You are on page 1of 28

MIGRAIN

Prasyarat :
- Anatomi cranium & struktur peka nyeri pada kepala
- Fisiologi reseptor nyeri pada kepala
- Farmakologi obat analgetik & golongan triptan

I. DEFINISI
Migren adalah nyeri kepala yang sifatnya berdenyut, biasanya unilateral, intensitas sedang sampai berat, berlangsung 4-72 jam,
berulang, disertai mual dan atau muntah, photophobia, phonophobia, atau aura
II. ETIOLOGI
- Perubahan hormon : pada siklus menstruasi, kehamilan, menarche, menopause
- Makanan :
o yang mengandung histamin : anggur merah
o yang mengandung tiramin : keju
o yang mengandung feniletilamin : coklat
o zat tambahan pada makanan : Na nitrat atau aspartam
- Obat-obatan
- Stress
- Puasa, kurang tidur

III. FAKTOR RISIKO


Migrain memiliki komponen genetik yang kuat. Sekitar 70% pasien migrain memiliki kerabat tingkat pertama dengan riwayat
migrain. Risiko migrain meningkat 4 kali lipat pada kerabat orang yang mengalami migrain dengan aura.
IV. EPIDEMIOLOGI
- Wanita lebih sering dari pria 3:1
- Umur 30-40 (tersering)
- Frekuensi : 10-20% dari nyeri kepala

V. KLASIFIKASI
A. Migren tanpa aura/ migren umum/ hemicrania simpleks
- Disini tidak didapatkan aura, tapi bisa didapatkan gejala prodromal
- Migren tanpa aura 80-90% dari migren
B. Migren dengan aura/ migren klasik
- Pada type ini, sebelum nyeri kepala timbul didahului oleh aura, yaitu gejala neurologis fokal yang komplek
Aura dapat berupa:
- Aura visual (tersering) dapat berupa: scincilating scotoma, hemianopsi, distorsI penglihatan, kilatan cahaya
- Aura sensorik: parestesi, rasa panas, rasa baal
- Aura motorik: disfasia, hemiparese

VI. PATOGENESIS & PATOFISIOLOGI


Patofisiologi:
Migrain terjadi karena suatu keadaan adanya disfungsi neuronal primer yang
menyebabkan perubahan intrakranial dan ekstrakranial yang terlibat dalam migrain,
termasuk 4 fase gejala, yaitu pertanda, aura, sakit kepala, postdrome
Terjadi perubahan sensitivitas sistem saraf dan aktivasi sistem trigeminal vascular.
Migrain aura dan sakit kepala sebagai akibat spreading depression cortical. Depresi
penyebaran cortical adalah depolarisasi gelombang merambat dari neuron dan glial
yang menyebar di seluruh korteks serebral
VII. GEJALA KLINIS & KRITERIA DIAGNOSIS
Umumnya terdapat 4 fase pada penderita migren, tapi tidak semua fase timbul pada serangan migren.
1. Fase prodromal (dialami 60% penderita migren)
- Umumnya fase ini terjadi beberapa hari atau beberapa jam sebelum fase nyeri kepala.
- Fase ini dapat berupa depresi, euphoria, rasa letih, sering bak/bab, nafsu makan menurun, rasa haus, dll
2. Fase aura (dialami 20% penderita migren)
- Fase ini biasanya timbul kurang dari 1 jam sebelum nyeri kepala.
- Aura dapat berupa aura visual, sensorik, motorik atau merupakan kombinasi. Aura biasanya terjadi dalam beberapa menit
(5-20 menit), lalu diikuti dengan periode laten atau tanpa periode laten dan masuk ke fase nyeri kepala.
3. Fase nyeri kepala
- Nyeri kepala berdenyut, unilateral, di daerah fronto temporal lalu sesudah 1-2 jam menyebar ke arah posterior, intensitas
nyeri sedang sampai berat berlangsung 4-72 jam.
- Fase nyeri kepala ini sering disertai gejala sistemik seperti nausea (87%) dan atau muntah (56%), photophobia dan
phonophobia (83%).
4. Fase post dromal
- Fase ini terjadi setelah fase nyeri kepala, berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari. Penderita merasa lelah,
iritabel ataupun kehilangan konsentrasi.

Kriteria Diagnosis:
1. Migraine tanpa aura
A. Sekurang-kurangnya terjadi 5 serangan nyeri kepala berulang yang memenuhi kriteria B-D
B. Serangan nyeri kepala berlangsung 4-72 jam
C. Nyeri kepala mempunyai sedikitnya 2 karakteristik berikut:
a. Lokasi unilateral
b. Berdenyut
c. Intensitas sedang / berat
d. Bertambah berat dengan aktivitas fisik
D. Selama nyeri kepala disertai salah satu dibawah ini:
a. Nausea dan/atau vomitus
b. Photophobia dan phonophobia
E. Tidak berkaitan dengan kelainan lain
2. Migraine dengan aura
- Sekurang-kurangnya sudah terjadi 2 serangan yang memenuhi kriteria B-E dari kriteria migraine tanpa aura dan didapat
adanya aura
Tanda Bahaya (Harus di rujuk ke dokter Sp. S):
1. Nyeri kepala yang timbul mendadak, baru pertama kali dan hebat
2. Nyeri kepala yang progresif, makin lama makin hebat
3. Nyeri kepala yang bertambah hebat, bila batuk atau mengedan
4. Nyeri kepala disertai:
- Panas - Hemiparese, hemihipestesi
- Muntah proyektil - Kelumpuhan saraf otak
- Kaku kuduk - Kejang
- Diplopia - Penurunan kesadaran
5. Nyeri kepala dengan awitan pertama pada umur lebih dari 50 tahun

VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Tidak diperlukan pemeriksaan penunjang, kecuali apabila dicurigai terjadi komplikasi Infark otak  usul CT-scan
Untuk menyingkirkan diagnosis banding lainnya:
1. Darah rutin, elektrolit, kadar gula darah, dll (atas indikasi, untuk menyingkirkan penyebab sekunder)
2. CT scan kepala / MRI kepala (untuk menyingkirkan penyebab sekunder)
Neuroimaging diindikasikan pada :
- Sakit kepala yang pertama atau yang terparah seumur hidup penderita.
- Perubahan pada frekuensi keparahan atau gambaran klinis pada migren.
- Pemeriksaan neurologis yang abnormal.
- Sakit kepala yang progresif atau persisten.
- Gejala-gejala neurologis yang tidak memenuhi kriteria migren tanpa aura atau hal-hal lain yang memerlukan
pemeriksaan lebih lanjut.
- Defisit neurologis yang persisten.
- Hemikrania yang selalu pada sisi yang sama dan berkaitan dengan gejala-gejala neurologis yang kontralateral.
- Respon yang tidak adekuat terhadap terapi rutin.
- Gejala klinis yang tidak biasa. (PERDOSSI 2016)

IX. PENATALAKSANAAN
a. NON – FARMAKOLOGI
- Menghindari faktor pencetus, misalnya: stress, kurang tidur, letih, makanan (keju), pil KB, rokok, alcohol
- Bila memungkinkan beristirahat di tempat gelap dan tenang dengan dikompres dingin.

b. FARMAKOLOGI
Efektivitas obat terhadap migren sangat bervariatif bergantung pada :
- Frekuensi serangan
- Beratnya serangan

1. PENGOBATAN ABORTIF NON SPESIFIK


- Parasetamol: 500-1000mg/6-8jam
- Aspirin:500-1000mg/4-6jam
- Ibuprofen : 400-800 mg / 6 jam
- Kombinasi aspirin dan metoklopramid
- Pada status migren : Dexamethason inj 16-20 mg IV/hari atau Prednison 60-80 mg/hari diturunkan bertahap.

