You are on page 1of 8

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB V

PEMBAHASAN

A. Analisis Hasil Penelitian

Berdasarkan penelitian ini, kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) usia

dewasa lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki (53,5%), lebih tinggi 7%

dibandingkan perempuan (46,5%) (Tabel 4.1). Penelitian lain di negara-negara

Asia (India, Bangladesh, Singapura dan Malaysia) juga menunjukkan bahwa

jumlah kasus Dengue pada laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan

(Bhatia et al., 2013). Penelitian epidemiologi serologi infeksi Dengue di

Singapura menunjukkan hasil lain, yaitu tidak terdapat perbedaan insidensi

yang signifikan antara laki-laki dan perempuan (Yew et al., 2009). Aamir et

al. (2010) menyebutkan bahwa kejadian DBD yang lebih tinggi pada laki-laki

mungkin berkaitan dengan fakta bahwa laki-laki menghabiskan lebih banyak

waktu di luar rumah yang meningkatkan risiko terpapar infeksi Dengue

dibanding laki-laki.

Usia pasien DBD pada penelitian ini menunjukkan bahwa tersebar pada

usia 18-71 tahun. Jumlah pasien DBD tertinggi menurut usia terdapat pada

rentang usia 18-29 tahun (72% kasus) (Tabel 4.1). Rerata usia pasien DBD

pada penelitian ini yaitu 28 tahun. Penelitian kasus Dengue tahun 2011 di

Filipina juga menunjukkan bahwa insidensi DBD pada dewasa tertinggi pada

rentang usia 20 – 29 tahun (Capeding, 2011). Penyebab lebih tingginya kasus

DBD dewasa pada usia dewasa muda, yaitu 18-29 tahun, kemungkinan karena

commit to user

41
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
42

pada usia tersebut rata-rata memiliki mobilitas tinggi. Mobilitas manusia

secara empiris memiliki peranan dalam transmisi virus Dengue (Stoddard et

al., 2013). Mobilitas tinggi pada usia dewasa muda saat siang hari selama di

tempat kerja atau perjalanan mengakibatkan paparan yang lebih tinggi

terhadap nyamuk pembawa virus Dengue. Selain itu, program pengendalian

jentik nyamuk yang sedang digalakkan telah terbukti mengurangi jumlah

nyamuk di rumah, sehingga kemungkinan tertular infeksi Dengue di rumah

lebih kecil (Anker dan Arima, 2011). Kejadian DBD pada usia ≥ 60 tahun

dengan kejadian paling sedikit (2 kasus; 1,4%) mungkin terjadi karena

demografi penduduk Indonesia usia ≥ 60 tahun memang lebih sedikit

dibanding usia yang lebih muda (BPS, 2014).

Diagnosis DBD tertinggi pada penelitian ini yaitu DBD derajat II

sebanyak 62,7% kasus dan tidak ditemukan kasus DBD derajat IV (Tabel 4.2).

Penelitian lain mengenai DBD pada dewasa di RSUP Dr. Kariadi Semarang

tahun 2012 juga menunjukkan bahwa kejadian DBD derajat II tertinggi dan

tidak ditemukan DBD derajat IV (Valentino, 2012). Status gizi memengaruhi

derajat keparahan DBD. Malnutrisi berkaitan erat dengan terjadinya syok pada

DBD (DBD derajat 3 dan 4). Peningkatan usia berkorelasi negatif terhadap

kejadian syok pada DBD. Infeksi sekunder akan lebih parah manifestasi

klinisnya dibandingkan dengan infeksi primer. Faktor risiko lain kejadian

syok pada DBD: risiko meningkat pada pasien dengan jenis kelamin

perempuan, anak-anak, terdapat gangguan neurologis, nyeri abdomen,

perdarahan gastrointestinal, hemokonsentrasi, ascites, efusi pleura,

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
43

hipoalbuminemia, hepatomegaly, peningkatan ALT dan AST,

trombositopenia, gangguan koagulasi. Faktor virus juga memengaruhi derajat

DBD. Infeksi virus Dengue DEN-2 lebih berisiko mengalami syok

dibandingkan DEN-1, DEN-3, dan DEN-4 (Huy et al., 2013). Jenis serotipe

virus Dengue yang paling dominan menurut penelitian Mashoedi (2007) di

Semarang, Jawa Tengah adalah serotipe DEN-3, yang diikuti oleh serotipe

DEN-2, kemudian serotipe DEN-1 dan akhirnya sedikit sekali serotipe DEN-

4. Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD tahun 2004 di Jawa Tengah menunjukkan

bahwa distribusi serotipe DEN-3 tertinggi, yaitu 37%, serotipe DEN-4 ada

17% dan selebihnya serotipe DEN-2 dan DEN-1 (Mashoedi, 2007). Kejadian

DBD dengan syok yang sedikit ditemukan dalam penelitian ini mungkin

berkaitan dengan serotipe dominan di Wilayah Jawa Tengah berupa DEN-3,

sedangkan serotipe yang berkaitan erat dengan kejadian syok adalah DEN-2.

