You are on page 1of 40

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN ANESTESI


PADA Tn.S DENGAN TINDAKAN OPERASI URETROSKOPI K/P TURP SCHE
DIAGNOSA BPH, STRIKTUR URETRA DENGAN
TEKNIK REGIONAL ANESTESI DIRSUD KARDINAH TEGAL
DIRUANG INSTALASI BEDAH SENTRAL

Disusun Oleh:
Nama : Muhammad Zulhaq Nurul Aqsa Soamole
NIM : 200106106

Mengetahui,
Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

(……………………………………… ) (……………………………………… )

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS HARAPAN BANGSA
2022
DAFTAR ISI

Isi Laporan Pendahuluan


DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii
A. KONSEP PENYAKIT.............................................................................................1
1. Definisi..................................................................................................................1
2. Anatomi Dan Fisiologi Uretra.............................................................................1
3. Etiologi..................................................................................................................3
4. Patofisiologi...........................................................................................................4
5. Tanda dan Gejala.................................................................................................5
6. Pemeriksaan Penunjang......................................................................................7
7. Penatalaksanaan...................................................................................................8
8. Komplikasi..........................................................................................................11
B. PERKEMBANGAN ANESTESI PADA TINDAKAN URETROSKOPI K/P
TURP SACHE................................................................................................................15
C. WEB OF CAUTION ( WOC )...............................................................................23
D. TINJAUAN TEORI ASKAN PEMBEDAHAN SEDANG..................................25
1. Pengkajian..........................................................................................................25
2. Diagnosa keperawatan.......................................................................................31
3. Evaluasi...............................................................................................................36
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................37

2
A.

A. KONSEP PENYAKIT
1. Definisi
Striktur uretra adalah kondisi dimana suatu bagian dari uretra
menyempit. Berbeda dengan obstruksi pada uretra yang disebabkan oleh batu,
striktur uretra merupakan adanya oklus dari dari meatus uretralis karena adanya
jaringan yang fibrotik dengan hipertrofi. Jaringan fibrotik yang tumbuh dengan
abnormal akan menutupi/ mempersempit meatus uretralis, sehingga aliran urine
(urine flow) akan menurun.  (Prabowo & Pranata, 2014: 144)
Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra karena fibrosis pada
dindingnya. Penyempitan lumen ini disebabkan karena dindingnya mengalami
fibrosis dan pada tingkat yang lebih parah terjadi fibrosis korpus spongiosum.
(Purnomo, 2011: 153). Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra akibat
adanya jaringan parut dan kontriksi.  (Suharyanto & Madjid, 2013: 271)
Dari beberapa definisi tersebut, disimpulkan bahwa Striktur uretra
merupakan penyakit atau kelainan yang berupa penyempitan atau konstriksi dari
lumen uretra akibat adanya obstruksi kemudian terbentuk jaringan fibrotik
(jaringan parut) pada daerah uretra.
2. Anatomi Dan Fisiologi Uretra
a. Letak Uretra
Uretra adalah saluran yang dimulai dari orifisium uretra interna dibagian
buli- buli sampai orifisium uretra eksterna glands penis, dengan panjang yang
bervariasi.Uretra pria dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian anterior dan
bagian posterior. Uretraposterior dibagi menjadi uretra pars prostatika dan
uretra pars membranasea. Uretra anterior dibagi menjadi meatus uretra,
pendulare uretra dan bulbus uretra. Dalam keadaan normal lumen uretra laki-
laki 24 ch, dan wanita 30 ch. Kalau 1 ch = 0,3 mm maka lumen uretra laki-
laki 7,2 mm dan wanita 9 mm.

3
b. Uretra Bagian Anterior
Uretra anterior memiliki panjang 18-25 cm (9-10 inchi). Saluran ini
dimulai dari meatus uretra, pendulans uretra dan bulbus uretra. Uretra
anterior ini berupa tabung yang lurus, terletak bebas diluar tubuh, sehingga
kalau memerlukan operasi atau reparasi relatif mudah. Uretra anterior adalah
bagian yang dibungkus oleh korpus spongiousum penis. Uretra anterior
terdiri atas :
a. Pars bulbosa
b. Pars pendularis
c. Fossa navikulare
d. Meatus uretra eksterna
Didalam lumen uretra anterior terdapat beberapa muara kelenjar yang
berfungsi dalam proses reproduksi, yaitu kelenjar Cowperi berada didalam
diafragma urogenitalis bermuara di uretra pars bulbosa, serta kelenjar Littre
yaitu kelenjar para uretralis yang bermuara di uretra pars pendularis.
c. Uretra Bagian Posterior

4
Uretra posterior memiliki panjang 3-6 cm (1-2 inchi).Uretra yang
dikelilingi kelenjar prostat dinamakan uretra prostatika. Bagian selanjutnya
adalah uretra membranasea, yang memiliki panjang terpendek dari semua
bagian uretra, sukar untuk dilatasi dan pada bagian ini terdapat otot yang
membentuk sfingter.Sfingter ini bersifat volunter sehingga kita dapat
menahan kemih dan berhenti pada waku berkemih. Uretra membranacea
terdapat dibawah dan dibelakang simpisis pubis, sehingga trauma pada
simpisis pubis dapat mencederai uretra membranasea.

3. Etiologi
Berdasarkan penyebab/etiologinya struktur uretra di bagi menjadi 3 jenis :
a) Struktur uretra kongenital
Striktur ini bisanya sering terjadi di fossa navikularis dan pars
membranase, sifat striktur ini adalah stationer dan biasanya timbul terpisah
atau bersamaan dengan anomalia sakuran kemih yang lain.
b) Struktur uretra traumatik
Trauma ini akibat trauma sekunder seperti kecelakaan, atau karena
instrumen, infeksi, spasmus otot, atau tekanan dari luar, atau tekanan oleh
struktur sambungan atau oleh pertumbuhan tumor dari luar serta biasanya
terjadi pada daerah kemaluan dapat menimbulkan ruftur urethra, Timbul
striktur traumatik dalam waktu 1 bulan. Striktur akibat trauma lebih
progresif daripada striktur akibat infeksi. Pada ruftur ini ditemukan adanya
hematuria gross.
c) Struktur akibat infeksi
Struktur ini biasanya sissebabkan oleh infeksi veneral. Timbulnya
lebih lambat daripada striktur traumatic.
Penyebab paling umum dari striktur uretra saat ini adalah traumatik
atau iatrogenik. Penyebab yang lebih jarang ditemui adalah peradangan
atau infeksi, keganasan, dan kongenital. Striktur akibat infeksi biasanya
merupakan gejala sekunder dari urethritis gonococcal, yang masih umum
di beberapa populasi berisiko tinggi. Penyebab yang paling penting adalah
idiopati, reseksi transurethral, kateterisasi uretra, fraktur panggul dan
operasi hipospadia. Penyebab iatrogenik keseluruhan (reseksi transurethral,
kateterisasi uretra, sistoskopi, prostatektomi, operasi brachytherapy dan

5
hipospadia) adalah 45,5% dari kasus striktur. Pada pasien yang lebih muda
dari 45 tahun penyebab utama adalah idiopati, operasi hipospadia dan
fraktur panggul. Pada pasien yang lebih tua dari 45 tahun penyebab utama
adalah reseksi transurethraldan idiopathy. Penyebab utama penyakit
penyempitan multifokal/panurethral adalah kateterisasi uretra anterior,
sedangkan fraktur panggul adalah penyebab utama dari striktur uretra
posterior.
d) Derajat penyimpitan uretra
Sesuai dengan derajat penyempitan lumennya, striktur uretra dibagi
menjadi tiga tingkatan:
a. Ringan : jika oklusi yang terjadi kurang dari 1/3 diameter lumen
uretra.
b. Sedang : jika terdapat oklusi 1/3 sampai dengan ½ diameter lumen
uretra.
c. Berat : jika terdapat oklusi lebih besar dari ½ diameter lumen uretra.
Pada penyempitan derajat berat kadangkala teraba jaringan keras di
korpus spongiosum yang dikenal dengan spongiofibrosis.

