You are on page 1of 12

MIMBAR, Vol. 29, No.

2 (Desember, 2013): 133-144

Proses Kolaboratif dalam Perencanaan Berbasis Komunikasi


pada Masyarakat Nonkolaboratif

ELY SUFIANTI,1 DEWI SAWITRI,2 KRISHNAI NUR PRIBADI,3 TOMMY FIRMAN 4


1
Mahasiswa Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota, Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan
Kebijakan, Institut Teknologi Bandung
2, 3, 4
Dosen Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi Bandung
email: 1 esufianti@yahoo.com

Abstract. The collaborative process is a key element of the communicative-based


planning. This process requires participations, equality of power, as well as adequate
competence of the actors who engage the process. This condition seems difficult to
occur in the societies, especially those in developing countries, in which people’s par-
ticipation, equality of power, and competence are considered low (uncollaborative
society). The purpose of this paper is to explore whether the collaborative process
can occur or not in the context of such societies. The empirical investigation was
conducted by using the qualitative research methods with a case study approach to
sidewalk vendors arrangement planning at Banjarsari, Surakarta City. It shows that
the planning involves the collaborative process stages and authentic dialogue, which
are the key aspects of collaborative process
Keywords: collaboration, planning, sidewalk vendors

Abstrak. Proses kolaboratif merupakan unsur utama dari perencanaan berbasis


komunikasi. Proses kolaboratif memerlukan partisipasi, kesetaraan kekuasaan, serta
kompetensi yang memadai dari para pemangku kepentingan. Kondisi ini terlihat sulit
terjadi pada masyarakat yang cenderung memiliki tingkat partisipasi, kesetaraan
kekuasaan, dan kompetensi rendah (masyarakat nonkolaboratif ), suatu kondisi
masyarakat yang masih terjadi terutama di negara-negara berkembang. Tujuan artikel
ini adalah untuk melihat secara mendalam apakah proses kolaboratif dapat terjadi
pada konteks masyarakat demikian. Hal ini dilihat melalui penelitian empiris dengan
kasus perencanaan penataan pedagang kaki lima Banjarsari di Kota Surakarta, dengan
menggunakan metode kualitatif. Hasil penelitian memerlihatkan bahwa pada
perencanaan tersebut terdapat tahapan-tahapan proses kolaboratif dan dialog otentik
yang merupakan aspek utama dalam proses kolaboratif.
Kata kunci: kolaboratif, perencanaan, pedagang kaki lima

Pendahuluan pemerintah dan PKL. Kedua belah pihak perlu


duduk bersama.
Dalam tataran praktik, pentingnya ruang
Kasus tersebut merupakan sala h satu
kolaborasi dalam pembangunan dihadapi oleh
co nt oh ya ng m eme rl ihat kan bahwa pros es
permasalahan pedagang kaki lima (PKL) dalam
pembangunan saat ini tidak lagi hanya menjadi
kaitannya dengan penataan ruang kota. Selama
dominasi pemerintah. Kritik bahwa pembangunan
ini PKL menduduki ruang publik dan mengakibatkan
hanya menjadi kepenti ngan pihak terte ntu,
kekumuhan dan kemacetan lalu lintas. Dalam
m eny adark an pe me rint ah a k an pe rl uny a
menyelesaikan masalah tersebut, seringkali terjadi
komunikasi dan tindakan bersama dengan para
keributan antara pemerintah dan PKL. Pemerintah
pemangku kepentingan. Hal ini menimbulkan
melakukannya dengan alasan penataan kota,
munculnya pemikiran collaborative governance
s em enta ra PKL m eras a hak m erek a untuk
(Anshell & Gash, 2007; Innes & Booher, 2010),
berpenghasilan dirampas begitu saja. Mereka
dim ana para pe mangk u kepentingan duduk
menganggap pemerintah hanya mengusir tanpa
bersama untuk mengambil suatu keputusan publik
memikirkan nasib mereka. Dengan demikian,
yang merupakan hasil konsensus melalui suatu
dalam menyelesaikan masalah ini, diperlukan
proses dialog tatap muka.
keterlibatan intensif kedua belah pihak, yaitu
Sebagai bagian dari proses pembangunan

‘Terakreditasi’SK Kemendikbud, No.040/P/2014, berlaku 18-02-2014 s.d. 18-02-2019 133


ELY SUFIANTI, DKK. Proses Kolaboratif dalam Perencanaan Berbasis Komunikasi pada Masyarakat Nonkolaboratif

yang telah mengalami pergeseran paradigma, Proses Kolaboratif sebagai Unsur Utama
perencanaa n j uga m e ngal a mi pe rge se ra n Perencanaan Berbasis Komunikasi
paradi gm a k e a ra h pere nca na an be rba si s
Beberapa pendekatan perencanaan, yaitu
komunikasi yang menjadi salah satu unsur penting
perencanaa n t ra ns a kt if (Fri e dm an, 1 97 3) ,
dalam pembangunan berbasis kolaborasi, seperti
pere ncana an ko la bora ti f ( He a le y, 19 9 6) ,
dijelas kan dalam Gam bar 1. Pada a walnya,
perencanaan komunikatif (Sager, 1994; Innes,
perencanaan berlandaskan pada rasionalitas in-
1997), perencanaan deliberatif partisipatif (For-
strumental, yang dikenal sebagai rational planning
ester, 2000), dan perencanaan konsensus (Woltjer,
(Banfield, 1959). Namun pendekatan ini seringkali
2000), memiliki karakteristik yang relatif sama
mengabaikan realitas politik, sehingga Charles
dalam hal menekankan pentingnya kerjasama
Lindbloom (1959) mengajukan gagasan tentang
dengan didasari komunikasi antarpemangku
disjointed incementalism dan Amitai Ezioni (1967)
kepentingan. Proses kerjasama tersebut akan
de ngan gagasan Mi xed-scanni ng. Me sk ipun
berlangsung dengan baik jika terdapat komunikasi
t erdapat pe rubaha n pende k at a n, na mun
dal am be nt uk dia lo g dida la mny a. Da la m
perencanaan tetap hanya melibatkan para pemikir
perencanaan transaktif, dialog yang terjadi adalah
dan pengambil keputusan. Di lain pihak, diyakini
life dialogue, yang dipertegas oleh Innes dan
bahwa perencanaan juga harus mem ikirkan
Booher (1997) sebagai authentic dialogue. Dalam
k epenti nga n s em ua k e lo mpo k ma sy a ra ka t
hal ini, setiap aktor yang duduk bersama saling
sehingga kaum marjinal pun harus terwakili dalam
menghargai, empati, terjadi hubungan timbal balik
perencanaan. Dalam situasi ini, perencana perlu
dan saling menguntungkan. Dengan demikian, dia-
berperan sebagai seorang advokat, innovator, dan
log hanya a kan terjadi jika para pemangku
birokrat (Davidoff, 1965; Dyckman, 1961, Beckman,
kepentingan berpartisipasi dan duduk bersama
1964). Berikutnya, Friedman (1973) mengemuka-
dalam memecahkan permasalahan. Partisipasi
kan pemikiran tentang perencanaan transaktif
sendiri hanya akan terjadi jika mereka memiliki
dim ana pere nca na an se yo gya ny a di susun
kepentingan dan memiliki kesempatan untuk
berdasarkan dialog antara perencana dengan
menyuarakan kepentingannya, dan partisipasi
klien-nya. Friedman (1987, dalam Friedman 2011)
tersebut hanya akan te rjadi jika ada saling
juga mengemukakan bahwa perencanaan dalam
ketergantungan dan kepercayaan. Kerjasama
tataran publik, dimana ba hwa perencanaan
melalui dialog dan partisipasi diarahkan pada
merupakan suatu bentuk aplikasi atas pengetahuan
pembentukan konsensus (Woltjer, 2000; Innes,
k e dal am ti nda ka n da n me nge l om po k ka n
1996). Proses yang memuat aktivitas dialog,
perencanaan sebagai Social Reform, Policy Analy-
partisipasi, dan berorientasi kepada keputusan
sis, Social Learning, dan Social Mobilization.
bersa m a, t e ra ngk um da la m s ua t u pro se s
Peruba ha n pendek at a n i ni m e nj a di ka n
kol aborat if. De ngan demiki an, da lam suatu
perencanaan tidak hanya milik pemerintah, tetapi
pendekatan perencanaan berbasis komunikasi,
milik masyarakat.

