You are on page 1of 28

CLINICAL SCIENCE SESSION (CSS)

*Kepaniteraan Klinik Senior/G1A


**Pembimbing/ dr. Nindya Aryanty, Sp.A., M.Med, Ed

INFEKSI TUBERKULOSIS LATEN

Andini Kendariah, S. Ked*


dr. Nindya Aryanty, Sp.A., M.Med, Ed**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ILMU KESEHATAN


ANAK RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS JAMBI

2023
HALAMAN PENGESAHAN

CLINICAL SCIENCE SESSION


(CSS)

Andini Kendariah, S.Ked

G1A222134

Sebagai Syarat Dalam Mengikuti Kepaniteraan


Klinik Senior Bagian Ilmu Kesehatan Anak

RSUD Raden Mattaher Fakultas Kedokteran dan Ilmu


Kesehatan Universitas Jambi

Laporan ini telah diterima dan


dipresentasikan Jambi, 2023

Pembimbing

dr. Nindya Aryanty, Sp.A., M.Med, Ed

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Clinical Science
Session yang berjudul “Infeksi Laten Tuberkulosis” sebagai salah satu syarat
dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Anak di
Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Nindya Aryanty, Sp.A.,
M.Med, Ed yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk
membimbing penulis selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian
Ilmu Kesehatan Anak di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi
Jambi.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada laporan kasus
ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan
laporan kasus ini. Penulis mengharapkan semoga laporan kasus ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Jambi, Mei 2023

Penulis

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................iii
DAFTAR ISI........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................3
2.1 Definisi................................................................................................3
2.2 Epidemiologi.......................................................................................3
2.3 Etiologi................................................................................................3
2.4 Penularan.............................................................................................4
2.5 Patogenesis..........................................................................................4
2.6 Respon Imunologi................................................................................5
2.7 Faktor resiko........................................................................................8
2.8 Diagnosis.............................................................................................9
2.9 Tatalaksana..........................................................................................15
BAB III KESIMPULAN.....................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................21

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) adalah salah satu dari 10 penyebab kematian teratas dan
merupakan penyebab utama kematian dari agen infeksi tunggal di seluruh dunia.
Menurut Global Tuberculosis Report 2020 yang dirilis oleh World Health
Organization (WHO), lebih dari 10 juta kasus TB baru dan 1,4 juta kematian
dilaporkan ke WHO pada tahun 2019. Untuk membalikkan situasi pencegahan
dan pengobatan TB jangka panjang yang tidak menguntungkan, WHO
merumuskan Strategi Akhir TB yang ambisius pada tahun 2015. Tujuan dari
strategi ini adalah untuk mengurangi tingkat kematian dan kejadian TB masing-
masing sebesar 90% dan 80%, di 2025 dari yang dilaporkan pada tahun 2015 dan
bertujuan untuk pengurangan lebih lanjut masing-masing sebesar 95% dan 90%
pada tahun 2035. Saat ini, kejadian TB global menurun pada tingkat rata-rata
sekitar 2% per tahun, yang tidak cukup cepat untuk mencapai target penurunan
tahunan sebesar 17% dari tahun 2025 hingga 2035 yang ditetapkan oleh Strategi
Akhiri TB.1

Alasan kesenjangan ini mungkin karena sumber infeksi belum


dikendalikan secara efektif, sehingga sebagian besar penduduk terinfeksi infeksi
TB laten (ITBL). Sebuah studi sebelumnya menunjukkan bahwa 23% populasi
dunia (setara dengan 1,7 miliar orang) diperkirakan terinfeksi Mycobacterium
tuberculosis secara laten , dan kasus dari tiga wilayah WHO (Asia Tenggara,
Pasifik Barat, dan Afrika), yang memiliki Beban ITBL, menyumbang sekitar 80%
dari semua kasus ITBL). Meskipun negara-negara dengan beban TB yang tinggi
sangat mementingkan pencegahan, diagnosis, dan pengobatan TB aktif (aTB), hal
yang sama tidak dapat dikatakan dalam hal penekanan mereka pada ITBL.1

Telah dilaporkan bahwa 5-10% pasien dengan ITBL akan berkembang


menjadi TB selama hidup mereka. Namun, risikonya lebih tinggi pada individu
dengan gangguan kekebalan, seperti pada orang yang hidup dengan human

1
immunodeficiency virus (HIV), penderita diabetes, penderita penyakit coronavirus,
bayi, dan anak kecil (usia <5 tahun).1

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Infeksi Laten Tuberkulosis (ILTB) adalah kondisi respons imun
peristen terhadap stimulasi antigen Mycobacterium tuberculosis tanpa ada
bukti klinis TB aktif, kelainan radiografik dan bakteriologi. 1 Penderita ILTB
tidak memiliki tanda atau gejala penyakit TB, dan tidak dapat menularkan M.
tuberculosis kepada orang lain.2
Ketika melakukan Tuberculin Skin Test (TST) atau pemeriksaan
Interferon-Gamma Release Assay (IGRA) hasilnya akan positif pada orang
yang menderita ILTB, sedangkan untuk hasil pemeriksaan dahak negatif serta
hasil pemeriksaan rontgen thorax normal.2

