You are on page 1of 9

Serambi Akademica, Volume VI, No.

1, Mei 2018 ISSN : 2337 - 8085

Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh

Iskandar

Poltekkes Aceh
Email : Iskandarshmh@yahoo.co.id

ABSTRAK
Syariat Islam adalah Ajaran islam yang berpedoman pada kitab suci al-qur’an.
Al-qur’an lah yang menjadi pangkal tolak dari segala pemahaman tentang yari’at
islam. Syariat islam ini berlaku bagi hamba-Nya yang berakal, sehat, dan telah
menginjak usia baligh atau dewasa. Permasalahan yang diteliti adalah :
Bagaimanakah implementasi syariat Islam di Aceh? Penelitian yang dilakukan
adalah menggunakan pendekatan kualitatif dan jenis penelitian diskriptif.
Penelitian ini menggunakan ini menggunakan kajian yuridis sosiologis, yaitu
penelitian dengan mengkaji peraturan yang berlaku dan dikaitkan dengan
penerapannya di dalam kehidupan masyarakat. Syariat Islam di Aceh telah
berlaku di Aceh sejak sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, yaitu sejak
memerintahnya Raja Iskandar Muda. Kemudian dilanjutkan masa setelah
Kemerdekaan, masa Orde baru, revormasi dan sampai dengan masa sekarang ini.
Dasar hukum pelaksanaan syariat Islam di Aceh adalah UU no 44 tahun 1999
dan UU no 18tahun 2001, dan juga qanun yang mengatur tentang syariat Islam.

Kata Kunci: Syariat Islam, Aceh

PENDAHULUAN
Syari’at Islam adalah tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek
kehidupan.Pelaksanaan Syari’at Islam diatur dalam Peraturan Daerah Propinsi Daerah
Istimewa Aceh nomor 5 tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at
Islam(Dinas Syari’at Islam,2009: 257). Adapun aspek-aspek pelaksanaan Syari’at
Islam adalah seperti terdapat dalam Perda Daerah Istimewa Aceh nomor 5 tahun 2000
tentang Pelaksanaan Syari’at Islam. Bab IV Pasal 5 ayat 2, yaitu: Aqidah, Ibadah,
Muamalah, Akhlak, Pendidikan dan dakwah Islamiyah/amar makruf anhi munkar,
Baitulmal, kemasyarakatan, Syiar Islam, Pembelaan Islam, Qadha, Jinayat, Munakahat,
dan Mawaris.
Dasar hukum dan pengakuan Pemerintah untuk pelaksanaan Syari’at Islam di
Aceh,didasarkan atas UU No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan
Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Pelaksanaan Syari’at Islamdi Aceh telah diatur dalam Undang-undang Nomor 18
Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh
sebagai Nanggroe Aceh Darussalam.
Tujuan Allah SWT merumuskan hukum Islam adalah untuk kemaslahatan umat
manusia, baik didunia maupun di akhirat. Syariat Islam adalah Ajaran islam yang
berpedoman pada kitab suci al-qur’an.Al-qur’an lah yang menjadi pangkal tolak dari
segala pemahaman tentang syari’at islam.Syariat islam ini berlaku bagi hamba-Nya

78
Serambi Akademica, Volume VI, No. 1, Mei 2018 ISSN : 2337 - 8085

yang berakal, sehat, dan telah menginjak usia baligh atau dewasa. (dimana sudah
mengerti/memahami segala masalah yang dihadapinya). Tanda baligh atau dewasa bagi
anak laki-laki, yaitu apabila telah bermimpi bersetubuh dengan lawan jenisnya,
sedangkan bagi anak wanita adalah jika sudah mengalami datang bulan (menstruasi).
Dalam perjalanan Syariat Islam di Aceh, jika dibandingkan dengan daerah lain
di Indonesia, maka Aceh memiliki keunikan karena masyarakatnya mampu menyerap
budaya dan menyesuaikan diri.Salah satu ayat al-quran yang menunjukkan pernyataan
bahwa tujuan hukum Islam adalah untuk kemaslahatan umat manusia yaitu surat al-
anbiya ayat 107 yang berbunyi: ”dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk
(menjadi) rahmat bagi semesta alam”.
Untuk mewujudkan kemaslahatan ada lima hal pokok yang harus diwujudkan
dan dipelihara, yaitu agama, nyawa, akal,keturunan, dan harta. Lima masalah pokok ini
wajib dipelihara oleh setiap manusia. Untuk itu, didatangkan hukum Islam berupa
perintah, larangan, dan keijinan yang harus dipatuhi oleh setiap mukallaf.
Dari beberapa uraian terdahulu maka permasalahan yang diteliti adalah :
Bagaimanakah implementasi syariat Islam di Aceh ?