4. Patofisiologi
Residu urine yang sedikit mungkin akan menimbulkan gangguan, namun
jika banyak dan melebihi batas kapasitas vesika memungkinan terjadinya refluks
dan jika berlangsung kronis kemungkinan menimbulkan hidronephrosis. Selain
itu, stagnansi urine yang lama menimbulkan sedimentasi sehingga kemungkinan

6
akan terjadi urolithiasis. Hal yang paling kompleks dari dampak striktur adalah
terjadinya gagal ginjal. Hal ini dikarenakan refluks pada ginjal akan memperberat
kerja ginjal untuk melakukan fungsinya.
Tubuh manusia memiliki banyak cara untuk mengatasi masalah, begitu pula
dengan akumulasi urine yang semakin bertambah dengan adanya striktur. Urine
yang bersifat asam/ basa akan berusaha mencari jalan baru sebgai saluran dengan
meningkatkan iritabilitas pada mukosa jaringan sekitar dan terbentukla fistel.
(Prabowo & Pranata, 2014: 147-149).
Proses radang akibat trauma atau infeksi pada uretra akan menyebabkan
terbentuknya jaringan sikatrik pada uretra. Jaringan sikatriks pada lumen uretra
menimbulkan hambatan aliran urine hingga retensi urine. Aliran urine yang
terhambat tersumbat mencari jalan keluar di tempat lain (di sebelah proksimal
striktura) dan akhirnya mengumpul di rongga periuretra. Jika terinfeksi
menimbulkan abses periuretra yang kemudian pecah membentuk fistula
uretrokutan. Pada keadaan tertentu dijumpai banyak sekali fistula sehingga
disebut sebagai fistula seruling.  (Purnomo, 2011: 144)
Trauma yang menyebabkan striktura uretra adalah trauma tumpul pada
selangkangan (straddle injury) dan fraktur tulang pelvis. Proses radang akibat
trauma atau infeksi pada uretra akan menyebabkan terbentuknya jaringan
sikatriks pada uretra. Jaringan sikatriks pada lumen uretra menimbulkan
hambatan aliran urine hingga retensi urine. Aliran urine yang terhambat mencari
jalan keluar di tempat lain (di sebelah proksimal striktura) dan akhirnya
mengumpul di rongga periuretra. Jika terinfeksi menimbulkan abses periuretra
yang kemudian pecah membentuk fistula uretrokutan. Pada keadaan tertentu
banyak dijumpai fistula sehingga disebut sebagai fistula seruling.
Tindakan yang kurang hati-hati pada pemasangan kateter dapat
menimbulkan salah jalan ( false route) yang menimbulkan kerusakan uretra dan
menyisakan strikture dikemudian hari. Demikian pula fiksasi kateter yang tidak
benar pada pemakaian kateter menetap yang menyebabkan penekanan kateter
pada perbatasan uretra bulbo-pendulare yang mengakibatkan penekanan uretra
terus menerus, menimbulkan hipoksia uretra daerah itu, yang pada akhirnya
menimbulkan fistula atau strikur uretra.

7
5. Tanda dan Gejala
Manifestasi klinis pada umumnya mirip dengan obstruksi saluran kemih
lainnya, misalnya BPH. Namun ada beberapa yang khas dari klien striktur uretra,
yaitu pancaran urine yang kecil dan bercabang. Hal ini dikarenakan sumbatan/
obstruksi pada saluran meatus uretralis, sehingga akan menurunkan patensi urine
low dan obstruksi yang berada di medial akan membuat alira urine terpecah,
sehingga seolah-olah pancaran urine terbelah dua. Gejala yang lain dari striktur
uretra antara lain:
a) Frekuensi
Merupakan banyaknya jumlah berkemih dalam sehari. Peningkatan
frekuensi untuk berkemih pada klien striktur uretra dikarenakan tidak
tuntasnya klien untuk mengosongkan vesika, sehingga masih terdapat
residu urine dalam vesika. Hal inilah yang kemudian mendorong
m.detrusor untuk berespon mengosongkan vesika.
b) Urgensi
Merupakan perasaan seseorang yang takut mengalami inkontinensia
jika tidak berkemih. Akumulasi yang kronis pada klien striktur uretra
adalah mengakibatkan iritabilitas vesika urinaria meningkat. Hal ini akan
merangsang persarafan yang mengontrol eliminasi uri untuk
mengosongkan melalui efek kontraksi pada bladder. Dengan demikian
keinginan untuk miksi akan terjadi terus-menurus pada striktur uretra.
c) Disuria
Merupakan rasa sakit dan kesulitan untuk melakukan miksi. Klien
striktur urtra akan mengalami iritabilitas mukosa, baik pada uretra
maupun pada vesika urinaria. Hal ini dikarenakan akumulasi urine yang
melebihi kapasitas bladder dan sifat pH dari urine yang cenderung asam/
basa akan melukai mukosa saluran kemih. Selain itu, relaksasi vesika
yang melebihi dari kemampuan otot vesika akan menimbulkan inflamasi
dan nyeri.
d) Inkontenensia urine
Merupakan ketidakmampuan untuk mengontrol miksi ( bahasa
awam : ngompol ) kejadian ini pada klien striktur uretra dipicu oleh
iritabilitas sayaraf perkemihan sehingga kemampuan untuk mengatur
regulasi miksi menurun.

8
e) Urine menetes
Merupakan dampak dari residu urine dan adanya obsruksi pada
meatus uretralis, sehingga pancara urine melemah dan pengosongan tidak
bisa spontan.
f) Penis membengkak
Bendungan urine dan obstruksi pada saluran uretra akan menyebabkan
resistensi kapiler jaringan sekitar meningkat dengan gejala inflamasi yang
jelas, sehingga penis akan membengkak.
g) Infiltrat
Jika obstruksi pada klien striktur uretra tidak tertangani dengan baik
dan terjadi dalam jangka waktu yang lama, maka kemungkinan infeksi
pada striktur akan terjadi mengingat urine merupakan media untuk
pertumbuhan kuman yang baik. Jika hal ini terjadi, inflamasi jaringan
striktu akan menjadi abses dan infiltrasi akan terjadi pula.
h) Abses
Diakibatkan oleh invasi bakteri melalui urine kepada jaringan
obstruksi striktur.
i) Fistel
Urine yang bersifat asam/ basa akan berusaha secara patologis untuk
mencari jalan keluar. Oleh karena itu, iritabilitas jaringan sekitar akan
terus terjadi untuk membuat saluran baru, sehingga kemungkinan akan
terbentuk fistel sebagai jalan keluar urine baru.
j) Retensio urine
Striktur yang total akan menghambat secara total aliran urine,
sehingga urine tidak akan keluar sedikit pun dan terakumulasi pada
vesika urinaria.
k) Kencing bercabang
Pancaran urine yang kecil dan bercabang. Hal ini dikarenakan
sumbatan/ obstruksi pada saluran meatus uretralis, sehingga akan
menurunkan patensi urine low dan obstruksi yang berada di medial akan
membuat alira urine terpecah, sehingga seolah-olah pancaran urine
terbelah dua. (Prabowo & Pranata, 2014: 146).
6. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium

9
a. Urin dan kultur urin untuk mengetahui adanya infeksi
b. Ureum dan kreatinin untuk mengetaui faal ginjal
2) Uroflowmetri
Uroflowmetri adalah pemeriksaan untuk menentukan kecepatan pancaran
urin. Volume urin yang dikeluarkan pada waktu miksi dibagi dengan lamanya
proses miksi. Kecepatan pancaran urin normal pada pria adalah 20 ml/detik
dan pada wanita 25 ml/detik. Bila kecepatan pancaran kurang dari harga
normal menandakan ada obstruksi
3) Radiologi
Diagnosa pasti dibuat dengan uretrografi, untuk melihat letak
penyempitan dan besarnya penyempitan uretra. Teknik pemeriksaan
uretrogram adalah pemeriksaan radiografi ureter dengan bahan kontras uretra.
Untuk mengetahui lebih lengkap mengenai panjang striktur adalah dengan
membuat foto bipolar sistouretrografi dengan cara memasukkan bahan kontras
secara antegrad dari buli-buli dan secara retrograd dari uretra. Dengan
pemeriksaan ini panjang striktur dapat diketahui sehingga penting untuk
perencanaan terapi atau operasi
4) Instrumentasi
Pada pasien dengan striktur uretra dilakukan percobaan dengan
memasukkan kateter Foley ukuran 24 ch, apabila ada hambatan dicoba dengan
kateter dengan ukuran yang lebih kecil sampai dapat masuk ke buli- buli.
Apabila dengan kateter ukuran kecil dapat masuk menandakan adanya
penyempitan lumen uretra.
5) Uretroskopi
Untuk melihat secara langsung adanya striktur di uretra.Jika diketemukan
adanya striktur langsung diikuti dengan uretrotomi interna (sachse) yaitu
memotong jaringan fibrotik dengan memakai pisau sachse.
7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk penderita Striktur Uretra adalah
dengan menggunakan penatalaksanaan farmakologis dan non farmakologis.
1) Terapi farmakologi
a) Bougie (Dilatasi)
Sebelum melakukan dilatasi, periksalah kadar hemoglobin pasien
dan periksa adanya glukosa dan protein dalam urin. Tersedia

