You are on page 1of 8

MENINJAU ULANG MAKNA DAN MANIFESTASI INDEPENDENSI HMI

Oleh :

Zainudin, anggota HMI Cabang Palembang.

Secara etimologi, independensi merupakan bahasa serapan dari bahasa


inggris, yaitu independent, yang berarti mandiri atau tidak terikat. Kata tersebut
kemudian banyak dipahami sebagai definisi yang diasosiasikan sebagai bentuk
ungkapan yang menyatakan kemerdekaan, walaupun secara gramatikal, konotasi
merdeka, secara harfiah lebih tepat mengacu pada kata freedom. Pada pembahasan
kali ini kita tidak akan melakukan kajian secara linguistic maupun tatabahasa
mengenai pemaknaan independensi maupun freedom, tetapi yang jelas, slogan
slogan tentang kemandirian dan kebebasan merupakan ekspresi perlawanan dan
sangat familiar dikalangan kelompok gerakan dalam mengemas narasi dan unjuk
aspirasi. Mengutip sebuah pernyataan legendaris seorang aktivis yang peduli
terhadap nasib masyarakat adat dan kelas bawah dari meksiko, yaitu Sub-
Comandante Marcos, bahwa kata kata adalah senjata, telah banyak kasus yang
membuktikan bahwa, dari mimbar mimbar orasi maupun pojok pojok diskusi
mampu membangkitkan radikalisasi gerakan dan mobilisasi massa, yang kemudian
tersugesti atas propagasi dan motivasi yang keluar dari ungkapan verbal maupun
tulisan, ramuan kata menjadi kalimat dan berlipat ganda dapat menjadi kesan
magis bagi pendengar dan pembaca nya, dari sanalah munculnya impresi serta
menyulut atensi public untuk terdorong bangkit berbenah.

Telah banyak lahir tokoh tokoh hebat yang memprakarsai pembaharuan dan
terlibat dalam peristiwa besar, diantaranya punya latarbelakang kemahiran menulis
dan berorasi, tidak bisa dipungkiri bahwa kepribadian seseorang dalam
mempengaruhi massa, dalam hal ini kita sebut sebagai kualitas kepemimpinan,
punya kapasitas otentik untuk menggerakan sekelompok orang dari cara
berfikirnya yang brilian dan analisa yang tajam terhadap kondisi objektif yang
berkembang. Jelas bahwasanya sisi magis sebuah kata tidak hanya sekedar
memiliki unsur esoteric (keindahan dan teoritis), tetapi juga harus memiliki unsur
eksoteris ( aktualitas dan praxis ), asas balansi dari kedua unsur tersbut harus
bergerak secara kompatibel agar tidak terjebak pada kesan retorik dan hanya berisi
konten konten slogan loyalistik, seperti sebelumnya yang pernah dilontarkan
nurcholish madjid dalam komtearnya terhadap gerakan kaum muslimin di timur
tengah, ketika kunjunganya di sekitaran tahun 1968. Sebuah naskah tidak akan
berdampak perubahan hanya pada dirinya sendiri, tetap harus ada instrument siasat
dan metodologi untuk diterjemahkan dalam bentuk tindakan, dan satu hal yang
musti dijadikan bahan pertimbangan adalah man behind the gun.

Dari rentetan fase nasionalisme di Indonesia, terdapat gelombang ikhtiar


yang dilakukan dengan jalan pergerakan dan aktivitas politik, pertama dikenal
sebagai fase perintis, periode ini corak pembebasan dilakukan dengan cara
perjuangan yang terbilang baru dari varian perjuangan sebelum nya, dari
konfrontasi fisik atau aktivitas militeristik, bermutasi menjadi gerakan
keorganisasian, hal ini dapat ditinjau dari maraknya tumbuh perserikatan atau
perhimpunan yang mengedepankan kepedulian social, mulai dari berbasis
perdagangan, primordial, pendidikan serta wacana senasib sepenanggungan. Fase
kedua dikenal sebagai fase penegas, disekitaran masa ini geliat persatuan dan
konsolidasi nasional mulai bergejolak, hal ini ditandai dengan diadakanya kongres
pemuda ke II pada tanggal 28 Oktober 1928 yang kemduian melahirkan ikrar
sumpah pemuda. Fase ketiga merupakan fase percobaan, dengan ditandai
munculnya partai politik, yang digunakan sebagai media penghimpun massa untuk
memperjuangkan garis ideologi dan pendidikan politik masyarakat, terlebih
momentum di fase ketiga ini tuntutan masyarakat Indonesia agar berparlemen
mulai disuarakan kepada pemerintah kerajaan Belanda, ditandai dengan
dibentuknya GAPI ( Gabungan Partai Politik Indonesia ). Fase ke empat lebih
dikenal sebagai fase pendobrak, karena pada situasi ini, Indonesia berhasil
memproklamasikan kemerdekaan pasca penyerahan pemerintah Jepang kepada
pihak sekutu.

