_
4OS€ISle
Auvual
ALISHSAINA OIHO
* Make Vivishe ”PENGANTAR PENYUNTING
ORANG yang mengikuti perkembangan sastera Indonesia pasti
mengetahui tentang “Surat Kepercayaan Gelanggang” yang
dianggap sebagai konsep pandangan dunia para senitnan
Angkatan '45, Surat Kepercayaan itu sering dikutip dalam ber-
bagai buku tentang kesusasteraan Indonesia. Tetapi agaknya
tidak banyak yang tahu bahwa konseptor Surat Kepercayaan
itu bukanlah Chairil Anwar yang dianggap sebagai pelopor
“Angkatan ‘45, melainkan Asrul Sani yang bersama Chairil dan
RivaiApin menerbitkan kumpulan Tiga Menguak Taki (1950).
Waktu Surat Kepercayaan itu diumumkan (Siasat, Oktober
1950), Chairil Anwar sudah lebih dari setahun meninggal du-
nia (April 1949).
Sebenarnya sumbangan Asrul dalam dunia sastera Indo-
nesia lebih banyak berbentuk esai daripada yang berbentuk
sajak dan cerita pendek. Sajak-sajaknya telah saya kumpulkan
dalam Mantera (Budaya Jaya, 1975) dan cerita pendeknya telah
saya kumpulkan dalam Dari suatu Masa, Dari Suatw Tempat (Pus-
taka Jaya, 1972). Kalau dihitung jumlahnya boleh dikatakan
tidak seberapa.
Tetapi sumbangannya dalam dunia esai itu mungkin tidak
diketahui banyak orang, karena pada tahun 1950-an —dasa-
warsa paling subur ia menulis esai—dia banyak memperguna-
kan nama samaran. Begitu banyak nama samaran yang pernah
dipakainya, sehingga ia sendiri lupa apakah sesuatu nama itu
nama samarannya atau bukan, Diantara nama yang dia kontir-
masikan sebagai nama samarannya ketika saya menemuinya
dengan membawa fotokopi karangan-karangan atas nama‘Asrul Sani dan nama-nama lain yang saya duga nama samar-
annya, ialah: Ida Anwar, Idham Mahmud, Ali Akbar, Ali Em-
ran, Fadjria Novari, F. Annur, sedangkan nama “Pena” katanya
dia pakai bersama dengan penulis lain (dalam majalah Siasat).
Asrul Sani sendiri mengatakan bahwa ia menulis dengan ba-
nyaknama, supaya tidak ada kesan seakan-akan yang menulis
dilndonesia orangnya hanya itu-itu juga. Mémang pada tahun
1950-an jumlah mereka yang sering menulis tidaklah banyak.
‘Tetapi selain jumlahnya, esai-esai Asrul penting untuk di-
simak lagi, bukan saja karena isinya yang banyak sekarang
pun masih aktual, melainkan juga karena gayanya yang khas.
‘Asrul sadar bahwa esai bukanlah hanya sekadar menyampai-
kan pikiran atau pendapat saja. Bahkan dalam makalah atau
kertas kerja yang disampaikannya dalam berbagai kesempatan
seam pun, ‘Asrul tetap mempertahankan gayanya yang per-
sonal
Karena itu, setelah mengumpulkan sajak-sajak dan cerita-
cerita pendeknya, saya beranggapan perlu sekali mengumpul-
kan esai-esainya. Akan tetapi, Jama keinginan itu hanya tinggal
keinginan. Baru sekarang dalam hubungan dengan akan ge-
nap Asrul Sani berusia 70 tahun, keinginan itu alhamdulillah
dapat saya laksanakan, walaupun tidak dapat menjejaki selu-
ruh tulisan Asrul yang berceceran di berbagai media. Asrul
sendiri tidak mempunyai dokumentasinya
‘Saya memanfaatkan isi perpustakaan PDSH.B. Jassin, de-
ngan bantuan Drs. Endo Senggono, namun ternyata tidaklah
selengkap yang, saya harapkan. Majalah Siasat yang banyak
memuat karangan Asrul tidak lengkap di situ, karena sebagian
pernah dipinjam oleh Asrul yang pada waktu itu bermaksud
hendak mengumpulkan tulisannya, namun berakhir dengan
habis dimakan rayap. Saya pun memanfaatkan dokumentasi
Dewan Kesenian Jakarta, dengan batuan Saudara Suwarso,
namun tidak segala yang saya cari ada di sana. Dokumentasi
Sinematek Indonesia, dengan bantuan Saudara H. Misbach
Yusa Biran, dapat dimanfaatkan, tapi terutama hanya me-
nyimpan tulisan Asrul yang berhubuhgan dengan film saja
—sesuai dengan bidangnya. Di samping itu saya pun meminta
Kebaikan Prof. Dr. A. Teeuw di Leiden untuk mengirimkan
foto kopi karangan Asrul yang ada dalam dokumentasinya
yang belum saya peroleh di tempat lain. Masih ada karangan-
karangan Asrul yang saya ingat pernah saya baca dalam surat
surat kabar seperti Harian Kami, Kompas, dan lain-lain yang
tidak dapat saya temukan karena saya tak dapat melaksana-
kan niat hendak-menguras isi Perpustakaan Nasional pada
Kunjungan saya bulan Agustus 1996 katena keburu jatuh sakit.
Juga karangan Asrul dalam bahasa Inggris yang dimuat dalam
majalah Atlantic Monthly (1956) tak dapat ditemukan. Asrul
sendiri ingat akan karangannya tentang film dalam majalah
Perspektif, tetapi saya tak berhasil memperolehnya.
‘Namun, ada juga karangan yang saya peroleh, tetapi tidak
dimuatkan karena saya anggap tidak aktual lagi, atau kurang,
setaraf dengan tulisannya yang lain.
‘Seperti akan terlihat, bidang perhatian Asrul tidaklah ha-
nya sastera.
Bahkan kalau dibandingkan, tulisannya mengenai per-
filman lebih banyak daripada tentang sastera. Meskipun ia
berangkat dengan menulis sajak dan cerita pendek, tetapi ke-
mudian dia memperlihatkan minat yang mendalam terhadap
dunia teater, lalu film — dan sekarang sinetron. Dia banyak
meyadur atau menerjemahkan dan kemudian menyutradarai
lakon-lakon terkenal seperti karya Anton Chekhoy, Jean Paul
Sartre, Albert Camus, dan lain-lain. Kemudian dia pun banyak
menulis skenario film, baik yang kemudian dia sutradarai sen-
diri atau pun disutradarai orang lain. Skenarionya pernah
‘mendapat hadiah di Festival Film Internasional (Lewat Jam Ma-
Iam, 1956; Apa Yang Kaucari Palupi?, 1970), sedangkan Piala Citra
dalam Festival Film Nasional seakan menjadi “langganannya”.
Dan belakangan ini dia banyak menulis skenario untuk sinet-
ron berdasarkan karya-karya sastera Indonesia terkenal seperti
Siti Nurbaya, Salak Asuhan, Sengsara Membawa Nikmat, dan lain-
viiee a ita
Jain yang ternyata cukup memikat penonton.
Ketika Dewan Kesenian Jakarta menyelenggarakan pro-
yek menerjemahkan lakon dan karya sastera dunia, Asrul ba-
nyak mengambilnya. Saya, ketika itu menjadi salah sorang
Ketua DKJ, pernah menghitung, ternyata lakon dan roman
yang telah diferjemahkan oleh Asrul lebih dari 100 (seratus)
judul. Sayang bahwa sebagian besar daripadanya belum di-
pentaskan atau diterbitkan.
Sebagai intelektual, Asrul juga .terlibat dalam pemikiran
tentang pembinaan.generasi muda, tentang masadepan, ten-
tang nasib bangsa, yang sesungguhnya semuanya itu menjadi
latar pethatiannya ketika dia berbicara tentang teater, tentang
film, atau apa pun. Sebenarnyalah, kita jarang mempunyai
budayawan intelektual yang mempunyai pandangan dan per-
hhatian yang luas dan memiliki kefasihan mengutarakan pen-
dapat seperti Asrul.
Meskipun pernah terlibat dalam politik, duduk sebagai
anggota DPR dari Nahdlatul Ulama (NU), namun Asrul tak
pernah sejenak pun meninggalkan dunia kesenian. Dia tak
pernah tertarik untuk menjadi politikus, schingga ketika men-
jadi anggota DPR pun dia tetap bergelut di dunia kesenian —
yang menjadi pilihan hidupnya. Dia terlibat dalam pemben-
tukan Dewan Kesenian Jakarta, duduk sebagai anggota Aka-
demi Jakarta, menjadi Wakil Ketua Dewan Film Nasional yang
konsepnya dia susun. Dan lebih dari itu, dia tak mau hanya
menjadi birokrat kesenian, bagi dia lebih penting menciptakan
karya seni, sehingga skenario film, skenario sinetron yang ka-
dang-kadang dia sutradarai sendiri tetap mengalir daripa-
danya,
Asrul adalah manusia Indonesia kreatif yang menjadi aset
nasional.
Dalam menyusun karangan-karangan Asrul ini, saya me-
ngelompokkannya menurut bidang yang dibahasnya. Terlebih
viii
dahulu saya tempatkan "Surat Kepercayaan Gelanggang Se-
niman Merdeka’ (1950) dengan "Surat Kepercayaan” (1967)
yang merupakan editorial majalah kebudayaan Gelanggang yang
dipimpin oleh Asrul (dan hanya terbit beberapa nomer Saja)
Meskipun keduanya diumumkan anonim, tapi keduanya ditulis
oleh Asrul. Dan keduanya boleh dikatakan menjadi dasar
pandangan Asrul dalam melihat segala sesuatu. Karena itu
pula, maka kumpulan karangan ini diberi judul Surat-surat
Kepercayaan, karena semuanya pada dasarnya merupakan su-
rat kepercayaan Asrul dalam menghadapi berbagai masalah.
Kelompok karangan tentang sastera didahulukan, karena
boleh dikatakan Asrul mulai muncul dalam dunia kesenian
dan kebudayaan adalah melalui kesusasteraan — walaupun
sebelvimnya ia pernah mencoba bakatnya sebagai penggesek
biola dengan belajar kepada Cornel Simandjuntak. Di sini
nampak perhatian Asrul yang luas terhadap sastera dunia.
Asrul pun sekitar tahun i950 banyak menerjemahkan sajak
dari bahasa inggris dan Belanda (antara lain T. S. Eliot, Mars
man, dan lain-lain), menaruh pethatian terhadap bentuk-ben-
tuk sastera yang berasal dari Barat seperti puisi bebas dan
esai. Sebuah studi cukup panjang tentang drama-drama sajak
penyair Spanyo] Federico Garcia Lorca, tidak disertakan dalam
kumpulan ini karena akan dimuat sebagai pengantar terhadap
terjemahan tiga drama Lorca yang akan diterbitkan sebagai
buku tersendiri
Kelompok karangan kedua adalah tentang teater, karena
minat Asrul terpusat pada dunia pentas sebelum masuk ke
dunia film — walaupun saatnya miungkin hampir bersamaan.
Pada awal tahun 1950-an, tulisan-tulisannya masih suara dari
kejauhan, tetapi kemudian menjadi lebih menyatu dengan k
giatan teater. Dia bersama H. Usmar Ismail mendirikanAkade-
mi Teater Nasional (ATNI) yang sehari-hari dia pimpin. Asrul
yang pernah mendapat kesempatan untuk mempelajari teater
di Amerika, membawa gagasan teater yang berdasarkan kebe-
naran psikologis yang dimulai oleh Konstantin Stanislavskydan besar pengaruhnya terhadap kelompok teater Actors Stu-
dio di New York yang pada waktu itu mencapai masa jayanya.
Asrul sendiri kemudian menerjemahkan karya utama Stanis-
lavky, Persiapan Seorang Aktor (Pustaka Jaya, 1979). Metode
akting itu dipraktekkan Asrul dengan para mahasiswanya da-
Jam pementasan karya-karya terjemahan, Dari lembaga ini ke-
mudian lahir para aktor, aktris, dan sutradara Indonesia andal-
an seperti Ismed M. Noor, Tatiek Malyati, Steve Liem (Teguh
Karya), Wahyu Sihombing, Pramana Padmodarmaja, dan lain-
lain, Asrul sendiri kemudian menulis drama yang pernah di-
sutradarainya dengan sukses: Mahkamah (1989?)
Karangan tentang film dimulai dari tahun 1950 ketika ia
menulis tentang film Usmar Ismail yang pertama, Dose Tak
Berampun. fa menulisnya sebagai pengamat, sama dengan keti-
ka dia menulis catatan tentang film Vittorio de Sica, Miracolo
@ Milano (Kenjaiban di Milan), waktu film ita diputar di Jakarta.
Tetapi dalam tulisan-tulisannya yang lebih kemudian, peranan
pengamat sudah ditinggalkannya. Dia berbicara sebagai peser-
ta, bahkan kemudian sebagai konseptor tentang kebijaksanaan
perfilman nasional. Mungkin dalam hal ini dia lebih menda-
Jam memikirkan permasalahan perfilman nasional secara me-
nyeluruh daripada H. Usmar Ismail sebagai Bapak Perfilman
Nasional. Pandangan dan saran-sarannya sangat realistis dan
kalau dilaksanakan akan banyak membantu perkembangan
perfilman nasional. Tetapi kebijaksanaan resmi tidak bersama
Asrul. Kepentingan uang dan dunia perfilman nasional, sebe-
narnya akan dapat dihindarkan kalau para pemodal dalam
dunia perfilman Indonesia tidak hanya memikirkan bagaima-
na melipatgandakan uangnya dengan cepat saja.
Setelah kelompok karangan tentang perfilman, menyu-
sul karangan-karangan tentang dunia kesenian dan kebuda-
yaan secara umum, Dalam kelompok ini dimuatkan “Surat-
surat dari Jakarta” yang ditulis atas nama Ida Anwar dalam
majalah Zenith (1951) —meskipun nama itu kemudian dipakai
juga oleh penulis lain untuk judul yang sama dalam majalah
itu juga. Judul yang sama dengan nama berbeda muncul ke-
mudian dalam majalah Siasaf, justru setelah Asrul berhenti
sebagai redakturnya. Dalam bentuk surat pula, Ida Anwarme-
nulis kepada Sudiro, Walikota Jakarta yang baru diangkat
(1954) dan suratnya itu ternyata mendapat perhatian sang wa-
likota baru, sehingga para seniman Jakarta untuk pertama kali
diundang beramah-tamah di tempat kediaman resminya, di
Jalan Surapati. Undangan seperti itu baru terjadi 14 tahun ke-
mudian, ketika Gubernur DKI Jakarta mengundang para se-
niman di tempat yang sama untuk membahas pembentukan
lembaga yang kemudian bernama Dewan Kesenian Jakarta
Pada pertemuan 1954, Asrul membacakan “Pidato depan Wa-
likota”, dan pada pertemuan 1968, Asrul terpilih menjadi salah
seorang dari 7 orang seniman yang dipercaya oleh para seni-
man sebagai formatur pembentukan DK. ;
Disamping tentang bidang-bidang kegiatan itu, Asrul ju-
ga menulis tentang hal-hal lainnya. Itulah yang dikelompok-
kan dalam "Dunia Selainnya”. Ada interviunya dengan Moh.
