You are on page 1of 120

Daftar lsi

Pengantar Redaksi Ill

KataSambutan Kapolri Jendral Polisi Da'i Bachtiar


pada Seminar Kajian Ilmu Kepolsian. MemperingatiSe windu Program
Pascasarjana Kajian llmu Kepolisian, Universitas Indonesia,
2 September 2004 ................................................................................. •

Awaloedin Djamin
Sejarah dan Keadaan Pendidikan Tinggi Kepolisian di Indonesia:
Masalah dan Prospek. ........................................................................... 6
Mardjono Reksodiputro
Ilmu Kepolisian dan Perkembangannya di Indonesia............................... 15

Satjipto Rahardjo
Perubahan Pardigrna Pemolisian di Indonesia. ......................................... 24

E. Winarto H.
Membangun Polri Sebagai PolisiSipil yang Profesional dan Demokratis. ... 31

Farouk Muhamad
lmplementasi Ilmu OrganisasiSebagai Cabang dari Ilmu Kepolisian Dalam
Menganalisa Organisasi Polri ....... ... ....... ........................... .... ................. 42

Parsudi Suparlan
Polisi Dalam Masyarakat Majemuk Indonesia......................................... 51

Awaloedin Djamin
TNI dan Reforrnasi: Tanggapan Atas RUU TNI ..................................... 61

AriefSulistyanto
Membangun Kepercayaan masyarakat ................................................... 66

Chryshnanda DL
(, Fungsi lntelijen Pada Tingkat Polres....................................................... 99
Pelindung J URNAL POLISI INDONESIA diterbitkan dengan
Ketua Program KIK tujuan ikut mengembangkan ilmu kepolisian, ilmu
sosial dan budaya. Redaksi menerima sumbangan
Pemimpin Redaksi artikel baik yang bersifat teoritis, hasil penelitian
Parsudi Suparlan maupun studi kasus. Karangan tidak harus
sejalan dengan pendapat Redaksi.
Redaktur Pelaksana
Bambang Hastobroto Kriteria artikel yang dapat dimuat dalam jurnal ini:
Aries Budiman • Hasil-hasil penelitian llmu Kepolisian menganai
Edy Murbowo satu masalah masyarakat, keamanan dan
F. Sidikah R. ketertiban masyarakat, khususnya
kriminalitas (patologi sosial) terutama di
Redaktur Usaha Indonesia.
Chryshnanda DL.
Hasil penelitian terapan di bidang llmu
Dewan Redaksi Kepolisian, Administrasi, Hukum Kepolisian
Parsudi Suparlan dan Teknologi Kepolisian yang berguna bagi
Awaloedin Djami n pembangunan Polri sebagai lembaga.
Mardjono Reksodiputro Pembahasan diskusi mengenai teori/
Farouk M uhammad metedologi dalam llmu Kepolisian atau ilmu­
K unarto ilmu sosial lainnya; dan tinjauan buku terhadap
Koesparmono lrsan buku teks kepolisian atau ilmu-ilmu sosial
lainnya.
Bendahara
Edy Murbowo Mohon agar disertakan abstrak maksimal 200 kata
dalam bahasa lnggris untuk artikel berbahasa
Sirkulasi Indonesia atau sebaliknya. Semua catatan dalam
Nurhadi Yuwono artikel hendaknya tersusun rapi dengan ketentuan
Budi Yuniarsa penulisan ilmiah yang berlaku. Catalan kaki agar
Fitri S. Rachman ditulis dibagian bawah artikel. Daftar Pustaka
Prabowo Argo agar dibuat menurut abjad nama pengarang
dengan contoh sebagai berikut:
Lay Out & Cetak Geerts, C.
Effendy Soenaryo 1984 'Tihingan: Sebuah Desa di Bali', dalam
Kontjaraningrai (ed.). Masyarakat desa
ISSN 1441-0962 di Indonesia, Jakarta: Ekonomi Universitas
�larang menggandakan, menyalin, atau Indonesia, h. 246-274.
menerbitkan ulang artikel atau bagian­ Koentjaraningrat.
bagian artikel dalam jurnal ini tanpa seijin
Redaksi 197 4 Manusia dan Kebudayaan di Indonesia,
J;:ikarta" Penerbit Djambatam.
Alamat Redaksi:
Program Pascasarjana KIK-UI Sertakan nama lengkap. organisasi/lnstitusi,
JI. T irtayasa Raya No. 6 biodata singkat, alamat dan nomor telepon/fax/
Telp.: 021 - 726 5414; 728 01762 e-mail.
Fax.: 021 - 725 8374 Tulisan agar menyertakan disket atau dikirim via
e-mail: JPl@vision.net.id e-mail

Jurnal Polisi lntlonesia terbit 2 kali setahun Harga langganan Rp. 50.000,00 pertahun. Harga
sudah termasuk ongkos kirim, dibayar di muka.
Dicetak oleh:
Cv Adicipta Grafinda Harga eceran Rp. 25.000.00/US $ 25.00
PENGANTAR REDAKSI
JURNAL POLISI INDONESIA NO. 7, 2005

Sajian utama dalam jumal POLIS! INDONESIA No. 7 ini adalah kumpulan
tulisan yang disampaikan dalam Seminar Sewindu Program Pascasarjana Kajian
Ilmu Kepolisian, Universitas Indonesia (KIK-U.l.), yang diselenggarakan pada
tanggal 2 September 2004 di Jakarta. Disamping itu juga disajikan tulisan-tulisan
yang menurut pertimbangan Redaksi berisikan pendapat atau tesis yang langsung
atau tidak langsung mendukung atau mempunyai kaitan dengan tema yang ditekankan
pada tulisan-tulisan yang disampaikan dalam tulisan-tulisan menyambut Sewindu
berdirinya KIK- U .I.
Terna utama yang ditekankan dalam tulisan-tulisan menyambut Sewindu KIK­
U.I. adalah fungsi polisi dalam masyarakat Indonesia sebagai pengayom, pelindung
dan pelayan masyarakat; sebagaimana yang dinyatakan secara eksplisit dalam visi
dan misi Polri. lni adalah sebuah visi yang merupakan sebuah paradigma baru dari
Polri yang menggeser dan mengubur paradigma Polri yang Jama, yang penekanannya
pada pola-pola tindakan represif, yang merupakan produk dari dijadikannya Polri
sebagai hagian dari ABRI selama 32 tahun di bawah pemerintahan presiden Suharto.
Penekanan pada pengayoman, perlindungan, dan pelayanan masyarakat dengan
kata-kata Jain adalah menjadikan Polri sebagai Polisi sipil.
Polisi sipil adalah polisi yang secara organisasi merupakan sebuah pranata
atau institusi publik, bukan institusi militer. Sebagai sebuah institusi yang diberi
kewenangan menggunakan kekuatan dan kekuasaan untuk menciptakan keamanan
dalam masyarakat dan menciptakan serta memantapkan rasa aman dalam kehidupan
warga masyarakat, melalui program-program pengayoman, perlindungan, dan
pelayanan oleh petugas polisi, maka polisi di satu pihak adalah alat negara dan
pemerintah yang sah tetapi di pihak lain juga alat publik atau bagian dari masyarakat.
Karena polisi bekerja untuk kepentingan masyarakat, yaitu menjamin kesejahteraan
warga masyarakat secara umum melalui penciptaan dan pengendalian rasa aman
dan keamanan. Sehingga polisi mempunyai ciri-ciri seperti militer atau para-militer,
tetapi di pihak lain tidak bertindak seperti militer. Karena fungsi pelayanan adalah
fungsi utama dalam pemolisian dan bukannya penggunaan kekuatan kekuasaan
dengan kekerasan. Sebagai kekuatan sipil, maka polisi sebagai sebuah pranata
atau institusi publik juga harus memiliki akuntabilitas publik. Akuntabilitas publik ini
yang merupakan ciri utam_a dari polisi dan yang membedakannya dari pranata atau
institusi militer.

JURNAL POLISI INDONESIA 7, JULI 2005 ' ·l iii


Tulisan dalam jumal POLISI INDONESIA ini dimulai dengan penyajian
kata sambutan atau keynote speech oleh Kapolri Jendral Da 'i Bachtiar. Yang inti
dari pesan-pesan beliau adalah kesadaran akan fungsi polisi yang profesional dan
sipil yang mengemban visi dan misi Polri dalam menghadapi dan memantapkan
proses-proses demokratisasi dalam pembangunan dan modemisasi dengan segala
dampaknya baik pada tingkat lokal, nasional, dan global. Tulisan berikutnya dari
Profesor Dr. Awaloedin Djamin yang menguraikan sejarah pendidikan tinggi
kepolisian di Indonesia yaitu PTIK, yang intinya adalah pendidikan tingkat tinggi
kepolisian atau PTIK adalah sebuah pendidikan kepolisian yang menghasilkan
pemikir Polri dan perwira-perwira Polri pelaksana pemolisian yang tangguh karena
dosen-dosennya adalah para gurubesar terkenal dari universitas terkemuka dan
juga dari para pejabat-pejabat negara yang profesional. Sehingga alumni PTIK,
menurut Prof. Awaloedin Djamin adalah jaminan kerja dan karier dalam Polri.
Tulisan ke-tiga disajikan Prof. Mardjono Reksodiputro, SH, MA. yang
menyajikan Ilmu Kepolisian dan perkembangannya di Indonesia. Tulisan ke-empat
adalah dari Profesor Dr. Satjipto Rahardjo yang menyajikan pembahasan mengenai
perubahan paradigma pemolisian di Indonesia, dari yang bercorak militeristik dan
represif menjadi pemolisian yang bercorak sipil dengan penekanan pada pelayanan
masyarakat. Menurut beliau, dalam masyarakat demokratis seperti Indonesia, yang
tepat adalah berfungsinya polisi sipil dan bukan polisi yang represif. Tulisan ke-lima
adalah yang disajikan oleh Ors. E. Winamo, MSi yang menyajikan dan membahas
perlunya membangun Polri sebagai polisi sipil yang profesional dan demokratis.
Tulisan ke-enam disaj ikan oleh Profesor Dr. Farouk Muhammad yang menyajikan
dan membahas implementasi ilmu organisasi dalam menganalisa organisasi Polri.
Tulisan-tulisan dari Seminar Sewindu KIK.-U.I. diakhiri oleh tulisan Profesor Dr.
Parsudi Suparlan dengan judul Polisi dalam Masyarakat Majemuk Indonesia. Isi
tulisan menjelaskan hakekat masyarakat majemuk Indonesia yang mempunyai
kecenderungan otoriter dan kesukubangsaan yang berjenjang sehingga rawan
konflik yang dapat memecah bclah kesatuan dan persatuan bangsa. Menurut
pendapatnya Polri perlu mengadopsi ideologi multikulturalisme untuk diterapkan
dalam program-program pemolisian guna meredam berkembangnya potensi konflik
antar-sukubangsa yang dapat memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.
Untuk itu dengan mengacu pada pengalaman Amerika Seikat yang masyarakatnya
pada dasamya juga bercorak majemuk dengan jenjang kesukubangsaan yang jelas
dan ketat melalui idiom ras, telah mengadopsi multikulturalisme dan pemolisian
komuniti untuk diterapkan dalam program-program pemolisiannya, sehingga dapat

iv JURNAL POLISI INDONESIA 7, JULI 2005


multikulturalisme dan pemolisian komuniti untuk diterapkan dalam program-pro-
�,• ., gram pemolisiannya, sehingga dapat meredam eskalasi konflik antar-sukubangsa
dan antar-ras dan membangun polisi sipil yang profesional. Sebagai catatan, Polri
dewasa ini telah mengadopsi dan menerapkan program pemolisian berorientasi
komuniti (community oriented policing) di beberapa daerah, tetapi belum
memikirkan untuk mengadopsi ideologi multikulturalisme.
Tulisan-tulisan lainnya yang langsung atau tidak langsung berkaitan dengan visi
dan misi Polri, dan terutama berkaitan dengan fungsi polisi sebagai polisi sipil
adalah yang disajikan oleh Prof Awaloedin Djamin, Drs. AriefSulistyanto,
MSi, dan Drs. Chryshnanda DL, MSi. Ketiga tulisan ini menutup rangkaian
sajian tulisan dalam jurnal ini.

. • v
JURNAL POLIS! INDONESIA 7, JULI 2005
Kata Sambutan
Kapolri Jendral Polisi Da'i Bachtiar
Pada Seminar Kajian Ilmu Kepolisian
Sewindu Program Pasca Sarjana Ilmu Kepolisian,
Universitas Indonesia
2 September 2005
YSH. Ketua Program Pasca Sarjana VI
Ketua Program KIK
Para Peserta Seminar
Para hadirin dan undangan sekalian yang berbahagia

Assalamu 'alaikum Wr. Wb.


Salam sejahtera bagi kita sekalian
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadiratTuhan Yang Maha
Esa, karena atas limpahan rahmat dan Ridho-Nya sehingga kita sekalian berada
dalam keadaan sehat wal 'afiat dan dapat menghadiri seminar Ilmu Kepolisian dalam
rangka Sewindu Kajian Ilmu Kepolisian.
Pada kesempatan yang berbahagia ini, saya selaku pimpinan Polri dan selaku
pribadi menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Panitia Sewindu KII<.­
UI, atas undangan dan prakarsa menyelenggarakan Seminar Ilmu Kepolisian dalam
rangka Sewindu Kajian Ilmu Kepolisian.
Para Peserta Seminar Sekalian yang Berbahagia
Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa tantangan tugas Polri, baik saat
m1 maupun dimasa yang akan datang tidak akan terlepas dari pengaruh
perkembangan lingkungan strategis, baik yang berskala nasional, regional maupun
global. Pengaruh era globalisasi dan informasi terasa menyentuh di segenap segi
kehidupan bangsa, baik di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, keamanan
dan lain-lain. Yang berimplikasi pada terjadinya gejolak sosial yang dapat mengganggu
stabilitas keamanan, ketentraman dan ketertiban masyarakat.
Desakan issue keterbukaan, demokratisasi dan HAM dalam masyarakat
semakin marak dan meluas, sehingga menyentuh lapisan masyarakat yang paling
bawah. Hal ini sering menjadi masalah yang serius bagi pemerintah dan penegak

JURNAL POLIS! INDONESIA 7. JULI 2005 · .• 1


hukum, dimana masyarakat cenderung mengedepankan penyelesaian yang bersi fat
konfrontatif dari pada melalui saluran hukum yang benar. Apa yang mereka nilai
tidak sesuai dengan harapan ditempatkan sebagai penindasan, rekayasa, ketidak­
adilan, mafia peradilan, KKN dan lain-lain.
Namun demikian, pembangunan nasionaljuga telah menjadikan masyarakat
memiliki sikap cara berpikir dan berperilaku lebih modem, lebih kritis, lebih
berorientasi pada kepentingan, serta tingkat kepercayaan kepada informasi media
massa semakin tinggi. Masyarakat tidak mempan lagi ditakut-takuti oleh kekuasaan
dan rnitos. Mereka sudah lebih rasional, namun mudah dimanfaatkan bagi timbulnya
desas-desus dan kerusuhan.
Dengan gambaran masyarakat yang demikian Polri dituntut memiliki kualitas
personel dan organisasi yang tidak semata-mata bertindak berdasarkan Undang­
Undang, tetapi lebih mempertimbangkan kepentingan pengendalian sosial: Gaya
pemolisian harus berpihak kepada kepentingan masyarakat banyak, dengan petugas
yang kreatif dalam menentukan pilihan-pilihan cara bertindak menghadapi masalah
atau ketegangan sosial yang timbul. Petugas dituntut mampu menindak sambil
mengayomi demi tegaknya hukum, Ketertiban dan keadilan, disamping itu mampu
menertibkan tanpa menimbulkan kesan mengusik serta harus dapat memberikan
pelayanan terhadap segala kepentingan masyarakat tanpa harus merepotkan apalagi
merugikan.
Dalam menghadapi masalah tantangan tersebut di atas, telah saya tetapkan
visi Polri yaitu Polri yang mampu menjadi pelindung, pengayom dan pelayan
masyarakat, yang selalu dekat dan bersama-sama masyarakat; Penegak hukum
yang profesional dan proporsional serta menjunjung tinggi supremasi hukum dan
HAM; Pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat untuk mewujudkan
keamanan dalam negeri dalam suatu kehidupan nasional yang demokratis dan
masyarakat yang sejahtera, sehingga pembangunan Polri diarahkan menuju Palisi
Sipil (Civilian Pulice).
Sejalan dengan itu, penyadaran akan pentingnya peran serta masyarakat
dalam upaya pembinaan Kamtibmas mendapat perhatian yang seksama, sehingga
tumbuh kesadaran akan tanggung jawab bersama dalam mengelola upaya
pemeliharaan Kamtibmas dan penegakan hukum yang sesuai dengan fungsi dan
peran masing-masing, serta akan dibarengi dengan pemahaman dan pengertian
atas berbagai kendala keterbatasan yang dihadapi oleh institusi Polri dalam upaya
peningkatan profesinalismenya.

2 JURNAL POLIS! INDONESIA 7. JULI 2005


! Disamping itu, pengalaman membuktikan bahwa pengemban profesi
I kepolisian tidak hanya dituntut mampu mengambil keputusan secara tepat, tetapi
juga keputusan yang arif. Berarti nilai-nilai moral dan etika harus terns di pupuk
serta dikembangkan dalam kehidupan setiap anggota kepolisian.
Para peserta seminar yang berbahagia
Dalam rangka mencapai profesiohalisme kepolisian harus didukui;ig oleh
perbaikan aspek-aspek Jainnya yaitu:
1. Aspek hukum/perundang-undangan.
a. Hukum dan perundang-undangan sudah ada, tetapi masih ada diantara
aturan/Undang-Undang yang satu bertentangan dengan aturan/
Undang-Undang yang lainnya, bahkan ada ketentuan yang statusnya
dibawah bisa bertentangan/mengalahkan aturan yang Jebih tinggi.
b. Masih banyak Undang-undang/peraturan/hukum positif merupakan
produk zaman Belanda yang sudah tidak mampu mengakomodir
perkembangan situasi yang ada.
c. Balum lengkapnya Undang-undang/peraturan yang dapat dipakai untuk
menyelesaikan masalah-masalah yang berkembang.
d. Masih adanya ketentuan perundang-undangan yang pembuatannya
berpihak kepada penguasa, sehingga mengakibatkan Jemahnya dan
adanya keragu-raguan dalam menegakkan peraturan tersebut.
2. Aspek PenegakHukum Lainnya.
a. Status masing-masing institusi Penegak Hukum (Penyidik/Polri,
Penuntut Umum/Jaksa, Pengadilan/Hakim) masih sangat bervariasi
dan belum menunjukkan kesetaraannya.
b. Pembagian tugas dan tanggung jawab hukum, khususnya institusi
Penyidik masih ada yang di rangkap bahkan oleh institusi Penuntut
Umum serta Institusi diluar CJS.
c. Kinerja dan profesionalisme dari masing-masing instansi penegak
hukum masih dirasakan lemah dan selalu ketinggalan dengan dinamika
dan perkembangan masyarakat/teknologi/informasi.
3. Aspek Masyarakat.
a. Kemajemukkan masyarakat baik dari sisi adat/hukum, tingkat
pengetahuan dan penguasaan hukum.

JURNAL POLISI INDONESIA 7. JULI 2005 ' ·- 3


b. Kondisi sosial ekonomi yang masih sangat tajam perbedaannya antara
simiskin dan sikaya.
c. Lemahnya pengendalian/kontrol sosial oleh masyarakat yang selama
ini tidak dibangun,namun di era reformasi ini kontrol masyarakat yang
tergelar sangat luas, dimana terkadang tidak terkendali.
Keadaan seperti yang saya uraikan tersebut di atas kalau tidak segera
ditangani dan diakomodasikan secara serius,maka akan sangat berpengaruh terhadap
usaha membangun polisi yang profesional dan mandiri, sehingga jelas juga
berpengaruh terhadap kinerja Polri itu sendiri. Namun demikian Polri akan tetap
mengoptimalkan kinerjanya dan secara simultan berupaya mendorong, terutama
yang melibatkan kerjasama dan keterpaduan dengan fungsi/instansi lainnya.
Para peserta seminar dan hadirin sekalian yang terhormat.
Penerapan ilmu kepolisian hanya sebagian kecil dari masalah kepolisian,
karena kompleksitas masalah Pori dalam melaksanakan pemolisiannya harus
dilaksanakan dengan kemampuan dan sikap yang profesional, sedangkan
profesionalisme Polri dapat terwujud dengan kesiapan dari aparat kepolisian itu
sendiri (SOM Polri, sarana dan prasarana serta anggaran) didukung oleh aspek­
aspek lainnya seperti : aspek hukum/perundang-undangan dan masyarakat itu sendiri.
Kesiapan aparat disini berarti personel-personel Polri mempunyai kemampuan yang
cukup memadai,dengan jumlah personel pada ratio perbandingan dengan jumlah
penduduk I : 400 (tingkat internasional). Mempunyai sarana dan prasarana
pendukung yang cukup memadai, serta mendapatkan anggaran rutin dan operasional
yang sesuai dengan kebutuhan.
Disamping itu,perlu diimbangi pula dengan figur kepemimpinan Polri pada
setiap level, dalam arti memiliki sifat kepemimpinan yang utuh dan mampu
memotivasi dan menggerakkan anggotanya untuk senantiasa hadir dan siap
melaksanakan tugasnya,bersih dari KKN,jujur dan adil,serta memiliki wawasan
yang luas konsepsional,strategis serta mampu menjalin komunikasi dan koordinasi
dengan pimpinan instansi terkait. Memiliki ide-ide cemerlang dalam melaksanakan
tugasnya serta senantiasa konsisten dalam setiap langkah ucapan dan tindakan.

.
Peserta seminar dan hadirin sekalian yang saya hormati.
Dari uraian singkal di atas, ingin kembali saya tegaskan bahwa untuk
mencapai profesionalismc Polri tidak cukup hanya dengan meningkatkan ilmu

4 JURNAL POLIS! INDONESIA 7. JULI 2005


kepolisian saja, tetapi profesionalisme tersebut dapat terwujud atas kesiapan aparat
kepolisian itu sendiri didukung oleh aspek-aspek lainnya seperti aspek hukum/
perundang-undangan dan aspek masyarakat itu sendiri.
Akhimya demikianlah sambutan saya, selamat melaksanakan seminar,
semoga dapat menghasilkan solusi dan rekomendasi yang tepat dan aplikatif bagi
Polri dalam melaksanakan misinya, untuk melaksanakan tugas dan perannya dalam
rangka terpeliharanya Kamdagri.

JURNAL POLISI INOONESIA 7, JULI 2005 . ·• 5


Sejarah dan Keadaan
Pendidikan Tinggi Kepolisian di Indonesia :
Masalah dan Prospek
Awaloedin Djamin

I. Pendahuluan
Beda dengan dunia kemiliteran, yang banyak persamaan antar negara,
Kepolisian antar negara sangat beraneka ragam, tergantung dari sejarah, sistim
ketatanegaraan, landasan perundang-undangan dan sebagainya.
Tulisan-tulisan mengenai tujuan,peran, fungsi,tugas, pengorganisasian dan
sistim manajemen personil kepolisian,juga bermacam-macam, tidak hanya tulisan­
tulisan pakar luar negeri, tapi juga pakar dalam negeri.
Tulisan ini mengambil rumusan, visi,misi,tujuan,peran,fungsi,tugas pokok
dan tugas-tugas kepolisian negara RI, dari rumusan resmi berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia,terntama UU NO. 2. 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia.

II. Pendidikan tinggi dan Perguruan Tinggi Kepolisian


Pendidikan tinggi adalah tingkat pendidikan di atas pendidikan menengah
tennasuk yang terdapat di luar lembaga-lembaga Perguruan Tinggi yang diatur
dalam perundang-undangan. Perguruan Tinggi di Indonesia terdiri atas: I. Akademi,
2. Poli Teknik, 3. Sekolah Tinggi, 4. Institut,dan 5. Universitas.
Dengan demikian, SELAPA(dulu Sekkopol), SESPIM (dulu SESKOPOL)
ditambah dengan SESPATI adalah pendidikan tinggi yang tidak termasuk
dalam arti "Perguruan Tinggi".
Pada zaman Hindia Belanda, ada Kursus Komisaris Polisi, dimana salah
satu siswanya adalah aim. Bapak R.S. Soekanto. Kursus Komisaris Polisi adalah
pendidikan tertinggi kepolisian di zaman itu.
Dalam undang-undang Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa pendidikan
Akademi, Politeknik dan D3 adalah pendidikan profesi, sedangkan Sekolah Tinggi,
lnstitut dan Universitas adalah pendidikan akademis.

6 JURNAL POL/SI INOONESIA 7. JULI 2005


Penulis sewaktu menjabat sebagai anggota dan Ketua Badan Pertimbangan
Pendidikan Nasional, kurang sepakat dengan pembedaan profesi dan akademis
secara ketat. Bila akademis dianggap pendidikan yang memberikan gelar
kesarjanaan, itu mungkin benar. Banyak pendidikan di Perguruan Tinggi disamping
akademis sebenamya juga mendidik profesi seperti kedokteran, teknik, akutansi
dan sebagainya. Pendidikan administrasi atau manajemen di Perguruan Tinggi juga
merupakan akademis dan profesi, apa itu business administration, public ad­
ministration, hospital administration, police administration dan sebagainya.
Pengertian umum tentang "profession" dan "professionalism", antara lain
1. Menggunakan teori ilmu pengetahuan untuk pekerjaan.
2. Keahlian yang didasarkan pada pendidikan dan pelatihan berjangka
panpng.
3. Pelayanan yang terbaik bagi pelanggannya.
4. Memiliki otonomi dan cara mengontrol perilaku anggota profesi.
Yang diperlukan negara berkembang disamping pengetahuan (knowledge)
adalah skill, kemampuan atau ketrampilan disemua bidang, baik bidang teknis
ataupun bidang manajamen.
Ilmu pengetahuan pun membagi "pure science" dan "applied science"
Semua bidang profesi, pada umurnnya memiliki etika profesi masing-masing.
Demikian pula kepolisian. Hampir semua kepolisian di dunia memiliki rumusan
etika secara tertulis dan seperti semua etika; diharapkan agar semua anggota tidak
melanggar kode etik dan bersikap dan berperilaku sesuai profesi masing-masing.
Sering pula "code of ethics" disebut "code of conduct".

III. Akademi Polisi dan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian.


Pada masa revolusi fisik, Kepala Kepolisian Negara R.S. Soekanto dan
beberapa guru besar terkenal waktu itu menyadari, bahwa dalam alam kemerdekaan,
kepolisian Indonesia memerlukan perwira-perwira yang berpendidikan akademis.
Maka, pada tanggal 17 Juni 1946 didirikan "Polisi Akademi", kemudian berganti
menjadi A.kademi Polisi. Selama revolusi itu, Akademi Polisi membuka dua angkatan,
namun karena revolusi juga berarti perang mempertahankan kemerdekaan, kedua
angkatan tersebut sering dilibatkan dalam perjuangan kemerdekaan.
Setelah pengakuan kedaulatan, ibu kota RI kembali ke Jakarta, termasuk
Djawatan Kepolisian Negara RI (DKN). Kepala Kepolisian Negara, para guru

JURNAL POLIS! INDONESIA 7. JULI 2005 7


besar, setelah membahas keberadaan Akademi Polisi, menetapkan untuk
meningkatkan Akademi Polisi menjadi Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK)
yang resmi dibuka tahun 1950, yaitu perguruan tinggi kedinasan dengan memberikan
gelar doctorandus (Ors.), mengikuti sistim pendidikan tinggi Be Janda.
Buat pertama kali istilah "ilmu kepolisian" digunakan di Indonesia secara
resmi. Ini merupakan momentum bersejarah dalam dunia pendidikan tinggi di Indo­
nesia.
Angkatan I dan II Akademi Polisi masa revolusi, dipindahkan ke PTIK dan
merupakan angkatan I dan II PTIK. Jadi, angkatan pertama yang diterima pada
tahun 1950, menjadi angkatan ke III. Para guru besar dari Universitas Indonesia
yang terkenal waktu itu, seperti Prof. Djokosutono, Prof. Sunario Kolopaking
(kemudian menggunakan nama Sunario Sanyatawijaya), Prof. Sumitro
Djojohadikusumo, Prof. Prijono, Prof. Satochiq, Prof. Noach, Prof. Beerling, dan
lain-lain adalah guru besar-guru besar PT[K. Perkuliahan sebagian besar digabung
dengan Universitas Indonesia, terutama Fakultas Hukum.
Untuk mata pelajaran khas kepolisian, seperti dactiloscopy, kriminalistik,
sejarah kepolisian dan lain-lain ketrampilan dasar kepolisian diselenggarakan di
PT[K (Kampus jalan Tambak) atau di Sekolah Polisi Negara di Sukabumi. Untuk
bidang kriminalistik, Polri mendatangk::m guru besar dari Belgia, Prof. Gunsburg
dan Ceulenaar.
Dipengaruhi oleh sistim pendidikan Belanda perkuliahan dibagi untuk C 1,
C2, D 1 dan 02 dan mata pelajaran di PTIK sebagian besar adalah dibidang hukum.
Ilmu adrninistrasi atau manajemen belum dikenal waktu itu.
Walaupun PTIK dengan ilmu kepolisian diprakasai oleh guru-guru besar
terkenal Indonesia waktu itu dengan Ketua Dewan Kurator Sultan Hamengku
Buwono IX, dengan angota-anggota antara lain Menteri Dalam Negeri, Ketua
Mahkamah Agung, keberadaan ilmu kepolisian masih diperdebatkan dikalangan
perguruan tinggi Indonesia.
P erJuangan
. "status" PTJK ini berlarut larut, walaupun PTIK terus
berkembang dengan meluluskan para sarjana (doctorandus) sampai tahun 1978-
1979. Keberadaan PTIK dan ilmu kepolisian ini baru dituntaskan waktu penulis '
de
menjabat KAPOLRI pada tahun 1979, setelah bersama Menteri P & K Daud
0

Yusufmembentuk tim mernbahas secara mendalam tentang ilmu kepolisian. Kenapa


KAPOLRI yang baru menjabat dan menghadapi banyak masalah, langsung

8 JURNAL POLISI INOONESIA 7. JULI 2005


rnen gurus "statu s" PTIK'?. Salah satu sebabn ya adalah gagasan MABES ABRI
u ntuk membubarkan PTIK, karena tidak diken al di AD, AL dan AU.
Da lam SK bersama Men teri P & K dan KAPOLRI ditetapkan bahwa Uni­
versitas Indonesia menjadi Pembin aAkad emik dari PTIK dan Dekan PTIK dijabat
oleh Guru Besar Universitas Indonesia yan g diangkat oleh Menteri P & K setelah
k onsultasi dengan KAPOLRI.
Kemudian Departemen P & K men etapkan Un ivers ita s Dipon egoro :;ebagai
pembin a akade mik Akademi Polisi.
Dekan pertama yang dian gkat dan dilantik Men teri P & K adalah Prof. Dr.
Har sya W. Bachtiar (aim.). Da lam upacara pelan tikan Dekan Prof. Dr. Harya W.
Bachtiar, M enteri P & K menyampaikan pidato tentang ilmu kepoli sian . Maka
secara resmi status PTIK telah ditun taskan dan tidak ada lagi alasan MABES
ABRI membubarkan PTIK.
Dekan PTIK bertan ggun gjawab dibidan g akademis dan Gubernur PTIK
dijabat oleh perwira tin ggi aktif Polri dan bertan ggungjawab dibidang kemahasi swaan
dan pembin aan : (Pada tahun 1950-an jabatan Gubernur itu disebut Selcretaris PTIK
kemudian Administratur PTIK).
Waktu Prof. Dr. Harsya W. Bachtiar ditarik ke Departemen P & K oleh
Menteri Fuad Hasan un tuk menjabat Kepala Badan Penelitian dan Pen gemban gan,
penuli s telah pen s iun da n men jabat Pen asehat KAPOLRI, Or s . Moh. Sanu si .
KAPOLRI, M . San usi , min ta pera n taraan penulis untuk merundingkan
den gan Men teri P & K tentan g calon pen gganti Prof. Dr. Harsya W. Bachtiar
sebagai Deka n PTIK. KAPOLRI Sanusi mencalon kan tiga nama, yaitu Prof.
Surjono Sukanto (aim.), Prof. Padmo Wahjono dan Prof. Sutjipto Rahardjo (dari
Un dip dan juga dosen PTIK).
Dalam pembicaraan penulis dengan Menteri Fuad Hasan , Men teri Fuad
Ha san mengatakan s ebaiknya Dekan PTIK itu diambi lkan dari Guru Besar UI
yang le bih menge rti tentan g Kepolisian RI. Men teri Fuad Hasan "men daulat" penulis
untuk men ggantikan Prof. Harsya W. Bachtiar, karena penulis adalah ju ga Guru
Besar UI semen jak 1980, jadi se suai dengan SK bersama Menteri P & K dan
KAPOLRI. Penulis mulanya menolak, narnun Men teri Fuad Hasan mende sak
dengan mengatakan, bahwa penul is sebaga i alumnus PTIK ma sak tidak rnau
mernbantu perkembangan PTIK. KAPOLRI M. Sanus i juga sependapat dengan
Menter i P & K. Maka jadilab penulis Dekan PTl.]( selarn 15 tabun , disarnp in g
menjabat Guru Besar UI dan Rektor Universitas Pancas ila (selama 12 tahun).

JURNAL POLISI INDONESIA 7. JULI 2005 9


PTIK angkatan ke III diambil dari umum dan perwira tamatan SMA. Sebagai
bagian dari ABRI, Polri mendirikan lagi AKABRI bagian Kepolisian. Dengan
dernikian terdapat dua lembaga perguruan tinggi di lingkungan Polri. Seperti diuraikan
di atas, disamping perguruan tinggi, Polri memiliki lembaga pendidikan tinggi, yaitu
SELAPA dan SESPIM. Keberadaan kedua lembaga pendidikan terakhir ini adalah
mengikuti kelembagaan yang ada di Iingkungan ABRI, yaitu SEKKO dan SESKO.
Polri membentuk SEKKOPOL (kemudian berganti SELAPA) dan SESKOPOL
(Kemudian menjadi SESPIMPOL), karena polisi tidak Jagi menggunakan istilah
"komando". Bila angkatan perang memiliki komando, seperti kompi, batalyon, ar­
mada dan squadron, maka Polri memiliki "komando kewilayahan"' yaitu Polres,
Polwil dan Polda.
Dalam perundang-undangan mengenai Sistim Pendidikan Nasional, AKPOL
dan PTIK termasuk perguruan tinggi kedinasan, karena itu diarahkan pada
kebutuhan personil Polri.
Pendidikan kedinasan dari tingkat tamtama, bintara, AKPOL, PT[K dan
SESPIM, serta juga semua pendidikan dan latihan kejuruan (Pusdik operasional
dan pembinaan) direncanakan dan dilaksanakan sebagai sub-sistem yang integral
dari sistim menajemen personil Polri. Karena itu syarat penerimaan dan seleksi
siswa (taruna/mahasiswa) serta pendidikan dan latihan harus mempunyai tujuan/
output yang jelas.
Terutama bagi pendidikan tinggi Polri, AKPOL, SELAPA, PT[K dan SESPIM,
pengaturan kurikulum, tenaga pengajar, metode belajar-mengajar dan sarana
pendidikan harus ada keserasian .. Keserasian dibidang pendidikan tersebut hanya
dapat dicapai dengan koordinasi fungsional yang tepat dan seksama. Tanpa
koordinasi untuk adanya keserasian tidak mungkin dihasilkan output lembaga­
Jembaga pendidikan seperti yang diharapkan.
Pendidikan dasar kepolisian di dunia adalah untuk mendapatkan anggota
yang memiliki pengetahuan dan kemampuan sebagai "general duty police" (dulu
namanya polisi tugas umum dan sekarang Sabhara), dari tingkat bawah sampai
tingkat tinggi, sesuai kepangkatan. Untuk mendapatkan bintara kejuruan reserse
misalnya, diambilkan dari bintara tugas umum dengan diklat tambahan dibidang
reserse.
AKPOL, SELAPA, PT[K dan SESPIM, bukan lembaga pendidikan kejuruan,
walaupun semua memiliki pengetahuan dan kemampuan sabhara sesuai
tingkatannya.

10 JURNAL POLISI INDONESIA 7, JULI 2005


AKPOL, SELAPA, PTIK dan SESP IM adalah lembaga pendidikan
manajemen kepolisian (police management), AKPOL untuk "supervisory level
police management" SELAPA, PTIK untuk "middle police management" dan
SESP IM untuk "high level police management".
Police management (atau police administration) adalah kata majemuk,
dan bukan terpisah police dan management, seperti hanya public administra­
tion, busine ss administration. hos pitas administration, dan sebagainya.
P erbedaannya terdapat pada bidang substantif yang di manage.
Mengenai hubungan AKPOL dan PTIK, disesuaikan dengan ketentuan
pemerintahan, pendidikan AKPOL , yang profesi dan menghasilkan D3, dihitung
SKS-nya untuk kemudian bila masuk PTIK ditambah dengan SKS di PTIK, sehingga
memenuhi syarat untuk S 1.
Dengan demikian, harus ada sinkronisasi kurikulum AKPOL dan PTIK..
Disamping itu, sesuai dengan ketentuan dan juga kebutuhan P olri. AKPOL tetap
mengutamakan profesi, kemampuan dan ketrampilan (skill) supervisory level po­
lice management.
Masai ah yang telah bertahun-tahun dihadapi adalah jumlah tamatanAKPOL
dan daya tampung PTIK.
Sebenamya, dulu, telah ada kebijakan, bahwa tamatan AKPOL yang tidak
masuk PTIK dapat masuk SELAPA.Tujuan pendidikan, PTIK dan SELAPA sama,
yaitu kemampu�n middle police management dengan perbedaa� PTIK adalah
pendidikan akademis dengan gelar S l, Tamatan SELAPA dan PTIK setelah
memenuhi syarat dapat masuk SESP IM.
Masalah lain adalah karena keterbatasan penerimaan di PTIK, sedangkan
anggapan bahwa tanpa PTIK, seseorang perwira tidak akan memenuhi syarat
kenaikan pangkat dan karier, maka tidak dapat dihindarkan terjadinya penyalahgunaan
wewenang dalam penerimaan masuk PTIK.. Karena soal "syarat duit" telah berlarut­
larut, maka KAPOLR.I Drs. Da 'i Bachtiar, SH. menghapus praktek demikian dengan
meniadakan ujian dan seleksi PTIK bagi tamatanAKPOL. Semua tarnatanAKPOL
dapat langsung masuk PTIK, kecuali ada "cacat" yang dibuat oleh perwira yang
bersangkutan waktu praktek di lapangan.
Untuk ini daya tampung PTIK perlu diperluas, tidak hanya dengan
memperbanyak ruang kelas, tapi dengan merubah sistim semester menjadi
trimester, mengadakan praktek lapangan (magang) dan kuliah jarak jauh.

