Professional Documents
Culture Documents
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
TESIS
Oleh
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan
sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
dituliskan atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang digunakan sebagai acuan
referensi dan telah disebutkan dalam daftar pustaka.
Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang
Maha Esa yang telah memberikan berkat dan rahmatNya sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis ini. Tesis ini dibuat untuk memenuhi syarat kelulusan dalam
Program Studi Ilmu Jantung dan Pembuluh Darah di Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.
Semoga Allah SWT membalas semua jasa dan budi baik mereka yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. Akhirnya penulis
mengharapkan agar penelitian dan tulisan ini kiranya dapat bermanfaat bagi kita
semua. Amin Ya Rabbal Alamin.
DAFTAR ISI
Halaman
Daftar Isi ........................................................................................................................ i
Daftar Gambar ............................................................................................................. iii
Daftar Tabel ................................................................................................................ iv
Daftar Singkatan dan lambang ......................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................................................1
1.2 Pertanyaan Penelitian ..............................................................................................3
1.3 Hipotesis .................................................................................................................3
1.4 Tujuan Penelitian ....................................................................................................3
1.4.1 Tujuan Umum .................................................................................................3
1.4.2 Tujuan Khusus ................................................................................................3
1.5 Manfaat Penelitian ..................................................................................................4
1.5.1 Kepentingan Akademik ..................................................................................4
1.5.2 Kepentingan Masyarakat ................................................................................4
BAB V PEMBAHASAN
5.1 Pengumpulan Data Subyek ....................................................................................49
5.2 Karateristik Subyek Hasil Pengamatan..................................................................52
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................55
Lampiran ....................................................................................................................67
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
2.3 Penentuan Lokasi Sadapan IMAEST dan Sadapan Perubahan Resiprokal. ....21
2.4 Dosis Pemberian Terapi Antiplatelet dan Antikoagulan pada IMAEST .........22
Resiprokal ........................................................................................................44
4.4 Analisa Bivariat TIMI Flow Subyek Penelitian terhadap Resolusi DSST
Resiprokal ........................................................................................................48
4.5 Analisa Bivariat TIMI Flow Subyek Penelitian yang Mendapatkan Terapi
SINGKATAN Nama
AV : Atrio Ventricular
DM : Diabetes Melitus
EKG : Elektrokardiogram
r-PA : Reteplase
RS : Rumah Sakit
SK : Streptokinase
TNK : Tenecteplase
LAMBANG
dengan tanpa resolusi DSST. Penelitian yang dilakukan de Lemoss dkk (2001)
membandingkan penilaian reperfusi secara angiografi dengan penilaian resolusi
segmen ST pada pemberian Streptokinase dengan Alteplase dengan hasil Alteplase
memiliki TIMI flow yang lebih baik dibandingan dengan Streptokinase. Pada negara
berkembang pemilihan terapi fibrinolitik dengan Streptokinase lebih banyak
digunakan, tetapi dengan perkembangan farmakoterapi, Alteplase cenderung lebih
unggul dibandingkan dengan Steptokinase.
Adapun tujuan dari penelitian ini dilakukan adalah untuk menilai dan
membandingkan TIMI flow antara penderita IMAEST yang mendapat terapi
fibrinolitik alteplase dengan atau tanpa resolusi DSST. Agen fibrinolitik ini sering
digunakan sebagai lini terapi awal yang diberikan jika IKP primer tidak dapat
dilakukan.
1.3 Hipotesis
Terdapat perbedaan TIMI flow yang lebih baik pada penderita IMAEST yang
mendapat terapi fibrinolitik dengan resolusi DSST.
menular di rentang umur 45-54 tahun pada populasi perkotaan, peringkat keempat
setelah tuberkulosis, stroke dan hipertensi pada populasi pedesaan (Depkes RI, 2008).
Hampir separuh dari penyebab kematian kardiovaskular tersebut adalah akibat dari
IMA. Walaupun insiden dan mortalitas berkurang dalam beberapa tahun terakhir
dengan adanya unit perawatan koroner, terapi fibrinolitik dan catheter based
reperfusion, serta IKP primer juga menunjukkan penurunan angka mortalitas, namun
ada sejumlah pasien dengan IMA yang tidak memungkinkan untuk mendapatkan
tindakan ini (Griffin dkk, 2009).
`
Gambar 2.1 Definisi Infark Miokard Akut (Thygesen dkk, 2012)
(LV). Pembuluh darah yang akan mensuplai bagian lain dari LV akan bergantung
pada dominansi koroner. Setiap arteri menyumbangkan suplai darah ke area regional
tertentu di jantung. Daerah-daerah ini ditunjukkan secara topografi oleh tabel 2.1
(Baltazar, 2009). EKG merupakan kunci dalam mendiagnosis IMAEST. Selama
iskemik transmural akut (meliputi keseluruhan dinding ventrikel), salah satu penentu
paling penting dari lokasi oklusi arteri koroner adalah arah vektor penyimpangan
segment ST. Vektor yang terlibat selalu berorientasi pada area yang cedera. sadapan
EKG yang mengarah ke kepala vektor yang cedera menunjukkan elevasi segment ST
dan sadapan EKG yang mengarah ke ekor vektor (menghadap berlawanan)
menunjukkan depresi segment ST (Wagner dkk, 2009).