Said (almarhum) dari Taman Siswa Jakarta, ada tulisannya
yang menguraikan hubungan kita dengan Eropa, ada peng-
alamannya pertama kali naik haji, ada ceramahnya tentang
pembinaan generasi muda, dan sejumlah kolom yang ditulis
untuk majalah dan surat kabar. Pada tahun 1967-9, Asrul s
ring menulis kolom untuk harian Kami. Jumlahnya cukup ba-
nyak, tapi yang sekarang sempat saya temukan hanya dua,
padahal yang saya ingat benar tulisan obituari tentang Sanusi
Pane — yang sayang tidak dapat saya temukan.
Meskipun demikian apa yang dapat dikumpulkan pun
ternyata cukup banyak jumlahnya. Tetapi sebaiknya kalau bisa
lebih lengkap. Mudah-mudahan dalam kesempatan lain dapat
dikumpulkan juga karangan yang tercecer sekarang.
Dalam menyusun karangan-karangan dalam setiap ke-
lompok, saya memilih secara kronologis supaya kelihatan per-
kembangan pemikiran yang timbul.Kepada Saudara Asrul yang memberi izin untuk me-
ngumpulkan karangan-karangannya dan menerbitkannya,
saya haturkan terima kasih. Juga kepada istrinya, Mutiara Sani
yang berhasil meyakinkan sang suami supaya jangan selalu
tidak mengacuhkan penghargaan orang kepada dirinya. Ke-
pada SaudaraH. Misbach Yusa Biran, Prof-Dr. A. Teeuy, Endo
Senggono, Suwarso, Ahmad Rivai, dan Aga Prayoga yang te-
lah memberikan bantuan ketika menyusun naskah ini dalam
berbagai tingkatnya, juga saya haturkan terima kasih. Tanpa
bantuan mereka mungkin naskah ini tidak bisa diselesaikan
pada waktunya,
Mudah-mudahan Allah SWT membalas kebaikan budi
‘mereka dengan limpahan rahmat dan rido-Nya.
Dan mudah-mudahan usaha ini akan memberikan man-
faat bagi perkembangan budaya dan kesenian kita dan mi-
dah-mudahan kita benar-benar menjadi bangsa besar yang
berbudaya luhur. Amin.
Ajip Rosidi
Mino, 13 Oktober 1996
xii
KATA PENGANTAR
1
PENDEKATAN seperti apakah yang cocok dipakai apabila ber-
hadapan dengan sebuah sosok yang seperti tak hentinya ber-
pikir dan berbuat secara kreatif? Psikologis? Historis? Atau
legalistik? Barangkali meskipun tak terlalu cocok, tetapi agar
sejalan dengan “kehendak zaman” di tanah air tercinta ini,
lebih afdol kalau didekati saja secara legalistik. Sosok itu di-
anggap saja telah membuat suasana intelektual yang “aman
dan terkendali” terguncang. Soalnya bukankah yang kreatif
itu selalu mempunyai kecenderungan untuk berpikir dan ber-
buat di luar hal yang rutin? Dengan pendekatan ini, maka
bisalah dikatakan bahwa Asrul Sani telah nyata-nyata “bikin
perkara” sejak "Surat Kepercayaan Gelanggang” yang ditulis-
ny@ atas namanya dan kawan-kawannya, diumumkan secara
terbuka. Seakan-akan merentak dan menerjang teks yang diha-
silkannya itu tampil dengan sebuah sikap kultural yang keras.
Kalau saja kecenderungan masa kini —pertengahan tahun
1990-an— boleh dipakaikan tethadap peristiwa yang terjadi
di tahun 1950 itu, maka “kelakuan“nya ini benar-benar telah
"bikin perkara”. Coba saja pikir, ketika itu kedaulatan negara
baru saja didapatkan setelah sekian lama perjuangan berdarah
dan diplomasi dijalankan. Belum sempat bernapas lega, tiba-
tiba negara yang masih sangat muda ini menghadapi-sekian
banyak masalah politik, ekonomi, dan bahkan sosial. Di saat
seperti itu, tiba-tiba pula Asrul tampil dengan sebuah pernyat:
an yang dengan lantang menggugah kesadaran dan orientasi
kultural, Baru saja sebuah batas perjalanan sejarah bangsa ber-
hasil didirikan dengan darah dan air mata, ia tampil dengan
xiiipernyataan kultural yang bisa terasa seperti merelatifkan batas
itu— "Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia
dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri"
‘Mengapa tidak mengatakan “ahii waris yang syah kebudaya-
an nenek-moyang”? Bukankah ini "bikin perkara” namanya?
Sebenarnya jika ia berhenti sampai di sini saja dan kalau
ia hanya sendirian, masalahnya telah selesai sebelum dibica-
rakan. Suaranya yang ternukil dalam teks itu, hanyalah akan
diperlakukan sebagai gonggongan anjing di malam buta —
kedengaran, tetapi segera berlalu. Tetapi ia terus "bikin perka-
ra" Ta juga tidak sendirian. Revolusi yang dikatakannya terjadi
di “tanah air kami sendiri” itu menurat penilaiannya "belum
selesai”. Kalau belum selesai artinya berbagai tindakan drastis
masih dimungkinkan untuk dilakukan, Bukankah “zaman
normal” belum datang? Tetapi bukankah pernyatannya itu
mengguncang juga kesadaran kultural? Maka dari manakah
“perkara” ini harus diusut?
Kalau sekiranya “perkara” ini —seperti yang kerap kali
diperlakukan terhadap keberanian untuk berpikir bebas yang
Jainnya— bisa dipribadikan kepada dirinya, bukan pada sua-
sana publik dan gejala sosial-kultural yang sedang mulai tum-
buh, maka rasa-rasanya seperti juga dikatakannya, akar-akar-
nya bermula di sebuah kota kecamatan. Sebenarnya kota yang
terletak di bagian utara Sumatra Barat dan dekat perbatasan
‘Tapanuli ini terlalu kecil untuk disebut kota, tetapi terlalu be-
sar dan penting untuk diperlakukan sebagai desa saja. Kalau
di-sejarah-kan, maka penduduk kota kecil ini bisa juga menge-
nang dengan keharuan dan kebanggaan bahwa kota mereka
adalah bagian dari kisah Perang Padri pada awal abad ke-19.
Di kota kecil dan historik inilah ia melewati masa kanak-ka-
naknya, Di sini ia dengan nyaman mendengarkan dongeng-
dongeng yang dibacakan ibunya. Kemudian ketika rasa ke-
inginan tahu kanak-kanaknya telah dilengkapi dengan ke-
mampuan untuk berhadapan dengan kata-kata yang tertulis,
ia, tanpa dimaksud, mulai berkenalan dengan sastera dunia
yang belum dipahaminya benar. Meskipun demikian kesan
yang dangkal diterimanya ita memberikan juga padanya ber-
bagai khayal yang jauh melampauai kungkungan hidup yang
rutin dikesenyapan sebuah kota kecil. Nanti, sekian belas ta~
hun kemudian, seorang intelektual Belanda, temannya, terhe-
ran-heran memikirkan bagaimana bisa kota sekecil itu meng-
hasilkan orang yang berpikiran seperti Asrul.
Ta, si intelektual Belanda, memang hanya bertanya. Bagai-
mana mungkin? Tetapi barangkali kenangan selintas yang per-
nah dikisahkan Bung Hatta bisa juga memberi jawab. Bukan
atas pertanyaan ini, tetapi pada suasana yang memungkinkan
"keanehan" itu muncul. Sekali, di akhir Oktober tahun 1945,
Bung Hatta yang menemani Bung Karno harus ke Surabaya
untuk menenangkan barisan-barisan pejuang kemerdekaan
yang telah mendesak tentara Sekutu. Dalam perjalanan dari
airport ke kota Bung Hatta menaiki sebuah jeep bersama se~
orang opsir tentara Sekutu. Ketika itulah mereka melihat arek-
arek Suroboyo yang masih ingusan menyandang senjata, seperti
telah siap untuk bertempur melawan siapa saja, di mana dan
bila saja. Mengapa anak-anak ini tidak bermain sepak bola di
lapangan atau belajar di sekolah, atau menghafal di rumah,
atau menolong ayah di kedai atau di sawah? Mengapa? Dan
sang opsir pun menjawab pertanyaan yang mungkin melintas
dalam pikirannya, “This is a revolution”. Jika saja sang intelek-
tual Belanda itu melayangkan angan-angannya sekian tahun
ke belakang—sebelum Belanda menerima kedaulatan Repub-
likIndonesia— ia pun akan dapat juga menjawab pertanyaan-
nya sendiri. ;
‘Memang Asrul dan generasinya tidak bisa dipisahkan dari
pengalaman intens yang diciptakan oleh suasana dan per-
istiwa revolusi. ”Buat kita,” katanya, “kelampauan sangaterat
pettaliannya dengan revolusi.” Bagi generasinya seakan-akan
sejarah bermula dan mencapai titik kulminasi dalam suasana
revolusi. Pengalaman yang mencekam ini telah mencewasa-
kan dan mematangkan generasi ini dengan cepat dan teramat
xvcepat-Suasana revolusi ini pula yang mendorong dengar/keras
usaha untuk mencari dan mendapatkan alternatif dari apa saja
Yang telah tersedia. Masalahnya ialah karena yang tersedia
‘tutelah dirasakan semakin mengabur dan mengabur;sehing-
gasemakin kehilangan haknya untuk bisa dikatakan ‘tersedia’.
Bahkan tebih dari itu. Para pelopor yang membina suasana
yang memungkinkan revolusi nasional itu terjadi telah pula
dlisasakan kehilangan vitalitas dan kreativitas untuk menjawab
fantangan yang mereka sendiri ikut menciptakan. ”Angkatan
Jampau,” Katanya entah meradang, entah menyesali, tetapi
jelas menantang, “tidak mau berpikir untuk kita dan kita telah
menjalankan hidup yang belum ada dalam pikiran mereka,”
Setidaknya demikianlah hanya dalam pemikiran kebudaya-
an, Setidaknya begitulah dirasakan ketika orientasi kultural
baru bagi sebuah negara yang telah berdaulattharus didapat-
kan untuk mengarungi konstelasi dunia pasca-bom atom,
Dan begitulah sejak ia merantau, “ke laut lepas”, dan terus
berlayar, “selama angin masih angin buritan”, seperti nasihat
ibunya yang dibayangkannya dalam sebuah sajaknya bahkan
sampai akhimnya, ketika ia telah merasa Jakarta adalah “ibu.
nya", Asrul tak berhenti dari perantauan intelektualnya. Ja tak
etnah pulang. Rantau telah menjéidi kampung halaman yang
akrab. Untuk apa ia, “sang pelaut”, pulang kalau ia hanyalah
akan tampil sebagai penjelmaan si Malin Kundang yang kem-
bali untuk menyatakan keduchakaannya? Tetapi sejauh mana
kah ia harus “berlayar’, berkelana, meninggalkan kesepian
dan kenikmatan semu yang disediakan tradisi? Sejauh mana?
Maka betapa kagetnya ia ketika seorang kawannya dengan
enteng saja mengatakan bahwa ia, Asrul, yang di masa kevil-
nya dilalui dengan mengaji dan shalat adalah seorang “athe-
ist”, Telahkah ia melampaui puncak pengembaraan yang
mengingkari—meskipun mungkin hanya dalam pikiran— se:
gala ketentuan yang telah dipatrikan?
Akhimnya ia kembali juga, bukan ke kampung halaman
—ke sebuah kota kecamatan ditengah Pulau Sumatra—tetapi
xvi
ida penolakan pandangan bahwa pengembaraan intelektual
alah pantular dari ‘eraguan akan keyakinan yang hakiki,
Ragu; takut, gelisah, apakah ia telah siap, tetapi dengan doa
yang telah dihafalkan, ia pun melangkah ke Baitullah. Di ba-
wah kesejukan Ka’bah ia beristirahat dan berdoa. Beribu ran-
jang yang telah ia tiduri, tapi tak satu ranjang pun yang pernah
memberikannya kenikmatan seperti yang ketika itu ia rasakan.
Sang musyafir memang telah pulang. Ia menangis. “Pulang
kembali aku padartu, Seperti dahulu” — sebuah sajak Amir Ham-
zah, seakan-akan telah menjadi skenario dari jalan kehidupan
Asrul Sani. Maka sebuah batas yang tegas dari sejarah perja-
lanan kehidupan pun telah pula ditegakkan.
Periode baru dalam kehidupan keintelektualan Asrul te-
Jah semakin keras dan mengental. Saat-saat pencarian yang
bebas, lepas, tanpa kchirauan terhadap keharusan struktural,
bahkan juga terhadap berbagai keharusan yang ditentukan
oleh ikatan primordial, kini telah mulai mengalami penjinak-
kan. Romantisme yang sibuk menjelajahi segala kemungkinan,
kini telah mulai merasakan kekangan dari keharusan politik
—suatu keharusan yang sangat enggan dianggap sebagai tak
ada dan yang cenderung memaksakan pengakuan akan keha-
dirannya yang semakin dominaa. Kosmopolitanisme yang
merelatifkan batas-batas politik yang artifisial dan sekat-sekat
sejarah yang mencekam, tetapi kadang-kadang bisa juga meni-
nabobokan, sekarang telah semakin ditempa oleh keharusan:
akan pengenalan batas-batas yang telah ditentukan oleh ideo-
logi yang hegemonik dan sistem kekuasaan yang dominan.
Kesemuanya memaksakan penyesuaian. Kesemuannya me-
nuntut peninjauan kembali segala hayat-kebebasan.
Dalam suasana ini, maka ia pun harus juga berpihak. As-
rul yang pernah menemuken kepuasan intelektual dalam ke-
sendiriannya bersajak, beresai, berceritera lewat kata atau cel-
luloid, semakin lama semakin dimestikan oleh struktur situasi
untuk mencari dan mengikatkan diri dengan kawan yang se-
paham. Ia telah berpihak dan harus berpihak. Ada kawan yangharus dibela, Ada lawan yang harus dihadapi. Politik ternyata
tak bisa-dijadikan sebagai “sesuatu yang di sana”, meskipun
dalam kesenian yang dalam kejujuran estetiknya ingin me-
mantulkan segenggam "hati nurani bangsa”. Politik yang se-
Jama ini diperlakukan hanya sebagai landasan struktural yang
menyediakan segala kemungkinan untuk ekspresi diri, kini
telah semakin nyata tampil sebagai bentuk kekuasaan yang,
menentukan kendala, "Setelah Presiden Soekarno menjadi pe-
mimpin besar revolusi,” katanya kemudian dalam kenangan-
nya tentang perjalanan sejarah perjuangan kebudayaan, "dan
kegiatan politik jadi terbatas, maka politik masuk ke dalam
dunia kebudayaan.”