Krisis Dinamika Collaborative


Demokrasi Kepercayaan Governance

Proses Pembangunan Berbasis Kolaborasi

Perencanaan Implementasi Evaluasi

Rasionalitas Instrumental Perencanaan Rasionalitas


berbasis komunikasi komunikatif

Gambar 1
Proses Pembangunan Berbasis Kolaborasi dan Pergeseran Paradigma Perencanaan

134 ISSN 0215-8175 | EISSN 2303-2499


MIMBAR, Vol. 29, No. 2 (Desember, 2013): 133-144

terjadi proses kolaboratif (Gambar Perencanaan melalui jejaring secara akurat dan dapat dipercaya
kolaboratif (Healey, 1997; Innes, 1998). diantara para peserta. Dalam dialog otentik,
Proses kolaboratif merupakan suatu proses terdapat timbal balik (reciprocity), hubungan (re-
adaptive system dimana pendapat-pendapat yang lationship), pembelajaran (learning), kreatifitas
berbeda dari berbagai pi hak yang akhi rnya (creativity), dan menghasilkan adaptasi dari sistem
menghasilkan suatu konsensus. Anshell dan Gash yang ada. Hal ini berarti bahwa para peserta
(2008) berupaya memetakan suatu model yang ( ak to r) berbi cara m ew a ki l i ke pent inga n
menggambarkan bagaimana proses kolaboratif kelompoknya, saling menghormati, dan berbicara
terjadi. Proses kolaboratif menurut model ini terdiri dengan akurat. Tentu saja hal ini membutuhkan
dari berbagai tahapan yaitu dimulai dari adanya kepercayaan, komitmen, dan pemahaman diantara
dialog secara tatap muka (face-to-face dialogue), para aktor.
m em ba ngun k eperca ya an (t rus t buil ding) ,
membangun komitmen terhadap proses (commit- Permasalahan: Kesenjangan Pra-syarat
ment to t he process) , berbagi pem aham an Proses Kolaboratif
( share d unders tandi ng), da n k e mudia n
terbentuknya hasil sementara (intermediate out- Dengan memerhatikan bagaimana proses
come). Tahapan ini merupakan suatu siklus kolaboratif dalam perencanaan terjadi, dimana
sehingga terjadi proses pembelajaran didalamnya. terjadi dialog otentik yang berorientasi konsensus
Innes dan Booher (2010) mengembangkan model didalamnya, maka dapat dikatakan bahwa proses
DIAD Network Dynamic untuk memerlihatkan kolaboratif terjadi jika terdapat beberapa prasyarat
bahwa proses kolaborasi menggambarkan jejaring (Sufianti, 2013). Prasyarat tersebut adalah: (1)
kolaboratif dimana terdapat keragaman, saling Terdapat partisipasi para pemangku kepentingan
(Anshel dan Gash, 2008; Healey, 2006; Woltjer,
ketergantungan dan dialog otentik didalamnya. Hal
2000). Partisipasi yang sebenarnya adalah citizen
ini berarti bahwa: pertama, jejaring kolaboratif
po wer se pe rt i di ke kukak an dala m ta ngga
memiliki keragaman agen-agen, kedua, agen-agen
pa rt is ipas i m enurut Arnste in ( 19 69 ). Pada
be ra da dala m si tuasi m am pu untuk sa li ng
umumnya, tingkat partisipasi tinggi muncul dalam
mem enuhi kepentinga n mas ing-ma sing dan
masyarakat yang sudah menjalankan sistem
menyadari adanya saling ketergantungan diantara
demokrasi. (2) Terdapat kondisi dimana ada
mereka, dan ketiga, terdapat dialog otentik (au-
kesetaraan kekuasan (Anshell dan Gash, 2008;
thentic dialogue) dimana komunikasi mengalir

Perencanaan berbasis
komunikasi

Perencanaan transaktif
(Friedman,1973) • dialog
Proses
• partisipasi
Kolaboratif
Perencanaan komunikatif • keputusan
(Innes, 1998) bersama

Perencanaan partisipatif
(Forester, 2000)

Perencanaan berbasis
konsensus (Woltjer, 2000)

Perencanaan kolaboratif
(Healey, 1997; Innes, 1998)

Gambar 2
Kedudukan Proses Kolaborasi dalam Perencanaan Berbasis Komunikasi.

‘Terakreditasi’SK Kemendikbud, No.040/P/2014, berlaku 18-02-2014 s.d. 18-02-2019 135


ELY SUFIANTI, DKK. Proses Kolaboratif dalam Perencanaan Berbasis Komunikasi pada Masyarakat Nonkolaboratif

Healey, 2008; Innes dan Booher, 2000). Hal ini Hal ini umumnya terjadi karena berkaitan dengan
berarti tidak ada dominasi oleh pihak tertentu, m as al a h buday a dan ti ngk at pe ndi di ka n
setiap aktor yang berdialog tidak dihalangi oleh masyarakatnya. Partisipasi masyarakat dalam
bat a s hi rark i, da n t erdapat ra s a sa l ing mengikuti proses perencanaan pembangunan
menghormati. (3) Terdapat aktor-aktor yang masih terdapat banyak kelemahan terutama
kompeten. Dialog yang terjadi harus merupakan melalui jalur musrenbang (Akadun, 2011), dan
bentuk komunikasi yang berorientasi konsensus, konsep pembangunan yang partisipatif perlu
sehingga memerlukan aktor yang mendukung, dirumuskan dalam suatu strategi yang menyeluruh
dal a m art i m em il i ki ko mpe te nsi da la m (Djoeffan, 2002). Dalam hal ini, masyarakat
berkomunikasi, memahami substansi, dan memiliki Surakarta yang berlatar belakang budaya Jawa,
orientasi mencapai tujuan untuk kepentingan digunakan sebagai kasus masyarakat yang secara
bersama. Pentingnya peran aktor yang memeliliki umum berada dalam kondisi yang tidak memenuhi
kemauan dan kompetensi dinyatakan oleh de Roo prasyarat terjadinya proses kolaboratif, dengan
dalam Actor Consulting Model (2007). tingkat partisipasi rendah, kompetensi rendah, dan
Pra s ya rat s e pe rti pa da Ga m ba r 3 , k es e ta ra a n k ek ua s aa n rendah. Ada pun
memperlihatkan bahwa proses kolaboratif akan karakteristik masyarakat Surakarta dari sisi tingkat
dapat berjalan dengan baik dengan partisipasi aktif part is ipa si , k om pet e ns i , da n k e se ta raa n
masyarakatnya diwakili oleh aktor-aktor yang kekuasaan, dapat dilihat pada tabel 1. Sedangkan
memiliki kemampuan berdialog. Hal ini hanya dapat Permasalahan dapat dilihat dalam gambar 3. Dari
t erj adi di negara -ne ga ra ma j u dan s uda h gambar tersebut terlihat adanya kesenjangan
demokratik. Dengan melihat prasyarat di atas, antara kondisi yang menjadi prasyarat tercapainya
maka proses kolaboratif tidak dapat dengan mudah keberhasilan proses kolaboratif dengan kondisi
terwujud pada masyarakat yang memiliki tingkat nyata.
pa rt isi pa si ma sya ra kat y ang rendah, s erta Berdasarkan latar belakang dan isu di atas,
kepemimpinan yang tidak mendukung. Kondisi yang menjadi permasalahan adalah bagaimana
seperti ini masih mudah dijumpai pada masyarakat proses kolaboratif pada masyarakat yang memiliki
tertentu, umumnya di negara-negara berkembang. kesetaraan kekuasaan, tingkat partisipasi, dan

