You are on page 1of 43

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN DESEMBER 2023


UNIVERSITAS BOSOWA

DIABETES MELITUS TIPE 2

DISUSUN OLEH :

Magfirah Tuzzahrah
4522112023

DOSEN PEMBIMBING KLINIK :


dr. Ichwan Sapta Hadi, Sp.PD

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BOSOWA
MAKASSAR
2023
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa

Nama : Magfirah Tuzzahrah

NIM : 4522112025

Judul Laporan Kasus : Diabetes Melitus Tipe 2

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka Kepaniteraan Klinik pada


Bagian Kardiologi Fakultas Kedokteran Universitas Bosowa Makassar.

Makassar,

Dosen Pembimbing Klinik

dr. Ichwan Sapta Hadi, Sp.PD

i
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN i

DAFTAR ISI ii

BAB I DESKRIPSI KASUS 1

A Identitas Pasien 1

B Status Medis Pasien 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 8

A Definisi 8

B Epidemiologi 8

C Faktor Resiko 9

D Patofisiologi 10

E Derajat 12

F Kriteria Diagnosis 13

G Tatalaksana 17

DAFTAR PUSTAKA 21

ii
BAB I

DESKRIPSI KASUS

A. Identitas Pasien
- Nama : Ny. R
- Tanggal Lahir : 09 Mei 1977
- Jenis Kelamin : Perempuan
- Status : Sudah Menikah
- Usia : 46 tahun
- Agama : Islam
- Alamat : Jl. Cendrawasih No.70
- Pekerjaan : PNS
- Riwayat Pendidikan : S1
- No. RM : 053727
- Tanggal Masuk : 22 Mei 2023
- Diagnosis Masuk : DM Tipe 2 + Dyspnea
- R. Perawatan : Baji Nyawa

B. Status Medis Pasien


1. Anamnesis
- Keluhan Utama : Lemah seluruh badan dan sesak.
- Riwayat Penyakit Sekarang :
- Anamnesis Terpimpin :

Pasien masuk dengan keluhan lemah pada seluruh badan


dan sesak dialami sejak 1 hari yang lalu disertai keram – keram
dan nyeri perut bagian bawah. Batuk (-), sesak (+), nyeri dada (+),
mual (-), muntah (-), nyeri kepala (+). Riwayat penyakit terdahulu

iii
tidak pernah melakukan pemeriksaan hingga akhirnya pasien
merasa lemas dan sesak napas.

Pasien mengeluhkan adanya keluhan cepat lapar, haus


dengan meminum teh dan memakai gula 2 sendok, pasien juga
sebelumnya sering terbangun tengah malam untuk kencing.

- Riwayat Penyakit Dahulu


a. Riwayat trauma kepala : Tidak ada
b. Riwayat hipertensi : Ada
c. Riwayat stroke : Tidak pernah periksa
d. Riwayat DM : Ada
e. Riwayat penyakit jantung : Tidak pernah periksa
f. Riwayat penyakit paru : Tidak pernah periksa
- Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada
- Riwayat Pengobatan : Amlodipine 5 mg

2. Pemeriksaan Fisik
- Keadaan umum dan Kesadaran
Pasien datang dengan keadaan umum sakit sedang dengan
kesadaran Komposmentis (GCS = E4M5V5).
- Tanda-tanda Vital :
Pada hasil pemeriksaan tanda–tanda vital pasien didapatkan
tekanan darah 176/88 mmHg, frekuensi nadi 96 kali/menit,
frekuensi pernapasan 22 kali/menit, suhu 36,5ºC dan saturasi
oksigen pasien ialah 99%.
- Status Generalis
Kepala : Normocephal, rambut hitam dan tidak ada uban,
sukar dicabut.
Muka : Simetris, nyeri tekan (-)
Mata : Anemis (+),icterus (-), mata cekung (-)
iv
Telinga : Otore (-)
Hidung : Rinore (-)
Bibir : Pucat (+), sianosis (-)
Mulut : Stomatitis(+), hiperemis (-), tonsil T1/T1 tampak
kering
Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)
Thoraks : Normochest
NPRS : 5 (Nyeri sedang)

JANTUNG
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak .
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, thrill (-)
Perkusi : batas kanan jantung parasternal line dextra batas kiri
jantung midclavicula line sinistra
Auskultasi: BJ I/II murni regular, murmur (-), gallop (-)
PARU
Inspeksi : Rongga dada simetris, retraksi dada (-)
Palpasi : Vocal fremitus (+) kesan normal
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : BP Vesikuler, rh (-/-), wh (-/-)
Abdomen
Inspeksi : Edema (-), distensi (-), asites (-)
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
Palpasi : Nyeri tekan (+), Organomegali (-)
Perkusi : Timpani
Kel. Limfa : Pembesaran (-)
Alat Kelamin : Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2s, edema (-)
Kol. Vertebralis : Tidak ada kelainan
Kulit : Ikterik (-), sianosis (-)
Refleks Fisiologis : Tidak dilakukan pemeriksaan
v
Refleks Patologis : Tidak ada
3. Pemeriksaan Penunjang
(a) Hematologi Darah Lengkap
Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Darah Rutin (26/11/2022)
Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan

WBC 80.90/mm3 ↑ 4.11 – 11,30

RBC 4.89/ mm3 4.10 – 5.10

Hb 13.1 g/dl ↓ 12,3 – 15,03

HCT 30.7 % ↓ 35,9 – 44,6

MCHC 34.6 g/dl 33,4 – 35,5

MCH 28.0 pg 27,5 – 33,2

MCV 84.0 fl 80,0 – 96,1

PLT (platelet) 244/mm3 172 – 450

PCT (procalcitonin) 0,56 % 0,17 – 0,35

NEUT 49.69/mm3 1.80 – 7.70

LYMPH 0,39/mm3 1,003 – 4,80

MONO 0,59/mm3 0,00 – 0,80

EO 0,01/mm3 0,00 – 0,60

BASO 0,01/mm3 0,00 – 0,20

IG 0,28/mm3 0,00 – 7,00

 Kesan : Neutrophilia, Lymphopenia, Leukositosis, Anemia Mikrositik

(b) Gula Darah Sewaktu

vi
Tabel 6. Pemeriksaan gula darah sewaktu

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

GDS (23/05/2023) 221 mg/dl ↑ ≥ 200

GDS (24/05/2023) 242 mg/dl ↑ ≥ 200

(c) Pemeriksaan kimia dan hematologi


Tabel 8. Pemeriksaan kimia dan hematologi
HEMATOLOGI Hasil Nilai Rujukan

Clotting Time (CT) 6 menit <10 menit

Bleeding Time (BT) 2 menit 30 detik 1-6

KIMIA Hasil Nilai Rujukan

SGOT 27 <38

SGPT 11 7-32

Ureum 58 < 50

Kreatinin 0,60 0,6-0,9

(d) Pemeriksaan Radiologi Thorax


 Pulmo: Corakan bronkovaskuler normal
 Cor: Bentuk dan ukuran dalam batas normal
 Sinus costophrenicus dan diaphargma normal
 Tulang-tulang kerangka thorax normal

Kesan : Normochest

vii
4. Diagnosis
(a) Diagnosis Kerja : DM Tipe II, Dyspnea

5. Terapi
(a) Tindakan Pertama (Instalasi Gawat Darurat) :
- IVFD RL 20 tpm
- Ranitidine 1amp/12jam/iv
- Pasang Oksigen (O2) sesuai kebutuhan
- Posisikan semi fowler
- Monitor Pola Nafas
6. Follow Up
Tabel 9. Hasil Follow Up Ny. R
Tanggal Perjalanan Penyakit Instruksi Dokter

