You are on page 1of 26

KEGIATAN BELAJAR 1

TAHARAH

A. Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan


Peserta dapat menganalisis ketentuan taharah dari najis dan hadas.

B. Subcapaian Pembelajaran Mata Kegiatan


1. Menganalis ketentuan dan tata cara taharah dari najis;
2. Menganalisis Ketentuan dan tata cara taharah dari hadas.

C. Uraian Materi
1. Ketentuan dan Tata Cara Taharah dari Najis
Taharah menurut bahasa adalah bersih sedangkan menurut istilah
membersihkan diri, pakaian dan tempat dari hadas dan najis. Bersuci
dalam Islam terbagi dua yaitu pertama bersuci dari hadas ini hanya bisa
terjadi pada badan bukan pada pakaian dan tempat karena yang
dimaksud dengan hadas adalah kondisi yang dialami oleh seseorang
mukalaf yang menghalanginya untuk dapat melaksanakan ibadah
sebelum mereka bersuci, dan yang kedua adalah bersuci dari najis
(khubus). Hal ini bisa terjadi pada badan pakaian dan tempat. Taharah
didahulukan pembahasannya dalam hukum Islam karena ia memiliki
peran pokok dalam membina kehidupan umat Islam, baik secara spiritual
maupun material. Taharah tidak saja bersinggungan dengan hukum
ibadah tetapi juga berhubungan dengan hukum jual-beli, yakni masalah
ke-halal-an barang komoditi yang dipasarkan dan diperjual-belikan.

a. Pengertian Najis
Perkataan an-najaasah adalah lawan dari perkataan ath-
thahaarah. Najis atau istilah fiqh dengan kata khubuts (najis) adalah
sesuatu yang kotor atau menjijikan. Najis ada dua jenis, najis hukmi dan
najis hakiki. Secara bahasa, najis hakiki adalah benda-benda yang kotor
seperti darah, air kencing, dan tahi. Menurut syara’, najis adalah segala
kotoran yang menghalangi sahnya salat. Sedangkan najis hukmi disebut
dengan hadas yang mencakup hadas kecil dan hadas besar.
b. Macam-macam Najis

1
Adapun macam-macam khubuts (najis) adalah:
1) Bangkai (kecuali bangkai ikan dan belalan), daging babi, kotoran,
nanah, muntah, kencing dan darah (kecuali hati dan limpah). Hal ini
sebagaimana firman Allah swt.
ً‫س أ َْو فِ ْسقا‬ ِ ِ ٍِ ِ ِ ٍِ
ٌ ‫َل ُُمََّرماً َعلَى طَاعم يَطْ َع ُمهُ إالَّ أَن يَ ُكو َن َمْي تَةً أ َْو َدماً َّم ْس ُفوحاً أ َْو ََلْ َم خنزير فَإنَّهُ ر ْج‬ ََّ ِ‫قُل الَّ أ َِج ُد ِِف َما أ ُْو ِح َي إ‬
ْ ‫اّللِ بِِه فَ َم ِن‬
-١٤٥- ‫ور َّرِح ٌيم‬ ٍ ِ ِ
ٌ ‫ك َغ ُف‬َ َّ‫اضطَُّر َغ ْ َْي ََب ٍغ َوالَ َعاد فَِإ َّن َرب‬ ‫أُه َّل لغَ ِْْي ه‬
Katakanlah aku tidak jumpai di dalam wahyu yang disampaikan kepadaku
makanan yang diharamkan kecuali bangkai, atau darah yang mengalir/
memancar, atau daging babi, karena itu adalah najis. (QS al-An’am/6: 145).
Bangkai meliputi bangkai binatang darat yang memiliki darah
mengalir ketika disembelih, bukan bangkai binatang belalang dan
bukan bangkai binatang laut. Karena Rasulullah secara tegas
bersabda:
(‫اَلل ميتته ) اخرجه البخارى‬
‫هو الطهور ماءه و ه‬
Dia (air laut) itu suci dan halal bangkainya. (HR. Bukhari).
Juga termasuk bangkai binatang yang tidak mempunyai darah
mengalir seperti semut, lebah dan lain-lain, maka ia adalah suci. Jika
ia jatuh ke dalam suatu dan mati di sana, maka tidaklah
menyebabkan bernajis.
2) Anjing dan Babi serta hewan yang dilahirkan dari keduanya.
Adapun dalil najisnya anjing adalah hadis yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim dari Nabi saw., bersabda:
‫اذا ولغ الكلب ىف إانء احدكم فلْيقه مث ليغسله سبع مرات‬
Jika seekor anjing menjilat bejana salah seorang diantara kalian, maka
bersihkanlah kemudian basuhlah sebanyak tiga kali...(al-hadis)
3) Potongan daging dari anggota badan binatang yang masih hidup
Mengambil sebagian daging dari anggota badan binatang yang
masih hidup adalah najis. Hal ini didasarkan kepada hadis dari Abu
Waqid al-Laits yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. Telah
bersabda:

]‫يمة وهي حيَّة فهي ْمي تَة» [رواه أبو داود والرتمذي والدارمي وأمحد‬ ِ ِ
َ ‫ما قُطع من البَه‬

2
“Sesuatu yang dipotong dari seekor binatang, sedang ia masih hidup maka
potongan tersebut termasuk bangkai.”
4) Muntah, air kencing dan kotoran manusia.
Semua Di dalam kitab Fath al-Qadir Juz I halaman 36-37 ulama
sepakat bahwa muntah, air kencing dan kotorn manusia sedikit atau
banyak adalah najis. Akan tetapi ada juga ulama yang berpendapat
jika muntahnya itu sedikit, maka dimaafkan. Hal ini didasarkan
kepada hadits dari Siti Aisyah ra. bahwa Rasulullah Saw bersabda:

‫اذا قاء احدكم ىف صالته او عف او فلس فلينصرف وليتوضأ‬


Apabila muntah salah seorang diantara kamu dalam keadaan sholat, atau
menahan dalam mulutnya atau melepehkannya maka hendaklah keluar dari
salatnya dan berwudulah.

Selain muntah sebagai najis, air kencing dan kotoran pun


dihukumi najis, karena sesuatu yang keluar dari qubul maupun dubur
dihukumi najis. Tetapi, diberi keringanan bagi air kencing bayi laki-laki
yang belum makan kecuali air susu ibunya.
5) Sesuatu yang keluar dari dubur atau kubul
Setiap sesuatu yang keluar dari dubur maupun kubul adalah najis,
baik berupa cairan maupun benda padat. Di antara sesuatu yang keluar
dari kubul adalah wadi, mazi, dan mani. Adapun wadi adalah air yang
berwarna putih, kental, sedikit berlendir yang keluar mengiringi
keluarnya air kencing dikarenakan kelelahan. Sedang mazi adalah air
yang berwarna putih, bergetah yang keluar karena kuatnya dorongan
syahwat, akan tetapi keluarnya tidak disertai kenikmatan.
Keluarnya wadi dan mazi tidak diwajibkan mandi junub, tetapi
cukup membersihkan kemaluannya dan berwudu, hal ini didasarkan
kepada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim:
Dari Ali bin Abi Thalib berkata, “Saya kerapkali mengeluarkan mazi,
sedang saya sendiri malu menanyakannya kepada Rasulullah saw.,
karena putrinya menjadi isteriku, maka saya menyuruh Miqdad untuk
menanyakannya. Miqdad pun menanyakannya kepada beliau. Beliau
menjawab, “Hendaklah ia basuh kemaluannya, dan berwudulah.”

