You are on page 1of 29

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan

gejala dan infeksi atau sindrom yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan

tubuh manusia akibat infeksi virus HIV. Virusnya Human Immunodeficiency

Virus HIV yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang

yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun

mudah terkena tumor. Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat

laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa

disembuhkan. HIV umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan

kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang

mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan

air susu ibu. Penularan dapat terjadi melalui hubungan intim (vaginal, anal,

ataupun oral), transfusi darah, jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan

bayi selama kehamilan, bersalin, atau menyusui, serta bentuk kontak lainnya

dengan cairan-cairan tubuh tersebut.

Penyakit AIDS ini telah menyebar ke berbagai negara di dunia. Bahkan

menurut UNAIDS dan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah membunuh lebih

dari 25 juta jiwa sejak pertama kali diakui tahun 1981, dan ini membuat AIDS

sebagai salah satu epidemik paling menghancurkan pada sejarah. Meskipun baru
saja, akses perawatan antiretrovirus bertambah baik di banyak region di dunia,

epidemik AIDS diklaim bahwa diperkirakan 2,8 juta (antara 2,4 dan 3,3 juta)

hidup pada tahun 2005 dan lebih dari setengah juta (570.000) merupakan anak-

anak. Secara global, antara 33,4 dan 46 juta orang kini hidup dengan HIV.Pada

tahun 2005, antara 3,4 dan 6,2 juta orang terinfeksi dan antara 2,4 dan 3,3 juta

orang dengan AIDS meninggal dunia, peningkatan dari 2003 dan jumlah terbesar

sejak tahun 1981.

Di Indonesia menurut laporan kasus kumulatif HIV/AIDS sampai

dengan 31 Desember 2011 yang dikeluarkan oleh Ditjen PP & PL, Kemenkes RI

tanggal 29 Februari 2012 menunjukkan jumlah kasus AIDS sudah menembus

angka 100.000. Jumlah kasus yang sudah dilaporkan 106.758 yang terdiri atas

76.979 HIV dan 29.879 AIDS dengan 5.430 kamatian. Angka ini tidak

mengherankan karena di awal tahun 2000-an kalangan ahli epidemiologi sudah

membuat estimasi kasus HIV/AIDS di Indonesia yaitu berkisar antara 80.000 –

130.000. Dan sekarang Indonesia menjadi negara peringkat ketiga, setelah Cina

dan India, yang percepatan kasus HIV/AIDS-nya tertinggi di Asia.


B. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui definisi AIDS ?

2. Untuk mengetahui etiologi / penyebab AIDS ?

3. Untuk mengetahui cara penularan AIDS ?

4. Untuk mengetahui manifestasi klinis pada klien AIDS ?

5. Untuk mengetahui patofisiologi AIDS ?

6. Untuk mengetahui pathway AIDS ?

7. Untuk mengetahui komplikasi klien dengan AIDS ?

8. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostik pada klien AIDS ?

9. Untuk mengetahui penatalaksanaan medis, keperawatan dan diet pada klien

AIDS ?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi

Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan

gejala dan infeksi atau sindrom yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan

tubuh manusia akibat infeksi virus HIV. Pengertian AIDS menurut beberapa ahli

antara lain:

AIDS adalah infeksi oportunistik yang menyerang seseorang dimana

mengalami penurunan sistem imun yang mendasar ( sel T berjumlah 200 atau

kurang )dan memiliki antibodi positif terhadap HIV. (Doenges, 1999)

AIDS adalah suatu kumpulan kondisi klinis tertentu yang merupakan

hasil akhir dari infeksi oleh HIV. (Sylvia, 2005)

B. Etiologi

HIV yang dahulu disebut virus limfotrofik sel T manusia tipe III

(HTLV-III) atau virus limfadenapati (LAV), adalah suatu retrovirus manusia

sitopatik dari famili lentivirus. Retrovirus mengubah asam ribonukleatnya (RNA)

menjadi asam deoksiribonukleat (DNA) setelah masuk ke dalam sel pejamu. HIV

-1 dan HIV-2 adalah lentivirus sitopatik, dengan HIV-1 menjadi penyebab utama

AIDS diseluruh dunia.


