You are on page 1of 10

RAGAM PESERTA DIDIK BERKEBUTUHAN KHUSUS

Peserta Didik Berkebutuhan Khusus (PDBK) memiliki karakteristik khusus dan


kemampuan yang berbeda dengan peserta didik pada umumnya. Tipe anak
berkebutuhan khusus bermacam-macam dengan penyebutan yang sesuai dengan
bagian diri anak yang mengalami hambatan baik telah ada sejak lahir maupun karena
masalah yang timbul pada masa tumbuh-kembangnya. Data dari Bank Dunia
menunjukkan populasi anak berkebutuhan khusus di seluruh dunia mencapai 10
persen. Diperkirakan 85 persen anak berkebutuhan khusus di seluruh dunia yang
berusia di bawah 15 tahun terdapat di negara berkembang. Lebih dari dua pertiga
populasi tersebut terdapat di Asia.
Keberadaan PDBK dipayungi Undang Undang Dasar 1945 pasal 31, ayat 1
yang mengamanatkan bahwa; “setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan”
dan ayat 2,; “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib membiayainya”. Secara khusus UU No 8 tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas pasal 10 menyebutkan bahwa penyandang disabilitas mempunyai hak untuk
mendapatkan pendidikan yang bermutu pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur,
dan jenjang pendidikan baik secara inklusif maupun khusus. Dengan demikian, PDBK
memiliki hak untuk mendapatkan layanan pendidikan di semua jenjang baik di sekolah
umum maupun sekolah luar biasa.
Agar tujuan pembelajaran yang disusun guru dapat tercapai dengan optimal,
guru terlebih dahulu perlu memahami karakteristik PDBK baik dari kemampuan
intelektual, fisik, emosi, sosial maupun kebutuhan dukungan layanan yang diperlukan.
Hal ini sejalan dengan Permendiknas No 16 tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi
Akademik dan Kompetensi Paedagogik Guru salah satunya adalah memahami
karakteristik peserta didik. Hal tersebut akan menjadi bekal bagi guru dalam
melakukan identifikasi dan asesmen sehingga dapat menyusun program yang
memenuhi kebutuhan belajar peserta didik.
Menurut Hallahan et al. (2020) tipe-tipe kebutuhan khusus yang diakui oleh
Departemen Pendidikan Amerika Serikat adalah (1) kesulitan belajar spesifik, (2)
gangguan bicara dan bahasa, (3) autism, (4) disabilitas intelektual, (5) gangguan
emosi, (6) keterlambatan perkembangan (developmental delay), (6) disabilitas ganda,
(7) hambatan pendengaran, (8) hambatan fisik, (9) hambatan penglihatan, (10)
traumatic brain injury, dan (11) gangguan kesehatan lainnya. Di Indonesia sendiri
berdasarkan Permendiknas No 70 tahun 2009 peserta didik berkelainan yang

