You are on page 1of 6

KLASIFIKASI BENTUKLAHAN MENGGUNAKAN ANALISIS OBJECT-BASED

IMAGE DALAM PENGINDERAAN JAUH

DISUSUN OLEH (JUMAD.19381081006)

ABSTRAK
Karangsambung merupakan kawasan dengan batuan yang beraneka ragam, konsekuensi
dari hal tersebut adalah juga terdapatnya berbagai macam bentuklahan. Informasi bentuklahan
menggambar suatu kesamaan topografi dan struktur geologi serta proses eksogen. Intepretasi
bentuklahan relatif mudah dilakukan dengan data penginderaan jauh, terdapat analisis spasial
yang saling berasosiasi. Membedakan bentuklahan dengan teknik penginderaan jauh adalah
dengan kompilasi ciri khas yang ada di permukaan. Semakin baik basis pengetahuan tentang
konfigurasi permukaan (fisiografi) maka semakin banyak pula kemungkinan informasi yang
dapat di ekstraksi. Makalah ini menyajikan sistem klasifikasi otomatis elemen bentuklahan
berdasarkan analisis object-based image (OBIA). Objek diklasifikasikan sebagai elemen
bentuklahan menggunakan model klasifikasi relatif, dibangun baik pada bentuk permukaan
maupun pada posisi memiliki ketinggian. Sejauh ini, Aspek kemiringan tidak digunakan dalam
klasifikasi. Pendekatan OBIA melalui dua tahapan utama yaitu segmentasi dan klasifikasi.Dalam
melakukan klasifikasinya tidak hanya mempertimbangkan aspek spektral namun aspek spasial
objek. Segmentasi membentuk suatu obyek berdasarkan pengelompokan piksel berdekatan
dengan kualitas yang sama. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data citra landsat-8
dan citra AsterGDEM. Hasil yang diperoleh merupakan klasifikasi bentuklahan dengan
intepretasi hasil klasifikasi berskala 1:50000. Secara umum, bentuklahan yang ada di kawasan
Karangsambung terdapat 3 bentukanlahan asal, yaitu: bentuklahan asal proses fluvial;
bentuklahan asal proses denudasional; dan bentuklahan asal struktural. Dengan menggunakan
metode OBIA masing-masing bentuklahan tersebut dapat diperinci lebih detail.
1. Pendahuuan
Bentuklahan merupakan spesifik morfometri dan morfologi menurut fungsi dan
berhubungan dengan keadaan ukuran dan bentuk (Eisank dkk, 2011). Bentuklahan yang
kompleks pada permukaan bumi ini diperukan suatu klasifikasi dan pembagian untuk
menjadi unit yang memiliki kesamaan dan sifat perwatakannya.
Pendekatan awal didasarkan pada survei lapangan, pemrosesan manual dengan
menggunakan peta topografi atau dengan menggunakan foto udara, klasifikasi dapat
memanfaatkan dari data penginderaan jauh yang menggunakan teknik pemrosesan untuk
meningkatkan kualitas dari data elevasi digital (Dragut dan Eisank, 2011). Penggunaan
data penginderaan jauh mampu memberikan gambaran fisiografi yang menyeluruh pada
permukaan bumi, identifikasi dan klasifikasi akan lebih mudah dilakukan. Hubungan
antara bentuklahan satu dengan yang lainnya dapat dilakukan asosiasi melalui
kenampakan dari konfigurasi permukaan bumi.
Dragut dan Blaschke (2006) melakukan penelitian menggunakan OBIA untuk
mengklasifikasikan bentuklahan. Pada klasifikasi otomatis tersebut elemen landform
berdasarkan analisis citra berorientasi objek. Pertama, beberapa lapisan data dihasilkan
dari Digital Terrain Models (DTM): elevasi, kelengkungan profil, kelengkungan rencana
dan kemiringan lereng. Kedua, objek yang relatif homogen digambarkan pada beberapa
tingkatan melalui segmentasi citra. Hasil klasifikasi sebagai elemen bentuk lahan
menggunakan modelklasifikasi relatif, dibangun baik pada bentuk permukaan maupun
pada posisi ketinggian
Intepretasi bentuklahan menggunakan data penginderaan jauh dapat dilakukan
secara visual baik menggunakan citra penginderaan jauh sistem aktif maupun pasif.
Seiring dengan perkembangan teknologi penginderaan jauh intepretasi bentuklahan dapat
dilakukan dengan menggunakan intepretasi secara digital. Object-based image analysis
(OBIA) merupakan metode yang dikembangkan relatif baru dalam interpretasi citra
secara digital dengan mendefinisikan kelas obyek di permukaan bumi berdasarkan aspek
spektral dan aspek spasial sekaligus (Danoedoro, 2012). Klasifikasi citra dengan object-
oriented merupakan level yang sederhana dalam mengklasifikasi kondisi yang sama pada
obyek pada citra dibandingkan dengan individual piksel (Rutherford dkk, 2008)
Otomatisasi daerah fisiografi ini lebih obyektif dan dengan waktu yang singka,
karena menggunakan proses yang hirarki pada pengolahan segmentasinya (Argialas dan
Tzotsos, 2006). Sudut kemiringan dan karakteristik elevasi ditentukan untuk setiap unit
geomorfologi kunci yang terjadi di daerah studi, kelas yang dihasilkan mewakili unit
yang sesuai dengan bentang alam dan proses yang terjadi (Asselen dan Seijmonsbergen,
2006).
Raharjo (2010) melakukan analisis data penginderaan jauh tentang bentuklahan
asal proses fluvial di kawasan ini. Namun metode yang digunakan pada penelitian
tersebut masih menggunakan intepretasi secara visual. Hasil yang diperoleh menunjukkan
bahwa terdapat 5 jenis bentuklahan asal proses fluvial pada kawasan Karangsambung.
Kawasan ini merupakan suatu Kawasan Cagar Alam Geologi yang berada di Jawa
Tengah yang memiliki keanekaragaman batuan yang lengkap. Selain itu pada wilayah ini
juga memiliki perbedaan topografi sebagai konsekuensi adanya keanekaragaman batuan
tersebut. Secara otomatis perbedaan-perbedaan ini akan memberikan unit-unit
bentuklahan yang berbeda-beda pula. Tujuan pada penelitian ini adalah melakukan
klasifikasi unit bentuklahan secara otomatis yang berbasis pada obyek. Analisis yang
dilakukan berupa spasial, tekstural, serta spektral yang ada pada citra penginderaan jauh.
Hasil yang diperoleh juga akan dibandingkan dengan metode manual yang menggunakan
analisis intepretasi visual data penginderaan jauh.

2. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kawasan Cagar Alam Geologi Karangsambung yang
secara administrasi berada di sebagain Kabupaten Kebumen, Kabupaten Banjarnegara,
dan Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah (Gambar 1). Data-data yang digunakan
antara lain adalah data AsterGDEM Tahun 2008 resolusi spasial 45 meter; citra landsat 8
Tahun 2016 resolusi spasial 30 meter, path/row 120/065; Peta Rupa Bumi digital skala
1:25.000; dan Peta Geologi skala 1:100.000.
Software yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan eCognition 64, pada
software tersebut memberikan pilihan banyak feature space yang dapat digunakan untuk
proses klasifikasi. Selain itu pada software ini algoritam untuk klasifikasi Nearest
Neighbor lebih baik apabila dibandingkan dengan software lainnya.
Setiap parameter skala, warna, bentuk, kehalusan dan kekompakan dilakukan
segmentasi citra dan diberilan nilai serta bobot yang akan digunakan sebagai perhitungan
pada setiap proses segmentasi. Parameter skala digunakan untuk menentukan besarnya
heterogenitas obyek. Proses segmentasi dilakukan berulang-ulang berdasarkan skala
parameter sampai obyek pada cita bisa mendenifisikan nama dari bentuklahan.
Kenampakan obyek akan dihasilkan ukuran yang lebih kecil daripada kenampakan
homogen meskipun nilai skalanya sama. Pada segmentasi ini komposisi heteronitas
ditentukan dari warna citra dan bentukobyek, sedangkan bentuk obyek ini merupakan
gabungan dari piksel-piksel yang memiliki nilai sama.
3. Hasil dan Pembahasan
Proses transformasi yang dilakukan antara citra landsat 8 dengan asterGDEM
menunjukkan lebih jelas informasi mengenai konfigurasi permukaan. Kedua citra ini
hampir memiliki kesamaan resolusi spasial, 30 meter untuk citra landsat 8 dan 45 meter
untuk citra AsterGDEM. Namun citra hasil transformasi tersebut memebrikan kesan
heteronitas yang tinggi, sehingga ketika dilakukan segmentasi dari skala parameter 50
hingga 150 masih memberikan banyak kesalahan deliniasi. Namun hasil tersebut sangat
baik ketika dilakukan intepretasi secara visual mengenai informasi konfigurasi
permukaan. Perpaduan topografis dengan spektral warna mempertajam kenampakan
obyek yang terkesan dengan 3 dimensional.
Dalam citra AsterGDEM merupakan citra penginderaan jauh aktif dimana
spektral tidak begitu dipertimbangkan. Pada citra ini tidak difokuskan pada obyek
permukaan yang berupa penggunaan lahan/penutup lahan, namun lebih pada kesan
topografis sesuai dengan tujuan penelitian. Warna yang ada hanyalah menggambarkan
ketinggian dari lokasi yang bisa diklasifikasikan sesuai tujuan intepretasi. Perubahan
warna semu RGB (red green blue) dilakukan percobaan untuk mendapatkan hasil dari
citra yang lebih jelas permukaannya. Pada ketinggian yang sama dan kemiringan yang
sama, namun memiliki aspek hadap lereng yang berbeda memperlihatkan warna yang
berbeda pula, sehingga perlu analisis pada saaat klasifikasi segmentasi. Pemberian warna
pada image layer citra, pada layer biru diberikan warna merah dan biru, layer hijau
diberikan warna merah, hijau, dan biru, serta layer merah diberikan warna hijau dan
merah. Hasil pada perubahan komposit warna tersbut memperlihatkan informasi
fisiografi lebih jelas dan mudah dikenali.
Pada proses segmentasi skala parameter 50 diperoleh deliniasi yang sangat rapat.
Pengaruh dari warna masih juga dominan pada skala ini, terlihat dibeberapa tempat pada
dataran aluvial yang seharusnya memiliki kesamaan deliniasi pada skala ini menunjukkan
banyak berbedaan. Kondisi lapangan pada dataran aluvial ini selain memiliki jenis
penggunaan lahan yang beragam yang ber-efek pada pantulan warna, juga pengaruh
kekasaran permukaan sangat mempengaruhi dalam membedakan obyek pada metode
OBIA ini. Pada daerah perbukitan juga menunjukkan demikian, perbukitan ini dibagi
menjadi banyak segmen yang perbedaannya didasarkan pada panjang dan kemiringan
lereng. Selain itu adanya bentuk lereng yang berbeda pada wilayah yang relatif tidak
begitu luas. Lembah yang di identifikasikan sebagai tubuh air juga masih memiliki
banyak deliniasi, bahkan pada tubuh air berupa waduk yang memiliki obyek yang sama
juga memiliki 2 deliniasi wilayah yang berbeda. Gambar 3 merupakan hasil segmentasi
wilayah penelitin yang menggunakan skala parameter 50.
Mengingat pada skala parameter tersebut masih banyakdeliniasi garis yang belum
bisa dilakukan analisis bentuklahan, maka skala parameter dibesarkan menjadi 100. Skala
