You are on page 1of 20

Referat

STRUMA NODUSA NON TOKSIK

Oleh:

Oleh :
Melenia Rhoma Dona YS, S.Ked

NIM 71 2021 060

Pembimbing:
dr. Fahriza Utama, Sp. B., FINACS., FICS., MARS

DEPARTEMEN ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH PALEMBANG
TAHUN 2023
HALAMAN PENGESAHAN

REFERAT

Judul :
Struma Nodusa Non Toksik

Dipersiapkan dan disusun oleh


Melenia Rhoma Dona YS, S.Ked

NIM 71 2021 060

Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kegiatan
Kepaniteraan Klinik di Departemen Ilmu Bedah Rumah Sakit Muhammadiyah
Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang periode
8 Mei 2023 – 16 Juli 2023

Palembang, Mei 2023


Pembimbing

dr. Fahriza Utama , Sp. B

ii
KATA PENGANTAR DAN UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya, saya bisa menyelesaikan Referat yang berjudul “Struma
Nodusa Non Toksik”. Penulisan Referat ini dilakukan dalam rangka memenuhi
syarat dalammengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik di Departemen Ilmu Bedah
Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang pada Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan
dari berbagai pihak, dari masa kepaniteraan klinik sampai pada penyusunan referat
ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan Referat ini. Oleh karena itu, saya
mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. Fahriza Utama, Sp. B, selaku pembimbing yang telah menyediakan
waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan
Referat ini.
2. Orang tua dan keluarga saya yang telah memberikan bantuan dukungan
material dan moral.
3. Rekan sejawat serta semua pihak yang telah banyak membantu saya dalam
menyelesaikan Referat ini.
Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga Referat ini membawa
manfaat bagi pengembangan ilmu.

Palembang, Mei 2023

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL. .................................................................................. i


HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... ii
KATA PENGANTAR DAN UCAPAN TERIMA KASIH. .................... iii
DAFTAR ISI……………………………………………………………....iv

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang. ................................................................................ 1
1.2. Tujuan. ............................................................................................. 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Struma .............................................................................................. 3
2.1.1. Definisi .................................................................................. 3
2.1.2. Epidemiologi ......................................................................... 3
2.1.3. Klasifikasi. ............................................................................ 3
2.2. Struma Nodusa Non Toksik………………………………………..5
2.2.1. Anatomi Tiroid……………………………………………...5
2.2.2. Fisiologi Tiroid……………………………………………...6
2.2.3. Definisi……………………………………………………...6
2.2.4. Epidemiologi………………………………………………..7
2.2.5. Etiologi……………………………………………………...7
2.2.6. Faktor Risiko………………………………………………..7
2.2.7. Patofisiologi………………………………………………...8
2.2.8. Manifestasi Klinis…………………………………………..8
2.2.9. Diagnosis Banding………………………………………….9
2.2.10. Penegakkan Diagnosis. ......................................................... 11
2.2.11. Tatalaksana............................................................................ 13
2.2.12. Komplikasi. ........................................................................... 14
2.2.13. Prognosis……………………………………………………14

BAB III KESIMPULAN…………………………………………………..15

DAFTAR PUSTAKA. ................................................................................. 16


iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Struma atau goiter merupakan pembesaran dari kelenjar tiroid yang


dihasilkan dari hipertrofi dan kompensasi dan hiperplasia epitel folikuler
sekunder akibat penurunan hormon tiroid, yang dapat berbentuk difusa atau
nodusa.1 Menurut WHO, Indonesia merupakan Negara yang dikategorikan
endemis kejadian struma (goiter). Sekitar 5% sampai 6% terjadi pada usia
60 tahun. Struma lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan laki-
laki, yaitu 1,2 hingga 4,3 kali lebih sering terjadi pada perempuan. Struma
dibagi sesuai dengan perubahan aktivitas fungsional dari kelenjar tiroid,
yaitu struma toksik dan non toksik.2
Struma non-toksik paling sering diakibatkan kurangnya konsumsi
yodium. untuk jangka waktu lama (kronik). Biasanya struma non-toksik
menyerang individu yang bertempat tinggal pada daerah yang kondisi
tanah dan air kurang kandungan yodium seperti daerah pegunungan.
Penderita struma nodusa non toksik ini sebagian kecil mengeluh adanya
penekanan pada esofagus (disfagia) atau trakea (sesak nafas). Biasanya
tidak disertai nyeri kecuali bila menyebabkan terjadinya suara parau.
Kebanyakan penderita struma nodusa ini tidak mengalami keluhan karena
tidak ada hipertiroidism atau hipotiroidism. Pada pemeriksaan fisik
kelenjar tiroid dilakukan dengan palpasi. Pada pemeriksaan ini yang perlu
dinilai jumlah nodul, konsistensi, mobilitas, batasnya, apakah ada nyeri
tekan atau tidak dan bagaimana keadaan kelenjar getah bening
disekitarnya. Perhatikan juga keadaan kulit diatas nodul, adakah hiperemi,
gambaran seperti kulit jeruk atau ulserasi.3

