You are on page 1of 81

PERBANDINGAN TIMI FLOW PADA PENDERITA INFARK

MIOKARD AKUT ELEVASI SEGMEN ST DENGAN DAN TANPA


RESOLUSI DEPRESI SEGMEN ST RESIPROKAL YANG
MENDAPATKAN TERAPI FIBRINOLITIK ALTEPLASE

TESIS

Oleh

ALDINO SATRIA ADHITYA


NIM: 137115012

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS


DEPARTEMEN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

PERBANDINGAN TIMI FLOW PADA PENDERITA INFARK


MIOKARD AKUT ELEVASI SEGMEN ST DENGAN DAN TANPA
RESOLUSI DEPRESI SEGMEN ST RESIPROKAL YANG
MENDAPATKAN TERAPI FIBRINOLITIK ALTEPLASE

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan
sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
dituliskan atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang digunakan sebagai acuan
referensi dan telah disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, September 2018

Aldino Satria Adhitya

Universitas Sumatera Utara


UCAPAN TERIMA KASIH

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang
Maha Esa yang telah memberikan berkat dan rahmatNya sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis ini. Tesis ini dibuat untuk memenuhi syarat kelulusan dalam
Program Studi Ilmu Jantung dan Pembuluh Darah di Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyatakan penghargaan dan ucapan


terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara, dan Ketua TKP PPDS I Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara yang telah memberikan penulis kesempatan untuk mengikuti
Program Studi Ilmu Jantung dan Pembuluh Darah di Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. dr. Harris Hasan, Sp.PD, SP.JP(K) selaku Ketua Departemen Kardiologi
dan Kedokteran Vaskular Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara/RSUP Haji Adam Malik Medan di saat penulis melakukan penelitian
yang telah memberikan penulis kesempatan untuk mengikuti Program Studi
Ilmu Jantung dan Pembuluh Darah di Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara dan pembimbing satu dalam melakukan penelitian tesis
profesi ini yang telah memberikan ide dan arahan serta membuka cakrawala
berpikir sehingga dapat menerapkan pola berpikir yang komprehensif
mengenai tulisan ini.
3. dr. Ali Nafiah Nasution, Sp.JP(K) selaku Ketua Program Studi PPDS Ilmu
Jantung dan Pembuluh Darah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara yang telah memberikan kritikan dan saran yang begitu berharga
sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
4. dr. Refli Hasan, Sp.PD, Sp.JP(K) sebagai pembimbing dua tesis ini yang
dengan penuh kesabaran membimbing, mengoreksi, dan memberikan
masukan-masukan berharga kepada penulis sehingga tulisan ini dapat
diselesaikan.

Universitas Sumatera Utara


5. Guru-guru penulis : Prof. dr. T. Bahri Anwar, SpJP(K); Prof. dr. Sutomo
Kasiman, SpPD, SpJP(K); Prof. dr. Abdullah Afif Siregar, SpA(K), SpJP(K);
Prof. dr. Harris Hasan, SpPD, SpJP(K); Alm. dr. Maruli T Simanjuntak
SpJP(K); dr. Nora C Hutajulu SpJP(K); Alm. dr. Isfanuddin Nyak Kaoy,
SpJP(K); dr. P. Manik, SpJP(K); dr. Refli Hasan, SpPD, SpJP(K); dr. Amran
Lubis, SpJP(K); dr. Nizam Akbar, SpJP(K); dr. Zainal Safri, SpPD, SpJP(K);
dr. Andre Ketaren, SpJP(K); dr. Andika Sitepu SpJP(K); dr. Anggia Chairudin
Lubis SpJP; dr. Ali Nafiah Nasution, SpJP(K); dr. Cut Aryfa Andra, SpJP(K);
dr. Hilfan Ade Putra Lubis, M. Ked (Cardio), SpJP, dr. Andi Khairul, M. Ked
(Cardio), SpJP; dr. Abdul Halim Raynaldo, M. Ked (Cardio) SpJP(K); dr.
Hilfan Ade Putra Lubis, M. Ked (Cardio), Sp.JP; dr. Yuke Sarastri, M. Ked
(Cardio), SpJP; dr. Teuku Bob Haykal, M. Ked (Cardio), SpJP; dr. Faisal
Habib, SpJP; dr. T. Winda, M. Ked (Cardio), SpJP; serta guru lainnya yang
tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak memberikan
masukan dan dorongan selama mengikuti program pendidikan profesi ini.
6. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan yang telah
memberikan kesempatan, fasilitas dan suasana kerja yang baik sehingga
penulis dapat mengikuti Program Pendidikan Spesialis Ilmu Jantung dan
Pembuluh Darah.
7. Teristimewa untuk orang tua yang sangat penulis hormati dan sayangi, yakni
Ayahanda Abdul Syukur, SE dan ibunda Almh. Retno Dyah Wardianti SH,
MBA, yang selama ini telah memberikan belaian kasih sayang dan motivasi
semasa kecil untuk terus bersemangat mencari ilmu serta doa, nasihat yang
tulus agar penulis tetap semangat, sabar dan tegar dalam mengikuti pendidikan
sampai selesai. Takkan dapat semuanya itu penulis balas dengan apapun,
penelitian ini hanya permulaan bukti kecil tanda terimakasih yang penulis
persembahkan untuk ayahanda dan Almh. ibunda tercinta semoga semua
pengorbanan yang telah ayahanda dan Almh. ibunda berikan kelak mendapat
ridho dari Allah SWT.
8. Kepada Bapak dan Ibu Mertua Penulis, Daryatmo dan Sri Sunarsih, yang
selama ini memberikan dukungan moril dan matreri serta doa, nasihat yang
tulus agar penulis tetap semangat, sabar dan tegar dalam mengikuti pendidikan
sampai selesai.

Universitas Sumatera Utara


9. Istri penulis dr. Tri Dewi Astuti yang selalu mendukung penulis dalam segala
hal, memberikan semangat dan dorongan yang besar serta kasih sayang dan
dengan sabar mendukung penulis untuk menyelesaikan tesis ini. Ketiga anak
penulis Antano Adhitya, Orlando Satria dan Adskhan Aldino serta seluruh
keluarga besar penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah
memberikan dukungan doa dan moril sehingga penulis dapat menyelesaikan
tesis ini.
10. Kelima sahabat seperjuangan penulis kelompok “HeartCor”, dr. T. Fauzan
Atsari, dr. Yunny Safitri, dr. Roni Armanda Tarigan, dr. Nenny Novita
Sitohang dan dr. Yusrina Saragih yang telah banyak memberikan bantuan
moril, tenaga dan senantiasa mendoakan kemudahan dalam pengerjaan tesis
ini, “tetaplah saling menopang dan semoga persahabatan tak lekang oleh
waktu”.
11. Rekan-rekan sejawat sesama peserta PPDS Departemen Kardiologi dan
Kedokteran Vaskular, terutama kepada dr. Mustika Fadhilah Sarahazti, M.
Ked (Cardio), Sp.JP, dr. Dika Ashrinda, M. Ked (Cardio), Sp.JP, dr.
Syaifullah, M. Ked (Cardio), Sp.JP, dr. Jaya Suganti, M. Ked (Cardio), Sp.JP
yang telah membantu pengumpulan sampel, memberikan masukan dan saran
mengenai proses seminar, metodologi dan pengolahan data statistika serta
mengusahakan segala macam bantuan dengan tulus terkait penyelesaian tesis
ini.
12. Rekan-rekan sahabat anggota Kelakar Medan (dr. Masta, dr. Yasmine, dr.
Rizki, dr. Marisa, dr. Suhenda, dr. Omar, dr. Imam, dr. Kamal, dr. Petrus, dr.
Sherly, dr. Taufik, dr. Bambang, dr. Indri, dr. Farida, dr. Vitri, dr. Mirhan, dr.
Safni, dr. Cindy, dr. Rian, dr. Dita, dr. Bertha, dr. Mustajir, dr. Puja, dr. Ayub,
dr. Welliyani, dr. Fahrial, dr. Nazif, dr. Esra, dr. Desfrianda, dr. Fildzah, dr.
Marolop, dr. Khairunisaq, dr. Hery, dr. Rahayu, dr. T. Thoriq, dr. Basten, dr.
Furqan Arif, dr. Aris Albiru, dr. Zulbahri, dr. Andru, dr. Mirna) menjadi teman
berbagi dan membuat proses pendidikan ini terasa lebih menyenangkan.
Rekan PPDS ruangan (dr. Duas, dr. G. Dillon, dr. Hary. A, dr. Ahmad. F, dr.
Gita, dr. Nanda) yang telah membantu penulis dalam pengupilan subyek
penelitian di rumah sakit.
13. Paramedis yang bertugas di bagian, CVCU, RIC, Cathlab, IGD, Poli Kardio
dan ekokardiografi yang telah meberikan kesempatan kepada penulis pada

Universitas Sumatera Utara


waktu luang untuk mengambil data sampel penelitian, serta selalu
mengingatkan pemeriksa untuk mengambil data-data yang dibutuhkan untuk
kelengkapan penelitian.
14. Staf administrasi Ahmad Syafi’i, Zulkarnaen dan Husna yang telah membantu
terselenggaranya penelitian ini.

Semoga Allah SWT membalas semua jasa dan budi baik mereka yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. Akhirnya penulis
mengharapkan agar penelitian dan tulisan ini kiranya dapat bermanfaat bagi kita
semua. Amin Ya Rabbal Alamin.

Medan, September 2018


Penulis

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

Latar Belakang: Penderita IMAEST memerlukan tindakan revaskularisasi untuk


mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard. Lebih banyak informasi bisa
didapatkan dari EKG meliputi ukuran infark dan prognosis penderita IMAEST.
Depresi Segment ST (DSST) di sadapan resiprokal pada EKG pasien IMAEST yang
di terapi dengan fibrinolitik secara klinis dikaitkan dengan prognosis yang lebih jelek.
Pasien IMAEST dengan resolusi DSST memiliki TIMI flow yang lebih baik
dibandingkan dengan tanpa resolusi DSST. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mencari perbandingan TIMI flow untuk subjek IMAEST yang mendapat terapi
fibrinolitik dengan dan tanpa adanya resolusi DSST sesaat setelah fibrinolitik.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort ambispektif, dimana 60 orang subjek
IMAEST, pasien dilakukan diagnostik angiografi koroner untuk menilai TIMI flow.
Nilai Resolusi DSST resiprokal adalah penurunan ≥ 50% besaran DSST resiprokal
pada pasien IMAEST 90 menit sejak awal dimulai terapi fibrinolitik.
Hasil: Analisis bivariat menunjukkan bahwa Fraksi Ejeksi < 40% dengan p=<0,001;
druasi QRS, p=<0,001; Anterior IMAEST dengan p=<0,001; merupakan faktor-faktor
yang bermakna terhadap resolusi DSST. Fragmentasi QRS dengan p=<0,001;
Resolusi DSST dengan p=<0,001; resolusi ST Elevasi dengan p=<0,001; merupakan
faktor-faktor yang bermakna terhadap TIMI Flow. Pada perbandingan TIMI Flow
dengan resolusi DSST resiprokal; adanya resolusi DSST resiprokal memiliki TIMI
Flow yang lebih baik dengan [OR 28 (5.5-141.9), p=<0,001].
Kesimpulan: Terdapat perbedaan perbedaan TIMI Flow pada penderita IMAEST
dengan resolusi DSST resiprokal dan tanpa resolusi DSST resiprokal yang
mendapatkan terapi fibrinolitik alteplase, dimana penderita IMAEST dengan resolusi
DSST resiprokal memiliki nilai TIMI Flow yang lebih baik dibandingkan dengan
penderita IMAEST tanpa resolusi DSST resiprokal.
.
Kata kunci: Resolusi DSST resiprokal, TIMI Flow, IMAEST, Fibrinolitik

Universitas Sumatera Utara


i

DAFTAR ISI

Halaman
Daftar Isi ........................................................................................................................ i
Daftar Gambar ............................................................................................................. iii
Daftar Tabel ................................................................................................................ iv
Daftar Singkatan dan lambang ......................................................................................v

