You are on page 1of 32

Departemen Ilmu Kesehatan T.H.T.B.K.

L
Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin
JUNI 2023

ABSES PERITONSIL

Oleh:

HARDIANTI AGRI

Pembimbing:
dr. Mahdi Umar, Sp.T.H.T.B.K.L, SubSp.L.F (K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS PPDS-1


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK -
BEDAH KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2023

1
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................ 1

DAFTAR ISI ....................................................................................................... 2

PENDAHULUAN ............................................................................................... 3

LAPORAN KASUS........................................................................................... 20

PERTANYAAN KLINIS ................................................................................... 25

METODE .......................................................................................................... 25

HASIL ............................................................................................................... 25

DISKUSI ........................................................................................................... 28

KESIMPULAN.................................................................................................. 30

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 31

2
PENDAHULUAN

Abses peritonsil atau Quinsy merupakan suatu infeksi akut yang diikuti dengan

terkumpulnya pus pada jaringan ikat longgar antara m.konstriktor faring dengan tonsil
1
pada fosa tonsil. Infeksi ini menembus kapsul tonsil (biasanya pada kutub atas). Abses

peritonsil merupakan infeksi pada tenggorok yang seringkali merupakan komplikasi

dari tonsilitis akut.1

Abses peritonsil merupakan infeksi pada kasus kepala leher yang sering terjadi

pada orang dewasa. Timbulnya abses peritonsil dimulai dari infeksi superfisial dan

berkembang secara progresif menjadi tonsilar selulitis. Komplikasi abses peritonsil

yang mungkin terjadi antara lain perluasan infeksi ke parafaring, mediastinitis,

dehidrasi, pneumonia, hingga infeksi ke intrakranial berupa thrombosis sinus

kavernosus, meningitis, abses otak dan obstruksi jalan nafas.2

Penyakit-penyakit infeksi pada tenggorok telah diketahui sejak abad ke dua

Masehi oleh Aretaues of Cappadocia. Pada abad ke 2 dan 3 sebelum Masehi, ia

menerangkan tentang dua tipe penyakit pada tonsil yaitu pembengkakan tonsil tanpa

ulserasi dan pembengkakan tonsil dengan obstruksi jalan nafas. Beberapa kepustakaan

menjelaskan bahwa abses peritonsil yang kita kenal sekarang ini pertama kali
2
dikemukakan pada awal tahun 1700-an.

Abses peritonsil sering mengenai orang dewasa pada usia 20 sampai 40 tahun.

Pada anak jarang terjadi, kecuali yang mengalami gangguan penyakit kekebalan tubuh,

tetapi pada anak infeksi dapat menyebabkan gangguan obstruksi jalan nafas. Persentase
3
efek gangguan jalan nafas sama pada anak laki-laki dan perempuan.

2
Pada umumnya infeksi di bagian kepala leher terjadi pada orang dewasa.

Insiden abses peritonsil di A.S terjadi 30 per 100.000 orang/ tahun.3 Dikutip dari Hanna

BC3, Herzon melaporkan data insiden terjadinya abses peritonsil; 1/6500 populasi atau

30.1/40.000 orang per tahun di Amerika Serikat. Di Irlandia Utara dilaporkan 1 per
4
10.000 pasien per tahun, dengan rata-rata usia 26.4 tahun.

A. Definisi

Abses peritonsil merupakan kumpulan atau timbunan pus yang terlokalisir pada

jaringan peritonsiler yang terbentuk akibat tonsilitis supuratif. Abses peritonsil terbentuk

karena penyebaran organisme bakteri yang menginfeksi tenggorokan pada satu ruangan

areolar yang longgar disekitar faring yang biasa menyebabkan pembentukan abses, dimana

infeksi telah menembus bagian kapsul tonsil, tetapi tetap dalam batas otot konstriktor faring.

Peradangan akan mengakibatkan terbentuknya abses dan biasanya unilateral. Tempat yang

biasa terjadi abses adalah di bagian pillar tonsil anteroposterior, fossa piriform inferior, dan

palatum superior. Saat infeksi berlanjut, nanah dapat bernanah dan terkumpul di sekitar

kapsul amandel yang mengarah ke pembentukan abses, biasanya di sekitar kutub atas

amandel, gejalanya terdiri dari odinofagia, disfagia, perubahan suara ('hot potato sound) dan

trismus. Abses terletak di antara kapsul tonsil, otot konstriktor superior faring. 3

B. Etiopatogenesis

Abses peritonsil atau Quinsy adalah suatu infeksi akut dan berat di daerah orofaring.

Abses peritonsil merupakan kumpulan pus yang terlokalisir pada jaringan peritonsil yang

umumnya merupakan komplikasi dari tonsilitis akut berulang atau bentuk abses dari kelenjar

3
Weber pada kutub atas tonsil. Infeksi yang terjadi akan menembus kapsul tonsil (umumnya pada

kutub atas tonsil) dan meluas ke dalam ruang jaringan ikat di antara kapsul dan dinding posterior
9
fosa tonsil. Perluasan infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring.