10
beberapa jenis bougie. Bougie bengkok merupakan satu batang
logam yang ditekuk sesuai dengan kelengkungan uretra pria; bougie
lurus, yang juga terbuat dari logam, mempunyai ujung yang tumpul
dan umumnya hanya sedikit melengkung; bougie filiformis
mempunyai diameter yang lebih kecil dan terbuat dari bahan yang
lebih lunak.
Berikan sedatif ringan sebelum memulai prosedur dan mulailah
pengobatan dengan antibiotik, yang diteruskan selama 3 hari.
Bersihkan glans penis dan meatus uretra dengan cermat dan
persiapkan kulit dengan antiseptik yang lembut. Masukkan gel
lidokain ke dalam uretra dan dipertahankan selama 5 menit. Tutupi
pasien dengan sebuah duk lubang untuk mengisolasi penis.
Apabila striktur sangat tidak teratur, mulailah dengan
memasukkan sebuah bougie filiformis; biarkan bougie di dalam
uretra dan teruskan memasukkan bougie filiformis lain sampai
bougie dapat melewati striktur tersebut. Kemudian lanjutkan dengan
dilatasi menggunakan bougie lurus.
Apabila striktur sedikit tidak teratur, mulailah dengan bougie
bengkok atau lurus ukuran sedang dan secara bertahap dinaikkan
ukurannya. Dilatasi dengan bougie logam yang dilakukan secara
hati-hati. Tindakan yang kasar tambah akan merusak uretra sehingga
menimbulkan luka baru yang pada akhirnya menimbulkan striktur
lagi yang lebih berat. Karena itu, setiap dokter yang bertugas di
pusat kesehatan yang terpencil harus dilatih dengan baik untuk
memasukkan bougie. Penyulit dapat mencakup trauma dengan
perdarahan dan bahkan dengan pembentukan jalan yang salah (false
passage). Perkecil kemungkinan terjadinya bakteremi, septikemi,
dan syok septic dengan tindakan asepsis dan dengan penggunaan
antibiotik.

11
G. Dilatasi uretra dengan bougie

G. Dilatasi uretra pada pasien pria (lanjutan). Bougie lurus dan


bougie bengkok (F); dilatasi strikur anterior dengan sebuah bougie
lurus (G) dilatasi dengan sebuah bougie bengkok (H-J)
b) Uretrotomi interna
Tindakan ini dilakukan dengan menggunakan alat endoskopi
yang memotong jaringan sikatriks uretra dengan pisau Otis atau
dengan pisau Sachse, laser atau elektrokoter. Otis uretrotomi
dikerjakan pada striktur uretra anterior terutama bagian distal dari
pendulans uretra dan fossa navicularis, otis uretrotomi juga
dilakukan pada wanita dengan striktur uretra.

12
Indikasi untuk melakukan bedah endoskopi dengan alat Sachse
adalah striktur uretra anterior atau posterior masih ada lumen
walaupun kecil dan panjang tidak lebih dari 2 cm serta tidak ada
fistel, kateter dipasang selama 2- 3 hari pasca tindakan. Setelah
pasien dipulangkan, pasien harus kontrol tiap minggu selama 1 bulan
kemudian 2 minggu sekali selama 6 bulan dan tiap 6 bulan sekali
seumur hidup. Pada waktu kontrol dilakukan pemeriksaan
uroflowmetri, bila pancaran urinnya < 10 ml/det dilakukan
bouginasi.
c) Uretrotomi eksterna
Tindakan operasi terbuka berupa pemotongan jaringan fibrosis
kemudian dilakukan anastomosis end-to-end di antara jaringan uretra
yang masih sehat, cara ini tidak dapat dilakukan bila daerah strikur
lebih dari 1 cm. Cara Johansson; dilakukan bila daerah striktur
panjang dan banyak jaringan fibrotik.

 Stadium I : daerah striktur disayat longitudinal dengan


menyertakan sedikit jaringan sehat di proksimal dan distalnya,
lalu jaringan fibrotik dieksisi. Mukosa uretra dijahit ke penis
pendulans dan dipasang kateter selama 5-7 hari.

 Stadium II: beberapa bulan kemudian bila daerah striktur telah


melunak, dilakukan pembuatan uretra baru.
d) Uretroplasty
Dilakukan pada penderita dengan panjang striktur uretra lebih
dari 2 cm atau dengan fistel uretro-kutan atau penderita residif
striktur pasca Uretrotomi Sachse. Operasi uretroplasty ini
bermacam-macam, pada umumnya setelah daerah striktur di eksisi,
uretra diganti dengan kulit preputium atau kulit penis dan dengan
free graft atau pedikel graft yaitu dibuat tabung uretra baru dari kulit
preputium/kulit penis dengan menyertakan pembuluh darahnya.
2) Penatalaksanaan non farmakologi
a) Menghindari terjadinya trauma pada uretra dan pelvis.
b) Tindakan trans-uretra dengan hati-hati, seperti pemasangan kateter.

13
c) Menghindari kontak langsung dengan penderita yang terinfeksi
penyakit menular seksual seperti gonorhea.
d) Pengobatan dini stiktur uretra dapat menghindari komplikasi seperti
infeksi dan gagal ginjal.
8. Komplikasi
Adapun komplikasi dari Striktur uretra adalah :
a. Trabekulasi, sakulasi dan divertikel
Pada striktur uretra kandung kencing harus berkontraksi lebih kuat,
maka otot kalau diberi beban akan berkontraksi lebih kuat sampai pada
suatu saat kemudian akan melemah. Jadi pada striktur uretra otot buli-
buli mula-mula akan menebal terjadi trabekulasi pada fase kompensasi,
setelah itu pada fase dekompensasi timbul sakulasi dan divertikel.
Perbedaan antara sakulasi dan divertikel adalah penonjolan mukosa buli
pada sakulasi masih di dalam otot buli sedangkan divertikel menonjol di
luar buli-buli, jadi divertikel buli-buli adalah tonjolan mukosa keluar
buli-buli tanpa dinding otot.
b. Residu urine
Pada fase kompensasi dimana otot buli-buli berkontraksi makin kuat
tidak timbul residu. Pada fase dekompensasi maka akan timbul residu.
Residu adalah keadaan dimana setelah kencing masih ada urine dalam
kandung kencing.Dalam keadaan normal residu ini tidak ada.
c. Refluks vesiko ureteral
Dalam keadaan normal pada waktu buang air kecil urine dikeluarkan
buli-buli melalui uretra. Pada striktur uretra dimana terdapat tekanan
intravesika yang meninggi maka akan terjadi refluks, yaitu keadaan
dimana urine dari buli-buli akan masuk kembali ke ureter bahkan sampai
ginjal.
d. Infeksi saluran kemih dan gagal ginjal
Dalam keadaan normal, buli-buli dalam keadaan steril. Salah satu
cara tubuh mempertahankan buli-buli dalam keadaan steril adalah dengan
jalan setiap saat mengosongkan buli-buli waktu buang air kecil. Dalam
keadaan dekompensasi maka akan timbul residu, akibatnya maka buli-
buli mudah terkena infeksi. Adanya kuman yang berkembang biak di