Tahun-tahun yang menelan kemudaan pun semakin ber-
lanjut juga. Maka penjelajahan yang tanpa henti mungkin tetap
merupakan kebajikan intelektual, tetapi pemecahan yang,
pragmatik terhadap masalah empirik telah menjadi kewajiban
yang tak bisa ditampik. Asrul semakin tidak lagi hanya bisa
tampil dengan pemikiran kritis dan renungan estetik terhadap
segala gejala kultural, ia kini pun semakin diharuskan untuk
menganalisis berbagai gejala sosial-kultural secara rasional
dan sistematik. Maka ia pun mulai juga berpetuah tentang
apa saja — tentang film, teater, generasi muda, dan entah apa
lagi. Sebuah beban yang pernah diingkarinya dari generasi
yang sebelumnya, kini harus dipikulnya. Ia harus bercerita
dari pengalaman dan ia berbicara dari renungan hasil tempaan
sejarah. Selanjutnya biarlah mereka yang muda-muda mene!
ma atau seperti yang dilakukannya dulu, mempersoalkan.
u
Asrul Sani adalah sebuah pribadi—utuh dan unik, seperti
halnya dengan pribadi lainnya— dan ia adalah pula anak za-
mannya. Dalam kesendiriannya yang unik adalah bagian dari
gejala sosial-kultural yang sedang tumbuh. la dan generasinya
—yang kemudian lebih dikenal sebagai Angkatan 45— mulai
tumbuh dan mekar dalam sebuah peralihan sejarah. Dalam
xviii
SUeseneEeSEEeEeSEEESSESSSUEe SE EOECEES ESE US ESEES ESSE ESSSC SEE SEE CESSES SSSSSeSEeSRCC EC SSe SSE SS eee ese SSeS ees eee eee eS sees eeSeCee gs
peralihan inilah sebuah koloni mengalami transformasimen-
jadi sebuah negara nasional yang merdeka dan berdaulat. Te-
Jah lama juga masa itu berlalu dan sudah sekian banyak pula
perubahan terjadi. Tetapi intensitas dari situasi revolusi sekian
tahun yang lalu itu masih terus membekas betapapun realitas
baru telah tercipta. Bukankah pengalaman itu adalah awal —
ataukah “gerbang”— dari zaman baru? Maka pengalaman
yang dilalui di saat peralihan sejarah itu pun selalu dipelihara
sebagai kenangan yang membanggakan, bahkan mungkin pu-
la dijadikan sebagai landasan legitimasi. Tetapi mengapa ti-
dak?
Dalam berbagai kapasitas angkatan ini tidak berdiri di
pinggir, tetapi menerjunkan diri sepenuhnya dan seintensnya
dalam pergolakan bangsa. Ada yang memilih terlibat dalam
perjuangan bersenjata, yang memimpikan hari depan yang,
cerah dan penuh harapan tanpa kehirauan pada kekinian yang,
yang tak pasti. Ada juga yang mencari landasan baru bagi
‘masa depan yang belum berpeta. Setelah semua ketidakpas
tian hari kini selesai dan sesudah “gerbang kemerdekaan”
dengan selamat telah dirnasuki, hendak ke mana kita? Tetapi
betapa kabur batas dari kedua pilihan ini. Kekerasan ancaman
dari struktur kekinian dan keharusan yang ditimpakan oleh
tantangan luar, bahkan juga dari dalam, telah menjadikan ba-
tas pilihan itu di persimpangan jalan sejarah itu tidak lebih
tebal daripada sehelai sutra
Tetapi begitulah betapapun kaburnya batas itu, Asrul, se-
perti juga kawan-kawannya yang bergerak dalam berbagai
lapangan lain, yang berada di "garis belakang”, memilih atau
diharuskan memilih alternatif yang kedua. Dan mereka, seper-
tijuga sebagian dari mereka yang memilih alternatif pertama,
tumbuh dan mekar dengan cepat, jauh melebihi kepatutan
yang biasa. “This is a revolution” ketika air yang dimasak
telah sampai ke titik didih. Dalam suasana ini bukan saja segala
ukuran dari keteraturan lama harus diistirahatkan, bentuk lan-
dasan baru dalam segala aspek kehidupan pun perlu pula di-Sa a
cari dan ditemukan. Kalgu saja hanya tatanan lama yang harus
terus dipelihara dan dielus-elus dan kalau saja landasan,baru
yang lebih sesuai tidak dicari, maka untuk apakah semua pe-
ngorbanan itu? “Atgukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan/
kemenangan dau harapan/atau tidak untuk apa-apa” —dan Chairil
Anwar, seorang teman akrab Asrul, yang bersamanya ingin
“menguak takdir” hanya bertanya saja. Ketika akhirnya ke-
daulatan negara didapat, pencarian ini terus berlanjut mes-
kipun dalam waktu bersamaan berbagai usaha untuk men-
dapatkan kembali suasana "zaman normal” mulai dirintis oleh
bermulanya proses birokratisasi. "Surat Kepercayaan Gelang-
gang” bukan saja sebuah cetusan sikap kultural —“kami ada-
lah ali waris yang sah dari kebudayaan dunia”— tetapi juga
sikap tethadap sejarah — “revolusi di tanah air kami sendiri
belum selesai”.
Tahun 1950-an adalah periode ekonomi-politik yang me- .
ngenaskan. Betapa besar harapan akan keajaiban kemerdeka-
an, tetapi betapa tak ajaibnya kemerdekaan itu ketika ia telah
datang. Kemerdekaan dan kedaulatan bukan saja perwujudan
politik dari harkat kemanusiaan, tetapi ternyata adalah pula
tanggung jawab.yang menuntut pengabdian tanpa henti. Ke-
merdekaan adalah janji yang harus dipenuhi. Berbagai ke-
kecewaan pun bermunculan. Berbagai tragedi sosial yang di-
timbulkan oleh ketinggian harapan yang tak terpenuhi pun
tehampar di sana dan di sini. Saling pengertian politik dan
air mata berjatuhan sebagai korban dari kekecewaan yang
semakin kosmik itu. "Stagnasi” dan “krisis” adalah dua kata
yang sering dipakai Asrul manakala ia melayangkan pan-
dangan ke situasi umum tanah air. Ia pun dengan helaan napas
panjang menulis, “Jakarta bukanlah kota yang menyebabkan
kita kaget dari bulan ke bulan. Biarpun kita pergi setahun la-
manya yang kita temui kemudian ialah keadaan yang sama.
Kegundahan bagai padang pasir dan suasana yang penat dan
jemu’”
Tetapi periode ini adalah pula saat ketika segala impian
dan khayal dan, terutama segala cita dan visi tentang bangsa
dan masyarakat, tentang kebudayaan dan kecendekiaan, diru-
muskan dan dipertentangkan. Tahun 1950-an adalah ”zaman
romantik” dari sejarah republik ketika pikiran dan cita bisa
jauh melayang melampaui kenyataan empiris dan saat semua
—hampir semua— asumsi kultural lama, yang kolonial dan
yang telah “ditradisionalkan” dimasalahkan. Landasan filo-
sofis dan akademis untuk mendapatkan “kembali” hak untuk
mempunyai sejarah sendiri yang otokhton, dicari dan diperde-
batkan. "Zaman romantik” ini menciptakan bazaar kebudaya-
an, wilayah yang memberi tempat bagi berbagai simbol kebu-
dayaan dari mana pun datangnya dan siapa pun yang tampil
sebagai pialangnya menawarkan dirinya. Jika saja dianggap
dapat memenuhi kebutuhan dan mendapatkan “harga” yang,
sesuai, maka lakulah simbol itu dan menjadi bagian dari per-
bendaharaan kultural baru. Keterbukaan mungkin terlalu ber-
lebih-lebihan, tetapi begitulah kecenderungannya. Eksplorasi
dalam pemikiran, Eksperimen dalam ide. “Ini masa sekarang,”
kkatanya, “masa saya sendiri adalah masa penemuan yang in-
tensif.” Tetapi semuanya harus diperdebatkan. Semuanya ha-
rus didiskusikan, Maka bukanlah suatu ironi kalau sementara
RRI sibuk memperdengarkan keroncong Bandar Jakarta, se-
dangkan Radio Angkatan Udara asyik memutarkan Vaya con
Dios dalam acara "pilihan pendengar”-nya yang populer.
Pada tahun-tahun ini, luka dan duka revolusi masih dalam
membekas dan keterhentian sejarah akibat kolonialisme masih
merupakan sebuah realitas sosial yang keras. Salah satu contoh
yang jelas dari keterhentian sejarah ini bisa terlihat pada betapa
Sangat terbatasnya jumlah mereka yang telah berkenalan de-
ngan dunia kata-kata yang tertulis. Contoh yang lain ialah
betapa sedikitnya jumlah kaum terpelajar. Mereka seakan-
akan pulau yang terpencil di tengah Jautan masyarakat bangsa
yang masih terpuruk dalam situasi lisan. Tetapi bukanlah se-
buah ironi kalau dikatakan bahwa ketika itu pulalah pulau
yang terpencil ini memperlakukan belézenheid —keluasanbucaan— bukan sekadar kebajikan, tetapi keharusan yang tak
bisa ditawar untuk bisa tampil dalam berbagai proses wacana,
discourse.
Belezenheid — ebuah kebajikan intelektual yang kini, di
saat hampir 90 per sen penduduk negeri resmi telah bebas
buta huruf, tampaknya nyaris terlupakan—memberi kemung-
kinan perluasan pengetahuan dan wawasan serta menjanjikan
perspektif perbandingan yang lebih luas. Bagaimanakah di
sana dan bagaimana sebaiknya di sini? Keluasan bacaan ada-
Jah pula faktor utama yang memungkinkan terjadinya dialog
yang kreatif dan intens dengan realitas. Tak kurang penting-
nya keluasan bacaan ini memberikan perasaan kesezamanan
dengan dunia luar. Rasa kesezamanan adalah pengingkaran
akan keasingan kultural dan pembebasan intelektual dari
kungkungan keharusan struktural dan dari keterpukauan kon-
sep persambungan sejarah yang linier.
Maka mestikah diherankan kalau setelah revolusi yang
mempertanyakan semua meletus, dan kemerdekaan bangsa
yang sedang terus diperjuangkan dianggap sebagai kenisca-
yaan yang tidak terbantahkan, perasaan kesezamaan ini pun
tampil juga sebagai pendorong dari lahirnya “Surat Keperca-
yaan Gelanggang”? Belum sampai satu setengah dasawarsa
pernyataan akan perlunya “semboyan yang tegas” dicetuskan
Sutan Takdir Alisyahbana dalam perdebatan yang kemudian
lebih dikenal sebagai Polemik Kebudayaan. Kini Asrul telah tam-
pil dengan sikap yang lebih radikal, tetapi sekaligus juga lebih
kosmopolitan dan, meskipun kedengarannya ironis, boleh ju-
ga dikatakan lebih nasionalistis. Situasi revolusi telah menjadi-
kan sikap Kultural yang dipancarkan oleh "Surat Kepercaya-
an” lebih berakar pada kesadaran sejarah.
Kedua pernyataan kebudayaan ini sama-sama bertolak
dari sikap yang dengan sangat keras dan radikal dirumuskan
‘Takdir, bahwa kebudayaan pra-Indonesia “telah mati, semati-
matinya”. Karena itulah landasan kebudayaan baru harus di-
cari bagi bangsa baru yang sedang tumbuh ini. Takdir pun
xii
tanpa ragu untuk melihat ke Barat sebagai sumber inspirasi.
Tetapi dalam mencari landasan baru itu “Surat Kepercayaan”
mengingkari batas Barat dan Timur. "Kebiasaan untuk mem-
pertentangkan kebudayaan Barat dan kebudayaan Timur, me-
nurut saya,” katanya, “dapat dikembalikan kepada kehendak
mencari alasan.” Jadi, sesuatu yang bikinan, yangartifical. As-
rul pun menjadikan dirinya sebagai “ahli waris yang sah dari
kebudayaan dunia”, Masalahnya ialah, katanya dengan ele-
gant pada kesempatan lain, "Ke-Indonesia-an kita adalah ke-
Indonesia-an yang belum pernah ditemui dalam sejarah Kita
sendiri. Kita adalah tragedi dan kemenangan”. Jadi, pengaku-
an sebagai “ahli waris” bukanlah sebuah sikap yang pasif,
yang siap menerima dan melalap semua dari segala penjuru,
tetapi sebuah perjuangan. Dalam proses ini sejarah perjuangan
pembentukan bangsa harus dipakai sebagai bahan pelajaran
yang tak kering-keringnya, karena perjuangan itu sendiri ma-
sih terus berlanjut. ”Ahli waris” adalah pernyataan sikap kul-
tural yang kosmopolitan, yang meniadakan secara konseptual
peniruan, adaptasi, akultuirasi, dan sejenisnya. Bukankah yang
diterima adalah sesuatu yang memang telah milik kita—seca-
rakonseptual? Dari sikap ini pulalah harga diri sebagai bangsa
harus ditegakkan. “Mengapa kita tidak mau memperlihatkan
bahwa kita muda, telanjang, dan segar? Apakah Kita tiba-tiba
harus tua karena Eropa telah tua?”
Asrul tidak mengatakan bahwa ia adalah pejuang kebu-
dayaan, tetapi pada usia muda, di saat tempaan revolusi masih
kuat membelit dirinya, ia berkata, "Dapat tidaknya kita mem-
beri isi Kemerdekaan tergantung kepada dapat tidaknya kita
membangunkan (sic) kebudayaan, ini adalah jiwa dari segala
perbuatan routine yang kita temui sehari-hari.” Baginya kebu-
dayaan adalah konsep lahir dari "totalitas kehidupan”. Kebu-
dayaan tak ubahnya dengan sebuah sungai yang mengairi ke-
hidupan bangsa. Melalui simbol-simbol yang dipantulkannya
kebudayan adalah pula kekuatan integratif. Para budayawan
dan seniman yang memperkaya kehidupan kebudayaan bu-
willlkanlah semata-mata tenaga kreatif, tetapi juga adalah “hati
nurani bangsa”. Karena itulah, di atas segala-galanya “kejujur-
an”, atau lebih tepat integritas pribadi sebagai pencipta adalah’
kemutlakan yang tak bisa diganggu-gugat oleh seorang buda-
yawan dan seniman.
