You are on page 1of 12

Konsep-konsep Dasar CT

Pada bagian konsep-konsep dasar CT ini dibahas mengenai definisi CT, apa
yang termasuk CT dan bukan CT (miskonsepsi CT), mengapa CT itu penting, empat
fondasi CT, pembentukan disposisi CT, dan apa yang perlu dilakukan untuk dapat
“mengajar” CT.

a. Definisi CT - Apa yang Termasuk CT dan Bukan CT

Bagi yang belum berpengalaman tentang CT, berikut hal-hal penting


mengenai kompleksitas persoalan yang memerlukan solusi dan tools (kakas) yang
sesuai. Mari menyimak sebuah contoh kasus. Pada contoh kasus ini, Anda akan
melihat tiga buah persoalan yang memiliki kompleksitas berbeda-beda.
Kompleksitas dibahas karena berdasarkan pengalaman banyak yang
mempertanyakan mengenai kompleksitas.
Ada tiga orang yaitu Ibu Ani, Pak Budi, dan Pak Cakrawala yang perlu
mengevaluasi hasil belajar siswa secara berkala berdasarkan data atau statistik
siswa di lembaga pendidikan tempat mereka bekerja.
1) Ibu Ani pemilik bimbingan belajar kecil yang kegiatan bimbingannya dilakukan di
luar jam sekolah. Bimbingan belajar tersebut hanya membuka satu kelas per
hari. Masing-masing kelas terdiri dari 1-5 orang siswa yang berada di tingkat
kelas yang sama.
2) Pak Budi adalah seorang kepala sekolah dari sekolah yang tidak terlalu besar.
Satu angkatan hanya terdiri dari satu kelas yang terdiri dari 20-30 orang siswa.
3) Pak Cakrawala adalah seorang kepala sekolah dari sekolah yang besar. Satu
angkatan di sekolah ini dapat terdiri dari 8-10 kelas. Masing-masing kelas terdiri
dari 30-40 orang siswa.
Untuk melakukan evaluasi terhadap hasil belajar siswa/i, mereka tentu
memerlukan data hasil belajar siswa/i-nya. Oleh karena itu, Ibu Ani, Pak Budi, dan
Pak Cakrawala melakukan pencatatan hasil belajar dari para siswanya. Dari
kebutuhan pencatatan hasil belajar tersebut, timbul pertanyaan “Bagaimana cara
mencatat dan mengolah data nilai siswa?” Banyak kelas dan banyaknya siswa per
kelas dari tempat belajar yang dipimpin Ibu Ani, Pak Budi, dan Pak Cakrawala
berbeda-beda sehingga cara pencatatan yang dilakukan oleh ketiga guru tersebut
pun berbeda-beda menyesuaikan kompleksitas persoalan yang mereka hadapi.
Mari kita lihat bagaimana cara pencatatan data yang dilakukan oleh ketiga
guru tersebut guna melakukan evaluasi hasil belajar siswanya.
1) Karena Ibu Ani hanya memiliki siswa sekitar 1-5 orang per harinya, maka Ibu
Ani memutuskan untuk mencatat nilai siswa/i di tempat bimbingan belajarnya
dalam bentuk tabel di sebuah buku.
2) Dengan jumlah siswa yang menjalani pendidikan di sekolah yang dipimpin Pak
Budi, Pak Budi menilai bahwa jika guru-guru kelas mencatat nilai siswa/i
dalam bentuk tabel di sebuah buku maka Pak Budi akan kesulitan untuk
mengelola nilai para siswa. Oleh karena itu Pak Budi perlu menggunakan
kakas lain yang memudahkan pengelolaan nilai. Pak Budi memutuskan
menggunakan spreadsheet yang dapat dipakai gratis untuk mencatat nilai dari
siswa/i.
3) Jumlah siswa menjalani pendidikan di sekolah yang dipimpin pak Cakrawala
jauh lebih banyak dari sekolah yang dipimpin pak Budi. Karena banyaknya
siswa/i yang dipimpin Pak Cakrawala, Pak Cakrawala memutuskan untuk
menggunakan aplikasi yang harus dibeli dalam pengelolaan nilai siswa/i.
Diasumsikan, belum terdapat aplikasi freeware untuk mengolah data sesuai
kebutuhan sekolah yang dipimpin Pak Cakrawala.
Pada contoh tersebut, Ibu Ani, Pak Budi, dan Pak Cakrawala memiliki tujuan yang
sama yaitu pencatatan nilai siswa/i untuk mengetahui perkembangan belajar
siswa/i mereka. Namun, kita perhatikan bahwa ada tiga jenis solusi yang mereka
terapkan. Diskusikan pertanyaan-pertanyaan berikut ini dengan rekan sekelas
Anda:
1) Menurut Anda, perlukah Ibu Ani membeli aplikasi seperti yang digunakan Pak
Cakrawala?
2) Menurut Anda, apakah sistem pencatatan yang digunakan Ibu Ani sekarang
dapat digunakan oleh Pak Cakrawala?
3) Menurut Anda, mengapa terdapat beberapa jenis solusi walaupun tujuan
yang ingin dicapai sama?
4) Menurut Anda, dari beberapa solusi yang mungkin, apa yang mendasari
pemilihan solusi tersebut?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dibahas pada bagian “Apa itu CT?”