Era baru pembentukan pemerintahan berdaulat oleh rakyat Indonesia,


berhasil merumuskan sebuah konsep kenegaraan bercorak Republik, dengan
berulang kali mencoba system pemerintahan dari presidensil ke parlementer
kemudian ke presindesil lagi. Rangkaian fase perjuangan kemerdekaan dan siklus
pertumbuhan nasionalisme rakyat Indonesia, semata mata menghendaki sebuah
kedaulatan dan kemadirin dalam menetukan nasib bangsa mealui jalur pemerintahn
resmi, tanpa intervensi pihak asing. Bahwa sesungguhnya di tiap tiap bangsa yang
membentuk peradaban dan budaya nya pun sama memiliki tujuan luhur,
melepaskan belenggu belenggu despotisme baik dari dalam maupun luar,
kemudian mereformulasi jadi diri kebangsaan sebagai identitas kolektif yang
memuat dan mengakomodir kemashlahatan umum sekaligus menjadi citra hidup
kenegaraan.

Cita cita tentang kebebasan, persamaan serta keadilan merupakan monument


gagasan yang telah lama mewarnai catatan peradaban manusia, hal ini dapat
ditelusuri dari code Hammurabi, piagam Madinah, Magna carta hingga declaration
of independent, sejak peradaban kuno hingga moderen tata nilai tersebut tetap
abadi dan menajdi symbol universalisme kemanusiaan. Sebuah nilai sejatinya akan
tetap utuh dan berlaku, hanya saja penjabaran dan aktualisasi nya yang berubah,
menyesuaikan dengan konteks zaman dan ruang, artinya kalau ditelaah secara
substansial, alam ide manusia tentang nilai nilai tersebut sudah menjadi identitias
humanis ditarik dari kefitrahan manusia sendiri sebabagi insan ilahiyah, yang
senantiasa tendensi kepada kebenaran dan terpancar kesucian. Mengutip dari
pembahasan penciptaan manusia menurut tafsiran Ali syariati, bahwasanya
komponen yang terdapat dari wujud manusia terdiri dari Roh dan Lempung,
kombinasi unsur spiritual dan materil.

Dari sisi spiritual, fragmentasi zat Tuhan menyatu dalam diri manusia, itulah
mengapa terminology manusia sering diistilahkan sebagai makhluk paripurna, dari
perspektif inilah terdapat sifat inner fitrah atau istilah filsafat nya manusia
memiliki innate idea (ide bawaan). Lalu dari sudut pandang materilnya, manusia
dalam bentuk anatomis dan bilogis jelas sebagai makhluk yang berwujud, dan
melangsungkan kebutuhan hidupnya dari asupan asupan materil. Meninjau dari
kacamata karl Marx tentang manusia, bahwasanya mansia adalah makhluk yang
memiliki nilai kerja dan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dia senantiasa
melakukan aktifitas produksi, maka dari hal tersebutlah manusia dikatakan sebagai
makhluk materialis, dalam artian upaya mencukupi aktivitas dan hidupnya akan
mewujudkan aktifitas priduksi, mulai dari kehidupan komunal dengan cara berburu
dan meramu, privatisasi alat produksi hingga utopia marx bahwa dipuncak tatanan
masyarakat, manusia akan hidup berdasarkan universal brotherhood, yaitu
kepemilikan hak dan akses sumberdaya materil secara bersama.
Perdebatan tentang liberalitas kemanusiaan menjadi topik pembicaraaan
yang Panjang dari zaman ke zaman, bahkan akar filsafat dari idologi ideologi besar
beranjak dari liberalisme. Angan angan tentang kebebasan dan harmoni dalam
tatanan masyarakat. Radikalisasi tentang liberalisme dari dua sisi yang paling
mendalam, menghaapkan pertentangan ideologis yang sangat tajam, antara
kapitalisme yang menjunjung tinggi kompetisi dan campur tangan negara dalam
ranah bisnis hingga urusan privat, di sisi yang berlawanan, komunisme yang
mengalami radikalisasi dari akar liberalisme, beranggapan bahwa hak milik pribadi
(privatisasi) merupakan sumber bencana yang melemparkan manusia dalam
keterasingan, maka kepemilikan pribadi harus dihapus dan diisntitusionlakan
melalui kepemilikan Bersama, dengan begitu seseorang dapat memenuhi sesuai
dengan yang dia butuhkan bahkan lebih jauh lagi akan mendapatkan sesuatu atas
apa yang dia butuhkan.