2.2 Epidemiologi
Tuberkulosis (TB) merupakan penyebab kematian ke-13 di seluruh
dunia dan penyebab utama dari agen infeksi tunggal. Pada tahun 2020,
diantisipasi TB akan menduduki peringkat kedua utama kematian dari agen
infeksi tunggal, setelah COVID-19. Secara geografis pada tahun 2020,
Sebagian besar kasus TB berada di wilayah Asia Tenggara dengan presentase
43%. Berdasarkan Global TB Report tahun 2021 Indonesia menyumbang
8,54% kasus TB dari seluruh dunia. Berdasrakan Glob al TB Report tahun
2019 terdapat 1,4 juta kematian yang disebabkan oleh TB, termasuk 208.000
diantaranya penderita HIV. Jumlah TB di Indonesia sebanyak 562.049 kasus
pada tahun 2019. Hal ini menyebabkan Indonesia menempati peringkat kedua
dari delapan negara di dunia dengan insiden kasus TB yang tinggi kasus
setelah India, diikuti China, Filipina, Pakistan, Nigeria, Bangladesh, dan
Afrika Selatan. Kedelapan negara tersebut mewakili duapertiga total populasi
TB di dunia.13

3
Gambar 2.1 negara teratas penyumbang tb14
2.3 Etiologi
Penyakit tuberkulosis disebabkan oleh bakteri M. tuberculosis yang
termasuk famili Mycobacteriaceace yang berbahaya bagi manusia. bakteri ini
mempunyai dinding sel lipoid yang tahan asam, memerlukan waktu mitosis
selama 12-24 jam, rentan terhadap sinar matahari dan sinar ultraviolet
sehingga akan mengalami kematian dalam waktu yang cepat saat berada di
bawah matahari, rentan terhadap panas basah sehingga dalam waktu 2 menit
akan mengalami kematian ketika berada di lingkungan air yang bersuhu 1000
C, serta akan mati jika terkena alkohol 70% atau lisol 50%.3
Dalam jaringan tubuh, bakteri ini dapat mengalami dorman selama
beberapa tahun sehingga bakteri ini dapat aktif kembali menyebabkan
penyakit bagi penderita. Mikroorganisme ini memiliki sifat aerobic yang
membutuhkan oksigen dalam melakukan metabolisme. Sifat ini menunjukkan
bahwa bakteri ini lebih menyukai jaringan kaya oksigen, tekanan bagian apikal
paru paru lebih tinggi daripada jaringan lainnya sehingga bagian tersebut
menjadi tempat yang baik untuk mendukung pertumbuhan bakteri M.
tuberculosis.3

2.4 Penularan
M. tuberculosis dapat menular ketika penderita tuberkolosis paru
BTA positif berbicara, bersin dan batuk yang secara tidak langsung
mengeluarkan doplet nuklei yang mengandung mikroorganisme M.
tuberculosis dan terjatuh
4
ke lantai, tanah, atau tempat lainnya. Paparan sinar matahari atau suhu udara
yang panas mengenai doplet nuklei tersebut dapat menguap. Menguapnya
droplet bakteri ke udara dibantu dengan pergerakan aliran angin yang
menyebabkan bakteri M. tuberculosis yang terkandung di dalam doplet nuklei
terbang melayang mengikuti aliran udara. Apabila bakteri tersebut terhirup
oleh orang sehat maka orang itu berpotensi terinfeksi bakteri penyebab
tuberculosis.3

2.5 Patogenesis
Terdapat 2 tahap respon yang terjadi apabila tubuh terinfeksi oleh
kuman M. tuberculosis yaitu respon imun bawaan dan respons imun adaptif.
Imun bawaan pada infeksi TB terjadi saat bakteri terlekat pada reseptor CR3,
MMR, TLR, NOD2, scavenger receptor dan DC-SIGN akan mengaktifkan
Macrophage Signaling Pathway yang akan menyebabkan pelepasan sitokin
inflamasi, kemokin dan molekul antimikrobial. Sel PMN akan menjalankan
tugasnya dengan cara mengenali antigen dan akan mengeluarkan secret
antimikroba untuk membunuh bakteri. Respon imun adaptif meliputi
pengenalan terhadap sel T CD4 dimana sel T akan memproduksi sitokin
efektor INF-y yang akan mengaktifkan makrofag dan akhirnya TNF-α akan
mengeliminasi mikobakteria.4
Secara imunopatogenesis, setelah terinhalasi di paru, kuman TB
mempunyai beberapa kemungkinan. kemungkinan pertama, respon imun awal
penjamu secara efektif membunuh semua kuman TB, sehingga TB tidak
terjadi infeksi. Kedua, segera setelah infeksi terjadi multiplikasi, pertumbuhan
kuman TB dan muncul manisfestasi klinis, yang dikenal sebagai TB primer.
Ketiga, kuman TB dalam keadaan dorman, terjadi infeksi laten (ITBL) dengan
uji tuberkulin positif sebagai satu- satunya manifestasi. Keempat, kuman TB
laten pada suatu saat dapat menjadi aktif ketika terjadi penurunan imunitas
tubuh.4

5
Gambar 2.1 Patogenesis TB. Patogenesis TB dibagi empat tahapan yaitu,
inhalasi M. Tb ke dalam saluran napas, pengadaan sel inflamasi, control
proliferasi M. Tb, dan tuberculosis post primer.5
Keterangan: IL=interleukin; TNF-α= tumor necrosis factor-alpha; IFN-γ=
interferon gamma.