Apa itu CT?


CT adalah proses berpikir dalam memformulasikan persoalan dan
berstrategi dalam menentukan/memilih solusi yang efektif, efisien, optimal untuk
dikerjakan oleh agen pemroses informasi (solusi) tersebut. Agen pemroses
informasi yang dimaksud adalah manusia atau komputer. Ada tiga hal utama yang
terdapat pada definisi CT tersebut, yaitu persoalan, solusi yang efektif, efisien, dan
optimal, serta agen pemroses informasi.
1) Persoalan
Seringkali terjadi kesalahpahaman tentang permasalahan dan persoalan.
Permasalahan adalah gejala-gejala yang tampak di permukaan, sedangkan
persoalan adalah penyebab atau akar permasalahan yang “paling potensial”
menyebabkan timbulnya gejala-gejala tadi.
Misalnya, ada seseorang yang punya masalah kesehatan, yaitu sakit
kepala. Sakit kepala itu adalah gejala yang timbul ke permukaan. Tetapi, akar
masalahnya bisa bermacam-macam, misalnya kurang tidur, sakit gigi, tumor otak,
atau lainnya. Akar masalah inilah yang disebut sebagai persoalan atau problem
yang perlu dicarikan solusinya. Solusi untuk sakit kepala karena kurang tidur tentu
berbeda dengan solusi sakit kepala karena sakit gigi atau tumor otak.
Penyelesaian persoalan atau problem solving ini berkaitan dengan banyak hal,
misalnya strategi dan resources/sumber daya yang tersedia.
Persoalan dapat berbeda-beda kompleksitasnya. Ada persoalan yang
sederhana dan mudah diselesaikan, ada juga persoalan yang kompleks.
Persoalan yang kompleks bisa terdiri dari beberapa subpersoalan.
Penyelesaiannya pun memerlukan beberapa strategi.
2) Solusi yang Efektif, Efisien, dan Optimal
Efektif, efisien, dan optimal adalah tiga istilah yang perlu diketahui
perbedaannya. Perbedaan dari ketiganya dijelaskan sebagai berikut:
● Efektif berhubungan dengan melakukan sesuatu yang memberikan efek
untuk persoalan yang dihadapi. Misalnya, diketahui sakit kepala yang
dirasakan ternyata karena sakit gigi. Solusi yang efektif adalah datang ke
dokter gigi, bukan sekedar tidur.
● Efisien berhubungan dengan strategi (cara) dan sumber daya
(resources/alat). Misalnya, seseorang ingin memasak dua porsi mie instan
kuah. Kalau ia memilih panci yang akan digunakan adalah panci yang
biasa digunakan untuk memasak 20 porsi mie instan, solusi tersebut