JURNAL POLISI INOONESIA 7. JULI 2005 11


Semua ini adalah hal yang baru, karena setelah waktu tertentu perlu dievaluasi,
agar mutu yang diharapkan tidak berkurang.
Yang agak aneh, dalam pendidikan ABRI khususnya di AKABRI (juga
AKPOL termasuk didalamnya) semenjak Orde Baru, tidak menerima wanita di
AKABRI. Aneh, karena di Amerika Serikat sudah sejak lama menerima wanita di
West Point, dan lain-lain bahkan sudah ada yang mencapai pangkat Letnan Jendral.
PTIK yang dulu menerima wanita, karena tergantung dari tamatan AKPOL, sudah
lama pula tidak mendidik polisi wanita. Hal ini, pertama, tidak adil (diskriminatif),
dan kedua, di kepolisian negara-negara maju polisi wanita sangat berperan. Oleh 1
karena itu penulis memprakasai adanya D3 di PTIK khusus untuk Polwan tamatan
SEBA Polwan. Karena jumlah Polwan tamatan SEBA (yang masuknya juga
tamatan SMA) sudah cukup banyak.
Setelah sekian lama baru ada Polwan tamatan D3, masuk PTIK yang
prestasinya sangat baik.
Yang tamat D3 Polwan yang masuk PTIK masih sangat terbatas. setelah
AKPOL dibuka buat wanita, penerimaan D3 terhenti. Penulis menyarankan agar
D3 Polwan diteruskan sampai tamatan AKPOL mencukupi, sehingga kesempatan
dan kebutuhan polisi wanita S 1 akan lebih proposional dibanding pria.
Seperti ditulis terdahulu, harus ada sinkronisasi antara AKPOL, SELAPA,
PTIK, SESPIM dan sekarang ditambah SESPATI.
Karena AKPOL, PTIK dan SESPIM terpisah satu sama Jain dan dipimpin
oleh Inspektur Jendral, sedangkan SELAPA termasuk lingkup direktorat pendidikan
dan latihan, maka kiranya Dewan Pendidikan dan Latihan (Wandiklat) diaktifkan
dipimpin oleh WAKAPOLRI dan bertanggung jawab kepada KAPOLRI. yang
disinkronkan tidak hanya kurikulum dan tenaga pengajar, tapi juga kepangkatan
yang disyaratkan.
Oulu SESKO, termasuk SESKOPOL adalah lembaga pendidikan bagi
perwira menengah (Letko! senior dan Kolone! Yunior) yang potensial untuk menjadi
Brigadir Jendral.
Pengadaan SESPATI hasii konsultasi dengan Lembaga Administrasi Negara
perlu dievaluasi terkait dengan evaluasi SESPIJ'vf yang perlu segera diadakan, apakah
SESPA'f.l perlu terus diadakan atau tidak.
SESPATI, LAN sendiri, yang semula diadakan untuk mendidik cal on pejabat

12 JURNAL POLIS! INDONESIA 7. JULI 2005


eselon I di Departemen dan Lembaga Pemerintah non Departemen, bagi Pegawai
Negeri Sipil,juga menghadapi berbagai masalah.

IV. Pendidikan Tinggi bagi Perwira Polri di luar lembaga di


lingkungan Polri.
Polri. Contohnya, 25 perwira yang ditugas belajarkan pada Fakultas
Kriminologi UI, setelah mendapat S 1, semuanya minta masuk PTI}$., karena
anggapan bahwa hanya sebagai tamatan PTIK karir mereka akan terjamin.
Fakta psikologis untuk masuk PTO< inilah bahkan juga SESPIM dan AKPOL,
menyebabkan bagi yang terlibat dalam penerimaan mahasiswa dan perwira siswa.
Hal ini harus dihapus atau ditekan serendah mungkin, agar prinsip "career with
merit system", sistim karier berdasarkan prestasi dapat ditegakkan dilingkungan
Pohi.
Belajar di perguruan tinggi di dalam negeri atas prakarsa dan biaya pribadi­
pribadi oleh lembaga Polri, tanpa mengganggu tugas kedinasan, sebenamya
merupakan hal yang patut didorong. Yang harus dicegah adalah "pembelian" gelar
yang melanggar UU Sisdiknas.
Tugas belajar, dalam dan luar negeri, untuk gelar dan non gelar, memang
harus direncanakan secara baik disesuaikan dengan kebutuhan dan tantangan Polri
dimasa depan. Hal ini memerlukan penataan sistim manajemen personil Polri
menyeluruh.

V. Prospek masa depan


Bahwa tantangan masa depan Indonesia cukup berat di era persaingan glo­
bal dan regional, sedangkan kita belum tuntas memulihkan krisis yang multi dimensi;
dampaknya tidak dapat tidak juga akan terasa pada Polri yang sedang merefonnasi
diri.
Dalam era reformasi, dimana rakyat Indonesia mengharapkan dan
mendambakan demokratisasi, civil society, good governance, kesejahteraan yang
lebih baik dan merata, supremasi hukum dengan keadilan, kepastian hukum yang
melindungi jiwa, harta benda dan hak-hak azasi manusia serta keamanan dan
ketertiban masyarakat, maka Polri juga harus mengadakan reformasi menyeluruh.
Reformasi yang telah dimulai semenjak tahun 1999, perlu terus dievaluasi dan
ditingkatkan.

JURNAL POLIS! INOONESIA 7. JULI 2005 13


Tantangan kriminalitas, terutama terorisme dan transnational crime telah
melanda Indonesia dengan memanfaatkan ilmu dan teknologi menambah
kompleknya tugas Polri. Demikian pula dampak keadaan politik, ekonomi dan sosial
seperti SAR.A, mengharuskan Polri mengikuti perkembangan keadaan secara cepat
dan seksama, agar dapat menyiapkan langkah-langkah preventif dan pre-emptif
yang tepat.
Untuk ini kehadiran KAPOLRI disidang-sidang kabinet sebagai "cabinet
member" (bukan menteri) sudah tepat, karena dengan demikian Polri dapat
mengamankan kebijakan-kebijakan pemerintah secara dini.
Dalam era reformasi, setelah Polri pisah dari ABRI, pembangunan Polri
cukup berarti, baik pembangunan sarana dan prasarana, maupun penambahan jumlah
personil. Prestasi Polri dalam menangani terorisme Born Bali dan Hotel Marriott
dapat dibanggakan menurut ukuran dunia. Hal ini telah menaikkan citra Polri dan
Indonesia di luar negeri.
Disamping tantangan external, Polri harus segera dan secara sistimatis dan
bertahap menangani tantangan internal.
Tantangan internal yang penting dan mungkin yang terberat adalah dibidang
pengorganisasian, tata cara kerja dan sistim manajemen personalia atau SDM,
dimana sistim manajemen pendidikan merupakan bagian integral yang penting.
Sebagai organisasi nasional yang besar dan komplek, hal yang tersebut diatas
tidak mudah bagi Polri untuk dipecahkan dan dilaksanakan.
Pendidikan tinggi kepolisian merupakan bagian dari seluruh manajemen
pendidikan, baik yang diselenggarakan oleh Polri sendiri, ataupun yang
diselenggarakan Polri pada lembaga-lembaga pendidikan tinggi di dalam dan di
luar negeri.
Tujuan pendidikan adalah mendapatkan anggota Polri yang berpengetahuan
dan berkemampuan sesuai kebutuhan, karena pendidikan Polri diarahkan pada
penempatan yang sesuai dan untuk pengaturan karier yang mendorong anggota
Polri untuk berprestasi. Dalam manajemen personil atau SDM, yang terpenting
untuk dibuat adalah rencana personil atau "manpower planning".
Bila Polri dapat menata diri semua dalam 5 tahun mendatang, maka
keberadaan Polri yang profesional, Polri sebagai pelindung dan pelayan masyarakat
akan lebih dirasakan oleh seluruh rakyat [ndonesia.

14 JURNAL POLISI INDONESIA 7. JULI 2005


Ilmu Kepolisian dan Perkembangannya di Indonesia
Mardjono Reksodiputro

- Kemampuan anggota-anggota profesi kepolisian untuk memberi


pelayanan yang berdayaguna dan tepat guna ..... banyak
tergantung pada perkembangan pendidikan tinggi Ilmu Kepolisian
dan perkembangan pengatahuan Ilmu Kepolisian yang hams
memberi isi pada pendidikan tersebut (Harsya W. Bachtiar, 1994,
hal. 83)
- The Journey ofa thousand miles begins with one step. Confucius:
557-479 seb. Masehi)

Sekilas Sejarah
Perkembangan ilmu kepolisian di Indonesia tentunya tidak dapat dipisahkan
dari pendidikan kepolisian di Polri. Pendidikan dalam masa Republik Indonesia
dapat dimulai dari pembentukan Akademi Polisi tanggal 17 Juni 1946. Setelah
pengakuan kedaulatan Desember 1949, maka Akademi Polisi pindah ke Jakarta
dan sejak 1 September 1950 diganti namanya menjadi Perguruan Tinggi Ilmu
Kepolisian. Kalau sebelumnya para mahasiswa berasal dari anggota polisi dan dari
umum (luar organisasi polisi), maka sejak 1951 dinyatakan bahwa hanya pegawai
kepolisian yang diterima sebagai mahasiswa (sejarah Kepolisian, 1999, h. 74-75;
122-124; Harsya W. Bachtiar, 1994, h. 51, 57).
Dalam staf pengajar PTIK ini terdapat sejumlah gurubesar yang tergabung
dalam dewan gurubesar dengan ketua Prof. Mr. Djokosoetono, gurubesar llmu
Negara, Tatanegara dan Filsafat Hukum di Universitas Indonesia. Disamping PTIK
tentunya ada berbagai macam pendidikan kepolisian yang lebih rendah tingkatnya,
yaitu Sekolah Palisi Negara (SPN; dalam tahun 1961 ada 23 sekolah, diseluruh
Indonesia) dan pendidikan lainnya, misalnya Balai Latihan Brimob (diberi nama
Sekolah Angkatan Kepolisian, dalam tahun 1961 ada 4 sekolah). Terdapat pula
Akademi Ilmu Kepolisian, yang dalam tahun 1965 diubah namanya menjadi Akademi
Angkatan Kepolisian, untuk pendidikan tahap bakaloreat (Sarjana Muda). Akademi
ini kemudian menjadi AKABRI (Akademi Angkatan Bersenjata R.l.). Bagian
Kepolisian (terjadi tahun 1965 dalam rangka integrasi Polri dengan TNI-AD, AL
dan AU) (Sejarah Kepolisian, h. 170-172; Harsya W. Bachtiar, 1994, h. 59).
Dari lintasan sejarah ini kita dapat menarik kesimpulan bahwa istilah "ilmu
kepolisian" mulai dikenal di Indonesia pada tahun 1950 dan hanya dipergunakan

JURNAL POL/SI INOONESIA 7, JULI 2005 15


untuk pendidikan tingginya. Menurut saya, dengan sedikit spekulasi, dapat dikatakan
bahwa penggagasnya adalah Ketua Dewan gurubesar PTIK pada waktu itu, yaitu
Prof. Mr. Djokosoetono. Karena eratnya kaitan antara fungsi kepolisian dengan
sistem negara dan tatanegara ini mempunyai perhatian yang besar pula pada
pembinaan dan pengembangan pendidikan kepolisian di Indonesia. Di Eropa
penelitian ilmiah tentang organisasi kepolisian dalam tatanan kenegaraan sudah
berkembang sejak pertengahan abad ke-19. Di Jerman kegiatan ilmiah ini dilakukan
dengan istilah "Polizeiwissenschaff' dan di Belanda dengan nama
"Politiewetenschap". Menurut Fijnaut, Muller dan Rosenthal ( 1999, h. XVIII -
XIX), untuk Be Janda pendekatannya dapat dibagi dua, yaitu dengan "pendekatan
tatanegara" (staatkundlge politiewetenschap) dan dengan "pendekatan
kriminologi" (criminologische politiewetenschap). Yang terakhir ini dapat
dipisahkan lagi antara yang difokuskan pada ilmu pengetahuan alam (menjadi
kriminalistik) dan yang mempunyai fokus pengetahuan tentang manusia (menjadi
antropologi kriminal; ingat Cesare Lombroso).
Penelitian Janjutan yang Jebih mendalam masih perlu dilakukan untuk
memahami mengapa gurubesar hukum tatanegara Djokosoetono dalam tahun 1950
mempergunakan istilah "ilmu kepolisian" untuk Jembaga pendidikan tinggi yang
akan mendidik perwira kepolisian. Juga mengapa dalam kurikulum PTIK sejumlah
gurubesar diikutsertakan yang memberi pelajaran tentang masyarakat lndonesiafll
(Prof. Hazairin, Prof Tjan Tjoe Siem dan Prof. Prijono; lihat Harsya W. Bachtiar,
1994, h. 75).

Perlu Kajian ten tang Kepolisian


Dalam tahun 1994, Harsya W. Bachtiar, gurubesar sosiologi dan Sejarah
Masyarakat, man tan Dekan PTIK ( 1980-1987), mengeluh ten tang langkanya
terbitan ilmiah dalam bahasa Indonesia untuk bidang ilmu kepolisian. Menurut beliau
kenyataan ini harusnya mendorong kita untuk " .... berusaha jauh lebih banyak agar
Ilmu Kepolisian .... dapat sungguh-sungguh disejajarkan sama dengan pengetahuan
keahlian profesi-profesi yang sekarang ini jauh lebih maju ... " (h. 34 - 36). Hanya
dua tahun setelah tulisan itu terbit(dan satu tahun, setelah tahun 1995 beliau wafat), 1
Universitas Indonesia secara serius menanggapi pemikiran beliau ini dengan
mendirikan Program Studi Kaj ian II mu Kepolisian (KIK) pada Program
Pascasarjananya dalam tahun 1996.
Be'rbeda dengan PTIK (pendidikan Sarjana) yang pada mula ( 1950-an)
kurikulumnya masih berfokus pada pengetahuan hukum, maka KIK (sehagai

16 JURNAL POLISI INDONESIA 7, JULI 2005


pendidikan Magister flmu Kepolisian) sudah memindahkan perhatiannya pada ilmu­
ilmu sosial _12> Lambatnya perkembangan ilmu kepolisian di Indonesia (I 980-1996 ),
enambelas tahun setelah Dekan Harsya W. Bachtiar mengubah pola pendidikan
dan kurikulum di PTIK, dapat dibahas melalui pengaruh politik dalam negara kita
terhadap pendidikan tinggi di Indonesia. Kita juga dapat melihatnya dari aspek
kepentingan politik yang ingin mempengaruhi dan mengendalikan organisasi
kepolisian dan pendidikan tenaga-tenaga ahlinya dalam bidang ilmu kepolisin.13l
Selama ± 30 tahun Polri (dan dengan demikian juga pendidikannya) meiupakan
bagian (terintegrasi) dalam angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI),
bersama TNI-AD, AL dan AU. Keadaan seperti tidak mengherankan, karena
kepolisian mempunyai wewenang yang sah mempergunakan kekuatan (force) atau
kekerasan (violence) fisik atas nama negara. Ini merupakan pelaksanaan dari
monopoli negara mempergunakan secara sah kekerasan dalam wilayah negaranya
(the states monopolizastion of legitimate force in is territory). Kewenangan
penggunaan kekerasan ini perlu dan ditujukan untuk memelihara keamanan di dalam
negen.
Dalam negara hukum yang mempunyai pemerintahan yang demokratis, maka
nonna umum yang harus berlaku adalah bahwa organisasi kepolisian akan tunduk
pada hukum dan kekuasaan demokratis yang ada. Yang dimaksud dengan kekuasan
demokratis adalah kekuasaan yang dibatasi oleh pertanggungjawaban (account­
ability) kepada rakyat (kedaulatan rakyat). Meskipun kepolisian diberi wewenang
mempergunakan kekerasan atas nama negara, namun ja_nganlah diartikan bahwa
kegiatan pemolisian (policing) adalah identik dengan penggunaan kekuatan atau
kekerasan. Kalau kita mau menerima pengertian bahwa kegiatan pemolisian adalah
aspek atau tahap dalam proses pengendalian sosial (social control processes),< 4 l
maka penggunaan kekerasan adalah ultima raLio (alat yang paling jarang
dipergunakan dan terakhir). Dalam melakukan tugasnya memelihara keamanan
dan ketertiban dalam masyarakat serta menegakkan hukum (Pasal 13 UU Kepolisian
2002), petugas kepolisian sebaiknya memperhatikan pendapat bahwa "pemolisian
yang baik adalah suatu 'seni ', bagaimana menghadapi situasi konflik tanpa perlu
melakukan pemaksaan" (good policing ... the craft of handling trouble with­
out resort to coercion - Robert Reiner, 2000, h. 6-7).
Dalam Era Refom1asi sekarang ini, dimana kita ingin membangun bersama
"polisi-sipil", maka kaj ian ilmiah (scient[fi.c studies) tentang kepolisian dan pemolisian
sangat diperlukan. Perkembangan pengetahuan ilmu kepolisian akan dapat membantu

JURNAL POLISI INDONESIA 7. JUL t 2005 17


kajian itu, khususnya kalau kita melihat pada kenyataan_ kemajemukan masyarakat
Indonesia dan makin kompleksnya permasalahan masyarakat kita ini. 151

llmu Kepolisian sebagai Cabang llmu Pengetahuan


Sebagai fakta, maka "ilmu kepol isian" ada di Indonesia dengan
dipergunakannya kata ini dalam nama PTIK, sejak 1950. Namun usaha untuk
menguraikan secara ilmiah keberadaan ilmu kepolisian ini sebagai suatu disiplin
tersendiri, baru dilakukan dalam tahun 1994 dalam buku Harsya Bachtiar, Ilmu
Kepolisian. Suatu Cabang Ilmu Pengetahuan yang baru. Dalam hal. 16 Harsya
Bachtiar berpendapat bahwa "Ilmu Kepolisian ... yang baru, terbentuk sebagai
basil penggabungan unsur pengetahuan yang berasal dari berbagai cabang ilmu
pengetahuan yang sudah lama...". Dikatakan selanjutnya bahwa "Ilmu Kepolisian
Jambat laun menjelma menjadi suatu cabang ilmu pengetahuan (discipline) yang
baru dan yang mempunyai identitas tersendiri...". Pada bagian pertama kutipan di
atas, memang ilmu kepolisian (yang baru) dilihat sebagai pengetahuan dengan
pendekatan "multi bidang", namun dalam bagian kedua dari kutipan di atas, kita
dapat menafsirkan bahwa dalam perkembangannya di Indonesia, ilmu kepolisian
akan "menjelma" dengan "identitas tersendiri", sehingga menjadi suatu pengetahuan
dengan pendekatan antar-bidang (interdisiplin). <6 >
Harsya Bachtiar (hal. 36) juga menginginkan bahwa perkembangan ilmu
kepolisian di Indonesia ini akan "... berakar pada kenyataan di masyarakat dan
kebudayaan lndonesia sendiri sesuai dengan masalah-masalah di lapangan yang
dihadapi anggota-anggota kepolisian Indonesia ...", untuk mengembangkan suatu
kerangka teori yang sesuai dengan tata keteraturan berfikir logika dan juga sesuai
dengan kenyataan-kenyataan ... di Indonesia, sebagai pengatur fakta-fakta, konsep­
konsep serta generalisasi-generalisasi ..." yang nantinya akan merupakan wujud
ilmu kepolisian Indonesia. Usaha untuk meneliti gejala-gejala sosial di Indonesia
dan menggambarkan kenyataan di masyarakat, kebudayaan dan lingkungan alam
Indonesia, yang relevan dengan pelaksanaan tugas Polri, telah dilakukan di Pro­
gram Magister KIK melalui sejumlah penelitian untuk tesis para mahasiswa. Juga
melalui Jumal Palisi Indonesia yang mulai diterbitkan oleh program studi KIK tiga
tahun yang lalu, para dosen dan mahasiswa mendapat kesempatan menyebar­
luaskan penemuan penelitian dan kesimpulan mereka.
0

Se lanjutnya, melalui penelitian dalam program doktor Ilmu Kepolisian,


diharapkan dapat dikembangkan "kerangka teori ... yang sesuai dengan kenyataan-

18 JURNALP0L1SIINDONESIA7. JULl2005
kenyataan di Indonesia". Pembentukan kerangka teori ini diharapkan juga membantu
dalam pemecahan secara efektif (tepat guna) permasalahan yang kini banyak timbul
dalam masyarakat Indonesia. Program doktor ini telah dimulai dalam tahun 200 I,
setelah lima tahun lamanya program magister berjalan.
Sekarang, sepuluh tahun setelah terbitnya buku Harsya Bachtiar dan sewindu
setelah berjalannya pendidikan Magister Ilmu Kepolisian di Universitss Indonesia,
dapatlah kita mulai lebih mengembangkan lagi dan mengisi Ilmu Kepolisi,an Indo­
nesia melalui pemikiran Parsudi Suprlan. Suparlan melihat ilmu kepolisian sebagai
ilmu pengetahuan yang mempergunakan pendekatan antar bidang dan mempelajari
"... masalah-masalah sosial dan isyu-isyu penting serta pengelolaan keteraturan
sosial dan moral dari masyarakat, ... upaya-upaya penegakan hukum dan keadilan,
dan ... teknik-teknik penyidikan dan penyelidikan berbagai tindak kejahatan serta
cara-cara pencegahannya" (TOR, Seminar Ilmu Kepolisian, h. 4)

Profesi Kepolisian dan llmu Kepolisian.


Sesuai pekerjaan hanya dapat dinamakan profesi, apabila pekerjaan itu
memerlukan sejumlah kemahiran (skill) dan pengetahuan (knowledge) yang
khusus, dan didasarkan pada persiapan akademik dalam ilmu pengetahuan tertentu.
Definisi sederhana ini memungkinkan kita melihat keterkaitan antara profesi
kepolisian dengan ilmu kepolisian. Selanjutnya harus diperhatikan pula bahwa ilmu
kepolisian itu harus terkait pada suatu perguruan tinggi yang mengembangkan ilmu
pengetahuan yang menjadi dasar pengetahuan keahlian profesi bersangkutan. Untuk
profesi kepolisian, pada waktu ini (2004), baru ada dua pendidikan tinggi yang
melakukan ha) itu. Untuk pengetahuan tingkat sarjana (S-1) hal ini dilakukan oleh
PTIK, sedangkan untuk pengetahuan tingkat magister (S-2) dan tingkat doktor (S-
3) ha) ini dilakukan di Universitas Indonesia. Oleh karena PTIK dan UI bersama­
sama merupakan kampus dimana ilmu kepolisian dikembangkan sesuai dengan
perkembangan ilmu kepolisian di dunia (di negara-negara dimana ilmu kepolisian
sudah lebih maju).
Salah satu cara mengembangkan pengetahuan ilmu kepolisian ini adalah
tentu saja melalui riset (penelitian ilmiah). Riset dapat didefinisikan secara singkat,
sebagai penggunaan prosedur baku dan sistematis dalam mencari pengetahuan
(the use o.f standardized and systematic procedure in the search of knowl­
edge) Pcngetahuan (knowledge) disini adalah fakta (factual knowledge) dan
yang dicari adalah fakta baru atau pemahaman yang lebih baik dari fakta yang ada

JURNAL PQLJSI 1N00NES1A 7. JULI 2005 19


(lama). Hasil penelitian ini akan membantu mengembangkan "boczr <f knowl­
edge" ilmu kepolisian dan diharapkan dapat membantu profesi kepolisian
meningkatkan kemampuannya.< 7 >
Dalam konteks pendapat tentang profesi dan ilmu kepolisian di atas, maka
kita juga dapat melihat bahwa "profesi polisi" mengacu pada adanya sejumlah
kemahiran dan pengetahuan khusus yang menjadi ciri perilaku, tujuan dan kualitas
(conduct, aims and quality) pekerjaan polisi. Sebagai seorang profesional, maka
seorang anggota Polri adalah otonom, netral dan independen. Dalam kaitan tentang
kedudukan cirganisasi kepolisian dalam bidang kekuasaan eksekutif (yang
mencerminkan kekuasaan partai politik), maka profesionalisme Polri akan berarti
dicegahnya campur tangan kalangan politisi dalam kegiatan kepolisian melakukan
tugas pokoknya secara profesional sesuai pasal 13 UU Kepolisian 2002. Terkait
dengan profesionalisme ini adalah juga ada pada setiap anggota kepolisian dalam
melakukan profesinya. Namun harus diingat dan dijaga secara terus-menerus,
bahwa "kewenangan atau kekuasaan profesi" melaksanakan diskresi (terdapat
juga pada profesi penuntut umum, profesi hakim dan profesi advokat) selalu
mempunyai rambu-rambu pembatas. Penggunaan diskresi secara yang tidak-disalah
gunakan harus dapat dikendalikan secara internal melalui kode etik dan sanksi
disiplin profesi. Tetapi juga harus disediakan mekanisme pengawasan ekstemal
berupa pertanggungjawaban secara hukum yang berlaku bagi semua warga sipil
(dimana polisi tidak dikecualikan - legal accountability). Penjabaran lebih rinci
tentang yang dimaksud oleh pasal 16 (2) dan pasal 18 ( 1) UU Kepolisian 2002
merupakan pula tugas ilmu kepolisian. Sejauhmana diskresi ini ("mengadakan
tindakan lain" dan bertindak menurut penilaiannya sendiri) telah dilaksanakan dengan
baik dalam kenyataan di Indonesia, merupak�n. topik kajian yang sah bagi ilmu
kepolisian.

Profesionalisme Polisi dan Hubungan Polisi dengan Masyarakat.


Profesionalisme polisi tidak dapat dilepaskan dari peranan yang diharapkan
oleh masyarakat tentang apa yang merupakan tugas pokok kepolisian (sebagai
organisasi). Secara formal ha! ini dapat kita temukan dalam Bab III UU Kepolisian
2002 (pasal 13-16). Tetapi bilamana ingin dilihat pandangan sederhana masyarakat,
maka hal ini akan mengacu pada dua fungsi : penegakkan hukum, dan penyelesaian
masalah .(co,�flict management; dalam pasal 2 UU Kepolisian 2002 termasuk
"pemeliharaan keamanan dan ketertiban"). Dalam fungsinya yang pertama, maka
akan terlihat sosok polisi profesional yang berani, menghargai atasan, dapat dipercaya

20 JURNAL POLISI INOONESIA 7. JULI 2005


menyelesaikan tugas dan taat pada perintah. Fungsi ini dapat kita lihat pada
"quasimilitary administrative structure" dalam kepolisian (klockars, 1988 ). Tetapi
· dalam fungsinya yang kedua, maka profesionalisme polisi yang diharapkan
masyarakat merujuk pada sosok polisi yang pandai (inteligen), mempunyai "akal­
sehat (common sense), keramahan (friendliness), menghormati individu (cour­
tesy) dan kesabaran (patience). Menurut Reksodiputro, inilah dua wajah polisi
yang mencerrninkan "ambiquity" (ambivalensi) masyarakat terhadap fungsi dan
peran polisi dalam kehidupan pribadi masyarakat (digc).mbarkan sebagai 1 'muka­
angker" dan "muka-tersenyum").
Ambivalensi masyarakat' 81 ini dapat kita lanjutkan pada hubungan polisi
dengan masyarakat. Polisi juga menunjukkan ambivalensi ini. Pendekatan polisi
pada penegakan hukum akan memfokuskan hubungan di atas pada apa yang oleh
komunitas harus dilakukan untuk membantu polisi mengendalikan kejahatan,
memberi kesaksian dalam penyidikan kejahatan, dan melaporkan adanya "orang­
orang yang mencurigakan" dalam lingkungan tempat-tinggal atau pekerjaan mereka
(orientasi lama Binkamtibmas). Sebaliknya pendekatan polisi pada menyelesaikan
masa !ah (dinamakan juga "peace-keeping orientation") akan lebih memfokuskan
hubungan polisi-masyarakat pada apa yang dapat dikerjakan bersama, sebagai mitra­
kerja, saling membantu dalam kemitraan. Karena itu mencegah kejahatan maupun
ketidak-tertiban merupakan tujuan penting kemitraan ini. Apabila polisi mencari
informasi, maka sifatnya adalah timbal-balik (mutual exchange) dan bukan semata­
mata sebagai kegiatan intelejen-polisi (Radelet, 1973, h. 55-56). Strategi yang
dicanangkan dengan semboyan kepolisian yang baru, "community policing"
(pemolisian komuniti), harus dilihat dalam pendekatan "penyelesaian masalah".
Sebagaimana terlihat dari istilah yang dipergunakan dalam strategi ini, esensinya
adalah pada partisipasi masyarakat yang didasarkan pada saling mempercayai dan
menghormati (mutual trust and respect), dimana masyarakat diberdayakan untuk
melindungi diri, sehingga warga akan menginsyafi bahwa arti "membantu polisi"
adalah membantu diri sendiri menciptakan komunitas yang lebih baik untuk kehidupan
seluruh warga.
Sernua yang diuraikan di atas banyak berrnuatan teori, konsep-konsep yang
diperjelas, dan juga harus dikembalikan pada kehidupan berrnasyarakat, berbangsa
dan bemegara di Indonesia. lnilah pengisian yang diperlukan untuk mengembangkan
ilmu kepolisian Indoensia, sesuai kenyataan-kenyataan di Indonesia. Skripsi (SI),
tesis (S-2) dan disertasi (S-3) dalam bi dang ilmu kepolisian akan sangat membantu
menjadikan "cabang ilmu pengetahuan yang baru" ini mendapat penghargaan pula

JURNAL POLISI INDONESIA 7. JULI 2005 21


dari profesi-profesi yang telah lebih ajeg di Indonesia. Terobosan yang dilakukan
oleh Universitas Indonesia, dengan membuka program pascasarjana magister dan
doktor ilmu kepolisian harus kita lihat pula dari segi ini.

Daftar Pustaka
1. Bachtiar, Harsya M.
1994 /!mu Kepolisian. Suatu Cabang llmu Kepolisian yang Baru. Grasindo
2. Fijnaut, Muller, Rosenthal (editor).
1999 Politie. Studies over haar werking en organisatie. Samson.
3. Klockars, Carl B.
1988 "The Rhetoric of Community Policing", dalam Klockars, Stephen D.
mastrofski. 2000. Thinking about Police. Contemporary Readings.
4. Radelet, Louis A.
1973 The Police and the Community. Glencoe Press.
5. Reiner, Robert
2000 The Politics ofthe Police. Oxford University Press.

Foot note:
(I) Prof. Dr. Hazairin adalah gurubesar hukumAdat; Proff. Dr. Tjan Tjoe Siem adalah gurubesar
Islam dan Kesusasteraan Jawa; Prof. Dr. R. Prijono adalah gurubesar Bahasa dan Sastra
Indonesia.
(2) Dalam kurikulum (2003) Program Studi Kajian llmu Kepolisian terdapat antara lain
(untuk semua mahasiswa) matakuliah: llmu kepolisian Indonesia, Sejarah Kepolisian,
filsafat dan Etika Kepolisian, Masalah Sosial di Indonesia, Perbandingan Sistim kepolisian.
Pcrubahan Sosial dan Pernbangunan, serta Masalah dan lsu HAM.
(3) Polisi din:imakan juga ''tangan kuat penguasa" (de sterke arm van de overheid). Karena
itu harus diterima bahwa kepolisian (sebagai organisasi) adalah bagian dari pcmerintah
(penguasa). Dan kalau dipergunakan pembagian "tiga-kekuasaan politik" (trias politica),
maka kepolisian adalah bagian dari eksekutif'. Sebagai bagian dari eksekutif (yang
mencerminkan kekuasaan partai politik), kepolisian tidak lepas dari "pengaruh politik".
karena itu "polisi yang netral dan independen" hanya berarti bahwa polisi tidak boleh
menjadi "alat politik" satu atau lebih partai politik. Dengan kata lain kepolisian sebagai
organisasi tidak bolch bertindak "partisan" dalam "konflik politik".
(4) Menurut Robert Reiner (2000, h.2.) pengendalian sosial oleh sejumlah teori sosiologi,
sebagai segala scsuatu yang menyumbang pada tcrciptanya ketertiban dalam masyarakat
, {sosial order). Namun demikian, ia ingin membatasinya pada: ".. . 1/ie orga11izcrl ,var. s i11
wich socie1,r respo11s lo hehm·ior a11d people ii regards as rlevia111. prohle111u1ic. ivon:1·­
.
i11g, 1hrea1hc11111g. 1ro11hle.1·0111e ro wtdl'rsirahle . .

22 JURNAL POLISI INDONESIA 7. JULI 2005


(5) Menu rut Harsya Bachtiar ( 1994, h. 9-10), bilamana melihat "lapangan kerja" Polri, maka
janganlah Indonesia dibandingkan Malaysia, Jepang, Korea, Jerman, Perancis, lnggris,
ataupun Amerika Serikat. Scbaiknya dibandingkan dengan keseluruhan benua Eropah
yang sedikit banyaknya mcmperlihatkan juga perbedaan-perbedaan seperti di Kepulauan
Indonesia.

(6) Harsya Bachtiar (h. 15) mengatakan bahwa memang "... cabang ilmu pengetahuan yang
baru cenderung memanfaatkan pengetahuan ... cabang ilmu pengetahuan yang telah lebih
dahulu diakui ... sehingga (akan) ... bersifat antar cabang ilmu pengetahuan (interdiscipli­
nary), sering juga disebut pengetahuan antar bidang". Beliau juga membedak'annya dari
"pengetahuan multidisiplin, pengetahuan yang diperoleh melalui sejumlah pengkajian
yang sesungguhnya terpisah satu dari yang lain, meskipun memusatkan perhatian pada
permasalahan yang sama". Prof. Parsudi Suparlan mengeritik pendapat Harsya Bachtiar
bahwa Jlmu Kepolisian yang baru cenderung mempergunakan pendckatan multi bidang
(multidisiplin), beliau (Suprlan) berpendapat bahwa ilmu kepolisian pendekatannya sudah
an tar bidang (sudah dan harus mempergunakan interdisciplinary approac/1).

(7) Dalam penelitian ini selalu harus diperhatikan apakah ada perrnasalahan yang bemilai
(worthwhile subject), disamping tentunya apakah ada metode penelitian yang mutahir
(up-to-date methods of investigation) yang dapat dipergunakan. Aspek lain yang harus
mendapat perhatian adalah kesulitan khusus yang akan ditemui dalam penelitian di bidang
ilmu kepolisian: akses terhadap data penelitian (responden takut memberi inforrnasi) dan
"bias" yang ada pada si-peneliti (menghayati nilai-nilai dalam kebudayaan kepolisian).
(8) Ambivanlensi masyarakat terdapat pula dalam hal diskresi kepolisian. Dalam bidang
pencgakan hukum (penyelidikan dan penyidikan) masyarakat lebih percaya bahwa polisi
akan memperhatikan prosedur resmi (atau sekurang-kurangnya berlindung dibaliknya).
Namun dalam bidang non-penegakan hukum (pemecahan masalah; conflict management,
"peace-keeping"), penggunaan diskresi ini lebih "kabur" sebagaimana terlihat dalam bunyi
pasal 19 UU Kepolisian 2002: "Untuk kepentingan umum· ... bertindak menurut
penilaiannya sendiri".

JURNAL POLIS/ INOONESIA 7. JULI 2005 · 23


Perubahan Paradigma Pemolisian di Indonesia
Satjipto Rahardjo
Pendahuluan
Makalah ingin mencoba memetakan apa yang sekiranya akan dihadapi oleh
Polri di waktu-waktu mendatang. Filsafatyang diikuti disini adalah, bahwa pemolisian
adalah fungsi dari masyarakat serta perkembangan masyarakat. Dengan demikia n
pemolisian bersifat progresif yang setiap saat melakukan pe.nyesuaian (adjust­
ment) terhadap perubahan dan perkembangan masyarakat yang dilayaninya.

Perubahao-perubahao paradigmatis
Dewasa ini pemolisian (policing) di Indonesia boleh dikatakan menghadapi
suatu perubahan yang bersifat paradigrnatis. Kalau kita merenungkan, maka proses
yang terjadi dan yang dikehendaki oleh masyarakat, khususnya golongan menengah,
adalah pemolisian Indonesia yang mengalami perubahan nilai serta wawasan yang
sangat mendasar. Itulah sebabnya disini dipergunakan istilah suatu "perubahan
paradigmatis" (paradigmshift).
Berbicara mengenai perubahan paradigmatis dalam Polri, sesungguhnya
perubahan mendasar seperti itu telah terjadi pula lebih dari limapuluh tahun yang
lalu. Pada waktu itu Komisaris Besar Palisi Soekanto, Kepala Kepolisian Indone­
sia yang pertama, pemah mencanangkan perlunya dilakukan perubahan paradigrnatis
dalam kepolisian Indonesia, yaitu dari polisi kolonial menjadi polisi dari suatu negara
merdeka. Ini sungguh perubahan yang mendasar, karena akan menyangkut struktur
dan kultur polisi Indonesia dalam alam kemerdekaan. Tetapi, pada hemat saya, ide
perubahan tersebut belum dapat diwujudkan dengan baik, bahkan mungkin sampai
hari ini.
Sehubungan dengan ide tersebut, pantaslah kita mempertanyakan, "Apakah
karakteristik polisi dari/dalam suatu negara merdeka?". Apakah polisi kita sekarang
sudah benar-benar mampu mencerminkan watak kepolisian suatu negara merdeka?.
Dimana letak perbedaan antara pemolisian suatu negara koloni dan negara merdeka
dalam menghadapi rak:yat?.
1-lari-hari sesudah reformasi, kembali Polri dihadapkan pada suasana
perubahan paradigmatis. Perubahan paradigmatis yang terjadi sekarang ini
sesungguhnya bemuansa mendekonstruksi suatu perubahan "semi-paradigmatis"

24 JURNAL POLISI INDONESIA 7. JULI 2005


yang terjadi beberapa puluh tahun sebelunmya, yaitu saat polisi Indonesia disatukan
dengan militer. Sejak penyatuan tersebut pelan-pelan menjadi rusaklah polisi dan
pemolisian Indonesia sebagai suatu distinct force. Pemolisian di Indonesia seolah­
olah kembali ke titik no!.

KIK sebagai laboratorium Polri.


Secara sosiologi Polri juga memiliki stratifikasi sosialnya sendiri. Polisi-polisi
yang mengalami pendidikan PTIK dan KIK (magister), merupakan pop�lasi dari
golongan menengah polisi Indonesia.
Golongan menengah ini biasanya merupakan andalan dalam kepolisian di
manapun di dunia untuk melakukan pembaruan. Secara ekstrem kita melihat, bahwa
pemberontakan di kepolisian biasanya juga digerakkan oleh para mayor dan kolonel
polisi. Mereka menjadi seperti itu oleh karena merupakan golongan yang mengalami
pencerahan, khususnya melalui (jenjang) pendidikannya.
Mereka itu mampu dengan baik menangkap isyarat-isyarat dan ide-ide
pembaruan dibanding dengan golongan di bawah mereka. Penelitian di Amerika
juga menunjukkan, bahwa polisi yang berlatarbelakang pendidikan college atau
universitas lebih mampu untuk mencema ide-ide perubahan dan pembaruan. Mereka
itu juga lebih siap untuk menjadi "polisi sipil" sebagaimana akan diuraikan di bawah
nanti.
Berdasarkan uraian di atas, institusi seperti KIK boleh diandalkan menjadi
avant garde dalam pembaruan kepolisian dan pemolisian di negeri kita. Dalam
hubungan ini, maka KIK sebaiknya tidak hanya merupakan tempat pembelajaran
untuk memperoleh gelar magister, tetapi juga suatu laboratorium pemikiran kepolisian,
bahkan mungkin suatu thin tank.
Pemikiran-pemikiran maju sebaiknya dilempar ke KIK untuk memperoleh
kajian yang baik. Ide tentang "polisi suatu negara merdeka" yang dilontarkan oleh
R. Soekanto, merupakan suatu contoh masalah yang memerlukan kajian secara
laboratoris. Demikian pula halnya dengan "polisi sipil", "pemolisian progresif' dan
sebagainya.
Sejak adanya pendapat, bahwa pol isi itu sesungguhnya adalah juga pemimpin
bangsanya, maka secara serius Kn< juga didorong untuk memposisikan dirinya
sebagai penjamin status, bahwa polisi harus selalu bisa berada satu langkah di
depan bangsanya.