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................................................1
1.2 Pertanyaan Penelitian ..............................................................................................3
1.3 Hipotesis .................................................................................................................3
1.4 Tujuan Penelitian ....................................................................................................3
1.4.1 Tujuan Umum .................................................................................................3
1.4.2 Tujuan Khusus ................................................................................................3
1.5 Manfaat Penelitian ..................................................................................................4
1.5.1 Kepentingan Akademik ..................................................................................4
1.5.2 Kepentingan Masyarakat ................................................................................4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Infark Miokard Akut ................................................................................................5
2.2 Patogenesis Infark Miokard Akut ............................................................................7
2.2.1 Pembentukan Plak Aterosklerosis .................................................................7
2.2.2 Ruptur Plak Aterosklerosis ...........................................................................7
2.2.3 Respon Trombosis ........................................................................................7
2.3 Infark Miokard Akut Elevasi Segment ST (IMAEST) ............................................8
2.3.1 Infark Miokard Akut Elevasi Segment ST (IMAEST) Anterior ...................9
2.3.2 Infark Miokard Akut Elevasi Segment ST (IMAEST) Inferior .................13
2.4 Prinsip EKG Segmen ST .......................................................................................14
2.4.1 DSST pada Infark Miokard Tanpa Gelombang Q.......................................17
2.4.2 DSST pada Infark Miokard dengan Gelombang Q .....................................18
2.5 DSST Resiprokal pada IMAEST ...........................................................................19
2.5.1 IMAEST Anterior dengan DSST Resiprokal ..............................................20
2.5.2 IMAEST Inferior dengan DSST Resiprokal ...............................................21
2.6 Terapi IMAEST .....................................................................................................21
2.6.1 Terapi Fibrinolitik .......................................................................................24
2.6.2 Perbandingan Jenis Terapi Fibrinolitik .......................................................25
2.6.3 KriteriaKeberhasilan Fibrinolitik ................................................................26
2.7 Intervensi Koroner Perkutan dan TIMI Flow ........................................................27
2.8 TIMI Flow Paska Fibrinolitik dan Resolusi DSST Resiprokal pada IMAEST .....29
2.9 Kerangka Teori ......................................................................................................32
2.10 Kerangka Konsep ................................................................................................33

BAB III METODE PENELITIAN


3.1 Desain Penelitian ..................................................................................................34
3.2 Tempat dan Waktu ...............................................................................................34
3.3 Populasi dan Sampel ............................................................................................34

Universitas Sumatera Utara


ii

3.4 Besar Sampel .......................................................................................................35


3.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ...............................................................................35
3.5.1 Kriteria Inklusi ............................................................................................35
3.5.2 Kriteria Eksklusi..........................................................................................35
3.6 Persetujuan/ Informed Consent ............................................................................36
3.7 Etika Penelitian ....................................................................................................36
3.8 Cara Kerja dan Alur Penelitian ............................................................................36
3.8.1 Cara Kerja....................................................................................................36
3.8.2 Alur Penelitian.............................................................................................38
3.9 Identifikasi Variabel .............................................................................................39
3.10 Definisi Operasional ...........................................................................................39
3.11 Pengolahan dan Analisis Data ............................................................................40
3.12 Rincian Biaya Penelitian .....................................................................................41

BAB IV HASIL PENELITIAN


4.1 Karateristik Penelitian............................................................................................42
4.2 Karateristik Subyek Penelitian...............................................................................42
4.3 Karateristik TIMI Flow Subyek Penelitian yang Mendapatkan Terapi Fibrinolitik
Alteplase ................................................................................................................44
4.4 Variabilitas Inter-observer pada Perbandingan TIMI flow ....................................45
4.5 Karateristik Hasil Gambaran Elektrokardiografi Subyek Penelitian
Diklasifikasikan berdasakan TIMI Flow ...............................................................46
4.6 Perbandingan Timi Flow Pasien IMAEST yang Mendapatkan Terapi Fibrinolitik
Alteplase pada IMAEST dengan Resolusi DSST Resiprokal dan Tanpa Resolusi
DSST Resiprokal ...................................................................................................47
4.7 Perbandingan TIMI Flow Subyek Penelitian yang Mendapatkan Terapi
Fibrinolitik Alteplase dilanjutkan dengan Terapi Tambahan Antikoagulan..........48

BAB V PEMBAHASAN
5.1 Pengumpulan Data Subyek ....................................................................................49
5.2 Karateristik Subyek Hasil Pengamatan..................................................................52

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN


6.1 Kesimpulan ............................................................................................................53
6.2 Keterbatasan Penelitian..........................................................................................53
6.3 Saran ......................................................................................................................54

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................55
Lampiran ....................................................................................................................67

Universitas Sumatera Utara


iii

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

2.1 Definisi Infark Miokard Akut..............................................................................6

2.2 Proses Aterosklerosis ..........................................................................................7

2.3 Pola EKG IMAEST Anterior Terhadap LAD ...................................................11

2.4 EKG IMAEST Anterior ....................................................................................12

2.5 EKG IMAEST Inferior......................................................................................14

2.6 Segment ST normal dan Gelombang T .............................................................14

2.7 Perbedaan Area Infark pada Penampang Melintang Ventrikel .........................15

2.8 Vektor ST Terhadap Elektroda pada Area Iskemik ......................................... 16

2.9 Gambaran EKG pada Injury Subendokardium dan Transmural ...................... 16

2.10 Perubahan EKG Sebagai Hasil dari Proses Injury ............................................16

2.11 Konsep Perubahan Resiprokal pada IMAEST ..................................................19

2.12 Perbedaan grading TIMI flow 0 sampai TIMI flow 3........................................29

2.13 Skema Kerangka Teori ......................................................................................32

2.14 Skema Kerangka Konsep ..................................................................................33

3.1 Cara Mengukur Kedalaman ST Depresi ...........................................................37

3.2 Diagram Alur Penelitian....................................................................................38

4.1 Diagram Proporsi TIMI Flow............................................................................45

4.2 Diagram Proporsi TIMI Flow optimal dan suboptimal.....................................45

Universitas Sumatera Utara


iv

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

2.1 Arteri Koroner dan Topografi EKG...................................................................8

2.2 Mekanisme terjadinya DSST pada infark dengan gelombang Q.....................18

2.3 Penentuan Lokasi Sadapan IMAEST dan Sadapan Perubahan Resiprokal. ....21

2.4 Dosis Pemberian Terapi Antiplatelet dan Antikoagulan pada IMAEST .........22

2.5 Rekomendasi Terapi Antiplatelet dan Antikoagulan pada IMAEST ..............23

2.6 Kontraindikasi terapi fibrinolitik .....................................................................24

2.7 Perbandingan Agen Fibrinolitik.......................................................................25

2.8 Rekomendasi Terapi Reperfusi........................................................................27

2.9 Pembagian TIMI Flow.....................................................................................28

4.1 Data Karakteristik Subjek Penelitian. Diklasifikasi Berdasrkan Resolusi DSST

Resiprokal ........................................................................................................44

4.2 Uji Variabilitas Inter-bserver (Cohen’s Kappa Coefficient)............................46

4.3 Data Karateristik Hasil Gambaran Elektrokardiografi Subyek Penelitian

Diklasifikasi Berdasarkan Timi Flow ..............................................................47

4.4 Analisa Bivariat TIMI Flow Subyek Penelitian terhadap Resolusi DSST

Resiprokal ........................................................................................................48

4.5 Analisa Bivariat TIMI Flow Subyek Penelitian yang Mendapatkan Terapi

Fibrinolitik Alteplase Dilanjutkan dengan Terapi Tambahan Antikoagulan...48

Universitas Sumatera Utara


v

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

SINGKATAN Nama

ACCF : American College of Cardiology Foundation

AHA : American Heart Association

AV : Atrio Ventricular

aVF : Augmented Vector Foot

aVL : Augmented Vector Left

aVR : Augmented Vector Right

CKMB : Creatinin Kinase Myocardial B Fraction

DM : Diabetes Melitus

DNA : Deoxyribonucleic Acid

DSST : Depresi Segmen ST

EF : Ejection Fraction/ Fraksi Ejeksi

EKG : Elektrokardiogram

ESC : European Society of Cardiology

GUSTO : Global Use of Strategis to Open Occluded Coronary


Arteries Study
GISSI : Gruppo Italiano per lo Studio della Sopravvivenza
nell’Infarto Miocardico trial
HIT : Hirudin for Improvement of Thrombolysis Study

IGD : Instalasi Gawat Darurat

IKP : Intervensi Koroner Perkutan

IMA : Infark Miokard Akut

Universitas Sumatera Utara


vi

IMAEST : Infak Miokard Akut Elevasi Segmen ST

INJECT : International Joint Efficacy Comparison of


Thrombolytics Study

ISAM : Intravenous Streptokinase in Acute Myocardial


Infarction Study.

ISIS : International Study of Infarct Survival

KKvM : Kejadian Kardiovaskular Mayor

LAD : Left Anterior Descending Artery

LBBB : Left Bundle Branch Block/ Blok Cabang Berkas Kiri

LCA : Left Coronary Artery

LCx : Left Circumflex Artery

LDL : Low Density Lipoprotein

LMWH : Low-Molecular Weight Heparin

LV : Left Ventricle/ Ventrikel Kiri

LVH : Left Ventricle Hypertrophy/ Hipertrofi Ventrikel Kiri

PDA : Posterior Descending Artery

PLB : Posterolateral Branch

PERKI : Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular


Indonesia
PJK : Penyakit Jantung Koroner

r-PA : Reteplase

RBBB : Right Bundle Branch Blok/ Blok Berkas Cabang


Kanan
RCA : Right Coronary Artery

RS HAM : Rumah Sakit Haji Adam Malik

Universitas Sumatera Utara


vii

RS : Rumah Sakit

RV : Right Ventricle/ Ventrikel Kanan

SK : Streptokinase

SKA : Sindroma Koroner Akut

t-PA : Tissue Plasminogen Activator

TNK : Tenecteplase

TIMI : Thrombolysis in Myocardial Infarction

UFH : Unfractionated Heparin

V (number) R : V (number) Right

LAMBANG

n : Besar sampel A : Alpha


p : Tingkat kemaknaan B : Beta
< : Lebih kecil p : Nimali sensitivitas alat
> : Lebih besar q : (1-p)
Zα : Nilai baku normal % : Persentase
- : Minus d : Limit dari error atau presisi absolut
= : Sama dengan P : Prevalensi penyakit

Universitas Sumatera Utara


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Infark Miokard Akut Elevasi Segmen ST (IMAEST) merupakan suatu bagian
Sindroma Koroner Akut yang terjadi karena penyumbatan total arteri koroner oleh
trombus yang terbentuk atau terlepas sebagai respon tubuh terhadap ruptur plak
arteroskelosis. IMAEST dapat berakibat pada kematian mendadak bahkan sebelum
sempat dibawa ke pelayanan kesehatan maupun mortalitas setelah dan selama
perawatan. Walupun laju mortalitas menurun dalam dua dekade terakhir, sekitar satu
diantara 25 pasien yang tetap hidup pada masa awal rawatan akan meninggal dalam
satu tahun pertama setelah IMAEST (Alwi,2009). Penurunan angka mortalitas
berhubungan dengan kemajuan tindakan reperfusi dini, baik secara mekanik
(Intervensi Koroner Perkutan primer - IKP primer), maupun secara farmakologis /
fibrinolitik (Bonaca dkk, 2009; Zeymer dkk, 2008)
Pasien IMAEST dengan onset nyeri dada kurang dari 12 jam, maka perlu
dilakukan IKP primer, namun jika tidak terdapat fasilitas untuk dilakukan IKP primer
maka pilihan terapi lainnya adalah fibrinolitik jika tidak di jumpai kontraindikasi.
Seperti IKP- primer, fibrinolitik ini bertujuan untuk memperbaiki aliran darah di
koroner akibat oklusi yang disebabkan oleh trombus, sehingga mengurangi perluasa
infark, memperbaiki fungsi miokard dan memperbaiki angka harapan hidup jangka
pendek maupun jangka panjang (PERKI, 2015).
Pada IMAEST dapat dijumpai gambaran khas elevasi segmen ST pada area
infark dan disertai dengan gambaran depresi segmen ST (DSST) pada area sadapan di
arah yang berlawanan dari area infark (area noninfark) dengan prevalensi sekitar 54%
hingga 82 % (The Lancet, 1986; Noriega, 2013; Ferguson, 1984). Pada awalnya
DSST di sadapan resiprokal area infark pada IMAEST dianggap sebagai benign
electrical phenomenon (Rude, 1983; Berger,1990). Dengan berkembangnya teknik
angiografi koroner dan pencitraan jantung noninvasif, maka memungkinkan untuk
meneliti fungsi ventrikel kanan dan kiri secara global dan segmental pasien IMAEST
(Rude, 1983). Menggunakan teknik pencitraan ini, banyak penelitian eksperimental
yang berusaha membuktikan kebenaran teori bahwa DSST memang merupakan suatu

Universitas Sumatera Utara


2

benign electrical phenomenon, namun memberikan hasil yang tidak konsisten.


