You are on page 1of 29

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN PRE OPERASI

CORONARY ARTERY BYPASS GRAFT (CABG)

Ns. I Nyoman Adi Permana, S. Kep

Ns. I Wayan Wiriawan, S. Kep

Asal Institusi : Bali International Hospital

IKATAN NERS KARDIOVASKULER INDONESIA (INKAVIN)

JAKARTA

2023

1
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit kardiovaskuler khususnya penyakit jantung koroner (Coronary


artery disease) adalah penyebab utama kematian pada orang dewasa baik di
negara maju maupun berkembang. Data menunjukkan pada tahun 2012 terdapat
17,5 juta orang di dunia meninggal akibat penyakit kardiovaskuler atau 31% dari
56,5 juta kematian di seluruh dunia. Lebih dari 3/4 kematian akibat penyakit
kardiovaskuler terjadi di negara berkembang yang berpenghasilan rendah sampai
sedang. Data seluruh kematian yang diakibatkan penyakit kardiovaskuler
sebanyak 7,4 juta (42,3%) dan 6,7 juta (38,3%) disebabkan oleh stroke (WHO,
2012).
CAD dapat menimbulkan mortalitas dan morbiditas apabila tidak segera
mendapatkan penanganan dan atau mendapat penanganan tetapi tidak efektif.
Sehingga perlu dilakukan upaya pembedahan yaitu salah satunya dengan CABG
(Coronary Artery Bypass Grafting).
Di Amerika Serikat sekitar 600.000 orang meninggal karena penyakit
jantung di setiap tahun dan penyakit jantung koroner menewaskan lebih dari
385.000 orang per tahun. CABG adalah pilihan yang baik untuk masalah ini
karena mengembalikan aliran darah normal kembali ke otot jantung, mengurangi
gejala (biasanya angina) dan juga dapat meningkatkan harapan hidup pasien
(NICOR, 2011).
Berdasarkan data Riskesdas tahun 2013, prevalensi penyakit jantung
koroner (PJK) berdasarkan diagnosis dokter di Indonesia tahun 2013 sebesar 0,5%
atau diperkirakan sekitar 883.447 orang, sedangkan berdasarkan diagnosis
dokter/gejala sebesar 1,5% atau diperkirakan sekitar 2.650.340 orang.
Berdasarkan diagnosis dokter, estimasi jumlah penderita penyakit jantung koroner
(PJK) terbanyak terdapat di Provinsi Jawa Barat sebanyak 160.812 orang (0,5%),
sedangkan Provinsi Maluku Utara memiliki jumlah penderita paling sedikit, yaitu

2
sebanyak 1.436 orang (0,2%). Berdasarkan diagnosis/gejala, estimasi jumlah
penderita penyakit jantung koroner terbanyak terdapat di Provinsi Jawa Timur
sebanyak 375.127 orang (1,3%), sedangkan jumlah penderita paling sedikit
ditemukan di Provinsi Papua Barat, yaitu sebanyak 6.690 orang (1,2%) (Badan
Litbangkes Kementerian Kesehatan RI, 2013).
Masih tingginya tingkat kematian akibat penyakit jantung koroner ini
menyebabkan tingginya tingkat pembedahan dengan Coronary Artery Bypass
Graft (CABG). Bedah CABG melibatkan pintas dari sumbatan pada satu atau
lebih arteri koroner dengan menggunakan vena safena, arteri mamaria atau arteri
radialis sebagai pengganti atau saluran pembuluh darah (Black & Hawks, 2014).
Laporan hasil ragister di ruang IWB Rumah Sakit jantung Dan
Pembuluh Darah Harapan Kita tahun 2016, menunjukkan jumlah pre operasi
CABG periode Januari sampai dengan Desember 2015 adalah 658 kasus. Data
dibuku register ruang IWB Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan
Kita mulai Januari sampai dengan Agsutus tahun 2016 terdapat 446 jumlah pasien
pre operasi CABG. ( Register IWB, 2016).
Kemajuan dalam diagnostik, penatalaksanaan medis, tehnik anestesi dan
bedah, pintasan jantung paru, perawatan yang diberikan di unit perawatan kritis
serta program rehabilitasi telah banyak membantu pembedahan menjadi pilihan
penanganan yang aman untuk klien dengan penyakit arteri koroner atau Coronary
Artery Disease (CAD).
Terdapat kriteria-kriteria untuk dilakukan CABG. CABG merupakan
operasi yang besar sehingga membutuhkan persiapan-persiapan terutama
persiapan dari pasien agar mendapatkan hasil yang maksimal. Persiapan itu dapat
dilakukan dengan perawatan pra operatif. Perawatan pra operatif agar pasien
kooperatif sebelum dan sesudah pembedahan, persiapan mental dan fisik yang
optimal, tidak ada penyulit atau komplikasi, dan bahan pertimbangan pra dan
pasca pembedahan. Jika perawatan pra operatif tidak dilakukan dengan benar
maka dapat menjadi hambatan selama dan sesudah pembedahan.

3
1.2. Rumusan Masalah

Ditinjau dari latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka


rumusan masalah dalam makalah ini adalah “Bagaimanakah asuhan
keperawatan pada pasien pre operatif Coronary Arteri Bypass Graft (CABG)
di Rumah Sakit Jantung Jakarta”.

1.3. Tujuan Penulisan

1.3.1 Mampu melakukan persiapan pasien pre operatif coronary arteri


bypass graf.
1.3.2 Mampu melakukan pengkajian asuhan keperawatan pada pasien pre
operatif coronary arteri bypass graf.
1.3.3 Mampu menegakkan diagnosa keperawatan pada pasien pre operatif
coronary arteri bypass graf.
1.3.4 Mampu menyusun perencanaan keperawatan pada pasien pre
operatif coronary arteri bypass graf
1.3.5 Mampu melaksanakan tindakan keperawatan pada pasien pre
operatif coronary arteri bypass graf.
1.3.6 Mampu mengevaluasi tindakan keperawatan pada pasien pre operatif
coronary arteri bypass graf.