LAD Arteri anterior kiri mensuplai dinding anterior, anteroseptal atau anterolateral
dari LV (sadapan V1-V6, I dan aVL)
RCA Arteri koroner kanan mensuplai dinding inferior (sadapan II, III dan aVF) dan
sering dinding posterolateral dari LV (terutama sadapan V7-V9). Arteri
koroner kanan satu satunya arteri yang mensuplai RV free wall (terutama
sadapan V3R sampai V6R)
LCx LCx mensuplai dinding anterolateral (sadapan I, aVL, V5 dan V6) dan dinding
posterolateral (sadapan V7-V9) dari LV. Pada 10-15% pasien, LCx mensuplai
dinding inferior dari LV
kasus yang jarang terjadi, elevasi ST pada sadapan V1-V4 mengindikasikan oklusi
Right Coronary Artery (RCA) proksimal dengan infark RV. Dalam analisis Blanke
terhadap 39 pasien dengan infark miokard akut akibat oklusi RCA, frekuensi elevasi
ST dalam keempat sadapan prekordial ini adalah sebagai berikut: V1, dua pasien
(5%); V2 dan V3, enam pasien (15%); Dan V4, tiga pasien (8%). Peneliti tidak
menemukan sampel elevasi ST pada V1-V4 yang menyebabkan 25 pasien dengan
infark miokard akut akibat oklusi Left Circumflex (LCx). Infark RV menyebabkan
elevasi ST pada sadapan V1-V4 dapat dibedakan dari infark miokard anterior dengan
mengamati elevasi ST pada sadapan V1 lebih besar dari sadapan V2, elevasi ST pada
prasangka kanan menyebabkan elevasi V3R dan V4R, ST depresi di sadapan V6, dan
ST elevasi di inferior sadapan II, III, dan aVF. Elevasi ST pada Sadapan V1
berkorelasi lebih baik dengan elevasi elevasi ST pada sadapan V3R dibandingkan
dengan sadapan V2, menunjukkan elevasi ST pada sadapan V1 mencerminkan RV
lebih banyak daripada LV (Blanke dkk, 1984; Ben-Gal dkk, 1998).
Lokasi oklusi di LAD, apakah proksimal atau distal, dapat diidentifikasi
dengan mencatat perubahan segmen ST dari berbagai sadapan EKG. Dinding
anterolateral yang tinggi di dasar LV menerima aliran darah koroner dari cabang arteri
diagonal pertama LAD, cabang marginal pertama LCx, atau kadang-kadang dari arteri
ramus intermedius. Sadapan EKG yang langsung menghadapi zona miokard
anterosuperior ini adalah sadapan aVL. Pada infark miokard akut anterior, elevasi ST
pada sadapan I, dan terutama pada sadapan aVL, menandakan oklusi arteri LAD yang
mengarah ke cabang diagonal pertama. Sebaliknya, depresi ST pada sadapan aVL
selama infark miokard akut anterior menandakan oklusi arteri LAD distal ke cabang
diagonal pertama. Sementara elevasi ST pada sadapan aVL adalah tanda oklusi LAD
proksimal yang sangat spesifik, namun memiliki sensitivitas yang relatif rendah untuk
diagnosis ini (Engelen dkk, 1999; Sasaki dkk, 2001). DSST inferior pada sadapan II,
III, dan aVF selama infark miokard anterior akut mengindikasikan adanya injury pada
dinding anterolateral yang tinggi dan tidak signifikan untuk identifikasi iskemia
inferior. Beberapa peneliti menemukan adanya depresi ST pada sadapan inferior yang
mengarah pada indikasi adanya oklusi LAD yang proksimal pada cabang diagonal
pertama. Selain itu, Haraphongse menemukan bahwa pasien dengan infark miokard
akut anterior yang mengalami depresi ST pada sadapan inferior memiliki fungsi
ventrikel kiri yang lebih buruk dan klinis yang lebih rumit daripada pasien tanpa
perubahan ST resiprokal. Namun, pada pasien dengan arteri LAD yang panjang yang
pasien yang mereka teliti dengan jenis EKG ini (Tamura dkk, 1995).
Gambar 2.3 Pola EKG IMAEST Anterior Terhadap LAD (Birnbaum dkk, 2003).
Gambar 2.4 EKG IMAEST Anterior. Tampak adanya elevasi segmen ST pada
sadapan I, aVL dan V1-V5 (Surawicz dkk, 2008).
kodominan (sekitar 5% kasus). Biasanya muncul pada area distal dari muara PDA
adalah AV nodal artery, yang dapat mudah dikenali karena berjalan vertikal dari distal
RCA (Kini, 2007).
Angka kejadian IMAEST inferior adalah sekitar 40-50% dari keseluruhan
IMAEST dan secara umum dikatakan memiliki prognosis yang lebih baik berbanding
IMAEST anterior. Data dari sejumlah penelitian dengan terapi trombolitik pada
IMAEST mendukung pernyataan ini, dengan angka kematian berkisar 2-9% pada
IMAEST inferior yang mendapatkan terapi sesuai pedoman tatalaksana IMAEST
(Berger, 1990; Kennedy, 1988). Sehingga tidak mengherankan jika kebanyakan
penelitian tersebut gagal menunjukkan adanya penurunan angka kematian setelah
mendapatkan terapi trombolitik pada pasien IMAEST inferior. Akan tetapi, penting
diingat bahwa hampir 50% pasien IMAEST inferior mengalami komplikasi atau
gambaran berbeda yang berhubungan dengan peningkatan mortalitas, seperti blok
jantung, DSST prekordial, infark ventrikel kanan, sehingga pada akhirnya akan
mengubah prognosis pasien (Berger dkk, 1990).