METODE PENELITIAN
Penelitian yang dilakukan adalah menggunakan pendekatan kualitatif dan jenis
penelitian diskriptif. Penelitian ini menggunakan ini menggunakan kajian yuridis
sosiologis, yaitu penelitian dengan mengkaji peraturan yang berlaku dan
dikaitkan dengan penerapannya di dalam kehidupan masyarakat

TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Syariat Islam
Secara etimologis, syariat islam terdiri dari dua kata, syariat artinya hukum
agama dan Islam artinya agama yang diajarkan oleh nabi muhammad SAW,
berpedoman pada kitab suci al-quran, yang diturunkan kedunia melalui wahyu
Allah SWT.
Syariat Islam adalah Ajaran islam yang berpedoman pada kitab suci al-qur’an.
Jadi pengertian tersebut harus bersumber dan berdasarkan kitab suci al-qur’an,
pandangan normative dari syariat islam harus bersumber dari nilai-nilai dan kaidah-
kaidah yang tercantum dalam al-qur’an. Al-qur’an lah yang menjadi pangkal tolak
dari segala pemahaman tentang syari’at islam. Kerangka dasar ajaran islam adalah
akidah, syar’iyah dan akhlak. Ketiganya bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan
yang bersumber pada tauhid, sebagai inti akhidah yang kemudian melahirkan
syar’iyah, sebagai jalan berupa ibadah dan muamalah, serta akhlak sebagai tingkah
laku baik kepada Allah SWT maupun kepada makhluk ciptaan-Nya yang lain.
Menurut M. Daud Ali, Syariat adalah jalan yang harus ditempuh, dalam arti
teknis, syariat adalah seperangkat norma ilahi yang mengatur hubungan manusia
dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia lain dalam kehidupan social,
hubungan manusia dengan benda dan alam lingkungan hidupnya.
Syariat islam ini berlaku bagi hamba-Nya yang berakal, sehat, dan telah
menginjak usia baligh atau dewasa. (dimana sudah mengerti/memahami segala masalah
yang dihadapinya). Tanda baligh atau dewasa bagi anak laki-laki, yaitu apabila telah
bermimpi bersetubuh dengan lawan jenisnya, sedangkan bagi anak wanita adalah jika
sudah mengalami datang bulan (menstruasi).
79
Iskandar
Bagi orang yang mengaku Islam, keharusan mematuhi peraturan ini diterangkan
dalam firman Allah SWT. "kemudian Kami jadikan engkau (Muhammad) mengikuti
syariat (peraturan) dari agama itu, maka ikutilah syariat itu, dan janganlah engkau ikuti
keinginan orang-orang yang tidak mengetahui." (QS. 45/211-Jatsiyah: 18).