parameter 100 ini konfigurasi permukaan yang dideliniasi sudah mengikuti bentuk dari
topografi citra. Bentuklahan dataran aluvial secara detai sudah bisa terlihat dengan jelas.
Tubuh air yang berupa danau juga sudah didapati deliniassi yang tunggal. Pada skaala
parameter ini, perbukitan yang memiliki bentuklahan pedimen juga bisa di-
identifikasikan. Puncak-puncak perbukitan yang memiliki topografi datar juga bisa
terlihat dengan jelas, dan perbedaan antara puncak dan kaki puncak perbukitan terlihat
adanya ssuatu perbedaan. Namun pada skala parameter 100 ini, lembah yang berupa
sungai utama masih sedikit susah dibedakan antara ssungai utama dengan dataran banjir.
Sehingga apabila menggunakan skala parameter 100 ini, klasifikasi yang dihasilkan
sangatlah banya dan kompleks, sehingga skala parameter masih perlu undtuk dikecilkan.
Gambar 4 merupakan hasil segmentasi wilayah penelitin yang menggunakan skala
parameter 100.
Skala parameter yang terkahir yang digunakan pada penelitian ini adalah 150.
Nilai ini memberikan kehalusan deliniasi dan mencoba untuk meng-eliminasi tekstur atau
kekasaran permukaan. Skala parameter ini dipilih karena pada wilayah penelitian ini
sangatlah memiliki kompleksitas topografi dan kemiringan lereng. Seperti diketahui
bahwa wilayah penelitian ini merupakan Cagar Alam Geologi Karaangsambung yang
memiliki keragaman batuan. Dengan keragaman batuan tersebut juga akan menjadikan
keragaman bentuklahan yang ada. Gambar 5 merupakan hasil segmentasi wilayah
penelitin yang menggunakan skala parameter 150.
Pada gambar diatas (Gambar 5) menunjukkan bahwa deliniasi lebih sederhana
dari pada proses-proses segmentasi sebelumnya. Pada segmentasi skala parameter 150 ini
dipilih karena deliniasi yang dihasilkan sesuai dengan topografi dan kemiringan lereng
pada umumnya. Namun sebenarnya pada skala ini, tidak dapat membedakan bentuklahan
pedimen secara detail seperti segmentasi pada skala parameter 100. Gambar 6 merupakan
hasil peta bentuklahan dengan menggunakan metode OBIA
Skala yang paling bisa dilihat adalah skala parameter 150, skala ini segmentasi
sudah bisa menerjemahkan dataran aluvial, namun tidak pada dataran banjir. Perbukitan
denudasional dengan pengikisan dari lemah-sedang-tinggi dapat dibedakan. Perbukitan
lipatan juga semakin jelas strukturnya. Pedimen-pedimen yang berasal dari longsoran
lembah-lembah pada perbukitan curam juga dapat dikenali. Pada sebelah utara, citra asli
memberikan gambaran bahwa daerah tersebut memiliki kekasaran permukaan yang sama,
namun setelah dilakukan segmentasi dengan metode OBIA ini ternyata ada suatu
perbedaan, dan juga pada wilayah tersebut ternyata juga memilik litologi yang berbeda
pula. Namun sistem otomatis ini juga tidak menghasilkan kesempurnaan dalam
melakukan deliniasi bentuklahan, pada beberapa tempat masih perlu dilakukan merger
(penggabungan) poligon-poligonnya. Dasar ini yang digunakan sebagai analisis yang
tetap melihat kondisi lapangan dan kenampakan 3 dimensinya.
Beberapa analisis yang digunakan dalam lekaukan mergering dan
mendeskripsikan deliniasi hasil segmentasi meliputi, yaitu: morfografi (aspek
geomorfologi yang deskriptif pada suatu area), morfometri (aspek kuantitatif pada suatu
area, kecuraman lereng, ketinggian), morfogenesis (perkembangannya dan proses-proses
pembentukan), morfostruktur dan morfodinamik, serta morfo-arrangement (hubungan
antar keruangan). Pada penelitian ini dihasilkan bahwa daerah penelitian memiliki 3
bentuklahan proses asal, yaitu Bentuklahan fluvial, bentuklahan denudasional, dan
bentuklahan struktural. Bentuklahan asal proses fluvial meliputi, dataran banjir, dataran
aluvial, dan daerah sedimentasi. Bentuklahan asal proses denudasional memiliki
keragaman yang banyak yang diklasifikasikan berdasarkan kekuatan pengikisan dan
kemiringan lerengnya, seperti halnya perbukitan terkikis lemah lereng curam. Selain itu
juga terdapat pedimen yang merupakan bentuklahan
Kesimpulan
Penggunaan metode OBIA (Object-Based Image) dalam penginderaan jauh untuk
membantu informasi mengenai konfigurasi permukaan bumi terutama dalam melakukan
pemetaan bentuklahan sangat baik hasilnya. Namun metode ini untuk memperoleh informasi
mengenai tema tersebut tidak bisa berdiri sendiri, pengalaman serta analisis peneliti masih sangat
diperlukan terutama pada saat memberikan klasifikasi bentuklahan. Sehinggapenerapan metode
OBIA dalam penelitian ini lebih tepatnya membatu mempercepat dan mendetailkan proses
klasifikasi bentuklahan.