Cita cita tentang kebebasan dan kemerdekaan tidak saja menggema dari
kalangan umum masyarakat Indonesia, tetapi juga tumbuh dikalangan cendikiawan
muda, terutama dari golongan pelajar di perguruan tinggi. Salah satu golongan
kemahsiswaan yang turut menyertakan cita cita kebebasan komunal tentang wajah
kenegaraan Indonesia adalah HMI, suatu organisasi maahsiswa Islam tertua di
Indonesia, yang hadir hanya berselang 18 bulan sejak proklamasi kemerdekaan
Indonesia, bangunan dasar diskursus kehadiran HMI tidak lepas dari pemikiran
keislaman-keindonesiaan, suatu landasasan teoritis dalam mengarahkan cita cita
jangka Panjang kemerdekaan. Suatu cita cita tentang kebebasan dan kemerdekaan
yang asasi tidak akan menegasikan nilai independensi dan orientasi kemashlahatan
umum, dan konstruksi tersebut dapat dilacak dari naskah organisasi HMI yang
menegaskan bahwa peran golongan umat Islam selain menjadi bagian mayoritas
presentase penduduk Indonesia, juga secara inherensi merupakan sumberdaya
kualitatif untuk memberikan kontribusi aktif dan konstruktifnya dalam
membangun tatanan sosial kenegaraan.

Menyoal tentang nilai independensi HMI, yang sejak awal berdirinya sudah
menetapkan Haluan sifatnya yang tidak mengafiliasikan diri kepada kekuatan
politik dan golongan golongan manapun, tentu hal tersebut bukanlah keputusan
sederhana dan tanpa pertimbangan matang, jika dilihat dari situasi zaman nya,
sungguh ini merupakan keputusan yang berani sekaligus menunjukan mentalitas
survive tinggi, karena jika saja pada saat itu HMI hendak berafiliasi pada kekuatan
golongan Islam , tentu jaminan fasilitas dan akses untuk mendapatkan privilege
akan lebih kuat, dan disisi lain, garantor untuk pasang badan disaat ada pihak rival
yang hendak melucuti HMI akan dengan mudah di counter pihak patron nya,
apalagi pada saat itu PKI dengan kekuatan besarnya, cukup serius untuk
menghukum HMI melalui bisikan kepada rezim Sukarno. Jalan yang ditempuh
HMI ternyata bukan terletak pada kenyamanan dan status quo, kalau dilihat dari
catatan perjalanan eksistensi organisasi ini, jauh daripada itu, niat awal HMI adalah
untuk menjadikan wadah ini sebagai poros tengah Gerakan Islam, yang diisi oleh
para pelajar perguruan tinggi, supaya tidak larut pada polarisasi Gerakan dan
sentiment antar kutub faksi.

Dari kilas balik sejarah dan situasi kontemporer saat ini, identitas profil
keorganisasian HMI masih dengan komitmen awalnya, yang tidak sedikitpun
tergoyahkan untuk berpaling meleburkan diri pada kekuatan besar di zaman nya.
Pada redaksi yang tertera pada pedoman pokok dan dokumen profil organisasi, tak
satupun diksi yang mengatakan secara eksplisit bahwa HMI berada dipihak suatu
lembaga manapun, atau dalam artian lain menyatakan diri sebagai underbouw
untuk terikat kontrak loyalitas, namun apakah komitmen narasi tersebut sepadan
dan kompatibel dengan realita juang organisasi?, pada titik ini terdapat banyak
polemik dan ambivalensi yang kontras, dari lintasan sejarah organisasi ini yang
turut mewarnai kehidupan sosial-politik kebangsaan, periodesasi bhakti HMI
mengalami pergeseran yang cukup serius memasuki babak abad ke 21, jika dahulu
advokasi dan keberpihakan HMI mulai sejak era orde baru hingga reformasi, dapat
dibilang tanggap dan pelopor dalam menyikapi isu kebangsaan keumatan-
kebangsaan, baik melalui kajian diskursif hingga aksi demonstrasi.

