You are on page 1of 10

UJIAN AKHIR SEMESTER

MATA KULIAH KAJIAN PROSA FIKSI


ANALISIS CERPEN “SAMIN KEMBAR” KARYA TRIYANTO TRIWIKROMO
BERDASARKAN PENDEKATAN POSKOLONIAL

DISUSUN OLEH:
Novia Maryulisa_1201621019

DOSEN PENGAMPU:
Rahma Purwahida, S.Pd., M.Hum. dan Hestiyani Parai, M.Pd

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2022
Cerpen Samin Kembar Triyanto Triwikromo

BAIKLAH kumulai dengan fakta tak terbantah: pada 27 Februari 1907 Samin


Soerosentiko ditangkap. Sebelum dia dibuang ke Sawahlunto, Padang, aku, Asisten
Residen Blora, kepanjangan tangan Pemerintah Hindia Belanda, telah mencatat hasil
interogasi perih lelaki yang secara diam-diam kukagumi itu. Sejak itu, kau tahu, warga
Randublatung, seperti kehilangan patih, seperti kehilangan ratu.
Akan tetapi, ada juga fakta yang kusembunyikan: sembilan hari kemudian seseorang—
yang semula kuanggap hantu bermuka pucat—malam-malam datang ke rumahku dan
memperkenalkan diri sebagai Samin. “Aku Samin. Aku masih di Kedung Tuban. Tak
satu pun kompeni yang bisa menangkapku.”

Tentu saja aku kaget. Aku hafal benar wajah Samin Soerosentiko. Namun harus kuakui
raut lelaki beraroma daun jati itu sungguh serupa dengan anak Soerowidjojo[1], serupa
dengan Kohar[2].
“Sila duduk,” aku mencoba menyembunyikan keterkejutan. “Kau dari mana dan akan
ke mana?”

Sejenak sunyi. Rasanya aku melihat daun-daun dan ranting-ranting pepohonan di


halaman tak bergerak.

Setelah lelaki 48 tahun itu menyeruput minuman yang disajikan oleh jongosku, dia
menjawab pertanyaanku dengan tenang. Kata dia, “Aku dari hati dan akan kembali ke
hati.”

Ini jawaban khas Samin. Meskipun demikian, aku tak sepenuhnya percaya lelaki kurus
dengan kumis melintang ini benar-benar Soerosentiko. Karena itulah, aku memancing
dengan beberapa pertanyaan lagi. Aku meniru pertanyaan yang diajukan sang
interogator kepada Samin sesaat setelah dia ditangkap. Aku hanya mengulang apa pun
laporan yang sudah termaktub di Het Nieuws von Den Dag pada 5 Maret 1907.
“Siapa namamu?” tanyaku, sedikit gugup.
“Aku wit. Wit itu pohon. Orang-orang memanggilku Kalang atau Kasmin. Kompeni
memanggilku Kasmin Kalang. Tetapi aku sesungguhnya Samin. Bukan Samin
Soerosentiko. Samin Soerosentiko tak ada. Samin itu bukan nama. Ia hanya tetenger[3],
maknanya kabut.”
Kubiarkan dia menggugat keberadaan Samin Soerosentiko. Aku harus bersabar agar
tahu lebih banyak tentang laki-laki misterius ini.

“Di mana kamu tinggal?” tanyaku dalam nada resmi.

“Kepalaku adalah rumahku. Pesantrenku, pesantren untuk badanku sendiri, berada di


Kalang. Aku bertetangga dengan hujan. Aku sering bercakap-cakap dengan sungai.”

Hmm, ini jawaban yang agak kacau. Seharusnya dia tidak menyebut-nyebut sungai atau
hujan.

Apakah aku perlu menanyakan dia percaya pada Tuhan? Kurasa tidak perlu. Percaya
atau tak percaya bukan urusanku. Tetapi aku yakin benar lelaki kencana ini sangat dekat
dengan Tuhan sehingga jika kutanya paling-paling dia akan menjawab, “Aku percaya
pada diriku. Aku percaya pada kabut. Aku percaya pada Samin.”

Apakah aku juga perlu bertanya, apakah dia percaya pada surga, neraka, atau kehidupan
setelah kematian? Kurasa juga tidak perlu. Aku yakin pria bermata tajam ini sangat
mengimani keberadaan surga-neraka; jika pun itu kutanyakan, paling-paling dia akan
menjawab, “Surga dan neraka ada di mulutku. Jika mulutku membuncahkan kata-kata
kotor, neraka akan muncrat ke mana-mana. Sebaliknya jika mulutku menguarkan kata-
kata wangi, surga akan bertebaran ke hati siapa pun. Adapun tentang kematian, sedikit
pun aku tak percaya, karena di kubur atau di mana pun, aku tetap hidup.”