Finkelstein dkk9, mengatakan lokasi infeksi abses peritonsil terjadi di jaringan peritonsil

dan dapat menembus kapsul tonsil. Hal ini kemudian akan menyebabkan penumpukan pus atau

pus meluas ke arah otot konstriktor faring superior menuju ruang parafaring dan retrofaring

terdekat.9

Pada fosa tonsil ditemukan suatu kelompok kelenjar di ruang supra tonsil yang disebut

kelenjar Weber. Fungsi kelenjar-kelenjar ini adalah mengeluarkan cairan ludah ke dalam kripta-

kripta tonsil, membantu untuk menghancurkan sisa-sisa makanan dan debris yang terperangkap

di dalamnya lalu dievakuasi dan dicerna. Jika terjadi infeksi berulang, dapat terjadi gangguan

pada proses tersebut lalu timbul sumbatan terhadap sekresi kelenjar Weber yang mengakibatkan

terjadinya pembesaran kelenjar. Jika tidak diobati secara maksimal, akan terjadi infeksi berulang

selulitis peritonsil atau infeksi kronis pada kelenjar Weber dan sistem saluran kelenjar tersebut
10
akan membentuk pus sehingga menyebabkan terjadinya abses.

Dikutip dari Megalamani11, pemeriksaan kultur yang telah dilakukan menumbuhkan

populasi bakteri aerob dan anaerob sama banyaknya dengan campuran flora yang melibatkan

mikroorganisme gram negatif dan gram positif. Beberapa penelitian dengan mengisolasi bakteri

menunjukkan Streptococcus viridians merupakan penyebab terbanyak infeksi abses peritonsil,

diikuti oleh Streptococcus beta hemolyticus grup A. Bakteri anaerob dan Streptococcus gram
11
positif telah diidentifikasi sebagai agen etiologi umum.

Hanna3 melaporkan hasil pemeriksaan kultur kuman sebanyak 43 % ditemukan bakteri

4
aerob, 31% bakteri anaerob, dan 23 % terdiri gabungan bakteri aerob dan anaerob. Dikutip dari

Marom4, Megalamani dkk, menunjukkan adanya peningkatan kejadian bakteri aerob gram

negatif yang menyebabkan abses peritonsil di India, sedangkan Sakae dkk, melaporkan
11
banyaknya kasus polimikmikrobial dengan dominasi kuman aerob pasien di Brazil.

Dikutip dari Segal N1, Brook dkk melaporkan sebanyak 34 orang dewasa dan anak-anak

yang dilakukan aspirasi pus dan didapatkan 76% bakteri gabungan aerob-anaerob dan 18 %

bakteri anaerob.1 Apapun bakteri/kuman yang menjadi penyebabnya, proses infeksi ini

menunjukkan bahwa mekanisme pertahanan pertama dari orofaring penerima (host) telah

ditembus dan sebagai akibatnya mikroorganisme tersebut masuk menembus jaringan


11
orofaring.

Ketika bakteri menembus jaringan, tubuh secara alami akan menggerakkan beberapa

mekanisme pertahanan. Secara umum bakteri akan mati oleh aktifitas sel-sel fagosit. Antibodi

memainkan peranan penting melawan toksin-toksin bakteri, tetapi bagaimana peranan antibodi
11,12
dalam melawan bakteri penyebab inflamasi peritonsil akut masih belum diketahui.

C. Diagnosis

Menegakkan diagnosis penderita dengan abses peritonsil dapat dilakukan berdasarkan

anamnesis tentang riwayat penyakit, gejala klinis dan pemeriksaan fisik penderita. Aspirasi

dengan jarum pada daerah yang paling fluktuatif, atau punksi merupakan tindakan diagnosis

yang akurat untuk memastikan abses peritonsil. Seperti dikutip dari Hanna3, Similarly Snow

dkk berpendapat untuk mengetahui jenis kuman pada abses peritonsil tidak dapat dilakukan

dengan cara usap tenggorok. Pemeriksaan penunjang akan sangat membantu selain untuk

5
14
diagnosis juga untuk perencanaan penatalaksanaan.

Pemeriksaan secara klinis seringkali sukar dilakukan karena adanya trismus. Palatum

mole tampak menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin

banyak detritus, terdorong ke arah tengah, depan dan bawah. Uvula terdorong ke arah kontra
9,13,14
lateral. Gejala lain untuk diagnosis sesuai dengan gejala klinisnya.

Pemeriksaan laboratorium darah berupa faal hemostasis, terutama adanya leukositosis

sangat membantu diagnosis. Pemeriksaan radiologi berupa foto rontgen polos, ultrasonografi
10
dan tomografi komputer.

Saat ini ultrasonografi telah dikenal dapat mendiagnosis abses peritonsil secara spesifik

dan mungkin dapat digunakan sebagai alternatif pemeriksaan. Mayoritas kasus yang diperiksa
10
menampakkan gambaran cincin isoechoic dengan gambaran sentral hypoechoic.

Gambar 1: Intraoral ultrasonografi1

Gambaran tersebut kurang dapat dideteksi bila volume relatif pus dalam seluruh abses

adalah kurang dari 10% pada penampakan tomografi komputer. Penentuan lokasi abses yang

akurat, membedakan antara selulitis dan abses peritonsil serta menunjukkan gambaran

penyebaran sekunder dari infeksi ini merupakan kelebihan penggunaan tomografi komputer.

6
Khusus untuk diagnosis abses peritonsil di daerah kutub bawah tonsil akan sangat terbantu
10
dengan tomografi komputer.

18
Gambar 2: Tomografi komputer abses peritonsil.

10
Fasano mengatakan bahwa pemeriksaan dengan menggunakan foto rontgen polos dalam

mengevaluasi abses peritonsil terbatas. Bagaimanapun tomografi komputer dan ultrasonografi

dapat membantu untuk membedakan antara abses peritonsil dengan selulitis tonsil. Dikutip dari
10,
Fasano Lyon dkk melaporkan kasus diagnosis abses peritonsil bilateral di ruang gawat darurat

dengan menggunakan intraoral sonografi Ultrasonografi juga dapat digunakan di ruang

pemeriksaan gawat darurat untuk membantu mengidentifikasi ruang abses sebelum dilakukan
15
aspirasi denganjarum.