JURNAL POLIS/ INDONESIA 7. JULI 2005 25


Pemolisian Sipil.
Suatu masalah yang sebaiknya bisa dikembangkan lebih lanjut dalam KIK
adalah tentang "polisi sipi\". Pada aras dasar sekali (the bottom line), ide polisi
sipil sebenamya menyuarakan keinginan akan kehadiran pemolisian yang otentik,
yang distinct. Sejak polisi disatukan dengan (organisasi) militer, maka pelan-pelan
polisi te\ah kehilangan otentisitasnya. la bukan lagi merupakan institusi publik yang
memiliki distingsi. Polisi Indonesia makin menjadi kabur, kalau tidak mau dikatakan
mundur sampai ke titik nol, yaitu sebe\um kelahiran polisi modem.
Dalam suasana otoriter dan dominasi militer di masa pemerintahan Suharto,
maka ide yang sekarang dikenal sebagai "polisi sipil", muncul dalam bentuk
"tersamar", yaitu dalam bentuk keinginan untuk merniliki kepo\isian yang profesional.
Sejak jatuhnya kekuasaan Suharto dan polisi keluar dari militer, maka tidak diperlukan
lagi penyamaran itu. Publik terus terang menginginkan agar polisinya menjadi polisi
sipil a tau polisi yang berwatak sipil.
Secara singkat polisi sipil itu ingin dikatakan sebagai "polisi dari rakyat untuk
rakyat". Kedekatan dengan rakyat menjadi ciri penting polisi sipil. Sebelum menjadi ,
polisi, po\isi harus menjadi rakyat <lulu dan kemudian baru menjadi polisi. Maka
sangat tidak dimungkinkan apabila polisi itu berseberangan apalagi berhadapan
dengan rakyat. Polisi yang konfrontatif dengan rakyatnya adalah sebuah anomali.
Ia bukan tokoh antagonis, tetapi protagonis.
Memang dimanapun di dunia, polisi digolongkan sebagai kekuatan para-rniliter.
lni mernbuatnya harus bekerja keras untuk bisa "movi,:,g away from military
configuration". Sampai sekarang tampaknya publik masih sulit untuk melihat
polisinya sebagai kekuatan yang merakyat, apalagi dengan perilaku polisi yang di
sana-sini masih menunjukkan pcnggunaan kekuatan (force) secara beringas.
Polisi sipil lebih diwakili oleh "pelayanan" (service) daripada kekuatan
(force). Banyak pikiran atau ha! yang harus menjalani dekonstruksi sebelum sampai
kepada pelayanan, termasuk teori-teori pemolisian.

Berbagai Aspek Teori.


Kita mengetahui ada berbagai teori dan konsep dalam pemolisian. Untuk
mengaitkan dengan masalah yang sedang kita bahas, maka teori tersebut dapat
dibedakan dalam dua golongan.
Golongan pertama bole!, disebut konvensional. la menegaskan polisi sebagai
kekuatan yang menonjolkan kehadirannya sebagai polisi dan sebagai aparat penegak

26 JURNAL POLISI INOONESIA 7. JULI 2005


hukum (Law enforcement official). Kompleks Pemolisian disitu berciri: I).
kontrol hukum; 2). skenario represif dan 3 ). berbasis teori hukum dan 4 ). bersifat
teraputik (therapeutic). Disini polisi ingin memperkuat diri, baik melalui
penguatan personel maupun peralatan, demi untuk bisa mengontrol
masyarakat dengan efektif.
Penggunaan hukum sangat didorong dengan polisi sebagai mobilisatomya.
Golongan kedua menunjukkan karakteristik yang berseberangan dengan
yang tersebut pertama, yaitu : 1) kontrol oleh masyarakat atau self help; 2).
scenario humanistik dan 3). berbasis teori altruisme dan 4). bersifat konsilitori
(concilia-to1y). Disini justru polisi ingin membatasi diri dalam melakukan
kontrol terhadap masyarakat dan mendorong masyarakat untuk mampu menjaga
dan menertibkan diri sendiri. Masyarakat tidak didorong untuk setiap kali
berpaling ke hukum, melainkan berpaling ke sesama anggota masyarakat
(turning to others and to engage in more self-help).
Perbedaan yang penting antara kedua golongan teori tersebut di atas terletak
pada wawasan mengenai tempat polisi dalam masyarakat. Wawasan yang
satu menekankan pada pentingnya kehadiran polisi dalam masyarakat untuk
menertibkan dan mengamankan. Wawasan yang lain justru berusaha untuk
melakukan de-po-licing dengan mendorong masyarakat untuk bisa menertibkan
dan mengamankan diri sendiri.

Polisi Sipil dalam Masyarakat Demokratis.


* Masalah "polisi sipil" menjadi bahan perbincangan yang semakin luas dimulai
sejak pemisahan dari militer pada tahun 1999. Sebetulnya bibit-bibit ke arah itu
sudah ada sebelum itu, kendatipun "disamarkan" melalui kata-kata
"menjadi polisi profesional".
* Mengapa polisi sipil?
Sejarah polisi lebih banyak dimulai dari konfigurasi mi liter. Tampilan polisi
yang otentik kurang-lebih baru terjadi lewat kelahiran "The London
Met­ropolitan Police". Robert Peel pada awal abad ke XIX (1829). Pada saat
itu mulai muncul kesadaran akan karakteristik polisi dan kepolisian mengambil
jarak dari cara-cara mi liter (look as much as civilian as possible}, sehingga
terjadilah proses "moving away from 111ilitmy configuration". Ada juga
yang mengatakan, bahwa polisi yang profesional sudah dimulai lebih awal,
yailu dengan kehadiran "The London Marine Police Establis/1111 ent ·· (
1798). Waktu itu masih banyak kalangan di lnggris yang menolak kehadiran
kepolisian sebagai suatu distinct force yang profesional. karena

JURNAL POLJSI INDONESIA 7. JULI 2005 27


dik.hawatir�an akan mengabadikan suatu alat yang akan melakukan represi.
* Jangkauan gagasan menjadi polisi sipil itu sesungguhnya sangat jauh. Dalam
kamus, polisi itu masih dikelompokkan ke dalam militer, sehingga yang disebut
orang sipil adalah mereka yang bukan militer dan juga bukan polisi.
* Mengapa polisi masih belum bisa dirnasukkan ke dalam kategori sipil?. Oleh
karena seperti mi liter, polisi masih memikul citra "havingforce and power".
Jadi untuk bisa menjadi polisi sipil, maka persoalan terletak pada penggunaan
kekuatan itu tadi. ltulah sebabnya dikatakan, bahwa jangkauannya sangat
jauh, kareria ideal menjadi sipil adalah sama sekali tidak mem!liki kewenangan
untuk menggunakan kekuatan.
Disinilah kita dihadapkan pada konsep menggunakan kekuatan itu. Bagi
polisi, kekuatan itu fungsional, sedang menurut masyarakat kekuatan itu
eksepsional.
* Maka menjadi polisi sipil adalah mendekonstruksi pekerjaan polisi menjadi
suatu kekuatan publik yang sejauh mungkin mengambil jarak dari "suatu
force yang berbasis power". Banyak istilah yang mencoba untuk memberi
kualifikasi atau penamaan terhadap kepolisian sepcrti itu, yaitu "human
policing", de-policing''. "altruisme theory", "conciliatory", "polisi yang
bersahabat" dan lain-lain.
Dekonstruksi menuju filsafat pemolisian sipil antara lain terjadi melalui konsep
pemolisian yang bukan diukur dari banyaknya orang yang ditahan, diproses
dan masuk penjara. Keberhasilan polisi diukur pada tingginya tingkat
keamanan dan rendahnya insiden kejahatan.
Pemolisian sipil lebih dekat ke 'Teori Altruisme" daripada "teori Hukum".
Teori Hukum adalah konsep konvensional, dimana masyarakat didorong
mencari bantuan ke hukum (turn to law for help). Sebagai akibatnya
(l) terjadi dramatisasi dari sifat jahat perbuatan; (2). Eskalasi permusuhan
(hostility); (3) Hukum cenderung lebih membuat stigma dan melumpuhkan
(disabling); (4) Pemulihan keadaan menjadi kurang.
Sebaliknya dalam "Teori Altruisme" diunggulkan kontrol sosial oleh
masyarakat, dimana orang mencari orang lain untuk suatu pertolongan. Setiap
anggota masyarakat menjadi penjaga bagi anggota yang lain. Yang kemudian
terjadi adalah : (I) lebih mengusahakan untuk menolong sendiri;
(2) del<riminalisasi dan (3) vigilantisme yang terorganisasi.
* Perkembangan akan mengarah kepada rekonseptualisasi "ketenteraman

28 JURNAL POLJSI INDONESIA 7. JULI 2005


umum" (puhlic order). Konsep yang dominan adalah mengusahakan
ketenteraman dengan menambah kekuatan polisi. lni adalah ketenteraman
berbasis hukum (law based order). Konsep baru yang ditawarkan adalah
menjadikan polisi kurang dibutuhkan. Ketenteraman disini dijaga oleh
masyarakat sendiri.
* Dalam konteks wacana tentang polisi sipil, baik juga masalahnya dihadapkan
kepada pertanyaan, "apakah polisi itu kekuatan (force) atau pelayanan (ser­
vice)?". Polisi sipil cenderung untuk menampilkan pelayanan daripada
tampilan kekuatan. Status yang demikian itu diungkapkan dalam kata-kata
"melindungi dan melayani", atau kredo polisi Belanda yang mengatakan
"kami berjaga agar orang bisa tidur nyenyak".
* Gagasan polisi yang melayani bisa terlaksana manakala ada basis "kedekatan
pada masyarakat", seperti dikatakan oleh A.C. German "shaking hands
with the entire community". atau "bringing the police into closest con­
tact with the member of the community". Kalau keadaan sebagaimana
disebutkan itu memang disepakati sebagai suatu ideal yang ingin dicapai,
maka dibutuhkan perubahan besar dalam doktrinasi polisi. Pembelajaran
untuk menjadi polisi profesional akan bersaing dengan pembelajaran untuk
mendekatkan polisi kepada masyarakatnya, sampai kepada tahap
"depolicing the police". Kita memasuki suatu paradigmshift dalam
pemolisian dengan sekalian ikutannya.
* Sejak reformasi, sebetulnya kita sudah mulai memasuki tradisi demolcratisasi,
termasuk demokratisasi Polri. Polisi Indonesia di masa Suharto lebih
berkualitas sebagai polisi penjaga dan penjamin status-quo dalam kadar yang
amat besar. Palisi benar-benar ditempatkan sebagai alat kekuasaan, bukan
alat negara. Palisi Indonesia waktu itu adalah "satpam politik"
Dalam tradisi demokrasi, polisi diminta untuk menjadi kawan dari sekalian
golongan dan lapisan dalam masyarakat. Semua orang memiliki akses yang
sama ke polisi tanpa diskriminasi.
Selama polisi belum bisa mengarnbil jarak dari kekuasaan, maka polisi dan
pemolisian demolcratis sulit menjadi kenyataan.

Polisi Masa Depan?


Polisi sipil adalah polisi masa depan. Konstalasi tersebut berhubungan dengan
kecenderungan sosial-politik Indonesia yang menuju kepada demokrasi dan

JURNAL POLIS! INDONESIA 7. JULI 2005 .• 29


pembangunan civil sociely.Berkaitan dengan proyeksi tersebut di atas disini
ingin diajukan paradigma "polisi pro-rakyat" atau "polisi protagonis". Saya kira
watak pemolisian yang demikian itu akan lebih mampu memberi respons
terhadap kecenderungan perkembangan negeri ini di masa depan.
Polisi sipil dan berada di pihak rakyat, menempatkan polisi berhadapan
dengan kekuasaan. lni akan menimbulkan situasi yang cukup gawat (crucial},
oleh karena kita sudah lazim berpandangan, bahwa polisi itu adalah alat
pemerintah. Tetapi apabila kita berpikiran, bahwa polisi adalah alat negara,
maka kegawatan tersebut bisajauh dikurangi.
Polisi sipil dan pro-rakyat memerlukan ketegaran, sehingga tidak mudah
unt uk dipaksa-paksa dan dihardik-hardik oleh kekuasaan.

Penutup.
Makalah ini tidak berpretensi untuk memberikan resep final, melainkan
lebih mengajak publik untuk memikirkan berbagai masalah yang diangkat di
dalamnya. Seperti dikatakan pada awal tulisan, ia hanya mencoba untuk
memetakan persoalan yang sekiranya akan dihadapi oleh pemolisian di negeri
ini di waktu mendatang. Akhimya terpulang kepada pembaca untuk
menanggapi gagasan-gagasan yang dituangkan dalam makalah secara kritis.

30 JURNAL POLIS! INOONESIA 7, JULI 2005


Strategi Membangun Polri Sebagai Polisi Sipil yang
Profesional dan Demokratis
E. Winarto H.
Deputi Kapolri Bidang Sumber Daya Manusia.
Pendahuluan
Membangun Polri dengan cara meredisain atau merestrukturisasi ataupun
apa saja namanya yang saat ini dijadikan suatu model. Kesemuanya ini datang
dikarenakan adanya dorongan dan kemauan yang kuat dari berbagai lembaga
(Pemerintahan/Swasta) untuk merefungsionalisasi dalam menyikapi suatu
perubahan.
Perubahan tersebut terdorong oleh berkembangnya ilmu pengetahuan dan
teknologi yang pesat dilakukan secara global melalui telmologi informasi, sehingga
seolah-olah menjadikan dunia ini sebagai suatu kawasan bersama tanpa batas dan
menjadi sangat transparan sehingga permasalahan disuatu wilayah tertentu dapat
diketahui dengan cepat diwilayah lainnya.
Teknologi informasi tersebut sangat mempengaruhi tatanan sistem
pemerintahan dalam suatu negara, ditandai dengan bangkitnya "reformasi" di In­
donesia yang tentunya tidak terlepas dari dampak globalisasi yang sangat mewarnai
clan bahkan menjiwai munculnya reformasi itu sendiri ..
Reformasi adalah upaya pemberdayaan hak-hak rakyat yang berkaitan
dengan proses suatu kehidupan dalam bemegara, dimana rakyat menuntut akan
hak-haknya sebagai warga negara. Yang menjadi menarik sekarang adalah
bagaimana artikulasi dari berbagai tuntutan rakyat dapat dimaklumi oleh negara
melalui mesin-mesin birokrasinya yang ada dalam pemerintahan. Kebijakan negara
sebagai implementasi dan artikulasi dari hak-hak rakyat harus dapat diterima maupun
dikomunikasikan, khususnya yang berkaitan dengan program, prioritas maupun
tujuannya, sehingga masyarakat dapat mengetahui dan harus dapat dikontrol serta
dipertanggungjawabkan kepada rakyat.
Polri sebagai salah satu bagian dari mesin birokrasi pada sistem pemerintahan,
untuk menjalankan fungsi tugasnya Polri menemukan beberapa faktor pendorong
dalarn mernbangun ataupun rnelakukan perubahan internal pada konteks reformasi
di atas, antaran lain:

JURNAL POLIS! INDONESIA 7. JULI 2005 ·• 31


a. Lahimya Tap MPR No. VI/MPR/2000 tentang pemisahan TNI dan Polri
serta Tap MPR no. VIJ/MPR/2000 tentang peran TNI dan Polri.
b. Lahimya UU No. 2 Tahun 2002 tentang kepolisian Negara Republik Indo­
nesia, yang menggantikan Undang-Undang No. 28 Tahun 1997.
c. Munculnya berbagai aturan perundangan yang mendukung operasionalisasi
dari UU No 2 Tahun 2002 seperti UU Perbankan, UU Korupsi, UU
Ketenagakerjaan, UU Telekomunikasi di!.
d. Kemudia_n munculnya lembaga-lembaga kontrol terhadap pelaksanaan tugas
Polri seperti DPR, BPK, KPK, Komisi Kepolisian Nasional (KKN), LSM,
publik dan pengamat Kepolisian yang tugasnya yaitu:
I. Mengawasi pelaksanaan tugas keamanan ketertiban masyarakat sesuai
batasan-batasan kewenangaan serta perannya yang diatur dalam Tap
MPR NO VI dan Vil.
2. Mengawasi pelaksanaan fungsi Kepolisian yang telah diatur oleh UU No.
2 Tahun 2002 (memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan
kepada masyarakat serta penegakan hukum).
3. Mengawasi bagaimana penggunaan anggaran yang diperoleh dari rakyat
untuk menjalankan fungsi operasional maupun pembinaan Kepolisian.
e. Dorongan masyarakat International dalam memberikan penghormatan
terhadap hak asasi manusia dengan memperhatikan harkat dan martabat
manusia dalam melaJ...U
" kan tindakan hukum terhadap tersangka ataupun
korban dengan memperhatikan hak dan kewajibannya.

Permasalahan yang dihadapi Polri.


Kemauan untuk membangun Polisi Sipil yang Profesional dan Demokrasi
tentunya bukan saja menjadi kemauan dan cita-cita untuk Polri semata, akan tetapi
hal ini menjadi harapan dan tuntutan dari masyarakat Madani ( Civil Society) yang
sangat mendambakan tampilan sosok Polri yang berwatak Sipil dan berperilaku
Sipil, bekerja secara profesional dan dapat menyesuaikan/menempatkan diri dalam
menjalankan tugas pokoknya dalam tatanan pemerintahan yang demokrasi.
Akan tetapi dalam mencapai keinginan tersebut masih menghadapi
permasalahan-pem1asalahan yang berkaitan dengan
A. Paradigma
I. Struktur pada saat Polri masih berintegrasi dengan ABRI (masa lalu)

32 JURNAL POLIS! INDONESIA 7, JULI 2005


maka Polri pada saat ini memiliki ciri-ciri:
a). Secara struktural atasan yang lebih tinggi adalah Mabes ABRI.
b). Dalam menangani masalah-masalah keamanan, khususnya yang
berkaitan dengan aspek penegakan hukum (represij) dilakukan secara
gabungan dan dibantu penuh oleh TNI.
c). Peran ABRI bergerak pada domain pertahanan (defence) dan
keamanan (Security) (baik pertahanan wilayah/teritorial, atau
keamanan ketertiban umum).
2. Perilaku yang dibentuk:
a). Kurikulum pendidikan dengan filosofi "Dwi Warna Puma Cendikia
Wusana" dan belum dapat mewujudkan perilaku Polri yang "Mahir
Terpuji dan Patuh Hukum" sebagai filosofi pendidikan Polri saat ini.
b). Penegakan hukum dengan pola represif masih lebih dikedepankan
daripada mengedepankan pola perlindungan, pengayoman maupun
pelayanan masyarakat.
c). Partisipasi masyarakat masih kurang mendapatkan respon secara
baik (Community Policing) dan masih mengedepankan hukum
dengan pendekatan represif.
B. Sumber Daya Manusia.
1. Kebijakan yang berkaitan dengan pengaturan usia pensiun menjadi 55
tahun untuk Bintara dan 58 tahun Perwira.
2. Rumusan Jakstra Polri 2004 dib{dang pendidikan tersirat bahwa "sekolah
untuk memintarkan personel" bukan untuk mendapatkanjabatan.
3. Orientasi perbandingan Polisi dengan penduduk sampai dengan akhir tahun
2004 tercapainya angka ratio 1 : 750.
4. Rekruitmen Polri masih mencari bentuk yang pas, baik pada penerimaan
Akpol, PPSS ataupun Bintara guna menyaring calon anggota Polri yang
memiliki kepribadian sebagai pelindung, pengayom dan pelayanan
masyarakat.
5. Pembenahan bidang struktural, instrumental dan kultural masih dihadapkan
pada pennasalahan geografi, demografi, kualitas sumber daya manusia
dan masalah kebangsaan.
C. Dukungan meteriil dan anggaran berupa (transportasi, mobilitas, komunikasi
pada fungsi opersional maupun pembinaan Kepolisian) belum memadai.

JURNAL POLISI INOONESIA 7. JULI 2005


• .• 33
D. Secara ekstemal belum tumbuhnya rasa kepercayaan masyarakat (trust)
kepada Polri dalam menjalankan tugasnya sebagai pelindung, pengayom
dan pelayan serta penegak hukum.

Polisi Sipil ( Civil Police)


A. Sejarah Polisi
Gambaran tentang Polisi Sipil pada bahasan ini dimulai dari sejarah kepolisian
Indonesia, yaitu pad� zaman demokrasi terpimpin dimana MPRS telah
mengeluarkan Tap MPR No. fl dan HI tahun 1960 yang menyatakan ABRI
terdiri dari angkatan perang dan Polisi Negara. Disamping DPR yang telah
mengesahkan Undang-Undang pokok Kepolisian No. 13/1961 yang menyatakan
bahwa Polri sebagai unsur ABRI sampai pada pasca Polri mandiri I april 199 9.
Sepanjang masa tersebut Polri terbawa kepada sistem militeristik sehingga
institusi Polri yang seharusnya sipil menjadikan dirinya sebagai "combatan"
artinya Polri diposisikan sebagai unsur militer yang ikut berperang, didalam
integrasi inilah Polri terciptakan sebagai sosok yang represif dan lebi h
menonjolkan perilaku militer dari pada sebagai sosok Polisi Sipil. Hal inilah yang
mendorong sehingga lahimya Polisi Sipil di Indonesia.
B. Polisi Sipil.
Pemahaman tentang Polisi Sipil yaitu Polisi yang berwatak Sipil dalam
menjalankan tugasnya untuk melindungi setiap warga masyarakat, menjaga
. harkat dan martabat manusia, menghindari tind�kan-tindakan kekerasan dan
lebih menggunakan hati nurani serta mau mendengar setiap aspirasi ataupun
keluhan-keluhan masyarakatnya. Dalam konteks sebagai penyelenggara negara
dalam menciplakan rasa aman pada masyarakat, mengayomi dan melayani
masyarakat maka Polri adalah pegawai pemerintah yang terikat oleh
I. UU No. 43 tahun 1999 tentang pokok-pokok kepegawaian yang
menyatakan Polri adalah Pegawai Negeri (pasal 2).
2. Tap MPR No. VVMPR/2000 tentang pemisahan TNI-Polri dan Tap
MPR No. VIVMPR/2000 tentang peran TN! dan peran Polri yang
dalarn tugasnya adalah sebagai pelindung, pengayom dan pelayan
rnasyarakat yang syarat dengan nuansa Polisi Sipil.
3, Undang-undang No. 2 tahun 2002 tcntang Kepolisian Negara Republik
Indonesia. Pada pasal 20 (I) menyatakan anggota Polri adalah
Pegawai Negeri pada kcpolisian Negara Republik Indonesia dan pada

34 JURNAL POLISI INDONESIA 7. JULI 2005


ayat 2 menjelaskan diberlakukannya ketentuan peraturan perundang­
undangan dibidang Kepegawaian.
C. Masyarakat Sipil (Civil Society)
Demokrasi yang kita kenal muncul dari gerakan pro demokrasi yang ditandai
oleh bangkitnya cendikiawan dengan strategi penguat�n Civil Society sebagai
altematif terhadap demokrasi Liberal menurut "Alexi de Tocqueville" dianggap
sebagai wilayah kehidupan sosial yang teroganisasi dan bercirikan, a'ntara Jain
kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self-generating) dan keswadayaan
( selfsupporting), kemandirian tinggi berhadapan dengan negara, dan keterkaitan
dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya.
Untuk itu sebagai penyeimbang dalam tatanan masyarakat sipil diperlukan
adanya kesadaran Polisi yang memaknai Polisi Sipil, menurut "Prof. DR. Satjipto
Rahardjo", Polisi dalam menjalankan pekerjaannya tidak boleh menyebabkan
manusia itu kehilangan harkat dan martabatnya, tidak memaksa dan menggunakan
kekerasan serta bersedia mendengarkan penderitaan manusia.

Profesionalisme Polri dan Demokratis


Kita menyadari bahwa tugas Polisi yang begitu kompleks mcmerlukan
keahlian dan ilmu pengetahuan secara konseptual dan teoritikal untuk memecahkan
permasalahan yang berkaitan dengan kepolisian. Dengan demikian dalam
menjalankan tugas Kepolisian sangat diperlukan keahlian tertentu. Sebelurn saya
membahas lebih dalam tentang pokok bahasan Profesionalisme maka, .tidaklah
berlebihan apabila saya sampaikan tentang pengertian tersebut, profesionalisme
adalah satu tuntutan dalam menjawab kemampuan yang diharapkan dalam
masyarakat. orang profesional adalah seorang ahli yang memiliki pengetahuan
khusus dalam bidang tertentu yang dianggap penting dalam kehidupan masyarakat,
keahliannya diperoleh hanya dari pendidikan tinggi dan pengalaman (Huntington,
2003,4-7).
Sedangkan profesionalisme dalam tugas adalah mengacu pada kriteria
profesional, yaitu:
I. Menggunakan teori ilmu pengetahuan untuk pekerjaan.
2. Keahlian yang didasarkan pada pendidikan atau pelatihan jangka panjang.
3. Pelayanan terbaik bagi masyarakat.
4. Memiliki otonomi dan cara mengontrol perilaku anggota profesi.

JURNAL POLIS! INDONESIA 7, JULI 2005 35


5. Mengembangkan kelompok profesi melalui asosiasi seperti The lnLerna­
Liona/ Associalion of Chiefs of Police (Donald C, William, The Ameri­
can law enforcemenl Chief Execulive : A Managemenl Profile, 1985,
dalam Djamin, 1999,8)
Jadi profesionalisme Polri adalah dasar-dasar sikap, cara berpikir, tindakan,
perilaku yang dilandasi oleh ilmu Kepolisian yang diabdikan pada kemanusiaan
dalam wujud perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Sebagai organisasi publik, Polri harus dapat menjalankan tugas dengan baik/
profesional, sehingga hasil pekerjaan yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan
kepada masyarakat. Berkaitan dengan ha! tersebut diatas, maka diperlukan penataan
yang berkaitan dengan: kemampuan profesionalismenya, pemahaman terhadap ilmu
pengetahuan, dan pemanfaatan serta dukungan sumber daya (personeil, materiil,
anggaran dan metode), sehingga dapat memelihara keseimbangan kinerja Polri
yang mahir, terpuji dan patuh hukum guna menciptakan kepercayaan masyarakat
sebagai wujud dari kemandirian (independensi) Polri.
Polisi sipil yang demokratis adalah Polisi dalam masyarakat yang modern
dan demokrasi. Yaitu Polisi dan masyarakat dalam hubungan kekuatan yang relatif
seimbang dan saling overlapping. Dan dengan landasan utamanya adalah hubungan
yang tulus antara polisi dengan warga masyarakat. Yang ditindak lanjuti dengan
menerapkan strategi atau kebijaksanaan untuk mendapatkan hasil yang Jebih efektif
dan efisien dalam mengendalikan kejahatan. Di mana polisi sadar akan
kemampuannya yang terbatas dan tidak tahu kapan dan di mana kejahatan terjadi
dan siapa pelakunya. Dan untuk mencapai keberhasilannya harus mendapatkan
dukungan atau tempat dalam kehidupan masyarakat. Yaitu dengan berupaya
mengurangi rasa ketakutan masyarakat akan adanya gangguan kriminalitas,
memperbaiki kualitas kesejahteraan masyarakat, menciptakan dan memelihara
keteraturan sosial serta memperbaiki keteraturan sosial yang rusak akibat kontlik.
Polisi juga sadar dan berupaya untuk memperbaiki kualitas pelayanannya. Juga
melibatkan dalam warga masyarakat untuk ikut berperan aktif dan peduli dalam
pengambilan kebijakan dalam rangka menciptakan dan memelihara keteraturan
sosial dalam masyarakat. Polisi dalam masyarakat yang demokratis pemolisiannya
mengacu dasar-dasar atau prinsip-prinsip demokrasi yang antara lain : supremasi
hukum,jaminan dan perlindungan HAM, transparan, akuntabel, berorientasi pada
masyarakat, pembatasan dan pengawasan kewenangan Polisi.

36 JURNAL POLISI INDONESIA 7. JULI 2005


Strategi Membangun Polri yang Profesional dan Demokratis.
Dalam rangka membangun Polr-i sebagai polisi sipil yang profesional dan
demokratis dititik beratkan pada pembinaan SDM Polri yang baik dalam rangka
menghadapi tantangan dan upaya pemolisian warga agar mendapatkan kepercayaan
dan dukungan dari masyarakat.
Hal tersebut dibangun antara lain dengan membangun budaya organisasi
Polri melalui
(I) membangun sistern pembinaan SDM yang fair dan bertanggung jawab,
(2) Membangun aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, rencana-rencana serta
strategi-strategi yang difonnalisasikan serta dibuat standarisasi dengan
jelas sehingga dapat mendukung sistem operasional yang efektif dan dapat
dijadikan pedoman bagi anggota kepolisian dalam melaksanakan tugasnya
serta dapat menghambat atau memperkecil peluang terjadinya
penyalahgunaan kewenangan,
(3) Orientasi pelayanan pada costumer. Dengan mengedepankan fungsi polisi
komuniti sebagai wadah pemolisian komuniti,
(4) Adanya Iembaga yang netral dan mandiri dan sekaligus penasehat dan
pendukung Polri dalam menciptakan dan menjaga kamtibmas/komisi
kepolisian.
Mewujudkan Polisi sipil dan domokratis, merupakan keharusan yang tidak
dapat dit-0lak, hal ini sesuai dengan perkembangan Negara RI yang menuju era
masyarakat yang sipil dan demokratis. Sumber daya manusia merupakan aset dari
Polri, juga merupakan aset dari bangsa oleh sebab itu untuk mewujudkan polisi
yang seperti yang dimaksud, harus dilakukan melalui proses pembinaan personil
yang dilakukan secara bertahap. Sebagai gambaran apa yang sedang dan telah
dilakukan oleh Polri dalam pembinaan personii, berdasarkan acuan diatas, berikut
gambaran strategi serta kenyataan pelaksanaan kegiatan pembinaan personil Polri,
dalam menuju polisi sipil yang profesional dan demokratis sejalan dengan kebijakan
Kapolri dibidang sumber daya manusia antara lain
Pertama : Proses seleksi yang diadakan untuk merekrut SDM Polri di
laksanakan secara seobyektif mungkin, bila perlu menggunakanjasa lembaga
yang independen untuk menentukan seleksi dari calon polisi, dengan
menggunakan standar yang tinggi dan ketat, dan pelaksanaan proses seleksi
yangjujur. Demikian juga dengan jenjang pendidikan pengembangan seperti

JURNAL POLIS! /NOONESIA 7, JULI 2005 37


setukpa, selapa, PTIK, Sespim, harus dilakukan dengan proses yang ketat,
dan hanya peserta yang baik, �ehat yang akan lolos. Hal serupa juga
diberlakukan bagi yang akan dikirim untuk pendidikan diluar negeri. Hasil
seleksi harus menghasilkan hasil terbaik dari calon pelamar yang ada. Dalam
membentuk manusia Polri yang profesional dimulai dari awal perekrutan.
Sekarang kita dalam proses perubahan sistem penerimaan personil, yang
pada saat ini hampir seluruh kegiatan operasional dilaksanakan oleh Polda­
Polda, Markas Besar Polri bertindak pembuat kebijakannya. Kegiatan ini
akan terus dipantau dari waktu kewaktu untuk disempumakan, sehingga
kegiatan pengadaan personil Polri bisa berjalan baik, dan tujuan mendapatkan
calon anggota Polri yang berrnental baik dan secara intelektual berkualitas
dapat terealisir.
Kedua : Dalam hal pendidikan yang sangat mendasar adalah melakukan
perubahan filosofi pendidikan dari Dwi Wama Puma Cendikia Wusana yang
melahirkan prajurit pejuang dan pejuang prajurit menjadi Mahir, Terpuji dan
Patuh Hukum, yang berorientasi kepada Paradigma pendidikan yaitu
pendidikan Sistematik-Organik menuntut pendidikan bersifat double tracks.
Artinya p endidikan sebagai suatu proses tidak bisa dilepaskan dari
perkembangan dan dinamika masyarakatnya. Dunia pendidikan senantiasa
mengkaitkan proses pendidikan dengan masyarakatnya pada umurnnya, dan
dunia kerja pada khususnya. Keterkaitan ini memiliki arti bahwa prestasi
peserta didik tidak hanya ditentukan oleh apa yang mereka lakukan
dilingkungan sekolah, melainkan prestasi peserta didik juga ditentukan oleh
apa yang mereka kerjakan didunia kerja dan masyarakat pada umumnya.
Dengan kata lain, pendidikan yang bersifat double tracks menekankan bahwa
untuk mengembangkan pengetahuan umum dan spesifik harus melalui
kombinasi yang struktumya terpadu antara tempat kerja, pelatihan dan
pendidikan formal sistem persekolahan.
Ketiga : Selain itu juga bekerjasama dengan Negara donor untuk
memberikan peralatan dan pelatihan-pelatihan yang diarahkan pada pekerjaan
polisi sipil. Seperti kerjasama dengan IOM (International Organization
for Migration) progr am difokuskan pada perbaikan kurikulum dan bahan
ajaran di SPN-SPN serta melatih instruktur HAM. Untuk polisi yang sudah
jadi juga dilakukan penyegaran-penyegaran tentang taktik dan tehnik
pemolisian yang baru, sesuai dengan paradigma polisi sipil dalam negara
demokrasi. Kerjasama ini dilakukan dengan beberapa negara seperti Jepang,

38 JURNAL POLISI INOONESIA 7. JULI 2005


Arnerika Serikat, Australia. Untuk mendidik polisi Indonesia menggunakan
pendekatan baru dalam bertindak di lapangan, yang lebih menekankan pada
kegiatan persuasive, seperti kerja sama dengan Amerika berupa program
ICITAP (international Criminal Investigative Training Assistance Pro­
gram) berupa manajemen kepolisian, kemudian cara-cara penanganan
demonstrasi dll, kemudian dengan UNICEF (berupa program penanganan
kejahatan perdagangan wanita dan anak-anak), JICA (Jepang memberikan
bantuan pendidikan berbagai fungsi dari termasuk administrasi k�polisian
modem dalam rangka membantu reformasi Polri), serta beberapa negara
yang lain.
Keempat : Polri yang berorientasi pasar; diera globalisasi sekarang ini
dalam memberikan jasa atau pelayanan kepada masyarakat, Polri melihat
atau berorientasi pada pasar (apa yang menjadi harapan atau tuntutan
masyarakat/apa yang sedang menjadi trend di masyarakat terutama yang
berkaitan dengan masalah-masalah Kamtibmas). Berkaitan dengan ha!
tersebut Polri tidak hanya sebagai satu-satunya badan yang memonopoli
dalam pemberian pelayanan bidang keamanan tetapi Polri juga menjadi
fasilitator ataupun pemberi sarana dan prasarana kepada masyarakat untuk
ikut serta menumbuh kembangkan Siskamtibmas Swakarsa yang dilandasi
dengan pemol isian komuniti ( Community Policing). Dengan menggunakan
mekanisme pasar Polri diharapkan akan lebih kompetitif, mendukung
pelanggan untuk membuat pilihan dan mengkaitkan sumber daya secara
Jangsung kepada hasii yang dicapai.
Kelima Polri yang Desentralisasi : dalam menuju Polri yang mandiri
salah satu sasarannya·adalah Polri yang utuh dari mabes sampai tingkat pos
polisi dan Polri tetap dalam bentuk nasional mengingat negara R1 adalah
negara kepulauan yang terpisah-pisah dan dengan adanya polisi nasional
akan mempermudah dalam memberikan back up ataupun pergeseran
pasukan. Na mun dalam pelaksanaan Komando Operasional Daerah (KOO)
tetap dilaksanakan pada tingkat Polres (atau) kepolisian pada kotamadya
ataupun kabupaten karena Polres merupakan satuan kepolisian yang terdepan
dan terlengkap unsur ataupun fungsi dan bagian-bagiannya. Keuntungan
dan keunggulan Polri dengan pendekatan desentralisasi adalah sbb: (a) Polri
akan jauh lebih fleksibel dan dapat memberi respon dengan cepat tcrhadap
lingkungan dan kebutuhan pelanggan (masyarakat) yang senantiasa berubah,
(b) Polri akan lebih efektif dari pada Polri yang menggunakan pendekatan

JURNAL POLIS! INDONESIA 7. JULI 2005


\ 39
sentralisasi, (c) Polri akan lebih inovatif dari pada Polri yang mengg unakan
pendekatan sentralisasi, (d) Polri akan menghasilkan semangat kerja yang
lebih tinggi dan produktivitas yang lebih besar. Disamping itu dengan sistern
atau pendekatan desentralisasi akan merubah dari hirarki menuju manajemen
partisipatif dan team kerja yang efektif dan efisien.

Penutup
Dari uraian di atas telah saya gambarkan bahwa membangun polisi sipil
yang profesional dan demokratis, memang bukan pekerjaan yang mudah , tetap i
proses itu telah kami mulai lakukan. Bahwa disadari perubahan di Polri harus
dilakukan, untuk dapat menjadi polisi sipil dan demokratis. Palisi harus dapat bekerja
secara profesional . Untuk menjadi profesional dalam melaksanakan tugas polisi
harus mempunyai ilmu pengetahuan dan dasar-dasar berfikir secara teoritikal dan
konseptual yang memadai, ha! tersebut dapat dicapai bila anggota Polri direkrut
dengan baik, dididik dengan baik dan diberikan gaji yang baik serta didukung oleh
sarana dan prasarana yang cukup. disamping itu menata sistem birokrasi yang
transparan, dan dapat di pertanggungjawabkan kepada masyarakat.

Daftar Pustaka
Djamin, Awaloedin,
1999 Menuju Polri Mandiri yang profesional, Jakarta, Yayasan Tenaga Kerja.
Finlay mark dan Ugljesa Zvekic,
1993 Alternatif Gaya Kegiatan Palisi masyarakat (diterj'emahkan dan disadur
oleh Kunarto), Jakarta, Cipta Manunggal.
Friedmann Robert,
1992 Community Policing, (diterjemahkan dan disadur oleh Kunarto), Jakarta,
Cipta manunggal.
Meliala, Adrianus,
2002 Problem Reformasi Polri, Jakarta, Trio repro.
Rahardjo, Satjipto,
1998 Mengkaji Kembali Peran dan Fungsi Polri dalam Mmyarakat di Era
Refonnasi, makalah Seminar Nasional tentang Polisi dn Masyarakat dalam
Era Refom1asi.

2002 Polisi Sipil, Jakarta, Gramedia.

40 JURNAL POLIS! INDONESIA 7. JULI 2005


-----------------,
2001, Tentang Community Policing di Indonesia, Makalah semin
ar "Polisi
antara harapan dn kenyataan", Hotel Borobudur, Jakarta.
Suparlan, parsudi,
1997, Polisi dan Fungsinya dalam ma�yarakat, Diskusi angka
tan r KIK
Program S2 UI.
Reiner, Robert,
2000, The Politic of The Police, Oxford University Press.