Genom HIV mengode sembilan protein yang esensial untuk setiap

aspek siklus hidup virus. Dari segi struktur genomik, virus-virus memiliki

perbedaan yaitu bahwa protein HIV-1, Vpu, yang membantu pelepasan virus,

tampaknya diganti oleh protein Vpx pada HIV-2. Vpx meningkatkan infektivitas

(daya tular) dan mungkin merupakan duplikasi dari protein lain, Vpr. Vpr

diperkirakan meningkatkan transkripsi virus. HIV-2, yang pertama kali diketahui

dalam serum dari para perempuan Afrika barat (warga senegal) pada tahun 1985,

menyebabkan penyakit klinis tetapi tampaknya kurang patogenik dibandingkan

dengan HIV-1 (Sylvia, 2005)

1. Cara Penularan

Cara penularan AIDS ( Arif, 2000 )antara lain sebagai berikut :

a. Hubungan seksual, dengan risiko penularan 0,1-1% tiap hubungan

seksual

b. Melalui darah, yaitu:

1) Transfusi darah yang mengandung HIV, risiko penularan 90-98%

2) Tertusuk jarum yang mengandung HIV, risiko penularan 0,03%

3) Terpapar mukosa yang mengandung HIV,risiko penularan 0,0051%

4) Transmisi dari ibu ke anak :

a) Selama kehamilan

b) Saat persalinan, risiko penularan 50%

c) Melalui air susu ibu(ASI)14%


C. Patofisiologi

Penyakit AIDS disebabkan oleh Virus HIV. Masa inkubasi AIDS

diperkirakan antara 10 minggu sampai 10 tahun. Diperkirakan sekitar 50% orang

yang terinfeksi HIV akan menunjukan gejala AIDS dalam 5 tahun pertama, dan

mencapai 70% dalam sepuluh tahun akan mendapat AIDS. Berbeda dengan virus

lain yang menyerang sel target dalam waktu singkat, virus HIVmenyerang sel

target dalam jangka waktu lama. Supaya terjadi infeksi, virus harus masuk ke

dalam sel, dalam hal ini sel darah putih yang disebut limfosit. Materi genetik virus

dimasukkan ke dalam DNA sel yang terinfeksi. Di dalam sel, virus

berkembangbiak dan pada akhirnya menghancurkan sel serta melepaskan partikel

virus yang baru. Partikel virus yang baru kemudian menginfeksi limfosit lainnya

dan menghancurkannya.

Virus menempel pada limfosit yang memiliki suatu reseptor protein

yang disebut CD4, yang terdapat di selaput bagian luar. CD4 adalah sebuah

marker atau penanda yang berada di permukaan sel-sel darah putih manusia,

terutama sel-sel limfosit.Sel-sel yang memiliki reseptor CD4 biasanya disebut sel

CD4+ atau limfosit T penolong. Limfosit T penolong berfungsi mengaktifkan dan

mengatur sel-sel lainnya pada sistem kekebalan (misalnya limfosit B, makrofag

dan limfosit T sitotoksik), yang kesemuanya membantu menghancurkan sel-sel

ganas dan organisme asing. Infeksi HIV menyebabkan hancurnya limfosit T

penolong, sehingga terjadi kelemahan sistem tubuh dalam melindungi dirinya

terhadap infeksi dan kanker.


Seseorang yang terinfeksi oleh HIV akan kehilangan limfosit T

penolong melalui 3 tahap selama beberapa bulan atau tahun. Seseorang yang

sehat memiliki limfosit CD4 sebanyak 800-1300 sel/mL darah. Pada beberapa

bulan pertama setelah terinfeksi HIV, jumlahnya menurun sebanyak 40-50%.

Selama bulan-bulan ini penderita bisa menularkan HIV kepada orang lain karena

banyak partikel virus yang terdapat di dalam darah. Meskipun tubuh berusaha

melawan virus, tetapi tubuh tidak mampu meredakan infeksi. Setelah sekitar 6

bulan, jumlah partikel virus di dalam darah mencapai kadar yang stabil, yang

berlainan pada setiap penderita. Perusakan sel CD4+ dan penularan penyakit

kepada orang lain terus berlanjut. Kadar partikel virus yang tinggi dan kadar

limfosit CD4+ yang rendah membantu dokter dalam menentukan orang-orang

yang beresiko tinggi menderita AIDS. 1-2 tahun sebelum terjadinya AIDS,

jumlah limfosit CD4+ biasanya menurun drastis. Jika kadarnya mencapai 200

sel/mL darah, maka penderita menjadi rentan terhadap infeksi.

