Professional Documents
Culture Documents
Magfirah Tuzzahrah DM Tipe 2 Print
Magfirah Tuzzahrah DM Tipe 2 Print
DISUSUN OLEH :
Magfirah Tuzzahrah
4522112023
NIM : 4522112025
Makassar,
i
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN i
DAFTAR ISI ii
A Identitas Pasien 1
A Definisi 8
B Epidemiologi 8
C Faktor Resiko 9
D Patofisiologi 10
E Derajat 12
F Kriteria Diagnosis 13
G Tatalaksana 17
DAFTAR PUSTAKA 21
ii
BAB I
DESKRIPSI KASUS
A. Identitas Pasien
- Nama : Ny. R
- Tanggal Lahir : 09 Mei 1977
- Jenis Kelamin : Perempuan
- Status : Sudah Menikah
- Usia : 46 tahun
- Agama : Islam
- Alamat : Jl. Cendrawasih No.70
- Pekerjaan : PNS
- Riwayat Pendidikan : S1
- No. RM : 053727
- Tanggal Masuk : 22 Mei 2023
- Diagnosis Masuk : DM Tipe 2 + Dyspnea
- R. Perawatan : Baji Nyawa
iii
tidak pernah melakukan pemeriksaan hingga akhirnya pasien
merasa lemas dan sesak napas.
2. Pemeriksaan Fisik
- Keadaan umum dan Kesadaran
Pasien datang dengan keadaan umum sakit sedang dengan
kesadaran Komposmentis (GCS = E4M5V5).
- Tanda-tanda Vital :
Pada hasil pemeriksaan tanda–tanda vital pasien didapatkan
tekanan darah 176/88 mmHg, frekuensi nadi 96 kali/menit,
frekuensi pernapasan 22 kali/menit, suhu 36,5ºC dan saturasi
oksigen pasien ialah 99%.
- Status Generalis
Kepala : Normocephal, rambut hitam dan tidak ada uban,
sukar dicabut.
Muka : Simetris, nyeri tekan (-)
Mata : Anemis (+),icterus (-), mata cekung (-)
iv
Telinga : Otore (-)
Hidung : Rinore (-)
Bibir : Pucat (+), sianosis (-)
Mulut : Stomatitis(+), hiperemis (-), tonsil T1/T1 tampak
kering
Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)
Thoraks : Normochest
NPRS : 5 (Nyeri sedang)
JANTUNG
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak .
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, thrill (-)
Perkusi : batas kanan jantung parasternal line dextra batas kiri
jantung midclavicula line sinistra
Auskultasi: BJ I/II murni regular, murmur (-), gallop (-)
PARU
Inspeksi : Rongga dada simetris, retraksi dada (-)
Palpasi : Vocal fremitus (+) kesan normal
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : BP Vesikuler, rh (-/-), wh (-/-)
Abdomen
Inspeksi : Edema (-), distensi (-), asites (-)
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
Palpasi : Nyeri tekan (+), Organomegali (-)
Perkusi : Timpani
Kel. Limfa : Pembesaran (-)
Alat Kelamin : Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2s, edema (-)
Kol. Vertebralis : Tidak ada kelainan
Kulit : Ikterik (-), sianosis (-)
Refleks Fisiologis : Tidak dilakukan pemeriksaan
v
Refleks Patologis : Tidak ada
3. Pemeriksaan Penunjang
(a) Hematologi Darah Lengkap
Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Darah Rutin (26/11/2022)
Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan
vi
Tabel 6. Pemeriksaan gula darah sewaktu
SGOT 27 <38
SGPT 11 7-32
Ureum 58 < 50
Kesan : Normochest
vii
4. Diagnosis
(a) Diagnosis Kerja : DM Tipe II, Dyspnea
5. Terapi
(a) Tindakan Pertama (Instalasi Gawat Darurat) :
- IVFD RL 20 tpm
- Ranitidine 1amp/12jam/iv
- Pasang Oksigen (O2) sesuai kebutuhan
- Posisikan semi fowler
- Monitor Pola Nafas
6. Follow Up
Tabel 9. Hasil Follow Up Ny. R
Tanggal Perjalanan Penyakit Instruksi Dokter
viii
GDS: 221mg/dL
Kepala: Anemis (-), ikterik (-),
Toraks: Rh (-/-), Wh(-/-)
Abdomen: NUH (-)
Ekstremitas: akral hangat
A/ Diabetes Melitus Tipe II,
Dyspnea
Hipertensi
O/ Novorapid 6-6-6
- KU : Sakit Sedang Alprazolam 0,5mg 0-0-1
- Kesadaran : compos Mecobalamin 500mg 2x1
mentis
- TD : 125/76 mmHg
- N : 77x/i
- P : 22x/i
- S : 36,5’C
- SpO2 : 98%
- GDS: 242mg/dL
ix
Abdomen: NUH (-)
Ekstremitas: akral hangat
A/
Diabetes Melitus Tipe II,
Dyspnea
Hipertensi
TINJAUAN PUSTAKA
xi
menanggapinya, menyebabkan tinggi kadar glukosa darah