14
buli-buli dan timbul refluks, maka akan timbul pyelonefritis akut maupun
kronik yang akhirnya timbul gagal ginjal dengan segala akibatnya.
e. Infiltrat urine, abses dan fistulas
Adanya sumbatan pada uretra, tekanan intravesika yang meninggi
maka bisa timbul inhibisi urine keluar buli-buli atau uretra proksimal dari
striktur. Urine yang terinfeksi keluar dari buli-buli atau uretra
menyebabkan timbulnya infiltrat urine, kalau tidak diobati infiltrat urine
akan timbul abses, abses pecah timbul fistula di supra pubis atau uretra
proksimal dari striktur.
f. Standar Operasional Prosedur Tur P
a. Pengertian : Reseksi prostat transuretra (TURP) adalah suatu
tindakan pengambilan (pembuangan) jaringan prostat secara
endoskopi dengan menggunakan alat pemotong (cutting loop).
b. Prosedur : Persiapan
1. Petugas
2. Alat-alat
 Cold light fountain standard (lampu endoskopi)
 Kabel cahaya fiber optik
 Pipa air dengan luerlock
 Alat koagulasi dan reseksi listrik
 Working element yang terdiri dari :
 Bougie : roser 25 F atau 27 F
 Desifeksi klem
 Sarung tangan steril 2 pasang
 Linen set terdiri dari : penutup meja instrument, spatu bots 2
buah, doek besar berlubang, baju dan skort operasi.
3. Penatalaksanaan
 Pasang foto-foto pada light box
 Letakkan dalam posisi litotomi setelah pasien dilakukan
anestesi regional
 Lakukan desinfeksi dengan povidone jodine didaerah penis
scrotum dan sebagian dari kedua paha dan perut sebatas
umbilikus

15
 Persempit lapangan operasi dengan memasang sarung kaki
dan doek panjang berlubang untuk bagian perut keatas.
 Dilatasi uretra dengan bougie roser 25 F sampai 29 F
 Masukkan Sheath 24 F atau 27 F dengan obturator lewat
uretra sampai masuk buli-buli
 Lepas Obturator,ganti dengan optik 30 dan cutting loop
sesuai dengan ukuran sheatnya.
 Evaluasi buli-buli apakah ada tumor, batu, trabekulasi dan
divertikel buli
 Tarik keluar Working element untuk mengevaluasi prostat
(panjangnya prostat yang menutup uretra, leher buli dan
verumontanum)
 Selanjutnya lakukan reseksi prostat sambil merawat
pendarahan
 Sebaiknya reseksi semua adenoma prostat. Waktu reseksi
paling lama 60 menit (bila menggunakan irigan aquades)
dan waktu bisa lebih lama bila menggunakan irigan glisin.
Hal ini untuk menghindari terjadinya Sindroma TUR.
 Segera hentikan operasi apabila terjadi pembukaan sinus
untuk menghindari sindroma TUR.
 Keluarkan Chips prostat dengan menggunakan ellik
evakuator sampai bersih, selanjutnya lakukan perawatan
perdarahan.
 Setelah selesai, pasang three way kateter 24 F dan pasang
Spoel PZ atau aquades. Kateter ditraksi selama 24 jam, dan
dilepas 7 - 10 hari (pelepasan kateter dapat dilakukan pada
saat kontrol pertama di poliklinik).

16
B. PERKEMBANGAN ANESTESI PADA TINDAKAN
URETROSKOPI K/P TURP SACHE

1. Anestesi Regional untuk Uretroskopi k/p TURP sache


Disebut juga spinal analgesia atau subarachnoid nerve block, terjadi
karena deposit obat anestesi lokal di dalam ruangan subarachnoid. Terjadi
blok saraf yang spinalis yang akan menyebabkan hilangnya aktivitas
sensoris, motoris dan otonom. Berbagai fungsi yang dibawa saraf-saraf
medula spinalis misalnya temperatur, sakit, aktivitas otonom, rabaan,
tekanan, lokalisasi rabaan, fungsi motoris dan proprioseptif. Secara umum
fungsi-fungsi tersebut dibawa oleh serabut saraf yang berbeda dalam
ketahanannya terhadap obat anestesi lokal. Oleh sebab itu ada obat anestesi
lokal yang lebih mempengaruhi sensoris daripada motoris. Blokade dari
medulla spinalis dimulai kaudal dan kemudian naik ke arah sephalad.Serabut
saraf yang bermielin tebal (fungsi motoris dan propioseptif) paling resisten
dan kembalinya fungsi normal paling cepat, sehingga diperlukan konsentrasi
tinggi obat anestesi lokal untuk memblokade saraf tersebut.Level blokade
otonom 2 atau lebih dermatom ke arah sephalik daripada level analgesi kulit,
sedangkan blokade motoris 2 sampai 3 segmen ke arah kaudal dari level
analgesi.

Beberapa indikasi dari pemberian anestesi spinal :


1) Operasi ekstrimitas bawah, baik operasi jaringan lunak, tulang atau
pembuluh darah.
2) Operasi di daerah perineal : Anal, rectum bagian bawah, vaginal, dan
urologi.
3) Abdomen bagian bawah : Hernia, usus halus bagian distal, appendik,
rectosigmoid, kandung kencing, ureter distal, dan ginekologis
4) Abdomen bagian atas : Kolesistektomi, gaster, kolostomi transversum.
Tetapi spinal anestesi untuk abdomen bagian atas tidak dapat dilakukan
pada semua pasien sebab dapat menimbulkan perubahan fisiologis yang
hebat.
5) Seksio Sesarea (Caesarean Section).
6) Prosedur diagnostik yang sakit, misalnya anoskopi, dan sistoskopi.

17
Beberapa kontraindikasi absolut dari pemberian anestesi spinal.
1) Gangguan pembekuan darah, karena bila ujung jarum spinal menusuk
pembuluh darah, terjadi perdarahan hebat dan darah akan menekan
medulla spinalis.
2) Sepsis, karena bisa terjadi meningitis.
3) Tekanan intrakranial yang meningkat, karena bisa terjadi pergeseran
otak bila terjadi kehilangan cairan serebrospinal.
4) Bila pasien menolak.
5) Adanya dermatitis kronis atau infeksi kulit di daerah yang akan ditusuk
jarum spinal.
6) Penyakit sistemis dengan sequele neurologis misalnya anemia
pernisiosa, neurosyphilys, dan porphiria.
7) Hipotensi.

Beberapa kontraindikasi relatif dalam pemberian anestesi spinal.


1) Pasien dengan perdarahan.
2) Problem di tulang belakang.
3) Anak-anak.
4) Pasien tidak kooperatif, psikosis.

Secara anatomi terdapat 33 ruas tulang vertebra, yaitu 7 servikal, 12


torakal, 5 lumbal, 5 sakral dan 4 coccygeal. Medulla spinalis berakhir di
vertebra L2, karena ditakutkan menusuk medulla spinalis saat penyuntikan,
maka spinal anestesi umumnya dilakukan setinggi L4-L5, L3-L4, L2-L3.
Ligamen-ligamen yang memegang kolumna vertebralis dan melindungi
medulla spinalis, dari luar ke dalam adalah sebagai berikut :
1) Ligamentum supraspinosum.
2) Ligamentum interspinosum.
3) Ligamentum flavum.
4) Ligamentum longitudinale posterior.
5) Ligamentum longitudinale anterior.

18
Anestesi spinal dan epidural dapat dilakukan jika peralatan monitor
yang sesuai dan pada tempat dimana peralatan untuk manajemen jalan nafas
dan resusitasi telah tersedia. Sebelum memosisikan pasien, seluruh
peralatan untuk blok spinal harus siap untuk digunakan, sebagai contoh,
anestesi lokal telah dicampur dan siap digunakan, jarum dalam keadaan
terbuka, cairan preloading sudah disiapkan. Persiapan alat akan
meminimalisir waktu yang dibutuhkan untuk anestesi blok dan kemudian
meningkatkan kenyamanan pasien.