Daftar Pustaka
Argialas, D., dan Tzotsos, A. 2006. Automatic Extraction of Physiographic Features and
Alluvial Fans in Nevada, Usa from Digital Elevation Models and Satellite Imagery
Through Multiresolution Segmentation and Objectoriented Classification. ASPRS 2006
Annual Conference Reno, Nevada
Asselen S.V., dan Seijmonsbergen, A,C. 2006. Expert-driven semi-automated
geomorphological mapping for a mountainous area using a laser DTM.
Geomorphology 78 (2006), p. 309–320
Eisank C., Drăguţ, L., Blaschke, T. 2011. A generic procedure for semantics-oriented
landform classification using object-based image analysis. Geomorphometry.org/2011,
p. 125-128
Danoedoro, P. 2012. Pengantar Penginderaan Jauh Digital. Yogyakarta : ANDI
Dragut, L., Blaschke, T. 2006. Automated classification of landform elements using objectbased
image analysis. Geomorphology 81 (2006) , p. 330–344
Dragut, L., Eisank, C. (2011). Automated object-based classification of topography from
SRTM data. Geomorphology. doi:10.1016/j.geomorph.2011.12.001
Raharjo, P.D. 2010. Penggunaan Data Penginderaan Jauh dalam Analisis Bentukan Lahan
Asal Proses Fluvial di Wilayah Karangsambung. Jurnal Geografi ,Vol. 7 (2) Juli 2010.
Rutherford, V., Platt., Rapoza, L. 2008. An Evaluation of an Object-Oriented Paradigm for
Land Use/Land Cover Classification. The Professional Geographer, by Association of
American Geographers, 60(1) 2008, p. 87-100

You might also like