menjadi kurang efisien. Mie memang tetap dapat dimasak, tapi terjadi
pemborosan air dan gas.
● Optimal itu terkait dengan kondisi/constraint tertentu. Misalnya, untuk
menentukan makanan yang akan dipilih, terdapat empat variabel, yaitu
rasa (enak atau tidak enak), sehat, ukuran porsi, dan harga. Solusi yang
optimal untuk memilih makanan, bergantung pada subjek dari solusi
tersebut. Contoh: bagi orang yang punya masalah kesehatan, makanan
yang optimal bagi kondisinya adalah makanan yang sehat (misalnya
rendah gula bagi orang yang diabetes, rendah garam bagi orang yang
darah tinggi). Makanan yang sehat terkadang kurang enak dan mahal.
Sedangkan bagi anak muda yang sehat, makanan yang optimal adalah
makanan yang banyak porsinya dan mungkin murah.
Berdasarkan kisah Bu Ani, Pak Budi, dan Pak Cakrawala, kita dapat
melihat bahwa kompleksitas persoalan menentukan bagaimana solusi efektif,
efisien, dan optimal. Mencatat nilai siswa adalah solusi yang efektif bagi Bu
Ani, Pak Budi, dan Pak Cakrawala. Tetapi, bagaimana pencatatan nilai yang
efisien dan optimal untuk masing-masing kondisi? Pada kasus Ibu Ani, bisa
saja Ibu Ani membeli aplikasi yang juga dibeli oleh Pak Cakrawala. Namun hal
ini akan membuat Ibu Ani mengeluarkan biaya lebih untuk membeli aplikasi
yang sebetulnya tidak terlalu diperlukan.
Sebaliknya, sekolah yang dipimpin Pak Cakrawala memiliki jumlah
siswa yang banyak, sehingga kompleksitas pencatatan dan pengelolaan nilai
pun meningkat jika dibandingkan tempat kursus Bu Ani dan sekolah yang
dipimpin Pak Budi. Jika Pak Cakrawala menggunakan metode pencatatan
seperti Ibu Ani dan Pak Budi, proses evaluasi belajar tetap bisa dilakukan,
tetapi menjadi kurang efisien. Pencatatan di buku memang tidak memerlukan
biaya yang besar, namun untuk mengolah nilai siswa, tentu diperlukan durasi
waktu yang panjang karena dilakukan secara manual. Begitu pula dengan
pencatatan menggunakan spreadsheet. Karena ada banyak kelas, maka nilai
dalam satu angkatan akan terdiri dari banyak tabel sehingga menyulitkan
pengolahan data jika menggunakan spreadsheet. Oleh karena itu, Pak
Cakrawala memutuskan menggunakan aplikasi pengolah data berbayar untuk
menyelesaikan persoalannya.