Kamis, S/ Pasien mengeluh lemas, P/


23/05/23 gelisah, tidak bisa tidur,  IVDF RL 20 tpm
demam (-) mual (-), pusing  Ranitidine 2x1/iv
(-), nyeri dada (+) kram-kram,  Ketorolac 2x1/iv
nyeri perut (+) sesak (+)  Amlodipine 10mg 0-0-1
terutama saat duduk. Riw.
 Candesartan 8mg 1-0-0
DM Tipe 2 (+)
 Novorapid 6-6-6
O/
 Alprazolam 0,5mg 0-0-1
- KU : Sakit Sedang
- Kesadaran : compos
mentis
- TD : 176/88 mmHg
- N : 77x/i
- P : 22x/i
- S : 36,5’C
- SpO2 : 99%

viii
GDS: 221mg/dL
Kepala: Anemis (-), ikterik (-),
Toraks: Rh (-/-), Wh(-/-)
Abdomen: NUH (-)
Ekstremitas: akral hangat
A/ Diabetes Melitus Tipe II,
Dyspnea
Hipertensi

Jumat, S/ Pasien mengeluh lemas, P/


24/05/23 gelisah, tidak bisa tidur, demam  IVDF RL 20 tpm
(-) kram-kram dan rasa kebas  Ranitidine 2x1/iv
pada kedua tungkai (+), nyeri
 Ketorolac 2x1/iv
perut (+) sesak masih(+)
 Amlodipine 10mg 0-0-1
terutama saat duduk. Riw. DM
Tipe 2 (+) Riw. Hipertensi (+)  Candesartan 8mg 1-0-0

O/  Novorapid 6-6-6
- KU : Sakit Sedang  Alprazolam 0,5mg 0-0-1
- Kesadaran : compos  Mecobalamin 500mg 2x1
mentis
- TD : 125/76 mmHg
- N : 77x/i
- P : 22x/i
- S : 36,5’C
- SpO2 : 98%
- GDS: 242mg/dL

Kepala: Anemis (-), ikterik (-),


Toraks: Rh (-/-), Wh(-/-)

ix
Abdomen: NUH (-)
Ekstremitas: akral hangat
A/
Diabetes Melitus Tipe II,
Dyspnea
Hipertensi

Sabtu, S/ Pasien mengeluh lemas, P/


25/05/23 demam (-) kram-kram dan rasa  IVDF RL 20 tpm
kebas pada kedua tungkai (+),  Ranitidine 2x1/iv
nyeri perut berkurang (+) sesak
 Ketorolac 2x1/iv
(-) nyeri dada (-) Riw. DM Tipe 2
 Amlodipine 10mg 0-0-1
(+) Riw. Hipertensi (+)
O/  Candesartan 8mg 1-0-0
 Novorapid 6-6-6
- KU : Sakit Sedang
 Alprazolam 0,5mg 0-0-1
- Kesadaran : compos  Mecobalamin 500mg 2x1
mentis  Rencana Pulang
- TD : 115/76 mmHg
 Kontrol Poli
- N : 88x/i
- P : 22x/i
- S : 36,5’C
- SpO2 : 98%
- GDS: 240mg/dL

Kepala: Anemis (-), ikterik (-),


Toraks: Rh (-/-), Wh(-/-)
Abdomen: NUH (-)
Ekstremitas: akral hangat
A/ Diabetes Melitus Tipe II,
Dyspnea
Hipertensi
x
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Diabetes Melitus Tipe 2


1 Definisi

Diabetes adalah penyakit metabolik kronis yang ditandai dengan


peningkatan kadar glukosa darah (atau gula darah), yang dari waktu ke
waktu menyebabkan kerusakan serius pada jantung, pembuluh darah,
mata, ginjal, dan saraf. Paling umum adalah diabetes tipe 2, biasanya
pada orang dewasa, yang terjadi ketika tubuh menjadi resisten terhadap
insulin atau tidak menghasilkan cukup insulin. (WHO. 2020)
Diabetes mellitus, lebih sederhana disebut diabetes kondisi serius,
jangka panjang (atau 'kronis') itu terjadi bila ada peningkatan kadar
glukosa dalam darah seseorang karena tubuh mereka tidak dapat
memproduksi salah satu atau cukup hormon insulin, atau tidak bisa
secara efektif menggunakan insulin yang dihasilkannya. Insulin adalah
hormon penting yang diproduksi di pankreas. Ini memungkinkan glukosa
dari aliran darah untuk memasuki sel tubuh di mana glukosa itu berada
diubah menjadi energi. Insulin juga penting untuk metabolisme protein dan
lemak. Kekurangan insulin, atau ketidakmampuan sel untuk

xi
menanggapinya, menyebabkan tinggi kadar glukosa darah
(hiperglikemia), yang merupakan indikator klinis diabetes. (IDF, 2019)
Diabetes mellitus adalah penyakit yang ditandai dengan adanya
hiperglikemia yang disebabkan oleh ketidak mampuan dari organ
pancreas untuk memproduksi insulin atau kurangnya sensitivitas insulin
pada sel target tersebut. Abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak
dan protein ditemukan pada penderita penyakit diabetes mellitus terjadi
dikarenakan kurangnya aktivitas insulin pada sel target. Paling umum
adalah diabetes tipe 2, biasanya terjadi pada orang dewasa. (Antari, 2017)
Diabetes tipe 2 adalah kondisi di mana kadar gula dalam darah
melebihi nilai normal. Tingginya kadar gula darah disebabkan tubuh tidak
menggunakan hormon insulin secara normal. Hormon insulin itu sendiri
adalah hormon yang membantu gula (glukosa) masuk ke dalam sel tubuh
untuk diubah menjadi energi. (WHO. 2020)
American Diabetes Association (ADA) dalam Standards of Medical
Care in Diabetes (2020) memberikan klasifikasi diabetes melitus menjadi
4 tipe yang disajikan dalam : (ADA. 2020)
1) Diabetes melitus tipe 1, yaitu diabetes melitus yang dikarenakan
oleh adanya destruksi sel β pankreas yang secara absolut
menyebabkan defisiensi insulin.
2) Diabetes melitus tipe 2, yaitu diabetes yang dikarenakan oleh
adanya kelainan sekresi insulin yang progresif dan adanya resistensi
insulin.
3) Diabetes melitus tipe lain, yaitu diabetes yang disebabkan oleh
beberapa faktor lain seperti kelainan genetik pada fungsi sel β
pankreas, kelainan genetik pada aktivitas insulin, penyakit eksokrin
pankreas (cystic fibrosis), dan akibat penggunaan obat atau bahan
kimia lainnya (terapi pada penderita AIDS dan terapi setelah
transplantasi organ).
4) Diabetes melitus gestasional, yaitu tipe diabetes yang terdiagnosa
atau dialami selama masa kehamilan.
xii
1.1 Epidemiologi
Sembilan puluh persen dari kasus diabetes adalah DMT2 dengan
karakteristik gangguan sensitivitas insulin dan/atau gangguan sekresi
insulin. DMT2 secara klinis muncul ketika tubuh tidak mampu lagi
memproduksi cukup insulin unuk mengkompensasi peningkatan insulin
resisten. DMT2 menjadi masalah kesehatan dunia karena prevalensi
daninsiden penyakit ini terus meningkat, baik di negara industri
maupunnegara berkembang, termasuk juga Indonesia. DMT2 merupakan
suatu epidemi yang berkembang, mengakibatkan penderitaan individu dan
kerugian ekonomi yang luar biasa. (Decroli. 2019)
World Health Organization (WHO) memprediksi kenaikan jumlah
penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi
sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. International Diabetes Federation (IDF)
memprediksi adanya kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari
9,1 juta pada tahun 2014 menjadi 14,1 juta pada tahun 2035. Berdasarkan
data dari IDF 2014, Indonesia menempati peringkat ke-5 di dunia, atau
naik dua peringkat dibandingkan dengan tahun 2013 dengan 7,6 juta
orang penyandang DM. Penelitian epidemiologi yang dilakukan hingga
tahun 2005 menyatakan bahwa prevalensi diabetes melitus di Jakarta
pada tahun 1982 sebesar 1,6%, tahun 1992 sebesar 5,7%, dan tahun
2005 sebesar 12,8%. Pada tahun 2005 di Padang didapatkan prevalensi
DMT2 sebesar 5,12%. (Decroli. 2019)
Hasil Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa prevalensi diabetes
melitus di Indonesia berdasarkan diagnosis dokter pada umur ≥15 tahun
sebesar 2%. Angka ini menunjukkan peningkatan dibandingkan prevalensi
diabetes melitus pada penduduk > 15 tahun pada hasil Riskesdas 2013
sebeser 1,5%. Namun prevalensi diabetes melitus menurut hasil
pemeriksaan gula darah meningkat dari 6,9% pada 2013 menjadi 8,5%
pada tahun 2018. Angka ini menunjukkan bahwa baru sekitar 25%
penderita diabetes yang mengetahui bahwa dirinya menderita diabetes.
(Kemenkes. 2020)
xiii
Hampir semua provinsi menunjukkan peningkatan prevalensi pada
tahun 2013-2018, kecuali provinsi Nusa Tenggara Timur. Terdapat empat
provinsi dengan prevalensi tertinggi pada tahun 2013 dan 2018, yaitu Dl
Yogyakarta, OKI Jakarta, Sulawesi Utara, dan Kalimantan Timur.
Terdapat beberapa provinsi dengan peningkatan prevalensi tertinggi
sebesar yaitu Riau, OKI Jakarta, Banten, Gorontalo, dan Papua Barat.
(Kemenkes. 2020)
Gambaran prevalensi Diabetes menurut provinsi pada tahun 2018
juga menunjukkan bahwa provinsi Nusa Tenggara Timur memilki
prevalensi terendah sebesar diikuti oleh Maluku dan Papua sebesar
Gambaran di bawah ini merupakan prevalensi berdasarkan diagnosis
dokter yang sangat ditentukan oleh keteraturan dan kepatuhan pencatatan
rekam medis. (Kemenkes. 2020)