Tujuan Syariat Islam


Tujuan penerapan syariat Islam Islam adalah untuk kemaslahatan umat manusia
yaitu surat al-anbiya ayat 107 yang berbunyi: ”dan tiadalah kami mengutus kamu,
melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.
Untuk mewujudkan kemaslahatan ada lima hal pokok yang harus diwujudkan
dan dipelihara, yaitu agama, nyawa, akal,keturunan, dan harta. Lima masalah pokok ini
wajib dipelihara oleh setiap manusia. Untuk itu, didatangkan hukum islam berupa
perintah, larangan, dan keijinan yang harus dipatuhi oleh setiap mukallaf.
Masing-masing lima pokok tersebut dalam mewujudkan dan memeliharanya
dikategorikan kepada beberapa klasifikasi menurut tingkat prioritas kebutuhan, yaitu
kebutuhan daruriyat, kebutuhan hajiyat, dan kebutuhan tahsiniat. Ketiganya harus
terwujud dan terpelihara. Memelihara kebutuhan daruriyat dimaksudkan perwujudan
dan perlindungan terhadap lima pokok yang telah diuraikan dalam batas jangan sampai
terancam eksistensinya. Memelihara kebutuhan hajiyat dimaksudkan perwujudan dan
perlindungan terhadap hal-hal yang diperlukan dalam kelestarian lima pokok tersebut,
tetapi di bawah kadar batas kepentingan daruriyat. Tidak terpeliharanya kebutuhan ini,
tidak akan membawa terancamnya eksistensi lima pokok tersebut, tetapi membawa
kepada kesempitan dan kepicikan, baik dalam usaha mewujudkan maupun dalam
pelaksanaannya; sedangkan kepicikan dan kesempitan itu di dalam ajaran Islam perlu
disingkirkan. Berdasarkan uraian di atas, untuk mewujudkan dan melestarikan tiga
kategori kebutuhan tersebut, Allah SWT menurunkan hukum-Nya.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM DI ACEH
Sejarah Syariat Islam di Aceh
1. Masa kerajaan Aceh.
Kerajaan Aceh mencapai gemilang masa pemerintahan iskandar muda (1607-
1636). Salah satu usaha beliau adalah meneruskan perjuangan sultan sebelumnya untuk
melawan kekuasaan portugis yang sangat membenci Islam. Dia juga mendorong
penyebaran agama islam keluar kerajaan Aceh, seperti malaka dan pantai barat pulau
Sumatera. (Zakaria Ahmad, 1973:20-22).
Peradilan Islam dibentuk untuk mengatur tatanan hukum yang di atur oleh
ulama. Pengadilan diberikan kewenangan sepenuhnya untuk mengatur jalan roda
hukum tanpa meminta persetujuan pihak atasan, peranan Qadhi malikul Adil (Hakim
Agung Kesultanan) di pusat kerajaan Aceh memiliki kewenangan seperti Mahkamah
Agung sekarang ini.
Setiap kawasan ada Qadhi Ulee Balang yang memutuskan perkara di daerah
tersebut. Jika ingin mengajukan banding diteruskan pada Qadli Maliku Adil. Kedua
Qadhi ini diangkat dari kalangan ulama yang cakap dan berwibawa.
Sultan Aceh merupakan pelindung ajaran islam sehingga banyak ulama dating
ke Aceh. Pada masa itu hidup ulama seperti Hamzah fansuri, Syamsuddin As-