3
Adapun mani sebagian ulama berpendapat bahwa ia adalah suci,
tetapi disunatkan mencucinya bila ia basah, dan mengoreknya bila
kering. Aisah berkata, “Kukorek mani itu dari kain Rasulullah saw. bila
ia kering, dan kucuci bila ia basah.” (Riwayat Daruquthni, Abu Uwanah
dan al-Bazzar).
Dan dari Ibnu Abbas ra berkata:
‫ وامنا يكفيك خبرقة او إبذرة‬،‫ امنا هو مبنزلة املخاط والبصاق‬: ‫سئل النيب صلى هللا عليه وسلم عن املين يصيب الثوب فقال‬
( ‫رواه الدارقطىن والبيهقى والطحاوى‬ ) ‫متسحه‬
Nabi saw. pernah ditanya mengenai mani yang mengenai kain. Maka jawab-
nya, “Ia hanyalah seperti ingus dan dahak, maka cukuplah bagimu menghapus-
nya dengan secarik kain atau dengan daun-daunan.” (Riwayat Daruquthni,
Baihaqi, dan Thawawi).
Meskipun mani dihukumi suci, namun mani menyebabkan
seseorang diwajibkan untuk mandi junub. Mandi junub itu sendiri
merupakan cara membersihkan hadas besar.
6) Khamar
Khamar merupakan salah satu yang diharamkan oleh Allah swt.
berdasarkan firman-Nya:
-٩٠- ‫اجتَنِبُوهُ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِ ُحو َن‬ ِ ِ ‫َي أَيُّها الَّ ِذين آمنُواْ إَِّمنَا ا ْْلمر والْمي ِسر واألَنصاب واأل َْزالَم ِرج‬
ْ َ‫س هم ْن َع َم ِل الشَّْيطَان ف‬
ٌ ْ ُ َ ُ َ َ ُ َْ َ ُ َْ َ َ َ َ
Hai orang-orang beriman, sesungguhny khamar, judi, berhala, dan mengundi
nasib itu adalah najis, termasuk pekerjaan syaithan.” (QS al-Maidah/5: 90)
a. Cara Membersihkan Najis
Ada beberapa cara yang dilakukan untuk menghilangkan najis.
1) Dengan menggunakan air
Ketika terdapat benda najis, maka cukup dibersihkan dengan air.
Namun, cara membersihkan najis dengan air ini tergantung kepada kategori
najisnya. Najis dikategorikan kepada najis ringan (mukhaffafah), sedang
(mutawassithah), dan berat (mughallazah). Adapun kaifiah membersihkan
kategori najis ringan (mukhaffafah) adalah cukup dengan memercikkan air.
Kategori najis ini ada pada najis air kencing bayi laki-laki yang belum
mengonsumsi makanan apapun selain air susu ibunya (asi). Kemudian
kaifiah membersihkan najis kategori najis sedang (mutawassithah) adalah

4
dengan membersihkan benda yang terkena najis tersebut sehingga hilang
rasa, warna, dan baunya. Sedangkan najis mughallazah (berat) maka wajib
dibersihkan dengan tujuh kali dan salah satunya dengan debu. Kategori
najis mughallazah adalah najis jilatan anjing.
2) berubahnya benda najis menjadi sesuatu yang baik, seperti perubahan
khamar menjadi cuka dan darah ghazal (kijang) menjadi minyak misik
(parfum) dengan sendirinya tanpa dicampur dengan benda apapun.
3) Membakar benda najis dengan api.
Pendapat ini dipegang teguh oleh ulama Hanafiyah. Menurut ulama
Syafi’iyah dan Hanabilah bahwa membakar benda najis dengan api tidak
dapat mensucikan benda tersebut. Mereka beralasan bahwa debu dan
asapnya itu adalah najis. Begitu juga ulama Malikiyah yang berpendapat
bahwa api tidak dapat mensucikan benda najis.
4) Menyamak kulit hewan yang najis.
Setiap hewan yang najis sebab penyamakan, baik hewan yang halal
dimakan dagingnya maupun hewan yang tidak halal dimakan dagingnya,
jika disamak kulitnya, kulit itu boleh digunakan untuk salat karena telah
suci dengan sebab penyamakan. Hal ini didasarkan kepada hadis
Maimunah r.a ketika ia ditanya oleh Nabi Muhammad saw. perihal
kambingnya.
‫ فقال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يطهره املاء والقرط‬. ‫ اهنا ميتة‬: ‫لو أخذمت اهاهبا ! فقالوا‬
Andaikata kamu ambil kulitnya, tentu lebih bagus? Para sahabat berkata: kambing
ini bangkai. Rasulullah saw. berkata: kulitnya itu boleh disucikan dengan air dan
daun salam.”
Menurut pendapat Mahmud Syaltut, mantan Syaikh al-Azhar di
Mesir, ketentuan pencucian bejana yang dijilat anjing, sebanyak tujuh kali,
satu di antaranya dengan air bercampur tanah, tidak harus dipahami secara
harfiyah. Yang penting, mencucinya beberapa kali sedemikian rupa
sehingga diyakini bejana tersebut telah bersih dari air liur anjing. Demikian
pula tanah dapat diganti dengan sabun atau pembersih lainnya yang kuat.
5) Menggunakan tissue
Pada dasarnya penggunaan tissue masuk kategori istijmar, yaitu
bersuci dengan menggunakan benda padat, seperti batu, tissue, sapu

5
tangan, kayu, dan semacamnya. Di dalam kitab Al-Fatawa al-lajnah al-
Daimah juz V halaman 125 dijelaskan bahwa Tissue dapat dipakai untuk
membersihkan najis kategori najis sedang (mutawassithah) selama benda
yang terkena najis tersebut hilang rasa, warna, dan baunya. Namun dalam
hal ini tentunya menggunakan tissue basah.
b. Ketentuan dan Tata Cara Taharah dari Hadas
a. Pengertian Hadas
Hadas atau disebut juga najis hukmi, adalah sesuatu yang mewajibkan
wudu atau mandi. Bersuci dari hadas hanya dapat dilakukan dengan wudu
atau mandi dengan air suci mensucikan, dan jika tidak ada air dapat dilakukan
dengan tayammum. Sesuatu yang mewajibkan wudu disebut hadas kecil dan
sesuatu yang mewajibkan mandi disebut hadas besar. Adapun sesuatu yang
mewajibkan wudu adalah meliputi sesuatu yang membatalkan wudu.
b. Macam-macam Hadas
1) Hadas kecil
Hadas kecil adalah keadaan seseorang yang tidak suci, agar menjadi
suci maka harus dengan berwudu. Mayoritas perkara yang membatalkan
wudu disepakati oleh banyak ulama. Hanya Sebagian kecil saja yang
diperselisihkan oleh mereka. Menurut pendapat ulama mazhab Hanafi,
jumlah perkara yang membatalkan wudu ada dua belas. Ulama mazhab
Maliki juga membaginya menjadi tiga jenis. Sementara ulama mazhab
Syafi’i mengatakan bahwa terdapat emapt perkara dalam masalah. Adapun
ulama mazhab Hambali membaginya menjadi delapan jenis. Perkara
tersebut adalah sebagai berikut:
a) Sesuatu yang keluar dari dua jalan (dubur atau kubul) seperti kencing, buang
air besar, haid, nifas, air mani, mazi, dan wadi. firman Allah swt. berfirman:
)43:‫أو جاء أحد منكم من الغائط (النساء‬

Atau apabila salah seorang di antaramu keluar dari kakus. (QS. An-nisa:43)
Maksudnya sindiran terhadap buang air, baik kecil maupun besar.
b) Sesuatu yang tidak keluar dari dua jalan dubur dan qubul, yaitu meliputi:
Hilang akal, seperti gila, pingsan, tidak sadar disebabkan khamar, ganja,
morfin, dan tidur. Yang menjadi perselisihan ulama adalah tidur. Bagaimana
tidur yang menyebabkan batal wudu’. Rasulullah saw. bersabda:

