat bimbang akan kehidupanku ini.

Kisahku diawali dimana ketika aku masih menjadi bayi, aku terlahir di
dunia ini dengan keadaan sangat baik, itu adalah karunia tuhan yang sangat indah bagi
keluargaku dan saudara - saudaraku, tentu saja orang tua ku dan kakakku sangat senang akan
kehadiranku ini. Orang tua ku dan kakakku sangat lah menyayangi ku, mereka
memperhatikanku dan merawat ku dengan segenap hati, mulai dari memberikan susu, bubur
bayi pakian kebutuhan bayi, pampres dan bahkan orang tuaku membersihkan bekas aku
kencing muntah dan juga buang hajat di saat aku masih bayi. Mempunyai anak bayi bukanlah
hal yang mudah karena mereka harus mengawasi, merawat serta menghiburnya agar bayi
tersebut dapat tumbuh dengan baik. Itulah yang dilakukan oleh orang tua ku semasa aku kecil
hingga sekarang. Banyak sekali jasa, pengorbanan gingga kerja keras yang dilakukan orang
tua ku semasa aku bayi. Bagiku di saat aku masih bayi aku hanya menjalani hidup layaknya
kedupan bayi seperti biasa. Makan, minum, menangis dan lain sebagainya. Aku mulai pun
mulai beranjak dari bayi menuju anak – anak. Di masa Keanak – anakan ku aku mulai di ajari
banyak hal oleh orang tua ku. Orang tua ku mengajarkan ku seperti cara berjalan, cara makan
dengan tangan maupun sendok, cara membuang air kencing dan hajat dengan benar dan juga
orang tua ku mengajariku berbicara, ya meskipun pada saat itu aku belum mengerti apa yang
di bicarakan oleh orang tua ku dan aku juga hanya bisa menjawab dengan bahasa bayi yang
bisa ku mengerti. Tetapi lambat laun aku mulai bisa dan mengerti apa yang mereka ajarkan
kepadaku. Aku akhirnya mulai bisa berjalan sendiri, memakan makanan dengan tangan dan
juga sendok. Aku juga mulai bisa untuk buang hajat dan air kencing sendiri, dan hebatnya
akhirnya aku juga mulai bisa berbicara dan mengobrol dengan orang tua ku. Lambat laun pun
aku akhirnya tumbuh menjadi anak – anak mengerti banyak hal tepatnya di saat aku 2- 4
tahunan aku mulai di sekolah kan oleh orang tuaku, tujuan mereka jelas yaitu ingin anak nya
mulai belajar dan juga bermain dan berinteraksi dengan banyak orang – orang. Pada awal aku
bersekolah di paud aku diantarkan oleh orang tua ku. Seperti biasa kadang ibu atau ayahku
yang akan mengantarkan ku ke sekolah paud. “Ayo dek bangun udah waktunya kamu ke
paud buat sekolah sama main sama teman – temanmu” Kata ayah dan ibuku ketika akan
membangunkan dan juga mengantarkanku. Tentunya dnegan semangat aku bersiap untuk
berangkat sekolah. Hari pertamaku sekolah di PAUD aku tidak telalu keberatan, karena pada
saat itu aku masih ditemani oleh orang tuaku saat sekolah. Aku bertemu banyak teman –
teman yang banyak meraka tentunya belajar dan juga bermain di sana. Aku ingat waktu itu
ada seorang anak yang mengajak ku untuk bermain di taman PAUD. Kalau tidak salah
namanya adalah zamir dia mengajak ku bermain, tentu saja aku mengikutinya tetapi aku

An Anthology of Time | 106


terlebih dahulu meminta izin kepada ibuku dan ibuku mengizinkan karena agar aku dapat
berinteraksi dengan teman – teman lainnya. Waktu tidak terasa saat sekolah karena waktu itu
aku sekolah PAUD hanya 3 jam saja. Akhirnya pun aku pulang bersama dengan ibuku yang
menemaniku mulai dari awal sekolah. Setelah sampai rumahpun aku makan makanan yang
telah di siapkan oleh asisten rumah tanggaku, atau biasanya aku memanggilnya bibi. “Wah
adik sudah pulang ya dari PAUD, Yuk makan dulu yuk itu ada makanan kesenangannya adik
di meja sudah tak siapin” kata bibiku. “Iya bi aku laper nih aku makan dulu ya” jawabku.
Setelah aku makan aku pun langsung tertidur pulas entah mungkin aku kantuk atau karena
kecapekan. Dirumah aku biasanya bermain dengan kakakku yang waktu itu dia sudah kelas 3
SD. Kami bermain seperti mainan anak – anak seperti tebak – tebakkan mainan patung, mobil
– mobilan dan banyak hal lain. Lalu pada malam haripun pastinya kita semua istirahat tidur.
Hari – hari pun berjalan seperti biasa aku sekolah di PAUD tetapi yang menjaga ku sekarang
adalah bibiku dan aku juga bermain dan belajar seperti biasa di PAUD.

Tidak terasa aku mulai tumbuh dewasa. Aku telah lulus dari PAUD dan
melanjutkan jenjang pendidikan ke Taman Kanak – Kanak atau biasanya disebut TK. Disini
aku lebih banyak menghabiskan waktuku belajar lebih mendalam dan juga tidak lupa bermain
dnegan temanku. Pada masa TK aku berkenalan dengan banyak sekali anak – anak lainnya,
lalu kita berteman. Mereka merupakan teman – teman yang sangat baik. Hampir setiap hari
pada saat sekolah kami tentunya belajar bersama dan juga bermain bersama. Pada saat aku di
TK aku sudah tidak lagi di tunggu lagi pada saat bersekolah karena aku mulai berani dengan
lingkungan yang ada TK. Pada saat ini aku juga mengalami perasaan paling bahagia karena
pada saat aku TK orang tua ku bilang bahwa aku bakal mempunyai adik. Ibuku telah
mengandung adik ku yang kunantikan. Pastinya aku sangat senang mendengar hal itu karena
aku bakal mempunyai adik dan aku juga senang natinya ketika lahir aku tidak akan dipanggil
adik lagi oleh orang tuaku karena aku mempunyai adik hahaha. Tepat ketika mau lahiran
adikku orang tuaku mempersiapkan barang – barang yang dibutuhkan untuk bayi, meskipun
orang tua ku sudah mempunyai barang bayi yang pernah kupakai dulu, orang tuaku
membelikan barang yang belum dipunyai dan bagus untuk bayi seperti penggendong bayi dan
lain sebagainya. Setelah beberapa bulan akhirnya pada tanggal 10 0ktober 2010 akhirnya
adikku pun lahir. Keluarga ku serta saudara – saudara jauhkku senang mendengarnya karena
kita diberi karunia tuhan dnegan hadirnya 1 anggota keluarga lagi. Tetapi kebahagian an itu
tidak bertahan lama, ketika setelah 4 hari setelah kelahiran adikku pada saat waktu subuh
adikku yang pada saat itu masih bayi mengalami pendarahan dari mulut dan juga hidung, hal
tersebut langsung membuat orang tua ku bergerak cepat untuk membawanya ke rumah sakit.
Selama sehari adikku di tangani oleh dokter. Pada saat keesokan harinya orang tuaku
mendapat kabar duka bahwa adikku tidak lagi bernyawa. Serentak ibuku menangis
mendengarnya dan ayahku mengabari seluruh keluarga besar. Kejadian ini bukanlah kejadian
yang di inginkan oleh keluarga ku. Tentu ini menjadi pukulan yang sangat berat untuk
keluargaku dan untukku juga.

Waktupun berlalu cepat aku akhirnya sudah tumbuh dan akhirnya


lulus dari TK. Aku lalu melakukan pendafataran ke pendidikan selanjutnya ke tingkat SD.
Disinilah aku mulai serius akan pendidikan ku. Aku mulai belajar, belajar dan belajar tetapi
juga tidak lupa bermain untuk menghibur rasa stress ku. Pada saat SD kehidupan yung

An Anthology of Time | 107


kulalui sama saja hingga kelas 5 SD. Pada saat kelas 5 SD aku mulai merasa lebih malas
karena pada saat itu banyak game – game yang bermunculan. Aku mulai melupakan
belajarku karena bermain game. Dari situpun PR pun banyak yang tidak kukerjakan, ulangan
harian pun nilainya mulai menjadi jelak. Hal ini membuat orang tuaku merasa kesal, tentu
ayahku sangat lah marah dan geram. Ibuku juga menasehati ku dengan nada tinggi aku pun
tetap diam akan tetapi aku juga membantah karena hp dan juga laptop untuk aku bermain
game di sita. Dari situpun aku sadar bahwa aku tetap boleh bermain akan tetapi jangan
sampai melepukan kewajibanku. Akhirnya pun aku mulai memantapkan dan meniatkan
pelajaranku. Pada saat itu aku sudah kelas 6 SD dan waktu itu aku bersiap untuk menghadapi
ujian nasional yang berguna untuk pendaftaran pendidikan di tingkat SMP. Pada saat itu aku
memulai untuk meninggalkan game – gameku dan juga semua permainan, Itu kutujukan agar
aku dapat lebih fokus dalam belajar agar nanti nilai ku pada saat ujian nasional membaik.
Aku terus belajar dan juga berdoa agar dapat mendapatkan nilai yang baik. Hal tersebut juga
di suport oleh keluargaku agar mendapat nilai yang baik dnegan cara mengikutkan aku
bimble di salah satu bimble terkenal. Aku pun belajar dengan rajin dan keras. Hingga pada
hari ujian aku meminta bantuan kepada orang tuaku dan juga kakakku untuk mendoakan ku
agar mendapat nilai yang baik. Setelah melakukan ujian hari demi hari akhirnya nilai
ujiannya telah muncul aku mendapat kan hasil ujian yang menurutku berada di tengah –
tengah antara jelek dan bagus. Hal ini membuat ku khawatir akan pendaftaranku di jenjang
SMP. Akan tetapi pada saat mendaftar nilai ku ternyata memenuhi syarat untuk masuk ke
SMP yang ku inginkan.

Pada saat aku SMP hidupku mulai berubah, aku lebih suka menyendiri dan
lebih ke arah introvert. Aku juga mulai jarang untuk berkomunikasi dan menceritakan banyak
hal kepada keluargaku. Mungkin lingkungan di SMP lah yang membuatku hidup introvert.
Aku juga memiliki banyak masalah di jenjang SMP ini. Aku jadi lebih malas dari
sebelumnya sehingga membuat semua nilai – nilai selama SMP menjadi hancur. Tentu saja
ini membuat orang tua ku kembali menjadi kecewa terhadapku. Orang tua selalu bertanya
kepada ku “Kamu kenapa sih dek sekarang kok jadi lebih malas dan jarang ngomong atau
cerita” tanya nya. Aku pun menjawab “Ngga ada emang lagi jelek aja”. Perkataanku dapat
dengan mudah diketahui oleh ibuku yang telah mendengarkan jawabanku. .
Ibuku beratanya “Kamu kenapa dek, Kebanyakan tugas ta disekolah atau kamu kena masalah
disekolah” tanyanya. Aku menjawab dengan menceritakan semua masalah ku hingga sikap
ku di sekolah. Ibuku langsung menasihatiku dengan baik agar mau kembali belajar dan
mengejar mimpinya seperti dulu. Pada saat itu aku ingin menjadi seorang yang sukses. Tentu
saja butuh kerja keras untuk mewujudkan hal tersebut. Akan tetapi pada suatu ada suatu
bencana besar yang terjadi yang membuat ku tidak bisa bersekolah, yaitu adalah bencana
pandemi covid-19 yang membuatku hanya belajar dari rumah. Ini yang membuat rasa malas
ku kambuh lagi karena dengan belajar dirumah guru tidak dapat mengatur apa yang kita
lakukan. Aku lebih sering bermalas – malasan dan juga tidak mendengarkan pada saat
pembelajaran. Kali ini ibuku sangat marah karena aku sudah keterlaluan karena tidak mau
belajar dan hanya bermalas – malasan. Ibuku bertanya padaku “mau jadi apa kamu kalau
sudah seperti ini?”. Sontak aku terdiam dan memikirkan kembali apa yang di ucapkan ibuku.
Ibuku menasihatiku lagi agar aku dapat lebih bersemangat dan tekun agar dapat mendapatkan
nilai yang baik untuk masuk SMA yang di inginkan. Singkat cerita waktu pun berlalu aku
dinyatakan telah lulus SMP dengan julukan lulusan pandemi karena belajar hanya lewat

An Anthology of Time | 108


rumah saja. Aku juga sempat bimbang apakah nilai yang kupunya bisa masuk ke sma yang ku
inginkan karena SMA yang ku inginkan dikenal dengan SMA yang sangat banyak akan
tugasnya dan ketat akan penilaiannya. Aku tetap optimis terhadapa pilihanku yaitu SMA
yang kuinginkan. Orang tua dan kakakku memberikanku semangat dan hal – hal postif agar
aku dapat dengan optimis masuk ke SMA yang ku tujui. Dengan bantuan doa dan juga
dukungan akhirnya aku dinyatakan lolos untuk masuk ke SMA yang kutuju. Aku sangat
senang pada saaat itu. Aku juga bangga terhadapa keluargaku yang telah menguatkankan ku
dalam kehidupan yang telah ku jalani. Aku berjanji akan selalu berusaha agar mendapatkan
yang terbaik dalam hidupku. Semenjak SMA aku jadi lebih giat untuk belajar dan juga
meraih mimpi karena ini adalah jenjang pendidikan yang paling dibutuhkan untuk
selanjutnya untuk tujuanku yang akan kutuju. Orang tuaku dan kakakku tetap mesndukung
apa yang akan kulakukan agar tetap mendapatkan yang kuinginkan. Dengan ini aku sangat
bersyukur mempunyai keluarga yang dapat menguatkan tekat dan ketekunan dalam hidup
yang kulalui.

TAMAT

An Anthology of Time | 109


Sebelum Mentari Terbenam
Mochammad Zhafif H.

Kenalkan, aku Afifah. Seorang gadis 16 tahun. Aku tinggal bersama papa, mama, dan
satu adik laki-lakiku. Ini adalah kali pertama aku berjumpa dengan kalian, di kelas XI E.
Hobiku cukup banyak, tetapi membaca merupakan hal yang paling kugemari. Tak tahu sudah
berapa banyak buku yang kutamatkan, semuanya terkumpul menjadi satu di dalam lemari
meja belajarku. Beberapa bahkan aku berikan ke perpustakaan di kota yang pernah aku
tinggali. Ya, aku hidup berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain. Sewaktu aku masih
berumur enam bulan, aku bahkan berpindah-pindah negara. Semuanya untuk memenuhi
keperluan dinas papaku. Anehnya, aku tidak pernah tahu apa yang papa kerjakan. Setiap kali
aku bertanya pada mama, ia selalu menggeleng dan menjawab, “Papamu itu insinyur, Fif…
Wajar kalau banyak pekerjaannya. Kita ikut menemani papa agar tetap semangat bekerja”.
Aku terus memendam rasa penasaranku itu sampai sekarang, tetapi itu tidak penting karena
bagaimana pun, papa masih bisa hadir dalam setiap momen menyenangkan. Pagi ini, papa
mengantarku ke sini, ke sekolah ini. Itu sebuah tradisi di setiap hari pertama aku masuk
sekolah. Papa selalu ada untuk mengantarku, tidak peduli sesibuk apa pun dia.
Secarik catatan yang aku buat sebelum aku memperkenalkan diriku di hari pertama aku
menjejakkan kaki di kelas. Aku menemukannya semalam sebelum tidur, terselip di balik
tumpukan buku-buku tulis lamaku. Aku masih ingat saat pertama kali pindah ke kota ini.
Melihat wajah rumah baruku yang masih kosong di bawah guyuran hujan deras malam itu.
Papa sibuk mengeluarkan barang bawaan kami dari mobil, melawan pukulan hujan. Ibu
berteduh di teras sembari menyuruh Taqi mengambilkan kunci rumah. Aku berdiam dalam
mobil, menyaksikan semuanya bermain peran di balik tirai lembut hujan. Aku waktu itu
memang tengah demam. Badanku tiba-tiba panas di seperempat perjalanan kami menuju
tempat baru ini. Mama menyuruhku untuk tenang dan tidur di sepanjang perjalanan. Tetapi
aku merasa itu mustahil. Bagaimana tidak, geraman mobil, dan opera hujan yang sepertinya
tampil di separuh pulau Jawa itu terus menahan mataku untuk terpejam. Kepalaku terasa
tidak tertancap lagi di batang tubuhku. Hingga akhirnya, kesadaranku dihempas keluar saat
papa menikung hebat di ujung turunan, seketika diriku ditenggelamkan secara paksa dalam
gelapnya “tidur”. Sesaat setelah aku bisa meraih kembali kesadaranku, tubuhku sudah dibalut
selimut oleh mama, dan telah berdiri kokoh sebuah rumah putih bergaya Belanda ketika aku
mendongakkan kepala melihat di sela-sela tetesan hujan.
“Taqi, cepat ambilkan kunci rumah! Barang-barang sudah menumpuk di teras,” perintah
mama yang samar-samar menembus hujan.
Taqi menuju mobil dan membuka pintu, “Mbak, Mbak Fifa ngga liat kunci rumah?”
tanyanya sambil mengacak-acak isi mobil.
“Enggak tuh, mbak dari tadi hanya rebahan di sini,” jawabku dengan suara lirih.
“Oh! Ketemu! Eh, bukan ternyata,” ucapnya sambil menggaruk kepala, “Akh! Di mana
sih!?”
“Bentar, maa… Taqi lagi mencari ini,” katanya seolah mama bertanya.
“Sudah, Qi, kuncinya dibawa papa ternyata,” teriak mama dari kejauhan.
Aku hanya tersenyum kecil menyaksikan wajah Taqi yang tampak sedikit kecewa.
Sepertinya, hujan sudah cukup reda. Aku menyingkap selimut dan menaruhnya di bagasi.
An Anthology of Time | 110
Tampak lampu depan rumah yang redup menyoroti lembaran hujan di atas rerumputan
taman. Aku berjalan di antaranya, berusaha menahan rasa sakit kepalaku. Dari balik bibir
pintu, bisa kulihat mama sedang menggotong sofa bersama Taqi, sedangkan papa tengah
sibuk memperbaiki beberapa celah rumah. Ini adalah kali pertama aku menjejakkan langkah
di dalam rumah. Disambut hangatnya keluarga, dalam balutan dingin hujan.

***

“Riiiiiinngg!!”
Alarmku berteriak kencang dari sudut kamarku. Aku tersentak bangun, aku mengais apa
pun yang ada di meja sembari menyumbat kepala dengan bantal. Mencari di mana gerangan
alarm sialan itu. Tanganku menjelajah jauh di atas meja, tetap saja aku tak kunjung meraih
satu bagian pun dari alarm itu. Deringannya semakin mengganggu sebab semakin lama ia
menjadi lebih keras. Kubuka mataku di antara sela-sela bantal, memantau kamarku yang
setengah berantakan. Ekor mataku menyorot segala sudut yang bisa ia genggam. Kulihat
seberkas cahaya merah terpancar dari meja belajarku. Cahaya yang aku kenal, sial, kenapa
alarmku ada di sana?? Ayolah… siapa juga yang menaruhnya di sana… Ini pasti ulah Taqi.
Aku akhirnya bangkit dari ranjang, menepikan selimut yang sudah tidak karuan. Kuturunkan
kaki, mencari sandal floppy kesayanganku. Oh, kenapa aku juga tidak menemukannya?
Mungkin tertelan di bawah kasur. Akh! Ia tak juga di bawah sana. Lupakan, aku harus segera
menimpuk alarm sialan yang sekarang sudah menggonggong lebih dari lima menit. Lima
menit yang benar-benar menyiksa telingaku. Anehnya, kenapa orang-orang tidak
mendengarnya? Mungkin papa membuat kamarku sangat kedap suara. Ya, aku pernah
meminta papa untuk itu. Tetapi, aku tidak pernah yakin papa akan mengabulkannya. Tapi
lihatlah, alarm yang bernyanyi keras – lebih keras dari letusan gunung Krakatau itu tak satu
pun menggubris keluargaku yang lain. Bahkan Taqi juga sangat membencinya, jangankan
suaranya, bayangannya saja, seakan matanya tak sudi untuk menatapnya. Tapi sekarang,
bahkan batang hidungnya tak terlihat ketika ia menggedor-gedor pintu kamar menyuruhku
segera mematikan alarm laknat itu. Aku berjalan cepat meraih alarm kejiku yang tergeletak
santai di atas meja belajar. Layar digitalnya menunjukkan pukul 06.31 dalam digit berwarna
merah khasnya. Masih mendera kepalaku, kutekan tombol off di atas layarnya, seketika
menghentikan rengekannya. Akhirnya… kepalaku bisa lepas dari cengkeraman alarm tak ada
akhlak itu.
Pagi ini cukup… aneh? Aku tak merasakan kehadiran siapa pun di rumah. Kudongakkan
kepala ke arah jendela, di balik kelambu bisa kulihat lapisan tipis kelabu yang dilukis
mendung. Irama-irama hujan mengalun lembut mengisi kamarku. Menghadirkan suasana
yang belum pernah aku rasakan. Aku menaruh kembali alarm dalam genggamanku ke meja di
sebelah kasur. Menata sedikit kasurku yang… yaah… aku tak tahu bagaimana
mendeskripsikannya. Kulipat selimut, menaruh beberapa bantal di ujung kasur. Aku berjalan
menjelajah kamar. Merapikan barang-barangku yang berserakan. Aku tak ingat apa yang aku
lakukan semalam. Ketika aku mengangkat tumpukan buku catatanku, secarik surat yang
masih rapi terbungkus dalam pakaiannya meluncur jatuh di sela-sela langkahku. Aku tak
begitu menghiraukannya sebab tumpukan buku yang aku angkat ternyata berat juga, jadi aku
bergegas menaruhnya di atas meja belajar dan mengabaikan surat itu. Sekilas ada sesuatu

An Anthology of Time | 111


yang cukup familier tertera di baju surat itu, tetapi derap langkah Taqi yang sepertinya
tergesa-gesa segera menerpa rasa heranku itu. Aku langsung menciduk gagang pintu. Sesaat
setelah membukanya, harum masakan mama segera menghambur masuk baik ke kamar
maupun jiwaku.
“Attaqi Kaysa Mandala… ayo segera turun… papamu harus segera berangkat ini,”
gumam mama memanggil adikku yang masih ribut dengan rambutnya di wastafel.
Kalau mama sudah menyeru anaknya dengan nama lengkapnya, ada sesuatu yang sangat
serius harus segera diselesaikan. Seperti saat papa harus meninggalkan rumah entah karena
kliennya menelepon atau ada kerusakan alat produksi di perusahaan di mana papa biasanya
bekerja.
“Bentar, maa, ini rambut Taqi berantakan bener. Susah sekali disisir,” jawabnya.
“Kamu bisa urus rambutmu di jalan, Attaqi… Papamu harus segera hengkang ini,” kata
mama menimpali dengan nada kesal,”Kalau tidak, kamu berangkat sendiri loh,” tambah
mama.
“Iya, maa, ini Taqi turun kok,” gumamnya sambil menuruni tangga dan menata
rambutnya.
Aku melihat adikku itu sejenak menatap ke arahku, tetapi segera memalingkan
pandangannya ke arah ruang makan.
“Aduuh… kenapa rambutku susah disisir gini sih,” gerutu adikku.
“Kenapa? Kamu masih terlihat tampan dengan rambut acak-acakan itu,” jawab papa
sambil tersenyum kecil.
“Tampan apanya?!” timpuk Taqi kesal.
“Sudah-sudah, segera selesaikan makanmu itu,” kata mama sambil menuangkan kare di
atas piring papa.
“Biarkan, maa, papa tidak seterburu-buru itu kok. Biarkan Taqi menikmati paginya.
Haha,” jawab papa dengan nada tenang.
“Ma, tau tidak?” Taqi menyuratkan pertanyaan.
“Iya?”
“Mbak Fifah baru bangun, ma,”
“Oh, benarkah?”
“Iya, aku melihatnya bersandar di bibir kamar,”
“Oh, k-kenapa tidak kau suruh turun juga?” nada mama terdengar sedikit aneh.
“Aku sibuk dengan rambutku, ma. Jadi, enggak sempat bilang,” jawab Taqi sambil
menelan.
“Taqi, segera habiskan makanmu,” kata papa memotong pembicaraan.
“Iya, pa, katanya tidak buru-buru,” Taqi menimpali dengan menunjukkan wajah masam.
Papa hanya menggaruk kepala dan melayangkan senyuman tipis.
Aku menyaksikan semuanya dari balik sandaran tangga. Tidak mengerti apa yang mereka
bicarakan. Bahasan pagi ini cukup aneh bagiku. Taqi sudah selesai dengan makannya. Ia
segera merapikan meja dan menaruh piring di cucian. Sekali lagi, adikku menatap sejenak ke
arahku, kali ini dengan cukup tajam. Aku tak mengerti maksudnya dan memutuskan
melayangkan lambaian tangan canggung sebagai tanda selamat jalan. Adikku itu
membalasnya dengan mengangguk pelan.
Papa mengecup kening mama lalu berkata, “Papa berangkat ya, mama,”

An Anthology of Time | 112


“Iya, pa, hati-hati,” jawab mama.
“Taqi juga, ma, dadah,” kata Taqi memotong.
“Iya, hati-hati di jalan ya,” jawab mama sambil tersenyum manis.
Sesaat setelah papa dan Taqi keluar, aku mendengar sekilas secara samar-samar suara
deburan ombak menghambur memasuki telingaku. Sekali lagi, aku kebingungan tak mengerti
apa yang tengah terjadi. Aku memutuskan untuk tidak terlalu menancapkannya dalam
kepalaku. Aku berjalan kembali ke dalam kamar. Aneh, mengapa aku tidak merasa lapar?
Biasanya aku sudah berlari girang menuju ruang makan menciduk satu persatu masakan
mama. Tapi kali ini… kenapa aku… akh sudahlah. Aku harus segera mengemasi beberapa
barang. Menaruhnya di gudang belakang rumah. Aku menarik satu keresek hitam besar dari
balik meja belajar. Aku mulai meraih beberapa barang yang tergeletak di atas lantai, karpet,
dan kasurku. Beberapa pecahan pigura tercecer di lantai. Entahlah aku masih tak tahu apa
yang aku lakukan semalam. Kamarku benar-benar penuh oleh pecahan-pecahan kaca, bubuk-
bubuk kaca lebih tepatnya, seperti ada yang memblendernya lalu menaburkannya di sekujur
lantai kamarku. Sialnya, aku kehilangan sandal floppy cantikku. Jadi, aku harus sangat
berhati-hati karena bisa saja butiran-butiran kaca itu menusuk dan merobek telapak kakiku.
Kulewati tiap sudut lantai dengan penuh kewaspadaan. Aku mengambil sisa-sisa barang lain
yang tersebar di tempat-tempat yang sulit dijangkau. Di bawah kasur, meja belajar, di
belakang lemari, entahlah bagaimana mereka bisa berada di sana. Aku merasa bahwa
kamarku sudah mirip gudang itu sendiri. Banyak benda-benda usang berdiam di sisi-sisi
kamarku. Debu-debu menumpuk sangat tebal di atas meja belajarku. Untungnya, aku tidak
melihat satu pun jaring laba-laba menempel di langit-langit atau sudut ruangan. Ya… aku
sangat takut akan laba-laba. Mereka selalu membawa kelam dan rasa takut hadir dalam
pikiranku. Tak tahu mengapa, katanya, rasa takut itu muncul karena trauma, tetapi tidak ada
momen traumatis yang disebabkan oleh laba-laba. Benar-benar tidak ada! Namun, aku tetap
takut dengan mereka.
Auch! Mataku! Aku tak sengaja menghempaskan debu ke arah wajahku. Kresek hitam
yang aku bawa kujatuhkan begitu saja. Kedua tanganku segera tiba dan mengusap-usap
mataku. Gelap. Aku tak bisa diam, akhirnya aku berjalan tanpa arah. Hingga aku tersandung
sebuah benda besar dan terjatuh menumbuk lantai penuh butiran-butiran kaca. Bersamaan
dengan itu, seutas petir ikut jatuh. Terdengar di luar sana, tangisan mega semakin menjadi-
jadi. Masih tak bisa membuka mata, aku berusaha bangun. Kutopang tubuhku dengan kedua
tangan, secara tidak sengaja menyentuh lebih banyak bubuk-bubuk kaca di lantai. Sejenak,
aku merasa seakan-akan menyentuh dan menggenggam pasir pantai. Alunan ombak juga
terdengar semakin jelas, jauh lebih jelas dari yang aku dengar saat papa dan Taqi pergi. Aku
hanya bisa melihat gelap sebab mataku masih dicengkeram perih. Seutas petir tumbang lagi.
Seketika aku mendapati diriku sudah berdiri menenteng keresek hitam yang tadi aku
jatuhkan. A-aku tidak mengerti apa yang baru saja terjadi. Perih di mataku juga sepenuhnya
lenyap. Mungkin tadi mama masuk ke kamar, lalu karena melihat anaknya jatuh tak berdaya
mengusap matanya di lantai, akhirnya mama membantuku membersihkan mata dan berdiri.
Tetapi, kenapa aku tidak merasakan kehadiran mamaku itu? Keheranan, aku memutuskan
untuk keluar kamar menuju gudang belakang.
Aku menyaksikan rumah dalam keadaan sepi, hanya suara kelambu yang berkelebatan di
jendela diterpa angin. Mama juga tidak ada. Ke mana mereka pergi? Kenapa aku ditinggal

An Anthology of Time | 113


sendirian? Aku terus berjalan menuju gudang belakang. Lorong-lorong yang kulewati terasa
begitu panjang. Aku juga beberapa kali melihat bayang-bayang burung albatros bertebaran di
pilar-pilar rumah. Sekali dua kali aku mendengar suara air laut yang menghempas karang
dengan sangat jelas. Aku berlari. Terus berlari sekencang mungkin menyusuri lorong-lorong
rumah. Aku merasa tidak waras. Suara-suara itu sungguh menyiksa pikiranku. Aku harus
segera sampai di gudang belakang! Aku berlari sekuat mungkin. Deringan langkahku sampai
terdengar mengimbangi irama-irama hujan. Aku… aku tidak mengerti!
“Mbaaak Fifaah!” terdengar teriakan Taqi dari jauh.
“Tenanglah! Mbak akan baik-baik saja!” suaranya terdengar semakin mendekat. Aku
menurunkan frekuensi langkahku.
“Berhentilah, Mbak, tolong…”
Tak kuasa melihat adikku mengiba, aku memutus langkahku, diam di tepi lorong
menunggu adik laki-lakiku itu mendekat. Ingin kupeluk saja dia. Aku sungguh ketakutan.
“Eh… eh… eh… mbaak… kamu baik-baik saja kan?” tanya adikku kelelahan.
“T-Taqi… m-mbak…” aku berusaha menahan tangis, ketakutan.
“Tidak apa-apa, mbak. Mbak akan baik-baik saja, fyuuh,” adikku duduk menyelonjorkan
kakinya.
“K-kau dari mana saja, Taqi?” aku ikut duduk.
“Aku baru saja sampai,”“Mama sama papa ada di ruang tamu,”
“Tapi kenapa rumah bisa begitu sepi?”“Sama mbak berkali-kal-”
“Tidak usah dihiraukan, mbak. Mbak tidak perlu tau soal itu,” Taqi memotong sambil
memberikan tatapan yang aneh.
Aku melihat matanya berkaca-kaca. Seperti ia sedang menyembunyikan sesuatu.
“Taqi, mbak boleh peluk kamu?”
“Oh, boleh kok, mbak” Taqi memberi senyuman tipis.
“Tadi mbak sangat ketakutan…”
“Jangan khawatir, mbak. Mbak…” suaranya terputus berusaha menahan tangis.
“Keluarkan saja isi matamu itu, Qi. Kau tak sendirian,” mataku tak bisa lagi menahan
tangisnya.
“Langit juga sesekali menangis,”“Menangislah…”
Aku memeluk Taqi dengan begitu erat. Bisa kurasakan air matanya mengalir membasahi
punggungku. Belum pernah aku melihat adikku menangis seperti ini. Aku hanya menunduk,
terpejam, berusaha membendung tangisku sendiri. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang
tengah terjadi. Tiba-tiba dua untaian petir panjang tumbang, sejenak mengisi segala sisi
rumah dengan cahaya putih terang. Aku tak bisa melihat apa pun.
Cahaya putih itu kini telah lenyap. Aku secara instan sudah ada di teras rumah.
Menyaksikan langit yang sudah tidak lagi dibelenggu hujan. Bisa kusaksikan secara jelas,
bagaimana tangan-tangan mentari secara lembut membelai puing-puing mega yang tersisa di
rerumputan, pohon-pohon, atap dan sebagainya. Cahaya indahnya memercik keluar dari
dalam sana. Sangat anggun. Aku masih berusaha memahami apa yang dari tadi terjadi.
Mengapa aku bisa secara tiba-tiba berpindah tempat? Dan mengapa bisikan-bisikan laut itu
bisa kudengar? Aku menjejakkan langkah ke atas rumput-rumput taman. Bisa kurasakan
butiran-butiran lembut air memeluk telapak kakiku. Dingin.

