You are on page 1of 7

*Kontra* ( Undang- Undang/ Konvensi / Prinsip-Prinsip yang mengecam Penggunaan Killer Robot

dalam Konflik Bersenjata )

*1.*

Saat ini, belum ada dokumen hukum internasional yang secara khusus mengatur penggunaan robot
pembunuh dalam konflik bersenjata. Namun, beberapa dokumen, perjanjian hukum internasional
serta prinsip-prinsip yang terkait dapat menjadi acuan dalam mengatur penggunaan teknologi ini:

*- Konvensi Den Haag tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat (1899 dan 1907):* Konvensi ini
mengatur penggunaan senjata dan metode perang, termasuk penggunaan senjata yang tidak perlu
dan tidak wajar serta penghormatan terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan.

*Pasal 22 Konvensi Den Haag tahun 1899:* "Bahan peledak dan benda yang dimaksudkan untuk
menyebabkan cedera yang tidak diperlukan atau kepanikan tidak boleh digunakan."

*Pasal 23 Konvensi Den Haag tahun 1899:* "Tidak boleh digunakan senjata, proyektil, atau bahan
lainnya yang dirancang untuk menyebabkan cedera yang tidak perlu."

*Pasal 25 Konvensi Den Haag tahun 1907:* "Pihak-pihak yang berperang tidak boleh menggunakan
senjata, proyektil, atau bahan yang dimaksudkan untuk menyebabkan cedera yang tidak diperlukan
atau kepanikan."

*Pasal 26 Konvensi Den Haag tahun 1907:* "Pihak-pihak yang berperang harus menghindari
menggunakan metode perang yang dianggap tidak wajar dan tidak proporsional."

*Pasal 27 Konvensi Den Haag tahun 1907:*"Tidak boleh dilakukan penghancuran atau pengambilan
alih barang milik individu yang tidak diperlukan secara militer."

*Pasal 46 Konvensi Den Haag tahun 1907:* "Pihak-pihak yang berperang harus menghormati prinsip-
prinsip kemanusiaan, seperti perlindungan terhadap kekerasan, kekerasan seksual, penganiayaan,
dan penyiksaan."

Ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Den Haag tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat
tersebut menegaskan pentingnya menghindari penggunaan senjata dan metode perang yang tidak
perlu dan tidak wajar dalam konflik bersenjata, serta menghormati prinsip-prinsip kemanusiaan
dalam semua situasi yang terjadi selama konflik.
*- Konvensi Jenewa tentang Perlindungan Korban Perang (1949):* Konvensi ini menegaskan bahwa
tindakan yang merugikan atau membahayakan warga sipil, tawanan perang, dan personel medis
dalam konflik bersenjata adalah melanggar hukum internasional.

*Pasal 13 Konvensi Jenewa IV tahun 1949,* yang menyatakan:

"Kegiatan atau tindakan apapun yang ditujukan secara khusus untuk menyakiti, merugikan secara
fisik atau mental, memaksa secara tidak wajar, atau membahayakan kesehatan atau keselamatan
fisik atau mental dari warga sipil, tawanan perang, orang yang tidak lagi terlibat langsung dalam
pertempuran, serta personel medis atau agama yang tidak terlibat langsung dalam pertempuran,
dilarang sepenuhnya dan khususnya dilarang untuk:

*a)* pembunuhan, penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi, termasuk eksperimen medis yang tidak
diperlukan, serta setiap bentuk penghukuman atau perlakuan tanpa pengadilan yang melanggar
hukum yang berlaku;

*b)* pengambilan sandera;

*c)* perampasan hak atas pengadilan yang adil dan proses hukum yang wajar;

*d)* pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, pemaksaan kerja atau layanan militer
yang melanggar Hukum Humaniter Internasional, dan terkait perampasan hak milik secara ilegal;

*e)* serangan yang ditujukan secara langsung terhadap warga sipil atau properti sipil."

*Pasal 13* ini menegaskan larangan untuk melakukan tindakan yang merugikan atau
membahayakan warga sipil, tawanan perang, dan personel medis dalam konflik bersenjata. Konvensi
Jenewa IV tahun 1949 bertujuan untuk melindungi korban perang dan memastikan bahwa mereka
diperlakukan dengan martabat dan dihormati sebagai manusia.

*- Protokol Tambahan I dan II dari Konvensi Jenewa (1977):* Protokol Tambahan I dan II mengatur
perlindungan korban perang dan menetapkan aturan-aturan tentang perlindungan korban yang
lebih rinci, seperti perlindungan terhadap serangan yang tidak proporsional dan perlindungan
terhadap serangan yang tidak perlu.