gelombang T dan awal dari gelombang P berikutnya (segmen TP) atau segmen PR
Gambar 2.7 Perbedaan Area Infark pada Penampang Melintang Ventrikel. Tampak
adanya perbedaan antara infark subendokardial, yang melibatkan setengah dalam dari
dinding ventrikel, dan infark transmural yang melibatkan keseluruhan dinding
ventrikel. Gelombang Q merupakan penanda infark transmural, namun tidak semua
infark transmural ada gelombang Q (Goldberger dkk, 2013)
Gambar 2.8 Vektor ST Terhadap Elektroda pada Area Iskemik. Tampak area
miokardium yang mengalami iskemia dan mengakibatkan aliran current of injury ke
arah epikardial dan vektor ST ke arah endokardium (Becker dkk, 1988)
A B
Gambar 2.9 Gambaran EKG pada Injury Subendokardium dan Transmural. A.
Iskemia subendokardial menyebabkan electrical forces yang bertanggung jawab
untuk segmen ST berdeviasi ke arah lapisan dalam jantung, sehingga menyebabkan
depresi segmen ST, yang menghadap permukaan luar jantung. B. Iskemia akut
transmural (epikardial) menyebabkan electrical forces yang bertanggung jawab untuk
segmen ST berdeviasi ke arah lapisan luar jantung dan menyebabkan elevasi segmen
ST pada sadapan (Goldberger dkk, 2013)
Gambar 2.10 Perubahan EKG Sebagai Hasil dari Proses Injury. Baseline telah
berubah dan terletak diatas baseline awal. Tidak adanya injury flow saat depolarisasi
dari miosit yang mengalami iskemik menyebabkan kembalinya segmen ST ke
baseline awal, sehingga memberikan gambaran depresi segmen ST (Becker dkk,
1988)
disfungsi LV yang lebih tinggi, peningkatan angka kematian di rumah sakit, insiden
stenosis RCA yang lebih tinggi dan peningkatan kejadian angina paska infark
(Crawford dkk, 1984; Haraphongse dkk, 1984; Nour, 2017).
sehingga tindakan IKP primer masih menjadi pilihan utama untuk tindakan reperfusi
dini. Namun, jika IKP primer tidak dapat dilakukan, maka revasularisasi farmakologis
dengan agen fibrinolitik dapat diberikan jika tidak dijumpai adanya kontraindikasi
(Ibanez dkk, 2017; Steg dkk, 2012; PERKI, 2015; Cohen dkk, 2010; Gogo dkk, 2010;
Eagle dkk, 2008).
Sebelum dilakukan tindakan fibrinolitik, ada beberapa terapi pre-prosedural
yang perlu diberikan diantaranya terapi dual antiplatelet berupa aspirin dan
penghambat reseptor ADP (Clopidogrel). Dosis loading oral aspirin yang digunakan
adalah 150 – 300 mg, diikuti dosis pemeliharaan 75-100 mg per hari, sedangkan dosis
loading Clopidogrel 300 mg, diikuti dosis pemeliharaan 75 mg per hari (tabel 2.4).
Pemberian dual antiplatelet direkomendasikan sampai dengan satu tahun pada pasien
paska tindakan fibrinolitik dan IKP (tabel 2.5) (Ibanez dkk, 2017; Steg dkk, 2012;
PERKI, 2014).
Terapi antikoagulan juga direkomendasikan pada pasien IMAEST yang telah
dilakukan terapi fibrinolitik. Antikoagulan ini diberikan hingga revaskulariasi
dilakukan atau selama rawatan di rumah sakit hingga 8 hari. Antikoagulan yang
digunakan diantaranya enoxaparin, unfractionated heparin (UFH), dan fondaparinux.
Enoxaparin lebih disarankan dibandingkan dengan UFH, sedangkan fondaparinux
hanya dapat diberikan 24 jam setelah fibrinolitik dengan streptokinase (tabel 2.5)
(Ibanez dkk, 2017; Steg dkk, 2012).
Dosis antikoagulan enoxaparin 1,0 mg/kg dua kali sehari. Jika usia diatas 75
tahun, maka enoxaparin diberikan dosis yang disesuaikan yaitu 0,75 mg/kg, dua kali
sehari. Pada studi ExTRACT-TIMI 25 (Enoxaparin and Thrombolysis Reperfusion
for Acute Myocardial Infarction Treatment-Thrombolysis in Myocardial Infarction
study 25), perbandingan kematian - infark miokard pada pemberian enoxaparin paska
fibrinolitik dengan alteplase lebih baik dibandingkan dengan UFH. Sedangkan efek
samping terjadinya perdarahan mayor lebih tinggi pada enoxaparin. Akan tetapi
secara keseluruhan outcome sama antara pemberian UFH dan enoxaparin (Antman
dkk, 2005; Fox dkk, 2009).
Terapi antikoagulan dapat memberikan peningkatan kecil dalam patensi (Ross
dkk, 2001), seperti terapi antiplatelet, peran utamanya adalah dalam membantu
mempertahankan patensi setelah reperfusi yang sukses. Namun beberapa penelitian
besar Randomized Clinical Trial (Braid dkk , 2002) tidak menunjukkan manfaat klinis
dengan UFH sebagai terapi tambahan untuk fibrinolitik, sedangkan LMWH
menunjukkan potensi klinis. Studi oleh Simoon tahun 2002 (Simoon dkk, 2002)
mengevaluasi enoxaparin selama 3-8 hari bersamaan dengan terapi fibrinolitik
dibandingkan dengan placebo, enoxaparin secara signifikan meningkatkan patensi
arteri ( 70% vs 58%). Studi HEART II membandingkan terapi tambahan enoxaparin
dan UFH setelah terapi fibrinolitik dengan alteplase, menegaskan bahwa enoxaparin
setidaknya sama efektif dengan UFH. Tingkat patensi arteri 80% pada kelompok
enoxaparin dan 75,1 % pada kelompok UFH (Ross dkk, 2001).