JURNAL POLIS! INDONESIA 7. JULI 2005 ' . • 41


Implementasi Ilmu Organisasi Sebagai Cabang dari
Ilmu Kepolisian Dalam Menganalisa
Organisasi Polri
Farouk Muhamad
1. Pendahuluan
Kepolisian pada hakikatnya lahir bersamaan dengan kebutuhan masyarakat
akan ketentraman dan ketertiban serta kepatuhan atas norma sosial yang berlaku
di dalam lingkungan masyarakat. Semula fungsi tersebut diemban oleh masi g­ n

masing individu dalam hubungan informal satu sama lain (informal social con­
trol). Kepolisian sebagai suatu kekuatan dibentuk setelah pranata informal tidak
mampu mengatasi masalah-masalah, gangguan keamanan dan ketertiban serta
pelanggaran hukum sehingga merupakan kendala bagi upaya pencapaian
kesej ahteraan masyarakat.
Dalam perkembangannya, pekerjaan kepolisian mencakup dua aspek fu gsi n

dalam kehidupan bermasyarakat dan bemegara yang sekaligus merupakan do­


main pekerjaan kepolisian. Pertama adalah pemeliharaan keamanan dan ketertiban
umum (order maintenance atau public order & security), dan kedua adalah
penegakkan hukum (law enforcement). Kedua fungsi tersebut haruslah dikemas
melalui sebuah pendekatan atau "cara" (process) sebagaimana ditetapkan sebagai
suatu je
tugas pokok Polri dalam Undang-Undang yaitu "melindungi, mengayomi dan
melayani masyarakat". Oleh karena itu unsur melayani menjadi cara kerja Polri di Pi
dalam pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum serta di dalam menegakkan pene liti,
hukum. dalam hal melayani masyarakat untuk kedua fungsi di atas, maka polisi selain t(
dituntut untuk mengedepar.kan profesionalisme, baik pada tatanan organisasi maupun ak rakteri
individu Pohi. organisas
dan hany.
. . penu 1.1s mencoba menyaJ1.. kan be berapa tmJauan
Da I am tu I .1san mt . . atas 1
'y
an g ak i
a

persoalan-persoalan yang dihadapi oleh organisasi Polri dan berusaha menyampaikan


butir-butir konsepsi dalam rangka pencapaian tujuan organisasi Polri yang efektif Ill. Di m
dan efisien, agar Polri dapat menjadi organisasi yang Profesional sehingga dapat
menjawab segala tantangan di masa depan.

42 JURNAL POLIS! IN DONES IA 7. JULI 2005


II. Perkembangan Ilmu Organisasi
Perkembangan ilmu organisasi pada mulanya menunjukkan gejala yang
''menyebar". Berbagai pendekatan yang muncul seringkali tidak ada hubungannya
satu sama lain, bahkan saling berlawanan. Pendekatan Klasik dan Neo Klasik
misalnya, memberikan gambaran yang jelas mengenai gejala menyebar tersebut.
Pendekatan Klasik memusatkan perhatian pada anatomi organisasi (mekanistik)
dan tidak memperhatikan aspek sosial, sedangkan Neo Klasik justru mementingkan
aspek sosial (humanisme) yang berlebihan dan kurang memperhatikan anatomi
organisasi
Akhimya, muncul pendekatan Modem dalam teori organisasi yang sering
kali dianggap sebagai pendekatan yang mampu menyatukan keseluruhan pandangan
dalam analisis organisasi. Pendekatan ini munculmya diawali oleh suatu penelitian
yang dilakukan oleh Joan Woodward pada akhir tahun 1950-an, terhadap I 00 buah
perusahaan industri di south Esses - Inggris.
Penelitian ini berusaha menemukan ciri-ciri organisasi yang sukses. Semula
penelitian ini tidak membuahkan hasil yang diharapkan, namun setelah ia
mengelompokkan seluruh perusahaan menurut jenis teknologinya, barulah terlihat
bahwa perusahaan yang sukses pada setiap kelompok teknologi mempunyai
karakteristik organisasi tertentu yang berbeda dari perusahaan yang tidak sukses.
Dengan demikian penelitian ini memperlihatkan bahwa jenis teknologi berpengaruh
terhadap bentuk organisasi, yang berarti bahwa untuk setiapjenis teknologi terdapat
suatu jenis organisasi tertentu yang sesuai.
Penelitian Woodward ini mengilhami para peneliti lainnya untuk melakukan
penelitian sejenis. Hasil dari beberapa penelitian tersebut menyatakanjuga bahwa
selain teknologi terdapat juga aspek-aspek lain yang berpengaruh terhadap
karakteristik organisasi, yaitu faktor-faktor lain yang terdapat dalam lingkungan
organisasi. Hal ini berarti bahwa organisasi dipengaruhi oleh keadaan lingkungannya,
dan hanya organisasi yang bisa beradaptasi secara tepat terhadap tuntutan lingkungan
yang akan dapat mencapai keberhasilan. 2

!ktif Ill. Dimensi Organisasi


Dengan memperhatikan kajian ilmiah tersebu t di atas maka dapat diambil
kesimpulan bahwa di dalam sebuah organisasi setidaknya ada dua dimensi yang
saling berkaitan. Per t ama adalah Dimensi Struktural: Dimensi ini menggambarkan
\arakteristik internal suatu organisasi dan dapat dijabarkan ke dalam beberapa

JURNAL POLIS! INDONESIA 7. JULI 2005


'.. 43
karakteristik :
a) Formalisasi, menunjukkan tingkat penggunaan dokumen tertulis dalam
organisasi,
b) Spesialisasi, menunjukkan derajat pembagian pekerjaan dalam organisasi,
c). Standarisasi, menggambarkan derajat kesamaan dalam pelaksanaan kerja,
d). Sentralisasi, menunjukkan pembagian kekuasaan menwut tingkatan (hirarki)
dalam organisasi,
e). Hirarki ·Otoritas, menggambarkan pola pembagian kekuasaan serta
rentang kendali secara umum,
f). Kompleksitas, menunjukkan banyaknya kegiatan dalam organis asi
(kompleksitas vertikal dan horizontal),
g). Profesionalisme, menunjukkan tingkat pendidikan formal ataupun tidak
formal rata-rata anggota organisasi,
h). Konfi gurasi, menunjukkan bentuk pembagian anggota organisasi ke dalam
bagian-bagian baik secara vertikal maupun horizontal.
Kedua adalah dimensi Kontekstual : Dimensi ini menggambarkan
karakteristik keseluruhan suatu organisasi yang mencakup lingkungannya:
a). Ukuran Organisasi, menunjukkanjumlah anggota (personil) organisasi,
b). Teknologi, menunjukkan jenis dan tingkat teknologi dari sistem suatu
organisasi
c). Lingkungan, menggambarkan keadaan semua sistem elemen lingkungan
yang berpengaruh terhadap organisasi.

IV. Analisa Permasalaban dan U paya Penanggulangannya


Analisa terhadap organisasi dilakukan mulai dari sistem yang paling besar
menuju kearah sistem yang paling kecil, di mana tingkatan sistem tersebut adalah
sebagai berikut:
a) Sistem lingkungan
b). Sistem organisasi secara keseluruhan,
c). Sistem bagian organisasi,
d). Sistem kelompok dan individu.

44 JURNAL POLIS! INOONESIA 7. JULI 2005


Analisis terhadap lingkungan pada Organisasi Polri
Globalisasi dalam kehidupan masyarakat dunia yang didukung oleh kepesatan
kemajuan ilmu pengetahuan & teknologi, khususnya dalam bidang komunikasi
temyata memberikan pengaruh yang cukup besar bagi perubahan pola kehidupan
bermasyarakat dan bemegara di Indonesia. Kepesatan kemajuan teknologi telah
rnembuat bangsa Indonesia menjadi demikian peka terhadap isu-isu global terutama
yang berkenaan dengan hak asasi manusia (HAM) dan supremasi huk1,1m
serta kebebasan & demokratisasi. Terdapat kecenderungan bahwa warga
masyarakat iebih senang berbicara tentang menuntut haknya daripada apa yang
seharusnya rnenjadi kewajibannya, bahkan tidak jarang lebih men"dewa"kan
kepentingan diri pribadi daripada respeknya terhadap hak orang lain. lni semua
merupakan tantangan bagi Polri sehingga karenanya konsep organisasi Polri harus
mengakomodasikan kepentingan-kepentingan sebagai berikut:
1. Akuntabilitas pub] ik.
2. Perlindungan korban termasuk remaja, anak dan wanita.
3. Perlindungan HAM tersangka.
Beberapa langkah untuk mengakomodir kepentingan tersebut telah dilakukan
oleh Polri, seperti telah adanya pemikiran akan dibentuknya Komisi Pengawasan
Polri (KPP) yang akan mencerminkan bahwa Polri adalah organisasi yang terbuka,
dimana unsur masyarakat menjadi bagian dari anggota KPP tersebut. Selain itu ,
salah satu bentuk pelayanan Polri dalam memberikan perlindungan korban adalah
idanya Ruang Pelayanan Khusus (RPK) yang ditujukan pada korban kekerasan
rumah tangga, kekerasan seksual dan perlakuan salah pada anak (child abuse).
Tujuan pelayanan ini adalah untuk memberikan dukungan psikologis kepada
korban dan menumbuhkan keyakinan bahwa korban terlindungi serta memastikan
bahwa pelaku tidak lagi melakukan tindakan yang sama kepada korban.
Globalisasi temyata juga menyuburkan perkembangan kejahatan-kejahatan
lintas Negara (transnational crime), seperti penyelundupan manusia (people
smuggling), penyelundupan senjata api (arms smuggling), pemutihan uang (money
laudring), narkotika dan bahan obat berbahaya (drug abuse) dan terorisme
internasional. Oleh karena itu untuk mengatasi masalah penyelundupan manusia
ke Australia dan New Zealand, Indonesia telah mengadakan kerjasama yang cukup
intensif dengan pemerintahan Australia, terutama Polri dan Polisi Australia(AFP).
Sejalan dengan perkembangan kejahatan tersebut dari dalam negeri, kejahatan
seperti kejahatan ekonomi/ bisnis dan kejahatan terorganisir (Organized

JURNAL POLISI INDONESIA 7. JULI 2005


· ·- 45
crime), korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), ternyata menimbulkan kerugian yang
besar bagi proses pembangunan nasional, sehingga berkenaan dengan perkembangan
kejahatan-kejahatan tersebut maka susunan organisasi Polri khususnya dalam bidang
investigasi kejahatan perlu diadakan spesialisasi.
Salah satu langkah reformasi dalam bidang pemerintahan yang sangat mempengaruhi
penyelenggaraan sistem pemerintahan adalah kebijakan otonomi daerah. Kebijakan ini
bukan saja memberi kewenangan yang cukup besar kepadapemerintahan daerah terutama
pada tingkat kabupaten tetapi juga porsi pendapatan/ penerimaan keuangan yang lebih
besar. Sejalan dengan langkah tersebut kewenangan kepolisian tidak lepas dari sorotan
tuntutan otonomi daerah, seperti yang pemah disarankan, baik oleh Asosiasi
pemerintahan kabupaten Seluruh lndo-nesia (Apkasi) maupun Asosiasi Pemerintahan
Propinsi Seluruh Indonesia (APPSI). Menyikapi perkembangan lingkungan tersebut
paling tidak ada dua hal penting yang harus diakomodasi dalam penataan kembali
organisasi Polri terutama pada tingkat kewilayahan. Pertama, adanya penekanan yang
lebih tegas tentang kewajiban para pejabat Polri di daerah untukmmebina hubungan kerja
sebaik-baiknya dengan Kepala/ Pemerintahan Daerah. Dalam hal ini Kepala Daerah harus
diperlakukan bukan semata-mata sebagai "counter part" antara sesama unsur "Muspida",
tetapi adalah penguasa daerah yang mempunyai kewenangan dan peranan sentra dalam
sistem pemerintahan daerah. Khususnya yang berkenaan dengan aspek pembinaan
keamanan dan ketertiban, para Kepala Kepolisian pada tingkat kewilayahan bahkan tidak
perlu ragu menempatkan Kepala Daerah termasuk, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
sebagai "mitra kerja yang dominan" kepada siapa Polri membutuhkannya sebagai
penyandang dana yang bisa mendukung program kerja Polri daerah dan sumber daya
yang bersangkutan.
Berkaitan dengan kepentingan yang disebut terakhir di atas masalah penyusunan
program dan anggaran akan menjadi semakin rumit dan perlu ditingkatkan. Sehubungan
dengan itu masalah kedua yang perlu diakomodasikan dalam penataan organisasi pada
tingkat kabupaten adalah pembentukan unit organisasi yang secara khusus menangani
masalah perencanaan, program, dan anggaran.
Perkembangan lingkungan strategik juga mengharuskan bahwa penyesuaiar
organisasi tingkat kewilayahan tidak perlu harus sama antara daerah kepolisia yang
satu. dengan yang lainnya. Wilayah kota metropolitan/kola besar di man terdapat
konsentrasi obyek vital menuntut adanya suatu sistem organisasi yang
bertanggungjawab dalam pengamanan obyek vital tersebut. Pada daerah-daerah

46 JURNAL POLIS! INOONESIA 7. JULI 2005


tertentu, pengamanan pariwisata juga memerlukan penanganan tersendiri. Oleh
karena itu struktur organisasi tingkat kewilayahan harus dirancang sedemikian rupa.
sehingga apabila diperlukan pada wilayah tertentu dapat dibentuk satuan organisasi
yang menangani pengaman obyek khusus, baik berupa obyek vital, obyek pariwisata
dan/atau obyek-obyek khusus lain seperti polisi perbatasan sebagai pemekaran
dari satuan organisasi Samapta. Struktur Organisasi kerangka (schelton organi-
zation) sebagaimana dimaksud di atas juga mungkin diterapkan bagi kep�ntingan
penangan masalah Narkoba. Artinya, pada satuan organisasi wilayah tertentu dapat
dibentuk satuan organisasi yang secara khusus menangani masalah Narkoba sebagai
pemekaran dari satuan organisasi yang menangani investigasi atau reserse kriminal,
bagi kepentingan penyelidikan/penyidikan termasuk penanggulangan/pembinaan
korban penyalahgunaan Narkoba.
Analisa terhadap sistem organisasi Polri secara keseluruhan.
Isu sentral yang biasanya mewarnai setiap kebijakan peninjauan kembali
Polri adalah tentang pemilihan tipe organisasi, yaitu antara tipe staf umum, tipe
direktorat atau modifikasi. tipe staf umum pernah digunakan oleh Polri pada awal era
integrasi. Tipe staf umum hampir tidak pernah digunakan oleh badan-badan
kepolisian Negara lain tetapi lebih cocok untuk organisasi militer, khususnya
Angkatan Darat.
Pada waktu re-organisasi ABRI tahun 1983/1984 tipe staf umum digantikan
dengan tipe direktorat, tetapi kemudian pada tahun 1997 Polri kembali mengadopsi
tipe staf umum dan pada tahun 2001 kembali menggunakan tipe direktorat.
Dari hasil diskusi panel tentangTipe Organisasi Polri yang diselenggarakan PTIK
pada tanggal I 5 April 2002, diperoleh beberapa masukan sebagai berikut:
Pertama, latar belakang perubahan dari tipe staf umum menjadi tipe direktorat
(Keppres 54/2001) sebagaimana dikemukakan oleh Jendral Awaloedin
Djamin dengan mengutip Kapolri (Jendral Bimantoro) adalah "karena ia
pusing setiap hari harus menerima 30 staf Mabes, baik Asisten, Dir-Dir dan Kor
dan sebagainya (ini karena tipe staf umum, tidak intergated dan masing-masing
laporan ke Kapolri).
Kedua, tipe staf umum (modified general staf system) menuntut adanya f
"completed staf work" di mana Waka Polri berperan sebagai "staff of
staff" (Awaloedin Djamin). tipe ini juga dipandang tepat untuk organisasi

JURNAL POLIS! INDONESIA 7. JULI 2005


• ,• 47
pada strata "policy making", 'strategic planning" dan "Management
control" karena mampu mewujudkan "completed staff work"(Sutjipno).
Selanjutnya, karena Mabes Polri mengemban fungsi "total administrative
system" yang disusun dalam beberapa eselon, maka tipe organisasi yang
dipandang tepat adalah tipe staff umum yang dimodifikasi (Momo Kelana).
di lain pihak, tipe staff umum bukannya tidak mengandung kelemahan. Tipe
ini mengintegrasikan pekerjaan manajemen fungsi organik, tetapi
memisahkan dengan tegas satuan organisasi pelaksana staf masing-masing
bidang yang bersangkutan yang juga berperan sebagai pemberi direktif teknis
fungsional. Misalnya antara pembuat kebijakan strategi bidang SDM dan
pelaksana staf bidang yang bersangkutan (Minpers), termasuk pelaksan
apendidikan, atau pembuat kebijakan dan strategi bidang logistic dan
pelaksana staf bidang yang bersangkutan (Pal/Bekum). Akibatnya akan ada
satuan-satuan organisasi yang begitu banyak (inefisien) dan smeuanya harus
berada langsung dibawah Kapolri. pengalaman menunjukkan betapa
hubungan antara Aspers dan Dirminpers atau Aslog dengan Dirlog atau
Asintel dengan Dirintel tidak pernah harmonis walaupun secara eksplisit
dirumuskan bahwa Dirminpers, Dirlog atau Dirintel berada dibawah
koordinasi dan pengawasan Aspers, Aslog atau Asintel. Tanpa direktorat
pelaksana "general staff system" menampakkan kelemahannya di bidang
direktif teknis operasional yang justru diperlukan sekali bagi satuan-satuan
operasional lapangan.koordinasi dan
Ketiga, tipe direktorat juga mengandung kelemahan, terutama untuk organisasi
pada tingkat Mabes, karena ketidak-mampuannya mewujudkan "compre-
hensive planning". tipe ini mengabaikan hasil kerja yang integratif dan
bahkan cenderung bekerja sendiri-sendiri dan melahirkan penyakit "corps
centrisme" negatif (Sutjipno). Kelebihan tipe ini adalah dalam hal pengaturan
dan penataan pengendalian garis-garis operasional teknis yang fungsional,
disamping garis-garis komando dan pengendalian operasioal yang akan
dijalankan.
Keempat, walaupun ada dua altematif yang diperdebatkan, yaitu tipe staff
umum dan tipe direktorat, namun para penanggap pada umumnya
menekankan susunan organisasi Polri yang mampu menyajikan pelayanan
yang optimal kepada masyarakat (tingkat Polres) sementara masing-masing
tipe yang diperdebatkan mangandung kelebihan dan kekurangan.

48 JURNAL POLIS! INDONESIA 7. JULI 2005


Analisis terhadap sistem, bagian Organisasi Polri.
Pada tingkat Mabes terdapat Desumdaman dan Dediklat; dua pejabat
pembantu Kapolri yang merupakan komponen perumus kebijakan dan strategi.
Sebagai Deputi. Dediklat memandang berkompeten untuk menangani proses
pendidikan & pelatihan (diklat) dan bahkan menentukan kebijakan termasuk
kerjasama dalam dan luar negeri guna menyusun program Diklat.
Sementara Desumdaman memandang bahwa Dediklat hanya berkompeten
menyelenggarakan Diklay yang telah diprogramkan oleh Desumdaman:
Kerjasama Diklat oleh Dediklat semestinya merupakan tindak lanjut dari
penyelenggaraan Diklat yang telah diprogramkan oleh Desumdaman.
Pada tingkat Polda, tumpang tindih tugas juga terjadi antara Ditdiklat dan
Ditpers, dan bahkan antara Diklat dan SPN. Kondisinya menjadi semakin
bermasalah karena SPN dan Didiklat sama-sama merupakan Satker yang setara.
Tanpa Didiklat, SPN sudah dapat mengoperasikan seluruh program Diklat yang
ditetapkan oleh Mabes Polri, sehingga Ditdiklat hanya menangani program
Diklat bagi tenaga non Polri.
Di lain pihak, karena menyangkut SDM non-Polri (masyarakat) pada
sejumlah Polda Ditbimmas merasa lebih berkompeten untuk menyelenggarakan
Diklat bagi mereka. Akibatnya tidak jarang terjadi konflik internal antara kedua
direktorat tersebut dalam :"merebut" peluang penyelenggaraan diklat baik bagi
unsur masyarakat (Satpam) maupun instansi pemerintahan yang membutuhkan.
Dengan demikian maka penulis menyarankan adanya penyatu-wadahan
satuan-satuan organisasi pendidikan dalam bentuk gabungan (bukan integrated)
yang cenderung memperpanjang rantai komando. (Sespim, dan Akpol dibawah
Dediklat).
Analisis terhadap sistem kelompok dan individu pada organisasi Polri.

Gagasan ideal dalam mengembangkan organisasi Polri memang perlu, namun


gagasan itu harus pula bersandar pada kondisi obyektif yang dihadapi Polri. Kondisi
obyektif SDM yang mempengaruhi organisasi Polri antara lain:
Pertama. Secara kuantitas jumlah anggota Polri masih jauh dari kebutuhan.
Dengan kondisi obyektif seperti itu pengembangan organisasi Polri secara
besar-besaran, merupakan gagasan yang kurang bijaksana. Efisiensi dalam
pemberdayaan SDM Polri masih akan mewarnai penyusunan organisasi Polri.
Fungsi-fungsi yang langsung berkaitan dengan Out come organisasi perlu
mendapat prioritas yang lebih dari pada fungsi pelayanan (internal) dan
staff.
JURNAL POLIS! INDONESIA 7, JULI 2005
·• 49
Badan-badan yang bukan merupakan fungsi utama dan dapat dilaksanakan oleh
badan-badan swasta melalui kerjasama, perlu dilakukan perampingan dan
pelaksanaannya dilakukan secara out sourcing.
Kedua. Kemampuan teknis kepolisian masih belum optimal. Upaya untuk
mengatasi kondisi itu tentu saja melalui pendidikan dan pelatihan. Oleh karena itu
penyusunan organisasi Polri perlu memberi tempat bagi peningkatan fungsi
pendidikan dengan tetap mengacu pada Sisdiknas dan juga meningkatkan fungsi
pembinaan setingkat Polres (Ur Lat pada Bag Min).
Ketiga. Motivasi dan etos kerja masih rendah. Pada organisasi apapun baik di
dalam maupun luar negeri, motivasi dan etos kerja selalu dikaitkan dengan aspek
remunerasi (imbalan), peluang (opportunity), karir, pendidikan, dan lain-lain
serta jaminan-jaminan yang bisa diberikan organisasi. Pengembangan organisasi ke
depan hendaknya dapat menjadi jembatan atau pijakan untuk mengupayakan dan
memperjuangkan aspek-aspek itu. Organisasi Polri yang mengawaki tanggung
jawab itu hendaknya sepadan dengan badan-badan Pemerintahan yang
berwenang mengatur dan memenuhi kebutuhan itu.

V. Penutup

Demikian naskah makalah ini di susun, semoga bermanfaat untuk digunakan


sebagai rujukan utama dalam memahami dan mengawaki secara tepat organisasi Polri,
sehingga secara keseluruhan misi Polri dalam pembinaan Kamtibmas dan penegakkan
hukum dapat diimplementasikan dalam tugas pokok Polri yaitu " melindungi,
mengayomi dan melayani masyarakat" guna terlaksana secara efektif dan efisien dalam
menggapai visinya sebagai institusi spil yang profesional dalam kehidupan masyarakat
yang demokratis.

Daftar Pustaka
Bachtiar, Harsya W,
1994 Ilmu Kepolisian : Suatu Cabang Ilmu Pengetahuan Yang Baru : Jakarta :
PTIK Press dan Gramedia
Huseini, Martani,
1999 Teori Organisasi. Jakarta : Universitas Indonesia Press.

Muhammad, Farouk,

2003 Menuju Reformasi Polri, Jakarta: PTIK Press dan Restu Agung.
2002 Tinjauan dan Penataan Kembali Organisasi Polri, Mabes Polri, Jakarta

50 JURNAL POLIS! INDONESIA 7. JULI 2005


Polisi Dalam Masyarakat
Majemuk Indonesia
Parsudi Suparlan
Pendahuluan
Indonesia adalah sebuah masyarakat mejemuk (plural society). P!!njelasan
panjang lebar dan berbagai permasalahannya, antara lain, dapat dilihat dalam
Suparlan (2004a). Dalam tulisan saya yang terakhir (2004b}, saya bahas dan
tunjukkan mengapa masyarakat Indonesia yang landasan bangunannya adalah
masyarakat-masyarakat sukubangsa harus diubah secara bertahap menjadi
masyarakat multikultural yang landasan bangunannya adalah perbedaan kebudayaan
dalam kesederajatan, yang secara keseluruhan merupakan mozaik budaya Indo­
nesia dan yang terdiri atas mozaik-mozaik yang ada di setiap propinsi, kabupaten,
dan kecamatan. Ini sesuai dengan ideologi Pancasila dan UUD 1945 yang
merupakan pedoman hidup bangsa Indonesia.
�·
Tulisan ini bertujuan untuk menstimuli pemikiran kita bersama mengenai
kemantapan fungsi Polri dan peranan para petugas kepolisian Indonesia dalam
masyarakat sipil dan demokratis yang dilayaninya, yang bukan hanya melayani
tetapi turut secara aktif dalam mendukung dan bahkan mempelopori upaya-upaya
perubahan menuju masyarakat multikultural Indonesia. lni sejalan dengan kebijakan
Polri yang menekankan visi dan misinya pada pengayoman atau menciptakan rasa
aman dalam kehidupan masyarakat dan pada penegakkan hukum atau tindakan
represif terhadap tindakan-tindakan kejahatan yang merugikan masyarakat dan
negara Indonesia. lni juga sejalan dengan corak pemolisian yang berlaku di hampir
semua negara, dan juga di Indonesia, yang menekankan pada pentingnya upaya­
upaya preventif dalam pemolisian melalui pemolisian komuniti atau pemolisian
masyarakat setempat yang menuntut polisi untuk melihat komuniti sebagai mitra
kerja mereka.
Apa yang ingin ditunjukkan dalam tulisan ini adalah sebuah paradigma yang
harus dipunyai oleh Polri dalam melihat keberagaman sukubangsa, keyakinan
keagamaan, kelas sosial, kelompok-kelompok dominan dan minoritas, dan
kcbudayaan-kebudayaan yang ada dalam kehidupan masyarakat-masyarakat
setempat di Indonesia, sesuaijenjang wilayah administrasi kepolisian, sebagai potensi
dan bukan semata-mata sebagai ancaman. Potensi-potcnsi yang ada dalarn setiap

JURNALPOLISI INDONESIA 7. JULI 2005 51


komuniti untuk diaktifkan sebagai mitra polisi dalam menciptakan rasa aman pada
setiap warga dan kehidupan sosial, untuk selanjutnya dapat diacu untuk mendorong
terciptanya kegiatan-kegiatan kondusif bagi produktivitas masyarakat. Dalarn
paradigma ini keanekaragaman tidak dilihat dalam perspektif dari yang dominan
atau mayoritas terhadap yang minoritas atau yang secara sosial dan budaya ter puruk'
hidupnya, tetapi melihat keberagaman dalam kesederajatan. Tulisan ini akan
mencakup penjelasan dan pembahasan mengenai multikultural, fungsi manajemen
administrasi pemolisian dalam hal pemaharnan budaya, dan ditutup dengan uraian
mengenai peranan petugas Polri dalam menciptakan rasa aman sesuai ideologi
multikulturalisme.

Dari Masyarakat Majemuk Menuju Masyarakat Multikultural


Masyarakat majemuk adalah sebuah rnasyarakat-negara yang terwujud dari
dipersatukannya masyarakat-masyarakat sukubangsa oleh sistern nasional menjadi
sebuah bangsa dalam wadah negara. Contoh klasik dari masyarakat majernuk adalah
masyarakat-negara jajahan. Masyarakat majernuk Indonesia adalah produk sejarah,
yaitu kelanjutan dari masyarakat jajahan Hindia Belanda. Masalah yang paling
kritikal dalam masyarakat majemuk adalah hubungan antara sistem nasional atau
pemerintahan nasional dengan masyarakat-masyarakat sukubangsa yang
dipersatukan dan diatur kehidupannya. Masalah ini rnuncul karena pada umumnya
pemersatuan dan pemantapannya oleh pemerintah nasional tersebut dilakukan secara
paksa (by force). Karena itu pemerintahan nasional dalam rnasyarakat majemuk
selalu bercorak otoriter, militeristik atau polisional, untuk meredam ketidak puasan
dari kelompok-kelompok elite masyarakat-masyarakat sukubangsa. Dan, bila
pernerintahan nasional melemah kekuasaannya maka masyarakat-masyarakat
sukubangsa yang selama ini merasa terpuruk posisi sosial-budaya, politik, dan
ekonominya akan berusaha memerdekakan diri dari. kekuasaan pemerintahan
nasional untuk rnenjadi negara sendiri, seperti pemah terjadi di Indonesia setelah
kejatuhan pemerintahan presiden Suharto dan terjadi di Uni Sovyet setelah
kehancuran pemerintahan komunis Rusia. Atau, terjadinya konflik antar-sukubangsa
dan antar-keyakinan keagamaan, seperti yang terjadi di kabupaten Sambas, Am­
bon dan Maluku, Kalimantan Tengah, dan Sulawesi Tengah. Kedua bentuk
pemberontakan ini, yang secara langsung atau tidak langsung dipimpin oleh kelompok­
kelompok �lite sukubangsa yang bersangkutan, dan telah menelan korban jiwa,
harta benda, dan masa depan anak-anak yang tidak sedikit jumlahnya.

52 JURNAL POLISI INDONESIA 7, JULI 2005


Masalah kritikal yang kedua yang ada dalam corak masyarakat majemuk
adalah ada dan mantapnya jenjang sosial budaya dan kelas sosial berdasarkan
pada ciri-ciri golongan askriptif (sukubangsa, ras, gender) dan atribut-atributnya
yaitu kebudayaan dan keyakinan keagamaan. Jenjang sosial dan kelas sosial yang
dibangun dalam masyarakat majemuk ini menghasilkan berbagai stereotip dan
prasangka yang dipunyai oleh golongan yang diatas atau dominan terhadap mereka
berada dalam posisi dibawah atau minoritas. Produk dari dibangunnya stereotip
dan prasangka dalam masyarakat majemuk yang menjadi landasan dari segmentasi
dalam masyarakat berdasarkan atas kesukubangsaan dan keyakinan keagamaan
juga berkembang dan mantap dalam masyarakat Indonesia. Bahkan presiden
Suharto telah membangun kekuasaannya berdasarkan atas prinsip kesukubangsaan
Jawa dan Feodalisme.
Pemerintahan presidenAbdurachman Wahid yang dilanjutkan oleh presiden
Megawati Sukarnoputri juga mewarisi pemerintahan yang bercorak masyarakat
majemuk. Peredaman upaya-upaya pemberontakan masyarakat-masyarakat
sukubangsa telah secara efektif berhasil dilakukan dengan memberikan Otonomi
Daerah dan Otonomi Khusus, kecuali pemberontakan GAM di propinsi Aceh.
Karena,landasan perjuangan GAM adalah untuk mendirikan negara sendiri dengan
cara melawan dan mengusir pemerintahan nasional Indonesia yang mereka lihat
sebagai pemerintahan ras Jawa yang kolonialis, yang tidak ada bedanya dengan
pemerintahan Hindia Belanda. Pemberian kewenangan memerintah secara otonomi
daerah di seluruh Indonesia dan otonomi khusus untuk propinsi Papua tidak merubah
corak masyarakat Indonesia yang majemuk, tetapi malah lebih memperkuatnya
lagi. Karena dalam pemerintahan otonomi daerah maupun otonomi khusus,jenjang
sosial askriptif diaktifkan dan dikembangkan secara berterang-terang. Yaitu,
warganegara Indonesia yang hidup di daerah-daerah otonomi tersebut dibedakan
antara yang asli dan yang bukan asli,walaupun yang asli tersebut hidup di wilayah
lain dan yang bukan-asli tersebut telah lahir dan dibesarkan di daerah otonomi
tersebut tetap saja warga yang digolongkan sebagai bukan-asli tersebut didiskriminasi
(pembahasan mengenai hal ini telah saya tunjuk.kan dalam Suparlan, 2004c).
Atas-dasar kenyataan-kenyataan yang kita hadapi di Indonesia seperti
tersebut di atas, dan mengingat peningkatan perpindahan penduduk sehingga
keanekaragaman sukubangsa dan keyakinan keagamaan bukan lagi terjadi hanya
didaerah perkotaan tetapi juga terjadi di daerah pedesaan, oleh adanya kemiskinan
dan pengangguran yang semakin meningkat, dan sementara itu sebagian besar
pembangunan ekonomi masih hanya janji-janji saja. Ditambah lagi dengan adanya

JURNAL POLJSI INDONESIA 7. JULI 2005 53


dampak dari globalisasi yang meningkatkan konsumerisme baik secara kualitas
maupun kuantitas yang mendorong lebih meningkatnya korupsi dan kolusi, dampak
dari perang antar-sukubangsa dan antar-keyakinan keagamaan yang masih belum
teratasi, pemberontakan di Aceh yang belum juga dapat dipadamkan, dan begitu
juga gerakan Papua Merdeka yang masih seperti api dalam sekam yang sewaktu- ·
waktu meledak, maka tidak ada jalan Jain kecuali mengadopsi ideologi
multikulturalisme bagi mengatasi perrnasalahan-permasalahan tersebut diatas.
Ideologi multikulturalisme diadopsi untuk membangun masyarakat Indonesia menjadi
masyarakat multikultural.
Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang menekankan kesederajatan
dalam perbedaan-perbedaan kebudayaan. Multikulturalisme bermula dari konsep­
konsep yang digunakan sebagai acuan untuk memahami dan memecahkan dan
menangani berbagai permasalahan yang muncul di negara-negara Barat setelah
selesainya Perang Dunia ke-2. Permasalahan-permasalahan yang diakibatkan oleh
hilangnya kolonialisme dan negara-negara jajahan, dan oleh adanya migrasi sebagian
penduduk dari bekas negara-negara jajahan ke negara-negara bekas penjajah. Para
migran yang berkulit berwama itu tidak atau kurang berpendidikan, yang karena
kemiskinan mereka itu hidup mengelompok dalam rumah-rumah dan permukiman
kumuh sebagai bagian atau cluster kota, membawa kebudayaan mereka ke negara
tempat migrasi mereka yang tidak cocok dengan kebudayaan setempat, tidak bisa
berbahasa setempat secara baik, dan menempati posisi sosial dan ekonomi yang
rendah karena mereka itu pada umumnya mengisi lowongan kerja dalam bidang­
bidang yang tidak memerlukan keahlian pengetahuan dan teknologi khusus. Posisi
sosial para migran dan keturunannya rata-rata adalah rendah, dan mereka itu
biasanya menjadi sasaran diskriminasi karena ciri-ciri ras dan kebudayaan mereka,
menjadi kambing hitam atas berbagai permasalahan sosial yang muncul dalam negara
tempat mereka hidup, dan menjadi sasaran kekerasan dari kejahatan-karena
kebencian (hate crime) dari warga masyarakat setempat. Kejahatan-karena­
kebencian (hate crime) muncul dan dilakukan oleh kelompok-kelompok dominan
atau masyarakat setempat dimana para migran dan keturunannya itu hidup, karena
para warga masyarakat setempat merasa kehormatan kebudayaan mereka
dicemarkan oleh para migran dan keturunannya, atau karena resesi atau kesulitan
ekonomi lalu menjadi pengangguran dan menyalahkan kehadiran para migran yang
telah mengambil alih mata pencaharian mereka, atau karena merasa wilayah tempat
mereka hidup itu didominasi oleh kebudayaan para migran dan keturunannya yang
asing bagi mereka.

54 JURNAL POLISI INOONESIA 7. JULI 2005


Multikulturalisme menawarkan adanya saling pemahaman dan penghargaan
diantara kelompok-kelompok sukubangsa, ras, dan gender. Melalui saling
pemaha�an mengenai kebudayaan-kebudayaan mereka yang hidup bersama
dalam sebuah masyarakat. Melalui saling pemahaman ini diharapkan tidak akan ada
lagi berbagai stereotip yang membedakan secara tajam antara "kami" dari
"mereka", dimana ''kami" adalah yang unggul atau superior, dan "mereka"
adalah yang asor. Menghilangnya stereotip akan rnenghilangkan prasangka yang
biasanya ,menjadi acuan dari diskriminasi, dan konflik dengan kekerasan yang
dihasilkan oleh kebencian (hate crime).
Landasan dari pentingnya kebudayaan adalah karena kebudayaan sebagai
pedoman bagi kehidupan secara menyeluruh yang dipunyai manusia berisikan
pengetahuan, keyakinan, dan nilai-nilai budaya yang melekat pada orang perorang
dan pada kelompok atau komuniti yang bersangkutan melalui pranata-pranata. Dari
hasil penelitian Hall (1959) diketahui bahwa 80% dari kepribadian orang-perorang itu
dipengaruhi oleh kebudayaan yang dipunyainya. Sehingga pernyataan saling
memahami secara budaya adalah sama dengan saling menerima secara orang-
perorang; dan juga secara komunal, dari mereka yang mempunyai kebudayaan
yang berbeda.
Pemahaman antar-budaya atau saling memahami kebudayaan masing-masing
dari dua orang atau dua kelompok yang ada dalam sebuah masyarakat setempat,
tidak mungkin akan dapat tercapai bila tidak ada kesederajatan diantara yang saling
memahami. Oleh karena itu dalam multikulturalisme ditekankan adanya prinsip
Kesederajatan. Kesederajatan dalam kebudayaan, kesederajatan dalam akses
terhadap sumberdaya politik, sosial, dan ekonomi, dan terhadap perlakuan hukum.
Kesederajatan ini diberikan kepada orang-perorang dan kepad pranata dan kepada
kelompok-kelompok yang tergolong sebagai minoritas secara askriptif, yaitu
sukubangsa, ras, keyakinan keagamaan, dan gender. Ideologi multikulturalisme
yang berkembang menjadi mantap di negara-negara Barat, muncul dan berkembang
sebagai respon terhadap keberadaan dan berkembangnya golongan minoritas di
negara-negara tersebut sebagai dampak dari adanya migrasi dari bekas negara-
negara jajahan. Masalah yang kita hadapi di Indonesia berbeda dari masalah yang
dihadapi oleh negara-negara Barat.