2. PENGOBATAN ABORTIF SPESIFIK (PILIH SATU)


- Sumatriptan 50 mg, maksimal dosis 200 mg
- Ergotamine tartat 5 mg/ hari, sering dalam bentuk kombinasi dengan cafein
- Dihidroergotamine 5-7,5 mg / hari
3. PENGOBATAN PREVENTIF / PROFILAKSIS
Bila serangan > 2x/minggu atau disabilitas > 3 hari (ditujukan untuk penderita dengan serangan berulang-ulang)
- Betablocker:
o Atenolol : 50 – 150 mg/hari
o Metaprolol: 100 – 200 mg/hari
o Propanolol: 40 -240 mg /hari
- Antidepresantrisiklik
o Amitriptilin: 10 – 150 mg / tiap malam
o Nortiptilin: 10 – 150 mg/ tiap malam
- Anti konvulsan
o Na valproate : 500 – 1500 mg/hari
o Topiramate: dosis awal 25 mg/hari dinaikan bertahap sapai dosis maintenance 200mg/ hari
- Calsium channel blocker: Flunarizine: 5-10mg/hari
- Antagonis serotonin : Pizotifen : 0,5 mg / tiap malam
- NSAIDs: Naproxen
Ringkasan:
1. Non spesifik : Na diklofenak 2x50 mg bila sangat nyeri, tunda bila nyeri masih
dapat ditahan atau dapat berkurang dengan istirahat
2. Propranolol 2x20 mg naik bertahap tiap 2 minggu sampai dosis optimal
(frekuensi nyeri kepala berkurang setidaknya 50% perbulan selama 3 bulan)
3. Metilprednisolon 2x8 mg (untuk 3 hari)
4. Metoclopramide 3x10 mg sebelum makan bila mual
5. Rencana rawat inap jika mual muntah hebat, dehidrasi, dan/atau pasien tidak
dapat makan minum

X. PENCEGAHAN
- Hindari pencetus
- Perubahan pola hidup
- Obat preventive

XI. KOMPLIKASI
- Status migren (serangan migren dengan nyeri kepala lebih dari 72 jam
- Migren infark (bila gejala aura migren tidak pulih sempurna dalam 1 jam, atau pada pemeriksaan neuroimaging didapat
kelainan infark pada otak)
- Chronic migraine
- Migraine-triggered seizures
- Aura persisten tanpa infark

XII. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : bonam (tanda vital baik, tidak ada penyakit penyerta dan penyulit)
Quo ad Fungsionam : dubia ad bonam (termasuk nyeri kepala primer namun dapat mengganggu aktivitas sehari-hari)
Quo ad Sanationam : dubia ad bonam (kadang kambuh)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
KEJANG DEMAM
Prasyarat :
- Anatomi & Faal cortex cerebri
- Biokimia neurotransmitter

I. DEFINISI
Kejang Demam (KD) adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal > 38° C) akibat dari suatu
proses ekstra kranial. Kejang berhubungan dengan demam, tetapi tidak terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab lain.
II. ETIOLOGI
 Genetik ( pada kejang demam : FEB1 dan FEB2 ditemukan pada kromosom 8 dan 19p , pada kejang demam + epilepsi
generalisata (GEFS+) : mutasi pada SCN1A dan B ,GABRG2
 Pencetus : infeksi virus atau bakteri baru ,antara lain : ISPA, gastroenteritis, infeksi otitis media, pneumonia , ISK, rosella,
dan lain-lain.

III. FAKTOR RISIKO


A. Demam
i. Demam yagn berperan pada KD, akibat:
- Infeksi saluran pernapasan
- Infeksi saluran pencernaan
- Infeksi saluran kemih
- Roseola infantum
- Pasca imunisasi
ii. Derajat demam:
- 75 % dari anak dengan demam ≥ 39 ºC
- 25 % dari anak dengan demam > 40 ºC
B. Usia
i. Umumnya teradi pada usia 6 bulan – 5 tahun
ii. Puncak tertinggi pada usia 17-23 bulan
iii. Kejang demam sebelum 5-6 bulan mungkin disebebkan oleh infeksi SSP
iv. Kejang demam diatas usia 5 tahun, perlu dipertimbangkan febrile seizure plus (FS+)
C. Gen
i. Risiko meningkat 2-3x bila saudara kejang demam
ii. Risiko meningkat 5x bila orangtua menderita kejang demam

IV. EPIDEMIOLOGI
 Insidensi: laki-lakki > perempuan
 Paling seriing terjadi pada anak-anak usia 6 bulan – 5 tahun
 Prevalensi kasus di dunia bervariasi:
o AS  2-5 % anak telah mengalami kejang demam sebelum dan/atau saat mencapai usia 5 tahun
o Indonesia  2-4 % terjadi pada anak usia 6 bulan – 5 tahun (Data 2009-2010)
 Mortalitas / morbiditas: Sebagian besar kasus KD sembuh sempurna, sebagian berkembang menjadi epilepsy (2-7 %)
dengan angka kematian 0.64-0.75 %

V. KLASIFIKASI
 Kejang demam sederhana (Simple febrile seizure)
o Kejang generalisata
o Durasi < 15 menit
o Kejang tidak berulang dalam 24 jam
o Kejang tidak disebabkan oleh adanya infeksi SSP (meningitis, encephalitis / penyakit gg. otak)
 Kejang demam kompleks (Complex febrile seizure)
o Kejang fokal
o Durasi > 15 menit
o Dapat terjadi berulang dalam 24 jam

VI. PATOGENESIS & PATOFISIOLOGI


Kejang demam adalah suatu abnormalitas neurologis yang memililiki karakteristik hiper-
eksitabilitas neuronal yang terjadi akibat peningkatan suhu inti tubuh pada waktu
demam, yang mana dapat disebabkan oleh infeksi sistemik yang mendasarinya. Saat
terjadinya infeksi, system kekebalan tubuh akan mengaktifkan respon inflamasi yang
mengakibatkan pelepasan sitokin seperti Interleukin (IL)-1β, IL-6 dan Tumour necrosis
factor α (TNF-α) pada sirkulasi sistemik. Hal ini menyebabkan aktivasi pensinyalan saraf
vagus aferen ke otak, yang selanjutnya menyebabkan aktivasi dari pensinyalan
kolinergik saraf vagus eferen anti-inflamasi disertai pelepasan neurotransmitter
asetilkolin (Ach). Ach kemudian menginhibisi pelepasan sitokin dari makrofag sehingga
menurunkan level sitokin sistemik. Seperti yang telah dilaporkan bahwa Asetilkolin (Ach)
dapat menghambat pelepasan dari TNF-α, IL-1β and IL-18 dari makrofag yang
distimulasi oleh Lipopolisakarida(LPS). Yaitu suatu komponen dari dinding sel bakteri
gram negative yang dikenal dapat mendisrupsi Blood Brain Barrier (BBB) dan
mempengaruhi aspek fungsi dari BBB.
Dalam keadaan sistem kekebalan tubuh sedang diuji dalam hal ini karena suatu infeksi.Produksi LPS dan mediator pro-inflamasi
menjadi berlebihan sehingga menyebabkan ketidakseimbangan sitokin yang membuat perubahan besar pada BBB sehingga
menyebabkan BBB menjadi lebih permiabel (Pavlov, et al.,2012).
Pada waktu terjadinya infeksi, Lipopolisakardia (LPS) dikeluarkan, menyebabkan
suatu respons infalamasi. Hal ini menyebabkan makrofag melepaskan sitokin seperti
interleukin (IL)-1β, IL-6 and tumour necrosis factor (TNF-α) yang mana bersama
dengan LPS akan mendisrupsi Blood Brain Barrier (BBB) menyebabkannya menjadi
lebih permiabel. Sitokin kemudian masuk kedalam BBB dan mengaktivasi enzim
Siklooksigenase-2 (COX-2) dan mikroglia. Kemudian COX-2 mengkatalisis formasi
dari Prostaglandin-E2 (PGE2) yang menginduksi perubahan set point pada
hipotalamus sehingga terjadi demam. Selain itu, aktivasi dari mikroglia melepaskan
sitokin pro- dan anti- inflamasi serta termasuk IL-1β and interleukin 1 receptor
antagonis (IL-1Ra) menyebakan disregulasi dari glutamatergic dan GABAergic sirkuit,
sebabkan kejang (Waruiru, et al.,2004).
VII. GEJALA KLINIS & KRITERIA DIAGNOSIS
 Kejang demam sederhana (Simple febrile seizure)
o Berlangsung singkat (< 15 menit)
o Kejang berbentuk tonik dan/atau klonik tanpa gerakan fokal
o Kejang tidak berulang dalma 24 jam
o Umumnya akan berhenti sendiri
 Kejang demam kompleks (Complex febrile seizure)
o Kejang lama (> 15 menit)
o Kejang fokal / parsial 1 sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial
o Berulang / > 1x dalam 24 jam