*Pasal 36 Protokol Tambahan I* mengatur tentang penggunaan senjata baru atau yang sedang
dikembangkan, termasuk teknologi yang dapat mempengaruhi prinsip-prinsip yang terkandung
dalam Konvensi Jenewa. Negara-negara yang menggunakan senjata baru atau yang sedang
dikembangkan harus mempelajari efek yang mungkin dihasilkan oleh senjata tersebut, baik pada
waktu pengembangan maupun pada saat penggunaan. Pasal 36 Protokol Tambahan I menunjukkan
bahwa negara-negara yang menggunakan teknologi ini harus memperhatikan potensi dampak
negatif pada korban perang dan memastikan bahwa penggunaannya sesuai dengan prinsip-prinsip
hukum internasional dan Konvensi Jenewa.
*Selain itu, Pasal 35 Protokol Tambahan II* juga mengatur tentang perlindungan korban perang dan
melarang penggunaan senjata yang secara langsung menyebarkan racun atau penyakit berbahaya.
Hal ini menunjukkan bahwa negara-negara harus mempertimbangkan dampak yang mungkin
ditimbulkan oleh Killer Robot pada kesehatan dan keselamatan korban perang.

*- Prinsip-prinsip Martens:* Prinsip-prinsip Martens merupakan prinsip-prinsip yang diadopsi oleh


Konferensi Internasional tentang Hukum Internasional (1899 dan 1907) dan diakui oleh Mahkamah
Internasional dalam berbagai keputusan. Prinsip-prinsip Martens menyatakan bahwa di samping
hukum internasional yang tertulis, ada juga prinsip-prinsip umum dari moral dan hukum alam yang
diakui oleh bangsa-bangsa beradab.

*- Konvensi tentang Senjata Konvensional (1980):* Konvensi ini menetapkan aturan-aturan tentang
penggunaan senjata konvensional dalam konflik bersenjata.

*Pasal 2 Konvensi* tentang Senjata Konvensional menetapkan bahwa negara-negara harus


mengambil tindakan yang diperlukan untuk memastikan bahwa penggunaan senjata konvensional
dalam konflik bersenjata sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional yang berlaku, termasuk
prinsip-prinsip Konvensi Jenewa dan prinsip-prinsip hak asasi manusia.

Negara-negara harus mempertimbangkan potensi dampak negatif pada korban perang dan
memastikan bahwa penggunaan senjata konvensional tidak menyebabkan kerusakan yang tidak
proporsional terhadap sipil atau sasaran sipil yang tidak terlindungi. Mereka juga harus
memperhatikan prinsip-prinsip kebutuhan militer yang sah dan persyaratan untuk mempertahankan
keamanan nasional.

*- Konvensi tentang Pelarangan Penggunaan, Produksi, dan Penyimpanan Ranjau Darat dan Ranjau
Laut (1997):* Konvensi ini melarang penggunaan, produksi, dan penyimpanan ranjau darat dan
ranjau laut karena sifatnya yang merugikan warga sipil dan sulit dihilangkan.

*Pasal 2* Konvensi tentang Pelarangan Penggunaan, Produksi, dan Penyimpanan Ranjau Darat dan
Ranjau Laut melarang penggunaan, produksi, dan penyimpanan ranjau darat dan ranjau laut. Selain
itu, pasal ini juga melarang transfer, perolehan, atau kepemilikan ranjau darat atau ranjau laut oleh
negara-negara atau aktor non-negara.

*Dalam konteks penggunaan Killer Robot,* pasal ini menunjukkan bahwa negara-negara dan aktor
non-negara tidak boleh menggunakan teknologi Killer Robot sebagai pengganti ranjau darat atau
ranjau laut. Meskipun Killer Robot tidak secara eksplisit disebutkan dalam Konvensi ini, prinsip yang
terkandung dalam pasal ini dapat diterapkan pada teknologi baru yang dapat digunakan sebagai
pengganti ranjau darat atau ranjau laut.

*- Konvensi tentang Pelarangan Senjata Nuklir (1968):* Konvensi ini melarang pengembangan,
pengujian, produksi, dan pemilikan senjata nuklir karena sifatnya yang sangat merusak dan
membahayakan kemanusiaan.