6
(‫ان الوضوء ال جيب اال على من انم مضطجعا فانه اذا اضطجع اسرتخت مفاصله (رواه ابو داود والرتمذى‬

Sesungguhnya wudu itu tidak wajib kecuali bagi orang yang tidur terlentang,
sebab apabilah tidur terlentang, akan terbuka jalan lubang kubul.” (HR. Abu
Daud dan Tumudzi).
Hadis di atas dipahami oleh para ulama mazhab dengan pendapat yang
berbeda, seperti ulama Hanabilah, tidur yang mebatalkan wudu adalah tidur
dalam setiap keadaan dengan waktu yang cukup lama. Ketika tidur sebentar
dalam keadaan terlentang tidak membatalkan wudu sehingga mudhtaji’an di
sana adalah tidur yang lama.
Ulama Syafi’iyah: tidur yang membatalkan wudu adalah sebagaimana
yang disabdakan oleh Rasul yaitu tidur terlentang, tidur duduk tidak
membatalkan, sekalipun tidurnya lama.
Ulama Malikiyah: tidur yang membatalkan wudu adalah tidur yang
pulas sebentar atau lama dalam setiap keadaan, duduk, sujud, atau berbaring.
Tidur dengan terlentang dalam keadaan lama tetapi gelisah tidak pulas tidak
membatalkan wudu tetapi disunnatkan wudu’.
Ulama Hanafiyah: tidur yang membatalkan wudu adalah tidur dalam
tiga keadaan: tidur terlentang, tidur bersandar ke dinding, dan tidur duduk
dengan kepala di atas lutut. Selain dari tiga keadaan tidur ini tidak
membatalkan wudu.
c) Menyentuh wanita dengan syahwat
Menurut Imam Syafi’i menyentuh wanita membatalkan wudu, baik yang
disentuhnya laki-laki maupun perempuan tua ataupun muda tanpa ada
kenikmatan syahwat, tetapi dengan syarat tidak ada penghalang. Imam
Hambali berpendapat bahwa wudu menjadi batal apabila menyentuh wanita
dengan syahwat tanpa penghalang meskipun yang disentuhnya mahram,
dalam keadaan hidup atau mati, tua atau muda, kecil atau besar. Imam
Malikiyah berpendapat bahwa wudu batal dengan syarat: bagi yang
menyentuh sudah balig dan bermaksud untuk mendapat kenikmatan
sekalipun tidak memperoleh kenikmatan. Syarat bagi yang disentuh jika dia
telanjang atau tertutup dengan kain tipis. Jika kain tebal tidak batal. Imam
Hanafiyah memandang tidak batal karena menyentuh sekalipun telanjang.

7
Suami dan isteri yang tidur dengan telanjang tidak batal wudunya. Kecuali
dalam dua keadaan: keluar sesuatu dan bersentuhan dua parji.
d) Menyentuh kemaluan dengan tanpa penghalang
Menurut tiga imam seperti Imam Syafi’i, Maliki, dan Hambali bahwa
menyentuh kemaluan dengan tanpa penghalang adalah membatalkan wudu
berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
)‫من مس ذكره فليتوضأ (رواه أبو داود والنسائي وابن ماجه‬

Barang siapa yang menyentuh kemaluannya, maka hendaklah berwudu.


Menurut Imam Hanafiyah menyentuh zakar tidak membatalkan wudu
sekalipun dengan syahwat, tetapi disunahkan berwudu. Dalil yang
digunakan oleh Imam Hanafiyah adalah sabda Rasulullah saw.:
( ‫ (هل هو اال بضعة منك‬:‫ان النيب صلى هللا عليه وسلم سئل من رجل ميس ذكره ىف الصالة فقال‬

Sesungguhnya Nabi Saw. ditanya tentang seorang laki-laki yang


menyentuh kemaluannya dalam salat. Rasul pun menjawab: Tidaklah zakar
(kemaluan) itu kecuali seperti anggota tubuh darimu (HR. An-Nasai).
Hadis tersebut dapat dipahami bahwa menyentuh zakar sama dengan
menyentuh telinga, pipi, dan anggota tubuh lainnya, sehingga tidak
membatalkan wudu. Menurut Imam Hanafi, dalil yang digunakan oleh
ketiga Imam di atas adalah anjuran untuk mencuci tangan, bukan berwudu.
e) Muntah
Ulama berbeda pendapat tentang muntah dapat memabatalkan wudu.
Perbedaan tersebut terbagi menjadi dua pendapat: Pertama, pendapat ulama
mazhab Maliki dan Syafi’i, wudu tidak batal disebabkan oleh muntah. Hal ini
karena Nabi Muhammad saw. pernah muntah dan tidak mengambil air wudu
setelahnya. Dalam hadis diriwayatkan oleh Tsauban dinyatakan,
Aku bertanya, Wahai Rasulullah saw., adakah kewajiban berwudu
karena muntah? Rasul menjawab, jika ia wajib, tentulah kamu akan
menemukan di dalam kitab Allah.” (HR. Darulqutni).
Kedua, pendapat ulama mazhab Hanafi dan Hambali. Mereka
mengatakan bahwa muntah dapat membatalkan wudu jika keluar itu
seukuran dengan kadar satu mulut penuh. Kadar apabila mulut tidak bisa

8
ditutup melainkan dengan cara memaksa. Dalil mereka adalah hadis riwayat
Aisyah:
Siapa yang muntah, keluar darah hidung, qals (air gumah), ataupun air
madzi, hendaklah dia berhenti salat, kemudian berwudu, setelah itu
meneruskan salatnya. Dalam kondisi ini hendaklah mereka jangan
berbicara.” (HR. Ibnu Majah dan Darulqutni).
f) Tertawa tinggi (terbahak-bahak) ketika salat
Menurut pendapat jumhur ulama selain ulama mazhab Hanafi, wudu
tidak batal disebabkan tertawa keras. Menurut mereka, kedudukan tertawa
seperti ini sama dengan bersin dan batuk. Menurut ulama Hanafi, tertawa
dalam salat dapat membatalkan wudu jika orang yang salat itu seorang yang
sudah baliq, baik tertawanya dilakukan dengan sengaja atau terlupa. Hal ini
adalah bagian peringatan dan balasan bagi orang yang salat karena perbuatan
itu bertentaangan dengan keadaandirinya yang sedang bermunajat kepada
Allah swt.
g) Makan daging unta
Menurut ulama mazhab Hambali, memakan daging unta dalam keadaan
apapun dapat membatalkan wudu, baik daging tersebut mentah atau sudah
dimasak, baik orang itu mengetahui atau tidak mengetahui. Hal ini
berdasarkan hadis riwayat al-Barra’ bin Azib. Dia berkata bahwa Rasulullah
saw telah ditanya tentang makan daging unta. Rasul menjawab,” Kamu
hendalah berwudu karena telah memakannya.” Rasul ditanya lagi tentang
hukum makan daging kambing, Rasul menjawab, “tidak perlu berwudu
karena memakannya.” (HR. Imam Muslim dan Abu Dawud).
Sedang ulama yang lain mengatakan bahwa memakan daging unta tidak
membatalkan wudu beradasarkan hadir yang diriwayatkan Jabir, dia berkata:
“Diantara dua perkara (keputusan) yang terakhir dari pada Rasulullah saw.
adalah tidak wajib berwudu karena makan sesuatu yang dibakar api. (HR.
Imam Ahmad).