1.4 Manfaat Penulisan

1.4.1. Bagi penulis


Manfaat bagi penulis adalah dapat lebih memahami tentang
konsep dan praktik asuhan keperawatan pada pasien dengan pre operatif
coronary arteri bypass graf.
1.4.2. Bagi Perkembangan Ilmu Keperawatan
Menambah ilmu pengetahuan dan teknologi terapan bidang
keperawatan dalam asuhan keperawatan pada pasien pre operatif
coronary arteri bypass graf.

4
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1. KONSEP PRA BEDAH CABG


2.1.1. Pengertian
Merupakan masa sebelum dilakukannya tindakan pembedahan dimulai
sejak ditentukannya persiapan pembedahan dan berakhir sampai pasien
di meja bedah (Medica Hospitalia, 2013).
Kemampuan perawat dalam menciptakan dan mempertahankan
hubungan profesional merupakan hal yang sangat penting pada fase
prabedah (Potter & Perry, 2005).

2.1.2. Persiapan pra bedah


Persiapan sebelum tindakan bedah perlu melibatkan berbagai pihak
diantaranya klien itu sendiri, keluarga klien dan anggota tim kesehatan
yang terkait. Rencana keperawatan pra bedah dibuat berdasarkan
diagnosa keperawatan individu, namun setiap klien harus menjalani
persiapan dasar. Hal ini harus dicapai untuk memastikan pemulihan atau
mempertahankan status pra bedah klien (Potter & Perry, 2005).
Pada umumnya persiapan pra bedah dapat dikategorikan menjadi dua,
yaitu:
1. Persiapan jangka panjang
Persiapan yang sebaiknya dilakukan lebih dari sehari sebelumnya.
Persiapan yang lebih efektif dan efesien jika dilakukan pada jauh
hari sebelum tindakan pembedahan. Persiapan ini meliputi persiapan
administrasi, pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan penunjang,
pemeriksaan status anestesi, persiapan mental dan persiapan obat-
obatan.

5
a. Persiapan Administrasi
1) Inform Consent (Surat ijin Tindakan/SIT)
Selain dilakukannya berbagai macam pemeriksaan
penunjang terhadap pasien, hal lain yang sangat penting
terkait dengan aspek hukum dan tanggung jawab dan
tanggung gugat, yaitu Inform Consent. Baik pasien maupun
keluarganya harus menyadari bahwa tindakan medis,
operasi sekecil apapun mempunyai resiko. Oleh karena itu
setiap pasien yang akan menjalani tindakan medis, wajib
menuliskan surat pernyataan persetujuan dilakukan
tindakan medis (pembedahan dan anastesi serta produk
darah yang akan digunakan).
2) SLIP (Formulir Rencana Tindakan)
Formulir ini merupakan salah satu persyaratan kelengkapan
administrasiyang harus diurus oleh pasien atau keluarganya
untuk memverifikasimengenai tindakan yang akan
dilakukan dengan pihak yang akanmenjamin tindakan
tersebut disetujui untuk dilaksanakan.

b. Persiapan Fisik
1) Status kesehatan fisik secara umum
Sebelum dilakukan pembedahan, penting dilakukan
pemeriksaan statuskesehatan secara umum, meliputi
identitas klien, riwayat penyakit seperti kesehatan masa
lalu, riwayat kesehatan keluarga, pemeriksaan fisik
lengkap,antara lain status hemodinamika, status
kardiovaskuler, status pernafasan, fungsiginjal dan hepatik,
fungsi endokrin, fungsi imunologi, dan lain-lain. Selain
itupasien harus istirahat yang cukup, karena dengan istirahat
dan tidur yang cukuppasien tidak akan mengalami stres
fisik, tubuh lebih rileks sehingga bagi pasienyang memiliki

6
riwayat hipertensi, tekanan darahnya dapat stabil dan bagi
pasienwanita tidak akan memicu terjadinya haid lebih awal.
2) Status Nutrisi
Kebutuhan nutrisi ditentukan dengan mengukur tinggi
badan dan berat badan, lipat kulit trisep, lingkar lengan atas,
kadar protein darah (albumin dan globulin) dan
keseimbangan nitrogen. Segala bentuk defisiensi nutrisi
harus di koreksi sebelum pembedahan untuk memberikan
protein yang cukup untuk perbaikan jaringan. Kondisi gizi
buruk dapat mengakibatkan pasien mengalami berbagai
komplikasi pasca operasi dan mengakibatkan pasien
menjadi lebih lama dirawat di rumah sakit. Komplikasi
yang paling sering terjadi adalah infeksi pasca operasi,
dehisiensi (terlepasnya jahitan sehingga luka tidak bisa
menyatu), demam danpenyembuhan luka yang lama. Pada
kondisi yang serius pasien dapat mengalami sepsis yang
bisa mengakibatkan kematian.
3) Keseimbangan cairan dan elektrolit
Balance cairan perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan
input dan outputcairan. Demikian juga kadar elektrolit
serum harus berada dalam rentang normal. Kadar elektrolit
yang biasanya dilakuakan pemeriksaan diantaranya dalah
kadar natrium serum (normal: 135 – 145 mmol/l), kadar
kalium serum (normal : 3,5-5mmol/l) dan kadar kreatinin
serum (0,70 – 1,50 mg/dl). Keseimbangan cairan dan
elektrolit terkait erat dengan fungsi ginjal. Dimana ginjal
berfungsi mengatur mekanisme asam basa dan ekskresi
metabolik obat-obatan anastesi. Jika fungsi ginjal baik maka
operasi dapat dilakukan dengan baik. Namun jika ginjal
mengalami gangguan seperti oliguri/anuria, insufisiensi
renal akut, nefritis akutmaka operasi harus ditunda

7
menunggu perbaikan fungsi ginjal. Kecuali pada kasus-
kasus yang mengancam jiwa.
4) Latihan Pra Operasi
Berbagai latihan sangat diperlukan pada pasien sebelum
operasi, hal ini sangat penting sebagai persiapan pasien
dalam menghadapi kondisi pasca operasi, seperti: nyeri
daerah operasi, batuk dan banyak lender pada tenggorokan.