Batasan Kejang Demam:

 Terjadi pada anak usia 6-60 bulan (kejang pertama paling sering pada anak usia 17 bulan – 3 tahun, puncak 18 bulan)
 Kejang pada anak bersuhu > 38 ºC
 Tidak terdapat infeksi SSP
 Tidak terdapat kelainan metabolic (cth. hipoglikemia)
 Pem. Saraf (fungsi & struktur susunan saraf) sebelum & sesudah kejang Normal
 Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang dengan demam tidak termasuk dalam KD
VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Pem. Laboratorium  mencari sumber infeksi penyebab demam
o Darah perifer
o Elektrolit
o Kadar gula darah
 Pem. Pungsi lumbal
Indikasi: menegakkan / menyingkirkan kemungkinan meningitis.
o Bayi < 12 bulan sangat dianjurkan
o Bayi 12-18 bulan dianjurkan
o Bayi > 18 bulan tidak rutin
 Elektroensefalografi (EEG)
o Dapat dilakukan pada KD yang tidak khas
o Tidak dapat memprediksi berulangnya kejang
o Tidak direkomendasikan
 Neuroimaging
o CT scan / MRI jarang sekali dikerjakan, tidak rutin, indikasi:
 Kelainan neurologic fokal yang menetap (hemiparese)
 Paresis n. VI
 Papilledema

IX. PENATALAKSANAAN
A.NON FARMAKOLOGI
KONSELING & EDUKASI
Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saat kejang sebagian besar orang tua beranggapan
bahwa anaknya telah meninggal. Kecemasan ini harus dikurangi dengan cara yang diantaranya:
1. Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik.
2. Memberitahukan cara penanganan kejang
3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
4. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat adanya efek samping.
BEBERAPA HAL YANG HARUS DILAKUKAN APABILA ANAK KEJANG:
1. Tetap tenang dan tidak panik.
2. Kendorkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher.
3. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring. Bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung.
Walaupun kemungkinan lidah tergigit, jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut.
4. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang.
5. Tetap bersama pasien selama kejang.
6. Berikan diazepam rektal. Dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti.
7. Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih.

B.FARMAKOLOGI
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang kejang sudah berhenti. Apabila datang dalam
keadaan kejang obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena.
Dosis Diazepam:

 Diazepam IV (D: 0,3-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan
dosis maksimal 20 mg).
 Diazepam rektal (D: 0,5-0,75 mg/kg) atau diazepam rektal 5 mg untuk anak BB <10 kg dan 10 mg untuk BB>10 kg atau
Diazepam rektal dengan dosis 5 mg u/ anak usia < 3 tahun dan dosis 7,5 mg untuk anak usia > 3 tahun
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval
waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, diberikan Diazepam IV dosis 0,3-0,5 mg/kg. Bila
kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara IV dengan dosis awal 10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1 mg/kg/menit
atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal. Bila
dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang rawat intensif.
Obat saat Demam  antipiretik

 Paracetamol  10-15 mg / kgBB / kali, diberikan 4x/hari, tidak lebih dari 5x


 Ibuprofen  5-10 mg / kgBB / kali, diberikan 3-4x/hari
Obat Rumat  Indikasi:
1. Kejang lama > 15 menit
2. Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya hemiparesis, paresis Todd, cerebral
palsy, retardasi mental, hidrosefalus.
3. Kejang fokal
4. Pengobatan rumat dipertimbangkan bila:
 Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam.
 Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan
 kejang demam > 4 kali per tahun
Penjelasan:
 Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang demam > 15 menit merupakan indikasi pengobatan rumat
 Kelainan neurologis tidak nyata misalnya keterlambatan perkembangan ringan bukan merupakan indikasi
pengobatan rumat
Jenis antikonvulsan:  menurunkan risiko berulang, diberi selama 1 tahun bebas kejang, dihentikan bertahap selama 1-2 bulan.

 Asam valproate  15-40 mg / kgBB / hari, dalam 2-3 dosis


 Fenobarbital  3-4 mg / kgBB / hari, dalam 1-2 dosis
Kriteria Rujukan

 Apabila kejang tidak membaik setelah diberi oabt antikonvulsan


 Apabila KD berulang disarankan EEG
Tambahan:

 Penanganan pertama  diazepam  5-10 menit  fenitoin


 KD kompleks  selama masih demam, masih bisa kejang
 Diazepam diberi sampai demam teratasi
 As. Valproate  pd KD kompleks, sbg obat rumat, maintenance, slm 1 th  tapering off. Tidak diberi pada KD simpleks

X. PENCEGAHAN  Cegah demam yang berkelanjutan, hindari factor pencetus


 Obati demam sesuai dengan resep dokter
 Jangan menyelimuti anak demam terlalu rapat. Biarkan panas keluar dari kulit anak
 Basuh anak dengan air hangat & mandikan anak dalam bath tub dngan air 2-3 inc, lalu basuh anak
 Jika mulai mengigil, hentikan basuhan & angkat anak
 Beri anak banyak air saat demam

XI. KOMPLIKASI
 Kerusakan sel otak
 Risiko kejang atipikal apabila KD seeing berulang
 Epilepsy

XII. PROGNOSIS
Quo ad Vitam: dubia ad bonam
Quo ad Fungsionam: dubia ad bonam
Quo ad Sanationam: dubia ad bonam
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
MENINGITIS
Prasyarat :
- Anatomi meningens & system ventrikel
- Jenis infeksi SSP
- Mikrobra / parasite penyebab infeksi SSP

I. DEFINISI
 Merupakan peradangan pada meningen
 Tanda peradangan umum (demam, nyeri kepala) dan gejala perangsangan meningen (kaku kuduk, Laseque/Kernig
terbatas, Brudzinski I/II/III). Dapat disertai gangguan kesadaran, kejang, hemiparese, maupun gangguan saraf otak

II. ETIOLOGI
1) Bakteri
 Akut: Streptococcus pneumoniae, Neisseria meningitidis, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, dan bakteri
gram negatif lainnya, Pseudomonas aeruginosa
 Kronis: Mycobacterium tuberculosis, Brucella sp, Salmonella sp, Staphylococcus sp
2) Virus
 Enterovirus: Coxsackie, Echovirus
 Herpes simplex virus, Ebstein-Barr virus, HIV, Varicella zoster
3) Jamur
 Cryptococcus neoformans, Histoplasma capsulatum, Candida sp, Blastomyces, Aspergillus sp
4) Parasit:
 Taenia solium (cysticercosis), Toxoplasma gondii (toksoplasmosis), Echinococcus granulosus, E. multilocularis
(echinococcosis), Schitosoma sp (schistosomiasis)

III. KLASIFIKASI
- Meningitis tuberculosis - Meningitis viral
- Meningitis - Meningitis jamur
purulenta/bakterialis - Meningitis parasite

IV. TRIAS MENINGITIS  beberapa jam – 2 hari setelah onset


1) Demam
2) Nyeri kepala
3) Kaku kuduk
MENINGITIS TBC
I. DEFINISI
Merupakan bentuk infeksi akibat M. tuberculosis yang paling membahayakan jiwa Meskipun terapi telah diberikan, infeksi ini
berakibat fatal pada 25% penderita dewasa dan menimbulkan sequelae neurologis pada 25% penderita yang bertahan hidup.
II. ETIOLOGI
Mycobacterium tuberculosis
- Bakteri batang tahan asam, 3x 0,5 μm, obligat aerob, katalase positif, non motil, tidak menghasilkan spora, slow growth
rate (12 jam)
- Struktur
o Dinding Sel: Struktur mirip bakteri gram negatif, lipopolisakarida dengan lapisan lipid mengandung asam mikolat
dan glikolipid, peptidoglikan tipis yang membentuk jaringan lipoarabinomannan, dan arabinogalactan
o Dapat berikatan dengan Fc receptor, receptor mannose dan komplemen pada makrofaga
- Faktor virulensi: mycosides (cord factor, chaperonin 10) iron siderophore (mycobactin), facultative intracellular growth
(bertahan dan bereplikasi dalam makrofaga)
- Bakteri ini mampu bertahan dalam hospes melalui 2 mekanisme: Menghentikan progresi normal fagosom menjadi
fagolisosom dan menghentikan atau meminimalisasi induksi respon imun produktif dengan menekan kaskade yang
berperan dalam induksi respon imun dari sel yang terinfeksi.
III. EPIDEMIOLOGI
- Meningitis TB merupakan salah satu komplikasi TB primer
- Morbiditas dan mortalitas: tinggi dan prognosis nya buruk
- Komplikasi meningitis TB terjadi setiap 300 TB primer yang tidak diobati.
- Insidensi meningitis TB sebanding dengan TB primer, umumnya bergantung pada status sosio-ekonomi, higiene
masyarakat, umur, status gizi, dan faktor genetik yang menentukan respon imun seseorang.
- Dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih sering daripada dewasa, terutama 0 – 5 tahun
- Faktor predisposisi berkembangnya infeksi TB adalah malnutrisi, penggunaan kortikosteroid, keganasan, cedera kepala,
infeksi HIV dan diabetes melitus.