xiv
1.2 Patogenesis & Faktor Risiko
Diabetes mellitus adalah suatu penyakit dimana kadar glukosa di
dalam darah tinggi karena tubuh tidak dapat melepaskan atau
menggunakan insulin secara cukup sehingga mengakibatkan terjadinya
penumpukan gula dalam darah yang menyebabkan terjadinya
hiperglikemia. Glukosa secara normal bersirkulasi dalam jumlah tertentu
dalam darah.Glukosa dalam tubuh dibentuk di dalam hati dari makanan
yang dikonsumsi ke dalam tubuh. Insulin merupakan hormon yang
diproduksi oleh pankreas yang berfungsi untuk memfasilitasi atau
mengendalikan kadar glukosa dalam darah dengan mengatur produksi
dan penyimpanannya. Defisiensi insulin ini menyebabkan penggunaan
glukosa dalam tubuh menurun yang akan menyebabkan kadar glukosa
darah dalam plasma tinggi atau hiperglikemi. Keadaan hiperglikemi ini
akan menyebabkan terjadinya glukosuria dikarenakan glukosa gagal
diserap oleh ginjal ke dalam sirkulasi darah dimana keadaan ini akan
menyebabkan gejala umum diabetes mellitus yaitu polyuria, polydipsia,
dan polyphagia. (Antari, 2017)
xv
Otot dan hati yang mengalami resistensi insulin menjadi penyebab
utama DM tipe 2. Kegagalan sel beta pankreas untuk dapat bekerja
secara optimal juga menjadi penyebab dari DM tipe 2 (Putra. 2018)
DM tipe 2 adalah jenis DM yang paling umum diderita oleh penduduk
di Indonesia. Kombinasi faktor risiko, resistensi insulin dan sel-sel tidak
menggunakan insulin secara efektif menyebabkan DM tipe 2. Resistensi
insulin pada otot dan hati serta kegagalan sel beta pankreas telah dikenal
sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe 2. Kegagalan sel beta
pada DM tipe 2 diketahui terjadi lebih dini dan lebih berat daripada
sebelumnya. Otot, hati, sel beta dan organ lain seperti jaringan lemak
(meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel alpha
pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan
otak (resistensi insulin) ikut berperan dalam menimbulkan terjadinya
gangguan toleransi glukosa pada DM tipe 2 (Perkeni, 2015).
DM tipe 2 pada tahap awal perkembangannya tidak disebabkan oleh
gangguan sekresi insulin dan jumlah insulin dalam tubuh mencukupi
kebutuhan (normal), tetapi disebabkan oleh sel-sel sasaran insulin gagal
atau tidak mampu merespon insulin secara normal.(IDF,2020)

Penderita DM tipe 2 juga mengalami produksi glukosa hepatik secara


berlebihan tetapi tidak terjadi kerusakan pada sel-sel beta langerhans
seperti pada DM tipe 1. Keadaan defisiensi insulin pada penderita DM tipe
2 umumnya hanya bersifat relatif. Defisiensi insulin akan terjadi seiring
dengan perkembangan DM tipe 2. Sel-sel beta langerhans akan
menunjukkan gangguan sekresi insulin fase pertama yang berarti sekresi
xvi
insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin. Perkembangan DM tipe
2 yang tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan kerusakan sel-sel
beta langerhans pada tahap selanjutnya. Kerusakan sel-sel beta
langerhans secara progresif dapat menyebabkan keadaan defisiensi
insulin sehingga penderita membutuhkan insulin endogen. (Decroli. 2019,
Perkeni. 2015)
Resistensi insulin dan defisiensi insulin adalah 2 penyebab yang
sering ditemukan pada penderita DM tipe 2. Insulin yang ada tidak dapat
bekerja dengan baik, kadar insulin dapat normal, rendah atau bahkan
meningkat tetapi fungsi insulin untuk metabolisme glukosa tidak ada atau
kurang. Akibatnya glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga terjadi
hiperglikemia, dan 75% dari penderita DM type II ini dengan obesitas atau
kegemukan dan biasanya diketahui DM setelah usia 30 tahun. (Putra,
2018)
Diabetes melitus tipe 2, yaitu diabetes yang dikarenakan oleh adanya
kelainan sekresi insulin yang progresif dan adanya resistensi insulin.
Secara deskriptif, tiga fase dapat dikenali pada urutan klinis yang biasa.
Pertama, glukosa plasma tetap normal walaupun terlihat resistensi insulin
karena kadar insulin meningkat. Pada fase kedua, resistensi insulin
cenderung memburuk sehingga meskipun konsentrasi insulin meningkat,
tampak intoleransi glukosa dalam bentuk hiperglikemia setelah makan.
Pada fase ketiga, resistensi insulin tidak berubah, tetapi sekresi insulin
menurun, menyebabkan hiperglikemia puasa dan diabetes yang nyata.
(ADA, 2020)
Faktor-faktor risiko penyakit DM tipe 2 antara lain sebagai berikut:
Faktor risiko DM tipe 2 dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu faktor
risiko sosiodemografi, perilaku dan gaya hidup dan keadaan klinis dan
mental. Faktor risiko sosiodemografi diabetes melitus tipe 2 adalah umur,
jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan. Aktifitas fisik, konsumsi sayur
dan buah, merokok, asap rokok dan alkoholisme termasuk ke dalam faktor
risiko pola hidup pada diabetes melitus tipe 2. Indeks massa tubuh, lingkar
xvii
perut, tekanan darah, kadar kolesterol dan stress adalah faktor risiko
kondisi klinis dan mental diabetes melitus tipe 2. Selain itu, ada juga faktor
risiko riwayat kesehatan keluarga terutama riwayat diabetes melitus
(Fitriyani. 2015, Putra, 2018).