Tabel 2.4 Dosis Pemberian Terapi Antiplatelet dan Antikoagulan pada IMAEST
dengan Fibrinolitik (Ibanez dkk, 2017)
sedikit pada pemberian t-PA. Jika digabungkan, angka kematian dan stroke lebih
sedikit pada pemberian t-PA dibandingkan dengan SK. Studi TIMI fase I, pemberian
alteplase pada pasien IMAEST memberikan hasil reperfusi dua kali lebih baik
dibandingkan dengan pemberian SK selama 90 menit.
EKG yang berpasangan, maupun pada satu sadapan dengan elevasi segmen ST
terbesar setelah 90 menit terapi fibrinolitik (O’Gara dkk, 2013; de Belder dkk, 2001).
Insidensi untuk kegagalan fibrinolitik sulit ditentukan, hal ini bergantung
dengan banyak faktor, tidak hanya berdasarkan onset nyeri dada pada saat pasien
datang, tetapi jenis agen fibrinolitik yang digunakan, dosis regimen yang pakai.
Kegagalan fibrinolitik berhubungan dengan meningkatnya mortalitas dan disfungsi
ventrikel kiri (de Belder, 2001). Pada studi yang dilakukan GUSTO (1993) dan
Anderson dkk (1996), mengevaluasi hubungan antara TIMI flow dan outcome,
didapatkan persentase mortalitas 3,7% pada TIMI flow 3, 7% pada TIMI flow 2, dan
8,8% pada TIMI flow 0/1 dalam jangka waktu 4-6 minggu.
Penilaian terhadap pasien IMA-EST dengan EKG kembali normal, memiliki
mortalitas yang lebih rendah, serta fungsi ventrikel kiri yang lebih baik, tetapi situasi
seperti ini jarang sekali terjadi. Penurunan ambang rasa nyeri dada, segmen ST yang
kembali normal, serta aritmia reperfusi hanya terjadi bersamaan sebesar 15%. Nyeri
dada yang berkurang dapat dipengaruhi oleh obat-obatan penghilang nyeri yang
diberikan. Usia, diabetes, perbedaan ambang rasa nyeri, adanya perikarditis juga dapat
mempengaruhi derajat nyeri yang dirasakan. (de Belder, 2001; Sutton dkk, 2000; Bhat
dkk, 2014).
Gambar 2.12 Perbedaan grading TIMI flow 0 sampai TIMI flow 3 (Gibson dkk,
2004)
2.8 TIMI Flow Paska Fibrinolitik dan Resolusi DSST Resiprokal pada
IMAEST
Seperti yang sudah di ketahui pada IMAEST elevasi ST sering disertai dengan
DSST resiprokal namun signifikansi klinis dari temuan ini masih belum diketahui.
Pentingnya temuan ini masih diperdebatkan. Hal ini mungkin mencerminkan iskemia
miokard sekunder yang meluas akibat penyakit arteri koroner multivessel atau dikenal
dengan istilah "ischemia at a distance", infark yang luas dan benign electrical
phenomenon (resiprokal). Gambaran ini bias jadi hanya fenomena listrik yang tidak
berbahaya, atau sebagai alternatif indikasi remote ischemic yang berhubungan dengan
prognosis yang buruk. DSST resiprokal yang berhubungan dengan prognosis yang
beruk mungkin sangat dipengaruhi dengan tidak dilakukannya reperfusi fibrinolitik.
Stevenson melakukan penelitian terhadap 285 pasien IMAEST yang di terapi
dengan fibrinolitik untuk mengetahui secara klinis signifikansi DSST resiprokal.
Hasilnya, DSST resiprokal pada presentasi EKG tampaknya menjadi benign electrical
phenomenon saja dan tidak terkait dengan onset gejala. DSST resiprokal juga tidak
selalu merupakan prognosis buruk pada pasien IMAEST yang mendapatkan terapi
fibrinolitik (Stevenson dkk, 1993). Namun hal yang berbeda didapatkan dari
Odemuyiwa yang menemukan hubungan antara adanya DSST resiprokal dengan
infark yang luas setelah terapi fibrinolitik dan dilakukan IKP, yaitu dengan hasil PJK
multivessel (Odemuyiwa dkk, 1985).
fibrinolitik pada kelompok berisiko tinggi ini, namun pada infark anterior, DSST
resiprokal hampir selalu dianggap tidak begitu penting. Akibatnya, resolusi DSST
resiprokal tidak dapat digunakan secara global sebagai pengukuran dan penilaian
terapi fibrinolitik. Terlepas dari banyaknya perdebatan mengenai mekanisme ini, tidak
adanya resolusi DSST pada IMAEST yang mendapatkan terapi reperfusi baik
fibrinolitik atau IKP primer berhubungan dengan prognosis yang lebih jelek
(Tjandrawidjaja dkk, 2010; Wong dkk, 2015; Reinstadler dkk, 2015).