Kebanyakan penelitian berikutnya memberikan alternatif pendapat bahwa DSST pada
sadapan resiprokal saat IMAEST menunjukkan infark yang luas pada area yang
diperdarahi oleh lesi kulprit, dapat dibuktikan dengan level enzim jantung yang lebih
tinggi, abnormalitas gerakan dinding regional ventrikel kiri yang lebih berat dan fraksi
ejeksi (EF) lebih rendah berbanding pasien tanpa DSST. Pasien dengan DSST
cenderung mengalami komplikasi jangka pendek (inhospital) dan panjang serta
mortalitas yang lebih tinggi berbanding pasien tanpa DSST. (Berger, 1990; Birnbaum,
1996; Jennings, 1983; Gelman, 1982; Herlitz 1987; Hasdai, 1994; Forfar, 1989).
Beberapa agen fibrinolitik yang diakui adalah Streptokinase (SK) yang
merupakan agen non-fibrin spesific, dan tissue Plasminogen activator (t-PA),
Tenecteplase (TNK), serta Reteplase (r-PA) merupakan agen fibrinolitik fibrin
spesific (Mega dkk, 2015; Llevadot dkk, 2001). Angiografi koroner setelah tindakan
fibrinolitik yang berhasil dilakukan dalam waktu 2 sampai 24 jam menurut guideline
ESC 2017 dan rescue IKP dilakukan dalam 2 jam jika fibrinolitik dikategorikan tidak
berhasil (Ibanez dkk, 2017). Efikasi dari fibrinolitik dinilai dengan menggunakan
klasifikasi aliran atau kelas TIMI (Thrombolysis in Myocardial Infarction).
Klasifikasi ini mencirikan aliran darah koroner di arteri infark, yang biasanya diukur
pada 60 hingga 90 menit setelah pemberian terapi fibrinolitik (Chesebro dkk, 1987).
Di RS Haji Adam Malik Medan tindakan reperfusi dini dilakukan 91% dengan
fibrinolitik (Sarahazti, 2017), namun perbandingan timi flow paska tindakan
fibrinolitik dengan alteplase yang berkorelasi dengan resolusi DSST belum pernah di
teliti sebelumnya, pertama hal ini terkait dengan kriteria keberhasilan fibrinolitik yang
seperti dijelaskan pada panduan tentang reperfusi pada pasien IMAEST onset di
bawah 12 jam, yakni berkurangnya nyeri dada, penurunan elevasi segmen ST >50%
dan dijumpainya irama accelerated idioventricular, sayangnya dari ketiga kriteria
tersebut hanya irama accelerated idioventricular yang dapat dinilai secara objektif,
sementara penurunan elevasi ST tidak dijelaskan apakah jika sudah terbentuk
gelombang Q patologis, penurunan tersebut masih tetap bermakna.
Penelitian yang dilakukan oleh Tjandrawidjaja dkk (2008), mengevaluasi
dampak dari resolusi DSST pada pasien IMAEST termasuk didalamnya
membandingkan penilaian reperfusi secara angiografi, namun pada populasi IKP
primer. Adanya resolusi DSST dengan tidak adanya resolusi DSST, dimana pasien
IMAEST dengan resolusi DSST memiliki TIMI flow yang lebih baik dibandingkan

Universitas Sumatera Utara


3

dengan tanpa resolusi DSST. Penelitian yang dilakukan de Lemoss dkk (2001)
membandingkan penilaian reperfusi secara angiografi dengan penilaian resolusi
segmen ST pada pemberian Streptokinase dengan Alteplase dengan hasil Alteplase
memiliki TIMI flow yang lebih baik dibandingan dengan Streptokinase. Pada negara
berkembang pemilihan terapi fibrinolitik dengan Streptokinase lebih banyak
digunakan, tetapi dengan perkembangan farmakoterapi, Alteplase cenderung lebih
unggul dibandingkan dengan Steptokinase.
Adapun tujuan dari penelitian ini dilakukan adalah untuk menilai dan
membandingkan TIMI flow antara penderita IMAEST yang mendapat terapi
fibrinolitik alteplase dengan atau tanpa resolusi DSST. Agen fibrinolitik ini sering
digunakan sebagai lini terapi awal yang diberikan jika IKP primer tidak dapat
dilakukan.

1.2 Pertanyaan Penelitian


Berdasarkan uraian dalam latar belakang tersebut di atas, maka penelitian ini
diperlukan untuk mengetahui:

Apakah terdapat perbedaan TIMI flow pada penderita IMAEST yang


mendapat terapi fibrinolitik alteplase dengan atau tanpa resolusi DSST?

1.3 Hipotesis
Terdapat perbedaan TIMI flow yang lebih baik pada penderita IMAEST yang
mendapat terapi fibrinolitik dengan resolusi DSST.

1.4 Tujuan Penelitian


1.4.1 Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan TIMI flow pada
penderita IMAEST yang menjalani terapi fibrinolitik alteplase dengan atau tanpa
adanya resolusi DSST.

1.4.2 Tujuan Khusus


Tujuan khusus penelitian ini adalah:
1. Untuk menilai TIMI flow setelah pemberian alteplase pada pasien
IMAEST dengan resolusi DSST
2. Untuk menilai TIMI flow setelah pemberian alteplase pada pasien
IMAEST tanpa resolusi DSST

Universitas Sumatera Utara


4

3. Untuk mengetahui perbedaan TIMI flow setelah pemberian alteplase pada


pasien IMAEST dengan dan tanpa resolusi DSST

1.5 Manfaat Penelitian


1.5.1 Kepentingan Akademik
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadikan adanya resolusi DSST pada
penderita IMAEST sebagai suatu kriteria keberhasial fibrinolitik yang dapat
digunakan untuk mengidentifikasi secara dini kelompok pasien IMAEST yang tetap
memiliki risiko tinggi setelah mendapat terapi fibrinolitik.

1.5.2 Kepentingan Masyarakat


Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam pelayanan
penderita yang dirawat dengan IMAEST melalui identifikasi secara dini adanya
resolusi DSST terhadap keberhasilan fibrinolitik setelah mendapat terapi fibrinolitik.

Universitas Sumatera Utara


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infark Miokard Akut


Infark miokard akut (IMA) merupakan suatu Sindroma Koroner Akut (SKA)
yang menyebabkan nekrosis sel miokard, sedangkan SKA adalah istilah yang
digunakan untuk mendeskripsikan gejala yang di sebabkan oleh IMA (Antman, 2012;
Bender dkk, 2011; Thygensen dkk, 2018). Deklarasi universal definisi IMA ke-4
(gambar 2.1) mendefinisikan myocardial injury yaitu adanya peningkatan nilai
biomarker jantung paling sedikit satu nilai diatas persentil ke-99 dari batas referensi
dan acute myocardial injury yaitu adanya peningkatan dan/atau penurunan nilai
biomarker jantung. IMA sendiri didefinisikan dengan acute myocardial injury dengan
bukti klinis iskemia miokard akut dengan adanya peningkatan dan/atau penurunan
nilai biomarker jantung paling sedikit satu nilai diatas persentil ke-99 dengan
sedikitnya satu kriteria dibawah ini terpenuhi:
- Adanya gejala iskemia
- Perubahan EKG iskemia yang baru
- Terjadinya gelombang Q patologis pada EKG
- Bukti pencitraan adanya penurunan viabilitas miokard atau abnormalitas
gerakan dinding jantung yang bersifat regional.
- Dijumpai adanya trombus intrakoroner pada saat angiografi atau autopsi.
Secara global pada tahun 2005 diestimasikan 7,6 juta individu meninggal
karena IMA dan merupakan 13% dari seluruh kematian. Sekitar 80% dari kematian
ini terjadi di negara berpendapatan rendah dan menengah. Hal ini membuat IMA
secara global menjadi penyebab kematian tertinggi dan akan tetap demikian jika tidak
diantisipasi dengan baik (Delima dkk, 2009). Di Amerika Serikat, jumlah kematian
pertahun akibat penyakit jantung koroner (PJK) adalah lebih lebih dari 800.000
individu. Sekitar lebih dari satu juta individu di Amerika Serikat mengalami IMA
setiap tahunnya dan lebih dari 300.000 individu meinggal sebelum sempat
mendapatkan perawatan RS (Rosamond dkk, 2007). Di Indonesia dari hasil riset
kesehatan dasar tahun 2007 PJK menduduki peringkat ketiga sebagai penyebab utama
kematian setelah stroke dan diabetes melitus (DM) pada kelompok penyakit tidak

Universitas Sumatera Utara


6

menular di rentang umur 45-54 tahun pada populasi perkotaan, peringkat keempat
setelah tuberkulosis, stroke dan hipertensi pada populasi pedesaan (Depkes RI, 2008).
Hampir separuh dari penyebab kematian kardiovaskular tersebut adalah akibat dari
IMA. Walaupun insiden dan mortalitas berkurang dalam beberapa tahun terakhir
dengan adanya unit perawatan koroner, terapi fibrinolitik dan catheter based
reperfusion, serta IKP primer juga menunjukkan penurunan angka mortalitas, namun
ada sejumlah pasien dengan IMA yang tidak memungkinkan untuk mendapatkan
tindakan ini (Griffin dkk, 2009).

`
Gambar 2.1 Definisi Infark Miokard Akut (Thygesen dkk, 2012)

Universitas Sumatera Utara


7

2.2 Patogenesis Infark Miokard Akut


Patogenesis dasar IMA diawali dengan proses pembentukan plak
aterosklerosis, kemudian terjadi ruptur plak yang diikuti oleh respon trombosis
(Bender dkk, 2011).

2.2.1 Pembentukan Plak Aterosklerosis


Pembentukan plak aterosklerosis pada dinding arteri koroner disebut juga
aterogenesis, terjadi dalam waktu yang berlangsung lama (20-30 tahun sebelum
timbul presentasi klinis SKA). Beberapa faktor risiko seperti hiperkolesterolemia,
merokok, hipertensi, diabetes mellitus dalam jangka panjang akan menyebabkan
kerusakan endotel arteri koroner (Antman, 2008; Bender dkk, 2011; Libby, 2001).
Aterogenesis merupakan hasil interaksi dari berbagai komponen seperti
elemen darah, dinding pembuluh darah, perubahan aliran darah dan inflamasi. Pada
keadaan normal, molekul low density lipoprotein (LDL) tidak dapat melewati lapisan
dinding pembuluh darah. Molekul LDL akan menarik makrofag ke dalam dinding
pembuluh darah, kemudian LDL akan diikat oleh pembuluh darah dan membentuk
foam cell. Foam cell ini dinamakan fatty streak dan lama kelamaan akan
terakumululasi membentuk plak aterosklerosis (Libby dkk, 2005; Mani dkk, 2010).

Gambar 2.2 Proses Aterosklerosis (Cham dkk,2013)

2.2.2 Ruptur Plak Aterosklerosis


Pembentukan plak aterosklerosis pada arteri koroner secara bertahap akan
menyebabkan obstruksi aliran darah pada arteri koroner. Gangguan aliran darah

Universitas Sumatera Utara


8

koroner akibat ruptur plak aterosklerosis menyebabkan pembentukan trombus yang


sifatnya dinamis dan meningkatkan derajat obstruksi koroner secara akut dan
menyebabkan terjadinya SKA (Libby dkk, 2005).

2.2.3 Respon Trombosis


Ruptur plak aterosklerosis akan menyebabkan trombosis melalui beberapa
cara. Pertama, kolagen pada matriks seluler akan terekspos dan menyebabkan aktivasi
platelet. Kedua, tissue factor yang diproduksi makrofag dan sel otot polos akan
mengaktivasi kaskade koagulasi (Libby, 2001).

2.3 Infark Miokard Akut Elevasi Segmen ST (IMAEST)


Infark miokard akut elevasi segmen ST (IMAEST) diartikan sebagai sebuah
sindrom klinis yang dicirikan oleh gejala yang dicetuskan oleh iskemia miokardium
yang berhubungan dengan gambaran EKG berupa persisten elevasi segmen ST dan
diikuti pelepasan biomarker nekrosis miokardium (O’Gara dkk, 2013). Penegakan
diagnosis IMAEST ditegakkan dari anamnesis pasien, pemeriksaan EKG dan enzim
jantung. Gejala Klasik IMAEST apabila di jumpai kriteria berikut yaitu; adanya nyeri
dada khas angina durasi nyeri lebih dari 20 menit, tidak berkurang dengan istirahat
atau nitrat, nyeri dapat menjalar ke leher, rahang bawah atau lengan kiri, dapat disertai
dengan gejala aktifitas system saraf otonom seperti mual, muntah atau keringat dingin
(PERKI, 2014; Steg dkk, 2012).
Elevasi segmen ST pada keadaan tanpa hipertrofi ventrikel kiri (LVH) atau
blok cabang berkas kiri (LBBB) oleh European Society of Cardiology/
ACCF/AHA/World Heart Federation Task Force for the Universal Definition of
Myocardial Infarction diartikan sebagai elevasi segmen ST baru pada J point di
setidaknya 2 sadapan yang berdekatan dengan nilai ≥2 mm pada laki-laki (0,2 mV)
atau ≥1,5 mm (0,15 mV) pada wanita di sadapan V2-V3 dan/atau ≥1 mm (0,1 mV)
pada sadapan prekordial ataupun ekstremitas lainnya yang berdekatan. Mayoritas
EKG pasien akan berevolusi membentuk gelombang Q. LBBB baru atau yang diduga
baru telah disimpulkan sebagai IMAEST ekivalen (O’Gara dkk, 2013).
Jika melihat anatomi distribusi arteri koroner pada miokardium, maka akan
dijumpai bermacam variasi, namun Right Coronary Artery (RCA) hampir selalu
mensuplai bagian kanan ventrikel (RV) dan Left Coronary Artery (LCA) akan
mensuplai bagian anterior dari septum ventrikel dan dinding anterior ventrikel kiri

Universitas Sumatera Utara


9

(LV). Pembuluh darah yang akan mensuplai bagian lain dari LV akan bergantung
pada dominansi koroner. Setiap arteri menyumbangkan suplai darah ke area regional
tertentu di jantung. Daerah-daerah ini ditunjukkan secara topografi oleh tabel 2.1
(Baltazar, 2009). EKG merupakan kunci dalam mendiagnosis IMAEST. Selama
iskemik transmural akut (meliputi keseluruhan dinding ventrikel), salah satu penentu
paling penting dari lokasi oklusi arteri koroner adalah arah vektor penyimpangan
segment ST. Vektor yang terlibat selalu berorientasi pada area yang cedera. sadapan
EKG yang mengarah ke kepala vektor yang cedera menunjukkan elevasi segment ST
dan sadapan EKG yang mengarah ke ekor vektor (menghadap berlawanan)
menunjukkan depresi segment ST (Wagner dkk, 2009).