1.3 Manifestasi Klinik

Diabetes Melitus dapat menimbulkan berbagai gejala-gejala pada


penderita. Gejala-gejala yang muncul pada penderita DM sangat
bervariasi antara satu penderita dengan penderita lainnya bahkan, ada
penderita DM yang tidak menunjukkan gejala yang khas penyakit DM
sampai saat tertentu. Gejala-gejala DM tersebut telah dikategorikan
menjadi gejala akut dan gejala kronis Manifestasi klinik diabetes melitus
dibedakan menjadi akut dan kronik. (Perkeni. 2015, Fitriyani. 2015)
Akut diabetes melitus yaitu : Poliphagia (banyak makan) polidipsia
(banyak minum), Poliuria (banyak kencing/sering kencing di malam hari),
nafsu makan bertambah namu berat badan turun dengan cepat (5-10 kg
dalam waktu 2-4 minggu), mudah lelah. (Fatimah. 2015)
Kronik diabetes melitus yaitu : Kesemutan, kulit terasa panas atau
seperti tertusuk tusuk jarum, rasa kebas di kulit, kram, kelelahan, mudah

xviii
mengantuk, pandangan mulai kabur, gigi mudah goyah dan mudah lepas,
kemampuan seksual menurun bahkan pada pria bisa terjadi impotensi,
pada ibu hamil sering terjadi keguguran atau kematian janin dalam
kandungan atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4kg. (Fatimah. 2015)

1.4 Pemeriksaan Penunjang


Diagnosis DM ditegakkan atas dasar Pemeriksaan kadar glukosa
darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.
Guna penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang
dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan
darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole blood), vena,
ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka-
angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO.
Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan
dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glukometer. Diperlukan anamnesis yang cermat serta pemeriksaan yang
baik untuk menentukan diagnosis diabetes melitus, toleransi glukosa
terganggu dan glukosa darah puasa terganggu. (Perkeni. 2015)
Ada perbedaan antara uji diagnostik Diabetes Melitus (DM) dan
pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik DM dilakukan pada mereka yang
menunjukkan gejala atau tanda DM, sedangkan pemeriksaan penyaring
bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang
mempunyai resiko DM. Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan
kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif,
untuk memastikan diagnosis definitif.(Putra. 2018)
1.5 Kriteria Diagnosis

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa


darah. Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa darah secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena.
Penggunaan darah vena ataupun kapiler tetap dapat di pergunakan

xix
dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda
sesuai pembakuan oleh WHO. Untuk tujuan pemantauan hasil
pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa
darah kapiler. (ADA. 2020)
Evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama: (Antari. 2017,
ADA. 2020)
1. Riwayat Penyakit
a. Gejala yang dialami oleh pasien.
b. Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa
darah.
c. Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner,
obesitas, dan
d. riwayat penyakit keluarga (termasuk penyakit DM dan endokrin
lain).
e. Riwayat penyakit dan pengobatan.
f. Pola hidup, budaya, psikososial, pendidikan, dan status ekonomi.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pengukuran tinggi dan berat badan.
b. Pengukuran tekanan darah, nadi, rongga mulut, kelenjar tiroid, paru
dan jantung
c. Pemeriksaan kaki secara komprehensif
3. Evaluasi Laboratorium
a. HbA1c diperiksa paling sedikit 2 kali dalam 1 tahun pada pasien
yang mencapai sasaran terapi dan yang memiliki kendali glikemik
stabil. dan 4 kali dalam 1 tahun pada pasien dengan perubahan
terapi atau yang tidak mencapai sasaran terapi.
b. Glukosa darah puasa dan 2 jam setelah makan.
Diagnosis klinis Diabetes Melitus (DM) umumnya akan dipikirkan bila
ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah,
xx
kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta
pruritus vulvae pada pasien wanita. Apabila ditemukan gejala khas
DM, pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali saja sudah cukup
untuk menegakkan diagnosis, namun apabila tidak ditemukan gejala
khas DM, maka diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah
abnormal. Diagnosis DM juga dapat ditegakkan melalui cara pada
tabel. (Decroli. 2019)
American Diabetes Association (ADA) dimasukkannya HbA1c
sebagai bagian dari kriteria diagnostik diabetes dan pradiabetes.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendukung penggunaan HbA1c>
6,5% untuk diabetes diagnosis tetapi tidak untuk hiperglikemia
menengah, dengan alasan HbA1c yang terjamin kualitas
pengukurannya tidak tersedia dalam skala global. (ADA. 2020)
Saat ini, WHO dan IDF merekomendasikan oral dua jam tes
toleransi glukosa (OGTT) untuk deteksi dari IGT dan IFG. Namun, ada
bukti yang terkumpul untuk penggunaan OGTT satu jam sebagai
metode yang lebih sensitif yang mampu mengidentifikasi hiperglikemia
menengah pada titik waktu sebelumnya. (IDF. 2019)
Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan
klasik DM seperti di bawah ini: (Decroli. 2019, )
a. Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
b. Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata
kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada
wanita.
1. Gejala klasik DM + Glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl (11,1
mmol/L)
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada
suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir
2. Atau, gejala klasik DM + Glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl (7,0
mmol/L)
xxi
Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8
jam
3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/L)
TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban
glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang
dilarutkan ke dalam air.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara: (Decroli, 2019)
1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma
sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM
2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL dengan adanya
keluhan klasik.
3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g
glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa
plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri.
TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat
jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.

xxii
Catatan: Saat ini tidak semua laboratorium di Indonesia memenuhi
Standard NGSP, sehingga harus hati-hati dalam membuat interpretasi
Terhadaphasil pemeriksaan HbA1c. Pada kondisi tertentu seperti:
anemia, hemoglobinopati, riwayat transfusi darah 2-3 bulan terakhir,
kondisi-kondisiyang mempengaruhi umur eritrosit dan gangguan fungsi
ginjal maka HbA1c tidak dapat dipakai sebagai alat diagnosis maupun
evaluasi.(Putra. 2018)
Apa bila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM,
bergantung pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam
kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa
terganggu (GDPT). (Putra. 2018)
Keterangan:
1. TGT : Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO
didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 –199 mg/dL
(7,8-11,0 mmol/L).

2. GDPT : Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa


plasma puasa didapatkan antara 100 – 125 mg/dL (5,6– 6,9 mmol/L) dan
pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140mg/dL.

xxiii
BAB II
PENATALAKSANAAN

Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas


hidup penyandang diabetes, yang meliputi: (Fatimah. 2017)
1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki
kualitas hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut
2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas
penyulit mikroangiopati dan makroangiopati.
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas
DM.
Penatalaksanaan diabetes mellitus bertujuan untuk meningkatkan
tingkat daripada kualitas hidup pasien penderita diabetes mellitus,
mencegah terjadinya komplikasi pada penderita, dan juga menurunkan
morbiditas dan mortalitas penyakit diabetes mellitus. Penatalaksanaan
diabetes mellitus dibagi secara umum menjadi lima yaitu: (PERKENI,
2015)
2. 1 Edukasi
Diabetes mellitus umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan
perilaku telah terbentuk dengan kuat. Keberhasilan pengelolaan diabetes
mandiri membutuhkan partisipasi aktif pasien, keluarga, dan
masyarakat.Tim kesehatan harus mendampingi pasien dalam menuju
perubahan perilaku.Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku,
dibutuhkan edukasi yang komprehensif, pengembangan keterampilan dan
motivasi. (Kriswiastiny. 2015)
Selain itu, Edukasi tentang terapi nutrisi medis untuk pasien diabetes
juga harus diperhatikan kebutuhan akan konsistensi dalam asupan
karbohidrat sehari-hari; membatasi mengandung sukrosa, makanan yang
xxiv
mengandung fruktosa tinggi, atau makanan indeks glikemik tinggi lainnya;
serta pentingnya makan sarapan sehat berserat tinggi, dan tidak
melewatkan makan, untuk mengurangi risiko makan tidak sehat saat larut
malam. Edukasi merupakan bagian integral asuhan perawatan
diabetes.Edukasi secara individual atau pendekatan berdasarkan
penyelesaian masalah merupakan inti perubahan perilaku yang berhasil.
Perubahan Perilaku hampir sama dengan proses edukasi yang
memerlukan penilaian, perencanaan, implementasi, dokumentasi, dan
evaluasi. (AACE. 2020)
Edukasi terhadap pasien diabetes mellitus merupakan pendidikan dan
pelatihan yang diberikan terhadap pasien guna menunjang perubahan
perilaku, tingkat pemahaman pasien sehingga tercipta kesehatan yang
maksimal dan optimal dan kualitas hidup pasien meningkat. (PERKENI.
2015)