Tetapi, bagaimaha politik? Tahun-tahun 1950-an adalah
"zaman romantik” kebudayaan yang melihat kecenderungan
politik tanah air seperti karikatur yang kadang-kaidang lucu,
tetapi tak jarang menjengkelkan. “Ah, politik tidak lairy dari
potongan-potongan etik yang mengambang tidak berakar ke-
mampuan, bukan perlakuan terhadap kenyataan”. Apalagi
‘menurut penilaiannya, “politik... hanya mengenal keumuman
dan tidak mau mengenal variasi’. Tetapi, siapakah yang tidak
akan sinié terhadap situasi politik dalam tahun 1950-an? Asrul,
seperti banyak cendekiawan lain, yarig telah terbuai oleh im-
pian bahwa demokrasi adalah suatu keharusan yang tidak
terbantahkan, sangat kritis terhadap situasi yang pernah dise-
but Hatta sebagai “ultra demokrasi”, Maka Asrul pun jengkel
melihat perjalanan demokrasi yang lebih memperlihatkan
“suatu lagak dan bukan keyakinan” atau tak lebih daripada
“pose buat jiwa pesolek"”
Tahun 1950-an adalah mungkin sebuah periode ketika
peristiwa politik tezhampar sebagai karikatur, tetapi periode
ini adalah pula saat eksplorasi ide-ide yang intensif. Dalam
periode inilah pula sikap keterbukaan yang kritis mulai dipu-
puk, Asrul mungkin salah satu contoh yang terpintar, tetapi
ia tidaklah unik. Ja adalah bagian dari pergumulan intelektual
dan kultural yang menjadi ciri khas dari "zaman romantik”
yang sedang mencoba untuk membina tradisi dialog yang se-
hhat. Asrul adalah bagian dari kegairahan kultural yang akhis-
nya harus tethenti akibat penetrasi yang semakin menukik
jauh ke dalam dari pertentangan ideologi dan politik ke ham-
pir semua wilayah kehidupan. "Surat Kepercayaan” adalah
suara yang murni dari idealisme muda yang masih belum
“berdosa”, yang percaya bahwa setelah perang usai, sebuak
dunia yang telah lebih arif akan muncul dan berkembang, Per-
nyataan kultural ini lahir ketika Barat yang sedemikian perka-
sa di zaman Sutan Takdir Alisyahbana menyerukan “sembo-
yan yang tegas”-nya, telah memperlihatkan kekerdilannya
‘sendiri dan bahkan telah pula dilawan dengan berhasil. "Surat
kepercayaan” adalah pantulan harga diri yang sedang tumbuh.
+ Kini, dalam tinjauan ke belakang tampaklah pula bahwa
‘Asrul dan dan kawan-kawannya adalah bagian dari pergolak-
an antara hasrat kebebasan dengan tekanan keharusan struk-
tural yang semakin hegemonik dan dominan. Ketika dominasi
itu telah semakin mengental, maka habislah pula tempat bagi
‘eksplorasi yang bebas. Sebuah zaman pun telah pula berakhit.
Dilihat dari kejauhan, tahun-tahun 1950-an adalah sebuah
zaman yang dipenuhi oleh segala pengandaian — Bagaimana
Kalau....” Sedemikian banyak hal yang semestinya tak perlu
terjadi, tetapi terjadi, Sedemikian banyak hal yang “mungkin”
menjadi “tak mungkin”. Sebuah “laboratorium sejarah” —ka-
lau saja kata ini tidak terlalu menggangu— telah terhampar
tentang kegairahan dan kegelisahan sebuah bangsa baru da-
Jam negara baru. Maka betapa ruginya kalau saja periode ini
dibiarkan terancam "kepunahan” dalam ingatan kolektif. Ke-
hilangan sejarah karena amnesia sosial yang dipelihara bukan-
lah saja berarti hilangnya bahan perbandingan, tetapi juga le-
nyapnya salah satu sumber kearifan.
m
Buku ini bukanlah sebuah memoir dan tidak pula hanya
sekadar sebuah kompilasi dari apa yang pernah ditulis. Meski-
pun merupakan kumpulan tulisan, buku ini adalah sebuah
pertanggungjawaban intelektual tentang apa yang telah dipi-
kirkan, direnungkan, dan dikatakan. Buku ini adalah pula se-
buah laporan tentang berbagai dialog kebudayaan yang telah
dilakukan pengarangnya. Karena itulah, buku ini bisa dilihat
sebagai sebuah kesaksian tentang perubahan suasana zaman
yang telah dialami — sejak tahun 1948 sampai pertengahan
xxvtahun 1990-an.
Empat atau lima puluh tahun hanyalah sedetik saja dalam
sejarah umat manusia, tetapi adalah sebuah pergolakan inte-
lektual yang panjang bagi seorang yang kreatif. Ia bukan saja
harass bergumul dengan segala corak kendala yang bisa meng-
halangi kebebasan mengarungi lautan pemikiran kebudayaan,
tetapi juga dengan segala kemungkinan yang direnungkan-
nya. Betapa melelaltkan. Tetapi, di sinilah salah satu keunggul-
an Asrul. la tetus saja tampil, seakan-akan ia masih tetap Asrul
mitda yang selalu kritis, yang senantiasa menuntut kejelasan
tentang apa saja dan yang tidak pernah membiarkan kata-
kata besar dan “mahal” dipakai sebagai perisai untuk meng-
hindar dari perumusan yang substansial. Ia terus saja menjadi
seorang Asrul yang tidak pernah membiarkan rasionalitas
tenggelam begitu saja dalam suasana aesthetik dan gaya li-
terer. Sdmpai dengan tulisannya yang terakhir, ia tetap juga
memperlihatkan belezenheid-nya dan napas kulturalnya yang
kosmopolitan
Tetapi, pergantian sejarah dan perjalanan biografi bukan
tidak meninggalkan bekas pada teks-teks yang dihasilkannya.
Siapakah yang bisa terbebas dari tirani waktu? Siapakah pula
yang sanggup bertahan lama dari perubahan keharusan struk-
tural? Maka suara yang meledak-ledak dan yang selalu mem-
pertanyakan, makin lama makin mereda juga. Semakin lama
tulisan-tulisannya semakin bernada informatif dan sugestif,
Tetapi, lebih penting dari pertukaran gaya ialah keluasan wila-
yah yang dijelajahi. Jika masa awal lebih ditandai kecende-
rungan Asrul membicarakan kebudayaan dari kaca mata sas-
tera, masa-masa setelah awal tahun 1960-an sastera telah men-
jadi salah satu perwujudan kebudayaan saja. Asrul —lagi-lagi
dengan sangat intens— menjelajahi masalah perwujudan ke-
budayaan yang lain, terutama teater dan film. Tulisan-tulisan
Asrul tentang kedua wilayah seni pertunjukan ini adalah “ba-
caan wajib” bagi siapa pun yang ingin mendalami kedua mas-
alah ini, Salah seorang pendiri dan pengajar Akademi Teater
xvi
Indonesia yang pernah “berjaya” dalam dunia teater di tanah
air kita, tulisan Asrul bukan saja memperlihatkan keterlibatan-
nya dalam dunia ini, tetapi juga pengetahuan yang mendalam
tentang sejarah teater. Salah seorang sutradara film yang se-
rius, yang pernah tampil dengan film terbaik dalam Festival
Asia, dan salah seorang penulis skenario terbaik, Asrul tidak
saja bisa berteori tentang berbagai permasalahan film sebagai
ekspresi kesenian, tetapi juga menganalisis segala hal menge-
nai produksi, distribusi, bahkan juga sensor film. Tulisan teore-
tis Asrul tentang hubungan film dan sastera adalah sebuah
karya yang ditempa dari renungan teori dan pengalaman em-
irik,
, Akhimya apa lagi yang akan dikatakan, selain mengulang
kembali apa yang selama ini telah dikatakan orang banyak —
orang-orang yang biasa mengikuti wacana kultural di tanah
air kita— bahwa kumpulan tulisan ini membuktikan bahwa
Asrul Sani, si penyair yang ingin "menguak takdir” (ataukah
‘Takdir, sang pujangga baru?), si penulis skenario Naga Bonar
dan sekian banyak lagi, dan si sutradara Apa yang Kau Cari
Palupi?, dan sekian film lagi, adalah salah seorang esais Indo-
nesia yang terbaik. Ia juga salah seorang seniman yang paling
terpelajar dan paling kosmopolit. Maka tulisan-tulisannya bu-
kan saja memancarkan kejernihan pikiran dan keluasan penge-
tahuan, tetapi juga kebeningan dan, kadang-kadang, kilatan
literer.
Maka terbuktilah bahwa ia adalah salah seorang tokoh
‘Angkatan ’45 yang terpenting —diakui ataupun tidak. Bukan-
kab ia yang mulai “bikin perkara”? Bukankah ia pula yang,
enggan berhenti dari "perkara” yang telah dimulainya itu
‘Terbukti pulalah bahwa ia adalah salah seorang pemikir kebu-
dayaan modern yang cukup penting dalam sejarah pemikiran
kita.
Taufik AbdullahDAFTAR IST
Pengantar dari Penyunting “
Pengantar oleh Dr. Taufik Abdullah.
Dua Surat Kepercayaan ..... : wal
Surat Kepercayaan Gelanggang (1s). 3
Surat Kepercayaan (1967)
Dunia Sastera “7
Deadlock pada Puisi Emosi-Semata (1948) . 9
Serba Manusia dalam Roman Emest
Hemingway (1948) .
Sobekan dati Orang tak Berasal (1948),
Dari Catatan atas Kertas Merah Jambu (1949)
Surat Kiriman (1949)...
Una conversasion con la muerte (1950)
Surat Singkat tentang Esai (1951)
Dokumenter-puitis 8 (ak bertangza)
Soal Bacaan (1951)...
Penyair Vercors (1951).
Dua Hasil Realisme Italia (1951)
‘Sebuah Pembelaan (1951)...
Sontani dan Huxley (1951)...
Sebuah Kisah Supernaturalistis (1951)
‘Angkatan ‘47 di Jerman (1953) ..
Pembahasan Orang-orang yang Kenes (1953)
Penyait dan Daerahnya (1953) 106
Simposion Kesusasteraan Indonesia di Jakarta (1953)... 110
Apakah “Krawang-Bekasi” sebuah Pagiat? (as 121
Chairil Anwar (1954) : svssnnes 130)Salah Sangka Sekitar Kata “Krisis” (1955) su 133
Richard Wright: Seniman yang Jadi Intelektual (1956) 140
Masalah Kedudukan Sastera dalam Film aad 148
Dunia Tan Suang U (1989) 167
‘Tradisi Humanisme dalam Sastera ‘Bara
Indonesia (1990).. 174
Transformasi Novel ke dalam Film (1991) .
Soal Moral yang Korup (1995)
Dunia Teater cnn : : 205
Badan Dana yang Dibutuhkan (1953)... : 207
Medium yang Disia-siakan (1953)
Tidak dengan Pemerintah (1953)
Sebuah Drama Jean Anouilh (1953)
Teater dan Pendidikan Masyarakat (1956) .
Fungsi Teater (1971)
Pemikiran dan Saran-saran tentang Pengembangan
Seni Pertunjukan Kontemporer/Modern (1973) «0... 255
Bahasa Indonesia dalam Film dan Teater
Modern (1978)..
‘Teater Modern Indonesia: Konsepsi dan
Orientasi (1986)
lain, Sekat, dan Kebebasan Berkarya (1990) .
Dunia Perfilman see 299
Film Indonesia dan Film "Dosa Tak Berampun” (1951)... 301
Sensor Film (1952)... :
Karikatur sebuah Impian (1954).
Film dan Sensor Ditinjau dari Sudut Kreasi (1957)
Sumbangan Artis Film Terhadap Pembangunan
Jiwa Bangsa (1958)...
Membangun Industri Film Nasional (1961).
Film Delapan Setengah” dan Festival
Film Moskow (1963)... 347
Sikap Kreatif dalam Pembuatan Film Indonesia (1976) .... 358
316
320
331
340
xxx
Orlentasi Film Indonesia Masa Kini (1975) .
SeBuah Kejadian Kecil (1977)...
Fugsi Kritik & Kritikus sebagai Lampu Suar (1981).
Perhbinaan Perfilman dalam Menghadapi
Perkembangan Teknologi Modem (1983)...
Aspek Ekonomi Film Indonesia sebagai
Produk Dalam Negeri (1984) 422
‘Tantangan Baru buat KFT (1985) 431
PERFINI, Pemula Film Nasional (1987) 440
‘Upaya Meletakkan Film Indonesia pada
Peta Bumi Sinema Internasional (1988)... 451
DanAMPAI Datang Lagi (1991)
Film Indonesia (1992) .
Dunia Seni-Budaya ..
Suatu Lyris Instrument (1948) ..
Komponis Simandjuntak (1948) .
Harapan dari Tanah Gersang (1951)
Beberapa Perbandingan (1951)
Surat dari Jakarta (1951, 1956) .
Sumber-sumber Kecil di Tengah Air (1953) .
Surat Terbuka bagi Walikota Baru (1954) .
Pidato Depan Walikota (1954) 1...
‘Tanggung Jawab Kesenian dalam Kerangka
‘Kebudayaan Indonesia (1986)
45 Tahun Menyertai Turun-naik Kehidupan
Kebudayaan Indonesia di Jakarta Cissy
Bukan Pajangan (1991) ..
Dunia Selainnya
‘Taman Siswa dan Pak Said (1948)
Fragmen Keadaan (1950-1951)
Kita dan Eropa (1954)....
Indonesia Bicara buat Diri Sendiri (1956).
Pertemuan Pertama dengan Baitullah (1968)......
xxxi‘Memproyeksi Pemikiran ke Masa Depan (1967)
Semua Hipokrisi Harus Punah (1967).
Ibu Kami adalah Jakarta (1968)...
Pembinaan Generasi Muda (1976)
Bahan untuk Sebuah Satir (1990)
voi
Dua Surat KepercayaanSURAT KEPERCAYAAN GELANGGANG.
KAM adalah ablii waris yang sah dari kebudayaan dunia dan
kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami
lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi
kami adalah kumpulan campur-baur dari mana dunia-dunia
baru yang sehat dapat dilahirkan.
Ke-Indonesia-an kami tidak semata-mata karena kulit kami
yang sawo matang, rambut kami yang hitam atau tulang pe-
lipis kami yang menjorok ke depan, tetapi lebih banyak oleh
apa yang diutarakan oleh wujud pernyataan hati dan pikiran
Kami
Kami tidak akan memberikan suatu kata ikatan untuk ke-
budayaan Indonesia. Kalau kami berbicara tentang kebuda-
yan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap hasil ke-
‘budayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi
kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang,
schat, Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan ber-
bagai-bagai rangsang suara yang disebabkan suara-suara yang
dilontarkan dari segala sudut dunia dan yang kemudian dilon-
tarkan kembali dalam bentuk suara sendiri. Kami akan menen-
tang segala usaha-usaha yang mempersempit dan mengha-
angi tidak betulnya pemeriksaan ukuran nilai.
Revolusi bagi kami ialah penempatan nilai-nilai baru atas
nilai-nilai usang yang harus dihancurkan, Demikian kami ber-
pendapat bahwa revolusi di tanah air kami sendiri belum se-
lesai
Dalam penemuan kami, kami mungkin tidak selalu asli;
yang pokok ditemui itu ialah manusia, Dalam cara kami men-
‘ari, membahas dan menelaahlah kami membawea sifat senditi.
Penghargaan kami terhadap keadaan keliling (masyarakat)
3adalah penghargaan orang-orang yang mengetahui adanya
saling pengaruh antara masyarakat dan seniman.
Jakarta, 18 Februari 1950
SURAT KEPERCAYAAN
SUDAH menjadi kebiasaan bagi hampir segenap majalah kebu-
dayaan untuk mempergunakan halaman pertama penerbitan-
nya yang pertama sebagai tempat untuk memaparkan pro-
gram majalah tersebut. Program berarti gerakan, perpindahan
dari tahap yang satu ke tahap yang lain untuk mencapai tujuan
yang sudah dirumuskan terlebih dahulu. Tujuan majalah ada-
Jah tujuan dan idaman seluruh rakyat Indonesia: membentuk
masyarakat ber-Tuhan di mana tidak ada kezaliman, di mana
keadilan berkuasa, di mana kemakmuran menjadi milik ber-
samla, Dan program majalah ini dirumuskan menurut kondisi
perjuangan rakyat kita menuju tujuan tersebut.