h) Memandikan mayat
Mayoritas ulama mazhab Hambali berpendapat bahwa wudu menjadi
batal disebabkan seseorang memandikan mayat secara keseluruhan atau

9
memandikan sebagiannya saja, baik mayat yang dimandikan itu kecil atau
besar, laki-laki atau perempuan, muslim atau kafir. Hal ini karena terdapat
riwayat dari Ibnu Umar, Ibnu Abbas, bahwa mereka berdua menyuruh orang
yang memandikan mayat supaya berwudu. Abu Hurairah berkata:” sekurang-
kurangnya dia hendaklah berwudu, karena biasanya tangan mereka tidak
selamat dari menyentuh kemaluan mayat.
2) Hadas besar
Adapun hadas besar adalah sesuatu yang mewajibkan mandi. Ada beberapa
hal yang mewajibkan mandi besar, yaitu:
a) Berjimak, baik keluar mani maupun tidak. Sabda Rasulullah saw.:
(‫اذا التقى اْلتاانن وجب الغسل وان مل ينزل )رواه مسلم‬
Apabila dua khitan bertemu, maka sesungguhnya telah diwajibkan mandi,
meskipun tidak keluar mani. (HR. Muslim).
b) Mani. Sabda Rasulullah saw.:
‫عن ام سلمة ان ام سليم قالت َي رسول هللا ان هللا ال يستحىي من اَلق فهل على املرأة الغسل اذا‬
(‫قال نعم اذا رأت املاء احتلمت؟ )متفق عليه‬

Dari Ummi Salamah, Sesungguhnya Ummi Sulaim telah bertanya kepada


Rasulullah saw. “Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu memperta-
nyakan yang hak. Apakah perempuan wajib mandi apabila bermimpi?
Jawab beliau, “Ya (wajib atasnya mandi), apabila ia melihat air mani.
(Muttafaq ‘alaih).
c) Mati
Orang islam yang mati pun diwajibkan mandi, tentunya dimandikan oleh
kerabat atau orang khusus yang biasa memandikan mayat, kecuali orang yang
mati syahid (dunia-akhirat) yakni yang gugur di medan perang. Adapun orang
Islam yang mati syahid karena tenggelam, terbakar, tertabrak, terjangkit wabah,
dan ibu yang meninggal setelah melahirkan tetap wajib dimandikan untuk
menghilangkan najis dalam tubuhnya dalam batas-batas wajar dan normal.

d) Haid /Nifas
Haid adalah darah yang keluar dari kemaluan kaum hawa yang rutin setiap
bulan, minimal darah haid adalah setetes (sekecretan) dan maksimalnya adalah
lima belas hari. Lebih dari itu adalah darah penyakit yang disebut darah

10
istihadhah. Atau jika keadaan keluar darahnya secara terputus-putus, misalnya
dua hari haid dan dua hari suci, kemudian keluar lagi dan berhenti lagi, maka
seluruh hari haid dan hari suci dijumlah sehingga mencapai lima belas hari.
Setelah itu, apabilah masih keluar juga, maka ia dianggap darah istihadhah
(darah penyakit).
Nifas adalah darah yang keluar dari rahim karena melahirkan walaupun
dalam keadaan keguguran. Lamanya tidak dapat ditentukan. Adakalanya
sebentar saja, tetapi pada umumnya selama empat puluh hari, dan paling lama
enam puluh hari. Bagi wanita yang keluar haid/nifas ini diwajibkan mandi. Hal
ini berdasarkan firman Allah swt:

ُ ‫وه َّن ِم ْن َحْي‬


‫ث أ ََمَرُك ُم‬ ُ ُ‫وه َّن َح َّ َّٰت يَطْ ُه ْر َن ۖ فَِإ َذا تَطَ َّه ْر َن فَأْت‬ ِ ‫ٱعتَ ِزلُو۟ا ٱلنهِ َسآءَ ِىف ٱلْ َم ِح‬
ُ ُ‫يض ۖ َوَال تَ ْقَرب‬ ْ َ‫يض ۖ قُ ْل ُه َو أَ ًذى ف‬ ِ ‫ك َع ِن ٱلْ َم ِح‬ َ َ‫َويَ ْسَلُون‬
‫ين‬ ِ ُّ ‫ني َوُُِي‬
َ ‫ب ٱلْ ُمتَطَ هه ِر‬ ُّ ‫ٱّللَ ُُِي‬
َ ِ‫ب ٱلت ََّّٰوب‬ َّ ‫ٱّللُ ۚ إِ َّن‬
َّ
Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah
suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari
wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum
mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di
tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang
mensucikan diri (QS. al-Baqarah (2): 222).
Setelah melahirkan seorang ibu pun diwajibkan untuk mandi, bukan mandi
karena keluar darah haid, melainkan mandi setelah melahirkan untuk
menyegarkan dan menyehatkannya setelah melahirkan seorang anak.
c. Cara Membersihkan Hadas
1) Wudu
Salah satu cara menghilangkan hadas kecil adalah dengan berwudu.
Wudu adalah membasuh wajah, kedua tangan sampai siku, menyapu
kepala dan membasuh kedua kaki sampai mata kaki. Hal ini sebagaimana
firman Allah swt.:
ِ ِ
ِ َ‫وس ُكم وأ َْر ُجلَ ُكم إِ ََل الْ َك ْعب‬
‫ني‬ ِِ ِ ِ ِ ِ َّ ‫َي أَيُّها الَّ ِذين آمنُواْ إِ َذا قُمتم إِ ََل‬
ْ َ ْ ‫وه ُك ْم َوأَيْديَ ُك ْم إ ََل الْ َمَرافق َو ْام َس ُحواْ بُرُؤ‬
َ ‫الصالة فا ْغسلُواْ ُو ُج‬ ُْْ َ َ َ َ
Hai orang-orang beriman, apabilah hendak menegakkan salat maka
basuhlah wajahmu, kemudian kedua tanganmu sampai siku, dan

11
usapkanlah kepalamu, dan basuhlah kedua kakimu sampai kedua mata
kaki. (QS al-Maidah/5: 6).

a) Rukun Wudu
Al-Qur’an telah menyebutkan empat rukun (fardu) wudu, yaitu
membasuh muka, membasuh kedua tangan hingga siku, mengusap kepala,
dan membasuh kedua kaki hingga kedua mata kaki. Hal ini sesuai dalam
firman Allah swt dalam QS. al-Maidah/5: 6 di atas.
Namun mengenai mengusap kepala ada perbedaan dikalangan mazhab.
Malikiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa wajib menyapu seluruh kepala,
sedangkan Syafi’iyah dan Hanafiyah cukup menyapu sebagian kepala.
Perbedaan mereka tersebut memiliki alasan yang rasional. Menurut Imam yang
berpendapat bahwa menyapu kepala keseluruhan adalah dari hadis Abdullah
bin Zaid:
‫ردمها اَل املكان الذى بدأ‬
‫ بدأ مبق هدم رأسه مث ذهب هبما اَل قفاه مث ه‬،‫ا ن النيب صلى هللا عليه وسلم مسح رأسه بيديه فأقبل هبما وأدبر‬
)‫منه (رواه اجلماعة‬
Bahwa Nabi saw. menyapu kepalanya dengan kedua tangannya, maka
ditariknya dari muka ke belakang, dimulainya dari bagian depan kepalanya
lalu ditariknya kedua tangannya itu kea rah pundak, kemudian dibawanya
kembali ke tempat ia bermula tadi. (HR. Jama’ah).