80
Serambi Akademica, Volume VI, No. 1, Mei 2018 ISSN : 2337 - 8085

samathrani dan syekh Ibrahim as-syami. Pada masa iskandar thani (1636-1641) dating
Nuruddin arraniri. Pada tahun 1603, bukhari al jauhari mengarang buku Tajussalatih
(Mahkota Raja-raja), sebuah buku yang membahas tata Negara yang berpedoman pada
syariat Islam ( zakaria ahmad, 1973: 22).
Di bawah perintah sultan juga ditulis buku Mit’at-uttullah karangan Syekh
Abdurra’uf disusun pada masa pemerintahan Sultanah Safiattuddin syah ( 1641-1675 ),
dan buku safinat-ulhukkamyi takhlish khashham karangan syekh jalaluddin at-tarussani
disusun masa pemerintahan sultan alaiddin johansyah (1732-1760). Buku ini ditulis
sebagai pegangan hakim dalam menyelesaikan perkara yang berlaku di seluruh wilayah
di seluruh kerajaan Aceh sendiri dan di seluruh rantau takluknya. Kedua buku ini
bersumber pada buku-buku fiqih bermazhab syafi’i.
Hukum berlaku untuk setiap lapisan masyarakat termasuk kaum bangsawan dan
kerabat raja. Dari cerita mulut ke mulut iskandar muda menjatuhkan hukuman rajam
kepada anak kandungnya sendiri karena terbukti berzina dengan salah seorang isteri
bangsawan di lingkungan istana. Raja ling eke XIV masa sultan ala’uddin ri’ayatsyah-
al qahhar (1537-1571) di jatuhi hukuman oleh qadli malikul adil untuk membayar 100
ekor kerbau kepada keluarga adik tirinya yang dia bunuh dengan sengaja ( al yasa’ abu
bakar, 2006:389-390)
Masa Aceh di bawah tampuk kerajaan masa dulu sudah di terapkan Syariat
Islam,buktinya adalah:
A. Datangnya ulama-ulama besar, berarti kebutuhan dan penghargaan terhadap
ulama masa itu sangat besar.
B. Di bentuknya peradilan islam yang di atur oleh ulama tanpa campur tangan
penguasa, ada keleluasaan untuk menjalankan hukum syariah.
C. Pengadilan dibuat sistematis, dari tingkat daerah hingga pusat. Masalah yang
tidak selesai di tingkat daerah( qadhi ulee baling) diteruskan ke mahkamah
yang lebihtinggi (qadhi malikul adil).
D. Jika kisah iskandar muda yang menghukum anaknya berzina adanya, berarti
hukum rajam bagi pelaku zina sudah diberlakukan pada saat itu.
2. Masa awal kemerdekaan Indonesia dan orde baru.
Ketika kemerdekaan Indonesia di deklarasikan soekarno pada 17 agustus 1945,
aceh belum menjadi bagian dari NKRI. Kesediaan bergabung dalam wilayah RI karena
adanya janji soekarno yang ingin memberikan kebebasan untuk mengurus diri sendiri
termasuk pelaksanaan syariat islam. Janji itu terucap pada tahun 1948, bung karno
datang ke Aceh mencari dukungan moril dan materil bagi perjuangan bangsa Indonesia
melawan belanda. Kebebasan melaksakan syariat merupakan imbalan jika bangsa Aceh
bersedia memberikan bantuan.
Gayung pun bersambut. Di bawah komando Daud Beureueh, berhasillah
terkumpul dana sebanyak 500.000 dolar AS. Untuk membiayai ABRI 250.000
dolar,50.000 dolar untuk perkantoran pemerintahan,100.000 dolar untuk biaya
pengembalian pemerintahan RI dari Yogya ke Jakarta. Bangsa Aceh juga menyumbang
emas lantakan untuk membeli oblogasi pemerintahan dan dua pesawat terbang, selawah
agam dan selawah dara.
81
Iskandar
Janji yang di lontarkan sang presiden RI di wujudkan malah provinsi Aceh di
satukan dengan provinsi sumatera utara tahun 1951. Hak mengurus wilayah sendiri
dicabut. Rumah rakyat,dayah,menasah yang hancur porak-porandaakibat peperangan
melawam Belanda dibiarkan begitu saja. Dari sinilah daud beureueh menggulirkan ide
pembentukan Negara islam Indonesia( DII ), april 1953 dia bergerilya ke hutan. Namun
pada tahun 1962 bersedia menyerah karena di janjikan akan di buatkan UU syariat
Islam bagi rakyat Aceh (majalah Era Muslim “untold history”. ] 30 September 2009
jam 22:35)
Setelah itu di berikan otonomi khusus untuk menjalankan proses keagamaan,
peradatan dan pendidikan namun pelaksanaan syariat islam masih sebatas yang di
izinkan pemerintah pusat. Hal itu tertuang dalam keputusan penguasa perang (panglima
militer 1 Aceh/ iskandar muda, colonel M.Jasin) no KPTS/PEPERDA-061/3/1962
tentang kebijaksanaan unsure-unsur syariat agama islam bagi pemeluknya di Daerah
Istimewa Aceh yang berbunyi :
“ pertama: terlaksananya secara tertib dan seksama unsur-unsur syariat agama
islam bagi pemeluknya di Daerah Istimewa Aceh, dengan mengindahkan
peraturan perundangan Negara.
Kedua: penertiban pelaksanaan arti dan maksud ayat pertama di serahkan
sepenuhnya kepada pemerintah Daerah Istimewa Aceh. (al yasa Abu Bakar,
2006:33).
Pada tahun 1966 orde baru yang berkuasa, di sahkan peraturan daerah nomor 1
tahun 1966 tentang pedoman dasar majelis permusyawaratan ulama. Fungsi majelis ini
adalah sebagai lembaga pemersatu umat, sebagai penasehat pemerintah daerah dalam
bidang keagamaan dan sebagai lembaga fatwa yang akan memberikan pedoman kepada
umat islam dalam hidup keseharian dan keagamaanya.
Langkah untuk mewujudkan syariat islam melalui PERDA yang mengatur
rambu-rambu pelaksanaan stariat islam di Aceh ditempuh dengan membuat panitia
khusus yang terdiri dari cendekiawan dan ulama di luar DPRD. Rancangan ini disahkan
DPRD menjadi peraturan daerah nomor 6 tahun 1968 tentang pelaksanaan unsure
syariat islam Daerah Istimewa Aceh. Ketika peraturan daerah ini di ajukan
kedepartemen dalam negeri untuk mengesahkan namun di tolak dan secara halus (tidak
resmi) meminta DPRD dan PEMDA Aceh mencabut PERDA tersebut.
Tahun 1974 pemerintah mengesahkan undang-undang tentang pokok
pemerintahan didaerah yang antara lain menyatakan bahwa sebutan Daerah Istimewa
Aceh hanyalah sekedar nama, peraturan sama dengan daerah lain. Syariat islam yang
berlaku di tingkat gampong dig anti dengan undang-undang no:5 tahun 1979 tentang
pemerintahan desa ( alyasa abu bakar, 2006:31-39)
Periode orde lama, soekarno menggunakan janji keleluasaan penerapan syriat
islam untuk mencari dukungan dari pemimpin Aceh, Abu Beureueh dan berhasil. Saat
janji yang tak pernah di tepati itu ditagih melalui perlawanan bersenjata, kembali jurus
syariat islam yang di pergunakan dan sekali lagi berhasil. Beberapa PERDA yang
mengatur tata pelaksanaan syariat namun sebatas yang di bolehkan penguasa. Masa
orde lama pun tak jauh beda. Syariat islam Cuma sekedar usaha penguatan kedudukan
di mata masyarakat yang sudah hilang kesabaran menanti janji pemerintah. Setelah
kepercayaan masyarakat tumbuh malah syariat islam yang di laksnakan turun-temurun
82
Serambi Akademica, Volume VI, No. 1, Mei 2018 ISSN : 2337 - 8085