Prasyarat Perencanaan Berbasis Komunikasi

Proses Kolaboratif

Partisipasi
(Anshel dan Gash, 2008; Komitmen Pemahaman
terhadap bersama
Healey, 2006;Woltjer,
proses
2000)

Dialog
otentik:
-timbal balik
A
-hubungan
Kesetaraan kekuasaan
Membangun - Hasil
(Anshell dan Gash,
kepercayaan pembelajar sementara
2008; Healey, 2008;
an
Innes dan Booher,
2000)

Dialog
tatap
muka

Kompetensi aktor
(de Roo, 2007 )

Gambar 3
Prasyarat Keberhasilan Proses Kolaboratif dan Proses Kolaboratif
(sumber: diadaptasi dari Ansell & Gash, 2008; Innes & Booher, 2000)

136 ISSN 0215-8175 | EISSN 2303-2499


MIMBAR, Vol. 29, No. 2 (Desember, 2013): 133-144

Tabel 1. Karakteristik Masyarakat Surakarta dari Sisi Tingkat Partisipasi, Kompetensi,


dan Kesetaraan Kekuasaan

Tingkat partisipasi Kompetensi masyarakat Adanya ketidaksetaraan


masyarakat relatif umumnya rendah kekuasaan
rendah

Awalnya rendah, mulai Persentase penduduk yang Adanya latar belakang


meningkat setelah tahun tidak sekolah, belum tamat SD, feodalisme
2001* tidak tamat SD, dan tamat SD
yaitu 45.26% (2011)**

* Kenyataan tentang rendahnya partisipasi masyarakat di Kota Surakarta sebelum 2001 terlihat setelah adanya upaya
peningkatan partisipasi masyarakat yang terlihat keberhasilannya. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan
meningkat setelah mengadopsi pendekatan partisipasi pada tahun 2001 melalui bantuan LogoLink international
network for participatory planning (Sugiartoto dalam Widianingsih, 2005)
** Surakarta dalam angka (2011)

kom pete nsi rendah? D enga n me liha t ka sus Pengumpulan data dilakukan terhadap data primer
perencanaan penataan PKL Banjarsari, maka dan sekunder.
t uj ua n pe nuli s an arti k el ini a da l ah untuk Teknik pengumpulan data primer dilakukan
menjelaskan bagaimana proses kolaboratif pada denga n w a wa nca ra t e rs t rukt ur denga n
perencanaan penataan PKL Banjarsari di Kota menggunakan pertanyaan terbuka serta observasi
Surakarta, serta memberikan gambaran kontribusi s ederhana ( De nzi n dan L i ncol n, 2 00 9) .
pemikiran yang dapat diberikan terhadap teori Wawancara dilakukan terhadap para aktor yang
perencanaan berbasis komunikasi khususnya pe rna h terlibat dal am prose s pere ncana an
berkaitan dengan proses kolaboratif berdasarkan penataan PKL Banjarsari tersebut. Adapun data
data empirik. Untuk mendapatkan jawaban atas sekunder yang dikumpulkan adalah peraturan-
permasalahan, digunakan penelitian dengan peraturan terkait, soft file dari surat kabar lokal,
metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus foto-foto serta dokumen-dokumen resmi yang
deskriptif (Creswell, 1998; Yin, 2009) dan studi pernah diterbitk an ol eh K anto r PPK L untuk
kasus instrumental (Denzin dan Lincoln, 2009). m el ak uka n w aw a ncara da n pe nga m at an,

Gambar 4
Permasalahan: Kesenjangan Prasyarat Proses Kolaboratif

‘Terakreditasi’SK Kemendikbud, No.040/P/2014, berlaku 18-02-2014 s.d. 18-02-2019 137


ELY SUFIANTI, DKK. Proses Kolaboratif dalam Perencanaan Berbasis Komunikasi pada Masyarakat Nonkolaboratif