Adapun teknik dari anestesi spinal adalah sebagai berikut :

1) Inspeksi dan palpasi daerah lumbal yang akan ditusuk (dilakukan ketika
kita visite pre-operatif), sebab bila ada infeksi atau terdapat tanda
kemungkinan adanya kesulitan dalam penusukan, maka pasien tidak
perlu dipersiapkan untuk spinal anestesi.
2) Posisi pasien
a) Posisi Lateral
Pada umumnya kepala diberi bantal setebal 7,5-10cm, lutut dan
paha fleksi mendekati perut, kepala ke arah dada.
b) Posisi duduk
Dengan posisi ini lebih mudah melihat columna vertebralis, tetapi
pada pasien-pasien yang telah mendapat premedikasi mungkin
akan pusing dan diperlukan seorang asisten untuk memegang
pasien supaya tidak jatuh. Posisi ini digunakan terutama bila
diinginkan sadle block.
c) Posisi Prone
Jarang dilakukan, hanya digunakan bila dokter bedah
menginginkan posisi Jack Knife atau prone.
3) Kulit dipersiapkan dengan larutan antiseptik seperti betadine, alkohol,
kemudian kulit ditutupi dengan “doek” bolong steril.
4) Cara penusukan.
Pakailah jarum yang kecil (no. 25, 27 atau 29). Makin besar nomor
jarum, semakin kecil diameter jarum tersebut, sehingga untuk
mengurangi komplikasi sakit kepala (PSH=post spinal headache),
dianjurkan dipakai jarum kecil. Penarikan stylet dari jarum spinal akan

19
menyebabkan keluarnya likuor bila ujung jarum ada di ruangan
subarachnoid. Bila likuor keruh, likuor harus diperiksa dan spinal
analgesi dibatalkan. Bila keluar darah, tarik jarum beberapa mili meter
sampai yang keluar adalah likuor yang jernih. Bila masih merah,
masukkan lagi stylet-nya, lalu ditunggu 1 menit, bila jernih, masukkan
obat anestesi lokal, tetapi bila masih merah, pindahkan tempat tusukan.
Darah yang mewarnai likuor harus dikeluarkan sebelum menyuntik obat
anestesi lokal karena dapat menimbulkan reaksi benda asing
(Meningismus).
5) Obat-obat yang dipakai
Obat anestesi lokal yang biasa dipakai untuk spinal anestesi
adalah lidokain, bupivakain, levobupivakain, prokain, dan tetrakain.
Lidokain adalah suatu obat anestesi lokal yang poten, yang dapat
memblokade otonom, sensoris dan motoris. Lidokain berupa larutan 5%
dalam 7,5% dextrose, merupakan larutan yang hiperbarik. Mula
kerjanya 2 menit dan lama kerjanya 1,5 jam. Dosis rata-rata 40-50mg
untuk persalinan, 75- 100mg untuk operasi ekstrimitas bawah dan
abdomen bagian bawah, 100- 150mg untuk spinal analgesia tinggi.
Lama analgesi prokain < 1 jam, lidokain ± 1-1,5 jam, tetrakain 2 jam
lebih.11

6) Pengaturan Level Analgesia


Level anestesia yang terlihat dengan spinal anestesi adalah
sebagai berikut : level segmental untuk paralisis motoris adalah 2-3
segmen di bawah level analgesia kulit, sedangkan blokade otonom
adalah 2-6 segmen sephalik dari zone sensoris. Untuk keperluan klinik,
level anestesi dibagi atas :

a) Sadle block anesthesia : zona sensoris anestesi kulit pada segmen


lumbal bawah dan sakral.
b) Low spinal anesthesia : level anestesi kulit sekitar umbilikus (T10)
dan termasuk segmen torakal bawah, lumbal dan sakral.
c) Mid spinal anesthesia : blok sensoris setinggi T6 dan zona anestesi
termasuk segmen torakal, lumbal, dan sacral.

20
d) High spinal anesthesia : blok sensoris setinggi T4 dan zona
anestesi termasuk segmen torakal 4-12, lumbal, dan sacral.
Makin tinggi spinal anestesia, semakin tinggi blokade
vasomotor, motoris dan hipotensi, serta respirasi yang tidak adekuat
semakin mungkin terjadi. Level anestesi tergantung dari volume obat,
konsentrasi obat, barbotase, kecepatan suntikan, valsava, tempat
suntikan, peningkatan tekanan intra-abdomen, tinggi pasien, dan
gravitas larutan. Makin besar volume obat, akan semakin besar
penyebarannya, dan level anestesi juga akan semakin tinggi. Barbotase
adalah pengulangan aspirasi dari suntikan obat anestesi lokal. Bila kita
mengaspirasi 0,1ml likuor sebelum menyuntikkan obat; dan
mengaspirasi 0,1ml setelah semua obat anestesi lokal disuntikkan, akan
menjamin bahwa ujung jarum masih ada di ruangan subarakhnoid.
Penyuntikan yang lambat akan mengurangi penyebaran obat sehingga
akan menghasilkan low spinal anesthesia, sedangkan suntikan yang
terlalu cepat akan menyebabkan turbulensi dalam liquor dan
menghasilkan level anestesi yang lebih tinggi. Kecepatan yang
dianjurkan adalah 1ml per 3 detik.
Berdasarkan berat jenis obat anestesi lokal yang dibandingkan
dengan berat jenis likuor, maka dibedakan 3 jenis obat anestesi lokal,
yaitu hiperbarik, isobarik dan hipobarik. Berat jenis liquor
cerebrospinal adalah 1,003-1,006. Larutan hiperbarik : 1,023-1,035,
sedangkan hipobarik 1,001- 1,002.
Perawatan Selama pembedahan
a) Posisi yang enak untuk pasien.
b) Kalau perlu berikan obat penenang.
c) Operator harus tenang, manipulasi tidak kasar.
d) Ukur tekanan darah, frekuensi nadi dan respirasi.
e) Perhatikan kesulitan penderita dalam pernafasan, adanya mual dan
pusing.
f) Berikan oksigen per nasal.

Perawatan Pascabedah
a) Posisi terlentang, jangan bangun / duduk sampai 24 jam

21
pascabedah.
b) Minum banyak, 3 lt/hari.
c) Cegah trauma pada daerah analgesi.
d) Periksa kembalinya aktifitas motorik.
e) Yakinkan bahwa perasaan yang hilang dan kaki yang berat akan
pulih.
f) Cegah sakit kepala, mual-muntah.
g) Perhatikan tekanan darah dan frekuensi nadi karena ada
kemungkinan penurunan tekanan darah dan frekuensi nadi.

Beberapa komplikasi terkait pemberian anestesi spinal.


a) Sistim Kardiovaskuler
i. Penurunan resistensi perifer
 Vasodilatasi arteriol dan arteri terjadi pada daerah yang
diblokade akibat penurunan tonus vasokonstriksi
simpatis.
 Venodilatasi akan menyebabkan peningkatan kapasitas
vena dan venous return.
 Proksimal dari daerah yang diblokade akan terjadi
mekanisme kompensasi, yakni terjadinya vasokonstriksi.
ii. Penurunan Tekanan Sistolik dan Tekanan Arteri Rerata
Penurunan tekanan darah tergantung dari tingginya blokade
simfatis. Bila tekanan darah turun rendah sekali, terjadi risiko
penurunan aliran darah otak. Bila terjadi iskemia medulla
oblongata terlihat adanya gejala mual-muntah. Tekanan darah
jarang turun > 15 mmHg dari tekanan darah asal. Tekanan
darah dapat dipertahankan dengan pemberian cairan dan atau
obat vasokonstriktor. Duapuluh menit sebelum dilakukan
spinal anestesi diberikan cairan RL atau NaCl 10-15 ml/kgBB.
Vasokonstriktor yang biasa digunakan adalah efedrin. Dosis
efedrin 25-50 mg i.m. atau 15-20 mg i.v. Mula kerja-nya 2-4
menit pada pemberian intravena, dan 10-20menit pada
pemberian intramuskuler. Lama kerja-nya 1 jam.