*Pasal VI (6)* Konvensi tentang Pelarangan Senjata Nuklir menetapkan bahwa negara-negara yang
memiliki senjata nuklir harus berpartisipasi dalam perundingan yang jujur, terus menerus, dan
bersemangat baik di tingkat bilateral maupun multilateral, dengan tujuan menghentikan perlombaan
senjata nuklir dan mengarah pada penghapusan total senjata nuklir.

*Dalam konteks penggunaan Killer Robot*, pasal ini menunjukkan bahwa negara-negara harus
berpartisipasi dalam perundingan yang jujur, terus menerus, dan bersemangat untuk mengurangi
penggunaan senjata secara keseluruhan, termasuk penggunaan teknologi Killer Robot sebagai
senjata dalam konflik bersenjata.

*- Prinsip-prinsip Hukum Humaniter Internasional:* Prinsip-prinsip Hukum Humaniter Internasional


mengatur prinsip-prinsip perlindungan terhadap korban perang dan prinsip-prinsip kemanusiaan
dalam konflik bersenjata. Dalam hal ini, penggunaan robot pembunuh perlu diatur agar sesuai
dengan prinsip-prinsip ini.

*- Konvensi PBB tentang Pelarangan Penggunaan, Penimbunan, Produksi, dan Transfer Senjata Api
Konvensional , tahun 2001:* Konvensi ini bertujuan untuk mengurangi dampak negatif senjata api
konvensional pada warga sipil dan menyatakan bahwa setiap negara yang menandatanganinya harus
mengambil tindakan yang diperlukan untuk mencegah penggunaan senjata itu dalam kondisi yang
tidak dapat membedakan antara sasaran sipil dan militer.

*Pasal 2 Konvensi* ini melarang penggunaan, produksi, transfer, dan penimbunan senjata api
konvensional yang melanggar hukum internasional dan hak asasi manusia. Senjata api konvensional
yang melanggar hukum internasional meliputi senjata yang secara tidak proporsional atau secara
acak menyasar penduduk sipil, menyebabkan kerusakan yang tidak proporsional terhadap
lingkungan alam, dan menyebabkan cedera atau kematian yang tidak proporsional terhadap
personel militer.

*Dalam konteks penggunaan Killer Robot,* pasal ini menunjukkan bahwa penggunaan teknologi ini
harus dipertimbangkan secara hati-hati untuk memastikan bahwa penggunaannya tidak melanggar
hukum internasional dan hak asasi manusia. Teknologi Killer Robot harus digunakan secara
proporsional dan tidak boleh menyebabkan cedera atau kematian yang tidak proporsional terhadap
personel militer atau penduduk sipil. Selain itu, penggunaan Killer Robot juga tidak boleh
menyebabkan kerusakan yang tidak proporsional terhadap lingkungan alam.

*-Konvensi tentang Pelarangan atau Pembatasan Penggunaan Beberapa Senjata Konvensional yang
Dapat Dinyatakan Mengakibatkan Efek Traumatis yang Berlebihan atau yang Tidak Dapat Diprediksi
(CCW Convention) tahun 1980.*

Dalam konteks CCW Convention, terdapat beberapa pasal yang berkaitan dengan penggunaan Killer
Robot dalam konflik senjata internasional. Beberapa pasal tersebut adalah sebagai berikut:

*Pasal I:* Pasal ini menegaskan bahwa negara-negara peserta harus memastikan bahwa penggunaan
senjata konvensional dalam konflik bersenjata harus sesuai dengan hukum internasional.

*Pasal III:* Pasal ini mengatur penggunaan senjata api otomatis dalam konflik bersenjata. Pasal ini
mengharuskan negara-negara peserta untuk memastikan bahwa senjata api otomatis hanya
digunakan oleh personel militer yang terlatih dengan baik.

*Pasal IV:* Pasal ini mengatur penggunaan senjata laser dalam konflik bersenjata. Pasal ini melarang
penggunaan senjata laser yang dirancang untuk menimbulkan kebutaan yang tidak dapat pulih.

*Pasal V:* Pasal ini mengatur penggunaan senjata konvensional yang secara khusus dirancang untuk
menimbulkan efek traumatis yang berlebihan atau yang tidak dapat diprediksi. Penggunaan senjata
semacam ini dilarang dalam konflik bersenjata.