An Anthology of Time | 114


***

Matahari sudah tepat di ujung paling atas cakrawala. Taqi berjalan keluar membawa
sebuah kardus barang untuk dimasukkan ke dalam bagasi mobil. Sepertinya kita akan
berpindah rumah lagi. Tapi, kenapa hanya satu kardus besar itu yang dibawa? Aku
melayangkan lambaian ke arah Taqi, tetapi tampaknya ia tidak melihatku. Mama dan papa
juga tidak merasakan kehadiranku. Mereka mencek satu persatu isi kardus besar itu. Mereka
tampak sangat serius.
“Taqi, ambilkan sendal floppy kesayangan kakakmu,” mama melihat ke arah adikku.
“Oke, maa,” Taqi bergegas masuk ke dalam rumah.
Bukankah sandal itu hilang tadi pagi? Melihat gerak-gerik Taqi, dugaanku benar, ia pasti
menyembunyikannya dariku. Aku mengekor di belakangnya. Ingin tahu di mana gerangan
adikku itu menyembunyikannya. Ia menuju ke lantai atas, menuju kamarku? Aku masuk,
betapa terkejutnya aku melihat sandal itu terdiam di hadapan kasur! Dengan santai, Taqi
membawanya keluar. Bagaimana hal ini mungkin? Aku melihat dengan ekor mataku sendiri,
sandal itu tidak ada di kamarku, perlu diingat bahwa tak ada satu pun orang di rumah ini yang
pernah memindahkan sandal floppy kecintaanku itu. Tapi sekarang, ia muncul begitu saja di
depan kasurku. Taqi juga membawa secarik surat yang tadi pagi aku jatuhkan.
“Ini, ma,” Taqi menyodorkan sandalku ke mama.
“Oke, semua cek, tidak ada yang tertinggal ya,”
“Siap, tidak ada,” papa dan Taqi menjawab kompak.
Papa segera mengisi bangku sopir dengan mama di sebelahnya. Seperti biasa Taqi duduk
di bangku belakang memangku novel milikku. Mesin mobil dinyalakan dan papa langsung
menginjak pedal gas. Aku berdiri sendirian di sini. Memandang mereka pergi
meninggalkanku. Berbagai emosi tercampur aduk dalam sukmaku. Tak tahu aku harus
berbuat apa. Aku memutuskan untuk kembali ke dalam kamar. Rumah sudah benar-benar tak
memiliki bayangan. Air mata terasa tertahan di ujung bola mataku. Tak bisa kusimpan
ataupun kukeluarkan. Ia hanya tertahan di sana. Aku menuju ke atas kasur. Menata beberapa
bantal. Dan aku berbaring di atas sana. Selimut yang tadi pagi aku lipat, kubongkar kembali.
Meskipun tak sehangat pelukan Taqi atau mama. Meskipun tak selembut senyuman papa.
Selimut itu cukup untuk membuatku tenang. Aku memejamkan mata, berusaha menarik
mimpi yang tergantung di gelapnya kelopak mata. Aku melihat mereka berkedip-kedip
layaknya bintang di hamparan medium kosmik. Eigengrau itu perlahan berubah menjadi
cakrawala. Beberapa titik-titik mimpi mereplika dirinya menjadi objek kosmos yang lebih
kompleks. Kusaksikan Andromeda terbentang menerangi kolom mataku. Sepertinya, waktu
berjalan mundur di sini sebab aku melihat semua objek-objek celestial itu berjalan searah
jarum jam. Kurasakan kehadiran sesuatu yang begitu indah, sang mentari malam. Ia bergerak
dari balik punggungku menuju garis horizon yang terjuntai di atas hamparan luas laut. Sang
mentari malam akhirnya tenggelam. Dari balik sana, naiklah tangan-tangan mentari. Merekah
indah memuntahkan jingga senja ke kanvas gaia. Hingga ketika matahari tepat berada di
posisinya kala senja, aku… mengingat segalanya.

Senja hari kala itu,”Kau tenggelam bersama sang surya, bangkit bersama sang candra”

An Anthology of Time | 115


Sesaat setelah mataku lenyap dalam pejam, sinaran bintang-bintang mekar memercik di
antara riakan ombak. Tubuh sang mentari malam perlahan terangkat ke atas pentas cakrawala
diiringi tabuhan karang-karang yang dimainkan tangan-tangan lembut lautan. Terbaring diam
ditopang partikel-partikel pasir yang lembut, aku saksikan untaian benang-benang halus
komet melukis pupilku.
Tak tahu bagaimana aku bisa di sini, yang kuingat hanya senyuman senja yang lenyap
bersama tangan-tangan mentari. Kakiku telanjang perlahan diraih buih-buih ombak. Aku
berusaha duduk melawan cengkeraman angin malam. Terasa jiwaku ditarik keluar oleh pasir-
pasir pantai. Sang candra telah menyelesaikan sepertiga jalannya, dan lautan hampir
menggenggam kakiku.
Namun kini, entah mengapa aku ingin menyatu dengan ombak-ombak itu. Aku kembali
menjatuhkan tubuh, membiarkan bintang-bintang menjerat ragaku dengan sorot sinarnya
yang redup. Laut semakin dekat, bisa aku rasakan kesadaranku diekstrak keluar dari mataku.
Semuanya lenyap, gelap, bersama mimpiku tenggelam ke dalam pasir yang rapuh dibasahi
asin laut.

“Bangunlah! Kau takkan mati di sini!”

Seluruh tubuhku nyaris ditelan pantai. Aku meraih apa pun, pasir, air laut, tapi semuanya
tak berguna. Sang luna tepat berada di atasku, seolah-olah menjulurkan tangannya padaku.
Seolah-olah ingin mengusap wajahku dari pasir dan air laut. Deburan ombak menyatu dengan
rintihanku, sayang aku segera disumpal air laut yang kini telah menyatu sepenuhnya dengan
air mataku. Aku telah menyerah, kubiarkan laut mengikis sisa waktuku. Perih, kupejamkan
mataku. Sesak, kuhentikan napasku.
“Kau tak seharusnya berakhir di sini... peranmu sebagai entitas semesta masih belum usai.
Teruslah hidup, genggamlah tiap sudut langit, berjalanlah sejauh bintang-bintang. Kau akan
mati sebagai semesta, kau akan mati sebagai keindahan. Bangunlah!”
Mahkota jingga merekah membelah cakrawala. Putih sinar sang candra telah lenyap
sepenuhnya. Jari-jari laut telah melepas genggamannya. Semuanya telah selesai, aku mati
sebagai senja, hidup kembali sebagai fajar. Aku telah menyatu sepenuhnya dengan karang,
dengan ombak, dengan lautan...

***

Pasca kepergian kakakku, mama dan papa hidup dalam kesedihan yang mendalam. Kami
terus berusaha menyangkal realitas yang ada. Kamar Mbak Fifah dibiarkan terbengkalai,
meskipun biasanya oleh mama dibersihkan tiap sorenya. Setiap satu atau dua minggu sekali,
papa melakukan kontrol untuk mencegah berkembangnya sarang laba-laba di rumah, biarpun
aku tahu bahwa papa melakukannya karena ingat Mbak Afifah adalah seorang pengidap
arachnophobia. Aku juga takut akan laba-laba.
Setiap harinya kami berusaha melepaskan penyangkalan itu. Mama selalu konsultasi rutin
ke psikiater via telepon. Sedangkan papa, sepertinya ia sudah terbebas dari delusinya akan
Mbak Afifah. Aku biasanya mengikuti kelas-kelas tambahan di luar jam sekolah untuk
mendistraksi pikiranku tentang Mbak Afifah. Kami melakukan itu semua tidak untuk
melupakan Mbak Afifah. Aku yakin, ia masih ada menjelajahi dunia ini. Menurutku, aku bisa

An Anthology of Time | 116


merasakan eksistensi Mbak Afifah melalui awan-awan yang tergantung di langit. Sesuai
pelajaran geografi yang aku dapatkan di kelas, sebagian besar dari mereka adalah produk
evaporasi laut sedangkan Mbak Afifah telah menyatu dengan lautan itu sendiri. Sehingga bisa
aku simpulkan bahwa Mbak Afifah tidak benar-benar pergi, ia hanya bergerak bersama kami
dalam wujud yang berbeda.
Saat kami ingin mengecek lokasi rumah baru kami di kota sebelah, aku disuruh mama
mengambil sendal floppy kesayangan Mbak Afifah di kamarnya. Saat aku memasuki kamar,
aku segera disambut debu yang bertebaran. Di dalam sana, aku melihat sepucuk surat
tergeletak di atas sandal floppy itu. Aku refleks membawanya juga, siapa tahu itu surat
belanjaan mama. Aku menyembunyikan surat itu setelah aku tahu ada tanda tangan Mbak
Afifah di atasnya. Kuserahkan sandal floppy ke mama dan aku masuk ke dalam mobil. Aku
mengeluarkan surat itu dari dalam novel Mbak Afifah yang aku bawa. Kubuka segelnya, lalu
kubaca isinya.

Kepada adikku tersayang,


Attaqi Kaysa Mandala.

Berusaha bertahan di bawah tekanan psikis itu tidak mudah.


Apalagi tiap langkah yang kita lukis adalah untuk memenuhi
ekspektasi manusia lain. Kadang kita merasa insecure dengan
kemampuan diri. Bagaimana kekhawatiran akan diabaikan
insan lain menyelimuti kita dalam krisis eksistensial. Denial.
Tak mengerti apa tujuan kita berada di sini. Mengapa ada di
sini...
Memang adakalanya solusi terbaik dari suatu permasalahan
adalah keheningan, silence. Bagaimana kita bisa melihat tiap
sudut lubuk hati kita. Gelap dan terangnya jiwa. Rasional dan
irasional pikiran. Percayalah, hening tak berarti hampa. Sendiri
tak berarti kesepian.
Aku yakin, ada insan yang matanya jauh lebih tajam,
telinganya lebih luas, suaranya lebih indah, tangannya lebih
lembut, pikirannya lebih dalam, dan hatinya lebih kokoh. Aku
tau itu bukan aku. Tapi, aku sangat yakin mereka ada
sekitarmu, mereka ada tersembunyi di balik tirai lembut
mentari, di balik tiap langkah-langkah awan, di balik tiap
kedipan bintang-bintang. Yakinlah! Mereka pasti datang
melukis kembali kebahagiaanmu...
Aku meminta maaf karena tak bisa menjadi hutan untuk
mewadahi hujan-hujanmu, menjadi cakrawala untuk lintasan
awan-awanmu, menjadi karang untuk memeluk deburan-
deburan ombakmu. Sekali lagi... aku... seorang manusia lain...
meminta maaf tak bisa menjadi komponen yang melengkapi
geografi hatimu.

An Anthology of Time | 117


Dari kakakmu tercinta,
Mauline Afifah.

Seketika kolam batinku beriak, membuat mataku langsung tumpah. Aku berusaha
menahannya, tetapi itu tidak berguna. Aku memang mempunyai riwayat penyakit mental
yang membuatku sering merasa tertekan. Meskipun di hadapan mama, papa, dan Mbak
Afifah aku tidak pernah menangis, sebenarnya aku menyembunyikannya di setiap
keheningan malam agar mereka tidak ikut merasakan kesedihanku. Tetapi, surat ini… aku…
kamu… Mbak Afifah telah menyalakan kembali mimpiku. Aku tahu kau sangat
menyayangiku. Aku akan terus merindukanmu, percayalah, kau adalah insan yang kau
maksud dalam suratmu itu. Bagiku, bagi kami, kau lebih dari cukup untuk melengkapi
geografi hati kami.

An Anthology of Time | 118


Kenangan Terindah
Muhammad Husein D. U.

Halo, Namaku Steve. Aku tinggal bersama nenekku, kakakku, dan juga adikku. Aku dan
saudaraku berbeda dua tahun saja, aku anak kedua dari lima bersaudara, orang tuaku dan
kedua adikku tinggal di luar kota, sedangkan aku tinggal bersama nenekku sejak aku masih
bayi. Orang tuaku menitipkan aku ke nenek karena mereka harus berkerja di luar kota, aku di
rawat dengan penuh kasih sayang dan di didik dengan baik oleh nenekku. Sekarang aku
duduk di bangku SMP, dan memiliki banyak teman teman yang baik, serta Rifqi yang sudah
menjadi sahabatku sejak kecil. Kami selalu berangkat dan pulang bersama. Dia anak yang
baik dan pintar di kelasnya. Dibandingkan dengan anak seumuranku lainnya, aku tergolong
anak yang tidak terlalu pintar dan nilaiku juga pas-pasan. Meski begitu, teman temanku
menganggap aku ini anak yang pintar dan rajin. Memang aku tidak suka menunda nunda
pekerjaan, jadi aku selalu mengerjakan tugas sekolah ketika pulang sekolah. Aku juga
terkadang minder terhadap nilai adikku dan kakakku yang selalu bagus dan sering juara kelas.
Tapi mereka selalu mendukungku. Akhir akhir ini aku juga merindukan orang tuaku,
biasanya mereka akan pulang saat liburan semester, pergi liburan bersama mereka sangatlah
menyenangkan, namun liburan sebelumnya karena padatnya pekerjaan, mereka tidak bisa
pulang. aku bersedih saat itu, karena itu, aku harap pada liburan semester kali ini mereka bisa
pulang.

Pagi hari yang cerah, aku bangun pagi dan akan berangkat sekolah, hatiku gembira
Karena hari ini adalah hari terakhir masuk sekolah, jadi liburan semester akan tiba, hari ini
aku bersemangat untuk berangkat sekolah, mandi pagi pagi lalu sarapan. Sembari menunggu
Rifqi menjeputku, aku memompa ban sepedaku terlebih dahulu kemudian duduk di teras
depan. Tak lama kemudian Rifqi datang, aku berpamitan pada nenek lalu aku berangkat
bersamanya. Aku mengayuh sepedaku dengan penuh semangat. Jarak sekolahku dengan
rumah memang terbilang cukup jauh. Saat di perjalanan, aku membayangkan orang tuaku
pulang, aku kangen banget sama mereka. Sesampainya di sekolah, aku dan Rifqi
memarkirkan sepeda. Karena aku dan Rifqi berbeda kelas, kami pun berpisah. Aku memasuki
kelas dengan wajah senang. Namunn hatiku langsung sedih saat mendengar teman temanku
yang sedang membahas ke mana mereka akan pergi jalan-jalan bersama keluarganya. Mereka
saling bertanya satu sama lain,
“Kalian mau berlibur dimana?”
“Aku mau berlibur ke pantai bersama keluargaku” Ucap Dewi.
“Kalo aku mau berlibur ke bali, keluargaku sudah merencanakannya dari jauh jauh hari”
Ucap Samsul dengan penuh semangat.
“Wahh kalian sudah merencanakanya yaa” ucapku dengan tersenyum,didalam hati aku
sebenarnya iri pada mereka.
“Kalo kamu steve mau ke mana liburan semester ini?” Tanya mereka
“Aku belum menentukannya sih, karna aku masih menunggu kabar kepulangan orang
tuaku,” Ucapku sambil menahan rasa sedih

An Anthology of Time | 119


“tetap semangat oke. nanti kami bawakan oleh oleh deh,”teman temanku
menyemangatiku
“baiklah, terimakasih teman-teman” ucapku sambil tersenyum.
Bel masukpun berbunyi, kami semua pun duduk di tempat masing masing. Tak
berlangsung lama wali kelas kami masuk, ia mengatakan bahwa liburannya sampai 3 minggu,
sontak semua murid yang ada dikelas bergembira. Akupun ikut gembira karena libur 3
minggu itu cukup lama. Namun aku masih tidak tahu mau melakukan hal apa saat liburan
nanti, karena aku masih belum mendapatkan kabar dari orang tuaku. Aku sempat berpikir
untuk bermain dengan adikku saja di rumah sambil membantu nenek. Wali kelas juga
berpesan untuk jaga keselamatan saat kita berlibur, setelah mengumumkan wali kelasku
langsung keluar. Dan langsung suasana di kelas ramai. Teman temanku semua cerita
pengalaman liburannya kemarin, sangking serunya waktu berjalan dengan cepat. Beberapa
saat itu bel pulang pun berbunyi, dan teman temanku semua bersiap untuk pulang.
“sampai jumpa di semester depan teman teman, semoga liburannya menyenangkan,”
Ucap ketua kelas.
“jangan lupa bawa oleh olehnya yaa” saut samsul dengan tertawa.
Lalu aku dan teman temanku pulang, seperti biasa aku pulang bersama sahabatku yaitu
rifqi. kami pulang naik sepeda, aku menunggu di depan kelasnya. Rifqi menyuruhku untuk
menunggu di parkiran. Aku langsung meng iyakan dan bergegas ke parkiran. Sambil
menunggu rifqi keluar aku beli makanan di kantin tepat sebelah parkiran. Tak lama kemudian
rifqipun keluar dari kelasnya. Segera aku menghampiri rifqi dan langsung ke parkiran untuk
mengambil sepeda. Dan langsung pulang, di perjalanan pulang kami membicarakan tentang
liburan, katanya rifqi akan pulang kampung ke rumah neneknya bersama keluarganya dan
disana dia dan keluarganya akan menghadiri pernikahan saudara jauhnya, lalu dia juga akan
menginap di rumah neneknya selama liburan ini, terlihat menyenangkan rencana liburan yang
di ceritakan rifqi, aku pun membayangkan aku berlibur ke rumah orang tuaku diluar kota,
disaat aku membayangkannya tak sadar bahwa sepedaku menabrak pohon di jalan, aku pun
terjatuh. rifqi pun sontak kaget melihatku menabrak pohon lalu dengan cepat membantuku.
ripqi membantuku untuk berdiri,
“kamu gak papa steve?”
“gak papa kok rif, cuman luka kecil dilutut aja sihh” ucapku, sambil berusaha berdiri
“sakit gak? Duduk aja dulu,” ucap rifqi sambil memengang tanganku.
“nggak kok riff,” ucapku sambil menahan rasa sakit.
“ohh yaudah, tapi bagaimana bisa kamu menabrak pohon sebesar itu” ucap rifqi sambil
terheran heran.
“tadi terlalu asik kita ngobrolnya jadinya, aku gak fokus ada pohon di situ jadi nabrak,”
ucapku sambil tertawa.
Kamipun duduk sebentar di sekitaran pohon itu. Tak lama dari itu kamipun lanjut pulang,
aku pun berpisah dengan rifqi, rumahnya memang sejalur dengaku tapi agak jauh dari
rumahku. sesampainya dirumah, aku langsung meletakkan sepedaku dan juga sepatuku di
teras rumah, karena dirumah terlihat sepi, aku pun langsung bergegas ke kamar mandi untuk
membasuh lukaku. saat selesai membasuh luka. Aku langsung ganti baju dan menutup lukaku
pakai hansaplast. lalu datanglah kakakku menanyaiku kenapa ada luka di lututku, lalu aku
menceritakan kejadianku tadi saat perjalanan pulang sekolah. kakakku langsung

An Anthology of Time | 120


menertawakaku dengan kencang, aku pun kesal Karena kakakku menertawakanku lalu aku
bergegas ke kamarku dan mengunci pintu kamar. Menjelang Shalat maghrib. Aku bersiap ke
masjid untuk Shalat magrib, Nampak adikku yang sudah siap untuk Shalat ke masjid, lalu
kamipun berangkat bersama. Setelah selesai Shalat kami pulang. Di perjalanan pulang dari
masjid kami memutuskan untuk berlomba lari yang tercepat sampai rumah akan membelikan
jajanan ke yang pemenang. Aku dan adikku langsug berlari sekencang kencangnya, yang
pertama kali sampai rumah adalah aku. Namun adikku menyela karna merasa di curangi saat
start lari duluan. Memang saat start aku lari duluan jadi Kamipun sepakat membatalkan
persyaratan tadi. Lalu Kamipun masuk rumah dan langsung mengaji bersama kakakku di
ruang tamu sampai menjelang isyak. saat akan pergi ke masjid untuk Shalat isyak aku dan
adikku bertemu dengan rifqi di depan rumah, kamipun berangkat bersama. Di perjalanan ke
masjid kami menceritakan tentang kejadian tadi saat lomba lari pada rifqi. Sesampainya
masjid kami wudhu dan langsung Shalat. setelah selesai Shalat isyak kami pulang ke rumah,
di perjalanan pulang kami berlari karena kaget mendengar suara yang menyeramkan,
sesampainya di rumah kakak dan nenek sudah menyiapkan makan malam.
“steve sini makan cepet,nanti keburu di habisin sama kakakmu ini,” Ucap nenekku
Aku dan adikku langsung bergegas makan malam, makanan masakan nenek selalu enak
aku langsung menghabiskan makanan itu lalu aku bertanya kepada nenek
“nek, abi dan umi kapan pulang? kan ini sudah libur semester,” Ucapku sambil berharap
kedatangan mereka
“loh,kakakmu gak kasih tahu yaa. Hari ini orang tua kalian pulang mungkin tengah
malam datangnya” ucap nenekku.
“Nanti kita juga akan menginap ke rumah yang di sana lohh,” saut kakakku sambil
mengiming imingiku.
Mendengar perkataan nenek dan kakakku, sontak aku dan adikku gembira mendengar
kabar ini.
“yeeey, kita akan jalan jalan ke luar kota,” ucap aku dan adikku dengan wajah gembira
“cepetan makannya, lalu siapkan baju baju kalian” ucap nenek.
Aku dan adikku langsung cepat cepat mencuci piring. Kemudian kami menyiapkan baju
baju yang harus dibawa untuk pergi ke luar kota, sampai tas kami penuh dengan pakaian.
Tidak hanya Aku bahkan kakak dan adikku pasti sudah tidak sabar bertemu orang tua kami,
sudah lama kami menantikan hari dimana kami dan orang tua kami rekreasi bersama sama.
Aku dan adiku membicarakan tentang liburan kali ini kita akan pergi jalan jalan ke mana.
Nenek menyuruh kami cepat tidur agar bisa bangun pagi pagi. Tak lama dari itu Kami
langsung bergegas ke kamar dan langsung tidur. Terlalu senang dengan kabar ini sampai
sampai Aku bermimpi jalan jalan ke luar kota dan kumpul bersama orang tuaku. Tiba tiba
Aku terbangun dari mimpiku, saat itu tengah malam dan ada yang mengetuk jendela
kamarku. Aku membuka jendelaku Nampak ayahku memanggilku dan menyuruhku
membuka pintu depan. Aku langsung bergegas membukakan pintu depan, di depan aku
melihat mobil terparkir di depan halaman dan Nampak ibuku yang sedang menunngu aku
untuk membukakan pintu depan. Sontak Akupun membukakan pintu dan langsung memeluk
ibuku karena rasa rinduku menunggu kedatangan mereka. Aku melihat mereka membawa
barang bawaan dari luar kota dan aku membantu mereka membawakan barang bawaan dari
luar kota itu lalu menaruhnya di kamar tamu. Setelah selesai memindahkan barang

An Anthology of Time | 121


bawaannya. lalu aku pun lanjut tidur karena masih sangat kantuk. Pagi harinya aku bangun
untuk Shalat subuh bersama adikku ke masjid. Setelah Shalat kamipun pulang. Sampai rumah
Nenek menyuruh kami untuk membelikan nasi bungkus buat ayah dan ibuku, kami segera
pergi membelikan nasi bungkus di pasar, saat tiba di pasar kami membeli lauk dan beberapa
jajanan untuk bekal kami saat berangkat, setelah selesai kami pulang ke rumah. Sesampainya
di rumah Ayahku dan ibuku sudah menunggu nasi bungkusnya karena sudah lapar, lalu
kamipun sarapan bersama sambil membahas liburan kali ini.
“steve, kamu jadi ikut gak ke luar kota? adikmu dan kakakmu sudah semangat ikut nihh”
tanya ayahku
“yaa ikutlah, masa kakak sama adik ikut aku nggak” ucapku dengan mengerutkan kening.
“ya udah sana cepet mandi, kita akan berangkat pagi ini biar gak macet di jalan” ucap
ayahku.
“kita akan jalan jalan ke mana nihh” ucapku dengan gembira.
“ rahasia”. saut ayahku sambil tersenyum
Aku sedikit kesal dengan jawaban dari ayahku, padahal aku sangat penasaran tentang
acara liburan kali ini. Selesai makan aku membantu nenek membereskann meja makan, lalu
Aku pun langsung bergegas mandi karena kamar mandi dirumah nenekku hanya satu jadi
kami bergantian saat akan mandi. Setelah mandi Kami segera kemas kemas dan meletakkan
barang bawaan kami ke bagasi mobil, tak lama kemudian setelah beres beres kami
berpamitan dengan nenek. lalu berangkat naik mobil, kami memutuskan masuk jalan tol agar
terhindar dari macet, sebelum masuk tol ayahku berhenti di indomaret, aku ikut ayahku
masuk ke indomaret untuk mengisi saldo kartu e-toll agar bisa masuk aku juga membeli
beberapa makanan untuk di jalan nanti. Setelah selesai membayar, kamipun melanjutkan
perjalanan. saat memasuki tol ayahku menempelkan kartu e-toll untuk masuk, aku tak sengaja
lihat isi saldo kartu e-tollnya yang sangat banyak, lalu aku bertanya pada ayahku kenapa
saldonya begitu banyaknya, ia menjawab”karena perjalanan kita jauh maka kita harus
mengisi banyak saldo agar kita tidak habis saldonya saat mau keluar toll nanti kita tidak bisa
keluar”. sepanjang jalan tol aku melihat banyak sawah sawah yang hijau asri dan udara yang
sejuk, ada gunung gunung yang menjulang tinggi dan langit cerah, di tengah perjalanan aku
marasa lapar lalu aku membuka salah satu makanan untuk mengisi perutku, tidak lupa aku
membagi makanan ke kakak dan adikku, karena merasa bosan ayahku menyalakan music
untuk menyenangkan suasana di mobil. Ketika Aku melihat jam sudah waktunya Shalat
duhur, kamipun berencana untuk berhenti terlebih dahulu di rest area dan kami menjamak
Shalat sembari istirahat sebentar. Aku dan adikku berkeliling rest area melihat banyak mobil
mobil bagus terpakir disana, sebelum berangkat lagi aku dan adikku pergi ke toilet karna saat
di perjalaan kami tidak bisa ke toilet.
Setelah selesai ke toilet aku dan adikku bergegas ke mobil, kamipun melanjutkan
perjalanan, kami keluar masuk tol berulang kali mengingat perjalanannya yang jauh. Saat
matahari sudah mulai terbenam aku melihat pemandangan yang sangat indah air sungai
berwarna kuning yang memanjakan mata. Tidak lupa aku menyempatkan untuk memotret
pemandangan saat itu sebagai kenangan. Karena merasa kantuk aku pun tertidur pulas di
mobil saat di perjalanan. Lalu aku terbangun karena aku lapar, aku meminta ibuku untuk
membukakan bekal untuk di makan, ternyata saat aku tertidur kakak, adikku, ibuku dan
ayahku makan, makanya saat ibuku membukakan bekalnya tersisa sedikit, tetapi itu sudah

An Anthology of Time | 122


cukup untukku mengisi perutku. Saat malam hari adikku, kakakku dan ibuku tertidur, jadi
aku menemani ayahku selama perjalan ini, bintang bintang menyinari gelapnya malam hari.
Suasananya dingin sampai aku harus memakai selimut untuk menghangatkan tubuhku. Tak
lama kemudian aku pun tertidur. Karena tertidur pulas tak terasa bahwa kami sudah sampai di
rumah yang ada di luar kota. Sesampainya Aku dibangunkan oleh ayahku.
“heyy steve bangun, kita udah sampai di rumah” ucap ayahku sambil mengoyangkan
tubuhku.
“huh, apa udah sampai?” sautku yang masih mengantuk
“udah, sini batuin abi buat angkat barang barangnya” ucap ayahku sambil membukakan
bagasi mobil
“iya iya sebentar” sautku sambil mencoba berdiri.
Aku dan ayahkupun membawa barang barang termasuk pakaianku. Tepat di depan rumah
“aduhh kunci rumah dimana ya? Coba tanyakan umi siapa tau dibawa,” Ucap ayahku
“gimana si kok ga bawa kunci rumah” sautku dengan kesal
Akupun kembali ke mobil dan membangunkan ibuku lalu meminta kunci rumah, ibuku
langsung bangun dan memberikan kuncinya lalu membangunkan kakak dan adikku, setelah
mendapatkan kunci rumah aku langsung bergegas kembali ke rumah dan membukakan pintu
rumah, lalu aku dan ayahku memasukkan barang barang ke rumah, setelah selesai aku pun
langsung ke kamar lalu tidur karena masih mengantuk. Di pagi hari aku bangun untuk Shalat
subuh, setelah Shalat subuh aku keliling di sekitaran komplek rumah, saat itu suasanya dingin
dan juga sepi tetapi aku pensaran jadi aku jalan mengelilingi komplek. Tak terasa matahari
sudah mulai terbit, jadinya aku pulang ke rumah. Ibuku sudah menyiapkan makanan untuk
sarapan, kakakku dan adik adikku sudah bangun, kamipun sarapan dan mulai merencanakan
liburan untuk besok.
Semua sepakat kita akan pergi ke ancol, kita akan pergi ke tempat sea world ancol disana
banyak sekali jenis ikan, aku sangat suka sekali dengan ikan, aku membayangkan ikan ikan
disana yang bermacam macam keindahannya salah satunya ikan duyung. Aku sangat tidak
sabar untuk besok. Sebenarnya aku ingin berangkat hari ini Karena baru datang ayahku masih
capek. Jadinya berangkatnya besok pagi pagi sehabis Shalat subuh. Akupun bersantai di
rumah. Sore harinya aku di ajak ayahku untuk mencari lauk untuk makan malam nanti, tak
lama dari itu kami berhenti di sebuah warung kami membeli ayam goreng lalu pulang. Dan
malamnya aku bermain dengan adikku, lalu karena capek bermain kami pun tidur.
Pagi pagi aku di bangunkan oleh ibuku, ibuku menyuruhku untuk Shalat subuh dan
mandi, air disini tidak terlalu dingin dibandingkan di rumah nenek, jadi aku tidak kedinginan
saat mandi di pagi hari. Setelah mandi aku langsung Shalat subuh. Setelah itu aku membantu
ibuku menyiapkan bekal untuk perjalanan nanti. Setelah selesai aku menunggu yang lainnya
selesai mandi. Tak lama kemudian kamipun berangkat naik mobil. Suasana saat diperjalanan
sangat sejuk, aku melihat sekitar pemandangannya sangat bagus untuk wilayah yang padat,
saat ditengah perjalanan aku melihat gedung gedung yang sangat besar berjejer, terlalu asik
melihat sekitar tak sadar bahwa kami sudah sampai di tempat yaitu ancol. Setlah
memarkirkan mobil kamipun turun dan langsung ke loket untuk membeli tiket, saat kami
masuk kami diberi gelang penanda, di ruangan pertama kita banyak ikan air tawar yang
berukuran sangat besar, aku sangat senang ketika melihat ikan ikan berenang apalagi yang
ukurannya besar, kamipun langsung melanjutkan mengelilingi semua ruanngan disana, disana