c. Persiapan Mental
Persiapan mental merupakan hal yang tidak kalah
pentingnya dalam proses persiapan operasi karena mental pasien
yang tidak siap atau labil dapat berpengaruh terhadap kondisi
fisiknya. Kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan
menyebar, yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak
berdaya. Keadaan emosi ini tidak memiliki objek yang spesifik.
Kecemasan dialami secara subjektif dan dikomunikasikan secara
interpersonal. Cemas disebabkan oleh hal-hal yang tidak jelas,
termasuk di dalamnya pasien yang akan menjalani operasi
karena tidak tahu konsekuensi operasi dan takut terhadap
prosedur operasi itusendiri.
Ketakutan dan kecemasan yang mungkin dialami pasien
dapat dideteksi dengan adanya perubahan-perubahan fisik
seperti: meningkatnya frekuensi nadi dan pernafasan, gerakan-
gerakan tangan yang tidak terkontrol, telapak tangan yang
lembab, gelisah, menayakan pertanyaan yang sama berulang
kali, sulit tidur, dan sering berkemih.
Perawat perlu mengkaji mekanisme koping yang biasa
digunakan oleh pasien dalam menghadapi stres. Disamping itu
perawat perlu mengkaji hal-hal yang bisa digunakan untuk
membantu pasien dalam menghadapi masalah ketakutan dan
kecemasan ini, seperti adanya orang terdekat, tingkat
perkembangan pasien, faktor pendukung/support sistem.

8
d. Persiapan Penunjang
Persiapan penunjang merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari tindakan pembedahan. Tanpa adanya hasil
pemeriksaan penunjang, maka dokter bedah tidak meungkin bisa
menentukan tindakan operasi yang harus dilakukan pada pasien.
Pemeriksaan penunjang yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1) Pemeriksaan Radiologi dan diagnostik, seperti: Foto
thoraks, CT scan (computerized Tomography Scan), MRI
(Magnrtic Resonance Imagine), EKG/ECG (Electro Cardio
Grafi), ECHO, dan lain-lain.
2) Pemeriksaan Laboratorium, berupa pemeriksan darah:
hemoglobin, angka leukosit, limfosit, LED (laju enap
darah), jumlah trombosit, protein total (albumin dan
globulin), elektrolit (kalium, natrium, dan chlorida), CT BT,
ureum kretinin, BUN, masa perdarahan (bleeding time),
masa pembekuan (clothing time) dan lain-lain.
3) Pemeriksaan Kadar Gula Darah (KGD)
Pemeriksaan KGD dilakukan untuk mengetahui apakah
kadar gula darah pasien dalan rentang normal atau tidak. Uji
KGD biasanya dilakukan dengan puasa 10 jam (puasa jam
10 malam dan diambil darahnya jam 8 pagi) dan juga
dilakukan pemeriksaan KGD 2 jam PP (post prandial).
4) Pemeriksaan Status Anestesi
Pemeriksaan status fisik untuk dilakukan pembiusan
dilakukan untuk keselamatan selama pembedahan. Sebelum
dilakukan anastesi demi kepentingan pembedahan, pasien
akan mengalami pemeriksaan status fisik yang diperlukan
untuk menilai sejauh mana resiko pembiusan terhadap diri
pasien. Pemeriksaan yang biasa digunakan adalah
pemeriksaan dengan menggunakan metode ASA (American
Society of Anasthesiologist). Pemeriksaan ini dilakukan
karena obat dan teknik anastesi pada umumnya akan

9
mengganggu fungsi pernafasan, peredaran darah dan sistem
saraf.
5) Mencari infeksi fokal
Sebelum operasi dilakukan pasien harus berkonsultasi dulu
dengan bagian THT, gigi dan mulut. Biasanya dicari gigi
berlubang atau tonsillitis kronis dan ini dikonsultasikan ke
bagian THT dan gigi. Kelainan kulit seperti dermatitis dan
furonkolisis atau bisul harus diobati dan juga tidak dalam
masa inklubasi atau infeksi penyakit menular.

e. Persiapan Medikal
1) Obat-obatan
a) Obat-obatan antikoagulan dihentikan satu (1) minggu
sebelum operasi, misalnya: aspirin, sintrom, simarc.
b) Obat-obatan diuretik dihentikan tiga (3) hari sebelum
operasi, misalnya furosemide, spironolactone, kecuali
bila ada instruksi lain dari dokter.
c) Obat-obatan digitalis dihentikan dua belas (12) jam
sebelum operasi, misalnya digoxin, lanoxin dan lain-
lain.
d) Obat calcium bloker (adalat, herbesser) atau beta
bloker diberikan sampai hari operasi.
e) Antibiotika diberikan untuk profilaksis dan diberi
waktu untuk induksi anestesi di kamar operasi, hanya
diperlukan test kulit sebelum alergi, untuk mengetahui
adanya alergi atau tidak.

2) Persiapan darah
Permintaaan darah PMI ada 3 komponen, yaitu:
a) Packed cell : 1000 cc (15-20 cc/kgBB)
b) Frash Frozen Plasma : 1000 cc (15-20 cc/kgBB)
c) Thrombocyte : 5 unit