22
iii. Penurunan denyut jantung.
Bradikardi umumnya terjadi karena penurunan pengisian
jantung yang akan mempengaruhi myocardial chronotropic
stretch receptor, blokade anestesi pada serabut saraf cardiac
accelerator simfatis (T1-4). Pemberian sulfas atropin dapat
meningkatkan denyut jantung dan mungkin juga tekanan
darah.
b) Sistim Respirasi
Bisa terjadi apnoe yang biasanya disebabkan karena hipotensi yang
berat sehingga terjadi iskemia medula oblongata. Terapinya :
berikan ventilasi, cairan dan vasopressor. Jarang disebabkan karena
terjadi blokade motoris yang tinggi (pada radix n.phrenicus C3-5).
Kadang-kadang bisa terjadi batuk-batuk kering, maupun kesulitan
bicara.
c) Sistim Gastrointestinal
Diperlihatkan dengan adanya mual muntah yang disebabkan
karena hipotensi, hipoksia, pasien sangat cemas, pemberian
narkotik, over-aktivitas parasimfatis dan traction reflex (misalnya
dokter bedah manipulasi traktus gastrointestinal).
d) Headache (PSH=Post Spinal Headache)
Sakit kepala pascaspinal anestesi mungkin disebabkan karena
adanya kebocoran likuor serebrospinal. Makin besar jarum spinal
yang dipakai, semakin besar kebocoran yang terjadi, dan semakin
tinggi kemungkinan terjadinya sakit kepala pascaspinal anestesi.
Bila duramater terbuka bisa terjadi kebocoran cairan serebrospinal
sampai 1- 2minggu. Kehilangan CSF sebanyak 20ml dapat
menimbulkan terjadinya sakit kepala. Post spinal headache (PSH)
ini pada 90% pasien terlihat dalam 3 hari postspinal, dan pada 80%
kasus akan menghilang dalam 4 hari.
Supaya tidak terjadi postspinal headache dapat dilakukan
pencegahan dengan :
i. Memakai jarum spinal sekecil mungkin (misalnya no.
25,27,29).
ii. Menusukkan jarum paralel pada serabut longitudinal

23
duramater sehingga jarum tidak merobek dura tetapi
menyisihkan duramater.
iii. Hidrasi adekuat, dapat diperoleh dengan minum 3lt/hari
selama 3 hari, hal ini akan menambah produksi CSF sebagai
pengganti yang hilang.
Bila sudah terjadi sakit kepala dapat diterapi dengan:
i. Memakai abdominal binder.
ii. Epidural blood patch : suntikkan 10ml darah pasien itu
sendiri di ruang epidural tempat kebocoran.
iii. Berikan hidrasi dengan minum sampai 4lt/hari. Kejadian
post spinal headache 10-20% pada umur 20-40 tahun; > 10%
bila dipakai jarum besar (no. 20 ke bawah); 9% bila dipakai
jarum no.22 ke atas. Wanita lebih banyak yang mengalami
sakit kepala daripada laki-laki.
e) Backache
Sakit punggung merupakan masalah setelah suntikan di daerah
lumbal untuk spinal anestesi.
f) Retensio Urinae
Penyebab retensio urine mungkin karena hal-hal-hal sebagai
berikut : operasi di daerah perineum pada struktur genitourinaria,
pemberian narkotik di ruang subarachnoid, setelah anestesi fungsi
vesica urinaria merupakan yang terakhir pulih.
g) Komplikasi Neurologis Permanen
Jarang sekali terjadi komplikasi neurolois permanen. Hal-hal yang
menurunkan kejadiannya adalah karena : dilakukan sterilisasi
panas pada ampul gelas, memakai syringedan jarum yang
disposible, spinal anestesi dihindari pada pasien dengan penyakit
sistemik, serta penerapan teknik antiseptik.
h) Chronic Adhesive Arachnoiditis
Suatu reaksi proliferasi arachnoid yang akan menyebabkan
fibrosis, distorsi serta obliterasi dari ruangan subarachnoid.
Biasanya terjadi bila ada benda asing yang masuk ke ruang
subarachnoid.

24
25
C. WEB OF CAUTION ( WOC )

26
27
D. TINJAUAN TEORI ASKAN PEMBEDAHAN SEDANG
1. Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan proses keperawatan.


pengumpulan data yang akurat dan sistematis akan membantu penentuan status
kesehatan dan pola pertahanan klien, mengidentifikasi kekuatan dan kebutuhan
klien, serta merumuskan diagnosis keperawatan.
Pengkajian dibagi menjadi 2 tahap, yaitu pengkajian pre operasi Sachse dan
pengkajian post operasi Sachse.
1. Pengkajian pre operasi Sachse
Pengkajian ini dilakukan sejak kien MRS sampai saat operasinya, yang
meliputi :
a) Pengkajian fokus
Palpasi :
1. Abdomen
Bagaimana bentuk abdomen. Pada klien dengan keluhan retensi
umumnya ada penonjolan kandung kemih pada supra pubik. Apakah
ada nyeri tekan, turgornya bagaimana. Pada klien biasanya terdapat
hernia atau hemoroid. Hepar, lien, ginjal teraba atau tidak. Peristaklit
usus menurun atau meningkat.
2. Genitalia dan anus
Pada klien biasanya terdapat hernia. Pembesaran prostat dapat
teraba pada saat rectal touché. Pada klien yang terjadi retensi urine,
apakah trpasang kateter, Bagaimana bentuk scrotum dan testisnya.
Pada anus biasanya ada haemorhoid.
Inspeksi :
a. Memeriksa uretra dari bagian meatus dan jaringan sekitarnya
b. Observasi adanya penyempitan, perdarahan, mukus atau cairan
purulent (nanah)
c. Observasi kulit dan mukosa membran disekitar jaringan
d. Perhatikan adanya lesi hiperemi atau keadaan abnormal lainnya pada
penis, scrotom, labia dan orifisium Vagina.
e. Iritasi pada uretra ditunjukan pada klien dengan keluhan ketidak
nyamanan pada saat akan mixi.

28
b) Pengkajian psikososial
1. Respon emosional pada penderita sistim perkemihan, yaitu : menarik
diri, cemas, kelemahan, gelisah, dan kesakitan.
2. Respon emosi pada pada perubahan masalah pada gambaran diri,
takut dan kemampuan seks menurun dan takut akan kematian.
Riwayat psikososial terdiri dari :
a. Intra personal
Kebanyakan klien yang akan menjalani operasi akan
muncul kecemasan. Kecemasan ini muncul karena ketidaktahuan
tentang prosedur pembedahan. Tingkat kecemasan dapat dilihat
dari perilaku klien, tanggapan klien tentang sakitnya.
a. Inter personal
Meliputi peran klien dalam keluarga dan peran klien
dalam masyarakat.
b. Pengkajian diagnostik
Sedimen urine untuk mengetahui partikel-partikel urin
yaitu sel, eritrosit, leukosit, bakteria, kristal, dan protein.
c) Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, agama / kepercayaan, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, suku/ Bangsa, alamat, no. rigester
dan diagnosa medis.
d) Riwayat penyakit sekarang
Pada klien striktur urethra keluhan-keluhan yang ada adalah
frekuensi , nokturia, urgensi, disuria, pancaran melemah, rasa tidak
lampias/ puas sehabis miksi, hesistensi, intermitency, dan waktu miksi
memenjang dan akirnya menjadi retensio urine.
e) Riwayat penyakit dahulu
Adanya penyakit yang berhubungan dengan saluran perkemihan,
misalnya ISK (Infeksi Saluran Kencing ) yang berulang. Penyakit kronis
yang pernah di derita. Operasi yang pernah di jalani kecelakaan yang
pernah dialami adanya riwayat penyakit DM dan hipertensi.
f) Riwayat penyakit keluarga
Adanya riwayat keturunan dari salah satu anggota keluarga yang
menderita penyakit striktur urethra Anggota keluarga yang menderita

29
DM, asma, atau hipertensi.
g) Pola fungsi kesehatan
1. Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Klien ditanya tentang kebiasaan merokok, penggunaan tembakau,
penggunaan obat-obatan, penggunaan alkhohol dan upaya yang biasa
dilakukan dalam mempertahankan kesehatan diri (pemeriksaan
kesehatan berkala, gizi makanan yang adekuat).
2. Pola nutrisi dan metabolisme
Klien ditanya frekuensi makan, jenis makanan, makanan pantangan,
jumlah minum tiap hari, jenis minuman, kesulitan menelan atau
keadaan yang mengganggu nutrisi seperti nause, stomatitis, anoreksia
dan vomiting. Pada pola ini umumnya tidak mengalami gangguan atau
masalah.
h) Pola eliminasi
Klien ditanya tentang pola berkemih, termasuk frekuensinya, ragu
ragu, jumlah kecil dan tidak lancar menetes – netes, kekuatan system
perkemihan. Klien juga ditanya apakah mengedan untuk mulai atau
mempertahankan aliran kemih. Klien ditanya tentang defikasi, apakah
ada kesulitan seperti konstipasi akibat dari p[enyempitan urethra kedalam
rectum.
i) Pola tidur dan istirahat
Klien ditanya lamanya tidur, adanya waktu tidur yang berkurang
karena frekuensi miksi yang sering pada malam hari ( nokturia ).
Kebiasaan tidur memekai bantal atau situasi lingkungan waktu tidur juga
perlu ditanyakan. Upaya mengatasi kesulitan tidur.
j) Pola aktifitas
Klien ditanya aktifitasnya sehari – hari, aktifitas penggunaan waktu
senggang, kebiasaan berolah raga. Apakah ada perubahan sebelum sakit
dan selama sakit. Pada umumnya aktifitas sebelum operasi tidak
mengalami gangguan, dimana klien masih mampu memenuhi kebutuhan
sehari – hari sendiri.
k) Pola hubungan dan peran
Klien ditanya bagaimana hubungannya dengan anggota keluarga,
pasien lain, perawat atau dokter. Bagai mana peran klien dalam keluarga.

