You are on page 1of 47
_ 4OS€ISle Auvual ALISHSAINA OIHO * Make Vivishe ” PENGANTAR PENYUNTING ORANG yang mengikuti perkembangan sastera Indonesia pasti mengetahui tentang “Surat Kepercayaan Gelanggang” yang dianggap sebagai konsep pandangan dunia para senitnan Angkatan '45, Surat Kepercayaan itu sering dikutip dalam ber- bagai buku tentang kesusasteraan Indonesia. Tetapi agaknya tidak banyak yang tahu bahwa konseptor Surat Kepercayaan itu bukanlah Chairil Anwar yang dianggap sebagai pelopor “Angkatan ‘45, melainkan Asrul Sani yang bersama Chairil dan RivaiApin menerbitkan kumpulan Tiga Menguak Taki (1950). Waktu Surat Kepercayaan itu diumumkan (Siasat, Oktober 1950), Chairil Anwar sudah lebih dari setahun meninggal du- nia (April 1949). Sebenarnya sumbangan Asrul dalam dunia sastera Indo- nesia lebih banyak berbentuk esai daripada yang berbentuk sajak dan cerita pendek. Sajak-sajaknya telah saya kumpulkan dalam Mantera (Budaya Jaya, 1975) dan cerita pendeknya telah saya kumpulkan dalam Dari suatu Masa, Dari Suatw Tempat (Pus- taka Jaya, 1972). Kalau dihitung jumlahnya boleh dikatakan tidak seberapa. Tetapi sumbangannya dalam dunia esai itu mungkin tidak diketahui banyak orang, karena pada tahun 1950-an —dasa- warsa paling subur ia menulis esai—dia banyak memperguna- kan nama samaran. Begitu banyak nama samaran yang pernah dipakainya, sehingga ia sendiri lupa apakah sesuatu nama itu nama samarannya atau bukan, Diantara nama yang dia kontir- masikan sebagai nama samarannya ketika saya menemuinya dengan membawa fotokopi karangan-karangan atas nama ‘Asrul Sani dan nama-nama lain yang saya duga nama samar- annya, ialah: Ida Anwar, Idham Mahmud, Ali Akbar, Ali Em- ran, Fadjria Novari, F. Annur, sedangkan nama “Pena” katanya dia pakai bersama dengan penulis lain (dalam majalah Siasat). Asrul Sani sendiri mengatakan bahwa ia menulis dengan ba- nyaknama, supaya tidak ada kesan seakan-akan yang menulis dilndonesia orangnya hanya itu-itu juga. Mémang pada tahun 1950-an jumlah mereka yang sering menulis tidaklah banyak. ‘Tetapi selain jumlahnya, esai-esai Asrul penting untuk di- simak lagi, bukan saja karena isinya yang banyak sekarang pun masih aktual, melainkan juga karena gayanya yang khas. ‘Asrul sadar bahwa esai bukanlah hanya sekadar menyampai- kan pikiran atau pendapat saja. Bahkan dalam makalah atau kertas kerja yang disampaikannya dalam berbagai kesempatan seam pun, ‘Asrul tetap mempertahankan gayanya yang per- sonal Karena itu, setelah mengumpulkan sajak-sajak dan cerita- cerita pendeknya, saya beranggapan perlu sekali mengumpul- kan esai-esainya. Akan tetapi, Jama keinginan itu hanya tinggal keinginan. Baru sekarang dalam hubungan dengan akan ge- nap Asrul Sani berusia 70 tahun, keinginan itu alhamdulillah dapat saya laksanakan, walaupun tidak dapat menjejaki selu- ruh tulisan Asrul yang berceceran di berbagai media. Asrul sendiri tidak mempunyai dokumentasinya ‘Saya memanfaatkan isi perpustakaan PDSH.B. Jassin, de- ngan bantuan Drs. Endo Senggono, namun ternyata tidaklah selengkap yang, saya harapkan. Majalah Siasat yang banyak memuat karangan Asrul tidak lengkap di situ, karena sebagian pernah dipinjam oleh Asrul yang pada waktu itu bermaksud hendak mengumpulkan tulisannya, namun berakhir dengan habis dimakan rayap. Saya pun memanfaatkan dokumentasi Dewan Kesenian Jakarta, dengan batuan Saudara Suwarso, namun tidak segala yang saya cari ada di sana. Dokumentasi Sinematek Indonesia, dengan bantuan Saudara H. Misbach Yusa Biran, dapat dimanfaatkan, tapi terutama hanya me- nyimpan tulisan Asrul yang berhubuhgan dengan film saja —sesuai dengan bidangnya. Di samping itu saya pun meminta Kebaikan Prof. Dr. A. Teeuw di Leiden untuk mengirimkan foto kopi karangan Asrul yang ada dalam dokumentasinya yang belum saya peroleh di tempat lain. Masih ada karangan- karangan Asrul yang saya ingat pernah saya baca dalam surat surat kabar seperti Harian Kami, Kompas, dan lain-lain yang tidak dapat saya temukan karena saya tak dapat melaksana- kan niat hendak-menguras isi Perpustakaan Nasional pada Kunjungan saya bulan Agustus 1996 katena keburu jatuh sakit. Juga karangan Asrul dalam bahasa Inggris yang dimuat dalam majalah Atlantic Monthly (1956) tak dapat ditemukan. Asrul sendiri ingat akan karangannya tentang film dalam majalah Perspektif, tetapi saya tak berhasil memperolehnya. ‘Namun, ada juga karangan yang saya peroleh, tetapi tidak dimuatkan karena saya anggap tidak aktual lagi, atau kurang, setaraf dengan tulisannya yang lain. ‘Seperti akan terlihat, bidang perhatian Asrul tidaklah ha- nya sastera. Bahkan kalau dibandingkan, tulisannya mengenai per- filman lebih banyak daripada tentang sastera. Meskipun ia berangkat dengan menulis sajak dan cerita pendek, tetapi ke- mudian dia memperlihatkan minat yang mendalam terhadap dunia teater, lalu film — dan sekarang sinetron. Dia banyak meyadur atau menerjemahkan dan kemudian menyutradarai lakon-lakon terkenal seperti karya Anton Chekhoy, Jean Paul Sartre, Albert Camus, dan lain-lain. Kemudian dia pun banyak menulis skenario film, baik yang kemudian dia sutradarai sen- diri atau pun disutradarai orang lain. Skenarionya pernah ‘mendapat hadiah di Festival Film Internasional (Lewat Jam Ma- Iam, 1956; Apa Yang Kaucari Palupi?, 1970), sedangkan Piala Citra dalam Festival Film Nasional seakan menjadi “langganannya”. Dan belakangan ini dia banyak menulis skenario untuk sinet- ron berdasarkan karya-karya sastera Indonesia terkenal seperti Siti Nurbaya, Salak Asuhan, Sengsara Membawa Nikmat, dan lain- vii ee a ita Jain yang ternyata cukup memikat penonton. Ketika Dewan Kesenian Jakarta menyelenggarakan pro- yek menerjemahkan lakon dan karya sastera dunia, Asrul ba- nyak mengambilnya. Saya, ketika itu menjadi salah sorang Ketua DKJ, pernah menghitung, ternyata lakon dan roman yang telah diferjemahkan oleh Asrul lebih dari 100 (seratus) judul. Sayang bahwa sebagian besar daripadanya belum di- pentaskan atau diterbitkan. Sebagai intelektual, Asrul juga .terlibat dalam pemikiran tentang pembinaan.generasi muda, tentang masadepan, ten- tang nasib bangsa, yang sesungguhnya semuanya itu menjadi latar pethatiannya ketika dia berbicara tentang teater, tentang film, atau apa pun. Sebenarnyalah, kita jarang mempunyai budayawan intelektual yang mempunyai pandangan dan per- hhatian yang luas dan memiliki kefasihan mengutarakan pen- dapat seperti Asrul. Meskipun pernah terlibat dalam politik, duduk sebagai anggota DPR dari Nahdlatul Ulama (NU), namun Asrul tak pernah sejenak pun meninggalkan dunia kesenian. Dia tak pernah tertarik untuk menjadi politikus, schingga ketika men- jadi anggota DPR pun dia tetap bergelut di dunia kesenian — yang menjadi pilihan hidupnya. Dia terlibat dalam pemben- tukan Dewan Kesenian Jakarta, duduk sebagai anggota Aka- demi Jakarta, menjadi Wakil Ketua Dewan Film Nasional yang konsepnya dia susun. Dan lebih dari itu, dia tak mau hanya menjadi birokrat kesenian, bagi dia lebih penting menciptakan karya seni, sehingga skenario film, skenario sinetron yang ka- dang-kadang dia sutradarai sendiri tetap mengalir daripa- danya, Asrul adalah manusia Indonesia kreatif yang menjadi aset nasional. Dalam menyusun karangan-karangan Asrul ini, saya me- ngelompokkannya menurut bidang yang dibahasnya. Terlebih viii dahulu saya tempatkan "Surat Kepercayaan Gelanggang Se- niman Merdeka’ (1950) dengan "Surat Kepercayaan” (1967) yang merupakan editorial majalah kebudayaan Gelanggang yang dipimpin oleh Asrul (dan hanya terbit beberapa nomer Saja) Meskipun keduanya diumumkan anonim, tapi keduanya ditulis oleh Asrul. Dan keduanya boleh dikatakan menjadi dasar pandangan Asrul dalam melihat segala sesuatu. Karena itu pula, maka kumpulan karangan ini diberi judul Surat-surat Kepercayaan, karena semuanya pada dasarnya merupakan su- rat kepercayaan Asrul dalam menghadapi berbagai masalah. Kelompok karangan tentang sastera didahulukan, karena boleh dikatakan Asrul mulai muncul dalam dunia kesenian dan kebudayaan adalah melalui kesusasteraan — walaupun sebelvimnya ia pernah mencoba bakatnya sebagai penggesek biola dengan belajar kepada Cornel Simandjuntak. Di sini nampak perhatian Asrul yang luas terhadap sastera dunia. Asrul pun sekitar tahun i950 banyak menerjemahkan sajak dari bahasa inggris dan Belanda (antara lain T. S. Eliot, Mars man, dan lain-lain), menaruh pethatian terhadap bentuk-ben- tuk sastera yang berasal dari Barat seperti puisi bebas dan esai. Sebuah studi cukup panjang tentang drama-drama sajak penyair Spanyo] Federico Garcia Lorca, tidak disertakan dalam kumpulan ini karena akan dimuat sebagai pengantar terhadap terjemahan tiga drama Lorca yang akan diterbitkan sebagai buku tersendiri Kelompok karangan kedua adalah tentang teater, karena minat Asrul terpusat pada dunia pentas sebelum masuk ke dunia film — walaupun saatnya miungkin hampir bersamaan. Pada awal tahun 1950-an, tulisan-tulisannya masih suara dari kejauhan, tetapi kemudian menjadi lebih menyatu dengan k giatan teater. Dia bersama H. Usmar Ismail mendirikanAkade- mi Teater Nasional (ATNI) yang sehari-hari dia pimpin. Asrul yang pernah mendapat kesempatan untuk mempelajari teater di Amerika, membawa gagasan teater yang berdasarkan kebe- naran psikologis yang dimulai oleh Konstantin Stanislavsky dan besar pengaruhnya terhadap kelompok teater Actors Stu- dio di New York yang pada waktu itu mencapai masa jayanya. Asrul sendiri kemudian menerjemahkan karya utama Stanis- lavky, Persiapan Seorang Aktor (Pustaka Jaya, 1979). Metode akting itu dipraktekkan Asrul dengan para mahasiswanya da- Jam pementasan karya-karya terjemahan, Dari lembaga ini ke- mudian lahir para aktor, aktris, dan sutradara Indonesia andal- an seperti Ismed M. Noor, Tatiek Malyati, Steve Liem (Teguh Karya), Wahyu Sihombing, Pramana Padmodarmaja, dan lain- lain, Asrul sendiri kemudian menulis drama yang pernah di- sutradarainya dengan sukses: Mahkamah (1989?) Karangan tentang film dimulai dari tahun 1950 ketika ia menulis tentang film Usmar Ismail yang pertama, Dose Tak Berampun. fa menulisnya sebagai pengamat, sama dengan keti- ka dia menulis catatan tentang film Vittorio de Sica, Miracolo @ Milano (Kenjaiban di Milan), waktu film ita diputar di Jakarta. Tetapi dalam tulisan-tulisannya yang lebih kemudian, peranan pengamat sudah ditinggalkannya. Dia berbicara sebagai peser- ta, bahkan kemudian sebagai konseptor tentang kebijaksanaan perfilman nasional. Mungkin dalam hal ini dia lebih menda- Jam memikirkan permasalahan perfilman nasional secara me- nyeluruh daripada H. Usmar Ismail sebagai Bapak Perfilman Nasional. Pandangan dan saran-sarannya sangat realistis dan kalau dilaksanakan akan banyak membantu perkembangan perfilman nasional. Tetapi kebijaksanaan resmi tidak bersama Asrul. Kepentingan uang dan dunia perfilman nasional, sebe- narnya akan dapat dihindarkan kalau para pemodal dalam dunia perfilman Indonesia tidak hanya memikirkan bagaima- na melipatgandakan uangnya dengan cepat saja. Setelah kelompok karangan tentang perfilman, menyu- sul karangan-karangan tentang dunia kesenian dan kebuda- yaan secara umum, Dalam kelompok ini dimuatkan “Surat- surat dari Jakarta” yang ditulis atas nama Ida Anwar dalam majalah Zenith (1951) —meskipun nama itu kemudian dipakai juga oleh penulis lain untuk judul yang sama dalam majalah itu juga. Judul yang sama dengan nama berbeda muncul ke- mudian dalam majalah Siasaf, justru setelah Asrul berhenti sebagai redakturnya. Dalam bentuk surat pula, Ida Anwarme- nulis kepada Sudiro, Walikota Jakarta yang baru diangkat (1954) dan suratnya itu ternyata mendapat perhatian sang wa- likota baru, sehingga para seniman Jakarta untuk pertama kali diundang beramah-tamah di tempat kediaman resminya, di Jalan Surapati. Undangan seperti itu baru terjadi 14 tahun ke- mudian, ketika Gubernur DKI Jakarta mengundang para se- niman di tempat yang sama untuk membahas pembentukan lembaga yang kemudian bernama Dewan Kesenian Jakarta Pada pertemuan 1954, Asrul membacakan “Pidato depan Wa- likota”, dan pada pertemuan 1968, Asrul terpilih menjadi salah seorang dari 7 orang seniman yang dipercaya oleh para seni- man sebagai formatur pembentukan DK. ; Disamping tentang bidang-bidang kegiatan itu, Asrul ju- ga menulis tentang hal-hal lainnya. Itulah yang