2.6 Respon Imunologi

Respons imun bakterisidal host memainkan peran sentral dalam


perkembangan dari LTBI menjadi aTB. Untuk lebih memahami hubungan
antara respon imun inang dan mikobakteri, kami meninjau secara singkat
mekanisme imunologi LTBI. Sebagai patogen intraseluler paradigmatik, M.
tuberculosis pertama kali menginvasi sel epitel alveolar (pneumosit I dan II)
setelah inang menghirup droplet yang mengandung bakteri melalui transmisi
udara. Peran sel epitel alveolar telah didokumentasikan dengan baik dalam
berbagai penelitian sejak tahun 1990-an. Sel-sel ini memainkan peran penting
dalam patogenesis TB sebagai ceruk replikasi dalam penyebaran infeksi
melalui kematian sel akibat infeksi TB dan memainkan peran infeksi melalui
kematian sel akibat infeksi TB dan memainkan peran

6
imunomodulator melalui ekspresi sitokin dan kemokin. Makrofag adalah salah
satu penanggap pertama dalam pertahanan pejamu melawan M.
tuberculosis
. M. tuberculosis yang dihirup dikenali dan difagositosis menjadi fagosom
untuk dibersihkan oleh makrofag alveolar residen terutama melalui reseptor
pengenalan pola (PRR) yang dilengkapi dengan baik, yang dapat diblokir oleh
beberapa protein reaktif M. tuberculosis. Selain itu, sebagai respons terhadap
infeksi M. tuberculosis , makrofag alveolar mengeluarkan serangkaian sitokin
dan kemokin pro-inflamasi, seperti tumor necrosis factor-α (TNF-α),
interleukin-1β (IL-1β), IL-6, IL-23, dan faktor perangsang koloni makrofag
granulosit (GM-CSF). Sel dendritik penghuni paru-paru (DC) adalahkelompok
sel sentinel lain yang bermigrasi ke permukaan trakea dan alveoli untuk
mendeteksi patogen yang menyerang pada waktunya. DC yang diturunkan dari
monosit dapat mengenali M. tuberculosis bekerja sama denganmolekul adhesi
antar sel spesifik-DC-3 yang menangkap non-integrin (DC- SIGN) dan
reseptor seperti tol (TLR) dan membunuh M. tuberculosis dengan
meningkatkan regulasi IL-1α, IL- 1β, IL-10, dan inducible nitric oxide
synthase (iNOS). Setelah fagositosis M. tuberculosis , DC bermigrasi ke
kelenjar getah bening di sekitarnya dan menghadirkan antigen M. tuberculosis
ke CD4 prima+ Limfosit T.1

Tidak seperti makrofag dan DC, neutrofil tidak mengenali dan


memfagositosis mikobakteri di tempat infeksi awal. Neutrofil adalah
penanggap penting dalam pertahanan inang melawan M. tuberculosis , tetapi
mereka telah diabaikan sampai saat ini. Perekrutan neutrofil terjadi pada tahap
awal pembentukan granuloma. Pada granuloma, makrofag sekarat yang
terinfeksi M. tuberculosis melepaskan sinyal untuk merekrut neutrofil untuk
memfagositnya dan M. tuberculosis. Studi sebelumnya mengungkapkan
bahwa neutrofil berkontribusi terhadap resistensi kekebalan terhadap TB
dengan memproduksi peptida antimikroba, memfasilitasi migrasi DC, dan
memberikan efek perlindungan pada pembunuhan oksidatif mikobakteri pada
granuloma TB. Selain itu, kumpulan bukti menunjukkan bahwa sel B, sel
pembunuh alami
7
(NK), dan sel T invarian terkait mukosa (MAIT) juga memainkan peran
penting dalam respon imun terhadap M. tuberculosis dengan berinteraksi
dengan berbagai sel imun, seperti makrofag, Sel T, dan neutrophil.1

Namun, respon imun adaptif tidak langsung terpicu; itu memiliki


interval 2-3 minggu, yang mungkin kondusif untuk kolonisasi M. tuberculosis.
Selanjutnya, limfosit T diaktifkan dan berdiferensiasi menjadi interferon-γ-
positif (IFN-γ + ) sel Th1 (sel CD4 + T), limfosit T sitotoksik (sel TCD8 + ), sel
Th17, sel Th2, dan sel T regulator ( Treg). Sel efektor yang teraktivasi ini
memasuki sirkulasi darah, bermigrasi ke tempat M. tuberculosisinfeksi, dan
berpartisipasi dalam kekebalan anti-TB lokal. Pada tahap ini, granuloma mulai
terbentuk, dan hasil TST dan IGRA mungkin positif. Pembentukan granuloma
tuberkulosis merupakan proses dinamis antara pertumbuhan dan penurunan.
Granuloma TB merupakan medan perang utama bagi sel imun inang dan M.
tuberculosis . Sel-sel kekebalan yang sekarat memaparkan M. tuberculosis
yang tersembunyi ke lingkungan luar untuk difagositosis dan dibunuh oleh sel-
sel kekebalan baru. Proses ini berubah dengan kekuatan kedua belah pihak,
dan hasilnya secara langsung mempengaruhi hasil infeksi TB.1