D. Komplikasi

Komplikasi segera yang dapat terjadi berupa dehidrasi karena masukan makanan yang

kurang. Pecahnya abses secara spontan dengan aspirasi darah atau pus dapat menyebabkan

pneumonitis atau abses paru. Pecahnya abses juga dapat menyebabkan penyebaran infeksi ke
1,4,16
ruang leher dalam, dengan kemungkinan sampai ke mediastinum dan dasar tengkorak.

Komplikasi abses peritonsil yang sangat serius pernah dilaporkan sekitar tahun 1930,

7
sebelum masa penggunaan antibiotika. Infeksi abses peritonsil menyebar ke arah parafaring

menyusuri selubung karotis kemudian membentuk ruang infeksi yang luas.16

Perluasan Infeksi ke daerah parafaring dapat menyebabkan terjadinya abses parafaring,


16
penjalaran selanjutnya dapat masuk ke mediastinum sehingga dapat terjadi mediastinitis.

Pembengkakan yang timbul di daerah supra glotis dapat menyebabkan obstruksi jalan

nafas yang memerlukan tindakan trakeostomi. Keterlibatan ruang- ruang faringomaksilaris

dalam komplikasi abses peritonsil mungkin memerlukan drainase dari luar melalui segitiga
17
submandibular.

Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial dapat mengakibatkan thrombus sinus

kavernosus, meningitis dan abses otak. Pada keadaan ini, bila tidak ditangani dengan baik akan

menghasilkan gejala sisa neurologis yang fatal. Komplikasi lain yang mungkin timbul akibat
16
penyebaran abses adalah endokarditis, nefritis, dan peritonitis juga pernah ditemukan.

Marom4, melaporkan sebanyak 13 pasien (3%) mengalami komplikasi seperti selulitis

parafaring atau edema supraglotis dan penanganan komplikasi yang serius di rumah sakit.

Ming CF mengatakan bila tidak dilakukan pengobatan abses peritonsil dengan segera

maka dapat menyebabkan komplikasi antara lain limfadenitis servikal, infeksi parafaring dan

perdarahan, edema laring, abses leher dalam, dan jarang terjadi seperti fascitis nekrotik servikal,
13
dan mediastinitis.

E. Penatalaksanaan

Meskipun fakta menunjukkan bahwa abses peritonsil merupakan komplikasi tersering

dari tonsilitis akut, penatalaksanaan dari abses peritonsil masih kontroversial. Penatalaksanaan

yang umum dikenal untuk abses peritonsil adalah insisi, drainase dan terapi antibiotika, diikuti

8
17
oleh tonsilektomi beberapa minggu kemudian .

Dikutip dari Badran14, Herzon menyatakan bahwa aspirasi jarum saja dapat digunakan

sebagai drainase prosedur pembedahan awal karena tingkat resolusi dengan teknik ini adalah 94-

96%. Pada 54% kasus abses peritonsil, penanganannya menggunakan teknik insisi dan drainase,

32% digunakan jarum aspirasi, dan 14% dilakukan tonsilektomi. Sebelum jaman antibiotika

dikenal pada akhir 1930-an dan awal 1940- an, beberapa tipe pembedahan telah digunakan pada
14
sebagian besar infeksi abses peritonsil.

Dikutip dari Ming CF13, Xue melaporkan bayi berumur 53 hari yang mengalami abses

peritonsil unilateral dilakukan tonsilektomi dengan anestesi umum. Delapan tahun terakhir,

terapi abses peritonsil dengan aspirasi jarum dan penggunaan antibiotika parenteral agak lebih
18
sering dilakukan dibandingkan insisi dan drainase.

Terapi antibiotika

Salah satu faktor yang masih merupakan kontroversi dalam penanganan abses peritonsil

adalah pemilihan terapi antibiotika sebelum dan sesudah pembedahan. Antibiotika pada gejala

awal diberikan dalam dosis tinggi disertai obat simptomatik, kumur- kumur dengan cairan hangat
18
dan kompres hangat pada leher (untuk mengendurkan tegangan otot).

Dengan mengutamakan pemeriksaan kultur dan sensitifitas, pemberian terapi antibiotika

ditunjukkan pada jenis bakteri mana yang lebih banyak muncul. Penisilin dan sefalosporin

(generasi pertama kedua atau ketiga) biasanya merupakan obat pilihan. Penisilin dalam dosis

tinggi sebagai obat pilihan diberikan dengan mempertimbangkan kontra indikasi seperti alergi
4,11,19
atau timbulnya kemungkinan adanya reaksi koagulasi organisme.

Penisilin dapat digunakan pada penderita abses peritonsil yang diperkirakan disebabkan

9
oleh kuman staphylococcus. Metronidazol merupakan antimikroba yang sangat baik untuk

infeksi anaerob. Tetrasiklin merupakan antibiotika alternatif yang sangat baik bagi orang

dewasa, meskipun klindamisin saat ini dipertimbangkan sebagai antibiotik pilihan untuk

menangani bakteri yang memproduksi beta laktamase. Penting untuk dicatat bahwa memberikan

antibiotika intravena pada penderita abses peritonsil yang dirawat inap belakangan ini sudah
18,19
kurang umum digunakan.

Insisi dan drainase

Abses peritonsil merupakan suatu indikasi tindakan yang juga disebut intraoral drainase.