1
1.2. Tujuan
Tujuan penulisan laporan kasus antara lain:
1. Memahami dan mampu mendiagnosis struma nodusa non toksik
secara tepat berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan fisik.
2. Meningkatkan kemampuan penulisan ilmiah di bidang kedokteran
khususnya di bagian ilmu bedah.
3. Memenuhi salah satu syarat ujian kepaniteraan Klinik Senior di
Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang Rumah Sakit Muhammadiyah
Palembang.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Struma
2.1.1. Definisi
Struma atau goiter merupakan pembesaran dari kelenjar tiroid yang
dihasilkan dari hipertrofi dan kompensasi dan hiperplasia epitel folikuler
sekunder akibat penurunan hormon tiroid, yang dapat berbentuk difusa atau
nodusa. Jika pembesaran kelenjar tiroid cukup membuat kelenjar tersebut
terlihat pada leher, tumor ini dinamakan goiter atau gondok. Biasanya yang
dianggap membesar apabila kelenjar tiroid lebih dari dua kali ukuran normal.
Penyebab paling sering dari defisiensi hormon tiroid ialah konsumsi yodium
yang tidak cukup. Struma dibagi sesuai dengan perubahan aktivitas
fungsional dari kelenjar tiroid, yaitu struma toksik dan non toksik.1

2.1.2. Epidemiologi

Menurut WHO, Indonesia merupakan Negara yang dikategorikan


endemis kejadian struma (goiter). Sekitar 5% sampai 6% terjadi pada usia 60
tahun. Struma lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki,
yaitu 1,2 hingga 4,3 kali lebih sering terjadi pada perempuan. Status sosial
ekonomi yang rendah merupakan faktor risiko penyakit struma. Ini mungkin
terkait dengan penurunan asupan yodium. Umumnya 95% kasus struma
bersifat jinak (benigna) dan sisanya 5 % kasus kemungkinan bersifat ganas
(maligna).2

2.1.3. Klasifikasi

Klasifikasi struma antara lain:4

1. Struma Nodusa Non Toksik

Struma nodusa non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid berbentuk


nodul yang tidak disertai oleh adanya gejala hipertiroidism. Penyebab
paling banyak pada struma ini adalah kekurangan yodium. Dapat juga
disebabkan oleh kelebihan yodium namun sangat jarang terjadi dan
3
umumnya telah ada penyakit tiroid autoimun sebelumnya. Manifestasi
klinis dari penderita struma nodusa non toksik ini sebagian kecil mengeluh
adanya penekanan pada esofagus (disfagia) atau trakea (sesak nafas).
Biasanya tidak disertai nyeri kecuali bila menyebabkan terjadinya suara
parau. Kebanyakan penderita struma nodusa ini tidak mengalami keluhan
karena tidak ada hipertiroidism atau hipotiroidism. Pada pemeriksaan fisik
kelenjar tiroid dilakukan dengan palpasi. Pada pemeriksaan ini yang perlu
dinilai jumlah nodul, konsistensi, mobilitas, batasnya, apakah ada nyeri
tekan atau tidak dan bagaimana keadaan kelenjar getah bening
disekitarnya. Perhatikan juga keadaan kulit diatas nodul, adakah hiperemi,
gambaran seperti kulit jeruk atau ulserasi.