8
Gambar 2.2 Respon imunologi pada infeksi tuberkulosis1

2.7 Faktor Resiko


Identifikasi risiko ILTN\B menjadi penyakit TB dikelompokkan
menjadi dua yaitu orang yang mempunyai risiko paparan terhadap pasien dan
orang dengan kondisi klinis atau faktor lain yang berhubungan dengan
peningkatan risiko progresi ILTB menjadi penyakit TB. Orang dengan risiko
paparan meliputi orang yang diketahui memiliki kontak erat dengan pasien TB

9
aktif atau suspek TB, berpindah tempat dari daerah endemik TB, orang yang
bekerja atau tinggal di fasilitas atau institusi dengan risiko tinggi TB, seperti
rumah sakit yang melayani pasien TB, tunawisma, rumah perawatan, atau
tempat tinggal pasien infeksi HIV/AIDS, orang yang bertempat tinggal yang
sulit di jangkau oleh matahari dimana sinar matahari berfungsi untuk
mengeliminasi bakteri, bayi, anak-anak, dewasa yang mempunyai system
imun rendah sehingga mudah terinfeksi bakteri merupakan faktor resiko
terinfeksinya M.tuberculosis.7
Terdapat juga faktor risiko bagi seseorang dengan infeksi TB laten
yang akan berisiko menjadi TB aktif seperti pada pasien HIV, bayi atau anak-
anak dengan usia<5 tahun, pasien yang mendapatkan imunoterapi, individu
dengan riwayat terinfeksi tuberkulosis pada 2 tahun terakhir, individu yang
tidak mendapatkan pengobatan TB tetapi foto toraks terdapat fibrotik, pasien
DM, silikosis, gagal ginjal kronik/ hemodialisis, gastrektomi, jejunoileal
bypass, transplantasi organ, leukimia, limfoma, penderita dengan berat badan
di bawah 90% berat badan ideal, tunawisma, perokok, dan penyalahgunaan
obat suntik. Proses berkembangnya ILTB menjadi TB aktif dinamakan proses
reaktivasi, dimana kuman TB tidak lagi dalam fase dorman.7

2.8 Diagnosis

Diagnosis ILTB sampai saat ini masih sulit ditegakkan. Penegakan


diagnosis ILTB penting untuk memastikan orang tersebut tidak memiliki TB
aktif agar langkah pengobatan selanjutnya tidak salah. Diagnosis ILTB
diambil berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan imunologis
(uji tuberkulin atau IGRA), rontgen toraks, dan pemeriksaan sputum
mikrobiologi sputum (BTA atau tes cepat molekuler). Alur diagnosis ILTB
sesuai PDPI dilakukan dengan anamnesis gejala TB aktif jika tidak ditemukan
maka dilanjutkan dengan pemeriksaan uji tuberkulin atau IGRA. Hasil positif
pada uji tuberkulin atau TST dilanjutkan dengan pemeriksaan rontgen toraks,
dan jika

10
hasil rontgen toraks tidak ditemukan kelainan maka diagnosis ITBL
ditegakkan dan pasien diberikan terapi ILTB.6
Penemuan orang dengan ILTB bisa dilakukan dengan kegiatan
investigasi kontak, contact invitation, penemuan di tempat khusus,
pemeriksaan medical check-up rutin. Investigasi kontak dilakukan pada orang
di sekitar kasus indeks, yaitu kontak serumah dan kontak erat.2
1. Investigasi Kontak (IK) secara aktif
IK adalah kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan
penemuan kasus TBC dan orang dengan infeksi laten TBC dengan cara
mendeteksi secara dini dan sistematis terhadap orang yang kontak
dengan sumber infeksi TBC. Meskipun orang dengan infeksi laten
TBC tidak/belum menunjukkan gejala, akan tetapi berisiko menjadi
sakit TBC. Oleh karenanya, orang dengan infeksi laten TBC harus
diberikan penanganan yang tepat dan sesuai standar. Langkah ini
dilakukan untuk,
(1) mencegah terlambatnya penemuan orang dengan infeksi laten TBC,
(2) mencegah terjadinya sakit TBC pada orang dengan infeksi laten
TBC, (3) memutus rantai penularan TBC di masyarakat.
2. Kontak investigasi secara pasif
IK secara pasif juga biasa dikenal dengan contact invitation.
Petugas kesehatan akan mewawancarai kasus indeks untuk
mengidentifikasi kontak serumah dengan menanyakan berapa jumlah
dan usia dari orang yang tinggal serumah dengan kasus indeks. Kontak
yang sudah teridentifikasi akan diminta untuk datang ke fasilitas
kesehatan bersama dengan kasus indeks saat jadwal follow up kasus
indeks berikutnya. Kontak yang datang ke fasilitas Kesehatan akan
diperiksa gejala TBC oleh petugas kesehatan.
3. Penemuan di tempat khusus
Kegiatan penemuan aktif ditempat khusus dapat dilakukan
dengan skrining TBC massal tahunan, skrining pada saat pemeriksaan
kesehatan, skrining TBC pada pemeriksaan kesehatan berkala (Medical
check up), skrining TBC pada saat kunjungan follow up rutin
11
bagi pasien yang masuk kedalam kelompok risiko lainnya (bagi WBP
baru/penghuni ponpes/ penghuni barak militer, dll)

