You are on page 1of 17

1

BAB I
PENDAHULUAN

1. UMUM

Pembelaan perkara merupakan salah satu bagian dari pelaksanaan


tugas, fungsi, kewenangan dan tanggung jawab bantuan hukum yang
diemban Divisi Pembinaan Hukum Polri, baik perkara-perkara yang termasuk
lingkungan kekuasaan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara dan
Peradilan Hak Asasi Manusia.

Pembelaan perkara di Pengadilan Agama khususnya bagi Personil


Polri maupun PNS yang bekerja di lingkungan Polri mutlak dilaksanakan
secara kelembagaan dengan mengedepankan Personil Polri atau PNS Polri
yang memiliki landasan disiplin ilmu hukum serta ketrampilan beracara di
setiap tingkat pemeriksaan Pengadilan Agama. Untuk dapat mewujudkan
proses peradilan yang efektif melalui pelaksanaan tugas dan tanggung jawab
Personil Polri/PNS yang mendapat mandat untuk membela kepentingan
hukum/hak pihak yang dibela, maka pelatihan keterampilan teknik yang
disajikan ini masih perlu didukung oleh penguasaan referensi dan
pengalaman-pengalaman praktek sesuai permasalahan bidang-bidang yang
termasuk kompetensi Peradilan Agama sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas undang-undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

2. DASAR

a. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara


Republik Indonesia.

b. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas


Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
2

3. Maksud Dan Tujuan

Bahan ajaran ini disusun sebagai salah satu persyaratan penyajian materi
pelatihan Teknik Pembelaan Perkara di Pengadilan Agama, untuk
memudahkan para Perwira Siswa memulai upaya penguasaan teknik, taktik
dan strategi beracara pada saat pelaksanaan tugas.

4. Pengertian

a. Pengadilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama


Islam dan merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman
bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara
perdata tertentu ataupun perundang-undangan yang berlaku.
Contoh : bidang perkawinan.

b. Hakim Pengadilan Agama adalah Pejabat Negara yang tugasnya


memeriksa dan mengadili suatu perkara di Pengadilan Agama.

c. Pegawai pencatatan nikah adalah pegawai pencatat nikah pada Kantor


Urusan Agama.

d. Juru Sita atau Juru Sita Pengganti adalah Juru Sita atau Juru Sita
Pengganti pada Pengadilan Agama yang tugasnya melakukan
penyitaan, menyampaikan pengumuman, teguran, pemberitahuan
penetapan atau putusan Pengadilan, membuat berita acara penyitaan.

e. Penggugat adalah seorang istri/suami yang mengajukan gugatan


melalui Pengadilan Agama setempat agar permasalahan yang
dihadapi di dalamn perkawinan dapat diselesaikan seadil-adilnya.

f. Tergugat adalah seorang istri/suami yang didudukkan sebagai pihak


Tergugat di Pengadilan Agama guna penyelesaian masalah keluarga
sesuai dengan hukum yang berlaku.

g. Pemohon adalah seorang suami/istri yang mengajukan permohonan


perceraian ke Pengadilan Agama.
3

h. Termohon adalah seorang suami/istri yang dimohonkan untuk


melakukan perceraian di Pengadilan Agama.

5. Ruang Lingkup Dan Sistematika

Teknik membuat pembelaan perkara di Pengadilan Agama meliputi hal-hal


singkat pemahaman tentang Peradilan Agama, kedudukan Pengadilan
Agama, pemikiran yang mempengaruhi lahirnya pengadilan agama di
Indonesia, dasar hukum yang berlaku bagi Peradilan Agama, Penasehat
Hukum, tahapan-tahapan, strategi, teknik, aspek koordinasi dalam
pembelaan.