2.2 Terapi Nutrisi Medis (Diet)


Tujuan umum terapi gizi adalah membantu orang dengan diabetes
memperbaiki kebiasaan aktivitas sehari-hari untuk mendapatkan kontrol
metabolik yang lebih baik, mempertahankan kadar glukosa darah
mendekati normal, mencapai kadar serum lipid yang optimal, memberikan
energi yang cukup untuk mencapai atau mempertahankan berat badan
xxv
yang memadai dan meningkatkan tingkat kesehatan secara keseluruhan
melalui gizi yang optimal. Kesehatan mulut yang buruk dan gigi tanggal
menyebabkan pola makan dan nutrisi yang lebih buruk, dan kualitas hidup
orang yang lebih buruk dengan diabetes.(IDF. 2019)
Standar dalam asupan nutrisi makanan seimbang yang sesuai dengan
kecukupan gizi baik adalah sebagai berikut : (PERKENI, 2015)
a. Protein : 10 – 20 % total asupan energi
b. Karbohidrat : 45 – 65 % total asupan energy
c. Lemak : 20 – 25 % kebutuhan kalori, tidak boleh
melebihi 30 % total asupan energi
d. Natrium : < 2300 mg perhari
e. Serat : 20 – 35 gram/hari

Mengenai Karbohidrat dan Lemak Untuk penderita diabetes yang


diresepkan program terapi insulin yang fleksibel, edukasi penting tentang
cara menggunakan penghitungan karbohidrat A dan dosis untuk
kandungan lemak serta protein B harus digunakan untuk menentukan
dosis insulin waktu makan. (ADA. 2020)
Protein pada individu dengan diabetes tipe 2, yaitu protein yang
tertelan tampaknya meningkatkan respons insulin tanpa meningkatkan
konsentrasi glukosa plasma. Oleh karena itu, sumber karbohidrat yang
tinggi protein harus dihindari saat mencoba mengobati atau mencegah
hipoglikemia. Serta natrium untuk populasi umum, penderita diabetes dan
pradiabetes sebaiknya membatasi natrium konsumsi menjadi, 2.300 mg /
hari. (ADA. 2020)
Tujuan Terapi Nutrisi untuk Dewasa Dengan Diabetes (IDF. 2019)
1. Untuk mempromosikan dan mendukung pola makan yang sehat,
menekankan pada variasi makanan padat nutrisi dalam ukuran
porsi yang sesuai,
a. untuk meningkatkan kesehatan secara keseluruhan dan
mencapai serta mempertahankan berat badan

xxvi
b. tujuan mencapai glikemik individual, tekanan darah, dan lipid
c. menunda atau mencegah komplikasi diabetes
2. Untuk memenuhi kebutuhan nutrisi individu berdasarkan preferensi
pribadi dan budaya, literasi dan numerasi kesehatan, akses ke
makanan sehat, kemauan dan kemampuan untuk membuat
perubahan perilaku, dan yang ada barrierstochange
3. Untuk menjaga kenikmatan makan dengan cara memberikan pesan
tidak menghakimi tentang pilihan makanan sambil membatasi
pilihan makanan hanya jika ditunjukkan dengan bukti ilmiah
4. Untuk memberikan individu dengan diabetes cara praktis untuk
mengembangkan pola makan yang sehat daripada berfokus pada
makronutrien individu, mikronutrien, atau makanan tunggal.(IDF.
2019)
Salah satu kunci keberhasilan pengaturan makanan ialah asupan
makanan dan pola makan yang sama sebelum maupun sesudah
diagnosis,serta makanan yang tidak berbeda dengan teman sebaya atau
denganmakanan keluarga.Jumlah kalori yang dibutuhkan oleh tubuh
disesuaikan dengan faktor-faktor jenis kelamin, umur, aktivitas fisik, stress
metabolic, dan berat badan. Untuk penentuan status gizi, dipakai
penghitungan Indeks Massa Tubuh (IMT). Rumus yang dipakai dalam
penghitungan adalah IMT = BB(kg)/TB(m2).(PERKENI, 2015)
2.3 Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari – hari dan latihan jasmani dilakukan teratur
sebanyak 3 - 4 kali seminggu selama kurang lebih 30 - 45 menit, dengan
total kurang lebih 150 menit perminggu. Latihan jasmani dapat
menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitifitas terhadap insulin,
sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang
dimaksud ialahjalan, bersepeda santai, jogging, berenang.(PERKENI,
2015)
Aktivitas fisik adalah komponen utama dalam program penurunan dan
pemeliharaan berat badan. Reguler aktivitas fisik — baik latihan aerobik
xxvii
maupun latihan kekuatan — meningkatkan glukosa kontrol, tingkat lipid,
dan BP; menurun risiko jatuh dan patah tulang; dan meningkatkan
kapasitas fungsional dan perasaan sejahtera. (AACE. 2020)

Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status


kesegaran jasmani.. Jika kadar glukosa darah <100 mg/dl pasien
dianjurkan untuk menkonsumsi karbohidrat terlebih dahulu, jika kadar
glukosa darah 90-250 mg/dL, tidak diperlukan ekstra karbohidrat
(tergantung lama aktifitas dan respons individual).dan jika >250 mg/dl
dianjurkan untuk tidak melakukan aktivitas jasmani.(PERKENI, 2015)
Target mingguan ≥175 menit aktivitas cukup intens, menit aktivitas fisik
secara signifikan terkait dengan penurunan berat badan, menyarankan
bahwa mereka yang lebih aktif kehilangan lebih banyak berat badan.
(AACE. 2020)
Regimen aktivitas fisik harus melibatkan aktivitas intensitas sedang
≥150 menit per minggu seperti jalan cepat (mis., 15 hingga 20 menit mil)
dan Strength Training. Pasien harus memulai aktivitas baru secara
perlahan dan bertahap tingkatkan intensitas dan durasi saat mereka
terbiasa untuk latihan. (AACE. 2020)
2.4 Terapi farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pola pengaturan
makanan dan latihan jasmani.Terapi farmakologis terdiri dari obat
hipoglikemik oral dan injeksi insulin.Pemberian obat oral atau dengan
xxviii
injeksi dapat membantu pemakaian gula dalam tubuh individu penderita
diabetes. (IDF. 2019)
Golongan sulfonilurea dapat menurunkan kadar gula darah secara
adekuat pada penderita diabetes tipe-2, tetapi tidak efektif pada diabetes
tipe-1. Contohnya adalah glipizid, gliburid, tolbutamid dan klorpropamid.
Obat ini menurunkan kadar gula darah dengan cara merangsang
pelepasan insulin oleh pankreas dan meningkatkan efektivitasnya. Obat
lainnya, yaitu metformin, tidak mempengaruhi pelepasan insulin tetapi
meningkatkan respon tubuh terhadap insulinnya sendiri. (PERKENI. 2015)
Akarbos bekerja dengan cara menunda penyerapan glukosa di dalam
usus.Obat hipoglikemik per-oral biasanya diberikan pada penderita
diabetes tipe-2 jika diet dan oleh raga gagal menurunkan kadar gula darah
dengan cukup.(IDF. 2019)
Intervensi Farmakologis, Terapi farmakologis diberikan bersama
dengan pengaturan makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi
farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan. (IDF. 2019)
a. Obat Antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi
5 golongan: (PERKENI. 2015, IDF. 2019)
1) Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue): Sulfonilurea dan
Glinid
1. Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama memacu sekresi insulin
oleh sel beta pankreas.
2. Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan
sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin
fase pertama. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.
2) Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin: Metformin dan
Tiazolidindion (TZD)

xxix
1. Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa
hati (glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa
perifer. Metformin merupakan pilihan pertama pada sebagian
besar kasus DMT2.
2.Tiazolidindion (TZD) merupakan agonis dari Peroxisome
Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-γ), suatu reseptor
inti termasuk di sel otot, lemak, dan hati. Golongan ini
mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan jumlah
protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan
glukosa di perifer. Obat ini dikontraindikasikan pada pasien
dengan gagal jantung (NYHA FC IIIIV) karena dapat
memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati pada Gangguan
faal hati, dan bila diberikan perlu pemantauan faal hati secara
berkala. Obat yang masuk dalam golongan ini adalah
Pioglitazone.
3) Penghambat Absorpsi Glukosa: Penghambat Glukosidase Alfa.
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam
usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar
glukosa darah sesudah makan. Penghambat glukosidase alfa
tidak digunakan bila GFR =30ml/min/1,73 m, gangguan faal hati
yang berat, irritable bowel syndrome.
4) Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)
Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim
DPP-IV sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam
konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk
meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi glukagon
bergantung kadar glukosa darah (glucose dependent).
5) Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2)
Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat
antidiabetes oral jenis baru yang menghambat reabsorpsi
glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara menghambat
xxx
transporter glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk golongan ini
antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin,
Ipragliflozin.