Alur prosedur diagnosis seperti pada algoritme di bawah ini8 :

1. Setiap individu beresiko ILTB dilakukan evaluasi gejala dan tanda TB


2. Bila didapatkan gejala atau tanda TB harus dievaluasi diagnosis TB
aktif atau penyakit respirasi lain
3. Bila tidak didapatkan tanda dan gejala TB maka lakukan pemeriksaan
untuk ILTB baik uji tuberkulin atau pun IGRA
4. Bila hasil pemeriksaan uji tuberculin atau IGRA positif singkirkan
kemungkinan TB aktif dengan foto toraks, bila abnormal lakukan
pemeriksaan untuk penyakit TB. Bila foto toraks normal ditetapkan
sebagai ILTB dan bila termasuk kelompok resiko yang sesuai, maka
dapat diberikan pengobatan profilaksis

Gambar 2.3. Alur diagnosis laten TB9

Pemeriksaan penunjang
1. Tes Kulit Tuberkulin (TST)

12
Tes klasik untuk mendeteksi LTBI adalah TST, tes diagnostik yang
bergantung pada reaksi terhadap antigen Mycobacterium
Tuberculosis yang disuntikkan di dermis kulit. Intensitas reaksi
inflamasi lokal karena pelepasan sitokin oleh limfosit diukur setelah
48 hingga 72 jam. TST murah, dapat dilakukan di mana saja oleh
petugas kesehatan. Namun demikian, tes ini memiliki sejumlah besar
kelemahan yang membuat hasilnya tidak terlalu akurat. TST
mengandung sejumlah besar antigen, yang sebagian besar antigen M.
tuberculosis, M. bovis, BCG, dan mikobakteri lingkungan: hasil tes
dapat menjadi positif, bisa karena vaksinasi sebelumnya dengan
BCG atau kontak dengan mikobakteri lingkungan.10
Hasil tes tuberkulin negatif dapat diartikan sebagai seseorang
tersebut tidak terinfeksi dengan basil TB. Selain itu dapat juga
karena terjadi pada saat kurang dari 10 minggu sebelum imunologi
seseorang terhadap basil TB terbentuk. Jika terjadi hasil yang negatif
maka tes tuberkulin dapat diulang 3 bulan setelah suntikan pertama.
Hasil tes tuberkulin yang positif dapat diartikan sebagai orang
tersebut sedang terinfeksi basil TB. Menurut guideline ACHA (The
American College Helath Association) tahun 2020 menyebutkan jika
hasil tes tuberculin positif maka harus dikonfirmasi dengan
pemeriksaan foto thoraks dan pemeriksaan dahak. Jika hasil foto
thoraks normal dilakukan pemberian terapi TB laten, tetapi jika hasil
foto thoraks terjadi kelainan dan menunjukkan kearah TB maka
dimasukkan kedalam TB paru aktif.11
Tabel 2.1 Interpretasi hasil tes tuberkulin2
Indurasi ≥5mm di- Indurasi ≥10mm di- Indurasi ≥15mm di-
anggap positif pada: anggap positif pada: anggap positif pada:
ODHA Imigran (dalam kurun Setiap orang termasuk
waktu kurang dari 5tahun) pada orang-orang yang
dari negara dengan tidak diketahui factor
prevalensi TBC yang risiko TBC, meskipun
tinggi demikian pemeriksaan

13
TST harusnya hanya
dilakukan pada
kelompok berisiko
tinggi.
Baru berkontak dengan Pengguna narkoba suntik
pasien TBC
Orang dengan perubahan Penduduk atau pekerja
bercak fibrosis pada yang tinggal di tempat
rontgen dada khusus dengan risiko
tinggi
Pasien dengan Staf laboratorium mikro-
tranplantasi organ bakteriolog
Pasien immunosupresan Orang-orang dengan
dengan alasan apapun kondisi klinis khusus
yang
berisiko tinggi
Anak usia dibawah 5
tahun, atau anak dan
remaja yang terpapar
dengan orang dewasa
yang masuk kedalam
kategori risiko tinggi