Sistem score TIMI telah lama digunaka secara luas dalam menilai patensi
pembuluh darah koroner paska terapi fibrinolitik. Studi awal TIMI menyebutkan tidak
ada perbedaan yang bermakna antara TIMI flow 2 dan 3, keduanya menggambarkan
aliran arteri yang baik. Pada studi TEAM-2 (1992) menyebutkan bahwa outcome pada
TIMI flow 2 hampir sama dengan TIMI flow 0/1 dibandingkan pada TIMI flow 3.
Substudi GUSTO membedakan grup TIMI 0/1, TIMI flow 2 dan 3, didapatkan
mortalitas dalam 30 hari yang berbeda antara setiap grup, TIMI flow 0/1 dengan
persentase mortalitas sebesar 8,9%, TIMI flow 2 7,4% sedangkan TIMI flow 3 dengan
4,4% (Oldroyd, 2000). Pada penelitian jangka panjang oleh Kim mengklasifikasikan
TIMI flow menjadi dua kelompok yaitu TIMI flow 3 dan TIMI flow 2, didapatkan
kematian jangka panjang pada TIMI flow 2 (suboptimal aliran darah koroner) yang
lebih tinggi (Kim DW dkk, 2017)
Bahkan, untuk subjek dengan IMAEST inferior, penelitian terdahulu
menyebutkan bahwa resolusi DSST setelah dilakukan terapi fibrinolitik tampak lebih
penting peranannya dalam menentukan patensi pembuluh darah koroner paska terapi
fibrinolitik (Wong dkk, 2015). Akhirnya diketahui bahwa tidak hanya elevasi segmen
ST dan resolusi elevasi segmen ST saja tetapi DSST resiprokal dan resolusi DSST
resiprokal juga berguna untuk memprediksi ukuran infark yang lebih luas serta
sebagai pedoman tatalaksana terapi reperfusi baik fibrinolitik ataupun IKP primer.
TIMI flow
Terapi Fibrinolitik
Tanpa resolusi Depresi Dengan resolusi Depresi Sesuai Kriteria Inklusi dan
Segmen ST (DSST) pada Segmen ST (DSST) pada Eksklusi
sadapan resiprokal sadapan resiprokal
34
Semua data ini akan dicatat secara seksama. Dari seluruh data yang dimiliki
subyek, data penting awal yang dievaluasi adalah EKG 12 sadapan pada saat awal
masuk unit gawat darurat RSHAM dan 90 menit dari awal mulai terapi fibrinolitik
dengan kecepatan rekaman 25 mm/s dan skala 10 mm/mv. DSST pre fibrinolitik
dinilai dengan menghitung jumlah dalamnya depresi segmen ST pada sadapan
resiprokal yang diukur pada 80 ms setelah j point terhadap garis isoelektris seperti
tampak pada gambar di bawah ini.
J Point T
P
DSST
Q
80 ms
Garis Isoelektris S
Titik pengukuran DSST
Setelah itu, kedua kelompok yang telah dilakukan fibrinolitik dengan alteplase akan
diberikan antikoagulan selama 3-8 hari. Setelah itu dilakukan IKP awal untuk menilai
TIMI flow. TIMI flow dinilai saat dilakukan diagnostik angiografi koroner, penilaian
TIMI flow ini dilakukan oleh ahli jantung intervensi melalui rekaman angiografi
koroner dan dan dibandingkan hasil angiografi berdasarkan TIMI flow (TIMI flow 0,
TIMI flow 1, TIMI flow 2, TIMI flow 3), kemudian hasilnya dianalisa secara
statistika.
3.8.2 Alur Penelitian
Kriteria eksklusi
Sampel Penelitian
Data dasar:
- Indentitas
- Anamnesa
- Pemeriksaan Fisik
- EKG DSST
- Foto thoraks
- Enzim jantung
- Ekokardiografi
- Penggunaan obat
Pengukuran resolusi DSST resiprokal pada EKG 90 menit dari terapi fibrinolitik
Tanpa resolusi DSST resiprokal (I) Dengan resolusi DSST resiprokal (II)
menggunakan perangkat statistik komputer, nilai p < 0,05 dikatakan bermakna secara
statistik.
42
rumah sakit adalah 77 kali/menit pada kelompok IMAEST dengan resolusi DSST
resiprokal dan 76 kali/menit pada kelompok IMAEST tanpa resolusi DSST resiprokal.
Dari pemeriksaan laboraturium juga tidak didapati adanya perbedaan yang
bermakna secara statistik antara kelompok kelompok IMAEST dengan resolusi DSST
resiprokal dan kelompok IMAEST tanpa resolusi DSST resiprokal yaitu jumlah
leukosit, ureum dan kreatinin. Rata-rata jumlah leukosit pada kelompok IMAEST
dengan resolusi DSST resiprokal adalah 13.231 /µL dan 12.063/ µL pada kelompok
IMAEST tanpa resolusi DSST resiprokal. Rata-rata kadar ureum pada kelompok
IMAEST dengan resolusi DSST resiprokal adalah 21 mg/dl dan 25 mg/dl pada
kelompok kelompok IMAEST tanpa resolusi DSST resiprokal dan rata-rata kadar
kreatinin pada kelompok IMAEST dengan resolusi DSST resiprokal adalah 0,90
mg/dl dan 0,89 mg/dl pada kelompok kelompok IMAEST tanpa resolusi DSST
resiprokal.
