You are on page 1of 25

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/308458036

Interpretasi Budaya: Memberi Makna terhadap Pengalaman Lintas Budaya

Article · January 1999

CITATION READS
1 3,557

2 authors:

Atmazaki Atmazaki Lesley Harbon


Universitas Negeri Padang University of Technology Sydney
93 PUBLICATIONS   173 CITATIONS    60 PUBLICATIONS   470 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

The development of digital-based authentic assessment in Indonesian Language View project

Conference Paper View project

All content following this page was uploaded by Atmazaki Atmazaki on 16 October 2016.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


INTERPRETASI BUDAYA

Memberi Makna terhadap Pengalaman Lintas Budaya

Atmazaki & Lesley Harbon

Abstrac

There is a dearth of literature relating to research on pre-


service teachers’ school experience undertaken within
cultures other than their own, although it is generally
assumed that this ‘other/outside’ experience is personally and
professionally enriching for these teachers’ early career
development. In the case of small group of Tasmanian pre-
service teachers undertaking a school experience/rural
homestay in West Sumatra at the end of 1998, the
researchers found that as well as experiencing many cultural
differences, they also met with many ‘awkward’ or
‘unconfortable’ situations upon entering the new culture. This
‘disequilibrium’, has been termed as ‘cultural mismatch’.
There were certain strategies put into place by the teachers
immediately this ‘awkwardness’ was perceived. Often the pre-
service teachers implemented further strategies to cope with
any difficulties they were experiencing in their new situations.

Latar Belakang

Penelitian ini mengambil setting program kerjasama antara IKIP


Padang dengan Universitas Tasmania yang disebut dengan AIRAES
(Australia-Indonesia Rural Areas Education Scheme). Program yang didanai
oleh Institut Australia-Indonesia di Canberra ini berbentuk pertukaran
mahasiswa kedua lembaga untuk melaksanakan pengalaman lapangan di
sekolah-sekolah pinggir kota/desa sambil mempelajari bahasa setempat
secara langsung.

Tujuan program AIRAES adalah (1) memberikan pengalaman kepada


mahasiswa calon guru untuk tinggal bersama keluarga dan memperluas
persepsi tentang pendidikan di negara lain; (2) membantu mahasiswa
mendapat akses kepada penutur asli bahasa masing-masing negara; (3)
untuk mempererat kerjasama antara kedua lembaga (Fakultas Pendidikan
Universitas Tasmania dengan IKIP Padang).

Fase pertama, mahasiswa IKIP Padang berkunjung ke Tasmania pada


bulan Februari dan Maret 1998 dan fase kedua, mahasiswa Universitas
Tasmania berkunjung ke Padang pada bulan November dan Desember 1998.
Fokus penelitian ini adalah terhadap fase kedua.

Penelitian ini mendeskripsikan bagaimana mahasiswa calon guru yang


berasal dari Tasmania terlibat dalam perbedaan budaya selama lima minggu
sewaktu mereka melakukan pengalaman lapangan di Sekolah Dasar dan
tinggal bersama keluarga di Kotamadya Padang. Secara lebih khusus,
penelitian ini menjelaskan bagaimana mereka terlibat dengan apa yang
disebut dengan ‘keterasingan budaya’ atau cultural mismatch (Pine, 1998).

Sebagai staf yang terlibat langsung dengan manajemen program


pengalaman lapangan tersebut, perhatian kami tujukan, terutama, pada hasil
proses belajar mengajar mahasiswa, kedua, pada peningkatan kemampuan
mengajar mahasiswa calon guru tersebut. Selama periode pelaksanaan dan
evaluasi program tersebut, kami menemukan sesuatu yang dapat
dikembangkan untuk menganalisis aspek teori dan kerangka konseptual
untuk melihat aspek keterasingan budaya. Deskripsi di bawah ini merupakan
aplikasi dari teori semiotik Pierce yang dikembangkan oleh Pine (1998) untuk
menganalisis persoalan keterasingan budaya yang dialami mahasiswa ketika
mereka berada (masuk) dalam budaya lain. Di samping itu, juga
dideskripsikan interpretasi peneliti, baik interpretasi sebagai orang Indonesia
(khususnya Sumatera Barat) maupun interpretasi sebagai orang Barat
(Australia). Interpretasi itu dilakukan dengan melihat hukum budaya atau
kebiasaan masing-masing negara dan cara yang dilakukan mahasiswa dalam
menangani persoalan yang mereka alami. Akhirnya, kami menyarankan cara-
cara yang harus ditempuh oleh mahasiswa yang belajar di luar negeri dalam
menghadapi apa yang disebut keterasingan budaya tadi.

Kajian Teori

Pelatihan mahasiswa calon guru adalah salah satu lapangan utama


dalam perencanaan masa depan pendidikan. Untuk pendidikan yang akan
“...ekspansi ke luar batas negara (Lo Bianco, 1998:1), generasi masa depan
tidak hanya cukup diberi kesempatan pendidikan di dalam kelas tetapi juga
yang mungkin disediakan di luar kelas secara fleksibel. Untuk memacu
pendidikan yang bisa menghasilkan “...deep effects in thinking about
knowledge and how it is assembled and imparted” (Lo Bianco, 1998:1)
diperlukan “jenis” guru yang mempunyai kemampuan khusus.