30
Apakah klien dapat berperan sebagai mana seharusnya.
l) Pola persepsi dan konsep diri
Meliputi informasi tentang perasaan atau emosi yang dialami atau
dirasakan klien sebelum pembedahan . Biasanya muncul kecemasan
dalam menunggu acara operasinya. Tanggapan klien tentang sakitnya dan
dampaknya pada dirinya. Koping klien dalam menghadapi sakitnya,
apakah ada perasaan malu dan merasa tidak berdaya.
m) Pola sensori dan kognitif
Pola sensori meliputi daya penciuman, rasa, raba, lihat dan
pendengaran dari klien. Pola kognitif berisi tentang proses berpikir, isi
pikiran, daya ingat dan waham. Pada klien biasanya tidak terdapat
gangguan atau masalah pada pola ini.
n) Pola reproduksi seksual
Klien ditanya jumlah anak, hubungannya dengan pasangannya,
pengetahuannya tantang seksualitas. Perlu dikaji pula keadaan seksual
yang terjadi sekarang, masalah seksual yang dialami sekarang (masalah
kepuasan, ejakulasi dan ereksi ) dan pola perilaku seksual.
o) Pola mekanisme koping
Menanyakan apa klien merasakan stress, apa penyebab stress,
mekanisme penanggulangan terhadap stress yang dialami. Pemecahan
masalah biasanya dilakukan klien bersama siapa. Apakah mekanisme
penanggulangan stressor positif atau negatif.
p) Pemeriksaan fisik

a. Status kesehatan umum


Keadaan penyakit, kesadaran, suara bicara, status/ habitus,
pernafasan, tekanan darah, suhu tubuh, nadi.
b. Kulit
Apakah tampak pucat, bagaimana permukaannya, adakah kelainan
pigmentasi, bagaimana keadaan rambut dan kuku klien
c. Kepala
Bentuk bagaimana, simetris atau tidak, adakah penonjolan, nyeri
kepala atau trauma pada kepala.
d. Muka

31
Bentuk simetris atau tidak adakah odema, otot rahang bagaimana
keadaannya, begitu pula bagaimana otot mukanya.
e. Mata
Bagainama keadaan alis mata, kelopak mata odema atau tidak.
Pada konjungtiva terdapat atau tidak hiperemi dan perdarahan.
Slera tampak ikterus atau tidak.
f. Telinga
Ada atau tidak keluar secret, serumen atau benda asing. Bagaimana
bentuknya, apa ada gangguan pendengaran.
g. Hidung
Bentuknya bagaimana, adakah pengeluaran secret, apa ada
obstruksi atau polip, apakah hidung berbau dan adakah pernafasan
cuping hidung.
h. Mulut dan faring
Adakah caries gigi, bagaimana keadaan gusi apakah ada
perdarahan atau ulkus. Lidah tremor ,parese atau tidak. Adakah
pembesaran tonsil.
i. Leher
Bentuknya bagaimana, adakah kaku kuduk, pembesaran kelenjar
limphe.
j. Thoraks
Betuknya bagaimana, adakah gynecomasti.
k. Paru
Bentuk bagaimana, apakah ada pencembungan atau penarikan.
Pergerakan bagaimana, suara nafasnya. Apakah ada suara nafas
tambahan seperti ronchi , wheezing atau egofoni.
l. Jantung
Bagaimana pulsasi jantung (tampak atau tidak).Bagaimana dengan
iktus atau getarannya.
m. Abdomen
Bagaimana bentuk abdomen. Pada klien dengan keluhan retensi
umumnya ada penonjolan kandung kemih pada supra pubik.
Apakah ada nyeri tekan, turgornya bagaimana. Pada klien biasanya

32
terdapat hernia atau hemoroid. Hepar, lien, ginjal teraba atau tidak.
Peristaklit usus menurun atau meningkat.
n. Genitalia dan anus
Pada klien biasanya terdapat hernia. Pembesaran prostat dapat
teraba pada saat rectal touché. Pada klien yang terjadi retensi urine,
apakah trpasang kateter, Bagaimana bentuk scrotum dan testisnya.
Pada anus biasanya ada haemorhoid.
o. Ekstrimitas dan tulang belakang
Apakah ada pembengkakan pada sendi. Jari – jari tremor apa tidak.
Apakah ada infus pada tangan. Pada sekitar pemasangan infus ada
tanda – tanda infeksi seperti merah atau bengkak atau nyeri tekan.
Bentuk tulang belakang bagaimana.

2. Pengkajian post operasi Sachse


Pengkajian ini dilakukan setelah klien menjalani operasi, yang meliputi :
a. Keluhan utama
Keluhan pada klien berbeda – beda antara klien yang satu dengan yang
lain. Kemungkinan keluhan yang bisa timbul pada klien post operasi
Sachse adalah keluhan rasa tidak nyaman, nyeri karena spasme kandung
kemih atau karena adanya bekas insisi pada waktu pembedahan.
Hal ini ditunjukkan dari ekspresi klien dan ungkapan dari klien sendiri.
b. Keadaan umum
Kesadaran, GCS, ekspresi wajah klien, suara bicara.
c. Sistem respirasi
Bagaimana pernafasan klien, apa ada sumbatan pada jalan nafas atau
tidak. Apakah perlu dipasang O2. Frekuensi nafas , irama nafas, suara
nafas. Ada wheezing dan ronchi atau tidak. Gerakan otot Bantu nafas
seperti gerakan cuping hidung, gerakan dada dan perut. Tanda – tanda
cyanosis ada atau tidak.
d. Sistem sirkulasi
Yang dikaji: nadi ( takikardi/bradikardi, irama ), tekanan darah, suhu
tubuh, monitor jantung ( EKG ).
e. Sistem gastrointestinal

33
Hal yang dikaji: Frekuensi defekasi, inkontinensia alvi, konstipasi /
obstipasi, bagaimana dengan bising usus, sudah flatus apa belum,
apakah ada mual dan muntah.
f. Sistem muskuloskletal
Bagaimana aktifitas klien sehari – hari setelah operasi. Bagaimana
memenuhi kebutuhannya. Apakah terpasang infus dan dibagian mana
dipasang serta keadaan disekitar daerah yang terpasang infus.
g. Sistem eliminasi
Apa ada ketidaknyamanan pada supra pubik, kandung kemih penuh .
Masih ada gangguan miksi seperti retensi. Kaji apakah ada tanda –
tanda perdarahan, infeksi. Memakai kateter jenis apa. Irigasi kandung
kemih. Warna urine dan jumlah produksi urine tiap hari. Bagaimana
keadaan sekitar daerah pemasangan kateter. Terapi yang diberikan
setelah operasi : Infus yang terpasang, obat – obatan seperti antibiotika,
analgetika, cairan irigasi kandung kemih.