2. Struma Difusa Non Toksik

Struma difussa non toksik adalah struma yang disebabkan oleh defisiensi
yodium, tiroiditis autoimun (hashimoto atau post partum), kelebihan
yodium, stimulator reseptor TSH, inborn error metabolism, terpapar
radiasi, penyakit deposisi, resistensi hormon tiroid, tiroiditis sub-akut (de
quarvain thyroidism dan agen-agen infeksi lain). Secara umum, struma ini
memberikan gambaran gejala klinis yang tidak jauh berbeda dengan
struma nodusa non toksik. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya
pembesaran kelenjar tiroid secara keseluruhan (diffuse) dengan batas yang
tidak jelas, konsistensi kenyal lebih mirip ke arah lembek.

3. Struma Nodosa Toksik

Pada struma toksik, ditemukan adanya gejala dan tanda hipertiroidism


diantaranya tekanan darah dan nadi meningkat, eksoptalmus, hipertoni
simpatis (kulit basah dan dingin disertai tremor halus) dan takikardi.
Struma ini dikenal sebagai Plummer‟s desease. Penyebab struma nodusa
toksik ini diantaranya adalah defisiensi yodium yang mengakibatkan
penurunan level T4, aktivasi reseptor TSH, mutasi somatik reseptor TSH
dan protein G serta adanya mediator-mediator pertumbuhan termasuk
endotelin-1 (ET-1), insulin growth factor-1, epidermal growth factor dan
fibroblast growth factor.

4. Struma Difusa Toksik


4
Penyebab yang paling umum dari struma difusa toksik yaitu grave‟s
disease. Penyakit grave terjadi karena antibodi reseptor TSH yang
merangsang aktivitas tiroid itu sendiri. Gejala yang timbul dari struma
diffusa toksik adalah gejala-gejala hipetiroidism. Perjalanan penyakitnya
tidak disadari oleh pasien meskipun telah diidap selama berbulan-bulan.
Antibodi yang berbentuk reseptor TSH beredar dalam sirkulasi darah,
mengaktifkan reseptor tersebut dan menyebabkan kelenjar tiroid
hiperaktif.

2.2. Struma Nodusa Non Toksik

2.2.1. Anatomi Tiroid

Kelenjar tiroid terdiri dari tiga lobus, yaitu lobus dextra, lobus sinistra dan
isthmus yang terletak dibagian tengah. Kadang-kadang bagian keempat yaitu
lobus piramidalis yang letaknya di atas isthmus agak ke kiri dan garis tengah.
Lobus ini merupakan sisa jaringan embrional tiroid yang masih tertinggal.
Kelenjar tiroid mempunyai berat sekitar 25-30 gram dan terletak antara
tiroidea dan cincin trakea keenam. Seluruh jaringan tiroid dibungkus oleh
suatu lapisan yang disebut true capsule.5

Gambar 2.1 Anatomi Kelenjar Tiroid5

Vaskularisasi kelenjar tiroid berasal dari:


1. A. tiroidea superior yang merupakan cabang dari A.carotis externa
2. A. tiroidea inferior yang merupakan cabang dari A.subclavia
5
3. A. tiroidea ima yang merupakan cabang dari arcus aorta

Gambar 2.2 Anatomi Kelenjar Tiroid5

2.2.2. Fisiologi Kelenjar Tiroid


Kelenjar tiroid merupakan suatu kelenjar endokrin yang
mensekresikan hormon tiroksin atay T4. Triidotironin atau T3 dan kalsitonin.
Dalam darah sebagian besar T3 dan T4 terikat oleh protein plasma yaitu
albumin, thyroxin binding pre albumin (TBPA) dan thyroxin binding globulin
(TGB). Sebagian kecil T3 dan T4 bebas beredar dalam darah dan berperan
dalam mengatur sekresi TSH. Hormon tiroid dikendalikan oleh TSH yang
dihasilkan lobus anterior glandula hipofisis dan pelepasannya dipengaruhi
oleh TRH (thyrotropine releasing hormone). Kelenjar tiroid juga
mengeluarkan kalsitonin dari parafolucular sel yang dapat menurunkan
kalsium serum berpengaruh pada tulang. Fungsi hormon tiroid antara lain:
meningkatkan kecepatan metabolisme, efek kardiogenik, simpatogenik dan
pertumbuhan serta sistem saraf.6

2.2.3. Definisi

Struma nodusa non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid yang


secara klinik teraba nodul berjumlah satu atau lebih tanpa disertai tanda-
tanda hipertioidisme. Istilah stuma nodusa menunjukkan adanya suatu
proses baik fisiologis maupun patologis yang menyebabkan pembesaran
asimetris dari kelenjar tiroid, karena tidak disertai tanda toksisitas pada
tubuh.3
6
2.2.4. Epidemiologi