IV. PATOGENESIS & PATOFISIOLOGI


a. Transmisi aerosol MTB
b. Patositosis jika MTB oleh makrofag alveolar di dalam alveoli
c. Pembentukan granuloma di paru-paru, yang kemudian terjadi karena
respons seluler dan jaringan sitokin, 90% inang dengan granuloma
mempertahankannya secara stabil selama hidup mereka.
d. MTB lolos dari granuloma, yang terjadi pada 10% pasien TB laten
e. MTB dapat menyebabkan TBM dengan eskalasi dari paru-paru atau
dengan reaktivasi sekunder dari "granuloma bocor", yang kemudian
disaring ke kelenjar getah bening regional
f. Setelah menyebar melalui sirkulasi darah, MTB dapat memasuki SSP
melalui BBB kemungkinan mekanisme Trojan Horse
g. Biji basil ke meningen atau parenkim otak, membentuk kompleks primer
subpial atau sub-ependymal
Patofisiologi
- Febris : Adanya reaksi inflamasi sistemik → keluar mediator inflamasi
- LED meningkat : Terbentuknya protein fase akut karena inflamasi.
- Anemia : Keluar sitokin pro inflamasi → Stimulasi hepsidin → hambat pelepasan cadangan Fe → gangguan sintesis
heme.
- Hemiplegia & Hemiparesis : Arteritis (inflamasi parekim otak dan pembuluh darah otak)  kerusakan dinding pembuluh
darah  hemorrhagic stroke  kerusakan traktus piramidalis
- Penurunan kesadaran : Arteritis  kerusakan dinding pembuluh darah  penurunan aliran darah ke otak
- Nyeri kepala : Iritasi meningen  rangsang nociseptor
- Kaku kuduk : Iritasi meningen  rangsang nociseptor daerah b

V. GEJALA KLINIS & KRITERIA DIAGNOSIS

Stadium Klinis Menurut British Council


- Gejala dan tanda nonspesifik
Stadium I
- Tidak dijumpai gangguan kesadaran
(Early)
- Tidak dijumpai deficit neurologis
- Perubahan perilaku / kesadaran
somnolen
Stadium II
- Iritasi meningen
(Intermediate)
- Deficit neurologis minor (parese saraf
otak)
- Gerakan abnormal
Stadium III - Konvulsi
(Advanced) - Stupor / koma
- Deficit neurologis berat (parese)
Stadium Klinis Menurut Lincoln
Stadium I Gejala rangsang meningen
Stadium II Stadium I + deficit neurologis fokal
Stadium III Penurunan kesadaran akibat meningitisnya sendiri

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG


- Tes tuberkulin
- Foto toraks
- Pemeriksaan apus dan kultus fokus ekstraneural
- CT scan atau MRI otak
- Pemeriksaan LCS
- Pemeriksaan BTA pada apus sedimen LCS
- PCR (Polymerase Chain Reaction): Nucleic Acid Amplification Test (NAAT)
- Interferon-gamma release assays (IGRA)
Diagnosis Laboratorium Meningitis TB
Menurut Ogawa, diagnosis meningitis tuberkulosis dibagi dalam 2 kategori:
- Definite: Bila hasil kultur terhadap M. Tuberculosis yang positif, ditemukan M. Tuberculosis pada pemeriksaan bakteriologi
langsung atau kedua-duanya.
- Probable: Bila LCS menunjukkan gambaran pleiositosis, pemeriksaan apusan gram dan jamur yang negatif, disertai hal -
hal berikut:
o Tes tuberkulin (+)
o Ditemukan TB selain TB susunan saraf pusat atau terdapat TB aktif atau paparan dengan penderita TB yang
bermakna
o Glukosa LCS <40 mg/dL
o Protein LCS >60 mg/dL

Perbedaan jenis meningitis berdasarkan LCS

Jenis meningitis
Meningitis TB Meningitis purulenta Meningitis viral Meningitis jamur
Perjalanan Subakut – kronik Akut Akut Subakut - kronik
Profil LCS:
 Jumlah sel 100-500 1000-10000 100-500 100-500
 PMN/MN MN dominan PMN dominan MN dominan PMN dominan
 Glukosa Menurun (<40 mg%) Menurun s/d 0 mg% Menurun ringan Menurun
 None + + +/- +
 Pandy + + +/- +
 Protein Meningkat Sangat meningkat Meningkat ringan Meningkat
 Mikroskopik BTA dapat (+) Bakteri dapat (+) Negative Jamur (+) dengan
pewarnaan tinta India

VII. PENATALAKSANAAN
Regimen: RHZE/RHZS

Nama obat Dosis & Efek Samping


INH (H) Dewasa: 10-15 mg / kgBB / hari Anak: 20 mg / kgBB / hari
+ piridoksin 50 mg / hari
ES: Hepatotoksik, defisiensi vit B6
Streptomisin (S) 20 mg / kgBB/ hari i.m selama 3 bulan
ES: Gangguan pendengaran & vestibular
Etambutol (E) 25 mg / kgBB / hari p.o selama 2 bulan
Dilanjutkan 15 mg / kgBB / hari
ES: Neuritis optika
Rifampisin (R) Dewasa: 600 mg / hari Anak: 10-20 mg / kgBB / hari
ES: Hepatotoksik
Pyrazinamide (Z) ES: Hepatotoksik
Pemberian steroid pada meningitis TBC, indikasi:
- Penurunan kesadaran
- Papilledema
- Parese n. craniales
- Hemiparese
VIII. PENCEGAHAN
Kontrol penyebaran infeksi TBC :
- Higiene individu dan ventilasi rumah cukup (minimal 10% dari luas lantai)
- Menghindari kontak dengan penderita TBC
- Mengobati penderita TBC non aktif
- Vaksin bcg
- Meningkatkan sistem imun
- Strategi TEMPO (TEMukan pasien secepatnya, Pisahkan secara aman, Obati secara tepat)
- Penyuluhan pasien mengenai etika batuk dan bahaya dari tuberculosis
- Penyediaan tisu dan masker, tempat pembuangan tisu dan dahak yang benar
- Screening bagi petugas yang merawat pasien TB

IX. KOMPLIKASI
- Hydrocephalus Hiponatremia Tuberkuloma
- Vasculitis & stroke
- Cranial nerves palsies
- Epileptic seizures
- Diabetes insiplidus
- Myeloradiculopathy
- Hypothalamic syndrome

X. PROGNOSIS
Prognosis meningitis tuberkulosa lebih baik sekiranya didiagnosis dan diterapi seawall mungkin. Sekitar 15% meningitis non
meningococcal akan dijumpai gejala sisanya. Secara umumnya, penderita meningitis dapat sembuh, baik sembuh dengan cacat
motorik atau mental atau meninggal tergantung:
- Umur penderita
- Jenis kuman penyebab
- Berat ringan infeksi
- Lama sakit sebelum mendapat pengobatan
- Kepekaan kuman terhadap antibiotik yang diberikan
- Adanya dan penanganan penyakit
MENINGITIS BAKTERIALIS
I. DEFINISI
Meningitis bakterial (MB) adalah inflamasi meningen, terutama arachnoid dan piamater, yang terjadi karena invasi bakteri ke dalam
ruang subarachnoid.
II. ETIOLOGI

