You are on page 1of 14

Peran Tentara Nasional Indonesia Pasca Orde Baru

Makalah ini dibuat dan diajukan untuk memenuhi tugas kelompok pada mata
kuliah “Militer dan Politik” sebagai nilai ujian tengah semester genap.

Dosen Pengampu :

Yakop Tasik, S.IP., M.KP

Disusun Oleh :

1. ST. ADINDA A. NASUTION 20831003


2. YOHANA MANIKOME 20831001
3. SITI ZUHROTUN NUHA 2083117

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PERGURUAN TINGGI


UNIVERSITAS SAINS DAN TEKNOLOGI JAYAPURA
2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan kesehatan jasmani dan rohani, rahmat, hidayah, dan inayah-Nya
kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini.
Penyusunan makalah ini untuk memenuhi tugas ujian tengah semester genap
pada Mata Kuliah Militer dan Politik dengan dosen pengampu Yakop Tasik, S.IP.,
M.KP.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, kami mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan
kritik yang membangun dari berbagai pihak.
Akhirnya kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
bagi perkembangan dunia pendidikan.

Jayapura, 26 Maret 2023

ii
DAFTAR ISI

JUDUL

KATA PENGANTAR .................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1


A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 2
C. Tujuan .................................................................................................. 3

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 4


A. Hubungan Militer dan Politik di Indonesia Pasca Orde Baru .............. 4
B. Peran dan Pengaruh Militer Khususnya TNI Pasca Orde Baru ........... 6

BAB III PENUTUP ........................................................................................ 10


A. Kesimpulan .......................................................................................... 10
B. Saran ..................................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Militer di suatu negara identik pasang surut, ada kalanya sehat dan ada
kalanya menegangkan bahkan buruk. Hubungan antara sipil dan militer
merupakan masalah yang berkelanjutan baik di negara maju maupun negara
berkembang. Kontrol sipil yang tidak objektif menjadi titik awal bagi militer
untuk masuk dan mempengaruhi politik. Di negara-negara dunia ketiga,
pengaruh militer disebabkan oleh sejarah bangsa dan negara yang
bersangkutan, khususnya di Indonesia.
Keterlibatan militer, dalam hal ini Tentara Nasional Indonesia (TNI),
dalam dunia politik di Indonesia sesungguhnya telah terlihat sejak awal
kemerdekaan. Berbeda dengan yang terjadi di belahan dunia lainnya, TNI
terbentuk melalui perjuangan kemerdekaan. Perjuangan dilakukan tidak hanya
bertempur secara fisik tetapi terlibat dalam penyusunan strategi pendirian
bangsa Indonesia. Menurut Nugroho Notosusanto kaum militer Indonesia pada
saat itu lebih menempatkan dirinya sebagai seorang pejuang terlebih dahulu
ketimbang telah dengan sadar menempatkan dirinya sebagai seorang
profesional militer. Sebagai konsekuensi dari pengalaman tersebut, TNI pada
akhirnya tidak terlihat canggung untuk turut serta berkecimpung dalam dunia
non-militer, termasuk politik. Periodisasi pemerintahan di Indonesia memiliki
ciri-ciri yang berbeda, terutama pada kasus militer dalam politik. Dimulai dari
Orde lama, sampai pada era Orde Baru dimana militer memiliki dua peran
besar dalam pemerintahan yang dikenal dengan Dwifungsi ABRI.
Dwifungsi ABRI ialah sebuah kebijakan yang mengatur tentang fungsi
ABRI dalam tatanan kehidupan bernegara. Konsep tersebut menjelaskan
bahwa ABRI memiliki dua fungsi utama, yakni pemberian kesempatan kepada
ABRI, sebagai salah satu kekuatan politik bangsa untuk berperan serta di dalam
pemerintahan atas dasar “Asas Negara Kekeluargaan”.

1
ABRI menjadi organisasi milik negara yang memiliki kompetensi paling
besar dibandingkan organisasi-organisasi lainnya seperti Birokrasi, BUMN,
lembaga-lembaga negara, Golkar atau partai politik lainnya. Secara
keorganisasian dan teknologi, ABRI merupakan organisasi yang paling solid
dan kuat dibandingkan dengan organisasi lain. Posisi ini menjadikan kalangan
militer merasa lebih mampu dan berhak untuk ikut mempertahankan negara
dengan memasuki berbagai posisi strategis dalam struktur kenegaraan melalui
jalur kekaryaan.