Infeksi HIV juga menyebabkan gangguan pada fungsi limfosit B

(limfosit yang menghasilkan antibodi) dan seringkali menyebabkan produksi

antibodi yang berlebihan. Antibodi ini terutama ditujukan untuk melawan HIV

dan infeksi yang dialami penderita, tetapi antibodi ini tidak banyak membantu

dalam melawan berbagai infeksi oportunistik pada AIDS. Pada saat yang

bersamaan, penghancuran limfosit CD4+ oleh virus menyebabkan berkurangnya

kemampuan sistem kekebalan tubuh dalam mengenali organisme dan sasaran baru

yang harus diserang.


Setelah virus HIVmasuk ke dalam tubuh dibutuhkan waktu selama 3-6

bulan sebelum titer antibodi terhadap HIVpositif. Fase ini disebut “periode

jendela” (window period). Setelah itu penyakit seakan berhenti berkembang

selama lebih kurang 1-20 bulan, namun apabila diperiksa titer antibodinya

terhadap HIV tetap positif (fase ini disebut fase laten) Beberapa tahun kemudian

baru timbul gambaran klinik AIDS yang lengkap (merupakan sindrom/kumpulan

gejala). Perjalanan penyakit infeksi HIVsampai menjadi AIDS membutuhkan

waktu sedikitnya 26 bulan, bahkan ada yang lebih dari 10 tahun setelah diketahui

HIV positif. (Heri : 2012)

D. Manifestasi Klinis

Gejala penyakit AIDS sangat bervariasi. Berikut ini gejala yang ditemui

pada penderita AIDS :

1. Panas lebih dari 1 bulan

2. Batuk-batuk

3. Sariawan dan nyeri menelan

4. Badan menjadi kurus sekali

5. Diare

6. Sesak napas

7. Pembesaran kelenjar getah bening

8. Kesadaran menurun

9. Penurunan ketajaman penglihatan


10. Bercak ungu kehitaman di kulit.

Gejala penyakit AIDS tersebut harus ditafsirkan dengan hati-hati, karena

dapat merupakan gejala penyakit lain yang banyak terdapat di Indonesia,

misalnya gejala panas dapat disebabkan penyakit tipus atau tuberkulosis paru.

Bila terdapat beberapa gejala bersama-sama pada seseorang dan ia mempunyai

perilaku atau riwayat perilaku yang mudah tertular AIDS, maka dianjurkan ia tes

darah HIV.

Pasien AIDS secara khas punya riwayat gejala dan tanda penyakit. Pada

infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) primer akut yang lamanya 1 – 2

minggu pasien akan merasakan sakit seperti flu. Dan disaat fase supresi imun

simptomatik (3 tahun) pasien akan mengalami demam, keringat dimalam hari,

penurunan berat badan, diare, neuropati, keletihan ruam kulit, limpanodenopathy,

pertambahan kognitif, dan lesi oral.

Dan disaat fase infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) menjadi

AIDS (bevariasi 1-5 tahun dari pertama penentuan kondisi AIDS) akan terdapat

gejala infeksi opurtunistik, yang paling umum adalah Pneumocystic Carinii

(PCC), Pneumonia interstisial yang disebabkan suatu protozoa, infeksi lain

termasuk menibgitis, kandidiasis, cytomegalovirus, mikrobakterial, atipikal


1. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)

Acut gejala tidak khas dan mirip tanda dan gejala penyakit biasa

seperti demam berkeringat, lesu mengantuk, nyeri sendi, sakit kepala, diare,

sakit leher, radang kelenjar getah bening, dan bercak merah ditubuh.

2. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) tanpa gejala

Diketahui oleh pemeriksa kadar Human Immunodeficiency Virus

(HIV) dalam darah akan diperoleh hasil positif.

3. Radang kelenjar getah bening menyeluruh dan menetap, dengan gejala

pembengkakan kelenjar getah bening diseluruh tubuh selama lebih dari 3

bulan.

E. Komplikasi

Adapun komplikasi kien dengan HIV/AIDS (Arif Mansjoer, 2000 ) antara

lain :

1. Pneumonia pneumocystis (PCP)

2. Tuberculosis (TBC)

3. Esofagitis

4. Diare

5. Toksoplasmositis

6. Leukoensefalopati multifocal prigesif

7. Sarcoma Kaposi

8. Kanker getah bening


9. Kanker leher rahim (pada wanita yang terkena HIV)

F. Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan diagnostic untuk penderita AIDS (Arif Mansjoer, 2000)

adalah :

1. Lakukan anamnesi gejala infeksi oportunistik dan kanker yang terkait dengan

AIDS.