digunakan alat yaitu panduan wawancara, panduan akhirnya sepakat untuk menolak. Salah seorang
observasi, alat perekam, catatan, dan kamera. ketua paguyuban pada saat itu mengatakan:
Strategi untuk menganalisis data yang telah “Ketika itu, kami melakukan pertemuan terbuka di
dikumpulkan, adalah dengan bersandarkan pada lapangan, diikuti oleh hampir setengah dari
propisisi teoritis dan menggunakan deskripsi kasus. pedagang yang ada, dengan kesepakatan menolak
Data dan informasi kemudian dicocokan dengan pemindahan…”.
model kerangka teoritik yang dikembangkan dari Bersamaan dengan proses pendataan,
teori/konsep yang relevan (analisis pattern match- ja jaran pej aba t K ota Surak art a m ela kuk an
ing, Yin, 200 9). Kera ngka teo riti k te rsebut pendekatan kepada masyarakat secara informal.
dijelaskan pada gambar 3. Salah satu PKL mengatakan: “..Akhirnya malam-
malam pakai celana pendek, pak Jokowi tiba-tiba
Deskripsi Proses Penataan Pedagang Kaki menyambangi kita naik motor, ya ngobrol-ngobrol
Lima (PKL) Banjarsari atau malah bawa gorengan dan dia pergi lagi.
Pernah juga malah gak pakai helm, pakai celana
Secara umum, tahapan proses Penataan pendek, kaos, gak kelihatan kalau walikota.”
PKL Monumen Banjarsari ’45 dapat digambarkan Pendekatan secara informal lebih dapat menggali
sebagai berikut: keluhan dan keinginan para PKL. Hal yang sama
Persiapan: Pra Proses Kolaboratif juga dilakukan oleh wakil walikota dan kepala
kantor PPKL.
Dalam penataan PKL Banjarsari, pemerintah
menginisiasi perencanaan dengan mengidentifikasi Pe la ksan aa n: M emba ng un K omun ikasi
bahwa permasalahan PKL merupakan masalah dengan Para Pemangku Kepentingan
yang sangat penting dalam penataan kota. Dalam Untuk m ewujudkan rencana re lo kas i,
hal ini, identifikasi masalah dilakukan selain pemerintah kota terus menerus melakukan upaya
dengan memelajari kegagalan pemerintahan unt uk me li bat k an k e pa da pa ra pe m angk u
terdahulu, juga dengan memerhatikan kebutuhan kepentingan. Terdapat dua pemangku kepentingan
penataan kota serta tuntutan masyarakat umum uta m a da l am pe re nca naa n pena ta an PK L
serta kebutuhan dari PKL itu sendiri. Dengan Banjarsari, yaitu pemerintah dan PKL. Dari pihak
demikian identifikasi masalah pun dilakukan dengan pemerintah, didalamnya terlibat hampir seluruh
me li ha t ma sa la h da ri sudut pa ndang pa ra Satuan Kerja Perangka Daerah (SKPD) dalam
pemangku kepentingan. Selanjutnya, pemerintah Pemerintah Kota Surakarta. Selain itu, pihak yang
kota mendata para pemangku kepentingan yang satu suara ingin menata PKL Banjarsari adalah
dapat mempengaruhi keberhasilan mengatasi masyarakat, yang diwakili oleh tokoh-tokohnya.
permasalahan penataan tersebut, terutama para Dari pihak PKL, terdapat Lembaga Swadaya
PKL. Hal tersebut sesuai dengan penuturan mantan Masyarakat (Sompis, Leskap, Patiro, Yapi, Forkot)
Kepala Kantor Pengelolaan PKL, Kepala Dinas yang menyuarakan dan memerkuat posisi PKL.
Pengelolaan Pasar yang juga mantan Kepala Selain itu, pihak perguruan tinggi (UNS) terlibat
Satpol PP, dan seorang staf Satpol PP serta untuk mendukung keberhasilan program penataan
Subagyo (2007). PKL dengan meningkatkan kualitas PKL. Paguyuban
Persiapan dilakukan melalui pendataan dan PKL yang terlibat ada 9 paguyuban dan terlibat
pe rt em ua n-perte muan untuk menda pa tk an juga para PKL non paguyuban. Tokoh masyarakat
dukungan politik, anggaran, dan formulasi strategi yang terlibat diantaranya Ketua LPMK (Lembaga
dengan pihak DPRD Kota Surakarta. Pendataan Pemberdayaan Masyarakat Kota) Kedung Lumbu,
dilakukan dengan dikoordinasikan oleh Kantor Ketua LPMK Pasar Semanggi, dan Budayawan.
Pengelolaan PKL. Menurut seorang staf Satpol PP, Pendekatan secara formal dilakukan melalui
pendataan dilakukan dengan mendatangi tiap kios, konsultasi publik. Konsultasi publik yang diinisiasi
dilakukan pada bulan September 2005. Adapun oleh walikota, mengundang paguyuban-paguyuban
hasil pendataan saat itu memerlihakan adanya 989 yang menaungi PKL Banjarsari, terdiri dari 10
pedagang yang tergabung dalam 10 Paguyuban di paguyuba n. D al am ka rtu unda nga n y ang
lokasi tersebut, dan terdiri dari 18 jenis barang ditandatangani oleh Walikota, tertulis perihal
dagangan (Subagyo, 2007). Silaturahmi. Terdapat sambutan yang luar biasa
Sel a ma pros e s pendat a an, t erj adi terhadap undangan walikota, dimana dari pihak
keresahan dalam diri para pedagang. Mereka PKL, yang menghadiri pertemuan lebih banyak dari
menolak dipindahkan karena menganggap bahwa yang diundang.
apa yang akan dilakukan pemerintah saat itu tidak Akti vitas y ang dil akukan adalah pada
ak an berbe da dengan s ebel umnya. Mere ka pertemuan-pertemuan awal dengan walikota
bereaksi dengan melakukan konsolidasi untuk hanya berupa silaturahmi, makan, mendengarkan
m em e rk ua t pe no l ak an me rek a . De nga n hibura n cok ek an (s e ma cam k e ro nco ng) ,
melakukannya secara door to door, mereka pada penjelasan kondisi kota, persoalan-persoalan kota,