2. Interferon-Gamma Release Assays (IGRA)


Tes berbasis darah yang mengandalkan pengukuran in vitro
pelepasan gamma-interferon oleh limfosit tersensitisasi setelah
stimulasi dengan antigen dari MT. Pada dasarnya tes ini
menggunakan prinsip yang sama dengan TST (evaluasi pelepasan
sitokin oleh limfosit tersensitisasi). Perlu pengambilan sampel darah,
transportasi dan peralatan laboratorium; itu lebih mahal daripada
TST tetapi menawarkan beberapa keuntungan. Keuntungan pertama
dan terpenting adalah kenyataan bahwa hanya 2 antigen dari MTB
(ESAT- 6 dan CFP-10) , yang tidak ada pada M. bovis, BCG
dansebagian besar mikobakteri lingkungan, digunakan untuk
merangsang limfosit. Kemudian, tes tersebut memiliki spesifisitas
yang lebih
14
tinggi. Fitur positif kedua dari tes ini adalah standarisasi dan
objektivitas prosedur, tanpa bias subjektif akibat teknik injeksi dan
pembacaan reaksi kulit. Selanjutnya, pengujian dilakukan dengan
kontrol negatif dan positif, sehingga mengurangi resiko kesalahan.
Tes dapat diulang tanpa risiko meningkatkan hasilnya. Namun
demikian, selain biaya dan persyaratan teknis, pelaksanaan tes
memerlukan perhatian terhadap beberapa hal, antara lain kondisi
transportasi sampel darah ke laboratorium,
keterlambatanpemrosesan, dan tersedianya laboratorium khusus.10
Saat ini, dua tes tersedia di pasaran (tes QuantiFERON-TB Plus dan
tes T-SPOT.TB), yang berbeda dalam prosedur laboratorium tetapi
mengandalkan prinsip yang sama.7 QuantiFERON-TB Plus (QFT-
Plus) adalah versi baru dari QFT-Gold In-Tube. Dibandingkan
dengan QFT-Gold In-Tube, dengan antigen yang dioptimalkan untuk
merangsang sel T CD4+, QFT-Plus berisi antigen baru yang
dioptimalkan untuk stimulasi sel T CD4+ dan CD8+. QFT-Plus
memiliki potensi untuk menunjukkan aktivitas infeksi dan penyakit
baru-baru ini. Sebuah meta-analisis baru-baru ini mengungkapkan
bahwa QFT-Plus adalah tes yang lebih sensitif dibandingkan dengan
QFT-GIT untuk mendeteksi infeksi M. tuberculosis T-SPOT.TB
adalah uji imunospot terkait enzim yang dilakukan pada sel
mononuklear darah tepi yang terpisah dan dihitung, yang mencakup
monosit dan limfosit yang bersirkulasi; ia menggunakan peptida
ESAT-6 dan CFP-10. Hasilnya dilaporkan sebagai jumlah sel T
penghasil interferon-gamma (sel pembentuk titik dalam sumur
antigen dikurangi sumur kontrol negatif). Seorang individu dianggap
positif untuk infeksi MT jika jumlah bercak di sumur antigen TB
melebihi ambang batas spesifik relatif terhadap sumur control.
Secara umum, hasil IGRA dilaporkan sebagai salah satu dari berikut
ini: hasil positif, negatif, tidak dapat ditentukan, atau tidak dapat
diinterpretasikan (beberapa pembuat tes dan laboratorium

15
menambahkan kategori batas untuk hasil tes yang dapat
diinterpretasikan mendekati batas).10
3. Foto toraks
Foto toraks akan membedakan ITBL dan TB paru aktif, sehingga
menjadi bagian dalam diagnosis ITBL pada semua pasien dengan
hasil uji tuberkulin atau IGRA positif. Foto toraks juga dilakukan
pada pasien anak dan imunokompromais dengan hasil uji tuberkulin
atau IGRA negatif yang kontak dengan pasien TB aktif yang
menular.7
4. Sputum mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi sputum juga harus dilakukan padasemua
pasien dengan hasil uji tuberkulin atau IGRA positif dan atau foto
toraks abnormal dan atau ada gejala TB.7

2.9 Tatalaksana

Pengobatan pencegahan ILTB bertujuan untuk mencegah berkembangnya


kondisi infeksi menjadi TB aktif.12

1. Panduan Isoniazid dan Rifampisin selama 3 bulan


Kedua obat tersebut sebaiknya dikonsumsi satu kali sehari (baik
pagi, siang, sore, atau malam) saat perut kosong, yaitu 1 jam
sebelum makan atau 2 jam sebelum makan. Pemberian dengan
regimen ini memiliki efektivitas yang sama dengan pemberian
isoniazid selama 6 bulan, dengan kepatuhan obat yang lebih baik.12
Regimen 3 bulan harian isoniazid dan rifampisin adalah pengobatan
yang direkomendasikan secara kondisional untuk orang dewasa dan
anak segala usia dan orang HIV- positif jika interaksi obat
memungkinkan.3 Orang dewasa HIV-negatif dan anak dengan tes
kulit tuberculin positif yang menerima isoniazid plus rifampisin
harian selama 3 bulan memiliki risiko sama untuk penyakit TB,
hepatotoksisitas, dan efek samping yang memerlukan penghentian