Disusun sesuai sistematika sebagai berikut:


a. Pendahuluan
b. Pembahasan
c. Penutup
4

BAB II

PEMBAHASAN

6. Peradilan Agama

Eksistensi lembaga peradilan Agama di Indonesia, telah ada sejak jaman


penjajahan Belanda. Bahkan jauh sebelumnya mengiringi perjalanan dakwah
Islam di Nusantara, lembaga peradilan Islam telah ada. Hal ini terbukti
dengan adanya Lembaga Peradilan Serambi yang secara resmi ditunjuk oleh
Raja / Penguasa yang berwenang, untuk mengadili perkara-perkara tertentu
berdasarkan hukum Islam. Peradilan ini dipimpin oleh seorang penghulu
(hakim) dan diselenggarakan diserambi masjid.
Pada masa penjajahan Belanda eksisten lembaga peradilan Islam mendapat
pengakuan dari pemerintahan Belanda dengan dibentuknya peradilan
Priesteraad (peradilan Agama) berdasarkan Stbl. 1882 No. 152.
Perkembangan organisasi maupun kewenangan Pengadilan Agama ini, baik
pada masa penjajahan maupun setelah kemerdekaan mengalami pasang
surut sedemikian rupa mengikuti politik hukum dari penguasa pada masanya
masing-masing.
Namun demikian, Pemantapan posisi Peradilan Agama di Indonesia secara
yuridis formal baru terjadi setelah lahirnya Undang-Undang No. 7 tahun 1989
Tentang Peradilan Agama yang menempatkan Peradilan Agama sejajar
dengan lembaga peradilan yang lain (Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan
Peradilan Tata Usaha Negara) sebagai lembaga pelaksana kekuasaan
kehakiman.

7. Dasar Hukum Peradilan Agama


a. Eksistensi Peradilan Agama dalam lingkungan Kekuasaan Kehakiman
dapat dilihat dari ketentuan Pasal 10 Undang-Undang No. 14 Tahun
1970 sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam ketentuan tersebut
dikatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan
dalam lingkungan (i) Peradilan Umum, (ii) Peradilan Agama, (iii)
Peradilan Militer, dan (iv) Peradilan Tata Usaha Negara
5

b. Pasal 63 UU No. 1 Tahun 1974 juga ditegaskan tentang kedudukan


dan fungsi Peradilan Agama dalam memeriksa dan mengadili sengketa
perkara yang timbul dalam hukum kekeluargaan.
c. Pasal 44 UU No. 14 Tahun 1985 memberi penegasan bahwa putusan
dari semua lingkungan peradilan termasuk lingkungan peradilan
agama dapat diajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung.
d. Sejak lahirnya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, maka Peradilan
Agama telah memiliki Undang-Undang tersendiri yang secara detail
menjelaskan kedudukan, susunan, dan kewenangan Peradilan Agama
sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman. Kemudian pada
tahun 2006, UU No. 7 Tahun 1989 mengalami perubahan dengan
lahirnya UU No. 3 Tahun 2006 yang semakin meperkuat eksistensi
peradilan agama di Indonesia. Bahkan, UU No. 3 Tahun 2006 telah
memberi dan memperluas kewenangan Peradilan Agama untuk
menerima, memeriksa dan memutus sengketa di bidang ekonomi
syariah.
e. Peraturan Kapolri No. Pol. : 9 Tahun 2010 tentang Tata Cara
Pengajuan Perkawinan, Perceraian, dan Rujuk Bagi Pegawai Negeri
Pada Kepolisian Negara Republik Indonesia

f. Peraturan Kapolri No. Pol.: 7 Tahun 2005 tentang Tata Cara


Pemberian Bantuan dan Nasehat Hukum di Lingkungan Kepolisian
Negara Republik Indonesia.

8. Ruang Lingkup Kompetensi Peradilan Agama

a. Kompetensi Absolute Peradilan Agama

Kompetensi Absolut adalah kompetensi yang berkaitan dengan jenis


perkara yang menjadi kewengangan masing-masing lembaga
peradilan yang menjalankan kekuasaan kehakiman. Dan untuk
menentukan wilayah kompetensi yang dimiliki oleh Peradilan Agama
dapat dilihat dari ketentuan pasal 2 Undang - Undang Nomor 7 Tahun
1989 Tentang Peradilan Agama (selanjutnya disingkat UU PA). dalam
pasal tersebut dinyatkan bahwa “Pengadilan Agama adalah salah satu
6

pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang


beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam
UU ini”. Dengan demikian, kompetesi absolut Peradilan Agama
berdasarkan ketentuan UU PA tresebut sangan ditentukan 2 faktor
utama, yaitu; faktor “perkara tertentu” dan faktor golongan “rakyat
tertentu”.