Semenjak kian jitunya taktik dan pendekatan diplomatis pemerintah


terhadap gerakan mahasiswa Cipayung (eksternal) salahsatunya HMI, maka
semakin terlihat pula ketersendatan resistensi dan ghirah sebagai mitra kritis. Pola
kerja kemitraan yang dilancarkan pemerintah, yang juga disokong oleh para alumni
organisasi yang pada momentum tersebut juga mengisi ruang ruang birokrasi,
mampu menjadi agen katalisator meredam tindakan kritis adik adik mereka sebagai
anggota aktif organisasi. Makin hari kedekatan dan jaga jarak aman terhadap
penguasa semakin tak terkendali, sehingga menguatkan tendensi dan pembentukan
paradigma take and deal dan terkesan negosiasif terhdap problem akar rumput
kemasyarakatan hingga tataran struktur nasional. Legacy kontrak sosial dan jamian
fasilitas dari pihak pemegang akses kuasa dan sumberdaya material akhirnya
menjebak aktor organisasi kedalam jeratan status quo, hingga pada titik
kulminasinya lingkaran ini menjadi lebih kuat , kemudian terwariskan sebagai
tradisi kepengurusan.

Ada beberapa faktor mendasar yang mempengaruhi pergeseran paradigma


dan tindakan tersebut, beberapa diantarnya seperti yang dikatakan oleh agus salim
sitompil mengenai manajemen dan pola perkaderan organisasi HMI yang
cenderung old of the date, yang kurang adaptif membentuk kemerdekaan berkarya
dan mandiri dalam pengelolaan asset hingga finansial, sehingga ketergantungan
terhadap pihak pihak supplier semakin tinggi, maka konsekuensi logisnya berlaku
praktik relasi timbal balik jasa. Fokus orientasi training yang ditetapkan kurang
menyentuh standard aplikatif dan pembekalan bimbingan entrepreneur, output
pembentukan kader tidak cukup komprehensif ditengah kompetisi zaman yang
kian ketat, indikator taksonomi pentrainingan berkutat pada ranah afektif, kognitif
dan psikomotorik yang kaku, tanpa adanya parameter konkret dalam meninjau
grafik pertumbuhan anggota organisasi. Uraian tentang kompetensi dasar terkait
varian taksonomi pentrainingan tersebut, kurang menyentuh aspek kualitatif
sebagaimana peran besar yang diemban aktor organisasi, maka akibatnya
kekeliruan membaca arah juang dan irrelevansi mapping kebutuhan dasar
organisasi hingga anggota menjadi realita yang tak terelakan.

Faktor kedua yang sangat berpengaruh besar dalam merenggut dan


membiaskan profil idependensi organisasi adalah praktif bargaining position pada
arena konstestasi pemilihn ketua umum diberbagai jenjang kepengurusan.
Mungkin margin error untuk tataran komisariat sangat kecil, namun hal ini dapat
berlaku pada lingkaran komisariat bermassa banyak atau secara terminology HMI,
predikat komisariat berstatus suara penuh dan berkelipatan, tarikan dampaknya
cukup panjang, baik untuk meingkatkan daya tawar di ranah konferensi maupun
akses kontrol lembaga di internal fakultas yang kuat. Belum lagi tataran tersebut
menyentuh kerucut atas jenjang kepengurusan, maka daya saing nya semakin alot,
baik dengan intrik pembagian jabatan, money politik hingga underpresseur dari
para petinggi (don) yang turut mengintervensi jalan nya pemilihan, padahal
semestinya, hak seutuhnya pemilihan berada di tangan peserta penuh pemilihan
berdasarkan musyawarah anggota pengurusan sebagai representasi suara. Praktik
praktik kolusi dan nepotisme golongan tersebut, tentu bertentangan dengan
standard etis organsasi, namun karena mentalitas yang tidak mampu berswakelola,
maka resikonya adalah tunduk pada ketakutan dan memperpanjang barisan
perbudakan, begitu kira kira ungkapan yang cukup mengena dari penyampaian
seorang wiji thukul.