Hak istimewa yang didapatkan anggota ABRI melalui Dwifungsi ABRI


kala itu berdampak pada masyarakat, dimana anggota ABRI memiliki porsi
lebih banyak di bidang pemerintahan dibandingkan warga sipil dan membuat
terjadinya krisis demokrasi. Seringkali terjadi pelanggaran hak asasi manusai
(HAM) yang dilakukan oleh anggota ABRI pada masa itu. Anggota ABRI yang
dilengkap dengan senjata dianggap terlalu mendominasi urusan sipil negara.

Pasca jatuhnya rezim Orde Baru terdapat berbagai usaha untuk


menempatkan militer dibawah kontrol sipil. Salah satu contoh adalah
penghapusan Dwifungsi ABRI. Penghapusan Dwifungsi Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (ABRI) bertujuan untuk memfokuskan peran TNI sebagai
garda terdepan pertahanan dan keamanan negara. Pemisahan tersebut membagi
ABRI menjadi dua institusi yaitu TNI dan POLRI. TNI fokus pada ancaman
militer dari dalam dan luar negeri. Sedangkan POLRI bertugas menjaga
keamanan dalam negeri serta mengayomi masyarakat. Penghapusan Dwifungsi
bertujuan untuk memisahkan antara urusan politik dan militer. Meskipun
keduanya memiliki hubungan yang tidak terpisahkan.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah hubungan militer dan politik di Indonesia pasca orde baru?
2. Bagaimanakah peran dan pengaruh militer khususnya TNI pasca orde
baru?

2
3. Bagaimanakah profesionalisme militer pasca orde baru?
4. Bagaimanakah hubungan sipil-militer pasca orde baru?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui bagaimana hubungan militer dan politik di Indonesia
pasca orde baru.
2. Untuk mengetahui bagaimana peran dan pengaruh militer khususnya TNI
pasca orde baru.
3. Untuk mengetahui bagaimana profesionalisme militer pasca orde baru?
4. Untuk mengetahui bagaimana hubungan sipil-militer pasca orde baru?

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hubungan Militer dan Politik di Indonesia Pasca Orde Baru


Pasca jatuhnya rezim Orde Baru terdapat berbagai usaha untuk
menempatkan militer dibawah kontrol sipil. Salah satu contoh adalah
penghapusan Dwifungsi ABRI yang bertujuan untuk memfokuskan peran TNI
sebagai garda terdepan pertahanan dan keamanan negara. Pemisahan tersebut
membagi ABRI menjadi dua institusi yaitu TNI dan POLRI. TNI fokus pada
ancaman militer dari dalam dan luar negeri. Sedangkan POLRI bertugas
menjaga keamanan dalam negeri serta mengayomi masyarakat.

TNI pun melakukan reformasi internal dengan istilah Paradigma Baru


yang mengandung empat bentuk implementasi yaitu: (1) tidak selalu harus di
depan; (2) tidak lagi menduduki tapi mempengaruhi; (3) tidak lagi
mempengaruhi secara langsung tetapi tidak langsung; dan (4) siap berbagi
peran dengan komponen bangsa lainnya dalam pengambilan keputusan penting
kenegaraan dan pemerintahan.

Kemudian disahkannya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang


Tentara Nasional Indonesia menetapkan fungsi dari TNI adalah dalam bidang
pertahanan dan keamanan serta tidak bisa terlibat dalam urusan politik. Jika
dahulu seorang tentara memiliki fraksi tersendiri di DPR maka setelah undang-
undang ini muncul tentara aktif hanya boleh memilih di satu tempat saja,
apakah akan bertahan di politik atau di bidang militer.