138 ISSN 0215-8175 | EISSN 2303-2499


MIMBAR, Vol. 29, No. 2 (Desember, 2013): 133-144

dan ada pembicaraan mengenai harapan-harapan karena mereka berpikiran mau pindah aja sudah
ke depan tanpa melakukan pembicaraan mengenai luar biasa artinya pemerintah tidak hanya profit
rel o ka si , l a lu pula ng. Ka re na bel um ada oriented namun empowering, pemberdayaan…”.
pembicaraan mengenai relokasi, waktu itu belum Dari sekian tuntutan yang dicukupi adalah: trayek
ada reaksi dari PKL. minibus antarkota, jalan dilebarkan, promosi
Pertemuan terse but berlanj ut dengan (me ngik la nka n Pa sa r K li ti ka n yang khus us
pertemuan-pertemuan lain baik di Balai Kota, dibangun untuk relokasi selama empat bulan di
rumah dinas walikota maupun Kantor PPKL. Waktu televisi dan media cetak lokal), bantuan modal
pertemuan dilakukan bisa pagi, siang atau malam koperasi (lima juta rupiah per PKL), jaminan tidak
ha ri . Berla ngsung se la ma 4-6 bulan. Ya ng ada PKL disana, kios gratis, surat ijin gratis, bebas
memimpin pertemuan kadang walikota, wakil retribusi selama 6 bulan.
waliko ta, atau K epala Kant or PPKL. Sekitar
pertemuan ke 5, 6, 7 ada reaksi mulai ada respon Analisis Proses Kolaboratif Perencanaan
penolakan. Setelah mengetahui akan dipindah, Penataan Pedagang Kaki Lima Banjarsari
para PKL menolak dan menginginkan tetap ditata di Surakarta
di sekitar Monumen Banjarsari, dengan alasan
lahan masih luas. Tanggal 29 Desember 2005, PKL Berdasarkan kenyataan di atas, berikut ini
Banjarsari melakukan pertemuan dengan walikota adalah analisis terhadap proses yang terjadi pada
untuk menyampaikan sikap penolakan. Tetapi waktu perencanaan relokasi PKL dari kawasan
dalam pertemuan tersebut, ada perubahan sikap B anja rsa ri ke lo k as i Sem a nggi , d enga n
pengurus karena walikota memberikan sosialisasi menggunakan sudut pandang konsep proses
yang menjelaskan secara detail konsep dalam kolaboratif dalam kerangka teori perencanaan
relokasi tersebut. Be berapa pengurus mulai be rba sis kom uni kas i. Dari desk rips i pros es
menerima untuk direlokasi. penataan PKL Banjarsari, jika dikaitkan dengan
Tanggal 30 D esember 20 05, walik ota proses kolaboratif menurut (Anshel dan Gash,
mengundang seluruh PKL Banjarsari (1000 orang) 2007; Innes & Boofer, 2000) terdapat rangkaian
ke loji Gandrung untuk memberikan sosialisasi proses sebagai berikut: (1) Mengidentifikasi
terhadap wacana relokasi sekaligus rencana permasalahan; (2) Mengidentifikasi pemangku
sarana dan prasarana yang disiapkan pemkot di kepe ntinga n; (3) Membangun ke percay aan,
lokasi baru. Tawaran untuk memeroleh kios secara (4) Membangun pemahaman bersama; (5) Meng-
gratis beserta fasilitasnya (pengurusan SIUP gratis, hasilkan upaya pemecahan masalah bersama; dan
kemudahan akses modal dari bank, pinjaman (6) Membangun komitmen bersama. Dua tahap
bergulir) merubah pandangan sebagian besar pert am a m erupa ka n t a ha pa n pra-pro se s
anggota PKL Banjarsari. Ada 3 paguyuban yang kolaboratif, sedangkan empat tahap berikutnya
te rang-t era ng meneri ma rencana t ers ebut. merupakan bagian dari proses kolaboratif. Hal ini
K em udi an me la l ui pe rt e mua n be rik utnya , sesuai dengan definisi dari proses kolaboratif yaitu
memertimbangkan respon PKL untuk direlokasi suatu proses yang membawa para pemangku
pengurus PKL Banjarsari memutuskan untuk kepentingan baik publik maupun swasta, ke dalam
menerima relokasi karena sebagian besar tuntutan suatu forum bersama lembaga publik, untuk
mereka kepada pemkot diluluskan. terlibat dalam pembuatan keputusan berorientasi
Pada pertemuan (kurang-lebih) ke 15, untuk konsensus (Anshel dan Gash, 2007). Empat tahap
lebih mengefektifkan berjalannya konsultasi publik berikutnya merupakan proses kolaboratif.
tersebut, maka dibentuk perwakilan dari masing- Pro se s ko la bo ra ti f me rupa ka n upay a
masing kelompok. Mas ing-masing k elompok membangun komunikasi dengan para pemangku
memberikan tuntutan, diantaranya: minta trayek kepentingan. Para pemangku kepentingan adalah
minibus antarkota, jalan dilebarkan, promosi, ba gi an dari suat u ko muni ta s so si al dal am
publikasi, bantuan modal koperasi, jaminan tidak perma s al aha n t erse but y a ng m e me rluka n
ada PKL disana, kios gratis, bebas retribusi selama pengakuan terhadap keberadaannya. Para PKL
6 bulan, perijinan gratis, sampai pada tuntutan sebagai bagian utama yang akan terkena dampak
jaminan bila pindah pasti laris (tidak kehilangan adalah pemangku kepentingan utama. Mereka
pembeli), serta jaminan hidup dan minta dikirab adalah agen dalam teori Strukturasi Giddens,
pada waktu pindah (pindah dikawal seluruh ba gian da ri dual ita s s truk tur, y ang mam pu
pejabat, mereka ingin pindah secara terhormat). melakukan praktik-praktik sosial secara berulang
Tuntutan dari masing-masing kelompok yang dan be rk es i na m bunga n. K o muni k as i y ang
awalnya puluhan tersebut, kemudian diperas, dan dilakukan antara pemerintah dengan para PKL
kemudian semuanya dipenuhi oleh Walikota. sejalan dengan paradigma teori komunikasi, yang
Seperti dikatakan oleh salah seorang pegawai tidak lagi memahami subjektivitas sebagai subjek
Satpol PP saat itu, bahwa respon Walikota Jokowi yang terisolasi, sebaliknya memahami subjektivitas
adalah,”… semua diiyakan, tak satupun ditolak, dan ilmu pengetahuan sebagai hasil proses-proses

‘Terakreditasi’SK Kemendikbud, No.040/P/2014, berlaku 18-02-2014 s.d. 18-02-2019 139


ELY SUFIANTI, DKK. Proses Kolaboratif dalam Perencanaan Berbasis Komunikasi pada Masyarakat Nonkolaboratif

komunikasi intersubjektif. Pengetahuan adalah hasil memerlakukan para PKL sebagai rekan. Bahkan
konsensus dengan subjek lain. Hal ini merupakan para pemangku kepentingan saling mendukung
konsep rasio komunikatif menurut Habermas. satu sama lain, tidak saling menjatuhkan.
Ada empat langkah utama yang dilakukan
Membangun Pemahaman Bersama melalui
dal am pros e s perencanaa n pena ta a n PK L
Timbal Balik
Banjarsari, ya itu me mbangun kepercaya an,
membangun pemahaman bersama, menyusun Upaya membangun hubungan dilakukan
upaya pemecahan bersama, dan membangun dengan hubungan timbal balik diantara para
komitmen bersama. Keempat langkah tersebut pemangku kepentingan, yang berarti adanya saling
dilakukan dalam suatu dialog tatap muka. Antara memberi dan menerima diantara mereka. Hal ini
para pejabat pemerintah dengan PKL dan para terlihat dalam hal, ketika proses konsultasi publik,
pemangku kepentingan lainnya. perw ak il a n dari pe me ri nta h m e mfa si li t as i
Jika dilihat lebih dalam, langkah-langkah te rja dinya di skusi dengan pa ra pe rwa kil an
proses tersebut “dijiwai” oleh hasil dari dialog paguyuban PKL. Mereka memerhatikan apa yang
otentik seperti dikemukakan oleh Innes dan Booher diusul ka n ol e h pa ra PK L , te rbukt i denga n
(2000) dalam DIAD Network theory, yaitu: disetujuinya beberapa hal yang disampaikan oleh
PKL. Selai n itu, Organisasi kemasyara katan
adanya timbal balik, hubungan, pembelajaran, dan
adap tasi t erhadap sistem. Misalnya d alam memberikan bantuan pendampingan kepada para
membangun kepercayaan, didalamnya terdapat PKL baik saat dialog berlangsung maupun di luar
unsur-unsur timbal balik, dalam membangun dia lo g. SOMPIS m e ndam pingi PK L utuk
pemahaman bersama didalamnya terdapat unsur- menyuarakan penolakan terhadap relokasi dan
unsur hubungan, di dalam menyusun upaya menyiapkan strategi yang akan dilakukan jika
pemecahan bersama muncul unsur pembelajaran
upaya penolakan gagal. Serangkaian pertemuan
termasuk kreativitas, dan dalam membangun
komitmen bersama muncul unsur-unsur adaptasi se banyak ena m k ali dil akukan untuk tet ap
terhadap sistem. mengawal rencana penolakan sekaligus untuk
k ons ol ida si di ba si s del apa n paguy uba n
Membangun Kepercayaan melalui Upaya (Handayani, 2006). Hal lainnya adalah ketika para
Membangun Hubungan PKL sudah menyepakati untuk pindah, perwakilan
pe rgurua n t inggi menja di fas ili tat or dal am
Para PKL tidak mau dipindahkan karena
pengundian kios yang akan ditempati, karena
mereka tidak percaya jika pemerintah memiliki
mereka dianggap netral. Setelah itu, mereka
kepedulian terhadap nasib mereka. Berkaca dari
memberikan pelatihan kepada para PKL yaitu
masalah tersebut, maka pemerintah berupaya
pelatihan manajemen bisnis. Terjadi upaya saling
untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat.
menghargai dan tidak berprasangka dalam proses
Tidak hanya saling percaya antara masyarakat dan
ini, yaitu ditandai dengan para PKL mau menghadiri
pemerintah, tetapi juga saling percaya diantara
undangan dari pemerintah, terbukti dari kehadiran
s el uruh pem angk u ke pe nt inga n. Me nga kui
sekitar 150 orang, padahal yang diundang hanya
kepedulian dan pengalaman yang mereka bagikan
50 orang.
bersama, saling memahami, membangun empati,
membangun hubungan profesional yang baru, Me ny usu n U pa ya Pe mec ah an Ber sa ma
saling menghargai, dan tidak saling berprasangka. melalui Proses Pembelajaran dan Kreativitas
Terpenuhinya kriteria di atas terlihat dari Dalam proses perencanaan terdapat upaya
ha l-ha l beri kut: Pi hak pem eri nta h da n PKL unt uk me m eca hk an pe rma sa l aha n se cara
merupaya membangun empati, dengan berusaha bersama, melalui suatu proses pembelajaran
merasakan ketika berada pada posisi di pihak lain. diantara para pemangku kepentingan. Didalamnya
Pemerintah berupaya membangun mindset bahwa terdapat: (a) pembelajaran, interaksi, diskusi
“PKL sahabat Pemkot”, bukan musuh yang hendak berkaitan dengan kepentingan, masalah, strategi
dimusnahkan. Upaya ini terlihat pada saat awal yang paling mungkin; (b) melakukan brainstorm-
pertemuan di Loji Gandrung, tidak ada pernyataan ing, membangun skenario; (c) saling melengkapi
dari pihak pemerintah mengenai relokasi, karena satu sama lain mengajak peserta tidak hanya
pemerintah memahami bahwa para PKL menolak berpikir out of the box untuk memecahkan masalah,
relokasi. Pihak pemerintah menjelaskan rencana t et api j uga m e mbua t m ere ka t i da k ragu
relokasi setelah saling mengenal PKL melalui mengeluarkan ide-ide yang dirasa belum matang;
beberapa kali undangan makan bersama. Terjadi (d) dan pembentukan kreativitas.
upaya saling menghargai dan tidak berprasangka Dalam proses perencanaan relokasi para
dalam proses ini. Upaya menghargai misalnya PKL di Banjarsari, proses pembelajaran terjadi
te rj adi pa da s aa t pe ndat aa n PK L. Se l am a secara formal maupun informal. Secara formal
pendataan pihak pemerintah melalui petugas terjadi pada saat penguatan kapasitas yang
K ant or PPKL da n duk unga n Sat po l PP diberikan oleh LSM, serta oleh pemerintah kota.