Tujuan utama tindakan ini adalah mendapatkan drainase abses yang adekuat dan terlokalisir

secara cepat. Lokasi insisi biasanya dapat diidentifikasi pada pembengkakan di daerah pilar-
20
pilar tonsil atau dipalpasi pada daerah paling berfluktuasi.

Teknik insisi

Pada penderita yang sadar, tindakan dapat dilakukan dengan posisi duduk menggunakan

anestesi lokal. Anestesi lokal dapat dilakukan pada cabang tonsilar dari nervus glossofaringeus

(N.IX) yang memberikan inervasi sensoris mayoritas pada daerah ini, dengan menyuntikkan
4,18
lidokain melalui mukosa ke dalam fosa tonsil.

10
Gambar 3 : Teknik Insisi14

Pada penderita yang memerlukan anestesi umum, posisi penderita saat tindakan adalah

kepala lebih rendah (trendelenberg) menggunakan ETT (Endotrakeal tube). Anestesi topikal

dapat berupa xylocaine spray atau menggunakan lidokain 4-5% atau tetrakain 2% untuk
19
mencegah keterlibatan jaringan tonsil yang lain. Menggunakan pisau skalpel no.11.

19
Gambar 4 : Lokasi insisi
19
Lokasi insisi biasanya dapat diidentifikasi pada :

 Pembengkakan di daerah pilar-pilar tonsil atau dipalpasi pada daerah yang paling

fluktuatif

 Pada titik yang terletak dua pertiga dari garis khayal yang dibuat antara dasar uvula

dengan molar terakhir.

 Pada pertengahan garis horizontal antara pertengahan basis uvula dan M3 atas

 Pada pertemuan garis vertikal melalui titik potong pinggir medial pilar anterior dengan

lidah dengan garis horizontal melalui basis uvula

 Pada pertemuan garis vertikal melalui pinggir medial M3 bawah dengan garis

11
horizontal melalui basis uvula

Insisi diperdalam dengan klem dan pus yang keluar langsung dihisap dengan
19,20
menggunakan alat penghisap.

Tindakan ini (menghisap pus) penting dilakukan untuk mencegah aspirasi yang dapat

mengakibatkan timbulnya pneumonitis. Biasanya bila insisi yang dibuat tidak cukup dalam,

harus lebih dibuka lagi dan diperbesar. Setelah cukup banyak pus yang keluar dan lubang insisi

yang cukup besar, penderita kemudian disuruh berkumur dengan antiseptik dan diberi terapi
19,20
antibiotika.

Umumnya setelah drainase terjadi, rasa nyeri akan segera berkurang. Pus yang keluar

juga sebaiknya diperiksakan untuk tes kultur dan sensitifitas, biasanya diambil saat aspirasi
20
(diagnosis).

Drainase dengan aspirasi jarum

Model terapi abses peritonsil yang digunakan sampai saat ini, pertama insisi dan drainase

serta yang kedua tonsilektomi. Saat ini ada beberapa penelitian yang mendiskusikan tentang
20
aspirasi menggunakan jarum sebagai salah satu terapi bedah pada abses peritonsil.

Beberapa keuntungan dari evaluasi penatalaksanaan aspirasi jarum dibanding insisi dan
20
drainase adalah :

1. Mudah untuk dilakukan, sederhana, aman, dan murah.

2. Dapat digunakan untuk konfirmasi diagnosis dengan trauma minimal (yang biasanya dapat

dilakukan sebelum insisi dan drainase).

3. Dapat ditoleransi (ditahan) oleh penderita / tidak menakutkan.

4. Tidak / kurang mencederai struktur jaringan sekitar.

12
5. Lebih memudahkan untuk mengumpulkan spesimen

/ pus guna pemeriksaan mikroskopis dan tes kultur

/ sensitifitas.

6. Memberikan penyembuhan segera, mengurangi kesakitan.

7. Mencegah prosedur bedah dan anestesi umum.

8. Merupakan prosedur yang dapat dipercaya untuk abses peritonsil.


20
Kerugian terapi dengan drainase dengan aspirasi jarum adalah :

1. Bila pus terkumpul kembali dapat menyebabkan infeksi yang berulang.

2. Tidak dapat melakukan pembersihan kantung pus secara maksimal.

3. Pus yang tersisa tidak maksimal keluar sehingga dapat menyebabkan proses

penyembuhan lama.

Teknik aspirasi

Tindakan dilakukan menggunakan semprit 10 ml, dan jarum no.18 setelah pemberian
13
anestesi topikal (misalnya xylocain spray) dan infiltrasi anestesi lokal (misalnya lidokain).

14
Gambar 5: Tindakan Aspirasi abses peritonsil .

Lokasi aspirasi pertama adalah pada titik atau daerah paling berfluktuasi atau pada

tempat pembengkakan maksimum. Bila tidak ditemukan pus, aspirasi kedua dapat dilakukan 1

13
13,14
cm di bawahnya atau bagian tengah tonsil.

Aspirasi jarum, seperti juga insisi dan drainase, merupakan tindakan yang sulit dan

jarang berhasil dilakukan pada anak dengan abses peritonsil karena biasanya mereka tidak dapat

bekerja sama. Selain itu tindakan tersebut juga dapat menyebabkan aspirasi darah dan pus ke
13,14
dalam saluran nafas yang relatif berukuran kecil.

Tonsilektomi

Tindakan pembedahan pada abses peritonsil merupakan topik yang kontroversial sejak

beberapa abad. Filosofi dari tindakan tonsilektomi pada abses peritonsil adalah karena

berdasarkan pemikiran bahwa kekambuhan pada penderita abses peritonsil terjadi cukup banyak

sehingga tindakan pengangkatan kedua tonsil ini dilakukan untuk memastikan tidak terjadinya
14,17,21
kekambuhan.