An Anthology of Time | 123


terdapat ikan air tawar dan juga ikan air laut, berbagai macam bentuk dan keunikann yang
dimiliki ikan ikan tersebut, aku melihat ada orang orang berkumpul, aku penasaran jadi aku
pun mnghampiri mereka, ternyata terdapat kolam yang berisikan hiu dan bintang laut, mereka
sedang mencoba menyentuh ikan hiu dan bintang laut, aku pun sontak mencoba memegang
bintang laut, kukira bintang laut tubuhnya lembek ternyata tubuhmya sangat keras aku
sempat mengira ini adalah cuman batu hiasan saja ternyata saat kulihat kakinya bergerak
gerak, sontak aku kaget dan langsung menaruhnya kembali, sangking asyikkan melihat ikan
hiu dan bintang laut aku terpisah dengan keluargaku, aku panic langsung mencari keluargaku,
berkeliling ke sana kemari masih saja tidak menemukan mereka, aku pun hampir menangis
saat itu, karena nihil aku pun mencoba untuk keluar ruangan tersebut dan benar saja
keluargaku mencariku, setelah itu kamipun pulang.
Di tengah perjalanan, karena kami merasa lapar jadi kami memutuskan untuk mampir ke
rumah makan, di sana kami makan dan Shalat, setelah selesai makan kami pulang.
Sesampainya di rumah kami tidur karena kecapekan. Paginya ayahku dan ibuku langsung
berangkat bekerja, mereka sudah memberi uang saku dan makanan untuk sarapan, setelah
Shalat aku langsung tidur tiduran sambil mengingat ingat betapa serunya kemarin, sayangnya
itu kesenangan ini hanya berlangsung sebentar, tiap hari setelahnya orang tuaku sibuk
berkerja, mereka pun pulangnya sore hari, karena bosan hanya diam terus di rumah dan
nggak melakukan apa pun, aku menanyakan kepada meraka kenapa bekerja walupun liburan
semester, mereka bilang harus bekerja biar bisa menyekolahkan kami, aku berpikir mereka
sudah tidak menyayangi anaknya karena tidak mau menemani walaupun hari libur, kesokan
harinya seperti biasa mereka berangkat kerja, begitu seterusnya sampai hari libur hampir
selesai. karena harus masuk sekolah kamipun menyiapkan pakaian yang akan dibawa pulang,
tidak lupa oleh oleh untuk nenek dan teman teman. Setelah siap, kami menunggu ayah dan
ibuku pulang. Dan ayahku langsung membelikan tiket untuk pulang karena jadwalnya mepet
dengan kerjaannya. Kita dapat tiket besok pagi, jadi aku harus tidur awal, besoknya aku
bangun lalu Shalat dan langsung mandi. Setelah selesai aku membantu ibuku menyiapkan
bekal untuk perjalanan pulang kami. Setelah siap kamipun berpamitan dengan ibuku, rasanya
begitu cepat waktu yang berlalu, aku pun pulang, di perjalanan aku sedih karena harus
meninggalkan ibuku dan ayahku lagi mengingat orang tuaku yang sibuk bekerja sehingga tak
banyak waktu yang sempat saat bersamanya. Sempat berfikir juga Karena kegoisanku juga
yang membuat ibuku dan ayahku hatinya terluka, sebenarnya aku hanya ingin menghabiskan
waktu liburan bersama mereka. Pemandangan malam hari pada saat perjalanan pulang juga
mengingatkanku saat serunya perjalanan berangkat ke luar kota. Akupun tertidur saat
perjalanan pulang. Kemudian aku dibangunkan oleh ayahku karena sudah hampir sampai,
jadi aku membangunkan kakakku dan adikku untuk bersiap siap.setelah sampai rumah aku
pun langsung mengetuk pintu dan nenek langsung membukakannya, kami tiba saat itu saat
subuh, karena masih kantuk, setelah memasukkan barang barang, aku pun langsung ke kamar
dengan berjalan sempoyongan lalu tidur. Saat bangun aku sudah tidak melihat ayahku, kata
nenek ayahku langsung pulang setelah sarapan pagi. Aku sedih karena tidak sempat
mengucapkan hati hati ke ayahku. nenek menyemangatiku untuk tetap tersenyum, kata nenek
orang tuaku pasti sayang pada aku, kakakku, dan juga adiku, mereka berkerja keras supaya
kami bisa makan enak dan bisa sekolah. Setelah mendengar perkataan nenek aku sadar bahwa
orang tuaku sibuk bukan karena mereka tidak sayang padaku tapi mereka ingin

An Anthology of Time | 124


membahagiakanku, kakakku dan adikku. Ini merupakan kenangan terindahku bersama
mereka.

An Anthology of Time | 125


Sepucuk harapan
Muhammad Madini F.

Kisah hidupku sangat berbeda dengan kalangan remaja lainnya, disini aku suarakan dalam
bentuk rangkaian kata-kata yang indah. Menurut pepatah tak kenal maka tak sayang dan
perkenalkan namaku adalah Muhammad Madini Farouq, tak lain semua orang biasa
memanggilku dengan sebutan Adin. Sejak kecil aku tinggal bersama nenek di Kabupaten
Lumajang, hanya seorang nenek yang menemani di setiap hari hariku. Aku merupakan salah
satu siswa di SMAN 2 Lumajang, itu sekolah yang terbaik di kabupatenku. Meskipun aku
siswa yang tidak begitu pintar di sekolah, nilai yang buruk selalu kudapatkan setiap hari,
diriku pun sadar kalau itu adalah awal dari kisahku.
Orang tua beserta kakak dan adikku tinggal diluar kota. Ibuku hanyalah seorang ibu rumah
tangga yang tidak bekerja dan diam dirumah. Dan juga seorang ayah yang hanya bekerja
sebagai karyawan di salah satu toko roti, pendapatannya sangat tidak memungkinkan untuk
memberiku biaya pendidikan, aku pun sadar akan hal tersebut. Benar sekali aku memiliki
seorang kakak, tetapi ia memiliki penyakit autis yang membuatnya tidak berakal sejak lahir.
Dan juga seorang adik perempuan kecil yang tidak begitu pintar dalam hal sekolah, tetapi
pandai dalam menghafal Al Qur'an.
Aku sejak kecil hanya hidup berdua dengan seorang nenek, setiap hari aku diasuh dengan
penuh kasih sayang olehnya. Orang tua beserta kakak dan adik tinggal diluar kota, yang
membuatku jenuh setiap hari. Akan tetapi aku tidak sedih dengan begitu saja, karena
memiliki seorang nenek yang sudah ku anggap sebagai pahlawan.
Hidupku sangat miris sekali, tidak seperti kalangan remaja lainnya aku hidup dengan
ekonomi yang sangat mengenaskan. Setiap bulan hanya diberi uang sebesar Rp 300.000
membuatku jarang beli makanan di kantin sekolah. Tidak lupa juga, bersyukur sekali aku
diberi bekal nasi oleh nenek setiap hari. Uang tersebut hanya aku gunakan untuk kebutuhan
pokok, seperti membayar uang kas, spp dan juga kerja kelompok.
Pada suatu saat di pagi hari, saat aku sarapan sebelum berangkat sekolah nenekku berkata
"Belajar yang rajin supaya dapat beasiswa karena orang tuamu tidak punya uang banyak
untuk kuliah, semoga saja bisa menjunjung nama orang tuamu"
seketika akupun menjawab "Entahlah kalau soal itu, aku masih pasrah dengan diriku sendiri".
Lalu aku pun berangkat sekolah seperti biasanya, sekolah yang hanya datang dengan mengisi
absen harian dengan nilai buruk yang kudapatkan setiap hari. Lalu pada malam harinya
akupun berpikir
"Sampai kapan begini terus?"

An Anthology of Time | 126


hal tersebut tiba-tiba muncul di pikiranku yang membuatku semakin ragu untuk kedepannya.
Memang aku masih ragu akan hal cita-cita karena tidak yakin akan keadaan ekonomi untuk
biaya kuliah.
Pada malam hari selanjutnya akupun melihat jadwal mata pelajaran yang ternyata besok
hari Selasa ulangan harian kimia dan juga fisika, aku sangat tidak bisa dalam 2 mata pelajaran
tersebut. Lalu tanpa belajar akupun tidur karena rasa malas akan pelajaran yang tidak ku bisa,
dan akupun tertidur tanpa belajar. Keesokan harinya di sekolah ulangan pun dimulai, benar
sekali aku tidak mengerjakannya sama sekali. Aku sangat kebingungan saat itu, dan setelah
semua dikoreksi ternyata semua mendapat nilai 40. Aku tidak kaget akan hal tersebut, karena
dengan nilai itu sudah biasa kudapatkan setiap hari.
Hidup dalam keraguan dalam diriku, lara yang tidak bisa dirasakan lagi. Bagaimana
kuliahnya, bagaimana masa depannya, bagaimana membuat keluarga bangga. Semua
kurasakan sendiri karena aku satu-satunya yang diharapkan dalam keluarga, mengingat ibu
juga pernah bilang
"Sekolah yang benar, belajar yang rajin din, kalau bukan kamu siapa lagi yang membawa
nama baik keluarga ini"
Semua kesedihan ku pendam sendiri, diri yang penuh hampa akan harapan dan juga
keraguan.
Pada suatu siang hari, orang tuaku pergi ke rumah nenek untuk menjengukku. Ketika ngobrol
dengan ayah ia berkata
"Kamu tidak usah berpikir untuk biaya kuliah, yang penting fokus belajar supaya
mendapatkan nilai yang maksimal dan bisa mengejar beasiswa kuliah"
tak sampai disitu aku menjawab "Yaah nilaiku selalu buruk, aku tidak yakin soal kuliah,
apalagi beasiswa kurasa aku tidak pantas untuk mendapatkannya"
ayahku pun melanjutkan "Jangan begitu harus tetap semangat, masih ada masa depan yang
kau genggam dan jangan menyerah sebelum perang, jangan lupa akan hal itu"
Akupun melanjutkannya "Yaah akan aku usahakan sebisa mungkin, bismillah aja"
Hari demi hari ku lalui dengan harapan yang menggantung hidup yang datang selalu hampa
akan harapan keluarga. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana, dipandang sebelah mata sudah
kurasakan setiap hari. Seorang laki-laki yang memikul beban keluarganya, takut akan
kegagalan dikemudian hari. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana hidup bagaikan air yang
terbawa arus, hidup ialah hidup dengan penuh rasa keraguan.
Sangat mustahil bagiku untuk les privat, karena tidak ada biaya untuk hal tersebut. Dan
juga setiap malam aku belajar ilmu agama di pondok pesantren Al Ishlah yang membuat
waktu belajar sangat berkurang bagiku. Setiap pulang dari pondok biasanya aku hanya
bersantai di kamar dengan bermain hp lalu tertidur. Sangat malas bagiku untuk belajar di
malam hari, yaa aku pasrah dengan nilaiku di sekolah.

An Anthology of Time | 127


Hidup tanpa dampingan orang tua, hidup hanya di ruang sunyi yang penuh kegelisahan.
Seorang nenek yang semakin hari semakin tua, apalah dayaku hanya seorang lelaki yang
tidak berguna dan hidup dengan penuh masalah. Terkadang juga iri dengan kehidupan orang
lain, mereka hidup sangat bahagia, memakai motor yang bagus, pergi ke tempat wisata.
Sedangkan aku sekolah saja masih jalan kaki, dan juga aku tidak punya uang untuk bermain
seperti mereka yang hidup bahagia karena orang tuanya kaya akan harta. Setiap hari aku
hanya diam di rumah menemani seorang nenek yang kian sendirian, yaah hanya aku seorang
yang menemaninya. Sering juga aku ditinggal sendiri karena nenek memiliki banyak acara
pengajian dengan temannya. Hidupku sunyi tak bersuara, hatiku terkikis tanpa arah, tidak
tahu harus kemana dan bagaimana.
Kian hari akupun semakin bosan dengan hidup yang begini terus. Entah harapan apa yang
diberikan kepadaku, tidak pintar dalam segala hal dan juga tidak punya biaya untuk segala
bidang. Diriku hanya pasrah kepada Allah SWT hanya kepada tuhan semesta alam ku
berpasrah. Hidupku saat ini mungkin merupakan pelajaran untuk kedepannya.
Pada suatu hari aku pergi ke rumah pamanku, dia tak lain adalah dosen di Universitas Islam
Jember, dengan memberi beberapa motivasi ia berkata

"Kejar terus prestasi di sekolah, kalau bisa nilai jangan sampai turun harus mendapat nilai
dengan rata-rata diatas 90. Hanya kamu di keluarga yang bisa diandalkan, jangan berkecil
hati dengan keadaanmu saat ini, kamu harus menerjang ombak dengan penuh percaya diri".
Dengan kata-kata itupun hatiku mulai tertarik dengan hal tersebut, hidup hanya aku seorang
yang menjalani, yang menentukan sukses atau tidak itu semua bergantung padaku mau usaha
apa tidak. Setiap masalah pasti ada jalannya, meskipun jalan yang kulalui sangat sulit sekali,
terkikis rasanya hatiku dengan keadaan yang saat ini.
Pada malam hari, saat hujan turun membasahi semesta. Di atas papan kasur, dua orang
sedang mengobrol di kesunyian malam. Yah aku dan nenek mengobrol di malam yang tenang
itu, nenek berkata
"Hidup itu ujungnya hanya kematian, jangan terlalu larut dalam kesedihan, jalani semua
dengan penuh sabar dan ibadah sesungguhnya Allah itu menyertai seseorang yang sabar dan
selalu sholat. Semangat terus dan berusaha dengan sebaik mungkin setiap hari"
aku pun langsung menjawab"Iyaa aku mulai semua dengan bismillah karena Allah, aku akan
selalu berusaha dan ikhtiar untuk mendapatkan yang terbaik di hidupku"
Di kesunyian malam yang menyertai diriku dengan penuh hampa.
Hari semakin hari ku perbaiki hidupku dengan sedikit demi sedikit. Rasanya semesta
mengajarkanku untuk menjadi kuat menjadi permata diantara batu biasa. Kian hari hidup
kujalani dengan penuh ketenangan. Kerinduan kepada keluarga yang tak bisa diucapkan lagi,
berusaha mewujudkan harapan yang selama ini ku rasakan.

An Anthology of Time | 128


Beberapa hari berlalu hidupku kini lebih tenang dan damai, meskipun kekurangan yang
banyak masih kumiliki. Hidup di dunia hanyalah sementara, jadi ku perjuangkan semua hal
dengan semampuku disertai dengan doa dan ikhtiar. Setiap masalah pasti ada solusinya,
setiap hidup yang berat juga pasti ada kebahagiaan yang sedang menunggu di depan.
Kini setiap hari aku belajar setiap mata pelajaran yang tidak kubis, kalau soal kuliah akan
aku usahakan untuk mencari beasiswa nantinya, sekarang aku pun berdiri di bumi pertiwi ini
dengan penuh percaya diri. Meskipun aku dikelilingi oleh orang baik yang sedikit, semesta
memang keras kepadaku tapi akan ku lawan itu semua dengan penuh keyakinan
Seorang nenek yang selalu ada di sampingku, aku akan membahagiakannya kelak suatu
saat nanti. Takkan ku sia-siakan perjuangannya dalam mendidikku selama ini, dia lah
pahlawan dalam hidupku, yang selalu menemani dalam kesedihan. Akan ku buat bangga
dengan kesuksesan di masa depan.
Terdapat orang tua yang menaruh harapan padaku dan juga nenek yang sudah tua
menemaniku. Aku harus hidup dengan penuh percaya diri, aku pasti bisa melewati semua
rintangan ini. Memang tidak mudah bagiku menjalani semua ini, biarlah semesta berkata.
Senja juga mengajarkanku bahwa sebesar apapun masalahnya pasti akan selesai juga
bagaikan matahari yang hilang tertelan bumi.
Sedikit pesan dariku yang ku tuangykam dalam kata-kata ini, janganlah pernah menyerah
apapun yang terjadi meskipun semesta menolakmu hadir dan alam membencimu tetaplah
semangat dalam menjalani hidup bagaimanapun sulitnya. Serta jangan lupa untuk
mensyukuri dan menghargai yang kamu miliki karena semua sudah diatur oleh Tuhan
semesta alam dengan takarannya masing-masing, Tuhan sudah adil kepada kita semua hanya
saja belum waktunya. Semangat selalu diriku dan juga kalian, semoga semesta selalu
memihak kepadamu dan semoga bumi pertiwi selalu mendengar keluh kesahmu.

An Anthology of Time | 129


Gara-Gara Hujan
Muhammad Nashif A. R.

Raffi masih tergeletak di tempat tidurnya. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul
06.00 pagi.
“Raffi bangun nak! Nanti kamu terlambat pergi ke sekolah!”, terdengar suara Ibu Raffi
dibalik pintu kamarnya.
“Mmm...!”, Raffi hanya bergumam sambil menutup seluruh badannya dengan selimut
dan melanjutkan mimpi indahnya yang sempat tertunda.
“Rafi bangun, sudah jam berapa iniii....! Apa kamu tidak sekolah sekarang, nanti kamu
telat ke Sekolah lho!”, kata Ibu untuk kesekiankalinya.
Ibu pun menepuk-nepuk dengan pelan punggung Raffi, tapi Raffi tak juga bangun. Ibu
pun meminta tolong kepada Nisa untuk membangunkan adiknya Raffi karena ibu harus
menyiapkan sarapan untuk mereka.
Bagi Nisa dan Raffi sosok Ibu, dialah perempuan nan tertangguh. Ibu, dialah perempuan
yang paling sabar, memberi maaf saat Nisa dan Raffi bersalah, membumbui mereka dengan
bekal dan menghadiahkan mereka nasihat-nasihat terindahnya.
Sedang Ayah mereka jarang di Rumah. Ia sibuk dengan pekerjaannya sebagai koki masak
di kapal dan kadang pulang setahun sekali bahkan lebih dari setahun. Ayah Nisa dan Raffi
sangat baik dan merupakan sosok Ayah yang bertanggung jawab terhadap keluarganya.
“Tok! Tok! Tok! Raffi cepat bangun!”
“Tok! Tok! Tok! Ayolah adikku yang malas, bangun..!”, terdengar suara pintu kamar
Raffi diketuk berulang kali. Suara Nisa menyuruhnya bangun. Nisa adalah kakak dari Raffi
yang duduk di kelas 2 SMA, sedangkan Raffi masih duduk di kelas 3 SMP. Perbedaan umur
mereka yang tidak begitu jauh membuat ego dan keras kepala mereka hampir sama. Nisa
merupakan kakak yang baik tetapi usil kepada adiknya.
Raffi pun tersentak dari tidurnya ketika mendengar suara pintu yang keras. Wajahnya
yang kusut ditambah pipi dan tangannya yang berbekas-bekas seperti pakaian lama yang
terhimpit oleh pakaian- pakaian baru.
Akhirnya Raffi datang dengan setengah sadar, masih dalam mimpi indahnya.
“ibu, cantik sekali pagi ini, tak seperti pagi biasanya” puji Raffi.
“Ada apa denganmuu....!”, Nisa meniru salah satu lirik lagu band Peterpan untuk Raffi.
“Mengapa Ibu tidak membangunkan Raffi tadi?”. Ibu pun bingung mendengar
perkataannya. Mungkin karena dia mengantuk berat sehingga dia tidak ingat perkataannya
tadi Ibu sudah membangunkannya berulang kali.
Raffi pun segera ke kamar mandi dan mandi dengan terburu-buru karena dia takut telat
ke sekolah.
Setelah mandi dan berpakaian, ia bergegas menuju kemeja makan. Di sana sudah ada Kak
Nisa dan Ibu.
“Ayo Raffi kita sarapan..!”, Ibu segera mengambilkan sepiring nasi goreng dan telur mata
sapi kesukaannya.
“Ngomong-ngomong, mandinya kok cepat banget. Perasaan 5 menit yang lalu kamu baru
bangun tidur. Apa jangan-jangan kamu cuma basuh muka saja... Ihh... Jorok!”, kata Nisa
meledek sambil menggeser kursinya dari kursi Raffi. Raffi pun kesal oleh perkataan
An Anthology of Time | 130
kakaknya itu dan menumpahkan kekesalannya di meja makan dengan menolak piring makan
hingga hampir jatuh.
“Sudah Kak, jangan ganggu adikmu!”, kata Ibu kepada Nisa.
Nisa pun terdiam dan tersenyum kecil karena merasa puas berhasil meledek si adik.
“Iya dek, maafkan kakak ya..!”, ucap Nisa memohon maaf.
“Sarapan yang banyak ya dek, supaya cepat gemuk”, ucap Kak Nisa lagi untuk
meyakinkan Raffi kalau ia benar-benar bersalah.
Suasana pagi yang cerah berubah menjadi pagi yang diselimuti awan hitam ketika Nisa
kembali meledek Raffi. Ketika itu Raffi dan Nisa berangkat ke Sekolah bersama-sama
dengan berjalan kaki karena letak Sekolah Nisa dan Raffi dekat, sedangkan Ibu sudah pergi
ke pasar.
“Hmm... Namanya aja yang Raffi, tapi orangnya gak rapi, bersih. Mandi aja terburu-buru,
buku-buku berserakan. Cocoknya nama kamu tuh Joko alias ‘jorok kotor’..,”, ledek Nisa
kembali.
“Ukh... Tadi sok perhatian sagala! Pake acara minta maaf. Nah, sekarang aku diejek lagi
sama dia. Sekarang dimana-mana yang namanya anak tertua itu semuanya sama. Kalau gak
galak, ya sok ngatur, cari perhatian”, Raffi masih menyangsikan kasih sayang kakaknya yang
usil itu.
Setibanya di Sekolahnya Raffi, wajahnya masih murung dan kesal mengingat si Kakak
yang terus usil kepadanya.
Teeet.... Teeet.... Bel tanda dimulainya pelajaran pertama di Sekolah Raffi.
“Daf apa kau punya kakak atau abang di keluargamu? Apa kakak atau abangmu sering
usil kepadamu? Apaa.,”, Raffi terus bertanya dengan pertanyaan yang sama kepada salah satu
temannya.
“Punya, aku punya satu orang kakak dan satu orang abang. Tapi mereka gak ada yang
usil, semua baik-baik kepadaku”, jawab Daffa sedikit bingung dengan pertanyaan Raffi.
“Terry apa kau punya kakak ? Apa kakakmu usil kepadamu? Apa dia sering
mengganggumu?”, tanya Raffi panjang lebar.
“Ya”, jawab Terry singkat.
“Iya apanya...?”, tanya Raffi sedikit kesal.
“Ter, alasannya apa..?”, tanya Raffi sambil menggoyang-goyangkan bangku Terry.
Sejenak keadaan hening, bagai sunyi dalam keramaian. Semua murid terdiam dan
mengarahkan wajah mereka ke arah Raffi yang masih sibuk meminta Terry menjawab
pertanyaannya.
“Ehemmm”, kata Buk Guru.
Raffi hanya terdiam karena merasa dia diperhatikan oleh banyak temannya.
Kegiatan belajar pun dimulai...

***

Teeet...Teeet...Teeet...
Sekolah pun telah usai. Semua murid berhamburan keluar dari kelasnya masing-
masing.... Wajah mereka yang ceria walau dipenuhi peluh keringat di siang hari tidak
membuat mereka gerah dan bosan berada di Sekolah. Apalagi saat bel dibunyikan yang

An Anthology of Time | 131


menandakan saatnya mereka pulang ke rumah pertama dan meninggalkan rumah kedua
mereka, yaitu Sekolah.
Hari ini Raffi tak pulang bersama Nisa, karena Nisa pergi bersama temannya
mengerjakan tugas bersama temannya.
Raffi sepertinya sudah melupakan kejadian tadi pagi.
Setibanya di rumah...
“Assalamu’alaikum”, Raffi memberi salam pada orang di rumah.
“Wa’alaikumsalam, loh Kak Nisa mana..?”, tanya Ibu kepada Raffi.
“Katanya sih kerja kelompok, Bu”, jawabnya sambil menoleh ke arah meja makan.
“Bu, ada makanan?”, tanya Raffi kepada Ibu.
“Tidak ada Raffi. Tadi Ibu ke pajak, tapi Ibu tak beli makanan,”, jawab Ibu.
“Mengapa Ibu gak membeli?”, tanya Raffi lagi,
“Makanan di sana belum tentu sehat Raffi, lagi pula banyak makanan yang dijual di
dekat penjualan ayam potong, dekat trotoar. Kalau di tempat yang biasa Ibu beli itu sudah
gak jualan lagi..,”, jawab Ibu.
Raffi pun menghela nafas panjang. Ia tahu maksud sang Ibu yang tak ingin membeli
makanan yang tak sehat untuk anaknya.
Tibanya waktu makan siang...
“Nisa, Raffi, ayo makan...!”, kata Ibu yang meletakkan makanan ke atas meja.
Perut kosong dan pikiran yang dipenuhi kejengkelan membuat Raffi berjalan
sembarangan hingga ia tak sengaja membentur pintu kamarnya.
“Aghh.. Sakit banget, dasar dinding sialan”, keluh Raffi.
Hari ini Ibu menyiapkan lauk dan sayur yang sederhana yaitu sayur kangkung, Ikan teri
Medan, dan lauk lain kesukaan Raffi. Tapi kali ini iya tak menikmati makan siangnya itu.
“Raffi, dimakan sayurnya. Sayang kalau gak dimakan, mubazir,”, ucap Ibu yang
menyodorkan sayur ke piring makannya.
“Hmm..,”.
“Ada apa nak, kan Ibu sudah buat makanan kesukaan Raffi”, ucap Ibu lagi.
“Mungkin lauknya gak enak. Makan aja, sekali-kali makan ikan teri sama sayur aja
napa... Makan ayam sama daging udah bosan tahu... Cepat makan, nanti nasinya dingin”,
desak Nisa kepada Raffi.
“Ah... Kakak ini cara masalah aja..,”, ucap Raffi kesal.
“Ada apa Raffi...? Ada masalah di Sekolah Raffi?”, tanya Ibu.
“Bukan. Hari ini panas banget!”, kata Raffi bermuka kecut.
“Hah... Gak nyambung banget”, ucap Nisa.
“Oh, itu ajanya. Ya sudah hidupkan kipas angin”, kata Ibu.
“Gak, malas.,”, katanya singkat.
Raffi memang termasuk anak yang keras kepala dan kadang rajin, kadang malas. Kadang
kalau angin sejuk datang padanya, ia rajin membantu Ibu. Akan tetapi kalau yang datang
angin ribut, ia akan malas untuk membantu sang Ibu.
Hari ini Badai datang kepadanya, ditambah terik siang yang menyeka tubuhnya.
Keringat bercucuran bagai air terjun dari inti sungai tanpa hentinya.

***

An Anthology of Time | 132


Pagi ini, adalah jadwal piket pagi Nisa. Tanpa sadar ternyata jam sudah menunjukkan
angka 06.00, sementara Nisa harus datang sebelum pukul 06.45. Tanpa pikir panjang segera
saja Nisa mandi dan bersiap-siap. Nisa langsung menyambar tas sekolah birunya itu yang
merupakan hasil dari kerja kerasnya menabung. Padahal keluarganya termasuk dalam
kategori mampu. Hanya saja ia mencoba mandiri, tapi untuk beberapa saat. Aneh... Tapi
itulah dia, Nisa.
Segera ia pamit kepada Ibu. Sedang Raffi masih tertidur lelap dikamarnya.
Nisa melambaikan tangannya ke arah trotoar jalan. Kali ini ia akan naik ojek, karena
terjadi kemacetan yang panjang dari persimpangan jalan rumahnya sampai di perempatan
jalan Sekolahnya. Padahal ia bisa saja berjalan kaki, akan tetapi hal itu tidak mudah karena
kendaraan yang melalui jalan itu sangatlah besar dan dapat berbahaya bagi dirinya.
Oleh karena itu ia harus naik ojek walaupun akan melewati jalan pintas yang berlubang-
lubang dan akan menghabiskan sedikit waktunya karena akan berputar-putar.
“Makasih pak, ini uangnya”, katanya kepada tukang ojek itu.
“Kurang neng, masa cuma Rp. 5000, Neng? Tambahin Rp.2000 lagi napa! Zaman
sekarang mana laku. Hidup sekarang susah neng”, kata tukang ojek ngomel panjang lebar.
“BBM udah naik, masa cuma dikasih goceng mana cukup, tambahin lagi dah neng”,
desaknya lagi.
Tukang Ojek itu terlalu memaksa, membuat Nisa kesal. Padahal kalau Kak Nisa naik
becak dayung, ongkosnya bahkan tak sebesar ini. Paling cuma 3000 atau 4000. Seharusnya
kalau naik ojek ongkosnya agak murah sedikit karena tidak menggunakan jasa tenaga
manusia.