Struma nodusa non toksis diperkirakan terdapat kurang lebih 5% pada


populasi anak sekolah dasar (6-12 tahun), seperti terbukti dari beberapa
penelitian. Goiter endemik terjadi karena defisiensi yodium dalam diet.
Kejadian goiter endemik sering terjadi di derah pegunungan, seperti di
himalaya, alpens, daerah dengan ketersediaan yodium alam dan cakupan
pemberian yodium tambahan belum terlaksana dengan baik.2

2.2.5. Etiologi

Struma nondusa non toksik adalah pembesaran dari kelenjar tiroid


yang berbatas jelas tanpa gejala-gejala hipertiroid. Penyebab paling banyak
dari struma nodusa non toksik adalah kekurangan yodium. Akan tetapi pasien
dengan pembentukan struma yang sporadis, penyebabnya belum diketahui.
Struma nodusa non toksik disebabkan oleh beberapa hal yaitu:7

1. Defisiensi yodium: pembentukan struma terjadi pada difesiensi sedang


yodium kurang dari 50 mcg/d. Sedangkan difisiensi berat yodium adalah
kurang dari 25 mcg/d dihubungkan dengan hypothyroidism dan cretinism.

2. Kelebihan yodium: jarang dan pada umunya terjadi pada penyakit tiroid
autoimun.

3. Goiterogen: Obat (TU, Lithium, phenylbutazone, aminoglutethimide,


ekspektoran yang mengandung yodium), Agen lingkungan (phenolic dan
phthalate ester derivative dan resorcinol berasal dari tambang batu dan
batubara), Makanan (sayur-mayur yaitu kubis, lobak cina dan singkong),
Riwayat radiasi kepala dan leher (riwayat radiasi selama masa kanak-
kanak mengakibatkan nodul benigna dan maligna).

2.2.6. Faktor Risiko

Faktor risiko yang dapat mempengaruhi terjadinya struma nodusa non toksik
antara lain:7
1. Genetik.
2. Karsinogen, berupa hormonal dan radiasi.
3. Lingkungngan, seperti tempat tinggal di daerah endemis.
7
4. Penyakit komorbid

2.2.7. Patofisiologi

Bahan dasar pembentukan hormon tiroid adalah iodium yang


diperoleh dari makanan dan minuman. Ion iodium (iodida) darah masuk ke
dalam kelenjar tiroid secara transport aktif dengan bantuan ATP sebagai
sumber energi. Selanjutnya sel-sel folikel kelenjar tiroid akan mensintesis
tiroglobulin (sejenis glikoprotein) dan selanjutnya mengalami iodinisasi
sehingga akan terbentuk diiodotironin (DIT) dan monoiodotironin (MIT).
Proses ini memerlukan enzim peroksida sebagai katalisator. Proses akhir
adalah berupa reaksi penggabungan dua molekul DIT akan membentuk
tetraiodotironin atau tiroksin (T4) dan molekul DIT bergabung dengan MIT
menjadi triiodotironin (T3) untuk selanjutnya masuk ke dalam plasma dan
berikatan dengan protein binding iodine. Reaksi penggabungan ini
dirangsang oleh TSH. Defisiensi iodium dapat menyebabkan sekresi hormon
tiroid yang tidak adekuat, akan tetapi proses sintesis tiroglobulin oleh sel-sel
folikel kelenjar tiroid tetap berlangsung, akibatnya terjadi 18 akumulasi dari
tiroglobulin yang dapat menyebabkan pembesaran pada kelenjar tiroid
(struma non-toksik).3

2.2.8. Manifestasi Klinis

Pada umumnya struma nodusa non toksik tidak mengalami


keluhan karena tidak ada hipo atau hipertioidisme, yang penting pada
diagnosis tidak ada gejala toksik yang disebabkan oleh perubahan kadar
hormon tiroid dan pada palpasi dirasakan adanya kelenjar tiroid pada salah
satu lobus. Biasanya tiroid mulai membesar pada usia muda dan berkembang
menjadi multinodular saat dewasa, karena pertumbuhannya berangsung-
angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala, kecuali benjolan dileher.
Sebagian besar penderita tidak mengganggu pernafasan karena menonjol
kedepan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan bila pembesaran
bilateral. Struma nodusa unilateral dapat menyebabkan pendorongan sampai
jauh ke arah kontralateral. Pendorongan mengakibatkan gangguan pernafasan
hingga terjadi dipsnea dan stridor. Keluhan lain yaitu rasa berat dileher karena
8
saat menelan trakea naik dan menutup laring dan epiglotis sehingga terasa
berat karena terfiksasi trakea.3