Masalah yang kita hadapi di Indonesia adalah adanya dan mantapnya jenjang
sosial dan kelas sosial berdasarkan atas kesukubangasaan, keyakinan keagamaan,
gender, dan berkembang serta mantapnya stereotip dan prasangka diantara

JURNAL POLIS! INDONESIA 7. IULI 2005 ·


·\55
mereka yang berbeda golongan sosial dan kebudayaannya; yang terwujud sebagai diskriminasi.
Bahkan dalam era otonomi daerah dan otonomi khusus, yang seharusnya lebih
demokratis dan menghargai kesamaan derajat dan hak, telah juga menghasilkan adanya jenjang
sosial dan kelas sosial yang terwujud dalam berbagai bentuk diskriminasi. Masyarakat majemuk
Indonesia dewasa ini menghasilkan adanya golongan minoritas yang merupakan hasil dari
pendominasian oleh kelompok-kelompok yang tergolong dominan dan mayoritas, serta tidak
adanya proteksi terhadap mereka yang tergolong minoritas yang sewaktu-waktu komuniti mereka
itu dapat hancur berantakan dan punah seperti yang terjadi pada Orang Sakai di Sialang
Rimbun, Riau (Suparlan 1995). Tidak ada ketentuan hukum, sosial, budaya,
dan moral yang menjamin keberadaan dan kelangsungan hidup mereka yang tergolong
sebagai minoritas. Kesemuanya ini adalah tugas berat dari Polri untuk menegakkan citra
profesionalnya sebagai alat negara, pengayom dan pelindung masyarakat dan penegak hukum
bagi menciptakan rasa aman dan keadilan.

Manajemen Polri dan Kebijakan Multikultural


Ilmu Kepolisian dan pemolisian muncul dan berkembang sebagai respons beragam,
terhadap berbagai corak permasalahan yang muncul dan berkembang dalam masyarakat
dan komuniti-komuniti yang dilayaninya. Mau tidak mau Ilmu Kepolisian di Indonesia dan corak
pemolisian di Indonesia juga berkembang sesuai dengan berbagai corak permasalahan yang dihadapi
di Indonesia, yang dari interpretasi atau analistis mengenai permasalahan-permasalahan tersebut
muncul konsep-konsep dan teori pemolisian yang efektif dan operasional sesuai dengan
kenyataan-kenyataan di lapangan. Pengkutipan konsep-konsep dan teori-teori pemolisian yang
diambil dari ahli-ahli asing tidak seharusnya dengan begitu saja diterapkan atau dioperasikan
dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk. Konsep-konsep dan teori-teori asing
tersebut lebih tepat bila digunakan sebagai acuan bagi penyempurnaan konsep-konsep dan
teori-teori pemolisian dan kebijakan pemolisian yang relevan dengan permasalahan-
permasalahan yang adadalam masyarakat dan komuniti-komuniti setempat yang ada di
Indonesia.

Dalam kecenderungan Polri dewasa ini untuk menerapkan pemolisian


komuniti (community policing) di Indonesia maka muncul kesadaran akan adanya
keanekaragaman sukubangsa dan keyakinan keagamaan dalam komuniti-komuniti atau
masyarakat setempat, baik pada tingkat perkotaan maupun pada tingkat pedesaan.
Kcsadaran akan adanya keanekaragaman tersebut menuntut adanya
kemampuan pemahaman mengenai keanekaragaman yang ada setempat bagi

56 JURNAL POLISI INOONESIA 7. JULI 2005


profesionalisme Polri dan petugas kepolisian dalam upaya untuk secara efektif
mengembangkan potensi keberagaman komuniti untuk dijadikan mitra polisi; sehingga
secara efektif petugas kepolisian dapat secara efektif menjalankan tugas-tugas
pemolisian. Keberagaman yang berjenjang dan berdasarkan atas dominasi salah
satu kelompok sukubangsa atau keyakinan keagamaan dalarn sebuah komuniti
diupayakan untuk dapat disederajatkan agar dapat menciptakan rasa keadilan dan
rasa aman warga, melalui saling mernahami dan menghargai perbedaan kebudayaan
masing-masing. Upaya-upaya ini harus distimuli dan diarahkan oleh petugas
kepolisian, tanpa mengorbankan fungsi-fungsi penegakkan hukum.
Untuk itu maka salah satu dari sekian tugas pen ting Polri dalam masyarakat
majemuk Indonesia, dan sesuai dengan visi dan misi-nya, adalah membuat kebijakan
'penegakkan hukum multikultural'. Kebijakan ini mencakup dua wilayah kebijakan,
yaitu kebijakan internal dan kebijakan eksternal. Kebijakan internal adalah kegiatan-
kegiatan kedalam tubuh organisasi Polri, yang mencakup penyebaran informasi
mengenai apa itu multikulturalisme dan berbagai konsep-konsep yang
mendukungnya, pemahaman mengenai keberagamanan sukubangsa dan keyakinan
keagamaan dan kebudayaan dalam masyarakat majemuk Indonesia dan berbagai
dampak negatifnya, meniadakan tindakan-tindakan yang memihak yang dilakukan
oleh personel Polri pada sesuatu sukubangsa atau sesuatu kelompok keyakinan
keagamaan dalam kompetisi atau konflik yang terjadi karena kompetisi politik, sosial,
dan ekonomi, meniadakan sikap-sikap stereotip dan prasangka yang terwujud dalam
tindakan-tindakan pemolisian dan memperlakukannya sebagai sebuah pelanggaran
kode etik Polri. Melalui kebijakan ini, dan yang didukung oleh pemantapannya secara
institusional atau melalui pranata-pranata yang ada dalam tubuh Polri, diharapkan
profesionalisme Polri yang kita dambakan akan dapat terwujud dan citra Pori sebagai
pengayom dan pelindung yang memberi rasa aman pada warga masyarakat dapat
terlaksana.
Pemantapan secara institusional, terutama dilakukan terhadap satuan-satuan tugas
kepolisian di wilayah administrasi kepolisian secara berjenjang. Yaitu dari tingkat
Polda, Polres, dan Polsek. Tahap Pertama dari upaya pemantapan adalah
pendokumentasian berbagai keanekaragaman sukubangsa, keyakinan keagamaan, dan
kebudayaan-kebudayaan yang ada dalam wilayah-wilayah administrasi kepolisian
setempat. Pada tahap kedua, pemantapan dilakukan melalui berbagai bentuk ceramah
dan training atau pelatihan yang penekanannya adalah untuk mengenali
keanekaragaman sukubangsa, keyakinan keagamaan, dan kebudayaan-kebudayaan
yang ada dalam masing-masing wilayah administrnsi kepolisian tersebut.

JURNAL POLISIINDONESIA 7. JULI 2005 57


·-
Dan untuk memahami apa itu hubungan antar-budaya. Tahap ketiga adalah
pemberian pengetahuan dan training secara khusus kepada personil Polri yang
nantinya akan diberi kewenangan untuk memimpin dan menangani petugas
kepolisian dan Binamitra (pemolisian komuniti). Pemberian pengetahuan dan
training mengenai corak keanekaragaman yang ada dalam masing-masing wilayah
administasi kepolisian dan bagaimana menghadapi dan melayani serta melakukan
pemolisian terhadap anggota-anggota masyarakat setempat tersebut juga diberikan
kepada para petugas kepolisian lapangan. Pelatihan atau training mengenai
multikulturalisme dapat juga dilakukan dalam bentuk mata pelajaran atau mata
kuliah yang tercakup dalam kurikulum untuk pendidikan-pendidikan resmi personil
Polri. Seperti halnya dengan topik multikulturalisme yang merupakan bagian dari
Mata Kuliah Hubungan Antar Sukubangsa yang saya asuh d PTIK.
Secara eksternal, berbagai bentuk kebijakan pemolisian untuk masing-masing
wilayah administrasi kepolisian dibuat oleh pimpinan satuan-satuan wilayah
administrasi kepolisian. Corak kebijakan yang dibuat tergantung pada corak
keanekaragaman masyarakat yang ada dalam wilayah yang bersangkutan dan corak
kehidupan sosial , politik, ekonomi, dan budaya yang ada setempat. Secara umum
setidak-tidaknya ada lima kategori corak wilayah dan keanekaragamannya; yaitu :
1. Wilayah-wilayah yang secara relatif homogen dan secara sosial teratur dan stabil.
2. Wilayah-wilayah yang secara relatif homogen, tetapi terdapat konsentrasi dari para
pendatang di daerah perkotaan dan pusat-pusat pelayanan hiburan. Seperti pulau
Bali, misalnya.
3. Wilayah-wilayah yang secara sukubangsa dan keyakinan keagamaan bercorak
heterogen atau beranekaragam, dengan berbagai potensi konflik yang ada
didalamnya. Kabupaten Pontianak, Propinsi NTB, Papua, dan Propinsi Riau
misalnya.
4. Wilayah-wilayah yang pernah dilanda oleh konflik antar-sukubangsa dan antar-
keyakinan keagamaan, yang mengembangkan dan memantapkan hite crime
terhadap kelompok sukubangsa atau keyakinan keagamaan lainnya dan terhadap
para pendatang baru. Seperti Kabupaten Sambas. Propinsi kalimantan Tengah
Ambon dan Maluku.
5. Wilayah-wilayah yang sedang dilanda konflik antar-sukubangsa dan antar-
keyakinan keagamaan, seperti yang terjadi di propinsi Sulawesi Tengah; dan di
Aceh yang dikarenakan oleh adanya pemberontakan GAM.

58 JURNAL POLISI INDONESIA 7. JULI 2005


Kebijakan eksternal ini memerlukan akurasi data mengenai keanekaragaman
sukubangsa dan keyakinan keagamaan beserta rincian-rincian potensinya untuk
kebersamaan dan konflik. Data yang dikumpulkan didokumentasikan dan selalu
diperbaharui karena adanya migrasi baik migrasi ke daerah perkotaan maupun
pedesaan. Perubahan demografi secara alamiah melalui kelahiran biasanya tidak
sebesar karena migrasi, dan perubahan-perubahan sosial yang diakibatkannya
tidak sebesar perubahan-perubahan sosial karena adanya migrasi. Dengan adanya
data yang akurat maka kebijakan yang diambil oleh pimpinan wilayah
administrasi kepolisian untuk berbagai tugas pemolisian dapat dilakukan secara
lebih akurat dan efektif. Para petugas kepolisian di lapangan akan dapat lebih
profesional dalam menjalankan tugas-tugas pemolisian tersebut.
Penutup: Peranan Petugas Kepolisian di lapangan
Polri telah merekrut putra daerah, yaitu mereka yang dilahirkan dan dibesarkan
diwilayah administrasi kepolisian setempat dari berbagai asal sukubangsa dan
keyakinan keagamaan. Mereka ini setelah menyelesaikan pendidikan akan diangkat
sebagai bintara polisi yang tugas utamanya adalah di lapangan. Bersama dengan
kekuatan organik yang telah ada disetiap Polres dan Polsek, para bintara ini akan
dapat menjalankan peranan sebagai polisi multikultural mengingat bahwa mereka
adalah petugas dari daerah yang bersangkutan dan yang mengenal dengan baik warga
masyarakat dan kebudayaannya. Apa yang diperlukan untuk kesempurnaan tugas-
tugas mereka adalah pemberian bekal pengetahuan dan latihan dalam ’pemahaman
antar-budaya’.
Dengan bekal pengetahuan ’pemahaman antar-budaya’ dan keterampilan
menggunakannya, mereka ini akan dapat secara efektif berkomunikasi dengan warga
masyarakat dan mengajak mereka untuk dapat meniadakan prasangka-prasangka dan
hate crime yang ada dalam kehidupan mereka. Karena, mereka ini dapat
menggunakan tanda-tanda, simbol-simbol, dan bahasa yang penuh makna dalam
berkomunikasi dengan warga masyarakat setempat. Pimpinan Polsek yang tajam
pengamatannya mengenai personelnya akan mampu memberi tugas-tugas yang sesuai
kepada anggota-anggotanya di lapangan.
Dalam tugas-tugas pemolisian yang profesional, petugas kepolisian di
lapangan harus mencatat apa yang dilakukan dan diselesaikan dan melaporkannya
kepada atasannya. Laporan-laporan dari para petugas lapangan merupakan dokumen-
dokumen penting, terutama di daerah-daerah yang berpotensi atau di daerah-daerah
konflik, dimana dokumen-dokumen tersebut dapat dijadikan sebagai acuan untuk
sejumlah kebijakan yang diperlukan dalam menangani sesuatu permasalahan yang
muncul kemudian.
JURNAL POLISI INDONESIA 7. JULI 2005 59
konflik, dimana dokumen-dokumen tersebut dapat dijadikan sebagai acuan
untuk sejumlah kebijakan yang diperlukan dalam menangani sesuatu
permasalahan yang muncul kemudian.
Dalam pelaksanaan tugas dilapangan tersebut petugas kepolisian harus
dapat membebaskan diri dari stereotip dan prasangka, dan tidak boleh memihak
kepada mereka yang sekerabat atau yang berasal dari daerah yang sama dengan
dirinya, atau mereka yang bersukubangsanya sama dengan kesukubangsaannya.
Petugas kepolisian di lapangan harus tetap berpegang teguh pada Tri Brata dan
pada peranannya sebagai penegak hukum yang harus bertindak adil. Tugas dari
pimpinan Polsek atau Polres yang bersangkutan adalah melakukan monitoring
dan pengendalian terhadap para petugas kepolisian di lapangan sehingga tidak
terjadi penyelewengan daripada ketentuan-ketentuan yang diberlakukan.
Daftar Pustaka:
Alpert, GP. dan R.g. Dunham
1988 Policing Multi-ethnic neighborhoods: The Miami Study and Findings
for law Enforcement in the United States, Westport, Coru1.: Greenwood.
Haall, Edward T.
1959 The Silent languange. Greenwich, Coru1.: Fawcett.
KymJicka, W.
1959 Multicultural Citizenship. Oxford University Press.
Suparlan, Parsudi
2004a "Masyarakat Majemuk dan Perawatannya. Hubungan Antar-Sukuba11gsa.
Hal. 183-199. Jakarta: Yayasan Pengembangan Ilmu Kepolisian.
2004b Masyarakat Majemuk Indonesia dan Multikulturalime. Makalah
disampaikan dalam Seminar "Mengembangkan Akselersi Perwujudan
Masyarakat Multikultural ...". Universitas Islam negeri, Syarif
Hidayatullah. jakarta, 24 Juli 2004.
2004c "Kesetaraan Warga dan hak Buda ya Komuniti dalam masyarakat Majemuk
Indonesia". Hubungan Antar-Sukubangsa. Hal. 243-260. Jakarta: yayasan
Pengembangan Ilmu Kepolisian.

60 JURNAL POLISI IN DONES IA 7. JULI 2005


TNI dan Reformasi;
Tanggapan atas RUU TNI
Awaloedin Djamin
Pembahasan tentang TNI dan Polri tentang "Pertahanan dan Keamanan"
telah berlangsung semenjak era Orde Baru dan lebih sering dalam era Reformasi
sekarang ini.
Istilah "keamanan" atau "security" telah menimbulkan kerancuan (seman­
tic confusion), pengertian yang berbeda-beda, seperti world security, national
security, homeland security, internal security, industrial security dan sebagainya.
[ni sering dikaitkan dengan tugas TNI dan Polri.
Penulis dalam berbagai seminar, dengar pendapat dan lain-lain, seperti semi­
nar di SESKOAD dalam tahun 1998 (sebelum Polri pisah dari ABRI), di Dewan
Ketahanan Nasional, DPR, PAH I MPR (Waktu pembahasan Amandemen UUD
1945) dan Komisi Konstitusi sebagai pembicara, nara sumber atau peserta.
Dalam seminar di SESKOAD tahun 1998 yang dihadiri oleh pejabat teras
MABES ABRI (sekarang MABES TNI), pumawirawan, termasuk mantan Kepala
Staf Angkatan, para pakar dan lain-lain forum tersebut di atas, penulis antara lain
menyatakan
l. Keberadaan jabatan Panglima ABRI, yang dibentuk Presiden Suharto pada
· tahun 1967, bersama dengan jabatan Menteri Pertahanan dan Keamanan
dimaksudkan untuk memperkokoh integrasi ABRJ . Nyatanya, selama 30
tahun jabatan Pangab selalu dijabat Pati Angkatan Darat (setelah itu, baru
ada Pangab dari AL, yaitu laksamana Widodo AS, setelah Widodo, dijabat
AD lagi. Pati Polri memang tidak tepat jadi Pangab). Penulis minta
dipertimbangkan agar PANGAB (sekarang Panglima TNI) diganti dengan
Chairman of the Joint Chiefs of Staff, yang jabatannya bergantian antara
AD, AL,dan AU. Amerika Serikat menghadapi berbagai peperangan dengan
lembaga "Chairman of the Joint Chiefs of Staff'
2. Tentang keberadaan Komando Teritorial Angkatan Darat dari KODAM,
Korem, Kodim, Koramil dan Babinsa, komando seperti itu tidak ada di negara
lain di dunia. Apalagi, waktu keberadaan Kopkamtib, Komando Teritorial
telah menjadi pelaksana yang sangat berkuasa, menangkap, menahan.
menyita barang bukti, dan sebagainya. Peran ini hanya dilaksanakan oleh

JURNAL POLIS! INDONESIA 7. JULI 2005 61


TNI AD, KODAERALdan KODAU ynag pemah ada, dibubarkan. Dalam
naskah yang penulis sampaikan pada seminar yang diadakan PAH I MPR
dengan Universitas Indonesia di Lampung, penulis menyarankan pergantian
Komando Teritorial menjadi "Wilayah Pertahanan" dan "Resort Pertahanan"
(KODAM dan KODIM sekarang). Wilayah Pertahanan tentu tidak sama
dengan Kowilhan dulu, yang merupakan "skeleton command''. Tugas dan
wewenang Komando Wilayah atau Daerah Pertahanan harus dirumuskan
secara jelas. KOREM, KORAMILdan BABINSAagar ditiadakan. Wilayah
atau Daerah Pertahanan ini harus diatur, mana AD, mana AL dan mana
AU sesuai dengan kepentingan pertahanan. Bila keberadaan Komando
Teritorial dikaitkan dengan "Pertahanan Rakyat Semesta", penulis dalam
dengar pendapat dengan DPR waktu membahas RUU "Keselamatan dan
Keamanan Negara" (yang kemudian diganti menjadi RUU "Penanggulangan
Keadaan Bahaya"), menyaranka11 dalam zaman modem agar penjabarannya
dilakukan dengan "wajib militer", dimana semua warga Negara berumur
18 tahun wajib dilatih menjadi militer cadangan. Wajib militer seperti ini
terdapat di semua negara yang sudah maju, termasuk Singapura. Tanggapan
waktu itu, bahwa wajib militer demikian sangat mahal dan akan menjangkau
jutaan warga negara, sedangkan negara menghadapi kesulitan keuangan.
Tentang pelaksanaannya tentu dapat diatur secara bertahap, misalnya sarjana
yang baru tamat atau golongan tertentu pegawai negeri sipil, dan sebagainya.
Wamil yang ada sejak dulu sa11,1pai sekarang yang sekarang dimasukkan
dalam R UU TNI pasal 23 ini, adalah para sarjana yang dibutuhkan karena
keahliannya, dan tidak merupakan cadangan, seperti dalam wajib militer
yang penulis maksud. Andaikata wajib militer dimulai sejak dulu, kita akan
memiliki TNI profesional yang tidak besar, tapi dengan cadangan yang
ratusan ribu bahkan jutaan. Warga Negara yang telah dilatih dalam wajib
militer, akan merasakan dirinya TNI, karena mereka memiliki pangkat dan
kemampuan TNI. Ini merupakan "kemanunggalan TNI dan rakyat" dizaman
modern. Keamanan Rakyat Semesta atau KAMRA telah ada dalam struktur
organisasi Polri semejak tahun 60-an, mulanya dengan hansip Kamra dan
ronda kampung (AD membina Hansip, Wanra) dan sekarang telah diperiegas
dalam UU Nornor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, yang disebut
"bentuk-bentuk Pengamanan Swakarsa" dari Siskamling, SATPAM dan
sebagainya;

62 JURNAL POLISI INDONESIA 7. JULI 2005


3. Tentang "Dwi fungsi" ABRI dengan tegas dinyatakan Panglima TNI telah
ditinggalkan, tapi dalam RUU TNI ini muncul pasal "Pengkaryaan" anggota
TNI di Departemen dan Lembaga Pemerintah non Departemen, asal
diminta oleh pimpinan Departemen dan Lembaga Pemerintah non
Departemen (pasal 43, 44, 45 dan 50). Dilupakan bahwa semenjak Orde
Baru, akan dibangun aparat pemerintahan sipil berdasarkan "career ser­
vice with merit system", sistim karir berdasarkan prestasi dengan
menetapkan jabatan di Departemen danLembaga Pemerintahan non
Departemen sampai Eselon I dijabat oleh Pegawai Negeri Sipil karier. I.ni
juga untuk memberi dorongan dan motivasi bagi PNS untuk berprestasi.
Sebab itu, diadakan pembedaan antara Pegawai Negeri Sipil dengan "Pejabat
Negara", seperti Presiden, Menteri, Anggota DPR, Duta Besar dan Jain­
lain yang tidak terikat dengan UU Kepegawaian Negara,Pegawai Negeri
Sipil diatur oleh Badan Kepegawaian Negara. Karena itu, apakah pasal 50
dalam RUU TNI perlu dimasukkan?. Pengecualian dari ketentuan yang
ada dalam keadaan mendesak, ada dalam wewenang Presiden untuk
pengangkatan dalam jabatan Departemen dan Lembaga Pemerintahan non
Departemen dan bukan pada pimpinan Departemen dan Lembaga
Pemerintahan non Departemen;
4. Tentang operasi militer selain perang (military operation other than war,
MOOW) dalam penjelasan pasal 8 ayat (2) huruf b sangat luas sekali
walaupun dikatakan "tunduk pada hukum nasional". Penjelasan pasal 8 huruf
b mencakupi 13 bidang operasi militer selain perang, yang rawan multi
interpretasi dan mungkin bertabrakan dengan instansi Jain.
Penulis menyarankan di DPR, agar operasi militer selain perang (MOOW)
TNI mengutamakan civic mission, ABRI masuk desa, menangani akibat
bencana alam, membantu pemerintah dengan tenaga dan peralatan, seperti
mengangkut bahan pemilu yang baru lalu, bantuan pada Polri bila diminta
dan lain-lain yang bermanfaat bagi pemerintah dan masyarakat.
5. Menganai "ancaman" dalam Penjelasan pasal 8 ayat (I) diperinci a. agresi,
pemberontakan bersenjata, sabotage, aksi terro bersenjata, ancaman
keamanan dilaut atau diudara berupa pembajakan atau perampokan,
penyelundupan, imigrasi gelap, penangkapan ikan secara illegal, serta konflik
komunal semua ini berkaitan dengan penegakan hukum yang memerlukan
perincian tugas, wewenang, tanggung jawab dan profesionalisrne, karena
juga rancu kekeliruan dalarn pelaksanaan.

JURNAL POLISI INDONESIA 7. JULI 2005 63


Kita mengetahui penegakan hukum mencakupi fungsi represif yang hanya
dapat dilaksanakan oleh instansi dan·pejabat yang ditetapkan oleh Undang­
undang (lngat :KUHAP), sedangkan preventif dapat dilakukan oleh lain
instansi dan masyarakat secara terorganisasi dan sesuai ketentuan yang
berlaku.
Tentang penegakan hukum dilaut, beda dengan mempertahankan kedaulatan
di laut, masih ramai dibahas antara Bea Cukai, KPLP, Polisi Perairan dan
Angkatan Laut (berdasarkan Undang-Undang Perikanan) dan memerlukan
penyelesaian, dimana masing-masing harus juga ada kejelasan tugas,
wewenang dan tanggung jawab.
6. Yang terlupakan dalam RUU ini tentang keadaan bahaya, yang sekarang
diatur dengan UU Nomor 23 tahun 1959, yang membagi keadaan tertib
sipil, darurat sipil, darurat militer dan darurat perang. Bila diterapkan dengan
tepat UU Keadaan Bahaya ini tidak akan ada "daerah abu-abu" (grey
area) dalam pelaksanaan tugas TNI dan Polri serta instansi Jainnya.
Pengalaman Maluku (darurat sipil) dan Aceh (darurat militer) dapat
dimanfaatkan dalam kerjasama TNI dan instansi lain.
Dengan reformasi, bangsa Indonesia telah sepakat untuk melaksanakan
demokrasi, civil society, good governance, supremasi hukum dimana terdapat
keadilan dan kepastian hukum yang melindungi jiwa, harta benda dan hak azasi
manusia. Segala kekeliruan masa lalu harus dengan jujur dan obyektif diperbaiki
berpedoman pada cita dan tujuan reformasi.
Dalam merumuskan tugas, wewenang dan tanggung jawab TNI dan RUU
harusjelas perincian tugas, wewenang dan tanggung jawab tersebut. Dalam "good
governance" harus ada transparansi dan akutabilitas dan dalam pelaksanaan tugas
wewenang dan tag gung jawab harus didukung oleh kemampuan dan
profesionalisme.
Mudah-mudahan perang, apalagi perang terbuka, akan sangat berkurang
dimasa depan bahkan mungkin tidak ada, dalam 10 sampai 20 tahun mendatang,
sehingga tugas dan peran TNI dimasa damai, seperti operasi militer selama perang
(MOOW) hendaknya benar- benar bermanfaat dan efektif bagi negara dan
masyarakat.
Dalam organisasi modem perumusan tugas, wewenang dan tanggung jawab
harus dibuat sejelas mungkin untuk mengh indarkan kekeliruan apalagi
penyalahgunaan dalam pelaksanaannya.

64 JURNAL POLISI INDONESIA 7. JULI 2005


Mengingat banyaknya ha! penting yang kurangjelas dalam RUU TNI, kiranya
DPR tidak memaksakan penyelesaiannya dalam satu bulan. Berilah waktu yang
cukup untuk pembahasan di DPR dengan masukkan dari semua pihak yang peduli
dengan TNI, sehingga UlJ TNI kita benar-benar memenuhi semangat reforrnasi
dan merupakan landasan hukum bagi perkembangan TNI modem yang kuat dan
menjadi kebanggaan rakyat Indonesia.

JURNAL POLISI INDONESIA 7, JULI 2005 65


Membangun kepercayaan masyarakat
AriefSulistyanto

Tulisa11 menguraikan tentang upaya polisi membangun kepercayaan masyarakat


yang memang seharusnya sangat diperlukan bagi keberhasilan tugas Polisi.
Merupakan uraian pengalaman dalam membangun sebuah kepercayaan
masyarakat setelah terjadinya konflik antara polisi dan masyarakat.
Kepercayaan masyarakat terhadap polisi pada dasarnya adalah tuntutan bagi
polisi untuk mewujudkan profesionalismenya, karena tidak mungkin masyarakat
akan dapat mempercayai polisinya yang tidak profesional. Upaya itu haru s
didukung dengan kemampuan berkomunikasi, berdiplomasi dan negosiasi
dalam penyelesaian setiap permasalahan yang dihadapi disamping ketegasan
dan obyektifitas dalam setiap penyelesaian masalah.

1. Pendahuluan
Sangat menarik ungkapan Kapolri Jenderal Polisi Da 'i Bachtiar yang
disampaikan dalam briefing kepada seluruh jajaran Kapolda, Kapolwil dan Kapolres
se-Indonesia yang dilaksanakan melalui teleconference pada tanggal 19 Mei 2004,
yang menyatakan bahwa target Polri untuk dicintai oleh rakyat adalah sesuatu
yang terlalu tinggi dan muluk untuk dapat dicapai, karena dengan tugas kepolisian
sebagai pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat di dalamnya termuat kegiatan
penegakan hukum yang sudah barang ten tu akan menimbulkan rasa ketidak puasan
bagi anggota masyarakat yang ditindak karena melanggar hukum. Dengan keadaan
yang demikian ini maka tidak mungkin Polri akan dapat memuaskan semua pihak
karena pasti ada ketidak puasan yang akan timbul dalam masyarakat terhadap
Polri. Oleh karena itu menurut Kapolri, Kepolisian itu hendaknya menjadi sosok
yang dapat dipercaya oleh masyarakat dengan demikian maka apapun tindakan
yang dilakukan oleh Polri selama memenuhi standard prosedur operasional,
proporsional dan profesional sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku maka akan
menumbuhkan kepercayaan bagi masyarakat baik yang menjadi korban maupun
pelaku / pelanggar kejahatan. Dalam spektrum yang lebih luas lagi menjadi polisi
yang dipercaya masyarakat adalah merupakan suatu pengakuan atau tumbuhnya
rasa kepastian didalam diri tiap individu dalam masyarakat bahwa harapannya dalam
bidang pelayanan kepolisian akan terpenuhi secara profesional.
Untuk menjadikan pol isi yang dipercaya masyarakat sebenamya merupakan
pekerjaan yang mudah bilamana polisi mau dan mampu menjalankan profesinya

66 JURNAL POLISI INDONESIA 7, JULI 2005


dengan baik sehingga rnasyarakatpun puas atas berbagai tindakan yang dilakukan
polisi. Tetapi menjadi semakin sulit dan sangat sulit bilamana tidak ada kemauan
dan itikad baik dari polisi untuk menjalankan tugasnya secara profesional. Disinilah
awal dari kekecewaan masyarakat atas kinerja polisi yang pada akhirnya
menumbuhkan sikap antipati masyarakat terhadap polisi yang merupakan konflik
terpendam dan bila terdapat faktor pemicu sangat potensial menjadi konflik yang
terbuka dalam bentuk kemarahan masyarakat terhadap polisi berupa penyerangan
dan pembakaran markas kepolisian. Bila terjadi konflik yang terbuka �ntara polisi
dan masyarakat maka yang terjadi kemudian adalah timbulnya sikap saling rnenjaga
jarak kedua belah pihak yang semakin lama rnenjadi semakin jauh baik dalam
berinteraksi maupun berkomunikasi. Sehingga masing-masing akan berpersepsi
yang Jebih bersi fat subyektif menurut jalan dan referensi pemikirannya sendiri dalam
rnenanggapi setiap fenomena yang terjadi yang sangat jauh dari nilai-nilai obyektifitas
dan realitas yang sebenarnya. Persepsi ini sangat berbahaya karena dapat
dimanipulasi oleh pihak ketiga manakala terdapat faktor pemicu yang dijadikan
sarana untuk menimbulkan konflik terbuka antara polisi dan masyarakat.
Tulisan ini merupakan sebuah studi kasus yang akan menguraikan bagaimana
polisi membangun kepercayaan masyarakat setelah terjadinya konflik antara polisi
dan masyarakat yang telah meluluh lantakkan kepercayaan masyarakat terhadap
polisi. Sebagai sebuah studi kasus maka dalam tulisan ini akan diuraikan realita
yang terjadi di Polres Indragiri Hilir pasca kerusuhan yang telah mengakibatkan
kerugian fisik berupa dibakamya kantor Polres, rumah dinas Kapolres dan
Wakapolres Indragiri Hilir oleh massa pada tahun 200 l. Bila dilihat dari besarnya
kerugian maka nilai kerugian maka nilai kerugian fisik tidaklah seberapa besar bila
dibandingkan dengan kerugian immateriil yaitu lcredibilitas polisi di mata masyarakat,
terjadinya trauma psikologis dalam hubungan antara polisi dan keluarga besar polisi
dengan rnasyarakat yang membuat semakin jauhnya hubungan polisi dengan
masyarakat. Tulisan ini juga akan menguraikan berbagai upaya recovery untuk
mengembalikan kehannonisan hubungan polisi dan masyarakat berdasarkan realirns
yang terjadi yang diharapkan akan dapat memberikan gambaran langkah-langkah
yang secara bertahap dilakukan untuk mengembalikan eksistensi dan jatidiri polisi
agar dapat menjalankan fungsinya kembali dalam masyarakat.

2. Konflik polisi dan masyarakat di Polres lndragiri Hilir


a. Polres lnhil yang dibakar massa
Polres Indragiri Hilir secara geografis berada pada wilayah provinsi

JURNAL POLIS! INDONESIA 7. JULI 2005 67


Riau daratan dan merupakan bagian dari Polda Riau yang berada pada
bagian paling Selatan berbatasan l�ngsung dengan Polda Jambi. Sebagai
bagian paling Selatan maka jarak antara Polres dan Polda melalui jalan
darat bila ditempuh dengan jalan darat berkecepatan normal maksimal
sampai 8 jam perjalanan, tetapi dengan telah dioperasionalkan jembatan
lndragiri yang telah diresmikan oleh Presiden Megawati pada bulan Maret
2004 tersebut maka waktu tempuh menjadi 7 (tujuh) jam untuk sampai ke
Pekanbaru. Markas Polres lndragiri Hilir sendiri berada di ibu kota
Kabupaten yaitu kota kecamatan Tembilahan. Istilah Tembilahan ini
diplesetkan sebagai akronim dari "tempat pembinaan dan latihan",
karena Polres Inhil ini merupakan Polres daratan Riau yang terjauh maka
dijadikan sasaran mutasi personil ( "pembuangan ") bagi anggota Polri
yang bermasalah dari Polres lain yang berada di kota khususnya Batam
dan Pekanbaru. Wilayah daratan Polres Indragiri Hilir yang dialiri oleh
sungai lndragiri terpecah-pecah oleh anak-anak sungai yang cukup banyak
sehingga terpisah menjadi beberapa pulau yang hanya dapat dicapai dengan
menggunakan sarana transportasi air. Dari 12 Polsek yang ada di wilayah
Polres Inhil hanya 2 Polsek yang mumi dapat ditempuh dengan kendaraan
darat.
Kondisi sosial masyarakat yang cukup heterogen terdiri dari beberapa
macam suku bangsa yaitu Melayu, Banjar, Bugis, Jawa, Cina, Madura,
Padang, Batak, Palembang yang memiliki budaya kesuku bangsaan
masing-masing. Kehidupan. kesuku bangsaan ini telah terintegrasi dengan
baik karena telah terjadi pembauran baik dalam pemukiman maupun
perkawinan sehingga kerukunan antar suku bangsa telah tertanam dan
terbina dengan baik. Walaupun demikian apabila terjadi konflik diantara
warga antar suku bangsa harus segera diselesaikan dengan tuntas untuk
menghindari konflik yang berkepanjangan akibat solidaritas kesuku
bangsaan. Mayoritas penduduk Inhil adalah penganut agama Islam,
walaupun terdapat penganut agama lain yaitu Kristen, Katolik, Hindhu
dan Budha tetapi kondisi kerukunan beragama cukup terjamin. Kerukunan
dan toleransi serta integrasi kesuku bangsaan dapat terjadi di wilayah ini
karena adanya perkumpulan kesuku bangsaan yang selalu aktif melakukan
pembinaan dan penyelesaian konflik yang terjadi diantara warga suku­
suku bangsa yang berbeda dan adanya forum komunikasi antar suku
bangsa yang mengkomunikasikan hal-hal yang berkaitan dengan
kerukunan antar suku bangsa.