dikelompok- kan dalam "Dunia Selainnya”. Ada interviunya dengan Moh. Said (almarhum) dari Taman Siswa Jakarta, ada tulisannya yang menguraikan hubungan kita dengan Eropa, ada peng- alamannya pertama kali naik haji, ada ceramahnya tentang pembinaan generasi muda, dan sejumlah kolom yang ditulis untuk majalah dan surat kabar. Pada tahun 1967-9, Asrul s ring menulis kolom untuk harian Kami. Jumlahnya cukup ba- nyak, tapi yang sekarang sempat saya temukan hanya dua, padahal yang saya ingat benar tulisan obituari tentang Sanusi Pane — yang sayang tidak dapat saya temukan. Meskipun demikian apa yang dapat dikumpulkan pun ternyata cukup banyak jumlahnya. Tetapi sebaiknya kalau bisa lebih lengkap. Mudah-mudahan dalam kesempatan lain dapat dikumpulkan juga karangan yang tercecer sekarang. Dalam menyusun karangan-karangan dalam setiap ke- lompok, saya memilih secara kronologis supaya kelihatan per- kembangan pemikiran yang timbul. Kepada Saudara Asrul yang memberi izin untuk me- ngumpulkan karangan-karangannya dan menerbitkannya, saya haturkan terima kasih. Juga kepada istrinya, Mutiara Sani yang berhasil meyakinkan sang suami supaya jangan selalu tidak mengacuhkan penghargaan orang kepada dirinya. Ke- pada SaudaraH. Misbach Yusa Biran, Prof-Dr. A. Teeuy, Endo Senggono, Suwarso, Ahmad Rivai, dan Aga Prayoga yang te- lah memberikan bantuan ketika menyusun naskah ini dalam berbagai tingkatnya, juga saya haturkan terima kasih. Tanpa bantuan mereka mungkin naskah ini tidak bisa diselesaikan pada waktunya, Mudah-mudahan Allah SWT membalas kebaikan budi ‘mereka dengan limpahan rahmat dan rido-Nya. Dan mudah-mudahan usaha ini akan memberikan man- faat bagi perkembangan budaya dan kesenian kita dan mi- dah-mudahan kita benar-benar menjadi bangsa besar yang berbudaya luhur. Amin. Ajip Rosidi Mino, 13 Oktober 1996 xii KATA PENGANTAR 1 PENDEKATAN seperti apakah yang cocok dipakai apabila ber- hadapan dengan sebuah sosok yang seperti tak hentinya ber- pikir dan berbuat secara kreatif? Psikologis? Historis? Atau legalistik? Barangkali meskipun tak terlalu cocok, tetapi agar sejalan dengan “kehendak zaman” di tanah air tercinta ini, lebih afdol kalau didekati saja secara legalistik. Sosok itu di- anggap saja telah membuat suasana intelektual yang “aman dan terkendali” terguncang. Soalnya bukankah yang kreatif itu selalu mempunyai kecenderungan untuk berpikir dan ber- buat di luar hal yang rutin? Dengan pendekatan ini, maka bisalah dikatakan bahwa Asrul Sani telah nyata-nyata “bikin perkara” sejak "Surat Kepercayaan Gelanggang” yang ditulis- ny@ atas namanya dan kawan-kawannya, diumumkan secara terbuka. Seakan-akan merentak dan menerjang teks yang diha- silkannya itu tampil dengan sebuah sikap kultural yang keras. Kalau saja kecenderungan masa kini —pertengahan tahun 1990-an— boleh dipakaikan tethadap peristiwa yang terjadi di tahun 1950 itu, maka “kelakuan“nya ini benar-benar telah "bikin perkara”. Coba saja pikir, ketika itu kedaulatan negara baru saja didapatkan setelah sekian lama perjuangan berdarah dan diplomasi dijalankan. Belum sempat bernapas lega, tiba- tiba negara yang masih sangat muda ini menghadapi-sekian banyak masalah politik, ekonomi, dan bahkan sosial. Di saat seperti itu, tiba-tiba pula Asrul tampil dengan sebuah pernyat: an yang dengan lantang menggugah kesadaran dan orientasi kultural, Baru saja sebuah batas perjalanan sejarah bangsa ber- hasil didirikan dengan darah dan air mata, ia tampil dengan xiii pernyataan kultural yang bisa terasa seperti merelatifkan batas itu— "Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri" ‘Mengapa tidak mengatakan “ahii waris yang syah kebudaya- an nenek-moyang”? Bukankah ini "bikin perkara” namanya? Sebenarnya jika ia berhenti sampai di sini saja dan kalau ia hanya sendirian, masalahnya telah selesai sebelum dibica- rakan. Suaranya yang ternukil dalam teks itu, hanyalah akan diperlakukan sebagai gonggongan anjing di malam buta — kedengaran, tetapi segera berlalu. Tetapi ia terus "bikin perka- ra" Ta juga tidak sendirian. Revolusi yang dikatakannya terjadi di “tanah air kami sendiri” itu menurat penilaiannya "belum selesai”. Kalau belum selesai artinya berbagai tindakan drastis masih dimungkinkan untuk dilakukan, Bukankah “zaman normal” belum datang? Tetapi bukankah pernyatannya itu mengguncang juga kesadaran kultural? Maka dari manakah “perkara” ini harus diusut? Kalau sekiranya “perkara” ini —seperti yang kerap kali diperlakukan terhadap keberanian untuk berpikir bebas yang Jainnya— bisa dipribadikan kepada dirinya, bukan pada sua- sana publik dan gejala sosial-kultural yang sedang mulai tum- buh, maka rasa-rasanya seperti juga dikatakannya, akar-akar- nya bermula di sebuah kota kecamatan. Sebenarnya kota yang terletak di bagian utara Sumatra Barat dan dekat perbatasan ‘Tapanuli ini terlalu kecil untuk disebut kota, tetapi terlalu be- sar dan penting untuk diperlakukan sebagai desa saja. Kalau di-sejarah-kan, maka penduduk kota kecil ini bisa juga menge- nang dengan keharuan dan kebanggaan bahwa kota mereka adalah bagian dari kisah Perang Padri pada awal abad ke-19. Di kota kecil dan historik inilah ia melewati masa kanak-ka- naknya, Di sini ia dengan nyaman mendengarkan dongeng- dongeng yang dibacakan ibunya. Kemudian ketika rasa ke- inginan tahu kanak-kanaknya telah dilengkapi dengan ke- mampuan untuk berhadapan dengan kata-kata yang tertulis, ia, tanpa dimaksud, mulai berkenalan dengan sastera dunia yang belum dipahaminya benar. Meskipun demikian kesan yang dangkal diterimanya ita memberikan juga padanya ber- bagai khayal yang jauh melampauai kungkungan hidup yang rutin dikesenyapan sebuah kota kecil. Nanti, sekian belas ta~ hun kemudian, seorang intelektual Belanda, temannya, terhe- ran-heran memikirkan bagaimana bisa kota sekecil itu meng- hasilkan orang yang berpikiran seperti Asrul. Ta, si intelektual Belanda, memang hanya bertanya. Bagai- mana mungkin? Tetapi barangkali kenangan selintas yang per- nah dikisahkan Bung Hatta bisa juga memberi jawab. Bukan atas pertanyaan ini, tetapi pada suasana yang memungkinkan "keanehan" itu muncul. Sekali, di akhir Oktober tahun 1945, Bung Hatta yang menemani Bung Karno harus ke Surabaya untuk menenangkan barisan-barisan pejuang kemerdekaan yang telah mendesak tentara Sekutu. Dalam perjalanan dari airport ke kota Bung Hatta menaiki sebuah jeep bersama se~ orang opsir tentara Sekutu. Ketika itulah mereka melihat arek- arek Suroboyo yang masih ingusan menyandang senjata, seperti telah siap untuk bertempur melawan siapa saja, di mana dan bila saja. Mengapa anak-anak ini tidak bermain sepak bola di lapangan atau belajar di sekolah, atau menghafal di rumah, atau menolong ayah di kedai atau di sawah? Mengapa? Dan sang opsir pun menjawab pertanyaan yang mungkin melintas dalam pikirannya, “This is a revolution”. Jika saja sang intelek- tual Belanda itu melayangkan angan-angannya sekian tahun ke belakang—sebelum Belanda menerima kedaulatan Repub- likIndonesia— ia pun akan dapat juga menjawab pertanyaan- nya sendiri. ; ‘Memang Asrul dan generasinya tidak bisa dipisahkan dari pengalaman intens yang diciptakan oleh suasana dan per- istiwa revolusi. ”Buat kita,” katanya, “kelampauan sangaterat pettaliannya dengan revolusi.” Bagi generasinya seakan-akan sejarah bermula dan mencapai titik kulminasi dalam suasana revolusi. Pengalaman yang mencekam ini telah mencewasa- kan dan mematangkan generasi ini dengan cepat dan teramat xv cepat-Suasana revolusi ini pula yang mendorong dengar/keras usaha untuk mencari dan mendapatkan alternatif dari apa saja Yang telah tersedia. Masalahnya ialah karena yang tersedia ‘tutelah dirasakan semakin mengabur dan mengabur;sehing- gasemakin kehilangan haknya untuk bisa dikatakan ‘tersedia’. Bahkan tebih dari itu. Para pelopor yang membina suasana yang memungkinkan revolusi nasional itu terjadi telah pula dlisasakan kehilangan vitalitas dan kreativitas untuk menjawab fantangan yang mereka sendiri ikut menciptakan. ”Angkatan Jampau,” Katanya entah meradang, entah menyesali, tetapi jelas menantang, “tidak mau berpikir untuk kita dan kita telah menjalankan hidup yang belum ada dalam pikiran mereka,” Setidaknya demikianlah hanya dalam pemikiran kebudaya- an, Setidaknya begitulah dirasakan ketika orientasi kultural baru bagi sebuah negara yang telah berdaulattharus didapat- kan untuk mengarungi konstelasi dunia pasca-bom atom, Dan begitulah sejak ia merantau, “ke laut lepas”, dan terus berlayar, “selama angin masih angin buritan”, seperti nasihat ibunya yang dibayangkannya dalam sebuah sajaknya bahkan sampai akhimnya, ketika ia telah merasa Jakarta adalah “ibu. nya", Asrul tak berhenti dari perantauan intelektualnya. Ja tak etnah pulang. Rantau telah menjéidi kampung halaman yang akrab. Untuk apa ia, “sang pelaut”, pulang kalau ia hanyalah akan tampil sebagai penjelmaan si Malin Kundang yang kem- bali untuk menyatakan keduchakaannya? Tetapi sejauh mana kah ia harus “berlayar’, berkelana, meninggalkan kesepian dan kenikmatan semu yang disediakan tradisi? Sejauh mana? Maka betapa kagetnya ia ketika seorang kawannya dengan enteng saja mengatakan bahwa ia, Asrul, yang di masa kevil- nya dilalui dengan mengaji dan shalat adalah seorang “athe- ist”, Telahkah ia melampaui puncak pengembaraan yang mengingkari—meskipun mungkin hanya dalam pikiran— se: gala ketentuan yang telah dipatrikan? Akhimnya ia kembali juga, bukan ke kampung halaman —ke sebuah kota kecamatan ditengah Pulau Sumatra—tetapi xvi ida penolakan pandangan bahwa pengembaraan intelektual alah pantular dari ‘eraguan akan keyakinan yang hakiki, Ragu; takut, gelisah, apakah ia telah siap, tetapi dengan doa yang telah dihafalkan, ia pun melangkah ke Baitullah. Di ba- wah kesejukan Ka’bah ia beristirahat dan berdoa. Beribu ran- jang yang telah ia tiduri, tapi tak satu ranjang pun yang pernah memberikannya kenikmatan seperti yang ketika itu ia rasakan. Sang musyafir memang telah pulang. Ia menangis. “Pulang kembali aku padartu, Seperti dahulu” — sebuah sajak Amir Ham- zah, seakan-akan telah menjadi skenario dari jalan kehidupan Asrul Sani. Maka sebuah batas yang tegas dari sejarah perja- lanan kehidupan pun telah pula ditegakkan. Periode baru dalam kehidupan keintelektualan Asrul te- Jah semakin keras dan mengental. Saat-saat pencarian yang bebas, lepas, tanpa kchirauan terhadap keharusan struktural, bahkan juga terhadap berbagai keharusan yang ditentukan oleh ikatan primordial, kini telah mulai mengalami penjinak- kan. Romantisme yang sibuk menjelajahi segala kemungkinan, kini telah mulai merasakan kekangan dari keharusan politik —suatu keharusan yang sangat enggan dianggap sebagai tak ada dan yang cenderung memaksakan pengakuan akan keha- dirannya yang semakin dominaa. Kosmopolitanisme yang merelatifkan batas-batas politik yang artifisial dan sekat-sekat sejarah yang mencekam, tetapi kadang-kadang bisa juga meni- nabobokan, sekarang telah semakin ditempa oleh keharusan: akan pengenalan batas-batas yang telah ditentukan oleh ideo- logi yang hegemonik dan sistem kekuasaan yang dominan. Kesemuanya memaksakan penyesuaian. Kesemuannya me- nuntut peninjauan kembali segala hayat-kebebasan. Dalam suasana ini, maka ia pun harus juga berpihak. As- rul yang pernah menemuken kepuasan intelektual dalam ke- sendiriannya bersajak, beresai, berceritera lewat kata atau cel- luloid, semakin lama semakin dimestikan oleh struktur situasi untuk mencari dan mengikatkan diri dengan kawan yang se- paham. Ia telah berpihak dan harus berpihak. Ada kawan yang harus dibela, Ada lawan yang harus dihadapi. Politik ternyata tak bisa-dijadikan sebagai “sesuatu yang di sana”, meskipun dalam kesenian yang dalam kejujuran estetiknya ingin me- mantulkan segenggam "hati nurani bangsa”. Politik yang se- Jama ini diperlakukan hanya sebagai landasan struktural yang menyediakan segala kemungkinan untuk ekspresi diri, kini telah semakin nyata tampil sebagai bentuk kekuasaan yang, menentukan kendala, "Setelah Presiden Soekarno menjadi pe- mimpin besar revolusi,” katanya kemudian dalam kenangan- nya tentang perjalanan sejarah perjuangan kebudayaan, "dan kegiatan politik jadi terbatas, maka politik masuk ke dalam dunia kebudayaan.” Tahun-tahun yang menelan kemudaan pun semakin ber- lanjut juga. Maka penjelajahan