2. Diagnosa keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan yang mungkin muncul antara lain :

1. Diagnosa sebelum operasi


a. Perubahan eliminasi urine: frekuensi, urgensi, hesistancy, inkontinensi,
retensi, nokturia atau perasaan tidak puas setelah miksi sehubungan
dengan obstruksi mekanik : pembesaran prostat.
b. Nyeri berhubungan dengan penyumbatan saluran kencing sekunder
terhadap struktur urethra
c. Cemas berhubungan dengan hospitalisasi, prosedur pembedahan, kurang
pengetahuan tantang aktifitas rutin dan aktifitas post operasi
d. Resiko infeksi area pembedahan berhubungan dengan ketidak adekuatan
pertahanan primer
2. Diagnosa setelah operasi
a. Nyeri berhubungan dengan spasme kandung kemih dan insisi sekunder
pada Sachse.
b. Resiko cedera jatuh berhubungan dengan trauma cedera dari kerusakan
uretra

34
No. Diagnosa NOC NIC
Keperawatan

Gangguan NOC
Eliminasi Urin 1. Urinary elimination (0503) Perawatan Retensi Urin (0620)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan gangguan 1. Lakukan penilaian kemih yang komprehensif
eliminasi urin klien dapat teratasi dengan kriteria hasil: berfokus pada inkontinensia (misal output urine,
pola berkemih,fungsi kognitif, dan masalah kencing
Eliminasi Urin: praeksisten)
Awa Tujuan 2. Gunakan spirit wintergreen di pispot atau urinal.
No Indikator
l 1 2 3 4 5 3. Masukkan kateter kemih yang sesuai
1. Pola Eliminasi 4. Anjurkan pasien/keluarga untuk mencatat output
2. Bau Urin urin.
3. Jumlah Urin 5. Memantau asupan dan keluaran.
4. Warna Urin 6. Memantau tingkat distensi kandung kemihdengan
palpasi dan perkusi
5. Kejernihan Urin
Keterangan:
1. Sangat terganggu
2. Banyak terganggu
3. Cukup terganggu
4. Sedikit terganggu
5. Tidak terganggu

Eliminasi Urin:
Awa Tujuan
No Indikator
l 1 2 3 4 5
1. Partikel urin terlihat
2. Darah terlihat dalam
urin
3. Nyeri saat kencing
4. Rasa terbakar saat
berkemih
5. Retensi urin
Keterangan:

35
1. Berat
2. Cukup berat
3. Sedang
4. Ringan
5. Tidak ada
Nyeri akut NOC NIC: Manajemen nyeri (1400)
Kontrol nyeri (1605) 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
Tingkat nyeri (2102) (lokasi, karakteristik, durasi, dan intensitas
Kepuasan klien: manajemen nyeri (3016) nyeri)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam nyeri akut 2. Observasi adanya petunjuk nonverbal nyeri
pada pasien dapat berkurang, dengan kriteria hasil: 3. Jelaskan pada pasien terkait nyeri yang
dirasakan
Indikator Awal 1 2 3 4 5
Melaporka
NIC: Terapi relaksasi (6040)
n nyeri 4. Gambarkan rasional dan manfaat relaksasi
berkurang seperti nafas dalam
Mengenali 5. Dorong pasien mengambil posisi nyaman
nyeri
Mengetahui
penyebab
nyeri
Mencari
bantuan
Keterangan:
1. Tidak pernah menunjukkan
2. Jarang menunjukkan
3. Kadang-kadang menunjukkan
4. Sering menunjukkan
Secara konsisten menunjukkan
Ansietas NOC: Tingkat Kecemasan (1211) NIC :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x 24 jam, ansietas Anxiety Reduction (penurunan kecemasan)
pada pasien dapat teratasi, dengan kriteria hasil: 1 Gunakan pendekatan yang menenangkan
Indikator Awal 1 2 3 4 5 2 Nyatakan dengan jelas harapan terhadap
pelaku pasien

36
Menyambaika 3 Jelaskan semua prosedur dan apa yang
n rasa takut dirasakan selama prosedur
Tekanan darah 4 Temani pasien untuk memberikan keamanan
dan mengurangi takut
Frekuensi nadi
5 Berikan informasi faktual mengenai diagnosis,
Frekuensi tindakan prognosis
pernafasan 6 Dorong keluarga untuk menemani anak
7 Dengarkan dengan penuh perhatian
8 Bantu pasien mengenal situasi yang
menimbulkan kecemasan
9 Dorong pasien untuk mengungkapkan
perasaan, ketakutan, persepsi
10 Instruksikan pasien menggunakan teknik
relaksasi
Resiko Infeksi NOC NIC :
area pembedahan Kontrol resiko (1902) Infection Control (Kontrol infeksi)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, tidak 1 Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien
terjadi infeksi pada pasien dengan kriteria hasil: lain
2 Pertahankan teknik isolasi
3 Batasi pengunjung bila perlu
Indikator Awa 1 2 3 4 5
4 Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci
l tangan saat berkunjung dan setelah berkunjung
Bau busuk meninggalkan pasien
Suhu tubuh 5 Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan
Nanah pada 6 Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah
luka tindakan keperawtan
7 Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat
Kemampuan
pelindung
mengidentifikas 8 Pertahankan lingkungan aseptik selama
i faktor risiko pemasangan alat

37
3. Evaluasi

Evaluasi keperawatan dilakukan secara sistematis dan periodik setelah pasien diberikan
intervensi dengan berdasarkan pada berdasarkan pengkajian, diagnosa keperawatan,
intervensi keperawatan, dan implementasi keperawatan. Evaluasi keperawatan ditulis
dengan format SOAP dimana:
S (subjektif) yaitu respon pasien setelah dilakukan tindakan keperawatan.
O (objektif) yaitu data pasien yang diperoleh oleh perawat setelah dilakukan tindakan
keperawatan.
A (analisis) yaitu masalah keperawatan pada pasien apakah sudah teratasi, teratasi
sebagian, belum teratasi, atau timbul masalah keperawatan baru
P (planning) yaitu rencana intervensi dihentikan, dilanjutkan, ditambah, atau dimodifikasi
Discharge Planning

1. Memastikan keamanan bagi pasien setelah pemulangan


2. Memilih perawatan, bantuan, atau peralatan khusus yang dibutuhkan
3. Merancang untuk pelayanan rehabilitasi lanjut atau tindakan lainnya di rumah (misal
kunjungan rumah oleh tim kesehatan)
4. Penunjukkan health care provider yang akan memonitor status kesehatan pasien
5. Menentukan pemberi bantuan yang akan bekerja sebagai partner dengan pasien untuk
memberikan perawatan dan bantuan harian di rumah, dan mengajarkan tindakan yang
dibutuhkan.

38
DAFTAR PUSTAKA

Brunner dan Suddarth. 2005. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Bulecheck, et all. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC) Sixth Edition. Mosby: Elsevier.

Lumen. Nicolaase, et al. Etiology of Urethral Stricture Disease in the 21st Century. The journal of
Uroogy. 2009; Vol 182, Issue 3, Pages 983-7

Riyadi, Mushab E. Hubungan anttara lama waktu terpasang kateter dengan tingkat kecemasan pada
klien yng terpasang kateter uretra di bangsal rawat inap dewasa kelas III RSU PKU
Muhammadiyah Yogyakarta. 2006.

Mundy, Anthony R. And Andrich, Daniela E. Urethral Strictures. BJU International. 2010;107,6-26

Tijani KH, Adesnya AA, Ogo CN. The New pattern of Urethral Stricture Disease in Lagos, Nigeria.
Niger Postgrad Med J. 2009 Jun;16(2):162-5

Nording L, Liedberg H, Ekman P., et al. Influence of the Nervous System on Experimentally induced
urethral inflammation. Neurosci Lett. 1990 Jul 31;115(2-3):183-8.

Sugandi, Suwandi. Pola Penyakit Striktur Uretra dan Penanganannya di Rumah Sakit Hasan Sadikin
Bandung. MKB2003;Vol.35 No.2

Moorhead, et all. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC) Fifth Edition. Mosby: Elsevier.

Morton, P.G., Fontaine, D., Hudak, C.M., Gallo, B.M. 2011. Keperawatan Kritis: Pendekatakan
Asuhan Holistik. Jakarta: EGC

NANDA International . 2015. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi. Jakarta: EGC
Nanda International. 2015. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10.
Jakarta: EGC.

Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta:
EGC.

Purnomo, B.B. 2011. Dasar-Dasar Urologi Edisi Ke 3. Jakarta: CV. Agung Seto.

Putri, Puspa Utami. 2013. Discharge planning pada Klien dengan Urolitiasis Post Ureterorenoscopy
(URS) di Ruang Anggrek Tengah Kanan RSUP Persahabatan. UNiversitas Indonesia [diakses
online pada 8 Oktober 2017] lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351454-PR-Puspa%20Utami.pdf

Sjamsuhidrajat R, W. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi ke-2. Jakarta :EGC.
Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth.
Jakarta : EGC.

39
Muttaqin, A. (2012). Pengkajian Keperawatan Aplikasi Pada Praktik Klinik. Jakarta : Salemba
Medika.

Prabowo, E., & Pranata, A. E. (2014). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Sistem Perkemihan.
Yogyakarta: Nuha Medika.

Purnomo, B. B. (2011). Dasar-Dasar Urologi Edisi Ketiga. Jakarta: CV Sagung Seto.

Suharyanto, T., & Madjid, A. (2013). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta : Trans Info Media.

40

You might also like