140 ISSN 0215-8175 | EISSN 2303-2499


MIMBAR, Vol. 29, No. 2 (Desember, 2013): 133-144

Proses pembelajaran secara formal oleh LSM memberi masukan dalam hal desain bangunan
SOMPIS t e rj adi pa da s a at (1 ) pel a ti ha n seperti penempatan letak tangga, serta warna cat
penge m ba nga n e ko no m i pro duk ti f y ang bangunan (penuturan seorang mantan staf Satpol
diselenggarakan pada tanggal 6-7 Maret 2006 di PP).
Wi sm a Subud Taw angma ngu; (2) a dvo ka si
Kebijakan terhadap beberapa paguyuban PKL Membangun Komitmen Bersama melalui
(Handayani, 2006). Proses Adaptasi
Proses pembelajaran informal terjadi pada Melalui proses di atas, kemudian dihasilkan
saat konsultasi publik di Loji Gandrung dan Kantor ko mi tm en be rs ama t erha dap pro ses unt uk
PPKL, yang dicirikan oleh adanya perubahan memecahkan masalah PKL melalui penataan. Hal
pemikiran dari penolakan terhadap rencana ini dicirikan dengan adanya pemaknaan bersama
relokasi menjadi menyetujui rencana relokasi, yang terhadap permasalahan yang dihadapi, identitas
disebabkan adanya kejelasan alasan dan rencana bersama, adanya perubahan perilaku baru sebagai
yang rinci serta konsekuensi yang akan diterima hasil pembelajaran, serta munculnya ide-ide
oleh para PKL jika mereka mau pindah. Disana kreat if yang ditemuka n dalam dialog untuk
terjadi diskusi antara pihak pemerintah dan para kemudian menjadi praktik.
perwakilan PKL. Proses adaptasi dapat dilihat dari adanya
Para aktor yang terlibat dalam proses perubahan. Pada awalnya, mereka berpandangan
perencanaan berusaha untuk sali ng belajar. bahwa mereka tidak membutuhkan taman, yang
Diantaranya, terlihat dari cara mereka menyadari membutuhkan taman adalah orang kaya; yang
keterbatasan yang dimiliki masing-masing pihak, mereka butuhkan adalah mereka dapat berjualan
yaitu: ketika pemerintah menawarkan pemindahan
dan mendapatkan keuntungan untuk kelangsungan
ke lokasi tertentu (karena lokasi itulah yang paling
hidup keluarga mereka. Namun setelah melakukan
mem ungkinkan s ecara tata ruang kota dan
dialog, mereka mau memahami bahwa kawasan
terdapat kemungkinan pengembangan yang baik),
Banjarsari bukanlah tempat yang diperuntukan
para PKL m e ny e tujui dengan m e nga juka n
untuk mereka berdagang, berdagang di sana
persyaratan tertentu yang cukup banyak. Untuk
adalah melanggar hukum, dan mau dipindahkan
lebih mengefektifkan proses pengajuan usulan dari
dengan mengajukan persyaratan tertentu kepada
para PKL , pem e ri nt a h m enge l om pok ka n
pemerintah kota. Sebaliknya, pihak pemerintah
perwakilan PKL yang hadir, dan kemudian tiap
k ot a y ang s ebe lumny a bel um me m aham i
kelompok mengerucutkan persyaratan tersebut.
sepenuhnya apa yang diinginkan oleh para PKL
Selain itu, proses pembelajaran juga terjadi
sehingga mereka tidak mau pindah, pada akhirnya
pa da sa at terjadi int era ks i a nta ra pe jabat
memahami apa yang diinginkan oleh mereka dan
pemerintah kota dengan para PKL di tempat
bersedia memenuhi permintaan para PKL. Kedua
me re ka berda ga ng. Pa ra pej abat t erse but
belah pihak pada akhirnya memaknai secara sama
mendatangi PKL untuk melakukan pendekatan
permasalahan yang dihadapi.
secara informal, menjadikan mereka sebagai Setelah saling memahami permasalahan
te man, bukan sebagai “m usuh” y ang perlu yang dihadapi, maka para PKL dan pemerintah kota
“dihilangkan” keberadannya. Proses ini menjadikan menyadari bahwa mereka berada dalam posisi
para pejabat dan PKL semakin saling mengenal y ang s am a , ha rus be rs a ma -s a ma untuk
dan PKL menjadi menyadari bahwa mereka memecahkan permasalahan penataan Banjarsari.
dihargai, dan pejabat kota menyadari bahwa PKL Pem eri nt a h se baga i ini si a to r m el a kuka n
adalah bagian dari kota yang tidak akan disingkirkan pe ndek atan ya ng dapat menggugah nura ni
keberadaannya. masyarakat untuk mau bekerja sama. Mereka yang
Prose s perencana n y ang te rj adi juga pada a wa l ny a m enol a k, pa da ak hirny a
mengajak peserta berpikir kreatif, dalam arti tidak berkomitmen sepakat untuk melaksanakan. Dia-
hanya berpikir out of the box untuk memecahkan log yang dilakukan telah mampu mengembangkan
masalah, tetapi juga membuat mereka tidak ragu sikap dan perilaku baru, dimana para PKL mau
mengeluarkan ide-ide yang dirasa belum matang. mendengarkan dan mau mencari kemanfaatan
Da lam pros es perencana an relok asi PKL di bersama dari upaya penataan PKL kawasan
Banjarsari, kepemimpinan yang ada berhasil B anja rsa ri te rse but . Terj adi pe ruba ha n
m em ancing para PKL unt uk be rdi sk us i pandangan/sikap dari yang tadinya menentang
memecahkan masalah yang ada. PKL yang hadir menjadi menyetujui, meskipun ada yang merasa
dalam pertemuan tidak ragu untuk mengajukan awalnya terpaksa.
ide-ide berkaitan dengan tempat baru yang akan Ide-ide yang muncul dari para PKL mampu
mereka tempati. Mereka mengajukan ide untuk diwujudkan oleh pemerintah kota, baik dalam hal
mengantar kepergian PKL ke tempat baru melalui promosi, kepemilikan kios gratis, bahkan sampai
kirab (yang pada akhirnya oleh pihak pemerintah kirab budaya yang telah menarik perhatian banyak
kota dikemas menjadi bentuk kirab budaya), serta