68 JURNAL POLISI INDONESIA 7. JULI 2005


Konflik yang terjadi pada tahun 2001 yang menjadi pemicunya adalah
adanya tindakan anggota Polri mencurigai seseorang yang kebetulan lewat
dengan menanyai yang bersangkutan tetapi tidak dijawab, sehingga anggota
Polri tersebut mendatangi dan menanyakan yang bersangkutan tetapi malah
diserang dengan senjata tajam sehingga anggota polri tersebut mengalami
Iuka pada bagian bahunya. Dengan adanya serangan ini maka dikeluarkan
tembakan peringatan sehingga tersangka melarikan kemudian menceburkan
diri ke sungai dan tidak timbul lagi. Setelah kejadian ini tidak terdapat
gejolak dalam masyarakat, tetapi setelah hari keempat terjadi gerakan
massa yang cukup besar mendatangi kantor Mapolres In)'lil dan akhimya
melakukan penyerangan dan pembakaran kantor Mapolres, rumah dinas
Kapolres dan Wakapolres Inhil serta perusakan asrama anggota Polri.
Massa melakukan pembakaran gedung Mapolres beserta seluruh isinya
tanpa ada perlawanan dari anggota Polres yang telah mencoba untuk
bertahan karena ada kebijakan pimpinan untuk tidak melakukan tindakan
represif agar tidak menimbulkan konflik yang lebih besar lagi. Kejadian
ini terjadi begitu cepat, sehingga tidak sempat lagi memperoleh pasukan
bantuan dari Polda maupun Polres terdekat lainnya karena jarak tempuh
yang cukup jauh. 1
b. Akibat pembakaran
Kerusakan massa yang membakar Mapolres Inhil merupakan sebuah
konflik yang terbuka yang berimplikasi luas terhadap kehidupan polisi dan
keluarga besar polisi maupun dalam hubungan polisi dengan masyarakat
setempat. Kerugian materiil yang dialami cukup besar yaitu hancurnya
gedung dan rumah dinas Kapolres dan Wakapolres serta hangusnya
seluruh berkas-berkas penting serta berbagai referensi / buku-buku
petunjuk operasional kepolisian yang sangat penting bagi pedoman anggota
di dalam melaksanakan tugas. Kerugian ini belum seberapa bilamana
dibandingkan dengan kerugian immateriil berupa dampak psikologis anggota
polisi dan keluarganya yang sampai saat ini masih merasakan trauma
akibat kerusuhan tersebut. Trauma psikologis yang sampai saat ini terasa
adalah bilamana Polres melakukan upaya penegakan hukum terhadap
pelaku kejahatan maka sebagian besar istri anggota Polri yang tinggal
diasrama merasa takut dan khawatir kalau-kalau terjadi kemarahan massa
terulang kembali. Bahkan sampai saat ini di rumah sebagian besar penghuni
asrama Polri Parit 11 tidak membeli perabotan rumah tangga yang mapan

JURNAL POLISI INDONESIA 7. JULI 2005 ·• 69


berupa kursi tamu ataupun almari yang permanen, mereka hanya cukup
memasang karpet atau tilam plastik diruang tamunya karena khawatir
kalau terjadi kerusuhan lagi supaya tidak mengalami kerugian yang cukup
besar.
Dampak pembakaran tersebut berimplikasi pada kiner ja dan
profesionalisme polisi dalam menjalankan fungsinya di masyarakat
(disfungsi polisi). Keadaan ini ditunjukkan dengan adanya sikap defensif
pasif polisi dalam menjalankan tugasnya di tengah masyarakat karena
adanya kekhawatiran akan terjadi gesekan yang dapat memicu kemarahan
massa kepada polisi terulang kembali. Sehingga aktifitas yang dilakukan
hanya cenderung menunggu adanya laporan dari masyarakat dan sedikit
aktifitas yang sifatnya proakti( keadaan ini berlangsung dan masih
terasakan sampai dengan pada saat saya masuk ke Polres lnhil pada
bulan Maret 2003.
Terjadinya disfungsi polisi dimana polisi tidak menjalankan fungsi
sebagaimana mestinya baik yang bersifat preemtif, preventif maupun
penegakan hukum telah menimbulkan dampak negatif yaitu merajalelanya
premanisme di tengah-tengah masyarakat, terjadinya ketidak tertiban
umum dan ketidak tertiban dalam berlalu lintas. Pemilik toko dan para
pedagang lebih takut kepada preman dengan memberikan jasa keamanan
yang setiap hari atau setiap bulan dibayarkan karena tidak bisa lagi
mengharapkan bantuan dari polisi. Penegakan hukum terhadap pelanggaran
lalu lintas tidak pemah dilakukan karena adanya kekhawatiran akan
menimbulkan kemarahan bilamana dilakukan tilang terhadap pelanggar
lalu lintas, akibatnya pelanggaran lalu lintas yang terjadi didepan mata
polisi, tidak dapat ditertibkan sehingga ada yang mengatakan bahwa "bi/a
di kota lain ada pengemudi sepeda motor menyalakan lampu sign
kanan beloknya ke kiri itu pengemudinya dari Tembilahan" ha] ini
sebetulnya sebuah sindiran atas ketidak tertiban lalu lintas yang terjadi di
kota Tembilahan.
Kurangnya fasilitas ruangan dan sarana pendukung operasional telah
menyebabkan terganggunya sistem operasional kepolisian yang telah
terbentuk yang menyebabkan semakin luntumya budaya polisi pada
umumnya dalam menjalankan tugasnya sehari-hari dalam masyarakat.
Keti'adaan ruangan yang cukup / aula yang dapat digunakan untuk
melakukan kegiatan pembinaan kemampuan / pengarahan dan pemberian

70 JURNAL POLISI INDONESIA 7, JULI 2005


bimbingan dan petunjuk anggota telah menyebabkan terjadinya degradasi
pengetahuan dan kemampuan anggota polisi dalam menjalankan tugas.
Rusaknya sarana komunikasi yang dapat digunakan untuk mengendalikan
unit operasional dilapangan secara langsung, telah menyebabkan
kurangnya kontrol dan sistem monitoring kejadian, dan rupanya ha) ini
merupakan kenikmatan tersendiri bagi seluruh anggota karena tidak perlu
berpayah-payah lagi terjun ke lapangan toh tidak dapat dimonitor. Jadi
salah satu kontrol yang rutin dilaksanakan adalah saat ape! pagi dan ape)
siang, walaupun kontrol juga bisa dilakukan dengan menggunakan hand
phone tetapi ini hanya khusus untuk para pejabat utama yang memiliki
HP saja sedangkan untuk yang lain tidak dapat dihubungi karena tidak
memiliki HP disamping juga biayanya cukup tinggi.
Bila situasi ini berlangsung terus dan tidak dilakukan pembenahan
maka yang akan terjadi adalah adanya kesatuan polisi dan orang
berseragam polisi tetapi tidak mengerti dan tidak memiliki kemampuan
sebagai seorang anggota Polisi, sehingga seringkali saya istilahkan sebagai
po/isi karnaval, karena hanya mampu mengenakan seragam polisi saja
tetapi tidak memiliki kemampuan menjalankan tugas polisi secara benar.
Kondisi inilah yang sering menimbulkan rasa khawatir dan sikap keraguan
saya saat baru melaksanakan tugas sebagai Kapolres lndragiri Hilir, karena
di satu sisi saya ingin eksistensi polisi ditengah masyarakat mulai dirasakan
tetapi disisi lain timbul kekhawatiran dampak yang terjadi akibat tindakan
anggota yang tidak profesional yang justru akan menimbulkan konflik baru
dengan masyarakat.
Di Jakarta dan kota-kota besar lainnya kecepatan polisi mendatangi
TKP atau kecepatan merespon terhadap setiap laporan yang diterima
sangat dituntut untuk selalu ditingkatkan, sehingga semakin singkat dan
cepat waktunya maka semakin baik. Oleh karena itu di kota-kota uesar
telah dikembangkan berbagai sarana dan sistem operasional dengan
menggunakan peralatan canggih (GPS) yang dapat memonitor gerakan
unit operasional di lapangan. Sesuai dengan prioritas kebijakan Kapolri
yang mengatakan pemenuhan sarana komunikasi dan transportasi maka
untuk Polsek-polsek yang berada di wilayah daratan didistribusikan
kendaraan operasional patroli Mitsubishi Kuda, hal ini semata-mata untuk
meningkatkan pelayanan masyarakat dan meningkatkan quick respo,,
Polri terhadap setiap pengaduan masyarakat. Tidak terjadi demikian untuk

JURNAL POLISI INDONESIA 7 JULI 2005 71


polisi yang memiliki wilayah perairan seperti Polres Indragiri Hilir,
jangankan meningkatkan quick respon, yang dipikirkan adalah baru
sebatas bagaimana bisa mendatangi TKP khususnya di wilayah Polsek
yang harus ditempuh dengan transportasi air. Sehingga kadang-kadang
ada kejadian yang baru bisa diketahui oleh Polisi dengan adanya laporan
dari warga masyarakat yang kebetulan mengetahui kejadian tersebut,
kemudian polisi baru bergerak untuk mencari tahu dimana korban dan
TKP-nya yang sudah barang tentu memerlukan waktu yang cukup lama.
Kondisi ini menjadi semakin memperburuk citra dan kepercayaan
polisi di mata masyarakat ketika mulai timbul keengganan dan keraguan
polisi untuk melakukan upaya-upaya pemolisian karena adanya
kekhawatiran akan menimbulkan konflik baru dengan masyarakat. Disisi
lain dalam masyarakat timbul keraguan dan rasa takut untuk berhubungan
dengan polisi walaupun akan melaporkan kejadian kejahatan yang
dialaminya. Akibatnya polisi semakin tidak pemah melakukan aktifitas
kegiatan-kegiatan pemolisian yang bersifat proaktif (proactive policing)
untuk menjemput bola tetapi lebih cenderung menunggu laporan
masyarakat atau reaktif (reactive policing).
Ketidak beranian masyarakat melapor kepada polisi ini menyebabkan
polisipun tidak pernah menangani permasalahan yang diterima dari
masyarakat. Kondisi ini bila berlangsung terus menerus maka akan terjadi
degradasi profesionalitas polisi oleh karena tidak terlatihnya ketrampilan
polisi karena tidak pernah melakukan aktifitas profesinya. Sedangkan
ditengah-tengah masyarakat akan timbul situasi ketidak tertiban oleh karena
terjadinya disfungsional polisi sehingga polisi tidak dapat mengetahui
kerawanan daerahnya, timbulnya ketidak tertiban dan meningkatnya
kejahatan dan maraknya premanisme yang sangat meresahkan
masyarakat. Dalam kondisi ini maka masyarakat tidak mempunyai harapan
lagi kepada aparat kepolisian (hopeless) dan lebih takut kepada preman
dengan memberikan jasa keamanan kepada para preman (khususnya para
pedagang/ toko-toko di Tembilahan).
Kemampuan polisi untuk memenuhi harapan masyarakat merupakan
salah satu kunci keberhasilan tugas sehingga akan menumbuhkan
kepercayaan rnasyarakat terhadap polisi. Bilamana masyarakat sudah
tidal< mempunyai harapan lagi kepada polisi yang bertugas melayaninya
maka polisi harus melakukan reformasi dan merumuskan strategi

72 JURNAL POLISI INDONESIA 7. JULI 2005


operasionalnya untuk merebut kembali kepercayaan masyarakat yang telah
hilang melalui langkah operasional, sehingga legitimitas dan kredibilitasnya
bisa dipulihkan serta bisa menjadi polisi yang dipercaya oleh masyarakat.

, 3. Membangun kepercayaan masyarakat terhadap polisi


a. Polisi yang dipercaya masyarakat :
Menjadi polisi yang dipercaya masyarakat adalah harapaFt yang
disampaikan oleh Kapolri sebagaimana visi yang telah dicanangkan.
Dipercaya berasal dari kata percaya yang secara leksikal memiliki arti
1. mengakui atau yakin bahwa sesuatu memang benar atau nyata,
2. menganggap atau yakin bahwa sesuatu itu benar-benar ada, 3.
menanggap atau yakin bahwa seseorang itu jujur (tidak jahat dsb),
4. yakin benar atau memastikan akan kemampuan atau kelebihan
seseorang atau sesuatu akan dapat memenuhi harapannya. 2 Dengan
arti tersebut diatas maka dipercaya mengandung makna sebagai sebuah
kebenaran, kejujuran, kepastian dan meyakini bahwa kemampuan dan
kelebihan yang dimiliki akan dapat memenuhi harapannya, makna tersebut
sebenamya membawa konsekwensi yang cukup berat bagi polisi yang
dituntut harus dapat dipercaya oleh masyarakat. Secara konseptual makna
tersebut dapat dijabarkan bahwa polisi harus bertindak benar dalam arti
polisi tidak boleh menyimpang dari prosedur hukum dan berbagai ketentuan
yang berlaku baik aturan hukum positi f maupun norma sosial serta norma
agama yang diakui dalam masyarakat. Dengan bertindak benar ini maka
polisi harus yakin dan tidak perlu ragu lagi bahwa dalam menangani setiap
pennasalahan pasti tidak akan ada yang kecewa sehingga tidak terjadi
rasa curiga diantara pihak yang bermasalah. Kejujuran berarti tidak menipu,
obyektif, tidak menyesatkan dan apa adanya serta tidak merekayasa.
Dalam berbagai hal kalau sikap jujur ini dikedepankan dalam
menghadapi setiap pem1asalahan maka tidak mengandung beban karena
memang seperti itulah keadaannya, keraguan dan rasa khawatir akan
terjadi complain yang dapat dihadapi dengan penuh ketegaran karena
sudah berupaya seobyektif mungkin dalam menyelesaikan permasalahan.
Dengan bertindak benar dan jujur maka akan dapat memberikan kepastian
/ kepastian hukum yang menjadi dambaan seluruh masyarakat. Dengan
sikap mental dan perilaku yang demikian ini maka diharapkan polisi akan
dapat memenuhi harapan-harapan masyarakat sehingga dapat dipercaya

JURNAL POLISI INOONESIA 7, JULI 2005 73


oleh masyarakat yang dilayaninya.
Pemenuhan harapan masyarakat agar polisi dipercaya tidak cukup
hanya dengan silqi.p dan perilaku yang dilandasi dengan kebenaran,
kejujuran, kepastian dan keyakinan masyarakat akan terpenuhinya
harapan-harapannya. Sikap mental tersebut merupakan landasan mental
yang mengarahkan perilaku kita dalam bertindak dalam menjalankan
tugasnya. Dalam melaksanakan tugasnya di masyarakat polisi sebagai
sebuah organisasi harus menyusun serangkaian program kegiatan baik
dalam bidang operasional maupun pembinaan sehingga akan merupakan
sebuah rencana kinerja yang telah ditetapkan untuk dioperasionalkan.
Dalam penyusunan program kerja tersebut hendaknya harus disesuaikan
dengan situasi dan kondisi lingkungan strategik yang senantiasa berubah
dan berkembang dari waktu.ke waktu. Sehingga apa yang dilakukan oleh
polisi akan selalu conform dengan apa yang menjadi harapan masyarakat
dan tidak terjebak dalam budaya rutinitas dan formalistik tanpa
menghiraukan apa yang terjadi dan berkembang dalam lingkungan dimana
polisi bertugas.
Untuk dapat menyusun program yang demikian ini maka diperlukan
kemampuan berpikir yang kreatifdan inovatif yang harus didukung dengan
kemauan dan kemampuan untuk berinteraksi dengan lingkungan dengan
melakukan environtmental scanning sehingga mengetahui apa yang
terjadi dan apa yang diharapkan oleh masyarakatnya. Tanpa memahami
apa yang menjadi harapan masyarakatnya maka polisi akan kehilangan
orientasi dalam melaksanakan tugasnya dalam masyarakat disamping juga
harus memahami harapan komunitas polisi secara internal dan harapan
dari organisasi polisi itu sendiri. Dengan mengintegrasikan ketiga harapan
tersebutlah organisasi polisi dijalankan melalui serangkaian program-pro­
gram operasional yang arahnya pada pelaksanaan tugas polisi kepada
masyarakat dan juga program pembi.naan untuk mempersiapkan sumber
daya yang dimiliki agar dapat melaksanakan program operasional kepolisian
yang telah ditetapkan. Sehingga kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh
polisi menjadi substansial dan efekti f dalam menjalankan fungsinya ditengah
masyarakat dan tidak hanya sekedar rutinitas dan formalistik.
b. , Membangun kepercayaan masyarakat :
Sebuah konflik akan meninggalkan rasa kebencian dan kondisi
trauma psikologis yang mendalam diantara pihak-pihak yang bertikai,

74 JURNAL POLISI INDONESIA 7, JULI 2005


apalagi bila dalam konflik yang terjadi tersebut menimbulkan kerugian
baik harta terlebih-Iebih jiwa manusia maka akan tumbuh perasaan
kebencian yang mendalam yang dapat berkembang menjadi dendam
kesumat yang sangat membahayakan hubungan kedua belah pihak
dikemudian hari bilamana tidak dilakukan upaya-upaya rekonsiliasi untuk
penyembuhan dan mengembalikan kehannonisan hubungan. Yang terjadi
kemudian adalah adanya pihak yang merasa sebagai pemenang dan pihak
yang kalah serta sikap saling menjaga jarak diantara kedua belah 'pihak
yang semakin lama menjadi semakin jauh. Terjadinya pembatasan interaksi
dan komunikasi diantara kedua belah pihak yang cenderung mengisolasi
diri diantara satu pihak dengan pihak yang lainnya. Bila situasi ini yang
terjadi maka pihak yang satu akan menanggapi pihak yang lain hanya
berdasarkan persepsi pribadi yang lebih bersifat subyektif.
Konflik dapat dilihat sebagai sebuah perjuangan antar individu atau
kelompok untuk memenangkan sesuatu tujuan yang sama-sama ingin
mereka capai. Kekalahan atau kemenangan pihak lawan dilihat oleh yang
bersangkutan sebagai kemenangan dalam mencapai tujuan yang ingin
dicapai. Dalam sebuah konflik tujuan utamanya adalah penghancuran pihak
lawan sehingga tujuan untuk memenangkan sesuatu menjadi tidak
sepenting untuk mcnghancurkan pihak lawan. (Suparlan P: 2004) Lebih
jauh dikatakan bahwa potensi konflik dalam diri seseorang atau kelompok
orang ditandai dengan adanya perasaan tertekan karena perbuatan pihak
lawan, yang dalam keadaan mana salah satu pihak tidak mampu untuk
melawan atau menolaknya dan bahkan tidak mampu untuk
menghindarinya. Dalam keadaan ini pelaku mengembangkan perasaan
kebencian yang terpendam terhadap pihak lawan, perasaan kebencian
tersebut bersifat akumulatif oleh perbuatan lain yang merugikan pihak
lawan. Kebencian yang dialami ini biasanya terwujud dalam bentuk sikap
menghindar atau melarikan diri dari sipelaku, tetapi kebencian tersebut
secara umum biasanya terungkap dalam bentuk kemarahan atau amuk
yaitu pada saat pihak yang kalah tidak dapat menghindar Jagi dari pilihan
harus melawan atau mati.
Ketidak adilan dan kesewenangan-wenangan biasanya dilihat oleh
yang bersangkutan sebagai sebuah konsep hak yang dimiliki yaitu harta
benda, kehom1atan, keselamatan dan nyawa oleh pribadi, keluarga, kerabat
dan kornuniti serta masyarakat. Suatu pelanggaran atau perampasan hak

JURNAL POL/SI INDONESIA 7, JULI 2005 75


milik tersebut akan bisa diterima oleh seseorang atau kelompok bila
dilakukan sesuatu atau menurut aturan ataupun norma-norma dan nilai
budaya yang berlaku dalam masyarakat setempat atau memang
seharusnya demikian. Tetapi tidak dapat diterima oleh yang bersangkutan
bilamana perbuatan tersebut tidak sesuai atau bertentangan dengan aturan
atau norma-norma dan nilai budaya yang berlaku.
Mengacu pada proposisi diatas maka kalau kita analisis konflik antara
masyarakat dan polisi yang terjadi di Polres Indragiri Hilir membenarkan
tesis tersebut diatas. Adanya ketidak seimbangan kekuasaan antara polisi
dengan masyarakat yang sering merasakan adanya kesewena ng­
wenangan dan menyaksikan berbagai bentuk penyimpangan yang dilakukan
oleh orang atau kelompok yang lebih berkuasa dalam bentuk perilaku
yang tidak sesuai dengan etika aparatur negara yang seharusnya
ditegakkan dan ditertibkan tetapi justru malah dilakukan oleh aparat
kepolisian, tetapi ketika masyarakat yang melakukan akan dilakukan
penindakan. Oleh karena masyarakat berada posisi tawar yang lemah
dan ingin usahanya tetap berjalan walaupun ilegal maka mereka rela
melakukan kerjasama dengan polisi demi kelancaran usahanya dengan
memberikan imbalan agar tidak bertindak. Karena ha! ini berlangsung
cukup lama sehingga menumbuhkan sikap kebencian dan rasa antipati
yang terpendam serta akumulatif yang merupakan potensi konflik yang
sangat berbahaya. Sehingga ketika ada faktor pemicu yang timbul maka
potensi konflik tersebut meledak dalam bentuk konflik fisik berupa amuk
massa yang membakar Markas Polres Indragiri Hilir.
Ibarat nasi sudah menjadi bubur dan penyesalan selalu datang
terlambat, konflik fisik yang terjadi telah meninggalkan dampak
berkepanjangan yang berimplikasi luas bagi masa depan kepolisian dalam
hubungannya dengan masyarakat. Polisi tidak bisa bertahan dengan sikap
dan perilaku de fensif dan pas if bahkan permisive karena perkembangan
yang terjadi dalam masyarakat akan senantiasa menimbulkan ekses negatif
yang setiap saat memerlukan kehadiran polisi untuk melakukan tindakan
antisipasi terhadap ekses yang rnembahayakan keselamatan masyarakat.
Sehingga polisi harus berani berbenah diri membangun kepercayaan diri
d� n rnembangun kepercayaan masyarakat pasca kerusuhan.
Memang cukup berat untuk memulai tetapi tanpa ada keberanian
rnemulai maka proses membangun kepercayaan tidak akan dapat

76 JURNAL POLIS! INOONESIA 7. JULI 2005


dilakukan. Berbagai upaya yang telah dilakukan dalam upaya membangun
kepercayaan diri polisi maupun membangun kepercayaan masyarakat
terhadap polisi sehingga merupakan sebuah pengalaman yang cukup
menarik untuk dikaji karena mungkin hal ini dapat dijadikan sebagai
pelajaran ataupun referensi dalam menghadapi kejadian yang serupa.
Berbagai upaya terse but adalah sebagai berikut : ·
1 Membuka jalur komunikasi :
Penciptaan suasana saling pengertian dan penyadaran untuk
mengeliminasi dampak negatif dari konflik yang terjadi dengan membuka
jalur-jalur komunikasi akan menjadi sarana yang efektif dalam upaya
merecovery Iuka akibat konflik yang sekaligus untuk mencegah terjadinya
pengulangan konflik. Komunikasi yang dilakukan akan dapat membuka
diri polisi untuk menyampaikan berbagai informasi yang bermanfaat dan
sekaligus juga untuk menerima masukan serta memahami apa yang
menjadi harapan masyarakat. Untuk dapat berkomunikasi ini memang
diperlukan kemampuan dan ketrampilan sehingga apa yang menjadi tujuan
komunikasi ini dapat tercapai. Dengan meningkatnya intensitas komunikasi
ini maka polisi akan dapat mengetahui persepsi masyarakat terhadap polisi
selama ini. Hal ini sangat penting karena terjadinya persepsi yang salah
masyarakat terhadap polisi akan dapat menimbulkan kesalah pahaman
yang dapat merusak hubungan, dengan aktif berkomunikasi dengan
masyarakat maka masing-masing pihak akan dapat saling mengenal dan
memahami secara obyektif sehingga dapat menghilangkan prasangka buruk
seperti yang selama ini terjadi.
Bagaimana persepsi masyarakat terhadap polisi selama ini dapat
saya ketahui ketika saya melaksanakan patroli berjalan kaki bersama
perwira staf dan 2 anggota Bintara dengan mendatangi salah satu toko
yang kebetulan penjaganya 2 orang perempuan yang bemama Fifi dan
Sarifah (pemilik dan pembantunya). Saya masuk ke dalam toko dengan
mengucapkan salam tetapi yang terjadi adalah penjaga toko tersebut malah
Jari masuk kedalam untuk bersembunyi. Akhimya saya panggil yang
bersangkutan dan saya tanya mengapa lari mereka justru malah balik
bertanya pak polisi mau menangkap siapa. Akhimya terjadi komunikasi
diantara kami dan memperoleh banyak infonnasi dan keluhan-keluhan
tentang pemerasan yang dilakukan oleh preman yang dalam keadaan
mabuk meminta uang dengan paksa. Setelah seminggu kemudian saya

JURf�AL POLISI INOONESIA 7. JULI 2005 77


kembali lagi ke tokonya temyata sudah terjadi perubahan sikap, tidak ada
rasa takut dan justru komunikasi yang harmonis penuh kekeluargaan, yang
bersangkutan mengucapkan terima kasih karena setelah seminggu ini sejak
kedatangan pak polisi sudah tidak ada lagi preman yang datang meminta
uang ke tokonya.
lni adalah salah satu contoh kesalahan persepsi masyarakat terhadap
polisi yang menganggap tugasnya hanya menangkap orang saja atau
persepsi tersebut terjadi mungkin karena sikap dan perilaku polisi selama
ini memang seperti itu. Persepsi masyarakat pada dasamya merupakan
refleksi atas apa yang diketahui dan dilihatnya tentang perilaku polisi selama
ini. Sehingga kalau selama ini yang diketahui tentang polisi hanya
menangkap pelaku kejahatan saja, maka itulah persepsi yang dimiliki oleh
yang bersangkutan terhadap polisinya, walaupun tinda'kan polisi
menangkap tersebut sudah sesuai dengan aturan. Ini menunjukkan
terbatasnya informasi yang diperoleh warga masyarakat terhadap polisi
maupun sedikitnya polisi melakukan sosialisasi atas peran dan tugas polisi
yang lebih dari hanya sekedar tukang tangkap penjahat.
Jalur komunikasi juga dilakukan melalui silaturahmi dengan para tokoh
masyarakat melalui kegiatan keagamaan dan shalat jamaah di mesjid­
mesjid. Pada setiap hari Jum'at seluruh anggota Polres yang beragama
Islam diwajibkan shalat Jum'at dengan mengenakan pakaian seragam
polisi, sedangkan yang beragama non Islam ditugaskan untuk
melaksanakan pengamanan di Mesjid-mesjid, sehingga akan terlihat
keberadaan polisi ditengah-tengah masyarakat secara nyata serta
menunjukkan kebersamaan polisi dengan masyarakat dalam menjalankan
ibadah agamanya. Sikap toleransi polisi yang beragama non Islam
ditunjukkan dengan kegiatan mengamankan kegiatan keagamaan. Dengan
cara ini tumbuh sikap simpati masyarakat yang mayoritas beragama Is­
lam. Bahkan ada ha! yang cukup membuat saya terkejut adalah pada
suatu hari Jum'at saat sholat Jum'at di Mesjid Agung Al Huda temyata
pada saat selesai shalat Jum'at Imam mendoakan Kapolres dan seluruh
anggota Polres Inhil agar diberikan rahmat dan keselamatan serta
kesuksesan dalam bertugas yang diamini oleh seluruhjemaah shalat Jum'at.
Hal ini merupakan sebuah indikator mulai diterimanya kembali polisi oleh
masyarakat.
Disamping itu upaya mendekatkan polisi dengan masyarakat ini

78 JURNAL POLISI INDONESIA 7. JULI 2005


dilakukan juga dengan menghadiri setiap ada warga yang meninggal dunia
dengan menugaskan anggota polisi berpakaian dinas untuk melayat dan
menawarkan bantuan pengawalan bila diperlukan. Bahkan kalau ada
kesempatan selaku Kapolrespun saya_ menyempatkan diri untuk melayat,
hal ini dilakukan untuk menunjukkan perhatian polisi kepada warga
masyarakat karena pada saat orang kesusahan seperti inilah kesan atas ·
perhatian polisi itu akan lebih dirasakan dan tertanam mendalam. Demik:ian
pula bilamana ada undangan pesta pemikahan maka disempatkan °untuk
bisa hadir bersama-sama dengan para pejabat Polres dan anggota sehingga
terlihat kebersamaan jajaran kepolisian dan penghargaan kepada yang
memiliki hajat. Banyak keuntungan yang bisa didapat dalam kegiatan ini
bukan hanya makan siang gratis saja tetapi juga dapat bertemu dan
berkomunikasi dengan berbagai Japisan masyarakat.
Agar dapat berkomunikasi dengan masyarakat diperlukan bekal
kemampuan berkomunikasi oleh para pelaksana, tetapi saya tidak begitu
yakin dengan kemampuan mereka karena selama ini yang seperti halnya
kegiatan polisi pada umumnya jarang melakukan komunikasi interaktif
dan dua arah dengan masyarakat. Sehingga sebelum menerjunkan personii
polisi di lapangan maka diberikan pembe�alan tentang kemampuan
berkomunikasi baik yang bersifat teknis maupun taktis sehingga dapat
menarik simpati masyarakat, bagaimana membuka pembicaraan dan
moment apa yang dapat digunakan sebagai bahan pembicaraan. Memang
ada petunjuk atau slogan 3 S dalam melaksanakan pelayanan kepada
masyarakat yaitu "senyum. sapa dan salam" tetapi kalau tidak pemah
dilakukan maka cukup sulit untuk diterapkan oleh anggota polisi apalagi
ya.ig masih baru. Untuk itulah saya mengambil waktu malam hari untuk
rpenyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan teknis dan taktis tugas­
tugas kepolisian termasuk kemampuan berkomunikasi. Yang lebih penting
adalah bagaimana kita bisa mencari moment yang tepat dalam melakukar.
setiap kegiatan sehingga bisa memberikan hasil yang efektif atas kegiatan
yang dilakukan.
2) Polisi tu run kejalan secara all out force
Kegiatan polisi turun ke jalan ini sebenamya pada masa lalu pemah
dijalankan tetapi setelah kejadian pembakaran menjadi jarang dilakukan,
istilah yang digunakan anggota Polres adalah "Commander wish" yang
merupakan penyampaian kebijakan Kapolri Rusdiharjo saat itu yang

JURNAL POLJSI INDONESlA 7, JULI 2005 - 79


memerintahkan semua anggota turun kejalan. Hal ini menunjukkan bahwa

I
masa lalu kegiatan ini pemah dilakukan dan bukan sesuatu yang baru.
Tetapi setelah cukup lama tidak pernah diterapkan maka untuk
mengembalikan dan memulihkan eksistensi Polri maka kegiatan itu �
dilaksanakan lagi dengan pola yang berbecla dan lebih simpatik. Variasi
dalam pelaksanaan tugas tersebut dilakukan dengan jalan petugas tidak
hanya berdiri saja mengawasi masyarakat penggunajalan, tetapijuga aktif
memberikan arahan kepada masyarakat .pada saat pengendara berhenti
di lampu merah (traffict light) petugas mendatangi pengemudi sepeda
motor yang tidak menggunakan helm atau tidak lengkap instrumen
kendaraannya dengan memberikan peringatan dan mencatat identitas
pengemudi serta kendaraannya agar lain kali menggunakan helm.
Disamping itu juga menempatkan petugas polisi di tempat parkir perkantoran
bank dll, untuk menunggu pegawai / karyawan pengendara sepeda motor
yang tidak menggunakan helm ataupun tidak lengkap instrumennya
diberikan peringatan agar dilengkapi pada hari berikutnya. Semua kegiatan
tersebut dilakukan melalui komunikasi yang sopan dan ramah serta jauh
dari sikap arogan dan lebih bersifat mengajak.
Pada lokasi-lokasi sekolahan polisi membantu para pelajar sekolah
untuk menyeberangjalan dan menghentikan kendaraan yang akan lewat
ketika anak-anak sekolah akan menyeberang. Dengan cara demikian maka
masyarakat merasakan adanya perubahan sikap polisinya dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat, disamping itu dengan t.urunnya
polisi ke lapangan telah mampu memberikan suasana aman karena
masyarakat tidak merasa dibiarkan lagi oleh Polisi. Dampak positif yang
dirasakan adalah adanya surat simpati dan dukungan dari sebuah LSM
Pemantau Otonomi yang memberikan dukungan dan ucapan terima kasih
kepada Polres lnhil atas berbagai upaya yang telah dilakukan.
3) Penerapan patroli jalan kaki dan bersepeda
Adanya keluhan masyarakat khususnya para pedagang dan pemilik
toko terhadap ulah para preman yang sering meminta uang dengan cara
memaksa dan dalam keadaan mabuk kemudian marah kalau hanya
diberikan sedikit. Bahkan ada yang mengeluh karena dalam satu hari
diminta uang sampai Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah), padahal
keuhtungan berjualan dalam sehari tidak sebesar itu. Keadaan ini sangat
meresahkan masyarakat dan tidak ada keberanian untuk menolak apalagi

80 JURNAL POLISI INOONESIA 7. JULI 2005


melawannya, karena khawatir nanti justru malah akan mendapat resiko
yang lebih besar sehingga mereka bersikap pasrah. Mereka tidak bisa
mengharapkan bantuan dari polisi karena polisi sendiri masih mengalami
trauma terhadap kasus pembakaran Polres dan adanya kekhawatiran polisi
tidak menuntaskan perkaranya karena pengalaman selama ini jika ada
preman yang dilaporkan dengan berbagai alasan tidak sampai maju ke
pengadilan. Ketidak tegasan polisi ketika menangkap para pre111an ini
disamping karena adanya kekhawatiran akan terjadi kerusuhan dan konflik
lagi juga disebabkan oleh adanya perrnintaan bantuan dari yang mengaku
tokoh masyarakat agar preman tersebut dilakukan pembinaan saja
sehingga terpaksa dilepaskan.
Timbulnya keresahan dan kekhawatiran warga masyarakat ini
merupakan indikasi terjadinya ketidak tertiban dan gangguan keamanan
sebagai akibat tidak berjalannya fungsi polisi dalam inasyarakat. Ini adalah
sebuah moment penting yang harus diambil untuk menarik simpati
masyarakat dengan melakukan pemulihan keamanan dan mengembalikan
rasa aman masyarakat dalam menjalankan kehidupannya. Setelah
melakukan evaluasi clan orientasi wilayah maka program kegiatan yang
paling cocok untuk dilaksanakan adalah dengan penerapan patroli berjalan
kaki dan bersepeda. Dalam melaksanakan patroli berjalan kaki ini petugas
patroli tidak hanya berjalan menyusuri jalan dan kompleks pertokoan saja
tetapi diwajibkan untuk singgah dan berkomunikasi dengan warga
masyarakat, pedagang dan pemilik toko sehingga mereka akan mengetahui
kehadiran polisi dan bisa menyampaikan keluhannya. Sedangkan patroli
bersepeda dilaksanakan pada lokasi pemukiman warga yang kondisi
jalannya cukup sempit karena hanya berupa lorong-lorong sehingga hanya
dengan sarana sepeda ini bisa terjangkau oleh petugas kepolisian.
Penerapan patroli dengan metode jalan kaki dan sepeda ini cukup
efektif, karena petugas patroli dapat berinteraksi langsung dengan warga
masyarakat. Beberapa kesempatan saya bersama para perwira juga
melaksanakan patroli bersepeda dan mampir ke rumah-rumah warga yang
kebetulan ada pemilikny� ,-tmtuk ·berkomunikasi, temyata semuanya
berterima kasih dan mendukung kegiatan patroli bersepeda ini dan mereka
mengatakan inilah sebenamya yang diharapkan selarna ini karena selama
ini baru kali ini lingkungan mereka didatangi oleh polisi. Fenomena ini
menunjukkan bahwa sebenamya untuk menarik simpati masyarakat tidak

JURNAL POLISI INOONESIA 7. JULI 2005 · ., 81


terlalu sulit. karena dengan menjalankan tugas polisi yang elementer saja
kalau dijalankan dengan benar sambutan dan penghargaan masyarakat
cukup tinggi, dan inilah sebenamya yang selama sudah sering dilupakan
dalam kehidupan kepolisian. Karena dengan semakin majunya teknologi
dan sarana transportasi menjadikan polisi semakin jauh dengan
masyarakatnya, berkurangnya intensitas interaksi polisi dan masyarakat
karena polisi lebih memilih melakukan patroli dengan kendaraan roda
empat berupa sedan maupun station wagon tertutup dan her AC, sehingga
petugas patroli hanya sekedar melewati route yang telah ditentukan.
Padahal sebenamya yang lebih penting dalam pelaksanaan tugas patroli
adalah terjadinya interkasi dan komunikasi yang aktif antara polisi dan
warga masyarakat.
Pendapat-pendapat yang positif dari masyarakat dengan adanya
aktifitas polisi yang lebih berorientasi kepada masyarakat serta
meningkatnya rasa aman masyarakat dengan tidak adanya lagi gangguan
dalam kegiatannya adalah merupakan sebuah prestasi yang dicapai oleh
anggota polisi. Dengan terciptanya keamanan dan hilangnya kekhawatiran
dan keresahan warga masyarakat ini maka menurut Prof. Parsudi Suparlan
yang senantiasa alctif memberikan respon berbagai permasalahan yang
saya temui dan sebagai profesor pembimbing saya yang selama ini menjadi
tempat saya berkonsultasi mengatakan bahwa berbagai upaya yang saya
lakukan tersebut pada dasamya merupakan kegiatan yang bersifat to
restore the order (restorasi keamanan dan ketertiban) yang telah secara
tepat diterapkan dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang simpatik
sehingga walaupun penertiban dilakukan tetapi tidak sampai menimbulkan
dampak nega ti f yang rnembahayakan warga masyarakat maupun
kepolisian itu sendiri mengingat secara historis pemah terjadi konflik dengan
masyarakatnya.
Untuk itulah menurut saya perlu dilakukan reorientasi kembali tentang
tugas-tugas patroli ini yang kecenderungannya lebih mengarah untuk dapat
menangkap pelaku kejahatan daripada mencegah terjadinya kejahatan.
Hal ini ditunjukkan dengan adanya tanggapan dari sebagian besar anggota
polisi ketika saya rnembelikan sepeda patroli, bagaimana dapat mengejar
penjahat kalau polisinya naik sepeda sedangkan malingnya naik sepeda
motor. lni pendapat yang salah, sebab kalau kita kembalikan lagi kepada
fungsi patroli yai t11 merupakan tugas yang bersi fat preventi f sehingga target

82 JURNAL POLIS! 1N00NES1A 7. JULI 2005


yang harus dicapai selama melaksanakan patroli adalah tercegahnya
kejadian kejahatan dalam wilayah yang dipatrolinya. Sedangkan kalau
ketika melaksanakan patroli terjadi kejahatan yang ditemukan oleh petugas
patroli bersepeda atau berjalan kaki maka harus berupaya untuk
melakukan penangkapan tetapi kalau tidak kuasa melakukannya maka
segera meminta bantuan kepada unsur operasional lainnya (Reskrim dsb ).
Sehingga disini harus tercipta suatu hubungan kerja sama yang sistematis
dan terintegrasi antara fungsi operasional kepolisian yang satu dengan
yang lainnya.
Dengan pola operasi kepolisian yang demikian ini maka akan dapat
menimbulkan simpati masyarakat yang diharapkan akan menumbuhkan
kemauan masyarakat untuk bekerja sama dengan kepolisian dalam upaya
menciptakan keamanan dilingkungannya masing-masing atau minimal mau
memberikan informasi dan laporan terhadap berbagai ha) yang berkaitan
dengan masalah kamtibmas kepada polisi. Sikap masyarakat inilah
sebenamya merupakan embrio untuk dapat diterapkannya community
policing yang menempatkan warga masyarakat sebagai mitra kepolisian
dalam pengelolaan kamtibmas dalam lingkungan komunitasnya.
4) Pos Polisi dan Pos Babinkamtibmas
Dengan kondisi geografis wilayah Polres lndragiri Hilir yang
terpecah-pecah sehingga terdapat daerah / desa yang cukup jauh dari
kesatuan induk baik Polsek maupun Polres, untuk mendekatkan polisi
dengan masyarakat maka dibentuk pos polisi-pos polisi di desa-desa
tersebut dengan anggota polisi yang berj umlah I (satu) sampai dua orang.
Mereka berada jauh dari Polsek sehingga cukup sulit untuk melakukan
kontrol terhadap pelaksanaan tugasnya. Dari hasil evaluasi yang telah
dilakukan terhadap keberadaan pos-pos polisi tersebut temyata sangat
tidak efektif bagi pelayanan kepolisian dan pembinaan masyarakat
sekitamya. Karena penugasan personil di Pos polisi tersebut temyata lebih
bersifat pasif karena mereka hanya menunggu laporan dari masyarakat
sehingga cenderung bersifat reaktif. Dari hasil pemeriksaan beberapa
pos polisi yang saya laksanakan secara mendadak banyak ditemukan
petugas pos polisi yang tidak berada ditempat dan bertugas bergantian
seminggu sekali secara bergantian dengan tidak diketahui kemana perginya.
Keadaan ini sangat merugikan kesatuan dan membahayakan bagi personil

JURNAL POLIS! INDONESI/> 7. JULI 2005 83


yang bersangkutan karena meninggalkan wilayah tugas ta11P,a ijin pimpinan
sehingga kalau terjadi sesuatu atas dirinya tidak dapat dipertanggung­
jawabkan. Dalam ketentuan Struktur Organisasi dan Tugas Kepolisian
Republik Indonesia yang diatur dalam Kep. Kapolri No. 54Nil/2001 tanggal
17 Juli 2001 bahwa kriteria sebuah pos polisi adalah beranggotakan 8
orang personil Polri dengan fasilitas gedung ada ruang tahanan yang
dipimpin oleh seorang Kapospol.
Dengan berdasarkan beberapa pertimbangan tersebut dan mengacu
pada ketentuan formal organisasi kepolisian maka untuk lebih
mengefektifikan penugasan personil yang berada di pos Polisi tersebut
maka keberadaan Pos Polisi tersebut dilikuidasi dan diganti dengan-Pos
B abinkamtibmas. Maksud perubahan Pos Polisi menjadi pos
Babinkamtibmas yang pertama adalah untuk mengikuti ketentuan
organisasi, dan yang lebih penting adalah untuk memperluas fungsi dan
peran petugas polisi yang ada di Pos Babinkamtibmas tersebut yang tidak
hanya sekedar menunggu dan menerima laporan saja tetapi juga aktif
rnelakukan kegiatan pernbinaan dan menjalin kemitraan dengan warga
masyarakatnya. Dalam perkembangannya dari beberapa referensi yang
saya baca tentang pemolisian di Jepang, saya meniru model Chusaizo
yaitu pelaksanaan tugas community policing yang berada di daerah
pedesaan yaitu penugasan seorang petugas polisi dan keluarganya yang
bertempat tinggal dan berkantor di rumahnya untuk menjalankan tugas­
tugas kepolisian di desa yang menjadi administrasinya (Chryshnanda,
2004:88).
Pembentukan Pos Babinkamtibmas tersebut merupakan model
Chusaizo yaitu penempatan seorang Bintara polisi dalam Pos
Babinkamtibmas bersama dengan keluarganya, bentuk pos yang
merupakan kantor tersebut adalah berupa rumah tinggal dengan kantor
sehingga setiap saat Babinkamtibmas selalu berada di wilayah tugasnya.
Sampai saat ini telah terbentuk 20 Pos Babinkamtibmas yang sebagian
besar fasilitasnya dibantu oleh masyarakat desa setempat yang telah rela
menghibahkan tanah dan bangunan untuk ditempati Babinkamtibmas
bersama keluarganya. Dengan pola penugasan semacam ini maka
efektifitas penugasan akan dapat dicapai karena petugas akan berada di
tempat tugasnya setiap saat dan tidak ada alasan lagi untuk meninggalkan
tempat tugas guna rnenjenguk keluarganya.