Sementara insisi dan drainase abses merupakan tindakan yang paling banyak diterima

sebagai terapi utama untuk abses peritonsil, beberapa bentuk tonsilektomi kadang-kadang
4,14,20
dilakukan.
20
Waktu pelaksanaan tonsilektomi sebagai terapi abses peritonsil, bervariasi :

1. Tonsilektomi a chaud: dilakukan segera / bersamaan dengan drainase abses.

2. Tonsilektomi a tiede : dilakukan 3-4 hari setelah insisi dan drainase.

3. Tonsilektomi a froid : dilakukan 4-6 minggu setelah drainase.

Ming CF13 mengatakan tonsilektomi merupakan penanganan yang terbaik untuk

mencegah rekurensi abses peritonsil. Pada masa lalu, orang berpendapat operasi harus dilakukan

2-3 minggu setelah infeksi akut berkurang. Tetapi setelah 2-3 minggu, menimbulkan bekas luka

yang terdapat pada kapsul tonsil, sehingga tindakan operasi sulit dan menimbulkan perdarahan

serta sisa tonsil. 20

14
Saat ini tampaknya dibenarkan bahwa tonsilektomi pada abses peritonsil, dilakukan

dalam anestesi umum, melalui tonsilektomi secara diseksi dan dalam perlindungan terapi

antibiotika adalah suatu.20

operasi yang memberikan resiko yang sama dengan tonsilektomi abses pada fase tenang (cold

tonsillectomy).

Beberapa keuntungan dari tonsilektomi segera pada abses peritonsil adalah:20

1. Penanganan penderita dilakukan dalam satu tahap pada saat sakit.

2. Memberikan drainase pus yang lengkap.

3. Mengurangi kesulitan tonsilektomi selang waktu yang kadang-kadang timbul.

4. Mengurangi waktu perawatan (bila penderita dirawat inap di rumah sakit)

5. Mengurangi rasa sakit dengan segera dan menghilangkan perasaan tidak enak mengalami

prosedur yang lain (insisi dan drainase)

Beberapa kerugian tindakan tonsilektomi segera pada abses peritonsil adalah20 :

1. Dapat terjadinya perdarahan pada saat tindakan tonsilektomi.

2. Dapat terjadi trombosis, sinus kavernosus, aspirasi paru, dan meningitis.

10
Indikasi tonsilektomi segera, yaitu :

1. Abses peritonsil yang tidak dapat diinsisi dan drainase karena trismus atau abses yang

berlokasi di kutub bawah.

2. Abses peritonsil yang meluas dari hipofaring ke daerah parafaring, dengan resiko meluas

ke daerah leher dalam.

3. Penderita dengan DM (Diabetes Melitus) yang memerlukan toleransi terhadap terapi

berbagai antibiotika.

15
4. Penderita diatas 50 tahun dengan tonsil-tonsil yang melekat, karena abses akan sangat

mudah meluas ke daerah leher dalam.

Pada umumnya insisi dan drainase diikuti dengan tonsilektomi 6-12 minggu kemudian

adalah prosedur terapi abses peritonsil.21 Dikutip dari Ming CF13, KY Wen merekomendasikan

bahwa pasien harus dilakukan operasi 2-3 hari setelah infeksi terkontrol jika ukuran luka pada

abses yang pecah spontan kurang dari 2,5 cm. Namun, bila ukuran luka pada abses yang pecah

spontan lebih dari 2,5 cm maka tindakan operasi harus dilakukan segera dengan tetap

memperhatikan kondisi umum dan komplikasi sistemik pada pasien.20

F. Faktor penyulit

Beberapa faktor sering kali menjadi penyulit penanganan abses peritonsil, diantaranya

trismus dan penyakit sistemik (khususnya DM).

a. Trismus

Keadaan ini terjadi bila abses sudah mengenai dan menyebabkan iritasi pada muskulus

pterigoid interna. Penderita menjadi sulit membuka mulut karena nyeri dan kaku. Untuk

mengatasi rasa nyeri diberikan analgetik lokal dengan menyuntikkan silokain atau novokain 1%
14
di ganglion sphenopalatinum.

Ganglion ini terletak di bagian belakang atas lateral konka media. Ganglion

sphenopalatinum mempunyai cabang saraf palatina anterior media dan posterior yang
14
mengirimkan cabang aferennya ke tonsil dan palatum mole di atas tonsil.

b. Diabetes Melitus (DM)

Pembedahan, betapapun ringannya merupakan sesuatu yang menakutkan bagi seorang

16
penderita apalagi bila ia tidak mengetahui masalahnya. Setiap orang yang mengalami atau

menjalani pembedahan akan mendapatkan stres metabolik berupa asupan kalori yang berkurang

karena pengaruh anestesi, trauma pembedahan ataupun diikuti oleh infeksi sebagai akibatnya.

Pada penderita DM dengan operasi terencana (efektif), dapat menghabiskan kalori sebesar 10%,

sedangkan pada operasi darurat bisa mencapai 40% dibandingkan dengan orang non DM yang

dioperasi. Infeksi dan infark miokard, adalah dua hal yang ditakuti pada penderita DM yang

mengalami pembedahan, yang merupakan akibat langsung atau tidak langsung dari
18
hiperglikemia.