1
memerlukan adanya layanan pendidikan khusus terdiri dari (1) tunanetra, (2)
tunarungu, (3) tunawicara, (4) tunagrahita, (5) tunadaksa, (6) tunalaras, (7)
berkesulitan belajar, (8) lamban belajar, (9) autis, (10) memiliki gangguan motorik, (11)
menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang, dan zat adiktif lainnya (12)
memiliki kelainan lainnya, dan (13) tunaganda.
Terkait dengan kondisi yang kronis tersebut, anak juga membutuhkan
perawatan kesehatan serta pelayanan lainnya termasuk layanan pendidikan yang lebih
dari anak lain pada umumnya. Karakteristik anak berkebutuhan khusus dan hambatan
yang mereka alami seringkali menyulitkan mereka mengakses layanan publik, seperti
fasilitas di tempat umum yang tidak aksesibel bagi mereka, hingga layanan tumbuh-
kembang dan pendidikan yang relatif membutuhkan usaha dan biaya ekstra.
Perbedaan karakteristik dan kebutuhan mereka dibanding anak-anak pada umumnya
membutuhkan bentuk penanganan dan layanan khusus yang sesuai dengan kondisi
mereka. Kondisi mereka yang berbeda bukan menjadi alasan untuk menghindari atau
membuang mereka, melainkan justru membuahkan kesadaran untuk menghargai
keragaman individu dan memberi perhatian dan layanan seideal yang seharusnya
mereka terima termasuk dalam layanan pendidikan.
Layanan untuk anak berkebutuhan khusus berusaha menjembatani hambatan
yang dialami anak dan memanfaatkan potensi anak untuk dapat mengakses
kesempatan hidup sebesar-besarnya. Layanan diberikan dengan berorientasi pada
prinsip mempertimbangkan kesamaan masing-masing tipe anak berkebutuhan khusus
dan juga perbedaan individual dari masing-masing tipe tersebut, menjaga sikap optimis
untuk dapat memberi layanan baik pendidikan, medis, psikologis, maupun upaya-
upaya pencegahan, mengedepankan potensi anak daripada fokus pada hambatan
mereka, dan memandang bahwa kebutuhan khusus bukanlah hambatan melainkan
kurangnya kesempatan anak untuk melakukan sesuatu yang orang lain pada
umumnya mampu lakukan, baik dalam hal tingkat kematangan (emosi, mental, dan
atau fisik), kesempatan yang diberikan masyarakat kepada mereka untuk hidup
‘normal’, dan pengajaran atau pendidikan sesuai hak yang seharusnya mereka
dapatkan (Hallahan & Kauffman, 2006).
Pada modul ini ruang lingkup bahasan tentang peserta didik berkebutuhan
khusus akan dibagi menjadi 4, yaitu: 1) Anak berkebutuhan khusus dengan hambatan
sensorik, 2) Anak dengan hamabatan intelektual (tunagrahita), 3) Anak dengan
hambatan fisik (tunadaksa), 4) Anak dengan hambatan lainnya. Secara singkat

2
masing-masing jenis anak berkebutuhan khusus dan layanan yang diperlukan
dijelaskan sebagai berikut:
1. Anak berkebutuhan khusus dengan hambatan sensorik
a. Anak yang mengalami hambatan penglihatan (tunanetra)
Tunanetra adalah anak yang mengalami gangguan daya penglihatannya,
berupa kebutaan menyeluruh atau sebagian, dan walaupun telah diberi
pertolongan dengan alat-alat bantu khusus masih tetap memerlukan pelayanan
khusus. Klasifikasi gangguan penglihatan berdasarkan tingkat ketajaman
penglihatan dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu kelompok low vision dan
hambatan penglihatan total (totally blind). Anak dikatakan mengalami low vision
jika memiliki ketajaman penglihatan 20/70 atau mampu melihat dari jarak 6
meter. Gambaran umum pada kelompok ini mereka masih mampu mengenal
bentuk objek dari berbagai jarak dan menghitung jari dari berbagai jarak. Pada
kelompok hambatan penglihatan total mereka tidak dapat memfungsikan
kemampuan visualnya atau tidak dapat membedakan adanya sinar seperti
mengetahui siang dan malam.
Layanan khusus yang diperlukan oleh anak dengan hambatan penglihatan
total adalah keterampilan membaca dan menulis menggunakan huruf braille.
Bagi yang masih memiliki sisa penglihatan diperlukan kaca pembesar atau
huruf cetak dengan ukuran yang besar. Selain itu adanya hambatan pada
penglihatan erlu dikompensasi dengan penggunaan media yang dapat diraba,
didengar, atau diperbesar. Anak juga perlu diajarkan untuk mempunyai
ketrampilan orientasi mobilitas (OM) yang akan membantu mereka dalam
menjalankan ativitas sehari-hari.
Pada beberapa kasus tertentu, anak dengan hambatan penglihatan
mempuyai dampak pada kemampuan akademik, sosial emosional, perilaku,
perkembangan bahasa, dan perkembangan motorik. Oleh karena itu, layanan
khusus terkait dengan permasalahan ini juga diperlukan oleh anak dengan
hambatan penglihatan.
b. Anak yang mengalami gangguan pendengaran (tunarungu)
Tunarungu adalah anak yang kehilangan seluruh atau sebagian daya
pendengarannya sehingga tidak atau kurang mampu berkomunikasi secara
verbal dan walaupun telah diberikan pertolongan dengan alat bantu dengar
masih tetap memerlukan pelayanan khusus. Kelompok tunarungu terbagi atas:
kurang dengar (Hard of Hearing) dan tuli (deaf). Kelompok yang mengalami