Tabel 2.1 Arteri Koroner dan Topografi EKG (Baltazar, 2009)

LAD Arteri anterior kiri mensuplai dinding anterior, anteroseptal atau anterolateral
dari LV (sadapan V1-V6, I dan aVL)
RCA Arteri koroner kanan mensuplai dinding inferior (sadapan II, III dan aVF) dan
sering dinding posterolateral dari LV (terutama sadapan V7-V9). Arteri
koroner kanan satu satunya arteri yang mensuplai RV free wall (terutama
sadapan V3R sampai V6R)
LCx LCx mensuplai dinding anterolateral (sadapan I, aVL, V5 dan V6) dan dinding
posterolateral (sadapan V7-V9) dari LV. Pada 10-15% pasien, LCx mensuplai
dinding inferior dari LV

2.3.1 Infark Miokard Akut Elevasi Segmen ST (IMAEST) Anterior


Jumlah miokard ventrikel kiri yang berisiko terkena infark pada kasus
IMAEST anterior sangat bergantung pada lokasi oklusi di Left Anterior Descending
Artery (LAD). Oklusi di LAD dapat menyebabkan IMAEST anterior yang sangat luas
atau hanya pada daerah septum, IMAEST apikal-anterior atau pertengahan anterior
tergantung pada lokasi oklusi. Oklusi di proksimal LAD telah diketahui sebagai
prediktor independen hasil yang lebih buruk terkait dengan peningkatan mortalitas
dan IMAEST berulang. Sedangkan oklusi di distal LAD dianggap memiliki hasil yang
baik (Baltazar, 2009).
Pasien dengan gejala sugestif SKA menunjukkan IMAEST anterior karena
Oklusi di LAD biasanya menyebabkan elevasi ST pada sadapan prekordial V1-V4.
Aldrich melaporkan temuan serupa yang menunjukkan frekuensi elevasi ST pada
pasien dengan infark miokard akut karena oklusi LAD dalam urutan menurun: V2,
V3, V4, V5, aVL, V1, dan V6 (Birnbaum dkk, 2003; Aldrich dkk, 1987). Dalam

Universitas Sumatera Utara


10

kasus yang jarang terjadi, elevasi ST pada sadapan V1-V4 mengindikasikan oklusi
Right Coronary Artery (RCA) proksimal dengan infark RV. Dalam analisis Blanke
terhadap 39 pasien dengan infark miokard akut akibat oklusi RCA, frekuensi elevasi
ST dalam keempat sadapan prekordial ini adalah sebagai berikut: V1, dua pasien
(5%); V2 dan V3, enam pasien (15%); Dan V4, tiga pasien (8%). Peneliti tidak
menemukan sampel elevasi ST pada V1-V4 yang menyebabkan 25 pasien dengan
infark miokard akut akibat oklusi Left Circumflex (LCx). Infark RV menyebabkan
elevasi ST pada sadapan V1-V4 dapat dibedakan dari infark miokard anterior dengan
mengamati elevasi ST pada sadapan V1 lebih besar dari sadapan V2, elevasi ST pada
prasangka kanan menyebabkan elevasi V3R dan V4R, ST depresi di sadapan V6, dan
ST elevasi di inferior sadapan II, III, dan aVF. Elevasi ST pada Sadapan V1
berkorelasi lebih baik dengan elevasi elevasi ST pada sadapan V3R dibandingkan
dengan sadapan V2, menunjukkan elevasi ST pada sadapan V1 mencerminkan RV
lebih banyak daripada LV (Blanke dkk, 1984; Ben-Gal dkk, 1998).
Lokasi oklusi di LAD, apakah proksimal atau distal, dapat diidentifikasi
dengan mencatat perubahan segmen ST dari berbagai sadapan EKG. Dinding
anterolateral yang tinggi di dasar LV menerima aliran darah koroner dari cabang arteri
diagonal pertama LAD, cabang marginal pertama LCx, atau kadang-kadang dari arteri
ramus intermedius. Sadapan EKG yang langsung menghadapi zona miokard
anterosuperior ini adalah sadapan aVL. Pada infark miokard akut anterior, elevasi ST
pada sadapan I, dan terutama pada sadapan aVL, menandakan oklusi arteri LAD yang
mengarah ke cabang diagonal pertama. Sebaliknya, depresi ST pada sadapan aVL
selama infark miokard akut anterior menandakan oklusi arteri LAD distal ke cabang
diagonal pertama. Sementara elevasi ST pada sadapan aVL adalah tanda oklusi LAD
proksimal yang sangat spesifik, namun memiliki sensitivitas yang relatif rendah untuk
diagnosis ini (Engelen dkk, 1999; Sasaki dkk, 2001). DSST inferior pada sadapan II,
III, dan aVF selama infark miokard anterior akut mengindikasikan adanya injury pada
dinding anterolateral yang tinggi dan tidak signifikan untuk identifikasi iskemia
inferior. Beberapa peneliti menemukan adanya depresi ST pada sadapan inferior yang
mengarah pada indikasi adanya oklusi LAD yang proksimal pada cabang diagonal
pertama. Selain itu, Haraphongse menemukan bahwa pasien dengan infark miokard
akut anterior yang mengalami depresi ST pada sadapan inferior memiliki fungsi
ventrikel kiri yang lebih buruk dan klinis yang lebih rumit daripada pasien tanpa
perubahan ST resiprokal. Namun, pada pasien dengan arteri LAD yang panjang yang

Universitas Sumatera Utara


11

membungkus apeks jantung, oklusi LAD proksimal mungkin tidak menghasilkan


depresi ST pada sadapan inferior karena perpanjangan infark ke dinding inferoapikal
(Haraphongse dkk, 1984; Birnbaum dkk, 2003). Beberapa kriteria EKG telah
dilaporkan menunjukkan oklusi LAD yang proksimal pada cabang perforator septal
pertama: (1) elevasi ST pada sadapan aVR ; (2) Right Bundle Branch Block (RBBB);
(3) Depresi ST pada sadapan V5; Dan (4) elevasi ST pada sadapan V1 lebih besar dari
2,5 mm. Namun, Birnbaum tidak menemukan hubungan antara elevasi ST pada oklusi
arteri di sadapan V1 dan oklusi LAD yang proksimal ke cabang septal pertama.
Kriteria yang dilaporkan menunjukkan oklusi LAD distal pada cabang perforator
septal pertama meliputi gelombang Q yang abnormal pada sadapan V4 -V6 (Engelen
dkk, 1999; Birnbaum dkk, 2003).
Sebagian besar pasien (93%) dengan infark miokard akut anterior akibat
oklusi LAD memiliki pola "anteroseptal" (elevasi ST pada sadapan V1-V3).
Sebaliknya, elevasi ST yang terisolasi pada sadapan V4-V6, tanpa elevasi ST pada
sadapan V1-V3 biasanya disebabkan oleh oklusi LCx atau cabang diagonal distal dari
LAD. Pada pasien dengan infark miokard "anterior extensif" (elevasi ST pada
sadapan V1-V6), injury meluas ke dinding anterolateral distal dan apeks jantung
sampai sepanjang LAD dan atau cabang diagonal, sedangkan pasien dengan pola
"anteroseptal" (elevasi ST yang terbatas pada sadapan V1-V3) memiliki LAD yang
pendek atau cabang marginal yang tumpul atau cabang ramus intermediate, yang
memasok zona anterolateral dan apikal. Namun, belum ada investigasi untuk
menentukan apakah ada perbedaan anatomi koroner antara pasien dengan pola EKG
infark miokard "anteroseptal" dan "anterior extensif". Porter, dengan menggunakan
echocardiography transthoracic, tidak menemukan perbedaan kelainan gerak dinding
regional pada segmen lateral dan apikal pada pasien dengan infark miokard anterior
akut yang pertama kali, dengan atau tanpa elevasi ST pada sadapan V5 dan V6
(Aldrich dkk 1987; Porter dkk 2000). Selama infark miokard akut anterior, cedera
dapat meluas ke dinding inferior, yang dibuktikan dengan elevasi ST pada sadapan II,
III, dan aVF, jika LAD memperdarahi sekitar apeks. Seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, bagaimanapun infark miokard anterior yang disebabkan oleh oklusi LAD
yang proksimal pada cabang diagonal pertama tidak menunjukkan pola injury
"anterior dan inferior". Secara teori, oklusi LAD yang memasok aliran darah kolateral
ke RCA atau LCx bisa menghasilkan pola "anterior dan inferior" serupa (Blanke dkk,
1984; Sasaki dkk, 2001). Namun, Tamura tidak mengamati pola seperti itu pada 12

Universitas Sumatera Utara


12

pasien yang mereka teliti dengan jenis EKG ini (Tamura dkk, 1995).

Gambar 2.3 Pola EKG IMAEST Anterior Terhadap LAD (Birnbaum dkk, 2003).

Angka kejadian IMAEST anterior adalah sekitar 50-60% dari keseluruhan


IMAEST, tidak jauh berbeda dengan angka kejadian IMAEST inferior dan secara
umum dikaitkan dengan dengan tingkat keparahan PJK yang lebih tinggi
dibandingkan dengan IMAEST inferior. Haim membandingkan prognosis jangka
pendek dan jangka panjang pasien IMAEST anterior dengan IMAEST inferior. Pada
IMAEST anterior komplikasi selama perawatan yang terjadi, perawatan kembali serta
kematian dalam satu tahun ternyata lebih tinggi (Haim dkk, 1997). Namun jika
dibandingkan dengan perluasan keterlibatan arteri koroner menurut Kazazi, IMAEST
inferior lebih tinggi di bandingkan IMAEST anterior. Telah di ketahui bahwa setiap
lokasi IMA memiliki mekanisme yang relatif spesifik, dimana patofisiologi yang
dominan pada IMAEST anterior ialah proses aterosklerosis yang lanjut dan pada
IMAEST inferior patofisiologi yang dominan adalah vasokonstriksi (Kazazi dkk,
2011). Data dari sejumlah penelitian terapi fibrinolitik pada IMAEST, menyatakan
bahwa fibrinolitik meningkatkan survival pada pasien dengan IMAEST anterior,
setelah mendapatkan terapi sesuai pedoman tatalaksana IMAEST (Kennedy, 1988).

Universitas Sumatera Utara


13

Gambar 2.4 EKG IMAEST Anterior. Tampak adanya elevasi segmen ST pada
sadapan I, aVL dan V1-V5 (Surawicz dkk, 2008).

2.3.2 Infark Miokard Akut Elevasi Segmen ST (IMAEST) Inferior


Infark miokard akut elevasi segmen ST (IMAEST) inferior merupakan suatu
kejadian oklusi total dari RCA pada 80% kasus dan sisanya sekitar 18-20% dapat
disebabkan oleh LCx dan secara EKG dapat didefinisikan sebagai adanya elevasi
segmen ST pada sadapan II, III, aVF (Almansori dkk, 2010; Birnbaum dkk, 2003;
Reddy dkk, 2013). Pada sebagian besar kasus, conus branch merupakan cabang
pertama dari RCA. Pada lainnya conus branch mempunyai muara yang terpisah dari
aorta. Jadi conus branch selalu berjalan anterior untuk mensuplai pulmonary outflow
tract. Terkadang, conus branch dapat merupakan cabang dari LCA. Pada 55% kasus,
sinoatrial nodal artery merupakan cabang berikutnya dari RCA, muncul sekitar
beberapa milimeter dari muara RCA. Pada sekitar 45% kasus, sinoatrial nodal artery
muncul dari proksimal LCx. Ketika RCA berjalan pada sulkus Atrio Ventrikular (AV)
anterior, dia akan memutar ke arah posterior (inferior) septum interventrikular.
Seiring dengan ini, RCA akan memberikan beberapa cabang yang mensuplai
miokardium RV; cabang ini disebut RV marginal atau acute marginal. Cabang ini
mensuplai dinding anterior RV. Arteri yang mensuplai posterior descending artery
(PDA) dan posterolateral branch (PLB) akan menentukan dominansi koroner. Jika
PDA dan PLB muncul dari RCA, maka akan disebut dominan kanan (sekitar 80-85%
kasus). Pada kondisi ini, RCA akan mensuplai segmen inferoseptal dan inferior dari
LV. Jika PDA dan PLB muncul dari LCx maka disebut dominan kiri (sekitar 15-20%
kasus). Pada kondisi ini, LCA mensuplai segmen inferoseptal dan inferior dari LV.
Jika PDA muncul dari RCA dan PLB muncul dari LCx, maka disebut dengan

Universitas Sumatera Utara


14

kodominan (sekitar 5% kasus). Biasanya muncul pada area distal dari muara PDA
adalah AV nodal artery, yang dapat mudah dikenali karena berjalan vertikal dari distal
RCA (Kini, 2007).
Angka kejadian IMAEST inferior adalah sekitar 40-50% dari keseluruhan
IMAEST dan secara umum dikatakan memiliki prognosis yang lebih baik berbanding
IMAEST anterior. Data dari sejumlah penelitian dengan terapi trombolitik pada
IMAEST mendukung pernyataan ini, dengan angka kematian berkisar 2-9% pada
IMAEST inferior yang mendapatkan terapi sesuai pedoman tatalaksana IMAEST
(Berger, 1990; Kennedy, 1988). Sehingga tidak mengherankan jika kebanyakan
penelitian tersebut gagal menunjukkan adanya penurunan angka kematian setelah
mendapatkan terapi trombolitik pada pasien IMAEST inferior. Akan tetapi, penting
diingat bahwa hampir 50% pasien IMAEST inferior mengalami komplikasi atau
gambaran berbeda yang berhubungan dengan peningkatan mortalitas, seperti blok
jantung, DSST prekordial, infark ventrikel kanan, sehingga pada akhirnya akan
mengubah prognosis pasien (Berger dkk, 1990).