Dengan ini jelaslah bahwa dalam penildian kita, kita akan
memberikan tempat yang sentral pada permasalahan masya-
rakat dan kehidupan. Kita tidak berpegang pada semboyan
“kata untuk kata, puisi untuk puisi”. Kita tidak mau melepas-
kan sajak dari fungsi sosial dan komunikatifnya. Adalah hal
yang wajar jika seniman mencipta berdasarkan masalah-mas-
alah konkret yang diakibatkan oleh ketegangan-ketegangan
miasyarakat di mana ia hidup. Kita tidak menolak “isme” apa
pun dalam kesenian — artinya “isme” dalam kesenian bagi
kita tidak penting sama sekali. Yang penting adalah gaya pri-
badi seniman yang ia pergunakan untuk mengungkap sesuatu
yang hendak ia sampaikan pada masyarakat.
Tidak usah dikatakan lagi bahwa kita adalah penentang
yang keras pendirian “politik adalah panglima”. Pendirian
ini telah menghambat kebebasan seniman dan telah menjadi-
kan seluruh kehidupan kreatif menjadi korup. Pendirian ini
telah mengingkari hak tanggung jawab dan kebebasan me-
milih pertanggungan jawab kaum seniman dan inteligensia
5(budayawan), dengan memaksa mereka menyerahkan per-
tanggunan jawab itu pada suatu ideologi, pada suatu sistem
pemikiran yang bersifat memaksa.
(Orang barangkali akan berkata bahwa bahaya ini sudah tidak
ada lagi. Inisalah sangka yang berbahaya dan optimisme yang
palsu. Karena, biarpun yang merumuskan ini kaum komunis,
pendirian ini sebenarnya bukanlah pada mereka saja kita tem.
Masalah yang dihadapi bangsa kita sekarang, masalah yang,
lazim disebutkan orang masalah “pembangunan”, sebetulnya
adalah masalah “modernisasi”. Dalam hal ini kita bisa belajar
dari sejarah, bukan dari sejarah bangsa kita sendiri saja, tapi
dari sejarah seluruh dunia, Karena lebih lagi dari kurun-kurun
zaman yang lewat, sekarang ini lebih jelas bahwa kita adalah
hasil dari pergolakan sejarah dunia.
Dalam proses sejarah ini kita melihat kecondongan seku-
larisasi yang ekstrem dan peremehan agama —jika tidak dapat
dikataKan penyingkirannya sama sekali — yang menghasilkan
peradaban teknologi yang, tinggi— tapi tanpa “social direc-
tion” atau “bimbingan sosial” yang hanya dapat diberikan
oleh agama. Agama sebagai kesatuan yang merupakan peng-
ikat dan memberi bentuk batin kesatuan kebudayaan.
Sekularisasi ekstrem yang pada suatu saat memberikan ni-
lai religius pada demokrasi, nasionalisme, sosialisme sebagai
pengganti agama. Akibatnya adalah, penggeseran tanggung
jawab seniman dan budayawan daripada tanggung jawabnya
yang sebenamya. Kami ingin waspada terhadap ini.
Sesungguhnya kami percaya firman Tuhan yang terkan-
dung dalam Al-Qur’an:
aa ence, Lac cette fe eo 4
roan alae Tyee
“Mereka bakal ditimpa kehinaan di mana saja ditemukan,
kecuali kalau mereka berpegang pada tali Allah dan tali ma-
nusia”. (Ali Imran, 112).
Gelanggang, No. 1, Th.1, Desember 1966
Dunia Sastra’ DEADLOCK PADA PUISI EMOSI-SEMATA.
50
PADA‘pesta penyair-penyair di mana dihidangkan air kata-
kata lepassuatu kebebasan yang selama ini diikat oleh berbagai
norma dan dogma. Kebebasan ini yang mula-mmulanya berben-
tuk kebebasan dikehendaki akhimnya dibawa ruap yang tinggi;
ia hampir menjadi “avontuux”, sampai‘datang pagi hari dan
segala ruap hilang, badan lemas dan hari barudari marta dan
dengan datar apa dimulaisKalau.Seorang penyair duduk di
tepi tentpat tidurnya, ia mgit kelonggaran yang didlaminya
kentatin. Tétapitkalau menyangka bahwa kelonggaran itu ke-
Bebasar yang sebenamya;‘inaka ia lupa membedakan bagian
dari keseluruhan dan ia meninggalkarrbagian yang satu untuk
masuk ke bagian yang lain, meninggalkan suatu dogma untuk
tmengamil dogma yang lain.
-Di-atas ini saya coba memberikan gambaran tentang per-
ubahan perjalanan seni bersyair di sini. Kita.akan mencoba
memperdith gambaran yang jelas dari permulaan sampai ke
bkhir. ‘ ae
». Kalau kita perhatikan sajak-sajak yang dilahirkan oleh pe-
nyair Indonesia sekarang, generasi sekarang, generasi saya
Sendiri, maka akan kelihatanlah sesuatu anasir'yang kuat dan
yang langsung memberi'cap, yaitu emosi. Emosi pada penyair
sekarang. Apakah tidak pesimistis benar jika kita mengatakan
“deaidlock pada puisi emosi-semata”, sedangkan kita tahubah-
wa emosi ini Bolehy dikatakan ideritik dengan penyair Indo-
nesia sekarang, tanya seorang saudara barangkali. Ya, tetapi
menurut kiraan saya, dalam soal ini kita tidak usah disebut
pesimistis karena mengeluarkan ucapan seperti ini, bahkan
‘ucapan ini teruntuk bagi orang yang optimistis yang melihat
jalan jalan yang makin lama makin tinggi bagi kesusasteraan
9Indonesia, hanya jalan yang diambil ini salah karena tidak
ada waktu untuk memikirkan lebih lanjut.
Sebetulnya tidak sulit untuk membenarkan bahwa emosi
itu tidak dapat diceraikan dari puisi. Emosi adalah tenaga
pendorong dalam penciptaan dan keras-tidaknya tekanan su-
ara yang dikeluarkan syair itu tergantung pada kuat-tidaknya
emosi yang diterima penyair untuk menolong dia mentrans-
mitir perasaan. Tetapi di sini terdapat kesalahan tentang apa
yang ditransmitir. Hanya boleh dikatakan di sini bahwa sela-
ma seorang penyair belum menjadi “burgerlijk”, maka selama
itu ia tidak akan ditinggalkan emosi.
Sekarang, yang menjadi soal ialah bagaimana kedudukan
emosi-pada sajak-sajak sekarang ini. Dan sekiranya puisi dan
emosiini tidak dapat diceraikan, bagaimana kita dapat sampai
kepada ucapan “deadlock pada puisi emosi-semata’ ini, karena
serentak dengan itu kita meniadakan kemungkinan untuk
menciptakan sajak. Ya, disinilah letaknya "berbahayanya” ucap-
an ini jika belum terbentuk pengertiannya yang sebenarnya
Pada puisi emosi-semata ini, emosi itu sudah geobjectiveerd.
Apa yang pada dasarnya “bukan ujud” —seperti saya katakan
tadi, ia hanyalah pendorong— sekarang telah dianggap seba-
gai “ujud”. Tentu saja perbuatan ini mempunyai akibat. Satu-
satunya jalan untuk mengetahui akibatnya inj ialah menjalani
dari akarnya, bahkan dari proses sebelumnya untuk terus me-
lalui batang, supaya kemudian sampai ke konsekuensi-kon-
sekuensinya dan bertanya jika telah sampai di sana: “What now!”
Liat Pujangga Baru. Jika kita membaca dan mencoba me-
rasakan nikmat sajak-sajak penyair-penyair Pujangga Baru,
maka saya kira dapatlah digeneralisirkan suatu dasar: kein.
dahan. Seni yang dihasilkan oleh Pujangga Baru ialah seni
yang hendak memperoleh kedudukan sebagai “usaha yang
‘menghasilkan keindahan”. Ini tidak mengherankan jika kita
hubungkan pengaruh kaum ‘80 di Negeri Belanda pada mere-
ka, Tidak mengherankan kalau mereka dalam ucapan menge-
luarkan melodi: “geboren wit zonnegloren” dan rindu-dendam
10
darj Seen 2ucht van de ziedende zee”, pendek kata "Perkinans”.
Apakah mereka sampai pada “originaliteit” tidak usah diper-
soalkan karena dalam soal ini tidak juga akan dapat diadakan
generalisasi . .
Pujangga Baru mencoba memperoleh “keindahannya” ini
dengan segala bunga kata, royal dengan “beeldspraak” (kata per-
bandingan) dan dengan mengemukakan segala yang puitis.
Biat sembilan tahun lamanya mereka berdebat tentang kebe-
basan, tetapi hasilnya tidak ada. Barangkali ada didapat jiwa
German-analytis mereka yang menempatkan filsafat dalam
kepalanya, tetapi tidak dalam penghidupan, suatu kepuasan,
tetapi praktisnya yang terdapat ialah kepandaian ambil-
mengambil objek puitis dan subjek puitis yang akhirnya mem-
perlihatkan gambaran yang berputar di sekeliling sebuah titik
Sumbangan yang harus diberikan tidak dapat diberikan lagi,
karena segala keindahan telah habis dinyanyikan. Saya kira,
orang Pujangga Baru tidak pernah bertanya “what not” Karena
hidup terlampau tenang, mereka terus, terus, sehingga suatu
‘masa mereka sampai di dunia yang baru. Tetapi pendapat me-
eka tidak berubah sampai ada orang yang tertawa di jauhan
dan berkata, "E, dogmatis.”
Kepercayaan Pujangga Baru ini pada "keindahan” telah
menyebabkan mereka menganggap pengertian itu sebagai
“ujud” —"'ujud” dari puisi— tidak lagi sebagai anasir. Apakah
dasar “mutlak semutlak-mutlaknya” ini dapat diterima?
Untuk ini kita harus mengemukakan pertanyaan, apakah,
seni? Dengan pertanyaan ini kita tiba-tiba telah ada saja di
tengah-tengah orang sedang berkelahi. Tidak mudah keluar
dengan selamat, dengan tidak beroleh luka-luka atau sekurang-
kurangnya bebas dari bengkak-bengkak disebabkan segala
persetanan ini. Di sini saya tidak akan mengemukakan kata
ikatan yang mudah diserang orang. Lagi pula ia tidak begitu
penting. Karena dalam zaman teror kata-kata seperti sekarang
ini kata ikatan tidak mempunyai kekuatan sama sekali.
Pertanyaan ini hanya dikemukakan untuk dapat diteruskan
srpada “atas apakah didasarkan seni” dan selanjutnya sampai
pada tujuan kita apakah dapat diterima "keindahan” sebagai
dasar seni,
Definisi keindahan tidak ada — artinya tidak seorang aes-
thetikus pu’ yang dapat memberikan definisi yang.dapat di-
terima sebagai keumuman. Apalagi variasinya keindahan ini
banyak: keindahan dalam alam berbeda dengan keindahan
dalam seni seperti kata pengarang wanita Virgirtia Woolf da-
lam “Orlando"nya: "Green in nature i8 one thing, green in litera-
ture another”. Ucapan yang menyatakan bahwa yang indah
itu ialah yang bersahaja atau yang baik atau yang benar mem-
punyai pertentangan dalam dirinya sendiri sehingga mudah
diserang. Tetapi dapat dikatakari bahwa keindahan itu’me-
nimbulkan kesenangart— pleasure. Sehingga seni yang dida-
sarkan pada keindahan ini menjadi seni yang bertujuan: kese-
nangan. Pengikatan seni dart kesenangan ini umum dipakai
orang. Pengikatan ini timbul setelah “seni totaliter” yang ter-
dapat di abad pertengahan hilang:dari bumi. Pengikatan ini
diantarkan orang ke tanah air kita. Pengikatan menempatkan
seni pada tempat yang lebih rendah — sekunder atau tertier.
Pernah seorang tuan yang berpendidikah juga mengatakan
—waktu saya memperkatakan perjuangan bangsa Indonesia
dengannya—ucapan yang berikut, “Sekarang tidak ada wak-
tu untuk seni, tidak ada waktu untuk kesenangan, untuk ba-
rang luks.” Saya tidak hendak menamai tuan ini "burgerlijk”,
tetapi konsepriya itu burgerlijk benar.
Set bukaniah sesuatu yang kurang perlu. Ini dapat kita
lihat dari umumya dan usaha yang dilakukan buatnya. Beribu-
ribu manusia dikerahkan untuk mendirikan gedung komidi,
membuat cat, kertas, mencelak, dan sebagainya. Untuk apa
segalanya ini kalau ia kurang perlu. ‘
Dasar Pujangga Baru ini tidak dapat dibenarkan atau dite-
rima. Mereka telah mendirikan rumah afas alas yang tidak
sempurna.
Pujangga Baru dalam mencari-cari rumah beroleh sebuah
12
kamar, celakanya dengan beroleh kamar itu, ia menyangka-
kan beroleh rumah.
Dalam kamar di seberang kamar Pujangga Baru itu, diam
pula sekarang anak muda yang menamakan dirinya "angkatan
baru”.
+ Dengart segera angkatan yang baru datang ini merombak
norma dan dogma yang dibawa Pujangga Baru. Jiwa kehen-
dak bebas yang baru dibawanya mengatasi kekuatan. Sifat
tidak stabil yang dilekatkan keadaan kepadanya menyebab-
karrkelincahan gerakan. Konsepsi keindahan dalatn puisi yang
dibawa oleh Pujangga Baru ditukarnya.
Angkatan ini melihat bahwa pada Pujangga Baru tidak
ada lagi hidup, sebab itudikemukakannya perkataan! hidup,
Dan terhadap seni PBv-yang sudah “burgerijk” itu dikemuka~
kannya “emosi” sebagai antipode. Sebagai-antipode, bukan
sebagai polariteit yang lain. Dengan ini sebetulnya ia hanya
mengadakan pergantian dogma, sekiranya keadaannya telah
sedemikian rupa, sehingga boleh disebut dogma. ;
Segala tabir-tabir tebal dikuakkan. Tempat-tempat suci ti-
dak pada tempatnya lagi sekarang. Segala yang tidak dapat
dipakai dalam "paham hidup di dunia” ini dibuang.. Dogma
nya‘ialah dogma: dunia. Tidak patut lagi ia berbicdra tentang
raja-raja kayangan dan putri-putri surga
Kebajikan dari proses ini ialah, ia telah berusaha melepas-
kan kita dari sikap mystis kepada suatu sikap'yang problematis,
kepada “bagaimana dan méngapa setiap saat” yang menim-
bulkan “spanning” untuk penciptaan kebudayaan. Tentang
soal mystis dan problematis ini tentu tidak dapat diselesaikan
demikian saja. Tidak mudah menukar kekekalan dengan saat.
Konflik yang terdapat di sini besar. Ia menghendaki penye-
lidikan yang lebih luas. Tetapi pendek kata, dalam pukulan
genta inilah terletaknya kebajikannya. Ia menghendaki sesu-
atu yang lain dari manusia yang dilahirkan fatal. Apa yang
lain ini belum dapat ia perlihatkan dalam sajak-sajaknya. Di
sini sebetulnya terletak tragiknya. Karena tenaganya ia telah
13dapat menghidupkan kembali sajak-sajak Indonesia danytelah
mengungkai garis lingkar yang diperbuat oleh Pujangga Baru.