3
kurang dengar adalah mereka yang kehilangan pendengaran ≤ 90 dB.
Kelompok yang mengalami tuli (deaf) yaitu mereka yang kehilangan
pendengaran di atas 90 dB.
Karakteristik anak tunarungu dalam aspek sosialemosional adalah sebagai
berikut.
1) Pergaulannya terbatas dengan sesama tunarungu, sebagai akibat dari
keterbatasan dalam kemampuan berkomunikasi.
2) Memiliki sifat ego-sentrisnya melebihi anak normal, yang ditunjukkan
dengan sukarnya mereka menempatkan diri pada situasi berpikir dan
perasaan orang lain, serta sukarnya menyesuaikan diri. Tindakannya
lebih terpusat pada “aku/ego”, sehingga mereka merasa keinginannya
harus selalu dipenuhi.
3) Merasa takut (khawatir) terhadap lingkungan sekitar, sehingga mereka
tergantung pada orang lain dan kurang percaya diri.
4) Apabila anak tunarungu menyukai suatu benda atau pekerjaan,
perhatian mereka sukar dialihkan.
5) Memiliki sifat polos.
6) Secara umum, perasaannya dalam keadaan ekstrim tanpa banyak
nuansa.
Kebutuhan dalam layanan pembelajaran bagi anak dengan hambatan
pendengaran antara lain:
1) Tidak mengajak anak berbicara dengan membelakanginya.
2) Anak ditempatkan duduk di depan sehingga memiliki peluang lebih
mudah untuk membaca gerak bibir gurunya.
3) Perhatikan postur tubuh anak yang sering memiringkan kepala untuk
mendengarkan.
4) Bicara dengan anak dalam posisi berhadapan, jika memungkinkan
posisikan kepala guru sejajar dengan anak.
5) Guru bicara dengan volume biasa tetapi dengan gerakan bibir yang
jelas.
2. Anak dengan hambatan intelektual (tunagrahita)
Tunagrahita adalah anak yang secara nyata mengalami hambatan dan
keterbelakangan perkembangan intelektual jauh di bawah rata-rata sedemikian
rupa sehingga mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik, komunikasi
maupun sosial. Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorders edisi 5 (DSM-

4
5) menggolongkan disabilitas intelektual dalam gangguan neurodevelopmental
yang dimulai pada masa kanak-kanak dengan karakteristik adanya kesulitan
dalam penguasaan konsep, sosial maupun aktivitas hidup sehari-hari (American
Psychiatric Association, 2013). DSM-5 menetapkan tiga kriteria yang harus
terpenuhi untuk mendiagnosis hambatan intelektual, yaitu: (1) defisit pada fungsi
intelektual; (2) defisit pada fungsi adaptif; dan (3) onset defisit tersebut terjadi
selama masa kanak-kanak. AAIDD menyebutkan usia 22 tahun sebagai batas usia
maksimal terjadinya keterbatasan pada fungsi intelektual dan perilaku adaptif
tersebut.
Salah satu cara yang digunakan untuk mengukur fungsi intelektual adalah tes
IQ standar dan dilakukan secara individual. Hasil tes IQ dengan skor 70 atau tidak
lebih 75 sudah menunjukkan adanya keterbatasan pada fungsi intelektual
(Schalock et al., 2010). Saat ini hasil tes IQ walaupun secara umum dinilai akurat
namun tidak bisa memberikan hasil yang sempurna karena hanya menunjukkan
salah satu kemampuan fungsi saja (Hallahan et al., 2012). Oleh karena itu,
perilaku adaptif dipertimbangkan untuk menjadi indikator lain karena terkadang
ditemukan anak dengan hasil tes IQ yang sangat rendah tetapi masih memiliki
kemampuan pada level di atasnya. Ciri-ciri yang dapat digunakan untuk mengenali
anak tunagrahita (hambatan intelektual) adalah sebagai berikut:
1) Penampilan fisik tidak seimbang, misalnya kepala terlalu kecil/besar.
2) Tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai usia.
3) Perkembangan bicara/bahasa terlambat.
4) Perhatiannya terhadap lingkungan tidak ada/kurang sekali.
5) Sulit menyesuaikan diri dan berinteraksi sosial dengan lingkungan
sekitar.
6) Koordinasi gerakan kurang (gerakan sering tidak terkendali).
7) Sering keluar ludah (cairan) dari mulut (ngiler).
8) Secara akademik masih mampu membaca, menulis, dan berhitung
sederhana tetapi tidak naik kelas dua kali terturut-turut.
9) Tidak mampu berpikir secara abstrak.
Lamban belajar (slow learner) adalah anak yang memiliki potensi intelektual
sedikit di bawah normal tetapi belum termasuk tunagrahita. Dalam beberapa hal
mengalami hambatan atau keterlambatan berpikir, merespon rangsangan dan
adaptasi sosial, tetapi masih jauh lebih baik dibanding dengan yang tunagrahita,
lebih lamban dibanding dengan yang normal, mereka butuh waktu yang lebih lama

