You are on page 1of 18

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

BPH (BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA)

Disusun oleh kelompok:

1. HANNA DAUN RARA


2. JESLIN
3. SUKMAWATI
4. SULAIMAN

Dosen pengampuh :

Ns. M. Syikir, S.Kep., M.Kep.

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BINA GENERASI POLEWALI MANDAR

S1 KEPERAWATAN

T.A 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga makalah
ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih terhadap
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran
maupun materinya.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktikkan
dalam kehidupan sehari-hari.

Kami menyadari banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan
pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Polewali, 6 februari 2023

Hormat kami

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Pembuatan Makalah

BAB II PEMBAHASAN

A. KONSEP MEDIS
1. Definisi
2. Etiologi
3. Manifestasi Klinis
4. Patofisiologi
5. Pemeriksaan Penunjang
6. Penatalaksanaan
7. Masalah yang kerap muncul
B. PAPTHWAYS
C. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
2. Diagnosa
3. Luaran Keperawatan
4. Intervensi

DAFTAR PUSTAKA
BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Salah satu masalah kesehatan yang terjadi yang membutuhkan penanganan khusus terkait dengan
pemenuhan kebutuhan dasar yaitu penanganan pada pasien dengan post op benign prostat
hiperpplasia. Benign Prostate Hiperplasia (BPH) merupakan masalah yang sering terjadi pada pria
berumur lebih dari 50 tahun kerena sering menahan air kencing pada saat ingin berkemih, sehingga
terjadi suatu pembesaran progresif dari kelenjar prostat menyebabkan berbagai derajat dostruksi
aliran urinarius. (Raharjo, 2013 ).
Hiperplasia mempunyai karakteristik berupa hyperplasia pada stroma pemebesaran prostat (wahyu
2006). Kelenjar prostat sendiri adalah organ pria yang berbentuk seperti kenari yang terletak di bawah
kandung kemih dana mengelilingi bagian baeah urethra. Apabila seseorang mengalami pembesaran
prostat, organ inia dapat menghambat aliran urine yang keluar dari buli-buli sehingga mengganggu
kenyamanan penderita.
Menurut WHO (2013), diperkirakan terdapat sekitar 70 juta kasus degeneratif salah satunya ialah
BPH, dengan insiden di negara maju sebanyak 19%, sedangakan dinegara berkembang sebanyak
5,35% kasus. Tahun 2013 di indonesia terdapat 9,2 jt kasus BPH, diantaranya diderita oleh laki-laki
berusisa di atas 60 tahun . BPH terjadi pada sekitar 70% prai diatas usia 60 tahun. Angkah ini
meningkat hingga 90% pada pria abeusia diatas 80 tahun angkah kejadian BPH diindonesia yang
pasti belum perna diteliti, tetapi sebagai gambaran hospital prevelence di RS Cipto kandung kemih
mulai berkontraksi, bahkan bbila kantung ini tiadak penuh seluruhnya, dan kemudian lambat-laun
kehilangan kemampuan untuk mengosongkan sendiri. Gejalah pembesaran prostat dikaitkan dengan
penyempitan urethra dan pengosongan kantung kemih yang tidak tuntas.

B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep medis 1. Definisi


Benigna Prostate Hyperplasia (BPH) merupakan suatu penyakit dimana terjadi pembesara
dari kalenjar prostat akibat hyperplasia jinak dari sel-sel yang biasa terjadi pada laki laki
berusia lanjut. Kelainan ini ditentukan pada usia 40 tahun dan frekuensinya makin bertambah
sesuai dengan penambahan usia, sehingga pada usia diatas 80 tahun kira-kira 80% dari
lakilaki yang menderita kelainan ini. Menurut beberapa referensi di Indonesia, sekitar 90%
lakilaki yang berusia 40 tahun keatas mengalami gangguan berupa pembesaran kalenjar
prostat pada beberapa pasien dengan usia diatas 40 tahun kalenjar prostatnya menglami
pembesaran, karena terjadi perubahan keseimbangan testoteron dan estrogen, komplikasi
yang disebabkan dari pembesaran prostat dapat menyebabkan penyakit gagal ginjal. Refluks
vesikuoreter batu hematuria, dan disfungsi seksual (Aprina, Yowanda & Sunarsih, 2017).
BPH (Benign Prostatic Hyperplasia) merupakan istilah histopatologi yang digunakan untuk
menggambarkan adanya pembesaran prostat. (Sampekalo et al., 2015).