Apabila anggota TNI bermaksud untuk mencalonkan diri dalam sebuah


pemilu, maka ia sudah harus menanggalkan status dinas aktif anggota TNI.
Tentara adalah perseorangan calon dalam pemilu, dan harus berstatus warga
negara sipil tidak boleh militer aktif. Di samping itu adalah seorang
purnawirawan TNI, yang telah menyelesaikan masa dinas aktifnya dan
statusnya adalah sebagai warga negara sipil. Sehingga demikian, tergambarkan
dua syarat yang diperuntukkan bagi seorang militer untuk terjun ke politik, hal

4
mana kedua persyaratan tersebut menunjukkan bahwa ia telah menjadi warga
negara sipil, yakni ia harus menanggalkan status dinas aktif sebagai anggota
TNI aktif maksudnya adalah memilih mengajukan pensiun dini seperti
dilakukan oleh Agus Harimurti Yudhoyono yang mengundurkan diri untuk
maju sebagai calon gubernur DKI Jakarta pada 2016 lalu, dan seorang anggota
TNI yang sudah purna tugasnya (seorang purnawirawan).

Mencermati 4 (empat) bentuk implementasi paradigma baru TNI yang


telah disebutkan sebelumnya, terdapat beberapa simpulan hipotetis dalam
kerangka hubungan sipil-militer di Indonesia, atau secara khusus isu
keterlibatan TNI dalam kehidupan politik pasca Orde Baru ini dapat
dirumuskan sebagai berikut :

Pertama, muatan paradigma ini menunjukkan bahwa TNI sebetulnya


masih memposisikan diri sebagai kekuatan politik utama dalam lanskap
demokrasi kepolitikan Indonesia pasca Orde Baru. Sikap pemosisian diri ini
jelas terbaca dalam kalimat “dalam mengambil keputusan penting TNI siap
berbagi peran (political role sharing) dengan komponen bangsa lainnya”.
Kalimat ini mengisyaratkan dua hal; pertama TNI menyadari betul bahwa pada
masa Orde Baru mereka merupakan kekuatan politik tunggal yang secara
hegemonic menjadi penentu dalam setiap pengambilan berbagai keputusan
strategis negara dan pemerintahan; kedua posisi ini tidak akan mereka lepas
sepenuhnya, TNI hanya akan “berbagi” dengan (dan bukan “menyerahkan”)
kepada komponen bangsa lainnya.

Kedua, paradigma mengubah tradisi “menduduki menjadi


mempengaruhi” dan “mempengaruhi langsung menjadi tidak langsung”
meskipun secara semantik cukup jelas maknanya, namun substansi phrasa ini
jelas menyiratkan masih kuatnya semangat dan keinginan TNI untuk terlibat
dalam kehidupan politik praktis. Dalam praktiknya, istilah “mempengaruhi”
dalam aktifitas politik praktis seringkali lebih, sekurang-kurangnya sama saja
bobot implikasinya, dengan “menduduki”.

5
Dengan demikian, tanpa bermaksud menegasikan perubahan-perubahan
kearah positif yang sudah dicapai sejauh ini, paradigma baru TNI
sesungguhnya belum mengubah secara total dan signifikan posisi, budaya dan
postur TNI dalam lanskap kepolitikan negara-bangsa pasca Orde Baru. Seperti
disimpulkan Kusnanto Anggoro, bahwa dengan paradigma barunya itu TNI
sesungguhnya masih tetap berada dalam ruang konservatisme menyangkut
kepercayaan pada supremasi sipil dalam pengelolaan negara.

B. Peran dan Pengaruh Militer Khususnya TNI Pasca Orde Baru


Dalam pemerintahan sipil dibawah Presiden B.J. Habibie hubungan sipil
militer masih berlanjut seperti masa Soeharto, yaitu Organisasi TNI masih
sepenuhnya dibawah kendali Panglima Tinggi TNI yang dipimpin oleh Jendral
TNI Wiranto dan diberi otonomi untuk melakukan manajemen operasional
dalam tubuh militer. Pada tanggal 22 Mei , kesempatan pertama Habibie dalam
meningkatkan legitimasinya, yaitu dengan : Pertama, pengurangan jumlah
anggota ABRI yang duduk di MPR dari 75 menjadi 38 kursi; Kedua,
diakhirinya praktik perwira perwira militer aktif yang menduduki jabatan-
jabatan non militer; Ketiga, militer secara struktural melakukan pemutusan
hubungan dengan Golkar; Keempat, Perubahan nama ABRI ( Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia) menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia)
pada bulan April 1999.