(hiperglikemia), yang merupakan indikator klinis diabetes. (IDF, 2019)
Diabetes mellitus adalah penyakit yang ditandai dengan adanya
hiperglikemia yang disebabkan oleh ketidak mampuan dari organ
pancreas untuk memproduksi insulin atau kurangnya sensitivitas insulin
pada sel target tersebut. Abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak
dan protein ditemukan pada penderita penyakit diabetes mellitus terjadi
dikarenakan kurangnya aktivitas insulin pada sel target. Paling umum
adalah diabetes tipe 2, biasanya terjadi pada orang dewasa. (Antari, 2017)
Diabetes tipe 2 adalah kondisi di mana kadar gula dalam darah
melebihi nilai normal. Tingginya kadar gula darah disebabkan tubuh tidak
menggunakan hormon insulin secara normal. Hormon insulin itu sendiri
adalah hormon yang membantu gula (glukosa) masuk ke dalam sel tubuh
untuk diubah menjadi energi. (WHO. 2020)
American Diabetes Association (ADA) dalam Standards of Medical
Care in Diabetes (2020) memberikan klasifikasi diabetes melitus menjadi
4 tipe yang disajikan dalam : (ADA. 2020)
1) Diabetes melitus tipe 1, yaitu diabetes melitus yang dikarenakan
oleh adanya destruksi sel β pankreas yang secara absolut
menyebabkan defisiensi insulin.
2) Diabetes melitus tipe 2, yaitu diabetes yang dikarenakan oleh
adanya kelainan sekresi insulin yang progresif dan adanya resistensi
insulin.
3) Diabetes melitus tipe lain, yaitu diabetes yang disebabkan oleh
beberapa faktor lain seperti kelainan genetik pada fungsi sel β
pankreas, kelainan genetik pada aktivitas insulin, penyakit eksokrin
pankreas (cystic fibrosis), dan akibat penggunaan obat atau bahan
kimia lainnya (terapi pada penderita AIDS dan terapi setelah
transplantasi organ).
4) Diabetes melitus gestasional, yaitu tipe diabetes yang terdiagnosa
atau dialami selama masa kehamilan.
xii
1.1 Epidemiologi
Sembilan puluh persen dari kasus diabetes adalah DMT2 dengan
karakteristik gangguan sensitivitas insulin dan/atau gangguan sekresi
insulin. DMT2 secara klinis muncul ketika tubuh tidak mampu lagi
memproduksi cukup insulin unuk mengkompensasi peningkatan insulin
resisten. DMT2 menjadi masalah kesehatan dunia karena prevalensi
daninsiden penyakit ini terus meningkat, baik di negara industri
maupunnegara berkembang, termasuk juga Indonesia. DMT2 merupakan
suatu epidemi yang berkembang, mengakibatkan penderitaan individu dan
kerugian ekonomi yang luar biasa. (Decroli. 2019)
World Health Organization (WHO) memprediksi kenaikan jumlah
penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi
sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. International Diabetes Federation (IDF)
memprediksi adanya kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari
9,1 juta pada tahun 2014 menjadi 14,1 juta pada tahun 2035. Berdasarkan
data dari IDF 2014, Indonesia menempati peringkat ke-5 di dunia, atau
naik dua peringkat dibandingkan dengan tahun 2013 dengan 7,6 juta
orang penyandang DM. Penelitian epidemiologi yang dilakukan hingga
tahun 2005 menyatakan bahwa prevalensi diabetes melitus di Jakarta
pada tahun 1982 sebesar 1,6%, tahun 1992 sebesar 5,7%, dan tahun
2005 sebesar 12,8%. Pada tahun 2005 di Padang didapatkan prevalensi
DMT2 sebesar 5,12%. (Decroli. 2019)
Hasil Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa prevalensi diabetes
melitus di Indonesia berdasarkan diagnosis dokter pada umur ≥15 tahun
sebesar 2%. Angka ini menunjukkan peningkatan dibandingkan prevalensi
diabetes melitus pada penduduk > 15 tahun pada hasil Riskesdas 2013
sebeser 1,5%. Namun prevalensi diabetes melitus menurut hasil
pemeriksaan gula darah meningkat dari 6,9% pada 2013 menjadi 8,5%
pada tahun 2018. Angka ini menunjukkan bahwa baru sekitar 25%
penderita diabetes yang mengetahui bahwa dirinya menderita diabetes.