Jumlah trombosit pada pasien DBD berdasarkan penelitian ini berkisar

antara 13-145 ribu/ul, dengan rerata jumlah trombosit 69 ribu/ul ±32,991.

Seluruh pasien mengalami trombositopenia, yaitu jumlah trombosit di bawah

normal (normal jumlah trombosit = 150-450 ribu/ul). Jumlah trombosit 100

ribu/ul atau kurang merupakan salah satu hasil pemeriksaan laboratorium

untuk menegakkan diagnosis DBD. Namun demikian, beberapa kasus

mungkin memiliki jumlah trombosit lebih tinggi dari 100 ribu/ul.

Trombositopenia umumnya terdapat pada hari 3-8 sakit, yaitu sesaat sebelum

penurunan suhu tubuh atau pada onset syok (Suhendro et al., 2009 dan WHO,

2011). Penurunan jumlah trombosit secara signifikan biasanya terjadi saat

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
44

gejala-gejala DBD muncul. Virus Dengue mengakibatkan trombositopenia

melalui interaksi dengan megakariosit dan trombosit dalam sirkulasi. Dua

mekanisme yang mungkin berkaitan dengan trombositopenia pada DBD

adalah gangguan proses trombopoiesis dan destruksi trombosit di sirkulasi

(Hottz et al., 2011).

Rerata jumlah trombosit pasien DBD perempuan lebih rendah

dibandingkan dengan pasien DBD laki-laki pada penelitian ini (Tabel 4.5).

Hasil penelitian lain oleh Suliman et al. (2013) juga menunjukkan bahwa

jumlah trombosit pada pasien DBD laki-laki lebih tinggi dibanding

perempuan. Keparahan kasus DBD yang lebih tinggi pada perempuan, yang

disebabkan oleh respon imunitas yang lebih baik pada perempuan,

mengakibatkan sitokin yang terbentuk lebih banyak dan mengakibatkan

derajat trombositopenia lebih tinggi (Saha et al., 2014).

Berdasarkan usia, rerata jumlah trombosit pasien DBD pada penelitian ini

terlihat kecenderungan peningkatan mulai kelompok usia 30-39 sampai ≥ 60

tahun (tabel 4.6). Namun kecenderungan ini masih perlu dipertanyakan, karena

penelitian lain membuktikan bahwa tidak terdapat hubungan antara keparahan

trombositopenia dengan usia pada kasus Dengue (Khan et al., 2014). Perlu

dipertimbangkan hal lain, seperti jenis kelamin, status imunitas, serta hari

sakit terkait keparahan trombositopenia pada DBD.

Kadar hematokrit pasien DBD pada penelitian ini berkisar antara 33-54%,

dengan rerata 43% (Tabel 4.4). Jika dibandingkan dengan kadar hematokrit

normal yaitu 35-45% maka kadar hematokrit pasien DBD pada penelitian ini

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
45

adalah normal atau cenderung meningkat. Kadar hematokrit pada awal fase

demam biasanya normal, atau terjadi sedikit peningkatan akibat demam tinggi,

tidak mau makan atau muntah. Hematokrit dapat bervariasi tergantung fase

sakit yang dialami. Kebocoran plasma yang ditandai dengan peningkatan

hematokrit biasanya terjadi pada akhir fase demam dan berlajut sampai 24-48

jam setelah suhu tubuh sudah menurun. Peningkatan hematokrit ≥20% dari

hematokrit normal (hemokonsentrasi) digunakan sebagai penanda adanya

kebocoran plasma, umumnya dimulai pada hari ketiga demam (Suhendro et

al., 2009 dan WHO, 2011). Kadar hematokrit kurang dari normal mungkin

terjadi akibat pemberian terapi cairan serta kejadian perdarahan (Fujimoto dan

Koifman, 2014). Pengambilan variabel hematokrit yang hanya sekali saat

pemeriksaan laboratorium darah pertama pasien dirawat tanpa mengetahui

kadar hematokrit normal pasien mengakibatkan penentuan hemokonsentrasi

sulit dilakukan. Ministry of Health Malaysia dalam Management of Dengue

Infection in Adults (2010) menyatakan bahwa jika nilai normal kadar

hematokrit pasien tidak diketahui, maka kadar hematokrit > 40% pada wanita

dan >46% pada laki-laki dapat digunakan untuk mendeteksi kebocoran plasma

pada pasien DBD dewasa.