Secara genealogi, saya tidak tahu pasti kapan intrik manipulative tersebut
berlangsung dalam arena pemilihan ketua umum di internal HMI, namun yang
pasti cara cara seperti itu tidak ditemukan dan bukan warisan murni HMI sejak
awal berdirinya, bahkan seorang Lafran Pane, selaku inisiator pendiri organisasi ini
tidak sama sekali menunjukan gelagat gila jabatan, popularitas dan rakus terhadap
kemapanan finansial, bahkan jauh dari pada itu, beliau dikenal sebagai sosok yang
zuhud dan tawadhu. Dari spekulasi personal saya, praktik praktik manipulatif
tersebut bisa jadi diintrodusir dari tradisi birokratis pemerintahan yang kemudian
mengontaminasi internal organisasi, kemungkinan tersebut dapat saja terjadi lewat
interaksi dengan para birokrat atau pihak pihak dalam organisasi itu sendiri yang
juga terlibat dalam ranah birokrasi, hingga pada suati titik praktik sempalan tersbut
jadi rumus jitu untuk mencapai kewenangan dan sumber benefit segelintir faksi.

Dampak yang ditimbulkan dari tatacara yang kurang berkenan tersebut,


mengganggu jalanya mobilitas pengelolaan dan ranah kerja organisasi, karena
sudat terdapat sekat sekat yang semestinya bukan menjadi pengahalang
kelangsungan implementasi anggota, bahkan tidak jarang mencederai nurani
masyarakat sebagai mitra sekaligus sasaran advokasi kemashlahatan. Beberapa
contoh diantarnya ke passifan HMI dalam menyuarakan aspirasi dan
menggemakan counter diskursus kepada pemerintah selaku stakeholder baru baru
ini, menyangkut isu kenaikan BBM, UU ketenagakerjaan, konflik agrarian,
kelangkaan minyak goring, bencana kemanusiaan di Papua hingga wacana
pemindahan IKN luput dari sorotan dan kajian kritis HMI, belum lagi isu isu lokal
dan regional yang membayang bayangi masyarakat daerah, seperti contoh konflik
lahan di dusun Betung, Ogan Ilir, Sumatera Selatan tidak banyak yang bisa
diperbuat HMI dalam mendampingi kasus tersebut. Secar faktual, tidak dapat
dipungkiri juga masih ada bagian dari HMI diberbagai level kepengurusan maupun
personal yang masih istiqomah berda pada track pemberdayaan dan advokasi
masyarakat, tetapi disayangkan pewartaannya kurang disorot atau viral. Namun
pada tahap personifikasi utuh keorganisasian, suara suara lantang HMI kian sunyi
diredam ruang kedap udara, karena sejatinya penilaian ini ditujukan dalam
kerangka gerak jamaah anggota dibalut kehadiran organisasi sebagai perantara,
hanya saja realita tersebut banyak mengalami keabsenannya.

Bisa jadi selama ini kita punya penafsiran tersendiri dalam


mengartikulasikan independensi, yang kemudian berpretensi dibalik makna
asasinya tentang cita cita keluhuran, namun pada tahap manifestasinya penempatan
dan pemahaman tersebut dijadikan dalih dan alasan untuk melancarkan mobilitas
relasi asmara gelap dengan pihak pihak yang dapat mendistribusikan kepentingan
oportunistis jangka pendek bagi pihak pihak yang memiliki akses otoritas di
organisasi, lalu pada kelanjutanya citra organisasi menjadi korban inkonsistensi
terhadap profil identitas yang tersemat padanya. Hanya karena jalan yang dipilih
organisasi ini tidak mencantumkan garantor dan patron, bukan berarti anggotanya
bebas untuk memilih dan menempatkan pihak yang mampu menjamin kelancaran
fasilitas dengan konsekuensi dapat menganulir roadmapp gerak organisasi.
Memang sah sah saja jikalau terdapat anggota HMI yang hendak berkakir di lintas
profesi dan kekaryaan, namun tak berarti keleluasaan tersebut dijadikan peluang
mengatasnamakan organisasi dan memanfaatkan nama besarnnya sebagai
instrument pressure dalam menggertak sektor sektor strategis, tetapi dibalik itu
dijadikan jalan untuk mengambil langkah kesepakatan negosiasi keuntungan
golongan.

Opini ini semata mata bentuk ungkapan otokritik terhdap organisasi yang
kian lama mengalamai stagnasi dan dekadensi, karena metode terbaik untuk
evaluasi adalah kritik, untuk menilai sejauhmana kesesuaian berjalan di koridor
yang tepat. Saya secara pribadi membuka diri untuk masukan saran dan nasihat
mengenai adanya kekeliruan argumen yang tertera pada tulisan ini, maupun diskusi
terkait tulisan yang saya buat ini, demi proporsional data dan komprehensifitas
narasi di dalamnya.

You might also like