(Kemenkes. 2020)
xiii
Hampir semua provinsi menunjukkan peningkatan prevalensi pada
tahun 2013-2018, kecuali provinsi Nusa Tenggara Timur. Terdapat empat
provinsi dengan prevalensi tertinggi pada tahun 2013 dan 2018, yaitu Dl
Yogyakarta, OKI Jakarta, Sulawesi Utara, dan Kalimantan Timur.
Terdapat beberapa provinsi dengan peningkatan prevalensi tertinggi
sebesar yaitu Riau, OKI Jakarta, Banten, Gorontalo, dan Papua Barat.
(Kemenkes. 2020)
Gambaran prevalensi Diabetes menurut provinsi pada tahun 2018
juga menunjukkan bahwa provinsi Nusa Tenggara Timur memilki
prevalensi terendah sebesar diikuti oleh Maluku dan Papua sebesar
Gambaran di bawah ini merupakan prevalensi berdasarkan diagnosis
dokter yang sangat ditentukan oleh keteraturan dan kepatuhan pencatatan
rekam medis. (Kemenkes. 2020)
xiv
1.2 Patogenesis & Faktor Risiko
Diabetes mellitus adalah suatu penyakit dimana kadar glukosa di
dalam darah tinggi karena tubuh tidak dapat melepaskan atau
menggunakan insulin secara cukup sehingga mengakibatkan terjadinya
penumpukan gula dalam darah yang menyebabkan terjadinya
hiperglikemia. Glukosa secara normal bersirkulasi dalam jumlah tertentu
dalam darah.Glukosa dalam tubuh dibentuk di dalam hati dari makanan
yang dikonsumsi ke dalam tubuh. Insulin merupakan hormon yang
diproduksi oleh pankreas yang berfungsi untuk memfasilitasi atau
mengendalikan kadar glukosa dalam darah dengan mengatur produksi
dan penyimpanannya. Defisiensi insulin ini menyebabkan penggunaan
glukosa dalam tubuh menurun yang akan menyebabkan kadar glukosa
darah dalam plasma tinggi atau hiperglikemi. Keadaan hiperglikemi ini
akan menyebabkan terjadinya glukosuria dikarenakan glukosa gagal
diserap oleh ginjal ke dalam sirkulasi darah dimana keadaan ini akan
menyebabkan gejala umum diabetes mellitus yaitu polyuria, polydipsia,
dan polyphagia. (Antari, 2017)
xv
Otot dan hati yang mengalami resistensi insulin menjadi penyebab
utama DM tipe 2. Kegagalan sel beta pankreas untuk dapat bekerja
secara optimal juga menjadi penyebab dari DM tipe 2 (Putra. 2018)
DM tipe 2 adalah jenis DM yang paling umum diderita oleh penduduk
di Indonesia. Kombinasi faktor risiko, resistensi insulin dan sel-sel tidak
menggunakan insulin secara efektif menyebabkan DM tipe 2. Resistensi
insulin pada otot dan hati serta kegagalan sel beta pankreas telah dikenal
sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe 2. Kegagalan sel beta
pada DM tipe 2 diketahui terjadi lebih dini dan lebih berat daripada
sebelumnya. Otot, hati, sel beta dan organ lain seperti jaringan lemak
(meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel alpha
pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan
otak (resistensi insulin) ikut berperan dalam menimbulkan terjadinya
gangguan toleransi glukosa pada DM tipe 2 (Perkeni, 2015).