Masa pengalaman lapangan mahasiswa calon guru adalah waktu dan


tempat yang sangat tepat untuk memulai dan melihat bibit-bibit penemuan
dan pemikiran untuk masa depan pendidikan. Untuk merancang “guru
sepesial” ini, diperlukan rancangan pengembangan karir sepanjang hayat.
Melnick (1998:88) menyarankan bahwa “...more knowledge and radically
different skills for teacher” diperlukan untuk masa depan. Guru mesti
dipersiapkan untuk “...languages, cultures, exceptionalities, learning style,
talent and intelligences, therefore requiring a rich variety of teaching
strategies” (Darling-Hammond at al, in Melnick and Zeichner, 1998:88).

Asumsi umum adalah bahwa di dalam kurikulum pendidikan guru yang


mampu menciptakan “jenis guru spesial” ini, harus ada sesi pengalaman
lapangan yang semakin diperkaya, yang memungkinkan mahasiswa
menghubungkan teori dengan praktek sebagaimana layaknya kompetensi-
kompetensi mengajar. Tujuan pengalaman lapangan adalah untuk
memperkenalkan calon guru kepada praktek/pengalaman kelas di dalam
lingkungan yang sesungguhnya, yang secara bertahap dapat melaksanakan
tanggung jawabnya sebagai guru. Jika pengalaman lapangan ini diharapkan
menjadi bagian yang bermakna bagi mahasiswa calon guru, “...alternative
enriching ways of preparing teachers for their multiple roles and teaching
contextual complexities of life in school and for careers as inquiring
professionals...” (Knowles and Cole, 1996:648) harus diidentifikasi dan
dikembangkan.

Lebih dari itu, mengingat mobilitas global yang tinggi, guru masa
depan mesti direncanakan untuk mampu menghadapi tantangan baru.
Mereka mesti mempunyai kemampuan ganda: menguasai beberapa bahasa
asing dan terampil di kelas. Grant dan Secada (dalam Wiest, 1988:358) yang
mereviu penelitian tentang penyiapan guru untuk pelajar yang bervariasi
menyimpulkan bahwa “pernah hidup bersama masyarakat dari populasi yang
beragam” adalah pengalaman lapangan yang sangat bermanfaat. Di dalam
memberikan pengalaman lapangan yang terfokus pada memperluas
pandangan mahasiswa, Wiest menemukan bahwa “...short, more informal,
intensive cultural immersion experience...” dapat sangat berpengaruh
terhadap mahasiswa calon guru dan mempunyai efek yang sangat kaya.
Dengan pengalaman seperti itu, mereka akan mengajar dengan sikap yang
lebih baik, membantu mereka dalam mengembangkan program-program
yang akan meningkatkan pemahaman murid yang beragam melalui program
pendidikan multikultural.

Menurut Stackowski (dalam Minner, 1995), mahasiswa calon guru


mesti menyediakan waktu untuk masyarakat sekitar(outside school doors)
untuk mendapatkan pengalaman dalam konteks yang asli. Tidak cukup
hanya dengan membayangkan bagaimana konteks sesungguhnya mungkin
terjadi. Pada program immersi di Northern Arizona Navajo Indian,
mahasiswa calon guru hidup di dalam kultur masyarakat Navajo dan ini
menimbulkan kesadaran lintas budaya dan rintangan bahasa untuk mengajar
dan belajar. Hasil dari pengalaman Navajo adalah bahwa mahasiswa calon
guru lebih sensitif secara kultural dan menjadi pendidik informal yang lebih
baik (Stackowski, 1998:162).

Untuk mahasiswa kita di kelas, untuk dapat memahami, berinteraksi


dengan dan belajar dari orang-orang yang berbeda dari mereka, mereka
mesti mengembangkan pengetahuan bahwa pandangan dunia kita tidak
selalu sama dengan orang lain dan kesadaran lintas budaya adalah
bagaimana ide-ide dapat dilihat oleh orang lain. Dalam program pengalaman
lapangan di luar negeri, seperti akan dideskripsikan di bawah ini, target
adalah belajar seperti itu.

Nilai pengalaman lapangan di luar negeri untuk pemahaman lintas budaya


adalah, seperti dikatakan Pine, bahwa guru dapat pertama-tama

“...mengklarifikasi dan mengindentifikasi dasar-dasar


budaya, kedua, memahami perilaku aneh murid, dan ketiga,
memahami apa yang mereka tampilkan. Pengalaman sekolah
perlu terfokus, tidak hanya pada aspek lintas budaya tetapi juga
pada kejelasan mahasiswa calon guru seperti: mendapatkan
orientasi, mengumpulkan pandangan yang luas tentang
mengajar, dan mengembangkan hubungan kolaboratif....”
(Knowles and Cole, 1996:649.)
Penting disadari cara orang lain memahami sesuatu. Di dalam proses
mahasiswa calon guru bekerja “di dalam” dan “ dengan kebiasaan”
masyarakat lain, mereka mempunyai pandangannya sendiri sebagai “orang
dalam” dan “orang luar”. Morton (dalam Banks, 1988:6) mengatakan bahwa
sebagai “orang dalam” kita hanya dapat memahami budaya secara subjektif
dan sebagai “orang luar” dapat memahaminya dengan objektif. Pengalaman
lapangan di luar negeri secara teori harus menyediaan keduanya.