Penelitian ini menunjukkan bahwa rerata kadar trombosit laki-laki lebih

tinggi dibandingkan dengan perempuan (Tabel 4.5). Berdasarkan jenis

kelamin, penelitian ini menunjukkan bahwa kadar hematokrit pada laki-laki

lebih tinggi dibandingkan perempuan. Hal ini serupa dengan penelitian oleh

Pusparini (2004) dan Vaish (2012).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
46

Kadar hematokrit pasien DBD pada penelitian ini bervariasi berdasarkan

usia, namun masih dalam batas normal (Tabel 4.6). Kadar hematokrit lansia

≥ 65 tahun akan lebih rendah jika dibandingkan dengan kadar hematokrit pada

dewasa. Faktor lain yang memengaruhi kadar trombosit pada DBD antara lain

keparahan kebocoran plasma dan terjadinya perdarahan yang mengakibatkan

kadar hematokrit menurun (Estridge dan Reynoulds, 2013).

Berdasarkan tabel silang antara jumlah trombosit dengan kadar hematokrit

(tabel 4.7), kecenderungan kenaikan kadar trombosit seiring penurunan jumlah

trombosit tidak terlihat jelas. Namun demikian, hubungan jumlah trombosit

dan kadar hematokrit pada penelitian ini setelah diuji secara statistik

signifikan/bermakna, dengan arah korelasi berlawanan arah/negatif dan

kekuatan korelasi yang lemah (p = 0,008; r = -0,222). Penelitian lain terhadap

Pasien DBD Anak di RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado tahun 2012

mengenai hubungan jumlah trombosit dengan kadar hematokrit pasien DBD

menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (Hokum, 2013).

Penelitian Wills et al. (2009) mengenai DBD pada anak di Hospital for

Tropical Diseases of Ho Chi Minh City menunjukkan bahwa terdapat

hubungan yang kuat antara jumlah trombosit dengan keparahan kebocoran

plasma. Penelitian tersebut menyatakan bahwa terdapat kecenderungan

penurunan jumlah trombosit terhadap peningkatan derajat kebocoran plasma,

bahkan pada fase awal demam sebelum terjadi hemokonsentrasi. Penelitian

oleh Wills et al. (2009) ini menggunakan 4 kategori kebocoran plasma, 1)

10% atau kurang peningkatan hematokrit, 2) peningkatan hematokrit 10

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
47

sampai < 20%, 3) peningkatan hematokrit ≥ 20% tanpa gangguan

kardiovaskuler, 4) kejadian syok. Hasil berbeda antara penelitian ini dengan

penelitian yang dilakukan Wills et al. (2009) mungkin dikarenakan metode

pengambilan data sampel yang berbeda. Pengukuran variabel jumlah

trombosit dan kadar hematokrit pada penelitian ini diambil dari hasil

pemeriksaan laboratorium darah pertama saat pasien dirawat. Sedangkan

pengukuran variabel pada penelitian Wills et al. (2009) dilakukan beberapa

kali, yaitu saat awal sakit, fase kritis dan fase penyembuhan (saat pasien

masuk perawatan, dilanjutkan dengan minimal 3 hari berturut-turut

pemeriksaan hematokrit (termasuk minimal 2 hari saat sudah terjadi

penurunan suhu tubuh/fase kritis)). Kebocoran plasma yang salah satunya

ditandai dengan peningkatan kadar hematokrit terjadi karena peningkatan

permeabilitas vaskular. Telah terbukti bahwa trombosit yang teraktivasi oleh

virus Dengue mensintesis IL-1β, yang kemudian terakumulasi di dalam

trombosit dan mikropartikel-nya. Pengeluaran IL-1β pada trombosit ini diatur

oleh virus Dengue melalui aktivasi Nucleotide-binding domain Leucine rich

Repeat containing Protein (NLRP3)-inflammasome, yang kemudian dapat

mengakibatkan peningkatan permeabilitas endotel vaskular dan

hemokonsentrasi pada DBD (Hottz et al., 2013). Namun demikian, berbagai

sitokin lain yang terbentuk akibat infeksi Dengue juga memengaruhi

permeabilitas vaskular. Sitokin lain yang mungkin mengakibatkan kebocoran

plasma antara lain interferon , interleukin (IL)-2, dan Tumour Necrosis

Factor (TNF) α, IL-6, IL-8, IL-10, yang meningkat pada kasus DBD.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
48

Beberapa fragmen komplemen seperti C3a dan C5a diketahui menimbulkan

gangguan permeabilitas vaskular (Sellahewa, 2013).

B. Keterbatasan Penelitian

Jumlah sampel pada penelitian ini hanya sedikit, yaitu 142 pasien. Waktu

dan lokasi penelitian yang terbatas serta keterbatasan pengambilan dokumen

rekam medik mengakibatkan sampel dalam penelitian ini terbatas. Jumlah

sampel yang lebih besar diperlukan untuk melakukan generalisasi hasil

penelitian terhadap keseluruhan populasi. Selain itu, pengukuran variabel

penelitian ini hanya dilakukan pada saat pertama pasien dirawat, dimana

keparahan kasus saat masuk perawatan bervariasi. Mungkin perlu dilakukan

penelitian yang melakukan follow up keadaan pasien dari awal hingga akhir

perawatan.

commit to user

You might also like