“BBM naik...? Siapa bilang. Nih tukang ojek tau aja kalau aku buru-buru. Kesempatan
banget mendesakku untuk memberinya lebih”, pikir Nisa dalam hati.
“Makasih ya pak...!”, kata Kak Nisa sambil memberikan ongkosnya pada tukang ojek
tersebut.
Tiba-tiba hujan turun. Nisa tak terlambat tiba disekolah walaupun jam sudah melewati
06.45 WIB.
***
Setibanya di Sekolah, Kak Nisa bertemu temannya, Vina namanya. Akan tetapi, Vina
acuh tak acuh terhadap Nisa.
“Kalau berpapasan di Sekolah, ia hanya tersenyum hambar, bahkan seperti menghindar
dariku”, ucap Nisa dalam hati.
Vina kesal terhadap sikap Nisa karena Nisa sering tak peduli apabila Vina meminta Nisa
menemaninya ke suatu tempat misalnya. Jarak antara mereka menjadi renggang karena sering
disebabkan jurusan yang mereka ambil berbeda. Nisa mengambil jurusan dibidang IPA,
sedang Vina mengambil jurusan dibidang Bahasa. Oleh karena itu mereka jarang bertukar
pikiran dan mengerjakan tugas bersama. Dan juga jarak ruang kelas mereka sangat jauh.
“Nis, ada apa denganmu...?”, kata Nisa.
“Hah...?”.
“Oh... Gak kenapa-napa”, jawab Vina pendek.
“Tapi...kok kamu kayak asing gitu padaku? Apa aku punya salah padamu..?”, tanya Nisa
lagi.

An Anthology of Time | 133


“Bukan gitu Nis, kita itu kayak ada tembok besar yang membatasi kita. Ngertikan...?”,
ucap Vina.
“Maksudnya Vin..?”, tanya Nisa bingung.
Setelah berbicara panjang lebar, mereka pun menyelesaikan masalah mereka secara
damai.
“Baiklah, maafkan aku bila aku sering tak acuh kepadamu”, ucap Nisa pada Vina.
“Iya, aku juga minta maaf kalau aku sering marah padamu”, ucap Vina dan memeluk
Nisa sebagai tanda kembalinya pertemanan mereka yang sempat renggang.

Bel Sekolah berbunyi, mereka kembali ke kelasnya masing-masing.


Di Sekolah, Nisa adalah siswa yang berotak biasa.
“Huh, aku memang tak jenius,” ucapnya dalam hati.
“Aku bahkan tak seperti temanku, Vina. Ia lebih pandai daripada aku. Ia bahkan dapat
menjadi penulis termuda di Sekolah. Ia memang berbakat”, ucap Nisa yang membandingkan
tingkat kepintarannya dengan temannya.
Saat itu Nisa sedang mengikuti pelajaran Bahasa Indonesia. Ia dan teman sekelasnya
diberi tugas oleh Bu Dina, seorang guru Bahasa Indonesia yang berparas cantik, muda, baik,
dan tinggi.
Nisa dan temannya diberi tugas untuk membuat cerpen yang harus dikarang sendiri.
Tugas ini untuk mengisi hari libur mereka menjelang UAN kelas 3.
“Anak-anak, kalian Ibu beri tugas untuk membuat sebuah cerpen yang dikarang sendiri.
Tema cerpen yang akan Ibu berikan tidak bebas. Setiap dari kalian akan diberikan tema
tersendiri oleh Ibuk”, kata Bu Guru.
Tentu kelas menjadi gaduh karena tugas ini akan mempersulit mereka, walaupun Bu Guru
sudah menentukan temanya.
Ada tema tentang persahabatan, pengabdian, penganiayaan, percintaan, perkembangan
zaman, pengorbanan, kehidupan, pendidikan, dan keluarga, pengalaman, dan tema-tema
lainnya yang membingungkan mereka.
Bu Guru tahu, bahwa bila siswanya diberi tugas mengarang cerita, kebanyakan dari
mereka akan membuat cerpen dengan tema percintaan dan persahabatan. Oleh karena itu
tema mereka dibeda-bedakan supaya bervariasi.
Walaupun demikian, beberapa dari mereka ada yang memiliki tema yang sama.
Bu Guru pun meninggalkan kelas karena ada rapat mengenai UAN kelas 3.
Mereka diberi tugas oleh Bu Guru. Mereka tak dipulangkan karena beberapa menit lagi
bel penanda pulang akan berbunyi.
“Kalian buat cerpen tentang apa ??”, tanya Nisa pada dua orang teman di depan
bangkunya..
“Entah... Bingung. Tema yang diberikan Bu Guru aja aku kagak ngerti”, ucap Ita sambil
menggenggam handphone barunya.
“Kalau kamu dis?”, tanya Nisa lagi pada teman yang satunya.
“tau ah... Suram. Bantuin dong...!”, ucap Gadis.
“Hey lihat aku punya lagu baru lho... Lagu terbarunya Westlife”, timpal Katy pamer.
“Waduh, gak nyambung nih anak... Lagunya Adele ada gak.. Hahaa”, timpal yang
lainnya.

An Anthology of Time | 134


Tiba-tiba kelas hening sejenak...
“aaaaahhhhh, gak tahu apa yang mau di ceritakan ini. Masa aku diberi tema tentang
keluarga..,”, teriak Nisa hingga membuat Sartika teman sebangkunya menatapnya sinis.
“agh.. Bikin terkejut aja ni anak...!”, ucap Sartika sedikit kesal.
“Hey ngapain stres sendiri, santai aja. Cerpen mah gampang...!”, ucap Randi sepele.
Siapa lagi kalau gak ketua kelas yang kelebihan hormon usil itu.
“Kan bisa cari di internet, susah-susah. Udah santai aja..,”, katanya lagi hingga memecah
konsentrasi Nisa dan temannya yang lain.
“Ahaaa... Bagaimana kalau kita buat cerpen tentang Artis Korea. Sekarangkan sedang
marak-maraknya,”, teriak Geby sehingga membangunkan penduduk satu kampung. Ahh,
maksudnya mengejutkan seisi kelas.
Teriakan Geby disambut dengan anggukan teman-teman di sekitarnya.
“Ssstt, Ericha mau nulis cerpen tentang apa..?”, tanya Nisa.
“Mau buat cerpen percintaan, pengalaman sendiri...!”, jawab Ericha.
“Kamu mah enak, pandai bikin cerpen. Sedangkan aku..? Apa coba. Udah tau temanya
gampang, tapi menuangkan kata-kata dalam kertas aja susah bener”, keluh Nisa.
***
Teeet... Bel berbunyi berkali-kali.
Tiba-tiba langit cerah berubah menjadi kelabu....
Langit pun menangis dan membasahi seisi kota.
“Vin, pulang sama yuk.. Aku bawa payung nih. Rumah kita kan hampir berdekatan”,
ucap Nisa.
“Yukk...,”, jawab Vina.
“Tampaknya kamu ada kesulitan?”, tanya Vina yang melihat Nisa bermuka kecut.
“Iya aku diberi tugas oleh Bu Guru buat cerpen, temanya ditentukan. Temanya itu tentang
keluarga”, ucap Nisa.
“Ohh.. Itu kan gampang. Kamu tulis aja cerita tentang keluargamu sendiri”, jawab Vina.
Hujan datang lagi. Nisa dan Vina menjemput Raffi disekolahnya. Ternyata Raffi
membawa payung sehingga mereka dapat pulang bertiga bersama.
Mereka berteduh di Halte Sekolah Raffi karena hujan datang sangat deras.
“Jadi, gimana setuju gak usulku?”, tanya Vina lagi.
“Keluarga sendiri? Kayaknya aku gak punya cerita menarik di keluargaku, biasa-biasa
aja... Kalau kamu buat cerpen pertama kali inspirasinya dari mana..?”, tanya Nisa masih
bimbang.
“Kalau aku sih, dimulai dari pengalaman kita sendiri, lalu naik tingkat ke pengalaman
teman, lingkungan sekitar, lalu barulah sampai ke tingkat imajinasi atau khayalan kita
sendiri”, sekali lagi kata-kata Vina membuat Nisa terkejut.
“Wah, iya juga ya...,”, kata Nisa kagum dengan jawaban Vina.
Raffi hanya diam dan tak mencampuri urusan mereka. Ia sedang asik memandangi nilai
ulangan Matematikanya yang mendapatkan nilai 96.
“Tapi Vin, aku kurang tahu menyusun kata-kata. Bahkan bakatku sendiri pun aku gak
tau”, keluhnya lagi.
“Gajah di pelupuk mata tidak kelihatan, kuman di seberang lautan kelihatan”, ungkapan
dari Vina menambah bingung Nisa.

An Anthology of Time | 135


“Maksudnya...?”, tanya Nisa bingung.
“Kak Nisa kalau dengar kata pepatah atau majas mana tau, mana ngerti, diakan...,”,
timpal Raffi.
“Apa, kau anggap aku bodoh.. Mentang-mentang dapat nilai 96 udah bangga.
Sombong...!”, ucap Nisa kesal.
“Udah-udah, maksudnya itu bakat kamu itu ada, tapi belum kelihatan. Maksudnya lagi
kamu punya bakat tersembunyi, tapi gak tahu di mana letak bakat tersembunyi itu. Entah ada
di sekitarmu, tapi kamu gak tahu, atau kamu tahu bakatmu tapi gak dikembangkan.. Gitoe!”,
kata-katanya membuat Nisa paham akan maksud itu.
“Ooo.. Sekarang aku mengerti”, kata Nisa mengangguk mengerti.
“oooo, kebanyakan O nanti bulat lho.. Hahaha”, ledek Raffi lagi.
Hujan masih turun deras, tiba-tiba saja berhenti setelah Nisa selesai membahas tentang
cerpen dan bakat.
“Hujan udah berhenti, yuk kita pulang..,”, ajak Nisa dan mereka pun pergi meninggalkan
Halte dan pulang ke rumah masing-masing.
***
Setelah selesai makan siang, Nisa menuju kamarnya dan bergegas membuat cerpen.
“Ahaa!”, sebuah ide muncul dikepalanya.
“Aku buat cerita tentang keluargaku sendiri aja. Memang benar kata Vina kalau ingin
buat cerita dimulai dari pengalaman pribadi atau sekitar dulu”, ungkapnya senang.
Nisa pun mulai membuat cerita...
Ketika sedang asik menulis cerita. Ia teringat ungkapan yang dituturkan oleh Mario
Teguh dalam sebuah jejaring sosial, yang isinya:
Anda yang sedang kesal karena perendahan orang lain,
It's OK mereka merendahkan Anda sekarang, asal yang Anda lakukan akan menjadikan
Anda lebih tinggi daripada mereka.
Sabarlah. Dunia ini berputar, dan berpihak kepada yang sabar dan rajin.
Ini hanya masalah waktu.
________________________
Mario Teguh
Melihat ungkapan itu, Nisa menjadi lebih semangat dalam menulis cerita. Ia ingin
mencari dan mengetahui bakatnya seperti yang dikatakan temannya. Walaupun nantinya ia
bukan menjadi penulis, ia akan berusaha agar dapat menemukan bakatnya dibidang apa pun
itu.
“Ya... Aku harus semangat, dunia ini berputar. Setelah aku tahu bakatku, aku akan
mengembangkannya dan menjadikannya sebuah kesuksesan bagiku, agar aku gak
direndahkan orang lain dan agar aku menjadi lebih dari mereka”, ucap Nisa semangat.
Melihat si Kakak berbicara sendiri dikamar, Raffi bertanya,” Ada apa dengan Kakak?”.
“Gak ada, biar semangat aja ngerjakan tugas”, alih Nisa.
Melihat Nisa tak kunjung keluar kamar, ia pun menjumpai Nisa dan menyodorkannya
sebungkus roti isi keju kesukaan Nisa.
“Kak, mau gak?”, ucapnya
“Apa? Mau apa? Boleh..,”, Nisa menyambar Roti itu dari tangan Raffi.
“Uhh.. Udah dikasih, gak sopan”, kesalnya.

An Anthology of Time | 136


“Iya deh, makasih ya adikku baik...!”, puji Nisa.
Nisa pun melanjutkan cerpennya.
Kebaikan sang adik membuat jalan ceritanya tambah panjang. Karena Nisa menulis
cerpen tentang sang adik, Raffi. Nisa menulis cerita tentang kejahilan sang adik dan
kejahilannya kepada Raffi.
Tapi, dia tak tahu akhir dari ceritanya....
Hari berganti hari, langit biru berubah menjadi kelabu. Entah kenapa, apa langit menangis
lagi?? Padahal musim lalu, langit selalu riang. Jarang bersedih. Ia selalu ditemani matahari,
tapi kini matahari jarang bertemu dengannya. Apa ada jarak antara mereka? Seperti Nisa dan
Vina yang dulu sempat renggang dan akhirnya berteman lagi.
Hari ini Nisa libur sekolah karena kelas 3 sedang melaksanakan ujian. Sedangkan Raffi
masih bersekolah.
“Bu, ada telepon dari sekolah Raffi...!”, kata Nisa.
“Dari Sekolah?”, jawab Ibu sedikit terkejut.
“Selamat siang Buk. Apa ini dengan Ibunya Raffi?”, suara pria terdengar ditelepon.
“Ya, benar. Ada apa ya Pak..?”, tanya Ibu penasaran.
“Begini Buk, tadi anak Ibu Raffi mengalami kecelakaan, dia terjatuh di tengah jalan. Saya
kurang tahu pasti penyebabnya. Kata murid lainnya ia terjatuh karena terpeleset di jalan”,
kata pria yang merupakan Guru Sekolah Raffi.
“Apa pak, Astagfirullah. Ya Tuhan... Di mana anak saya sekarang ya pak?”, tanya Ibu
gelisah.
Kak Nisa yang penasaran mengapa Ibu sampai terkejut seperti kehilangan barang
berharga, bertanya pada Ibu. Mendekatkan telinganya ke telepon.
“Ada apa Bu?”, tanya Nisa.
“Ssstt”.
“Anak Ibu ada di RSU dekat Sekolah”, jawab Guru tersebut.
Ibu dan Nisa segera bergegas menuju Rumah Sakit.
“Ada apa dengan anak saya Pak?”, tanya Ibu kepada Guru Raffi.
“Kata Dokter tangan kanan anak Ibu mengalami keretakan pada sendinya”, kata Guru itu.
“Tapi anak saya tak kenapa-kenapa kan pak?”, Ibu masih belum yakin dengan pernyataan
Pak Guru.
“Iya Buk, kalau dirawat dengan baik, empat minggu atau enam minggu sudah bisa
digerakkan. Dokter mengatakan retaknya tak parah dan tak membahayakan persendiannya”,
kata Pak Guru meyakinkan Ibu.
Mendengar itu Nisa merasa kecewa dan bersedih. Ia merasa gara-gara hujan yang deras
adiknya mengalami musibah seperti ini.
Ia menghampiri Raffi yang tengah tertidur. Ia tak tahu apakah Raffi dapat tertidur dengan
nyenyak setelah musibah ini datang padanya atau tidak.
***
Setelah beberapa hari dirawat di Rumah Sakit, Raffi akhirnya dikembalikan ke
Rumahnya. Ia dirawat dengan baik oleh Ibu dan Kakaknya. Tak jarang Nisa juga menjahili
sang adik walaupun Raffi masih sakit.
“Hey... Ayo tangkap. Tangkap kalau bisa..,”, kata Nisa pada Raffi.
“Ahh... Kembalikan perbanku. Ibu.. Kak Nisa menggangguku.,”, teriak Raffi.

An Anthology of Time | 137


Pada saat itu Ibu sedang pergi ke Apotek membeli obat.
Tiba-tiba....
Gbrukkk.......
“Aduhhh... Sakit!!”, rintih Raffi.
“Ada apa ini ribut-ribut”, Ibu datang dan melihat Raffi terjatuh dilantai.
“Ya Allah... Raffi. Mengapa bisa terjatuh”, Ibu terkejut melihatnya.
Nisa pun segera menolong Raffi. Nisa menyesal karena sudah mengganggu Raffi.
“Nisa gak sengaja, bu....!”, ucap Nisa.
“Kamu jahil lagi ya pada adikmu..?”, tanya Ibu.
“hmm, iya. Maaf ya dik..!”, kata kak Nisa meminta maaf.
Raffi hanya diam menahan sakitnya dan berpikir kalau Nisa sok perhatian lagi padanya
seperti dulu... Ingatan itu datang lagi kepadanya dan berkata dalam hati,” Aku sudah kenyang
melihat kenyataan permainan dunia sekarang”.
Syukurnya, Raffi tak apa-apa. Untungnya ketika ia sedang rebutan perban hingga ia
terjatuh, tangannya sudah ditopangnya duluan sehingga tak membentur lantai. Hanya saja
kakinya yang terkilir.
Sore harinya, Nisa pergi membeli soto kesukaan adiknya Raffi di warung dekat Rumah.
Ini sebagai permintaan maafnya yang sering meledek Raffi.
Cuaca yang masih cerah tiba-tiba mendadak mendung lagi dan akhirnya turun hujan. Nisa
tidak membawa payung, kendaraan pun tak ada yang lewat. Ia pulang ke rumah dengan
berjalan kaki karena jarak rumah dengan warung cukup dekat.
Setibanya di rumah, ia basah kuyup. Nisa memberikan soto itu kepada Raffi, tapi karena
Raffi masih jengkel pada kakaknya dan berpikir Nisa ingin mencari perhatian lagi, ia pun
menolak pemberian itu.
“Gak ah... Udah kenyang!”, ucap Raffi sambil menuju kamarnya dengan jalan tertatih-
tatih.
“Benar, gak mau... Ya udah!”, ucap Nisa pelan.
Esoknya, Nisa batuk-batuk dan demam. Raffi merasa bersalah.
“Aku merasa dikejar-kejar dosa”, katanya menyesal.
Tiba-tiba dihatinya ada suatu kekhawatiran. Ia melihat kakaknya tidak selera makan.
Melihat itu, Raffi menghampiri Nisa dan memberinya obat demam dan air minum.
Dan berkata, “Kakak sakit..?”.
“Iya”, ucap Nisa.
“M...maaf ya kak, jangan lupa minum obat, supaya lekas sembuh”, ucap Raffi yang
memegang kening Nisa yang panas.
Nisa memeluk Raffi bahagia, “Terima kasih, Raffi”.
Setelah sembuh, Nisa melanjutkan cerpennya yang akan dikumpulnya besok.
Dia masih bingung akhir ceritanya.
Lima menit kemudian....
“Kenapa aku tidak membuat ending yang kayak gini aja?? Kenapa gak terpikir olehku??”,
Nisa memikirkan akhir cerita dari cerpennya tentang kebaikan sang adik yang ternyata
perhatian padanya.
“Hhh.. Empat kata untukku ‘aku berhasil menyelesaikan cerpenku’...!”, teriaknya.

An Anthology of Time | 138


Akhirnya Nisa berhasil menyelesaikan cerpennya tepat waktu. Beberapa minggu
kemudian Raffi juga sembuh dan tangannya dapat digerakkan lagi. Semua aktivitas berjalan
dengan lancar.
Raffi pun berpikir kalau kejahilan kakaknya itu hanya untuk mempererat persaudaraan
mereka, walaupun dengan cara demikian.

An Anthology of Time | 139


Kesalahpahaman
Muhammad Nizar W.

Di malam yang dingin dan sunyi terdapat sebuah rumah beranggotakan hanya ayah dan sang
anak yang salah satu lampu kamarnya masih menyala terang. Disitulah aku yang masih tetap
terjaga walaupun sudah hampir larut malam. Hembusan angin malam membuatku ikut dalam
suasana dimalam hari. Ditengah suasana yang kian membosankan aku pun mulai mencari
aktivitas. Tak berselang lama muncul ide dalam pikiranku untuk bermain game hingga larut
malam.
Disaat itu juga aku mulai mengambil hp ku dari meja dan langsung memainkan sebuah game
online. Selang beberapa waktu setelah aku bermain game aku mendengar langkah kaki yang
menuju kamarku. Tak lama setelah itu ternyata ayahku datang dan langsung membuka pintu
kamar.
“Loh! Sudah malam kok masih belum tidur?,” Tanya ayah dengan nada tinggi.
“Aku tidak bisa tidur malam ini,” Jawabku sambil menyembunyikan hp ku di bawah bantal.
“Ya sudah tidak apa-apa, namun jangan sampai tidur larut malam, cukup sampai jam 10 saja
ya,” Kata ayah.
“Baik yah, aku tidak akan tidur larut malam,” Jawabku sambil menghela nafas.
Setelah ayah keluar dari kamar aku pun mematikan lampu agar ayah berasumsi bahwa aku
sudah tidur. Namun kenyataannya aku tetap melanjutkan bermain game dalam gelapnya
kamar. Tak terasa jam sudah menunjukkan jam satu pagi hari dan aku masih bermain game.
Diakhir permainan aku mendapatkan kekalahan yang membuatku sedikit kesal dan membuat
aku membanting barang didekatku. Hal tersebut membuat adanya suara dari kamarku dan
ayahku yang terkejut akan suara tersebut langsung bergegas ke kamarku dan membuka pintu.
“Heh, kan ayah sudah bilang untuk tidak tidur larut malam. Tapi kamu kok malah belum
tidur padahal sudah jam satu pagi!” Kata ayah dengan marah.
“Kamu kalo begadang begini terus nanti kesehatanmu menurun loh nak. Nanti pagi pasti
kamu juga bakalan tidur terus karna terlalu capek begadang semalaman,” Lanjut ayah.
Setelah mendapatkan omelan dari ayahku aku langsung bergegas tidur. Tak lama setelah itu
adzan subuh berkumandang. Namun karena sudah begadang aku pun hampir terlambat solat
subuh di masjid. Sepulangnya aku dari masjid aku langsung masuk ke kamar dan
melanjutkan tidur. Pada jam tujuh pagi ayahku meminta tolong kepadaku untuk mencuci
baju. Namun karena kemarin aku begadang maka aku tetap melanjutkan tidurku. Karena
kesal ayahku langsung pergi ke kamarku dan mulai memarahiku.
“Tuh kan, sudah dibilangin bakalan tidur lagi. Ya begini efek begadang. Paginya bukannya
membantu pekerjaan rumah malah tidur terus. Ayah sudah sering bilang untuk tidak tidur
larut malam biar paginya bisa bantu kerjaan rumah. Lah ini malah begadang sampai jam satu
pagi,” Kata ayah sambil berusaha membangunkanku.

An Anthology of Time | 140


Aku pun berusaha bangun agar tidak mendapat omelan lagi dari ayahku dan langsung
membantu mencuci baju dan melakukan pekerjaan rumah yang lain dengan keeadaan sedikit
mengantuk. Disaat yang sama ayahku masih merasa kesal dengan perbuatanku semalam yang
membuatnya tidak mau membantuku menyelesaikan pekerjaan rumah. Saat aku mencuci
piring aku tidak sengaja menjatuhkan salah satu piring karena masih dalam keadaan
mengantuk dan membuat piring tersebut pecah. Beruntungnya aku karena ayah berada di luar
rumah yang membuatnya tidak mendengar suara pecahan piring tersebut. Aku pun langsung
berusaha menghapus jejak dengan membersihkan pecahan piring tersebut dan langsung
segera membuangnya agar tidak diketahui oleh ayahku.
Usai mengerjakan semua pekerjaan rumah aku langsung kembali ke kamar untuk
istirahat. Saat istirahat hatiku berkata “semoga ayah tidak menemukan pecahan piring yang
barusan aku pecahkan,”. Ketika ayah kembali ke dalam rumah tiba-tiba ayah bertiriak seperti
terkejut dan aku pun langsung panik mendengar teriakan tersebut. Aku tetap berusaha tenang
dan berharap agar pecahan piring yang tadi tidak ditemukan oleh ayahku. Dan ternyata
harapanku rusak seketika karena ternyata ayah telah mengetahui tentang piring yang pecah
tadi pagi.
Ayahku langsung mencariku dan berkata “Siapa yang memecahkan piring ini?”
“Aku yah,” Jawabku dengan perasaan menyesal.
“Kamu ini kalo kerja yang bener, cuma nyuci piring aja kok bisa sampe pecah begini sih.
Pasti gara-gara kamu kantuk kan!”
“Iya yah, karena aku kantuk dan tidak fokus saat mencuci piring akhirnya piringnya jatuh dan
pecah. Maafin aku yah,” Jawabku sambil menunduk dan menyesal.
Sejak kejadian itu aku dan ayahku sedikit tidak akur. Ayah yang masih kesal karena aku
begadang dan aku yang mengacau saat mengerjakan pekerjaan rumah karena mengantuk.
Ayahku tidak menghiraukanku saat aku memanggil bahkan ketika aku berusaha mendekati
ayah untuk meminta maaf pun ayah langsung berusaha menghindariku. Aku pun tidak tahu
lagi apa yang harus dilakukan untuk membujuk ayahku agar bisa kembali baikan. Karena
ayah terlihat tidak peduli terhadapku aku pun memutuskan untuk keluar untuk bertemu
temanku dan meminta solusi.
Saat meminta izin untuk keluar ayahku malah tambah marah dan melarangku untuk keluar
rumah serta menyuruhku tetap dirumah dan menyuruh mengerjakan pekerjaan rumah yang
lain sebagai hukuman atas perbuatanku. Aku pun hanya bisa menuruti apa yang disuruh oleh
ayahku agar ayahku tidak tambah marah lagi. Aku langsung berusaha mengerjakan semua
pekerjaan dengan sungguh-sungguh agar tidak dimarahi lagi oleh ayahku. Tak lama setelah
pekerjaan rumah selesai, adzan dzuhur pun berkumandang. Aku dan ayahku berangkat ke
masjid. Namun masih tetap sama saja seperti sebelumnya. Sepertinya ayahku masih memiliki
rasa kesal terhadapku.
Setelah selesai solat aku pun kebetulan bertemu denganku di taman dekat masjid. Disitu aku
langsung menemui temanku dengan niat meminta solusi untuk masalah yang sedang aku

An Anthology of Time | 141


hadapi ini. Namun sialnya aku ketika ayahku melihatku dan langsung menyuruhku pulang
padahal aku belum meminta solusi apa pun dari temanku.
“Maaf ya, aku pulang duluan. Kita ngobrolnya lain waktu saja,” Kataku kepada temanku.
Aku pun langsung pulang ke rumah bersama ayahku. Sesampainya dirumah aku menyiapkan
makan siang untukku dan ayahku. Saat makan suasana di ruang makan sangatlah sunyi
karena aku dan ayah saling tidak berinteraksi mengingat masih adanya rasa kesal ayah
terhadapku. Seusai makan siang, ayahku pergi ke kamarnya dan tidur siang. Akhirnya aku
punya waktu untuk menyendiri dan berpikir tenang masalah yang sedang terjadi ini. Aku
bertanya pada diri sendiri kapan masalah ini akan terselesaikan dan aku dan ayah kembali
akur lagi.
Karena siang hari terasa panas, aku pun mulai merasa lelah dan ingin beristirahat. Akhirnya
aku memutuskan untuk tidur siang sejenak sambil menenangkan diri. Rasa lelah setelah
melakukan pekerjaan rumah selama setengah hari membuatku tidur lebih lama dari yang aku
perkirakan. Aku terbangun di jam 4 sore yang membuat aku tidak solat ashar di masjid. Aku
langsung beranjak bangun dari kasur dan langsung mengambil wudhu untuk solat ashar.
Setelah Shalat ashar aku terkejut karena ayahku sudah berada dibelakangku dengan raut
wajah marah. Aku pun hanya bisa pasrah ketika melihat ayahku dengan raut wajah seperti itu.
“Capek ya karena sudah ngerjakan semua tugas rumah. Wajar saja kalau kamu tidur siangnya
cukup lama bahkan sampai tidak solat ashar di masjid,” Kata ayah sambil berjalan
menjauhiku. Aku pun kembali ke kamar dan mulai merenungi perkataan ayahku dan juga
tentang perbuatanku. Tak disangka hari sudah mulai gelap. Dan pada saat itu aku dan ayahku
masih belum akur. Ketika malam tiba aku masih tetap tidak bisa tidur karena di pagi hari dan
siangnya aku sudah tidur. Aku pun memejamkan mataku sambil berharap bisa tertidur pulas.
Namun ternyata aku malah tambah tidak bisa tidur. Aku takut malam kemarin akan terulang
kembali.
Waktu telah lama berlalu. Ketika jam dinding menunjukkan pukul sepuluh malam aku mulai
merasa kantuk. Tak lama kemudian terdengar langkah kaki menuju kamarku seperti malam
itu. Aku pun bergegas memejamkan mata dan berharap tertidur pulas ketika ayahku melihat.
Kemudian pintu terbuka dan aku mulai merasa panik dengan kehadiran ayahku.
Beruntungnya aku karena tak lama setelah ayahku membuka pintu kamar, aku langsung
tertidur pulas. Dikeesokan harinya aku bangun tepat pada jam solat subuh. Aku pun bergegas
bangun dan persiapan untuk solat subuh.
Alangkah terkejutnya ayahku ketika melihatku bangun lebih awal dari biasanya. Namun
dalam wajahnya masih terlihat wajah yang kurang menyenangkan. Mungkin saja perasaan
ayahku tentang perbuatanku kemarin masih belum hilang sepenuhnhya. Mengingat apa yang
telah kulakukan kemarin cukup parah bahkan aku pun hampir tidak membantu pekerjaan
rumah. Setelah matahari mulai terbit lebih tinggi, aku mulai membantu pekerjaan rumah agar
ayahku memperhatikanku dan aku juga berharap kita bisa akur kembali layaknya keluarga.
Aku memulai pekerjaan rumah dari yang paling kecil yaitu membereskan kamarku sendiri.
Kemudian dilanjutkan dengan menyapu rumah dan lain lain.

An Anthology of Time | 142


Namun semua itu berbeda dari apa yang aku harapkan. Ayahku masih saja bersikap tidak
peduli denganku seolah olah aku hanyalah seekor serangga rumahan. Tak menyerah sampai
situ, aku terus dan terus melakukan pekerjaan rumah agar mendapat perhatian dari ayahku.
Namun ternyata semua hal yang telah aku lakukan tetap tidak mendapatkan reaksi apa pun
dari ayah.
Lalu ayah berkata “Kamu istirahat saja, biar ayah yang mengerjakan semua pekerjaan rumah
ini,”
“Mana bisa begitu yah, aku juga harus membantu untuk meringankan beban pekerjaan rumah
ini,” Jawabku dengan perasaan kecewa.
“Sudah dibilang kamu istirahat saja. Ayah sendiri yang akan melakukan semua pekerjaan
rumah,” Jawab ayah dengan nada marah.
“Baik yah,” Jawabku dengan perasaan kecewa.
Aku pun kembali ke kamar dan mulai bingung tentang apa yang harus dilakukan selanjutnya.
Semua yang telah kulakukan untuk menyenangkan ayah hanyalah tindakan yang sia sia.
Rasanya hampir tidak ada kemungkinan untuk bisa kembali akur dengan ayahku. Bahkan aku
saja tidak tahu lagi apa yang akan terjadi dengan keluarga ini. Banyak sekali kemungkinan
terburuk yang terjadi dari kejadian yang menimpa keluargaku ini. Selang beberapa waktu
ternyata ayahku telah selesai mengerjakan semua pekerjaan rumah. Kemudian ia
menghampiriku.
“Nak, sebenanya ayah mengidap penyakit yang cukup parah. Ayah tidak tahu lagi bagaimana
nasib ayah ini. Ayah selalu bingung bagaimana bicara tentang penyakit ini kepadamu, nak.
Akhir akhir ini ayah selalu mencoba ingin berbicara namun ayah tidak ingin kamu khawatir
tentang kondisi ayah saat ini. Itu sebabnya ayah selalu menghindar darimu agar kamu tidak
menyadari penyakit ayah. Kemarin juga ayah menyuruhmu melakukan semua tugas rumah
karena penyakit ayah lagi kambuh. Dan karena ada pecahan piring ayah sebenarnya tidak
marah. Namun itu hanyalah perkataan agar kamu tetap tidak mengetahui kondisi ayah,” Kata
ayah sambil memegang tanganku.
“Ketika kamu ingin bertemu dengan temanmu ayah langsung menyuruhmu pulang karena
ayah takut dengan kondisi ayah bila ditinggal sendiri di rumah,” Lanjut ayah.
“Sejak kapan ayah mengalami ini. aku bahkan baru tahu sekarang. Dan kenyataan ini cukup
mengejutkan. Apalagi selama ini aku selalu menganggap ayah selalu marah terhadapku,”
Jawabku dengan perasaan sedih.
“Ayah minta maaf nak karena tidak pernah bilang dan selalu menghindarimu,” Kata
ayah sambil memelukku.
“Justru aku yang harus minta maaf yah karena tidak bisa berbuat apa apa. Bahkan akhir akhir
ini aku selalu berburuk sangka tentangmu. Tolong maaf kan perilakuku ini yah,” Jawabku
sambil menangis.