84 JURNAL POLIS! INDONESIA 7, JULI 2005


Pembentukan Pos Babinkamtibmas semacam ini mendapat respon
positif dari warga masyarakat bahkan pimpinan di Polda Riau. Demi
terwujudnya efektifitas Babinkamtibmas maka diberikan rumusan yang
mudah dan jelas tentang misi dan jabaran tugas yang harus dikerjakan
sebagai Babinkamtibmas. Untuk itu diberikan rumusan misi sebagai berikut:
bahwa misi dari Babinkamtibmas adalah /) Mengenal dan dikenal ofeh
warganya, 2) Menguasai dan memahami FKK, PH dan AF yang ada
da/am lingkungan tugasnya, 3) Menjalin kerjasama dengan tokoh
masyarakal yang potensial dalam upaya pembinaan ka111tibmas,
4) Memba11gun dan mengembangkan jaringa11 komunikasi dan
informasi untuk mendukung pelaksanaan tugas Po/res Inhil,
5) Me11guasai permasa/ahan kamtibmas yang te,jadi di wilayah
tugasnya, 6) Me111berikan bantuan pelayanan kamtibmas dengan
sebaik-baiknya k ep ada warga binaannya, 7) Membuat lapora11
kegiatan dan pendataan Astagatra yang ada di wi/ayah tugasnya.
Penjabaran dari misi ini adalah dengan memberikan penugasan
kepada para Babinkamtibmas untuk melakukan pendataan warga
masyarakatnya dengan cara mendatangi tiap kepala keluarga dari rumah
ke rumah (door to door) seperti halnya petugas sensus penduduk.
Kegiatan ini hasilnya memang berupa data-data kependudukan dari tiap­
tiap rumah warga di tiap kelurahan yang harus dilaporkan dan dibukukan,
tetapi itu sebenamya hanyalah sebagai sasaran ahtara saja. Sedangkan
yang menjadi sasaran utamanya adalah memaksa anggota untuk mau
mendatangi warga masyarakatnya satu persatu dan dari rumah ke rumah,
dengan cara ini maka ia akan dikenal oleh warganya dan akan mengenal
warganya sedalam mungkin. Dengan cara mendatangi ini maka petugas
Babinkamtibmas bisa memberikan masukan dan menerima infonnasi dari
warga masyarakat sekaligus mengetahui berapa jumlah penghuni dalam
rumah tersebut. Hal ini pen ting dalam kondisi seperti sekarang ini dimana
banyak pelaku kejahatan yang memanfaatkan terisolimya lokasi sebagai
tempat persembunyian dan kelemahan aparat di pedesaan untuk membuat
KTP palsu. Sehingga dengan mengenal dan mengetahui jumlah penghuni
sebuah rumah sehingga ketika ada penambahan penghuni dalam rumah
warga tersebut maka Babinkamtibmas akan mengetahui dan selanjutnya
menanyakan kepada kepala keluarganya.

JURNAL POLIS! INDONESIA 7 ..JULI 2005 85


Dengan pola tugas yang demikian ini maka akan terjalin komunikasi
dengan warga binaannya yang merupakan titik awal terjalinnya hubungan
silaturahmi antara polisi dan masyarakat yang diharapkan akan terbentuk
jaringan komunikasi danjaringan infonnasi untuk memudahkan pernantauan
situasi kamtibmas di wilayah tugasnya. Pembangunanjaringan informasi
ini saya analogikan seperti halnya bisnis multi level marketing dimana
semakin banyak cabangnya maka akan semakin banyak keuntungan yang
diperoleh, demikian halnya dengan pembangunanjaringan inforrnasi ini
maka semakin aktif polisi berkomunikasi dan menjalin hubungan dengan
warganya maka akan semakin besar jaringan informasi yang terbentuk.
Sedangkan penugasan Babinkamtibmas untuk wilayah perkotaan
khususnya Kecamatan Tembilahan Kota dan Tembilahan Hulu yang tidak
ada Polseknya tetapi sebagai lokasi markas Polres Inhil maka pola
penugasan Babinkamtibmas yang diterapkan agak berbeda dengan yang
di wilayah pedesaan di pelosok. Pola yang diterapkan untuk penugasan
Babinkamtibmas di wilayah ini adalah dengan membagi anggota Polres
lnhil (kecuali Satuan Reskrim dan lntelkam) dalam wilayah RW yang ada
di Tembilahan, sehingga setiap RW terdapat I (satu) orang Bintara yang
akan bertugas sebagai Babinkamtibmas. Para Babinkamtibmas ini dibekali
dengan surat pemberitahuan kepada warga masyarakat dan masing-masing
diberikan kartu nama dengan pasfoto petugas yang tercetak dalam kartu
nama tersebut. Sehingga setelah mengenalkan diri ketika bertamu ke rumah
warganya petugas Babinkamtibmas akan meninggalkan kartu nama yang
berisi pasfoto, nomor telepon yang bisa dihubungi, alamat rumah dan alamat
kantornya. Dengan demikian maka setiap warga akan mengenali
Babinkamtibmas yang bertugas di RW-nya yang setiap saat diperlukan
dapat menghubungi yang bersangkutan. Para Babinkamtibmas ini merniliki
misi yang sama dan harus dijabarkan seperti halnya petugas
Babinkamtibmas yang dipelosok. Hanya saja petugas Babinkamtibmas di
perkotaan ini disamping bertugas sebagai Babinkamtibmas yang bersifat
fungsional maka ia juga mengemban tugas struktural yang tetap harus
dilaksanakan secara rutin sehari-hari.
Dengan pola ini maka efektifitas tugas dan efisiensi sumberdaya
manusia dapat dicapai, karena denganjumlah personil yang hanya 60%
dari DSPP tidak mungkin akan mampu mencukupi keperluan tugas yang
demikian besar. Hal ini sejalan dengan upaya reorganisasi Polri yang

86 JURNAL POLISI INOONESIA 7, JULI 2005


berprinsip Hemat struktur kaya jungsi. Tetapi disamping itu semua
dengan penugasan ini diharapkan akan dapat lebih ditingkatkan lagi kualitas
pelayanan polisi kepada masyarakat dan upaya untuk lebih mendekatkan
polisi kepada masyarakat pun akan tercapai.
5) Penegakan hukum dan kepastian penyelesaian perkara :
Salah satu upaya untuk membangun kepercayaan masyarakat adalah
dengan memberikan kepastian hukum dalam penanganan perkara, yang
dilakukan oleh Satuan Reserse Kriminal. Dalam kasus-kasus tertentu ada
yang sulit memperoleh alat bukti atau karena minimnya alat bukti untuk
membuktikan perkara yang terjadi sehingga tersangka yang melakukan
tindak pidana pun sulit untuk diketahui dan ditangkap. Tetapi dalam hat
perkara tersebut sudah jelas pelaku dan lengkap alat buktinya maka harus
ada kepastian bahwa perkara tersebut akan ditangani secara tuntas sampai
ke pengadilan. Sering terjadi tarik ulur terhadap penyelesaian setiap
perkara bilamana dalam perkara tersebut terlibat pelaku yang masih ada
kerabat tokoh masyarakat atau pejabat tertentu, bahkan tidak jarang ada
yang sengaja menggunakan orang-orang tertentu yang digunakan untuk
menggertak polisi supaya tidak meneruskan perkaranya dengan intimidasi
yang tersembunyi "jangan sampai terjadi Po Ires Inhil kelabu". Pada masa
lalu memang sering terjadi keadaan demikian dan akhimya polisi melemah
serta mengalah untuk menghindari hal-ha I yang tidak diinginkan. Akhimya
kepastian hukum yang seharusnya diwujudkan oleh polisi tidak dapat
tercapai. Dalam hal-hal khusus memang dilakukan upaya penyelesaian
secara kekeluargaan sepanjang kasus itu berkaitan dengan perselisihan
yang tidak memberikan dampak kerugian yang cukup besar dan solusi
yang diambil adalah yang menguntungkan kedua belah pihak yang
berperkara (win-win solution) dari cara penyelesaian seperti ini
keuntungan yang diperoleh oleh polisi adalah adanya kepercayaannya dan
tumbuhnya itikad baik dari kedua belah pihak kepada polisi karena sudah
merasa dibantu. (kebanyakan perkara penganiayaan ringan) sedangkan
bagi polisi sendiri harus menjaga dan menghindarkan dirinya untuk tidak
mencari keuntungan pribadi dari cara penyelesaian tersebut.
Tetapi bila perkara yang ditangani tidak tergolong perkara ringan
dan ada pihak yang ngotot untuk tidak dilanjutkan maka polisi tidak boleh
menyerah harus berupaya dengan cara diplomasi yang baik dan dengan
penjelasan yang masuk aka I sehingga yang bersangkutan bisa menerima

JURNAL POLISI INDONESIA 7, JULI 2005 ' •• 87


dan mengerti. Kalaupun masih ngotot polisi harus tetap berpegang pada
aturan hukum yang berlaku. Ada saran menarik yang diberikan oleh Bupati
lnhil waktu itu H.M. Rush Zaenal (sekarang Gubemur Riau) bahwa
menghadapi masyarakat Jnhil jangan sampai kalah, gertak, sebab
kalau kalah gertak sekali maka kita akan dipermainkan. Sehingga ketika
dihadapkan pada sebuah perrnasalahan dan polisi bertindak tegas walaupun
dengan berbagai macam tekanan, maka masyarakat menjadi tahu
bagairnana kita bersikap dan sebagian rnerasa senang dengan sikap polisi
yang tidak kalah gertak tetapi rnalah berani rnenggertak. Ini adalah sebuah
starting point yang cukup baik bagi perjalanan polisi Polres lnhil ke depan.
Karena kalau tidak dimulai dengan cara yang dernikian rnaka akan
selarnanya polisi di Po Ires Inhil akan menjadi bulan-bulanan sekelompok
kecil orang demi kepentingan pribadinya, yang akhimya mengorbankan
kepentingan rnasyarakat luas lainnya.
Dengan telah larnanya polisi tidak rnelakukan upaya penegakan
hukurn lalu lintas berupa penilangan terhadap pelanggar lalu lintas, maka
terjadi ketidak tertiban lalu lintas yang sangat rnernprihatinkan. Sejak
terjadinya pembakaran Polres Inhil polisi tidak pernah rnelakukan
penilangan sampai dengan ketika saya masuk bertugas di Polres Inhil.
Karena tidak pernah melakukan penindakan maka setiap kali gelar
operasional di Mapolda maka rnenjadi Polres yang dirnaklumi karena
angka penindakan pelanggaran pasti selalu nol. Hal ini terjadi karena
adanya kekhawatiran akan timbulnya kemarahan dan emosi masyarakat
bilamana dilakukan tilang oleh petugas.
Situasi ini tidak dapat dipertahankan terus menerus, polisi khususnya
polisi satuan lalu Jintas harus berani melakukan tindakan dan inisiatif.
Akhimya saya menyusun program peningkatan kesadaran berlalu lintas
yang dilakukan secara bertahap dengan melakukan penerangan melalui
media cetak maupun elektronik, pemasangan spanduk dan pembuatan
hirnbauan kamtibmas yang dikirimkan ke instansi pemerintah / swasta
dan sekolah serta dibacakan di Mesjid dan surau-surau. Kegiatan
berlangsung sampai dengan satu bulan. Setelah proses sosialisasi dan
penerangan ini maka program selanjutnya adalah melakukan razia yang
bersifat edukatif yaitu memeriksa kelengkapan surat dan instrumen
kendaraan serta helm tetapi bagi pelanggamya cukup diberikan kartu
teguran dan dicatat dalam register khusus sehingga bila kemudian hari

88 JURNAL POLIS! INDONESIA 7. JULI 2005


terjadi pelanggaran lagi akan diketahui. Sedangkan bagi sept!da motor
yang tidak lengkap instrumennya maka akan dibawa ke kantor polisi
kemudian pemiliknya boleh mengambil kembali setelah melengkapi
instrumen sebagaimana ketentuan yang berlaku. Pola penindakan seperti
ini temyata mendapat respon positif dari masyarakat dan pejabat Pemda
dan sebagian memberikan dukungan kepada kepolisian untuk melakukan
penertiban, proses ini dilakukan kurang lebih selama 2 (dua) bulan. Setelah
dilakukan evaluasi dan 1<isaran suara di masyarakat atas tindakari polisi
ini maka disimpulkan kegiatan bisa ditingkatkan menjadi razia dengan
pember!akuan tilang bagi pelanggar aturan lalu lintas.
Karena ini adalah pengalaman pertama kali setelah kurang lebih 2
tahun polisi tidak pernah melakukan penilangan maka sebelum
melaksanakan operasi, terlebih dahulu melaporkan kepada Kapolda Riau
dan dipesankan agar tetap hati-hati dengan tetap memperhatikan emosi
masyarakat. Kegiatan dilaksanakan selama kurang lebih 1 jam dengan
target tidak banyak hanya sekitar 25 pelanggar, karena yang menjadi tujuan
bukan banyak sedikitnya pelanggar yang ditilang tetapi mengukur emosi
masyarakat dan dampak akibat tindakan razia lalu lintas. Temyata dari
hasil operasi yang dilakukan tidak menimbulkan dampak kamtibmas dan
justru mendapat respon dari sebagian besar orang tua yang anak-anaknya
terkena tilang, begitu juga bagi orang tua yang terkena tilang mereka
menyadari kalau tidak begini mereka tidak tahu. Dengan adanya respon
yang positif ini maka kegiatan selanjutnya dapat berjalan dengan lancar
tanpa ada complain dan gangguan dalam upaya penegakan hukum. Dari
kegiatan yang dilakukan ini setelah dilaporkan ke Polda mendapat pujian
dan penilaian positif untuk dijadikan contoh bagi Polres lainnya agar
melakukan upaya serupa.
Dampak positif yang terjadi dimasyarakat dengan adanya penindakan
itu maka timbul inisiatif dari instansi pemerintah / swasta dan organsasi
masyarakat untuk dapatnya memperoleh SIM secara kolektif. Sehingga
kesempatan ini dimanfaatkan untuk melakukan pendidikan masyarakat
dalam hal berlalu lintas dan penanaman budaya berlalu lintas yang baik
dan benar. Timbulnya kesan bahwa untuk mempcroleh SrM hanya sekedar
fo1malitas tanpa dilakukan penyeleksian akhimya dapat dieliminir, karena
sebelum memperoleh SIM para pemohon diberikan penataran dan wajib
lulus test kesehatan yang dilakukan oleh dokter poliklinik Polres. Walaupun

JURNAL POLIS! INDONESIA 7 JULI 2005 · ·\89


belum sepenuhnya berhasil dalam menertibkan lalu lintas tetapi kegiatan
ini merupakan suatu awal yang baik dalam mengembalikan eksistensi
kepolisian di mata masyarakat.
6) Pembentukan Mitra Kamtibmas :
Kepolisian tidak bisa bekerja sendirian dalam mengelola kamtibmas
dalam masyarakat tetapi harus bekerja sama dengan masyarakat yang
dalam kenyataan sosiologisnya terjadi pengelompokan-pengelompokan
yang disebut dengan kelompok-kelompok sosial. Polisi harus mengetahui
dan memahami adanya kelompok-kelompok sosial dalam masyarakatnya,
karena dengan mengetahui hal ini maka dapat melakukan upaya pendekatan
yang dapat dijadikan sarana yang sangat efektif dalam program pembinaan
kamtibmas. Sejalan dengan program dan kebijakan Polri yang telah
merubah pola Pembimbingan masyarakat dengan Pola kemitraan yang
menempatkan masyarakat bukan lagi sebagai obyek kepolisian tetapi
menjadi mitra yang sejajar dengan kepolisian dalam mengelola kamtibmas
dalam masyarakat. Dengan kebijakan ini maka Polri dituntut untuk menjalin
hubungan kemitraan dengan sebanyak-banyaknya warga masyarakat baik
secara pribadi maupun kelompok, sehingga dapat bersama-sama dan
secara aktif berpartisipasi dalam mengelola kamtibmas.
Menyikapi perkembangan yang terjadi di Polres Inhil, maka untuk
menjalankan program ini yang menjadi sasaran pertama adalah masyarakat
pada kelompok akar rumput (grass root) yang sangat potensial sekali
dijadikan sarana untuk dimanfaatkan p'ihak lain untuk melakukan tindakan­
tindakan yang tidak baik berupa gerakan massa dengan memberikan upah
tert�ntu. Kelompok ini terdiri dari par� porter pelabuhan penumpang, kuli
pelabuhan, agen tiket, tukang becak dan tukang ojek serta kelompok
masyarakat pelabuhan yang jumlahnya kurang lebih sekitar 500 orang.
Dengan mengundang mereka di Aula Polres Jnhil yang baru selesai
dibangtin dengan acara yang bertajuk silaturahmi maka kepada mereka
diberikan beberapa wawasan oleh Kapolres tentang hal-hal yang berkaitan
dengan masalah kamtibmas, setelah itu diberikan kesempatan kepada
mereka untuk menyampaikan gagasan, saran dan unek-unek mereka
terhadap polisi. Memang ada yang mengkritik tetapi juga ada yang berharap
polisi bisa menjadi kawan mereka dan bisa memberikan perlindungan bila
meteka dibutuhkan. Berbagai kritik, saran dan harapan inilah yang sangat
diperlukan bagi polisi untuk membangun diri dan menentukan pol a operasi

90 JURNAL POLISI INOONESIA 7. JULI 2005


serta upaya pembinaan kemitraan dengan masyarakat. Akhimya disepakati
bersama dibentuknya sebuah wadah bagi mitra Polri ini yang diberi nama
Mitra Kamtibmas Polres Inhil.
Untuk mewujudkan kegiatan dan wadah ini maka untuk tahap
pertama guna menumbuhkan rasa kebanggaan dan solidaritas kepada
seluruh anggota diberikan kaos yang sudah diberi cap logo Mitra
Kamtibmas di dada sebelah kiri atas dan pada bagian punggurignya.
Pembagian kaos ini sebenarnya mempunyai maksud yang sangat penting
yaitu untuk mempromosikan wadah kemitraan ini kepada masyarakat,
karena para anggota Mitra ini adalah sebagian besar porter dan kuli
pelabuhan, tukang becak dan tukang ojek yang sering sekali berhubungan
dengan warga masyarakat yang baru datang maupun yang mau pergi.
Mereka selalu hilir mudik ke penjuru kota maka akan dengan mudah dikenali
dan semua orang akan tahu bahwa Po Ires Inhil telah memiliki mitra yang
cukup banyak. Ini salah satu upaya untuk menangkal upaya-upaya dari
orang yang selalu menggertak ingin membakar Pol res.
Tujuan lain adalah untuk mengikat mereka agar tidak melakukan
tindakan yang melanggar hukum berupa pemerasan dan pemaksaan kepada
penumpang yang akan pergi maupun akan pulang. Hal ini saya lakukan
berdasarkan pengalaman penelitian saya di kota Sampit pada tahun 200 I
yang lalu, dimana para porter pelabuhan dan tukang becak dengan
seenaknya meminta bayaran kepada penumpang setelah sampai ditujuan,
ha! ini tidak terjadi di Tembilahan. Sehingga dengan cara demikian maka
kesan pertama bagi para pendatang di Tembilahan adalah adanya rasa
aman karena porter dan buruh pelabuhan tidak melakukan tindakan
menyimpang. Dengan terbinanya kelompok mitra kamtibmas ini maka
dengan sendirinya telah terbangun jaringan informasi yang sangat potensial
untuk mcndukung operasional Polres I:nhil.
Guna pembinaan dan sebagai ikatan kepada mereka maka diberikan
kartu anggota dengan pasfotonya yang ditandatangani oleh Kapoi res I:nhil,
sebelum mengajukan kartu anggota maka kepada mereka harus
menyetujui komitmen kemitraan yang telah disusun dan disepakati. Ketika
menerima kembali kartu anggota maka kepada masing-masing anggota
diberikan lembar Komitmen Mitra Kamtibmas yang telah ditandatangani
dan ditcmpeli pas fotonya untuk dipigura dan dipasang di rumah masmg­
masing. Kartu anggota itu sendiri memiliki fungsi sebagai kartu berob::it

JURNAL POLIS! INOONESIA 7. JULI 2005 · · - 91


gratis di dokter poliklinik Pol res Inhil yang nota bene dokter Polres adalah
istri Kapolres sendiri sehingga sembari melakukan pemeriksaan maka
dapat mengenal lebih dekat kepada mereka dan disampaikan pesan-pesan
kamtibmas. Sehingga secara emosional mereka menjadi lebih dekat dan
merasa dihargai oleh Polisi, bahkan ketika ada keluarga anggota Mitra
Kamtibmas yang sakit atau meninggal maka Kapolres dan pejabat Polres
lnhil menyempatkan diri melayat kerumah dan memberikan sumbangan.
Manfaat besar yang diperoleh Po Ires lnhil dengan adanya kegiatan
ini adalah adanya kekuatan lain yang dapat membantu Polres dalam
menangani permasalahan yang melibatkan massa atau setidaknya sudah
mampu mengurangi jumlah massa ketika ada orang yang berupaya
menggerakkan massa. Ini dialami ketika terjadi usaha unjuk rasa yang
ingin menolak Pemilihan Bupati lnhil dimana ada kelompok yang
memanfaatkan para masyarakat ini, oleh karena mereka telah terbina
oleh Polres maka Polres tidak melarang hanya meminta agar kegiatan
berjalan tertib dengan berbaris dan bernyanyi. Himbauan itu diikuti sehingga
unjuk rasa berjalan dengan tertib dan damai tanpa adanya konflik fisik
dengan aparat kepolisian. Padahal biasanya kalau mereka dimanfaatkan
untuk unjuk rasa mereka memulai dengan minum-minuman keras sehingga
berunjuk rasa dalam keadaan mabuk, seperti yang terjadi pada buIan April
2003 saat LPJ Bupati Inhil. Kesediaan Mitra Kamtibmas untuk
memberikan back up kekuatan kepada Polres Inhil terjadi ketika terjadi
proses pemilihan Bupati Inhil pada bulan November 2003, dimana ada
pihak-pihak yang ingin menolak Bupati terpilih akan melakukan demo dan
kalau perlu bentrok dengan aparat, Mitra Kamtibmas telah mempersiapkan
diri untuk membantu dengan kekuatan yang seimbang agar tidak terjadi
bentrok dengan massa yang lain. Temyata kegiatan pengamanan berhasil
tanpa ada massa yang datang karena adanya kekuatan lain yang telah
dimiliki oleh Polres Inhil.
Upaya ini sangat membantu mengingat posisi Polres Inhil yang sangat
jauh dari kesatuan Polres lain maupun Polda sehingga apabila terjadi situasi
laitis yang memerlukan tenaga bantuan tidak mungkin datang dalam waktu
dekat. Maka salah satu cara yang efektif adalah menggalang masyarakat
untuk bisa menjadi kawan polisi, sehingga semakin banyak masyarakat
yang,berkawan dengan polisi maka kejadian pembakaran kantor polisi
sebagai akibat emosi massa mungkin tidak akan terjadi lagi. Hal ini terbukti

92 JURNAL POLISI INOONESIA 7. JULI 2005


dengan adanya beberapa konflik yang terjadi karena kesalahan prosedur
anggota polisi dalam bertugas, tetapi kita semua berupaya untuk sebisa
mungkin mencegah dan menghindari terjadinya konflik dengan masyarakat.
Sudah seharusnya polisi menjalin hubungan baik dan harmonis dengan
sebanyak-banyaknya warga masyarakat sehingga semakin banyak warga
yang senang dan berkawan dengan polisi akan semakin mudah polisi
melaksanakan tugasnya di masyarakat sepanjang masing-masing, pihak
memahami peranannya masing-masing dan bukan dengan semakin
banyaknya kawan tersebut polisi semakin sulit melakukan upaya menjaga
ketertiban.
7) Reward and punishment :
Pepatah yang menyatakan bahwa prestasi tak terhimpun dosa tak
berampun seringka Ii kita dengar dari seseorang yang merasa terpinggirkan
karena apa yang telah dilakukannya tidak pemah mendapatkan apresiasi
dari kesatuan maupun pimpinannya. Dan ketika melakukan pelanggaran
maka akan dikejar dan diingat sampai kariemya berakhir sehingga selalu
mendapat stigma sebagai pelanggar yang akan mengikuti selama berkarier
di kepolisian. Keadaan ini membuat orang menjadi patah semangat dan
tidak memiliki motivasi lagi dalam melaksanakan tugas, untuk itu perlu
kiranya untuk menjaga keseimbangan ini dengan menerapkan reward and
punishment yang tepat dan konsisten. Pada masa lalu memang sebagian
polisi di Inhil diketahui oleh masyarakat ada yang suka mabuk dan minum­
minuman keras, bahkan setelah ape! pagi sudah nongkrong di kedai kopi
melepas baju dinas dan minum-minuman keras. Jejak-jejak itu sampai
sekarang masih ada dengan adanya anggota yang mengalami tuli dan
tidak bisa ngomong akibat kebanyak minum pada masa lalu, sudah mulai
sakit-sakitan dan bahkan ada yang meninggal dunia dalam usia muda.
Kebiasaan itu temyata masih banyak juga dilakukan oleh anggota yang
sekarang ini, sehingga dalam upaya membangun kembali kepercayaan
masyarakat terhadap polisi, kami masih juga disibukkan dengan perilaku
anggota polisi yang sering melanggar, mabuk dan min um di warung tidak
membayar, kadang-kadang berkelahi dengan orang lain dalam keadaan
mabuk.
Mengatasi keadaan ini telah dilakukan tindakan yang tegas dengan
menerapkan tindakan disiplin berupa peneguran di lapangan ape! dilanjutkan
dengan penahanan sampai mutasi ke daerah yangjauh (terpenci I) sehingga

JURNAL POLIS! INOONESIA 7. JULI 2005 \93


sedikit demi sedikit mulai berkurang walaupun kadang-kadang masih terjadi
tetapi itupun anggota yang bertugas di Polsek di luar Tembilahan. Penegakan
disiplin terhadap anggota Polri memang harus dilakukan terhadap anggota
yang melakukan pelanggaran, apalagi pelanggaran tersebut bersentuhan
langsung dengan anggota masyarakat. Kalau tidak segera dilakukan
penindakan dengan segera maka akan menimbulkan kesan pimpinan
cenderung membela anggota yang melakukan pelanggaran dan dianggap
membenarkan tindakan anggota polisi yang melanggar. Sehingga dengan
dilakukan penindakan yang tegas terhadap anggota yang bersalah maka
keseimbangan pun akan terjaga dan warga masyarakatpun menjadi
semakin percaya atas konsistensi kepolisian tidak hanya menindak
masyarakat yang bersalah saja tetapi juga menindak anggota polisi yang
melanggar.
Itulah yang disebut dengan menjadi tauladan dalam tegaknya hukum
dan ketertiban, yang saya maksudkan bahwa sebelum polisi menertibkan
masyarakat harus menertibkan diri sendiri dulu. Sehingga sebelum
melaksanakan penertiban lalu lintas ke masyarakat maka dilakuka n
penertiban terlebih dahulu terhadap anggota polisi, bahkan sampai dilakukan
penilangan bagi anggota polisi yang melakukan pel_anggaran lalu lintas
baik helm maupun kelengkapan sepeda motor lainnya, bahkan seluruh
anggota yang belum memiliki SIM dibuatkan SIM dengan biaya yang
ditanggung oleh dinas. Semua ini dilakukan sebagai upaya mengantisipasi
komplain dari masyarakat ketika melakukan penegakan hukum. Tindakan
tegas juga dilakukan terhadap anggota yang tidak melaksanakan tugas
(mangkir) melebihi batas waktu 30 hari sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah No. 2 tahun 200 I, terdapat 2 orang anggota yang terpaksa
harus dipecat dari dinas kepolisian karena mangkir selama 7 bulan dan 5
bulan.
Memberikan tindakan tegas terhadap anggota tern yata menimbulkan
dampak secara pribadi karena ketidak puasan anggota yang dipecat atas
keputusan pemecatan yang dikeluarkan oleh Kapolda. Ancaman melalui
SMS yang tidak dapat dibuktikan secara hukum ditujukan kepada
keselamatan pribadi dan keluarga, ha] ini sebagai sebuah resiko dan bisa
dijadikan bahan introspeksi terhadap perilaku pribadi kita bila melakukan
ha! yang serupa dan dijadikan pelajaran dan pengalaman bagi yang lain.
Kareraa setelah kejadian pemecatan itu maka anggota yang mangkir sudah
tidak ada lagi.

94 JURNAL POLIS! INDONESIA 7, JULI 2005


Untuk menimbulkan motivasi bagi anggota yang berprestasi maka
diberikan reward sesuai dengan ketentuan yaitu berupa kesempatan untuk
mengikuti sekolah kejuruan, diberikan piagam penghargaan dan bahkan
dengan imbalan uang yang diperoleh dari bantuan Pemda. Yang pemah
dilakukan adalah penghargaan atas prestasi anggota yang telah berhasil
menangkap pengedar ganja dan menyita barang bukti ganja seberat 9
kilogram. Dengan memotivasi anggota sedemikian ini maka akan dapat
memicu yang lainnya untuk lebih berhasil lagi, walaupun ha! ini agak sulit
untuk dilakukan.
8) Partisipasi masyarakat :
Kita sering mendengar istilah partisipasi masyarakat terhadap polisi
dikonotasikan sebagai bentuk sumbangan berupa uang kepada polisi,
sehingga setiap ada kegiatan selalu dimintakan partisipasi masyarakat untuk
membantu polisi. Terutama pada saat hari,raya ataupun hari besar polisi
sering dibentuk team pengumpul partisipasi masyarakat I pengusaha untuk
kebutuhan hari besar agama atau yang sejenisnya. Sehingga ha! ini
dianggap sebagai sebuah kalender kamtibmas yang kalau dikaj i sebenamya
bisa dikatakan memalukan.
Dalam situasi Polres Inhil yang sedemikian rupa selepas konflik
dengan masyarakat dan sedang dalam upaya mengembalikan kepercayaan
masyarakat terhadap polisi, kebiasaan seperti itu mungkin tidak tepat untuk
dilakukan, sehingga saya berupaya semaksimal mungkin untuk tidak
melakukannya. Walaupun akhimya tujuan yang diinginkan tercapai juga
tetapi dengan cara yang lebih baik dan elegan. Sebagai contoh pada saat
menjelang hari raya Idul Fitri dan Natal yang kebetulan waktunya hampir
bersamaan, sudah menjadi tradisi bahwa pimpinan memberikan bingk.isan
lebaran kepada seluruh anggota polisi. Saya tidak membentuk team aju
seperti biasanya untuk mengumpulkan sumbangan dari pengusaha, para
Kapolsek dan Kepala Satuan Fungsi Operasional tidak dibebani untuk
iuran penyiapan bingkisan lebaran. Semua kebutuhan bingkisan lebaran
diperoleh dengan membeli, dibeli dan dibayar secara cash. Dengan cara
ini temyata j ustru menimbulkan simpati dari para pengusaha / pedagang
karena mereka rata-rata tidak mau dibayar dan bahkan uang yang sudah
dibayarkan dikembalikan lagi. Suatu ungkapan dan pertanyaan yang muncul
dikalangan pedagang adalah "apakah iebara11 ta/nm ini polisi tidak
diberika11 hi11gkisa11 lebara,, oleh Kapolres kok tidak ada permintaan

JURNAL POLISI INDONESIA 7. JULI 2005 95


sumbangan". Ini adalah sebuah fenomena baru dan kejutan bagi
masyarakat yang cukup baik karena rnereka menjadi tidak terbebani.
Berkaitan dengan partisipasi ini juga ketika saya melihat bahwa salah
satu kelemahan Polres Inhil adalah tidak dimilikinya sarana transportasi
air / kapal patroli padahal wilayahnya sebagian besar dapat ditempuh
dengan transportasi air dan kejahatan diperairan cukup tinggi. Keadaan
ini menimbulkan ide untuk membuat kapal patroli yang dapat rnengangkut
personil yang cukup untuk patroli perairan. Sambil melakukan orientasi
wilayah kebetulan sambil menunggu kapal penyebrangan di warung dekat
penyebrangan, berkesempatan ngobrol dengan seorang warga yang
belakangan saya ketahui bernama Akiat dari Sei Guntung.
Dari obrolan itu, yang bersangkutan bertanya tujuan saya bahwa
akan melihat tempat pembuatan kapal patroli dari kayu, mendengar
jawaban saya secara spontan Akiat menanyakan keseriusan saya
membuat kapal kayu untuk patroli .. Karena saya memang serius dalam
obrolan itu ternyata Akiat menyatakan akan rnembuatkan kapal patroli
untuk saya walaupun tanpa saya meminta bantuan darinya. Inilah yang
saya katakan perlunya berkomunikasi dan berdiplomasi dengan
masyarakat sehingga masyarakat akan tahu apa yang kita pikirkan untuk
mengamankan masyarakat dan apa yang kita butuhkan. Saat ini Polres
Inhil telah memiliki kapal patroli dari kayu dengan panjang 19 meter, lebar
3,8 meter bermesin Turbo 400 PK yang mampu memuat personil 35 or-
. ang dengan kecepatan 18 knot.

4. Kesimpulan
Membangun kepercayaan masyarakat terhadap polisi pada dasarnya adalah sukare
sebuah visi yang harus diwujudkan dalam bentuk profesionalisme polisi dalam secara
melaksanakan tugasnya dalam masyarakat. Karena didalam profesionalisme itu
sendiri terkandung kemampuan dalarn melaksanakan tugas, kejujuran, kebenaran pemoli
dan kepastian terhadap keberhasilan pencapaian tujuan sebuah organisasi dalam untuk r
ha! ini kepolisian untuk dapat memenuhi harapan masyarakat untuk mendapatkan dan me
perlindungan, pengayoman dan pelayanan yang maksimal agar dapat diterima dan paling
dipercaya masyarakat melalui upaya pemolisian yang dilakukannya.
Upaya pemolisian yang efektif dan efisien dapat dicapai bilamana polisi serta rr
mampu m'emahami masyarakat dan lingkungan dimana polisi bertugas dengan untuk
melakukan analisis terhadap kondisi yang ada dihadapkan clengan sumber daya sepa n.P

96 JURNAL POLIS! INDONESIA 7. JULI 2005


yang dimiliki yang secara terintegrasi dan komprehensif dirumuskan dengan
menggunakan pendekatan yang tepat sehingga tersusun dalam sebuah strategi yang
t efektif dalam sebuah program kerja kepolisian. Kemampuan berpikir kreatif dan
inovatif serta kepiawaian dalam mengambil moment yang tepat dalam setiap
kesempatan sehingga apa yang dilakukan dapat mengena pada sasaran yang
diinginkan.
Komunikasi, diplomasi dan negosiasi dalam penyelesaian setiap perTj1asalahan
harus dikedepankan sehingga terdapat saling pengertian dan menghindari
misinterpretasi dari masing-masing pihak maupun polisi dengan masyarakat. Dalam
interaksi yang terjadi antara polisi dan masyarakat harus didukung dengan
kemampuan berkomunikasi sehingga penyaluran infonnasi dan feed back baik
dari masyarakat kepada polisi dan sebaliknya dari polisi kepada masyarakat dapat
terwujud untuk menghindari terjadinya misinterpretasi dan kesalahan persepsi dari
masing-masing pihak yang dapat membahayakan dan merusak hubungan yang
terjadi.
Terciptanya hubungan yang harmonis antara polisi dan masyarakat merupakan
salah satu syarat bagi keberhasilan tugas kepolisian karena dapat terjadi suasana
saling keterbukaan terhadap berbagai pennasalahan yang dihadapi sehingga bisa
saling membantu untuk memberikan solusi ataupun pemecahan masalah. Karena
masyarakatpun sebenarnya tidak menginginkan kekacauan dan terganggu
ketentraman dalam kehidupannya disebabkan oleh ketidak mampuan polisi karena
keterbatasan sarana dan prasarana yang dimiliki. Semua ini dapat dipahami dan
dimengerti bilamana masyarakat mepgetahui dan memahami kesulitan yang dialami
oleh polisi sehingga polisi tidak perlu meminta-minta kepada masyarakat tetapi
masyarakat akan dengan sukarela memberikan bantuan kepada polisi secara
.!ah sukarela dan inilah salah satu filosofi community policing dirnana masyarakat
am secara aktif ikut memikirkan dan membiayai polisinya.
Tidak semua situasi dan permasalahan dapat ditangani dengan satu gaya
ran pemolisian (policing style) dan tidak ada satu gaya pemolisian yang dapat digunakan
am untuk menyelesaikan setiap pennasalahan. Oleh karena itu kepolisian harus memiliki
<an dan menguasai banyak altematif gaya pemolisian serta dapat memilih gaya yang
lan paling tepat untuk diterapkan sesuai dengan situasi dan permasalahan yang dihadapi.
Sehingga berbagai aturan, kebijakan dan petunjuk dari kesatuan atas tidak dengan
'isi serta merta dan apa adanya langsung diterapkan tetapi harus dilakukan pcngkajian
an untuk dapat dijabarkan sesuai dengan kondisi yang terjadi didalam masyarakat,
ya sepanjang tidak menyirnpang dari standard yang telah ditentukan. Karena pada

JURNAL POLIS! INOONESIA i JULI 2005


• ' 97
dasamya tugas polisi dalam masyarakat adalah untuk menjaga keseimbangan
kehidupan dalam masyarakat sehingga jangan sampai dengan adanya tindakan
kepolisian justru ketidak tertiban serta kekacauan yang terjadi yang dapat
mengganggu kehidupan masyarakat itu sendiri.
K etegasan dan keberanian dalam melakukan tindakan dalam upaya
pemolisian yang disertai dengan ketauladanan dalam bersikap dan bertingkah laku
maka akan menjadi pemacu dalam upaya membangun kepercayaan masyarakat
terhadap polisi. Karena bagaimanapun polisi adalah manusia biasa yang tidak terlepas
dari berbagai macam kesalahan dan kekurangan, sehingga koreksi dan kritik harus
selalu diberikan agar polisi tidak menjadi berbusung dada dan besar kepala.

DAFIARBACAAN
Berkley George,
1%9 The Democratic Policeman, Beacon Press.
Collin Finn,
1991 Social Reality. Rutledge, New York.
Edwards Charles,
1999 Changing Policing Theories, The Federation Press London.
Findly Mark & Zvekic,
1993 Alternative Policing Style, Kluwer, Netherland.
FreidmanR,
1991 Community Policing, Georgia State University, Atlanta .
Keru1y John,
1975 Police Administration, Charles Thom.. s, Illinois.
.................,
2002 Kepolisian R .l, UU R.I No. 2 & 3 ta/11111 2002, BP. Panca Usaha, Jakarta.
Lynch G Ronald,
1998 The Police Manager 5'h Edition. Anderson Publishing Co, Cincinati.
RobergRoy & Key Kendall,
1997 Police Management, Roxbury Publishing Co., L.A.
Suparlan P,
2004 /-/11bu11ga11 An tar Suku Ba11g.1·a. YPKlK. Jakarta.