2.2.9. Diagnosis Banding7


1. Tiroiditis hashimoto
2. Limpoma tiroid
3. Nodul tiroid
4. Tiroiditis subakut

2.2.10. Penegakkan Diagnosis3

1. Anamnesis

Pada anamnesis, keluhan utama yang diutarakan oleh pasien bisa berupa
benjolan di leher yang sudah berlangsung lama, maupun gejala-gejala
hipertiroid atau hipotiroidnya. Jika pasien mengeluhkan adanya benjolan
di leher, maka harus digali lebih jauh apakah pembesaran terjadi sangat
progresif atau lamban, disertai dengan gangguan menelan, gangguan
bernafas dan perubahan suara. Setelah itu baru ditanyakan ada tidaknya
gejala-gejala hiper dan hipofungsi dari kelenjer tiroid. Perlu juga
ditanyakan tempat tinggal pasien dan asupan garamnya untuk
mengetahui apakah ada kecendrungan ke arah struma endemik.
Sebaliknya jika pasien datang dengan keluhan ke arah gejala-gejala hiper
maupun hipofungsi dari tiroid, harus digali lebih jauh ke arah hiper atau
hipo dan ada tidaknya benjolan di leher.

2. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik status lokalis pada regio coli anterior, yang paling
pertama dilakukan adalah inspeksi, dilihat apakah pembesaran simetris
atau tidak, timbul tanda-tanda gangguan pernapasan atau tidak, ikut
bergerak saat menelan atau tidak. Pada palpasi sangat penting untuk
menentukan apakah bejolan tersebut benar adalah kelenjar tiroid atau
kelenjar getah bening. Perbedaannya terasa pada saat pasien diminta
untuk menelan. Jika benar pembesaran tiroid maka benjolan akan ikut
bergerak saat menelan, sementara jika tidak ikut bergerak maka harus

9
dipikirkan kemungkinan pembesaran kelenjar getah bening leher.
Pembesaran yang teraba harus dideskripsikan:

a) Lokasi: lobus kanan, lobos kiri, ismus

b) Ukuran: dalam sentimeter, diameter panjang

c) Jumlah nodul: satu (uninodosa) atau lebih dari satu (multinodosa)

d) Konsistensinya: kistik, lunak, kenyal, keras

e) Nyeri: ada nyeri atau tidak pada saat dilakukan palpasi

f) Mobilitas: ada atau tidak perlekatan terhadap trakea, muskulus


sternokleidomastoidea

g) Kelenjar getah bening di sekitar tiroid : ada pembesaran atau tidak

3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium yang digunakan dalam mendiagnosis penyakit


tiroid terbagi atas:

a) Pemeriksaan untuk mengukur fungsi tiroid. Pemeriksaan untuk


mengetahui kadar T3 dan T4 serta TSH paling sering menggunakan
teknik radioimmunoassay (RIA) dan ELISA dalam serum atau plasma
darah. Kadar normal T4 total pada orang dewasa adalah 50-120 ng/dl.
Kadar normal untuk T3 pada orang dewasa adalah 0,65-1,7 ng/dl.

b) Pemeriksaan untuk menunjukkan penyebab gangguan tiroid. Antibodi


terhadap macam-macam antigen tiroid yang ditemukan pada serum
penderita dengan penyakit tiroid autoimun. Seperti antibodi
tiroglobulin dan thyroid stimulating hormone antibody

Pemeriksaan radiologis

a) Foto rontgen dapat memperjelas adanya deviasi trakea atau


pembesaran struma retrosternal yang pada umumnya secara klinis pun
sudah bisa diduga. Foto rontgen leher posisi AP dan lateral biasanya
menjadi pilihan.

b) USG tiroid yang bermanfaat untuk menentukan jumlah nodul,


membedakan antara lesi kistik maupun padat, mendeteksi adanya
10
jaringan kanker yang tidak menangkap iodium dan bisa dilihat dengan
scanning tiroid.