Dalam perkembangannya, rumusan ini telah diperbaharui berkaitan


dengan ruang lingkup kekuasaan Peradilan Agama. Sehingga definisi
Peradilan Agama dalam Undang – Undang No 3 tahun 2006 Tentang
Perubahan atas Undang-Undang No 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama dirubah menjadi “Peradilan Agama adalah salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama
Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam
undang - undang ini”. Dalam perubahan definisi Pengadilan Agama
tersebut kata “Perdata” sebagimana tercantum dalam pasal UU No. 7
tahun 1989 dihapus. Hal ini dimaksudkan untuk;

1) Memberi dasar hukum kepada Pengadilan Agama dalam


menyelesaikan pelanggaran atas undang - undang perkawinan
dan peraturan pelaksanaannya;
2) Untuk memperkuat landasan hukum Mahkamah Syariah dalam
melaksankan kewenangnannya di bidang jinayah berdasarkan
Qonun (sebagaimana yang berlaku di Propinsi NAD).
3) Dalam pasal 49 UU PA disebutkan bahwa Pengadilan Agama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-
orang yang beragama Islam di bidang:
• perkawinan,
• kewarisan wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan
hukum Islam, dan
• wakaf dan shadaqah.
7

Perkembangan hukum Islam di Indonesia begitu cepat dan tinggi.


Masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam menjadi salah
satu faktor pendorong berkembangnya hukum Islam di Indonesia,
khususnya yang berkaitan dengan muamalah. Lembaga-lembaga
ekonomi syariah tumbuh berkembang mulai dari lembaga perbankan
syariah, asuransi syariah, pasar modal syariah, dan pegadaian syariah.
Perkembangan ini tentunya juga berdampak pada perkembangan
sengketa atau konflik dalam pelaksanaannya. Selama ini bila terjadi
konflik dalam bidang perbankan syariah, asuransi syariah, dan pasar
modal syariah harus melalui Peradilan Umum. Menyadari hal ini maka
dalam Undang-Undang No 3 tahun 2006 tentang perubahan Undang -
Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama di perluas
ruang lingkup tugas dan wewenang Pengadilan Agama yaitu ;

Pertama: mencakup memeriksa, memutus, dan menyelesaikan


perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di
bidang :

1) Perkawinan;
2) kewarisan;
3) wasiat;
4) hibah;
5) wakaf;
6) zakat;
7) shadaqah;
8) infak; dan
9) ekonomi syariah. (Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006)
Penjelasan Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 diatas menyebutkan
yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah :
• Bank syariah,
• Asuransi syariah,
• Reasuransi syariah,
• Reksadana syariah,
• Obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah
syariah,
8

• Sekuritas syariah,
• Pembiayaan syariah,
• Pegadaian syariah,
• Dana pensiun lembaga keuangan syariah,
• Bisnis syariah, dan
• lembaga keuangan mikro syariah.

Kedua adalah penyelesaian sengketa hak milik atau keperdataan


lainnya. Dalam Pasal 50 Undang - Undang Nomor 7 Tahun 1989
berbunyi bahwa dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau
keperdataan lain dalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 49, maka khusus mengenai objek yang menjadi sengketa
tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum.
Namun demi terbentuknya pengadilan yang cepat dan efisien maka
Pasal 50 Undang - Undang Nomor 7 Tahun 1989 telah diubah menjadi
dua ayat sebagaimana disebutkan dalam pasal 50 UU No. 3 Tahun
2006 yang berbunyi:
Ayat (1) “Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lainnya
dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khususnya
mengenai obyek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum”
Ayat (2) “Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) yang subyek hukumnya antara orang-orang yang
beragama Islam, obyek sengketa tersebut diputus oleh Pengadilan
Agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
49.