2. Etiologi
Penyebab yang pasti dari Benigne Prostat Hyperplasia sampai sekarang belum diketahui
secara pasti, namun ada 2 faktor yang mempengaruhi terjadinya benigne prostat hyperplasia
yaitu usia dan hormonal menjadi prediposisi terjadinya BPH. usia lanjut. beberapa hipotesis
menyebutkan bahwa benigna prostat hiperplasia sangat erat kaitannya dengan:
1) Peningkatan Dihidrotestosteron (DHT)
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen akan menyebabkan epitel dan stroma
dari kelenjar prostat mengalami hiperplasia.
2) Ketidak seimbangan estroge–testoteron
Ketidak seimbangan ini terjadi karena proses degeneratif. Pada proses penuaan, pada pria
terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan hormon testosteron. Hal ini memicu
terjadinya hiperplasia stroma pada prostat.
3) Interaksi antar sel stroma dan sel epitel prostat
Peningkatan kadar epidermal gorwth factor atau fibroblas gorwth factor dan penurunan
transforming gorwth factor beta menyebabkan hiperplasia stroma dan epitel, sehingga
akan terjadi BPH.
4) berkurangnya kematian sel
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari
kelenjar prostat.
5) Teori stem sel
Sel stem yang meningkat akan mengakibatkan proliferasi sel transit dan memicu
terjadinya BPH (Prabowo dan Andi, 2014)

3. Manifestasi Klinik
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh Benigna Prostat Hyperplasia disebut sebagai Syndroma
Prostatisme. Syndroma Prostatisme menurut Jitowiyono & Weni (2010) dibagi menjadi dua
yaitu :
a. Gejala Obstruktif yaitu :
• Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan mengejan
yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli- buli memerlukan waktu beberapa
lama meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra
prostatika.
• Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan karena
ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan tekanan intravesika sampai
berakhirnya miksi.
• Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing.
• Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor memerlukan
waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.
• rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas. b. Gejala
Iritasi yaitu :
• Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
• Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya
• dapat terjadi pada malam hari (nocturia) dan pada siang hari.
• Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.
4. Patofisiologi
Sejalan dengan pertambahan umur, kelenjar prostat akan mengalami hiperplasia, jika
prostat membesar akan meluas ke atas (bladder), di dalam mempersulit saluran uretra
prostatica dan menyumbat liran urine. Keadaan ini dapat meningkatkan tekanan intravesika.
Sebagai kompensasi terhadap tekanan prostatika, maka otot detrusor dan buli-buli
berkontraksi lebih kuat untuk dapat memompa urine keluar. Kontraksi yang terus-menerus
menyebabkan perubahan anatomi dari buli-buli berupa: hipertropi otot detrusor, trabekulasi,
terbentuknya selua, sekula dan difertikel buli-buli. Perubahan struktur pada buli-buli
dirasakan klien sebagai keluhan pada saluran kencing bagian bawah atau Lower Urinary
Symptom / LUTS. (Purnomo., 2016).
Pada fase awal dari prostat hiperplasia, kompensasi oleh muskulus destrusor berhasil dalam
sempurna. Artinya pola dan kualitas dari miksi tidak berubah. Pada fase ini disebut sebagai
Prostat Hyperplasia Kompensata. Lama kelamaan kemampuan kompensasi menjadi
berkurang dan kualitas miksi berubah, kekuatan serta lamanya kontraksi dari muskulus
destrusor menjadi tidak abdominal (mengejan) sehingga timbulnya hernia dan haemorhoid.
(Wells et al., 2015).
Fase dekompensasi yang masih akut menimbulkan rasa nyeri dan dalam beberapa hari
menjadi kronis dan terjadilah inkontinensia urine secara berkala akan mengalir sendiri tanpa
dapat dikendalikan, sedangkan buli-buli tetap penuh.Puncak dari kegagalan kompensasi
adalah ketidak mampuan otot detrusor memompa urine dan menjadi retensi urine. Retensi
urine yang kronis dapat menimbulkan kemunduran fungsi ginjal
(Jitowiyono dan Weni, 2010
5. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, serum elektrolit dan kadar gula digunakan
untuk memperoleh data dasar keadaan umum klien.
2) Pemeriksaan urine lengkap.
3) PSA (Prostatik Spesific Antigen) penting diperiksa sebagai kewaspadaan adanya
keganasan
b. Pemeriksaan Uroflowmetri
Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urine. Secara obyektif
pancaran urine dapat diperiksa dengan uroflowmeter dengan penilaian :
1) Flow rate maksimal > 15 ml/detik : non obstruktif
2) Flow rate maksimal 10-15 ml/detik : border line
3) Flow rate maksimal < 10 ml/detik : obstruksi
c. Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik
1) BOF (Buik Overzich) : untuk menilai adanya batu dan metastase pada tulang.
2) USG (Ultrasonografi), digunakan untuk memeriksa konsistensi volume dan besar
prostate juga keadaan buli-buli termasuk residual urine. Pemeriksaan dapat
dilakukan secara transrektal, transurethral, dan supra pubik.
3) IVP (Pyelografi Inravena), digunakan untuk melihat exkresi ginjal dan adanya
hidronefrosis. Pemeriksaan panendoskop : untuk mengetahui keadaan uretra dan
bulibuli (Padila, 2012 dalam Annisa, 2017).