Sedangkan alasan Syafi’iyah dan Malikiyah adalah meninjau bentuk


lafaz masaha yang merupakan bentuk muta’addi. Misalnya lafaz masaha zaedun
ra’sahu (Zaid telah menyapu kepalanya). Lafaz masaha tidak memerlukan
huruf jar seperti ba sebagaimana firman Allah swt.:
‫وامسحوا برؤسكم‬
Sehingga mengusap rambut pada ayat di atas berkonotasi sebagian
kepala.
Dalam hadis-hadis Rasulullah saw. yang menceritakan kaifiyat wudu
ada beberapa lafaz yang menggunakan masaha ra’sahu dan masaha bi ra’sihi.
Walaupun demikian, Syafi’iyah menghukumi Sunah menyapu keseluruhan
kepala dan tetap menganggap sah mengusap sebagian kepala atau sepertiga
atau seperempat dari kepala.

12
Adapun rukun wudu yang diperselisihkan para fukaha mengenai hukum
wajibnya niat, tertib muawalah (berturut-turut), dan menggosok anggota
badan.
(1) Niat
Niat menurut bahasa adalah keinginan dalam hati yang tidak
berkaitan dengan lidah. Sedangkan menurut istilah adalah niat yang
dilakukan oleh orang yang bersuci untuk menunaikan kefarduan atau niat
untuk menghilangkan hadas atau niat untuk membolehkan melakukan apa
saja yang diwajibkan bersuci ketika melakukannya.
Jumhur fukaha selain ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa niat
adalah fardu dalam wudu. Salat tidak dianggap sah jika wudunya diniatkan
untuk mengerjakan perbuatan lain selain ibadah, seperti niat ingin makan,
minum dan sejenisnya. Hal ini didasarkan kepada sabda Rasulullah saw.:
‫ رواه اجلماعة‬. ‫ امنا األعمال َبلنيات وامنا لكل امرئ ما نوى‬:‫ان رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال‬

Bahwa Rasulullah saw. bersabda, semua perbuatan itu adalah tergantung


kepada niat dan setiap manusia akan mendapat sekedar apa yang
diniatkannya. (HR. Jama’ah).
Selain itu, niat juga digunakan untuk memastikan keikhlasan dalam
beribadah. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt.
‫ين‬ ِ ِ ِ َّ ‫ومآ أ ُِمرو۟ا إَِّال لِي عب ُدو۟ا‬
َ ‫ني لَهُ ٱل هد‬
َ ‫ٱّللَ ُمُْلص‬ ُ ْ َ ُٓ َ َ
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.
QS. al-Bayyinah/98: 5.
(2) Tertib
Tertib adalah mendahulukan sesuatu yang harus didahulukan dan
mengakhirkan sesuatu yang seharusnya diakhirkan. Menurut Syafi’iyah
dan Hanabilah tertib termasuk rukun dalam wudu karena wawu athaf pada
ayat wudu menunjukkan demikian. Berbeda dengan mereka, Hanafiyah
dan Malikiyah memandang bahwa sah berwudu dengan pertama kali
membasuh kedua tangan kemudian wajah. Walaupun demikian, mereka
menghukumi sunah melakukan tertib dalam berwudu.
(3)Muwalat (berturut-turut)

13
Maksudnya adalah amalaan-amalan wudu hendaknya dilakukan
secara terus menerus, tidak ada ruang dan masa yang bisa dianggap sebagai
pemisah anatara satu perbuatan dengan perbuatan yang lain. Setelah
membasuh wajah tidak dibolehkan berhenti untuk melakukan aktivitas lain
yang kemudian membasuh kedua tangannya. Inilah yang bukan termasuk
muwalat.
Ulama mazhab Hanafi dan Syafi’I berpendapat bahwa muwalat
adalah amalan sunah bukan wajib. Sebab itu, jika seseorang menjarakkan
masa dalam membasuh anggota-anggota wudu dengan kadar masa yang
tidak lama, maka tidaklah apa-apa. Adapun dalil tentang hal ini
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Malik dari Nafi bahwa Nabi
Muhammad saw pernah berwudu di dalam sebuah pasar. Beliau
membasuh muka dan kedua tangannya, serta megusap kepala. Setelah itu,
beliau diminta untuk melaksanakan salat jenazah, kemudian beliau datang
ke masjid sambal mengusap dua khufnya dan melaksanakan salat jenazah
tersebut. (HR. Imam Malik).
Adapun ulama mazhab Maliki dan Hambali menagatakan bahwa
berturut-turut adalah fardu dalam wudu, namun bukan fardu dalam
mandi. Hal ini berdasar pada dalil yang diriwayatkan dari Khalid bin
Ma’dan dari sebagian para sahabat nabi, bahwa Nabi Muhammad saw
melihat seseorang laki-laki yang sedang mengerjakan salat. Di kedua
kakinya terdapat satu tempat yang lebarnya satu dirham yang tidak terkena
air. Maka Rasulullah menuruh dia untuk mengulagi wudu dan salatnya.
(HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Al-Baihaqi).
(4) Menggosok secara perlahan dengan tangan
Jumhur ulama selain ulama mazhab Maliki menagatakan bahwa
perbuatan menggosok adalah sunnah bukan wajib, karena ayat al-Qur’an
yang berkaitan dengan wudu tidak menyuruh melakukannya, hadis juga
tidak menetapkan hal itu.
a) Sunah Wudu
Adapun sunah-sunah wudu meliputi:
1) Membaca Basmalah ketika memulai berwudu
2) Bersiwak

14
Pada zaman Rasul, bersiwak dilakukan untuk membersihkan
gigi, menguatkan gusi, dan dapat menghilangkan bau mulut
dengan menggunakan kayu arak yang berasal dari Hijaz. Pada
zaman sekarang ini, fungsi tersebut dapat digantikan dengan sikat
gigi dan pasta gigi yang memiliki tujuan yang sama. Sunah
bersiwak berdasarkan hadis dari Abu Hurairah r.a:
‫كل وضوء ) رواه مالك والشافعى‬
‫ لوال أن أشق على أمَّت ألمرهتم َبلسواك عند ه‬:‫ان رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال‬
(‫والبيهقى واَلاكم‬

Bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Kalau tidak akan memberatkan


umatku, tentulah aku perintahkan umatku untuk bersiwak setiap
kali berwudu. (HR. Malik, Syafi’i, Baihaqi, dan Hakim).
3) Membasuh kedua telapak tangan sampai ke pergelangan sebanyak
tiga kali
Kedua telapak tangan adalah anggota wudu yang membantu
anggota wudu lainnya. Misalnya, membasuh wajah tidak akan
sempurna kecuali dibantu dengan kedua telapak tangan. Oleh
karena itu, dalam membersihkan wajah tentunya kedua telapak
tangan harus terlebih dahulu dibersihkan. Mencuci dua telapak
tangan sebelum wudu ini didasarkan pada hadis Aus bin Aus al-
Tsaqfi r.a katanya:
(‫رأيت رسول هللا صلى هللا عليه وسلم توضأ فاستوكف ثالاث)رواه أمحد والنسائى‬

Aku melihat Rasulullah saw. berwudu, maka dibasuhnya telapak


tangannya tiga kali. (HR. Ahmad dan Nasa’i).
4) Berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung
Berkumur-kumur untuk melengkapi siwak. Mungkin dengan
siwak ada makanan yang tersangkut di gigi tidak mampu
dikeluarkan dengan berkumur-kumur dapat dikeluarkan.
Sedangkan memasukkan air ke dalam hidung adalah berfungsi
membersihkan kotoran-kotoran yang mengganggu terhirupnya
udara dari lubang hidung. Lubang hidung terdapat bulu-bulu
hidung yang dapat menahan kotoran dan dibersihkan dengan
menghirupkan air ke dalam hidung. Memasukkan air ke dalam