10
2. Persiapan jangka pendek
Persiapan yang harus dilakukan maksimal dalam 1 x 24 jam sebelum
tindakan pembedahan. Persiapan ini bersifat akan efektif dan efisien
apabila dilakukan menjelang tindakan bedah (jarak waktunya tidak
terlalu jauh dengan jadwal tindakan bedah). Persiapan ini meliputi
kecukupan pasien dalam istirahat, kebersihan lambung dan usus,
personal hygiene, pencukuran daerah operasi, pengosongan kandung
kemih, dan persiapan akhir saat perawat mengantar pasien ke
ruangan bedah.
a. Kecukupan istirahat
Pasien harus istirahat yang cukup sebelum tindakan karena
dengan istirahat dan tidur yang cukup pasien tidak akan
mengalami stres yang mempengaruhi hemodinamik pasien saat
pembedahan. Tubuh lebih rileks sangat dibutuhkan sehingga
bagi pasien yang memiliki riwayat hipertensi, tekanan darahnya
dapat stabil dan bagi pasien wanita tidak akan memicu
terjadinya haid lebih awal. Kolaborasi dengan dokter terkait
dengan pemberian obat pra medikasi, seperti valium
dandiazepam tablet sebelum pasien tidur untuk menurunkan
kecemasan dan pasien dapat tidur sehingga kebutuhan
istirahatnya terpenuhi.
b. Kebersihan lambung dan kolon
Intervensi keperawatan yang bisa diberikan diantaranya adalah
pasien dipuasakan dan dilakukan tindakan pengosongan
lambung dan kolon dengan pemberian yal. Lamanya puasa
berkisar antara 7 sampai 8 jam (biasanya puasa dilakukan mulai
pukul 24.00 WIB). Tujuan dari pengosongan lambung dan
kolon adalah untuk menghindari aspirasi (masuknya cairan
lambung ke paru-paru) dan menghindari kontaminasi feses ke
area pembedahan sehingga menghindarkan terjadinya infeksi
pasca pembedahan. Tindakan puasa pada pasien yang memiliki

11
riwayat diabetes mellitus harus dipantau kadar gula darahnya
untuk mewaspadai terjadinya hipoglikemia. Khusus pada pasien
yang menbutuhkan operasi CITO (segera), pengosongan
lambung dapat dilakukan dengan cara pemasangan NGT (naso
gastric tube ).
c. Pencukuran daerah operasi
Pencukuran pada daerah operasi ditujukan untuk menghindari
terjadinya infeksi pada daerah yang dilakukan pembedahan
karena rambut yang tidak dicukur dapat menjadi tempat
bersembunyi kuman dan juga menghambat proses penyembuhan
dan perawatan luka. Meskipun demikian, ada beberapa kondisi
tertentu yang tidak memerlukan pencukuran sebelum operasi,
misalnya pada pasien luka insisi pada lengan.Tindakan
pencukuran (scheren) harus dilakukan dengan hati-hati jangan
sampai menimbulkan luka pada daerah yang dicukur.
Pencukuran dilakukan satu jam sebelum dikirim ke kamar
bedah. Daerah yang dilakukan pencukuran tergantung pada jenis
operasi dan daerah yang akan dioperasi. Biasanya daerah sekitar
alat kelamin (pubis) dilakukan pencukuran jika yang dilakukan
operasi pada daerah sekitar perut dan paha.Selain terkait daerah
pembedahan, pencukuran pada lengan juga dilakukan pada
pemasangan infus sebelum pembedahan.
d. Personal Hygiene
Kebersihan tubuh pasien sangat penting untuk persiapan operasi
karena tubuh yang kotor dapat merupakan sumber kuman dan
dapat mengakibatkan infeksi pada daerah yang dioperasi. Pada
pasien yang kondisi fisiknya kuat diajurkan untuk mandi sendiri
dan membersihkan daerah operasi dengan lebih seksama.
Sebaliknya, jika pasien tidak mampu memenuhi kebutuhan
personal hygiene secara mandiri maka perawat akan
memeberikan bantuan pemenuhan kebutuhan personal hygiene.

12
Pasien dianjurkan untuk mandi dua kali sehari pagi dan sore
dengan sabun aseptik.
e. Pengosongan kandung kemih
Pengosongan kandung kemih dilakukan dengan melakukan
pemasangan kateter. Selain untuk pengosongan isi bladder,
tindakan kateterisasi juga diperlukan untuk mengobservasi
balance cairan.
f. Persiapan akhir
Pada saat persiapan di ruangan telah lengkap, maka perawat
bertugas mengantarkan pasien ke ruangan bedah. Setelah berada
di ruang serah terima pasien di kamar bedah, petugas kesehatan
di ruang bedah dianjurkan untuk memperkenalkan diri sehingga
membuat pasien merasa lebih tenang. Keluarga juga diberikan
kesempatan untuk mengantar pasien sampai ke batas kamar
operasi dan diperkenankan untuk menunggu di ruang tunggu
yang terletak di depan kamar bedah.

2.1.3. CABG
A. Definisi

Coronary Artery Bypass Graft (CABG) adalah bedah pintas


koroner yangmerupakan salah satu upaya atau tindakan yang
dilakukan untuk revaskularisasi padapenderita penyakit jantung
koroner. (Muttaqin, A.2009).
Coronary Artery Bypass Graft (CABG) adalah bedah pintas
koroner, merupakan bentuk intervensi bedah untuk memperbaiki
aliran darah koroner (reperfusi) dengan cara mencangkok sebagian
pembuluh darah. (Hinkle & Cheeve, 2015).
CABG adalah pintasan jantung paru yang merupakan suatu
alat mekanis untuk sirkulasi dan oksigen darah untuk seluruh tubuh
pada saat memintas jantung paru. (Aspiani, 2015).

13
Revaskularisasi miokardial telah menjadi treatment dari
CAD pada sebagian negara.CABG, dipakai sebagai praktek klinis
sejak tahun 1960 sedangkan PCI (Percutaneous Coronary
Intervention), digunakan lebih dari 3 dekade. (European Heart
Journal, 2010)
CABG adalah prosedur bedah untuk membuat pembuluh
darah baru yang melintasi pembuluh darah jantung yang menyempit
dengan menggunakan pembuluh darah dari bagian tubuh lain.
(Siloam Heart Institut.2016)
Coronary Artery Bypass Graft (CABG), adalah teknik yang
menggunakan pembuluh darah bagi bagian tubuh yang lain untuk
memintas (melakukan bypass) arteri yang menghalangi pemasokan
darah ke jantung. (Ningsih, M. 2012)
CABG merupakan salah satu penanganan intervensi dari
pjk dengan cara membuat saluran baru melewati arteri koroner yang
mengalami penyempitan atau penyumbatan (Feriyawati,2005).