tingkat desa malah di hapuskan dan di ganti dengan peraturan yang berlaku di seluruh
Indonesia.
3. Syariat islam era otonomi khusus (sekarang).
Penerapan syariat islam era otonomi khusus untuk aceh akrab dengan kata-kata “
penerapan syariat islam secara kaffah di Aceh”. Bisa di artikan usaha untuk
memberlakukan islam sebagai dasar hukum dalam tiap tindak-tanduk umat muslim
secara sempurna.
Istilah kaffah digunakan karena Negara akan melibatkan diri dalam pelaksanaan
syariat islam di Aceh. Membuat hukum positif yang sejalan dengan syariat,
merumuskan kurikulum yang islami, dan masalah-maslah lain yang berkaitan dengan
syariat.
Dasar hukum pelaksanaan syariat islam di Aceh adalah diundangkan UU no 44
tahun 1999 dan UU no 18 tahun 2001. Dalam undang-undang nomor 44 syariat islam
didefinisikan sebagai semua aspek ajaran islam. Dalam undang-undang nomor 18
disebutkan bahwa mahkamah syar’iyah akan melaksanakan syariat islam yang di
tuangkan ke dalam qanun terlebih dahulu. Qanun adalah peraturan yang dibuat oleh
pemerintah daerah Aceh untuk melaksanakan syariat islam bagi pemeluknya di Aceh (
al yasa abu bakar, 2004:61).
Pelaksanaan syariat islam secara kaffah mempunyai beberapa tujuan , di
antaranya yaitu:
1. Alasan agama: pelaksanaan syariat islam merupakan perintah agama untuk
dapat menjadi muslim yang lebih baik,sempurna, lebih dekat dengan ALLAH.
2. Alas an psikologis: masyarakat akan merasa aman dan tenteram karena apa
yang mereka jalani dalam pendidikan, dalam kehidupan sehari-hari sesuai dan
sejalan dengan kesadaran dan kata hati mereka sendiri.
3. Alasan hukum: masyarakat akan hidup dalam tata aturan yang lebih sesuai
dengasn kesadaran hukum, rasa keadilan dan nilai-nilai yang tumbuh dan
berkembang di tengah masyarakat.
4. Alasan ekonomi dan kesejahteraan sosial: bahwa nilai tambah pada kegiatan
ekonomi, serta kesetiakawanan sosial dalam bentuk tolong menolong, baik untuk
kegiatan ekonomi atau kegiatan sosial akan lebih mudah terbentuk dan lebih
solid.