Gambar 2.5 EKG IMAEST Inferior (Surawicz dkk, 2008).

2.4 Prinsip EKG Segment ST


Segmen ST adalah bagian EKG yang bermula dari J point (pertautan antara
kompleks QRS dan segmen ST) hingga sampai ke awal gelombang T. Segmen ST
merepresentasikan permulaan dari repolarisasi ventrikel. Pada kondisi normal,
segmen ST adalah isoelektrik; akan tetapi dapat bervariasi (< 1 mm) dibawah atau
diatas garis dasar (baseline). Jika mendeskripsikan segmen ST sebagai elevasi atau
depresi, perlu dibuat perbandingan dengan bagian EKG yang terletak antara akhir dari

Universitas Sumatera Utara


15

gelombang T dan awal dari gelombang P berikutnya (segmen TP) atau segmen PR

sebelumnya (Becker dkk, 1988; Goldberger dkk, 2013).

Gambar 2.6 Segment ST normal dan Gelombang T. Permulaan dari segment ST


adalah J point (Goldberger dkk, 2013)

Ketika penghantaran darah yang teroksigenasi ke miokardium menjadi tidak


adekuat, baik oleh karena pengurangan aliran darah yang bersifat temporer atau
peningkatan myocardial demand, maka dapat terjadi iskemia, dan bagian
subendokardial adalah yang pertama kali terkena. Jika iskemia yang terjadi berat
sehingga menimbulkan kerusakan otot maka terjadi infark miokard. Pada gambar 2.9
diperlihatkan bahwa dinding ventrikel terdiri dari lapisan luar (epikardium atau
subepikardium) dan lapisan dalam (subendokardium). Perbedaan ini penting karena
iskemia miokardium dapat terbatas hanya paada lapisan dalam (iskemia
subendokardium) atau dapat meliputi keseluruhan dinding ventrikel (iskemia
transmural). Permulaan iskemia pada subendokardium berhubungan dengan hilangnya
kalium intraseluler (K) secara cepat, sehingga menyebabkan suatu diastolic current
injury yang bergerak ke arah luar menuju epikardium (gambar 2.9 dan 2.10). Oleh
karena diastolic current bergerak ke arah luar sehingga menyebabkan peningkatan
baseline EKG. Ketika depolarisasi ventrikel terjadi, semua sel-sel miokardium,
termasuk yang mengalami iskemia akan terdepolarisasi. Ketika sel-sel telah
terdepolarisasi, tidak dijumpai aliran current of injury dan karenanya segmen ST yang
terdefleksi akan kembali pada baseline aslinya, yang mana terletak dibawah baseline
diastolik yang telah mengalami elevasi sebelumnya (gambar 2.12). Hasil akhir depresi
segmen ST yang akan kembali ke diastolic baseline yang telah terelevasi ketika sistol
ventrikel selesai (Becker dkk, 1988; Surawics dkk, 2008; Goldberger dkk, 2013).

Universitas Sumatera Utara


16

Gambar 2.7 Perbedaan Area Infark pada Penampang Melintang Ventrikel. Tampak
adanya perbedaan antara infark subendokardial, yang melibatkan setengah dalam dari
dinding ventrikel, dan infark transmural yang melibatkan keseluruhan dinding
ventrikel. Gelombang Q merupakan penanda infark transmural, namun tidak semua
infark transmural ada gelombang Q (Goldberger dkk, 2013)

Gambar 2.8 Vektor ST Terhadap Elektroda pada Area Iskemik. Tampak area
miokardium yang mengalami iskemia dan mengakibatkan aliran current of injury ke
arah epikardial dan vektor ST ke arah endokardium (Becker dkk, 1988)

A B
Gambar 2.9 Gambaran EKG pada Injury Subendokardium dan Transmural. A.
Iskemia subendokardial menyebabkan electrical forces yang bertanggung jawab
untuk segmen ST berdeviasi ke arah lapisan dalam jantung, sehingga menyebabkan
depresi segmen ST, yang menghadap permukaan luar jantung. B. Iskemia akut
transmural (epikardial) menyebabkan electrical forces yang bertanggung jawab untuk
segmen ST berdeviasi ke arah lapisan luar jantung dan menyebabkan elevasi segmen
ST pada sadapan (Goldberger dkk, 2013)

Universitas Sumatera Utara


17

Gambar 2.10 Perubahan EKG Sebagai Hasil dari Proses Injury. Baseline telah
berubah dan terletak diatas baseline awal. Tidak adanya injury flow saat depolarisasi
dari miosit yang mengalami iskemik menyebabkan kembalinya segmen ST ke
baseline awal, sehingga memberikan gambaran depresi segmen ST (Becker dkk,
1988)

Perubahan EKG yang melibatkan segmen ST telah diobservasi dengan


melakukan penelitian eksperimental. Pasien yang mengalami depresi segmen ST
(dengan atau tanpa simptom) umumnya memiliki sistem kolateral yang lebih baik ke
area yang disuplai oleh pembuluh darah yang mengalami oklusi, jika dibandingkan
dengan pasien elevasi segmen ST. Sehingga secara keseluruhan disimpulkan bahwa
derajat iskemia yang lebih ringan akan menyebabkan depresi segmen ST, sedangkan
iskemia yang lebih berat dan luas menyebabkan elevasi segmen ST (Hopenfeld dkk,
2004). Angiografi koroner yang dilakukan saat episode simptomatik dari iskemia
miokardium mendukung hipotesis ini; pasien dengan depresi segmen ST dan nyeri
dada lebih cenderung memiliki oklusi arteri koroner subtotal dan/atau kolateral ke
area miokardium yang mengalami iskemia (Becker dkk, 1988).

2.4.1 DSST pada Infark Miokard Tanpa Gelombang Q


Telah jelas terdokumentasi bahwa infark miokard yang terjadi oleh karena
oklusi arteri koroner menyebar mulai dari endokardial menuju permukaan epikardium
jantung. Secara teori, infark transmural didefinisikan sebagai infark yang melibatkan
50% sampai 70% ketebalan dinding ventrikel, sedangkan infark non transmural
melibatkan kurang dari 50%. Secara elektrokardiografi dikatakan suatu infark
transmural dengan adanya gelombang Q, dan infark non transmural ditandai
munculnya DSST dengan atau tanpa inversi gelombang T secara simetris, yang
bertahan selama lebih dari 48 jam tanpa munculnya gelombang Q. Walaupun telah
terdapat kesepakatan untuk kriteria ini, namun terdapat korelasi yang jelek antara
gambaran EKG dengan perluasan nekrosis miokardium.

Universitas Sumatera Utara


18

Bahkan data dari penelitian eksperimental dan klinis telah


mendokumentasikan kemampuan nekrosis miokardium nontransmural untuk
menimbulkan gelombang Q baik pada elektrokardiogram epikardial maupun
permukaan tubuh. Sebagai tambahan, DSST dan inversi gelombang T merupakan
penemuan yang tidak spesifik dan dapat terjadi pada berbagai keadaan meliputi
angina pektoris tidak stabil, Left Ventricle Hypertrophy (LVH), perikarditis
subakut/kronik, miokarditis, abnormalitas elektrolit, gangguan metabolik dan
penggunaan obat-obatan seperti digitalis dan neuroleptik fenotiazin. Walaupun begitu,
gambaran EKG seperti ini dengan hasil enzim sesuai dengan infark miokardium akan
membantu untuk mengidentifikasi kedua kelompok pasien seperti ini (dengan
gelombang Q vs tanpa Gelombang Q) dengan manifestasi klinis, strategi
penatalaksanaan, risiko dalam rumah sakit dan prognosis jangka panjang yang
berbeda (Becker dkk, 1988).

2.4.2 DSST pada Infark Miokard dengan Gelombang Q


Oklusi total yang terjadi secara tiba-tiba pada sebuah pembuluh darah
epikardial umumnya berhubungan dengan elevasi segmen ST pada sadapan EKG
yang merepresentasikan area kerusakan miokardium. Akan tetapi, seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, DSST dapat juga dijumpai pada kondisi ini dimana telah
terbentuk kolateral yang luas dan/atau reperfusi spontan. Mengikuti terjadinya infark
miokardium dengan pembentukan gelombang Q, munculnya DSST atau perubahan
resiprokal pada sadapan EKG yang letaknya jauh dari area infark dapat merefleksikan
beberapa variasi kejadian elektrikal atau patofisiologik (tabel 2.2). Oleh karena itu,
makna klinis perubahan resiprokal tetap merupakan area yang menarik perhatian dan
kontroversi (Becker dkk, 1988).

Tabel 2.2 Mekanisme Terjadinya DSST pada Infark dengan Gelombang Q


(Becker dkk, 1988)

1 EKG (fenomena elektrik) : Gambaran cermin dari elevasi segmen ST


2 Adanya sirkulasi kolateral
3 Peningkatan kebutuhan miokardium akibat kompensasi kontraktilitas yang
berlebihan
4 Tekanan perfusi yang menurun
5 Spasme koroner yang jauh
6 Nekrosis miokardium yang luas
7 Penyakit jantung koroner multivessel

Universitas Sumatera Utara


19

2.5 DSST Resiprokal pada IMAEST


Pada IMAEST karakteristik elevasi segmen ST dari EKG sering disertai
dengan DSST pada sadapan yang berlawanan dari lokasi infark. Gambaran EKG
seperti ini sebenarnya telah lama di kenal dan sebelumnya telah di temukan oleh
wolferth sejak tahun 1944. Tiga penjelasan berbeda telah diajukan untuk menjelaskan
fenomena ini yaitu; bahwa DSST resiprokal adalah fenomena elektrofisiologis dimana
depresi ST yang diamati adalah gambaran cermin elevasi segmen ST; bahwa DSST
resiprokal adalah hasil nekrosis miokardium atau iskemia yang jauh dari lokasi infark;
bahwa DSST resiprokal adalah akibat perpanjangan infark di luar lokasi dari infak
asalnya. Akan tetapi hingga saat ini mekanisme yang bertanggung jawab masih dalam
perdebatan (Birnbaum dkk, 1999). Kejadian DSST resiprokal terjadi pada pasien
dengan IMAEST anterior atau IMAEST inferior bervariasi antara 20% sampai lebih
dari 80%. Namun, dari sebagian besar EKG serial didentifikasi adanya perubahan
EKG pada sekitar 50% pasien. Signifikansi klinis dari DSST resiprokal dalam
kejadian IMAEST bergantung pada patofisiologi yang mendasarinya dan bertanggung
jawab atas perubahan seperti itu.
Meskipun masih banyak kontroversi, sebagian besar setuju bahwa IMAEST
disertai DSST yang mengarah jauh dari daerah utama kerusakan miokardium
merepresentasikan nekrosis miokardium yang lebih besar atau lebih luas, dengan
potensi peningkatan angka perawatan dan angka kematian di rumah sakit. DSST
resiprokal yang menetap setelah infark merupakan risiko potensial untuk KKvM di
masa depan karena kemungkinan penyakit arteri koroner multivessel (Ferguson dkk,
1984; Haraphongse dkk, 1984). Perbedaan antara penelitian - penelitian yang telah
dipublikasi mengenai mekanisme yang mendasari dan signifikansi klinis dari DSST
resiprokal tidak hanya mencerminkan perbedaan alat diagnostik yang digunakan,
namun jangka waktu yang berbeda. Pada akhirnya DSST resiprokal pada IMAEST
baik anterior ataupun inferior dikaitkan dengan disfungsi sistolik LV yang signifikan
dan keterlibatan arteri koroner yang lebih luas (Nour, 2017).