Menjadi orang dalam dan berada dalam lingkaran situasi yang baru
dapat membantu mahasiswa calon guru untuk belajar berfungsi di luar
“wilayah kesenangan sendiri” (personal space)dan di dalam situasi yang
sama sekali baru. Belajar seperti itu penting untuk mahasiswa calon guru
untuk mengembangkan kemampuan mengajarnya dalam kondisi yang
bervariasi. Mahasiswa menyadari arti kemanusiaan dan hubungan
interpersonal serta interaksi lintas budaya yang terus berjalan. Juga, hal itu
dapat meningkatkan kemampuan untuk melihat suatu situasi dari perspektif
yang lain, memperoleh suatu peningkatan simpati terhadap perasaan orang
lain ketika keluar dari budaya dominan mereka. Sleeter (dalam Wiest,
1995:358) menemukan mahasiswanya mulai melawan rasa takut, kekeliruan
konsepsi, dan ketidaktahuan setelah menyediakan waktu di dalam kelompok
sosiokultural orang lain, kendatipun tidak gampang bagi mereka
mengadaptasi sebuah “peran sebagai minoritas” di dalam sebuah budaya
yang tidak akrab.

Keterasingan Budaya

“Tersandung” pada situasi yang tidak biasa, ketika melaksanakan


pengalaman lapangan di luar negeri adalah hal yang biasa, apalagi bagi
orang yang belum biasa melintasi batas budaya. Mereka mungkin mengalami
perasaan kikuk/canggung atau bingung karena tidak biasa. Hal inilah yang
diistilahkan dengan keterasingan budaya atau cultural mismatch (selanjutnya
disebut CM): ketika masuk ke dalam kebudayaan lain, kita melihat sesuatu
yang berbeda tetapi tidak tahu bagaimana bertindak dalam situasi yang tidak
menentu itu (Pine, 1997:1).

Reaksi terhadap situasi seperti itu dapat berupa “bertahan” atau


menarik diri: indikatornya bisa bervariasi dan termasuk perilaku seperti
bingung, diam, ekspresi wajah atau bahasa tubuh yang canggung atau tidak
biasa, reaksi verbal merasa tidak biasa atau canggung, tertawa riang, hilang
kontak pandang, atau istilah lain. Kondisi ini terjadi karena “jurang budaya”
yang membedakan dua budaya untuk mengatakan atau melakukan hal yang
sama tetapi artinya berbeda, dan mengatakan atau melakukan hal yang
berbeda tetapi artinya, lebih kurang, sama....” (MacNeal, 1995).

Model analisis Pine, yang dikembangkannya berdasarkan model


semiotik Pierce, suatu model untuk menganalisis teka-teki, pada dasarnya
tidak untuk menganalisis situasi lintas budaya, tetapi digunakannya untuk itu.
Model ini berasumsi bahwa bahwa “semua keasadaran adalah tanda
kesadaran” (Houser and Kloesel, 1992). Untuk menganalisis objek dan
membuat makna, Pine menggunakan segi tiga seperti di bawah ini.

Interpretasi

(interpretation)

Peristiwa kebiasaan budaya

(event) (cultural rule)

Gambar 1: Kerangka kerja analisis Pine untuk menginterpretasikan CM

Dengan model Pine ini, pertama, dikenali peristiwa yang dapat


diidentifikasi sebagai CM dan di mana keanehan terjadi. Kedua, perilaku itu
diinterpretasikan dari sudut budaya asing dan budaya setempat, Ketiga,
dilihat hukum budaya (kebiasaan) masing-masing.

CM, sesungguhnya, berbeda dari kaget budaya atau culture shock


(selanjutnya disebut CS). CM muncul dari rasa kaget ketika berhadapan
dengan peristiwa konkret yang berbeda dalam kebudayaan lain di mana
perbedaan-perbedaan begitu mencolok, meskipun situasinya normal. Reaksi
psikologis pada CS, sebagai perbandingan terhadap CM, dapat dilihat
dengan jelas seperti tidak bisa makan, menangis, dan histeris yang
memperlihatkan sesuatu yang nyata-nyata berbeda. Sebaliknya, CM hanya
tampil dalam perasaan dan emosi yang bercampur seperti rikuh, bingung
yang timbul dari sesuatu yang seolah-olah normal.

Berikut ini adalah deskripsi peristiwa-peristiwa yang diidentifikasi


sebagai CM yang terjadi di Sumatera Barat pada bulan November dan
Desember 1998, ketika program AIRAES berlangsung. Data dikumpulkan
melalui wawancara terhadap sebelas orang peserta proram berkaitan dengan
apa yang dialaminya selama di Sumatera Barat yang dapat diidentifikasi
sebagai pengalaman CM. Masing-masing peserta melaporkan
pengalamannya beradaptasi dengan masyarakat kota Padang khususnya,
dan masyarakat Sumatra Barat, umumnya.

Setelah data dikumpulkan, dianalisis dengan model Pine, sedangkan penulis


bertindak sebagai penginterpretasi dari sudut budaya masing-masing.

Deskripsi Data

Program AIRAES dirancang untuk meningkatkan pemahaman timbal balik


antara mahasiswa calon guru Indonesia dengan Australia di dalam
masyarakat pinggir kota/desa. (Hill & Thomas, 1987:1). Selama program ini
berlangsung, mahasiswa tinggal bersama “keluarga Padang” selama satu
bulan, dan selama tiga minggu di antaranya, mereka berkunjung ke sekolah
dasar yang berlokasi di Kecamatan Padang Utara. Apa yang menarik dari
laporannya (hasil wawancara) adalah bagaimana mereka menangani
hambatan-hambatan CM.

Hal utama yang menarik tidak saja pengakuan bahwa CM telah


terjadi/dialami oleh mahasiswa, tetapi juga ketika mengalami keterasingan,
strategi apa yang mereka gunakan untuk memahami dan keluar dari
persoalan yang menimpanya. Bagaimana mereka akhirnya menerima situasi
untuk dapat mengasimilasi ketidakseimbangan di dalam struktur kognitif
mereka, yaitu makna apa yang mereka buat?