2. Telusuri perilaku berisiko yang memmungkinkan penularan.

3. Pemeriksaan fisik untuk mencari tanda infeksi oportunistik dan kanker terkait.

Jangan lupa perubahan kelenjar, pemeriksaan mulut, kulit, dan funduskopi.

4. Dalam pemeriksaan penunjang dicari jumlah limfosot total, antibodi HIV, dan

pemeriksaan Rontgen.

Bila hasil pemeriksaan antibodi positif maka dilakukan pemeriksaan

jumlah CD4, protein purufied derivative (PPD), serologi toksoplasma,

serologi sitomegalovirus, serologi PMS, hepatitis, dan pap smear.

Sedangkan pada pemeriksaan follow up diperiksa jumlah CD4. Bila

>500 maka pemeriksaan diulang tiap 6 bulan. Sedangkan bila jumlahnya 200-

500 maka diulang tiap 3-6 bulan, dan bila <200 diberikan profilaksi

pneumonia pneumocystis carinii. Pemberian profilaksi INH tidak tergantung

pada jumlah CD4.

Perlu juga dilakukan pemeriksaan viral load untuk mengetahui awal

pemberian obat antiretroviral dan memantau hasil pengobatan.


Bila tidak tersedia peralatan untuk pemeriksaan CD4 (mikroskop

fluoresensi atau flowcytometer) untuk kasus AIDS dapat digunakan rumus

CD4 = (1/3 x jumlah limfosit total)-8.

G. Penatalaksaan Medis

1. Apabila terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka terapinya

yaitu (Endah Istiqomah : 2009) :

a. Pengendalian Infeksi Opurtunistik

Bertujuan menghilangkan,mengendalikan, dan pemulihan infeksi

opurtunistik, nasokomial, atau sepsis. Tidakan pengendalian infeksi yang

aman untuk mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab

sepsis harus dipertahankan bagi pasien dilingkungan perawatan kritis.

b. Terapi AZT (Azidotimidin)

Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang

efektif terhadap AIDS, obat ini menghambat replikasi antiviral Human

Immunodeficiency Virus (HIV) dengan menghambat enzim pembalik

traskriptase. AZT tersedia untuk pasien AIDS yang jumlah sel T4 nya <>3

. Sekarang, AZT tersedia untuk pasien dengan Human Immunodeficiency

Virus (HIV) positif asimptomatik dan sel T4 > 500 mm3.


c. Terapi Antiviral Baru

Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas system imun

dengan menghambat replikasi virus / memutuskan rantai reproduksi virus

pada prosesnya. Obat-obat ini adalah :

1) Didanosine

2) Ribavirin

3) Diedoxycytidine

4) Recombinant CD 4 dapat larut

d. Vaksin dan Rekonstruksi Virus

Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut

seperti interferon, maka perawat unit khusus perawatan kritis dapat

menggunakan keahlian dibidang proses keperawatan dan penelitian untuk

menunjang pemahaman dan keberhasilan terapi AIDS.

2. Diet

Penatalaksanaan diet untuk penderita AIDS (UGI:2012) adalah

a. Tujuan Umum Diet Penyakit HIV/AIDS adalah:

1) Memberikan intervensi gizi secara cepat dengan mempertimbangkan

seluruh aspek dukungan gizi pada semua tahap dini penyakit infeksi

HIV.

2) Mencapai dan mempertahankan berat badan secara komposisi tubuh

yang diharapkan, terutama jaringan otot (Lean Body Mass).

3) Memenuhi kebutuhan energy dan semua zat gizi.


4) Mendorong perilaku sehat dalam menerapkan diet, olahraga dan

relaksasi.

b. Tujuan Khusus Diet Penyakit HIV/AIDS adalah:

1) Mengatasi gejala diare, intoleransi laktosa, mual dan muntah.

2) Meningkatkan kemampuan untuk memusatkan perhatian, yang terlihat

pada: pasien dapat membedakan antara gejala anoreksia, perasaan

kenyang, perubahan indra pengecap dan kesulitan menelan.

3) Mencapai dan mempertahankan berat badan normal.

4) Mencegah penurunan berat badan yang berlebihan (terutama jaringan

otot).

5) Memberikan kebebasan pasien untuk memilih makanan yang adekuat

sesuai dengan kemampuan makan dan jenis terapi yang diberikan.

c. Syarat-syarat Diet HIV/AIDS adalah:

1) Energi tinggi. Pada perhitungan kebutuhan energi, diperhatikan faktor

stres, aktivitas fisik, dan kenaikan suhu tubuh. Tambahkan energi

sebanyak 13% untuk setiap kenaikan Suhu 1°C.