Karena itulah, kuteruskan dengan pancingan lain. “Apakah Tuhan menyayangimu?”


“Apakah kerbau menyayangimu?” dia balik bertanya.

Aku tertawa. Dia juga tertawa.

“Ayolah jawab! Apakah kerbau menyayangimu?”

Aku tak mau menjawab. Aku justru teringat ramalan atau nubuat Samin Soerosentiko
perihal kerbau. Samin pernah bilang, “Kerbau jawa masukkanlah ke kandang, kerbau
bule biarkan di luar.[4]” Itu berarti tak lama lagi kami—yang mereka sebut sebagai
kompeni—akan pergi dan orang-orang Jawa akan berkuasa.
“Baiklah kalau kau tak mau menjawab,” dia tampak mulai tak sabar, “akan kujawab
sendiri pertanyaan itu. Kerbau menyayangimu karena mereka menganggapmu sebagai
kerbau. Kerbau menyayangi Tuhan karena ia menganggap Tuhan sebagai sesuatu yang
tak tersentuh oleh akal. Bukan akal manusia, tetapi akal kerbau.”

“Apakah kerbau punya akal?” aku bertanya.

“Apakah hanya manusia yang punya akal?”

Tak segera kujawab pertanyaan itu. Aku merasa lelaki cerdas yang muncul dari
kegelapan itu sedang mempermainkan aku. Tentu saja aku tak mau terpedaya. Tak mau
tersihir oleh pandangan mata iblisnya.

Tak ada cara lain, untuk menundukkan dia, aku harus memberondong dengan beberapa
pertanyaan lagi. Aku harus menyudutkan dia sebagai penjahat. Jika sudah keok, aku
akan mengusir dia secepatnya.

“Semua manusia,” kataku, “menyangka dirinya punya otak. Aku kira itu pandangan
yang keliru. Manusia hanya memiliki sesuatu yang menyerupai otak. Otak sejati hanya
dimiliki Tuhan. Karena itu, aku tak mau berdebat soal otak lagi.”
“Kau mau mengajakku berdebat soal angin?”

Aku menggeleng. “Aku mau mengajakmu berdebat soal maling.”

Hmmm, kali ini dia pasti takluk. Kali ini dia akan bilang, “Ya, aku pernah mencuri
kayu. Kau tahu, sejak 1874 kompeni telah menganggap hutan-hutan di wilayah Blora,
Grobogan, dan Bojonegoro sebagai miliknya, tetapi tetap saja kuambil kayu-kayu itu.
Tak hanya itu pada 1897 hutan di wilayah Blora ditetapkan sebagai houtvesterijen.
Rakyat dibatasi masuk ke hutan. Rakyat dilarang mengambil kayu. Tetapi kau mesti
tahu, aku bukan rakyat. Aku patih. Patih boleh memiliki kayu, patih boleh mengambil
kayu di bumi mana pun.”
Tidak! Tidak! Ternyata dia menjawab pertanyaanku dengan kalimat pendek. “Maling
milik kompeni boleh. Maling milik rakyat tak boleh. Apakah kau pernah maling?”

Aku menggeleng.

“Tak pernah? Bohong! Tak ada seorang manusia yang tak pernah maling. Jika kau
melihat hal-hal yang tak patut kaulihat, maka sesungguhnya kau telah mencuri. Jika kau
mendengarkan apa pun yang tak pantas kaudengarkan, maka sesungguhnya kau telah
mencuri. Nah, apakah kau pernah melakukan hal-hal yang tak pantas kaulakukan?”

Aku hanya terdiam. Aku malu. Tak pantas seorang Asisten Residen dihajar dengan
berbagai pertanyaan oleh seseorang yang telah kami anggap sebagai penjahat atau
bramacorah.

Akan tetapi dorongan untuk membongkar siapa Kasmin Kalang melebihi tindakan apa
pun sehingga aku membiarkan siapa pun dia mempermalukan atau melecehkan aku.
Untuk sementara aku harus menanggalkan kedudukanku sebagai Asisten Residen Blora.
Tentu saja aku punya cara menjebak lelaki yang mengaku sebagai Samin tetapi
meniadakan Soerosentiko ini. Aku akan bertanya pada dia tentang pajak, pemerintahan,
dan kerja paksa.