Universitas Sumatera Utara


20

Gambar 2.11 Konsep Perubahan Resiprokal pada IMAEST. Sadapan yang


menghadap daerah infark menunjukkan elevasi segment ST dan sadapan yang
berlawanan menunjukkan DSST (Dharma, 2010).

2.5.1 IMAEST Anterior dengan DSST Resiprokal


Pasien yang menderita IMAEST anterior dapat mengalami DSST pada
sadapan EKG yang berlawanan dari daerah utama kerusakan miokard. Pentingnya
temuan ini masih diperdebatkan. Hal ini mungkin mencerminkan iskemia miokard
sekunder yang meluas akibat penyakit arteri koroner multivessel atau dikenal dengan
istilah "ischemia at a distance", infark yang luas dan benign electrical phenomenon
(resiprokal). Ferguson menggunakan angiografi koroner pada sekelompok pasien
dengan IMAEST anterior. Pasien dengan DSST pada sadapan EKG inferior (II, III,
dan aVF) memiliki derajat kelainan gerak pada dinding segmen anterior miokradium
yang sama bila dibandingkan dengan pasien tanpa DSST inferior, juga tidak
didapatkan kelainan gerak pada dinding segmen inferior atau posterior miokardium.
Namun demikian, DSST inferior berkorelasi dengan elevasi segmen ST pada sadapan
prekordial anterior, sehingga menunjukkan bahwa DSST inferior adalah sebuah
fenomena EKG berupa resiprokal dari elevasi segmen ST anterior (Ferguson dkk,
1984).
Crawford melakukan penelitian dengan cara meligasi sepertiga distal LAD
dari 13 babon. Semua hewan ini kemudian menunjukkan DSST di sadapan III dan
aVF kira-kira 30 menit setelah dilakukan ligasi. Tidak ada bukti adanya iskemia atau
infark miokardium inferoposterior seperti yang dinilai oleh epicardial mapping,
cellular creatinine kinase content dan perubahan histologis. Di sisi lain, beberapa
peneliti telah mengamati bahwa pasien dengan DSST inferior pada IMAEST anterior
akut memiliki konsentrasi serum creatinine kinase puncak yang lebih tinggi, tingkat

Universitas Sumatera Utara


21

disfungsi LV yang lebih tinggi, peningkatan angka kematian di rumah sakit, insiden
stenosis RCA yang lebih tinggi dan peningkatan kejadian angina paska infark
(Crawford dkk, 1984; Haraphongse dkk, 1984; Nour, 2017).

2.5.2 IMAEST Inferior dengan DSST Resiprokal


IMAEST inferior tidak jarang dikaitkan dengan depresi segmen ST yang
melibatkan sadapan EKG prekordial anterior (V1 sampai V4), seperti halnya infark
daerah lain. Beberapa peneliti mengatakan bahwa IMAEST inferior dengan DSST
anterior dikaitkan dengan area infark yang lebih luas, fungsi LV yang lebih rendah
serta angka kematian di rumah sakit dan angka kematian tahun pertama yang lebih
tinggi. Derajat disfungsi LV yang lebih besar mungkin merupakan hasil keterlibatan
miokardium inferior, dinding posterior dan lateral yang lebih luas (Hlatky dkk, 1985;
Nour, 2017).
Studi angiografi yang melibatkan pasien dengan IMAEST inferior secara
umum menunjukkan adanya penyakit arteri koroner multivessel khususnya stenosis
lanjutan yang berkaitan dengan LAD. Hal ini lebih sering terjadi bila terdapat DSST
anterior, terutama ketika DSST ini terus berlanjut selama periode infark lebih dari 12
jam (Tendera dkk, 1984; Nour, 2017).

Tabel 2.3 Penentuan Lokasi Sadapan IMAEST dan Sadapan Perubahan


Resiprokal (Dharma, 2010)

Lokasi IMA Sadapan Elevasi Segmen ST Sadapan Perubahan Resiprokal


Anterior I, aVL, V1-V6 II, III, aVF
Inferior II, III, aVF I, aVL,V2-V4

2.6 Terapi IMAEST


Pasien yang telah didiagnosa IMAEST memerlukan tindakan revaskularisasi
untuk mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard. Tindakan revaskularisasi
dapat dilakukan dengan terapi farmakologis menggunakan agen fibrinolitik atau
secara mekanis dengan IKP primer (Ibanez dkk, 2017; Steg dkk, 2012; PERKI, 2014).
Tindakan revaskularisasi yang direkomendasikan menurut ESC Guidelines for
the management of acute myocardial infarction in patients presenting with ST-segmen
elevation (2017) adalah Intervensi Koroner Perkutan primer (IKP primer). Banyak
studi menunjukkan keunggulan IKP primer dibandingan dengan terapi fibrinolitik,

Universitas Sumatera Utara


22

sehingga tindakan IKP primer masih menjadi pilihan utama untuk tindakan reperfusi
dini. Namun, jika IKP primer tidak dapat dilakukan, maka revasularisasi farmakologis
dengan agen fibrinolitik dapat diberikan jika tidak dijumpai adanya kontraindikasi
(Ibanez dkk, 2017; Steg dkk, 2012; PERKI, 2015; Cohen dkk, 2010; Gogo dkk, 2010;
Eagle dkk, 2008).
Sebelum dilakukan tindakan fibrinolitik, ada beberapa terapi pre-prosedural
yang perlu diberikan diantaranya terapi dual antiplatelet berupa aspirin dan
penghambat reseptor ADP (Clopidogrel). Dosis loading oral aspirin yang digunakan
adalah 150 – 300 mg, diikuti dosis pemeliharaan 75-100 mg per hari, sedangkan dosis
loading Clopidogrel 300 mg, diikuti dosis pemeliharaan 75 mg per hari (tabel 2.4).
Pemberian dual antiplatelet direkomendasikan sampai dengan satu tahun pada pasien
paska tindakan fibrinolitik dan IKP (tabel 2.5) (Ibanez dkk, 2017; Steg dkk, 2012;
PERKI, 2014).
Terapi antikoagulan juga direkomendasikan pada pasien IMAEST yang telah
dilakukan terapi fibrinolitik. Antikoagulan ini diberikan hingga revaskulariasi
dilakukan atau selama rawatan di rumah sakit hingga 8 hari. Antikoagulan yang
digunakan diantaranya enoxaparin, unfractionated heparin (UFH), dan fondaparinux.
Enoxaparin lebih disarankan dibandingkan dengan UFH, sedangkan fondaparinux
hanya dapat diberikan 24 jam setelah fibrinolitik dengan streptokinase (tabel 2.5)
(Ibanez dkk, 2017; Steg dkk, 2012).
Dosis antikoagulan enoxaparin 1,0 mg/kg dua kali sehari. Jika usia diatas 75
tahun, maka enoxaparin diberikan dosis yang disesuaikan yaitu 0,75 mg/kg, dua kali
sehari. Pada studi ExTRACT-TIMI 25 (Enoxaparin and Thrombolysis Reperfusion
for Acute Myocardial Infarction Treatment-Thrombolysis in Myocardial Infarction
study 25), perbandingan kematian - infark miokard pada pemberian enoxaparin paska
fibrinolitik dengan alteplase lebih baik dibandingkan dengan UFH. Sedangkan efek
samping terjadinya perdarahan mayor lebih tinggi pada enoxaparin. Akan tetapi
secara keseluruhan outcome sama antara pemberian UFH dan enoxaparin (Antman
dkk, 2005; Fox dkk, 2009).
Terapi antikoagulan dapat memberikan peningkatan kecil dalam patensi (Ross
dkk, 2001), seperti terapi antiplatelet, peran utamanya adalah dalam membantu
mempertahankan patensi setelah reperfusi yang sukses. Namun beberapa penelitian
besar Randomized Clinical Trial (Braid dkk , 2002) tidak menunjukkan manfaat klinis
dengan UFH sebagai terapi tambahan untuk fibrinolitik, sedangkan LMWH

Universitas Sumatera Utara


23

menunjukkan potensi klinis. Studi oleh Simoon tahun 2002 (Simoon dkk, 2002)
mengevaluasi enoxaparin selama 3-8 hari bersamaan dengan terapi fibrinolitik
dibandingkan dengan placebo, enoxaparin secara signifikan meningkatkan patensi
arteri ( 70% vs 58%). Studi HEART II membandingkan terapi tambahan enoxaparin
dan UFH setelah terapi fibrinolitik dengan alteplase, menegaskan bahwa enoxaparin
setidaknya sama efektif dengan UFH. Tingkat patensi arteri 80% pada kelompok
enoxaparin dan 75,1 % pada kelompok UFH (Ross dkk, 2001).

Tabel 2.4 Dosis Pemberian Terapi Antiplatelet dan Antikoagulan pada IMAEST
dengan Fibrinolitik (Ibanez dkk, 2017)

Tabel 2.5 Rekomendasi Terapi Antiplatelet dan Antikoagulan pada IMAEST


dengan Fibrinolitik (Ibanez dkk, 2017)

Universitas Sumatera Utara


24

2.6.1 Terapi Fibrinolitik


Fibrinolitik merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama pada instansi
kesehatan yang tidak melakukan IKP primer pada pasien IMAEST dalam rentang
waktu yang telah ditetapkan. Fibrinolitik bertujuan untuk memperbaiki aliran darah
koroner akibat oklusi yang disebabkan oleh trombus, sehingga dapat mengurangi
perluasan infark, memperbaiki fungsi miokard serta memperbaiki angka harapan
hidup jangka pendek maupun panjang (Mega dkk, 2015). Terapi farmakologis
berdasarkan ESC Guidelines for the management of acute myocardial infarction in
patients presenting with ST-Segment elevation 2017, Fibrinolitik ini memberikan
manfaat yang besar pada pasien dengan resiko tinggi, termasuk diantaranya usia tua,
serta pada onset nyeri dada < 2 jam (Ibanez dkk, 2017). Hal ini sejalan dengan
penelitian sebelumnya yang dilakukan Boersam dkk (1996), pasien IMA-EST yang
dilakukan fibrinolitik 2 jam pertama dari simptom menunjukkan penurunan mortalitas
yang lebih banyak (Boersam dkk, 1996).
Penelitian yang dilakukan oleh Fibrinolytic Therapy Trialists Collaborative
Group dimana dilakukan pemberian terapi fibrinolitik dalam 6 jam setelah simptom
pada pasien IMAEST dibandingkan dengan plasebo menurunkan angka kematian.
Secara keseluruhan fibrinolitik ini memberikan manfaat cukup besar terhadap pasien
dengan risiko tinggi.
Komplikasi pemberian fibrinolitik yang sering terjadi adalah perdarahan
intrakranial, dengan angka kejadian sebesar 0,3-1,3% (Ibanez dkk, 2017; Tibayan,
2011). Sebelum melakukan fibrinolitik, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
yaitu tidak adanya kontraindikasi pada pasien kandidat fibrinolitik. Kontarindikasi
fibrinolitik terdiri kontraindikasi absolut dan relatif (PERKI, 2014).