CM: Delapan Peristiwa

Kelompok pertama adalah tiga peristiwa yang dialami mahasiswa yang


berkaitan dengan situasi dan kebiasaan makan.

Observasi pertama 1: Walaupun tinggal di rumah yang banyak dihuni oleh


mahasiswa lain, mahasiswa AIRAES sering dibiarkan makan malam
sendirian di meja makan. Anggota keluarga juga tidak makan bersama
mereka. Mahasiswa merasa kikuk/rikuh dan tidak senang makan sendiri dan
secara sembunyi bertanya pada diri sendiri apakah karena dia begitu
berbeda sehingga harus dibiarkan sendiri.

Observasi 2: Setelah makan malam di sebuah restoran di kota Padang, atas


undangan panitia, mahasiswa ditawari/memesan kopi dan dipersilakan
berkaraoke. Tetapi mereka kecewa karena si pengundang tidak ikut minum
dan berkaraoke tetapi meninggalkan restoran, meninggalkan mereka dalam
ketidakenakan, bingung apakah akan minum dan bernyanyi atau pergi
bersama si pengundang/panitia.
Observasi 3: Mahasiswa juga sering merasa bingung melihat fakta bahwa
setelah makan malam di rumah keluarga, anggota keluarga pergi tanpa
penjelasan apa-apa sehingga meja makan menjadi sunyi.

Jika dilihat dengan kerangka interpretasi Pine, ketiga observasi di atas dapat
didiskusikan dengan cara-cara berikut.

Australia Indonesia

Peristiwa 1: Mahasiswa dibiarkan Peristiwa 1: Famili dan mahasiswa


makan malam sendiri. lain membiarkan mahasiswa
Australia makan malam sendirian.

Interpretasi: Membiarkan
Interpretasi: Bingung/kikuk karena
mahasiswa makan malam sendiri
dia begitu berbeda sehingga
supaya dia bisa makan dengan
dibiarkan makan sendiri.
bebas/tanpa gangguan.

Kebiasaan: Tidak dianggap


persoalan membiarkan tamu makan
Kebiasaan: Tidak membiarkan tamu
sendiri di meja makan, apalagi sudah
makan sendirian di meja makan
dianggap anggota keluarga.
.

Peristiwa 2: Setelah makan malam di Peristiwa 2: Makan malam selesai,


restoran, kopi dipesan dan karaoke tidak ada alasan untuk tetap berada
dimainkan.. di meja makan.

Interpretasi: Bingung, apakah akan Interpretasi: Tamu telah dijamu


minum kopi dan menyanyi atau ikut makan malam dan tujuan selesai
dengan pengundang (hosts). sehingga bisa meninggalkan meja
makan.

Kebiasaan: Di meja makan malam di


restoran tidak hanya untuk makan, Kebiasaan: Di meja makan malam di
tetapi juga untuk dialog, hiburan, dan restoran semata-mata untuk makan
bersantai. malam.
Peristiwa 3: Mahasiswa ditinggal Peristiwa 3: Anggota keluarga
sendiri setelah makan malam. membiarkan mahasiswa sendiri
setelah makan malam.

Interpretasi: Bingung, kenapa


keluarga terlihat begitu Interpretasi: Setelah makan malam
memperhatikan pada kebanyakan adalah waktu untuk membiarkan
situasi, tetapi tidak pada waktu tamu sendiri karena masing-masing
setelah makan malam. anggota keluarga ada tugas lain.

Kebiasaan: Menyediakan waktu Kebiasaan: Setelah makan malam


keluarga untuk kebersamaan setelah adalah waktu personal seperti salat
makan malam. bagi umat Islam.
Di dalam peristiwa 1, 2, dan 3, mahasiswa kurang bisa menerima keadaan.
Bagi mereka, makan malam adalah waktu untuk keluarga berbagi/bersama/
bersahabat seperti di dalam kebudayaan Australia. Mereka menjadikan
makan malam untuk bersantai, kalau perlu mengundang tetangga atau
sahabat, menyajikan makanan yang enak-enak untuk mengakhiri hari sehari.
Setelah dianalisis kedua kebiasaan/kebudayaan, jelaslah bahwa situasi itu di
dalam kebudayaan Australia adalah waktu untuk bersama, tetapi di dalam
kebiasaan/kebudayaan Indonesia adalah waktu pribadi (personal space and
time alone).

Peristiwa CM berikut ini terjadi pada mahasiswa yang menyebabkan


perasaan seperti lebih dari sekadar kikuk, barangkali hampir merasa marah.

Observasi 4: Salah seorang mahasiswa meminta pertolongan seorang guru


untuk mencuci-cetak film. Keesokan paginya, dia terkejut menemukan para
guru telah melihat foto-foto itu bersama-sama tanpa seizinnya.

Observasi 5: Ketika pulang ke rumah keluarga, salah seorang mahasiswa


mendapatkan bahwa lemari pakaian di kamarnya telah terbuka. Dia tahu
bahwa sesuatu telah disentuh, seperti buku catatan hariannya. Meskipun
tidak ada yang hilang, dia bingung dan marah atas kejadian itu.

Australia Indonesia

Peristiwa 4: Mahasiswa meminta Peristiwa 4: Mahasiswa meminta


teman untuk memproses film. Hasil teman untuk memproses film. Hasil
proses itu terbuka dan dilihat oleh proses itu terbuka dan dilihat oleh
semua guru. semua guru.
Interpretasi: Marah karena milik Interpretasi: Para guru berasumsi
pribadi dilihat orang lain tanpa izin. bahwa hal itu boleh saja dilihat oleh
orang lain di kantor.