“Apakah kau pernah membayar pajak?”

“Pajak dibuat oleh kompeni, biarlah aturan itu untuk para kompeni. Para pengikut
Igama Adam lahir dari bulir sawah, dia tidak perlu membayar untuk hal-hal yang akan
dimakan. Kami juga tumbuh dari pepohonan. Kami tidak perlu membayar apa pun
untuk hal-hal yang digunakan untuk menegakkan rumah.”

“Apakah kau takluk pada pemerintah?”

“Aku hanya takluk pada Patih. Patih itu aku. Aku hanya takluk pada diriku sendiri.”

“Pada Hindia Belanda?”

“Aku mengabdi pada kebo jawa bukan pada kebo bule.”


“Apakah kau pernah melakukan kerja paksa?”

“Aku mengerjakan apa pun yang berguna untuk pohon-pohon, jalan, sawah, bukit,
palawija, burung, kuda, kerbau, kambing, istri, dan liyan. Aku tak mau dibayar untuk
apa pun yang digunakan untuk urip bebrayan, hidup bersama wit gegodhongan sarwa
kewan[5].”
Harus kuakui pandangan Kasmin Kalang ini mirip dengan ajaran-ajaran Samin. Akan
tetapi beberapa bagian menyimpang, beberapa bagian merupakan pencanggihan. Hanya,
aku yakin kunci terakhir segala persoalan ini terletak pada konsep penyelamatan
kehidupan. Jadi, aku akan bertanya pada dia apakah bakal ada Ratu Adil yang
menyelamatkan Tanah Jawa.

“Apakah kau percaya akan kedatangan Heru Cokro alias Ratu Adil alias Ratu Kembar?”
“Heru Cokro tak ada. Yang ada Kasmin Kalang. Ratu Adil tak ada di jalan-jalan tetapi
ada di dalam rumah. Tentang Ratu Kembar, apakah kau menyangka yang akan
menyelamatkan Tanah Jawa—saat Adam berhenti, Rasul pergi[6]—itu Pangeran
Mangkubumi dan Pangeran Cokronegoro dari Surakarta? Jangan-jangan kau malah
akan ngawur menyebut Ratu Kembar itu Samin Soerosentiko dan Prabu Panembahan
Suryongalam[7]. Ratu Kembar itu aku, yaitu Ratu Kalang dan Ratu Kasmin.”
Gila! Ini jawaban yang sangat menohok dan tak terbayangkan. Samin saat diinterogasi
pun tak mengatakan dirinya sebagai Ratu Adil. Jangan-jangan Kasmin Kalang ini guru
Samin Soerosentiko? Atau jangan-jangan Kalang dan Soerosentiko ternyata Samin
Kembar atau Ratu Kembar?

Malam itu aku tak menanyakan rasa penasaranku itu kepada Kasmin Kalang. Bahkan
kami tidak bercakap tentang hal-hal penting lagi, tetapi Kasmin beberapa kali meledek
aturan-aturan Pemerintah Hindia Belanda. Kasmin meledek mengapa harus ada aturan
menunggang kuda bagi orang Jawa, berjalan pada malam hari, dan bikin pagar untuk
rumah-rumah di pinggir[8].
Kami bicara hingga menjelang pagi dan dia lagi-lagi meledek, “Kau itu sesungguhnya
berada di pihak kompeni atau kami?”

Aku tak menjawab. Aku tahu Kasmin Kalang paham di wilayah mana aku berpihak.

Setelah itu dia tidak bertanya apa-apa lagi dan pergi sesaat sebelum kokok ayam
pertama berbunyi.

 
JANGAN menyangka persoalan telah selesai. Meskipun bisa mengira-ngira siapa
sesungguhnya Kasmin Kalang, aku harus bertanya kepada warga Kedung Tuban,
mengenai lelaki misterius itu. Akan tetapi mungkin karena tahu aku seorang Asisten
Residen, ketika pagi itu aku menginterogasi beberapa warga, mereka serempak
menjawab, “Kami semua Kasmin Kalang. Kami tak kenal Samin Soerosentiko.”
Tahu jika dipermainkan, aku melontarkan pertanyaan ngawur, “Apakah kalian kenal
Hujan, apakah kalian kenal Sungai, apakah kalian kenal Angin? Apakah kalian kenal
Bunga?”