An Anthology of Time | 143


“Ada satu hal lagi yang mungkin akan mengejutkan. Sebenarnya ayah diharuskan operasi
agar penyakit ini dapat sembuh dan jadwalnya hari ini,” Kata ayah.
Tak lama setelah percakapan tersebut ayah berangkat ke rumah sakit untuk operasi. Aku pun
ikut ayah untuk menunggu operasi ayah. Sesampainya di rumah sakit, ayah langsung
dipanggil untuk bersiap dioperasi. Sebelum masuk ke ruang operasi ayah berbesan untuk
tidak bersedih bila hal yang tidak diinginkan terjadi. Kemudian ayah mulai masuk ke ruang
operasi. Pada saat itu aku pun hanya bisa menunggu diluar dengan perasaan yang tegang.
Sudah 2 jam berlalu sejak ayahku masuk ke ruang operasi. tiba tiba seorang dokter keluar
dari ruangan tersebut dan menghampiriku.
“Mas, operasi ayah anda telah selesai dan berhasil dengan selamat,” Ucap dokter tersebut.
Aku pun langsung bahagia mendengar kabar tersebut bahkan aku sampai menangis bahagia
di depan ruang operasi tersebut. Tak lama kemudian ayahku dipindahkan ke kamar pasien
untuk menjalani perawatan usai operasi. aku langsung bergegas menemui ayahku di kamar
tersebut. Disaat membuka pintu kamar aku bahagia bisa melihat ayahku berhasil operasi. aku
pun langsung menemui ayahku dan memeluknya. Aku sangat bersyukur ayahku bisa sehat
kembali dan mungkin ini adalah awal dari kembalinya keluarga yang akur.
Setelah beberapa hari menginap di rumah sakit akhirnya ayahku sudah diperbolehkan pulang
oleh dokter. Sesampainya dirumah aku dan ayahku mulai mencoba untuk berinteraksi
kembali untuk menguatkan lagi hubungan keluarga ini. aku pun kembali minta maaf atas
semua perbuatanku. Ayahku juga meminta maaf karena tidak terbuka pada anaknya sendiri.
Setelah kejadian yang cukup panjang akhirnya kisah baru telah dimulai. Semua pekerjaan
rumah yang biasanya dikerjakan perorangan, kini aku dan ayah mengerjakannya bersama
sama. Tidak ada lagi pekerjaan yang membuat terlalu berat bagi aku dan juga ayahku.
Ayahku juga mulai lebih terbuka denganku. Setelah semua kejadian yang telah kualami, aku
juga selalu berharap agar keluarga ini selalu menjadi keluarga yang bahagia.

An Anthology of Time | 144


Impian
Muhammad Zulfan

Ismail, seorang laki-laki remaja yang baru menginjak usia 18 tahun. Ismail baru saja lulus SMA. Ia
akan melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi yaitu ke perguruan tinggi negeri. Ismail
hidup dikeluarga yang bisa dibilang sederhana meskipun kakeknya seorang pengusaha sukses ia tidak
mau terlihat seperti keluarga kalangan atas. Nama ibunya Nahida dan nama ayahnya Yusuf. Ayahnya
bekerja sebagai apoteker di puskesmas, ibunya seorang wirausaha membuka apotek dirumah. Ismail
mempunyai 2 saudara adik dan kakak. Adiknya Bernama Syarifah baru naik kelas 11 SMA di SMAN
2 Lumajang. sedangkan kakaknya Bernama Farhan sudah kuliah semester 3 di jurusan farmasi
UBAYA mengikuti jejak ayahnya.
Ismail mempunyai bakat dibidang seni dan bertekat untuk masuk ke jurusan arsitektur di salah satu
universitas yang ada di surabaya, lebih tepatnya di institut teknologi sepuluh november atau biasa
disebut ITS. Namun ayahnya merekomendasikan Ismail untuk masuk ke jurusan kedokteran karena
ayahnya ingin masa depan anaknya terjamin, kebutuhan tenaga kesehatan seperti dokter di masyarakat
tidak pernah berhenti dan menjadi jurusan dengan prospek kerja paling terjamin di antara jurusan
lainnya, Selain itu dokter memiliki gaji yang tinggi sebab berhubungan dengan nyawa dan kesehatan
manusia. Meskipun Ismail cukup mahir dibidang kimia dan biologi, ia sudah terlanjur tertarik dengan
ilmu arsitektur. ia dibingungkan dengan dua pilihan yaitu mengikuti kata hatinya atau pilihan
ayahnya. Lalu Ismail berdoa meminta petunjuk kepada allah “ Ya Allah, aku memohon kepadamu
petunjuk, ketakwaan penjagaan diri dari hal yang tidak diperbolehkan, dan kecakupan ’’. Setelah itu
Ismail berdiskusi dengan kedua orang tuanya. Ayahnya memaksa Ismail agar masuk jurusan
kedokteran, sedangkan ibunya meminta agar Ismail mengikuti kata hatinya dan selalu mendukung apa
pun keputusan Ismail
“Kalau ibu, terserah sama kamunya saja. Kan, yang menimba ilmu dan yang mencari pengetahuan
itu kamu. Ibu cuma berharap, semoga keputusanmu nanti bisa berdampak baik bagi diri kamu juga
bagi bapak dan ibu” ujar Nahida dengan nada yang lembut. “ Bapak ingin kamu kuliah jurusan
kedokteran saja. Supaya masa depanmu terjamin dan gampang buat cari kerja. Nilaimu itu sudah
cukup memadai buat masuk kedokteran rugi kalau disiasiakan buat jurusan yang kerjanya tidak
pasti !“. ucap Yusuf, ayah Ismail dengan tegas. Ismail yang sedari tadi hanya bisa terdiam dan tidak
berani menatapan kedua orang tuanya. Keinginan ayahnya tersebut membuat hati Ismail terluka. Ia
tak ingin kedua orang tuanya bertengkar hanya karena masalah jurusan kuliah. Ismail bimbang, ia
sendiri ingin kuliah jurusan arsitektur. Tetapi, ia juga tak tega kalau harus menolak keinginan
ayahnya. Karena ayahnya sudah kerja banting tulang untuk menyekolahkan Ismail, dan mengikutkan
bimbel. Karena kerja keras ayahnya, Ismail sekarang menjadi siswa yang cerdas.
Lalu Ismail memutuskan untuk meminta saran kepada kakanya yang sudah kuliah semester 3.
tentang bagaimana cara agar ayah mau menuruti keinginannya dan mendukung sepenuh hati. Ia pun
pergi meminta ijin kepada ibunya untuk pergi keluar kota dan bertemu dengan kakaknya sekalian
mengunjunginya. Ismail berencana menemui kakaknya minggu depan pada hari sabtu di kota
Surabaya. Seminggu kemudian setelah bersiap-siap ia pergi pada pagi hari pukul 9 dengan
menggunakan sepeda montor menuju terminal. Ia menempuh kira kira 5 jam sampai di Surabaya
pukul 2 siang. Kemudian Ismail memesan gojek dari terminal menuju kecamatan rungkut di bagian
tenggara kota Surabaya. Setelah kira kira 30 menit perjalanan ia pun sampai di kompleks perumahan
tempat kakaknya tinggal. Yusuf membangun rumah dan kos di rungkut untuk ditinggali oleh
kakaknya agar tidak ngekos dan menghemat uangnya. Sekarang rumah tersebut ditinggali oleh Farhan
sedangkan kosnya masih dibangun. Ismail pun telah sampai didepan rumah. “Assalamualaikum….,”.
Farhan keluar dari rumah dan segera membukakan gerbang “ Waalaikumsalam…. Bagaimana
kabarmu dek?”. Ucap Farhan dengan nada lembut. “Baik baik saja kak. Kalau kakak bagaimana sudah
betah atau belum di Surabaya?”. Balas Ismail. “Lumayan betah la tapi, kadang kangen suasana
dirumah”. Ucap Farhan dengan ekspresi bercanda. Lalu mereka pun masuk ke dalam rumah. Ismail

An Anthology of Time | 145


istirahat sebentar melepas Lelah setelah perjalanan jauh dari lumajang meunuju Surabaya. Ia
terbangun saat maghrib. Farhan mengajak ismail untuk Shalat berjamaah dulu dimasjid tak jauh dari
rumah dengan berjalan kaki. Setelah Shalat berjamaah Farhan mengajak Ismail untuk kulineran
disekitar rungkut. “Disini makanannya enak-enak lo. Rugi kalau kamu gk kuliah di Surabaya. Toh
ayah sudah membangun rumah disini jadi enak gk usah susah susah bayar kos mending uangnya
dibuar untuk makan”. “kakak ini mikirnya makan terus, mending dibuat topup game”, Balas Ismail.
Setelah itu mereka pergi ke cafe didekat rumah dan membahas masalah Ismail dengan Yusuf, ayah
mereka. “ayah memang sifatnya begitu, ia rela kerja keras mengeluarkan uang demi Pendidikan
anaknya tapi, dengan syarat menuruti permintaannya. Aku dulu juga pernah menolak permintaan ayah
untuk masuk jurusan farmasi, awalnya aku berencana masuk jurusan Teknik tapi ya dipikir pikir aku
kayaknya kurang mampu di jurusan Teknik. Yasudah aku menuruti permintaan ayah aja daripada
salah jurusan nanti menyesal” ucap Farhan. “kakak berbeda dari aku, kalau aku sudah bertekat dari
sma kelas 10 untuk masuk jurusan arsitek”. Balas Ismail. “ya kamu emang bakatnya disitu kalau
kamu sudah bertekat masuk arsitek kamu harus membuktikan kepada ayah kalau jurusan arsitek itu
terjamin, tapi agak susah sih bilangnya karena sifat ayah yang keras kepala, saranku sih kamu bilang
ke ibu untuk membujuk ayah”.
Setelah perbincangan yang cukup lama, mereka pun pulang ke rumah. Sampai dirumah mereka
bermain game valorant bersama seperti dulu. Besoknya ismail berencana untuk pulang pada pukul 1
siang. Ismail pun berpamitan kepada Farhan “kak aku pulang dulu ya”. “oh iya titip salam untuk ayah
dan ibu, jangan lupa oleh olehnya dibawa hati hati dijalan ya dek”. Ucap Farhan. Ismail menempuh
perjalanan menuju ke lumajang sekitar 5 jam. Setelah sampai dirumah Ismail membulatkan tekad
untuk bicara lagi kepada ayah. “Yah, aku sudah bertekat untuk masuk jurusan arsitek dan pilihaku tak
akan berubah, aku akan membuktikan kepada ayah kalau aku bisa dijurusan arsitek kalau tidak aku gk
mau kuliah”. Ucap Ismail dengan serius. “Ismail…,”. panggil Nahida sambil memegang bahu Ismail.
“Maaf bu, yah”. Ujar Ismail lalu mendundukan kepalanya. Ia sadar, tidak boleh bicara dengan nada
yang tidak mengenakkan orang tuanya. Apalagi sampai membuat hati mereka terluka dan sakit.
“Pak… coba akita ikuti apa maunya Ismail. Kasihan dia pak. Sedari dulu Ismail tertekan dipaksa
buat jadi ini dan itu, dengar apa yang dirasakan Ismail. Bapak jangan terlalu egois gitu, kalau misal
Ismail jadi masuk jurusan kedokteran dengan keterpaksaan Ismail akan menjalani kehidupan kuliah
yang tidak mengenakkan. Biar dia aja yang milih jurusan sesuai keinginannya, kita sebagai orang tua
hanya bisa mendukung Ismail. Memaksa anak hanya akan membuatnya semakin tertekan. Ismail juga
sudah bukan anak remaja lagi dia harus bisa nentuin pilihan dan keputusannya sendiri”. Terang ibu
Nahida dengan lembut, sambal menatap suaminya. Yusuf terdiam sesaat, melihat Ismail. Ia bingung
dan bimbang. Terus bermonolog di dalam hati dan pikirannya agar dapat memutuskan, Ismail akan
masuk jurusan arsitek atau kedokteran. Setelah beberapa menit, Yusuf yang tak kunjung menemukan
titik terang pun, menghela nafas dengan berat. Ismail yang mendengar ayahnya menghela nafas berat
pun mulai terisak.
Ismail teringat kata kata Farhan kalau mau meyakinkan ayah maka ia harus bisa membuktikannya
dengan lulus kuliah dengan nilai yang memuaskan. “Yah… kalau memang ayah ingin sekali aku
masuk jurusan kedokteran mungkin aku bisa mengikhlaskannya tapi yah…., beri aku kesempatan
tolong penuhi permintaan egois anakmu ini sekali saja, aku akan membuktikan kepada ayah kalau aku
bisa lulus dengan memuaskan aku yakin kalau aku bisa membanggakan ayah dan ibu”. Ujar Ismail
dengan nada terisak. Melihat anaknya mulai menangis, ibu Nahida langsung memeluk putranya
dengan erat. Memberikan semangat dan dukungan. Nahida menatap kecewa kepada Yusuf. Ia pun
tertegun, menatap putranya yang rela mengubur dalam mimpinya untuk berkuliah dijurusan yang
tidak ia inginkan karena tak ingin membuat ia merasa kecewa. Dan akhirnya Yusuf memutuskan
pilihan jurusan Ismail.

“Ayah izinkan Ismail untuk kuliah dijurusan arsitek, kalau itu yang diinginkan Ismail, tapi ingat
janjimu kalau kamu harus bisa membanggakan ayah dan ibu”. Ucap Yusuf. Membuat Ismail melepas
pelukannya, dan mendongak, menatap ayahnya dengan mata yang berbinar Bahagia. “Beneran gak

An Anthology of Time | 146


apa apa pak?”. Tanya Ismail sekali lagi, air matanya mulai mereda. Yusuf mengaggukkan kepalanya
dengan senyum mengembang. Lalu Ismail berjalan ke ayahnya dan memeluk ayah kesayangannya itu
dengan dipenuhi suasana haru. “Terima kasih, ayah!”. Ujar Ismail sambil mengeratkan pelukannya.
Yusuf tersenyum, “Maaf ya nak, selalu paksa keinginan ayah ke kamu”. Ujar Yusuf dengan tulus.
Nahida yang melihat interaksi antara suami dan anaknya itu pun tersenyum, dan meneteskan air mata
Bahagia. Dari sini Yusuf tidak pernah memaksa agar Ismail menuruti keinginan yang bisa membuat
Ismail tertekan dan kecewa. Ia akhirnya menyadari, bahwa keputusan Ismail juga penting untuk
keputusan yang akan berdampak di masa depan putranya itu. Asalkan berdampak positif, ia pasti akan
menyetujuinya.

TAMAT

An Anthology of Time | 147


The hope of my parents
Nabila Khairunnisa

Dalam lingkungan perumahan hidup seorang anak yang usianya masih 16 tahun yang
termasuk dari tiga bersaudara di keluarganya. Dia anak pertama dari kedua adiknya namanya
biasa disebut dengan abela dalam keluarganya. Adik pertamanya perempuan yang biasa
dipanggil aela dan terakhir adik laki-lakinya yang biasa dipanggil aeza . Usianya yang masih
16 tahun yaitu masih duduk di bangku SMA, abela termasuk anak yang pesimis oleh nilai
yang dia dapat saat nilai ujiannya itu rendah. Tidak hanya tentang persoalan ambis dengan
nilai juga, abela terlalu ambis juga dalam membahagiakan keluarga terutama orang tuanya.
Abela ingin sekali membanggakan kedua orang tuanya dan adik-adiknya, abela tidak ingin
membuat mereka kecewa dengannya.

Orang tua abela yang terlalu sayang dengan abela selalu menjaga abela dengan sangat
baik, bundanya yang bernama Laila dan ayahnya yang bernama Pratama. Bunda abela berasal
dari Bandung dan ayahnya yang berasal dari Jawa yang sekarang tinggal di daerah kencong
kab. Jember. Dahulu bertemunya kedua orang tua abela di Seoul Korea Selatan. Kedua orang
tua abela selalu mengingatkan abela akan banyak hal, walaupun hal sekecil apa pun itu.

seperti dua orang yang berbeda, di rumah dia yang lebih dikenal cuek tapi jail dan
disekolah lebih dikenal ga bisa diem dan banyak banget tingkahnya. Membuat suatu
keterbalikan di dalam dirinya, sebenarnya sosok abela ini adalah anak yang terlalu banyak
menyimpang cerita dan kisahnya sendiri sehingga terkadang dia tidak mengenali jati dirinya
sendiri. Abela yang sebenarnya abela anak yang diam, tidak suka banyak bicara, tidak suka di
ganggu, tidak suka keramaian, benci dengan warna warna yang menurutnya terlalu cerah
dimatanya. Tapi abela di sekolah jauh berbeda, dan sangat berbanding terbalik. Abela
disekolah adalah abela yang suka jail, banyak tingkah, terlalu banyak bicara, dan dia anak
yang terlihat sangat manja dan sangat suka warna yang cerah. Tetapi itu semua yang
disekolah bukanlah abela yang asli, itu hanyalah penutup untuk semua luka yang dia rasakan
selama ini.

Dari sekian banyak orang yang mengenal abela juga selalu bilang bahwa abela anak
yang ceria, anak yang beruntung tentang keluarganya, anak yang sangat bersyukur dalam
segala hal. Tetapi abela bukanlah anak yang seperti itu, abela tidak terlalu suka akan hal yang
membuat dia merasa semakin di bicarakan berlebihan seperti itu. Sebenarnya banyak orang
yang tidak mengetahui dan mengerti tentang abela yang sebenarnya.

Abela yang selalu ambis ingin membuat kedua orang tuanya bahagia selalu berusaha
memenuhi keinginan kedua orang tuanya sampai dia lupa bahwa dirinya juga harus diberi
perhatian dan kebahagiaan untuk dirinya sendiri. Abela juga yang selalu mementingkan
kebahagiaan orang lain dari pada kebahagiaan dia sendiri, menurutnya jika seseorang yang
tidak mendapatkan perlakuan baik dan seseorang itu tidak merasakan kebahagiaan artinya

An Anthology of Time | 148


orang tersebut akan merasakan kesedihan atas hal itu. Karna itu abela tidak ingin jika
seseorang merasakan kesedihan itu, sehingga jika ada seseorang yang sedih di saat itulah
abela merasakan sedih juga. Menurutnya kebahagiaan seseorang adalah kebahagiaan abela
juga, sehingga abela yang terlalu sibuk dengan keinginannya untuk membahagiakan keluarga
dan orang sekitarnya abela sampai tidak ingat bahwa abela juga memiliki perasaan yang
harus dia juga jaga, dia juga yang harus mendapatkan kebahagiaan oleh dirinya sendiri.

Saat di rumah Abel disuruh bundanya pergi ke swalayan untuk membeli perlengkapan
bahan masakan untuk di masak di rumah, abela menurut dan mendengarkan saat bunda
menyuruhnya untuk membeli bahan masakan tersebut. Tetapi saat di perjalanan abela di sapa
oleh salat satu seorang wanita yang usianya di atas dia, dan ternyata abela mengenali wanita
tersebut. Wanita tersebut bernama Kinara, abela biasa memanggilnya aunty Kinara. Wanita
tersebut sangat ramah dan baik.
“hai Abel, wah sekarang kamu kelas berapa dan sekolah dimana?” kaabela
Abel menjawab “hai juga aunty,sekarang saya kelas 2 SMA dan sekolah di Smada Lumajang
“ jawab abela,
“wah kamu anak Smada selama ini, hebat sekali kamu Abel. Hebat sekali bundamu
mendidikmu sampai sekarang” Ujarnya, “terimakasih aunty”.
Perjuangan cukup besar juga untuk bisa menjadi kebanggaan keluarga, walau setiap hari
kekangan yang terus ada untuk juga terus bisa memenuhi keinginan kedua orang tua.
“bun, tdi abela ketemu aunty Kinara di jalan” ujar Abel, “kamu bicara dengannya?” jawab
bunda abela
“iya, katanya dia terlihat sangat bahagia karna Abel masuk smada dan berjuang buat cita-cita
Abel sendiri” jawab Abel
“iya harus bangga, kamu harus jauh lebih hebat dan kuat, biar nanti kamu bisa buktikan
perjuangan kamu itu jauh lebih berharga dan jauh lebih hebat ya” ujar bunda Abel, dan Abel
hanya tersenyum menanggapinya.
Penuh penekanan yang dia rasakan selama ini, dituntut sesuai keinginan kedua orang
tuanya bukan keinginannya, abela hanya ingin orang tuanya mengerti perasaan abela selama
ini. Dia yang terus berjuang bangung pagi demi berangkat sekolah lebih awal karna jarak
rumahnya sangat jauh dari sekolahnya, sebenarnya abela ingin sekali supaya tidak kecapean
tetapi disisi lain kedua orang tuanya melarangnya untuk nge-kos dengan alasan takut salah
pergaulan dan nge-kos itu tidak mengenakan kata orang tua abela karna makannya tidak bisa
seenak makanan yang dirumah. Dalam persoalan tersebut abela tidak meniatkan kembali
untuk nge-kos dan memilih untuk pulang pergi berangkat sekolah sendiri, walaupun sangat
lelah yang dia alami setiap harinya.
Menjalani hidupnya dengan berusaha tegar dan kuat itu sangatlah susah, banyak
pikiran yang dia rasakan setiap harinya. Tetapi itu semua Abela terus berusaha untuk
mengabaikannya, menurutnya penekanan dalam hidup itu sebagian dari perjuangannya untuk
bisa sukses di masa depan.

An Anthology of Time | 149


Saat berkumpul di ruang keluarga, ayah abela bertanya dengannya “abel mau lanjut ke mana
setelah lulus SMA ini?” tanya ayah pratama
“abel mau masuk ke angkatan militer, tertarik banget mau jadi komando wanita angkatan
darat deh yah” jawab Abel
“kenapa kamu ga mau jadi anggota BMKG seperti pamanmu yang ada di Jakarta?” tanya
ayah pratama, “ngga tertarik, Abel mau ke militer kalo ga polri aja” jawab abela yang
berpegang teguh dengan pendiriannya
“kita lihat nanti, intinya jangan sampai salah memilih “ ujar ayah abela yang mulai pasrah.
Sebenarnya ayah abela sangat ingin abela masuk dalam keanggotaan BMKG agar sama
dengan keluarganya yang di Jakarta, sebenarnya banyak juga keluarga abela yang menjadi
anggota militer dan polri. Sehingga abela terinspirasi oleh keluarganya yang lain.

Disaat sahabat-sahabat abela main kerumahnya, ada salah satu sahabat abela yang
bernama Yasmin bertanya kepada abela “abel, kamu kenapa akhir-akhir ini jarang sekali
menghubungi kita hanya untuk sekedar berbincang bincang dan biasanya kamu juga yang
sering memulai pembicaraan sehingga pembicaraan yang kita bahan menjadi seru” tanya
Yasmin, “maaf teman, akhir-akhir ini aku memang sangat sibuk karna tugas yang terus-
menerus di kejar dengan deadline sehingga tidak sempat bercanda dan berbincang dengan
kalian “ jawab Abel, “iya kamu semua mengerti, tapi kamu juga butuh istirahat untuk
menenangkan diri kamu sendiri supaya tidak kelelahan “ jawab Yasmin, “dan aku tau kamu
untuk saat ini dituntut untuk benar benar perfect dalam pekerjaan dan sekolah, tapi semua itu
butuh istirahat dan tidak harus di paksa terus menerus “ tambah Yasmin, “iya aku tau, dan
aku mengerti cuman saja hal ini membuatku untuk terus menyelesaikannya “ jawab Abel,
“semangat Abel, kamu pasti kuat dan kamu pasti jadi orang hebat” jawab Yasmin dengan
tersenyum dan Abel hanya memanggut manggut kepalanya tanda menyetujui ucapan
sahabatnya Yasmin.
Semua itu memang butuh kerja keras dan perjuangan untuk bisa bertahan dalam masa-
masa yang cukup sulit. Uti abela juga sering berpesan bahwa “seletih letihnya kamu, jangan
sampai menyerah saat masa kamu sedang berproses menuju pencapaianmu nanti. Sehingga
kamu bisa menikmati hasil dari kerja keras kamu dan perjuanganmu”.

Disekolah abela bukan termasuk anak yang sangat pintar, dia hanyalah anak yang biasa
sama seperti teman-temannya yang lain dikelas. Abela mengikuti kegiatan ekstrakurikuler
PMR, dia menjabat sebagai bendahara di PMR tersebut. Abela yang dikelas lebih dikenal
dengan abela yang suka jail, banyak tingkahnya. Tapi itu semua menutup keluh kesah dari
jiwa asli yang dimiliki abela.
“abel, kamu diem bisa ngga? Jangan mainan tipex, nanti mejanya kotor” ujat teman sebangku
abela yang bernama salsa
“ini seru tau, apa kamu mau coba?” jawab abela keenakan bermain dengan tipexnya, “ngga,
nanti kotor” jawab salsa

An Anthology of Time | 150


“jangan mulai bel, nanti kotor loh” ucap seorang laki-laki yang duduknya di depan abela
yang bernama Fauzi, “iya ini berhenti deh” pasrah abela.
Kegiatan bermainan tipex dan karet itulah yang di lakukan abela setiap harinya, di anak yang
keliatan manja, bawel, dan jail ini membuat teman-temannya terkadang risih tetapi mereka
semua terkadang juga ikut bahagia dan terhibur.
“bel, kamu udah selesai belum mengerjakannya tugas kemarin?” ujar teman abela yang
satunya, bernama Zahra
“sudah dong, abela masa belum hehe” jawab abela bangga. Abela memang tidak terlalu suka
jika mengerjakan tugas/PR yng diberikan oleh guru disekolah, abela selalu berusaha
dirumahnya untuk menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan oleh guru agar bisa selesai lebih
awal dan setelah itu bersantai.
Abela memiliki banyak teman disekolahnya, walaupun itu dari kelas lain. Siapapun
yang ingin bergabung abela selalu menerimanya, maka ta heran jika banyak yang mengenal
abela. Walaupun teman-teman abela ada yang laki laki juga, siapapun dan apa pun itu abela
akan terus berteman dengan baik.
Itulah yang dikenal anak sekolah dari abela, anak yang sangat ulet akan suatu hal.
Sebenarnya abela anak yang cengeng juga, tapi dalam hal nilai. Abela sangat sensitif jika
dengan masalah nilai, jika nilainya jelek abela sangat pesimis sekali. Dia terus menyalahkan
dirinya sendiri karna tidak belajar dengan sungguh-sungguh agar nilainya bagus, abela akan
terus-menerus menyalahkan dirinya sendiri sampai dia bisa tenang sendiri. Abela menangis
jika nilainya menurun, menurutnya buat apa belajar dengan sungguh-sungguh tetapi tetap
mendapatkan nilai yang jelek. Tetapi abela juga berfikir jika kita tidak belajar bagaimana
akan mendapatkan nilai baik.
Dan di saat itu abela terus menerus belajar dan berusaha buat mendapatkan nilai yang
baik agar kedua orang tuanya tidak kecewa terhadapnya, walaupun kadang cara abela
mendapatkan nilai bagus dengan cara yang salah yaitu mencontek. Namun itu semua demi
untuk tidak membuat kedua orang tuanya kecewa dan dirinya juga kecewa. Abela selalu
sedih jika mendapatkan nilai jelek, dia yang berangkat sekolah paling pagi dan datang
disekolah berniat untuk mencari ilmu tetapi ilmu yang dia dapat dengan hasil yang buruk, hal
itulah yang akan membuat abela kecewa dan menyalakan dirinya sendiri. Tapi hal buruk yang
dilakukan abela tidak dilakukan terus menerus, menurutnya mencontek juga belum tentu
membuahkan hasil yang sempurna dan maksimal.
Sehingga abela lebih memilih untuk belajar sendiri, supaya nilainya juga mendapat
hasil dari kerja kerasnya selama ini. Hanya hal sensitif akan nilai yang dimiliki abela
sehingga abela terus berusaha untuk mendapatkan nilai yang bagus supaya keluarganya
bangga terhadapnya.
Seperti itulah kisah dari kehidupan abela, abela yang berusaha membuat bahagia
keluarganya dan juga berusaha untuk memenuhi harapan kedua orang tuanya. Kerja keras
dan perjuangan yang abela rasakan setiap harinya bukanlah hal yang mudah dilakukan oleh
abela. Jika abela melakukan hal yang kurang mengenakkan bagi kedua orangtuanya
walaupun hal itu hal sepele, abela akan terkena marahnya kedua orang tuanya sehingga sebab

An Anthology of Time | 151


itulah abela berusaha keras untuk sebaik mungkin supaya bisa menjadi manusia yang hebat
nantinya.

An Anthology of Time | 152


Keluargaku adalah Hartaku
Nayla Devianna S.