Tabel 2.6 Kontraindikasi Terapi Fibrinolitik (PERKI, 2014)

Kontraindikasi Absolut Kontraindikasi Relatif


Stroke hemoragik atau stroke yang penyebabnya
Trancient ischaemia attack dalam 6 bulan terakhir
belum diketahui dengan awitan kapanpun
Stroke iskemik 6 bulan terakhir Pemakainan antikoagulan oral
Kehamilan atau dalam satu minggu setelah
Kerusakan system saraf sentral dan neoplasma
kelahiran
Trauma operasi/ trauma kepala yang berat dalam
Tempat tusukan yang tidak dapat dikompresi
tiga minggu terakhir
Perdarahan saluran cerna dalam satu bulan
Resusitasi traumatik
terakhir
Hipertensi refrakter (tekanandarah sistolik lebih
Penyakit perdarahan
dari 180 mmHg)
Penyakit hati lanjut, infeksi endokarditis
Diseksi aorta
Ulkus peptikum yang aktif

Universitas Sumatera Utara


25

2.6.2 Perbandingan Jenis Terapi Fibrinolitik


Semua agen fibrinolitik intravena mengubah pro-enzim plasminogen menjadi
bentuk enzim plasmin aktif. Agen fibinolitik ini dibedakan menjadi dua, yaitu
fibrinolitik spesifik fibrin dan fibrinolitik spesifik non-fibrin. Yang dimaksud dengan
fibrinolitik spesifik fibrin adalah agen yang mengaktifkan plasminogen yang terikat
pada fibrin, sehingga memiliki selektifitas yang tinggi terhadap trombolisis lokal
(Mega dkk, 2015; Llevadot dkk, 2001). Beberapa agen fibrinolitik yang diakui adalah
Streptokinase (SK) yang merupakan agen fibrinolitik spesifik non-fibrin serta tissue
Plasminogen Activator (t-PA), tenecteplase (TNK), dan Reteplase (r-PA) yang
merupakan fibrinolitik spesifik fibrin.
SK merupakan terapi pertama kali yang digunakan untuk mengembalikan
aliran darah di arteri koroner yang mengalami trombosis. Agen fibrinolitik ini berasal
dari protein streptococci yang mengubah plasminogen menjadi plasmin. Juga
merupakan protein antigenik sehingga angka kejadian alergi lebih sering dan dapat
menyebabkan hipotensi. Jika pemberian fibrinolitik sudah dilakukan, maka terapi
untuk kedua kalinya mungkin tidak efektif karena terbentuk antibodi (Weitz, 2015;
Hernandez dkk, 2005).
Agen fibrinolitik lainnya yaitu alteplase bersifat fibrinolitik spesifik fibrin.
Alteplase merupakan produk dari t-PA dari teknologi rekombinan DNA. Dosis
alteplase untuk infark miokard, rejimen dipercepat (onset kurang dari 6 jam) yaitu
awal, bolus intravena 15 mg diikuti dengan infus 0,75 mg/kg (maksimal 50 mg)
selama 30 menit kemudian dilanjutkan 0,5 mg/kg (maksimal 35 mg) selama 60 menit
(total 100 mg dalam 90 menit) (Steg dkk, 2012). Sedangkan dosis untuk infark
miokard dengan onset 6-12 jam, awal injeksi intravena 10 mg diikuti dengan infus
intravena 50 mg selam 60 menit kemudian 4 kali infus intravena 10 mg selama 30
menit (total 100 mg dalam 3 jam). Dosis t-PA yang diberikan selam 90 menit
memiliki sifat trombolisis yang lebih cepat dibandingkan dengan pemberian selama 3
jam intravena (van de Werf, 2009). Studi GUSTO, GISSI-2 dan ISIS-3
membandingkan pemberian SK intravena dan t-PA dalam tatalaksana IMAEST. Hasil
studi GISSI-2 dan ISIS-3 tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan pemberian
SK dengan t-PA terhadap angka kematian. Sedangkan GUSTO menunjukkan
pemberian regimen t-PA mengurangi angka kematian serta stroke pada IMAEST.
Pada grup t-PA di jumpai penurunan angka kematian dalam 30 hari sebesar 14% jika
dibandingkan dengan regimen SK. Angka kejadian stroke hemoragik juga lebih

Universitas Sumatera Utara


26

sedikit pada pemberian t-PA. Jika digabungkan, angka kematian dan stroke lebih
sedikit pada pemberian t-PA dibandingkan dengan SK. Studi TIMI fase I, pemberian
alteplase pada pasien IMAEST memberikan hasil reperfusi dua kali lebih baik
dibandingkan dengan pemberian SK selama 90 menit.

Tabel 2.7 Perbandingan Agen Fibrinolitik (Mega, 2015)


Agen Fibrinolitik Fibrin spesifik Antigenik Patensi (90 menit TIMI Flow 2
atau 3)
TNK ++++ Tidak 85%
r-PA ++ Tidak 84%
t-PA ++ Tidak 73-84%
SK Tidak Ya 60-68%

2.6.3 Kriteria Keberhasilan Fibrinolitik


Pada infark miokard, elevasi segmen ST merupakan perubahan media yang
terjadi secara akut pada evolusi infark. Elevasi segmen ST menandakan adanya
perubahan di miokard. Perubahan ini menandakan derajat cedera sel yang bukan
hanya disebabkan oleh iskemia saja, tetapi kelainan ini juga kemungkinan bersifat
reversibel dan pada beberapa kasus elevasi segmen ST dapat dengan cepat kembali ke
normal. Namun pada banyak keadaan, elevasi segmen ST merupakan penanda awal
bahwa telah terjadi infark, dan segmen ST ini akan kembali isoelektis dalam beberapa
jam (Pomedli dkk, 2011; Mirvis dkk, 2015).
Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan fibrinolitik, dibagi
menjadi dua mekanisme : (1) trombolisis resisten, dapat disebabkan oleh setiap pasien
memiliki perbedaan genetik (tetapi hal ini belum diteliti lebih jauh), bervariasinya
kadar dari faktor sirkulasi (fibrinogen, lipoprotein, kompleks trombin / antitrombin
III), serta faktor mekanik (tekanan di dinding miokard, thrombus burden, bentuk lesi
yang kompleks, residual stenosis setelah reperfusi inisial, perdarahan subintimal); (2)
resistensi perfusi jaringan, disebabkan oleh obstruksi koroner secara perlahan atau
langsung (de Belder, 2001).
EKG merupakan penanda terhadap reperfusi pada tingkat seluler tanpa
dipengaruhi oleh patensi arteri koroner. Sebagian besar penelitian menggunakan
kriteria resolusi segmen ST ≥ 50% sebagai penentu keberhasilan fibrinolitik, baik
diukur pada semua sadapan EKG dengan elevasi segmen ST, atau pada dua sadapan

Universitas Sumatera Utara


27

EKG yang berpasangan, maupun pada satu sadapan dengan elevasi segmen ST
terbesar setelah 90 menit terapi fibrinolitik (O’Gara dkk, 2013; de Belder dkk, 2001).
Insidensi untuk kegagalan fibrinolitik sulit ditentukan, hal ini bergantung
dengan banyak faktor, tidak hanya berdasarkan onset nyeri dada pada saat pasien
datang, tetapi jenis agen fibrinolitik yang digunakan, dosis regimen yang pakai.
Kegagalan fibrinolitik berhubungan dengan meningkatnya mortalitas dan disfungsi
ventrikel kiri (de Belder, 2001). Pada studi yang dilakukan GUSTO (1993) dan
Anderson dkk (1996), mengevaluasi hubungan antara TIMI flow dan outcome,
didapatkan persentase mortalitas 3,7% pada TIMI flow 3, 7% pada TIMI flow 2, dan
8,8% pada TIMI flow 0/1 dalam jangka waktu 4-6 minggu.
Penilaian terhadap pasien IMA-EST dengan EKG kembali normal, memiliki
mortalitas yang lebih rendah, serta fungsi ventrikel kiri yang lebih baik, tetapi situasi
seperti ini jarang sekali terjadi. Penurunan ambang rasa nyeri dada, segmen ST yang
kembali normal, serta aritmia reperfusi hanya terjadi bersamaan sebesar 15%. Nyeri
dada yang berkurang dapat dipengaruhi oleh obat-obatan penghilang nyeri yang
diberikan. Usia, diabetes, perbedaan ambang rasa nyeri, adanya perikarditis juga dapat
mempengaruhi derajat nyeri yang dirasakan. (de Belder, 2001; Sutton dkk, 2000; Bhat
dkk, 2014).

2.7 Intervensi Koroner Perkutan dan TIMI Flow


Intervensi Koroner Perkutan (IKP) merupakan suatu tindakan intervensi non
bedah untuk membuka kembali pembuluh darah arteri koroner yang menyempit atau
tersumbat dengan memasukkan balon atau stent melalui kateter yang dimasukkan ke
dalam lumen arteri melalui insisi kecil pada kulit (Hasan, 2007; Mauri dkk, 2015).
Pada IMAEST dengan onset ≤ 12 jam, maka perlu dilakukan tindakan IKP
primer, jika fasilitas tidak ada, maka terapi fibrinolitik sangat dianjurkan. IKP primer
lebih superior dibandingkan dengan fibrinolitik dalam menurunkan angka kematian,
reinfark, ataupun stroke. Penundaan pada pemberian terapi IKP mengurangi
keuntungan yang diberikan IKP dibandingkan dengan fibrinolitik, tetapi hal ini masih
diperdebatkan (Ibanez dkk, 2017). Akan tetapi pada hasil studi STREAM (Strategic
Reperfusion Early After Myocardial Infarction), didapatkan bahwa penundaan IKP
awal paska keberhasilan tindakan fibrinolitik, tidak ada perbedaan outcome
dibandingkan jika dilakukan segera IKP awal paska keberhasilan fibrinolitik
(Armstrong dkk, 2013; Ibanez dkk, 2017).

Universitas Sumatera Utara


28

Pasien yang telah mendapatkan terapi fibrinolitik, sangat dianjurkan untuk


dilakukan IKP segera. IKP awal diindikasikan 2-24 jam setelah tindakan fibrinolitik
berhasil, ditunjukkan dengan adanya resolusi segmen ST ≥ 50% 90 menit setelah
fibrinolitik. Sedangkan jika tidak dijumpai adanya perubahan segmen ST (resolusi
segmen ST < 50%), maka tindakan IKP rescue harus dilakukan segera (Ibanez dkk,
2017; PERKI, 2015).

Tabel 2.8 Rekomendasi Terapi Reperfusi (Ibanez dkk, 2017)

Penanda keberhasilan fibrinolitik selain dijumpai adanya resolusi segmen ST ≥ 50%,


adalah dengan angiografi koroner. Diagnostik angiografi koroner ini merupakan
standar baku emas dalam menilai keberhasilan terapi fibrinolitik. Ada beberapa
penilaian melalui angiografi koroner ini diantaranya menggunakan TIMI flow, TIMI
Frame Count (TFC), dan TIMI Myocardial Blush Grade (MBG). Pembagian
tingkatan ketiga score ini hampir sama, tetapi berbeda cara penilaiannya.
Thrombolysis in Myocardial Infarction (TIMI) flow digunakan untuk menilai
secara kualitatif tingkat perfusi yang dicapai setelah angioplasti. TIMI flow dibagi
menjadi 4 tingkatan, yaitu: TIMI flow 0-3 (tabel 2.9).

Universitas Sumatera Utara


29

Tabel 2.9 Pembagian TIMI Flow (Kern, 2013)

Gambar 2.12 Perbedaan grading TIMI flow 0 sampai TIMI flow 3 (Gibson dkk,
2004)

2.8 TIMI Flow Paska Fibrinolitik dan Resolusi DSST Resiprokal pada
IMAEST
Seperti yang sudah di ketahui pada IMAEST elevasi ST sering disertai dengan
DSST resiprokal namun signifikansi klinis dari temuan ini masih belum diketahui.

Universitas Sumatera Utara


30

Pentingnya temuan ini masih diperdebatkan. Hal ini mungkin mencerminkan iskemia
miokard sekunder yang meluas akibat penyakit arteri koroner multivessel atau dikenal
dengan istilah "ischemia at a distance", infark yang luas dan benign electrical
phenomenon (resiprokal). Gambaran ini bias jadi hanya fenomena listrik yang tidak
berbahaya, atau sebagai alternatif indikasi remote ischemic yang berhubungan dengan
prognosis yang buruk. DSST resiprokal yang berhubungan dengan prognosis yang
beruk mungkin sangat dipengaruhi dengan tidak dilakukannya reperfusi fibrinolitik.
Stevenson melakukan penelitian terhadap 285 pasien IMAEST yang di terapi
dengan fibrinolitik untuk mengetahui secara klinis signifikansi DSST resiprokal.
Hasilnya, DSST resiprokal pada presentasi EKG tampaknya menjadi benign electrical
phenomenon saja dan tidak terkait dengan onset gejala. DSST resiprokal juga tidak
selalu merupakan prognosis buruk pada pasien IMAEST yang mendapatkan terapi
fibrinolitik (Stevenson dkk, 1993). Namun hal yang berbeda didapatkan dari
Odemuyiwa yang menemukan hubungan antara adanya DSST resiprokal dengan
infark yang luas setelah terapi fibrinolitik dan dilakukan IKP, yaitu dengan hasil PJK
multivessel (Odemuyiwa dkk, 1985).