Dalam penjelasan pasal 50 ayat (2) dikatakan bahwa:

“ ketentuan ini memberi kewenangan kepada Pengadilan Agama untuk


sekaligus memutuskan sengketa milik atau keperdataan lain yang
terkait dengan objek sengketa yang diatur dalam Pasal 49 apabila
subjek sengketa antara orang-orang yang beragama Islam”
9

Tujuan dari diberinya wewenang kepada Pengadilan Agama ini untuk


menghindari upaya memperlambat atau mengulur waktu penyelesaian
sengketa karena alasan adanya sengketa milik atau keperdataan
lainnya tersebut sering dibuat oleh pihak yang merasa dirugikan
dengan adanya gugatan di Peradilan Agama.
Dengan demikian, lahirnya UU No 3 tahun 2006 tentang perubahan
Undang - Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
telah memperluas ruang lingkup kompetensi absolut Pengadilan
Agama. Khsusnya kewenangan dalam memeriksa memutus dan
meyelesaikan perkara-perkara yang berkaitan dengan ekonomi
Syariah.

b. Kompetensi Relatif Peradilan Agama

Kompetensi relatif adalah kompetensi yang berkaitan dengan wilayah


hukum antara masing-masing Peradilan Agama. Terkait dengan
kompetensi relatif tersebut, maka menurut ketentuan Pasal 4 UU No. 7
tahun 1989, “tempat kedudukan” setiap Pengadilan Agama ialah pada
setiap kotamadya atau Ibu Kota Kabupaten. Berarti setiap Kotamadya
dan Kabupaten memiliki sebuah Pengadilan Agama. Daerah hukum
kekuasaan setiap Pengadilan Agama terbatas hanya meliputi wilayah
hukum Kabupaten atau Kotamadya yang bersangkutan. Sehingga
dapat dikatakan setiap Pengadilan Agama hanya berwenangan
mengadili perkara yang termasuk kedalam wewenangan wilayah
hukumnya. Jangkauan kewenangan pelayanan peradilan yang dapat
dilakukan secara formal, hanya perkara-perkara yang termasuk ke
dalam daerah wilayah hukumnya.
Adapun untuk menentukan patokan kompetensi relatif secara umum
bagi Pengadilan Agama, maka harus merujuk kepada ketentuan pasal-
pasal HIR dan RBG . hal ini didasarkan pada ketentuan pasal 54 UU
PA yang menyebutkan bahwa hukum acara yang berlaku bagi
lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang
berlaku pada lingkungan Peradilan Umum.
10

Berdasarkan ketentuan pasal 118 HIR atau Pasal 142 RBG ada
beberapa faktor yang menjadi patokan menentukan kompetensi relatif
Peradilan Agama, yaitu :

1) Faktor tempat tingal tergugat;


2) Faktor jumlah tergugat dikaitkan dengan tepat tinggal para
tergugat sehingga dapat dipilih daerah domisili dalah satu
tergugat;
3) Faktor tempat tingal tergugat tidak diketahui, akan diajukan
kepada Pegadilan di tempat tingal Penggugat;

9. Pilihan Hukum (Hak Opsi) Dalam Undang-Undang Peradilan Agama.

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa Peradilan Agama adalah salah satu


pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama
Islam untuk perkara-perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang -
undang No. 7 tahun 1989 jo. UU No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan
Undang - Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Namun
demikian, dalam penyelesaian perkara pembagian warisan, masih
dimungkinkan bagi Orang yang beragama Islam untuk memilih hukum
warisan apa yang akan digunakan. Hal ini disebut dengan Hak Opsi yaitu
suatu hak yang diberikan oleh Undang-Undang untuk memilih hukum warisan
apa yang akan dipilih untuk menyelesaikan perkara warisan yang akan
diajukan ke Pengadilan.