Profil obat antihiperglikemia oral yang tersedia di Indonesia (Fatimah.


2017)
b. Antihiperglikemik Injeksi
1) Injeksi Insulin
Insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul 5808 pada
manusia. Insulin mengandung 51 asam amino yang tersusun dalam dua
rantai yang dihubungkan dengan jembatan disulfide, terdapat perbedaan
asam amino kedua rantai tersebut. Insulin kadangkala dijadikan pilihan
sementara, misalnya selama kehamilan. Namun pada pasien DM tipe 2
yang memburuk, penggantian insulin total menjadi kebutuhan. Insulin
merupakan hormon yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat
maupun metabolisme. (ADA. 2020)
Terapi insulin digunakan ketika modifikasi gaya hidup dan obat
hipoglikemik oral gagal untuk mengontrol kadar gula darah pada pasien
diabetes. Pemberian insulin hanya dapat dilakukan melalui suntikan,
insulin dihancurkan di dalam lambung sehingga tidak dapat diberikan per-
oral.Ada lima jenis insulin dapat digunakan pada pasien dengan diabetes
mellitus berdasarkan pada panjang kerjanya. Ada Insulin Kerja Cepat,
Kerja Pendek, Kerja Menengah, Kerja Panjang, dan Campuran.
(PERKENI, 2015)

xxxi
2) Agonis GLP-1/Incretin Mimetic
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan
pendekatan baru untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja
sebagai perangsang pengelepasan insulin yang tidak menimbulkan
hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada
pengobatan insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkanmungkin
menurunkan berat badan. Efek samping yang timbul pada pemberian obat
ini antara lain rasa sebah dan muntah. (IDF. 2019)
c. Terapi Kombinasi
Terapi dengan obat antihiperglikemia oral kombinasi baik secara
terpisah ataupun fixed dose combination dalam bentuk tablet tunggal,
harus menggunakan dua macam obat dengan mekanisme kerja yang
berbeda. Pada keadaan tertentu dapat terjadi sasaran kadar glukosa
darah yang belum tercapai, sehingga perlu diberikan kombinasi tiga obat
antihiperglikemia oral dari kelompok yang berbeda atau kombinasi obat
antihiperglikemia oral dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan
alasan klinis dimana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi
dengan kombinasi tiga obat antihiperglikemia oral dapat menjadi pilihan.
(IDF. 2019)
Kombinasi obat antihiperglikemia oral dan insulin yang banyak
dipergunakan adalah kombinasi obat antihiperglikemia oral dan insulin
basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang), yang diberikan
pada malam hari menjelang tidur. Pendekatan terapi tersebut pada
umumnya dapat mencapai kendali glukosa darah yang baik dengan dosis
insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-10
unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis
tersebut dengan menilaikadar glukosa darah puasa keesokan harinya.
Pada keadaaan dimana kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak
terkendali meskipun sudah mendapat insulin basal, maka perlu diberikan

xxxii
terapi kombinasi insulin basal dan prandial, serta pemberian obat
antihiperglikemia oral dihentikan. (PERKENI. 2015)
BAB III
KOMPLIKASI DAN PROGNOSA

3.1 Komplikasi

Komplikasi pada diabetes mellitus terbagi menjadi dua, komplikasi


metabolik akut dan komplikasi jangka panjang. (Raghavan. 2016, Quan.
2016, Rowe. 2016)
A. Komplikasi Metabolik Akut (Raghavan. 2016, Quan. 2016, Rowe.
2016)
Komplikasi Metabolik Akut
Ketoasidosis Diabetik Hyperglicemic Hyperosmolar Hipoglikemia
Stale (HHS)
Komplikasi ini disebabkan oleh Komplikasi ini lebih sering terjadi Hipoglikemia terjadi akibat
insufisiensi sekresi insulin, sehingga lebih pada pasien dengan DM tipe 2. pemberian insulin yang
sering dialami oleh pasien DM tipe 1, HHS sering disebabkan karena melebihi dosis atau pemberian
namun dapat juga terjadi pada DM tipe 2 suatu etiologi yang menyebabkan agen hipoglikemik tanpa
pasien tidak dapat mendapat input disertai asupan makanan yang
a. Tanda dehidrasi
cairan yang cukup, seperti penyakit cukup. Hipoglikemia dapat
1) Takikardia dengan pulsasi lemah
infeksi. Keadaan ini ditandai memberikan gejala dalam
2) Kulit dan lidah kering
dengan hiperglikemia, dehidrasi, kadar yang berbeda-beda
3) Hipotensi
dengan ketoasidosis minimal. pada setiap orang, namun
4) Peningkatan capillary refill time
Gangguan kesadaran dapat terjadi, rata-rata dapat muncul dalam
b. Tanda asidosis
namun koma hanya didapatkan kadar glukosa darah < 50
1) Pernafasan dalam dan cepat
pada 20% kasus. American mg/dL. Gejala yang dapat
(Kussmaul)
Diabetes Association memberikan ditemukan pada pasien
2) Nyeri perut
panduan diagnosis HHS apabila dengan hipoglikemia adalah:
3) Gangguan kesadaran
ditemukan (Hemphill, 2015): a. Berkeringat
4) Mual dan muntah
a. Glukosa darah sewaktu 600 b. Tremor
c. Tanda hiperglikemia
mg/dL atau lebih c. Takikardia
1) Poliuria
b. Osmolalitas serum efektif 320 d. Kecemasan
2) Polidipsia
mOsm/kg atau lebih e. Sensasi lapar
3) Rasa haus
c. Dehidrasi nyata f. Kelemahan
4) Nokturia
d. Kadar pH serum lebih dari 7,30 g. Sakit kepala seperti
e. Kadar serum bikarbonat lebih berputar
dari 15 mEq/L h. Gangguan kesadaran
f. Ketonuria minimal atau i. Koma
ketonemia ringan atau tidak ada
ketonemia
g. Gangguan kesadaran

xxxiii
B. Komplikasi Jangka Panjang (Raghavan. 2016, Quan. 2016, Rowe.
2016)

Komplikasi Jangka Panjang

Lesi Mikrovaskular Lesi Neuropati Katarak


Makrovaskular Diabetik Diabetik

Nefropati Diabetik
Retinopati Diabetik

1) Mikroaneurisma Nefropati diabetik Lesimakrovaskular Sensorik : Katarak diabetik