2.2. Etiologi
Menurut Hinkle & Cheeve (2015), indikasi mayor atau utama untuk tindakan
CABG adalah :
1. Angina yang tidak dapat dikontrol lagi dengan obat-obatan atau PCI
2. Stenosis di cabang utama arteri koroner kiri( Left Coronary Artery/ LCA)
atau terdapat banyaknya lesi di pembuluh darah koroner.
3. Pencegahan dan penanganan untuk Miokard Infark, disritmia atau gagal
jantung.
4. Penanganan terhadap komplikasi dari kegagalan tindakan PCI.

14
Indikasi CABG menurut Guideline for Coronary Artery Bypass Graft
SurgeryACCF (A Report of the American College of Cardiology
Foundation) /AHA ( American Heart Association ) tahun 2011, adalah :
1. Indikasi CABG pada pasien tanpa gejala klinis / angina ringan
a. Kelas I :
1) Stenosis left main coronary artery yang signifikan
2) Left main equivalen : stenosis signifikan 70% dari LAD proksimal
dan LCX proksimal
3) Three vessel desease ( angka harapan hidup lebih besar dengan fungsi
LV terganggu misal LV EF 50%
b. Kelas II :
1) Stenosis LAD proksimal dengan 1 atau 2 vessel desease
Akan menjadi kelas I bila terdapat iskemik berdasarkan pemeriksaan
non invasif atau LV EF 50%.

2) 1 atau 2 vessel desease tidak pada LAD


Jika terdapat daerah miokardium viable yang besar dan termasuk
kriteria resiko tinggi dari hasil pemeriksaan non invasif akan menjadi
kelas I

2. Indikasi CABG untuk angina stabil


a. Kelas I
1) Stenosis left main coronary artery yang signifikan
2) Left main equivalen stenosis 70% dari LAD proksimal dan LCX
proksimal
3) Three vessel desease ( angka harapan hidup lebih besar pada
pasien dengan fungsi LV terganggu misal LV EF 50%
4) Two vassel desease dengan stenosis LAD proksimal dan atau LV
EF 50% atau terdapat iskemik pada pemeriksaan non invasif
5) 1 atau 2 vessel desease stenosis LAD yang signifikan tetapi
terdapat daerah miokardium viable yang besar dan termasuk
kriteria cukup tinggi dari pemeriksaan non invasif

15
6) Angina refaktur terhadap pengobatan yang maksimal tindakan
bedah dapat dilakukan dengan resiko yang dapat diterima
b. Kelas II
1) Stenosis LAD proksimal dengan 1 vessel desease Dapat menjadi
kelas I bila terdapat iskemik berdasarkan pemeriksaan non invasif
atau LV EF 50%
2) 1 atau 2 vessel tanpa stenosis LAD proksimal yang signifikan tetapi
dengan daerah moikardium viable yang sedang dan terdapat
iskemik pada pemeriksaan non invasif
c. Kelas III
1) 1 atau 2 vesle desease tanpa LAD yang signifikan pada :
a) Pasien dengan gejala ringan yang bukan berasal dari iskemik
miokardium / belum menerima pengobatan yang maksimal dan
atau memiliki daerah miokardium viable yang kecil
b) Pada pasien tanpa iskemik pada pemeriksaan non invasif
2) Stenosis coronary pada ambang batas ( 50 – 60% diameter pada
lokasi non left main coronary artery ) dan tidak terdapat iskemik
pada pemeriksaan non invasif
Stenosis coronary nonsignifikan ( kurang dari 50% diameter )

3. Indikasi untuk CABG pada unstable angina / non Q wave MI


a. Kelas I
1) Stenosis left main coronary artery yang signfikan
2) Left main equivalent : stenosis signifikan ( 70% ) dari LAD
proksimal dan LCX proksimal
3) Iskemik yang mengancam dan tidak responsif pada terapi non bedah
yang maksimal
b. Kelas IIA
Stenosis LAD proksimal dengan 1 atau 2 vessel disease
Akan menjadi kelas I bila terdapat iskemik berdasarkan pemeriksaan non
invasif dan atau LV EF < 50%. Jika terdapat daerah miokardium viable

16
yang besar dan termasuk kriteria resiko tinggi dari hasil pemeriksaan non
invasif akan menjadi kelas I
c. Kelas IIB
Satu atau Dua vessel disease tidak pada LAD
4. Indikasi untuk CABG pada ST segmen elevation Q wave MI

b. Kelas IIA
Iskemik yang mengancam / infark yang tidak responsif pada terapi non
bedah yang maksimal

c. Kelas IIB
1) Gagal pompa ventrikel kiri yang progresif dengan stenosis
kororner yang mengancam daerah miokardium viable diluar lokasi
infark awal
2) Untuk reperfusi pada jam – jam pertama ( 6 – 12 j ) pada STEMI
d. Kelas III
Untuk reperfusi primer lambat ( lebih dari 12 jam ) pada STEMI tanpa
iskemi yang mengancam

5. Indikasi untuk CABG pada fungsi ventrikel kiri yang buruk


a. Kelas I
1) Stenosi left main coronary arteri yang signifikan
2) Left main equivalen : stenosis signifikan ( 70% ) dari LAD
proksimal dan LCX proksimal
3) Stenosis LAD proksimal dengan 2 atau 3 vessel disease
b. Kelas II
Fungsi LV buruk dengan area miokardium viable terrevaskularisasi
tanpa adanya perubahan atau kelainan anatomis

c. Kelas III
Fungsi LV buruk tanpa adanya tanda dan gejala iskemi intermiten dan
tanpa adanya daerah miokardium yang viable dan terrevaskulariasi