6. Penatalaksanaan
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) atau hiperplasia prostatik benigna adalah kondisi di
mana prostat membesar secara bertahap pada pria yang lebih tua. Penyebab pasti BPH tidak
diketahui, tetapi faktor hormonal dan genetik berperan dalam perkembangannya. Gejala yang
sering terjadi adalah sering buang air kecil, sulit untuk memulai atau menghentikan aliran
urine, aliran urine yang lemah, dan perasaan bahwa kandung kemih tidak sepenuhnya kosong
setelah buang air kecil. Penatalaksanaan BPH dapat dilakukan dengan berbagai cara,
tergantung pada tingkat keparahan gejala dan kondisi kesehatan individu. Beberapa opsi
penanganan termasuk:
Pengawasan dan Pemantauan: Jika gejala BPH masih ringan atau tidak mengganggu
aktivitas sehari-hari, dokter mungkin akan merekomendasikan pengawasan dan pemantauan
terlebih dahulu tanpa intervensi langsung. Perubahan Gaya Hidup: Beberapa perubahan gaya
hidup dapat membantu mengurangi gejala BPH. Ini termasuk mengurangi konsumsi kafein
dan alkohol, menghindari minum banyak cairan sebelum tidur, dan rutin berolahraga.
Obatobatan: Ada beberapa jenis obat yang dapat digunakan untuk mengobati BPH, seperti
alphablocker (misalnya tamsulosin, terazosin) yang membantu mengendurkan otot di sekitar
prostat dan 5-alpha reductase inhibitor (misalnya finasteride, dutasteride) yang membantu
mengurangi ukuran prostat. Dokter akan menentukan obat yang tepat berdasarkan gejala dan
kondisi kesehatan individu.Terapi Kombinasi: Kadang-kadang, dokter dapat meresepkan
kombinasi obat untuk mengatasi gejala BPH yang lebih parah.
Prosedur Bedah: Untuk kasus yang lebih parah atau ketika obat-obatan tidak efektif, prosedur
bedah bisa dipertimbangkan. Beberapa jenis prosedur bedah yang umum dilakukan untuk
BPH termasuk transurethral resection of the prostate (TURP) dan transurethral incision of the
prostate (TUIP).
Terapi Laser: Terapi laser seperti photoselective vaporization of the prostate (PVP) atau
holmium laser enucleation of the prostate (HoLEP) juga bisa digunakan untuk mengurangi
ukuran prostat yang membesar. Pilihan penatalaksanaan BPH harus dibahas dengan dokter
yang menangani, karena pengobatan yang tepat akan tergantung pada gejala, tingkat
keparahan, dan kondisi kesehatan keseluruhan pasien. Jika Anda mengalami gejala BPH atau
memiliki pertanyaan tentang kondisi ini, segera berkonsultasi dengan dokter untuk
mendapatkan evaluasi dan perawatan yang tepat.