3) Agen Pemroses Informasi


Pada definisi CT, dikatakan bahwa agen pemroses informasi bisa saja
manusia atau komputer. Untuk memperjelas definisi tersebut, kita lihat kembali
persoalan pencatatan nilai yang dilakukan Bu Ani, Pak Budi, dan Pak
Cakrawala. Pak Budi dan Pak Cakrawala menggunakan komputer dalam
melakukan pencatatan. Untuk dapat menggunakan komputer sebagai alat
bantu, Pak Budi dan Pak Cakrawala perlu dapat berinteraksi dengan
komputer.
Jika Bu Ani, Pak Budi, dan Pak Cakrawala ingin menghitung nilai rata-
rata salah satu ujian, Bu Ani dapat menghitung nilai rata-rata dengan cara
manual, yaitu menghitung dengan kotretan di kertas. Agar manusia dapat
berinteraksi dengan komputer, maka diperlukan cara berkomunikasi tertentu.
Sebagai contoh jika Pak Budi ingin menggunakan spreadsheet untuk
menghitung nilai rata-rata, maka Pak Budi perlu memberikan perintah kepada
komputer dengan format “=AVERAGE(sel awal: sel akhir)”. Jika Pak Budi
hanya mencatat nilai dan tidak memberikan perintah tersebut, maka komputer
hanya mencatat dan tidak menghitung rata-rata. Hal ini terjadi karena
komputer hanya bekerja berdasarkan perintah yang diberikan. Oleh karena itu,
agar komputer dapat membantu menyelesaikan persoalan manusia, kita perlu
memberikan rangkaian perintah kepada komputer.
Perintah yang diberikan Pak Budi ke komputer sebenarnya juga
dilakukan Ibu Ani tapi tanpa bantuan komputer. Begitu pula pada kasus Pak
Cakrawala, aplikasi yang digunakan Pak Cakrawala sebenarnya juga
menggunakan perintah yang sejenis dengan yang digunakan oleh Ibu Ani dan
Pak Budi. Namun, perintah tersebut diberikan oleh orang yang membuat
aplikasi (program komputer).
Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat bahwa langkah-langkah yang
mereka ambil untuk menyelesaikan persoalan sebenarnya sama namun
diterapkan pada perangkat yang berbeda-beda. Ibu Ani melakukan pencatatan
dan pengolahan data secara manual pada buku tulis, sementara dua orang
lainnya menggunakan perangkat komputer. Dari sini, dapat kita simpulkan
bahwa apa yang dilakukan oleh komputer sebenarnya adalah hal yang dapat
dilakukan oleh manusia.
Oleh karena itu, CT tidak terbatas pada proses untuk menghasilkan
cara penyelesaian yang dilakukan oleh komputer tapi juga dapat diterapkan
untuk menyelesaikan persoalan dalam kehidupan sehari-hari. CT berfokus
pada cara berpikir dalam menemukan cara penyelesaian persoalan (problem
solving) dalam kehidupan sehari-hari, baik dengan bantuan komputer maupun
tanpa bantuan komputer. Kita akan belajar bagaimana menyelesaikan
berbagai persoalan dengan cara yang efektif, efisien, dan optimal.

b. Apa Saja yang Termasuk CT dan Apa yang Bukan CT?

Beberapa pihak, memahami CT secara kurang tepat. Berikut adalah karakteristik


dari CT:
● CT berkaitan dengan konseptualisasi solusi, bukan pemrograman.
● CT adalah cara berpikir seperti cara berpikir computer scientist, bukan untuk
membuat manusia berpikir seperti komputer karena cara berpikir manusia jauh
lebih kompleks dari komputer yang diciptakan dan diprogram oleh manusia.
● CT dapat dimanfaatkan oleh semua orang dan untuk berbagai persoalan, bukan
hanya orang-orang yang pekerjaannya berkaitan erat dengan komputer, atau
persoalan-persoalan di bidang komputer saja.
● CT berkaitan dengan ide, tidak terbatas pada artefak. CT tidak selalu berkaitan
artefak perangkat lunak dan perangkat keras yang berperan pada kehidupan
manusia. CT berkaitan dengan konsep komputasi yang digunakan untuk
memecahkan persoalan, untuk mengelola kehidupan kita sehari-hari, dan untuk
berkomunikasi serta berinteraksi dengan orang lain.
● CT adalah keterampilan dasar, bukan hafalan. Hafalan berarti rutinitas mekanis.
Keterampilan dasar adalah sesuatu yang perlu dikuasai agar seseorang dapat
beradaptasi dalam masyarakat modern.