Neonates (usia < 3 bulan) Escherichia coli; Steptococcus grup B; Listeria monocytogenes
Bayi & anak (usia > 3 S. pneumonia; N. meningitides; H. influenzae
bulan)
Dewasa usia < 50 tahun S. pneumonia; N. meningitides
(imunokompeten)
Dewasa usia > 50 th S. pneumonia; N. meningitides; Listeria monocytogenes
Fraktur cranium / pasca Staphylococcus epidermidis; Staphylococcus aureus; bakteri gram (-) (Klebsiella, Proteus,
bedah saraf Pseudomonas, E.coli); Streptococcus grup A & D; S. pneumonia; H. influenza
Kebocoran LCS Bakteri gram (-); S. pneumonia
Kehamilan Listeria monocytogenes
Imunodefisiensi Listeria monocytogenes; bakteri gram (-); S. pneumonia, Pseudomonas aeruginosa;
Streptococcus grup B; Staphylococcus aureus

III. FAKTOR RISIKO


1. status immunocompromised (infeksi human immunodeficiency virus, kanker, dalam terapi obat imunosupresan, dan
splenektomi)
2. trauma tembus kranial
3. fraktur basis cranium
4. infeksi telinga, infeksi sinus nasalis, infeksi paru, infeksi gigi
5. adanya benda asing di dalam sistem sara pusat(contoh: ventriculoperitoneal shunt)
6. penyakit kronik (gagal jantung kongestif, diabetes, penyalahgunaan alkohol, dan sirosis hepatik)

IV. EPIDEMIOLOGI
- MB lebih banyak terjadi pada pria
- Insiden MB adalah 2-6/100.000 per tahun dengan puncak kejadian pada kelompok bayi, remaja, dan lansia
- insiden tahunan (per 100.000) MB sesuai patogennya adalah sebagai berikut:
o Streptococcus pneumonia, 1,1
o Neisseria meningitidis, 0,6
o Streptococcus, 0,3
o Listeria monocytogenes, 0,2
o Haemophilus influenza, 0,2

V. PATOGENESIS & PATOFISIOLOGI


VI. GEJALA KLINIS & KRITERIA DIAGNOSIS
Gejala meningitis bacterial pada neonates tidak spesifik dan meliputi:
- Poor feeding - Jaundice
- Lethargy - Fontanel / ubun-ubun menonjol
- Irritability - Pucat
- Apnea - Shock
- Lesu - Hypotonia
- Apathy - Menangis dengan suara nyaring
- Demam - Hypoglicemia
- Hypothermia - Asidosis metabolic yang sulit diatasi
- Seizures
Gejala-gejala berikut mudah dikenali terkait dengan meningitis pada bayi & anak-anak:
- Kaku kuduk - Irritablitiy / cepat marah
- Opisthotonos - Lethargy
- Fontanel / ubun-ubun - Anorexia
menonjol - Nausea
- Convulsions / kejang - Vomitus
- Photophobia - Coma
- Nyeri kepala - Demam (umumnya ada, meskipun beberapa anak yang sakit parah datang
- Alteration od sensorium dengan hipotermia)

VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Hematologic rutin
o LED meningkat
o Limfositosis
2. Kimia darah
o Penurunan glukosa serum
3. CT Scan / MRI
o Enhancement of meninges
o Sucal effacement
o Ventriculomegaly
4. Pungsi Lumbal
VIII. PENATALAKSANAAN
A. NON FARMAKOLOGI
- Istirahat
- Perawatan ruang isolasi
- Asupan elektrolit yang cukup

B. FARMAKOLOGI
1. Terapi antibiotic
 Antibiotic empiric segera dimuali sambil menunggu hasil tes diagnostic
 Segera diberikan bila ada syok sepsis
 Durasi terapi antibiotic bergantung pada bakteri penyebab, keparahan penyakit, dan jenis antibiotic yang digunakan
 Jika konsis klinis pasien belum membail dalam 48 jam setelah terapi antibiotic dimuali, maka analisi LCS ulang
harus dilakukan
WHO : Meningitis meningococcal epidemik dapat diterapi secara efektif dengan satu dosis ceftriaxone intramuskuler →
paling sedikit selama 5 hari pada situasi nonepidemik atau jika terjadi koma atau kejang yang bertahan selama lebih dari
24 jam.Minimal 7 hari untuk meningitis meningococcal dan haemofilus; 10-14 hari untuk terapi antibiotik pada meningitis
pneumococcal.

2. Terapi dexamethasone
 Terapi dexamethasone diberikan sebelum atau bersamaan dosis pertama antibiotic → menurunkan morbiditas
dan mortalitas terutama meningitis pneumokokal.

Dexamethasone dapat menurunkan respons inflamasi di ruang subaraknoid yang secara tak langsung dapat
menurunkan risiko edema serebral, peningkatan tekanan intrakranial, gangguan aliran darah otak, vaskulitis, dan
cedera neuron.
 Dexamethasone diberikan selama 4 hari dengan dosis 10 mg setiap 6 jam secara intravena.
3. Terapi profilaksis
 Individu yang mengalami kontak dengan pasien meningitis meningokokal harus diberi antibiotik profilaksis.
 Kontak dekat didefinisikan sebagai orang dalam jarak 3 kaki dari pasien selama lebih dari 8 jam selama tujuh
hari sebelum dan 24 jam setelah menerima antibiotic dan juga orang-orang yang terpapar sekret mulut pasien
selama waktu ini juga harus dirawat.
 Pilihan antibiotik yang biasa diberikan adalah ciprofloxacin 500 mg dosis tunggal atau rifampicin 2 x 600 mg
selama 2 hari.
 Profilaksis tidak dibutuhkan jika durasi sejak penemuan kasus meningitis meningokokal sudah lebih dari 2
minggu.

IX. PENCEGAHAN
1. Vaksinasi
- Hib
- Polio
- Measles
- Mumps
- Pneumococcal  Pneumococcal Conjugate Vaccine
2. Mencuci tangan

X. KOMPLIKASI
- Efusi subdural
- Ventriculitis
- Hydrocephalus
- Abses otak
- Epilepsy
- Gangguan indra  kebutaan, tuli
- Gangguan neurologis  ataksia, hemiparesis

XI. PROGNOSIS
Meskipun telah dilakukan terapi antibiotik dan terapi suportif, komplikasi dan angka mortalitas tetap segnifikan. Angka mortalitas
untuk bacterial meningitis 5-10% bervariasi umur dan gender. Pada neonatus didapatkan 15-20% sedangkan pada anak sekitar 3-
10%..
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
STROKE
Prasyarat :
- Anatomi pembuluh darah otak
- Faal jaras motoric, sensorik, dan cortex cerebri

I. DEFINISI
Stroke merupakan suatu deficit neurologis fokal atau global yang timbul mendadak berlangsung >24 jam atau meninggal karena
gangguan pembuluh darah otak.
II. ETIOLOGI
- Iskemik
o Adanya penyempitan pembuluh darah arteri otak, sehingga aliran darah ke otak berkurang
o Thrombosis, emboli
- Hemoragik
o Karena pecah / rupturnya pembuluh
darah otak yang menyebabkan
perdarahan
 PIS, PSA

III. FAKTOR RISIKO


- Factor risiko yang tidak dapat dimodifikasi:
o Usia
o Jenis kelamin
o Genetic
- Factor risiko yang dapat dimodifikasi:
o Hipertensi
o DM
o Penyakit jantung
o Dislipidemia
o Merorok
o Pernah mengalami TIA atau stroke
o Polisitemia
o Obesitas
o Kurang olahraga
o Fibrinogen tinggi

IV. EPIDEMIOLOGI
- Insidensi stroke meningkat secara eksponensial dari 30 tahun, dan etiologi bervariasi menurut usia. Usia lanjut adalah
salah satu factor paling signifikan risiko stroke. 95% dari stroke terjadi pada orang usia 45 dan lebih tua, dan dua-pertiga
dari stroke terjadi pada orang-orang di atas usia 65. Namun, stroke dapat terjadi pada semua usia. Pria 25% lebih
mungkin untuk menderita stroke daripada wanita.
- Anggota keluarga mungkin memiliki kecenderungan genetik untu stroke atau berbagi gaya hidup yang memberikan
kontribusi untuk stroke. Setelah mengalami stroke di masa lalu sangat meningkatkan risiko seseorang stroke di masa
depan.