16
terapi seperti pemberian isoniazid selama ≥6 bulan. Di antara anak-
anak berusia <15 tahun, isoniazid harian ditambah rifampisin selama
3 bulan sama efektifnya dengan isoniazidselama 6 bulan atau lebih,
karena perbandingan langsung tidak menemukan perbedaan pada
reaktifasi TB dan tidak ada perbedaan efek samping yang
memerlukan penghentian terapi atau hepatotoksisitas.7
2. Paduan Isoniazid-Rifapentin selama 3 bulan
Paduan isoniazid-rifapentin setiap minggu selama 3 bulan (3HP)
merupakan salah satu paduan pengobatan ILTB yang memiliki
efektivitas setara dengan isoniazid. Saat ini masih belum ada data
keamanan dan farmakokinetik rifapentin pada anak berusia <2 tahun
sehingga tidak direkomendasikan untuk anak usia di bawah 2 tahun.7
Sehingga, regimen isoniazid dan rifapentin sekali seminggu selama 3
bulan adalah regimen pilihan yang dianjurkan untuk orang dewasa
dan anak-anak berusia >2 tahun, termasuk orang HIV-positif (jika
interaksi obat memungkinkan). Regimen ini memiliki efektivitas
yang setara dan efek toksik lebih rendah daripada regimen standar
isoniazid harian selama 9 bulan pada orang dewasa dan anak-anak
berusia>2 tahun.7
Pada orang HIV-negatif pemberian 3 bulan isoniazid dan rifapentin
dikaitkan dengan efek hepatoksisitas yang lebih rendah dari isoniazid
selama 9 bulan, meskipun lebih banyak penghentian karena efek
samping. Pada orang HIV-positif, tidak ada perbedaan signifikan
yang ditemukan pada perbandingan isoniazid dan rifapentin dengan
isoniazid 6 atau 9 bulan. Studi pemberian 3HP pada orang dengan
infeksi HIV, termasuk AIDS mengkonfirmasi tidak hanya
keefektifan 3HP pada orang dengan infeksi HIV yang tidak memakai
terapi antiretroviral, tetapi juga menunjukkan tidak adanya interaksi
obat yang bermakna secara klinis antara rifapentin sekali seminggu
dan efavirenz atau raltegravir pada orang dengan infeksi HIV yang
diobati dengan obat antiretroviral.7

17
Kerugian dari regimen ini antara lain pengobatan dengan minum
banyak pil secara bersamaan (10 pil sekali seminggu dibandingkan
dengan dua atau tiga pil setiap hari untuk regimen lain), dan
hubungan dengan reaksi obat sistemik serta sindrom mirip influenza
yang dapat mencakup sinkop dan hipotensi. Reaksi obat sistemik
biasanya ringan, tidak ada kematian yang dilaporkan.7
3. Paduan Isoniazid selama 6 bulan
Pedoman WHO merekomendasikan pengobatan standar ILTB
dengan isoniazid yang diberikan setiap hari selama 6 bulan atau 9
bulan.Di Indonesia, Kementerian Kesehatan RI dan Ikatan Dokter
Anak Indonesia (IDAI) merekomendasikan pengobatan pencegahan
dengan isoniazid 10 mg/kgBB/hari (maksimal 300 mg/ hari) selama
6bulan, dengan pertimbangan efektivitas yang sama dengan
pemberianselama 9 bulan. Pada pasien dengan gizi buruk atau
infeksi HIV, selain pemberian isoniazid, diberikan vitamin B6 10 mg
untuk dosis isoniazid ≤200 mg/hari dan 2 x 10 mg untuk dosis
isoniazid >200 mg/hari.12
Regimen alternatif yang direkomendasikan, isoniazid selama 6 bulan
untuk orang dewasa dan anak-anak dengan HIV-negatif dari segala
usia dan untuk orang dewasa dan anak-anak HIV-positif segalausia
dan isoniazid selama 9 bulan direkomendasikan secara bersyarat
untuk orang dewasa dan anak-anak segala usia, baik HIV-negatif
maupun HIV-positif. Isoniazid mengurangi risiko reaktifasi menjadi
penyakit TB pada orang dengan uji tuberkulin positif, termasuk
orangdewasa dan anak-anak HIV-negatif, orang dewasa.7
Pada HIV-positif yang memiliki uji tuberkulin negatif, alergi, atau
hasil uji tuberkulin tidak diketahui, manfaat isoniazid tidak pasti
dalam rangkaian dengan kejadian TB yang rendah. Untuk orang
HIV- positif, terdapat potensi penurunan kejadian penyakit TB dan
peningkatan efek samping dengan terapi isoniazid. Di antara orang
HIV-negatif dengan TB tidak aktif (tuberkulin positif, lesi paru

18
fibrotik stabil, dan kultur dahak negatif pada orang yang sebelumnya
tidak diobati), terapi 6 dan 12 bulan lebih efektif daripada 3 bulan.
Kerugian potensial dari regimen ini termasuk durasinya yang lama,
hepatoksisitas, dan tingkat penyelesaian pengobatan yang rendah.7