7. Komplikasi
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) atau hiperplasia prostatik benigna dapat menyebabkan
berbagai komplikasi jika tidak diobati atau tidak dikelola dengan baik. Beberapa komplikasi
yang mungkin terjadi akibat BPH antara lain:
a. Infeksi Saluran Kemih (ISK): Pembesaran prostat dapat menyebabkan obstruksi pada
aliran urine, yang meningkatkan risiko infeksi saluran kemih. Kandung kemih yang
tidak sepenuhnya kosong dapat menjadi tempat berkembang biaknya bakteri dan
menyebabkan infeksi pada saluran kemih bagian atas maupun bawah.
b. Batu Ginjal: Ketika aliran urine terhambat atau tidak lancar akibat BPH, urine dapat
berada dalam kandung kemih untuk waktu yang lama dan memungkinkan
pembentukan batu ginjal.
c. Retensi Urin Akut: Pembesaran prostat yang signifikan dapat menyebabkan retensi
urin, yaitu ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih sepenuhnya. Ini
dapat menyebabkan rasa sakit, perasaan tidak nyaman, dan harus segera ditangani
untuk mencegah komplikasi lebih lanjut.
d. Hematuria: BPH dapat menyebabkan darah dalam urine (hematuria) karena adanya
iritasi pada kandung kemih atau uretra akibat tekanan dari prostat yang membesar.
e. Pembesaran Kandung Kemih: Akibat retensi urin yang berulang, kandung kemih
dapat membesar dan menjadi kurang elastis, yang dapat mengganggu fungsi normal
kandung kemih.
B. Pathways
C. Konsep keperawatan 1. Pengkajian
Pengkajian merupakan pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan untuk
mengumpulkan informasi atau data tentang pasien, agar dapat mengidentifikasi, mengenali
masalah-masalah, kebutuhan dan keperawatan pasien, baik fisik, mental, sosial dan
lingkungan.
a. Pengumpulan Data
1. Nama: Tulis nama panggilan pasien atau inisial
2. Umur: Resiko Ca paru meningkat pada orang berumur >40 tahun
3. Jenis kelamin:
4. Agama:
5. Pendidikan:
6. alamat:
7. No. RM: Dapat dicatat sesuai dengan urutan pasien masuk
8. Pekerjaan
9. Status Perkawinan: Tidak ada hubungan antara status perkawinan dengan angka
kejadian Pneumonia
10. Tanggal MRS: Dilihat sejak klien masuk IGD
11. Tanggal Pengkajian: Ditulis dengan tanggal ketika perawat melakukan pengkajian
pertama kali
12. Sumber Informasi: Sumber informasi bisa didapat dari pasien, keluarga, atau pasien
dan keluarha. Dari pasien biasanya jika pasien tidak ada keluarga, dari keluarga
biasanya jika pasien tidak kooperatif, dan dari pasien dan keluarga apabila keduanya
kooperatif dalam memberikan informasi.(Bhaskara, 2020)
b. Riwayat Kesehatan
1. Keluhan Utama
2. Riwayat penyakit sekarang:Batuk produktif, dahak bersifat mukoid atau purulen, atau
batuh darah; malaise; anoreksia; sesak nafas; nyeri dada dapat bersifat lokal atau
pleuritik
3. Riwayat kesehatan terdahulu:
• Penyakit yang pernah dialami: Kaji apakah klien memiliki riwayat penyakit paru
dan penyakit menular atau menurun lainnnya sebelumnya. b) Alergi : Kaji alergi
klien terhadap makanan, obat, plester, dan lain-lain
• Imunisasi : Kaji apakah klien mendapatkan imunisasi lengkap atau tidak
• Kebiasaan/pola hidup/life style:Lingkungan sekitaar yang dihadapi,seberapa
sering menghirup asap rokok atau terpapar zat lainnya
• Obat-obat yang digunakan:Menanyakan pada klien obat apa saja yang
dikonsumsi sebelum MRS
• Riwayat penyakit keluarga:Mengkaji apakah terdapat riwayat keluarga
sebelumnya(Bhaskara, 2020)