*Dalam konteks penggunaan Killer Robot*, pasal-pasal tersebut menunjukkan bahwa penggunaan
teknologi ini harus memperhatikan aspek-aspek hukum internasional dan perlindungan hak asasi
manusia. Selain itu, personel militer yang menggunakan teknologi ini harus terlatih dengan baik dan
teknologi ini tidak boleh menimbulkan efek traumatis yang berlebihan atau yang tidak dapat
diprediksi pada personel militer atau penduduk sipil. Jika teknologi ini melanggar ketentuan dalam
CCW Convention, maka penggunaannya dilarang dalam konflik bersenjata.

Dalam keseluruhan, meskipun belum ada dokumen hukum internasional yang secara khusus
mengatur penggunaan robot pembunuh dalam konflik bersenjata, penggunaannya perlu diatur agar
sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional yang ada dan melindungi korban perang serta
menjaga prinsip-prinsip kemanusiaan.
*2.*

Selain dokumen, perjanjian hukum internasional serta prinsip-prinsip yang telah disebutkan
sebelumnya, beberapa negara telah mengeluarkan panduan dan kebijakan mengenai penggunaan
robot pembunuh dalam konflik bersenjata. Contohnya adalah:

*- Panduan Prinsip-Prinsip Robotic Warfare dari Kementerian Pertahanan Inggris:* Panduan ini
memberikan pedoman tentang bagaimana menggunakan robot pembunuh secara etis dan sesuai
dengan hukum internasional. Panduan ini menekankan perlunya pengendalian manusia dalam
penggunaan robot pembunuh.

*- Panduan Teknis tentang Robot Terkait dari Kementerian Pertahanan AS:* Panduan ini
memberikan informasi teknis mengenai penggunaan robot pembunuh dan menguraikan tugas-tugas
apa saja yang dapat diemban oleh robot tersebut.

*- Kebijakan Senjata Otonom dari Pemerintah Swedia:* Kebijakan ini mengatur bahwa Swedia tidak
akan mengembangkan, memproduksi, atau menggunakan senjata otonom, termasuk robot
pembunuh. Kebijakan ini merupakan contoh dari negara yang melarang penggunaan robot
pembunuh dalam konflik bersenjata.

*Panduan dan kebijakan ini dapat menjadi referensi bagi negara lain dalam mengatur penggunaan
robot pembunuh dan menjaga prinsip-prinsip kemanusiaan dan hukum internasional dalam konflik
bersenjata.* Namun, tetap perlu adanya perjanjian dan peraturan hukum internasional yang lebih
spesifik dalam mengatur penggunaan teknologi ini di masa depan.

*3.*

Saat ini, *Indonesia belum memiliki regulasi atau kebijakan khusus yang mengatur penggunaan
robot pembunuh dalam konflik bersenjata.* Namun, Indonesia telah meratifikasi beberapa
perjanjian dan konvensi internasional yang berkaitan dengan penggunaan senjata dan perlindungan
hak asasi manusia dalam konflik bersenjata. Beberapa di antaranya adalah:

*- Konvensi Jenewa IV tahun 1949 tentang perlindungan sipil di waktu perang;*

*- Protokol I dan II Konvensi Jenewa tahun 1977 tentang perlindungan korban konflik bersenjata;*

*- Konvensi tentang Larangan Penggunaan, Penimbunan, Produksi, dan Transfer Ranjau Anti Personil
dan Pemusnahannya tahun 1997;*

*- Konvensi tentang Senjata Konvensional Lainnya tahun 2001.*


*Meskipun tidak secara khusus mengatur penggunaan robot pembunuh,* perjanjian dan konvensi
tersebut mengandung prinsip-prinsip hukum internasional yang harus dipatuhi oleh semua pihak
dalam konflik bersenjata, termasuk Indonesia. Hal ini juga menunjukkan bahwa Indonesia telah
mengakui pentingnya menjaga prinsip-prinsip kemanusiaan dalam konflik bersenjata, termasuk
dalam hal penggunaan senjata.

*Dalam hal penggunaan robot killer,* banyak organisasi hak asasi manusia, seperti Amnesty
International dan Human Rights Watch, telah mengeluarkan pernyataan dan laporan yang
menentang penggunaan senjata otomatis tanpa kendali manusia. Mereka berpendapat bahwa
penggunaan robot killer dapat menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia, termasuk hak untuk
hidup, hak atas keadilan, dan hak atas kebebasan dari perlakuan yang tidak manusiawi atau
merendahkan martabat.

*Secara umum, pandangan hukum internasional* saat ini menganggap bahwa penggunaan robot
killer dalam konflik bersenjata melanggar hukum humaniter internasional dan hak asasi manusia,
dan harus dilarang secara tegas.

You might also like