V. KLASIFIKASI
Berdasarkan gambaran patologis intrakranial :
- Stroke infark : berkurangnya perfusi vascular (cerebral blood flow) akibat stenosis/oklusi pembuluh darah
o Infark Aterotrombotik, kardioemboli, lakunar
- Perdarahan intraserebral (PIS) : perdarahan ke dalam jaringan parenkim otak akibat ruptur vaskular
- Perdarahan subarachnoid (PSA) : pecahnya pembuluh darah dan masuknya darah ke dalam rongga subarachnoid
Berdasarkan lokalisasi lesi pembuluh darah yang terkena :
- Sistem karotis
- Sistem vertebrobasiler
Berdasarkan gambaran klinis dan profil waktu (temporal profile) :
- Improving stroke / Reversible Ischemic Neurological Deficit (RIND)
o Apabila terjadi defisit neurologik sembuh dalam kurun waktu > 24 jam - 3 minggu
- Worsening stroke / Stroke in Evolution (SIE)
o Apabila defisit neurologik menjadi berat secara progresif, baik secara kuantitatif maupun kualitatif baik dari
anamnesis maupun follow up. Progresivitas deficit neurologis biasanya terjadi dalam beberapa menit - jam
o Berdasarkan perjalanan klinisnya
 Smooth worsening
 Steplike worsening
 Fluctuating worsening
- Stable stroke
o Apabila defisit neurologis langsung lengkap tidak banyak berubah lagi dalam perjalanan waktu

VI. PATOGENESIS & PATOFISIOLOGI


VII. GEJALA KLINIS & KRITERIA DIAGNOSIS
Stoke infark
1. Umumnya mempunyai riwayat satu atau lebih faktor risiko stroke (misal; hipertensi merupakan frekuensi tertinggi (52%),
penyakit jantung (38%), perokok (27%), sedangkan diabetes mellitus frekuensi nya 14% dll)
2. Adanya riwayat TIA atau stroke sebelumnya
3. Jarang didapatkan adanya nyeri kepala dan muntah dalam saat onset.
4. Jarang dengan gangguan kesadaran
5. Ditemukan gejala-gejala dan tanda-tanda neurologik fokal (hemiparese/hemiplegia, hemi hipestesi, afasia dll)
6. Defisit neurologik umumnya dirasakan pada saat bangun tidur atau sedang istirahat, kecuali pada stroke infark emboli
awitan biasanya saat aktivitas.
Stroke Perdarahan intraserebral
1. Awitan umumnya akut, sering disertai nyeri kepala dan penurunan kesadaran dan kerapkali bersifat fatal
2. Seringkali pada saat aktivitas atau peningkatan emosi
3. Usia biasanya pada usia lebih tua
4. Tidak pernah didahului TIA
5. Tekanan darah umumnya meninggi, walaupun kadang-kadang tidak jelas ada riwayat hipertensi.
Stroke Perdarahan subarachnoid
1. Awitan biasanya berupa nyeri kepala dan muntah-muntah, biasanya berat. Pasien meraskn seperti pukulan atau letusan
hebat pada kepalanya, penglihatan kabur atau ganda atau kaku pada kuduk beberapa hari sebelum awitan.
2. Seringkali disertai penurunan kesadaran, sebagian lagi kembali sadar dalam beberapa saat.
3. Yang bertahan hidup masih mempunyai risiko komplikasi vasospasme vaskular dengan akibat terjadinya defisit
neurologik
4. Umumnya pasien lebih muda.
5. Hanya sedikit dengan faktor risiko hipertensi, sebagian besar atas dasar lesi vaskular aneurisma dan AVM. Sebab
terakhir ini biasanya memberi gejala nyeri kepala yang berulang-ulang, pada tempat yang sama dan khas. Perubahan
dalam frekuensi, lama dan intensitas nyeri kepala merupakan prediksi akan pecahnya pembuluh darah tersebut
6. Pada pemeriksaan biasanya ada kaku kuduk dengan deficit neurologik yang minimal.
7. Nyeri kepala, mual-muntah dan kaku kuduk merupakan gejala karakteristik dari PSA

VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG


- Laboratorium :
o Urine : glukosa, protein , berat jenis dan sedimen
o Darah : Hematologi rutin : Hb, hematokrit, leukosit ; LED (vaskulitis) ; Glukosa darah:, sewaktu, puasa dan 2 jam
post prandial ; Kreatinin dan urea –N (fungsi ginjal) ; Lipid darah (kolesterol total, LDL, HDL, trigliserida) ;
Elektrolit (Na,K) ; Waktu perdarahan.
- Neurofisologi : EEG (ElektroEnsefaloGrafi)
- Kardiovaskular : EKG dan foto thoraks
- Vaskular :
o Non invansive , direk (USG karotis), indirek (Dopler sonografi arteri intracranial)
o Invasive : angiografi.
- Neuroimaging
Pemeriksaan neuroimaging yang dapat dilakukan pada stroke antara lain :
o CT Scan
o CT Angiografi
o MRI
o MR Angiografi
o Angiografi
o USG
- CT konvensional (awal yang terpilih) untuk menyingkirkan kemungkinan stroke perdarahan dan menentukan tanda-tanda
awal stroke iskemik.

Gambaran CT Scan :
- Stroke iskemik akut
o Pengaburan daerah kasula interna,
o Hilangnya batas-batas dari insular ribbon cortex
o Hilangnya batas-batas antara substansia alba dan grisea
o Hilangnya daerah sulci dan hyperdens artery sign (MCA / A. Meningea media dan A. basilaris
- Stroke iskemik sub-akut
o Area “wedged-shaped”, penurunan atenuasi daerah gray matter dan white matter
o Peningkatan “mass effect”, berkurang dalam 7-10 hari
- Stroke iskemik kronik
o Penurunan densitas dengan batas tegas
o Tanda-tanda ensephalomalacia sesuai dengan distribusi vaskulernya,
o Sulci disekitarnya akan tampak melebar disertai
o Pelebaran ventrikel ipsilateral.
IX. PENATALAKSANAAN
A. NON FARMAKOLOGI
1. Memodifikasi gaya hidup sehat
- Edukasi untuk tidak merokok atau menghindari lingkungan perokok
- Menghentikan atau mengurangi konsumsi alkohol
- Mengurangi berat badan pada penderita stroke yang obes
- Melakukan aktivitas fisik sedang pada pasien stroke iskemik atau TIA. Intensitas sedang dapat didefinisikan
sebagai aktivitas fisik yang cukup berarti hingga berkeringat atau meningkatkan denyut jantung 1-3 kali
perminggu.
2. Mengontrol faktor risiko
- Tekanan darah
- Gula darah pada pasien DM
- Kolesterol
- Trigliserida
- Jantung

B. FARMAKOLOGI
Pada pasien stroke iskemik diberikan obat-obat antiplatelet: asetosal, klopidogrel
Anti Platelet Agregasi: Asetil Salisilat 80-300 mg/ hari ATAU Clopidogrel 1x75 mg/hari
C. REHABILITASI
Pembagian fase sebagai acuan untuk menentukan tujuan dan jenis intervensi rehabilitasi yang akan diberikan:
1. Stroke fase akut: 2 minggu pertama pasca serangan stroke
- Pada fase ini kondisi hemodinamik pasien belum stabil, umumnya dalam perawatan di rumah sakit, bisa di ruang
rawat biasa ataupun di unit stroke.
- Dibandingkan dengan perawatan di ruang rawat biasa, pasien yang di rawat di unit stroke memberikan outcome
yang lebih baik.
- Pasien menjadi lebih mandiri, lebih mudah kembali dalam kehidupan sosialnya di masyarakat dan mempunyai
kualitas hidup yang lebih baik.
2. Stroke fase subakut: antara 2 minggu-6 bulan pasca stroke
- Intervensi rehabilitasi pada stroke fase subakut ditujukan untuk:
o Mencegah timbulnya komplikasi akibat tirah baring
o Menyiapkan/mempertahankan kondisi yang memungkinkan pemulihan fungsional yang paling optimal
o Mengembalikan kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-hari
o Mengembalikan kebugaran fisik dan mental
3. Stroke fase kronis: diatas 6 bulan pasca stroke
Tergantung pada beratnya stroke, hasil luaran rehabilitasi dapat mencapai berbagai tingkat :
a. Mandiri penuh dan kembali ke tempat kerja seperti sebelum sakit
b. Mandiri penuh dan bekerja namun alih pekerjaan yang lebih ringan sesuai kondisi
c. Mandiri penuh namun tidak bekerja
d. Aktivitas sehari-hari perlu bantuan minimal dari orang lain
e. Aktivitas sehari-hari sebagian besar atau sepenuhnya dibantu orang lain.