Pengendalian gula darah perlu dilakukan sebelum pasien dioperasi. Untuk operasi

darurat yang memerlukan penurunan gula darah segera, sulit didapat melalui diet atau
12,18
antidiabetik oral, dapat dilakukan dengan pemberian insulin regular.

Persyaratan kadar gula darah yang optimal untuk operasi masih sangat bervariasi. Pada

umumnya untuk operasi terencana, kadar gula darah yang dipakai 125-150 mg%. Dan angka
16
absolut ≤150 mg%. Untuk operasi darurat angka yang dianjurkan adalah ≤ 200 mg%.

17
LAPORAN KASUS

Pasien perempuan berusia 57 tahun datang ke IGD dengan keluhan

odinofagi dirasakan sejak 2 hari yang lalu, disertai disfagia makanan padat. disfoni

tidak, odinofoni tidak, batuk tidak, sesak ada. keluhan telinga dan hidung tidak ada.

Demam ada, trismus ada, bengkak pada leher ada. Riwayat penyakit diabetes

melitus ada, sejak 3 tahun yang lalu, tidak rutin minum obat, hipertensi disangkal.

Riwayat gigi berlubang disangkal, Riwayat keluhan yang sama disangkal.

Pada pemeriksaan faringoskopi, tampak massa/ bombans peritonsil kanan,

tonsil hiperemis T3-T1, Uvula terdorong ke kontralateral ( kiri ). Pada pemeriksaan

otoskopi didapatkan membran timpani dextra et sinistra intak, pantulan cahaya pada

aurikula dextra et sinistra ada. Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior didapatkan

konka normal dextra et sinista, deviasi septum nasi tidak ada. Pada palpasi leher

didapatkan tidak ada pembesaran kelenjar limfe regional. Tampak edema dan

eritema area submandibular, sepanjang leher sampai dada bagian atas ( clavicula ),

konsistensi kenyal, nyeri tekan tidak ada, teraba hangat, tidak ada pulsasi.

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukosit 14.790, Hemoglobin

15, trombosit 217.000, gula darah sewaktu 281, 373, 336, 250 mg/ dl. Pada foto

thorax kesan cardiomegali. Pada pemeriksaan MSCT Scan Leher potongan axial

reformat coronal kesan abses parapharynx dextra dan limfadenopati cervical dextra.

18
Gambar 6 Foto Klinis pasien pada saat hari pertama masuk UGD

Gambar 7 Foto Thorax

- Vascularisasi kedua paru – paru baik

- Jantung tampak membesar

- Sinus costophrenicus baik

- Tulang – tulang intak


Kesan : Kardiomegali

19
Gambar 8 MSCT Scan Leher

- Recessus Rossenmullery baik


- Tampak lesi densitas heterogeny pada parapharynx kanan, batas
tidak tegas disertai area nekrotik
- Trachea tampak terdesak ke kiri
- kelenjar thyroid bilateral ukuran tidak membesar, densitas homogen, tak
tampak lesi noduler
- Kelenjar submandibular bilateral dan parotis bilateral normal
- Tampak beberapa pembesaran kelenjar limfe cervical kanan
- Tulang - tulang intak

Kesan : Abses parapharynx dextra


Limfadenopati cervical dextra

Pasien didiagnosis dengan abses peritonsil dan diabetes melitus tipe 2.

Pada pasien diberikan terapi

20
- Infus Natrium Clorida 0,9 % 20 tpm

- Injeksi Ceftriaxone 1 gram/ 12 jam/ intravena

- Injeksi Metronidazole 500 mg/ 8 jam/ intravena

- Injeksi Ketorolac 30 mg/ 8 jam/ intravena

- Injeksi Ranitidin 50 mg/ 12 jam/ intravena

- Cek GDS/ hari

- Aspirasi Abses Peritonsiler

Follow up Keterangan

Perawatan hari 1 Keluhan : odinofagia ada, disfagia makanan cair dan padat, sesak ada, hot
potato voice ada, demam ada, bengkak sekitar leher, trismus

Perawatan hari 2 Keluhan : odinofagia ada, disfagia makanan padat dan cair, sesak ada
hot potato voice ada, demam tidak, bengkak sekitar leher, trismus

Perawatan hari 3 Keluhan : odinofagia ada, disfagia makanan padat, sesak berkurang,
bengkak sekitar leher berkurang, demam tidak, trismus tidak

Perawatan hari 4 Keluhan : odinofagia ada, disfagia makanan padat, sesak tidak,
bengkak sekitar leher berkurang, demam tidak, trismus tidak

Perawatan hari 5 Keluhan : odinofagia ada, disfagia makanan padat, sesak berkurang,
bengkak sekitar leher minimal

Perawatan hari 6 Keluhan : odinofagia ada, disfagia makanan padat, sesak berkurang,
bengkak sekitar leher minimal

21
Perawatan hari 7 Keluhan : disfagia makanan padat ada minimal, odinofagia tidak, sesak
tidak, bengkak sekitar leher tidak

Perawatan hari 8 Keluhan : disfagia makanan padat ada minimal,odinofagia tidak, sesak
tidak, bengkak sekitar leher tidak

Perawatan hari 1 Perawatan hari 5 Perawatan hari 8

Perawatan hari 1 Perawatan hari 5 Perawatan hari 8

22
PERTANYAAN KLINIS

Bagaimana Korelasi Abses Peritonsil dan Diabetes Melitus ?

METODE

Metode menggunakan pencarian literature dengan kata kunci abscess

peritonsillar, Diabetes Mellitus yang didapatkan pada Pubmed. Kriteria inklusi:

1) Abses peritonsil dan diabetes melitus

2) diterbitkan dalam 10 tahun terakhir, 3) tersedia fulltext, dengan kriteria eksklusi:

review artikel.