17
6. Indikasi untuk CABG artimi ventrikel yang mengancam nyawa
a. Kelas I
1) Stenosis pada left main coronary artery
2) Three vessel disease
b. Kelas IIA
1) 1 atau 2 vessel disease yang dapat dilakukan baypass
Akan menjadi kelas I bila terdapat iskemi berdasarkan pemeriksaan
non invasif dan atau LV EF < 50%. Jika terdapat daerah
miokardium yang besar dan termasuk kriteria resiko tinggi dari
hasil pemeriksaan non invasif akan menjadi kelas I
2) Stenosis LAD proksimal dengan 1 -2 vessel disease
c. Kelas III
Takikardi ventrikel tanpa skor dan tanpa bukti ada iskemik

7. Indikasi V CABG pasca kegagalan PTCI:


a. Kelas I
1) Iskemia yang mengancam atau oklusi pada area miocardium yang
signifikan.
2) Ketidakstabilan hemodinamik

b. Kelas IIA
1) Benda asing pada lokasi anatomi yang penting
2) Ketidakstabilan haemodinamik pada pasien dengan kelainan sistim
koagulasi dan tidak memiliki riwayat sternotomi.

c. Kelas IIB
Ketidakstabilan hemodinamik pada pasien dengan kelainan koagulasi
dan memiliki riwayat sternotomi.

d. Kelas III
1) Tidak iskemik
2) Revaskularisasi yang gagal oleh karena keadaan anatomi atau
miocardium yang tidak viable lagi/no-reflow state

18
8. Indikasi untuk CABG pada pasien dengan riwayat CABG:
a. Kelas I
Angina refraktur terhadap pengobatab non invasif maksimal ( jika angina
tidak khas, harus dibuktikan adanya iskemik )

b. Kelas IIA
Stenosis yang nyata pada koroner distal yang memungkinkan dilakukan
bypass dengan daerah miocardium besar yang terancam pada
pemeriksaan

c. Klas IIB
Iskemia pada daerah distribusi non LAD dengan graff arteri mamaria
interna paten ke LAD yang memperdarahi area miocardium fungsional
dan tanpa usaha pengobatan medikal mentosa dan/revaskularisasi
perkutan yang agresif.

2.3. Pathofisiologi
Pada keadaan normal terdapat keseimbangan antara aliran darah arteri
koronaria dengan kebutuhan miocard. Pada CAD menunjukkan keseimbangan
antara aliran darah arterial dan kebutuhan miocard. Aliran darah arterial yang
berkurang hampir selalu disebabkan oleh arteriosklerosis. Arteriosklerosis dapat
menyebabkan penyempitan lumen pembuluh darah. Penyempitan tersebut akan
mengurangi suplai O2 ke myocard yang dapat menimbulkan iskemik dan
disfungsi myocardium. Intervensi yang biasa dilakukan adalah dengan terapi obat
dan PTCA (Percutaneous transluminal coronary angioplasty). Namun jika
intervensi tersebut gagal atau intervensi tersebut tidak dapat dilakukan karena
terdapat multiple vessel desease maka intervensi lain bisa dilakukan dengan
CABG (coronary artery bypass grafting).
CABG dapat dilakukan dengan teknik On pump (CPB), off pump (OPCAB)
atau pun MIDCAB (minimally invasive direct coronary artery bypass). Dimana
tindakan tersebut dapat menimbulkan komplikasi pada sistem tubuh.

19
Pathoflow:

Hipertensi, merokok, DM, Kolesterol

Faktor risiko ateroskerosis

Terdapat plak pada dinding arteri


koroner

Penyempitan lumen arteri, rupture


plak, thrombosis, spasme arteri

Penyumbatan arteri koroner

Suplay O2 ke moikard Fungsi pompa


menurun menurun

CAD Penurunan Cardiac


Output

CABG Terapi trombolitik

Kurang informasi Pemasangan alat Risiko Perdarahan


invasive: CVC, AL,
Folley cath

Kurang
pengetahuan
Risiko Infeksi

20
2.4. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan Laboratorium :
a) Hemoglobin/ hematocrit digunakan untuk monitor kemampuan daya
angkut oksigen, penggantian darah, dan status dehidrasi.
b) Elektrolit digunakan untuk monitor ketidakseimbangan elektrolit yang
dapat mempengaruhi fungsi jantung.
c) BUN dan creatinin digunakan untuk monitor fungsi ginjal.
d) Liver Profile digunakan untuk monitor fungsi dan perfusi liver.
e) Glukosa digunakan untuk monitor diabetes, kekurangan pemenuhan
nutrisi, atau disfungsi organ.
f) Cardiac enzym dan isoenzym digunakan untuk monitor akut atau
perioperatif infark myocard.
g) Coagulation profile digunakan untutk menentukan baseline dan monitor
permasalahan koagulasi.
h) Antibodi digunakan untuk monitor postpericardiotomy sindrom atau
Dressler’s sindrom.
i) Crossmatch darah untuk memenuhi kebutuhan darah jika terjadi
perdarahan.
j) ACT digunakan untuk monitor heparinisasi.
2. AGD (Analisa Gas Darah)
Digunakan untuk monitor oksigenasi dan keseimbangan asam-basa dan dapat
menentukan weaning dari ventilasi mekanik.
3. Electrocardiography
Digunakan untuk mengobservasi perubahan dari fungsi jantung, problem
konduksi, disritmia, dan ischemic.
4. Echocardiography
Digunakan untuk mengevaluasi bentuk dinding dari jantung, mengevaluasi
struktur jantung.
5. Chest X-Ray
Digunakan untuk mengidentifikasi ukuran dan posisi, perubahan pulmo,
memastikan posisi endotracheal tube, pacing wires, dan hemodinamik kateter.
(Linda D.Urden, dkk 2006).

