Professional Documents
Culture Documents
Meninjau Ulang Makna Dan Manifestasi Independensi HMI
Meninjau Ulang Makna Dan Manifestasi Independensi HMI
Oleh :
Telah banyak lahir tokoh tokoh hebat yang memprakarsai pembaharuan dan
terlibat dalam peristiwa besar, diantaranya punya latarbelakang kemahiran menulis
dan berorasi, tidak bisa dipungkiri bahwa kepribadian seseorang dalam
mempengaruhi massa, dalam hal ini kita sebut sebagai kualitas kepemimpinan,
punya kapasitas otentik untuk menggerakan sekelompok orang dari cara
berfikirnya yang brilian dan analisa yang tajam terhadap kondisi objektif yang
berkembang. Jelas bahwasanya sisi magis sebuah kata tidak hanya sekedar
memiliki unsur esoteric (keindahan dan teoritis), tetapi juga harus memiliki unsur
eksoteris ( aktualitas dan praxis ), asas balansi dari kedua unsur tersbut harus
bergerak secara kompatibel agar tidak terjebak pada kesan retorik dan hanya berisi
konten konten slogan loyalistik, seperti sebelumnya yang pernah dilontarkan
nurcholish madjid dalam komtearnya terhadap gerakan kaum muslimin di timur
tengah, ketika kunjunganya di sekitaran tahun 1968. Sebuah naskah tidak akan
berdampak perubahan hanya pada dirinya sendiri, tetap harus ada instrument siasat
dan metodologi untuk diterjemahkan dalam bentuk tindakan, dan satu hal yang
musti dijadikan bahan pertimbangan adalah man behind the gun.
Dari sisi spiritual, fragmentasi zat Tuhan menyatu dalam diri manusia, itulah
mengapa terminology manusia sering diistilahkan sebagai makhluk paripurna, dari
perspektif inilah terdapat sifat inner fitrah atau istilah filsafat nya manusia
memiliki innate idea (ide bawaan). Lalu dari sudut pandang materilnya, manusia
dalam bentuk anatomis dan bilogis jelas sebagai makhluk yang berwujud, dan
melangsungkan kebutuhan hidupnya dari asupan asupan materil. Meninjau dari
kacamata karl Marx tentang manusia, bahwasanya mansia adalah makhluk yang
memiliki nilai kerja dan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dia senantiasa
melakukan aktifitas produksi, maka dari hal tersebutlah manusia dikatakan sebagai
makhluk materialis, dalam artian upaya mencukupi aktivitas dan hidupnya akan
mewujudkan aktifitas priduksi, mulai dari kehidupan komunal dengan cara berburu
dan meramu, privatisasi alat produksi hingga utopia marx bahwa dipuncak tatanan
masyarakat, manusia akan hidup berdasarkan universal brotherhood, yaitu
kepemilikan hak dan akses sumberdaya materil secara bersama.
Perdebatan tentang liberalitas kemanusiaan menjadi topik pembicaraaan
yang Panjang dari zaman ke zaman, bahkan akar filsafat dari idologi ideologi besar
beranjak dari liberalisme. Angan angan tentang kebebasan dan harmoni dalam
tatanan masyarakat. Radikalisasi tentang liberalisme dari dua sisi yang paling
mendalam, menghaapkan pertentangan ideologis yang sangat tajam, antara
kapitalisme yang menjunjung tinggi kompetisi dan campur tangan negara dalam
ranah bisnis hingga urusan privat, di sisi yang berlawanan, komunisme yang
mengalami radikalisasi dari akar liberalisme, beranggapan bahwa hak milik pribadi
(privatisasi) merupakan sumber bencana yang melemparkan manusia dalam
keterasingan, maka kepemilikan pribadi harus dihapus dan diisntitusionlakan
melalui kepemilikan Bersama, dengan begitu seseorang dapat memenuhi sesuai
dengan yang dia butuhkan bahkan lebih jauh lagi akan mendapatkan sesuatu atas
apa yang dia butuhkan.
Cita cita tentang kebebasan dan kemerdekaan tidak saja menggema dari
kalangan umum masyarakat Indonesia, tetapi juga tumbuh dikalangan cendikiawan
muda, terutama dari golongan pelajar di perguruan tinggi. Salah satu golongan
kemahsiswaan yang turut menyertakan cita cita kebebasan komunal tentang wajah
kenegaraan Indonesia adalah HMI, suatu organisasi maahsiswa Islam tertua di
Indonesia, yang hadir hanya berselang 18 bulan sejak proklamasi kemerdekaan
Indonesia, bangunan dasar diskursus kehadiran HMI tidak lepas dari pemikiran
keislaman-keindonesiaan, suatu landasasan teoritis dalam mengarahkan cita cita
jangka Panjang kemerdekaan. Suatu cita cita tentang kebebasan dan kemerdekaan
yang asasi tidak akan menegasikan nilai independensi dan orientasi kemashlahatan
umum, dan konstruksi tersebut dapat dilacak dari naskah organisasi HMI yang
menegaskan bahwa peran golongan umat Islam selain menjadi bagian mayoritas
presentase penduduk Indonesia, juga secara inherensi merupakan sumberdaya
kualitatif untuk memberikan kontribusi aktif dan konstruktifnya dalam
membangun tatanan sosial kenegaraan.