2) Hemoragi dot adalah sindrom klinis pada penderita DM penurunan sensasi terjadi akibat
and blot yang ditandai dengan tipe 2 disebabkan dengan distribusi penumpukan
3) Hemoragi gejala sebagai berikut: oleh lesi stocking-and- sorbitol pada lensa
flame-shaped Albuminuria persisten aterosklerotik yang glove. sehingga
4) Edema retina (>300 mg/hari atau > dihubungkan dengan Motorik : kelenturan lensa
dan hard 200 µg/menit) yang hiperglikemia yang kelemahan pada berkurang dan
exudates dipastikan pada 2 kali kronis. Lesi daerah distal, kemampuan
5) Cotton-wool pemeriksaan dengan aterosklerotik ini proksimal, atau refraksi menurun.
spots jarak waktu 3-6 bulan menyebabkan fokal, dan biasanya Disamping itu,
6) Lekukan vena Penurunan progresif pasien dengan DM muncul bersamaan kristal sorbitol
dan GFR tipe 2 mengalami dengan gejala menyebabkan
pembengkakan Peningkatan tekanan kecenderungan sensorik (neuropati halangan cahaya
vena darah tinggi mengalami sensorimotor) untuk mencapai
7) Edema makula penyakit jantung Otonom : retina.
koroner, penyakit neuropati yang Sehingga akan
serebrovaskular, dan dapat terdapat gejala
ulkus diabetikum mempengaruhi seperti pandangan
kardiovaskular, kabur, penurunan
gastrointestinal, visus progresif, dan
dan genitourinaria apabila
dan kelenjar penumpukan
keringat sorbitol semakin
bertambah, maka
akan terjadi
kebutaan

xxxiv
C. Komplikasi Kerentanan Infeksi
Selain Komplikasi Akut dan Jangka panjang ada juga komplikasi
dengan penyakit infeksi. Secara umum, penyakit infeksi lebih sering atau
lebih parah terjadi pada pasien dengan DM, yang dengan signifikan
meningkatkan morbiditas dan mortalitas penyakit ini. Tingginya frekuensi
infeksi pada DM disebabkan oleh kondisi hiperglikemik yang
menyebabkan disfungsi imun (kerusakan fungsi neutrofil, penekanan
sistem antioksidan, dan gangguan fungsi imunitas humoral), mikro dan
makroangiopati, neuropati, penurunan fungsi antibakterial pada urin,
dismotilitas sistem gastrointestinal dan urinaria, dan banyaknya intervensi
medis pada pasien DM. Karena rentannya pasien dengan DM untuk
mengalami infeksi, American Diabetes Association (ADA)
merekomendasikan agar pasien DM mendapatkan imunisasi anti-
pneumokokus dan vaksin influenza. (Khardori. 2015, Bhavsar. 2015,
Hemphill.2016)
Gangguan metabolik ini memiliki beberapa faktor resiko yang sangat
kuat hubungannya dengan pola genetik, obesitas, dan gaya hidup.
Interfensi terhadap faktor resiko tersebut, terutama yang dapat diubah,
secara signifikan menurunkan morbiditas dan mortalitas dari penyakit ini.
Berbagai komplikasi dapat terjadi pada DM tipe 2, yaitu gangguan
metabolik akut, gangguan vaskular, neuropati, dan infeksi. Kondisi
hiperglikemia kronis, resistensi insulin, dan insufisiensi sekresi insulin
relatif adalah faktor yang menyebabkan perkembangan komplikasi.
(Fatimah Eliana. 2017)
3.2 Prognosa
Prognosis pada penderita diabetes tipe 2 bervariasi. Namun pada
pasien diatas prognosisnya dapat baik apabila pasien bisa memodifikasi
(meminimalkan) risiko timbulnya komplikasi dengan baik. Serangan
jantung , stroke, dan kerusakan saraf dapat terjadi. Beberapa orang
dengan diabetes mellitus tipe 2 menjadi tergantung pada hemodialisa
akibat kompilkasi gagal ginjal. (Rina Kriswiastiny. 2015)
xxxv
BAB IV
PENCEGAHAN

Pencegahan dan pengendalian diabetes mellitus melitus di Indonesia


dilakukan agar individu yang sehat tetap sehat, orang yang sudah memiliki
faktor risiko dapat mengendalikan faktor risiko agar tidak jatuh sakit
diabetes, dan orang yang sudah menderita Diabetes Melitus dapat
mengendalikan penyakitnya agar tidak terjadi komplikasi atau kematian
dini. Upaya penegahan dan pengendalian diabetes dilakukan melalui
edukasi, deteksi dini faktorrisiko PTM, dan tatalaksana sesuai standar.
(Fatimah. 2017)
Individu dengan riwayat Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) atau
Glukosa Darah Puasa (GDP) terganggu atau kelompok pre-diabetes
seharusnya lebih mawas diri dan perlu untuk menerapkan pola hidup
sehat dengan memperhatikan asupan makan dan minumnya, serta teratur
untuk melakukan aktivitas fisik sehingga kondisi ini tidak berlanjut menjadi
diabetes melitus. (Rina Kriswiastiny. 2015)
Keterlibatan masyarakat melalui Upaya Kesehatan Berbasis
Masyarakat (UKBM) juga memiliki peran penting dalam pengendalian
diabetes melitus atau yang lebih dikenal dengan Posbindu. Melalui
Posbindu ini, upaya deteksi dini sebagai identifikasi awal individu memiliki
faktor risiko termasuk pemeriksaan gula darah sewaktu oleh para kader
terlatih dapat dilakukan, sehingga bila ditemukan individu dengan masalah
dapat dilakukan edukasi, intervensi dan atau dirujuk ke Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP). Populasi dengan faktor
risiko bisa memodifikasi gaya hidupnya sehingga bisa kembali ke kondisi
normal melalui Gerakan Tekan Angka Obesitas(Gentas), Konseling Upaya
Berhenti Merokok(UBM), melakukan aktivitas fisik secara teratur dan
mengatur polamakan sesuai kondisi tubuh. (Rina Kriswiastiny. 2015,
Fatimah. 2015)

xxxvi
Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 2018,
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 100 tahun 2018, dan Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 4 tahun 2019 telah menetapkan bahwa upaya
pengendalian diabetes melitus, merupakan salah satu pelayanan minimal
yang wajib dilakukan oleh pemerintah daerah. Setiap penderita diabetes
melitus akan menerima pelayanan sesuai standar minimal satu kali
sebulan yang meliputi pengukuran kadar gula darah, edukasi, dan terapi
farmakologi sertarujukan jika diperlukan. Dengan adanya jaminan ini
diharapkan semua penderita diabetes melitus bisa terkontrol dan
menerima tatalaksana dengan baik guna menghindari komplikasi dan
kematian dini serta bisa menurunkan beban biaya akibat diabetes melitus
dan komplikasinya. (Fatimah. 2015)
Selain itu, adanya Inpres No 1 tahun 2017 tentang Germas juga
membantu mendorong pembudayaan perilaku hidup sehat bagi seluruh
masyarakat termasuk orang dengan faktor risiko PTM dan penderita
diabetes melitus. Keterlibatan semua sektor terkait dalam mendukung
perwujudan Germas diharapkan dapat menurunkan prevalensi diabetes
melitus dan faktor risikonya. Penggunaan obat dalam pengelolaan
diabetes melitus akan efektif bila disertai dengan modifikasi gaya hidup
yang lebih sehat terutama yang berkaitan dengan faktor risiko yang
dimiliki. (Rina Kriswiastiny. 2015, PERKENI. 2015)
Adapula Pencegahan penyakit diabetes melitus dibagi menjadi empat
bagian yaitu: (Fatimah. 2015)

4. 1 Pencegahan Premordial

Pencegahan premodial adalah upaya untuk memberikan kondisi


pada masyarakat yang memungkinkan penyakit tidak mendapat
dukungan dari kebiasaan, gaya hidup dan faktor risiko lainnya.
Prakondisi ini harus diciptakan dengan multimitra. Pencegahan
premodial pada penyakit DM misalnya adalah menciptakan prakondisi
sehingga masyarakat merasa bahwa konsumsi makan kebarat-baratan
xxxvii
adalah suatu pola makan yang kurang baik, pola hidup santai atau
kurang aktivitas, dan obesitas adalah kurang baik bagi kesehatan.