HASIL

Hasil pencarian di jurnal Pubmed diperoleh total 1564 jurnal yang disesuaikan

dengan kata kunci yang dimasukkan pada setiap database. (Gambar ).

23
Terdapat 3 artikel yang diperoleh memiliki relevansi untuk tinjauan kritis

terkait dengan pertanyaan klinis. Penilaian kritis dijelaskan dalam tabel 2.

Gambar 7. Istilah pencarian dan proses pemilihan publikasi (PRISMA Flowchart)

24
Tabel 2. Publikasi diobservasi dengan penilaian kritis

N Artikel Tipe Populasi/ Intervensi/Indeks/ Komparator Hasil


o Indikator
Publikasi Pasien/Masalah

1 bulgurcu Retrospe 79 kasus abses Analisis pasien Tidak ada Kasus dalam penelitian berusia antara 1-
et al., ctive leher abses leher 79 (rata-rata 28,3) tahun dan 43 dari
study berdasarkan usia, mereka adalah perempuan dan 36 adalah
(2015)5 jenis kelamin, pasien laki-laki. Penyakit sistemik
penyakit sistemik, ditentukan dalam 19 kasus. Penyakit
lokasi abses sistemik yang paling umum adalah
diabetes melitus. Abses sebagian besar
terlokalisasi di daerah peritonsillar dan
13 kasus dioperasi ketika abses berada di
lokalisasi multiple.

2 Wu Cohort Pasien abses Data pasien Tidak ada PTA meningkat pada pasien DM
lung, et study peritonsiler Penderita diabetes
Kejadian PTA Meningkat pada 1 -5
al dengan Diabetes melitus dan
Tahun setelah terdiagnosis
melitus dan tanpa diabetes melitus
(2020)8
diabetes melitus

3 Liu his Retrospe 377 kasus abses Faktor yang Tidak ada Durasi rata-rata rawat inap adalah 6 hari.
et al., ctive peritonsiler mempengaruhi Lama tinggal di rumah sakit dikaitkan
(2020)4 study lamanya perawatan dengan beberapa variabel, termasuk jenis
di rumah sakit kelamin wanita, usia yang lebih tua,
pasien abses merokok, diabetes melitus, hipertensi,
peritonsillar jumlah sel darah putih (WBC), dan kadar
hemoglobin yang lebih rendah

25
DISKUSI

Pada kasus kami pasien perempuan usia 57 tahun. Abses peritonsillar merupakan
penyakit yang sering dijumpai di bidaang THTBKL. Dalam hal ini, kami menemukannya
pada seorang Wanita berusia 57 tahun. Keluhan utama berupa odinofagia dirasakan sejak 2
hari yang lalu bersifat terus menerus, disertai disfagia makanan padat dan sesak. Penyakit
ini ditemukan pada usia 10–40 tahun, dan mayoritas terdiagnosis pada usia 22–28 tahun
dengan perbandingan laki-laki dan perempuan 2:1. Keluhan abses peritonsil pada pasien ini
adalah odinofagia, disfagia dan sesak. Sesak napas dapat disebabkan oleh penyempitan jalan
napas bagian atas akibat abses peritonsil.
Pasien memiliki riwayat diabetes melitus sejak 3 tahun yang lalu dan tidak
terkontrol. Kadar gula darah sewaktu 281 mg/ dl. Kondisi immunocompromised seperti
diabetes mellitus dan HIV membawa risiko infeksi kepala dan leher yang lebih atipikal dan
menantang.
Pemeriksaan klinis didapatkan odinofagi, disfagia dan sesak. area peritonsillar
kanan tampak bombastis dan hiperemis. Uvula berada di tengah, ditekan oleh peritonsillar
bomban dan edema di daerah tonsil kanan. Abses peritonsiler unilateral menunjukkan
daerah peritonsiler asimetris, menonjol, dan deviasi uvula, sedangkan tidak ada tanda klasik
pada kasus bilateral.Sebuah uvula garis tengah dengan langit-langit bomban bilateral adalah
ciri khas dari abses peritonsiler bilateral.
Lokasi abses peritonsillar dalam hal ini berada di ruang peritonsillar kanan
superior . Lokasi abses peritonsillar yang paling umum adalah di ruang peritonsillar superior
(61%), di tengah (33%), dan di bawah ruang peritonsillar (6%).
Pemeriksaan laboratorium darah menunjukkan peningkatan leukosit sebesar
14.790 u/L, neutrofil 12. 490 u/L yang mengindikasikan adanya bakteri penyebab infeksi.
Organisme aerob dan anaerob terutama menyebabkan abses peritonsillar. Peningkatan
leukosit ditemukan pada abses peritonsillar unilateral dan bahkan lebih tinggi pada abses
peritonsillar bilateral.
CT scan menunjukkan tampak lesi densitas heterogeny pada parapharynx kanan,
batas tidak tegas disertai area nekrotik. Obstruksi jalan napas bagian atas adalah diagnosis
yang mungkin karena stridor inspirasi dan area peritonsillar menjadi bomban di kedua sisi,
26
mendorong tonsil ke medial dan meninggalkan celah kecil di antara mereka. CT scan
dengan kontras lebih disukai ketika gejala dan tanda abses peritonsillar tidak khas.
Kami melakukan tusukan peritonsillar pada titik paling bomban untuk membuat
diagnosis. Kami menyarankan aspirasi drainase atau insisi jika nanah terjadi pada
tusukan.Tonsilektomi segera adalah prosedur definitif ketika insisi dan drainase abses
tidak dapat mengevakuasi nanah dengan benar. Namun, hal itu dapat menyebabkan
peningkatan risiko perdarahan pasca operasi. Kami merekomendasikan tonsilektomi
interval 4-6 minggu setelah insisi dan drainase abses peritonsillar, diindikasikan pada
pasien yang mengalami tonsilitis berulang pada tahun yang sama setelah abses
peritonsillar. Namun pada pasien ini DM menjadi penyulit untuk dilakukan Tindakan
operatif.
Kami merawat pasien yang mengalami abses peritonsillar dengan injeksi
ceftriaxone mg setiap 12 jam dan injeksi metronidazol 500 mg setiap 8 jam sebagai
antibiotik. Rute intravena dipilih untuk efek yang lebih baik pada pasien. Pilihan
pengobatan adalah karena Streptococcus sp., organisme yang paling sering menyebabkan
abses peritonsillar. Penisilin merupakan antibiotik lini pertama untuk abses peritonsillar
dan tidak berbeda dengan antibiotik spektrum luas lainnya. Oleh karena itu, terapi
antibiotik untuk kasus ini adalah kombinasi cefalosporin dan metronidazol. Selanjutnya,
pemberian metronidazole tergantung pada frekuensi organisme anaerobik pada abses
peritonsillar.