c. Pengkajian Fisik
1. Inspeksi : Apakah nafas spontan melalui nasal, oral dan selangendotrakeal atau
tracheostomi, serta kebersihan dan adanya sekret, pendarahan, edema, dan obstruksi
mekanik. Kemudian menghitung frekuensi pernafasan dan apakah pernafasan
bradipnea, takhipnea. Apakah sifat pernafasan abdominal dan torakal, kemudian
irama pernafasan apakah ada perbandingan antarainspirasi dan ekspirasi, pernafasan
teratur atautidak dan pernafasan cheyne stokes.
2. Palpasi : adanya nyeri tekan, peradangan setempat, pleuritis, adanyaedema, dan
benjolan pada dada. Gerakan dinding dada apakah simetris atau tidak,jika ada
kelainan paru adanya getaran suara atau fremitus vokal yang jelas mengeras atau
melemah.
3. Perkusi : untuk menilai suara perkusi paru normal (sonor) atau tidaknormal (redup).
4. Auskultasi : untuk menilai adanya suara nafas seperti bunyi nafasvesikuler dan bunyi
nafas bronkhial. Bunyi nafas tambahan seperti bunyironkhi,suara wheezing dan
sebagainya(Bhaskara, 2020

2. Diagnosa keperawatan
NO DIAGNOSA LUARAN INTERVENSI
1. Ikontinensia urine Setelah dilakukan Kateterisasi urine (I04148)
berlanjut (D.0042) intervensi Tindakan
Inkontinensia urine keperawatan maka Observasi
berlanjut b.d trauma, di dapatkan • Periksa kondisi pasien
neuropati arkus refleks, inkontinensia urine (mis. Kesadaran,
kerusakan medula membaik dengan kriteria tandatanda vital, daaerah
spinalis, kelainan hasil : perineal, distensi kandung
• Kemampuan berkemih kemih, inkontinensia
anatomis (mis. fistula),
meningkat urine dan
dan disfungsi
(5) refleks berkemih)
neurologis.
• Nokturia cukup
menurun (4) terapeutik
• Residu volume urine • Siapkan peralatan, bahan-
setelah berkemih di bahan dan
dapatkan cukup ruangan tindakan
menurun (4) • Siapkan pasien: bebaskan
• Dribbling menurun pakaian bawah dan
(5) posisikan dorsal supine
• Frekunsi berkemih • Pasang sarung tangan
membaik (5) • Bersihkan daerah perineal
atau preposium dengan
cairan NaCI atau aquades
• Lakukan insersi kateter
urine dengan menerapkan
prinsip
aseptik
• Sambungkan
kateter
urine dengan urine bag
• Isi balon dengan NaCl
0,9% sesuai anjuran
pabrik
• Fiksasi selang kateter di
atas simpisis atau di paha
• Pastikan kantung urine di
tempatkan lebih rendah
darai kandung kemih
• Berikan label
waktu pemasangan