Mencermati cara pandang Huntington terhadap konsep kontrol sipil yang


diterapkan oleh pemerintahan Habibie mengarah pada peningkatan
profesionalisme militer dan menunjukkan adanya pembagian kekuatan politik
antara kelompok militer dan sipil yang mengedepankan perilaku profesional.
Dengan Objective Civilian Control (Kontrol Sipil Obyektif) yang diawasi oleh
jenderal TNI saat itu, Wiranto.

Ketika Habibie turun dan digantikan oleh Gus Dur. Pada masa Gus Dur,
kebijakan terhadap TNI berbeda dengan masa Soeharto, dimana Gusdur
melakukan intervensi dalam melakukan pengangkatan pejabat-pejabat militer

6
di lingkungan TNI AD. Di sinilah mulai muncul ketidaksenangan TNI terhadap
pemerintahan Gus Dur. Hubungan yang tidak sehat antara sipil dan militer pada
masa pemerintahan Gus Dur terjadi lantaran peranan militer dalam perpolitikan
di Indonesia disingkirkan, dan lebih jauh lagi hal itu terjadi karena Gus Dur
mengintervensi kepentingan TNI.
Berikut beberapa kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid terhadap
eksistensi Militer di Indonesia :
1. Pemisahan TNI-Polri dengan dikeluarkannya Keppres No 89 tahun
2000, yang ditegaskan dengan ketetapan MPR/VI/2000 tentang
pemisahan TNI-Polri;
2. Penghapusan Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas
Nasional (Bakortanas) dan Penelitian Khusus (Litsus), melalui
dikeluarkannya Keppres No. 38 tahun 2000 Perubahan Kementrian
Pertahanan dan Keamanan (Menhankam) menjadi Kementrian
Pertahanan (Menhan) dengan sipil sebagai menteri pertahanan;
3. Melakukan rotasi kepemimpinan tertinggi TNI (Panglima TNI) dari
biasanya dipegang oleh Angkatan Darat kemudian Angkatan Laut dan
selanjutnya Angkatan Udara.
4. Dicopotnya Jendral TNI Wiranto dari jabatannya sebagai
Menkopolkam, karena dianggap terlibat dalam pelanggaran HAM di
Timor-Timur pasca referendum.
5. Rotasi perwira tinggi seperti dilakukannya pergantian posisi Panglima
Komando Cadangan Strategi Angkatan Darat (Pangkostrad).

Dalam kaitan hubungan sipil-militer menurut teori Huntington, militer


pada masa Abdurrahman wahid dapat diklasifikasikan pada Subjective Civilian
Control (Kontrol Sipil Subyektif), karena Abdurrahman Wahid
mengkondisikan kekuasaan presiden sebagai kekuasaan tertinggi dalam
mengontrol militer.
Pada masa pemerintahan Megawati perubahan yang paling terlihat dalam
membatasi peran militer dalam politik antara lain, Perwakilan ABRI di

7
MPR/DPR dihapus. Jabatan menteri, gubernur, dan bupati tidak ada lagi dari
kalangan militer. Keluarnya fraksi TNI/POLRI setelah 6 pemilu 2004, dan
sejak 2004 institusi TNI dan POLRI meninggalkan panggung politik di MPR,
DPR, dan DPRD Provinsi, Kabupaten, dan Kota. Hal lain dalam reformasi TNI
dengan disahkannya RUU TNI menjadi Undang-Undang No.34/2004 tentang
Tentara nasional Indonesia pada 30 September 2004.
Berbagai ancaman terjadi dalam masa pemerintahan Megawati sehingga
meningkatkan dependensi sipil terhadap militer, Megawati melibatkan militer
secara besar dalam penanganan konflik di daerah. Dilihat dari kebijakan
megawati yang khusus kepada militer,menitik beratkan pada teori Huntington
yang mengarah ke Subjective Civilian Control (Kontrol Sipil Subyektif)
dimana sipil pada masa pemerintahan Megawati lebih banyak meminta
dukungan kepada militer dengan berbagai alasan yang sudah di kemukakan di
atas. Megawati di awal ingin menjalin kerjasama antara sipil dengan militer
yang baik, namun ternyata hal ini di jadikan kesempatan bagi militer dalam
membentuk sebuah kekuatan politik mereka sesuai dengan sejarah masa lalu
militer itu sendiri.
Dalam pemerintahan SBY hubungan sipil-militer pada masa ini lebih
mengarah kebentuk yang ideal, dengan sipil sebagai pemegang kendali.
Supremasi sipil yang dilakukan dalam menjaga hubungan keharmonisan antara
sipil dan militer, hal ini sangat disesuaikan dengan pokok-pokok pemikiran
SBY yang dikenal sebagai tentara Reformis dengan menegakkan nilai-nilai
profesionalisme Tentara. Langkah SBY dalam menjaga hubungan sipil-militer
dengan profesionalitas militer tidak terlepas dari penempatan kepada orang-
orang yang memiliki kapabilitas dalam pemahaman sipil dan militer. Seperti
Prof. Dr. Juwono Sudarsono sebagai Mentri Pertahanan mendapat mandat dari
Presiden Yudhoyono untuk melakukan dua hal, yakni menjaga netralitras TNI
dan penertiban sistematis mengenai pengadaan Alutsista di Departemen
Pertahanan.
Keberhasilan pemerintahan Yudhoyono dalam membatasi peran militer
dalam politik terhadap hubungan sipil-militer disebabkan oleh pendekatan