5
dan berulang-ulang untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas akademik maupun
non akademik.
Pendidikan bagi anak dengan hambatan intelektual seharusnya bertujuan
untuk mengembangkan potensi yang dimiliki secara optimal agar anak dapat hidup
mandiri dan menyesuaikan diri dengan lingkungan. Karakteristik perbedaan
mendasar pada proses belajar anak dengan hambatan intelektual adalah pada
tingkat kemahiran dalam memecahkan masalah, melakukan generalisasi dan
mentransfer sesuatu yang baru, serta minat dan perhatian terhadap penyelesaian
tugas.
3. Anak dengan hambatan fisik (tunadaksa)
Tunadaksa adalah anak yang mengalami kelainan atau cacat yang menetap
pada alat gerak (tulang, sendi, otot) sedemikian rupa sehingga memerlukan
pelayanan khusus. Tunadaksa mengalami gangguan fungsi gerak yang bisa
diakibatkan oleh amputasi, lumpuh layuh atau kaku, paraplegi, cerebral palsy
(CP), stroke, kusta, dan orang kecil. Peserta didik yang memiliki kelainan atau
cacat yang menetap pada alat gerak (tulang, otot dan sendi) dan syaraf pusat
membutuhkan penyesuaian layanan pendidikan. Ciri-ciri anak tunadaksa dapat
diidentifikasi melalui gejala sebagai berikut.
1) Anggota gerak tubuh kaku/lemah/lumpuh.
2) Mengalami kesulitan dalam gerakan (tidak sempurna atau tidak
lentur/tidak terkendali).
3) Terdapat bagian anggota gerak yang tidak lengkap/tidak
sempurna/lebih kecil dari biasa.
4) Terdapat cacat pada alat gerak.
5) Jari tangan kaku dan tidak dapat menggenggam.
6) Mengalami kesulitan pada saat berdiri/berjalan/duduk, dan menunjukkan
sikap tubuh tidak normal.
7) Hiperaktif/tidak dapat tenang.
Tujuan utama pembelajaran pada anak dengan hambatan fisik adalah
mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan sebagai pribadi maupun
anggota masyarakat serta mampu mengembangkan kemampuan dalam dunia
kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan. Terdapat tujuh aspek minimal yang perlu
dikembangkan, yaitu:
1) Pengembangan intelektual dan akademik
2) Membantu perkembangan fisik

6
3) Meningkatkan perkembangan emosi dan penerimaan diri anak
4) Mematangkan aspek sosial
5) Mematangkan moral dan spiritual
6) Meningkatkan ekspresi diri
7) Mempersiapkan masa depan anak
Pada pembelajaran juga perlu diperhatikan prinsip multisensory dan
individualiasi serta penanganan lingkungan belajar. Pada bangunan gedung perlu
diperhatikan kemudahan untuk akses keluar masuk, kemudahan bergerak dalam
ruangan, dan kemudahan mengadakan penyesuaian.