27
KESIMPULAN

 Terapi abses peritonsil melalui aspirasi jarum mulai banyak dilakukan karena mempunyai

banyak kelebihan yang menguntungkan penderita.

 Terapi antibiotika masih tetap digunakan terutama untuk mengatasi perluasan yang

mungkin terjadi.

 Jenis-jenis antibiotika yang umum digunakan adalah penisilin, metronidazol, sefalosporin

dan klindamisin (bakteri penghasil beta laktamase).

 Deteksi dini dan penanganan yang tepat pada abses peritonsil mengurangi terdinya

komplikasi dari penyakit.

 Pasien dengan Abses peritonsil dan diabetes melitus dilakukan penanganan secara

bersama dengan Interna

 Advice tonsilektomi, bila kadar gula darah terkontrol

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Sawyer JD, Wilson ML, Neumeister MW. A Systematic Review of Surgical


Management of Melanoma of the External Ear. Plast Reconstr Surg Glob Open.
2018;6(4):e1755. doi:10.1097/GOX.0000000000001755

2. Toia F, Garbo G, Tripoli M, Rinaldi G, Moschella F, Cordova A. A


systematic review on external ear melanoma. Journal of Plastic, Reconstructive
& Aesthetic Surgery. 2015;68(7):883-894. doi:10.1016/j.bjps.2015.04.003

3. Deinlein T, Blum A, Schulter G, et al. Clinical and Dermoscopic Features


of Melanocytic Lesions on the Face Versus the External Ear. Dermatol Pract
Concept. 2021;11(4):e2021124.doi:10.5826/dpc.1104a124

4. Harrison C, Wade C, Potter M, Cassell O. Cartilage-sparing surgery for


melanoma of the external ear. Journal of Plastic, Reconstructive & Aesthetic
Surgery. 2018;72(1):92-96. doi:10.1016/j.bjps.2018.08.028

5. Heistein JB, Acharya U, Mukkamalla SKR. Malignant Melanoma. In:


StatPearls. StatPearls Publishing; 2023. Accessed May 5, 2023.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470409/

6. Ow TJ, Grethlein SJ, Schmalbach CE, The Education Committee of the


American Head and Neck Society (AHNS). Do you know your guidelines?
Diagnosis and management of cutaneous head and neck melanoma. Head & Neck.
2018;40(5):875-885. doi:10.1002/hed.25074

7. Zito PM, Scharf R. Melanoma Of The Head And Neck. In: StatPearls.
StatPearls Publishing; 2023. Accessed May 5, 2023.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK513248/

8. Alasadi AH, Alsafy B. Diagnosis of Malignant Melanoma of Skin Cancer


Types. IJIMAI. 2017;4(5):44. doi:10.9781/ijimai.2017.458

9. Naik PP. Cutaneous Malignant Melanoma: A Review of Early Diagnosis


and Management. World J Oncol. 2021;12(1):7-19. doi:10.14740/wjon1349

10. Davis LE, Shalin SC, Tackett AJ. Current state of melanoma diagnosis and
treatment. Cancer Biol Ther. 2019;20(11):1366-1379.
doi:10.1080/15384047.2019.1640032

29
11. McCarty MA, Lentsch EJ, Cerrati EW, Stadelmann WK. Melanoma of the
ear: results of a cartilage-sparing approach to resection. Eur Arch
Otorhinolaryngol. 2013;270(11):2963-2967. doi:10.1007/s00405-013- 2440-1

12. Fiorio LM, Diniz LM, Spelta K, Badaró BA. Ear melanoma: a four- case
series. Anais Brasileiros de Dermatologia. 2020;96(1):64-67.
doi:10.1016/j.abd.2020.08.003

13. Pająk J, Lelonek E, Chlebicka I, Szepietowski J. Nodular melanomaof the


external ear: a rare tumoursuccessfully treated with simple excision. pdia.
2021;39(3):635-636. doi:10.5114/ada.2021.106035

14. Yamasaki A, Wu MP, Emerick KS. Outcomes of Cartilage‐Sparing Wide


Local Excision for Primary Melanoma of the External Ear. OTO Open.2020;4(1).
doi:10.1177/2473974X20903124

30

You might also like