yang tanpa henti mungkin tetap merupakan kebajikan intelektual, tetapi pemecahan yang, pragmatik terhadap masalah empirik telah menjadi kewajiban yang tak bisa ditampik. Asrul semakin tidak lagi hanya bisa tampil dengan pemikiran kritis dan renungan estetik terhadap segala gejala kultural, ia kini pun semakin diharuskan untuk menganalisis berbagai gejala sosial-kultural secara rasional dan sistematik. Maka ia pun mulai juga berpetuah tentang apa saja — tentang film, teater, generasi muda, dan entah apa lagi. Sebuah beban yang pernah diingkarinya dari generasi yang sebelumnya, kini harus dipikulnya. Ia harus bercerita dari pengalaman dan ia berbicara dari renungan hasil tempaan sejarah. Selanjutnya biarlah mereka yang muda-muda mene! ma atau seperti yang dilakukannya dulu, mempersoalkan. u Asrul Sani adalah sebuah pribadi—utuh dan unik, seperti halnya dengan pribadi lainnya— dan ia adalah pula anak za- mannya. Dalam kesendiriannya yang unik adalah bagian dari gejala sosial-kultural yang sedang tumbuh. la dan generasinya —yang kemudian lebih dikenal sebagai Angkatan 45— mulai tumbuh dan mekar dalam sebuah peralihan sejarah. Dalam xviii SUeseneEeSEEeEeSEEESSESSSUEe SE EOECEES ESE US ESEES ESSE ESSSC SEE SEE CESSES SSSSSeSEeSRCC EC SSe SSE SS eee ese SSeS ees eee eee eS sees eeSeCee gs peralihan inilah sebuah koloni mengalami transformasimen- jadi sebuah negara nasional yang merdeka dan berdaulat. Te- Jah lama juga masa itu berlalu dan sudah sekian banyak pula perubahan terjadi. Tetapi intensitas dari situasi revolusi sekian tahun yang lalu itu masih terus membekas betapapun realitas baru telah tercipta. Bukankah pengalaman itu adalah awal — ataukah “gerbang”— dari zaman baru? Maka pengalaman yang dilalui di saat peralihan sejarah itu pun selalu dipelihara sebagai kenangan yang membanggakan, bahkan mungkin pu- la dijadikan sebagai landasan legitimasi. Tetapi mengapa ti- dak? Dalam berbagai kapasitas angkatan ini tidak berdiri di pinggir, tetapi menerjunkan diri sepenuhnya dan seintensnya dalam pergolakan bangsa. Ada yang memilih terlibat dalam perjuangan bersenjata, yang memimpikan hari depan yang, cerah dan penuh harapan tanpa kehirauan pada kekinian yang, yang tak pasti. Ada juga yang mencari landasan baru bagi ‘masa depan yang belum berpeta. Setelah semua ketidakpas tian hari kini selesai dan sesudah “gerbang kemerdekaan” dengan selamat telah dirnasuki, hendak ke mana kita? Tetapi betapa kabur batas dari kedua pilihan ini. Kekerasan ancaman dari struktur kekinian dan keharusan yang ditimpakan oleh tantangan luar, bahkan juga dari dalam, telah menjadikan ba- tas pilihan itu di persimpangan jalan sejarah itu tidak lebih tebal daripada sehelai sutra Tetapi begitulah betapapun kaburnya batas itu, Asrul, se- perti juga kawan-kawannya yang bergerak dalam berbagai lapangan lain, yang berada di "garis belakang”, memilih atau diharuskan memilih alternatif yang kedua. Dan mereka, seper- tijuga sebagian dari mereka yang memilih alternatif pertama, tumbuh dan mekar dengan cepat, jauh melebihi kepatutan yang biasa. “This is a revolution” ketika air yang dimasak telah sampai ke titik didih. Dalam suasana ini bukan saja segala ukuran dari keteraturan lama harus diistirahatkan, bentuk lan- dasan baru dalam segala aspek kehidupan pun perlu pula di- Sa a cari dan ditemukan. Kalgu saja hanya tatanan lama yang harus terus dipelihara dan dielus-elus dan kalau saja landasan,baru yang lebih sesuai tidak dicari, maka untuk apakah semua pe- ngorbanan itu? “Atgukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan/ kemenangan dau harapan/atau tidak untuk apa-apa” —dan Chairil Anwar, seorang teman akrab Asrul, yang bersamanya ingin “menguak takdir” hanya bertanya saja. Ketika akhirnya ke- daulatan negara didapat, pencarian ini terus berlanjut mes- kipun dalam waktu bersamaan berbagai usaha untuk men- dapatkan kembali suasana "zaman normal” mulai dirintis oleh bermulanya proses birokratisasi. "Surat Kepercayaan Gelang- gang” bukan saja sebuah cetusan sikap kultural —“kami ada- lah ali waris yang sah dari kebudayaan dunia”— tetapi juga sikap tethadap sejarah — “revolusi di tanah air kami sendiri belum selesai”. Tahun 1950-an adalah periode ekonomi-politik yang me- . ngenaskan. Betapa besar harapan akan keajaiban kemerdeka- an, tetapi betapa tak ajaibnya kemerdekaan itu ketika ia telah datang. Kemerdekaan dan kedaulatan bukan saja perwujudan politik dari harkat kemanusiaan, tetapi ternyata adalah pula tanggung jawab.yang menuntut pengabdian tanpa henti. Ke- merdekaan adalah janji yang harus dipenuhi. Berbagai ke- kecewaan pun bermunculan. Berbagai tragedi sosial yang di- timbulkan oleh ketinggian harapan yang tak terpenuhi pun tehampar di sana dan di sini. Saling pengertian politik dan air mata berjatuhan sebagai korban dari kekecewaan yang semakin kosmik itu. "Stagnasi” dan “krisis” adalah dua kata yang sering dipakai Asrul manakala ia melayangkan pan- dangan ke situasi umum tanah air. Ia pun dengan helaan napas panjang menulis, “Jakarta bukanlah kota yang menyebabkan kita kaget dari bulan ke bulan. Biarpun kita pergi setahun la- manya yang kita temui kemudian ialah keadaan yang sama. Kegundahan bagai padang pasir dan suasana yang penat dan jemu’” Tetapi periode ini adalah pula saat ketika segala impian dan khayal dan, terutama segala cita dan visi tentang bangsa dan masyarakat, tentang kebudayaan dan kecendekiaan, diru- muskan dan dipertentangkan. Tahun 1950-an adalah ”zaman romantik” dari sejarah republik ketika pikiran dan cita bisa jauh melayang melampaui kenyataan empiris dan saat semua —hampir semua— asumsi kultural lama, yang kolonial dan yang telah “ditradisionalkan” dimasalahkan. Landasan filo- sofis dan akademis untuk mendapatkan “kembali” hak untuk mempunyai sejarah sendiri yang otokhton, dicari dan diperde- batkan. "Zaman romantik” ini menciptakan bazaar kebudaya- an, wilayah yang memberi tempat bagi berbagai simbol kebu- dayaan dari mana pun datangnya dan siapa pun yang tampil sebagai pialangnya menawarkan dirinya. Jika saja dianggap dapat memenuhi kebutuhan dan mendapatkan “harga” yang, sesuai, maka lakulah simbol itu dan menjadi bagian dari per- bendaharaan kultural baru. Keterbukaan mungkin terlalu ber- lebih-lebihan, tetapi begitulah kecenderungannya. Eksplorasi dalam pemikiran, Eksperimen dalam ide. “Ini masa sekarang,” kkatanya, “masa saya sendiri adalah masa penemuan yang in- tensif.” Tetapi semuanya harus diperdebatkan. Semuanya ha- rus didiskusikan, Maka bukanlah suatu ironi kalau sementara RRI sibuk memperdengarkan keroncong Bandar Jakarta, se- dangkan Radio Angkatan Udara asyik memutarkan Vaya con Dios dalam acara "pilihan pendengar”-nya yang populer. Pada tahun-tahun ini, luka dan duka revolusi masih dalam membekas dan keterhentian sejarah akibat kolonialisme masih merupakan sebuah realitas sosial yang keras. Salah satu contoh yang jelas dari keterhentian sejarah ini bisa terlihat pada betapa Sangat terbatasnya jumlah mereka yang telah berkenalan de- ngan dunia kata-kata yang tertulis. Contoh yang lain ialah betapa sedikitnya jumlah kaum terpelajar. Mereka seakan- akan pulau yang terpencil di tengah Jautan masyarakat bangsa yang masih terpuruk dalam situasi lisan. Tetapi bukanlah se- buah ironi kalau dikatakan bahwa ketika itu pulalah pulau yang terpencil ini memperlakukan belézenheid —keluasan bucaan— bukan sekadar kebajikan, tetapi keharusan yang tak bisa ditawar untuk bisa tampil dalam berbagai proses wacana, discourse. Belezenheid — ebuah kebajikan intelektual yang kini, di saat hampir 90 per sen penduduk negeri resmi telah bebas buta huruf, tampaknya nyaris terlupakan—memberi kemung- kinan perluasan pengetahuan dan wawasan serta menjanjikan perspektif perbandingan yang lebih luas. Bagaimanakah di sana dan bagaimana sebaiknya di sini? Keluasan bacaan ada- Jah pula faktor utama yang memungkinkan terjadinya dialog yang kreatif dan intens dengan realitas. Tak kurang penting- nya keluasan bacaan ini memberikan perasaan kesezamanan dengan dunia luar. Rasa kesezamanan adalah pengingkaran akan keasingan kultural dan pembebasan intelektual dari kungkungan keharusan struktural dan dari keterpukauan kon- sep persambungan sejarah yang linier. Maka mestikah diherankan kalau setelah revolusi yang mempertanyakan semua meletus, dan kemerdekaan bangsa yang sedang terus diperjuangkan dianggap sebagai kenisca- yaan yang tidak terbantahkan, perasaan kesezamaan ini pun tampil juga sebagai pendorong dari lahirnya “Surat Keperca- yaan Gelanggang”? Belum sampai satu setengah dasawarsa pernyataan akan perlunya “semboyan yang tegas” dicetuskan Sutan Takdir Alisyahbana dalam perdebatan yang kemudian lebih dikenal sebagai Polemik Kebudayaan. Kini Asrul telah tam- pil dengan sikap yang lebih radikal, tetapi sekaligus juga lebih kosmopolitan dan, meskipun kedengarannya ironis, boleh ju- ga dikatakan lebih nasionalistis. Situasi revolusi telah menjadi- kan sikap Kultural yang dipancarkan oleh "Surat Kepercaya- an” lebih berakar pada kesadaran sejarah. Kedua pernyataan kebudayaan ini sama-sama bertolak dari sikap yang dengan sangat keras dan radikal dirumuskan ‘Takdir, bahwa kebudayaan pra-Indonesia “telah mati, semati- matinya”. Karena itulah landasan kebudayaan baru harus di- cari bagi bangsa baru yang sedang tumbuh ini. Takdir pun xii tanpa ragu untuk melihat ke Barat sebagai sumber inspirasi. Tetapi dalam mencari landasan baru itu “Surat Kepercayaan” mengingkari batas Barat dan Timur. "Kebiasaan untuk mem- pertentangkan kebudayaan Barat dan kebudayaan Timur, me- nurut saya,” katanya, “dapat dikembalikan kepada kehendak mencari alasan.” Jadi, sesuatu yang bikinan, yangartifical. As- rul pun menjadikan dirinya sebagai “ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia”, Masalahnya ialah, katanya dengan ele- gant pada kesempatan lain, "Ke-Indonesia-an kita adalah ke- Indonesia-an yang belum pernah ditemui dalam sejarah Kita sendiri. Kita adalah tragedi dan kemenangan”. Jadi, pengaku- an sebagai “ahli waris” bukanlah sebuah sikap yang pasif, yang siap menerima dan melalap semua dari segala penjuru, tetapi sebuah perjuangan. Dalam proses ini sejarah perjuangan pembentukan bangsa harus dipakai sebagai bahan pelajaran yang tak kering-keringnya, karena perjuangan itu sendiri ma- sih terus berlanjut. ”Ahli waris” adalah pernyataan sikap kul- tural yang kosmopolitan, yang meniadakan secara konseptual peniruan, adaptasi, akultuirasi, dan sejenisnya. Bukankah yang diterima adalah sesuatu yang memang telah milik kita—seca- rakonseptual? Dari sikap ini pulalah harga diri sebagai bangsa harus ditegakkan. “Mengapa kita tidak mau memperlihatkan bahwa kita muda, telanjang, dan segar? Apakah Kita tiba-tiba harus tua karena Eropa telah tua?” Asrul tidak mengatakan bahwa ia adalah pejuang kebu- dayaan, tetapi pada usia muda, di saat tempaan revolusi masih kuat membelit dirinya, ia berkata, "Dapat tidaknya kita mem- beri isi Kemerdekaan tergantung kepada dapat tidaknya kita membangunkan (sic) kebudayaan, ini adalah jiwa dari segala perbuatan routine yang kita temui sehari-hari.” Baginya kebu- dayaan adalah konsep lahir dari "totalitas kehidupan”. Kebu- dayaan tak ubahnya dengan sebuah sungai yang mengairi ke- hidupan bangsa. Melalui simbol-simbol yang dipantulkannya kebudayan adalah pula kekuatan integratif. Para budayawan dan seniman yang memperkaya kehidupan kebudayaan bu- willl kanlah semata-mata tenaga kreatif, tetapi juga adalah “hati nurani bangsa”. Karena itulah, di atas segala-galanya “kejujur- an”, atau lebih tepat integritas pribadi sebagai pencipta adalah’ kemutlakan yang tak bisa diganggu-gugat oleh seorang buda- yawan dan seniman. Tetapi, bagaimaha politik? Tahun-tahun 1950-an adalah "zaman romantik” kebudayaan yang melihat kecenderungan politik tanah air seperti karikatur yang kadang-kaidang lucu, tetapi tak jarang menjengkelkan. “Ah, politik tidak lairy dari potongan-potongan etik yang mengambang tidak berakar ke- mampuan, bukan perlakuan terhadap kenyataan”. Apalagi ‘menurut penilaiannya, “politik... hanya mengenal keumuman dan tidak mau mengenal variasi’. Tetapi, siapakah yang tidak akan sinié terhadap situasi politik dalam tahun 1950-an? Asrul, seperti banyak cendekiawan lain, yarig telah terbuai oleh im- pian bahwa demokrasi adalah