Tidak dijumpai perbedaan yang bermakna secara statistik dalam faktor-faktor
risiko penyakit jantung koroner antara kelompok kelompok IMAEST dengan resolusi
DSST resiprokal dengan kelompok IMAEST tanpa resolusi DSST resiprokal yaitu
merokok 18 orang (60%) berbanding 21 orang (70%), diabetes melitus 11 orang
(36,7%) berbanding 13 orang (43,3%), Hipertensi 16 orang (53,3%) berbanding 19
orang (63,3%) Dislipidemia 25 orang (83,3%) berbanding 20 orang (66,7%) dan
obesitas 6 orang (20%) berbanding 5 orang (16,7%)
Hasil Penelitian ini menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna secara
statistik antara kelompok IMAEST dengan resolusi DSST resiprokal dan kelompok
IMAEST tanpa resolusi DSST resiprokal dalam hal fraksi ejeksi ventrikel kiri,
IMAEST anterior dan durasi dari QRS. Dalam hal fraksi ejeksi ventrikel kiri terlihat
bahwa kelompok IMAEST dengan resolusi DSST resiprokal memiliki nilai fraksi
ejeksi ventrikel kiri yang lebih tinggi dari kelompok IMAEST tanpa resolusi DSST
resiprokal yaitu 52% berbanding 43% (p=<0,001). Kelompok IMAEST dengan
resolusi DSST resiprokal jarang terjadi pada IMAEST anterior dibandingkan
kelompok IMAEST tanpa resolusi DSST resiprokal yaitu 10 orang (33,3%)
berbanding 25 orang (83,3%) (p=<0,001). Sedangkan durasi QRS kelompok IMAEST
dengan resolusi DSST resiprokal memiliki nilai durasi QRS lebih baik yaitu 70 ms
berbanding 80 ms (p=<0,001). Masing-masing nilai proporsi variabel dapat di lihat
pada tabel 4.1 di halaman berikutnya.
Jumlah total subjek penelitian adalah 60 orang yang terdiri dari 38 orang
(62%) yang dijumpai TIMI flow 3, 19 orang (31%) yang dijumpai TIMI flow 2, 2
orang (5%) yang dijumpai TIMI flow 1, 1 orang (2%) yang dijumpai TIMI flow 0.
TIMI Flow
2% 5%
Sedangkan proporsi TIMI flow optimal dan suboptimal terdiri dari 38 orang
TIMI flow optimal dan 22 orang dengan TIMI flow suboptimal.
TIMI Flow
37%
TIMI Flow ≤ 2
(Suboptimal)
63%
TIMI Flow 3 (Optimal)
Jika terdapat perbedaan antara observer maka yang diambil nilai tertinggi dari TIMI
Flow. Dalam penelitian ini nilai variabilitas inter-observer diuji dengan menggunakan
uji Kappa (Cohen’s Kappa Coefficient). Penilaian TIMI flow dilakukan oleh dua
orang observer penilaian yang merupakan konsultan intervensi. Nilai Kappa (κ) pada
variabilitas inter-observer adalah 0,623 yang termasuk dalam kategorik baik (good)
dengan nilai p=0,000.
sementara untuk variable resolusi DSST tampak memiliki presentasi yang lebih tinggi
dalam memprediksi TIMI flow yang lebih baik.
Tabel 4.4 Analisa Bivariat TIMI Flow Subyek Penelitian terhadap Resolusi DSST
Resiprokal
Resolusi DSST
Variabel Ada Tidak ada Total Nilai p OR 95% KI
n=30 n=30
TIMI Flow (n, %)
0/1/2 2 (6,7) 20 (66,7) 22 (36,7) <0,001 28 5,5 -141,9
3 28 (93,3) 10 (33,3) 38 (63,3)
Tabel 4.5 Analisa Bivariat TIMI Flow terhadap Subyek Penelitian yang Mendapatkan
Terapi Fibrinolitik Alteplase Dilanjutkan dengan Terapi Tambahan Antikoagulan.
Antikoagulan
Variabel Total Nilai p
LMWH UFH
TIMI Flow (n,%)
0/1/2 11 (33,3) 11 (40,7) 22 (36,7) 0,554
3 22 (66,7) 16 (59,3) 38 (63,3)
PEMBAHASAN
49
dipertimbangkan harkat dan martabat manusia serta manfaat dan kerugian dari suatu
penelitian. Untuk itu penelitian ini telah mendapatkan izin dari komite etik Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan Badan penelitian dan pengembangan dari
RSUP Haji Adam Malik Medan (lampiran 4).
Adapun untuk penilaian TIMI flow dilakukan berdasarkan hasil angiografi
koroner dengan menilai aliran darah arteri koroner secara subyektif oleh dua orang
observer yang merupakan konsultan intervensi.
variable resolusi DSST tampak memiliki presentasi yang lebih tinggi dalam
memprediksi TIMI flow yang lebih baik.
Hasil perbandinga TIMI Flow pasien IMAEST yang mendapatkan terapi
fibrinolitik alteplase pada IMAEST dengan resolusi DSST resiprokal dan tanpa
resolusi DSST resiprokal menunjukkan bahwa terdapat perbedaan TIMI Flow.
Penderita IMAEST dengan resolusi DSST resiprokal setelah mendapatkan terapi
fibrinolitik alteplase memiliki niali TIMI Flow 3 lebih banyak dari pada penderita
IMAEST tanpa resolusi DSST resiprokal setelah mendapatkan terapi fibrinolitik
alteplase yaitu 28 orang (93,3%) berbanding dengan 10 orang (33,3%) dan hal ini
bermakna secara statistik dengan nilai p<0,001. Hasil penelitian ini menyerupai
penelitian sebelumnya membandingkan TIMI Flow dengan resolusi DSST resiprokal
oleh Tjandrawidjaja (2010) namun pada populasi dengan terapi IKP primer bukan
terapi fibrinolitik.