2) Protein tinggi, yaitu 1,1 – 1,5 g/kg BB untuk memelihara dan

mengganti jaringan sel tubuh yang rusak. Pemberian protein

disesuaikan bila ada kelainan ginjal dan hati.

3) Lemak cukup, yaitu 10 – 25 % dari kebutuhan energy total. Jenis

lemak disesuaikan dengan toleransi pasien. Apabila ada malabsorpsi

lemak, digunakan lemak dengan ikatan rantai sedang (Medium Chain


Triglyceride/MCT). Minyak ikan (asam lemak omega 3) diberikan

bersama minyak MCT dapat memperbaiki fungsi kekebalan.

4) Vitamin dan Mineral tinggi, yaitu 1 ½ kali (150%) Angka Kecukupan

Gizi yang di anjurkan (AKG), terutama vitamin A, B12, C, E, Folat,

Kalsium, Magnesium, Seng dan Selenium. Bila perlu dapat

ditambahkan vitamin berupa suplemen, tapi megadosis harus dihindari

karena dapat menekan kekebalan tubuh.

5) Serat cukup; gunakan serat yang mudah cerna.

6) Cairan cukup, sesuai dengan keadaan pasien. Pada pasien dengan

gangguan fungsi menelan, pemberian cairan harus hati-hati dan

diberikan bertahap dengan konsistensi yang sesuai. Konsistensi cairan

dapat berupa cairan kental (thick fluid), semi kental (semi thick fluid)

dan cair (thin fluid).

7) Elektrolit. Kehilangan elektrolit melalui muntah dan diare perlu

diganti (natrium, kalium dan klorida).

8) Bentuk makanan dimodifikasi sesuai dengan keadaan pasien. Hal ini

sebaiknya dilakukan dengan cara pendekatan perorangan, dengan

melihat kondisi dan toleransi pasien. Apabila terjadi penurunan berat

badan yang cepat, maka dianjurkan pemberian makanan melalui pipa

atau sonde sebagai makanan utama atau makanan selingan.

9) Makanan diberikan dalam porsi kecil dan sering.


10) Hindari makanan yang merangsang pencernaan baik secara mekanik,

termik, maupun kimia.

d. Jenis Diet dan Indikasi Pemberian

Diet AIDS diberikan pada pasien akut setelah terkena infeksi

HIV, yaitu kepada pasien dengan:

1) Infeksi HIV positif tanpa gejala.

2) Infeksi HIV dengan gejala (misalnya panas lama, batuk, diare,

kesulitan menelan, sariawan dan pembesaran kelenjar getah bening).

3) Infeksi HIV dengan gangguan saraf.

4) Infeksi HIV dengan TBC.

5) Infeksi HIV dengan kanker dan HIV Wasting Syndrome.

Makanan untuk pasien AIDS dapat diberikan melalui tiga cara,

yaitu secara oral, enteral(sonde) dan parental(infus). Asupan makanan

secara oral sebaiknya dievaluasi secara rutin. Bila tidak mencukupi,

dianjurkan pemberian makanan enteral atau parental sebagai tambahan

atau sebagai makanan utama. Ada tiga macam diet AIDS yaitu Diet AIDS

I, II dan III.

1) Diet AIDS I

Diet AIDS I diberikan kepada pasien infeksi HIV akut,

dengangejala panas tinggi, sariawan, kesulitan menelan, sesak nafas berat,

diare akut, kesadaran menurun, atau segera setelah pasien dapat diberi
makan.Makanan berupa cairan dan bubur susu, diberikan selama beberapa

hari sesuai dengan keadaan pasien, dalam porsi kecil setiap 3 jam. Bila

ada kesulitan menelan, makanan diberikan dalam bentuk sonde atau dalam

bentuk kombinasi makanan cair dan makanan sonde. Makanan sonde

dapat dibuat sendiri atau menggunakan makanan enteral komersial energi

dan protein tinggi. Makanan ini cukup energi, zat besi, tiamin dan vitamin

C. bila dibutuhkan lebih banyak energy dapat ditambahkan glukosa

polimer (misalnya polyjoule).

2) Diet AIDS II

Diet AIDS II diberikan sebagai perpindahan Diet AIDS I setelah tahap

akut teratasi. Makanan diberikan dalam bentuk saring atau cincang setiap

3 jam. Makanan ini rendah nilai gizinya dan membosankan. Untuk

memenuhi kebutuhan energy dan zat gizinya, diberikan makanan enteral

atau sonde sebagai tambahan atau sebagai makanan utama.