4. Anak dengan hambatan lainnya


a. Anak dengan gangguan perilaku dan emosi
Anak dengan gangguan perilaku dan emosi mengalami kesulitan dalam
penyesuaian diri dan bertingkah laku tidak sesuai dengan norma-norma yang
berlaku dalam lingkungan kelompok usia maupun masyarakat pada umumnya,
sehingga merugikan dirinya maupun orang lain. Kelainan tingkah laku
ditetapkan bila mengandung unsur:
1) Tingkah laku anak menyimpang dari standar yang diterima umum.
2) Derajat penyimpangan tingkah laku dari standar umum sudah ekstrim.
3) Lamanya waktu pola tingkah laku itu dilakukan.
Secara umum anak hambatan perilaku dan emosi memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
1) Cenderung membangkang
2) Mudah terangsang emosinya
3) Sering melakukan tindakan agresif, merusak, dan mengganggu
4) Sering bertindak melanggar normal sosial/norma susila/norma hukum
5) Cenderung prestasi belajar dan motivasi rendah
Pada kelompok ini juga terdapat anak dengan ADHD/GPPH (Gangguan
Pemusatan Perhatian dan Hiperaktif). ADHD adalah sebuah gangguan yang
muncul pada anak dan dapat berlanjut hingga dewasa dengan gejala meliputi
gangguan pemusatan perhatian dan kesulitan untuk fokus, kesulitan
mengontrol perilaku, dan hiperaktif (overaktif). Gejala tersebut harus tampak
sebelum usia 7 tahun dan bertahan minimal selama 6 bulan.
Kebutuhan pembelajaran bagi anak dengan hambatan emosi dan perilaku
yang perlu diperhatikan oleh guru antara lain:

7
1) Mengetahui strategi pencegahan dan intervensi bagi individu yang
berisiko mengalami gangguan emosi dan perilaku.
2) Menggunakan variasi teknik yang fleksibel untuk mengontrol
perilaku target.
3) Menjaga rutinitas pembelajaran dengan konsisten dan terampil
dalam memecahkan masalah dan megatasi konflik.
4) Merencanakan dan mengimplementasikan reinforcement decara
individual dan modifikasi lingkungan dengan level yang sesuai
dengan tingkat perilaku.
5) Mengintegrasikan proses belajar, pendidikan afektif, dan
manajemen perilaku baik secara individual maupun kelompok.
b. Autisme
Autisme adalah gangguan perkembangan yang kompleks, meliputi
gangguan komunikasi, interaksi sosial, dan aktivitas imaginatif, yang mulai
tampak sebelum anak berusia tiga tahun, bahkan anak yang termasuk autisme
infantil gejalanya sudah muncul sejak lahir. Beberapa pola perilaku khas yang
ditunjukkan oleh anak dengan autisme antara lain:
1) marah, menangis, atau tertawa tanpa alasan yang jelas,
2) hanya menyukai atau mengonsumsi makanan tertentu,
3) melakukan tindakan atau gerakan tertentu dilakukan secara berulang,
seperti mengayun tangan atau memutar-mutarkan badan
4) hanya menyukai objek atau topik tertentu,
5) melakukan aktivitas yang membahayakan dirinya sendiri, seperti
menggigit tangan dengan kencang atau membenturkan kepala ke
dinding,
6) memiliki bahasa atau gerakan tubuh yang cenderung kaku, dan
7) sulit tidur.
Peserta didik dengan autisme juga memiliki masalah
komunikasi, seperti sulit bicara, menulis, membaca, dan memahami bahasa
isyarat, seperti menunjuk dan melambai. Mereka juga sering mengucapkan
satu kata secara berulang atau yang beberapa waktu lalu didengarnya,
mengucapkan sesuatu dengan nada tertentu atau seperti sedang
bersenandung, atau sering tantrum. Peserta didik dengan autisme juga memiliki
kesulitan bersosialisasi karena mereka sering terlihat asyik dengan dunianya
sendiri sehingga kurang responsif atau sensitif terhadap perasaannya sendiri