Penilaian TIMI flow bersifat subjektif, sehingga diperlukan observer yang
merupakan konsultan intervensi. Untuk menilai besarnya perbedaan antara observer
maka digunakan uji Kappa untuk melihat perbedaan antara kesepakatan yang
teramati. Dari penelitian ini didapatkan nilai Kappa (K) 0,623, artinya kesepakatan
inter-observer baik (Murti, 2011).
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh pada penelitian ini disimpulkan
bahwa terdapat perbedaan TIMI Flow pada penderita IMAEST dengan resolusi DSST
resiprokal dan tanpa resolusi DSST resiprokal yang mendapatkan terapi fibrinolitik
alteplase, dimana penderita IMAEST dengan resolusi DSST resiprokal memiliki nilai
TIMI Flow yang lebih baik dibandingkan dengan penderita IMAEST tanpa resolusi
DSST resiprokal.
53
6.3 Saran
Resolusi DSST resiprokal memiliki makna penting, salah satunya dengan
TIMI flow yang lebih baik pada pasien dengan adanya resolusi DSST resiprokal
dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat membantu praktisi dalam
memperkirakan strategi terapi yang akan diambil pada penangan awal pasien
IMAEST di unit gawat darurat RS H. Adam Malik Medan. Penelitian lanjutan yang
bersifat prospektif dengan jumlah sampel yang lebih besar disarakan untuk hasil
penelitian yang lebih baik.
Alwi, I. 'Infark miokard akut dengan elevasi ST', in Sudoyo, A.W., Setryohadi, B.,
Alwi, I., Simadibratra, M. and Setiati, S. Buku Ajar Ilmu Pengetahuan
th
Penyakit Dalam Jilid II, 5 edition, Jakarta: Interna Publishing; 2009.
Angeja BG, Gunda M, Murphy SA, et al. TIMI myocardial perfusion grade and ST
segment resolution: association with infarct size as assessed by single photon
emission computed tomography. Circulation. 2002;105:282.
Armstrong PW, Fu Y, Westerhout CM, et al. Baseline Q-wave surpasses time from
symptom onset as a prognostic marker in ST-segment elevation myocardial
infarction patients treated with primary percutaneous coronary intervention. J
Am Coll Cardiol. 2009; 53:1503.
55
Arso IA. Kejadian Kardiovaskular Mayor Pada Penderita Infark Miokard Akut
Dengan Elevasi Segment ST (IMAEST) Yang Dilakukan Terapi Fibrinolitik
Dibanding Intervensi Koroner Perkutan (IKP) Primer Selama Perawatan Di
Rumah Sakit. Tesis Profesi Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah FK
UGM. 2012.
Baird SH, Menown IB, Mcbride SJ et al. Randomised comparison of enoxaparin with
unfraction- ated heparin in patients receiving fibrinolytic therapy for acute
myocardial infarction. Eur Heart J. 2002;23:627–632
Becker RC, Burns M, Gore JM, et al. Early assessment and inhospital management of
patients with acute myocardial infraction at increased risk for adverse
outcomes: a nationwide prespective of current clinical practise. The National
Registry of Myocardial Infarction (NRMI-2) Participans. Am Heart J.
1998;135:786.
Bender JR, Russel KS, Rosenfeld LE, et al. Coronary Artery Disease, Oxford
American Handbook of Cardiology. New York: Oxford University Press;
2011.
Berger PB, Ryan TJ. Inferior myocardial infraction: high-risk subgroups. Circulation.
1990;81:401-411.
Birnbaum Y, Kloner RA, Sclarovsky S, et al. Distortion of the terminal portion of the
QRS on the admission electrocardiogram in acute myocardial infarction and
correlation with infarct size and long-term prognosis (TIMI-4 Trial). Am J
Cardiol. 1999;78:396.
Buller CE, Fu Y, Adams P, et al. ST-Segment Recovery and Outcome After Primary
Percutaneous Coronary Intervention for ST-Elevation Myocardial Infarction:
Insight From the Assessment of Pexelizumab in Acute Myocardial Infarction
(APEX-AMI) Trial. Circulation. 2008;118:1335-1346.
Califf RM, Pieper KS, Lee KL, et al. Prediction of 1-year survival after thrombolysis
for acute myocardial infarction in the global utilization of streptokinase and
TPA for occluded coronary arteries trial. Circulation. 2000;101:2231.
Cham BE. and Chase TR. 'Intravascular infusion of autologous delipidated plasma
induces antiatherogenic lipoproteins and causes regression of atherosclerosis',
Health. 2013;5:19-33.
Dharma S. Gambaran EKG pada iskemia, injuri dan infark miokard. Sistematika
Interpretasi EKG: Pedoman Praktis. Edisi pertama. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2010:15-24.
Eagle KA, Nallamothu BK, Mehta RH, et al. 'Trends in acute reperfusion therapy for
ST-segment elevation myocardial infarction from 1999 to 2006: we are getting
better but we have got a long way to go ', European Heart Journal.
2008;29(5): 609-617.
Engelen DJ, Gorgels AP, Cheriex EC, et al. Value of the electrocardiogram in
localizing the occlusion site in the left anterior descending coronary artery in
acute anterior myocardial infarction. J Am Coll Cardiol. 1999;34:389–95.
Ferguson DW, Pandian N, Kioschos JM, et al. Angiographic evidence that reciprocal
ST-segment depression during acute myocardial infarction does not indicate
remote ischemia : Analysis of 23 patient. The American Journal of
Cardiology. 1984;53(1):55-62.