c. Mengapa CT Penting

Perkembangan dunia melalui Industri 4.0, VUCA, dan Society 5.0 berdampak
pada berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam bidang pendidikan. Salah
satunya adalah perubahan pada lingkungan pembelajaran yang berubah menjadi
lingkungan digital yang menggunakan Internet of Things (IoT), Artificial Intelligence
(AI), big data, dan lain-lain. Hal ini membuat informasi menjadi lebih mudah untuk
diperoleh oleh siswa. Proses pembelajaran menjadi lebih berpusat pada siswa,
karena guru tidak lagi menjadi sumber informasi utama. Peran guru adalah sebagai
fasilitator dalam proses belajar siswa.
Karena sudah menjadi pembelajaran yang berpusat pada siswa, maka
bentuk pembelajaran yang sifatnya hanya ceramah, di mana siswa hanya sekedar
menjadi pendengar, sudah tidak relevan. Bentuk pembelajaran yang cocok untuk
era ini adalah bentuk pembelajaran seperti problem-based atau project-based
learning. Karena CT adalah proses berpikir, maka CT akan sangat cocok untuk
diintegrasikan ke dua bentuk pembelajaran ini. Pada topik-topik berikutnya kita akan
mempelajari bagaimana CT cocok diintegrasikan dalam bentuk pembelajaran
problem-based dan project-based learning.
Dengan CT, Anda akan terbiasa berpikir sistematis dan menemukan solusi
yang efektif, efisien, dan optimal saat menghadapi persoalan sederhana maupun
kompleks. Kemampuan memecahkan persoalan adalah kemampuan yang sangat
dibutuhkan. Dalam kehidupan sehari-hari kita selalu berhadapan dengan persoalan
dan perlu memutuskan solusi yang akan diambil dari berbagai solusi yang mungkin
ada.
Sebagai contoh, Anda akan pergi bersama dengan beberapa orang teman
Anda. Untuk menentukan kemana Anda akan pergi, Anda perlu mengumpulkan
beberapa informasi seperti kegiatan apa yang bisa dilakukan di sana, siapa saja
yang ingin melakukan hal tersebut, berapa dana yang dimiliki oleh orang-orang yang
ikut pergi, berapa banyak waktu yang dimiliki, bagaimana cuaca yang mungkin di
hari tersebut, dan sebagainya. Dari informasi yang Anda kumpulkan, barulah dapat
ditentukan ke mana tujuan yang akan dipilih. Mengumpulkan informasi dan
kemudian memanfaatkan informasi tersebut untuk mendapatkan solusi yang paling
baik merupakan salah satu contoh kegiatan yang membutuhkan CT. Dari contoh
tersebut, Anda dapat melihat bahwa dalam kehidupan sehari-hari kita selalu
berhadapan dengan berbagai persoalan dan dapat menggunakan CT untuk
membantu penyelesaiannya.