suatu keharusan yang tidak terbantahkan, sangat kritis terhadap situasi yang pernah dise- but Hatta sebagai “ultra demokrasi”, Maka Asrul pun jengkel melihat perjalanan demokrasi yang lebih memperlihatkan “suatu lagak dan bukan keyakinan” atau tak lebih daripada “pose buat jiwa pesolek"” Tahun 1950-an adalah mungkin sebuah periode ketika peristiwa politik tezhampar sebagai karikatur, tetapi periode ini adalah pula saat eksplorasi ide-ide yang intensif. Dalam periode inilah pula sikap keterbukaan yang kritis mulai dipu- puk, Asrul mungkin salah satu contoh yang terpintar, tetapi ia tidaklah unik. Ja adalah bagian dari pergumulan intelektual dan kultural yang menjadi ciri khas dari "zaman romantik” yang sedang mencoba untuk membina tradisi dialog yang se- hhat. Asrul adalah bagian dari kegairahan kultural yang akhis- nya harus tethenti akibat penetrasi yang semakin menukik jauh ke dalam dari pertentangan ideologi dan politik ke ham- pir semua wilayah kehidupan. "Surat Kepercayaan” adalah suara yang murni dari idealisme muda yang masih belum “berdosa”, yang percaya bahwa setelah perang usai, sebuak dunia yang telah lebih arif akan muncul dan berkembang, Per- nyataan kultural ini lahir ketika Barat yang sedemikian perka- sa di zaman Sutan Takdir Alisyahbana menyerukan “sembo- yan yang tegas”-nya, telah memperlihatkan kekerdilannya ‘sendiri dan bahkan telah pula dilawan dengan berhasil. "Surat kepercayaan” adalah pantulan harga diri yang sedang tumbuh. + Kini, dalam tinjauan ke belakang tampaklah pula bahwa ‘Asrul dan dan kawan-kawannya adalah bagian dari pergolak- an antara hasrat kebebasan dengan tekanan keharusan struk- tural yang semakin hegemonik dan dominan. Ketika dominasi itu telah semakin mengental, maka habislah pula tempat bagi ‘eksplorasi yang bebas. Sebuah zaman pun telah pula berakhit. Dilihat dari kejauhan, tahun-tahun 1950-an adalah sebuah zaman yang dipenuhi oleh segala pengandaian — Bagaimana Kalau....” Sedemikian banyak hal yang semestinya tak perlu terjadi, tetapi terjadi, Sedemikian banyak hal yang “mungkin” menjadi “tak mungkin”. Sebuah “laboratorium sejarah” —ka- lau saja kata ini tidak terlalu menggangu— telah terhampar tentang kegairahan dan kegelisahan sebuah bangsa baru da- Jam negara baru. Maka betapa ruginya kalau saja periode ini dibiarkan terancam "kepunahan” dalam ingatan kolektif. Ke- hilangan sejarah karena amnesia sosial yang dipelihara bukan- lah saja berarti hilangnya bahan perbandingan, tetapi juga le- nyapnya salah satu sumber kearifan. m Buku ini bukanlah sebuah memoir dan tidak pula hanya sekadar sebuah kompilasi dari apa yang pernah ditulis. Meski- pun merupakan kumpulan tulisan, buku ini adalah sebuah pertanggungjawaban intelektual tentang apa yang telah dipi- kirkan, direnungkan, dan dikatakan. Buku ini adalah pula se- buah laporan tentang berbagai dialog kebudayaan yang telah dilakukan pengarangnya. Karena itulah, buku ini bisa dilihat sebagai sebuah kesaksian tentang perubahan suasana zaman yang telah dialami — sejak tahun 1948 sampai pertengahan xxv tahun 1990-an. Empat atau lima puluh tahun hanyalah sedetik saja dalam sejarah umat manusia, tetapi adalah sebuah pergolakan inte- lektual yang panjang bagi seorang yang kreatif. Ia bukan saja harass bergumul dengan segala corak kendala yang bisa meng- halangi kebebasan mengarungi lautan pemikiran kebudayaan, tetapi juga dengan segala kemungkinan yang direnungkan- nya. Betapa melelaltkan. Tetapi, di sinilah salah satu keunggul- an Asrul. la tetus saja tampil, seakan-akan ia masih tetap Asrul mitda yang selalu kritis, yang senantiasa menuntut kejelasan tentang apa saja dan yang tidak pernah membiarkan kata- kata besar dan “mahal” dipakai sebagai perisai untuk meng- hindar dari perumusan yang substansial. Ia terus saja menjadi seorang Asrul yang tidak pernah membiarkan rasionalitas tenggelam begitu saja dalam suasana aesthetik dan gaya li- terer. Sdmpai dengan tulisannya yang terakhir, ia tetap juga memperlihatkan belezenheid-nya dan napas kulturalnya yang kosmopolitan Tetapi, pergantian sejarah dan perjalanan biografi bukan tidak meninggalkan bekas pada teks-teks yang dihasilkannya. Siapakah yang bisa terbebas dari tirani waktu? Siapakah pula yang sanggup bertahan lama dari perubahan keharusan struk- tural? Maka suara yang meledak-ledak dan yang selalu mem- pertanyakan, makin lama makin mereda juga. Semakin lama tulisan-tulisannya semakin bernada informatif dan sugestif, Tetapi, lebih penting dari pertukaran gaya ialah keluasan wila- yah yang dijelajahi. Jika masa awal lebih ditandai kecende- rungan Asrul membicarakan kebudayaan dari kaca mata sas- tera, masa-masa setelah awal tahun 1960-an sastera telah men- jadi salah satu perwujudan kebudayaan saja. Asrul —lagi-lagi dengan sangat intens— menjelajahi masalah perwujudan ke- budayaan yang lain, terutama teater dan film. Tulisan-tulisan Asrul tentang kedua wilayah seni pertunjukan ini adalah “ba- caan wajib” bagi siapa pun yang ingin mendalami kedua mas- alah ini, Salah seorang pendiri dan pengajar Akademi Teater xvi Indonesia yang pernah “berjaya” dalam dunia teater di tanah air kita, tulisan Asrul bukan saja memperlihatkan keterlibatan- nya dalam dunia ini, tetapi juga pengetahuan yang mendalam tentang sejarah teater. Salah seorang sutradara film yang se- rius, yang pernah tampil dengan film terbaik dalam Festival Asia, dan salah seorang penulis skenario terbaik, Asrul tidak saja bisa berteori tentang berbagai permasalahan film sebagai ekspresi kesenian, tetapi juga menganalisis segala hal menge- nai produksi, distribusi, bahkan juga sensor film. Tulisan teore- tis Asrul tentang hubungan film dan sastera adalah sebuah karya yang ditempa dari renungan teori dan pengalaman em- irik, , Akhimya apa lagi yang akan dikatakan, selain mengulang kembali apa yang selama ini telah dikatakan orang banyak — orang-orang yang biasa mengikuti wacana kultural di tanah air kita— bahwa kumpulan tulisan ini membuktikan bahwa Asrul Sani, si penyair yang ingin "menguak takdir” (ataukah ‘Takdir, sang pujangga baru?), si penulis skenario Naga Bonar dan sekian banyak lagi, dan si sutradara Apa yang Kau Cari Palupi?, dan sekian film lagi, adalah salah seorang esais Indo- nesia yang terbaik. Ia juga salah seorang seniman yang paling terpelajar dan paling kosmopolit. Maka tulisan-tulisannya bu- kan saja memancarkan kejernihan pikiran dan keluasan penge- tahuan, tetapi juga kebeningan dan, kadang-kadang, kilatan literer. Maka terbuktilah bahwa ia adalah salah seorang tokoh ‘Angkatan ’45 yang terpenting —diakui ataupun tidak. Bukan- kab ia yang mulai “bikin perkara”? Bukankah ia pula yang, enggan berhenti dari "perkara” yang telah dimulainya itu ‘Terbukti pulalah bahwa ia adalah salah seorang pemikir kebu- dayaan modern yang cukup penting dalam sejarah pemikiran kita. Taufik Abdullah DAFTAR IST Pengantar dari Penyunting “ Pengantar oleh Dr. Taufik Abdullah. Dua Surat Kepercayaan ..... : wal Surat Kepercayaan Gelanggang (1s). 3 Surat Kepercayaan (1967) Dunia Sastera “7 Deadlock pada Puisi Emosi-Semata (1948) . 9 Serba Manusia dalam Roman Emest Hemingway (1948) . Sobekan dati Orang tak Berasal (1948), Dari Catatan atas Kertas Merah Jambu (1949) Surat Kiriman (1949)... Una conversasion con la muerte (1950) Surat Singkat tentang Esai (1951) Dokumenter-puitis 8 (ak bertangza) Soal Bacaan (1951)... Penyair Vercors (1951). Dua Hasil Realisme Italia (1951) ‘Sebuah Pembelaan (1951)... Sontani dan Huxley (1951)... Sebuah Kisah Supernaturalistis (1951) ‘Angkatan ‘47 di Jerman (1953) .. Pembahasan Orang-orang yang Kenes (1953) Penyait dan Daerahnya (1953) 106 Simposion Kesusasteraan Indonesia di Jakarta (1953)... 110 Apakah “Krawang-Bekasi” sebuah Pagiat? (as 121 Chairil Anwar (1954) : svssnnes 130) Salah Sangka Sekitar Kata “Krisis” (1955) su 133 Richard Wright: Seniman yang Jadi Intelektual (1956) 140 Masalah Kedudukan Sastera dalam Film aad 148 Dunia Tan Suang U (1989) 167 ‘Tradisi Humanisme dalam Sastera ‘Bara Indonesia (1990).. 174 Transformasi Novel ke dalam Film (1991) . Soal Moral yang Korup (1995) Dunia Teater cnn : : 205 Badan Dana yang Dibutuhkan (1953)... : 207 Medium yang Disia-siakan (1953) Tidak dengan Pemerintah (1953) Sebuah Drama Jean Anouilh (1953) Teater dan Pendidikan Masyarakat (1956) . Fungsi Teater (1971) Pemikiran dan Saran-saran tentang Pengembangan Seni Pertunjukan Kontemporer/Modern (1973) «0... 255 Bahasa Indonesia dalam Film dan Teater Modern (1978).. ‘Teater Modern Indonesia: Konsepsi dan Orientasi (1986) lain, Sekat, dan Kebebasan Berkarya (1990) . Dunia Perfilman see 299 Film Indonesia dan Film "Dosa Tak Berampun” (1951)... 301 Sensor Film (1952)... : Karikatur sebuah Impian (1954). Film dan Sensor Ditinjau dari Sudut Kreasi (1957) Sumbangan Artis Film Terhadap Pembangunan Jiwa Bangsa (1958)... Membangun Industri Film Nasional (1961). Film Delapan Setengah” dan Festival Film Moskow (1963)... 347 Sikap Kreatif dalam Pembuatan Film Indonesia (1976) .... 358 316 320 331 340 xxx Orlentasi Film Indonesia Masa Kini (1975) . SeBuah Kejadian Kecil (1977)... Fugsi Kritik & Kritikus sebagai Lampu Suar (1981). Perhbinaan Perfilman dalam Menghadapi Perkembangan Teknologi Modem (1983)... Aspek Ekonomi Film Indonesia sebagai Produk Dalam Negeri (1984) 422 ‘Tantangan Baru buat KFT (1985) 431 PERFINI, Pemula Film Nasional (1987) 440 ‘Upaya Meletakkan Film Indonesia pada Peta Bumi Sinema Internasional (1988)... 451 DanAMPAI Datang Lagi (1991) Film Indonesia (1992) . Dunia Seni-Budaya .. Suatu Lyris Instrument (1948) .. Komponis Simandjuntak (1948) . Harapan dari Tanah Gersang (1951) Beberapa Perbandingan (1951) Surat dari Jakarta (1951, 1956) . Sumber-sumber Kecil di Tengah Air (1953) . Surat Terbuka bagi Walikota Baru (1954) . Pidato Depan Walikota (1954) 1... ‘Tanggung Jawab Kesenian dalam Kerangka ‘Kebudayaan Indonesia (1986) 45 Tahun Menyertai Turun-naik Kehidupan Kebudayaan Indonesia di Jakarta Cissy Bukan Pajangan (1991) .. Dunia Selainnya ‘Taman Siswa dan Pak Said (1948) Fragmen Keadaan (1950-1951) Kita dan Eropa (1954).... Indonesia Bicara buat Diri Sendiri (1956). Pertemuan Pertama dengan Baitullah (1968)...... xxxi ‘Memproyeksi Pemikiran ke Masa Depan (1967) Semua Hipokrisi Harus Punah (1967). Ibu Kami adalah Jakarta (1968)... Pembinaan Generasi Muda (1976) Bahan untuk Sebuah Satir (1990) voi Dua Surat Kepercayaan SURAT KEPERCAYAAN GELANGGANG. KAM adalah ablii waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur-baur dari mana dunia-dunia baru yang sehat dapat dilahirkan. Ke-Indonesia-an kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang, rambut kami yang hitam atau tulang pe- lipis kami yang menjorok ke depan, tetapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh wujud pernyataan hati dan pikiran Kami Kami tidak akan memberikan suatu kata ikatan untuk ke- budayaan Indonesia. Kalau kami berbicara tentang kebuda- yan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap hasil ke- ‘budayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang, schat, Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan ber- bagai-bagai rangsang suara yang disebabkan suara-suara yang dilontarkan dari segala sudut dunia dan yang kemudian dilon- tarkan kembali dalam bentuk suara sendiri. Kami akan menen- tang segala usaha-usaha yang mempersempit dan mengha- angi tidak betulnya pemeriksaan ukuran nilai. Revolusi bagi kami ialah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus dihancurkan, Demikian kami ber- pendapat bahwa revolusi di tanah air kami sendiri belum se- lesai Dalam penemuan kami, kami mungkin tidak selalu asli; yang pokok ditemui itu ialah manusia, Dalam cara kami men- ‘ari, membahas dan menelaahlah kami membawea sifat senditi. Penghargaan kami terhadap keadaan keliling (masyarakat) 3 adalah penghargaan orang-orang yang mengetahui adanya saling pengaruh antara masyarakat dan seniman. Jakarta, 18 Februari 1950 SURAT KEPERCAYAAN SUDAH menjadi kebiasaan bagi hampir segenap majalah kebu- dayaan untuk mempergunakan halaman pertama penerbitan- nya yang pertama sebagai tempat untuk memaparkan pro- gram majalah tersebut. Program berarti gerakan, perpindahan dari tahap yang satu ke tahap yang lain untuk mencapai tujuan yang sudah dirumuskan terlebih dahulu. Tujuan majalah ada- Jah