8
control sipil obyektif (objective civilian control) menurut Huntington. Dengan
rekam jejak Yudhono sebagai penggerak reformasi internal dari tubuh TNI.
Tipikal militer pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhono menurut Eric
A.Nodlinger lebih berkarakter sebagai pretorian moderator, yang mana
Presiden Susilo memiliki back up militer dan menjadikan militer mempunyai
batasan yang jelas dalam pemerintahan.

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pasca jatuhnya rezim Soeharto, TNI melakukan reposisi dengan istilah
Paradigma Baru yang mengandung empat bentuk implementasi. Kekuatan
reposisi TNI berimplikasi pada tumbuhnya kekuatan-kekuatan baru seperti
partai politik, organisasi kemasyarakatan, maupun LSM yang dapat menopang
ketahanan nasional. Namun kekuatan-kekuatan tersebut belum cukup kuat
karena proses demokratisasi di Indonesia sendiri belum cukup dewasa.
Hal ini dibuktikan masih diterimanya tokoh-tokoh militer untuk masuk ke
ranah politik, walaupun bukan atas nama institusi. Di tingkat nasional mantan-
mantan tokoh militer yaitu mantan Presiden keenam SBY, Wiranto dan
Prabowo bahkan menjadi pembina partai politik. Masih banyaknya tokoh
militer yang diajak masuk ke dunia politik mencerminkan ketidakpercayaan
sipil terhadap kemampuannya sendiri.

B. Saran
Di Indonesia diperlukan adanya profesionalisme dalam militer, sehingga
militer mampu menjadi bagian dari proses konsolidasi demokrasi. Untuk itu,
diperlukan beberapa langkah konstruktif bagi penguatan profesionalisme
militer, seperti :
1. Komitmen sipil untuk menempatkan TNI sebagai kekuatan pertahanan
ansich (pada hakekatnya), sehingga militer tidak tertarik lagi ke dunia
politik.
2. Penuntasan masalah bisnis militer dengan diiringi peningkatan
kesejahteraan dan modernisasi peralatan pertahanan, sehingga militer
konsisten dengan profesionalismenya.
3. Perlakuan yang sama terhadap militer di depan hukum sehingga
muncul supremasi sipil yang kuat.

10
DAFTAR PUSTAKA

Buku/E-book
Diamond, Lary. 2001. Hubungan Sipil Militer dan Konsolidasi Demokrasi.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Dwi Pratomo, Yulianto. 2005. Militer dan Kekuasaaan. Jogjakarta: Narasi.

Priyono dkk. 2005. Warisan Orde Baru. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi
(ISAI).

Jurnal/E-Journal
Makhasuci dkk. 2017. Pergeseran Peranan Militer Masa Transisi Pemerintahan
Indonesia (1997-2000). Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Riau Vol.4.

Sukmawan dan Pedrason. 2022. Kontrol Sipil Pragmatis: Implementasi Hubungan


Sipil-Militer di Masa Pemerintahan Joko Widodo. POLITIKA: Jurnal Ilmu
Politik Vol.13.

Yusuf, Muhammad. 2022. Implikasi Reposisi Militer Pasca Orde Baru Terhadap
Ketahanan Nasional. Journal Universitas Mataram Vol.16.

You might also like