‘Terakreditasi’SK Kemendikbud, No.040/P/2014, berlaku 18-02-2014 s.d. 18-02-2019 141


ELY SUFIANTI, DKK. Proses Kolaboratif dalam Perencanaan Berbasis Komunikasi pada Masyarakat Nonkolaboratif

Proses kolaboratif
Membangun pemahaman Membangun kepercayaan (1)
bersama (2) -> hubungan
Dialog
tatap muka
Menyusun pemecahan masalah Membangun komitmen bersama
bersama (3) (4)
-> pembelajaran -> adaptasi

Gambar 5
Proses Kolaboratif terjadi melalui dialog tatap muka dengan dijiwai hasil dialog otentik

piha k. Ide-i de t e rs e but ham pir se mua ny a tetapi terjadi pada semua tahapan. Artikel ini juga
diakomodir oleh pemerintah kota. menemukan bahwa proses kolaboratif dapat
Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa terjadi pada masyarakat demikian karena adanya
proses kolaboratif pada perencanaan penataan PKL peran kepemimpinan. Kepemimpinan tersebut
Ba nj arsa ri te la h te rja di . De nga n de mi ki an mampu memotivasi dan membawa mereka ke
meskipun masyarakat berada pada kondisi tingkat dalam proses kolaboratif, membuat mereka terlibat
partisipasi, kompetensi, dan kesetaraan kekuasaan aktif, meningkatkan tingkat partisipasi, serta
rendah, namun proses kolaboratif berjalan. me ningkat kan ke mampuan ko munikas i dan
Proses kolaboratif yang terjadi adalah proses substansi dengan cara memotivasi mereka untuk
yang terjadi melalui dialog tatap muka dan dijiwai membicarakan apa yang mereka butuhkan.
oleh hasil dialog otentik seperti yang dikemukakan Kontribusi penelitian ini terhadap teori
oleh Innes dan Booher. Dialog tatap muka tidak perencanaan berbasis komunikasi khususnya
menjadi bagian dari tahapan proses kolaboratif, dalam kerangka proses kolaboratif adalah bahwa
tetapi dialog tatap muka terjadi dalam setiap dialog tatap muka yang dijiwai oleh dialog otentik,
tahapan yang dilalui (Gambar 5). Hal inilah yang bukan merupakan salah satu tahapan proses,
membedakan hasil penelitian ini dengan model t et api m e wa rna i s el uruh t ahapa n pro se s
proses kolaboratif Collaborative Governance Model kolaboratif. Hal ini merupakan kontribusi penelitian
yang dikemukakan oleh Ansell dan Gash (2007). ini terhadap proses kolaboratif dalam model
Collaborative Governance yang dikembangkan
Simpulan dan Saran oleh Ansell dan Gash (2007) serta memberikan
k ontribusi da la m me nam ba h penge t ahua n
Proses kolaboratif merupakan bagian tak
terhadap DIAD Network Theory dalam konteks
terpisahkan dari perencanaan berbasis komunikasi,
proses kolaboratif.
yang terdiri dari beberapa tahap dan terdapat dia-
log otentik didalamnya. Proses ini memerlukan
partisipasi tinggi, kesetaraan kekuasaaan, dan
Daftar Pustaka
para aktor yang kompeten. Kondisi ideal ini terlihat
sulit terjadi pada masyarakat yang memiliki tingkat
Banfield, E.C. (1959) Ends and Means in Planning
partisipasi rendah, ketidaksetaraan kekuasaan, dan
dalam Andreas Faludi (ed.) A Reader in Plan-
kompetensi yang redah. Namun hasil penelitian ini
ning Theory (1973), pp 139-149., Pergamon
memerlihatkan bahwa proses kolaboratif telah
Press Ltd, Oxford.
terjadi pada masyarakat dengan tingkat partisipasi
rendah, adanya ketidaksetaraan kekuasaan, Beckman, Norman. (1964). The Planner as a Bu-
kompetensi rendah. Proses ini dimulai dengan reaucrat dalam Andreas Faludi (ed.) A Reader
membangun kepercayaan melalui hubungan, in Planning Theory (1973), pp 251-264.,
membangun pemahaman bersama melalui timbal Pergamon Press Ltd, Oxford.
balik, memecahkan masalah melalui pembelajar-
Creswell, John W. (1998). Qualitative Inquiry and
a n, da n m em bangun ko m it me n untuk
Research Design; Choosing among Five Tra-
mengimpleme ntas ikan pem ecahan m asal ah
dition, Sage Pub, California.
melalui adaptasi terhadap sistem. Serangkaian
tahapan tersebut terjadi melalui suatu proses Creswell, John W. (2009). Reseach Design: Quali-
dialog tatap muka. Dengan demikian, dialog tatap tative, Quantitative, and Mixed Methods Ap-
muka bukan merupakan bagian dari tahapan, proaches, 3rd ed., Sage Pub. Inc., California.