Motto mula-mula ialah: kebebasan dan hidup. Inf mula.
‘mula. Tetapi kemudian, temyata bahwa motto ini pada dasan.
nya tidak berbunyi: kebebasan dan hidup, tetapi kebebasan
dan dunia. Dengan segera terdapat kontradiksi dalam ucapan
ini karena yang pertama menghendaki keluasan, sedangkan
yang kedua terbatas pada kulit: Rupa-rupanya yang kedua yary
didasarkan pula atas emosi lebih kuat daripada yang pertamne,
sehingga yang pertama jadi timpang. Unsur-unsur emosi yang
‘menjadi dasar ini makin naik ke atas, sehingga yang kelihatare
nya hanyalah dia, Emosi sudah geabjectiveerd,suidah menjadi
sud sehingga dapat puis ita disebutkan puisi emosi-semata,
'uisiemosi-semata ini tidak bermaksud apa-apa i
mengeluarkan “bruto kraht” soja la tidak peak kat bake
ia pada suatu saat akan mengatakan apa-apa. Schingga tidak
usah ia menerima nasib seperti Edgar Allan Poe dalam bebe.
rapa sajaknya di mana ia mengatakan "sesuatu”. la berjalan
cepat Karena tidak ada waktu. Jalannya timpang, tetapi tidak
dihiraukannya atau tidak dipikirkannya, karena lalam usaha,
nya mengeluarkan “brutokrach” a tidak sempat berpikit Pela.
‘annya akhimya sampai ke itik-mat. Ini baginya tidak menjadi
soal. Karena ia tidak memedulikan "gerichtheid” (kesatuan ta.
juan). Untuk pengeluaran tenaganya ia boleh berlari kembali
sekuat-kuatnya, Demikian berturut-turut. Kalau kita hendak
memperkatakan kesusasteraan seperti ini kelak, maka terpaie
salah disebutkan perjalanan bolak-balik ini tempat yang tidak
berubah dan pembangunan yang tidak maju-majunya
Karena “dogma-dunia” yang telah diambil,tertutuplah ja-
lan ke keluasan. Ruangan tempat mengambil obj dan subjek
makin kecil. Sekiranya tak dapat lagi dengan “spontan”, aha
‘mulaidicari-cari untuk timbulnya sajak-sajak buatan yang ka,
dang:-kadang berlaku sangat "theatral” supaya dapat menarik
pethatian, Kehendak untuk memberikan sumbangan tentu
tidak dapat dilaksanakan lagi.
4
« SNatu kesadaran pula terdapat pada angkatan itu: penting-
nya materi dari sajak. Kesadaran ini dijalankan mereka dalam
praktek. Tetapi karena rapatnya hubungart’ materi itu dan
emosi yang diajukan mereka, maka seboleh-bolehnya pema-
kaian ini diserangkumkan. Sehingga sajak-sajak itu tidak lagi
berputar sekeliling ke seluruhan kalimat. Orang bersyair da-
lam "istilah-istilah”, tidak lagi dalam isi suatu-ucapan. Hingga
terdapat sajak-sajak yang hanya berputar sekeliling ucapan-
‘ucapan seperti “itu orang’, “itu api”. Pemakaian ucapan seper-
ti ini tentu tidak ada buruknya, tetapi sajak-sajak yang sema-
ta-mata berputar sekeliling ucapan-ucapan pendek ini tentu
tidak dapat dipertahankan.
Emosi dunia ini mencapai puncaknya pada perempuan,
pada “betina”. Ya, puncak ini begitu tinggi dan variasi yang
dimungkinkan oleh ”puncak” ini sangat sedikit. Dalam men-
cari terus-terusan pada kemungkinan kecil ini dengan muda
kita sampai kepada seni pornografi. Ya, istilah dan pencapan
porniografi ini sebetulnya kata yang sulit dan relatif. Acap
kali ia tergantung pada keadaan keliling dan moral orang
banyak. Dahulu, buku-buku D-H. Lawrence dicap “porno-
grafis”, sekarang tidak ada lagi yang memberikan cap seperti
itu. Ucapan ini amat susah diberi bentuk, tetapi dapat dikata-
kan, bahwa ia mulai dimana "Weltanschauung” tidak kelihatan
dan ia berhenti di mana hal ini lebih menegaskan dirinya.
“"Weltanschawung” susah didapat pada puisi emosi-semata yang
hanya menghendaki “bruto kracht” saja. Hal pornografishanya-
Jah suatu kemungkinan, tetapi kemungkinan ini besar pada
puisi emosi-semata
+ Kita melihat sudah di mana puisi emosi-semata mencari
bahan tenaganya,objekdan subjek-nya. Kita melihat, bagaimana
kecil kantong sumbernya. Semata-mata karena motto "hidup”
yang semula dengan tidak insaf menjadi “dunia” yang ber-
batas pada kulit dan dunia ini ditegakkan pula aias emosi.
Mereka harus tetap emosionil. Kalau tidak matilah mereka,
sebab “Weltanschauung” tidak ada. Untuk meneruskan ini se-
15cara sehat tidak mungkin sekiranya kita tidak hendak disebut
tukang “pengulang Kaji”, Di sini ditemui “deadlock” «dalam
bentuk garis menepi langit sebagai ganti garislingkaran yang
dibuat Pujangga Baru.
Apa sebabnya maka puisi-ini sampai kepada suatu dead:
lock?
Pada permintaan dasar baru ia memberikan jawaban yang
pada hakikatnya berarti “dunia” dan bukan hidup. Di sint
terdapat penduniaan penyair-penyair Indonesia. Sepintas lal
Kelihatannya seperti “hidup’, tetapi karena ia tidak dapat
‘mengatasi syasana-pesimistis yang ada dalam dunia mereka
dan keyakinan kepada kesulitan dan kegetiran —inj dengan
Secara mudah dilisankan mereka dengan "menghukum dan
Gihukum’-— maka mereka menyangka bahwa inilah-hidup,
tidak sadar bahwa yang dilihat oleh mereka bukanlah sub
stansi tetapi sifat kulit yang berubah setiap waktu. Ini pula
makanya mereka sangat problematis yang sebetulnya bukan
Sikap problematis yang berdasar, dan mereka takut melepaskan
diri dari kenyataan ini, takut dikatakan mereka tidak hidup.
Jadi, salahnya terdapat, pada konsepsi hidup
Kalau sudah ada pandangan seperti ini, sudah tentu tidak
dapat lagi dikeataskan sesuatu yang terletak sebelah dalam,
disekeliling mana segala-gala yang terjadi pada manusia ber,
ular. Konsepsi manusia mereka bukanlsh konsepsi orang.
Seorang, bagaimana “individualjstis” pun kelihatan sajak-sa
jaknya. Manusia mereka, ialah tulang berkulit bergumul dalam
Kegetiran atau orang banyak. Apa yang dibangkitkan oleh
“sesuatu” dalam manusia seorang itu tidak dihitaukan, Se.
dangkan yang disebut “sesuatu” inilah sebetulnya yang dise.
but manusia,
Karena ini, permainan hanya dapat dilakukan atas per-
mukaan air. Kalau permukaan air telah dilayari segalanya,
maka selesailah kewajiban; pada suatu waktu kapal boleh
disimpan dalam gudang.
Pujangga Baru terlampau lama berbicara tentang kasih ma-
16
\
\
nal kasih. Pujangga
Angkatan seni sekarang tidak mengenal
Baru Miiatanya berdusta lala dijuinya perassan yang
ini, Inilah akibat dari tidak da-
terdapat pada segala manusia ees
nya engatasi keadaan, tidak dapatnya ia samp: a
‘persooniihed” yang riulo-mula ada diturjlcannya etept
at diberinya bentuk atau dirumuskannya. Ia
Kelemalian, Hanya akurin-binatang jlang yang disanghakan
kekuatan. Kekuatan barangkali benar, tetapiapakab oe
‘ i fa kita mei -
fat; manusia dan hidup. Sudah sepatutny: =
fan ‘perbybungan dengan aku-binatang.jalang ini yang B =
hakkatnyasangat ec tertekan ke sult dan tidak bere
atan untuk merangkum segala yang luas. Kita menghendaki
rumah dan bukan kamar. ;
"Pokoknya ialah Koreksi Kembali dan menempatkan emos!
ada tempat pendorong, tidak lagi sebagai sesuatu yang hen-
Cakalitranemitir Pokokyaialah penyelaman mengerti hidup
lebin dalam dan memperolehkebebasan untuk mencrima se-
gala sudut dan segi yang diperlihatkannya baik “natural” atau:
Pena samp i "gigantis" yang menyeluruh
Kita harus sampai pada puisi "gigantis” yang,
— sebagai immbangan dari rabekan robekan sepintaslalu yang
diberikan emosi— yang mempunyai sumber pada serba ma~
nasi, serbahidup yang fak terbatas pada dunia. Dalam puis
ini emosi hanya pendorong “perasaan” yang dialami peny:
ik dirasakan oleh penikmat. | a
oe Dealac pus emosi-semata tidak terietak pada materi at
bentuk, tetapi terletak pada kesalahan: pandangan yang me-
nyatakan bahwa penglihatan sebentar adalah “substansi’
WwSIMPOSION KESUSASTERAAN INDONESIA
DIJAKARTA.
ADALAH inisiatip yang baik dari Senat Mahasiswa Fakultet
Kesusasteraan Universitas Indonesia untuk mengadakan
simposion pada kala fakultet ini merayakan Dies Natalis-nya
Yang Ketiga. Kita mengetahui bahwa kalangan luar ‘perguruan
{ingei selama ini sering bertanya kepada diri sendiri mengapa
tidak ada aktivitet yang keluar dari mahasiswa-thahasiwa
Perguruan tinggi yang berkenaan dengan permasalahan kita
sekarang. Sehingga ucapan: perguruan tinggi pusat kebuda-
yan bangsa, kelihatannya tidak lebih dari teori, dan harapan
bahwa dari perguruan akan keluar tenaga mencipta, sampai
sekarang belum lagi nyata. Sungguhpun begitu, janganlah
orang terburu berkecil hati, karena pada akhir bulan ini riyata
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk memasuki masi/ara-
kat oleh golongan tersebut. Mahasiswa-mahasiswa mulai me-
ninggalkan gedung perguruannya, meninggalkan buku-Buki-
nya, dan pergi memeriksa kenyataan yang ada di fanah ait
kita yang molek tetapi sengsara ini, Demikien juga dalam soal
kesusasteraan. Pertemuan pertama kali antare mahasiswa-
mahasiswa yang mempelajari kesusasteraan dan sasterawar”
sasterawan sendiri sudah terjadi lebih dahulu dari ini, Dan
pada malam simposion yang hendak saya kabarkan, ketua
senat mahasiswa fakultet sastera ‘menyatakan bahwa perte-
Aluan-pertemuan kesusasteraan dengan kalangan sasterawa?
akan lebih sering dilakukan, Beberapa tokoh kesusasteraa"
kita memang telah memasuki lingkungan universitet sepertir
misalnya, Saudara H.B. Jassin yang sekarang menjadi dose”
di sana -Di duar negeri adalah menjadi kebiasaan universitet
‘universitet mengundang pengarang-pengarang yang ter}
n0
untuk mengadakan ceramah selama masa tertentu tentang"
sesuatu selama masa kesusasteraan. Hal ini tentu juga dapat
dilakukan oleh fakultet kegusasteraan kita.
Jumlah pengunjung bolehlah disebutkan menggembirakan.
Panitia mengatakan, lebihdari yang disangka semula. Kejadi-
an ini rupanya dianggap.kejadian yang patut diketahui oleh
umum dengan lebih Tuas, sehingga bagian-bagian pembuat
film berita dari PEN. dan Persari malam itu kita lihat bekerja.
Pogramma adalah sebagai berikut. Pertama, Ketua senat
‘membuka pertemuan, kemudian Kasim Mansur antara lain
membacakan sajak-sajak Dodong Djiwapradja, Iwan Sima-
tupang, Harijadi S, Hartowardojo, dan St. Nuraini. Kemudian
ke muka pembicara-pembicara: Bahrum Rangkutidengan aca-
ya “Aspek dan fungsi agama dalam perkembangan kesusas-
teraan Indonesia madern” dengan titel tambahan “Kelesuan
sebagai sumber tenaga dan kegiatan’. Yang jadi pendebat
jalah Saudara Wiratmo Sukito. Pembicara kedua, Saudara Bu-
Yung Saleh berbicara tentang “Latar belakang kemasyarakat-
an dalam kesusasteraan Indonesia”. Pendebat, Saudara Anas
Ma‘rut,
Kalau kita lihat susunan pembicara yang ada dengan aliran-
aliran yang mereka anut, maka kita bertanya: apa yang menye-
babkan maka senabmahasiswa memilih justru mereka ini
eens mau menakar suasana dan penyelidikan, dan dila-
{tan di luar perguruan tinggi atau orang mau dihibur dengan
yenacam sensasi yang disebabkan pertentangan. Apakah
Y2nG Orang kehendaki penuturan dan tangkisan sampai ke
berkant ferkecil atau orang hanya mau melihat adu kepintaran
Kepaje Katena bagi saya simposion ini mengingatkan kita
pte ra uatbat-debat yang sering diadakan sebelum perang
asa tthammadiyah dengan Ahmadiah, antara Islam dan
masinn : Keduanya sama yakin kepada kepercayaan masing-
nyu eet R8Ea tidakiah mungkin diperoleh hasil yang me-
nurut ee apalagi karena ia dilakukan di depan umum. Me-
"mat saya sumber dari pembuatan susunan pembica-
m1aan ini adalah sangat primitip: orang mau melihat sentacam
“perkelahian”. Orang bukan hendak memungut pelajatati, tapi
hendak menonton. Ita makanya Islam Rangkuti dihadapkan
ke Katholik Wiratmo Sukito, itu makanya dialektis rhaterslis-
tis Buyung Saleh dihadapkan dengan Anas Ma'ruf yarig bukan
Marxist. Sebetulnya orang harus mengadakan pertemuan an-
tara seorang pengarang Islam dengan pengarang Islam lain,
misalnya Rangkuti menghadapi Hamka atau siapa pun, dan
seorang Marxist atau seorang sosial realis juga dengan se-
orang Marxist atau sosial-realis, misalnya Buyung Saleh meng-
hadapi Bakri Siregar atau Hr. Bandaharo. Orang barangkali
akan mengatakan: ya, tapi mereka itu sependapat sebab itu
tidak bisa berdebat. Ini tidak benar.