Kebiasaan: Tidak pernah ada akses


atau membuka milik orang lain tanpa Kebiasaan: Boleh saja melihat milik
izin yang punya. pribadi (foto) orang lain kalau tidak
terkunci.
Peristiwa 5: Mendapatkan milik Peristiwa 5: Mendapatkan milik
pribadi yang tersimpan di lemari yang pribadi yang tersimpan di lemari yang
tidak terkunci telah dilihat orang lain tidak terkunci telah dilihat orang lain

Interpretasi: marah karena anggota Interpretasi: Ada akses pada milik


keluarga telah melanggar hak-hak pribadi tamu karena lemari tidak
pribadinya terkunci

Kebiasaan: Tidak pernah ada akses Kebiasaan: Ada akses pada milik
pada milik pribadi orang lain tanpa pribadi orang lain sepanjang tidak
permisi terkunci.

Pada peristiwa 4 dan 5, mahasiswa marah karena merasa, sesuai dengan


kebiasaan di Australia, hal itu adalah kejahatan yang dapat dituntut di
pengadilan. Kebiasaan di Australia, tidak pernah ada akses untuk bisa
membuka barang-barang orang lain tanpa seizin pemiliknya; sedangkan di
Indonesia, karena tidak terkunci dan dibiarkan tidak terkunci, bisa saja ada
orang yang melihatnya.

Kasus-kasus berikut ini terjadi pada mahasiswa sehubungan dengan tema


yang berkaitan dengan hubungan personal dan rasa malu.

Observasi 6: Selama berada di Padang, mahasiswa sering melihat dua


orang laki-laki berjalan berpegangan tangan atau saling memeluk bahu.
Bahkan, kepada mahasiswa sendiri cendrung untuk dilakukan oleh orang
tersebut karena merasa berteman tetapi mahasiswa merasa malu dan
bingung.

Observasi 7: Karena merasa sudah akrab dengan rutinitas rumah tangga,


dengan semua anggota keluarga, mahasiswa (perempuan) merasa senang
duduk bersama ibu, anak-anak, dan pembantu. Mahasiswa kaget karena
tiba-tiba, tanpa malu, pembantu (juga perempuan agak tua) memeluk
mahasiswa dan menyentuh tangan dan lututnya.

Observasi 8: Sewaktu duduk bersama anggota keluarga, pada saat pertama


sekali (baru tiba dari Australia), mahsiswa langsung bertanya pada putri
tertua di keluarga itu tentang pacarnya. Pertanyaan itu langsung disambut
dengan tertawa besar oleh orang tua dan putrinya sendiri. Mahasiswa
merasa malu ditertawai begitu dan seolah-oleh ingin bertanya.

Australia Indonesia

Peristiwa 6: Teman sejenis Peristiwa 6: Memahami bahwa


berpegangan tangan dengan persahabatan mereka telah begitu
mahasiswa sepanjang jalan. dekat, terlihat dengan berpegangan
tangan di depan umum.

Interpretasi: Malu dan bingung Interpretasi: Berpegangan tangan


terlibat dalam situasi itu. menunjukkan bahwa persahabatan
telah begitu akrab.

Kebiasaan: Laki-laki sesama jenis


Kebiasaan: Laki-laki sesama jenis
biasa memperlihatkan persahabatan
tidak memper-lihatkan persahabatan
dengan menyentuh di depan umum.
dengan menyentuh di depan umum.
Peristiwa 7: Menonton televisi Peristiwa 7: Menonton televisi
bersama anggota keluarga dan bersama anggota keluarga dan
pembantu pembantu

Interpretasi: Mahasiswa merasa Interpretasi: Rasa dekat dengan


malu karena disentuh/dipegang- tamu dapat diperlihatkan dengan
pegang tangan dan lututnya oleh menyentuh atau memegangnya.
pembantu.

Kebiasaan: Kedekatan dengan


Kebiasaan: Kedekatan dengan anggota family dapat diperlihatkan
teman baru dapat diperlihatkan dengan menyentuhnya.
dengan komunikasi verbal.
Peristiwa 8: Pura-pura bertanya di Peristiwa 8: Pertanyaan diajukan di
depan orang tua tentang pacar si depan orang tua tentang pacar si
gadis. gadis.

Interpretasi: Malu dan bingung Interpretasi: Reaksi yang cukup


karena ditertawai bersama. keras terhadap pertanyaan yang
terus terang tabu seperti itu.

Kebiasaan: Tabu untuk menanyakan


Kebiasaan: Pertanyaan pura-pura
hubungan pacaran di depan orang
tentang hubungan pacaran seperti itu
tua.
biasa.

Pembahasan

Mahasiswa yang melaporkan pengalaman keterasingan budaya di


sekitar persoalan waktu makan juga melaporkan bahwa cara-cara yang
mereka gunakan untuk mengatasi persoalan bingungnya, pertama-tama,
adalah dengan “diam seribu bahasa” dan memperhatikan indikator-indikator
yang dapat dijadikan alasan untuk bertindak. Ia tidak ingin menanyakan
kepada keluarga kenapa dibiarkan makan sendiri atau pergi setelah makan
dan meninggalkannya sendiri. Tindakan diam ini diambil karena takut kalau
tindakan yang diambil justru dapat memperburuk suasana baik bagi dirinya
maupun bagi keluarga. Tetapi kemudian ia juga membicarakan dengan
teman sesama mahasiswa (dari Australia) untuk mencek apakah temannya
mengalami hal yang sama.