DM tipe 2 pada tahap awal perkembangannya tidak disebabkan oleh
gangguan sekresi insulin dan jumlah insulin dalam tubuh mencukupi
kebutuhan (normal), tetapi disebabkan oleh sel-sel sasaran insulin gagal
atau tidak mampu merespon insulin secara normal.(IDF,2020)
xviii
mengantuk, pandangan mulai kabur, gigi mudah goyah dan mudah lepas,
kemampuan seksual menurun bahkan pada pria bisa terjadi impotensi,
pada ibu hamil sering terjadi keguguran atau kematian janin dalam
kandungan atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4kg. (Fatimah. 2015)
xix
dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda
sesuai pembakuan oleh WHO. Untuk tujuan pemantauan hasil
pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa
darah kapiler. (ADA. 2020)
Evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama: (Antari. 2017,
ADA. 2020)
1. Riwayat Penyakit
a. Gejala yang dialami oleh pasien.
b. Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa
darah.
c. Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner,
obesitas, dan
d. riwayat penyakit keluarga (termasuk penyakit DM dan endokrin
lain).
e. Riwayat penyakit dan pengobatan.
f. Pola hidup, budaya, psikososial, pendidikan, dan status ekonomi.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pengukuran tinggi dan berat badan.
b. Pengukuran tekanan darah, nadi, rongga mulut, kelenjar tiroid, paru
dan jantung
c. Pemeriksaan kaki secara komprehensif
3. Evaluasi Laboratorium
a. HbA1c diperiksa paling sedikit 2 kali dalam 1 tahun pada pasien
yang mencapai sasaran terapi dan yang memiliki kendali glikemik
stabil. dan 4 kali dalam 1 tahun pada pasien dengan perubahan
terapi atau yang tidak mencapai sasaran terapi.
b. Glukosa darah puasa dan 2 jam setelah makan.
Diagnosis klinis Diabetes Melitus (DM) umumnya akan dipikirkan bila
ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah,
xx
kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta
pruritus vulvae pada pasien wanita. Apabila ditemukan gejala khas
DM, pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali saja sudah cukup
untuk menegakkan diagnosis, namun apabila tidak ditemukan gejala
khas DM, maka diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah
abnormal. Diagnosis DM juga dapat ditegakkan melalui cara pada
tabel. (Decroli. 2019)
American Diabetes Association (ADA) dimasukkannya HbA1c
sebagai bagian dari kriteria diagnostik diabetes dan pradiabetes.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendukung penggunaan HbA1c>
6,5% untuk diabetes diagnosis tetapi tidak untuk hiperglikemia
menengah, dengan alasan HbA1c yang terjamin kualitas
pengukurannya tidak tersedia dalam skala global. (ADA. 2020)
Saat ini, WHO dan IDF merekomendasikan oral dua jam tes
toleransi glukosa (OGTT) untuk deteksi dari IGT dan IFG. Namun, ada
bukti yang terkumpul untuk penggunaan OGTT satu jam sebagai
metode yang lebih sensitif yang mampu mengidentifikasi hiperglikemia
menengah pada titik waktu sebelumnya. (IDF. 2019)
Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan
klasik DM seperti di bawah ini: (Decroli. 2019, )
a. Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
b. Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata
kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada
wanita.
1. Gejala klasik DM + Glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl (11,1
mmol/L)
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada
suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir
2. Atau, gejala klasik DM + Glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl (7,0
mmol/L)
xxi
Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8
jam
3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/L)
TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban
glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang
dilarutkan ke dalam air.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara: (Decroli, 2019)
1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma
sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM
2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL dengan adanya
keluhan klasik.
3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g
glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa
plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri.
TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat
jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.
xxii
Catatan: Saat ini tidak semua laboratorium di Indonesia memenuhi
Standard NGSP, sehingga harus hati-hati dalam membuat interpretasi
Terhadaphasil pemeriksaan HbA1c. Pada kondisi tertentu seperti:
anemia, hemoglobinopati, riwayat transfusi darah 2-3 bulan terakhir,
kondisi-kondisiyang mempengaruhi umur eritrosit dan gangguan fungsi
ginjal maka HbA1c tidak dapat dipakai sebagai alat diagnosis maupun
evaluasi.(Putra. 2018)
Apa bila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM,
bergantung pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam
kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa
terganggu (GDPT). (Putra. 2018)
Keterangan:
1. TGT : Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO
didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 –199 mg/dL
(7,8-11,0 mmol/L).
xxiii
BAB II
PENATALAKSANAAN
xxvi
b. tujuan mencapai glikemik individual, tekanan darah, dan lipid
c. menunda atau mencegah komplikasi diabetes
2. Untuk memenuhi kebutuhan nutrisi individu berdasarkan preferensi
pribadi dan budaya, literasi dan numerasi kesehatan, akses ke
makanan sehat, kemauan dan kemampuan untuk membuat
perubahan perilaku, dan yang ada barrierstochange
3. Untuk menjaga kenikmatan makan dengan cara memberikan pesan
tidak menghakimi tentang pilihan makanan sambil membatasi
pilihan makanan hanya jika ditunjukkan dengan bukti ilmiah
4. Untuk memberikan individu dengan diabetes cara praktis untuk
mengembangkan pola makan yang sehat daripada berfokus pada
makronutrien individu, mikronutrien, atau makanan tunggal.(IDF.
2019)
Salah satu kunci keberhasilan pengaturan makanan ialah asupan
makanan dan pola makan yang sama sebelum maupun sesudah
diagnosis,serta makanan yang tidak berbeda dengan teman sebaya atau
denganmakanan keluarga.Jumlah kalori yang dibutuhkan oleh tubuh
disesuaikan dengan faktor-faktor jenis kelamin, umur, aktivitas fisik, stress
metabolic, dan berat badan. Untuk penentuan status gizi, dipakai
penghitungan Indeks Massa Tubuh (IMT). Rumus yang dipakai dalam
penghitungan adalah IMT = BB(kg)/TB(m2).(PERKENI, 2015)
2.3 Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari – hari dan latihan jasmani dilakukan teratur
sebanyak 3 - 4 kali seminggu selama kurang lebih 30 - 45 menit, dengan
total kurang lebih 150 menit perminggu. Latihan jasmani dapat
menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitifitas terhadap insulin,
sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang
dimaksud ialahjalan, bersepeda santai, jogging, berenang.(PERKENI,
2015)
Aktivitas fisik adalah komponen utama dalam program penurunan dan
pemeliharaan berat badan. Reguler aktivitas fisik — baik latihan aerobik
xxvii
maupun latihan kekuatan — meningkatkan glukosa kontrol, tingkat lipid,
dan BP; menurun risiko jatuh dan patah tulang; dan meningkatkan
kapasitas fungsional dan perasaan sejahtera. (AACE. 2020)
xxix
1. Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa
hati (glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa
perifer. Metformin merupakan pilihan pertama pada sebagian
besar kasus DMT2.
2.Tiazolidindion (TZD) merupakan agonis dari Peroxisome
Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-γ), suatu reseptor
inti termasuk di sel otot, lemak, dan hati. Golongan ini
mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan jumlah
protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan
glukosa di perifer. Obat ini dikontraindikasikan pada pasien
dengan gagal jantung (NYHA FC IIIIV) karena dapat
memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati pada Gangguan
faal hati, dan bila diberikan perlu pemantauan faal hati secara
berkala. Obat yang masuk dalam golongan ini adalah
Pioglitazone.
3) Penghambat Absorpsi Glukosa: Penghambat Glukosidase Alfa.
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam
usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar
glukosa darah sesudah makan. Penghambat glukosidase alfa
tidak digunakan bila GFR =30ml/min/1,73 m, gangguan faal hati
yang berat, irritable bowel syndrome.
4) Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)
Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim
DPP-IV sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam
konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk
meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi glukagon
bergantung kadar glukosa darah (glucose dependent).
5) Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2)
Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat
antidiabetes oral jenis baru yang menghambat reabsorpsi
glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara menghambat
xxx
transporter glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk golongan ini
antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin,
Ipragliflozin.
xxxi
2) Agonis GLP-1/Incretin Mimetic
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan
pendekatan baru untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja
sebagai perangsang pengelepasan insulin yang tidak menimbulkan
hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada
pengobatan insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkanmungkin
menurunkan berat badan. Efek samping yang timbul pada pemberian obat
ini antara lain rasa sebah dan muntah. (IDF. 2019)
c. Terapi Kombinasi
Terapi dengan obat antihiperglikemia oral kombinasi baik secara
terpisah ataupun fixed dose combination dalam bentuk tablet tunggal,
harus menggunakan dua macam obat dengan mekanisme kerja yang
berbeda. Pada keadaan tertentu dapat terjadi sasaran kadar glukosa
darah yang belum tercapai, sehingga perlu diberikan kombinasi tiga obat
antihiperglikemia oral dari kelompok yang berbeda atau kombinasi obat
antihiperglikemia oral dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan
alasan klinis dimana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi
dengan kombinasi tiga obat antihiperglikemia oral dapat menjadi pilihan.
(IDF. 2019)
Kombinasi obat antihiperglikemia oral dan insulin yang banyak
dipergunakan adalah kombinasi obat antihiperglikemia oral dan insulin
basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang), yang diberikan
pada malam hari menjelang tidur. Pendekatan terapi tersebut pada
umumnya dapat mencapai kendali glukosa darah yang baik dengan dosis
insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-10
unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis
tersebut dengan menilaikadar glukosa darah puasa keesokan harinya.
Pada keadaaan dimana kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak
terkendali meskipun sudah mendapat insulin basal, maka perlu diberikan
xxxii
terapi kombinasi insulin basal dan prandial, serta pemberian obat
antihiperglikemia oral dihentikan. (PERKENI. 2015)
BAB III
KOMPLIKASI DAN PROGNOSA
3.1 Komplikasi
xxxiii
B. Komplikasi Jangka Panjang (Raghavan. 2016, Quan. 2016, Rowe.
2016)
Nefropati Diabetik
Retinopati Diabetik
xxxiv
C. Komplikasi Kerentanan Infeksi
Selain Komplikasi Akut dan Jangka panjang ada juga komplikasi
dengan penyakit infeksi. Secara umum, penyakit infeksi lebih sering atau
lebih parah terjadi pada pasien dengan DM, yang dengan signifikan
meningkatkan morbiditas dan mortalitas penyakit ini. Tingginya frekuensi
infeksi pada DM disebabkan oleh kondisi hiperglikemik yang
menyebabkan disfungsi imun (kerusakan fungsi neutrofil, penekanan
sistem antioksidan, dan gangguan fungsi imunitas humoral), mikro dan
makroangiopati, neuropati, penurunan fungsi antibakterial pada urin,
dismotilitas sistem gastrointestinal dan urinaria, dan banyaknya intervensi
medis pada pasien DM. Karena rentannya pasien dengan DM untuk
mengalami infeksi, American Diabetes Association (ADA)
merekomendasikan agar pasien DM mendapatkan imunisasi anti-
pneumokokus dan vaksin influenza. (Khardori. 2015, Bhavsar. 2015,
Hemphill.2016)
Gangguan metabolik ini memiliki beberapa faktor resiko yang sangat
kuat hubungannya dengan pola genetik, obesitas, dan gaya hidup.
Interfensi terhadap faktor resiko tersebut, terutama yang dapat diubah,
secara signifikan menurunkan morbiditas dan mortalitas dari penyakit ini.
Berbagai komplikasi dapat terjadi pada DM tipe 2, yaitu gangguan
metabolik akut, gangguan vaskular, neuropati, dan infeksi. Kondisi
hiperglikemia kronis, resistensi insulin, dan insufisiensi sekresi insulin
relatif adalah faktor yang menyebabkan perkembangan komplikasi.