Hukuman cambuk
Hukuman cambuk merupakan salah satu hukum yang berlaku dalam syariat islam
NAD. Ketentuan dlam hukum cambuk antara lain:
a. Terhukum dalam kondisi sehat.
b. Pencambuk adalah wilayatul hisbah yang di tunjuk jaksa penuntut umum.
c. Cambuk yang digunakan adalah rotan dengan diameter 0.75 s/d 1.00 cm.
d. Jarak pencambuk dengan terhukum kira-kira 70 cm.
e. Jarak pencambuk dengan orang yang menyaksikan paling dekat 10 meter.
83
Iskandar
f. Pencambukan di hentikan jika menyebabkan luka, di minta dokter atas
pertimbangan medis, atau terhukum melarikan diri.
g. Pencambukan akan dilanjutkan setelah terhukum dinyatakan sehat atau
setelah terhukum menyerahkan diri atau tertangkap.

Lembaga yang Terkait Penerapan Syariat Islam.


a. Dinas syariat islam.
b. Majelis permusyawaratan ulama (MPU)
c. Wilayatul hisbah (WH)

Keunikan Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh


Dalam perjalanan Syariat Islam di Aceh, jika dibandingkan dengan daerah lain
di Indonesia, maka Aceh memiliki keunikan karena masyarakatnya mampu menyerap
budaya dan menyesuaikan diri. Dalam konsiderans UU no. 44 tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh menempatkan ulama
pada peran yang terhormat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Contohnya, para ulama di Aceh ( syech Nurdin Arraniry dan Syech Abdurrauf As
singkili yang mendapatkan tempat istimewa dalam hal memberikan pandangan-
pandangan, saran-saran, dan masukan-masukan untuk menetapkan suatu kebijakan
pada ratu yang saat itu memimpin Aceh. . Hal tersebut tidak didapatkan para ulama di
daerah lain. Contoh lain, para ulama Aceh sejak abad ke-17 telah dapat menerima dan
bahkan mendorong kehadiran perempuan dalam ranah kegiatan publik, seperti menjadi
anggota Dewan PerwakilanRakyat, hakim pada mahkamah, panglima perang, sampai
menjadi kepala negara (Sultanah), yang di banyak tempat dianggap sebagai tidak
sejalan dengan ajaran Islam.
Aceh dapat dikatakan sebagai daerah yang memiliki pengalaman sejarah seperti
yang telah disebutkan di atas dalam penyesuaiannya sudah relatif sangat lentur dengan
budaya lokal dan dapat menjadi tempat untuk pelaksanaan Syariat Islam secara kaffah.
Senada dengan hal tersebut, Daud Rasyid mengatakan bahwa Aceh seharusnya
menjadi pilot project bagi perjuangan Syariat.
Menurut Rusdi Ali Muhammad dalam pidato pengukuhan Guru Besar Rektor
UIN Ar-Raniry Banda Aceh bahwa kurangnya pemahaman terhadap Al-Qur’an akan
membawa kepada pola penalaran yang tidak memiliki semangat universalitas,
fleksibilitas, kering akan nuansa sosiologis dan bahkan akan menyulitkan penerapan
Syariat Islam dalam kehidupan manusia. Padahal hakekat keberadaan Syariat Islam
adalah membawa kemaslahatan bagi manusia baik di dunia maupun di akhirat.
Sebenarnya syari’at Islam diterapkan untuk kemaslahatan umat manusia tanpa
memandang ras, golongan dan agamapelaksanaan syari’at Islam di bumi Serambi
Mekkah mulai mendapat angin segar di era reformasi dengan keluarnya UU No.
44/1999 tentang keistimewaan Aceh oleh Presiden Habibie.Selanjutnya disahkan UU
No.18/2001 pada pemerintahan Megawati tentang otonomi khusus, didalamnya
mempertegas Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh.
Kemudian timbul beberapa persoalan menyangkut bagaimana penerapannya
dikarenakan belum adanya negara-negara Islam yang dapat dijadikan acuan dalam
penerapan syari’at Islam, di antara sebabnya adalah pemahaman dan implementasi
syari’at yang kaku dalam realitas masyarakat, sosio-kultural yang berbeda dan lainnya.
Hingga saat ini pun belum ada contoh ideal dalam sebuah negara yang melaksanakan
84
Serambi Akademica, Volume VI, No. 1, Mei 2018 ISSN : 2337 - 8085