Disuatu pagi hari terdapat seorang anak yang bernama Salsa, dia merupakan anak dari 3
bersaudara. Salsa merupakan anak dari pasangan Bapak Rio dan Ibu Wulan. Salsa
mempunyai adik yang bernama Rara dan seorang kakak perempuan yang bernama Lia. Salsa
merupakan salah satu seorang siswi kelas XI di SMA wilayahnya. Salsa merupakan anak
yang sangat ceria,ramah, dan sopan ke siapa saja, tetapi terkadang dia suka menyimpan
perasaan nya sendiri dan salsa hanya mempunyai teman yang sedikit.
Salsa mempunyai keluarga yang lengkap akan tetapi Ayah Salsa bekerja diluar pulau
jawa sehingga Salsa menempati rumah dengan Ibu Salsa dan kedua saudaranya itu
sedangkan Kakek Salsa sudah meninggal pada saat Ibu Salsa masih SMA kelas 11 sedangkan
Nenek Salsa sudah meninggal pada tanggal 20 Mei 2022.
Pada saat itu semua keluarga merasakan duka yang dalam termasuk Salsa sendiri karena
Salsa dekat dengan neneknya sendiri dan Salsa pun pertama kali merasakan kehilangan yang
begitu dalam begitupun dengan anggota lainnya. Beberapa hari salsa dan keluarganya
merasakan duka sehingga Salsa dan keluarganya bangkit dari kesedihan dan menjalankan
hari-hari bias tanpa hadirnya Neneknya Salsa sehingga Salsa dapat merasakan Puasa
Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri tanpa seorang nenek.
Hari-hari terus berlanjut seiring Salsa masuk Sekolah Tingkat Atas tanpa seorang nenek
dan seorang ayah karena Ayah Salsa bekerja di luar jawa dan hanya pulang ke jawa setahun
sekali. Setiap hari Salsa melakukan kesehariannya, setelah Salsa pulang dari sekolahnya dia
akan berganti baju, mandi dan belajar untuk hari esok. Selain itu, Salsa juga bercerita tentang
keseharian disekolah nya dan bercerita kepada ibu dan saudaranya. Walaupun begitu dihari
libur Salsa melakukan tugasnya sebagai seorang anak yang membantu orang tuanya untuk
membersihkan rumah. Tak jarang Salsa dan saudara-saudaranya bertengkar karena hal-hal
kecil atau karena saling bercanda satu sama lain.
Salsa merupakan anak yang suka bergadang, tak jarang setiap liburan dia selalu
bergadang sampai tengah malam. Akhir-akhir ini sering terjadi hujan sehingga setiap Salsa
pulang sekolah dia selalu kehujanan dan kedinginan hingga Salsa setiap pulang sekolah
setelah mandi dia berada dikasur di bawah selimut yang tebal karena kedinginan. Salsa juga
menyukai hujan,setelah hujan dia selalu menghirup udara sejuk ketika hujan telah reda.
Aroma campuran tanah dengan air hujan membuat udaranya sangat menenangkan. Salsa
juga menyukai coklat entah itu dalam bentuk makanan, minuman dan permen. Selain coklat
dia juga menyukai makanan yang pedas padahal dia mempunyai penyakit maag, ada
peristiwa dimana Salsa seharian tidak makan yang menyebabkan perutnya sakit dan periksa
ke dokter. Dia anak yang nakal tak jarang Salsa kalau dikasih tahu oleh ibunya Salsa pernah
tidak mendengarkan perkataan orang tua. Seharusnya Salsa tidak boleh bersikap seperti itu
dan dia juga harus mendengarkan nasehat dari orang tuanya agar orang tuanya tidak ingin
kejadian yang jelek terulang kembali.
Jika ada waktu luang Salsa membaca buku novel sambil mendengarkan musik pop
dengan begitu Salsa bisa merubah suasana hatinya yang buruk. Salsa sangat bersyukur karena
bisa hadir di keluarga kecil ini walaupun banyak masalah yang dilalui bersama. Dengan
begitu Salsa menjadi tahu akan kerja keras dari orang tuanya agar keluarga kecil ini tetap
bersatu.

An Anthology of Time | 153


Impian si bungsu kecil
Nuril Laili W. J.

Sinar mentari pagi menyambutku seakan memberiku semangat untuk mengasah ilmu di
sekolah ku . Panggil saja aku Caroline , aku bersekolah di SMA Negeri 2 LUMAJANG
Jurusan Ilmu pengetahuan Alam. Hari-hari ku berjalan begitu indah sebagaimana semestinya
semua itu tidak lepas dari dukungan orangtua beserta keluarga Cemaraku. Aku lahir di kota
Jember namun pada 2 tahun lalu aku dan keluargaku memutuskan untuk berpindah rumah di
kota lumajang .

Aku anak terakhir dari tiga bersaudara , aku mempunyai dua kakak perempuan yang telah
memulai hidup baru dengan keluarga barunya. Saat ini hanya tersisa aku , si bungsu yang
manja dan cerewet ini yang akan menjadi harapan terakhir keluarga . Aku lebih dekat dengan
bunda dibanding dengan ayahku . Tidak jarang aku mengungkapkan keluh kesah ku kepada
bunda tercintaku , tak jarang pula aku meminta pendapatnya untuk masalah yang sedang ku
hadapi.
Saat kesunyian malam datang , aku menghampiri bundaku yang tengah duduk di sofa ruang
tamu ,” Bun, nanti setelah aku lulus SMA aku berharap bisa jadi seorang praja IPDN "
ucapku. "Apapun pilihanmu apa pun tujuanmu asalkan itu baik untukmu dan orang lain
silahkan nak , bunda hanya bisa mendo'akan dari sini " jawab bunda. " Iya Bun akan Caroline
usahakan demi ayah dan bunda , Caroline tidak peduli secapek apa Caroline berproses ,
seberat apa cobaan yang Caroline hadapi , asal ada bunda di dekat Caroline , Caroline pasti
bisa , doa kan Caroline ya Bun" jawab ku dengan mata berkaca kaca . " Pasti nak , doa bunda
akan selalu mengiringi prosesmu " . Sontak aku langsung memeluk bundaku dengan air mata
yang tidak terbendung lagi.
Mempunyai mimpi membutuhkan keberanian hanya orang –orang yang mempunyai
keberanian lah yang mampu mewujudkan mimpinya. Mengambil resiko yang lebih besar dari
apa yang orang lain pikir aman. Memberi perhatian lebih dari apa yang orang lain pikir bijak .
Bermimpi lebih dari apa yang prang lain pikir tidak mungkin. Itulah motivasi yang kerap aku
bicarakan deangan diriku sendiri saat aku merasa putus asa dan lelah. Saat menginginkan
suatu hal yang belum pernah aku miliki, aku harus melakukan sesuatu yang baru, dalam kata
lain melakukan terobosan. Sehingga, jalan untuk mendapatkan keinginan tersebut akan
semakin terbuka.
Bundaku juga sering menasehatiku tentang sebuah asmara , apalagi di usiaku yang sangat
labilnya akan hal itu. " Nak , nanti setelah lulus SMA jangan menikah dulu , bersenang

An Anthology of Time | 154


senang lah dulu, bahagiakan dirimu sendiri dan orang yang kamu sayang, karena kehidupan
setelah menikah tidak seindah apa yang orang lain posting di media sosial" ucap bunda . " Iya
bun , lagian siapa sih yang mau menikah , kan aku bilang ke bunda kalau Caroline mau
ngejar impian Caroline dulu, mau banggain bunda sama ayah baru nanti kita bicara soal
menikah , kalo Caroline sukses , siapa sih yang gamau sama Caroline. " Jawabku. " Gaada
yang tau nantinya gimna nak , tetapi alhamdulilah jika kamu mempunyai fikiran seperti itu ,
semoga kelak impian mu bisa terwujud ". " Aamiin "
Bunda tidak menuntut ku atas akan hal itu , namun aku tau bunda menaruh harapan besar
kepadaku . Berbeda dengan ayahku , ayahku adalah seorang yang keras . Saat aku mencoba
mengutarakan impianku terhadapnya, ia seperti nya ia senang akan tujuanku , namun ia
sedikit menuntut akan hal itu . Bagiku itu tidak masalah, malah membuatku lebih semangat
mengejar impianku.

Aku sangat ingat saat ayahku berkata “Jadilah seseorang perwira nak , karna dulu ayah
pernah ingin menjadi perwira namun ayah belum mempunyai rezeki disitu”. Lalu aku
menjawab “ Bukan hal yang mudah menjadi seorang perwira yah”. “iya nak tapi ayah yakin
kamu bisa , kamu punya potensi disana ayah yakin sekali”. “ hmmm iya yah caroline
usahain”
Begitu banyak impian yang ku dambakan , namun isi kepala ini kerap sekali brisik akan
omongan orang yang membuatku minder. Tidak sedikit orang yang menertawakan impianku
ini . Setiap malam aku melihat sudut atap kamarku sambil merenungi apa yang dikatakan
orang-orang terhadapku . “ Aku yakin dengan kemampuanku,aku tidak ragu dengan
pilihanku , untuk apa aku dengarkan omongan orang yang sama sekali tidak penting dalam
hidupku”. Aku menyemangati diriku sendiri karena aku fikir tiada orang yang dapat merubah
hidup kita kecuali diri kita sendiri . Untuk itu di setiap cacian,hinaan,hujatan,dan apa pun itu
aku akan terima dan aku akan simpan wajah-wajah yang saat ini merendahkanku untuk
membuktikan bahwa anak yang dulu kau rendahkan menjadi seorang praja ipdn muda.
Kata mustahil adalah sebuah opini yang sering diucapkan oleh orang-orang pesimis yang
hanya suka bertahan di zona nyaman. Jadi, aku tidak akan pernah memasukkan kata
"impossible" di kamus pribadiku.
Sabtu dan Minggu adalah kesemptanku untuk melatih kemampuanku sebelum nanti aku
daftar ipdn . Karena selain hari itu aku sibuk menuntut ilmu yang dimana hal itu juga menjadi
bekalku untuk meraih impianku ini. Aku melatih fisikku dengan berlari ,renang,dan belajar
SKD. Terkadang aku ditemani oleh salah satu temanku ,namun tak jarang pula aku berlatih
sendiri , karena jika aku mengandalkan teman , kapan impian itu akan ku raih? Nunggu
temen juga? Gamungkin kan. Yang membuatku terharu adalah saat bundaku mau
menemaniku untuk latihan . Betapa dia sangat mengarapkan putri bungsu kecilnya ini meraih
impiannya. Jadi tak ada alasan lagi untukku bermalas malasan untuk belajar,berlatih dan
berproses demi tangisan haru kedua orang tuaku kelak.
Disuatu sore yang melelahkan “ Caroline tolong belikan bunda air galon” ucap bunda. “Bun,
aku tu capek baru pulang olahraga malah disuruh suruh” jawabku sedikit membentak. Lalu
bunda membeli galon itu sendiri. Kejadian seperti itulah yang sangat aku sesali dan sangat

An Anthology of Time | 155


aku sayangkan . Karena aku tidak berfikir panjang akan hal itu, bunda lebih capek dariku .Ia
yang dari pagi mengurus aku dengan ayahku, memasak,membersihkan rumah, tanpa
sekalipun pernah mengeluh kepadaku . Sedangkan aku yang hanya merasakan capek yang
tidak seberapa sudah mengeluh .
Disuatu sore ayahku hendak pergi bekerja di suatu kota . Ayahku adalah sorang arsitek ,saat
itu iya mengerjakan proyeknya dipulau Bali selama 2 bulan lamanya. Tinggalah aku berdua
bersama bunda dirumah . Terkadang aku merasa sangat kesepian karena tidak ada sosok
teman atau saudara yang ku ajak mengobrol di waktu malam . Sedangkan bundaku tidak
pernah tidur terlalu malam karena mungkin dia lelah atas pekerjaan umah yang seharian ia
kerjakan jadi dengan bunda pun aku jarang membicarakan hal-hal random bersama.
Hari itu adalah hari yang cukup melelahkan bagiku . Aku pulang sekolah dan sampai rumah
pukul 18.00 . Karena aku harus bimbel terlebih dahulu setelah pulang sekolah . Setelah
seharian aku menjalani hariku yang cukup melelahkan dan jarak antara sekolah tempat
bimbel dan rumahku yang lumayan jauh ,cukup menguas tenaga dan fikiranku.
Andai saja aku mempunyai seseorang untuk tempatku berkeluh kesah dan siap mendengarkan
ceritaku untuk setiap cerita randomku tentunya aku sangat senang dan mengharapkan hal itu.
Tapi nyatanya orang lain hanya ingin tahu dengan apa yang aku alami . Mereka tidak akan
peduli dengan apa yang aku rasakan dan apa yang aku lakukan.Tidak mungkin bagiku
berkeluh kesah kepada bunda karena beliau juga sama-sama lelah , bahkan lebih lelah
dibanding dengan ku.
Setiap malam aku selalu membayangkan betapa asyiknya jika aku mempunyai suport system
yang setia mendengarkan ceritaku ini. Aku tertarik dengan salah satu tetanggaku , sebut saja
dia marcell . Aku sempat bertanya tanya kepada bundaku tentang marcell . Ternyata ia sejak
kecil tinggal bersama nenek tercintanya ,entah dimana orangtuanya .Menurutku marcell
adalah orang yang sederhana dan tangguh . Terkadang aku berfikir “emmm gimana ya kalau
marcell yang menjadi tempatku bercerita tentang hariku yang melelahkan “. Gumamku.
Namun kembali lagi dengan adanya people come and go . People come and go adalah dimana
setiap adanya pertemuan pasti akan ada perpisahan . Ketika suatu hal datang ke hidup kita ,
pasti memiliki masa bertahannya sendiri. Cepat atau lambat setiap orang atau suatu hal yang
mampir ke hidup kita pasti akan berlalu. Jadi aku memlih untuk menahan diriku utuk
berkeinginan memiliki suport system . Cukup ayahku bundaku dan diriku sendiri sudah
cukup menjadi tempat bercerita meskipun masih banyak hal yang perlu aku ungkapkan dan
luapkan kepada mereka.
Pada minggu pagi yang cerah sekitar pukul 05.00 aku berpamitan kepada bundaku “Bun aku
mau lari ya” ucapku . “ Mau lari ke mana roline?” jawab bunda. “ Mau lari dari kenyataan
bun hahaha” jawabku dengan mengajak bunda bergurau . “Kamu ini ada ada saja “ . “ Aku
mau lari ke arah selatan , paling ya nyampe perindustrian itu bun” jawabku. “ Jauh banget ,
emang kamu kuat? “ucap bunda. “oooo jadi bunda ngremehin caroline?’’. “Ya engga si .
Bunda percaya kok kamu bisa nyampe sana , kamu kan kuat dan ber otot hehehe” jawab
bunda . “ huhhh liat aja ya nanti caroline kalo nyampe depan industrinya caroline selfi kirim
ke bunda” . “ iya sayang iya . Semangat ya nak latihannya “ . “ iya bun makasih , dadahh”.

An Anthology of Time | 156


Saat aku mencapai kilometer 2,5 aku mersa kelelahan sekali dan mempunyai niatan untuk
mensudahi lariku itu. Namun aku ingat bundaku dirumah yang lebih lelah mengurusku. Dan
aku pun teringat suatu motivasi yang berkata “ Siapa yang mengerjakan lebih dari apa yang
dibayar pada suatu saat akan akan dibayar lebih dari apa yang ia kerjakan”. Ketika aku
merasa putus asa, aku ingat agar selalu pantang menyerah sebelum masalah tersebut selesai.
Aku tidak pernah memkasa diriku sendiri kalau capek ya Beristirahat tapi aku ga pernah
menyerah dalam menghadapi masalah. Jika aku terus berfokus dalam mencari pemecahan
masalah tersebut, akhirnya aku akan keluar sebagai pemenang. Aku tidak jadi berhenti dan
meneruskan lari ku bahkan lebih semangat . Saat aku sampai di perindustrian yang aku
maksud tadi, aku langsung beristirahat dan selfi untuk aku kirimkan ke bundaku bahwa aku
bisa mencapai garis finish.

Jam mengarah pukul 07.00 . Sang surya sudah sangat terik seolah menuyuruhku untuk
kembali ke rumah . Beranjaklah aku pulang dengan berjalan santai karena aku sedah lelah
berlari. Setelah sampai di rumah aku disuguhi sarapan favoritku oleh bunda ku tersayang.
“Gimana bun? Bisa kan caroline sampe ke sana “ ucapku dengan wajah konyol . “ iya iya
percaya , anak bunda yang satu ini kan hebat” jawab bunda. “ iya dong anak siapa dulu
hahaha” . ucapku . “ Anak bunda lah siapa lagi “. “ huuuuuu” sahutku sambil tertawa sidikit
terbahak.
“Yaudah ini bunda udah siapin kamu sarapan kesukaan kamu , sayur kelor ,tempe penyet,
pepes tongkol dan susu,”ucap bunda. “ wihhhhh kesukaan caroline banget ini bun, tau aja
yang caroline suka, bunda tu paling tau kesukaan caroline , makasih bundanya caroline yang
cantik” ucapku. “ Iya dong bunda pasti tau kesukaan anak bunda yang paling cerewet ini
hehehe” . “ Huh enak aja “ sahutku.
Itulah bundaku ,yang paling mengerti apa yang aku mau dan apa yang aku butuhkan , selalu
siap sigap saat aku membutuhkannya , selalu mengerti dengan apa yang aku rasakan , selalau
paham denagan apa yang aku maksud mungkin aku adalah orang yang paling beruntug
sedunia mempunyai seorang bunda yang baik seperti malaikat tanpa sayap seperti bundaku
Terimakasih Tuhan engkau begitu baik mengirimkan malaikat ini untukku , tak tahu
bagaimana caraku berterimakasih kepadamu dan bagaimana senangnya hatiku ketika bunda
berada disampingku. Semoga tuhan memberi bunda umur yang panjang supaya bunda dapat
melihatku menggapai impianku nanti. Sekarang tugasku adalah belajar,berlatih,berdo’a,
berusaha demi malaikatku ini.
Setiap orang memiliki impian namun setiap orang memiliki tujuan yang berbeda . Ada orang
yang bermimpi untuk membanggakan orang tua, ada orang yang mempunyai mimpi untuk
membayar mulut orang yang telah merendahkannya , ada orang yang bermipi karena
memang setiap orang harus mempunyai mimpi, dan lain lain . Karena setiap orang itu
berbeda ,setiap orang mempunyai tujuan jalannya masing masing .
Berusaha saja tidak cukup untuk mewujudkan impian, maka dari itu aku selalu berusaha
mengambil hati tuhanku agar tuhan membantuku untuk meraih impianku. Sholat malam
selalu ku kerjakan . Do’a tanpa usaha itu bohong, usaha tanpa doa itu sombong. Bundaku

An Anthology of Time | 157


sealalu menasehatiku agar aku selalu mngerjakan Shalat tepat waktu agar tuhan juga
mengabulkan impianku tetap waktu. Namun aku juga dilarang untuk memaksa tuhan untuk
apa yang aku mau , karena pada dasarnya tuhan adalah pencipta takdir terbaik. Cukup pasrah
dan serahkan kepada tuhan . Jadi apa pun aku nanti , tercapai atau tidaknya impianku nanti
aku akan menerimanya dengam ikhlas yang terpenting aku telah berusaha dan melakukan
yang terbaik untuk diriku.
Aku tidak akan pernah menyerah selagi aku bisa berusaha , tidak ada kata berakhir sampai
aku berhenti mencoba. Terkadang tantangan dalam hidup kita bisa dibilang “biasa” bila
dibandingkan tantangan yang dialami oleh orang lain yang terus berusaha lebih keras dari
kita menghadapi masalah yang lebih besar. Aku selalu Ingat bahwa masih banyak orang-
orang di luar sana yang memiliki masalah lebih berat dariku namun tidak pernah menyerah
untuk menghadapinya. Selalu ingat bahwa tiap tantangan dan masalah yang aku hadapi akan
membuatmu semakin kuat dan berpengalaman. Setiap kegagalan dan masalah yang telah
dialami merupakan guru yang paling baik dalam menuju kehidupan yang lebih baik. Terima
semua masalah yang muncul dalam kehidupan, tidak mengeluh, dan selalu lihat dari sisi
terbaik dari apa pun yang dihadapi. Semakin banyak masalah dan tantangan yang dihadapi
semakin banyak pengetahuan dan kemampuan yang akan didapat untuk pengembangan diri
menuju kesuksesan.
Meskipun kadang aku merasa ragu atas impianku , aku selalu ingat bahwa Keragu-raguan
adalah musuh utama dari kesuksesan. Sering kali sebagai manusia aku merasa biasa-biasa
saja karena tidak berhasil menjelaskan keragu-raguan di dalam pikiran kita. Untuk menjadi
seorang juara, aku perlu membiasakan pikiranku sebagai kekuatan yang tak terkalahkan.
Selalu berpikir positif dan laksanakan tindakan yang ada dalam pikiranku, apa pun hasilnya.
Jtak akan ku jadikan keraguan berpikir sebagai batasanku untuk mengembangkan diri dan
mengukir prestasi dalam kehidupan.
Aku mempunyai kakak pertama yang juga sering menasehatiku . Walaupun jarak kita jauh
tak menutup kemungkinan untuk menyemangatiku serta menasehatiku. Kakak pertamaku
mempunyai usaha kuliner di Depok ,dari kejauhan pun iya menasehatiku agar aku tidak
terlalu memikirkan omongan orang ,ia berkata “pilihlah impian yang menjadi pilihanmu
selagi itu baik untuk mu dan banyak orang”. Aku selalu mengingat nasehat orang-orang yang
sayang padaku . Dan akan ku buat bangga mereka yang selama ini mendukungku.
Sekecil apa pun perubahan yang ku lakukan asalkan ke arah yang lebih baik akan membantu
hidupku menjadi lebih baik. Dengan melakukan perubahan kecil secara rutin dan dengan
usaha yang tulus akan membuat sebuah perubahan yang besar pada kehidupanku
kelak ,dibandingkan tidak melakukan perubahan sama sekali.Selalu Ingat bahwa sekecil apa
pun tindakan yang membuat kehidupan semakin positif akan membawa dampak besar di
masa depan.
Aku berterimakasih kepada diriku karena sudah mampu bertahan sampai detik ini.Yang telah
menjadi pribadi yang kuat . Meskipun masih banyak hal yang belum mampu ku wujudkan,
aku sudah banyak berjuang. Terima kasih untuk tidak pernah berhenti belajar, berkembang,

An Anthology of Time | 158


mencari pengalaman baru, dan melakukan banyak hal untuk impianku. Terima kasih sudah
menyadari bahwa aku memiliki mimpi yang besar dan selalu berusaha mewujudkannya.
Untuk itu aku selalu berserah diri kepada Tuhan yang maha esa agar dipermudah segala
urusanku prosesku dan dikabulkan cita citaku. Dan semoga ayah dan bundaku diberi umur
yang panjang serta kesehatan agar dapat melihat putri bungsu kecilnya ini meraih impiannya.
Aku tak akan membuang waktuku, aku akan melakukan berbagai hal penting mulai dari
sekarang. Dengan belajar dan mencoba banyak hal hari ini, dijamin tidak akan ada
penyesalan di masa depan bahkan aku akan berterima kasih dengan diri sendiri.
Disaat aku mulai lelah belajar saat di sekolah aku selalu ingat pengorbanan dan nasihat
orangtuaku beserta keluargaku bawasannya jika aku bermalas malasan saat ini aku akan
menanggung akibatnya di masa depan.
Kini tugasku adalah selalu berusaha,belajar dan berdo’a sebelum takdir berbicara . Aku telah
menyerahkan takdirku kepada sang pembuat takdir dan semoga takdirku sesuai ekspetasiku
dan membuat kebanggakn untukku, orang lain ,orangtuaku dan keluargaku.

An Anthology of Time | 159


Keluarga adalah segalanya
Salwa Faradisa

halo perkenalkan namaku adalah salwa faradisa aku adalah anak satu satunya dari keluarga
kecilku mamaku seorang kepala sekolah lulusan S1 sarjana bahasa indonesia dan ayahku
sebelumnya seoranh pegawai dan sekarang juga merintis sebagai usahawan kita hanya hidup
bertiga didalam rumah dan merasakan ketenangan tersendiri.
Sebelum merintis usahanya ayahku sempat putus asa dikarenakan pandemi covid yang pada
saat itu saat parah parahnya aku dan mamaku hanya bisa mensupport keinginan dari ayahku.
Ketika aku kecil aku hanya terbiasa sendiri dirumah orang tuaku sibuk dengan urusannya
masing masing pada saat itu mamaku sedang melanjutkan keinginannya di S1 bahasa
indonesia karena pada saat itu mamaku mempunyai biaya melanjutkannya karena dahulu
terhalang ekonomi keluarga.

Aku tergolong anak yang sangat manja pada saat itu tidak mau ditinggal untuk sekolah dan
sangat rewel sekali tetapi mamaku dan ayahku membiasakan aku hidup mandiri karena aku
sudah cukup umur. Setelah memasuki masa SMA ini kehidupanku sangatlah berubah aku
sudah tidak manja seperti dulu dan tentunya orang tuaku juga mempunyai keinginan setinggi
mungkin untuk aku capaikan supaya mereka merasakan kebahagiaan tersendiri.

Namun sampai saat ini yang selalu mereka ajarkan kepadaku yaitu untuk selalu berbaik hati
kepada siapapun kejahatan tidak boleh dibalas dengan kejahatan namun dibalas dengan
kebaikan. Sampai saat inipun hubunganku dengan mama ayahku baik baik saja meskipun
terkadanh ada selisih pendapat yang menyebabkan pertengkaran seperti aku ingin membeli
ini tetapi dilarang karena tidak penting dan tidak dibutuhkan.

Ayahku menjadi pelindungku dalam keadaan apa pun selalu ada disaat aku
membutuhkannya walaupun aku jarang mendengarkannya ayahku menjadi pelindung utama
keluargaku dan mamaku juga begitu.

Kehidupan kami sangat damai dan tentram ya terkadanh ada juga masalahnya kami juga
selalu bersyukur apa yang diberikan tuhan kepada kita hingga saat ini kami merasa tercukupi
dengan yang diberikan dan apa yang diusahakan oleh orang tuaku karena kunci kenikmatan
adalah bersyukur.

Kesederhanaan yang diajarkan oleh mama ayahku begitu sangat berarti buatku untuk
menjalani kehidupan duniawi yang hanya sementara ini. Usaha dan kerja keras mereka untuk

An Anthology of Time | 160


mencukupi ku sampai saat ini bisa dibilang tidak sia sia karena mereka mengajarkan berbagai
hal yang baik bagi kehidupanku

Aku sering mendengar kata harmonis di dalam sebuah keluarga mungkin perasaan orang
tua yang sayang kepada anaknya, anak yang menghormati orang tuanya, dan mereka saling
menyayangi satu sama lain. Begitupun dengan keluarga kecilku ini meskipun sederhana
hingga saat ini kami hidup bertiga dengan bahagia.

Orang tuaku juga mencukupi kebutuhanku hingga saat ini apa yang aku inginkan mereka
juga selalu mengusahakan agar keinginanku tercapai saat itu juga. Aku bisa dibilang
tergolong anak yang sangat sangat harus dicukupi keinginannya bukan hanya itu saja aku
juga tidak memikirkan apa orang tuaku mampu mencukupi keinginanku pada saat itu juga
tetapi orang tuaku selalu mencukupi itu semua hingga pada saat itu aku bertengkar dengan
orang tuaku karena telah dijanjikan membeli hp baru.

Pada saat itu aku menginginkan iphone xr dan orsng tuaku mengiyakan keinginanku hingga
mereka mengusahakan umtuk mendapatkannya karena aku tidak sabar aku hanya bisa marah
marah pada saat itu orang tuaku hanya bilang sabar sabar dan sabar aku yang keras kepala ini
membantah omongan itu hingga pada keesokan harinya aku ulang tahun pada hari itu juga hp
itu belom ada di tanganku. Pada saat pulang sekolah mama ayah dan pacarku mengsurpres
dan dimeja telah ada keinginanku yang telah diberikan oleh mama dan ayahku pada saat itu
juga aku berterimakasih pada saat itu juga.

Aku sempat mempunyai keinginan berkuliah di polinema tetapi mamaku melarangnya


karena tidak ingin berjauhan denganku aku hanya disarankan di unej saja karena dekat. Aku
harus bisa membuktikan pada kedua orang tuaku jika aku bisa meraih keinginannya sehingga
orang tuaku merasa bangga kepadaku dan usaha yang diberikan kepadaku selama ini tidak
menjadi sia sia.

Terkadang aku merasa bersalah atas perbuatanku yang seenaknya sendiri ini kepada orang
tuaku tetapi meraka begitu sabar menghadapiku hinggay saat ini mereka tetap menasehatiku
tanpa kata lelah mereka merawatku dengan baik hingga aku berumur 17 tahun ini mereka
tidak pernah mengeluh capek merawatku mereka merawat dengan ikhlas dan sepenuh hati
menyanyangiku hingga saat ini.

Karena kesungguhan mereka dalam merawatku dan mendidikku hingga besar sampai saat
ini membuat aku semangat untuk menunjukkan kesuksesanku kelak buah dari didikan kedua
orangtuaku yang merawatku mendidikku hingga aku saat ini berumur 17 tahun. Dan orang

An Anthology of Time | 161


tuaku mengajarkan tidak boleh berputus asa dalam menjalani suatu hal harus berani dalam
mengambil resiko selama itu baik bagi diri kita tidak masalah. Orang tua juga tidak akan
menjerumuskan kita ke jalan yang salah dan kita harus terbuka pada orang tua jangan
menutupi kebohongan sekecil apa pun karena itu bisa membiasakan diri berbohong kepada
orang tua.

Pada saat tk aku sudah aktif mengikuti lomba celoteh anak yang pada saat itu diadakan di
kantor bupati lumajang dan kedua orang tuaku bangga melihat aku pada saat itu karena aku
membuahkan hasil yang sangat maksimal dan juga aku aktif pads club renang lumba lumba
jaya pada saat itu ayah mendaftarkanku karena aku ingin menjadi polisi pada saat itu. Tidak
sampai disini saja pada saat itu aku ada panggilam lagi untuk mengikuti lomba celoteh anak
yang diadakan di desa rowokangkung pada saat itu disaksikan langsung oleh bapak kepala
desa dan bapak bupati rasanya sayang gugup sekali.

pada saat sekolah dasar aku mengikuti ekstrakulikuler pencak organisasi pada saat itu ayah
mendukungku karena supaya aku bisa menjaga diri dan pada saat itu aku ditunjuk oleh
guruku untuk mengikuti lomba tersebut pada awalnya mamaku samgat khawatir kepadaku
karena aku pertama kali mengikuti lomba itu dan belom terbiasa tetapi ayahku sayang
mendukungku dan bersemangat sekali ketika mendengar aku mengikuti lomba itu pada
akhirnya aku lomba dan mendapat juara 2.

Dan pada saat masa smp aku mengikuti berbagai kegitatan salah satunya osis aku aktif di
osis hanya beberapa saat saja dikarenakan aku mementingkan bermain bersama teman
temanku pada saat masa itu dan pada akhirnya aku keluar dari osis pada saat osis baru
setengah jalan dan aku mengikuti ekstrakulikuler basket pda saat itu juga awalnya saja aku
bersemangat dan ternyata basket tidak semudah yang aku pikirkan harus lebih rajin latihan
dan meluangkan waktu untuk latihan basket

Pada saat sd aku juga mengikuti lomba lari estafet yang diadakan di stadion semeru
lumajang pada saat itu aku sangat bersemangat mengikutinya awalnya saja terasa berat
karena belom terbiasa dan pada akhirnya aku tidak mendapat juara karena aku tidak rajin
berlatih dan aku tidak fokus pada saat latihan itu

Pada saat smp aku juga mengikuti kegiatan drumband kabupaten lumajang yang pada saat
itu aku didaftarkan diam diam oleh mamaku di kantor dispora kabupaten lumajanh awalnya
aku menolak karena aku malas mengikuti kegiatan apa pun pada waktu itu hingga pada

An Anthology of Time | 162


akhirnya mama memaksaku untuk tetap mengikuti tes tersebut pada hari pengumuman aku
dinyatakan lolos pada tes tersebut pada saat itu latihan dilaksanakan 1 minggu 3 kali dan
awalnya aku merasa malas malasan ingin berhenti sampai disitu saja tetapi lagi lagi mamaku
melarangku dan harus tetap melanjutkannya sampai purna dan akhirnya aku melanjutkannya
sampai purna

Pada intinya orang tua menginginkan yang terbaik untuk anaknya dan tidak ingin anaknya
merasakan kesusahan yang dialami orang tuanya sebisa mungkin orang tua mencukupi
keinginan anaknya dan membahagiakan anaknya dan kita sebagai anak kita tidak boleh
melupakan jasa kedua orang tua kita yang telah merawat mendidik dan menyayangi kita
hingga saat ini

TERIMAKASIH

An Anthology of Time | 163


Rumah tak ramah
Silfi dwi imama

Semua orang pasti menginginkan kehidupan yang nyaman, harmonis dan juga mendapat
kasih sayang dari orangtua. Namun, mengapa aku tidak pernah bisa memiliki kehidupan itu.
Tak pantaskah aku mendapatkannya? Sesungguhnya, sebuah kasih sayang dari orang tua tak
akan bisa tergantikan dengan apa pun. Aku yakin Allah merencanakan semua ini adalah yang
terbaik buatku dan juga keluargaku. Perkenalkan namaku Milka Aku akan menceritakan
pengalamanku.