98 JURNAL POLISI INDONESIA 7, JULI 2005


Fungsi Intelejen Pada Tingkat Polres :
Chryshnanda DL

Pendahuluan
Tulisan ini berupaya menunjukan fungsi intelejen kepolisian pada tingkat polres,
untuk mengidentifikasi individu-individu atau organisasi-or ganisasi yang
menyebabkan timbulnya gangguan kamtibmas, menganalisa dan menuangkan dalam
produk tertulis yang dapat digunakan sebagai acuan atau dasar pertimbangan
penentuan kebijakan pemolisian. Kegiatan intelejen kepolisian merupakan
penanganan informasi yang berkaitan dengan gejala-gejala sosial beserta
perubahannya yang dituangkan ke dalam produk intelejen. Yang bermanfaat untuk
menciptakan maupun memelihara kamtibmas 1
Intelejen kepolisian difokuskan pada gejala-gejala sosial yang dapat
mengganggu kamtibmas seperti : kerusuhan masa, demonstrasi mahasiswa,dan
mogok kerja para karyawan dan para buruh, kegiatan politik, terorisme, maupun
penyimpangan sosial lainnya yang dapat meresahkan masyarakat. Gangguan
kamtibmas meliputi tindakan bermotif pelanggaran hukum yang menyebabkan Iuka
tubuh atau kerusakan properti yang mengganggu operasi leml:,aga-lembaga
pemerintah atau aktivitas hukum yang dilakukan oleh organisasi atau individu-individu
atau mengancam keamanan gedung-gedung pemerintah, akses-akses publik sampai
fasilitas-fasilitas publik atau kemanan publik. Intelejen kepolisian bukan semata­
mata untuk mencari ancaman-ancaman yang ada dan mungkin terjadi tetapi juga
untuk mencari potensi-potensi sumberdaya yang dapat membantu atau mendukung
polisi untuk memelihara keteraturan sosial, melindungi warga masyarakat maupun
untuk menegakan hukum. Intelejen merupakan mata dan telinga bagi institusi
kepolisian yang digunakan sebagai acuan dalam menentukan kebijakan
pemolisiannya.
Pemolisian (Policing), pada dasamya adalah segala usaha upaya untuk
memelihara keamanan, pencegah dan penanggulangan kejahatan, melalui
pengawasan atau penjagaan dan tindakan untuk memberikan sangsi atau ancaman
hukum (Garmire dalam Steadman : 1972, Spitzer 1987; Shearing 1992 dalam Reiner
2000). Menurut Kenney ( 1975) menyatakan : "basical�)' policing is concerned
with acts against the safety persons or property". Pemolisian dilaksanakan
berdasarkan hukum. aturan-atu ran. petunjuk-petunjuk pelaksanaan. dan

JURNAL POLIS! INDONESIA 7. JULI 2005


·• 99
kebijaksanaan-kebijaksanaan pimpinan melalui manajemen operasional kepolisian
yang mencakup strategi-strategi dan aktivitas-aktivitas kepolisian yang bertujuan
untuk memelihara keteraturan sosial secara umum dan khususnya yang berkaitan
dengan keamanan dalam masyarakat atau komuniti, (Das, Dilip : 1994 : ix; Fried­
man : 1992: 11; Findlay, Mark and Ugljesa zvekic: 1993 : 7; MC Kenna, Paul:
1998 : 4; Meliala: 1999; Reksodiputro: 1996; Reiner: 2000 : 3.). Dan dalam
pelaksanaannya pemolisian tersebut dioperasionalkan dengan atau tanpa
menggunakan upaya paksa. (Kenney; 1975: 33-47). Dan pemolisian bisa bervariasi
(tidak selalu sama) antara satu fungsi, bagian, maupun daerah dengan yang lainnya.
Dasar untuk menentukan pemolisian tersebut salah satunya adalah dari produk
intelejen, merupakan infom1asi-informasi yang dikumpulkan melalui penyelidikan,
pengamanan, maupun penggalangan, dianalisa dan disajikan oleh petugas intelejen
kepolisian (un i�niform police). Informasi yang disajikan berkaitan dengan
pengetahuan masa lalu, sekarang, dan penyajian kondisi-kondisi masyarakat,
permasalahan-permasalahan potensial, dan aktivitas kriminal. Dan tidak sekedar
informasi yang kredibel rnaupun peringatan bahaya potensial. lntelejen juga
merupakan produk dari sebuah proses kompleks yang melibatkan penilaian yang di
inforrnasikan, pemyataan umum (state of a.flairs), atau sebuah fakta tunggal.
"Proses intelejen" menggambarkan penanganan inforrnasi beserta perubahannya
ke dalam materi yang bermanfaat bagi pemolisian (DeLadurantey : 1995).
Bahasan dalam tulisan ini mencakup: Polres sebagai KOO, Fungsi intelejen
dan analisa informasi intelejen, Studi kasus (di Polres Batang), dan diakhiri dengan
kesimpulan dan implikasinya.

Polres sebagai KOD


Polres sebagai bagian dari Birokrasi peme1intah, merupakan institusi kepolisian
tingkat lokal (kabupaten) atau sebagai KOD (Kesatuan Operasional Dasar). Yaitu
sebagai kesatuan (institusi kepolisian tingkat lokal) yang memiliki satuan fungsi
teknis kepolisian dan polsek sebagai ujung tombak, yang otonom dalam
melaksanakan tugasnya untuk melindungi warganya, memelihara keteraturan serta
ketertiban (dalam masyarakat), menegakan hukum, dan mendeteksi kejahatan serta
mencegah terjadinya kejahatan. Polres diatur secara nasional, regional dan lokal.
Aturan tingkat nasional acuannya adalah Undang-undang, petunjuk-petunjuk
maupun kebijakan-kebijakan dari yang dibuat pada tingkat Mabes Polri. Tingkat
regional adalah kebijakan-kebijakan dari Polda, dan tingkat lokal adalah kebijakan­
kebijakan yang dibuat tingkat po Ires untuk menangani masalah-masalah sosial yang
sesuai dengan konteksnya.

100 JURNAL POLIS! INDONESIA 7. JULI 2005


Pemolisian di Polres merupakan hasil interprestasi Kapolres terhadap perintah
atau kebijakan pimpinan (tingkat Polwil, Polda atau Mabes), maupun corak
masyarakat dan kebudayaannya. Yang dituangkan dalam kebijakan-kebijakan
tersebut menjadi pemegang otoritas, baik secara lisan maupun tertulis. Kebijakan
tersebut menjadi dilaksanakan melalui operasi kepolisian (operasi rutin, opersi khusus,
maupun operasi insidentil). Masing-masing operasi tersebut memiliki dua tingkatan
yaitu tingkat manajemen dan tingkat operasional atau petugas pelaksana. Pemolisian
tingkat manajemen merupakan rencana-rencana dan strategi-strategi pemolisian
secara manajerial yang merumuskan cara-cara pemolisian tingkat operasional
dilaksanakan. Pemolisian tingkat operasional atau petugas pelaksana merupakan
tindakan-tindakan untuk melaksanakan perintah atau instruksi pimpinan, merespon
laporan atau pengaduan masyarakat, maupun untuk menangani masalah kriminalitas
atau masalah sosial lainnya, baik dengan atau tanpa upaya paksa maupun diskresi,
yang sesuai dengan posisi kedudukannya dalam organisasi (Satuan Fungsi Teknis
Kepolisian atau Bagiannya), sebagai kerangka kerja dalam hubungannya secara
intern organisasi kepolisian maupun kemasyarakatan. Kesuksesan atau
keberhasilan, dinilai dari kemampuan mengungkap perkara pidana (crime
clereance), menurunkan angka kriminalitas (crime total), maupun dari tingkat
loyalitasnya kepada pimpinan dan tidak adanya protes atau complain dari warga
masyarakat.
Sejalan dengan pemikiran di atas Polres dalam melaksanakan pemolisiannya
harus didasari dengan perencanaan-perencanaan dan strategi-strategi yang
berkaitan dengan penanganan-peminganan masalah-masalah sosial yang terjadi di
wilayahnya. Yang dikembangkan sampai tingkat Polsek. Perencanaan dan strategi­
strategi tersebut untuk menghindarkan polisi melakukan tindakan yang sifatnya
spontan yang cenderung menyimpang atau kesewenang-wenang dalam
melaksanakan pemolisiannya. Pemolisian tersebut dapat dikatakan sebagai
pemadam kebakaran (fire brigade policing). Yang menunjukan bahwa sebenamya
polisi tidak tahu masalah apa yang harus dilakukan atau dapat terkesan polisi enggan
menyelesaikan masalah.
Pemolisian tersebut dapat dilihat sebagai hubungan kekuatan antara polisi
dengan masyarakat. Di mana polisi mendominasi masyarakat atau sebaliknya
masyarakat mendominasi tugas-tugas polisi. Sehingga yang terjadi adalah
kesewenang-wenangan dari pihak yang mendominasi. Bagaimana posisi yang
seharusnya agar pemolisian dapat berjalan secara efektif dan efisien? Pemolisian
yang ideal a tau yang efekti f dan efisien adalah posisi yang relati f seimbang antara

.JURNAL POLISI lNDONESIA 7 . .JULI 2005 101


polisi dan masyarakat. Masyarakat menjadi mitra polisi dalam menyelesaikan
berbagai masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat. Karena masalah-masalah
tersebut adalah produk dari masyarakat tersebut. Agar Polisi dapat melakukan
pemolisian secara efektif dan efisien maka Polisi harus mendapat dukungan dari
masyarakat, memahami masyarakatnya dan dapat dipercaya sebagai aparat
pengayom, pelindung, pelayan masyarakat maupun sebagai penegak hukum.
Untuk mencapai ha! tersebut Polres dalam menentukan kebijakan
pemolisiarmya harus didukung dengan infonnasi-informasi yang berkaitan dengan
corak masyarakat dan kebudayaannya. Indonesia sebagai masyarakat majemuk
yang dibangun berdasarkan masyarakat-masyarakat sukubangsa. Dan memiliki
corak kebudayaan yang beragam dalam kebudayaan nasional, kebudayaan
sukubangsa dan kebudayaan umum (pasar) (lihat Suparlan 2004). lnformasi
informasi tersebut yang mendasar salah satunya adalah dari Fungsi Intelejen.

Fungsi Intelejen
Intelijen merupakan pengetahuan terhadap kondisi masyarakat,
permasalahan potensial, dan aktivitas kriminal di masa lalu, dan yang diusulkan.
Intelejen mungkin tidak lebih dari sekedar infomasi yang dapat dipercaya dan
peringatan atas bahaya potensial; intelejen juga merupakan produk uari sebuah
proses rumit yang mencakup penilaian yang diinformasikan, keadaan sesuatu, atau
sebuah fakta tunggal. "Proses Intelejen" menggambarkan penanganan informasi
dan perubahannya ke dalam materi yang bermanfaat bagi penegakan hukum
(DeLadurantey: 1995).
Fungsi intelejen kepolisian adalah untuk mengumpulkan infonnasi tentang:
aktivitas-aktivitas individu atau kelompok yang terkait dengan kejahatan, situasi
dan kondisi daerah maupun masyarakatnya. Yang dituangkan dalam produk intel.
Proses mengalihkan infom1asi sebagai intel dasar ke dalam data yang berguna
untuk evaluasi, analisa, dan penyebaran materi yang dihasilkan ke satuan fungsi
lairmya maupun unit-unit utama dalam institusi kepolisian. lnformasi yang dihasilkan
digunakan untuk referensi dan sebagai sebuah peringatan terhadap sesuatu yang
akan datang, maupun sebagai sebuah indikasi aktivitas kejahatan dalam tahap
pengembangan penyidikan.
Kategori-kategori dalam tindakan intelijen mencakup taktik dan strategis.
Intelijen taktik memberi konstribusi langsung pada pencapaian tujuan-tujuan
penegakan hukum tertentu. Di dalamnya mungkin berupa petunjuk sebuah arah

102 JURNAL POLISI INOONESIA 7, JULI 2005


yang disampaikan oleh penyidik maupun institusi yang berkaitan dengan sekumpulan
daftar subyek pengawasan potensial, atau catatan aktivitas pelaku kriminalitas.
lntelijen taktik bisa digambarkan sebagaimana layalrnya melewatkan sebuah fakta
dari suatu unit intelijen polisi ke unit lain. lntelijen strategis berbeda dari intelijen
taktik. Intelijen ini berhubungan dengan persoalan-persoalan yang lebih besar yang
menjadi perhatian para pembuat keputusan papan atas dari lembaga penegakan
hukum. Contoh dari intelijen strategis adalah Japoran pertumbuhan. kejahatan
terorganisasi yang memberikan aparat hukum sebuah gambaran lengkap tentang
kekuatan, pengaruh, dan efektivitas dari aktivitas kejahatan terorganisasi dalam
yuridiksi.
Penataan fungsi intelijen membutuhkan perencanaan, susunan petugas
intelijen, pengarahan dan pengawasan, yang merupakan sebuah sistem. Yang
dikembangkan untuk lebih mengakuratkan pengumpulan informasi dari unit
nonintelijen, unit intelijen lain, maupun sumber-sumber di luar institusi kepolisian.
Kriteria khusus juga dikembangkan untuk meningkatkan kemampuan bagi para
petugas kepolisian yang ditugaskan dalam unit intelijen. Penataan unit intelijen
membutuhkan pengawasan dalam upaya untuk mengantisipasi penyimpangan
kewenangan maupun kebijakan institusi. Untuk memudahkan mengakses dan
menganalisa informasi secara cepat dan efektif, semua file harus bersifat cross­
relferenced (pengecekan silang) dan secara fungsional dan biografis harus tertata
rapi. Yang dikategori-kategorikan meliputi Asta gatra (geografi, demografi, sumber
daya, ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan dan kemanan) dengan
penjabaran secara lengkap (detail) antara lain : kejahatan teroganisasi, korupsi,
kekerasan dengan senjata api, perjudian, pembajakan, tenaga kerja, bisnis sah
(dihadapkan dengan kejahatan terorganisasi), pinjaman lintah darat, Sindikat,
pembunuhan, narkotika, pomografi, dan prostitusi dsb. Pemisahan sejumlah file
didasarkan pada orang dan organisasi-organisasi yang terkait dengan gangguan
sipil dan terorisme. Semua file juga harus keep in date (mengikuti perkembangan)
apa saja yang telah terjadi, yang mungkin akan menjadi sebuah kesempatan untuk
terjadinya gangguan, dan korban utama yang telah atau tampalrnya akan menjadi
target serangan.
Di samping itu yang harus diperhatikan oleh intelijen adalah potensi-potensi
konflik dalam masyarakat majemuk Indonesia yang komplek. Potensi-potensi konflik
tersebut antara lain konflik antar-sukubangsa maupun konflik antar-keyakinan
keagamaan. Konflik tersebut dapat berkembang menjadi kerusuhan yang bermula
dari ketidakadilan dalam memperoleh sumberdaya atau sumber rejeki; kehom1atan

JURNAL POLISI INDONESIA 7. JULI 2005 103


(harga diri) yang tercoreng oleh salah satu pihak yang berlawanan. Konflik massal
dimulai dari individu atau dimulai oleh tindakan preman yang sewenang-we1:3ang
(lihat suparlan: 2004).
Pengumpulan inforrnasi intelijen dapat menggunakan metode etnografi yaitu
a
untuk mernahami pengetahun-pengetahuan
a
yang dimiliki oleh rnasyarakat, tindkan­
tindakan yang dilakukan, barang-barang yang digunakan dan hasil dari tindakan­
tindakan mereka. Yang mengacu dari kebudayaan2 yang dimilikinya. Pengumpulan
inforrnasi dapat dibagi dalam dua kategori yaitu, jelas (terbuka) dan samar-samar
(tertutup). Pengumpulan inforrnasi secara jelas (terbuka) meliputi inforrnasi yang
diterima dari investigator dari intelijen, unit nonintelijen dalam lembaga penegakan
huk:um dan sumber-sumber lain. Di dalamnya juga meliputi informasi yang diperoleh
keluhan yang disampaikan oleh orang dalam status atau posisi dirinya melihat atau
mendengar fakta penting berkaitan dengan aktivitas kejahatan. Di sisi lain
pengumpulan informasi secara samar-sama� (tertutup) meliputi perolehan informasi
dari subyek yang tidak sadar bahwa dirinya diamati atau didengar. Kumpulan samar­
samar melibatkan pemantauan fisik tersangka yang menjadi anggota komunitas
kriminal tanpa sepengatahuan mereka yang dilakukan baik dengan pemantauan
elektronik, penggunaan informan maupun dengan penyamaran.
Kualitas intelijen tergantung pada sejumlah faktor. Faktor yang paling penting
adalah pemisahan fungsi intelijen dari operasi. Laporan-laporan unit intelijen diberikan
langsung kepada kepala kepolisian dalam upaya untuk mengeliminasi kemungkinan
data intelijen berubah atau hilang sebagaimana yang telah disaring melalui berbagai
tingkat perintah. Sebagai staf organisasi, intelijen merupakan bagian dari proses
formasi strategi, tetapi bukan merupakan pendukung pendekatan tertentu.
lnformasi yang telah dikumpulkan agar dapat berguna dalam memberi
informasi yang akurat tidak sekedar mendeslcrepsikan kejadian. Tetapi dianalisis
dengan menggunakan hipotesa-hipotesa yang dapat mnunjukan pola, jaringan,
koneksi, atau kawasan-kawasan baru dari aktivitas kejahatan. Tanpa analisis
memadai, informasi tidak dapat memberikan kontribusi efektifuntuk tujuan strategi
bagi lembaga penegak hukum. Lemah dalam kapabili'tas analisis, berarti banyak
menyisakan informasi kasar; terlebih lagi akan semakin banyak informasi berharga
yang tidak akan masuk sistem file.
Pad� dasamya, analisa intelijen adalah upaya untuk mernpelajari ketersediaan
informasi dan berusaha untuk menempa tkan ke dalam pola logika dan
mcngembangkannya melalui hipotesa (pemyataan semenlara yang menggambarkan

104 JURNAL POLIS! INDONESIA 7. JULI 2005


situasi dan kondisi suatu gejala berdasarkan kerangka teori maupun konsep yang
relefan). Hipotesis merupakan alat intelijen yang penting dan efektif. Bila informasi
terbatas dan kurang terkait, maka bisa dikembangkan beberapa hipotesis yang
memungkinkan. Upaya kemudian dilakukan untuk membuktikan reliabilitas informasi
yang didasarkan pada hipotesa tersebut. Efektifitasnya. bergantung pada sistem
manajemennya maupun kemampuan petugas intelijen dalam membangun jaringan
sosial, komunikasi sosial, untuk menjangkau dari semua sumber info.rmasi kasar
yang bisa dijangkau oleh unit intelijen. Sumber ini meliputi kantor intelijen,
perlengkapan kumpulan teknis, elemen-elemen pelaporan dari dalam atau luar
lembaga penegak hukum, catatan-catatan departemen dan pemerintah, informasi
dan sektor swasta, maupun masyarakat pada umumnya.

Studi kasus di Polres batang


Dalam tulisan ini saya mengambil studi kasus di wilayah polres batang,yang
berupaya menunjukan apa yang dilakukan oleh petugas intelijen dalam pengamankan
Pemilihan Umum 2004 (Pemilu). Kabupaten Batang berdasarkan prediksi intelijen
merupakan daerah yang rawan terjadi gangguan kamtibmas (konflik antar­
pendukung partai politik). Yang melibatkan warga masyarakat sebagai pendukung
partai politik yang pro maupun kontra dengan kepemimpinan Bupati.
Yang ditandai beredamya isu-isu seperti : ketidakadilan, pelecehan salah
satu partai politik, penganiayaan kader partai politik, tindakan intimidasi terhadap
kader partai partai politik tertentu. �su-isu tersebut memicu terjadinya konflik yang
dapat berkembang menjadi kerusuhan masa atau perkelahian antar-kelompok
pendukung partai politik.
Isu ketidak adilan dihembuskan dari salah satu partai politik peserta pemilu
2004 yang mempunyai dua kubu untuk memperebutkan legalitasnya di KPU (Komisi
Pemilihan Umum) Kabupaten. Mereka siap berseteru dengan mengerahkan masing­
masing pendukungnya untuk memperebutkan haknya baik dengan jalur hukum
maupun bentrokan secara fisik. Hal ini juga berkaitan dengan adanya ketidakadilan
adalah tindakan dari salah seorang kepala kecamatan yang bertindak tidak fair.
Yang lebih condong membela pada salah satu partai politik peserta pemilu 2004.
Berkelanjutan terjadinya pengrusakan mobil milik Carnal tersebut oleh para
pendukung partai Jainnya. Kejadian tersebut menyulut kemarahan Satgas (satuan
tugas) partai yang didukung oleh kepala Camat. lsu lainnya yang juga berkembang
adalah pelecehan salah satu partai politik, dihembuskan saat tindakan pelucutan

JURNAL POLISI INDONESIA 7. JULI 2005 105


atribut partai (kaos) yang digunakan oleh partai lain yang ikut menonton acara
kegiatan hiburan yang disponsori salah satu partai Pemenang Pemilu 1999, dan
berlanjut dengan penganiayaan. Dan kasus tersebut melibatkan pimpinan daerah
(tingkat kabupaten) yang mengerahkan sejumlah pendukung (kader partai politik).
Selain isu juga tindakan intimidasi terhadap kader dari salah satu partai politik,
yang dilakukan oleh sekelompok organisasi informal (preman) yang kecewa atas
kepemimpinan dari pejabat Bupati, yang dulu didukungnya. Saat ini kelompok tersebut
digunakan salah satu partai politik untuk ikut memenangkan dalam pemilu 2004.
Akibat dari tindakan tersebut membuat pimpinan partai yang merasa menjadi korban
berupaya untuk mengerahkan masanya untuk melawan secara fisik maupun secara
hukum.
Kapolres Batang, untuk mengamankan wilayah hukurnnya adalah melakukan
tindakan persuasif dan mencegah terjadinya bentrokan fisik. Kebijakan tersebut
dijabarkan oleh Kasat lntelkam dengan mengedepankan para petugas dari satuan
intelijen keamanan (Sat Intelkam) untuk masuk dan bisa berinteraksi serta
mengumpulkan informasi di lingkungan partai politik besar peserta pemilu 2004.
Sehingga isu-isu yang beredar dan berkembang dapat ditangkap secara dini dan
dianalisa untuk bahan acuan dan pertimbangan pimpinan dalam mengambil kebijakan
pemolisian.
Intelijen di Polres Batang dilakukan melalui kegiatan penyelidikan,
pengamanan dan penggalangan 3• Untuk mengumpulkan informasi termasuk
menangkap isu-isu yang berkembang di masyarakat. lnformasi yang di peroleh
tersebut dianalisa untuk membuat perkiraan keadaan (kirka intel) maupun untuk
bahan informasi bagi pimpinan (kapolres) dalam rangka mengambil kebijakan yang
cepat dan tepat dalam menangani suatu masalah. Sebagai contoh saat isu salah
satu pejabat Kecamatan dianiaya oleh sekelompok Satgas Parpol tertentu pada
malam hari menjelang hari pemungutan suara. Kasat Intelkam menganalisa kejadian
tersebut sebagai potensi konflik karena berkaitan dengan harga diri seorang pejabat
yang didukung oleh partai yang besar. Yang apabila tidak segera ditangani saat itu
juga dapat berkembang menjadi konflik antar-pendukung partai politik atau
perkelahian antar-satgas. Dan dapat mengacaukan bahkan menggagalkan
pelaksanaan pemungutan suara. Tindakan yang diambil oleh Kasat Intel adalah
menghubur:igi dan melakukan koordinasi dengan para pimpinan parpol yang terlibat
perseteruan. Dan para petugas tingkat bawah mengkomunikasikan dengan para
Komandan Satgas untuk mengendalikan anak buahnya. Tindakan lain yang dilakukan

106 JURNAL POLISI INDONESIA 7. JULI 2005


bersamaan adalah mengamankan korban maupun para pelaku yang diduga terlibat
untuk dilakukan penyidikan. Kasat intel juga melakukan koordinasi dengan Panwas
maupun KPU agar masalah tersebut diselesaikan dalam forum rembug parpol.
Dan malam itu juga mereka mampu untuk membuat kesepakatan dan menyelesaikan
masalah tersebut sebagai tindakan oknum yang tidak dikaitkan dengan masalah
partai politik.
Sebagai contoh lainnya adalah isu-isu yang memperkeruh sua.sana juga
dihembuskan melalui SMS hand phone. Pada kasus penganiayaan terhadap salah
satu anggota Panwaslu yang dilakukan oleh orang tidak dikenal. Anggota Panwaslu
tersebut sedang menangani masalah yang berkaitan ijazah palsu dari salah satu
Calon anggota Legislatif. Isu yang dihembuskan melalui SMS adalah: "Lihat anak
PKI berani memukuli anak ABRI (TNI), sudah lapor Palisi tetapi tidak ada tindakan
apa tidak hebat". Opini yang berkembang di masyarakat adalah menuduh Caleg
( caleg anggota Jegislatif) yang ijazahnya diduga palsu.
Isu tersebut dianalisa oleh Kasat Intel sebagai potensi konflik antar pribadi
yang dapat berkembang menjadi kerusuhan masa karena berkaitan dengan harga
diri salah seorang Caleg (Calon Legislatif) yang ditolak oleh Panwaslu (Panitia
Pengawas Pemilu), merasa tidak dan merasa difitnah karena diduga oleh masyarakat
telah melakukan penganiayaan. Yang diprediksi oleh Kasat Intelkam akan
menggunakan kekuatan masanya untuk melawan orang yang diduga telah memfitnah
mereka. Tindakan petugas intel secara cepat untuk melawan isu tersebut (counter
issue), yang juga melalui SMS maupun melalui media cetak, yang mengajak
masyarakat agar bertindak rasional dan agar tidak terpancing untuk diadu domba.
Dan tindakan lain yang dilakukan adalah komunikasi dengan pihak-pihak yang
diduga terlibat untuk menyelesaikan masalah sesuai aturan hukum dan melakukan
musyawarah. Dan tindakan tersebut membuahkan hasil, yaitu pihak-pihak yang
terkait menyepakati untuk tidak mengkait-kaitkan dengan partai politik maupun
prasangka-prasangka terhadap kelompok tertentu, serta mempercayakan
penanganannya oleh pihak polisi.
Hasil dari tindakan petugas intel tersebut adalah menunjukan kemampuan
untuk mengumpulkan informasi melalui proses komunikasi, dan menganalisanya
dengan membuat hipotesa-hipotesa. Yang digunakan untuk menyelesaikan masalah
melalui tindakan-tindakan yang cepat dan tepat. Di samping itu adalah kemampuan
untuk melakukan counter issue yang membawa suasana kondusif. Polisi dapat
dipercaya sebagai pihak ke tiga yang adil untuk menyelesaikan berbagai masalah

JURNAL POLIS! INDONESIA 7, JULI 2005 - 107


yang terjadi melalu1 musyawarah maupun kesepakatan, di antara pihak-pihak yang
terlibat konflik, untuk tidak mengkaitkan masalah pribadi dengan masalah partai
politik.
Se lain itu juga ditunjukan kemampuan petugas intel membangun jaringan
sosial dalam masyarakat dan mampu melihat potensi-potensi masyarakat untuk
mendukung tugasnya. Terutama yang berkaitan dengan menangkap isu-isu yang
beredar dan berkembang dalam masyarakat maupun berbagai infonnasi. Dan
petugas intel mampu menganalisanya sehingga produk intel yang dihasilkannya
dapat digunakan sebagai acuan atau pedoman bagi pimpinan untuk menentukan
kebijakan.
Dari jaringan sosial yang dibangun dapat mengajak pihak-pihak yang berseter u
untuk mempertimbangkan segi keamanan maupun ketertiban dari setiap kegiatan
yang mereka lakukan. Dan mereka juga mampu mengajak pimpinan parpol untuk
memikirkan tindakan-tindakan untuk mencegah terjadi bentrokan fisik antar­
pendukung. Tindakan tersebut dilaksanakan baik secara fonnal dalam forum rembug
parpol, yang membahas berbagai kegiatan politik dan membuat kesepakatan diantara
mereka. Kesepakatan-kesepakatan yang dibuat menjadi konvensi sosial yang
digunakan sebagai pedoman dan acuan untuk memelihara kamtibmas di wilayah
hukum Po Ires Batang. Secara non formal dilakukan dengan melakukan kunjungan
dan komunikasi baik secara langsung maupun dengan telepon untuk membuat
suasana yang kondusif.
Bagi yang melanggar hukum maupun konvensi sosial yang telah dibuat, apabila
berkaitan tindak pidana, polisi berupaya untuk menyelesaikan melalui jalur hukum
yang transparan. Tindakan tersebut menunjukan sebagai upaya polisi bisa menjadi
pihak ketiga yang tidak memihak atau sebagai mediator yang fair dan dipercaya
sebagai pengayom, pelindung serta penegak hukum.

Penutup
Keberadaan dan fungsi polisi dalam masyarakat adalah sesuai dengan
tuntutan kebutuhan dalam masyarakat yang bersangkutan untuk adanya pelayanan
polisi. Fungsi polisi adalah untuk menjaga agar keamanan dan ketertiban dalam
masyarakat yang diharapkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, dan menjaga
agar individu, masyarakat, dan negara yang merupakan unsur-unsur utama dalam
proses produktivitasnya tidak dirugikan. Yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas
hidup masyarakat. Disamping itu fungsi kepolisian dalam struktur kehidupan
masyarakal scbagai pengayom masyarakat, penegakan hukum, yaitu: mempunyai

I IIX JURNAL POLIS! INDONESIA 7. JULI 2005


tanggung jawab k.husus untuk memelihara ketertiban masyarakat dan menangani
kejahatan baik dalam bentuk tindakan terhadap kejahatan maupun bentuk
· pencegahan kejahatan agar para anggota masyarakat dapat hidup dan bekerja
dalam keadaan aman dan tenteram. Dengan kata Jain kegiatan-kegiatan polisi adalah
berkenaan dengan sesuatu gejala yang ada dalam kehidupan sosial dari suatu
masyarakat yang dirasakan sebagai beban/gangguan yang merugikan para anggota
masyarakat tersebut. Dan berupaya untuk mewujudkan rasa aman dengan tujuan
untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya, melalui pemolisian yang
dilaksanakan dalam fungsi-fungsi teknis kepolisian, salah satunya adalah intelijen.
lntelijen menurut bahasa lnggris (Intelligence), bahasa latin (Jnteligeree),
bahasa Belanda (Jnteligentie) yang artinya kecerdasan atau kepandaian. lntelijen
juga mengandung arti: I) Pemikiran, pengertian, dan cita-cita tentang suatu usaha
untuk memperoleh suatu pengetahuan (the producing ofknoeledge), 2) melakukan
usaha dan tindakan yang diperl ukan dalam hubungannya dengan pengetahuan yang
diperolehnya (Activity), 3) Usaha dan tindakan yang ditujukan untuk pengamanan
atau penghindaran diri dari bahaya yang mengancam (Security) (Saronto : 200 I).
Intelijen Kepolisian adalah lntelijen yang di implementasikan dalam pelaksanaan
tugas kepolisian yang berkaitan dengan pengumpulan informasi dan proses
penganalisaannya yang digunakan untuk melindungi harkat dan martabat manusia
serta untuk meningkatkan kulitas hidupnya.
lnformasi yang dikumpulkan oleh petugas intelijen dapat menggunakan
berbagai pengetahuan penelitian antara lain etnografi. Karena masalah-masalah
yang terjadi dalam masyarakat Indonesia sebagai masyarakat majemuk adalah
sangat komplek dan mempunyai potensi yang besar untuk terjadinya konflik terutama
konflik antar-sukubangsa maupun antar keyakinan keagamaan, maupun konflik­
konflik Jainnya yang bersifat primordial.
Agar informasi yang dikumpulkan oleh intelijen dapat bermanfaat sebagai
acuan untuk pelaksanaan pemolisian, harus dianalisa dengan membuat hipotesa
( dengan konsep-konsep maupun teori-teori yang relevan), untuk menunjukan pola,
jaringan, koneksi, atau kawasan-kawasan baru dari aktivitas kejahatan. Hipotesa
merupakan alat intelijen yang penting dan efektif, yang ditempatkan ke dalam pola
logika dan mengembangkan pemyataan sementara yang dapat memprediksi situasi
dan kondisi di masa yang akan datang. Kemampuan membuat hipotesa tersebut
diperlukan kemampuan untuk berfikir secara konseptual dan teoritikal. Tanpa

JURNAL POLIS! INDONESIA 7, JULI 2005 ··• 109


membuat hipotesa-hipotesa yang mengacu dari konsep maupun teori yang relevan
dalam melakukan analisa, maka infom,asi tersebut hanya sebagai diskripsi yang
tidak dapat memberikan kontribusi yang efektif untuk tujuan strategi dalam
melaksanakan pemolisian.

Daftar Pustaka
DeLadurantey,
1995 Dalam The Encyclopedia of Police Science (second edition) Bayley
William G, (ed), New York & London, Garland Publishing.
Bayley David H,
1994 Police for the Future (diterjemahkan dan disadur oleh Kunarto), Jakarta,
Cipta Manunggal.
More,
1998 Special topics in policing, Cincinati, Andreson Publishing.
Rahardjo, Satjipto,
2002 Palisi Sipil, Jakarta, Gramedia
Reiner, Robert,
2000 The Politic ofThe Police, Oxford University Press.
Reksodiputro, Mardjono,
1996 Catatan kuliah Seminar masalah peradilan Pidana S3 KIK UI angk. II, tidak
diterbitkan
Saronto, Yohanes Wahyu,
2001 lntelejen, Teori, aplikasi dan modernisasi, Jakarta, PT. Ekalaya Saputra

Secapa Polri,
1996 Vademikum Polri Tingkat I, Sukabumi, Secapa Polri
Suparlan Parsudi,
1999a Makalah sarasehan "Etika Publik Palisi Indonesia", tanpa penerbit.

1999b Palisi Indonesia Dala111 Rangka Otonomi Daerah. Makalah Seminar


Hukum Nasional VII, Departemen Kehakiman.

2004 I-lubungan Antar-Sukubangsa, .Jakarta, YPKIK

110 JURNAL POLIS! INDONESIA 7. JULI 2005


Dokumen:
Program Kerja Polres Batang tahun 2003.
Laporan Kesatuan Polres Batang tahun 2003.
Intel Dasar Polres Batang tahun 2003.

(Footnotes)
1
keamanan berasal dari kata dasar "aman" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan
sebagai : bebas dari bahaya, bebas dari gangguan; terlindung atau tersembunyi; tidak
dapat diambil orang; tidak meragukan; tidak mengandung resiko; tidak merasa takut atau
khawatir. Keamanan masyarakat dalam rangka kamtibmas adalah suasana yang menciptakan
pada individu manusia dan masyarakat perasaan-perasaan : I) bebas dari gangguan baik
fisik maupun psikis, 2) Adanya rasa kepastian dan rasa bebas dari kekhawatiran, keragu­
raguan dan ketakutan, 3) dilindungi dari segala macam bahaya, 4) Kedamaian lahiriah dan
batiniah. Di sini terlihat bahwa yang menentukan keadaan aman atau tidak adalah perasaan
dari individu dan masyarakat dan bukan semata-mata dari kaca mata polisi.

Ketertiban berasal dari kata dasar "tertib". Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan:
teraturan; menurut aturan; rapi. Tertib dapat diartikan adanya keteraturan, situasinya
berjalan secara teratur sesuai dan menurut norma-nom,a serta hubm yang berlaku. Terdapat
dua macam nom,a yang mengatur ketertiban masyrakat yaitu norma yang sudah dijadikan
norma hukum dan norma non hukum. Kedua macam nom1a ini disebut norma ketertiban.
Pasal I butir 5 dan 6 UUD No.2 tahun 2002 dijelaskan bahwa : Keamanan dan ketertiban
masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat
terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasionl
yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban dan tegaknya hukum, serta terbinanya
ketentraman, yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan
kekuatan rnasyarakat dalam rnenangkal, mencegah dan menanggulangi segala bentuk
pelanggaran hukurn dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan
masyarakat. Butir 6 menjelaskan : keamanan Dalam Negeri adalah suatu keadaan yang
ditandai dengan terjaminnya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya
hukum, serta terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat.
kebudayaan dalam hal ini mengacu pendapat Profesor Suparlan, yang dilihat dari
fungsinya bagi kehidupan manusia. Yaitu sebagai pedoman bagi kehidupan manusia,
sebagai pedoman maka isinya adalah pengetahuan-pengetahuan, keyakinan-keyakinan
yang menjadi acuan bagi para pendukungnya untuk menginterprestasi, memahami dan
memanfaatkan lingkungannya gejala-gejala yang terjadi maupun untuk menghadapinya
yang berkaitan dengan upaya pcmenuhan kebutuhan hidup sebagai manusia.

JURNAL POLISIINDONESIA 7, JULI 2005 ' \ 111


· Penyidikan adalah untuk mencari, mengumpulkan, mengolah dan menafsirkan bahan
keterangan yang diperlukan tentang masalah tertentu dan kemudian yang menjadi produk
intelijen dalam rangka melaksanakan deteksi dan identifikasi terhadap segala bentuk
sumber pelanggar hukum, penyimpangan norma sosial dan sumber gangguan kamtibmas
yang merupakan faktor korelatifkriminogen. Pengamatan lntelejen adalah kegiatan Intelejen
yang ditujukan untuk mendukung penyelenggaraan tugas pokok Polri yang dilaksanakan
dengan prosedur, metode dan teknik/taktik berupa langkah-langkah pencegahan dan
penindakan baik langsung atau tidak langsung, terbuka atau tertutup terhadap segala
bentuk ancaman yang mungkin terjadi berupa penyimpangan norma-norma untuk menjamin
keamanan dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat, serta yang dapat dan atau
diperkirakan akan menghambat kelancaran pelaksanaan pembangunan bangsa/negara yang
bersumber dari supra struktur, tekno struktur, warga masyarakat dan lingkungan.
P enggalangan dilakukan secara berencana, terarah didaerah tertentu untuk membuat,
menciptakan, mengubah suatu kondisi dalam masyarakat sehingga mencapai keadaan
yang menguntungkan terhadap pelaksanaan tugas Polri. Penyelenggaraan penggalangan,
dimulai dengan penyelidikan sarana penggalangan. Apabila keadaan memungkinkan
dilanjutkan dengan menanam agen-agen penggalangan serta membuat jaringan-jaringan
penggalangan. Tahap-tahap penggalangan : penyusupan ; pencerai-beraian; pengingkaran;
pengarahan; penggeseran; penggabungan (Vademiki.:m Polri tingkat I 1996)

112 JURNAL POLISI INOONESIA 7. JULI 2005


KONTRIBUTOR
Prof. Mardjono Reksodiputro, SH, MA
Ketua Program Studi kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia

Prof. Dr. Awaloedin Djamin


Ketua Dewan PenasehatAhli Kapolri, Guru Besar PTIK, Juga Guru B�sar S2
& S3 KIK + Administrasi U.I.

Prof. Dr. Satjipto Rahardjo


Guru Besar Emeritus pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

Drs. E. Winarto H, SH. MSi.


Deputi KAPOLRI bidang Sumber Daya Manusia.

Irjen Pol. Prof. Dr. Farouk Muhammad


Gubemur/Ketua Sekolah Tinggi Perguman Tinggi Ilmu Kepolisian

Prof. Parsudi Suparlan, PhD.


Guru Besar Antropologi Ul, juga Guru Besar S2 dan S3 pada Kajian Ilmu
Kepolisian Universitas Indonesia.

Drs. Arief Sulistyanto, MSi.


Kapolres lndragiri Hilir, Mahasiswa S3 angkatan IT

Dr. Chryshnanda DL.


Asisten dosen KIK-U.l., dan dosen PTIK

You might also like