Ketentuan tentang Hak Opsi ini dapat dijumpai dalam UU PA pada bagian
Penjelasan Umum angka 2 alinea ke enam, yang berbunyi:
“Sehubungan dengan hal tersebut, para pihak yang berperkara dapat
mempertimbang untuk memilih hukum apa yang akan dipergunakan dalam
pembagian warisan”.

Adanya Hak Opsi disebabkan oleh karena masih adanya beberapa sistem
hukum kewarisan yang masih berlaku dalam masyarakat kita, yaitu;
11

1) Sistem Hukum Islam; yang berisi aturan hukum warisan dalam


Agama Islam
2) Sistem Hukum Adat; yang berisi aturan tentang Hukum Warisan Adat
3) Sistem Hukum Barat (BW); sebagaimana terdapat dalam Buku
Kedua KUH Perdata Bab XII, XIII, XIV, XV, XVI, XVII dan XVIII, mulai
dari Pasal 830 sampai Pasal 1130.

Dengan demikian, untuk penyelesaian perkara pembagian warisan bagi orang


yang beragama Islam, UU No. 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama jo UU
No. 3 Tahun 2003 masih menganut asas “Hak Opsi”.

Demikian gambaran singkat mengenai perkembangan Kompetensi Peradilan


Agama di Indonesia. Dan perlu diingat pula bahwa khusus untuk Peradilan
Agama (Mahkamah Syariah) di Aceh, kewenangannya tidak hanya dalam
perkara perdata saja, tetapi juga sudah menjangkau bidang hukum pidana
(Jinayah) berdasarkan Qonun yang berlaku di Nangro Aceh Darusslam
(NAD).

10. Prosedur dan Mekanisme Beracara Di Pengadilan Agama

Sebelum lahirnya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, Hukum Acara yang


brelaku di Peradilan Agama masih tersebar diberbagai peraturan, Seperti
Staatblad, Peraturan Pemerintah, Surat Edaran Mahkamah Agung dan
Depertemen Agama, UU No. 1 Tahun 1974, termasuk kebiasan hakim /
pengadilan, Jurisprudensi, bahkan pendapat para Ulama dalam kitab-kitab
Fiqh. Keadaan ini baru berakhir setelah adanya ketentuan Pasal 54 UU No. 7
tahun 1989, yang menyatakan bahwa : “Hukum Acara yang berlaku pada
pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara
Perdata yang Berlaku pada Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum,
kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini”.

Selama ini, Hukum Acara Perdata yang berlaku di lingkungan Peradilan


Umum bersumber dari HIR/R.Bg, Surat Edaran Mahkamah Agung serta
peraturan-peraturan lainnya. Oleh karena itu, Hukum Acara yang berlaku di
12

Pengadilan Agama juga mengacu pada sumber-sumber tersebut ditambah


dengan ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku bagi Peradilan Agama.

Berikut akan dijelaskan secara garis besar mengenai mekanisme beracara


pada Pengadilan Agama;

a. Pengajuan Gugatan/Permohonan;
Pemeriksaan perkara di peradilan agama hanya akan dilaksanakan
setelah salah satu pihak yang berperkara mengajukan permohonan
atau gugatan kepada pengadilan dan pihak-pihak yang berperkara
telah dipanggil menurut ketentuan yang berlaku. hal ini sebagimana
telah ditegaskan dalam Pasal 55 Undang Undang No. 7 ahun 1989
tentang Peradilan Agama

Dalam praktek peradilan, dikenal dua macam Gugatan, yaitu;


1) Gugat yang bersifat Volunter, yaitu gugatan yang bersifat
permohonan dan didalamnya tidak terdapat sengketa, sehingga
tidak ada lawan.
Adapun ciri – cirinya adalah :
• Gugatan bersifat sepihak;
• Permintaan dan putusan bersifat deklarator.

Dalam lingkup peradilan agama, perakara-perkara volunteer


yang dapat diajukan diantaranya adalah:
 Penetapan wali pengampu bagi ahli waris yang tidak
mampu untuk melakukan tindakan hukum;
 Penetapan pengangkatan anak;
 Penetapan /pengesangahan nikah (itsbat nikah);
 Penetapan wali adlol, dsb.