8
atau pun orang lain. Oleh karena itu, anak autis biasanya tidak mudah
berteman, bermain dan berbagi mainan dengan teman, atau fokus
terhadap suatu objek atau mata pelajaran di sekolah.
Kebutuhan pembelajaran bagi anak autis antara lain sebagai berikut:
1) Diperlukan adanya pengembangan strategi belajar dalam seting
kelompok.
2) Perlu menggunakan beberapa teknik untuk menghilangkan perilaku
stereotip yang muncul dan mengganggu proses pembelajaran.
3) Guru perlu mengembangkan ekspresi verbal dengan berbagai
bantuan.
4) Guru terampil mengubah lingkungan belajar yang nyaman dan
menyenangkan untuk anak.
c. Anak cerdas istimewa berbakat istimewa
Anak berbakat adalah anak yang memiliki potensi kecerdasan (inteligensi),
kreativitas, dan tanggungjawab terhadap tugas (task commitment) di atas anak-
anak seusianya (anak normal), sehingga untuk mewujudkan potensinya
menjadi prestasi nyata memerlukan pelayanan khusus.
Kebutuhan pembelajaran bagi anak cerdas istimewa berbakat istimewa
meliputi program pengayaan horisontal dan vertikal. Program pengayaan
horisontal meliputi:
1) Mengembangkan kemampuan eksplorasi
2) Mengembangkan pengayaan dalam arti memperdalam dan
memperluas hal-hal yang ada di luar kurikulum biasa
3) Eksekutif intensif dalam arti memberikan kesempatan untuk
mengikuti program intensif pada bisang terntentu sesuai peminatan.
Program pengayaan vertikal meliputi:
1) Acceleration, percepatan dalam mengikuti program sesuai dengan
kemampuannya
2) Independent study, memberikan kesempatan pada anak untuk
belajar seluas-luasnya sesuai bidang yang diminati
3) Mentorship, bimbingan dari ahli terhadap peminatan yang dipilih
oleh anak
d. Kesulitan belajar spesifik (disleksia, diskalkulia, disgrafia)
Anak yang berkesulitan belajar spesifik adalah anak yang secara nyata
mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik khusus , terutama dalam hal

9
kemampuan membaca, menulis dan berhitung atau matematika. Permasalahan
tersebut diduga disebabkan karena faktor disfungsi neurologis, bukan
disebabkan karena faktor inteligensi (inteligensinya normal bahkan ada yang di
atas normal). Anak berkesulitan belajar spesifik dapat berupa kesulitan belajar
membaca (disleksia), kesulitan belajar menulis (disgrafia), atau kesulitan belajar
berhitung (diskalkulia), sedangkan mata pelajaran lain mereka tidak mengalami
kesulitan yang berarti.
Prinsip pembelajaran yang diperlukan oleh anak berkesulitan belajar
spesifik adalah pelibatan seluruh indera dalam proses belajar. Salah satu teknik
yang dapat dikenalkan adalah teknik multisensori.
1) Visual, peserta didik belajar dengan cara melihat informasi yang
diberikan misalnya menggunakan kartu bergambar.
2) Auditori, peserta didik belajar dengan cara mendengarkan apa yang
diajarkan.
3) Taktil, peserta didik belajar melalui sentuhan.

Daftar Pustaka

American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental


Disorders (5th ed.). American Psychiatric Publishing.
Hallahan, D. P., Kauffman, J. M., & Pullen, P. C. (2012). Exceptional Learners: an
Introduction to Special Education (12th ed.). Pearson.
Hallahan, D. P., Pullen, P. C., Kauffman, J. M., & Badar, J. (2020). Exceptional
Learners. Oxford Research Encyclopedia of Education, April 2021.
https://doi.org/10.1093/acrefore/9780190264093.013.926
Schalock, R. L., Bradley, S. A. B.-D. V. J., Buntinx, W. H. E., Coulter, D. L., Craig, E.
M. (Pat), Gomez, S. C., Lachapelle, Y., Luckasson, R., Reeve, A., Shogren, K. A.,
Snell, M. E., Spreat, S., Tassé, M. J., Thompson, J. R., Wehmeyer, M. A. V.-A. M.
L., & Yeager, M. H. (2010). Intellectual Disability: Definition, Classification, and
Systems of Supports (11th ed.). American Association on Intellectual and
Developmental Disabilities.

10

You might also like