21
2.2 Asuhan Keperawatan
2.2.1 Pengkajian Keperawatan
a. Data Demografi
Meliputi biodata (nama, jenis kelamin, umur, suku, agama, status
perkawinan, pekerjaan, pendidikan), tanggal MRS, diagnosa medis.
b. Riwayat
Adanya gejala pasien mengenai nyeri dada, hipertensi, berdebar-debar,
sianosis, dispnea, edema, penggunaan obat, alkohol dan merokok.
1) Aktivitas : tidak toleran terhadap latihan, kelemahan umum,
kelelahan, kecepatan jantung abnormal, dispnea, perubahan
gambaran ECG.
2) Sirkulasi : riwayat infark miokard saat ini, penyakit arteri
koroner tiga atau lebih, disritmia, bunyi jantung abnormal (S3/ S4),
pucat, kulit dingin, edema.
c. Pemeriksaan Fisik
1) B1 (Breath/ Status respirasi)
Adanya penurunan pada ekspansi dada, peningkatan usaha untuk
bernafas, penggunaan otot-otot pernapasan, kelemahan, dispnea,
penurunan atau tidak adanya bunyi nafas, kaji BGA arteri, nadi
oksimetri, dan pemakaian ventilator.
Pengkajian terhadap status respirasi bertujuan untuk mengetahui
secara dini tanda dan gejala tidak adekutnya ventilasi dan
oksigenasi. Pengkajian dimulai dari instruksi yang diberikan oleh
dokter anastesi sebelum pasien masuk ICCU, dan dokter akan
memberi laporan kepada perawat mengenai kondisi pasien selama
operasi, ukuran endotraheal tube (ETT), masalah yang dihadapi pada
saat intubasi, obat-obat anastesi yang diberikan, lamanya pemakaian
mesin pintas jantung paru (CPB) serta masalah yang terjadi selama
operasi berlangsung. Pengkajian parameter ventilasi mekanik yang
digunakan oleh pasien meliputi persentase fraksi oksigen, volume
tidal, frekuensi pernapasan, modus yang digunakan.
2) B2 (Blood/ Status sirkulasi)

22
Tekanan darah rendah atau tinggi, disritmia (disritmia
ventrikular, disritmia supraventrikular), perubahan hemoglobin dan
hematokrit, tanda-tanda tamponade jantung (berkurangnya produksi
drainage, tekanan darah turun, nedi kecil, peningkatan HR, distensi
vena jugularis, peningkatan CVP, suara jantung terdengar jauh),
sianosis, suhu tubuh menurun.
3) B3 (Brain/ Status Neurologi dan neurosensori)
Pengkajian pada status neurologi meliputi kesadaran, ukuran
pupil, pergerakan semua ektremitas dan kemampuan menanggapi
respon verbal maupun nonverbal., perubahan orientasi (waktu,
tempat, orang), gelisah.
Parastesis nervus ulnaris pada CABG arteri mammaria interna
pada sisi yang sama dengan yang diambil. Ketidaknyamanan insisi,
nyeri/ parestesia bahu, tangan, lengan, kaki. Nyeri tampak pada
wajah, meringis, perilaku distraksi, merintih, gelisah.
4) B4 (Bladder/ Status urinaria)
Perubahan frekuensi dan jumlah haluaran urine. Pengkajian pada
sistem ginjal terutama ditujukan pada status keseimbangan cairan
yang meliputi jenis dan jumlah cairan yang diberikan diruang
operasi, jenis cairan yang sekarang terpasang pada pasien, jumlah
cairan atau obat-obatan yang tersisa pada botol infus atau syringe
pump, jumlah cairan masuk dan keluar. Penurunan fungsi ginjal
perlu dipantau dengan melakukan pemeriksaan ureum dan creatinin
darah, osmolalitas urine dan elektrolit dikerjakan pada tahap awal
pasien tiba di ICCU.
5) B5 (Bowel/ Status gastrointestinal)
Penurunan bising usus, warna drainage produksi NGT,
peningkatan dan penurunan berat badan, hilangnya nafsu makan,
nyeri abdomen, turgor kulit buruk.
6) B6 (Bone/ Status ekstremitas dan muskuloskeletal)
Gerakan pada ekstremitas serta kekuatan otot.
(Doengoes, 2000; Potter & Perry, 2006)

23
2.2.2 Diagnosa Keperawatan
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan penurunan suplay O2
ke miokard
2. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional
3. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi
4. Resiko perdarahan berhubungan dengan efek agen farmakologis
5. Risiko infeksi berhubungan dengan invasi benda asing

2.2.3 Perencanaan Keperawatan


1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan penurunan suplay O2
ke miokard
 Luaran : Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam,
maka curah jantung meningkat dengan kriteria hasil:
1) Dyspnea menurun
2) Batuk menurun
3) Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND) menurun
4) Gambaran EKG aritmia menurun
5) Edema menurun
 Intervensi
Perawatan jantung
a) Observasi
(1) Identifikasi tanda dan gejala primer penurunan curah jantung
(meliputi dyspnea, kelelahan, edema, ortopnea, PND)
(2) Identifikasi tanda dan gejala sekunder penurunan curah
jantung (meliputi peningkatan berat badan, hepatomegaly,
distensi vena jugularis, palpitasi, batuk).
(3) Periksa vital sign sebelum dan sesudah aktifitas
(4) Monitor EKG 12 sadapan
(5) Monitor aritmia
(6) Monitor intake output cairan

24
b) Terapeutik
(1) Posisikan pasien semo fowler atau fowler dengan posisi kaki
ke bawah atau posisi nyaman
(2) Berikan oksigen untuk mempertahankan oksigen minimal
94%
(3) Berikan diet jantung yang sesuai fasilitasi pasien dan
keluarga untuk memodifikasi gaya hidup sehat
(4) Berikan terapi relaksasi untuk mengurangi stres
(5) Berikan dukungan emosional dan spiritual
c) Edukasi
(1) Anjurkan beraktifitas fisik sesuai toleransi
(2) Anjurkan beraktifitas fisik secara bertahap
(3) Anjurkan berhenti merokok
(4) Anjurkan pasien dan keluarga mengukur berat badan harian
d) Kolaborasi
(1) Kolaborasi pemberian obat aritmia

2. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional


 Luaran : Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1 x 24
jam, maka tingkat ansietas menurun dengan kriteria hasil:
1) Verbalisasi kebingungan menurun
2) Perilaku gelisah menurun
3) Perilaku tegang menurun
4) Konsentrasi membaik
 Intervensi
Reduksi ansietas
Reduksi ansietas adalah intervensi yang dilakukan oleh perawat
untuk meminimalkan kondisi individu dan pengalaman subyektif
terhadap objek yang tidak jelas dan spesifik akibat antisipasi bahaya
yang memungkinkan individu melakukan tindakan untuk
menghadapi ancaman.