Edukasi
• Jelaskan tujuan dan
prosedur pemasangan
kateter urine

• Anjurkan menarik nafas


saat insersi selang kateter
2. Retensi urine (D.0050) Setelah dilakukan Kateterisasi urine (I04148)
Retensi urine b.d intervensi keperawatan di Tindakan
peningkatan tekanan dapatkan eliminasi urine Observasi
uretra, kerusakan arkus membaik dengan kriteria • Periksa kondisi pasien
refleks, blok spingter, hasil: (mis. Kesadaran,
disfungsi neurologis, • Sensasi berkemih tandatanda vital, daaerah
(mis. Trauma, cukup meningkat (4) perineal, distensi kandung
penyakit saraf), efek • Desakan berkemih kemih, inkontinensia
agen farmakologis (urgensi) menurun (5) urine dan
(mis. Atropine, • Volume residu urine refleks berkemih)
belladonna, cukup menurun (4)
psikotropik, • Nokturia menurun(5) terapeutik
antihistamin, opiate), • Urin menetes cukup • Siapkan peralatan, bahan-
menurun (4) bahan dan
• Berkemih tidak tuntas ruangan tindakan
menurun (5) • Siapkan pasien: bebaskan
pakaian bawah dan
posisikan dorsal supine
• Pasang sarung tangan
• Bersihkan daerah perineal
atau preposium dengan
cairan NaCI atau aquades
• Lakukan insersi kateter
urine dengan menerapkan
prinsip
aseptik
• Sambungkan
kateter
urine dengan urine bag
• Isi balon dengan NaCl
0,9% sesuai anjuran
pabrik
• Fiksasi selang kateter di
atas simpisis atau di paha
• Pastikan kantung urine di
tempatkan lebih rendah
darai kandung kemih
• Berikan label
waktu pemasangan

Edukasi
• Jelaskan tujuan dan
prosedur pemasangan
kateter urine
Anjurkan menarik nafas saat
insersi selang kateter
3. Resiko infeksi (D. Setelah dilakukan Pencegahan infeksi (I.14539)
0142) intervensi keperawatan Tindakan
selama 1x24 jam di Observasi
Resiko infeksi b.d dapatkan resiko infeksi • Monitor tanda dan gejala
penyakit kronis menurun dengan kriteria infeksi lokal dan sistemik
(mis.diabetes milirus), hasil:
efek prosedur infasif, • Kebersihan Terapeutik
badan meningkat • Batasi jumlah
(5) pengunjung
• Bengkak cukup • berikan perawatan kulit
menurun (4) pada aarea edema
• Piuria menurun (5) • cuci tangan sebelum dan
• Kultur urine cukup sesudah kontak dengan
membaik (4) pasien dan lingkungan
• Kadar sel darah putih pasien
membaik (5) • pertahankan teknik
• Nyeri menurun (5) aseptik pada pasien
beresiko tinggi

edukasi
• jelaskan tanda dan gejala
infeksi
• ajarkan cara mencuci
tangan daengan benar
• ajarkan cara memeriksa
kondisi luka atau luka
operasi
• anjurkan meningkatkan
asupan cairan

kolaborasi
• anjurkan pemberian
imunisai jika perlu
4. Resiko Setelah dilakukan Manajemen (I.03098)
ketidakseinbangan intervensi keperawatan di Tindakan
cairan (D.0036) dapatkan Observasi
Resiko keseimbangan • monitor status hidrasi
ketidakseimbangan cairan meningakat dengan (mis. Frekuensi nasi,
cairan b.d perdarahan, kriteria hasil: kekuatan nadi, akral,
penyakit ginjal dan • keluaran urin pengisian kapiler,
kelenjar meningkat (5) kelembapan mukosa,
• asupan makan cukup turgor kulit, tekanan
meningkat (4) darah)
• tekanan darah cukup • monitor berat badan
membaik (4) harian
• berat badan membaik • monitor berat badan
(5) sebelum dan sesudah
dianalisis
• monitor hasil
pemeriksaan
laboratorium (mis.