2) Gugat yang bersifat Contentiosa, yaitu gugatan dan didalamnya


terdapat sengketa antara dua pihak atau lebih.
Adapun ciri-cirinya adalah:
• Gugatan bersifat partai;
• Petitum dan putusan bersifat Condemnatoir
13

b. Bentuk Gugatan

Tentang bentuk gugatan, dapat dilihat dari ketentuan pasal 118 Ayat
(1) HIR atau pasal 142 Ayat (1) RBG dan pasal 120 HIR atau pasal
144 ayat (1) RBG. Dari ketentuan pasal-pasal tersebut, gugatan dapat
berbentuk :

• Berbentuk Tertulis;
– ditandatangani, dan
– memenuhi peraturan perundang-undangan materei (zegel
verordering).

• Berbentuk Lisan;
– Bagi penggugat yang buta huruf, dan
– Diajukan langsung kepada Ketua Pengadilan.

c. Format Gugatan

Maksudnya adalah rumusan dan sistematika gugatan yang tepat


menurut hukum dan praktek yang berlaku di Pengadilan. Adapun hal-
hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan Gugatan adalah,
sebagai berikut :

1) Pencantuman tanggal gugatan;


2) Gugatan ditujukan kepada Ketua Pengadilan (Pasal 118 Ayat (1)
HIR atau Pasal 142 Ayat (1) RBG;
3) Pencantuman secara lengkap dan jelas identitas para pihak;
4) Penegasan status dan kedudukan para pihak dalam perkara;
5) Uraian posita atau dalil gugatan, yaitu, uraian mengenai fakta
hukum dan fakta kejadian;
6) Pencantuman permintaan untuk dipanggil diperiksa (Pasal 121 Ayat
(1) HIR atau Pasal 145 Ayat (2) RBG);
7) Petitum gugatan, yaitu hal – hal yang dituntut, yang meliputi:
a. Tuntutan primer atau tuntutan pokok;
14

b. Tuntutan tambahan atau pelengkap (Petitum Subsidair),


yang meliputi : tuntutan putusan serta merta (uitvoerbaar bij
voorraad), provisi, bunga moratoir, dwangsom dan sita
marital (conservatoir beslaag). Dalam perkara perceraian,
juga dapat ditambahkan tuntutan mengenai nafkah, muth’ah,
hadhanah, nafkah anak serta pembagian harta bersama;

d. Perubahan Gugatan

Yang dimaksud dengan perubahan gugatan meliputi penambahan atau


pengurangan isi gugatan. Dengan demikian ada perubahan yang
bertujuan dan berisi penambahan gugatan, dan ada pula pengurangan
gugatan. Dalam melakukan perubahan gugatan setidaknya ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
1) Perubahan gugatan tidak menyimpang dari kejadian materil;
2) Perubahan tidak boleh merugikan Tergugat;
3) Memberi kesempatan kepada Tergugat untuk membela.

e. Tahapan -Tahapan Persidangan


Adapun Tahapan persidangan yang berlaku dalam praktek Pengadilan
Agama adalah, sebagai berikut:
1) Sidang Pertama;
2) Upaya Perdamian (mediasi);
3) Pembacaan Gugatan;
4) Jawaban Tergugat;
5) Replik Penggugat;
6) Dulik Tergugat;
7) Pembuktian;
8) Kesimpulan; dan,
9) Putusan hakim.

f. Upaya Hukum
Bagi para pihak yang tidak puas atas putusan hakim, dapat
mengajukan langkah-langkah hukum sebagai berikut:
15

1) Upaya Hukum Banding;


Yaitu permohonan yang diajukan oleh salah satu atau oleh
pihak-pihak yang terlibat dalam perkara agar peetapan dan
putusan yang dijatuhkan Pengadilan Agama “diperiksa ulang”
oleh Pengadilan Tinggi Agama.
Jangka waktu bagi pihak untuk melakuka banding adalah 14
hari sejak putusan diucapkan bagi pihak pemohon banding yang
hadir di persidangan dan 14 sejak putusan diberitahukan bagi
yang tdak hadir di persidangan.