Field JM. Fibrinolytic Therapy Past, Present and Future. 2nd Virtual Congres of
Cardiology, Argentine Federation of Cardiology. 2001.
Fox KAA, White H, Opie JJS, et al. 'Antithrombic agents: platelet inhibitors,
anticoagulants, and fibrinolytics', in Opie, L.H. and Gersh, B.J. Drugs for The
th
Heart. 7 edition, Philadelphia: Saunders Elsevier; 2009
Griffin BP, Topol EJ. Manual of Cardiovaskular Medicine. 3rd Edition. New York,
Lippincott Williams & Wilkins; 2009.
Haim M, Reisin L, Kornowski R, et al. Comparison of short and long term prognosis
in patients with anterior wall versus inferior wall non Q wave acute
myocardial infarction. The American Journal of Cardiology. 1997;79(6):717-
721.
Hasan, H. (2007) Intervensi Koroner Perkutan pada Penyakit Jantung Koroner dan
Permasalahannya, Medan: Repository USU.
Hathaway WR, Peterson ED, Wagner GS, et al. Prognostic Significance of the Initial
Electrocardiogram in Patients With Acute Myocardial Infarction. GUSTO-I
Investigator. J of Am Med Association. 1998;279(5):387-391.
Hopenfeld B, Stintra JG, Macleod RS. Mechanism for ST depression associated with
Contiguouos Subendocardial Ischemia. Journal of Cardiovascular
Electrophysiology. 2004;15:1200.
Ibanez B, James S, Agewall S, et al. ‘2017 ESC Guidelines for the management of
acute myocardial infarction in patients presenting with ST-segment elevation',
European Heart Journal. 2017;00:1-66.
Katz R, Conroy RM, Robinson K et al. The aetiology and prognostic implications of
reciprocal electrocardiographic changes in acute myocardial infraction. Br
Heart J. 1986;55:423-7.
Kennedy JW, Martin GV, Davis KB, et al. The Western Washington Intravenous
Sterptokinase in Acute Myocardial Infarction Randomized Trial. Circulation.
1998;77:345-352.
Kern MJ. 'Angiography for percutaneous coronary interventions', in Kern, M.J. (ed.)
rd
The Interventional Cardiac Catheterization Handbook, 3 edition,
Philadelphia: Elsevier Saunders; 2013.
Kim DW, Her SH, Park MW, et al. Impact of Postprocedural TIMI Flow on Long-
Term Clinical Outcomes in Patients with Acute Myocardial Infarction Five
Year Follow-Up Results in the Korea-AMI Registry. Int Heart J.
2017;58:674-685.
Kini. Normal and Variant Coronary Arterial and Venous Anatomy on High-
Resolution CT Angiography. American Journal of Roentgenology.
2007;188:1665-1674
Llevadot J, Guigliano RP, Antman EM. Bolus fibrinolytic therapy in acute myocardial
infarction. Journal of American Medical Association. 2001;286:442-449.
Mani AJ, Edep ME, Brown DL. “Pathophysiology of acute coronary syndrome and
atherothrombosis”. In: Jeremias A, Brown DL, eds. Cardiac Intensive Care.
2nd ed. Philadelphia: Saunders; 2010:73-86.
O’Gara PT, Kushner FG, Ascheim DD, et al. 2013 ACCF/AHA Guideline for the
Management of ST-Elevation Myocardial Infarction : A Report of the
American College of Cardiology Foundation/American Heart Association
Task Force on Practice Guideline. Journal of American College of Cardiology.
2013;61(4):78-140.
Ottervanger JP, van’t Hof AWJ, Reiffers S, et al. Long–term Recovery of Left
Ventricular Fungtion After Primary Angioplasty for Acute Myocardial
Infraction. Eur Heart J. 2001;22:785-790.
Peterson ED, Hathaway WR, Zabel KM, et al. Prognostic significance of pericordial
ST Segment depression during inferior myocardial infarction in the
thrombolytic era: results in 16.521 patients. J Am Coll Cardiol. 1996;28:305.
Reinstadler SJ, Baum A, Rommel KP, et al. ST-Segment depresion resolution predicts
infarct size and reperfusion injury in ST-elevation myocardial infarction. Br
Med J. 2015:1-7.
Rude RE, Croft CH, Willerson JT. “Reciprocal” anterior ST depression early in the
course of transmural inferior myocardial infarction: an ECG finding of
uncertain clinical significance. International Journal of Cardiology.
1983;4:80-85.
Sarahazti MF. Global Longitudinal Strain (GLS) ventrikel kiri sebagai prediktor
kejadian kardiovaskular mayor dalam 30 hari setelah infark miokard akut
elevasi segmen ST di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan. Tesis Profesi
Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah FK USU; 2017.
Steg G, James SK, Atar D, et al. ESC Guidelines for the management of acute
myocardial infarction in patients presenting with ST-segmen elevation.
European Heart Journal. 2012;2012:1-51.
Thygesen K, Alpert JS, Jaffe AS, et al. Fourth Universal Definition of Myocardial
Infarction. European Heart Journal. 2018;00:1-33.
Willems LJ, Willems RJ, Willems GM, et al. Significance of initial ST segment
elevation and depression for the management of thrombolytic therapy in acute
myocardial infarction. Circulation. 1990;82:1147-1158.
Wong CK, Gao W, White HD. Resolution of ST depression after fibrinolysis can be
more important than resolution of ST elevation for many patients with inferior
STEMIs. International Journal of Cardiology. 2015;182:232-234.