c) Scanning tiroid dasarnya adalah presentasi uptake yang dapat


ditentukan dengan ukuran, bentuk lokasi dan yang utama ialah fungsi
bagian-bagian tiroid (distribusi dalam kelenjar). Uptake normal 15-
40% dalam 24 jam. Dari hasil scanning tiroid dapat dibedakan 3
bentuk, yaitu cold nodule bila uptake nihil atau kurang dari normal
dibandingkan dengan daerah disekitarnya, ini menunjukkan fungsi
yang rendah dan sering terjadi pada neoplasma. Bentuk yang kedua
adalah warm nodule bila uptakenya sama dengan sekitarnya,
menunjukkan fungsi yang nodul sama dengan bagian tiroid lain.
Terakhir adalah hot nodule bila uptake lebih dari normal, berarti
aktifitasnya berlebih dan jarang pada neoplasma.

d) FNAB. Pemeriksaan histopatologis akurasinya 80%. Hal ini perlu


diingat agar jangan sampai menentukan terapi definitif hanya
berdasarkan hasil FNAB saja.

2.2.11. Tatalaksana

Penatalaksanaan penyakit struma dilakukan berdasarkan ukuran


struma, semakin besar ukuran struma maka akan menimbulkan banyak
keluhan, terdapat beberapa penatalaksanaan meliputi:

1. Pengobatan

Pasien dengan satu atau lebih nodul tiroid yang mengalami hipertiroid
diberikan obat anti tiroid.7

2. Terapi radioiodine merupakan terapi alternatif untuk single toxic adenoma


atau toxic multinodular goiter. Tujuan dari terapi ini adalah untuk
mempertahankan fungsi dari jaringan tiroid normal. Radioiodine juga
digunakan untuk mengurangi volume nodul pada nontoksik multinodular
goiter.7

3. Pembedahan3

Tindakan operatif masih merupakan pilihan utama pada struma nodusa


11
non toksik. Macam-macam teknik operasinya antara lain:

a) Lobektomi, yaitu mengangkat satu lobus, bila subtotal maka kelenjar


disisakan seberat 3 gram

b) Isthmolobektomi, yaitu pengangkatan salah satu lobus diikuti oleh


isthmus

c) Tiroidektomi total, yaitu pengangkatan seluruh kelenjar tiroid

d) Tiroidektomi subtotal bilateral, yaitu pengangkatan sebagian lobus


kanan dan sebagian kiri, sisa jaringan 2-4 gram di bagian posterior
dilakukan untuk mencegah kerusakan pada kelenjar paratiroid atau N.
Rekurens LaryngeusTujuan pembedahan adalah untuk mengurangi
massa fungsional pada hipertiroid, mengurangi penekanan pada
esophagus dan trakhea, mengurangi ekspansi pada tumor atau
keganasan.

Indikasi operasi pada struma adalah:

a) Struma difus toksik yang gagal dengan terapi medikamentosa

b) Struma uni atau multinodosa dengan kemungkinan keganasan

c) Struma dengan gangguan kompresi

d) Kosmetik

Kontraindikasi pada operasi struma:

a) Struma toksika yang belum dipersiapkan sebelumnya

b) Struma dengan dekompensasi kordis dan penyakit sistemik lain yang


belum terkontrol

c) Struma besar yang melekat erat ke jaringan leher sehingga sulit


digerakkan yang biasanya karena karsinoma. Karsinoma yang demikian
biasanya sering dari tipe anaplastik yang jelek prognosisnya. Perlekatan
pada trakea ataupun laring dapat sekaligus dilakukanreseksi trakea atau
laringektomi, tetapi perlekatan dengan jaringan lunak leher yang luas
12
sulit dilakukan eksisi yang baik. Pertama-tama dilakukan pemeriksaan
klinis untuk menentukan apakah nodul tiroid tersebut suspek maligna
atau suspek benigna. Bila nodul tersebut suspek maligna, maka
dibedakan apakah kasus tersebut operable atau inoperable. Bila kasus
yang dihadapi adalah inoperable maka dilakukan tidakan biopsi insisi
untuk keperluan pemeriksaan histopatologis. Dilanjutkan dengan
tindakan debulking dan radiasi eksterna atau kemoradioterapi. Bila
nodul tiroid suspek maligna yang operable atau suspek benigna dapat
dilakukan tindakan isthmolobektomi atau lobektomi. Jika setelah hasil
PA membuktikan bahwa lesi tersebut jinak maka operasi selesai, tetapi
jika ganas maka harus ditentukan terlebih dahulu jenis karsinoma yang
terjadi.