3) Diet AIDS III

Diet AIDS III diberikan sebagai perpindahan dari Diet AIDS II atau

kepada pasien dengan infeksi HIV tanpa gejala. Bentuk makanan lunak

atau biasa, diberikan dalam porsi kecil dan sering. Diet ini tinggi energy,

protein, vitamin dan mineral. Apabila kemampuan makan melalui mulut

terbatas dan masih terjadi penurunan berat badan, maka dianjurkan

pemberian makanan sonde sebagai makanan tambahan atau makanan

utama.
H. Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian Keperawatan

Pengkajian keperawatan untuk penderita AIDS (Doenges, 2000) adalah

a. Aktivitas / istirahat.

Mudah lelah, berkurangnya toleransi terhadap aktivitas biasanya,

malaise

b. Sirkulasi.

Takikardia , perubahan TD postural, pucat dan sianosis.

c. Integritas ego.

Alopesia , lesi cacat, menurunnya berat badan, putus asa, depresi,

marah, menangis.

d. Elimiinasi.

Feses encer, diare pekat yang sering, nyeri tekanan abdominal, abses

rektal.

e. Makanan / cairan.

Disfagia, bising usus, turgor kulit buruk, lesi pada rongga mulut,

kesehatan gigi / gusi yang buruk, dan edema.

f. Neurosensori.

Pusing, kesemutan pada ekstremitas, konsentrasi buruk, apatis, dan

respon melambat.
g. Nyeri / kenyamanan.

Sakit kepala, nyeri pada pleuritis, pembengkakan pada sendi,

penurunan rentang gerak, dan gerak otot melindungi pada bagian yang

sakit.

h. Pernafasan.

Batuk, Produktif / non produktif, takipnea, distres pernafasan.

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan (Doenges, 2000) adalah

a. Nyeri berhubungan dengan inflamasi / kerusakan jaringan.

b. Perubahan nutrisi yang kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

gangguan intestinal.

c. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan diare berat.

d. Resiko tinggi pola nafas tidak efektif berhubungan dengan proses infeksi

dan ketidak seimbangan muskuler (melemahnya otot-otot pernafasan).

e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan produksi

metabolisme.
3. Invtervensi keperawatan

No Diagnosa Tujuan & Kriteria Intervensi Keperawatan Rasional


Keperawatan Hasil
1 Nyeri TU : Setelah dilakukan a. Kaji keluhan nyeri, a. Mengindikasikan
berhubungan tindakan keperawatan perhatikan lokasi, intensitas, kebutuhan untuk
dengan inflamasi / 1x24 jam nyeri dapat frekuensi dan waktu. Tandai intervensi dan juga tanda-
kerusakan jaringan teratasi gejala nonverbal misalnya tanda perkembangan
gelisah, takikardia, meringis komplikasi.
KH : keluhan hilang,
menunjukkan ekspresi b. Instruksikan pasien untuk b. Meningkatkan relaksasi
wajah rileks,dapat tidur menggunakan visualisasi dan perasaan sehat.
atau beristirahat secara atau imajinasi, relaksasi
adekuat. progresif, teknik nafas
dalam.

c. Dorong pengungkapan c. Dapat mengurangi ansietas


perasaan dan rasa sakit, sehingga
persepsi akan intensitas
rasa sakit.

d. Berikan analgesik atau d. Memberikan penurunan


antipiretik narkotik. nyeri/tidak nyaman,
Gunakan ADP (analgesic mengurangi demam. Obat
yang dikontrol pasien) untuk yang dikontrol pasien
memberikan analgesia 24 berdasar waktu 24 jam
jam. dapat mempertahankan
kadar analgesia darah tetap
stabil, mencegah
kekurangan atau kelebihan
obat-obatan.
e. Lakukan tindakan paliatif e. Meningkatkan relaksasi
misal pengubahan posisi, atau menurunkan tegangan
masase, rentang gerak pada otot.
sendi yang sakit.