tujuan dan idaman seluruh rakyat Indonesia: membentuk masyarakat ber-Tuhan di mana tidak ada kezaliman, di mana keadilan berkuasa, di mana kemakmuran menjadi milik ber- samla, Dan program majalah ini dirumuskan menurut kondisi perjuangan rakyat kita menuju tujuan tersebut. Dengan ini jelaslah bahwa dalam penildian kita, kita akan memberikan tempat yang sentral pada permasalahan masya- rakat dan kehidupan. Kita tidak berpegang pada semboyan “kata untuk kata, puisi untuk puisi”. Kita tidak mau melepas- kan sajak dari fungsi sosial dan komunikatifnya. Adalah hal yang wajar jika seniman mencipta berdasarkan masalah-mas- alah konkret yang diakibatkan oleh ketegangan-ketegangan miasyarakat di mana ia hidup. Kita tidak menolak “isme” apa pun dalam kesenian — artinya “isme” dalam kesenian bagi kita tidak penting sama sekali. Yang penting adalah gaya pri- badi seniman yang ia pergunakan untuk mengungkap sesuatu yang hendak ia sampaikan pada masyarakat. Tidak usah dikatakan lagi bahwa kita adalah penentang yang keras pendirian “politik adalah panglima”. Pendirian ini telah menghambat kebebasan seniman dan telah menjadi- kan seluruh kehidupan kreatif menjadi korup. Pendirian ini telah mengingkari hak tanggung jawab dan kebebasan me- milih pertanggungan jawab kaum seniman dan inteligensia 5 (budayawan), dengan memaksa mereka menyerahkan per- tanggunan jawab itu pada suatu ideologi, pada suatu sistem pemikiran yang bersifat memaksa. (Orang barangkali akan berkata bahwa bahaya ini sudah tidak ada lagi. Inisalah sangka yang berbahaya dan optimisme yang palsu. Karena, biarpun yang merumuskan ini kaum komunis, pendirian ini sebenarnya bukanlah pada mereka saja kita tem. Masalah yang dihadapi bangsa kita sekarang, masalah yang, lazim disebutkan orang masalah “pembangunan”, sebetulnya adalah masalah “modernisasi”. Dalam hal ini kita bisa belajar dari sejarah, bukan dari sejarah bangsa kita sendiri saja, tapi dari sejarah seluruh dunia, Karena lebih lagi dari kurun-kurun zaman yang lewat, sekarang ini lebih jelas bahwa kita adalah hasil dari pergolakan sejarah dunia. Dalam proses sejarah ini kita melihat kecondongan seku- larisasi yang ekstrem dan peremehan agama —jika tidak dapat dikataKan penyingkirannya sama sekali — yang menghasilkan peradaban teknologi yang, tinggi— tapi tanpa “social direc- tion” atau “bimbingan sosial” yang hanya dapat diberikan oleh agama. Agama sebagai kesatuan yang merupakan peng- ikat dan memberi bentuk batin kesatuan kebudayaan. Sekularisasi ekstrem yang pada suatu saat memberikan ni- lai religius pada demokrasi, nasionalisme, sosialisme sebagai pengganti agama. Akibatnya adalah, penggeseran tanggung jawab seniman dan budayawan daripada tanggung jawabnya yang sebenamya. Kami ingin waspada terhadap ini. Sesungguhnya kami percaya firman Tuhan yang terkan- dung dalam Al-Qur’an: aa ence, Lac cette fe eo 4 roan alae Tyee “Mereka bakal ditimpa kehinaan di mana saja ditemukan, kecuali kalau mereka berpegang pada tali Allah dan tali ma- nusia”. (Ali Imran, 112). Gelanggang, No. 1, Th.1, Desember 1966 Dunia Sastra ’ DEADLOCK PADA PUISI EMOSI-SEMATA. 50 PADA‘pesta penyair-penyair di mana dihidangkan air kata- kata lepassuatu kebebasan yang selama ini diikat oleh berbagai norma dan dogma. Kebebasan ini yang mula-mmulanya berben- tuk kebebasan dikehendaki akhimnya dibawa ruap yang tinggi; ia hampir menjadi “avontuux”, sampai‘datang pagi hari dan segala ruap hilang, badan lemas dan hari barudari marta dan dengan datar apa dimulaisKalau.Seorang penyair duduk di tepi tentpat tidurnya, ia mgit kelonggaran yang didlaminya kentatin. Tétapitkalau menyangka bahwa kelonggaran itu ke- Bebasar yang sebenamya;‘inaka ia lupa membedakan bagian dari keseluruhan dan ia meninggalkarrbagian yang satu untuk masuk ke bagian yang lain, meninggalkan suatu dogma untuk tmengamil dogma yang lain. -Di-atas ini saya coba memberikan gambaran tentang per- ubahan perjalanan seni bersyair di sini. Kita.akan mencoba memperdith gambaran yang jelas dari permulaan sampai ke bkhir. ‘ ae ». Kalau kita perhatikan sajak-sajak yang dilahirkan oleh pe- nyair Indonesia sekarang, generasi sekarang, generasi saya Sendiri, maka akan kelihatanlah sesuatu anasir'yang kuat dan yang langsung memberi'cap, yaitu emosi. Emosi pada penyair sekarang. Apakah tidak pesimistis benar jika kita mengatakan “deaidlock pada puisi emosi-semata”, sedangkan kita tahubah- wa emosi ini Bolehy dikatakan ideritik dengan penyair Indo- nesia sekarang, tanya seorang saudara barangkali. Ya, tetapi menurut kiraan saya, dalam soal ini kita tidak usah disebut pesimistis karena mengeluarkan ucapan seperti ini, bahkan ‘ucapan ini teruntuk bagi orang yang optimistis yang melihat jalan jalan yang makin lama makin tinggi bagi kesusasteraan 9 Indonesia, hanya jalan yang diambil ini salah karena tidak ada waktu untuk memikirkan lebih lanjut. Sebetulnya tidak sulit untuk membenarkan bahwa emosi itu tidak dapat diceraikan dari puisi. Emosi adalah tenaga pendorong dalam penciptaan dan keras-tidaknya tekanan su- ara yang dikeluarkan syair itu tergantung pada kuat-tidaknya emosi yang diterima penyair untuk menolong dia mentrans- mitir perasaan. Tetapi di sini terdapat kesalahan tentang apa yang ditransmitir. Hanya boleh dikatakan di sini bahwa sela- ma seorang penyair belum menjadi “burgerlijk”, maka selama itu ia tidak akan ditinggalkan emosi. Sekarang, yang menjadi soal ialah bagaimana kedudukan emosi-pada sajak-sajak sekarang ini. Dan sekiranya puisi dan emosiini tidak dapat diceraikan, bagaimana kita dapat sampai kepada ucapan “deadlock pada puisi emosi-semata’ ini, karena serentak dengan itu kita meniadakan kemungkinan untuk menciptakan sajak. Ya, disinilah letaknya "berbahayanya” ucap- an ini jika belum terbentuk pengertiannya yang sebenarnya Pada puisi emosi-semata ini, emosi itu sudah geobjectiveerd. Apa yang pada dasarnya “bukan ujud” —seperti saya katakan tadi, ia hanyalah pendorong— sekarang telah dianggap seba- gai “ujud”. Tentu saja perbuatan ini mempunyai akibat. Satu- satunya jalan untuk mengetahui akibatnya inj ialah menjalani dari akarnya, bahkan dari proses sebelumnya untuk terus me- lalui batang, supaya kemudian sampai ke konsekuensi-kon- sekuensinya dan bertanya jika telah sampai di sana: “What now!” Liat Pujangga Baru. Jika kita membaca dan mencoba me- rasakan nikmat sajak-sajak penyair-penyair Pujangga Baru, maka saya kira dapatlah digeneralisirkan suatu dasar: kein. dahan. Seni yang dihasilkan oleh Pujangga Baru ialah seni yang hendak memperoleh kedudukan sebagai “usaha yang ‘menghasilkan keindahan”. Ini tidak mengherankan jika kita hubungkan pengaruh kaum ‘80 di Negeri Belanda pada mere- ka, Tidak mengherankan kalau mereka dalam ucapan menge- luarkan melodi: “geboren wit zonnegloren” dan rindu-dendam 10 darj Seen 2ucht van de ziedende zee”, pendek kata "Perkinans”. Apakah mereka sampai pada “originaliteit” tidak usah diper- soalkan karena dalam soal ini tidak juga akan dapat diadakan generalisasi . . Pujangga Baru mencoba memperoleh “keindahannya” ini dengan segala bunga kata, royal dengan “beeldspraak” (kata per- bandingan) dan dengan mengemukakan segala yang puitis. Biat sembilan tahun lamanya mereka berdebat tentang kebe- basan, tetapi hasilnya tidak ada. Barangkali ada didapat jiwa German-analytis mereka yang menempatkan filsafat dalam kepalanya, tetapi tidak dalam penghidupan, suatu kepuasan, tetapi praktisnya yang terdapat ialah kepandaian ambil- mengambil objek puitis dan subjek puitis yang akhirnya mem- perlihatkan gambaran yang berputar di sekeliling sebuah titik Sumbangan yang harus diberikan tidak dapat diberikan lagi, karena segala keindahan telah habis dinyanyikan. Saya kira, orang Pujangga Baru tidak pernah bertanya “what not” Karena hidup terlampau tenang, mereka terus, terus, sehingga suatu ‘masa mereka sampai di dunia yang baru. Tetapi pendapat me- eka tidak berubah sampai ada orang yang tertawa di jauhan dan berkata, "E, dogmatis.” Kepercayaan Pujangga Baru ini pada "keindahan” telah menyebabkan mereka menganggap pengertian itu sebagai “ujud” —"'ujud” dari puisi— tidak lagi sebagai anasir. Apakah dasar “mutlak semutlak-mutlaknya” ini dapat diterima? Untuk ini kita harus mengemukakan pertanyaan, apakah, seni? Dengan pertanyaan ini kita tiba-tiba telah ada saja di tengah-tengah orang sedang berkelahi. Tidak mudah keluar dengan selamat, dengan tidak beroleh luka-luka atau sekurang- kurangnya bebas dari bengkak-bengkak disebabkan segala persetanan ini. Di sini saya tidak akan mengemukakan kata ikatan yang mudah diserang orang. Lagi pula ia tidak begitu penting. Karena dalam zaman teror kata-kata seperti sekarang ini kata ikatan tidak mempunyai kekuatan sama sekali. Pertanyaan ini hanya dikemukakan untuk dapat diteruskan sr pada “atas apakah didasarkan seni” dan selanjutnya sampai pada tujuan kita apakah dapat diterima "keindahan” sebagai dasar seni, Definisi keindahan tidak ada — artinya tidak seorang aes- thetikus pu’ yang dapat memberikan definisi yang.dapat di- terima sebagai keumuman. Apalagi variasinya keindahan ini banyak: keindahan dalam alam berbeda dengan keindahan dalam seni seperti kata pengarang wanita Virgirtia Woolf da- lam “Orlando"nya: "Green in nature i8 one thing, green in litera- ture another”. Ucapan yang menyatakan bahwa yang indah itu ialah yang bersahaja atau yang baik atau yang benar mem- punyai pertentangan dalam dirinya sendiri sehingga mudah diserang. Tetapi dapat dikatakari bahwa keindahan itu’me- nimbulkan kesenangart— pleasure. Sehingga seni yang dida- sarkan pada keindahan ini menjadi seni yang bertujuan: kese- nangan. Pengikatan seni dart kesenangan ini umum dipakai orang. Pengikatan ini timbul setelah “seni totaliter” yang ter- dapat di abad pertengahan hilang:dari bumi. Pengikatan ini diantarkan orang ke tanah air kita. Pengikatan menempatkan seni pada tempat yang lebih rendah — sekunder atau tertier. Pernah seorang tuan yang berpendidikah juga mengatakan —waktu saya memperkatakan perjuangan bangsa Indonesia dengannya—ucapan yang berikut, “Sekarang tidak ada wak- tu untuk seni, tidak ada waktu untuk kesenangan, untuk ba- rang luks.” Saya tidak hendak menamai tuan ini "burgerlijk”, tetapi konsepriya itu burgerlijk benar. Set bukaniah sesuatu yang kurang perlu. Ini dapat kita lihat dari umumya dan usaha yang dilakukan buatnya. Beribu- ribu manusia dikerahkan untuk mendirikan gedung komidi, membuat cat, kertas, mencelak, dan sebagainya. Untuk apa segalanya ini kalau ia kurang perlu. ‘ Dasar Pujangga Baru ini tidak dapat dibenarkan atau dite- rima. Mereka telah mendirikan rumah afas alas yang tidak sempurna. Pujangga Baru dalam mencari-cari rumah beroleh sebuah 12 kamar, celakanya dengan beroleh kamar itu, ia menyangka- kan beroleh rumah. Dalam kamar di seberang kamar Pujangga Baru itu, diam pula sekarang anak muda yang menamakan dirinya "angkatan baru”. + Dengart segera angkatan yang baru datang ini merombak norma dan dogma yang dibawa Pujangga Baru. Jiwa kehen- dak bebas yang baru dibawanya mengatasi kekuatan. Sifat tidak stabil yang dilekatkan keadaan kepadanya menyebab- karrkelincahan gerakan. Konsepsi keindahan dalatn puisi yang dibawa oleh Pujangga Baru ditukarnya. Angkatan ini melihat bahwa pada Pujangga Baru tidak ada lagi hidup, sebab itudikemukakannya perkataan! hidup, Dan terhadap seni PBv-yang sudah “burgerijk” itu dikemuka~ kannya “emosi” sebagai antipode. Sebagai-antipode, bukan sebagai polariteit yang lain. Dengan ini sebetulnya ia hanya mengadakan pergantian dogma, sekiranya keadaannya telah sedemikian rupa, sehingga boleh disebut dogma. ; Segala tabir-tabir tebal dikuakkan. Tempat-tempat suci ti- dak pada tempatnya lagi sekarang. Segala yang tidak dapat dipakai dalam "paham hidup di dunia” ini dibuang.. Dogma nya‘ialah dogma: dunia. Tidak patut lagi ia berbicdra tentang raja-raja kayangan dan putri-putri surga Kebajikan dari proses ini ialah, ia telah berusaha melepas- kan kita dari sikap mystis kepada suatu sikap'yang problematis, kepada “bagaimana dan méngapa setiap saat” yang menim- bulkan “spanning” untuk penciptaan kebudayaan. Tentang soal mystis dan problematis ini tentu tidak dapat diselesaikan demikian saja. Tidak mudah menukar kekekalan dengan saat. Konflik yang terdapat di sini besar. Ia menghendaki penye- lidikan