Hematokrik, Na, K, Cl,


beratvjenis urine, BUN)
• monitor status
hemodinamik (mis. MAP,
CVP, PAP,PCWP,
jika tersedia)

terapeutik
• catat intake-output dan
hitung balans cairan 24
jam
• berikan asupan cairan
sesuai keburuhan
• berikan cairan intravena
jika perlu
kolaborasi
• kolaborasi pemberian
diuretik, jika perlu
5. Gangguan mobilitas Mobilitasi fisik (L.05042) Dukungan ambulasi
fisik (0054) Setelah dilakukan (I.01001)
Gangguan mobilitas intervensi Tindakan
fisik b.d keperawatan selama Observasi
ketidakbugaran fisik, 1x24 jam maka didapatkan • identivikasi adanya nyeri
malnutrisi, nyeri, efek mobilitas fisik meningkat atau keluhan fisik
agen farmakologis dengan kriteria hasil: lainnya
• nyeri menurun • identivikasi toleransi fisik
melakukan
pergerakan
• monitor frekuensi jantung
dan tekanan darah
sebelum memulai
mobilisasi
• monitor kondisi umum
sebelum melakukan
mobilisasi
terapeutik •

fasilitas aktivitas
mobilisasi dengan alat
bantu
• fasilitasi melakukan
pergerakan jika perlu
• libatkan keluarga untuk
mmbantu pasien dalam
meningkatkan
pergerakan

edukasi
• jelaskan tujuan dan
prosedur mobilisasi
• anjurkan melakukan
mobilisasi dini

• ajarkan mobilisasi
sederhana yang harus
dilakukan

DAFTAR PUSTAKA

American Nurses Association. (2015). Nursing: Scope and standards of practice (3rd ed.). Silver Spring,
MD: American Nurses Publishing.

Berman, A., Snyder, S., Kozier, B., & Erb, G. (2016). Fundamentals of nursing: Concepts, process, and
practice (10th ed.). Upper Saddle River, NJ: Pearson.

World Health Organization. (2010). Framework for action on interprofessional education & collaborative
practice. Retrieved from https://www.who.int/hrh/resources/framework_action/en/

Jarvis, C. (2016). Physical examination and health assessment (7th ed.). St. Louis, MO: Saunders
McVary, K. T. (2019). BPH: Epidemiology and comorbidities. American Journal of Managed Care, 25(6
Suppl), S115-S120. PMID: 31219396.
Mottet, N., Cornu, J. N., van den Bergh, R. C. N., Briers, E., De Santis, M., Fanti, S., ... & Ribal, M. J. (2021).
EAU guidelines on prostate cancer. Part 1: Screening, diagnosis, and local treatment with curative intent
—update 2021. European Urology, 79(2), 243-262. PMID: 33339652.

Roehrborn, C. G. (2017). Benign prostatic hyperplasia: An evolving landscape. Canadian Urological


Association Journal, 11(5 Suppl 1), S3-S8. PMID: 28503203.

Barry, M. J., & Roehrborn, C. G. (2016). Management of benign prostatic hyperplasia. Annual Review of
Medicine, 67, 137-151. PMID: 26332006.

Oelke, M., Bachmann, A., Descazeaud, A., Emberton, M., Gravas, S., Michel, M. C., … & Roehrborn, C. G.
(2013). EAU guidelines on the treatment and follow-up of non-neurogenic male lower urinary tract
symptoms including benign prostatic obstruction. European Urology, 64(1), 118-140. PMID: 23541440.

McConnell, J. D., Roehrborn, C. G., Bautista, O. M., Andriole Jr, G. L., Dixon, C. M., Kusek, J. W., … &
Kaplan, S. A. (2003). The long-term effect of doxazosin, finasteride, and combination therapy on the
clinical progression of benign prostatic hyperplasia. New England Journal of Medicine, 349(25),
23872398. PMID: 14681504.

Gravas, S., & Bachmann, A. (2019). Watchful waiting and medical management of lower urinary tract
symptoms suggestive of benign prostatic obstruction (BPO). World Journal of Urology, 37(4), 613-621.
PMID: 29951917.

You might also like