(Fatimah Eliana. 2017)
3.2 Prognosa
Prognosis pada penderita diabetes tipe 2 bervariasi. Namun pada
pasien diatas prognosisnya dapat baik apabila pasien bisa memodifikasi
(meminimalkan) risiko timbulnya komplikasi dengan baik. Serangan
jantung , stroke, dan kerusakan saraf dapat terjadi. Beberapa orang
dengan diabetes mellitus tipe 2 menjadi tergantung pada hemodialisa
akibat kompilkasi gagal ginjal. (Rina Kriswiastiny. 2015)
xxxv
BAB IV
PENCEGAHAN
xxxvi
Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 2018,
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 100 tahun 2018, dan Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 4 tahun 2019 telah menetapkan bahwa upaya
pengendalian diabetes melitus, merupakan salah satu pelayanan minimal
yang wajib dilakukan oleh pemerintah daerah. Setiap penderita diabetes
melitus akan menerima pelayanan sesuai standar minimal satu kali
sebulan yang meliputi pengukuran kadar gula darah, edukasi, dan terapi
farmakologi sertarujukan jika diperlukan. Dengan adanya jaminan ini
diharapkan semua penderita diabetes melitus bisa terkontrol dan
menerima tatalaksana dengan baik guna menghindari komplikasi dan
kematian dini serta bisa menurunkan beban biaya akibat diabetes melitus
dan komplikasinya. (Fatimah. 2015)
Selain itu, adanya Inpres No 1 tahun 2017 tentang Germas juga
membantu mendorong pembudayaan perilaku hidup sehat bagi seluruh
masyarakat termasuk orang dengan faktor risiko PTM dan penderita
diabetes melitus. Keterlibatan semua sektor terkait dalam mendukung
perwujudan Germas diharapkan dapat menurunkan prevalensi diabetes
melitus dan faktor risikonya. Penggunaan obat dalam pengelolaan
diabetes melitus akan efektif bila disertai dengan modifikasi gaya hidup
yang lebih sehat terutama yang berkaitan dengan faktor risiko yang
dimiliki. (Rina Kriswiastiny. 2015, PERKENI. 2015)
Adapula Pencegahan penyakit diabetes melitus dibagi menjadi empat
bagian yaitu: (Fatimah. 2015)
4. 1 Pencegahan Premordial
4. 2 Pencegahan Primer
4. 3 Pencegahan Sekunder
xxxviii
awal sudah harus diwaspadai dansedapat mungkin dicegah kemungkinan
terjadinya penyulit menahun. Program ini dapat dilakukan dengan
pemberian pengobatan yang cukup dan tindakan deteksi dini penyulit
sejak awal pengelolaan penyakit DM. Penyulihan ditujukan terutama bagi
pasien baru, yang dilakukan sejak pertemuan pertama dan selalu diulang
pada setiap pertemuan berikutnya. Pemberian antiplatelet dapat
menurunkan resiko timbulnya kelainan kardiovaskular pada penyandang
Diabetes. Pilar utama pengelolaan DM meliputi: (Fatimah. 2015)
a. penyuluhan
b. perencanaan makanan
c. latihan jasmani
d. obat berkhasiat hipoglikemik.
4. 4 Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya mencegah terjadinya kecacatan
lebih lanjut dan merehabilitasi pasien sedini mungkin, sebelum
kecacatan tersebut menetap. Pelayanan kesehatan yang holistik dan
terintegrasi antar disiplin terkait sangat diperlukan, terutama dirumah
sakit rujukan, misalnya para ahli sesama disiplin ilmu seperti ahli
penyakit jantung, mata, rehabilitasi medis, gizi dan lain-lain. Pada
pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan kepada pasien dan juga
kelurganya dengan materi upaya rehabilitasi yang dapat dilakakukan
untuk mencapai kualitas hidup yang optimal. Upaya rehabilitasi pada
pasien dilakukan sedini mungkin sebelum kecacatan menetap, misalnya
pemberian aspirin dosis rendah 80-325 mg/hari untuk mengurangi
dampak mikroangiopati. Kolaborasi yang baik antar para ahli di berbagai
disiplin, jantung, ginjal, mata, bedah ortopedi, bedah vaskular, radiologi,
rehabilitasi medik, gizi, pediatrist dll sangat diperlukan untuk menunjang
keberhasilan pencegahan tersier. (Raghavan. 2016, Quan. 2016, Rowe.
2016)
xxxix
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
xl
REFERENSI
xli
12. Quan, Diana. 2016. Diabetic Neuropathy. Diunduh di
www.emedicine.medscape.com Tanggal 30 Desember 2020
xlii