Entah darimana aku harus harus memulai ini semua, aku ingin menceritakan sebuah kisah
yang mungkin akan aku lupakan. Aku sesorang anak tunggal dikeluargaku ya aku adalah
anak satu-satunya. Sejak kecil aku sudah tinggal satu rumah dengan tante, ya pasti kalian
sudah tau kan maksud aku apa, ya benar orang tua aku sudah pisan sejak aku umur 2 tahun
lalu ibuku tiba-tiba bekerja diluar negri dan ayahku berada di luar daerah. Aku sejak kecil
tinggal bersama tante, aku selalu merindukan sosok keduanya. Kadang harus mengerti bahwa
tidak semua rumah itu ramah, tidak semua rumah bisa dijadikan tempat pulang, beberapa
rumah justru memberi luka paling banyak untuk penghuninya yang membuat seisi rumah itu
ingin kabur secepat mungkin

Lalu aku memasuki umur 6 tahun aku duduk disekolah dasar yaitu SD 01 muncar aku
sejak umur 6 tahun sudah menekuni bidang olahraga senam gymnastic rikmit. Kalian pasti
jarang mendengarkan bidang olahraga tersebut bukan? Yah aku akan menceritakanya bidang
olahraga ini salah satu bidang yang sangat jarang orang bisa lakukan kenapa? Karna bidang
olahraga ini tuh harus dilatih mulai sejak dini ya seperti aku ini sejak dini sudah diajari begitu
banyak gerakan mulai dari gerakan dasar, kelenturan dan lain sebagainya. Aku pada usia 8
tahun sudah mendapatkan juara dibidang ini banyak sekali suka dukaku untuk memperoleh
juara tersebut meski sering gagal itu tidak membuat aku untuk menyerah aku terus berusaha
dan selalu dapat dukungan dari orang-orang di sekitarku. Aku menekuni bidang olahraga ini
sampai sekarang sering keluar kota juga untuk mengikuti pertandingan, sering juga banyak
yang tidak suka kepadaku, banyak yang iri, banyak yang sering ngejelek-jelekin dan lain
sebagainya. Aku yang terus bersabar mengadapi sebuah cobaan yang tidak bisa aku
bayangkan membuatku setiap hari harus menangisi keadaan ini. Aku benci keadaan ini. Aku
benci diriku sendiri yang lemah. Aku benci semuanya.

Sampai dulu pernah dibully, tidak tau karna apa tetiba saja sering dibully banyak yang
tidak menyukaiku, banyak yang memojokkanku banyak yang tidak mau berteman sama dan
banyak lagi aku selalu sedih, tertekan, selalu sendiri, selalu murung, jarang bicara, dan gatau
mau cerita ini semua kepada siapa. Aku bingung mau cerita ke orang rumah juga takut untuk
bilang ntah kenapa untuk bilang semuanya yang sudah aku alami saat itu dan sampai saat ini

An Anthology of Time | 164


juga masih begitu, benar- benar bingung untuk cerita ini kepada siapa. Aku cape, aku
tertekan, aku lemah, aku sering mikir yang tidak seharusnya orang lain pikirkan.

Saat aku duduk dibangku SMA ini banyak hal yang luar biasah dikehidupanku, aku tidak
tau lagi harus bagaimana caranya untuk menghadapinya. Dan ya aku lebih untuk
memikirkanya sendiri melakukannya semuanya sendiri ya meskipun banyak teman-teman ku
yang masih peduli sih. Aku sudah biasah memendam semuanya, marah, menangis,
overthinking, melamun, sabar dan juga susah sekali untuk percaya ke orang lain dan lebih
untuk menyembunyikanya dari orang lain. Sementara tuntutannya juga

ga kalah besar untuk menangis sampai suaraku hilang karna sudah telalu lama menahan isak
tangis untuk semua kekecewaan yg selama ini aku pendam sendirian. Beban satu dunia ga
perlu diletakkan dibahuku, aku bisa memakikannya perasaan gelisah, takut, khawatir,
kesedihan, bentuk amarah dan berbagai hal lainya yang ingin aku ceritakan. Biarkan dunia
mendengarkannya, biar dunia mendengankan tangisan setelah kecewa karna gagal
mendapatkan sesuatu kalau orang-orang bilang luka ku terlalu kecil untuk ditangisi kalau
orang-orang bilang kesedihanku engga pantas dijadikan luka. Rasa sedih itu milikku maka
aku yang paling tau sedih mana yang pantas untuk ditangisi aku bebanar-benar capek. Ya aku
lebih tertutup kepada sekitarku.

Aku berharap semoga tidak ada yang sepertiku yang selalu tertutup oleh keadaan
seharusnya kita harus terbuka apalagi dengan orang tua itu yang paling penting. Baikla aku
sudah sedikit menceritakan tentang aku terimakasih.

THE AND

An Anthology of Time | 165


Kakak
Wijaya Aditya P. S.

Teriakan-teriakan bergema memecah malam yang sunyi. Api berkobar melahap semua
yang ada. Aku mematung tak tau berbuat apa. Hanya satu yang kupikirkan saat itu. "Kakak,
tolong aku." Tiba-tiba secercah cahaya muncul, melenyapkan seluruh pandanganku.
"Ahh, lagi lagi hanya mimpi."
Sinar mentari menyilaukan mataku. Memaksaku untuk meninggalkan istanaku. Suara
ayam, mesin, mama dan lainnya seolah olah tidak memberiku kesempatan lagi ntuk
merasakan sensasi yang nyaman ini. Berjalan pelan sambil mengumpulkan semua nyawaku
yang masih berkeliaran. Kan ku mulai hariku dengan kedamaian.
"Putra !!!!!!, Cepat mandi, habis itu siapkan apa yang dibutuhkan. Kita berangkat pagi
pagi. Kalau siang udaranya panas." Aku yang belum mengerti situasi menanyakan maksud
mamaku. "Siap siap buat apa ma ? Ini kan hari libur." Mama sontak sedikit kesal dan
menyuruhku untuk melihat kalender. Ku lihat kalender, hanya hari biasa. Aku mengingat
sejenak, sepuluh menit aku mematung melihat kalender, barulah aku ingat ini hari apa.
“Ahhh, kenapa aku melupakan hari penting ini. Hari ini hari peringatan kepergian kakak.”
Dengan segera aku beranjak mandi. Selesai mandi, aku menyiapkan semua hal yang
diperlukan seperti menyiapkan bekal, memanaskan mobil, mengecek ketersediaan obat untuk
berjaga jaga dan lain sebagainya. Sembari aku menyiapkan semuanya. Keluarga besar datang
kerumah mulai dari nenek, paman, bibi serta para sepupu.
“Putra nenek datang.” Ucap nenek sambil memelukku.
“Ahh nenek, aku bukan anak kecil lagi. Aku malu loh kalau dipeluk didepan sepupu
sepupuku.”
“Meski sudah besar, kamu tetap anak kecil di mata nenek.”
Setelah itu aku menyambut yang lainnya, kupersilahkan masuk dan kusajikan makanan
minuman kesukaan masing masing. Semuanya tampak senang, namun aku merasa ada yang
kurang. Tiba-tiba paman memanggilku, “Putra, mari ikut paman.” Aku menjawab iya dan
mengikutinya ke teras belakang rumah. Paman menyuruhku duduk disampingnya sembari
merasakan sejuknya udara pagi. “Paman tau Putra masih memikirkannya, namun semua itu
sudah berlalu. Yang berlalu biarlah berlalu dan fokus ke yang di depan. Ya mungkin agak
sudah untuk melupakannya namun cobalah sedikit demi sedikit. Ini demi Putra sendiri.” Rasa
murung menyelimutiku, seolah olah aku tidak boleh melupakannya begitu saja. “Terima
kasih nasehatnya paman, aku akan berusaha mencoba untuk melupakannya.” Lalu kami
kembali ke dalam rumah, memasukkan barang barang ke dalam mobil dan mengeceknya
kembali. Barulah kami berangkat menuju tempat peristirahatan terakhir kakak.
Selama perjalanan, aku hanya duduk termenung. Membayangkan sesuatu walau terasa
samar samar. Ocehan para sepupuku pun tidak bisa mengganggu ku. Beberapa jam berlalu,
kami tiba dengan keadaan selamat. Semua membawa barang barang yang diperlukan. Udara

An Anthology of Time | 166


dingin, pepohonan yang rindang serta kicauan burung yang memukau hati seakan akan
menyambut kedatangan kami. Kami berjalan menaiki anak tangga yang tak terhitung
jumlahnya. Meski napas kami sedikit tak beraturan dan merasa capek, akhirnya kami berhasil
menaiki anak tangga tersebut. Sebuah makam yang megah berdiri di puncak bukit ini. Inilah
makam mendiang kakakku. Makam yang dibangun dengan kualitas terbaik dan berlapis
warna yang serasi dengan lingkungan sekitar. Kami pun mendekati makam kakak.
Aku membersihkan rumput serta dedaunan yang merusak pemandangan. Papa, mama,
paman, dan bibi ikut membersihkan dan merapikan lingkungan sekitaran makam. Sementara
itu, adikku asyik bermain bersama para sepupuku. Setelah semua sudah dirasa bersih dan
nyaman, barulah kami semua mendoakan kakak agar bahagia di alam sana. Selagi kami
berdoa, ku mendengarkan suara merdu seraya memanggilku. "Putra, kakak rindu." Seketika
tubuhku bergetar, semuanya merasa panik dan mencoba menenangkan ku. Nenek yang
melihatku seperti itu lalu bertanya "Ada apa putra, apa ada sesuatu ?" Ingin rasanya
memberitau nenek namun entah mengapa hati ini melarang ku. "Tidak ada nenek, aku tadi
hanya melamun." Kepanikan mereda, kami melanjutkan berdoa untuk kakak. Lalu kami
menaburi bunga bunga kesukaan kakak secara bergantian, mulai dari nenek, papa, mama,
paman, bibi, aku, adikku, lalu para sepupu. Setelah itu kami memberi penghormatan terakhir
dan berjalan pulang meninggalkan makam.
Selama perjalanan pulang, kami mampir ke beberapa tempat wisata, mulai dari taman
bermain hingga ke restoran ternama. Semuanya tampak bahagia hanya aku saja yang terlihat
murung. Bahkan sesampainya dirumah, aku masih memikirkan kejadian tadi. "Suara siapa
itu, aku seperti tak asing dengan suara itu." Tiba-tiba saja suara itu terdengar lagi, "Masa
adikku lupa dengan suara kakaknya." Aku terkejut, seketika tubuhku bergetar kencang
bahkan tak terasa tubuhku sudah terbaring di lantai. Tangan, kaki, aku tidak bisa
menggerakkan tubuhku. Suara suara kepanikan memecah kesunyian rumah. Papa dan paman
membawaku ke dalam kamarku dan ibuku memberiku obat. Aku hanya bisa melihat
kepanikan mereka, aku ingin menenangkan mereka namun aku tak mampu karena kondisiku.
Sesaat berlalu, aku perlahan lahan bias menggerakkan tanganku. Semuanya merasa lega dan
gembira, aku masih memikirkan apa yang baru saja terjadi padaku. Mereka semunya
mendoakan kesembuhanku lalu mereka berpamitan pulang. Sebelum mama meninggalkanku,
mama berpesan, "Kak, kalau butuh sesuatu panggil mama ya.""Ya ma." Semuanya telah
pergi, tinggallah aku seorang diri di dalam kamar ini. Isi pikiranku bercampur aduk serasa
kepalaku mau meledak. Aku hanya berharap, hari esok lebih baik dari hari ini. Ya kalau itu
mungkin tapi perasaanku mengisyaratkan akan ada hal buruk yang terjadi.
Keheningan dan sejuknya malam seraya membujukku untuk pergi ke alam mimpi. Namun,
entah mengapa aku tidak bisa tertidur pulas. Biasanya hanya dengan sedikit elusan angin
malam dan lembutnya selimut kesanyangan sudah dapat mengantarkan aku ke alam mimpi.
Aku ingin melakukan sesuatu agar aku mengantuk. Namun, papa, mama, dan adik sudah
pergi berpetualang di alam mimpi. Aku tidak ingin mengganggu petualangan mereka. Di
tengah renunganku mencari cara agar tertidur pulas, tiba-tiba terdengar suara merdu nan
halus memanggilku, "Putra, lihatlah ke kanan." Anehnya tubuhku tidak bergetar, aku
berusaha menghiraukan nya. Sekali, dua kali, tiga kali, dan berulang kali hingga akhirnya aku

An Anthology of Time | 167


tidak tahan dan membalasnya, "Ya ya, aku noleh ke kanan." Betapa terkejutnya aku, seorang
gadis muda berbaring tepat disampingku. Rambutnya yang panjang nan gemulai, matanya
yang berkilau dan tatapannya yang tajam bagaikan elang membuatku terpesona, aku tidak
bisa berkata apa apa. "Putra, kakak ngambek loh, dipanggil berulang kali Putra ga mau
jawab." Ku masih tak percaya, kakakku yang beberapa tahun yang lalu telah meninggalkan
dunia ini berada tepat di sampingku. Rasa bahagia membuatku tak merasakan jika air mata
telah mengalir membasahi pipiku. Aku seketika ingin sekali memeluknya namun tubuhku
masih belum kuat untuk bergerak. Tanpa kusadari, kakak sudah memelukku dengan erat. Aku
sedikit terkejut namun kelembutan, kehangatan, serta kenyamanan membuat hatiku luluh.
Aku hanya bisa merasa senang bertemu kembali dengan kakakku tercinta. "Sudah sudah,
jangan menangis terus, Putra kan kuat. Kakak yakin besok putra bakal sembuh, percaya deh
sama kakak." Seketika kakakku menghilang dari pandanganku. Semua rasa bercampur di hati
yang rapuh ini. "Kak, terima kasih." Jawabku sambil menahan air mata yang tidak dapat
berhenti mengalir. Saat itu juga aku langsung tertidur pulas.
Suara ayam berkokok membangunkan ku. Aku menoleh ke kanan, aku merasa seolah olah
semua yang terjadi semalam benar benar nyata. Aku mencoba bergerak lalu bangun dengan
perlahan laha. Lambat tapi pasti, aku berjalan walau tubuh ini terasa berat, hingga akhirnya
aku sampai di ruang keluarga. Betapa terkejutnya keluargaku melihatku dapat berjalan,
mereka tak dapat membendung air mata kebahagiaan. "Putra anakku, papa sangat khawatir,
terima kasih kepada Tuhan yang telah menyembuhkan mu." Semuanya bahagia, papa terus
memanjatkan doa puji syukur kepada Tuhan terus menerus. Mama memasak makanan dan
membuat minuman kesukaanku. Tidak berselang lama, makanan dan minuman kesukaanku
dihidangkan oleh mama sebagai bentuk rasa syukur atas kesembuhanku. "Pa, ma, Putra...."
Entah mengapa aku berhenti bicara, seolah-olah mulutku terkunci dengan sendirinya. Aku
terus mencoba namun tak berhasil. "Ada apa Putra ?" Tanya mama keheranan. "Ga ada apa
apa kok ma, Putra cuma minta ijin di kamar seharian buat istirahat." Bukan ini yang mau
kuucapkan, namum mulutku berbicara dengan sendirinya. Setelah menyantap semua
hidangan yang dibuat oleh mama, aku segera beranjak ke kamar dan berbaring di kasur.
Beberapa saat kemudian, kakaku muncul didepanku dengan penampilan yang berbeda dan
tatapan yang berbeda, "Putra,kakak minta tolong jangan beritahu mama sama papa. Keadaan
apapun jangan beritau." Aku berpikir keras, kenapa dan alasan apa sampai sampai kakak
melarang ku seperti itu, ahh lebih baik kuikuti saran kakak daripada kepalaku pusing, "Ya
kak, Putra akan menjaga rahasia ini."
Sementara itu di ruang tamu, suasana mencekam menyelimuti mama dan papa. Mama dan
papa mencurigai ku tanpa sepengetahuan ku.
"Ma, suara Putra tadi sedikit aneh. Tidak seperti biasanya."
"Putra cuma kecapekan aja pa, ga usah berpikir yang aneh aneh."
"Tapi, bukankah tadi suara putra mirip dengan suara perempuan."
Mamaku sontak terdiam, keringat mulai menetes membasahi wajahnya. Papaku seketika
mengelap keringat mama.

An Anthology of Time | 168


"Ma, papa tau mama berpura pura supaya papa ga panik."
"Maaf mama berpura pura, memang perkataan papa benar. Suara putra mirip dengan
perempuan, namun mama mengira karena kondisi tubuhnya yang belum stabil dan kita yang
masih kepikiran Ayu sampai mengira suara Putra menjadi seperti itu."
Sementara itu aku yang berada di kamar sedang berbincang-bincang dengan kakak.
Membicarakan semua kenangan kenangan kami. Di tengah-tengah keasyikan ku dengan
kakak, terbesit sesuatu di pikiranku. Aku pun menanyakan kepada kakak, "Kak, kenapa
mama sama papa ga boleh tau tentang ini." Kakakku seketika diam mematung, raut wajahnya
yang awalnya ceria menjadi muram. Lirikan matanya menjadi lebih tajam. Selama kakak
masih hidup pun, aku belum pernah melihat kakak seperti ini. "Tidak ada apa apa kok, hanya
saja jika mama sama papa tau hal ini, nanti kakak ga bisa bersama Putra lagi." Kudengar dari
nada bicaranya, jelas sekali kakak berbohong. Namun, aku lebih baik mempercayai kakak
agar kakak tidak seperti itu lagi. "Putra percaya kok sama kakak, Putra janji akan
merahasiakan hal ini." Wajahnya yang muram seketika tersenyum lega. Suasana kembali
seperti biasa. Kami melanjutkan pembicaraan kami, tak terasa sinar mentari sore
menyilaukan mataku. Percakapan kami berakhir, kakak berpamitan lalu perlahan kakak
menghilang. Aku memutuskan ntuk keluar dari kamar. Ketika aku membuka pintu, seseorang
dengan bau menyan menyengat berdiri di hadapanku. "Ahh celaka."
Mbah Ageng namanya, mulutnya komat kamit seakan akan membaca mantra suci,
tangannya yang memegang suatu benda misterius. Aku mematung tak tau berbuat apa. Tanpa
sadar, sebuah tamparan keras mengenai pipiku. Pipiku memerah dan rasa sakitnya yang tidak
dapat kutahan. “Sadar nak, sadarlah.” Ucapnya. Amarah dan kekesalan menguasai diriku,
“Mbah, sekali lagi menamparku, aku tidak ragu untuk mernghajar.” Namun apa yang terjadi,
Mbah Ageng tetap menampar pipiku bagian sebelah. Tak kuasa menahan emosi, aku
langsung menghajarnya. Darah berceceran memenuhi seluruh ruangan. Aku yang tersadar
langsung berlari ke dalam kamar. Suara bantingan pintu yang keras mengakhiri semuanya.
Aku mengurung di diri didalam kamar. Apa yang telah aku lakukan, rasa menyesal
mengelilingiku. Sebuah percakapan menarik perhatianku, aku berusaha mendengar
percakapan melalui balik pintu.
“Mbah, bagaimana keadaan anak saya ?” tanya mama dengan penuh kekawatiran.
“Sepertinya ini agak berbahaya, seminggu lagi akan terjadi gerhana bulan saat malam hari.
Pada saat itu bawa anak itu ke tengah lapangan dekat rumah mbah. Semakin cepat ditangani
semakin baik.” Sepertinya mereka mulai menyusun sebuah rencana yang tidak kuketahui.
Aku memikirkan sebuah rencana yang matang agar aku tidak mengikuti skenario yang
mereka buat.
Saat sore hari, aku berusaha berbincang bincang dengan mama papa yang seolah olah
peristiwa tadi siang tidak terjadi. Awalnya mereka mencurigaiku namun akhirnya kecurigaan
mereka menurun. Dengan begini aku dapat merubah isi pikiran mereka. Setelah berbincang
bincang aku masuk kembali ke dalam kamar. “Kak, kakak ada disini kan ? Kak !!!!” Entah
mengapa kakak tak muncul. Aku memanggilnya berkali kali namun tetap muncul juga. Selagi
aku berusaha memanggil, bau wewangian dengan aroma khas bunga mawar tercium olehku.

An Anthology of Time | 169


Aku mencari sumber bau itu, aku berjalan seperti biasa agar papa mama tidak mencurigai
gerak gerikku. Ku ikuti hingga aku sudah berada di halaman belakang. Ku lihat sebatang
bunga mawar yang telah mati. Namun, bunga mawar itu masih mengeluarkan bau harumnya.
Aku mendekati dengan perlahan. Lalu ku pegang bunga mawar itu, “Ini kan bunga mawar
kesayangan kakak. Bagaimana aku lupa untuk merawatnya sampai mati kekeringan seperti
ini. Apa kakak tidak mau muncul gara gara bunga mawarnya telah mati.” Aku termenung dan
teringat janjiku kepada kakak di saat terakhirnya. Saat itu kakak memohon kepadaku untuk
merawat bunga mawar kesayangannya. Aku menggenggam tangannya dan berjanji untuk
merawatnya sepenuh hati. Saat itu juga, kakakku menghembuskan napas terakhirnya. Setelah
kepergiannya, aku pun merawat bunga itu dengan sepenuh hati. “Kak, maafkan aku karena
tidak bisa menepati janji kakak. Maafkan aku kak.” Tak ada angin tak ada hujan, wangi
harum bunga itu semakin kuat. Aku seeakan merasa ini hanyalah mimpi, bunga yang awalnya
kering perlahan menjadi segar kembali seperti telah dirawat dengan baik. Tiba tiba aku
merasa seperti sedang dipeluk, hangat dan lembut. “Lain kali, kalau berjanji harus
ditepatinya. Jangan dilupakan begitu saja.” Ku menoleh dan melihat senyuman kakaku yang
sembari memelukku. Aku hanya bisa menangis dan meminta maaf. Namun kesedihanku
harus berhenti disitu, papa dan mama melihatku sedang menangis. Mereka sontak berlari ke
arahku dan menanyakan keadaanku. “Putra, ada apa ? Kenapa menangis disini ?” Aku
berusaha mencari alasan agar tidak dicurigai, “Tidak ada apa apa ma, hanya saja ketika aku
melihat bunga mawar ini, aku teringat pada mendiang kakak.” Kepanikan mama mereda
namun masalah belum selesai. Pandangan papa terpaku pada bunga mawar peninggalan
kakak, “ Bukankah bunga ini telah mati, kenapa bisa hidup kembali.”
“Papa mungkin selama ini salah lihat, setiap hari aku masih merawatnya kok. Semua yang
kurawat mana bisa mati pa, papa tau sendiri kan kehebatanku dalam merawat tanaman.”
“Papa tau, tapi...”
Papaku masih keheranan, aku harus cepat cepat mencari alasan. Aku ingin menyakinkan
papa namun mama menyela.
“Papa kok gitu, mama aja percaya sama putra, masa papa gak percaya ?”
Papa terdiam dan berpikir sejenak. Akhirnya papa percaya denganku. Kami kembali ke
dalam rumah untuk makan bersama.
Hari esok telah tiba, enam hari lagi gerhana bulan terjadi. Aku masih memikirkan cara
agar semua yang direncanakan oleh papa mama gagal total. Mulai dari menyibukkan papa
mama, menghilangkan semua barang barang yang dipersiapkan dan lain sebagainya. “Apa
apaan ini ? mengapa terdapat banyak sekali barang di kardus ini. Keris, belati, anak panah
dan busurnya, serta parang. Ini rencana untuk menyembuhkanku atau untuk membunuhku.
Ya kalau dipikir nalar sih, kalau aku mati dibunuh otomatis aku langsung sembuh di dalam
sana. Tapi ga gini juga konsepnya !!!!!” Niat yang sedikit menyimpang terlintas didalam
pikiranku, “Aku jual saja ini. Uangnya bisa kusimpan.” Dengan cepat aku membawa kardus
ini namun nasib buruk menghadangku. Orang tuaku melihatku membawa kardus ini. Papa
menghampiriku dan merebut kardus yang kubawa, “Mau kau apakan kardus ini ?” Nada
bicaranya berbeda seakan akan papa khawatir aku mengetahui isi kardus itu, “Ahh itu.... Tadi

An Anthology of Time | 170


kardus itu ada disana, karena kardusnya dipandang agak mengotori sekitarnya aku berinisiatif
memindahkannya ke gudang.” Semoga saja papa percaya, jika tidak maka aku akan
menghadapi masalah serius. “Sudahlah pa. Itu kan inisiatifnya Putra sendiri, seharusnya papa
dukung jangan memarahi Putra.” Perkataan mama memengaruhi pikiran papa, tak bicara
sepatah kata papa langsung membawa kardus itu kekamarnya. Mama menyuruhku untuk
kembali ke kamar dan mama menyusul papa ke dalam kamar papa. Di dalam kamar, rasa
gelisah menghantuiku. Ku gigit gigit ibu jariku untuk menenangkan pikiran, “Kenapa
kardusnya harus dibawa ke kamarnya papa hahhh ?!?!?! Dengan begini akan susah bagiku
untuk menghilangkan kardus itu. Apa lebih baik aku pasrah saja ya ? Lagipula yang aku
lakukan tidak berpengaruh sedikitpun pada rencana papa mama.” Di tengah kegelisahanku,
kakak muncul di hadapanku, “Lucunya adikku kalau gelisah. Tutututu gitu aja kok panik.”
“Entahlah kak, pikirannku campur aduk. Aku ga tau harus berbuat apa.”
“Sudah tenang aja, semuanya yang Putra pikirkan tidak akan terjadi kok.”
Aku masih gelisah dan kakak terus berusaha menghiburku. Hingga akhirnya
kegelisahanku mereda dan kakak kembali menghilang. Aku membuladkan tekad untuk
menggagalkan rencana ini, “Tak peduli apapun resikonya, aku pasti bisa menggagalkannya.”
Beberapa hari kemudian, besok lusa adalah hari terjadinya gerhana bulan. Namun usaha
yang aku kerjakan selama ini belum membuahkan hasil sama sekali. “Apa lagi yang harus
kulakukan, semua rencana yang kubuat hasilnya gagal semua.” Deringan handphone menarik
perhatianku, dengan segera ku angkat teleponnya. “Halo, ini siapa ya ?” Tidak menjawab,
akan kutanya sekali lagi, “Halo ! Ini siapa ?!” Dia langsung menutup telponnya, ini malah
menambah kegelisahan diriku. “Paling cuma orang iseng atau salah nomor.” Kuputuskan
pergi jalan jalan ke suatu tempat untuk mencari udara segar. Hamparan padi berwarna hijau,
kicauan burung kutilang dan cerahnya hari ini menenangkan pikiranku. Warga yang lewat
menyapaku, anak anak asyik bermain di tengah sawah. Sudah berapa lama aku tak merasakan
keindahan dunia ini. Angin semilir mengelus diriku, tak terasa ku tertidur pulas di rindangnya
pohon beringin.
Aku terbangun dan melihat sekitar sembari mengumpulkan nyawaku yang masih
melayang layang. Langit malam membentang gagah di atas sana. Cahaya bulan yang agung
seakan akan menyinari gelapnya malam. “Cantiknya, andai kakak ada disini pasti kakak akan
merasa takjub.”
“Kakak disini kok.”
“Ehh tikus tikus, jangan membuatku kaget kak !!”
Tubuhku refleks seperti itu jika aku merasa kaget, untungnya aku tidak mengucap nama
nama hewan yang lain. Aku melihat kakakku yang sedang menatap langit. Matanya sangat
terpukau melihat indahnya langit malam. Kami menikmati pemandangan malam yang
menakjubkan bersama. Tak terasa sudah sejam berlalu. “Kak, aku pulang dulu ya. Papa
mama mungkin mencariku jadi aku harus cepat cepat pulang.” Keindahan malam seolah olah
kakaku lupa dengan sekelilingnya, aku meninggalkannya dengan perlahan agar kakak dapat
menikmatinya dengan tenang.

An Anthology of Time | 171


Selama perjalanan pulang, perasaanku sangat tidak nyaman. Ku merasa seolah olah ada
yang mengikutiku. Dan benar saja, setelah aku menoleh kebelakang aku melihat dua orang
dengan sebuah karung. Aku berusaha melawan namun apa daya tubuhku yang lemah
membuatku kalah seketika. Aku pun dimasukkan ke dalam karung.
Goncangan goncangan dan suara suara keramaian membuat kepanikanku memuncak.
Hingga aku dilemparkan ke sebuah tempat, “Ahh sakit, apa apaan mereka. Dimana ini ?
Berumput, datar, tapi bau apa ini ? Seperti bau gas.” Dengan kepanikan yang tinggi aku
berusaha melepaskan ikatan karung, bersusah payah melepaskan hingga akhirnya terlepas.
Apa yang kulihat sangat membuatku syok. Berada di tengah lapangan dan dikerumuni
keluarga besar yang semuanya membawa senjata tajam. Di tengah tengah mereka, aku
melihat Mbah Ageng. Tamatlah riwayatku. Dan juga, bukannya gerhana terjadi besok lusa.
Kenapa dimulai lebih awal.
“Semuanya, lempar barang barang yang kalian bawa ke anak itu.” Segala macam barang
melayang ke arahku, aku berusaha menghindarinya. Namun beberapa tidak dapat kuhindari
dan lengan kananku mengalami luka sobek. “Apa maksud semua ini hah !!! Pa, ma,
semuanya sadarlah !!!” Mereka semua tidak mendengarkanku. Mbah Ageng menyulut api ke
cairan minyak yang mengelilingi diriku. Api berkobar dengan ganas, melahap semua barang
barang yang ada. Teriakan teriakan memecah sunyinya malam. “Ahh aku ingat, ini seperti
mimpiku kapan itu. Kak !!!!! Tolong selamatkan aku !! Sebagai gantinya ambillah sebagian
jiwaku ini.”
Awan mendung berkumpul dan saling menyatu. Kilatan petir menyambar pohon pohon.
Tak lama si jago merah lenyap dalam sekejap. Semuanya kebingungan termasuk juga Mbah
Ageng.
“Ma, pa, jangan lakukan ini. Aku tidak mau berpisah lagi dengan kakakku. Jangan
pisahkan kami.”
“Tapi Putra ini semua demi kebaikanmu, kamu tidak boleh seperti ini.”
Semua alasan mereka lontarkan untuk membuatku percaya dengan mereka, namun tak ada
lagi rasa percaya di dalam diriku. “Kebaikan ? Kalian berniat membunuhku dan kalian sebut
itu kebaikan untukku hah !!”
Ku ingin menyangkal namun aku tak mampu karena tubuhku bergetar kencang. Muntahan
darah keluar dari mulutku, seketika pandanganku lenyap begitu saja. Berada di suatu tempat
yang aneh, terombang ambing seakan tenggelam di lautan. Sejauh mata memandang,
semuanya hanya ada kegelapan. Mungkin ini adalah akhir hayatku. Tiba tiba terdengar suara,
yang tak lain suara kakakku. “Jangan, jangan, jangan mati Putraaa !!!”
Pandanganku langsung berubah, melihat sekeliling aku berada di rumah sakit. Papa mama
melihatku tersadar langsung memelukku dan tak kuasa menahan air mata. “Maafkan kami
Putra, karena keegoisan kami melarangmu bersama arwah kakak, kami hampir kehilanganmu
juga.” Isak tangis memecah suasana, aku memaafkan mereka karena mereka berbuat seperti
ini hanya untuk kebaikanku hanya saja dengan cara yang salah. Aku hanya berharap, setelah

An Anthology of Time | 172


sembuh aku masih bisa bertemu kakak. Mungkin kakak sedang menungguku, semoga saja.
Jika saja aku masih bisa berkomunakasi dengan kakak, maka keluarga kami lengkap kembali.