yang lebih luas. Tetapi pendek kata, dalam pukulan genta inilah terletaknya kebajikannya. Ia menghendaki sesu- atu yang lain dari manusia yang dilahirkan fatal. Apa yang lain ini belum dapat ia perlihatkan dalam sajak-sajaknya. Di sini sebetulnya terletak tragiknya. Karena tenaganya ia telah 13 dapat menghidupkan kembali sajak-sajak Indonesia danytelah mengungkai garis lingkar yang diperbuat oleh Pujangga Baru. Motto mula-mula ialah: kebebasan dan hidup. Inf mula. ‘mula. Tetapi kemudian, temyata bahwa motto ini pada dasan. nya tidak berbunyi: kebebasan dan hidup, tetapi kebebasan dan dunia. Dengan segera terdapat kontradiksi dalam ucapan ini karena yang pertama menghendaki keluasan, sedangkan yang kedua terbatas pada kulit: Rupa-rupanya yang kedua yary didasarkan pula atas emosi lebih kuat daripada yang pertamne, sehingga yang pertama jadi timpang. Unsur-unsur emosi yang ‘menjadi dasar ini makin naik ke atas, sehingga yang kelihatare nya hanyalah dia, Emosi sudah geabjectiveerd,suidah menjadi sud sehingga dapat puis ita disebutkan puisi emosi-semata, 'uisiemosi-semata ini tidak bermaksud apa-apa i mengeluarkan “bruto kraht” soja la tidak peak kat bake ia pada suatu saat akan mengatakan apa-apa. Schingga tidak usah ia menerima nasib seperti Edgar Allan Poe dalam bebe. rapa sajaknya di mana ia mengatakan "sesuatu”. la berjalan cepat Karena tidak ada waktu. Jalannya timpang, tetapi tidak dihiraukannya atau tidak dipikirkannya, karena lalam usaha, nya mengeluarkan “brutokrach” a tidak sempat berpikit Pela. ‘annya akhimya sampai ke itik-mat. Ini baginya tidak menjadi soal. Karena ia tidak memedulikan "gerichtheid” (kesatuan ta. juan). Untuk pengeluaran tenaganya ia boleh berlari kembali sekuat-kuatnya, Demikian berturut-turut. Kalau kita hendak memperkatakan kesusasteraan seperti ini kelak, maka terpaie salah disebutkan perjalanan bolak-balik ini tempat yang tidak berubah dan pembangunan yang tidak maju-majunya Karena “dogma-dunia” yang telah diambil,tertutuplah ja- lan ke keluasan. Ruangan tempat mengambil obj dan subjek makin kecil. Sekiranya tak dapat lagi dengan “spontan”, aha ‘mulaidicari-cari untuk timbulnya sajak-sajak buatan yang ka, dang:-kadang berlaku sangat "theatral” supaya dapat menarik pethatian, Kehendak untuk memberikan sumbangan tentu tidak dapat dilaksanakan lagi. 4 « SNatu kesadaran pula terdapat pada angkatan itu: penting- nya materi dari sajak. Kesadaran ini dijalankan mereka dalam praktek. Tetapi karena rapatnya hubungart’ materi itu dan emosi yang diajukan mereka, maka seboleh-bolehnya pema- kaian ini diserangkumkan. Sehingga sajak-sajak itu tidak lagi berputar sekeliling ke seluruhan kalimat. Orang bersyair da- lam "istilah-istilah”, tidak lagi dalam isi suatu-ucapan. Hingga terdapat sajak-sajak yang hanya berputar sekeliling ucapan- ‘ucapan seperti “itu orang’, “itu api”. Pemakaian ucapan seper- ti ini tentu tidak ada buruknya, tetapi sajak-sajak yang sema- ta-mata berputar sekeliling ucapan-ucapan pendek ini tentu tidak dapat dipertahankan. Emosi dunia ini mencapai puncaknya pada perempuan, pada “betina”. Ya, puncak ini begitu tinggi dan variasi yang dimungkinkan oleh ”puncak” ini sangat sedikit. Dalam men- cari terus-terusan pada kemungkinan kecil ini dengan muda kita sampai kepada seni pornografi. Ya, istilah dan pencapan porniografi ini sebetulnya kata yang sulit dan relatif. Acap kali ia tergantung pada keadaan keliling dan moral orang banyak. Dahulu, buku-buku D-H. Lawrence dicap “porno- grafis”, sekarang tidak ada lagi yang memberikan cap seperti itu. Ucapan ini amat susah diberi bentuk, tetapi dapat dikata- kan, bahwa ia mulai dimana "Weltanschauung” tidak kelihatan dan ia berhenti di mana hal ini lebih menegaskan dirinya. “"Weltanschawung” susah didapat pada puisi emosi-semata yang hanya menghendaki “bruto kracht” saja. Hal pornografishanya- Jah suatu kemungkinan, tetapi kemungkinan ini besar pada puisi emosi-semata + Kita melihat sudah di mana puisi emosi-semata mencari bahan tenaganya,objekdan subjek-nya. Kita melihat, bagaimana kecil kantong sumbernya. Semata-mata karena motto "hidup” yang semula dengan tidak insaf menjadi “dunia” yang ber- batas pada kulit dan dunia ini ditegakkan pula aias emosi. Mereka harus tetap emosionil. Kalau tidak matilah mereka, sebab “Weltanschauung” tidak ada. Untuk meneruskan ini se- 15 cara sehat tidak mungkin sekiranya kita tidak hendak disebut tukang “pengulang Kaji”, Di sini ditemui “deadlock” «dalam bentuk garis menepi langit sebagai ganti garislingkaran yang dibuat Pujangga Baru. Apa sebabnya maka puisi-ini sampai kepada suatu dead: lock? Pada permintaan dasar baru ia memberikan jawaban yang pada hakikatnya berarti “dunia” dan bukan hidup. Di sint terdapat penduniaan penyair-penyair Indonesia. Sepintas lal Kelihatannya seperti “hidup’, tetapi karena ia tidak dapat ‘mengatasi syasana-pesimistis yang ada dalam dunia mereka dan keyakinan kepada kesulitan dan kegetiran —inj dengan Secara mudah dilisankan mereka dengan "menghukum dan Gihukum’-— maka mereka menyangka bahwa inilah-hidup, tidak sadar bahwa yang dilihat oleh mereka bukanlah sub stansi tetapi sifat kulit yang berubah setiap waktu. Ini pula makanya mereka sangat problematis yang sebetulnya bukan Sikap problematis yang berdasar, dan mereka takut melepaskan diri dari kenyataan ini, takut dikatakan mereka tidak hidup. Jadi, salahnya terdapat, pada konsepsi hidup Kalau sudah ada pandangan seperti ini, sudah tentu tidak dapat lagi dikeataskan sesuatu yang terletak sebelah dalam, disekeliling mana segala-gala yang terjadi pada manusia ber, ular. Konsepsi manusia mereka bukanlsh konsepsi orang. Seorang, bagaimana “individualjstis” pun kelihatan sajak-sa jaknya. Manusia mereka, ialah tulang berkulit bergumul dalam Kegetiran atau orang banyak. Apa yang dibangkitkan oleh “sesuatu” dalam manusia seorang itu tidak dihitaukan, Se. dangkan yang disebut “sesuatu” inilah sebetulnya yang dise. but manusia, Karena ini, permainan hanya dapat dilakukan atas per- mukaan air. Kalau permukaan air telah dilayari segalanya, maka selesailah kewajiban; pada suatu waktu kapal boleh disimpan dalam gudang. Pujangga Baru terlampau lama berbicara tentang kasih ma- 16 \ \ nal kasih. Pujangga Angkatan seni sekarang tidak mengenal Baru Miiatanya berdusta lala dijuinya perassan yang ini, Inilah akibat dari tidak da- terdapat pada segala manusia ees nya engatasi keadaan, tidak dapatnya ia samp: a ‘persooniihed” yang riulo-mula ada diturjlcannya etept at diberinya bentuk atau dirumuskannya. Ia Kelemalian, Hanya akurin-binatang jlang yang disanghakan kekuatan. Kekuatan barangkali benar, tetapiapakab oe ‘ i fa kita mei - fat; manusia dan hidup. Sudah sepatutny: = fan ‘perbybungan dengan aku-binatang.jalang ini yang B = hakkatnyasangat ec tertekan ke sult dan tidak bere atan untuk merangkum segala yang luas. Kita menghendaki rumah dan bukan kamar. ; "Pokoknya ialah Koreksi Kembali dan menempatkan emos! ada tempat pendorong, tidak lagi sebagai sesuatu yang hen- Cakalitranemitir Pokokyaialah penyelaman mengerti hidup lebin dalam dan memperolehkebebasan untuk mencrima se- gala sudut dan segi yang diperlihatkannya baik “natural” atau: Pena samp i "gigantis" yang menyeluruh Kita harus sampai pada puisi "gigantis” yang, — sebagai immbangan dari rabekan robekan sepintaslalu yang diberikan emosi— yang mempunyai sumber pada serba ma~ nasi, serbahidup yang fak terbatas pada dunia. Dalam puis ini emosi hanya pendorong “perasaan” yang dialami peny: ik dirasakan oleh penikmat. | a oe Dealac pus emosi-semata tidak terietak pada materi at bentuk, tetapi terletak pada kesalahan: pandangan yang me- nyatakan bahwa penglihatan sebentar adalah “substansi’ Ww SIMPOSION KESUSASTERAAN INDONESIA DIJAKARTA. ADALAH inisiatip yang baik dari Senat Mahasiswa Fakultet Kesusasteraan Universitas Indonesia untuk mengadakan simposion pada kala fakultet ini merayakan Dies Natalis-nya Yang Ketiga. Kita mengetahui bahwa kalangan luar ‘perguruan {ingei selama ini sering bertanya kepada diri sendiri mengapa tidak ada aktivitet yang keluar dari mahasiswa-thahasiwa Perguruan tinggi yang berkenaan dengan permasalahan kita sekarang. Sehingga ucapan: perguruan tinggi pusat kebuda- yan bangsa, kelihatannya tidak lebih dari teori, dan harapan bahwa dari perguruan akan keluar tenaga mencipta, sampai sekarang belum lagi nyata. Sungguhpun begitu, janganlah orang terburu berkecil hati, karena pada akhir bulan ini riyata Kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk memasuki masi/ara- kat oleh golongan tersebut. Mahasiswa-mahasiswa mulai me- ninggalkan gedung perguruannya, meninggalkan buku-Buki- nya, dan pergi memeriksa kenyataan yang ada di fanah ait kita yang molek tetapi sengsara ini, Demikien juga dalam soal kesusasteraan. Pertemuan pertama kali antare mahasiswa- mahasiswa yang mempelajari kesusasteraan dan sasterawar” sasterawan sendiri sudah terjadi lebih dahulu dari ini, Dan pada malam simposion yang hendak saya kabarkan, ketua senat mahasiswa fakultet sastera ‘menyatakan bahwa perte- Aluan-pertemuan kesusasteraan dengan kalangan sasterawa? akan lebih sering dilakukan, Beberapa tokoh kesusasteraa" kita memang telah memasuki lingkungan universitet sepertir misalnya, Saudara H.B. Jassin yang sekarang menjadi dose” di sana -Di duar negeri adalah menjadi kebiasaan universitet ‘universitet mengundang pengarang-pengarang yang ter} n0 untuk mengadakan ceramah selama masa tertentu tentang" sesuatu selama masa kesusasteraan. Hal ini tentu juga dapat dilakukan oleh fakultet kegusasteraan kita. Jumlah pengunjung bolehlah disebutkan menggembirakan. Panitia mengatakan, lebihdari yang disangka semula. Kejadi- an ini rupanya dianggap.kejadian yang patut diketahui oleh umum dengan lebih Tuas, sehingga bagian-bagian pembuat film berita dari PEN. dan Persari malam itu kita lihat bekerja. Pogramma adalah sebagai berikut. Pertama, Ketua senat ‘membuka pertemuan, kemudian Kasim Mansur antara lain membacakan sajak-sajak Dodong Djiwapradja, Iwan Sima- tupang, Harijadi S, Hartowardojo, dan St. Nuraini. Kemudian ke muka pembicara-pembicara: Bahrum Rangkutidengan aca- ya “Aspek dan fungsi agama dalam perkembangan kesusas- teraan Indonesia madern” dengan titel tambahan “Kelesuan sebagai sumber tenaga dan kegiatan’. Yang jadi pendebat jalah Saudara Wiratmo Sukito. Pembicara kedua, Saudara Bu- Yung Saleh berbicara tentang “Latar belakang kemasyarakat- an dalam kesusasteraan Indonesia”. Pendebat, Saudara Anas Ma‘rut, Kalau kita lihat susunan pembicara yang ada dengan aliran- aliran yang mereka anut, maka kita bertanya: apa yang menye- babkan maka senabmahasiswa memilih justru mereka ini eens mau menakar suasana dan penyelidikan, dan dila- {tan di luar perguruan tinggi atau orang mau dihibur dengan yenacam sensasi yang disebabkan pertentangan. Apakah Y2nG Orang kehendaki penuturan dan tangkisan sampai ke berkant ferkecil atau orang hanya mau melihat adu kepintaran Kepaje Katena bagi saya simposion ini mengingatkan kita pte ra uatbat-debat yang sering diadakan sebelum perang asa tthammadiyah dengan Ahmadiah, antara Islam dan masinn : Keduanya sama yakin kepada kepercayaan masing- nyu eet R8Ea tidakiah mungkin diperoleh hasil yang me- nurut ee apalagi karena ia dilakukan di depan umum. Me- "mat saya sumber dari pembuatan susunan pembica- m1 aan ini adalah sangat primitip: orang mau melihat sentacam “perkelahian”. Orang bukan hendak memungut pelajatati, tapi hendak menonton. Ita makanya Islam Rangkuti dihadapkan ke Katholik Wiratmo Sukito, itu makanya dialektis rhaterslis- tis Buyung Saleh dihadapkan dengan Anas Ma'ruf yarig bukan Marxist. Sebetulnya orang harus mengadakan pertemuan an- tara seorang pengarang Islam dengan pengarang Islam lain, misalnya Rangkuti menghadapi Hamka atau siapa pun, dan seorang Marxist atau seorang sosial realis juga dengan se- orang Marxist atau sosial-realis, misalnya Buyung Saleh meng- hadapi Bakri Siregar atau Hr. Bandaharo. Orang barangkali akan mengatakan: ya, tapi mereka itu sependapat sebab itu tidak bisa berdebat. Ini tidak benar. Memang mereka pada pangkalnya bersesuaian, tapi dalam perincian mereka tentu berbeda, mereka tidak mungkin uni- form. Sungguhpun misalnya Asrul Sani dan Rivai Apin duduk dalam satu redaksi, toh dulu mereka pernah mengadakan