X. PENCEGAHAN
1) Tindakan promotif
a. Sasaran: individu sehat yang belum mempunyai faktor risiko
b. Tujuan: mencegah timbulnya faktor risiko
c. Cara: gaya hidup sehat
2) Prevensi primer
a. Sasaran: individu yang sudah mempunya faktor risiko
b. Tujuan: mencegah terjadinya TIA/ Stroke
c. Cara: gaya hidup sehat, mengendalikan faktor risiko
3) Prevensi sekunder
a. Sasaran: individu yang sudah pernah menderita TIA/ Stroke
b. Tujuan: mencegah terjadinya TIA/ Stroke
c. Cara: gaya hidup sehat, mengendalikan faktor risiko, terapi medikamentosa (antikoagulan/ antiplatelet, anti
kolestrol)
Gaya hidup sehat: melakukan aktivitas fisik yang mempunyai nilai aerobik (jalan cepat, bersepeda, berenang dll) secara teratur
(minimum 3x perminggu untuk dewasa, durasi 20-30 menit)
XI. KOMPLIKASI
Neurologik:
- Edema otak (herniasi otak)
- Infark berdarah (pada emboli otak)
- Vasospasme (terutama PSA)
- Hidrosefalus.
- Higroma
Non-Neurologik
- Akibat proses di otak: - Akibat imobilisasi:
o Tekanan darah o Bronkopneumonia
meninggi o Tromboplebitis
o Hiperglikemia o Infeksi saluran kemih
o Kelainan jantung o Dekubitus
o Kontraktur

XII. PROGNOSIS
- Prognosis ditentukan berdasarkan:
o Tanda vital
o Tipe stroke
o Luas lesi
o Letak lesi
o Berdasarkan penyulit dan penyakit penyerta lain
- Infark Serebral : prognosis adalah dubia, tergantung luas dan letak lesi. Untuk stroke hemorrhagic sebagian besar dubia
ad malam
- PSA : 10% pasien PSA meninggal sebelum sampai ke rs dan 40% meninggal tanpa sempat membaik. Tingkat mortalitas
pada tahun pertama sekitar 60%. Apabila tidak ada komplikasi dalam 5 tahun pertama sekitar 70%. Apabila tidak ada
intervensi bedah maka sekitar 30% penderita meninggal dalam 2 hari pertama, 50% dalam 2 minggu pertama, dan 60%
dalam 2 bulan pertama
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
MYASTENIA GRAVIS
Prasyarat :
- Anatomi, histologi, faal SSP & SST

I. DEFINISI
Myasthenia gravis adalah gangguan autoimun yang mempengaruhi neuromuscular junction. Penyakit ini bermanifestasi sebagai
kelemahan otot umum yang dapat melibatkan otot-otot pernapasan dan dapat menyebabkan krisis myasthenia, yang merupakan
keadaan darurat medis.(ncbi)
Myasthenia gravis adalah suatu penyakit autoimun yang ditandai dengan kelemahan otot yang berfluktuasi dan kelelahan yang
berlebihan akibat gangguan tranmisi di sambungan saraf otot (neuromuscular junction).(modul kating 2015)
Insidensi: terutama perempuan usia 20-40 tahun
II. ETIOLOGI
Berkurangnya jumlah acetylcholine receptor (AchR) pada membran pasca sinaptik akibat adanya antibody terhadap reseptor,
sehingga mengganggu tranmisi neuromuscular junction.pemicu terjadinya autoantibodi belum diketahui pasti, namun diduga
berhubungan dengan thymus abnormal (genetik), autoimmune hyperthyroidism dan penyakit autoimun lainnya (ex: Rheumatoid
arthritis,SLE,anemia perniciousa).
III. FAKTOR RISIKO
- Factor pencetus termasuk kondisi:
o Infeksi
o Imunisasi
o Operasi
o Obat-obatan (cth. Antibiotic, antipsychotics, cardiovascular, miscellaneous, dan antiarrhythmic)
o Stress
- Myasthenia gravis, mirip dengan gangguan autoimun lainnya, terjadi pada individu yang rentan secara genetic

IV. EPIDEMIOLOGI
- Insidensi paling sering: Wanita 20-40 tahun
- wanita lebih banyak pada usia < 40 tahun
- pria lebih banyak pada usia > 50 tahun
- USA → 20:100.000 penduduk

V. KLASIFIKASI
- Early-onset MG: Onset kurang dari usia 50
tahun dengan hiperplasia timus
- Late-onset MG: Onset lebih dari usia 50
tahun dengan atrofi timus
- Thymoma-associated MG
- MG dengan anti-MuSK antibodies
- Ocular MG: gejala hanya dari otot periocular
- MG tanpa antibodi AChR dan MuSK yang
terdeteksi
VI. PATOGENESIS & PATOFISIOLOGI

Disebabkan oleh Autoimun (mek. Belom jelas) & Kelainan thymus (thymoma & hiperplasia thymus) KELAINAN THYMUS : terdapat
auto antibodies terhadap reseptor asetilkolin nikotinik di membran post sinaptik neuromuscular (85%) - Pem. serologi anti AChR
Abs (+)
Menyebabkan 3 hal,
1. Merusak membran postsinaps melalui complement activation
2. Antibodi berkumpul dan memasuki (berikatan dgn reseptor asetilkolin)
Kedua hal ini merusak reseptor asetilkolin.
3. Antibodi jg ngehalau tempat berikatannya ACh dgn reseptornya (hal ini ditambah 2 hal diatas menyebabkan penurunan
fungsi reseptor asetilkolin
AUTOIMUN : terdapat antibodi IgG terhadap protein sacrolemmal MuSK (7% doang)
Mekanisme belom jelas tapi bisa diasumsikan bisa mengganggu sirkuit dan berikatannya asetilkolin dgn reseptor asetilkolin di
membran post sinaps Hal ini jg nyebabin penurunan fungsi reseptor asetilkolin.
Fungsi reseptor asetilkolin menurun menyebabkan - alur yg terjadi pada sinaps : stimulasi berulang menyebabkan penurunan
progresif pelepasan asetilkolin di neuromuscular junction - penurunan respon otot skelet thd sinyal asetilkolin - kontraksi otot
semakin lemah (progresif). Kekuatan otot menurun (fatigue) dan kembali kuat bila istirahat
Kelemahan pada otot skelet tanpa nyeri :
1. Otot okuler (paling sering) : Ptosis & Diplopia (Myasthenia gravis okuler)
2. Otot bulbar (leher) : Disartria & Disfagia
3. Anggota gerak atas > bawah
4. Otot ekstensor leher dan otot pernapasan : insufisiensi pernapasan (Krisis myasthenia gravis/Krisis myasthenic)
Pada pemeriksaan edrophonium (inhibitor tdh enzim asetilkolinesterase) : ada perbaikan jika bener MG
Pada pemeriksaan ice pack : peningkatan transmisi neuromuscular di suhu rendah
PATOFISIOLOGI
1. Faktor 1,tidak berikatannya ACh dgn reseptornya karna gangguan ikatan pada AChRs post sinaps sehingga kanal natrium
(sodium/potassium channel) tidak membuka shgg ion Na gagal masuk ke dalam sel otot sehingga depolarisasi pada
membran postsinap tidak terjadi dan kontraksi otot tidak terjadi..
2. Faktor 2, adanya ikatan antibodi dengan AChRs post sinaps akan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada
neuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan u/ reseptor pada membran post sinap, sehingga
mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi resptor-reseptor acethylcoline yang baru disintesis.
3. Faktor 3, ikatan silang acethylcoline receptor post sinaps dengan antibodi anti - reseptor asetilkolin akan memacu aktivasi
serum komplemen, menyebabkan kerusakan sekunder membran pasca sinap. Konsekuensi dari kerusakan komplemen,
yang bertahun - tahun, membran paska sinap kehilangan invaginasi dan menjadi struktur yang simplified. Pada kasus
kronis yang berat membran post sinaps mengalami penurunan 2/3 molekul AchR dari normal menyebabkan proses
depolarisasi menurun dan kontraksi otot tidak terjadi.