TAMAT

An Anthology of Time | 173


Hadiah terbaik
Wira Hayuningtyas

Hari terakhir ujian akhir semester bisa membuatku bernafas lega, selesai mengerjakan soal
ujian ekonomi lalu setelah dipersilahkan pengawas ujian untuk keluar, aku langsung beranjak
pulang. Akhirnya aku bisa bebas setelah hampir dua minggu berfikir, belajar, bergelut dengan
rumus rumus dan berbagai hafalan dari mata pelajaran yang sangat memuakkan.

Aku keluar dari gerbang sekolah dengan perasaan bahagia dan senyum mengembang.
Terhitung aku termasuk yang awal keluar dari ruang ujian karena sudah selesai terlebih
dahulu, jadi di gerbang cuma terdapat sekitar 7 anak yang menunggu dijemput atau sekedar
jajan di depan sekolah. Aku duduk di halte bus yang tak jauh dari gerbang, aku tak dijemput
ataupun mengendarai motor sendiri. Menaiki angkutan umum sudah menjadi kebiasaanku,
tak lama menunggu sekitar 5 menit bus yang kutunggu sudah sampai tepat di depanku.
Langsung saja aku masuk ke dalam bus yang lengang, mencari tempat duduk yang nyaman di
samping jendela sambil mendengarkan musik dari earphone.

Sekitar 15 menit bus berhenti di depan gang perumahanku, setelah membayar ongkos aku
segera memasuki gang menuju rumah. Seperti biasa rumah dalam keadaan terkunci, sepi dan
kosong. Tapi tak apa aku memaklumi keadaan ini. Ibuku mempunyai bisnis katering yang tak
bisa dilepas begitu saja, setiap harinya selalu dibanjiri pesanan dari berbagai daerah dan
ayahku adalah seorang manajer di suatu perusahaan yang mengharuskannya berangkat pagi
pulang larut malam. Apalagi sekarang ini masih jam 12 siang pasti saat jam jam begini ayah
dan ibu sedang sibuk sibuknya.

Aku menaiki tangga menuju kamar, menaruh tas sembarang di atas meja belajar lalu segera
merebahkan diri di kasur. Nyaman sekali setelah berhari hari tak bisa bersantai karena ujian.
Mungkin karena terlalu lelah tak kusadari rasa ngantuk menghampiri hingga aku
memejamkan mata dan tertidur pulas.

•••

Suara mobil merasuk ke telingaku, mengganggu tidurku hingga aku terbangun. Masih dengan
nyawa yang belum terkumpul aku meraih handphone untuk melihat pukul berapa saat ini.
Ternyata sudah pukul 10 malam, sudah berapa jam aku tertidur sampai sampai aku lupa
belum berganti pakaian dan mengisi perut, aku hanya sarapan sepotong roti tadi pagi.

An Anthology of Time | 174


Sadar kalau suara mobil yang ku dengar adalah mobil ayah yang baru saja datang, aku segera
beranjak dari tempat tidur menuju ruang tengah. Disana ada ayah yang baru saja duduk di
sofa sambil melepas sepatunya, ku lirik ibu berada di dapur mungkin sedang menyiapkan
secangkir kopi kesukaan ayah.

"Eh Raisa, kamu belum tidur? Terus itu kok masih pakai seragam sekolah?" Tanya ayah
setelah melihatku turun dari tangga.

"Tadi sudah tidur Yah, ketiduran lebih tepatnya jadi aku tidak sempat berganti baju."
Jawabku sambil berjalan menuju sofa lalu duduk di samping ayah.

"Ibu tadi mengecek ke kamar, kamu terlihat tidur sangat pulas Raisa, apalagi kamu masih
pakai seragam jadi jelas sekali kalau kamu kelelahan dan ketiduran. Ibu tidak tega
membangunkanmu untuk makan malam." Ibu ikut nimbrung percakapan, tebakanku benar
ibu membawa secangkir kopi untuk ayah.

"Sekarang aku sangat lapar, bagaimana kalau kita makan bersama? Sudah lama aku tidak
makan bersama dengan ibu dan ayah." Aku memang sudah merasa sangat lapar, apalagi ibu
dan ayah sangat sibuk jadi jarang sekali kami makan bersama.

"Iya kebetulan ibu sudah masak tadi, takut kalau kamu terbangun tengah malam dan mencari
makanan."

Aku, ibu dan ayah menuju meja makan. Aku membantu ibu menata makanan di atas meja,
setelah makanan tertata rapi kami bertiga mulai melahap makanan masing masing. Sambil
menikmati makanan kami berbincang bincang, bercanda, dan sesekali tertawa. Kehangatan
keluarga yang sangat ku rindukan saat ini. Meskipun ayah dan ibu sangat sibuk, jarang
meluangkan waktu untukku aku tak pernah merasakan kekurangan kasih sayang. Mereka
selalu bisa membuatku merasa mengerti dengan kesibukan mereka yang memang tak bisa
ditinggal begitu saja.

Setelah selesai makan aku dan ibu membereskan meja makan lalu mencuci piring kotor.
Sedangkan ayah ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan kurasa ayah akan langsung
tidur karena terlihat sekali kalau ayah sangat kelelahan.

An Anthology of Time | 175


"Kamu ga usah bantuin ibu, ibu bisa cuci piring sendiri. Sekarang kamu mandi gih atau ganti
baju aja terus tidur lagi. Besok masih sekolah kan?" Ucap ibu sambil mengambil piring kotor
dari tanganku.

"Gak papa bu aku bantuin aja, entar kalau sudah aku langsung ganti baju terus tidur deh.
Lagian kan ujiannya sudah selesai pasti besok jam kosong gak akan ada pelajaran." Aku
kasihan melihat ibu yang kelelahan selesai mengurusi kateringnya sekarang malah mencuci
piring sendirian.

"Yaudah kalau kamu maksa, emang ujiannya sudah selesai? Gimana kamu bisa menjawab
semua soal kan?"

"Ya begitulah, ada beberapa soal yang ku jawab asal saja. Sebagian materi yang aku pelajari
tidak keluar di soal malah soal yang keluar materi yang tak aku baca sama sekali."

"Tak apa memang seperti itu, kita tidak tahu materi apa yang akan keluar di soal. Lalu
pembagian rapor kapan? hari apa?" Meskipun ibu bertanya seperti itu aku tau baik ayah
maupun ibu tidak akan sempat untuk mengambil rapotku, mungkin tanteku yang akan
mengambilnya seperti biasa.

"Sekitar 5 hari lagi, tepatnya hari selasa. Apa ibu atau ayah bisa mengambil rapor kali ini?"
Tanyaku berusaha memastikan, berharap ibu atau ayah bisa datang mengambil rapotku.

"Maaf Raisa, ibu tidak bisa berjanji. Katering sedang ramai ramainya apalagi di bulan ini
banyak orang yang mengadakan acara, apalagi ayah yang sedang berusaha mengatasi
masalah di kantornya."

Aku mengernyit, kenapa ayah tidak bercerita kalau sedang mengalami kesulitan di tempat
kerjanya. "Memang ada masalah apa bu?"

"Sebenarnya ayah tidak mau kamu tau tentang ini, ibu juga tidak tahu pasti apa masalahnya,
tapi yang jelas ayahmu yang bertanggung jawab tentang masalah tersebut."

An Anthology of Time | 176


Aku menghela nafas, lagi dan lagi ayah ataupun ibu tidak bisa mengambil raporku. Aku juga
merasa kasihan kepada ayah yang kelelahan bekerja keras untuk keluarga ini. Aku rasa harus
memaklumi ini dan berhenti egois.

Setelah selesai mencuci piring aku langsung ke kamar berganti pakaian. Aku merebahkan diri
di kasur, menatap langit langit kamar merenungi kata kata ibu tadi. Aku merasa keluarga ini
masih terasa keharmonisannya tapi karena kesibukan kedua orang tua ku, aku merasa
kesepian. Berharap orang tua ku tak sesibuk iki, memiliki banyak waktu untuk keluarga, bisa
bersantai, atau bahkan berlibur.

Apa aku minta liburan semester ini untuk jalan jalan keluar kota sana? Ah membayangkan
bisa bercakap cakap di dalam mobil sepanjang perjalanan pasti terasa menyenangkan. Aku
harus mengusulkan ini besok, liburan semester ini terhitung kurang lebih 10 hari maka aku
harus segera mendiskusikan ini dengan ibu dan ayah. Aku berharap bisa berkumpul dengan
ayah dan ibu dalam waktu lama. Tak terasa aku memejamkan mata lalu tertidur lagi.

•••

Esok paginya, aku bangun pukul 5 lewat 30 menit. Segera aku bergegas mandi dan bersiap
siap berangkat sekolah, setelah siap aku turun ke bawah untuk sarapan. Rumah terlihat sepi,
sepertinya ayah sudah berangkat seperti biasa dan ibu mungkin sedang banyak pesanan jadi
harus berangkat pagi sekali. Aku menuju meja makan yang sudah terhidang nasi goreng
kesukaanku, ada kertas di dekat piring nasi goreng. Aku duduk di kursi makan, lalu meraih
kertas itu dan membacanya.

Raisa sayang, maaf ya ibu tidak bisa menemanimu sarapan. Ibu sedang banyak sekali
pesanan jadi harus berangkat pagi pagi. Ibu sudah menyiapkan sarapan kesukaanmu dengan
segelas susu, jangan lupa dihabiskan ya sayang. Love you…

Begitulah isi dari kertas di samping piring nasi goreng, aku tersenyum kecil, tersentuh
membaca surat itu. Di tengah tengah kesibukannya ibu masih menyempatkan membuat
sarapan untukku dan menulis surat ini. Entah sampai kapan ini terus terjadi, ku akui aku
merasa sangat disayangi tapi disisi lain aku juga membutuhkan waktu yang lebih lama dari
orang tua ku. Aku ingin menghabiskan banyak waktu dengan ibu dan ayah seperti keluarga
pada umumnya, setiap weekend jalan jalan untuk sekedar mencari udara segar, piknik,
mengunjungi tempat wisata dan sebagainya. Itu angan angan ku yang belum pernah terwujud,
aku berharap suatu saat nanti ayah dan ibu mengerti bagaimana perasaanku.

An Anthology of Time | 177


Aku mengusap air mata yang hampir saja membasahi pipiku, aku tidak boleh cengeng. Yang
dilakukan ayah dan ibu adalah bekerja untuk menafkahiku, untuk mencukupi kebutuhanku,
untuk memberikan kehidupan yang layak untukku. Aku makan nasi goreng buatan ibu
dengan lahap, jam juga hampir menunjukkan pukul 6 lebih 20 menit yang artinya 40 menit
lagi bel masuk akan berbunyi. Setelah makan aku bergegas memakai sepatu, mengambil tas
dan pergi menaiki angkot.

•••

Seperti yang kuduga, hari ini di sekolah full jam kosong. Guru guru mungkin sedang merekap
nilai nilai dari ujian, ulangan harian dan tugas tugas untuk dimasukkan ke nilai rapor. Jadwal
pulang pun dimajukan, jam 10 bel pulang sudah berbunyi, aku tidak berniat langsung pulang
mungkin berdiam diri di suatu cafe dan membaca buku sangat menyenangkan. Ada cafe di
seberang sekolahku sehingga aku hanya perlu jalan kaki ke sana.

Sesampainya di cafe tidak terlalu ramai hanya ada tiga orang, satu orang sedang bermain
ponsel dan yang dua lainnya sedang mengobrol di meja yang sama. Aku memesan satu gelas
es coklat dan kentang goreng sebagai camilan. Setelah selesai membayar pesananku, aku
memilih tempat duduk paling pojok dekat dengan jendela sehingga aku bisa melihat orang
orang yang berlalu lalang. Aku mengeluarkan earphone yang selalu kubawa kemanapun dan
mengeluarkan novel yang baru selesai kubaca setengah, memutar musik pop kesukaanku lalu
mulai lanjut membaca novel.

Saat pesananku datang aku meminum es coklat yang sudah lama tak kurasakan, mungkin
sudah sebulan lebih aku tak pernah kesini karena kesibukan sekolah dan tugas tugas yang
menumpuk. Sesekali aku melihat keluar jendela, masih banyak orang orang yang beraktivitas.
Jalan raya terlihat ramai dengan mobil, motor ataupun angkutan umum, di trotoar banyak
orang yang berjalan kaki. Perhatianku teralihkan kepada sepasang suami istri dan anak
perempuannya, sepertinya anak itu masih berumur lima tahun. Dia merengek minta dibelikan
es krim abang abang di pinggir jalan. Aku jadi teringat dulu waktu ayah dan ibu belum
sesibuk sekarang aku sering sekali diajak jalan jalan ke taman dan pada akhirnya dibelikan es
krim coklat kesukaanku. Ingin rasanya aku mengulang kejadian itu, merasakan kehangatan
keluarga, keseruan, kebahagiaan menjadi satu.

Aku menghela nafas merasakan sesak di dada, mengingat masa kecilku dan
membandingkannya dengan keadaanku sekarang. Dulu aku selalu ditemani ibu dan ayah
sekarang aku kemana pun sendiri tidak ada yang menemani. Aku tau aku sudah hampir

An Anthology of Time | 178


dewasa aku sudah bisa menjaga diriku sendiri tapi tetap saja aku masih butuh diperhatikan
dan quality time dengan keluarga. Karena suasana hatiku yang mulai buruk, aku ingin pulang
saja. Tanpa menghabiskan kentang goreng ataupun es coklatku aku langsung beranjak pergi.

•••

Empat hari kemudian pembagian rapor pun tiba, dugaanku benar yang mengambil raporku
adalah tante. Setelah melihat nilaiku aku merasa puas, aku mendapatkan nilai yang lumayan
bagus, tidak terlalu bagus tetapi cukup aman untuk naik kelas. Akhir akhir ini ayah dan ibu
semakin sibuk, ibu bilang usaha cateringnya semakin ramai bahkan ibu ikut turun tangan
tidak hanya memantau dan ayah sepertinya masalah di kantor semakin parah karena setiap
aku bangun pagi ayah sudah berangkat ke kantor dan pulang larut malam saat aku sedang
tidur.

Melihat kesibukan ayah dan ibu aku yakin mereka tidak akan ada waktu untuk liburan, pupus
sudah harapanku untuk mengajak mereka jalan jalan keluar kota. Aku juga tidak enak hati
untuk merengek meminta liburan, bagaimana bisa ayah dan ibu sedang sibuk aku malah
meminta hal yang tidak penting?

Aku pulang sekolah bersama tante selesai mengambil rapor, di mobil tante bertanya, "Kamu
mau makan dulu? Disini ada restoran yang enak, karena nilai kamu bagus jadi tante traktir
dehh."

Aku tau tante berusaha menghiburku karena ayah dan ibu tidak bisa mengambil raporku,
tante sepertinya juga mengerti kalau suasana hatiku sedang buruk saat ini. Aku tersenyum
menerima ajakan tante, tidak ada salahnya juga sesekali makan di luar, di rumah juga
sepertinya tidak ada makanan mengingat aku tadi hanya sarapan sepotong roti dan segelas
susu.

Sesampainya di restoran aku dan tante memilih tempat duduk yang masih kosong, disini
lumayan ramai sehingga kita langsung duduk saja di meja kosong terdekat. "Kamu mau
makan apa?" Tanya tante setelah mengambil menu dari waitress.

"Apa saja tante, samakan saja kayak yang tante pesan." Tante hanya mengangguk dan
memesan dua porsi makanan utama, dua porsi dessert dan dua minuman. Aku tak terlalu
memperhatikan apa saja yang dipesan tante, malah melamun asik dengan pikiranku sendiri.

An Anthology of Time | 179


"Tidak usah dipikirkan Sa, ayah dan ibu kamu bekerja itu untuk membahagiakan kamu, untuk
memenuhi kebutuhan kamu supaya kamu tidak susah kedepannya. Tante yakin mereka sangat
menyayangi kamu meskipun sibuk dengan pekerjaannya." Tante berbicara seolah olah tahu
yang aku pikirkan.

"Aku juga sudah berusaha mengerti tante, tapi tetap saja aku ingin ayah dan ibu memiliki
waktu luang yang lebih lama untukku. Aku ingin mengajak mereka pergi liburan keluar kota
walaupun cuma sehari saja aku sudah senang." Aku menjawab dengan lesu.

"Kalau begitu bicarakan saja dengan ayah dan ibumu, mungkin mereka bisa meluangkan
sedikit waktunya untuk berlibur. Kamu sudah pernah membicarakan ini sebelumnya?" Aku
menggeleng, "Aku tidak enak hati untuk mengganggu kesibukan ayah dan ibu. Aku takut
malah pekerjaan ayah dan ibu terbengkalai hanya karena aku mengajak liburan."

"Kalau kamu tidak membicarakan ini ayah dan ibu tidak akan tahu jika kamu menginginkan
liburan bersama, tante yakin mereka akan meluangkan sedikit waktunya walau sekedar hanya
sehari." Setelah mendengarkan perkataan tante aku mulai memikir tidak ada salahnya juga
membicarakan ini, jika memang ayah dan ibu tidak bisa aku tidak akan memaksa.

"Baiklah tante, nanti akan aku bicarakan dengan ayah dan ibu." Tak lama pesanan kami pun
datang, aku melahap makanan dengan perasaan yang mulai membaik.

•••

Setelah makan bersama tante aku langsung pulang ke rumah, tante sebenarnya menawarkan
diri untuk menemaniku di rumah agar aku tidak sendirian tapi aku menolak karena tahu tante
sebenarnya sibuk, aku juga tak ingin merepotkan. Setelah membersihkan diri lalu berganti
pakaian aku bersantai di ruang tengah menonton televisi. Aku berencana menunggu ayah dan
ibu pulang untuk membicarakan keinginanku liburan.

Sudah hampir jam sepuluh malam ayah dan ibu belum pulang juga, aku juga mulai merasa
ngantuk. Tapi aku berusaha menahannya, jika aku membicarakan besok pagi ayah dan ibu
pasti sudah berangkat sebelum aku bangun.

An Anthology of Time | 180


Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam lebih dan aku masih terjaga. Yang kutunggu
akhirnya datang juga, aku mendengar suara mobil memasuki gerbang. Itu pasti ayah dan ibu,
aku segera membuka pintu depan keluar rumah. Aku menghampiri ibu yang hendak masuk
menutup gerbang, "Loh Raisa kamu kok belum tidur? Ini sudah malam sekali."

"Iya bu, aku sengaja menunggu ibu dan ayah ada yang ingin Raisa bicarakan." Aku dan ibu
berjalan menuju rumah.

"Tumben, kamu mau membicarakan apa?" Sepertinya ibu penasaran karena aku jarang sekali
mau membicarakan sesuatu apalagi sampai mau menunggu selama ini.

Aku tak menjawab, aku menunggu ayah bergabung juga di ruang tengah. Setelah aku, ayah
dan ibu duduk di sofa ruang tengah aku mulai berbicara, "Aku tahu ayah dan ibu sangat sibuk
tapi aku ingin kita liburan bersama, membangun keharmonisan, mempererat hubungan kita.
Kita sudah lama tidak berkumpul secara lengkap karena ayah dan ibu terlalu sibuk. Jadi apa
ayah dan ibu bisa meluangkan waktu sehari saja untuk liburan?"

Aku menatap mereka penuh harap, berharap ayah dan ibu bisa meluangkan waktunya. "Ibu
juga ingin kita berkumpul bersama, menghabiskan waktu bersama tapi maaf sayang ayah dan
ibu tidak bisa meninggalkan pekerjaan kami. Ibu sangat sibuk dengan pesanan yang
membludak, besok ibu harus pergi pagi sekali karena banyak pesanan yang belum dibuat."

Jujur aku kecewa, aku beralih menatap ayah berharap ayah bisa menerima ajakanku. "Maaf
sayang ayah juga tidak bisa, masalah di kantor semakin rumit. Banyak karyawan yang protes
ingin resign bahkan perusahaan ayah bekerja terlilit hutang. Pekerjaan ayah semakin banyak
dan sekarang ayah sangat pusing memikirkannya."

"Kenapa ayah gak resign aja? mencari pekerjaan di perusahaan lain, percuma juga kan
perusahaan ayah bekerja sekarang pasti akan bangkrut juga nantinya." Aku sudah merasa
sangat kecewa kenapa mereka tidak bisa meluangkan waktunya barang sehari saja.

"Tidak bisa begitu, mencari pekerjaan tidak mudah dan belum tentu juga di perusahaan lain
ayah memiliki jabatan yang bagus. Masalah ini juga adalah tanggung jawab ayah, ayah tidak
bisa lepas tangan begitu saja." Ayah masih sabar meladeni perkataanku.

An Anthology of Time | 181


Aku merasa sangat kecewa, tak terasa air mataku jatuh aku tidak bisa menahannya. "Ibu ayah
aku sangat ingin kalian bisa meluangkan waktu untukku, aku lelah di rumah sendiri, aku lelah
pergi sekolah sendiri, aku lelah tidak ada yang menjemputku pulang sekolah, aku lelah pergi
kemanapun sendiri, bahkan untuk sekedar mengambil raporku kalian tidak bisa. Apakah
sesusah itu meluangkan sedikit waktu untukku? Aku tidak butuh uang kalian aku hanya butuh
diperhatikan." Aku mengeluarkan semua unek unek ku yang selama ini aku tahan, dengan
terisak aku sedikit meninggikan suaraku.

"Raisa! Kamu keterlaluan ya! Ayah dan ibu ini lelah setelah bekerja banting tulang untuk
menafkahi kamu, tapi kamu malah seperti ini. Apakah kamu tidak bersyukur hidup
berkecukupan? Kamu bisa membeli apapun yang kamu mau, kamu bisa tinggal di rumah
yang bagus ini apa itu tidak cukup?" Ayah mulai meninggikan suaranya juga.

Aku semakin menangis, ibu berusaha menenangkanku. "Sudah Yah, Raisa hanya ingin kita
berkumpul bersama tidak usah diperpanjang." Ibu memelukku dan berkata, "Tenang saja ya
sayang, ibu dan ayah pasti bisa meluangkan waktu untuk kamu tapi tidak dalam waktu
dekat."

Aku langsung pergi ke kamar dan mengurung diri, sebenarnya aku tidak ingin menjadi seperti
ini tapi aku terlalu muak karena yang aku inginkan tidak bisa tercapai. Mungkin aku hanya
perlu waktu untuk menenangkan diri, air mataku masih terus mengalir hingga aku ketiduran.

•••

Saat aku bangun pagi pasti ayah dan ibu sudah berangkat kerja, aku berkaca melihat mataku
yang sembab. Keadaanku sangat kacau mata sembab, kulit kusam, rambut berantakan dan
bajuku sangat kusut. Tak tahan melihat penampilanku, aku langsung kekamar mandi untuk
membersihkan diri. Setelah segar kembali aku ke dapur untuk sarapan, tak ada nasi goreng
ataupun roti di dapur, mungkin sudah habis dan ibu belum sempat membeli kebutuhan
bulanan.

Terpaksa aku berjalan ke warung depan perumahan untuk membeli roti, aku tidak nafsu
untuk makan nasi hanya ingin mengganjal perut saja agar tidak lapar. Tumben sekali suasana
perumahan masih sepi padahal ini sudah menunjukkan pukul 8 pagi apalagi hari minggu
biasanya banyak anak kecil bermain atau orang yang sekedar jalan jalan. Setelah sampai di
warung aku membeli roti isi coklat dan air mineral, lalu memakannya di kursi dekat taman.
Lagi dan lagi aku merasa kesepian tapi aku memutuskan tidak akan meratapi nasibku, aku tak
ingin menjadi anak yang manja dan lemah.

An Anthology of Time | 182


Aku menikmati roti sambil mendengarkan musik dari earphone, udaranya sangat segar pagi
ini apalagi cuaca yang cerah sangat menenangkan. Tiba tiba ada mobil yang parkir di dekat
kursi yang kududuki, mobilnya tidak asing. Itu mobil tante, kenapa tiba tiba tante kesini? Dan
bagaimana dia tau jika aku ada disini?

Benar saja tante keluar dari mobil dan menghampiriku, "Raisa! Kamu ngapain disini
sendirian?" Tanya tante kepadaku, aku masih bingung tumben tante kesini biasanya jika tante
ingin mengunjungi selalu menghubungi terlebih dahulu.

"Eh tante, cuman ingin bersantai aja menghirup udara segar." Jawabku, lalu tante duduk di
sampingku.

"Kenapa sendirian saja? Apalagi di tempat sepi begini. Kamu gak takut diculik?" Tante
bertanya lagi dengan nada bercanda, apa yang harus aku takutkan? Ini masih pagi dan banyak
orang yang berlalu lalang di jalan raya seberang taman ini.

"Haha tante bisa aja, siapa yang mau nyulik Raisa? Nanti biar Raisa tonjok." Aku menjawab
dengan gurauan juga.

"Yaudah daripada kamu disini sendirian ayo iku tante." Aku mengernyit tumben sekali tante
sangat baik, kemarin sudah mentraktirku dan sekarang mengajakku pergi.

"Kemana? Tumben sekali tante mengajak Raisa." Tanyaku penasaran. "Jalan jalan aja
daripada kamu disini sendirian pasti bosan." Akhirnya aku menyetujui ajakan tante lalu
masuk ke dalam mobil.

Tante langsung saja mengendarai mobil menjauhi perumahan, "Kamu mau shoping gak?
Tante lagi pengen beli baju baru." Aku mengangguk saja menuruti kemauan tante.

Tak lama setelah itu kami sampai di mall, aku dan tante mulai memasuki mall dan langsung
menuju toko baju. Aku hanya duduk di kursi yang ada disana malas ikut tante berkeliling,
aku memakai earphon dan bermain ponsel untuk mengatasi rasa bosan.

An Anthology of Time | 183


Setelah 30 menitan tante berkeliling mencari baju akhirnya ia menemukan baju yang sesuai,
tanpa lama lama tante membayar ke kasir. "Kamu mau kemana lagi? Atau kita langsung
pulang saja?" Tanya tante padaku setelah selesai melakukan pembayaran.

"Langsung pulang saja tante, aku ingin bersantai di rumah." Lalu kami menuju parkiran dan
pulang. Di perjalanan aku hanya menatap keluar jendela, malas juga berbincang dengan tante
yang sedang fokus menyetir.

Setelah sampai di rumah aku dan tante keluar dari mobil, ternyata tante ingin mampir dulu
karena ada titipan dari ibu, entah apa itu aku tidak diberi tahu. Aku mengeluarkan kunci dari
saku untuk membuka pintu, tapi aneh kenapa pintunya tidak terkunci? Padahal jelas jelas aku
tadi mengunci pintunya. Aku membuka pintu perlahan, gelap yang ku lihat pertama kali.
Seingatku tadi membuka beberapa jendela yang otomatis cahaya bisa masuk ke dalam rumah,
tapi ini benar benar gelap gulita. Aku menengok kepada tante, tante malah mengangguk dan
menyuruhku masuk.

Perlahan aku membuka pintu lebih lebar dan mulai melangkah memasuki rumah, seketika
ruangan menjadi terang karena lampu yang dinyalakan. Disusul suara terompet ulang tahun
yang mengagetkanku. Betapa terkejutnya aku di ruang tamu sudah ada ayah, ibu, beberapa
saudaraku, dan teman teman dekatku. Ruang tamu juga dihiasi dekorasi serba putih, di tengah
tengah ada kue tar yang ukurannya lumayan besar, kado yang menumpuk ada di sofa.

Aku sampai lupa kalau hari ini adalah hari ulang tahunku, air mata tak bisa kubendung lagi,
aku menangis bahagia. Ayah dan ibu menghampiriku memelukku, "Selamat ulang tahun
sayang, maafkan ayah telah memarahimu kemarin." Bisik ayah tepat di telingaku, tangisku
makin pecah aku membalas pelukan mereka berdua.

Ibu menggiringku menuju kue tart berada, ada lilin dengan angka 17 di atasnya. Semua teman
dan saudaraku menyanyikan lagu ulang tahun, sebelum meniup lilin aku berdoa dalam hati
berharap keluargaku bisa harmonis dan orang tuaku bisa meluangkan waktu lebih banyak
untukku. Aku meniup lilin dan orang yang berada di ruangan ini bersorak tepuk tangan.

Aku disuruh memotong kue dan memberikan potongan pertama kepada ibu dan ayah. Tapi
aku masih bingung apa sebenarnya yang telah terjadi, "Ini semua rencana ayah dan ibu?"

"Iya Raisa, ibu dan ayah memang sengaja terlihat sibuk akhir akhir ini karena menyiapkan
kejutan ulang tahun untuk kamu. Dan rencana kami berhasil kamu mulai muak dengan

An Anthology of Time | 184


kesibukan ayah dan ibu, ini semua juga berkat bantuan dari tante kamu yang mengajak ke
mall untuk memberi waktu kami mempersiapkan ini semua." Ibu menjelaskan.

Aku menoleh kepada tante yang sedang membawa paper bag ke arahku, "Baju ini sebenarnya
kado ulang tahunmu Raisa. Selamat ulang tahun ya." Aku langsung memeluk tante, ternyata
ini semua sudah direncanakan jauh jauh hari.

"Nah sekarang ayo kita lihat hadiah dari ayah dan ibu." Ucap ayah mengajakku menuju
garasi.

Sesampainya disana betapa terkejutnya aku melihat motor antik yang aku idam idamkan
selama ini, "Ini beneran hadiah buat Raisa?" Tanyaku tak percaya langsung memegang
langsung motor yang sangat aku inginkan.

"Iya sayang, ayah dan ibu tahu kamu sangat menginginkan motor itu. Maka dari itu ayah dan
ibu membelikannya agar kamu tidak perlu menaiki angkutan umum ke sekolah."

Lagi dan lagi tangisku pecah di pelukan ayah dan ibu, ini adalah hadiah ulang tahun terbaik
yang pernah aku dapatkan. Bukan hanya kado berupa motor yang aku inginkan, ternyata ayah
dan ibu meluangkan waktunya untuk mempersiapkan ini semua. Aku sangat bahagia
memiliki keluarga yang utuh dan harmonis.

An Anthology of Time | 185


About the Author | 37

You might also like