d. Empat Fondasi CT

CT memiliki empat fondasi yang menjadi landasan pemecahan persoalan yaitu


dekomposisi (decomposition), algoritma (algorithm), pengenalan pola (pattern
recognition), dan abstraksi (abstraction).
● Dekomposisi: Dekomposisi adalah pembagian persoalan ke dalam beberapa
sub-persoalan yang lebih kecil.
● Pengenalan pola: Pengenalan pola adalah pengamatan atau analisis terhadap
berbagai kesamaan yang ada di antara persoalan-persoalan. Jika seseorang
telah berkali-kali menyelesaikan persoalan, diharapkan dapat menemukan pola
dari persoalan-persoalan sejenis dan juga pola dari solusi-solusi yang
dirancang/diimplementasikan.
● Abstraksi: Abstraksi adalah proses eliminasi bagian-bagian yang tidak relevan
dari suatu persoalan. Dengan abstraksi, dapat dibuat suatu blueprint
penyelesaian persoalan yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan-
persoalan sejenis.
● Algoritma: Algoritma adalah langkah-langkah terurut untuk menyelesaikan
suatu persoalan. Algoritma harus disusun dengan jelas, runtut, lengkap, efisien,
dan tidak menyalahi batasan-batasan dalam persoalan tersebut.
Dengan empat fondasi CT tersebut, kita dapat mengembangkan solusi-solusi
dari persoalan. CT juga dapat diintegrasikan dengan berbagai konsep berpikir
lainnya, misalnya design thinking, critical thinking, system thinking, dan lain-lain,
yang mungkin sebenarnya sudah pernah Anda praktikkan dalam kehidupan Anda.
International Society for Technology in Education (ISTE -
https://www.iste.org/) dan Computer Science Teachers Association (CSTA -
https://www.csteachers.org/) berkolaborasi dengan para pimpinan perguruan tinggi,
industri, dan disdakmen untuk mengembangkan definisi operasional dari CT. ISTE
dan CSTA melakukan survei dan berhasil mengumpulkan kurang lebih 700 respon
dari guru-guru, peneliti, dan praktisi. Hal ini menunjukkan dukungan yang luar biasa
untuk pembentukan definisi operasional CT. Berikut adalah definisi operasional yang
didapatkan:
CT adalah proses penyelesaian persoalan yang melibatkan (tapi tidak
terbatas pada) karakteristik berikut:
● Merumuskan persoalan dengan cara yang memungkinkan untuk penggunaan
komputer dan alat lain untuk membantu menyelesaikannya.
● Mengorganisasikan dan menganalisis data secara logis.
● Mengotomatiskan solusi melalui pemikiran algoritmik.
● Mengidentifikasi dan menerapkan solusi yang mungkin dengan tujuan mencapai
kombinasi langkah dan sumber daya (resources) yang paling efisien dan efektif.
● Menggeneralisasi dan mentransfer proses pemecahan persoalan ini ke berbagai
persoalan lain.
Berdasarkan definisi operasional tersebut, dapat dilihat bahwa CT tidak
terbatas pada abstraksi, algoritma, dekomposisi, dan pengenalan pola (AADP).
Telah banyak ahli yang mendefinisikan implementasi definisi operasional CT
sebagai konsep CT. Pada Topik CT dalam Problem Solving, CT dan Proyek,
Integrasi CT dalam Mata Pelajaran, diberikan contoh-contoh implementasi konsep
CT tersebut dalam topik yang dibahas.

e. Pembentukan Disposisi CT

“Disposisi pembelajaran” atau dapat juga disebut “kebiasaan berpikir”


mengacu pada cara di mana peserta didik terlibat dan berhubungan langsung dalam
proses belajar. Disposisi pembelajaran mempengaruhi pendekatan pembelajaran
peserta didik, dan oleh karena itu berpengaruh pula pada hasil belajar mereka.
Disposisi pembelajaran dapat memajukan keterampilan, keterlibatan, dan
pemahaman yang mendalam bagi peserta didik untuk hal yang sedang
dipelajarinya.
Pengembangan disposisi pembelajaran adalah hal yang sangat mendasar
bagi siswa untuk mengembangkan kesadaran tentang cara mereka belajar dan
membangun sikap belajar yang berguna bagi masa depan mereka.
Terdapat tiga hal yang diperlukan untuk membentuk disposisi, yang
digambarkan pada Gambar 1.1 (Project Zero, 2019).

Gambar 1.1: Elemen Pembentuk Disposisi Pembelajaran (Project Zero, 2019)