2 Perubahan nutrisi TU : Setelah dilakukan a. Kaji kemampuan untuk a. Lesi mulut, tenggorokan
yang kurang dari tindakan keperawatan mengunyah, perasakan dan dan esophagus dapat
kebutuhan tubuh 1x24 jam perubahan menelan menyebabkan disfagia,
berhubungan nutrisi yang kurang dari penurunan kemampuan
dengan gangguan kebutuhan tubuh dapat pasien untuk mengolah
intestinal teratasi makanan dan mengurangi
keinginan untuk makan
KH : Mempertahankan
berat badan atau b. Auskultasi bising usus b. Hipermotilitas saluran
memperlihatkan intestinal umum terjadi
peningkatan berat dan dihubungkan dengan
badan, muntah dan diare yang
mendemostrasikan dapat mempengaruhi
keseimbangan nitrogen pilihan diet atau cara
positif, dan bebas dari makan
tanda-tanda malnutrisi c. Rencanakan diet dengan
orang terdekat, saranakan c. Melibatkan orang terdekat
makan sedikit tapi sering dalam rencana pemberian
makanan dan
mempertahankan nutrisi
dalam tubuh
d. Batasi makanan yang
menyebabkan mual atau d. Rasa sakit pada mulut atau
muntah dan menghindari ketakutan akan mengiritasi
dari yang susah ditelan lesi pada mulut mungkin
akan menyebabkan pasien
enggan untuk makan
e. Tinjau ulang pemeriksaan
laboratorium, misal glukosa, e. Mengindikasikan status
protein, fungsi hepar, nutrisi dan fungsi organ
elektrolit dan albumin

f. Berikan obat anti emetic


misal metoklopramid f. Mengurangi insiden
muntah dan meningkatkan
fungsi gaster
3 Resiko tinggi TU : Setelah dilakukan a. Pantau pemasukan oral dan a. Mempertahankan
kekurangan tindakan keperawatan pemasukan cairan keseimbangan cairan,
volume cairan 1x24 jam masalah setidaknya 2.500 ml/hari mengurangi rasa haus dan
berhubungan dapat teratasi melembabkan membrane
dengan diare berat mukosa
KH : Mempertahankan
hidrasi dibuktikan oleh b. Gunakan cairan yang mudah b. Meningkatkan pemasukan
membran mukosa ditoleransi oleh pasien dan cairan tertentu mungkin
lembab, turgor kulit menggantikan elektrolit terlalu menimbulkan nyeri
baik, TTV baik, yang dibutuhkan, misal untuk dikonsumsi karena
keluaran urine adekuat Gatorade lesi pada mulut
c. Kaji turgor kulit, membrane c. Indicator tidak langsung
mukosa dan rasa haus dari status cairan
d. Hilangkan makanan yang d. Dapat mengurangi diare
potensial menyebabkan
diare

e. Berikan obat-obatan anti e. Menurunkan jumlah dan


daire keenceran feses,
mengurangi kejang usus
dan peristaltis
4 Resiko tinggi pola TU : Setelah dilakukan a. Auskultasi bunyi nafas, a. Memperkirakan adanya
nafas tidak efektif tindakan keperawatan tandai daerah paru yang perkembangan komplikasi
berhubungan 1x24 jam masalah mengalami penurunan, atau atau infeksi pernafasan
dengan proses dapat teratasi kehilangan vemtilasi, dan
infeksi dan munculnya bunyi
ketidakseimbangan KH : Mempertahankan adventisius
muskuler pola nafas efektif dan
(melemahnya otot- tidak mengalami sesak b. Catat kecepatan pernafasan, b. Takipnea, sianosis, tidak
otot pernafasan) nafas sianosis, peningkatan kerja dapat beristirahat dan
pernafasan dan munculnya peningkatan nafas,
dispnea, ansietas menunjukkan kesulitan
pernafasan dan adanya
kebutuhan untuk
meningkatkan
pengawasan atau
intervensi medis

c. Tinggikan kepala tempat c. Meningkatkan fungsi


tidur. Usahakan pasien pernnafasan yang optimal
untuk berbalik, batuk, dan mengurangi aspirasi
menarik nafas sesuai atau infeksi yang
kebutuhan ditimbulkan karena
atelektasis