Mahasiswa yang mengalami persoalan tentang kasus cuci cetak foto


dan yang lemarinya dibuka tanpa seizinnya, juga mengambil tindakan diam
meskipun dalam hati terasa sakit karena hak pribadinya (hal yang sangat
mendasar dalam kebudayaan Barat) dilanggar. Kedua mahasiswa ini ,
akhirnya, hanya menyampaikan kepada koordinator program pada saat
program akan berakhir. Ia beralasan, tindakan diam diambil karena tidak tahu
tindakan apa yang harus diambil dan takut kalau bertindak justru akan
memperburuk suasana.

Mahasiswa yang mengalami “kedekatan persahabatan diterjemahkan


dengan sentuhan dekat” juga diam tanpa menolak. Baginya, diam adalah
untuk menyembunyikan rasa malu. Sebab, kalau memberi reaksi menolak
atau membicarakannya, ia takut teman tersebut tersinggung sehingga
perasaan sungkan itu ditahan saja. Sedangkan mahasiswa yang
ditertawakan karena pertanyaanya tentang pacar kepada putri keluarga juga
ikut tertawa supaya ada kesan “joke”, meskipun rasa malu tetap ada. Ia tidak
menyampaikan persoalan itu kepada siapa-siapa, kecuali kepada koordinator
program setelah program berakhir.

Dari cara-cara yang dilakukan mahasiswa untuk mengatasi/mereaksi


peristiwa-peristiwa keterasingan budaya terlihat bahwa “diam” adalah
tindakan yang dominan, disusul dengan memberitahu kepada koordinator
program setelah program berakhir, dan yang paling jarang adalah
membicarakannya dengan teman, dan sebagian lagi membiarkan peristiwa
berlalu begitu saja. Pada satu sisi dapat berarti bahwa mereka tidak berani
bertindak karena takut persoalan menjadi “melebar” tetapi pada sisi lain,
memang, karena tidak tahu bagaimana cara bertindak yang dapat
menyelesaikan masalah. Meskipun koordinator telah memberikan orientasi
kepada peserta sebelum berangkat ke Indonesia, dan sesampai di Indonesia
juga diberikan orientasi tentang budaya ditambah dengan suplemen di dalam
buku panduan tentang hidup di ranah Minang, mahasiswa tetap saja tidak
mengerti bagaimana cara terbaik menghadapi kasus CM. Hal itu disebabkan
karena apa yang disampaikan lebih bersifat teoritis, kurang praktis dan
hampir tidak ada yang bersifat kasus.
Terlihat bahwa dengan peristiwa sehari-hari, seperti waktu makan,
mahasiswa menunda untuk membicarakannya dengan orang lain (teman
atau koodinator) agar membuat perasaan terasingnya menjadi lebih baik
karena hal itu adalah rutinitas sehari-hari. Mahasiswa mencari hiburan dari
teman karena tidak mempunyai kontrol yang baik terhadap peristiwa sehari-
hari itu.

Bagaimanapun, dengan peristiwa “menyentuh” sesama jenis,


mahasiswa terlihat tidak membicarakannya dengan teman atau koordinator
karena menganggap peristiwa ini terjadi di luar kontrol mereka. Kelihatannya,
kedekatan dalam kebiasaan bersentuhan sesama jenis membuat situasi
begitu tidak terlukiskan untuk mahasiswa yang memendam semua perasaan
supaya membiarkan suasana berlalu begitu saja sebelum mereka dapat
membuat makna dari peristiwa ini.

Tetap diam dan menunggu orang lain bertindak adalah reaksi yang
dominan. Mereka tetap diam karena tidak tahu apa yang akan terjadi (reaksi
orang lain) jika memberi reaksi. Akankah mahasiswa yang menyaksikan
fotonya dipajang di ruang majelis guru berteriak atau merebutnya dengan
bengis? Tindakannya yang marah atau kasar boleh jadi menyebabkan
kebingungan di antara majlis guru dan mahasiswa sendiri.

Meskipun perasaan paling dalam tidak senang dan bingung, mereka


tidak berani mengambil tindakan nyata karena hal itu bisa menyebabkan
situasi lebih buruk. Sebenarnya, jika mereka langsung bertanya kenapa hal
itu bisa terjadi (“Kenapa foto saya dilihat?”) atau setelah beberapa saat
kemudian bertanya, “Apa boleh di sini melihat foto orang lain tanpa
seizinnya?” mungkin mereka akan mendapatkan jawaban atau penjelasan
untuk dapat memahami kebiasaan orang-orang di sekitar mereka. Begitu
juga, sewaktu ditertawai karena menanyakan pacar si gadis, mahasiswa
sebaiknya bertanya, “Apa yang salah, kenapa Anda tertawa? Dia mungkin
akan mendapatkan penjelasan terhadap situasi itu.

Mahasiswa harus menyadari bahwa mereka berada di dalam


kebudayaan lain yang berbeda. Tetap diam dan merasa berada di dalam
kebudayaan sendiri, sebenarnya, membuat situasi menjadi lebih buruk.
Sebagai orang asing, kita harus paham bahwa “bertanya” adalah bijaksana
jika kita ingin menghindari kesalahpahaman antarpribadi. Dengan bertanya,
setiap pihak akan tahu posisi masing-masing berdasarkan interpretasi
terhadap peristiwa karena suatu peristiwa bisa menimbulkan banyak
interpretasi dan interpretasi seseorang bisa sangat berbeda dari interpretasi
orang lain.