Komplikasi pembedahan tiroid:

a) Perdarahan dari A. tiroidea superior

b) Dispneu

c) Paralisis N. rekurens laryngeus, akibatnya otot-otot laring terjadi


kelemahan

d) Paralisis N. laryngeus superior. Akibatnya suara penderita menjadi


lebih lemah dan sukar mengontrol suara nada tinggi, karena terjadi
pemendekan pita suara oleh karena relaksasi M. krikotiroid.
Kemungkinan nervus terligasi saat operasi.

2.2.12. Komplikasi

Komplikasi struma terhadap tubuh terletak pada pembesaran kelenjar


tiroid yang dapat mempengaruhi kedudukan organ-organ di sekitarnya. Pada
bagian posterior medial kelenjar tiroid terdapat trakea dan esophagus. Struma
dapat mengarah ke dalam sehingga mendorong trakea, esophagus dan juga
pita suara sehingga terjadi kesulitan bernapas dan disfagia yang akan
berdampak terhadap gangguan pemenuhan oksigen, nutrisi serta cairan dan
elektrolit. Penekanan pada pita suara akan menyebabkan suara menjadi serak
13
atau parau. Bila pembesaran ke arah luar, maka akan memberi bentuk leher
yang besar dapat semetris atau tidak, jarang disertai kesulitan bernapas dan
disfagia. Hal ini lebih berdampak pada estetika atau kecantikan. Perubahan
bentuk leher dapat mempengaruhi rasa aman dan konsep diri pasien.4

2.2.13. Prognosis

Umumnya baik, karena pertumbuhannya lambat, namun perlu


pemantauan bila ada perdarahan atau menyebabkan obstruksi. Kebanyakan
pasien yang diobati memiliki prognosis yang baik. Prognosis yang jelek
berhubungan dengan hipertiroidism yang tidak terobati. Pasien harusnya
mengetahui jika hipertiroid tidak diobati maka akan menimbulkan
osteoporosis, arrhythmia, gagal jantung, koma, dan kematian.

14
BAB IV
KESIMPULAN

1. Berdasarkan pembahasan dapat ditarik kesimpulan struma nodusa non


toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid yang secara klinik teraba nodul
berjumlah satu atau lebih tanpa disertai tanda-tanda hipertioidisme.
2. Penyebab dari struma nodusa non toksik adalah defisiensi yodium,
kelebihan yodium dan goiterogen.
3. Penegakkan diagnosis dari struma nodusa non toksik yaitu keluhan utama
berupa benjolan di leher yang sudah berlangsung lama, pada pemeriksaan
fisik benjolan akan ikut bergerak saat menelan dan emeriksaan penunjang
berupa pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologis.
4. Tindakan operatif yang dapat dilakukan pada kasus struma nodusa non
toksik adalah lobektomi, isthmolobektomi dan tiroidektomi.
5. Komplikasi struma nodusa non toksik yaitu kesulitan bernapas, disfagia,
suara menjadi serak dan estetika atau kecantikan.
6. Prognosis pada struma nodusa non toksik umumnya baik pada pasien yang
diobati.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Sherwood L. 2016. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Ed 8. Jakarta: EGC


2. Zheng R, dkk. 2020. Sebuah analisis kontemporer gondok menjalani operasi
di Amerika Serikat. Am J Surg. 220 (2):341-348.
3. Kariadi KS, dkk. 2014. Struma Nodosa Non Toksik & Hipertiroidisme. Buku
ajar ilmu penyakit dalam, Edisi ke-6. Jakarta: Interna Publishing.
4. K. Rajgopal Shenoy. 2014. Buku Ajar Ilmu Bedah Jilid 1. Tangerang: Karisma
Publishing.
5. Schteingert DE. 2015. Penyakit Kelenjar Tiroid. Jakarta: EGC
6. Widjosono, Garitno. 2017. Sistem Endokrin dalam Sjamsuhidajat, De Jong.
Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
7. Hegedus L, et al. 2013. Management of Simple Nodular Goiter: Current
Status and Future Perspectives. Endocrine Reviews.

16

You might also like