Tabel 2.2 Dosis pengobatan laten TB8

Terapi Pencegahan ITBL yang Berkontak dengan Pasien TB MDR

Berdasarkan pedoman WHO tahun 2018 terhadap tatalaksana infeksi TB


laten, orang yang satu rumah dengan pasien TB MDR, terapi pencegahan
dapat diberikan dengan pertimbangan dan penilaian klinis yang kuat. Hal
yang harus diperhatikan pada terapi pencegahan ITBL yang berkontak dengan
pasien TB MDR7

1. Terapi pencegahan diberikan secara individual dengan memperhatikan


intensitas paparan, sumber penularan, dan pola reistensi obat dari
sumber yang dipercaya serta potensi efek samping yang ditimbulkan.
2. Terapi pencegahan hanya diberikan pada kontak serumah dengan pasien
TB MDR yang berisiko tinggi (anak, orang mendapat terapi imuno-
supresan dan penderita HIV).
3. Pilihan obat berdasarkan profil pola resistensi dari sumber penularannya
4. Pemeriksaan diperlukan untuk mengkonfirmasi infeksi TB laten

19
5. Pemantauan klinis yang ketat untuk melihat perkembangan TB aktif
minimal selama 2 tahun.

20
BAB III

KESIMPULAN

Infeksi TB Laten merupakan kondisi yang harus diidentifikasi dini


pada anak yang memiliki kontak erat dengan penderita TB dewasa, sering dari
orang tua atau orang terdekat dengan anak, misalnya pengasuh. Diagnosis dini
ILTB penting untuk mencegah berkembangnya infeksi TB menjadi TB aktif di
masa mendatang, yaitu dengan mengidentifikasi populasi anak yang berisiko
tinggi dan memulai TPT. Penegakan diagnosis infeksi TB laten harus
menyingkirkan TB aktif, dibantu dengan menggunakan metode tuberculinskin test
(TST) dengan uji tuberculin dan Interferon-gamma release assay (IGRAs).

Pasien ITBL beresiko mengalami reaktifasi menjadi TB aktif,


sehingga penting untuk melakukan tatalaksana terhadap ITBL. Pilihan TPT pada
anak yang dapat diberikan adalah isoniazid selama 6 bulan, isoniazid – rifampisin
selama 3 bulan isoniazid – rifapentin selama 3 bulan. Pilihan tersebut harus
mempertimbangkan kepatuhan anak dalam menjalankan tatalaksana, serta usia
anak (rifapentine hanya dapat diberikan pada anak berusia 2 tahun atau lebih).
Dengan mengidentifikasi anak dengan ILTB serta memulai TPT dengan tepat,
diharapkan morbiditas dan mortalitas akibat TB pada anak dapat dikurangi
sehingga eradikasi TB dunia dapat dicapai.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Wijaya VN. 2017. Infeksi Tuberkulosis Laten – Diagnosis dan Tatalaksana.


Cermin Dunia Kedokteran 257, 40(10), 706-709.
2. Centers for Disease Control and Prevention. 2020. Latent Tuberculosis
Infection; A Guide For Primary Health Care Providers. Atlanta, Georgia.
3.
4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2020. Petunjuk Teknis
Penanganan Infeksi Laten Tuberkulosis (ILTB). Jakarta.
5. Mar'iyah, Khusnul; Zulkarnain. Patofisiologi penyakit infeksi tuberkulosis.
In: Prosiding Seminar Nasional Biologi. 2021. p. 88-92.
6. Ilham, Russilawati, Mizarti, D. Tatalaksana Infeksi TB Laten. Jurnal Human
Care. 2022;7(1) p.165-180
7. Zuiga J, Torres-García D, Santos-Mendoza T, Rodriguez-Reyna TS,
Granados J, Yunis EJ. Cellular and humoral mechanisms involved in the
control of tuberculosis. Clin Dev Immunol. 2012.
8. Burhan E, Soepandi PZ, Isbaniyah F, Handayani RD, Giripunto S, Agustin
H et al. Pedoman Tatalaksana Infeksi TB Laten. Jakarta: Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia; 2016.
9. Mizarti D, Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi D. Tatalaksana Infeksi
TB Laten. Vol 7.; 2022.
10. World Health Organization (2018) Latent tuberculosis infection Updated
and consolidated guidelines for programmatic management. Geneva: World
Health Organization
11. World Health Organization. Guidelines on the management of latent
tuberculosis infection: the end TB strategy. Geneva: World Health
Organization; 2015.
12. Zellweger JP, Sotgiu G, Corradi M, Durando P. The diagnosis of latent
tuberculosis infection (Ltbi): Currently available tests, future developments,
and perspectives to eliminate tuberculosis (tb). Medicina del Lavoro.
2020;111(3):170-183. doi:10.23749/mdl.v111i3.9983
13. ACHA. (2020). Tuberculosis Screening and Targeted Testing of College
22
and University Students. Retrieved from:

23
https://doi.org/10.15585/mmwr.mm6819a
14. Kaswandani N, Jasin MR, Nugroho G. Infeksi Laten Tuberkulosis Pada
Anak: Diagnosis Dan Tatalaksana. Vol 24.; 2022
15. World Health Organization. (2020). Global tuberculosis report 2020.
Geneva: World Health Organization
16. World Health Organization. (2022). Global tuberculosis report 2022.
Geneva: World Health Organization

24

You might also like