15
hidung ini juga dapat terhindar dari penyakit flu atau filek. Adapun
dasar berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung
adalah hadis dari Abdullah bin Zaed r.a:
‫ واستنثر بثالث‬.‫ متضمض‬:‫ وىف رواية‬،‫ان رسول هللا صلى هللا عليه وسلم متضمض واستنشق من كف واحد فعل ذلك ثالاث‬
‫غرفات متفق عليه‬

Bahwa Rasulullah saw. berkumur-kumur dan istinsyak dari satu


tangan. Ia kerjakannya tiga kali. Dan menururt riwayat lain
berkumur-kumur dan menghembuskan air ke hidung dari tiga
saukan. (Muttafaq ‘alaih).
5) Mendahulukan yang kanan daripada yang kiri
Mendahulukan yang kanan daripada yang kiri didasarkan
pada hadis Aisyah R.A:
‫ رواه أمحد وابو داود والرتمذى والنسائى‬.‫ اذا لبستم واذا توضأمت فابدؤا أبميان‬:‫)ان النيب صلى هللا عليه وسلم قال‬

Jika kamu mengenakan pakaian atau berwudu, mulailah dengan


yang sebelah kanan. (HR. Ahmad, Abu Daud, Turmudzi, dan
Nasa’i).
6) Menyela-nyela anggota wudu seperti jenggot dan kuku
Tempat tumbuhnya jenggot adalah di bagian wajah dan kuku
di bagian tangan. Wajah dan tangan adalah anggota yang wajib
dibasuh ketika wudu. Kumis atau kuku tidak boleh menghalangi
air dalam membasuh anggota wudu tersebut. Hal ini didasarkan
kepada hadis Anas r.a:
‫ هكذا أمرىن ريب عز‬:‫ وقال‬،‫ان النيب صلى هللا عليه وسلم كان اذا توضأ أخذ كفا من ماء فأدخله حتت حنكه فخلل به‬
( ‫وجل (رواه ابو داود والبيهقى واَلاكم‬
‫ه‬
Bahwa Nabi saw. bila berwudu, disauknya air dengan telapak
tangan, kemudian dimasukkannya ke bawah dagunya lalu digosok-
gosoknya seraya berabda, Beginilah cara yang disuruh oleh
Tuhanku ‘Azza wa jalla. (HR. Abu Daud, Baihaqi, dan Hakim).
7) Membasuh tiga kali
Kenapa tiga kali karena Allah menyukai yang ganjil. Kenapa tidak
lima, tujuh atau sembilan, karena Islam membenci boros atau

16
berlebih-lebihan. Kenapa tidak satu, karena dikhawatirkan kurang
sempurna. Membasuh tiga kali didasarkan kepada hadis:
( ‫ان النيب صلى هللا عليه وسلم توضأ ثالاث ثالاث (رواه امحد ومسلم والرتمذى‬

Bahwa Nabi saw. berwudu’ tiga kali-tiga kali. (HR. Ahmad,


Muslim, dan Turmudzi).
8) Muwalat
Artinya berturut-turut membasuh anggota demi anggota jangan
sampai orang yang berwudu itu menyela wudunya dengan
pekerjaan lain yang menurut kebiasaan dianggap telah menyimpang
dari padanya.
9) Menyapu kedua telinga
Menurut sunah ialah menyapu bagian dalamnya dengan kedua
telunjuk serta bagian luar dengan kedua ibu-jari. Yakni dengan
memakai air untuk kepala karena ia termasuk bagian dari padanya
sebagaimana deterima dari al-Miqdam bin Ma’diyakriba r.a:
‫صلى هللا عليه وسلم مسح ىف وضوءه رأسه واذنيه ظاهرمها وَبطنهما وأدخل اصبعيه ىف صماخى اذنيه‬
‫أ ن رسول هللا ه‬
Bahwa ketika berwudu, Rasulullah saw. menyapu kepala serta
kedua telinganya, baik luar maupun dalam dan memasukkan dua
buah jarinya ke dalam lobang telinganya. (HR. Abu Daud dan
Thahawi).
10) Menggosok-gosok anggota wudu ketika membasuhnya agar lebih
bersih
11) Selesai berwudu, menghadap kiblat dan berdoa:
‫املتطهرين‬
‫اللهم اجعلىن من التوابني واجعلىن من ه‬
‫ ه‬،‫اشهد ان ال اله اال هللا وحده الشريك له واشهد ان ُممدا عبده ورسوله‬
Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah yang Maha Esa,
yang tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad
adalah hamba-Nya dan utusannya. Ya Allah jadikanlah aku
termasuk orang-orang yang bertobat dan jadikanlah aku termasuk
dalam orang-orang yang bersuci.”
b) Perkara yang wajib dilakukan dengan berwudu

17
Seseorang diwajibkan berwudu untuk mengerjakan tiga
perkara, yaitu sebagai berikut:
(1) Salat apapun juga bentuknya, baik salat fardu maupun salat
sunat, termasuk juga bila ingin mengerjakan salat jenazah.
Dengan demikian, tidak sah salat tanpa wudu.
(2) Thawaf di Baitullah, berdasarkan hadis yang diriwayatkan
oleh Ibnu Abbas r.a:
،‫أحل فيه الكالم‬
‫ الطواف صالة إال أن هللا ه‬: ‫عن ابن عباس رضي هللا عنهما أن النيب صلى هللا عليه وسلم قال‬
(‫فمن تكلم فال يتكلم إاله خبْي ) رواه الرتمذى‬
Nabi saw. bersabda, Thawaf itu merupakan salat, hanya saja
Allah menghalalkan berbicara sewaktu mengerjakannya. Oleh
karenanya, barang siapa yang ingin berbicara ketika
mengerjakan thawaf, maka hendaklah ia membicarakan hal-
hal yang baik-baik.”
Berdasarkan hadis di atas, thawaf disyaratkan untuk
berwudu, karena thawaf pada prinsipnya adalah ibadah
seperti halnya salat. Bahkan, thawaf diserupakan seperti salat
tahiyatul masjid.
(3) Menyentuh mushaf al-Quran. Ini menurut pendapat jumhur
ulama berdasarkan pada firman Allah:
‫َّال ميََ ُّسهُ إَِّال الْ ُمطَ َّهُرو َن‬

Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.


(QS al-Waqi'ah/56: 79)
(4)Mandi
Mandi yang dikenal dengan mandi junub adalah mandi
yang bertujuan menghilangkan hadas besar seperti, keluar
mani/sperma, setelah jimak dan keluar darah haid/nifas. Hal
ini didasarkan kepada firman Allah swt.:
‫وان كنتم جنبا فاطهروا‬

Dan jika kamu junub, maka mandilah. (QS al-Maidah/5: 6).


a) Perkara yang mewajibkan mandi

18
Mandi menjadi wajib disebabkan adanya lima perkara, yaitu sebagai
berikut:
(1)Keluar mani disertai syahwat, baik pada waktu tidur maupun ketika
bangun, laki-laki maupun wanita.
(2)Hubungan kelamin, yaitu memasukan alat kelamin pria ke dalam alat
kelamin wanita, walau tidak sampai keluar mani. Menurut Syafi’i,
bahwa hakikat junub adalah hubungan kelamin antara laki-laki dan
perempuan, walaupun tanpa disertai orgasme.
(3)Haid dan nifas jika sudah berhenti, berdasarkan firman Allah swt.:
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Haid itu
adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri
dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka,
sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah
mereka itu di tempat yang diperintah Allah kepadamu. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang
yang menyucikan diri. (QS al-Baqarah/2: 222).
(4)Melahirkan baik anak yang dilahirkan itu cukup umur maupun tidak,
seperti keguguran.
(5)Mati, jika seorang menemui ajal kematiannya, maka ia wajib
dimandikan berdasarkan ijma’ ulama.
(6)Orang kafir jika sudah masuk Islam. Ia juga wajib mandi sebagai awal
dari penyucian dirinya.
b) Fardu (Rukun) Mandi
Menurut Al-Jaziri yang dinukil oleh Khalid Sayyid Ali dalam kitab Al-
Shalat 'ala al-Mazdahib al-Arba'ah bahwa para ulama mazhab berbeda
pendapat dalam menetapkan fardu/rukun mandi. Ulama Hanafiyah
berpendapat bahwa fardu mandi ada tiga. Pertama berkumur-kumur, kedua,
memasukkan air ke hidung dan ketiga, membasuh seluruh badan dengan air.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa fardu mandi ada lima, yaitu: niat,
meratakan badan (zhahir) dengan air, muwalat, menggosok-gosok seluruh
badan dengan air, dan menyela-nyela anggota badan seperti rambut.