Di samping bertanya, kita harus juga bisa menjelaskan kebiasaan di


kebudayaan kita sendiri sehingga orang di sekitar kita mamaklumi jika
sesuatu yang membuat rasa rikuh telah terjadi. Jadi, kunci penyelesaiannya
adalah BERTANYA dan MENJELASKAN.

Bagi mahasiswa yang berbeda budaya, apa yang terlihat berbeda


akan tetap berbeda dan akhirnya akan sangat berbeda/mengagetkan dan
perasaan tertekan secara tetap. Akan tetapi, jika mereka memilih untuk
berbicara atau bertanya, kedua belah pihak, akhirnya bisa melihat sudat
pandang masing-masing, meskipun budaya tetap berbeda karena
kebudayaan tidak akan berubah, sementara peristiwa keterasingan budaya
terjadi lagi. Apa salahnya, pada situasi santai dan perasaan ringan
mahasiswa bertanya, “Kenapa Anda tidak makan bersama saya?” Dengan
demikian, situasi bisa cair dan masalah menjadi jelas, bahkan makan
sendirian tidak lagi terjadi. Tetap diam dapat menimbulkan stress.
Membiarkan masalah tetap tersembunyi dan menekan perasaan bisa
mencekik, apalagi menghindari kontak interpersonal karena takut mengalami
persoalan lain.
Reaksi dominan kedua adalah membicarakan perasaan dengan
teman. Mereka membicarakannya dengan teman dekat untuk dapat
mencurahkan perasaan atau ketertekanan. Tindakan jenis ini hanya diambil
setelah mengalami peristiwa rikuh/tidak menyenangkan. Dibandingkan
dengan diam, tindakan terakhir ini lebih bijaksana. Dengan berbicara kepada
teman, sekurang-kurangnya sudah ada dua atau beberapa orang yang
mengetahui bahwa sesuatu (CM) telah terjadi sehingga bisa didiskusikan.
Diskusi itu sendiri akan mengurangi rasa rikuh.

Semua hal di atas bukanlah CS. CS dapat dengan mudah dipahami dan
diselesaikan dengan banyak cara. Mahasiswa dapat melengkapi diri dengan
bacaan tentang sebuah budaya sebelum pergi ke daerah tersebut.
Sebaliknya, pada peristiwa CM, mahasiswa tidak mengerti sama sekali apa
yang salah, kenapa tiba-tiba dia mengalami hal yang “aneh”. Oleh sebab itu,
kadang-kadang, pengetahuan tentang suatu kebudayaan tidak bisa otomatis
membantu menyelamatkan seseorang dari kasus CM ketika masuk ke
kebudayaan itu.

Simpulan dan Saran

Pengalaman berada di dalam kebudayaan baru tidak saja bisa


menimbulkan CS tetapi juga CM. Jika CS dengan mudah dapat dikenali
seperti pusing karena cuaca dan menu makanan atau rasa rindu kampung,
sehingga mudah pula cara menanggulanginya, CM justru agak sulit dikenali
sehingga sulit pula dicarikan jalan keluarnya. Meskipun telah dipersiapkan
dengan baik untuk bisa melaksanakan pengalaman lapangan di luar negeri
dengan aneka informasi dan dokumentasi tentang CM dan CS, untuk hadir
dalam perbedaan-perbedaan, namun kasus CM tetap saja dialami.
Semuanya terjadi di luar kontrol.
Dalam menjalani kehidupan biasa sehari-hari di dalam kebudayaan
Indonesia (di Sumatera Barat), peristiwa yang tidak diharapkan ini
menyebabkan mahasiswa (peserta AIRAES) mengalami perasaan rikuh,
bingung, malu, dan juga perasaan marah. Akan tetapi, tidak ada yang
memberi reaksi secara agresif atau langsung menumpahkan kemarahan. Hal
ini memperlihatkan bahwa mahasiswa menyadari bahwa mereka mengalami
semacam keterasingan budaya. Keputusan mereka untuk tetap “diam”
adalah bagian dari cara untuk menunggu waktu mereka dan menunggu
sampai mereka dapat membuat makna yang lain dari peristiwa, menunggu
dan mengobservasi apakah mereka dapat mengontrol di masa datang atau
apakah bantuan diperlukan. Peristiwa sehari-hari itu, dapat dikatakan,
menghendaki mahasiswa membicarakan dilemanya dan mencari cara-cara
terbaik untuk menyelesaikannya bersama teman. Walaupun sebagian dapat
dipahami karena ada penjelasan khusus, tetapi tetap ada peristiwa yang tabu
untuk mahasiswa ini yang di luar kelaziman yang mereka alami.

Bagaimana menimbulkan keberanian kepada mahasiswa ini untuk


mengajukan pertanyaan langsung adalah masalah yang perlu dicarikan
jawabannya. Barangkali hal ini adalah bagian yang harus dijelaskan pada
waktu orientasi, ketika mahasiswa baru masuk ke budaya baru.

Semua mahasiswa menganggap bahwa program AIRAES sangat


bernilai bagi mereka secara pribadi dan profesi dalam mengawali karir
mereka sebagai guru bahasa asing di masa datang. Sebagai koordinator
yang terlibat di dalam melaksanakan pertukaran mahasiswa lintas budaya ini,
kami sangat merekomendasikan cara-cara yang dapat diadopsi oleh
mahasiswa AIRAES sebagai penyesuaian lintas budaya dan aspek-aspek
saling memahami dari program pertukaran ini. (1) Sadari bahwa keterasingan
budaya akan terjadi pada waktu yang tidak disangka-sangka dan tidak
diharapkan. (2) Tetap tenang/diam terlebih dahulu (kecuali berbahaya atau
sangat di luar kelaziman) dan sadari bahwa peristiwa ini mungkin CM yang
cukup menarik. (3) Pastikan, setelah peristiwa terjadi, apakah ada unsur
kontrol dalam situasi itu. Jika seseorang berada pada posisi dapat
mengontrol dan peristiwa bisa tidak terjadi lagi sebagaimana sebelumnya,
tidak perlu penjelasan dibuat untuk orang lain. Akan tetapi, jika seseorang
berada pada posisi tidak bisa mengontrol situasi, dialog harus dimulai dengan
orang-orang tertentu. Bertanya untuk klarifikasi adalah kunci untuk diri sendiri
dan menjelaskan posisi diri sendiri adalah kunci untuk orang lain.