- Kemampuan. Untuk pembentukan disposisi, tentu diperlukan kemampuan yang
diperlukan pada bidang tertentu. Sebagai contoh, untuk membuat keputusan,
diperlukan kemampuan untuk mempertimbangkan pro dan kontra untuk setiap
pilihan yang ada.
- Motivasi. Untuk dapat memikirkan suatu hal dengan serius, tidak cukup
kemampuan saja, tapi diperlukan juga motivasi untuk menggunakan
kemampuan tersebut. Sebagai contoh, untuk membuat keputusan, diperlukan
motivasi untuk mau mempertimbangkan pro dan kontra untuk setiap pilihan
yang ada.
- Sensitivitas. Selain kemampuan dan motivasi, diperlukan juga sensitivitas akan
saat yang tepat untuk menggunakan kemampuan berpikir tersebut. Sebagai
contoh, untuk membuat keputusan, diperlukan kepekaan akan pentingnya
pertimbangan pro dan kontra dari setiap pilihan yang ada.
Secara singkat, disposisi dapat diartikan sebagai kesiagaan seseorang untuk
mengaplikasikan sebuah konsep pada momen ketika konsep tersebut diperlukan.
Disposisi tidak serta merta terbentuk, melainkan dihasilkan dari proses
belajar selama bertahun-tahun. Demikian juga dengan pembentukan disposisi CT.
CT perlu terus dilatih melalui pendekatan mengutak-atik (tinkering), berlatih
menciptakan sesuatu (creating), berusaha mencari akar masalah dan memperbaiki
kesalahan tersebut (debugging), bekerja sama (collaborating), dan memiliki sikap
pantang menyerah (persevering) (Barefoot Computing, 2020).
Melalui mata kuliah ini, Anda akan berlatih untuk mendisposisikan CT dalam
aspek-aspek kehidupan Anda. Selain itu, mata kuliah ini dirancang agar Anda
dapat berlatih mengintegrasikan CT dalam berbagai proyek agar Anda
mendapatkan pengalaman aktual dalam CT. Melalui pengalaman dan refleksi,
diharapkan Anda dapat mendisposisikan CT dalam berbagai bidang kehidupan
Anda, termasuk di antaranya adalah dalam mata pelajaran yang Anda ajarkan
kepada siswa/i Anda.

f. Apa yang Perlu Dilakukan untuk Dapat “Mengajar” CT atau Mengintegrasikan CT


dalam Mata Pelajaran?

Sebagai literasi, CT tidak dapat diajarkan hanya dengan pemaparan


konsep, melainkan perlu dilatih seperti halnya membaca/menulis/berhitung, critical
thinking, atau general capabilities/literasi lainnya.
Untuk dapat melatih CT sebagai “literasi” dan diintegrasikan ke berbagai
mata pelajaran seperti kemampuan literasi lainnya, beberapa latihan yang pada
umumnya digunakan adalah sebagai berikut, namun tidak terbatas kepada yang
disebutkan di sini. Beberapa bidang lain mungkin membutuhkan metoda khusus.
1. Menyelesaikan tantangan Bebras (Bebras, 2003).
2. Menggunakan permainan atau aktivitas fisik.
3. Melakukan analisis data.
4. Menggunakan modeling dan simulasi.
5. Menggunakan persoalan dalam kehidupan sehari-hari.
Seperti cara kita untuk berlatih CT, mengajarkan CT kepada siswa juga
harus dilakukan dengan membiasakan siswa dengan CT. Bagi siswa SD, CT
diinfus/diintegrasikan ke mata pelajaran. Pada Kurikulum Merdeka, CT terdapat
pada mata pelajaran Informatika untuk jenjang SMP dan SMA. Tetapi hanya
mengenal CT melalui mata pelajaran Informatika saat SMP dan SMA tidaklah
cukup. Siswa juga perlu dibiasakan untuk terus menggunakan CT pada mata
pelajaran lain dan pada kehidupan nyata seperti yang sudah dijelaskan pada
bagian disposisi CT.
CT “diajarkan” di kelas dengan cara ditularkan melalui cara berpikir guru
saat menyelesaikan sebuah persoalan. Oleh karena itu, sebelum mengajarkan CT
kepada siswa penting untuk guru memahami dan terbiasa menggunakan CT.
Dengan demikian, guru dapat mengimplementasikan CT di dalam mata
pelajarannya dan membiasakan siswa untuk menggunakan CT dalam kehidupan
sehari-hari mereka.

You might also like