Syari’at Islam. Senada dengan ini Azra dalam tulisannya menyebutkan salah satu
problem pelaksanaan syari’at Islam di Aceh karena belum adanya negara sebagai acuan
pelaksanaan Syari’at Islam.

PENUTUP
Simpulan
Syariat Islam di Aceh telah berlaku di Aceh sejak sebelum kemerdekaan
Republik Indonesia, yaitu sejak memerintahnya Raja Iskandar Muda. Kemudian
dilanjutkan masa setelah Kemerdekaan, masa Orde baru, revormasi dan sampai dengan
masa sekarang ini. Dasar hukum pelaksanaan syariat Islam di Aceh adalah UU no 44
tahun 1999 dan UU no 18 tahun 2001, dan juga qanun yang mengatur tentang syariat
Islam.
Setelah berlakunya hukum pidana Islam yang meliputi meliputi maisyir (judi),
khamar (minuman keras), dan khalawat (mesum), bagi pelaku tindak pidana diatas
yang telah diputus olehmahkama syariah dan dinyatakan berkekuatan hukum tetap (in
kracht van gewijsde) maka pelaksanaan putusan mahkamah syariah akan dilaksanakan
oleh jaksa penuntut umum dandibantu oleh algojo (tukang cambuk) yang dilaksanakan
dihalaman masjid sesudah shalat jumat.

DAFTAR PUSTAKA
Azyumardi Azra, Belum Ada Negara Sebagai Acuan Pelaksanaan Syari’at Islam,
dalam buku syari’at Islam Yes, Syari’at Islam No, Paramadina, Jakarta,
2001, hlm. 183 –191.
Abu Bakar. Al yasa’ .2004. bunga rampai pelaksanaan syariat Islam (pendukung
Qanun pelaksanaan syariat Islam). Dinas syariat Islam : Banda Aceh.
Abu Bakar. Al yasa’. 2006. syariat islam di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
paradigma,kebijakan dan kegiatan. Dinas syariat islam: Banda aceh.
Kaoy Syah dan Lukman Hakim, Keistimewaan Aceh Dalam Lintasan Sejarah, Madani
Press, Jakarta, 1999.
Kurdi, Muliadi. 2009. ACEH DI MATA SEJARAWAN Rekonstruksi Sejarah Sosial
Budaya.
Banda Aceh : Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS).
Musa, Muhammad yusuf.1988.islam: suatu kajian komprehensif. Jakarta: rajawali
press. Nurhafni dan maryam.2006. pro dan kontra penerapan syariat islam di
NAD. SUWA IV (3):59-66
uhammad, Rusjdi Ali, 2003, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh (Problem, Solusi Dan
Implementasi menuju Pelaksanaan Hukum Islam di NAD), Logos, Jakarta.
______, Sejarah Islam di Aceh (makalah), Konferensii Tahunan PPs UIN/IAIN/STAIN
se-Indonesia, Banda Aceh, 16-20 Desember 2004).
Qaradhawi, Yusuf, 2003, Membumikan Syari’at Islam (Keluwesan Aturan Ilahi untuk
Manusia), Arasy Mizan, Bandung.
Said, Mohammad, 1981, Aceh Sepanjang Abad,Waspada, Medan.
Sabi, Yusni,” Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh : Suatu Peluang dan Tantangan,”
Jurnal Kanun, 2002, Universitas Kuala Aceh
Syamsuddin, Nazaruddin,1999, Revolusi di Serambi Mekkah (Perjuangan
Kemerdekaan dan Pertarungan Politik di Aceh 1945-1949), UI-Press,
Jakarta.
85
Iskandar
Zaki Yamani, Ahmad, 1977, Syari’at Islam Yang Kekal dan Persoalan Masa Kini,
Yayasan Bhinneka Tunggal Ika, Jakarta.

86

You might also like