Menyoal tentang nilai independensi HMI, yang sejak awal berdirinya sudah
menetapkan Haluan sifatnya yang tidak mengafiliasikan diri kepada kekuatan
politik dan golongan golongan manapun, tentu hal tersebut bukanlah keputusan
sederhana dan tanpa pertimbangan matang, jika dilihat dari situasi zaman nya,
sungguh ini merupakan keputusan yang berani sekaligus menunjukan mentalitas
survive tinggi, karena jika saja pada saat itu HMI hendak berafiliasi pada kekuatan
golongan Islam , tentu jaminan fasilitas dan akses untuk mendapatkan privilege
akan lebih kuat, dan disisi lain, garantor untuk pasang badan disaat ada pihak rival
yang hendak melucuti HMI akan dengan mudah di counter pihak patron nya,
apalagi pada saat itu PKI dengan kekuatan besarnya, cukup serius untuk
menghukum HMI melalui bisikan kepada rezim Sukarno. Jalan yang ditempuh
HMI ternyata bukan terletak pada kenyamanan dan status quo, kalau dilihat dari
catatan perjalanan eksistensi organisasi ini, jauh daripada itu, niat awal HMI adalah
untuk menjadikan wadah ini sebagai poros tengah Gerakan Islam, yang diisi oleh
para pelajar perguruan tinggi, supaya tidak larut pada polarisasi Gerakan dan
sentiment antar kutub faksi.
Dari kilas balik sejarah dan situasi kontemporer saat ini, identitas profil
keorganisasian HMI masih dengan komitmen awalnya, yang tidak sedikitpun
tergoyahkan untuk berpaling meleburkan diri pada kekuatan besar di zaman nya.
Pada redaksi yang tertera pada pedoman pokok dan dokumen profil organisasi, tak
satupun diksi yang mengatakan secara eksplisit bahwa HMI berada dipihak suatu
lembaga manapun, atau dalam artian lain menyatakan diri sebagai underbouw
untuk terikat kontrak loyalitas, namun apakah komitmen narasi tersebut sepadan
dan kompatibel dengan realita juang organisasi?, pada titik ini terdapat banyak
polemik dan ambivalensi yang kontras, dari lintasan sejarah organisasi ini yang
turut mewarnai kehidupan sosial-politik kebangsaan, periodesasi bhakti HMI
mengalami pergeseran yang cukup serius memasuki babak abad ke 21, jika dahulu
advokasi dan keberpihakan HMI mulai sejak era orde baru hingga reformasi, dapat
dibilang tanggap dan pelopor dalam menyikapi isu kebangsaan keumatan-
kebangsaan, baik melalui kajian diskursif hingga aksi demonstrasi.
Secara genealogi, saya tidak tahu pasti kapan intrik manipulative tersebut
berlangsung dalam arena pemilihan ketua umum di internal HMI, namun yang
pasti cara cara seperti itu tidak ditemukan dan bukan warisan murni HMI sejak
awal berdirinya, bahkan seorang Lafran Pane, selaku inisiator pendiri organisasi ini
tidak sama sekali menunjukan gelagat gila jabatan, popularitas dan rakus terhadap
kemapanan finansial, bahkan jauh dari pada itu, beliau dikenal sebagai sosok yang
zuhud dan tawadhu. Dari spekulasi personal saya, praktik praktik manipulatif
tersebut bisa jadi diintrodusir dari tradisi birokratis pemerintahan yang kemudian
mengontaminasi internal organisasi, kemungkinan tersebut dapat saja terjadi lewat
interaksi dengan para birokrat atau pihak pihak dalam organisasi itu sendiri yang
juga terlibat dalam ranah birokrasi, hingga pada suati titik praktik sempalan tersbut
jadi rumus jitu untuk mencapai kewenangan dan sumber benefit segelintir faksi.
Opini ini semata mata bentuk ungkapan otokritik terhdap organisasi yang
kian lama mengalamai stagnasi dan dekadensi, karena metode terbaik untuk
evaluasi adalah kritik, untuk menilai sejauhmana kesesuaian berjalan di koridor
yang tepat. Saya secara pribadi membuka diri untuk masukan saran dan nasihat
mengenai adanya kekeliruan argumen yang tertera pada tulisan ini, maupun diskusi
terkait tulisan yang saya buat ini, demi proporsional data dan komprehensifitas
narasi di dalamnya.