VII. GEJALA KLINIS & KRITERIA DIAGNOSIS


Gejala bersifat progresif seiring dengan aktivitas fisik
1. Kelemahan otot wajah
2. Kelemahan lengan dan tungkai
3. Kesulitan berbicara dan menelan (disfagia,disponia)
4. Respiratory paralysis
5. otot mata ekstraocular sering terkena pertama (diplopia dan ptosis)
6. Kelemahan pada otot masseter → mulut tidak bisa menutup
7. Kelemahan pada otot dan meningkat saat aktivitas → Penderita akan merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan
kelemahan ini akan berkurang apabila penderita beristirahat

VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Ice test → menaruh kantung es di bagian mata yang otot kelopaknya lemah, kemudian amati setelah 2 menit, ukur dengan
menggunakan penggaris seberapa jauh kelopak mata terangkat sebelum dan sesudah diletakkan kantung es → apabila setelah 2
menit kelopak mata terangkat >2mm maka hasil + → myasthenia gravis
Tensilon → pasien diberikan anticholiesterase (MK : mencegah pemecahan asetilkolin pada pasien MG) lalu di lakukan beberapa
test kekuatan otot apabila setelah beberapa menit kekuatan otot melemah diberikan kembali anticholinesterase, apabila kekuatan
otot membaik kembali maka dicurigai MG
- Antiacetylcholine Receptor Antibody (AchR Antibody)
o Autoantibodi yang di produksi sistem imun apabila terjadi kesalahan target protein reseptor asetilkolin yang
berlokasi di otot yang volunteer.
o AchR Antibody menghambat hubungan antara saraf dan otot rangka, menghambat kontraksi otot, dan
menyebabkan kelelahan otot yang cepat dengan mencegah aktivasi reseptor asetilkolin.
o 80% dari penderita miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular murni
menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif.
- Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies
o Autoantibodi yang diproduksi oleh sistem kekebalan apabila terjadi kesalahan yang menyerang protein musle-
spesific kinase.
o Digunakan apabila hasil AchR Antibody negative
o Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab negative (myasthenia gravis
seronegatif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-MuSK Antibodi
- Repetitive Nerve Stimulation (RNS)
o Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga pada RNS terdapat
adanya penurunan suatu potensial aksi.

- Single-fiber Electromyography (SFEMG)


o SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa peningkatan titer dan fiber density
yang normal. Karena menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot
penderita.
o SFEMG dapat mendeteksi suatu titer(variabilitas pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot
tunggal pada motor unit yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang
dapat direkam oleh jarum perekam)
- Imaging CT Scan atau MRI
o CT Scan dada untuk melihat apakah adanya perbesaran timus (thymoma)
o Hasil rontgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang
perlu dilakukan chest CT scan untuk mengidentifikasi thymoma pada semua kasus Miastenia gravis, terutama
pada penderita dengan usia tua

IX. PENATALAKSANAAN
A. NON FARMAKOLOGI

B. FARMAKOLOGI
- Asetilkolinesterase inhibitor → obat anticholinesterase
o Neostigmin bromida (prostigmine ): 7,5-45 mg/2-6 jam/oral. Dosis parenteral : 0,5-1 mg/4 jam/iv atau im
o Piridostigmin bromida (mestinon) 30-120 mg/3-4 jam/oral. Dosis parenteral 3-6 mg/4-6 jam/ iv tiap hari
o Efek samping : diare, kram perut
- Kortikosteroid
o prednison : dosis rawal 10- 20 mg, dinaikkan bertahap (5-10 mg/minggu) 1x sehari selang sehari, maksimal 120
mg/6 jam/oral, kemudian diturunkan sampai dosis minimal efektif
o Efek samping: peningkatan berat badan, hiperglikemia, osteopenia, ulkus gaster dan duodenum
- Imunosupresan
o Azathioprine
 Efek sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid.
 Dosis : 2-3 mg/kg BB/hari/oral selama 8 minggu pertama.
 Dosis awal : 25-50 mg/hari hingga dosis optimal tercapai
 Setiap minggu harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hati, pemeriksaan laboratorium
dikerjakan setiap bulan sekali.
 Dianjurkan diberikan bersamaan dengan prednisolon
o Cyclosporin
 5 mg/kgbb/hari terbagi dalam dua atau tiga dosis.
 berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari sel T- helper.Supresi terhadap aktivasi sel
T-helper, menimbulkan efek pada produksi antibodi
 Es : nefrotoksisitas dan hipertensi
- Intravenous Immunoglobulin (IVIG) → untuk krisis Myasthenia
o Dosis standar : 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari
o Efek muncul sekitar 3 - 4 hari setelah mulai terapi
o Es : flulike symdrome seperti demam, menggigil, mual, muntah, sakit kepala, dan malaise
- Plasma exchange / plasmapheresis → untuk krisis Myasthenia
o Dasar terapi : pemindahan anti-asetilkolin secara efektif.
o Respon : menurunnya titer antibodi.
o Sebagai intervensi jangka pendek pada pasien dengan perburukan symptom miastenia secara mendadak /
kondisi kritis
o Untuk memaksimalkan tenaga saat operasi, mencegah exacerbasi yang diinduksi kortikosteroid
o Efek muncul dalam 24 jam pertama dan dapat bertahan hingga lebih dari 10 minggu
o Umumnya, mengganti sekitar satu volume plasma (3-4 L) tiap kali terapi untuk 5 atau 6 kali terapi setiap hari
selama 10 hari.Albumin (5%) dengan larutan salin yang disuplementasikan dengan kalsium dan natrium dapat
digunakan untuk replacement
- Operatif
o dianjurkan pada pasien umur 10-55 tahun dengan Miastenia gravis generalisata
o Tujuan : tercapainya perbaikan signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi
pasien
o Indikasi : thymoma untuk mencegah thymoma menyebar

C. REHABILITAS MEDIK
- Terapi Fisik o Treadmill
o Berjalan - Okupasi Terapi
o Bersepeda statis - Terapi Wicara
o Latihan beban - Ortotik Prostetik
o Berenang - Psikologi
o Latihan Pernapasan - Sosial Medis

X. PENCEGAHAN
- Hindari factor pencetus:
o Infeksi
o Aktivitas berlebih
o Stress emosional
o Oabt-obatan (aminoglikosida, fluoroquinolone, beta-blocker)
- Lakukan promosi kesehatan:
o Lakukan cuci tanga
o Vaksin flu tahunan harus dilakukan

XI. KOMPLIKASI
- Myastenic crisis
o Otot tenggorokan dan diafragma terlalu lemah untuk mendukung proses pernapasan, sehingga penderitanya
mengalami sesak napas akibat kelumpuhan otot-otot pernapasan
o Penderita bisa berhenti bernapas
- ARDS
- Secondary infection
- Infeksi opurtunistik:
o Infeksi jamur
o Tuberculosis
o Pneumocystis carinii Pneumonia
- Cholinergic crisis

XII. PROGNOSIS
- Untuk Myasthenia Gravis Umum memiliki respon baik terhadap obat anti-kolinesterase, tetapi prognosis kurang baik.
- Myasthenia gravis
o Myasthenia gravis ocular → 10-20% berkembang menjadi myasthenia gravis generalisata
o Myasthenia gravis generalisata : membaik dengan pemberian imunosupresi, timektomi, dan pemberian obat
yang dianjurkan
o 50 tahun lalu : angka kematian sekitar 50-80% pada myasthenia crisis, sekarang hanya 4,47%
- Risiko MG berulang :
o Pasien dengan antibodi Kv1.4 dan penyakit autoimun → risiko tinggi kekambuhan
o Usia < 40 tahun, dilakukannya thymectomy secepat mungkin, dan penggunaan prednisolone → menurunkan
risiko kekambuhan

You might also like