Memang mereka pada pangkalnya bersesuaian, tapi dalam
perincian mereka tentu berbeda, mereka tidak mungkin uni-
form. Sungguhpun misalnya Asrul Sani dan Rivai Apin duduk
dalam satu redaksi, toh dulu mereka pernah mengadakan
semacam polemik dalam "Gelanggang” ini, Mereka mengerti
istilah masing-masing, tapi mereka berbeda dalam pemakaian
istilah-istilah itu, Jadi, hal itu tidaklah akan jadi berlarut-larut
dan kemungkinan salah paham mudah dihindarkan. Demikian
juga halnya dengan pengarang-pengarang Lekra. Sungguhpun
dari luar mereka kelihatannya seperti "bubur” campur aduk
tak berbeda (ceramah Buyung Saleh pada malam ini tak berbe-
da dengan prae-advies S. Dharta di konperensi kebudayaa”
di Bandung tempo hari), toh di antara mereka itu tentu ad@
terdapat perbedaan paham. Kalau tidak, maka mereka bukat~
lah lagi pengarang, tapi serdadu yang menerima perint
Kita dapat mendengarkan sampai ke mana kejauhan dan ket
jaman mereka dalam pemeriksaan dan perdebatan-perdeba™
an tak usah tertegun, karena pembicara mengatakan: ya, itt
pandangan hidup, tak dapat saya ubah. Karena pesbedaat
pandangan hidup ini perdebatan sering-sering merepet-TeP'
ke soal lain, soal-soal yang takperlu bagi pembahasan kesuss
teraan. Kita harap moga-moga pengambil-pengambil inisi#
12
simposion akari memikirkan ini.
Rangkutitampil ke depan dengan segala kebesaran tubuh
dan kelantangary suaranya. Ia mulai dengan banyak sekali
bunga-bunga perbandingan dan ucapan-ucapannya seperti
“sibbuyung merigepek si upik” malam ini juga sering terdengar.
Kita mengharap’akan inendengarkan darinya soal-soal agama
dalam kesusasteraan, tapi ia memberikan dengan secara ber-
belit-belit dan melelahkan keinginannya sendiri: telaahlah
Islam. Saya juga suka mendengarkan ceramah-ceramah Islam,
‘api kalau saya berangkat dari rumah untuk mendengarkan_
seseorang berbicara tentang aspek-aspek agama dalam kesu-
sasteraan, maka kecewa hati saya jika mendengarkan orang
itu mengatakan: telaahlah agama. Lain tidak. Rangkuti ada
‘membawa-bawa késusasteraan Indonesia, tapi kesusasteraan
ini hanya dipakainya sebagai kapstok di mana ia gantungkan
hobbynya sendiri: mémpelajari agama. Dengan kebanyakan
bunga kata —sehingga kita merasa seolah-olah minum teh
kebanyakan gula— dengan tiada basa-basi Rangkuti menyu-
"egahkan segala isi kepalanya yang tidak tersusun. Pembicara
ini tidak tahu disiplin dan rupa-rupanya tak tahu batas, hal
Yang sering kita jumpai dalam rapat-rapat Indonesia, tapi
7ans tidak kita harapkan dari orang sebagai Bahrum Rangku-
ena, jika orang meminta kita untuk membicarakan meja,
saemah Kita tontonkan pengetahuan kita tentang lemari.
x ‘uruh ceramahnya itu hanya diisi dengan pengetahuan feit
"Ng banyak, tapi tidak dibangunkan secara problemati
huang 8 Rangkuti orangnya bukan problematis. Pengeta-
mmasaig Patyak. Tapi ia bukanlah orang yang menciptakan
Paes adalah seorang pemberita hanya. Rangkuti membi-
(dalam 822, apt tak sekali juga ditanyakan kepada dirinya
jad keeramahnya it) apakah agama di Indonesia ini sudah
dayean eh) 2°? Apakah yang terdapat di Indonesia ini Kebu-
In kepada eit! bat Agama Islam. Rangkuti tidak menanya-
Arab oo242 diinya, apakah fungsi kata dalam kebudayaan
"masa mereka berada dalam kebesaran, dan apakah
113Arraniri dan memuj-myji
;pelajari mereka (hal yang
‘@ yang lain ingin lakukan)
sudin P;
mereks, dan menganjurkan gan
ganjurk
saya senditi atau Saudara sauder
pi ia tidak kemukakan apakah p
tasauf Indonesia ini Pekerjaan-
lonesia ini -peke
anata nda 2 9PHGinasukkn edlam eon
Apakah buah-
sia yang bersifat sastera,
Ucapa
ia tidak di
esa, seperti Supit, Hamka, dan sebagainya. Tapi ia hanya
finggal menyebut Saja. Tiada ia jelaskan, bagaimana Hamka
tmongerakartdslam dalam buku-bukunya, tiada ia jelaskan,
ampai ke mana kekuatan yang diperoleh oleh pengarang
Hamka dari agama untuk menjadikan karangan-karanganny2,
apakah Islam hanya sebagai pembimbing atau lumbung kebe=
raran, ataukah juga pernah Hamka jadikan pelbagal ajaran
Islam menjadi masalah dalam buku-bukunya seperti misalnya
pernah dilakukan oleh pengarang seperti Bernanos?
Tentang titel tambahan: Kelesuan sebagai sumber tenaga
an kegiatan. Sampai sekarang saya tidak mengerti apa yang
pembicara maksud dengan ini. Adaia singgung beberapa kali,
‘elapi penyinggungannya seolah-olah sesuata yang tiba-tiba
jatuh dari langit, tak berakar tak berujung dan tak mempunyai
hubungan dengan apa pun. Hanya satu dapat saya katakan,
yaitu,setelah Saudara Bahrum Rangkuti membacakan pidato-
nya yang sangat panjang dan berbelit-belit itu, kita merasa
sangat lelah.
_ Kemudian datang pendebatnya, Wiratmo Sukito yang ber-
bicara lebih sederhana dari Bahrum Rangkuti. Kewajiban Sau-
dara ini berat juga, berhubung Rangkuti sangat sedikit menge-
tuatian pendapat ‘yang berhubungan dengan pokok acaranya.
‘oh Saudara Wiratmo masih dapat mengadakan pidato yang
Panjang. Juga pendebat menanyakan, apakah Rangkuti ber-
Pendapat bahwa di Indonesia ini agama sudah menjadi kebu-
‘ayaan. Tetapi selanjutnya ia adalah penghafal nama dan teori
Yangrajin Ta mulai menyebut nama Plato, Sappho, Aristopha-
es Marcel, Jacob, Bemanos, masih sempat ‘untuk membuat
fetta Fingkas dari sebuah buku Niko Kazantzakis, bahkan
a an pengarang Jerman Hans Werner Richter. Entah
20a sebabnya Fans Werner Richter dibava serta di sini dan
nah’ bee ean, saya tidak mengerti. Kebetulan saya per~
Sy at karangan-Karangan pengarang Jeronan in sehingga
do ida merasa bahwa ucapannya patut dijadikan alasan
Petsoalan ini, Barangkali hanya untuk melaksanakan
m5EE an
be lana-mana. Banyak
re aes Sekali teori dan cerita, tapi kenyataan aa
‘Yang tidak disinggung jika dibandis
y lingkan dengan panj.
capan mereka, ka Rangkuti mengueaplan eager ee
roan tidak berkurang karena in
1nd a eRe akan disebutkan oleh Buyung Saleh kita rada-
sasteraan don, Barangkali ia akan mengatakan bahwa kest
sasteraan fee 1288 dua, Kesusasteraan borjuis dan kesu
ee es lal, barangkali juga ia akan mengatakan seperti
tani, Darang pendukung kebudayaan adalah buruh dan
adalah diseecnt 83 22 akan mengatakan bahwa kemajuan
ne an oleh yang lama yang bertahan, dan yang
lahirah Be Cees? (kedua ini bertumbuk dan dari keduanya
Vidualist at” atau ia akan pakai kata-kata feodal, indi
muanya istic a’: Kapitalis, imperialis, dan sebagainya,se-
eng at an Yang begitu saja kita dapat dengar dari setiap
Penganut paham dialektis-materialistis ‘yang fanatik dan tidak
116
kita. Sayang sekali hal ini tak dapat ia lakukan disebabkan
berbagai fqktor yang tidak mengizinkan, pertama oleh waktu
yang tak banyak lagi tinggal dan kedua oleh karena salah
paham (demikian diberitakan), antara Buyung Saleh dan pani-
tia simposion. Jadi, yang dilakukan oleh Buyung Saleh ialah
‘mencobakan resep yang terkenal. Buyung Saleh berpendapat
bahwa kesusasteraan Indonesia berpangkal pada kesusaste-
raan Melayu lama, dan kesusasteraan Melayu lama ini adalah
kesusasteraan feodal yang tumbuh di dalam masyarakat yang
terpencil-pencil dan autarkis. Abdullah bin Abdulkadir Mun-
syi adalah tunas terakhir dari kesusasteraan Melayu lama
tersebut, yang merupakan jembatan dengan kesusasteraan
Indonesia (Baru), dan ia adalah buah hasil (resultante) keadaan
perubahan dari masyarakat feodal ke masyarakat kapitalis.
Kesusasteraan Angkatan ‘20 adalah kesusasteraan Bour-
geuois yang didukung oleh kelas tengah yang merupakan
buah hasil masyarakat setengah kapitalis di Indonesia. Kesu-
sasteraan ini jelas mencermirikan akulturasi antara kebudaya-
an feodal Melayu-Indonesia dan kebudayaan bourgeuois Ero-
pa-Belanda. Romantik menguasai masa ini. ”Pujangga Baru”
pada pokoknya adalah lanjutan Angkatan ‘20 dan tidak mem-
bawa sesuatu yang baru. Akulturasi berjalan lebih jauh dan
‘semangat bourgeuois menjadi lebih kuat lagi. Kesadaran seba-
8ai staatnatie semakin kuat dan timbullah cita-cita untuk men-
jadi kultuurnatie. Di sini mulai timbul realisme. Kesusasteraan_
Indonesia zaman pendudukan Jepang mendapat kemajuan
terutama karena adanya penghargaan masyarakat yang lebih
besar kepada bahasa Indonesia sebagai bahasa intelektual
dan literer, dan kedua karena bertambahnya kesempatan me-
laksanakan susastera tersebut, sehingga banyak tumbuh tunas
baru. Di lapangan kemasyarakatan bourgeuoisi menjadi lebih
kuat. Selanjutnya Buyung Saleh menyatakan bahwa prokla-
tmasi Indonesia telah membawa demokrasi yang lebih banyak.
‘Suatu hal yang menguntungkan kesusasteraan. Ja melihat pe-
"garuh kebudayaan bourgeuois Eropa makin besar dan di
17ubak jadi vaio Ss
Jedi pendapat Buyung Saleh 9 Saudara akan ber
Apa yang.
\g dikemukak,
Pendapat iis cae
Teor (Saat Ra PI a Serta meres en oy Ung bukanah
aiknya) dan mencobakanryn ni ut
se blah mera 3 Ma
ipakai Bu-
di sini, Ba
igaimana per-
at dianggap benar, dan
Melayu lama, i
iam is ty it dai kesusasterann
sebenarmyaakhinite el Batu, Jika kita bee ea Pe
make akan kelibatan erent 28 dimana permulang i
ini sanggahne pala sekalilah bahwasanggahonan
Felaiteya nat menyean MeneBetAan nyawa dy bce
: enyerang pemakaian kata Bourgeue paoteh
ois ole
pemakaian istilah ini adalah konsekuensi dari cara berpikir
Buyung Saleh, dan jika orang mau menyerang ini maka orang
tidak akan menyerang sebuah istilah dan pemakaiannya, tapi
cara berpikir orang itu. Apakah ajaran yang diperdengarkan
oleh Buyung Saleh ajaran yang benar atau patut disangsikan
Jebenarannya. Dalam usala Anas untuk membahas lawannya,
ia sampai-sampai mengatakan bahwa istilah-istilah seperti
“staatsnatie” dan “Kultuurnatie” tidak ada dalam kitab kamus
sebab itu tidak, usah saja dihiraukan. Anas berbicara terus,
orang mulai tambah banyak pulang. "Saudara tidak tinjau
kesusasteraan dari sudut sosiologi”, Kata Anas. Orang tambah
banyak pulang, Anas membacakan sitat Jerman. Orang pulang,
juga. Anas membacakan sitat Inggris. Ada seorang anak gadis
bergaun biru tegak dan melangkah ke luar. Gadis ini mema-
kai baju dansa yang panjang dan rupanya molek sekali. Rupa-
nyaia mengirabahwa “simposion” adalah suatu perkataan asing,
yang tak ia kenal untuk pengertian ”malam dansa’’. Ia berjalan
dengan malu-malu antara Kursi sambil mengangkat gaunnya
itu sedikit. Di jendela ada terpasang kertas kecil ditulis huruf
balok dengan kata “Kalau mau keluar harap jangan meloncati
jendela”, Gadis tadi lewat pintu dengan hormatnya.
Maka selesailah Anas dan orang bertepuk.
Ada rupanya sifat pada Anas, purbasangka, jika ia meng-
hadapi seseorang, maka dalam hatinya ia selalu berkata, “Sau-
tiara tidak tahu bahwa...”; "Saudara tidak tahu bahwa...,”
lu ia mulai menekan lawannya yang ia sangka tidak tah itu,
Seseorang yang pernah berdebat tentu tahu bahwa purba-
faneke ini adalah sangat salah sekali. Kita harus menganggep
[ivan kita sebagai orang penuh, yang tahu apa yang ia sebut-
" yang arif akan arti istilah-istilah yang ia pakai. Jika kita
— Purbasangka sebagai penopang, maka topangan itu
ert Patah dan menusuk perut kita sendiri, Demikian pula
a i dengan Anas Ma’ruf. Ia barangkali tidak mengira bah-
‘stan ahtY@ Menguasai istilahnya sebaik-baiknya, istilah-
Yang telah bertahun-tahun dipakai oleh kaum Marxis
19fansur, ” leklamasikan ol F
seperti "Hai kawan Stalin...” don setenatart es
‘yat mengirimkan y; againya. Rupa-
Cetbalreporter untuk me-
lemat say in is
= 'ya, tindakan ini
708 menunjukkan penghargean kepada
gunjungi sis :
been i gimposion ini, Menuru
inisiatip tersebut,
Siasat, 20 Desember 1953
120
APAKAH "KRAWANG-BEKASI”
SEBUAH PLAGIAAT?
Surat terbuka pada penyair dan pemtinat sastera
APAKAH tulisan di bawah ini pernah dipersoalkan orang,
tidaklah saya ketahui. Tetapi karena hal ini saya anggap pen-
ting untuk kemurnian hasil sastera kita, maka ia kukemukakan
kepada para penyair — terutama tokoh-tokoh Angkatan 45
dan peminat sastera dengan harapan agar terdapat kejernihan.
yang seharusnya,
Kita semuanya mengenal sajak "Kenang, Kenanglah kami”
ciptaan pujangga alm. Chairil Anwar. Tidaklah terkira betapa
arti jeritan yang digemakan para pahlawan kita yang gugur
selama revolusi dalam sajak ini. Siapa pun membacanya akan
tetharu, Chairil selama ini sungguh berjasa! Chairil dengan
sajaknya selama ini dikenangkan bersama pahlawan-pahla-
wan lain setiap 10 Nopember. Kita bangga mempunyai pujang-
88 yang sedemikian!