“Kami semua Hujan! Kami semua Sungai! Kami semua Angin! Kami semua Bunga!”

Aku frustasi mendengarkan jawaban semacam itu. Aku menghentikan pertanyaan dan
kutinggalkan mereka.

 
KINI kubuka satu fakta lagi: beberapa saat kemudian aku meminta seorang mata-mata
mengunjungi Samin Soerosentiko ke Sawahlunto. Aku minta kepada dia menanyakan
mengenai Kasmin Kalang.
Kau tahu apa pendapat Samin Soerosentiko tentang Kasmin Kalang atau Ratu Kembar?
Baiklah kubacakan sebagian laporan mata-mataku: Kata Samin Soerosentiko, “Samin
Soerosentiko tak ada. Kasmin Kalang tak ada. Ratu kembar tak ada. Tapi percayalah
kerbau-kerbau di Randublatung tetap ada…”
Aku, kau kerap menyebut namaku Zanveld, tak tahu apakah laporan mata-mataku palsu
atau asli. Yang jelas, aku sedang menimbang-nimbang memuat seluruh pengalamanku
ini di Het Nieuws van Den Dag atau menyembunyikan rapat-rapat di lubuk hati.
Ah, kau tahu apa yang seharusnya dilakukan seorang Asisten Residen terhadap fakta
bahwa seseorang yang lebih kuanggap sebagai pemikir bebas[9] ketimbang penggelora
perlawanan pasif[10] bukan?(*)
Analisis Pendekatan poskolonial Cerpen Samin Kembar Triyanto Triwikromo

hakikat

Operasional teori poskolonialisme dalam penelitian teks sastra digambarkan dengan


upaya meneliti data tekssastra yang berkaitan dengan kesadaran terjajah atas penjajah
dan juga penindasan terhadap suatu tindakan .

Resistensi Bentuk Mimikri

Permasalahan pertama yang akan diulas dalam penelitian ini mengenai bentuk
representasi mimikri pada cerpen Samin Kembar karya Triyanto Triwikromo. Mula-
mula, terdapat dalam cerpen Samin Kembar, narasi dimulai dengan menggambarkan
setting waktu dan tempat kejadian, pada 27 Februari 1907 di Sawahlunto. Pada teks
tersebut :
Baiklah kumulai dengan fakta tak terbantah: pada 27 Februari 1907 Samin
Soerosentiko ditangkap. Sebelum dia dibuang ke Sawahlunto, Padang, aku, Asisten
Residen Blora, kepanjangan tangan Pemerintah Hindia Belanda, telah mencatat hasil
interogasi perih lelaki yang secara diam-diam kukagumi itu. Sejak itu, kau tahu, warga
Randublatung, seperti kehilangan patih, seperti kehilangan ratu
Kutipan itu terdapat suatu kejadian dimana soerosentiko di tangkep seperti masa
penjajahan di mana saling menangkap satu sama lain

Resistensi bentuk Hibriditas

hibriditas, dapat diterima sebagai suatu alat untuk memahami


perubahan budaya lewat pemutusan strategis atau stabiliasi temporer kategori
budaya.

aturan Pemerintah Hindia Belanda. Kasmin meledek mengapa harus ada aturan
menunggang kuda bagi orang Jawa, berjalan pada malam hari, dan bikin pagar untuk
rumah-rumah di pinggir
penindasan yang di lakukan oleh pemerintahan belanda dengan memberi aturan
menunggang kuda bagi orang jawa

Representasi bentuk Dispora


Dispora mencakup sejarah perbudakan, tenaga kerja wajib,mata pencarian kebudayaan
dispora, , serta isu-isu yang berkaitan dengan ras seksualitas dan gender.

“Lalu mengapa pula, orang-orang berusia di bawah 17 tahun tidak atau belum
terserang suara? Berarti ada batas antara manusia yang tergolong anak-anak dan
remaja dan seterusnya. Tentu muncul lagi pertanyaan sehubungan dengan hal ini, yaitu
mengapa batasan tersebut tercipta? Pertanyaan ini makin melebar, manakala kita
sadar bahwa suara yang menyerang itu tahu benar sasarannya dan bagaimana pula
mereka mengetahuinya?”

Bisa dilihat dalam kutipan di atas bahwa suara yang menyerang masyarakat itu tidak
menyerang para remaja yang masih di bawah usia 17 tahun. Hal ini tentunya menjadi
sebuh pertanyaan mengapa hanya para orang dewasa yang terkena serangan suara itu.

You might also like