2) Upaya Hukum Kasasi


Yaitu upaya hukum yang ditujukan kepada Mahkamah Agung
untuk memeriksa dan memutus perkara yang telah diputus oleh
Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. Oleh karena
pemeriksaan tingkat kasasi bukan pengadilan tingkat ketiga,
maka tidak memeriksa dan mengadili seluruh perkara. Hanya
terbatas hal-hal ada pemeriksaaan ada atau tidaknya
pelampauan atas wewenang (trensgression), salah menerapkan
hukum atau peraturan yang berlaku (misjudge) atau adanya
kelalaian dalam cara-cara mengadili menurut syarat-syarat yang
ditentukan peraturan perundang-undangan (negligent).
Jangka waktu mengajukan permohonan kasasi adalah 14 hari
sejak tanggal pemberitahuan putusan disampaikan kepada yang
bersangkutan.

11. Produk keputusan peradilan agama; penetapan dan putusan

a. Bentuk “Penetapan”.
Menurut ketentuan dari penjelasan pasal 60 UU PA, “Penetapan”
adalah putusan pengadilan atas perkara yang lahir dari Gugatan
Permohonan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa putusan
pengadilan atas perkara yang sifatnya Permohonan bentuknya adalah
“Penetapan” atau lazim juga disebut dengan beschikking dalam arti
luas.
16

Gugat permohonan seperti telah dijelasakan sebelumnya, adalah


gugatan yang bersifat volunteer yang didalamnya tidak terdapat
sengketa diantara 2 (dua) pihak, sehingga tiak ada pihak yang ditarik
sebagai lawan. Tujuan dari gugatan permohonan adalah untuk
memberikan Penetapan suatu keadaan atau status tertentu bagi diri
Pemohon. Sebagi contoh adalah Permohonan Penetapan sebagai Ahli
Waris. Putusan “Penetapan” tersebut tidak dimaksudkan untuk
menyelesaikan sengketa waris dan pembagian harta warisan dengan
ahli waris lainnya melainkan hanya sekedar menetapkan status
pemohon sebagai ahli waris dari seorang pewaris tertentu.

b. Bentuk “Putusan”
Produk lain dari keputusan peradilan agama adalah “Putusan”.
Menurut penjelasan pasal 60, yang dimaksud Putusan adalah “
keputusan pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya
sengketa”. Lazimnya, Gugat yang bersifat sengketa atau yang
mengandung sengketa disebut dengan gugat contentiosa.

Ada 3 Sifat utama dari gugatan contentiosa yaitu: Pertama, bersifat


partai yaitu adanya pihak yang menjadi Penggugat dan pihak yang
ditarik sebagai tergugat; kedua, bersifat Contradictoir yang berarti tata
pemeriksaan perkara dilakukan jawab menjawab secara timbal balik;
dan ketiga, adalah bersifat Condemnatoir yaitu bahwa putusan yang
dijatuhkan bersifat menghukum kepada pihak yag lain untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu. condemnatoir yang
dijatuhkan akan sangat bergantung pada apa yang diminta Penggugat
dalam petitumnya.

Putusan pengadilan yang berbentuk “Putusan” memiliki kebenaran dan


kekuatan hukum yang mengikat para pihak yang berperkara, serta
mempunyai nilai kekuatan hukum pemuktian yaitu bahwa putusan
tersebut dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah dipengadilan.
Disamping itu, “Putusan” juga mempunyai kekuatan eksekutorial yang
menyebabkan putusan dapat dijalankan dengan paksa berdasarkan
ketentuan Pasal 195 HIR atau Pasal 206 RBG.
17

BAB III
PENUTUP

Demikian bahan ajaran ini dibuat untuk dapat digunakan sebagai pedoman dalam
pelaksanaan tugas pembelaan perkara di Pengadilan Agama.

You might also like