Tetapi alangkah terkejutnya saya ketika kebetulan memba-
ca sebuah sajak dalam majalah Reader's Digest bulan Septem-
ber 1945, Volume XLVI no 281, halaman 74, ciptaan Archibald
MacLeish bernama "The Young Dead Soldiers”. Waktu saya
membaca sajak ini, maka tergoncanglah kepercayaanku pada
Chairil Betapa banyak persamaan—untuk tidak mengatakan
hampir sama samasekali—antara sajak Chairil "Kenang, Ke-
nanglah Kami” dan sajak Archibald MacLeish “The Young
Dead Soldiers”, akan kuserahkan untuk diperhatikan pada
Para penyair, terutama pada mereka yang dinamakan Angkat-
an ‘45. Apakah kedua sajak ini secara kebetulan diciptakan
Oleh Chairil dan Archibald MacLeish, tidaklah saya ketahui.
qa=
orang buta, penyiaran 1
7 J adio amatir,
‘oviehatanak-anak sekolh dan banyak lag et
‘mengapa usaha seperti ini tidak
Siasat, 28 uni 1953
210
MEDIUM YANG DISIA-SIAKAN
ORANG tidak usah periksa lama-lama. Dengan bertanya-
tanya ke sana-sini dan mengikuti kesibukan beberapa go-
longan sudah tabu kita, bahwa sandiwara di negeri ini boleh
dikatakan sudah tidak ada lagi. Sandiwara pernah ada, biar-
pun bagaimana kualitas dan tingkatnya. Sedangkan di zaman
Jepang ikatan-ikatan sandiwara timbul di mana-mana. Dan
kini orang bertanya, mengapa keadaan sandiwara kita begitu
buruk dan apa faktor-faktor’yang menyebabkan kehidupan
sandiwara ini mundur dengan nyata, Dalam karangan ini saya
tidak bermaksud membuat analisa tentang sebab-sebab ke-
munduran sandiwara biarpun pengetahuan tentang sebab ini
teramat perly untuk membangunkan sandiwara itu kembali.
Orang sekarang hanya memperhatikan film. Apakah ini
juga berarti bahwa film adalah sandiwara yang lebih sempur-
na? Memang banyak ahli drama dan sarjana 20 tahun yang
Jalu mengatakan bahwa film adalah akhir pencerdasan sandi-
wara. Kemarin kita masih bisa mengemukakan bahwa tidak
mungkin film menjadi akhir sandiwara, karena film adalah
berukuran dua, sedang sandiwara tiga. Tapi dengan muncul-
nya film tiga dimensi kebimbangan timbul kembali dan ber-
. tambah banyak alasan bagi kita untuk menyatakan bahwa
film adalah akhir perkembangan sandiwara. Tapi ini adalah
salah sangka besar dalam memperhatikan masalah sandiwara.
Penamaan akademi drama dan film sebetulnya adalah pena~
maan yang keliru, Karena kedua hal ini tidak dapat disatu-
kan, biarpun dalam beberapa hal lahir ia mempunyai persa-
maan. Seperti, keduanya memerlukan peran, kisah, ruang
pertunjukan dan penonton. Perbedaannya belumlah sebagai
perbedaan seni sastera dan seni lukis. Sungguh pun begitu
2masih juga dapat ditunjukkan garis yang membedakan kedua
medium ini. Dan karena pemisahan ini tidaklah mungkin film
menjadi bentuk sandiwara yang tersempurna, seperti juga
fotografi tidak dapat menggantikan tempat seni lukis, Bahwa
orang lebih memperhatikan film daripada sandiwara, tidak
terletak dalam ketidaksempuraan medium ini —artinya bu-
kan karena ia dianggap sebagai medium seni yang masih belum
‘mencapai bentuknya yang sebetulnya— tapi sebab-sebab itu
terletak di luar medium ini sendiri
Tapi kalau kita tanyakan pada mereka yang sekali-sekali
menonton sandiwara apa pikiran mereka tentang seni ini,
maka sering-sering dalam jawaban mereka kita dikembalikan
kepada keyakinan kekurangan medium ini. Memang di atas
Panggung orang tidak menemui kebebasan ruang seperti ter-
dapat dalam film dan hal-hal atau benda-benda yang dikenal
dalam kehidupan sehari-hari lebih mudah ditemui dalam film
daripada dalam sandiwara. Kehendak-kehendak ini dengan
sungguh-sungguh dikemukakan, sayang sekali ia berada di
luar batas sandiwara. Memang sandiwara pernah mencoba
mendekati keinginan ini, seperti juga kesusasteraan pernah
berusaha mendekati seni lukis. Tapi usaha ini tidak jauth per-
'ya, karena dengan usaha ini sebetulnya tiap-tiap medium
tersebut meniadakan diri sendiri. Naturalisme sandiwara
mencoba meniru kehidupan sehari-hari. Schingga peniruan
ini dijadikan oleh Ibsen untuk tidak memakai puisi di atas
panggung semata, karena menurut pendapatnya sandiwara
puitis tidak fitriah di mulut peran. Lebih-lebih dalam soal
dekor.Jika pengarang mengemukakan latar belakan sebatang
Pohon, sedapat mungkin kaum naturalis membawa sebatang
pohon ke atas panggung.
Pengaruh kaum ini juga sampai kepada kita, sehingga pe-
nonton sering mengatakan bahwa sandiwara dalam soal
dekor sudah maju jika dekor itu telah menyerupai keadaan
sehari-hari. Sebuah kamar misalnya telah merupakan kamat
yang barangkali didiami penonton. Tapi tak ada yang lebih
212
Ho
EES FI
daripada ini. Pemandangan pada kamar dalam
vahalupan Schart ha tergantung kepada keadaan orang
yang memandangnya. Pedagang yang bara sja dapat ntung
aka menganggap Kamar sangatterang dan menggembirakan,
sédangkan suami yang baru ditinggalkan oleh itr yang ia
sayangi akan merasa bahwa kamar it sangat send kelial
annya. Banyak lagi kemangkinan lain, sedangkan ali dekor
yang baik tak boleh membiarkan kemungkinan lain berada,
kecuali kemungkinan yang ia kehendaki. Juga perjalanan ceri-
ta. Percakapan-percakapan yang dita a pangguns
rah yang nyata dan berguna, sedan;
mpunyai art pening dan yang menunjulkkan rentetan ke
jadian sambung bersambung, Kaum naturalis mencoba mem-
Sawakan alam dan dunia sehar-hari ke afas panggung, se
darigkan naturalism panggung alah sandiwara.Naturalisme
yang berada dalam hukum-hukum panggung dan f
inan-kemungkinannya. -
cre ae Vatakan faham naturalisme berpengaruh
di negeri kita. Sedemikian rupa, sehingga oleh penonton ia di
emukakan sebagai syaat Jka dilihat dari sudut ini memang
film lebih sempurna. Tetapi dengan cara begini kita tak lagi
icarakan sandiwara. ;
“ne fun hakam andi erat kemungkinan-kemnungkin-
annsondiri, emungkinan-kemungkinan yang hanya ada pada
dirinya dan tidak didapati dalam seni tain, Karena itu
‘maka sandiwara boleh dianggap penting dan tidak ada alasan
sama sekali untuk menyia-nyakan medi seni yang satu
in, Pada hakikatnya ia tidak dapat dianggap bersaingan de-
‘gan film, bahwa adanya dia memberikan manfaat yang ba-
nyak bagi perkembangan film kita. Pada seat ini dalam dunia
film orang kembli lagi kepada semacam sistem yang disebu
ton-star-system, Dalam praktiknya sistem ini lebih memusat-
an penciptaan film pada dir sutradara. Dan dengan demik
an keluarlah pendapat bahwa sutradaralah yang harus cakap
213betul, peran berada di
L ingkat ke d
* ua,
alt untuk malaksanakan Kehendak sutradara. Ini secera ka
luanya harus sokong-menyc ;
Haid Sica tla memperlhatkan kemunghinng hoe we
angari non-star-system ini dalam. filmnya Pencuri, ‘Sopein San
inj juga akan digolongkan kepada hasil-hasil Klasik cea
arena peran hanya
film, seperti Potemkin, Ibv, dan sebagainya, Di Indonesia
‘mencoba memakai rion-star-system ini Perfini me
mereka pernah lihat atau nikmati
ti. Fantasi merel
menolong mereka banyak seal dalam hain, Mele oars
Pemainsandivara tetapi sutradara mereka akan lebih mudah
‘jaannya daripada kita. Kita juga mengambil contoh. Cu-
;
Toei Jangen pula salah sangka, saya tidak mengatakan bahwa
bear Ca film itu harus menjadi pemain-pemain sandi-
wea tele bh aba Saya mengatakan bahwa kehidupan
mrenorts Ye intenstsbagat latarbelakang akan banyak
Kalau saya tidak salah, I
: ah, lima-enam tahun yang lampau Us-
mat Ismail mengemukakan keinginannya kepada kore pros
214
fesional pemain-pemain sandiwara. fa barangkali beroleh apa
yang ia kehendaki, tapi akhirnya segala kaum profesional
sandiwara ini lari ke film. Saya kira korps profesional ini
bukanlah syarat utama. Sandiwara berbeda daripada seni-
seni lain, tak ubahnya dengan kepandaian memasak. Sebagai-
mana kepandaian memasak sering dipertunjukkan dengan
baik oleh wanita-wanita amatir pemasak —jadi, bukan juru
masak— demikian pula sandiwara menemui kaum penyeret-
nya pada golongan penggemar. Kaum penggemar ini bebas
dari tujuan-tujuan mencari untung dan karena itu lebih berani
mengadakan eksperimen-eksperimen. Eksperimen-eksperi-
men’ yang diperlukan oleh kehidupan sandiwara. Lagi pula
teinyata sekarang kumpulan-kumpulan sandiwara profesio-
nal kita boleh dikatakan hampir lulub-lantak, sehingga bagi
mereka urusan penting betul untuk memenuhi kehendak pe-
nonton, bagaimana rendah pun kehendak ini, apabila kum-
pulan sandiwara itu masih tetap hendak berwujud. Karena
itu dapat dikatakan, sandiwara memanggil penggemar-peng-
gemar.
‘Ada kota-kota Indonesia di mana perkumpulan para peng-
gemar hidup dengan bersemaraknya, seperti misalnya Medan
pada masa sebelum perang. Bagaimana keadaan sekarang,
tidaklah saya ketahui. Mungkin masih ada tapi menurut reka-
rekaan saya kemajuan mereka tidak jauh daripada ketika se-
belum perang. Moga-moga reka-rekaan ini tidak benar.
Bagaimana pentingnya perkumpulan-perkumpulan peng-
gemar sandiwara dapat kita rasakan, jika kita ketahui bahwa
di samping Konperensi Teater Internasional yang kira-kira
dua bulan yang lalu diadakan, juga bersamaan dengan itu
diadakan Konperensi Internasional Penggemar Teater. Tidak
dalam ikatan Unesco tapi dengan bekerjasama erat dngannya.
Inggris mengirim ketua British Drama League dan ahli-ahli
sandiwara yang lain untuk berbicara dalam konperensi peng-
gemar ini. Mereka bukan saja penggemar, tapi juga ahli. De-
ngan ini dinyatakan bahwa tidak ada hubungan penamaan
25Penggemar dengan kualitas sandiwara yang buruk. Mereka
telah sedemikian jauh sehingga mereka mempunyai teates.
teater sendiri dan mereka mempunyai sekolah-sekolah atau
Jeursus-kuursus untuk peran penggemar. Denmark mengambil
sistem Inggris, dan pada waktu ini mereka menerima pelajar-
Pelajar yang datang dari pelbagai kampung. Setiap tahun'di-
adakan semacam festival sandiwara penggemar dan dalam
festival ini kecuali memperebutkan hadiah, mereka juga men.
dapat kesempatan untuk menerima kritik yang sunggul-sung.
guh dari abli-ahli sandiwara yang ada
Rasa hati saya tidaklah begitu jauh saya menggantungkan
Cita-cita, jika saya kemukakan di sini bahwa saat ini ada baile
ya jika di Indonesia didirikan sebuah liga seni drama yang
Derusaha dalam kemajuan-kemajuan seni drama, Salah sate
seal yang musykil pada kita sekarang ini ialah tidak adanya
atau sangat sedikitnya karangan-karartgan sandiwara yang
dikarang oleh pengarang-pengarang Indonesia. Sedangkan
jika yang sedikit ini disaring pula sehingga kita mendapat
Grama-drama yang baik, barangkali tidak ada lagi yang ting-
gal. Tapi Kekurangan ini dapat kita isi dengan mengadaptasi
dramadrama Iuar negeri. Dan ini adalah kewajiban yang
Patut dari liga ini. Juga soal pendidikan sandiwara, soal yang
tak boleh disia-siakan. Banyak orang mengatakan bahwe
bangsa kita mempunyai bakat yang besar untuk bermain san-
diwara. Tapi permainan sandiwara juga menghendald teknik
dan teknik harus dipelajari
Jika Liga Drama ini hendak didirikan, sedapat mungkin
janganlah ia didirikan dengan hubungan pemerintah, Sebik.
baiknya untuk tetap tinggal partikelir Sebagai insiatif partike-
liria lebih dapat dihindarkan dari orang-orang yang hendak
‘mencampuri urusan badan ini bukan untuk kepentingan sar
diwara, tapi untuk kepentingan lain atau kepentingan ditt
sendiri.
Sinsat,30 Agustus 1953
216
TIDAK DENGAN PEMERINTAH
SAN saya berkepala "Medium yang Disia-siakan
dengan Kalimat-kalimat sepet erikut: Pika Liga Drama ii
hendak didiikan sedapat munghin janganlah ia didirkan
dengan hubungan pemetintah Sebsikbaikrya,telap tings
partikel,Sebagaiinisiaifparkeliria lebih dapat dihindar-
kan dari orang-orang yang hendak mencampuriurusan badan
ini bukan untuk kepentingan sandiwara, tapi untuk kepen-
‘in atau kepentingan sendiri.” ;
vn erhubung dengan adanya kalimatkaimat ini maka s-
orang pembaca telah menanyakan kepada saya, mengapa saya
katakan benar supaya Lige tu tidak diirikan dalam hubung-
an dengan pemerintah? Bukankah pemerintah juga harus m«
mikirkan ini? Dan apakah tidak lebih baik jika ada kerja sama
fara pemerintah dan badan ini? ;
ae pertenyaan’ petanyaan ini elas sekali dan dikemukakan
menurutaturan-afuran mode yang mash berlangsung di ne-
geri kita ini. Setiap orang akan dapat mengerti. Saya juga.
hingga dengan demikian barangkali kalimat-kalimat yang sa-
ya tulis itu yang tak dapat dimengerti orang. —
Bagi sya usaha partikelrteramat penting karena badan-
badan partikelic mempunyai semacam keringanan yang tak
terdapat pada badarcbadan pemerintah Saya lebih banyak
meletakkan barapan pada sekolabaskolah partkelir untuk
memperbaiki dan mencapai bentuk pendidikan yang sebail
baiknya bagi anak Indonesia, karena Sekolah-sekolah i
bebas untuk mengadakan percobaan Biarpun dalam suasana
sekarang ini mungkin baru bersifat teori, tapi sekolah parti
kelir bisa mengalahkan pemerintah dengan kualitasnya,dengan
n7