142 ISSN 0215-8175 | EISSN 2303-2499


MIMBAR, Vol. 29, No. 2 (Desember, 2013): 133-144

Davidoff, Paul. (1965). Advocacy and Pluralism in ity, An Introduction to collaborative rationality
Planning dalam Andreas Faludi (ed.) A Reader or public policy, pp 196-215., Routledge, Oxon.
in Planning Theory (1973), pp. 277-296.,
Pemerintah Kota Surakarta. (2008). Empowering
Pergamon Press Ltd, Oxford.
the Informal Sector (Street Vendors Manage-
De Roo, Gert. dan Porter, Geoff. (2007). Fuzzy ment), Proceedings of Dubai International
Planning, The Role of Actors in a Fuzzy Gov- Award dengan kategori for Best Practices to
ernance Environment, Ashgate Publ. Limited, Improve the Living Environment, Dubai.
Hampshire.
Pemerintah Kota Surakarta. (2012). Surakarta
Denzin, Norman K. dan Lincoln Yvonna S. (2009). dalam Angka 2011. Badan Pusat Statistik Kota
Hand book of Qualitative Research, Dariyatno Surakarta, Surakarta.
dkk . ( pe nerje m ah), Pus ta ka Pe l aj ar,
Subagyo, P. (2007). Memboyong 989 PKL, Badan
Yogyakarta.
Informasi dan Komunikasi Pemerintah Kota
Dyckman, John W. (1973). What makes Planner’s Surakarta, Surakarta.
Plan? dalam Andreas Faludi (ed.) A Reader in
Sufianti, E. (2013). The Role of Traditional
Planning Theory, pp. 243-250., Pergamon
L ea de rshipi n Col la borat i ve Proce ss es :
Press Ltd, Oxford.
Javanese Leadership Case, dalam de Vries and
Etzioni, Amitai. (1967). Mixed Scanning: A Third Bouckaert (Ed.), Training for Leadership,
Appriach to Decision Making dalam Andreas pp121-134. Bruylant, Bruxelles.
Faludi (Ed.) A Reader in Planning Theory
Woltjer, Johan. (2000). Consensus Planning, The
(1973), pp. 217-229., Pergamon Press Ltd,
relevance of Communicative Planning Theory
Oxford.
in Dutch Infrastructure Development, Ashgate
Faludi, Andreas (Ed.) A Reader in Planning Theory Publ. Limited., Hampshire.
(1973). Pergamon Press Ltd, Oxford.
Yin, Robert K. (2009). Case Study Research, De-
Forester, John. (1989). Planning in the Face of sign and Methods, 4th ed., Aplied Social Re-
Power, The Univ. of California Press, Califor- search Methods, 5, Oaks, Sage Inc, Califor-
nia. nia.
Forester, John. (2000). The Deliberative Practitio-
ner Encouraging Participatory Planning Pro-
Pustaka dari Situs Internet:
cesses, 2nd printing, Massachusetts Institute
of Technology, London. Akadun. (2011). Revitalisasi Forum Musrenbang
sebagai Wahana Parttisipasi Masyarakat
Friedmann, John. (1987). Planning in the Public
dalam Perencanaan Pembangunan, MIMBAR,
Domain: From Knowledge to Action, Princeton
Jurnal Sosial dan Pembangunan, Vol. XXVII,
Univ. Press, New Jersey.
No.2 ( De s em ber 20 11 ) : hal . 1 83 -19 1
Friedman, John. (2011). Insurgencies, Essay in ‘Terakreditasi’ SK Dikti No. 64a/DIKTI/Kep/
Planning Theory. Routledge, London and New 2010. http://ejournal.unisba.ac.id/index.php/
York. mimbar/article/view/327. Diunduh pada
tanggal 8 September 2013
Graham, S. dan Healey, P. (1999) : Relational Con-
cepts of Space and Place: Issues for Planning Ansell, C. dan Gash, A., (2007). Collaborative
Theory and Practice, European Planning Stud- Governance in Theory and Practice, Journal
ies, 7(5), pp. 623-646. of Publik Administration Research and Theory,
18:543-571., doi: 10.1093/jopart/mum032
Habermas, Jurgen. (2009 ). Teo ri T indakan
First published, November 13, 2007. Diunduh
Kom uni kat if, Ras i o dan Rasi o nali s as i
pada tanggal 26 Oktober 2010.
Masyarakat, Nurhadi (Penerjemah), buku ke-
1, cetakan ke-3., Kreasi Wacana, Bantul.
D jo e ffan, S. ( 2 00 2) . Strat e gi Pa rti si pas i
Handayani, Suci. (2006). Merajut Harapan Menuju Masyarakat dalam Perencanaan Pembangunan
Perubahan, KOMPIP Solo, Solo. di Indonesia. MIMBAR, Jurnal Sosial dan
Pem bangunan, 18 , m ar. < ht t p:/ /
Healey, Patsy. (2006). Collaborative Planning,
ejournal.unisba.ac.id/index.php/mimbar/ar-
Shaping Places in Fragmented Societies, 2nd
ticle/view/63>. Diunduh pada tanggal 18
ed. Palgrave Macmillan, New York.
Januari 2014.
Innes, J.E. dan Booher, D.E. (2010). Beyond Col-
Hardi man, F. B. (2008 ). Teori Dikursus dan
laboration Democratic Governance for a Re-
Demokrasi: Peralihan dari Habermas ke dalam
silient Society dalam Planning with Complex-

‘Terakreditasi’SK Kemendikbud, No.040/P/2014, berlaku 18-02-2014 s.d. 18-02-2019 143


ELY SUFIANTI, DKK. Proses Kolaboratif dalam Perencanaan Berbasis Komunikasi pada Masyarakat Nonkolaboratif

Filsafat Politik, Diskursus, vol 17 no 1, April Education and Research, 21:221-236., Asso-
2008 : 1-27., http://www.diskursus.com/ ciation of Collegiate Schools of Planning. http:/
index.php/ tema-diskursus/47-v ol-7-no-1- / es cho l arshi p.o rg/ uc/ it e m/ 2m m 27 0 mp .
april-2008/82-teori-diskursus-dan-demokrasi- Diunduh pada tanggal 30 Oktober 2011.
peralihan-habermas-ke-dalam-filsafat-politik.
Sager, T. (2005). Communicative Planners as
Diunduh pada tanggal 19 Nopember 2011.
Naïve Mandarins of Neo-liberal State?, Euro-
Innes, J.E. (1996). Planning Through Consensus pean Journal of Spatial Development, ISSN
Building, a New View of Comprehensive Plan- 1650-9544. http://www.nordregio.se/EJSD/.
ning Ideal, Journal of American Planning As- Diunduh pada Desember 2010.
sociation Vol. 62 Issue 4. http://www.cip-
Umar, Musni. (2011). Partisipasi Masyarakat Solo
icu.ca/ _CMS/ Fi les /Innes,%2 0Judi th.pdf.
dan De mo kras i (B agia n ke IV) , ht tp:/ /
Diunduh pada tanggal 13 Desember 2010.
musniumar.wordpress.com/2011/03/07/dr-
Innes, J.E. (1998). Information in communicative musni-umar-partisipasi-masyarakat-solo-dan-
planning, American Planning Association. dem okra si-bagia n-ke -iv/ . Di unduh pa da
Journal of the American Planning Association, tanggal 26 Desember 2011.
1 :6 4., AB I/ INFORM Glo bal . htt p:/ /
Widianingsih, Ida. (2005). Local Governance, De-
www.tandfonline.com/doi/pdf/10. Diunduh
centralization and Participatory Planning in
pada tanggal 27 Oktober 2011.
Indonesia: Seeking a New Path to a Harmoni-
Innes, J.E. dan Booher, D.E. (2000). Collaborative ous Society, Makalah dipresentasikan pada
Dialogue as a Policy Making Strategy, Insti- Workshop on Enlarging Citizen Participation
tute of Urban and Regional Development UC and Increasing Local Autonomy in Achieving
Be rke le y, IURD Working Pape r, ht tp:/ / Societal Harmony Workshop, Network of Asia-
escholarship.org/uc/item/8523r5zt. Diunduh Pacific Schools and Institutes of Public Admin-
pada tanggal 13 Desember 2010. istration and Governance (NAPSIPAG) Annual
Conference 2005., http://www.ehs.unu.edu/
Innes, J.E. & Booher, D.E. (2002). Network Power
file/get/9998.pdf. Diunduh pada tanggal 13
in Collaborative Planning, Journal of Planning
Desember 2011.

144 ISSN 0215-8175 | EISSN 2303-2499

You might also like