Artikel ini ditulis berdasarkan penelitian yang berjudul “Interpreting Cultural


Mismatch: Pre-Service LOTE Teacher s’ Strategies for Meaning Making”
dalam rangka dan dibiayai oleh Program AIRAES, Universitas Tasmania,
Australia, 1998. Tahun 1999 akan dikumpulkan data yang sama dari
mahasiswa fase I yang pernah ke Tasmania.

Daftar Kepustakaan

Banks, J.A. 1998. “The Lives and Values of Researchers: Implications for
Educating Citizen in a Multicultural Society”, Educational Researcher,
Vol.27, No.7.
Fitzgerald, H. 1998. Cross-cultural Communication
Hill, B. & Thomas, N. 1997. “Educating for Cultural Understanding in Rural
Communitiess: A Case Study”, Education in Rural Australia, Vol. 7.
No.1.
Houser, N. & Kloesel, C. (Eds.) 1992. “The Essential Peirce”: Selected
Philosophical Writing, Volume I (1867-1893). Indiana University Press.
Knowles, J. G & Cole, A.L. 1996. “Developing Practice Through Field
Experiences”, in Murray, F.B. (Ed.) The Teacher Educator’s Handbook:
Building a Knowledge Base for the Preparation of Teacher. Jossey-
Bass Publishers: San Francisco.
Lo Bianco, J. 1998. “The Implications for Languages of the Emergence of
the International University”. Australian Language Matters. Vol. 6,
No.4, Oct/Nov/Dec.
MacNeal, F. 1995. “Cultural Misunderstanding: The France-American
Experience”, A Review of General Semantics, Vol 52, No. 1, Spring.
Melnick, S.L. & Zeichner, K.M. 1998. “Teacher Educator’s Responsibility to
Address Diversity Issues: Enhencing Institutional Capacity” Theory Into
Practice, Vo. 37, No. 2, Spring.
Minner, S. et all. 1995. “Benefit of Cultural Immersion Activities i a Special
Education Teacher Training Program”, in Reaching to the Future:
Boldly Facing Challenges in Rural Communities (Conference
Proseeding of the American Council on Rural Special Education
(ACRES), Las Vegas, Nevada, Marc 15-18.
Morine-Dershimer, G. & Leighfield, K. 1995. “Student Teaching Field
Experiences,” in Anderson, L.W. (Ed.) International Encyclopedia of
Teaching and Teacher Education (second edition) Pergamon.
Pine, N. 1992. “Three Personal Theories That Suggest Models for Teacher
Research”, in Teacher College Record, vol. 93, No.4, Columbia:
Columbia University.
Pine, N. 1999. “Understanding Cultural Mismatch: Tools for Teacher-Student
Intercultural Communication”. Paper presented at The 40th
International World Education Fellowship conference Educating for a
Better World: Vision to action, Tasmania, Australia, January 2.
Pine, N. & Yafei, Z. 1997a. “Ethnocentricity and Cultural Disequilibrium:
Critical Analitical Tools in Comparative International Research”. Paper
presented at the Reclaiming Voice: Ethnographic Inquity and
Qualitative Research in a Postmodern Age Conference, University of
Southern California, June 20-22.
Pine, N. & Yafei, Z. 1997b. “Cultural Disequilibrium- A Lens for Comparative
International Research”. Paper presented at the Reclaiming Voice:
Ethnographic Inquity and Qualitative Research in a Postmodern Age
Conference, University of Southern California, June 20-22.
Saljo, R. 1994. “Culture and Learning”, in Husen T & Postlethwaite T.N.
(Ed.)199? The International Encyclopedia of Education: Volume 3,
pp.1241-1246.
Stachowski, L.L. & Mahan, J.M. 1998. “Cross-cultural Field Placements:
Student Teachers Learning from Schools and Communities”. Theory
Into Practice, Vol 37, No.2, Spring. Pp 155-162.
Tyson, C., Benton, P.L., Christenson, B., Golloh, A. & Mamourne Traoure,
O. 1997 Chapter 4: “Cross-cultural experiences in Teacher Education
Courses” in Merryfield, M.M., Jarchow, E. & Peckert, S. “Preparing
Teachers to Teach Global Perspectives” : A Handbook for Teacher
Educators. Corwin Press Inc.
Wiest, L.R. 1998. “Using Immersion Experiences to Shake Up Prospective
Teachers’ Views About Cultural Differences”. Journal of Teacher
Education, Vol. 49, No. 5, p.358ff.
Atmazaki adalah dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FBSS
Universitas Negeri Padang Padang; Ketua Pusat Kajian Humaniora
Universitas Negeri Padang; Koordinator program AIRAES 1998 di
Padang, Sumatera Barat.
Lesley Harbon adalah dosen Primary LOTE Fakultas Pendidikan
Universitas Tasmania; Koodinator Proyek AIRAES 1998 di Tasmania,
Australia

View publication stats

You might also like