25
a) Observasi
(1) Identifikasi saat tingkat ansietas berubah (mis: kondisi,
waktu, stresor).
(2) Identifikasi kemampuan mengambil keputusan.
(3) Monitor tanda-tanda ansietas (verbal dan nonverbal).
b) Terapeutik
(1) Ciptakan suasana terapeutik untuk menumbuhkan
kepercayaan.
(2) Temani pasien untuk mengurangi kecemasan, jika
memungkinkan.
(3) Pahami situasi yang membuat ansietas.
(4) Dengarkan dengan penuh perhatian.
(5) Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan.
(6) Tempatkan barang pribadi yang memberikan kenyamanan.
(7) Motivasi mengidentifikasi situasi yang memicu kecemasan.
(8) Diskusikan perencanaan realistis tentang peristiwa yang
akan datang.
c) Edukasi
(1) Jelaskan prosedur, termasuk sensasi yang mungkin dialami.
(2) Informasikan secara faktual mengenai diagnosis,
pengobatan, dan prognosis.
(3) Anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien, jika perlu.
(4) Anjurkan melakukan kegiatan yang tidak kompetitif, sesuai
kebutuhan.
(5) Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi.
(6) Latih kegiatan pengalihan untuk mengurangi ketegangan.
(7) Latih penggunaan mekanisme pertahanan diri yang tepat.
(8) Latih teknik relaksasi.
d) Kolaborasi
Kolaborasi pemberian obat antiansietas, jika perlu.

26
3. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi

 Luaran Setelah diberikan asuhan keperawatan selama1 x 24jam,


diharapkan tingkat pengetahuan membaik dengan kriteria hasil:
1) Perilaku sesuai anjuran
2) Kemampuan menjelaskan pengetahuan sesuai topic
3) Pertanyaan tentang masalah yang dihadapi
4) Persepsi yang keliru terhadap masalah
5) Menjalani pemeriksaan yang tidak tepat
6) Perilaku
 Intervensi:
Edukasi Kesehatan
a) Observasi
(1) Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima
informasi
(2) Sediakan materi dan media pendidikan kesehatan
(3) Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan
(4) Berikan kesempatan untuk bertanya
(5) Gunakan variasi mode pembelajaran
(6) Gunakan pendekatan promosi kesehatan dengan
memperhatikan pengaruh dan hambatan dari
lingkungan, sosial serta budaya.
(7) Berikan pujian dan dukungan terhadap usaha positif
dan pencapaiannya Edukasi
b) Edukasi
(1) Jelaskan penanganan masalah kesehatan
(2) Informasikan sumber yang tepat yang tersedia di
masyarakat
(3) Anjurkan menggunakan fasilitas kesehatan
(4) Anjurkan menentukan perilaku spesifik yang akan
diubah (mis. keinginan mengunjungi fasilitas
kesehatan)
(5) Ajarkan mengidentifikasi tujuan yang akan dicapai

27
(6) Ajarkan program kesehatan dalam kehidupan sehari
hari

4. Resiko perdarahan berhubungan dengan efek agen farmakologis

 Luaran Setelah diberikan asuhan keperawatan selama1 x 24jam,


diharapkan tingkat perdarahan menurun dengan kriteria hasil:
2) Hemoglobin dalam batas normal
3) Hematokrit dalam batas normal
4) Tekanan darah dalam batas normal
5) Frekuensi nadi dalam batas normal

 Intervensi:
Pencegahan Perdarahan
a) Observasi
(1) Monitor tanda dan gejala perdarahan
(2) Monitor nilai hematokrit/hemaglobin sebelum dan
setelah kehilangan darah
(3) Monitor tanda-tanda vital ortostatik
(4) Monitor koagulasi (PT, PTT, fibrinogen)

b) Terapeutik
(1) Pertahankan bed rest selama perdarahan
(2) Batasi tindakan invasif, jika perlu
(3) Gunakan kasur pencegah dekubitus
(4) Hindari pengukuran suhu rectal
c) Edukasi
(1) Jelaskan tanda dan gejala perdarahan
(2) Anjurkan menggunakan kaos kaki saat ambulasi
(3) Anjurkan meningkatkan asupan cairan untuk
menghindari konstipasi
(4) Anjurkan menghindari aspirin atau antikoagulasi
(5) Anjurkan meningkatkan asupan makanan dan vitamin K

28
(6) Anjurkan segera melapor jika terjadi perdarahan
d) Kolaborasi
(1) Kolaborasi pemberian produk darah
(2) Pemberian obat –obatan

5. Risiko infeksi berhubungan dengan invasi benda asing


 Luaran: Setelah dilakukan asuhan keperawtan selama 3 x 24 jam
diharapkan kontrol risiko infeksi meningkat, dengan criteria hasil:
(1) Mampu mengidentifikasi factor risiko
(2) Kemempuan menghindari risiko
(3) Tidak muncul kemerahan pada area invasi

 Intervensi :
Pencegahan infeksi:
a) Observasi
(1) Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik
b) Terapeutik
(1) Batasi jumlah pengunjung
(2) Berikan perawatan kulit pada area edema
(3) Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan
lingkungan pasien
(4) Pertahankan teknik aseptic pada pasien berisiko tinggi
c) Edukasi
(1) Jelaskan tanda dan gejala infeksi
(2) Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
(3) Ajarkan etika batuk
(4) Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka operasi
(5) Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
(6) Anjurkan meningkatkan asupan cairan
d) Kolaborasi
(1) Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu

29

You might also like