semacam polemik dalam "Gelanggang” ini, Mereka mengerti istilah masing-masing, tapi mereka berbeda dalam pemakaian istilah-istilah itu, Jadi, hal itu tidaklah akan jadi berlarut-larut dan kemungkinan salah paham mudah dihindarkan. Demikian juga halnya dengan pengarang-pengarang Lekra. Sungguhpun dari luar mereka kelihatannya seperti "bubur” campur aduk tak berbeda (ceramah Buyung Saleh pada malam ini tak berbe- da dengan prae-advies S. Dharta di konperensi kebudayaa” di Bandung tempo hari), toh di antara mereka itu tentu ad@ terdapat perbedaan paham. Kalau tidak, maka mereka bukat~ lah lagi pengarang, tapi serdadu yang menerima perint Kita dapat mendengarkan sampai ke mana kejauhan dan ket jaman mereka dalam pemeriksaan dan perdebatan-perdeba™ an tak usah tertegun, karena pembicara mengatakan: ya, itt pandangan hidup, tak dapat saya ubah. Karena pesbedaat pandangan hidup ini perdebatan sering-sering merepet-TeP' ke soal lain, soal-soal yang takperlu bagi pembahasan kesuss teraan. Kita harap moga-moga pengambil-pengambil inisi# 12 simposion akari memikirkan ini. Rangkutitampil ke depan dengan segala kebesaran tubuh dan kelantangary suaranya. Ia mulai dengan banyak sekali bunga-bunga perbandingan dan ucapan-ucapannya seperti “sibbuyung merigepek si upik” malam ini juga sering terdengar. Kita mengharap’akan inendengarkan darinya soal-soal agama dalam kesusasteraan, tapi ia memberikan dengan secara ber- belit-belit dan melelahkan keinginannya sendiri: telaahlah Islam. Saya juga suka mendengarkan ceramah-ceramah Islam, ‘api kalau saya berangkat dari rumah untuk mendengarkan_ seseorang berbicara tentang aspek-aspek agama dalam kesu- sasteraan, maka kecewa hati saya jika mendengarkan orang itu mengatakan: telaahlah agama. Lain tidak. Rangkuti ada ‘membawa-bawa késusasteraan Indonesia, tapi kesusasteraan ini hanya dipakainya sebagai kapstok di mana ia gantungkan hobbynya sendiri: mémpelajari agama. Dengan kebanyakan bunga kata —sehingga kita merasa seolah-olah minum teh kebanyakan gula— dengan tiada basa-basi Rangkuti menyu- "egahkan segala isi kepalanya yang tidak tersusun. Pembicara ini tidak tahu disiplin dan rupa-rupanya tak tahu batas, hal Yang sering kita jumpai dalam rapat-rapat Indonesia, tapi 7ans tidak kita harapkan dari orang sebagai Bahrum Rangku- ena, jika orang meminta kita untuk membicarakan meja, saemah Kita tontonkan pengetahuan kita tentang lemari. x ‘uruh ceramahnya itu hanya diisi dengan pengetahuan feit "Ng banyak, tapi tidak dibangunkan secara problemati huang 8 Rangkuti orangnya bukan problematis. Pengeta- mmasaig Patyak. Tapi ia bukanlah orang yang menciptakan Paes adalah seorang pemberita hanya. Rangkuti membi- (dalam 822, apt tak sekali juga ditanyakan kepada dirinya jad keeramahnya it) apakah agama di Indonesia ini sudah dayean eh) 2°? Apakah yang terdapat di Indonesia ini Kebu- In kepada eit! bat Agama Islam. Rangkuti tidak menanya- Arab oo242 diinya, apakah fungsi kata dalam kebudayaan "masa mereka berada dalam kebesaran, dan apakah 113 Arraniri dan memuj-myji ;pelajari mereka (hal yang ‘@ yang lain ingin lakukan) sudin P; mereks, dan menganjurkan gan ganjurk saya senditi atau Saudara sauder pi ia tidak kemukakan apakah p tasauf Indonesia ini Pekerjaan- lonesia ini -peke anata nda 2 9PHGinasukkn edlam eon Apakah buah- sia yang bersifat sastera, Ucapa ia tidak di esa, seperti Supit, Hamka, dan sebagainya. Tapi ia hanya finggal menyebut Saja. Tiada ia jelaskan, bagaimana Hamka tmongerakartdslam dalam buku-bukunya, tiada ia jelaskan, ampai ke mana kekuatan yang diperoleh oleh pengarang Hamka dari agama untuk menjadikan karangan-karanganny2, apakah Islam hanya sebagai pembimbing atau lumbung kebe= raran, ataukah juga pernah Hamka jadikan pelbagal ajaran Islam menjadi masalah dalam buku-bukunya seperti misalnya pernah dilakukan oleh pengarang seperti Bernanos? Tentang titel tambahan: Kelesuan sebagai sumber tenaga an kegiatan. Sampai sekarang saya tidak mengerti apa yang pembicara maksud dengan ini. Adaia singgung beberapa kali, ‘elapi penyinggungannya seolah-olah sesuata yang tiba-tiba jatuh dari langit, tak berakar tak berujung dan tak mempunyai hubungan dengan apa pun. Hanya satu dapat saya katakan, yaitu,setelah Saudara Bahrum Rangkuti membacakan pidato- nya yang sangat panjang dan berbelit-belit itu, kita merasa sangat lelah. _ Kemudian datang pendebatnya, Wiratmo Sukito yang ber- bicara lebih sederhana dari Bahrum Rangkuti. Kewajiban Sau- dara ini berat juga, berhubung Rangkuti sangat sedikit menge- tuatian pendapat ‘yang berhubungan dengan pokok acaranya. ‘oh Saudara Wiratmo masih dapat mengadakan pidato yang Panjang. Juga pendebat menanyakan, apakah Rangkuti ber- Pendapat bahwa di Indonesia ini agama sudah menjadi kebu- ‘ayaan. Tetapi selanjutnya ia adalah penghafal nama dan teori Yangrajin Ta mulai menyebut nama Plato, Sappho, Aristopha- es Marcel, Jacob, Bemanos, masih sempat ‘untuk membuat fetta Fingkas dari sebuah buku Niko Kazantzakis, bahkan a an pengarang Jerman Hans Werner Richter. Entah 20a sebabnya Fans Werner Richter dibava serta di sini dan nah’ bee ean, saya tidak mengerti. Kebetulan saya per~ Sy at karangan-Karangan pengarang Jeronan in sehingga do ida merasa bahwa ucapannya patut dijadikan alasan Petsoalan ini, Barangkali hanya untuk melaksanakan m5 EE an be lana-mana. Banyak re aes Sekali teori dan cerita, tapi kenyataan aa ‘Yang tidak disinggung jika dibandis y lingkan dengan panj. capan mereka, ka Rangkuti mengueaplan eager ee roan tidak berkurang karena in 1nd a eRe akan disebutkan oleh Buyung Saleh kita rada- sasteraan don, Barangkali ia akan mengatakan bahwa kest sasteraan fee 1288 dua, Kesusasteraan borjuis dan kesu ee es lal, barangkali juga ia akan mengatakan seperti tani, Darang pendukung kebudayaan adalah buruh dan adalah diseecnt 83 22 akan mengatakan bahwa kemajuan ne an oleh yang lama yang bertahan, dan yang lahirah Be Cees? (kedua ini bertumbuk dan dari keduanya Vidualist at” atau ia akan pakai kata-kata feodal, indi muanya istic a’: Kapitalis, imperialis, dan sebagainya,se- eng at an Yang begitu saja kita dapat dengar dari setiap Penganut paham dialektis-materialistis ‘yang fanatik dan tidak 116 kita. Sayang sekali hal ini tak dapat ia lakukan disebabkan berbagai fqktor yang tidak mengizinkan, pertama oleh waktu yang tak banyak lagi tinggal dan kedua oleh karena salah paham (demikian diberitakan), antara Buyung Saleh dan pani- tia simposion. Jadi, yang dilakukan oleh Buyung Saleh ialah ‘mencobakan resep yang terkenal. Buyung Saleh berpendapat bahwa kesusasteraan Indonesia berpangkal pada kesusaste- raan Melayu lama, dan kesusasteraan Melayu lama ini adalah kesusasteraan feodal yang tumbuh di dalam masyarakat yang terpencil-pencil dan autarkis. Abdullah bin Abdulkadir Mun- syi adalah tunas terakhir dari kesusasteraan Melayu lama tersebut, yang merupakan jembatan dengan kesusasteraan Indonesia (Baru), dan ia adalah buah hasil (resultante) keadaan perubahan dari masyarakat feodal ke masyarakat kapitalis. Kesusasteraan Angkatan ‘20 adalah kesusasteraan Bour- geuois yang didukung oleh kelas tengah yang merupakan buah hasil masyarakat setengah kapitalis di Indonesia. Kesu- sasteraan ini jelas mencermirikan akulturasi antara kebudaya- an feodal Melayu-Indonesia dan kebudayaan bourgeuois Ero- pa-Belanda. Romantik menguasai masa ini. ”Pujangga Baru” pada pokoknya adalah lanjutan Angkatan ‘20 dan tidak mem- bawa sesuatu yang baru. Akulturasi berjalan lebih jauh dan ‘semangat bourgeuois menjadi lebih kuat lagi. Kesadaran seba- 8ai staatnatie semakin kuat dan timbullah cita-cita untuk men- jadi kultuurnatie. Di sini mulai timbul realisme. Kesusasteraan_ Indonesia zaman pendudukan Jepang mendapat kemajuan terutama karena adanya penghargaan masyarakat yang lebih besar kepada bahasa Indonesia sebagai bahasa intelektual dan literer, dan kedua karena bertambahnya kesempatan me- laksanakan susastera tersebut, sehingga banyak tumbuh tunas baru. Di lapangan kemasyarakatan bourgeuoisi menjadi lebih kuat. Selanjutnya Buyung Saleh menyatakan bahwa prokla- tmasi Indonesia telah membawa demokrasi yang lebih banyak. ‘Suatu hal yang menguntungkan kesusasteraan. Ja melihat pe- "garuh kebudayaan bourgeuois Eropa makin besar dan di 17 ubak jadi vaio Ss Jedi pendapat Buyung Saleh 9 Saudara akan ber Apa yang. \g dikemukak, Pendapat iis cae Teor (Saat Ra PI a Serta meres en oy Ung bukanah aiknya) dan mencobakanryn ni ut se blah mera 3 Ma ipakai Bu- di sini, Ba igaimana per- at dianggap benar, dan Melayu lama, i iam is ty it dai kesusasterann sebenarmyaakhinite el Batu, Jika kita bee ea Pe make akan kelibatan erent 28 dimana permulang i ini sanggahne pala sekalilah bahwasanggahonan Felaiteya nat menyean MeneBetAan nyawa dy bce : enyerang pemakaian kata Bourgeue paoteh ois ole pemakaian istilah ini adalah konsekuensi dari cara berpikir Buyung Saleh, dan jika orang mau menyerang ini maka orang tidak akan menyerang sebuah istilah dan pemakaiannya, tapi cara berpikir orang itu. Apakah ajaran yang diperdengarkan oleh Buyung Saleh ajaran yang benar atau patut disangsikan Jebenarannya. Dalam usala Anas untuk membahas lawannya, ia sampai-sampai mengatakan bahwa istilah-istilah seperti “staatsnatie” dan “Kultuurnatie” tidak ada dalam kitab kamus sebab itu tidak, usah saja dihiraukan. Anas berbicara terus, orang mulai tambah banyak pulang. "Saudara tidak tinjau kesusasteraan dari sudut sosiologi”, Kata Anas. Orang tambah banyak pulang, Anas membacakan sitat Jerman. Orang pulang, juga. Anas membacakan sitat Inggris. Ada seorang anak gadis bergaun biru tegak dan melangkah ke luar. Gadis ini mema- kai baju dansa yang panjang dan rupanya molek sekali. Rupa- nyaia mengirabahwa “simposion” adalah suatu perkataan asing, yang tak ia kenal untuk pengertian ”malam dansa’’. Ia berjalan dengan malu-malu antara Kursi sambil mengangkat gaunnya itu sedikit. Di jendela ada terpasang kertas kecil ditulis huruf balok dengan kata “Kalau mau keluar harap jangan meloncati jendela”, Gadis tadi lewat pintu dengan hormatnya. Maka selesailah Anas dan orang bertepuk. Ada rupanya sifat pada Anas, purbasangka, jika ia meng- hadapi seseorang, maka dalam hatinya ia selalu berkata, “Sau- tiara tidak tahu bahwa...”; "Saudara tidak tahu bahwa...,” lu ia mulai menekan lawannya yang ia sangka tidak tah itu, Seseorang yang pernah berdebat tentu tahu bahwa purba- faneke ini adalah sangat salah sekali. Kita harus menganggep [ivan kita sebagai orang penuh, yang tahu apa yang ia sebut- " yang arif akan arti istilah-istilah yang ia pakai. Jika kita — Purbasangka sebagai penopang, maka topangan itu ert Patah dan menusuk perut kita sendiri, Demikian pula a i dengan Anas Ma’ruf. Ia barangkali tidak mengira bah- ‘stan ahtY@ Menguasai istilahnya sebaik-baiknya, istilah- Yang telah bertahun-tahun dipakai oleh kaum Marxis 19 fansur, ” leklamasikan ol F seperti "Hai kawan Stalin...” don setenatart es ‘yat mengirimkan y; againya. Rupa- Cetbalreporter untuk me- lemat say in is = 'ya, tindakan ini 708 menunjukkan penghargean kepada gunjungi sis : been i gimposion ini, Menuru inisiatip tersebut, Siasat, 20 Desember 1953 120 APAKAH "KRAWANG-BEKASI” SEBUAH PLAGIAAT? Surat terbuka pada penyair dan pemtinat sastera APAKAH tulisan di bawah ini pernah dipersoalkan orang, tidaklah saya ketahui. Tetapi karena hal ini saya anggap pen- ting untuk kemurnian hasil sastera kita, maka ia kukemukakan kepada para penyair — terutama tokoh-tokoh Angkatan 45 dan peminat sastera dengan harapan agar terdapat kejernihan. yang seharusnya, Kita semuanya mengenal sajak "Kenang, Kenanglah kami” ciptaan pujangga alm. Chairil Anwar. Tidaklah terkira betapa arti jeritan yang digemakan para pahlawan kita yang gugur selama revolusi dalam sajak ini. Siapa pun membacanya akan tetharu, Chairil selama ini sungguh berjasa! Chairil dengan sajaknya selama ini dikenangkan bersama pahlawan-pahla- wan lain setiap 10 Nopember. Kita bangga mempunyai pujang- 88 yang sedemikian! Tetapi alangkah terkejutnya saya ketika kebetulan memba- ca sebuah sajak dalam majalah Reader's Digest bulan Septem- ber 1945, Volume XLVI no 281, halaman 74, ciptaan Archibald MacLeish bernama "The Young Dead Soldiers”. Waktu saya membaca sajak ini, maka tergoncanglah kepercayaanku pada Chairil Betapa banyak persamaan—untuk