4. 2 Pencegahan Primer

Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada orang-orang


yang termasuk kelompok risiko tinggi, yaitu mereka yang belum
menderita DM, tetapi berpotensi untuk menderita DM diantaranya:
(PERKENI. 2015)
a. Kelompok usia tua (>45tahun)
b. Kegemukan (BB(kg)>120% BB idaman atau IMT>27 (kglm2))
c. Tekanan darah tinggi (>140i90mmHg)
d. Riwayat keiuarga DM
e. Riwayat kehamilan dengan BB bayi lahir > 4000 gr.
f. Disiipidemia (HvL<35mg/dl dan atau Trigliserida>250mg/dl).
g. Pernah TGT atau glukosa darah puasa tergangu (GDPT)
Untuk pencegahan primer harus dikenai faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap timbulnya DM dan upaya untuk menghilangkan
faktor-faktor tersebut. Oleh karena sangat penting dalam pencegahan ini.
Materi penyuluhan meliputi program penurunan berat badan, diet sehat,
latihan jasmani dan menghentikan kebiasaan merokok. Perencanaan
kebijakan kesehatan ini tentunya diharapkan memahami dampak sosio-
ekonomi penyakit ini, pentingnya menyediakan fasilitas yang memadai
dalam upaya. Sejak dinihendaknya telah ditanamkan pengertian tentang
pentingnya kegiatan jasmani teratur, pola dan jenis makanan yang sehat
menjaga badan agar tidak terlalu gemuk:, dan risiko merokok bagi
kesehatan. (Antari. 2017)

4. 3 Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat


timbulnya penyulit dengan tindakan deteksi dini dan memberikan
pengobatan sejak awal penyakit. Dalam pengelolaan pasien DM, sejak

xxxviii
awal sudah harus diwaspadai dansedapat mungkin dicegah kemungkinan
terjadinya penyulit menahun. Program ini dapat dilakukan dengan
pemberian pengobatan yang cukup dan tindakan deteksi dini penyulit
sejak awal pengelolaan penyakit DM. Penyulihan ditujukan terutama bagi
pasien baru, yang dilakukan sejak pertemuan pertama dan selalu diulang
pada setiap pertemuan berikutnya. Pemberian antiplatelet dapat
menurunkan resiko timbulnya kelainan kardiovaskular pada penyandang
Diabetes. Pilar utama pengelolaan DM meliputi: (Fatimah. 2015)
a. penyuluhan
b. perencanaan makanan
c. latihan jasmani
d. obat berkhasiat hipoglikemik.
4. 4 Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya mencegah terjadinya kecacatan
lebih lanjut dan merehabilitasi pasien sedini mungkin, sebelum
kecacatan tersebut menetap. Pelayanan kesehatan yang holistik dan
terintegrasi antar disiplin terkait sangat diperlukan, terutama dirumah
sakit rujukan, misalnya para ahli sesama disiplin ilmu seperti ahli
penyakit jantung, mata, rehabilitasi medis, gizi dan lain-lain. Pada
pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan kepada pasien dan juga
kelurganya dengan materi upaya rehabilitasi yang dapat dilakakukan
untuk mencapai kualitas hidup yang optimal. Upaya rehabilitasi pada
pasien dilakukan sedini mungkin sebelum kecacatan menetap, misalnya
pemberian aspirin dosis rendah 80-325 mg/hari untuk mengurangi
dampak mikroangiopati. Kolaborasi yang baik antar para ahli di berbagai
disiplin, jantung, ginjal, mata, bedah ortopedi, bedah vaskular, radiologi,
rehabilitasi medik, gizi, pediatrist dll sangat diperlukan untuk menunjang
keberhasilan pencegahan tersier. (Raghavan. 2016, Quan. 2016, Rowe.
2016)

xxxix
BAB V
PENUTUP

5.1 Simpulan

Diabetes Mellitus Tipe 2 (DM Tipe 2) adalah penyakit gangguan


metabolik yang di tandai oleh kenaikan gula darah akibat penurunan
sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan atau ganguan fungsi insulin
yang terjadi melalui 3 cara yaitu rusaknya sel-sel B pankreas karena
pengaruh dari luar (virus,zat kimia,dll), penurunan reseptor glukosa pada
kelenjar pankreas, atau kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer.
Penderita diabetes melitus biasanya mengeluhkan gejala khas seperti
poliphagia (banyak makan), polidipsia (banyak minum), poliuria (banyak
kencing/sering kencing di malam hari) nafsu makan bertambah namun
berat badan turun dengan cepat (5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu) mudah
lelah, dan kesemutan. Kejadian DM Tipe 2 lebih banyak terjadi pada
wanita sebab wanita memiliki peluang peningkatan indeks masa tubuh
yang lebih besar. Peningkatan Kejadian Diabetes Melitus tipe 2 di
timbulkan oleh faktor faktor seperti riwayat diabetes melitus dalam
keluarga, umur, Obesitas, tekanan darah tinggi, dyslipidemia, toleransi
glukosa terganggu, kurang aktivitas, riwayat DM pada kehamilan.
Diabetes Melitus Tipe 2 yaitu ditemukan keluhan dan gejala yang khas
dengan hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200 mg/dl, glukosa
darah puasa >126 mg/dl. Penatalaksanaan Diabetes Melitus dapat
dilakukan dengan pemilihan obat oral hiperglikemik dan insulin serta
modifikasi gaya hidup seperti diet, dan olahraga teratur untuk menghindari
komplikasi seperti ketoasidosis diabetik, koma Hiperosmoler Non Ketotik
(KHNK) dan kemolakto asidosis, penyakit jantung koroner,gagal jantung
kongetif, stroke, nefropati, diabetik retinopati (kebutaan), neuropati, dan
ulkus diabetikum.

xl
REFERENSI

1. WHO. 2020. Type 2 Diabetes. Diakses pada


https://www.who.int/health-topics/diabetes Tanggal 30 Desember
2020

2. Decroli, Eva dkk. 2019. Diabetes Melitus Tipe 2. Fakultas Kedokteran


Universitas Andalas. Padang.

3. Kemenkes RI. 2020. Infodatin: Tetap Produktif, Cegah, dan Atasi


Diabetes Melitus. Pusat data dan Informasi Kementerian Keseshatan
RI. Jakarta Selatan

4. PB PERKENI. 2015. Konsensus pengelolaan dan pencegahan


diabetes melitus tipe 2 di Indonesia. Jakarta

5. Putra, Ahmat Rediansya. 2018. Hubungan Kadar Glukosa Darah


dengan Kadar a-amilase Pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 yang
Obesitas. Clinical Pathology Laboratory of Muhammadiyah Semarang
University. Semarang

6. Fitriyani. 2015. Faktor Risiko Diabetes Melitus Tipe 2 di Puskesmas


Kecamatan Citangkil dan Puskesmas Kecamatan Pulo Merak Kota
Cilegon. Fakultas Kesehatan Masyarakat Program Studi Sarjana
Reguler Kesehatan Masyarakat Departemen Biostatistika Dan
Kependudukan Depok Universitas Indonesia.

7. Fatimah, Restyana Noor. 2015. Diabetes Melitus Tipe 2. Medical


Faculty Lampung University. Lampung.

8. Antari, Ni Kadek Novi. 2017. Diabetes Melitus Tipe 2. Fakultas


Kedokteran Universitas Udayana. Denpasar.

9. Fatimah Eliana. 2017. Penatalaksanaan Dm Sesuai Konsesnsus


Perkeni 2015. Bagian Penyakit Dalam FK YARSI. Jakarta

10. Khardori, Romesh. 2015. Type 2 Diabetes Mellitus. Diunduh di


www.emedicine.medscape.com

11. Bhavsar, Abdhish R. 2015. Diabetic Retinopathy. Diunduh di


www.emedicine.medscape.com Tanggal 30 Desember 2020

xli
12. Quan, Diana. 2016. Diabetic Neuropathy. Diunduh di
www.emedicine.medscape.com Tanggal 30 Desember 2020

13. Hemphill, Robin R. 2016. Hyperosmolar Hyperglicemic State. Diunduh


di www.emedicine.medscape.com Tanggal 30 Desember 2020

14. Rowe, Vincent Lopez. 2016. Diabetic Ulcers. Diunduh di


www.emedicine.medscape.com Tanggal 30 Desember 2020

15. Raghavan, Vasudevan A. 2016. Diabetic Ketoacidosis. Diunduh di


www.emedicine.medscape.com Tanggal 30 Desember 2020

16. Kriswiastiny, Rina. 2015. Diabetes Melitus. FK Universitas Lampung.


Bandar Lampung.

17. IDF. 2019. Diabetes Atlas. International Diabetes Federation. Online


version of IDF Diabetes Atlas: www.diabetesatlas.org.

18. ADA. 2020. Standards of Medical Care in Diabetes 2020. American


Diabetes Association. USA.

19. AACE. 2020. The Comprehensive Type 2 Diabetes Management


Algorithm – 2020 Executive Summary. American Associati
on Of Clinical Endocrinologists. USA

xlii

You might also like