19
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa fardu mandi ada dua, yaitu: niat
meratakan seluruh anggota badan dengan air. Sedangkan ulama Hanabilah
berpendapat bahwa fardu mandi cukup meratakan seluruh badan dengan air
termasuk berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung.
c) Sunah-sunah Mandi
Seseorang yang mandi harus memperhatikan perkara-perkara yang
pernah dilakukan Rasulullah saw., pada saat mandi, yaitu mulai dengan
mencuci kedua tangan sebanyak tiga kali, membasuh kemaluan, berwudu
secara sempurna seperti halnya wudu pada saat ingin mengerjakan salat. Ia
juga boleh menangguhkan membasuh kedua kaki hingga selesai mandi, bila
ia mandi di tempat tembaga dan sebagainya, kemudian menuangkan air ke
atas kepala sebanyak tiga kali sambil menyela-nyela rambut agar air dapat
membasahi urat-uratnya. Mengalirkan air ke seluruh badan dengan memulai
sebelah kanan, lalu sebelah kiri tanpa mengabaikan dua ketiak, bagian dalam
telinga, pusar, dan jari-jari kaki serta menggosok anggota tubuh yang dapat
digosok.
Menurut mayoritas ulama seorang yang berhadas besar (junub)
diharamkan melakukan salat dan tawaf di sekitar Ka’bah, memegang, dan
membawa mushaf al-Quran, kecuali dalam keadaan darurat untuk
menyelamatkannya atau mengembalikannya ke tempatnya semula setelah
terjatuh dan sebagainya. Namun, al-Jaziri mengungkapkan perbedaan para
ulama mazhab berkaitan dengan membaca al-Quran dan berdiam diri di
masjid bagi orang yang berhadas besar.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa orang yang berjunub tidak boleh
membaca al-Quran kecuali dua syarat. Pertama, membaca suatu yang mudah
dan kedua, membaca dalam dua situasi: dengan tujuan menjaga dari musuh
dan untuk menunjukkan hukum syarak. Juga tidak dibolehkan masuk masjid,
kecuali dua keadaan, yaitu: tidak air untuk mandi, kecuali di masjid tetapi
diharuskan bertayamum sebelum masuk masjid dan tidak ada tempat
penampungan dari bahaya kecuali di masjid.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa orang yang berjunub diharamkan
membaca al-Quran sedikit atau banyak, kecuali dalam dua keadaan. Pertama,
untuk mengawali setiap urusan dengan membaca basmalah. Kedua, membaca
ayat-ayat pendek untuk berdoa. Juga diharamkan bagi yang berjunub masuk

20
masjid, kecuali dharurat. Misalnya tidak ada air untuk mandi kecuali di
masjid, tetapi diharuskan bertayammum terlebih dahulu.
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa orang yang berjunub diharamkan
membaca al-Quran sekalipun satu huruf jika bermakud untuk membaca.
Tetapi, jika bermaksud untuk berzikir tidak diharamkan. Juga tidak
dibolehkan diam di masjid, kecuali hanya sekedar lewat itupun jika dirasa
aman untuk tidak mengotori masjid.
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa orang yang berjunub dibolehkan
membaca al-Qur’an pada ayat-ayat pendek, tidak boleh lebih dari itu. Boleh
juga diam di masjid jika dirasa aman untuk tidak mengotori masjid.
Pada intinya pendapat para ulama mazhab di atas adalah untuk menjaga
kesucian kitab suci dan tempat ibadah, sehingga orang yang berjunub tidak
dibolehkan membaca al-Qur’an dan diam di masjid.
2. Tayamum
Tayamum secara bahasa adalah al-qashd, sedangkan secara istilah adalah
menyapu wajah dan kedua tangan dengan debu yang suci atas jalan yang
tertentu sebagaimana firman Allah swt. (QS al-Maidah/5: 6)
ِ ‫…وإِن ُكنتم َّمرضى أَو علَى س َف ٍر أَو جاء أَح ٌد َّمن ُكم ِمن الْغائِ ِط أَو الَمستم النهِساء فَلَم ََِت ُدواْ ماء فَت ي َّممواْ صعِيداً طَيِباً فَامسحواْ بِوج‬
‫وه ُك ْم‬ ُُ ُ َ ْ ‫ه‬ َ ُ ََ َ ْ َ ُُْ َ ْ َ َ ‫ه‬ َ َ ْ َ َ ْ َْ ُ َ
ِ ِ
ِ ِ ُ ‫اّللُ لِيَ ْج َع َل َعلَْي ُكم ِهم ْن َحَرٍج َولَكن يُِر‬
-٦- ‫يد ليُطَ َّهَرُك ْم َوليُت َّم ن ْع َمتَهُ َعلَْي ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُكُرو َن‬ ِ
‫يد ه‬ُ ‫َوأَيْ ِدي ُكم ِهمْنهُ َما يُِر‬
Dan apabila kamu sekalian sakit atau dalam perjalanan, atau sehabis buang air
besar, atau bercampur dengan perempuan (isteri), kemudian kamu tidak
mendapatkan air (untuk bersuci), maka bertayamumlah dengan tanah yang baik
(suci). Sapulah muka dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi
Maha Pengampun. (QS al-Maidah/5: 6).
a) Sebab dilakukan tayamum
(1)Tidak ada air sama sekali atau ada air tetapi tidak cukup untuk dipakai
bersuci, berdasarkan hadis Imran bin Husein ra katanya:
‫ فقال ما مينعك َي فالن ان تصلى ىف القوم؟ فقال َي رسول هللا‬، ‫ان رسول هللا صلى هللا عليه وسلم رأى رجال معتزال مل يصل مع القوم‬
‫ فقال عليك َبلصعيد فانه يكفيك‬.‫اصابتىن جنابة وال ماء‬

Bahwa Rasulullah saw. melihat seorang laki-laki yang memencil dan tidak
salat bersama kaumnya. Rasul kemudian bertanya, “Kenapa Anda tidak
salat?” Ujarnya, “Saya dalam keadaan junub, sedang tidak ada air.” Maka