tidak mengatakan hampir sama samasekali—antara sajak Chairil "Kenang, Ke- nanglah Kami” dan sajak Archibald MacLeish “The Young Dead Soldiers”, akan kuserahkan untuk diperhatikan pada Para penyair, terutama pada mereka yang dinamakan Angkat- an ‘45. Apakah kedua sajak ini secara kebetulan diciptakan Oleh Chairil dan Archibald MacLeish, tidaklah saya ketahui. qa = orang buta, penyiaran 1 7 J adio amatir, ‘oviehatanak-anak sekolh dan banyak lag et ‘mengapa usaha seperti ini tidak Siasat, 28 uni 1953 210 MEDIUM YANG DISIA-SIAKAN ORANG tidak usah periksa lama-lama. Dengan bertanya- tanya ke sana-sini dan mengikuti kesibukan beberapa go- longan sudah tabu kita, bahwa sandiwara di negeri ini boleh dikatakan sudah tidak ada lagi. Sandiwara pernah ada, biar- pun bagaimana kualitas dan tingkatnya. Sedangkan di zaman Jepang ikatan-ikatan sandiwara timbul di mana-mana. Dan kini orang bertanya, mengapa keadaan sandiwara kita begitu buruk dan apa faktor-faktor’yang menyebabkan kehidupan sandiwara ini mundur dengan nyata, Dalam karangan ini saya tidak bermaksud membuat analisa tentang sebab-sebab ke- munduran sandiwara biarpun pengetahuan tentang sebab ini teramat perly untuk membangunkan sandiwara itu kembali. Orang sekarang hanya memperhatikan film. Apakah ini juga berarti bahwa film adalah sandiwara yang lebih sempur- na? Memang banyak ahli drama dan sarjana 20 tahun yang Jalu mengatakan bahwa film adalah akhir pencerdasan sandi- wara. Kemarin kita masih bisa mengemukakan bahwa tidak mungkin film menjadi akhir sandiwara, karena film adalah berukuran dua, sedang sandiwara tiga. Tapi dengan muncul- nya film tiga dimensi kebimbangan timbul kembali dan ber- . tambah banyak alasan bagi kita untuk menyatakan bahwa film adalah akhir perkembangan sandiwara. Tapi ini adalah salah sangka besar dalam memperhatikan masalah sandiwara. Penamaan akademi drama dan film sebetulnya adalah pena~ maan yang keliru, Karena kedua hal ini tidak dapat disatu- kan, biarpun dalam beberapa hal lahir ia mempunyai persa- maan. Seperti, keduanya memerlukan peran, kisah, ruang pertunjukan dan penonton. Perbedaannya belumlah sebagai perbedaan seni sastera dan seni lukis. Sungguh pun begitu 2 masih juga dapat ditunjukkan garis yang membedakan kedua medium ini. Dan karena pemisahan ini tidaklah mungkin film menjadi bentuk sandiwara yang tersempurna, seperti juga fotografi tidak dapat menggantikan tempat seni lukis, Bahwa orang lebih memperhatikan film daripada sandiwara, tidak terletak dalam ketidaksempuraan medium ini —artinya bu- kan karena ia dianggap sebagai medium seni yang masih belum ‘mencapai bentuknya yang sebetulnya— tapi sebab-sebab itu terletak di luar medium ini sendiri Tapi kalau kita tanyakan pada mereka yang sekali-sekali menonton sandiwara apa pikiran mereka tentang seni ini, maka sering-sering dalam jawaban mereka kita dikembalikan kepada keyakinan kekurangan medium ini. Memang di atas Panggung orang tidak menemui kebebasan ruang seperti ter- dapat dalam film dan hal-hal atau benda-benda yang dikenal dalam kehidupan sehari-hari lebih mudah ditemui dalam film daripada dalam sandiwara. Kehendak-kehendak ini dengan sungguh-sungguh dikemukakan, sayang sekali ia berada di luar batas sandiwara. Memang sandiwara pernah mencoba mendekati keinginan ini, seperti juga kesusasteraan pernah berusaha mendekati seni lukis. Tapi usaha ini tidak jauth per- 'ya, karena dengan usaha ini sebetulnya tiap-tiap medium tersebut meniadakan diri sendiri. Naturalisme sandiwara mencoba meniru kehidupan sehari-hari. Schingga peniruan ini dijadikan oleh Ibsen untuk tidak memakai puisi di atas panggung semata, karena menurut pendapatnya sandiwara puitis tidak fitriah di mulut peran. Lebih-lebih dalam soal dekor.Jika pengarang mengemukakan latar belakan sebatang Pohon, sedapat mungkin kaum naturalis membawa sebatang pohon ke atas panggung. Pengaruh kaum ini juga sampai kepada kita, sehingga pe- nonton sering mengatakan bahwa sandiwara dalam soal dekor sudah maju jika dekor itu telah menyerupai keadaan sehari-hari. Sebuah kamar misalnya telah merupakan kamat yang barangkali didiami penonton. Tapi tak ada yang lebih 212 Ho EES FI daripada ini. Pemandangan pada kamar dalam vahalupan Schart ha tergantung kepada keadaan orang yang memandangnya. Pedagang yang bara sja dapat ntung aka menganggap Kamar sangatterang dan menggembirakan, sédangkan suami yang baru ditinggalkan oleh itr yang ia sayangi akan merasa bahwa kamar it sangat send kelial annya. Banyak lagi kemangkinan lain, sedangkan ali dekor yang baik tak boleh membiarkan kemungkinan lain berada, kecuali kemungkinan yang ia kehendaki. Juga perjalanan ceri- ta. Percakapan-percakapan yang dita a pangguns rah yang nyata dan berguna, sedan; mpunyai art pening dan yang menunjulkkan rentetan ke jadian sambung bersambung, Kaum naturalis mencoba mem- Sawakan alam dan dunia sehar-hari ke afas panggung, se darigkan naturalism panggung alah sandiwara.Naturalisme yang berada dalam hukum-hukum panggung dan f inan-kemungkinannya. - cre ae Vatakan faham naturalisme berpengaruh di negeri kita. Sedemikian rupa, sehingga oleh penonton ia di emukakan sebagai syaat Jka dilihat dari sudut ini memang film lebih sempurna. Tetapi dengan cara begini kita tak lagi icarakan sandiwara. ; “ne fun hakam andi erat kemungkinan-kemnungkin- annsondiri, emungkinan-kemungkinan yang hanya ada pada dirinya dan tidak didapati dalam seni tain, Karena itu ‘maka sandiwara boleh dianggap penting dan tidak ada alasan sama sekali untuk menyia-nyakan medi seni yang satu in, Pada hakikatnya ia tidak dapat dianggap bersaingan de- ‘gan film, bahwa adanya dia memberikan manfaat yang ba- nyak bagi perkembangan film kita. Pada seat ini dalam dunia film orang kembli lagi kepada semacam sistem yang disebu ton-star-system, Dalam praktiknya sistem ini lebih memusat- an penciptaan film pada dir sutradara. Dan dengan demik an keluarlah pendapat bahwa sutradaralah yang harus cakap 213 betul, peran berada di L ingkat ke d * ua, alt untuk malaksanakan Kehendak sutradara. Ini secera ka luanya harus sokong-menyc ; Haid Sica tla memperlhatkan kemunghinng hoe we angari non-star-system ini dalam. filmnya Pencuri, ‘Sopein San inj juga akan digolongkan kepada hasil-hasil Klasik cea arena peran hanya film, seperti Potemkin, Ibv, dan sebagainya, Di Indonesia ‘mencoba memakai rion-star-system ini Perfini me mereka pernah lihat atau nikmati ti. Fantasi merel menolong mereka banyak seal dalam hain, Mele oars Pemainsandivara tetapi sutradara mereka akan lebih mudah ‘jaannya daripada kita. Kita juga mengambil contoh. Cu- ; Toei Jangen pula salah sangka, saya tidak mengatakan bahwa bear Ca film itu harus menjadi pemain-pemain sandi- wea tele bh aba Saya mengatakan bahwa kehidupan mrenorts Ye intenstsbagat latarbelakang akan banyak Kalau saya tidak salah, I : ah, lima-enam tahun yang lampau Us- mat Ismail mengemukakan keinginannya kepada kore pros 214 fesional pemain-pemain sandiwara. fa barangkali beroleh apa yang ia kehendaki, tapi akhirnya segala kaum profesional sandiwara ini lari ke film. Saya kira korps profesional ini bukanlah syarat utama. Sandiwara berbeda daripada seni- seni lain, tak ubahnya dengan kepandaian memasak. Sebagai- mana kepandaian memasak sering dipertunjukkan dengan baik oleh wanita-wanita amatir pemasak —jadi, bukan juru masak— demikian pula sandiwara menemui kaum penyeret- nya pada golongan penggemar. Kaum penggemar ini bebas dari tujuan-tujuan mencari untung dan karena itu lebih berani mengadakan eksperimen-eksperimen. Eksperimen-eksperi- men’ yang diperlukan oleh kehidupan sandiwara. Lagi pula teinyata sekarang kumpulan-kumpulan sandiwara profesio- nal kita boleh dikatakan hampir lulub-lantak, sehingga bagi mereka urusan penting betul untuk memenuhi kehendak pe- nonton, bagaimana rendah pun kehendak ini, apabila kum- pulan sandiwara itu masih tetap hendak berwujud. Karena itu dapat dikatakan, sandiwara memanggil penggemar-peng- gemar. ‘Ada kota-kota Indonesia di mana perkumpulan para peng- gemar hidup dengan bersemaraknya, seperti misalnya Medan pada masa sebelum perang. Bagaimana keadaan sekarang, tidaklah saya ketahui. Mungkin masih ada tapi menurut reka- rekaan saya kemajuan mereka tidak jauh daripada ketika se- belum perang. Moga-moga reka-rekaan ini tidak benar. Bagaimana pentingnya perkumpulan-perkumpulan peng- gemar sandiwara dapat kita rasakan, jika kita ketahui bahwa di samping Konperensi Teater Internasional yang kira-kira dua bulan yang lalu diadakan, juga bersamaan dengan itu diadakan Konperensi Internasional Penggemar Teater. Tidak dalam ikatan Unesco tapi dengan bekerjasama erat dngannya. Inggris mengirim ketua British Drama League dan ahli-ahli sandiwara yang lain untuk berbicara dalam konperensi peng- gemar ini. Mereka bukan saja penggemar, tapi juga ahli. De- ngan ini dinyatakan bahwa tidak ada hubungan penamaan 25 Penggemar dengan kualitas sandiwara yang buruk. Mereka telah sedemikian jauh sehingga mereka mempunyai teates. teater sendiri dan mereka mempunyai sekolah-sekolah atau Jeursus-kuursus untuk peran penggemar. Denmark mengambil sistem Inggris, dan pada waktu ini mereka menerima pelajar- Pelajar yang datang dari pelbagai kampung. Setiap tahun'di- adakan semacam festival sandiwara penggemar dan dalam festival ini kecuali memperebutkan hadiah, mereka juga men. dapat kesempatan untuk menerima kritik yang sunggul-sung. guh dari abli-ahli sandiwara yang ada Rasa hati saya tidaklah begitu jauh saya menggantungkan Cita-cita, jika saya kemukakan di sini bahwa saat ini ada baile ya jika di Indonesia didirikan sebuah liga seni drama yang Derusaha dalam kemajuan-kemajuan seni drama, Salah sate seal yang musykil pada kita sekarang ini ialah tidak adanya atau sangat sedikitnya karangan-karartgan sandiwara yang dikarang oleh pengarang-pengarang Indonesia. Sedangkan jika yang sedikit ini disaring pula sehingga kita mendapat Grama-drama yang baik, barangkali tidak ada lagi yang ting- gal. Tapi Kekurangan ini dapat kita isi dengan mengadaptasi dramadrama Iuar negeri. Dan ini adalah kewajiban yang Patut dari liga ini. Juga soal pendidikan sandiwara, soal yang tak boleh disia-siakan. Banyak orang mengatakan bahwe bangsa kita mempunyai bakat yang besar untuk bermain san- diwara. Tapi permainan sandiwara juga menghendald teknik dan teknik harus dipelajari Jika Liga Drama ini hendak didirikan, sedapat mungkin janganlah ia didirikan dengan hubungan pemerintah, Sebik. baiknya untuk tetap tinggal partikelir Sebagai insiatif partike- liria lebih dapat dihindarkan dari orang-orang yang hendak ‘mencampuri urusan badan ini bukan untuk kepentingan sar diwara, tapi untuk kepentingan lain atau kepentingan ditt sendiri. Sinsat,30 Agustus 1953 216 TIDAK DENGAN PEMERINTAH SAN saya berkepala "Medium yang Disia-siakan dengan Kalimat-kalimat sepet erikut: Pika Liga Drama ii hendak didiikan sedapat munghin janganlah ia didirkan dengan hubungan pemetintah Sebsikbaikrya,telap tings partikel,Sebagaiinisiaifparkeliria lebih dapat dihindar- kan dari orang-orang yang hendak mencampuriurusan badan ini bukan untuk kepentingan sandiwara, tapi untuk kepen- ‘in atau kepentingan sendiri.” ; vn erhubung dengan adanya kalimatkaimat ini maka s- orang pembaca telah menanyakan kepada saya, mengapa saya katakan benar supaya Lige tu tidak diirikan dalam hubung- an dengan pemerintah? Bukankah pemerintah juga harus m« mikirkan ini? Dan apakah tidak lebih baik jika ada kerja sama fara pemerintah dan badan ini? ; ae pertenyaan’ petanyaan ini elas sekali dan dikemukakan menurutaturan-afuran mode yang mash berlangsung di ne- geri kita ini. Setiap orang akan dapat mengerti. Saya juga. hingga dengan demikian barangkali kalimat-kalimat yang sa- ya tulis itu yang tak dapat dimengerti orang. — Bagi sya usaha partikelrteramat penting karena badan- badan partikelic mempunyai semacam keringanan yang tak terdapat pada badarcbadan pemerintah Saya lebih banyak meletakkan barapan pada sekolabaskolah partkelir untuk memperbaiki dan mencapai bentuk pendidikan yang sebail baiknya bagi anak Indonesia, karena Sekolah-sekolah i bebas untuk mengadakan percobaan Biarpun dalam suasana sekarang ini mungkin baru bersifat teori, tapi sekolah parti kelir bisa mengalahkan pemerintah dengan kualitasnya,dengan n7

You might also like