d. Berikan tambahan O2 sesuai d. Mempertahankan


indikasi oksigensi efektif untuk
mencegah atau
mempernaiki krisis
pernafasan
5 Intoleransi TU : Setelah dilakukan a. Kaji pola tidur dan catat a. Berbagai factor dapat
aktivitas tindakan keperawatan perunahan dalam proses meningkatkan kelelahan,
berhubungan 1x24 jam masalah berpikir atau berperilaku termasuk kurang tidur,
dengan penurunan dapat teratasi tekanan emosi, dan efek
produksi samping obat-obatan
metabolisme KH : Melaporkan
peningkatan energy, b. Rencanakan perawatan b. Periode istirahat yang
berpartisipasi dalam untuk menyediakan fase sering dibutuhkan dalam
aktivitas yang istirahat, atur aktifitas pada memperbaiki atau
diinginkan dalam waktu pasien berenergi menghemat energy
tingkat kemampuannya
c. Dorong pasien untuk c. Memungkinkan
melakukan apapun yang penghematan energy,
mungkin, misal perawatan peningkatan stamina, dan
diri, duduk dikursi, berjalan mengijinkan pasien untuk
dan makan lebih aktif tanpa
menyebabkan kepenatan
d. Pantau respon psikologis d. Toleransi bervariasi
terhadap aktifitas tergantung pada status
proses penyakit, status
nutrisi, keseimbangan
cairan dan tipe penyakit
e. Rujuk pada terapi fisik atau e. Latihan setiap hari
okupasi terprogram dan aktifitas
yang membantu pasien
mempertahankan atau
meningkatkan kekuatan
dan tonus otot
4. Implementasi Keperawatan

Menurut Setiadi (2012) implementasi adalah pengelolaan dan

perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap

perencanaan. Focus dari intervensi keperawatannya adalah mempertahankan

daya tahan tubuh, mencegah komplikasi, menemukan perubahan system

tubuh, memantapkan hubungan pasien dengan perawat, dokter,lingkungan dan

pesan dokte (resep dokte). Implementasi dilakukan untuk mengetahui susunan

pada setiap tahap perencanaan keperawatan yang akan diberikan kepada

pasien agar semua rencana keperawatan dapat tersusun sesuai kebutuhan yang

diharapkan.

5. Evaluasi Keperawatan

Tahap penelitian atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematif

dan terencana tentang kesehatan pasien,terutama sekali secara khusus pada

pasien, dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara

berkesinambunga dengan melibatkan pasien, keluarga dan tenaga kesehatan

lainnya. Tujuan Evaluasi adalah untuk melihat kemampuan pasien dalam

mencapai tujuan yang disesuaikan dengan criteria hasil pada tahap

perencanaan. Pada evaluasi seorang perawat dapat melihat perubahan baik /

buruknya dari perkembangan kesehatan seorang pasien dari proses

perencanaan dan implementasi di setiap harinya, karena perubahan /

perkembangan pasien dapat terlihat dari sebuah catatan medis keperawatan

yaitu proses perencanaan dan implementasi (Setiadi, 2012).


BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. AIDS adalah sekumpulan gejala dan infeksi atau sindrom yang timbul

karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV.

2. Etiologi AIDS disebabkan oleh virus HIV-1 dan HIV-2 adalah lentivirus

sitopatik, dengan HIV-1 menjadi penyebab utama AIDS diseluruh dunia.


3. Cara penularan AIDS yaitu melalui hubungan seksual, melalui darah

( transfuse darah, penggunaan jarum suntik dan terpapar mukosa yang mengandung

AIDS), transmisi dari ibu ke anak yang mengidap AIDS.

B. SARAN

Berdasarkan simpulan di atas, penulis mempunyai beberapa saran, diantaranya adalah

1. Agar pembaca dapat mengenali tentang pengertian AIDS.

Agar pembaca dapat menerapkan asuhan keperawatan AIDS pada klien AIDS.
DAFTAR PUSTAKA

Heri.”Asuhan Keperawatan HIV/AIDS”,(Online),(http://mydocumentku.blogspot.

com/2012/03/asuhan-keperawatan-hivaids.html, diakses 20 Oktober 2012)

Istiqomah, Endah.”Asuhan Keperawatan pada Klien dengan HIV/AIDS”,(Online) ,

(http://ndandahndutz.blogspot.com/2009/07/asuhan-keperawatan-pada-klien-

dengan.html, diakses 20 Oktober 2012)

Mansjoer, Arif . 2000 . Kapita Selekta Kedokteran . Jakarta : Media Sculapius

Marilyn , Doenges , dkk . 1999 . Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk

Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien . Jakarta : EGC

Price , Sylvia A dan Lorraine M.Wilson . 2005 . Patofissiologis Konsep Klinis Proses

– Proses Penyakit . Jakarta : EGC

UGI.2012.”Diet Penyakit HIV/AIDS”,(Online),(http://ugiuntukgiziindonesia.

blogspot.com/2012/05/diet-penyakit-hivaids.html, diakses 20 Oktober 2012)

You might also like