21
Nabi bersabda, “Pergunakanlah tanah, demikian itu cukup bagi Anda.”
(HR. Bukhari dan Muslim).
(2)Jika seseorang mempunyai luka atau ditimpa sakit dan ia khawatir dengan
memakai air itu penyakitnya jadi bertambah atau lama sembuhnya, baik hal
itu diketahuinya sebagai hasil pengalaman atau atas nasihat dokter yang
dapat dipercaya.
(3)Jika air terlalu dingin dan keras dugaannya akan timbul bahaya disebabkan
menggunakannya, dengan syarat ia tak sanggup memanaskan air tersebut,
walau hanya dengan jalan diupahkan. Atau jika seseorang tidak mudah
masuk kamar mandi.
(4)Apabila air yang tersedia hanya sedikit sekali dan diperlukan di waktu
sekarang atau masa depan yang dekat untuk minumnya atau minum orang
lain, atau binatang (walaupun seekor anjing) atau untuk memasak
makanannya, atau mencucui pakaian salatnya yang terkena najis.
b) Rukun-Rukun Tayamum
(1)Niat
(2)Debu yang suci, menurut pendapat empat mazhab yang diuraikan oleh al-
Jaziri. Menurutu ulama Syafi’iyah yang dimaksud al-sha’id al-thahur adalah
debu yang memiliki ghibar (ngebul). Menurut ulama Hanabilah, sha’id
adalah jenis debu yang suci. Menurut ulama Hanafiyah, segala macam yang
termasuk dari jenis bumi, seperti pasir, batu, kerikil dan lain sebagainya.
Sedangkan menurut ulama Malikiyah adalah segala yang ada di atas bumi.
(3)Menyapu seluruh wajah
(4)Menyapu kedua tangan sampai siku. Menurut ulama Malikiyah dan
Hanabilah wajib menyapu tangan hanya sampai pergelangan. Adapun
sampai ke dua siku adalah sunah.
c) Kaifiyat Tayamum
Menurut Sayid Sabiq, hendaklah orang yang bertayamum berniat lebih
dahulu, kemudian membaca basmalah dan memukulkan kedua telapak tangan
ke tanah yang suci, lalu menyapukannya ke muka Begitupun kedua belah
tangannya sampai pergelangan tangan. Mengenai hal ini tak ada keterangan
yang lebih sah dan lebih tegas dari hadis Umar r.a. katanya, “Aku junub dan tidak
mendapatkan air, maka aku bergelimang dengan tanah lalu salat, kemudian
kuceritakan hal itu kepada Nabi saw., maka beliau bersabda, “Cukup bila Anda

22
lakukan seperti ini, dipukulkannya kedua telapak tangannya ke tanah, lalu
dihembusnya dan kemudian disapukannya ke muka dan kedua telapak
tangannya. (HR. Bukhari dan Muslim).
Menurut Sayid Sabiq bahwa tayamum sama dengan wudu, tidak
disyaratkan masuknya waktu, serta bagi orang yang telah bertayamum
dibolehkan melakukan beberapa salat baik fardu maupun sunah sebanyak yang
dikehendaki. Tayamum menjadi batal oleh sesuatu yang membatalkan wudu.
Begitupun ia batal disebabkan adanya air sebelum dirinya mengerjakan salat.
Adapun jika ia sedang salat tiba-tiba turun hujan atau ia melihat air, maka tetap
sah tayamumnya untuk meneruskan salat yang sedang dikerjakannya.

d) Mengusap di atas Pembalut (Perban atau Plaster)


1) Seorang penderita luka yang khawatir jika menggunakan air dalam wudu
atau mandi akan menambah parah lukanya itu atau memperlambat
kesembuhannya, dibolehkan mengusap (dengan tangan yang basah)
anggota tubuhnya yang terluka. Apabila hal itu membahayakan,
hendaknya ia menutup luka itu dengan perban atau pembalut lain. Sebagai
pengganti bagian tubuhnya yang tertutup pembalut dan tidak terkena air,
hendaklah ia bertayamum. Boleh juga ia mendahulukan tayamumnya
sebelum wudu atau mandi.
2) Cara bersuci di atas pembalut seperti ini menjadi batal, apabila ia dibuka
atau luka itu telah sembuh. Segera setelah sembuh, pembalut harus dibuka
dan sejak itu harus bersuci kembali secara sempurna.
3) Apabila yang dibalutkan itu sekitar anggota wudu, maka dibolehkan
mengusapkan di atas pembalutnya itu dengan air, sekalipun tidak terkena
anggota wudu, tetapi salatnya harus diulangi. Jika sebelum dibalutkan ia
dalam keadaan tidak berwudu. Tetapi jika sebelum dibalutkan dalam
keadaan berwudu, maka salatnya tidak harus diulang.
D. Kontekstualisasi Nilai-nilai Moderasi Beragama dalam Materi Taharah
Taharah merupakan salah satu syarat sahnya suatu ibadah tertentu.
Berkaitan dengan tata cara taharah beberapa imam mazhab berbeda pendapat,
baik dari segi rukun, syarat wajib maupun syarat sahnya.
Masyarakat yang mengikuti mazhab tertentu pastinya mengikuti apa yang
diyakininya begitupun pengikut madzhab yang lain. perbedaan dalam hukum

23
taharah merupakan rahmat bagi umat Islam sehingga dapat ambil hikmahnya
yakni untuk memberikan kemudahan-kemudahan dalam beribadah. Sewajarnya
antar umat Islam tidak mempermasalahkan apa yang dipraktikkan oleh umat
Islam yang bermazhab lain sebab masing-masing mazhab yang mereka ikuti
pada dasarnya menerapkan hukum Islam sesuai dalil masing-masing.
Menghargai perbedaan pelaksanaan taharah sesuai mazhab masing-masing
adalah cerminan sikap moderasi beragama berupa tasamuh (toleransi) dan al-la
‘unf (anti kekerasan).

Toleransi dalam hal ini bukan toleransi antar umat agama yang lain, akan
tetapi toleransi antara pemeluk agama yang sama dengan menerima perbedaan
pendapat dari setiap pengikut mazhab. Sedangkan untuk alla ‘unf (anti
kekerasan) adalah tidak ekstrem terhadap satu pendapat saja sehingga
memaksakan pendapat yang diyakini itulah yang paling benar dan menganggap
pendapat yang lain itu salah.
Selain nilai moderasi beragama tersebut, nilai moderasi beragama apa saja
yang dapat Saudara peroleh dari materi taharah ini?

24
E. Latihan

Untuk memperdalam pemahaman Anda di atas, kerjakan latihan berikut:


1. Perhatikan gambar di bawah ini:

Diantara gambar di atas, tunjukkan gambar mana yang termasuk najis


mughallazah, najis mukhaffafah dan najis mutawassithah!
2. Silahkan simak video di bawah ini:
https://youtu.be/9aNL9vP-Iuo . Kemukakan ulama mazhab yang di
praktekkan dalam tata cara berwudu di dalam vedio tersebut!
3. Jika seseorang dalam keadaan sakit, kemudian ia akan salat sedangkan
terdapat banyak alat inpus di lengannya yang tidak bisa dibuka, maka
tayamum yang dilakukan adalah…

25
F. Daftar Pustaka
1. Wahbah Az-Zuhaili, al-Fiqh al- Islami wa Adillatuhu, Jilid 1, Cet. X;
Damaskus: Darul Fikri 1428H/2007M.
2. Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 1, Penerjemah Mukhsin Adz-Dzaki dkk,
Cet. II; Sukoharjo: Penerbit Insan Kamil, 1440H/2018M.
3. Mustafa Dib Al-Bugha, Fikih Islam Lengkap: Penjelasan Hukum-Hukum Islam
Mazhab Syafi’I, Cet. 1; Solo: Penerbit Media Zikir, 2010.
4. Muhammad Jawad Mughniyah. 2005. Fikih Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi,
Syafi’I, Hambali. Cet. 15; Jakarta: Lentera.
5. Khalid Sayyid Ali. 2005. Al-Shalat 'ala al-Mazdahib al-Arba'ah. Damaskus:
Ar al-Qalam
6. Rasyid Sulaiman. 1996. Fiqh Islam. Bandung: PT. Sinar Baru Algesindo.

26

You might also like