Terapi fibrinolitik pada IMAEST merupakan komponen penting pada


tatalaksanan jantung koroner. Beberapa penelitian telah menunjukkan pemberian agen
fibrinolitik dini secara intravena pada pasien yang mengalami IMAEST dapat
mengurangi luas infark, disfungsi LV dan menurunkan angka kematian. EKG tetap
menjadi alat sederhana dan cukup akurat dalam penilaian efikasi reperfusi dan
prognosis IMAEST. Penggunaan elevasi segmen ST sebagai refleksi kerusakan
miokardium dilakukan sejak awal 1970an. Oleh karena itu, elevasi segmen ST secara
rutin diukur saat datang untuk menentukan terapi fibrinolitik awal dan untuk
memantau efek terapi reperfusi. Penanda reperfusi yang berhasil berdasarkan
pedoman tatalaksana IMAEST saat ini salah satunya adalah resolusi elevasi segmen
ST lebih dari 50% yang terjadi pada 60-90 menit terapi fibrinolitik.
Akhir-akhir ini perhatian mulai diarahkan kepada adanya DSST resiprokal
pada IMAEST dan resolusi dari DSST resiprokal pada IMAEST. Namun, signifikansi
dan kegunaan DSST sebagai pengukuran yang independen kurang begitu jelas.
Walaupun beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa pasien dengan IMAEST
inferior yang dikaitkan dengan DSST prekordial memiliki infark yang lebih luas
daripada pasien tanpa DSST prekordial. Beberapa studi telah meneliti dampak terapi

Universitas Sumatera Utara


31

fibrinolitik pada kelompok berisiko tinggi ini, namun pada infark anterior, DSST
resiprokal hampir selalu dianggap tidak begitu penting. Akibatnya, resolusi DSST
resiprokal tidak dapat digunakan secara global sebagai pengukuran dan penilaian
terapi fibrinolitik. Terlepas dari banyaknya perdebatan mengenai mekanisme ini, tidak
adanya resolusi DSST pada IMAEST yang mendapatkan terapi reperfusi baik
fibrinolitik atau IKP primer berhubungan dengan prognosis yang lebih jelek
(Tjandrawidjaja dkk, 2010; Wong dkk, 2015; Reinstadler dkk, 2015).
Sistem score TIMI telah lama digunaka secara luas dalam menilai patensi
pembuluh darah koroner paska terapi fibrinolitik. Studi awal TIMI menyebutkan tidak
ada perbedaan yang bermakna antara TIMI flow 2 dan 3, keduanya menggambarkan
aliran arteri yang baik. Pada studi TEAM-2 (1992) menyebutkan bahwa outcome pada
TIMI flow 2 hampir sama dengan TIMI flow 0/1 dibandingkan pada TIMI flow 3.
Substudi GUSTO membedakan grup TIMI 0/1, TIMI flow 2 dan 3, didapatkan
mortalitas dalam 30 hari yang berbeda antara setiap grup, TIMI flow 0/1 dengan
persentase mortalitas sebesar 8,9%, TIMI flow 2 7,4% sedangkan TIMI flow 3 dengan
4,4% (Oldroyd, 2000). Pada penelitian jangka panjang oleh Kim mengklasifikasikan
TIMI flow menjadi dua kelompok yaitu TIMI flow 3 dan TIMI flow  2, didapatkan
kematian jangka panjang pada TIMI flow  2 (suboptimal aliran darah koroner) yang
lebih tinggi (Kim DW dkk, 2017)
Bahkan, untuk subjek dengan IMAEST inferior, penelitian terdahulu
menyebutkan bahwa resolusi DSST setelah dilakukan terapi fibrinolitik tampak lebih
penting peranannya dalam menentukan patensi pembuluh darah koroner paska terapi
fibrinolitik (Wong dkk, 2015). Akhirnya diketahui bahwa tidak hanya elevasi segmen
ST dan resolusi elevasi segmen ST saja tetapi DSST resiprokal dan resolusi DSST
resiprokal juga berguna untuk memprediksi ukuran infark yang lebih luas serta
sebagai pedoman tatalaksana terapi reperfusi baik fibrinolitik ataupun IKP primer.

Universitas Sumatera Utara


32

2.9 Kerangka Teori

Infark Miokard Akut Elevasi Segmen ST (IMAEST)

Perubahan Segmen ST pada EKG awal


Depresi Segmen ST (DSST)
pada sadapan resiprokal

Elevasi Segmen ST pada dua


sadapan yang berdekatan

Kerusakan miokardium luas “Ischemia at distance”


(segmen posterior dan lateral) oleh menyatakan iskemia oleh
karena RCA memiliki distribusi Benign karena LADA disease
anatomia luas (single vessel electrical (multivessel
coronary disease theory) phenomenon coronary disease theory)

Iskemia luas pada miokardium (kadar enzim jantung


yang lebih tinggi, abnormalitas gerakan dinding
regional LV yang lebih berat, EF lebih rendah)
Fibrinolitik

(reperfusi dini dengan target penyelamatan jaringan iskemik)


Resolusi DSST < 50%
Reperfusi tidak berhasil, area
iskemik tidak dapat terselamatkan
Angiografi Koroner

TIMI flow

Gambar 2.13 Skema Kerangka Teori

2.10 Kerangka Konsep

Universitas Sumatera Utara


33

Infark Miokard Akut Elevasi Segmen ST


(IMAEST)

Penentuan ada tidaknya DSST pada sadapan resiprokal


pada EKG awal

Terapi Fibrinolitik

Tanpa resolusi Depresi Dengan resolusi Depresi Sesuai Kriteria Inklusi dan
Segmen ST (DSST) pada Segmen ST (DSST) pada Eksklusi
sadapan resiprokal sadapan resiprokal

diberikan antikoagulan selama 3-8 hari


Diagnostik Angiografi Koroner

Membandingkan kelompok I dan II:


TIMI flow  TIMI flow 0, TIMI flow 1, TIMI flow 2,TIMI flow3

Gambar 2.14 Skema Kerangka Konsep

Universitas Sumatera Utara


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian kohort ambispektif untuk menilai
perbandingan TIMI flow dengan dan tanpa resolusi DSST pada pasien IMAEST yang
mendapatkan terapi fibrinolitik. DSST dinilai pada awal kedatangan pasien dan
resolusi DSST dinilai 90 menit sejak awal pemberian fibrinolitik oleh residen
kardiologi yang bertugas di IGD. Terapi fibrinolitik dilakukan dengan Alteplase, yang
sebelum tindakan fibrinolitik diberikan dual antiplatelet yang sama (Aspilet 160 mg
dan Clopidogrel 300 mg), kemudian diikuti dengan pemberian antikoagulan selama 3-
8 hari. setelah itu akan dilakukan IKP awal untuk menilai TIMI flow. TIMI flow
dinilai saat dilakukan diagnostik angiografi koroner. Penilaian TIMI flow ini
dilakukan oleh ahli jantung intervensi melalui rekaman angiografi koroner dan hasil
dianalisa secara statistika.

3.2 Tempat dan waktu


Penelitian dilakukan pada penderita infark miokard akut elevasi segmen ST
yang masuk dalam kriteria inklusi yang dirawat di RSHAM mulai Januari 2017
sampai jumlah sampel terpenuhi.

3.3 Populasi dan Sampel


1. Populasi target adalah pasien IMAEST yang mendapatkan terapi
fibrinolitik alteplase, diikuti dengan pemberian antikoagulan selama 3-8
hari kemudian dilakukan diagnostik angiografi koroner.
2. Populasi terjangkau adalah Pasien IMAEST yang mendapatkan terapi
fibrinolitik alteplase, diikuti dengan pemberian antikoagulan selama 3-8
hari kemudian dilakukan diagnostik angiografi koroner di RS HAM.
3. Sampel adalah populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi.

34

Universitas Sumatera Utara


35

3.4 Besar Sampel


Besar Sampel
Besar sampel di hitung dengan menggunakan rumus besar sample uji analitik
komparatif tidak berpasangan, yaitu:

n1 = jumlah subjek dalam kelompok I (IMAEST tanpa DSST)


n2 = Jumlah seubjek dalam kelompok II ( IMAEST dengan DSST)
α = Kesalahn tipe I = 5%  tingkat kepercayaan 95%

= Kesalahan tipe II = 20%  power (kekuatan penelitian ) 80%

Zα = Defiat baku alpha

Z = Defiat baku beta

P1 = proporsi untuk kelompok I


P2 = Proporsi untuk kelompok II
P = (P1+P2)/2
Q = 1-P
Q1 = 1-P1
Q2 = 1-P2
dengan menggunakan rumus tersebut di atas, maka didapat jumlah sampel
minimal untuk penelitian adalah 27 orang untuk masing-masing kelompok.

3.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi


3.5.1 Kriteria Inklusi
Pasien dengan diagnosis IMAEST onset kurang dari 12 jam di unit gawat
darurat RSHAM dengan adanya gambaran DSST resiprokal pada EKG awal
serta mendapatkan terapi fibrinolitik alteplase dilanjutkan dengan terapi
antikoagulan selama 3-8 hari, kemudian dilakukan diagnostik angiografi
koroner dan menyetujui inform consent penelitian.

3.5.2 Kriteria Eksklusi


1. Pasien IMAEST yang pernah mengalami IMA sebelumnya.

Universitas Sumatera Utara


36

2. Pasien IMAEST yang sebelumnya telah dilakukan pemasangan stent.

3. Pasien IMAEST dengan Aritmia.


4. Hasil rekaman angiografi koroner yang tidak jelas.

3.6 Persetujuan / Inform Consent


Semua subjek penelitian akan diminta persetujuan setelah dilakukan
penjelasan terlebih dahulu mengenai tujuan penelitian, prosedur pemeriksaan
elektrokardiografi dan prosedur diagnostik angiografi koroner

3.7 Etika Penelitian


Penelitian ini meminta persetujuan Komite Etik Kesehatan dari Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan Komite Etik Penelitian dari RSUP Haji
Adam Malik Medan.

3.8 Cara Kerja dan Alur Penelitian


3.8.1 Cara Kerja
Subyek dengan diagnosa IMAEST dengan DSST resiprokal onset kurang dari
12 jam dan mendapatkan terapi fibrinolitik alteplase di RS HAM yang memenuhi
kriteria inklusi diikutsertakan dalam penelitian. Subyek yang memenuhi kriteria
eksklusi tidak diikutsertakan. Pengumpulan sampel menggunakan metode kuota
(consecutive) dimana setiap subyek yang memenuhi kriteria inklusi dijadikan sampel
penelitian dengan jumlah sampel minimal berdasarkan rumus perhitungan sampel
adalah sebanyak 27 orang untuk masing-masing kelompok. Subyek yang menjadi
sampel penelitian merupakan semua pasien dengan diagnosa IMAEST onset kurang
dari 12 jam di unit gawat darurat RS HAM dengan adanya gambaran DSST resiprokal
pada EKG awal serta mendapatkan terapi fibrinolitik alteplase yang sebelum tindakan
fibrinolitik diberikan dual antiplatelet yang sama (Aspilet 160 mg dan Clopidogrel
300 mg), diikuti dengan pemberian antikoagulan selama 3-8 hari dan kemudian
dilakukan diagnostik angiografi koroner yang memenuhi keriteria inklusi. Setelah
menjalani terapi fibrinolitik pasien dilakukan informed consent. Data dasar, identitas
subyek, anamnesis, pemeriksaan fisik, EKG (pre fibrinolitik dan 90 menit dari awal
mulai terapi fibrinolitik / post fibrinolitik), foto thoraks, pemeriksaan enzim jantung
(CKMB dan Troponin I), ekokardiografi, angiografi koroner dan penggunaan obat
dicatat secara lengkap.

Universitas Sumatera Utara


37

Semua data ini akan dicatat secara seksama. Dari seluruh data yang dimiliki
subyek, data penting awal yang dievaluasi adalah EKG 12 sadapan pada saat awal
masuk unit gawat darurat RSHAM dan 90 menit dari awal mulai terapi fibrinolitik
dengan kecepatan rekaman 25 mm/s dan skala 10 mm/mv. DSST pre fibrinolitik
dinilai dengan menghitung jumlah dalamnya depresi segmen ST pada sadapan
resiprokal yang diukur pada 80 ms setelah j point terhadap garis isoelektris seperti
tampak pada gambar di bawah ini.

J Point T
P

DSST
Q
80 ms
Garis Isoelektris S
Titik pengukuran DSST

Gambar 3.1 Cara Mengukur Kedalaman ST Depresi


Pengukuran DSST pada EKG akan dilakukan secara manual dengan menggunakan
micrometer dial caliper 150 mm Krisbow (KW0600352) dan kaca pembesar. Hasil
pengukuran dilaporkan dalam satuan mm. Resolusi DSST resiprokal dilakukan
dengan menggunakan rumus:

∑ DSST pre fibrinolitik - ∑ DSST post fibrinolitik


Resolusi ∑ DSST (%) = X 100
∑ DSST pre fibrinolitik

Setelah itu, kedua kelompok yang telah dilakukan fibrinolitik dengan alteplase akan
diberikan antikoagulan selama 3-8 hari. Setelah itu dilakukan IKP awal untuk menilai
TIMI flow. TIMI flow dinilai saat dilakukan diagnostik angiografi koroner, penilaian
TIMI flow ini dilakukan oleh ahli jantung intervensi melalui rekaman angiografi
koroner dan dan dibandingkan hasil angiografi berdasarkan TIMI flow (TIMI flow 0,
TIMI flow 1, TIMI flow 2, TIMI flow 3), kemudian hasilnya dianalisa secara
statistika.
3.8.2 Alur Penelitian

Universitas Sumatera Utara


38

Penderita IMAEST dengan DSST resiprokal onset < 12 jam yang


mendapatkan terapi fibrinolitik alteplase di RS HAM

Kriteria eksklusi
Sampel Penelitian

Data dasar:

- Indentitas
- Anamnesa
- Pemeriksaan Fisik
- EKG  DSST
- Foto thoraks
- Enzim jantung
- Ekokardiografi
- Penggunaan obat

Pengukuran resolusi DSST resiprokal pada EKG 90 menit dari terapi fibrinolitik

Tanpa resolusi DSST resiprokal (I) Dengan resolusi DSST resiprokal (II)

Diberikan antikoagulan selama 3-8 hari


Diagnostik Angiografi Koroner

Membandingkan kelompok I dan II:


TIMI flow  TIMI flow 0, TIMI flow 1, TIMI flow 2,TIMI flow3

Gambar 3.2 Diagram Alur Penelitian

3.9 Identifikasi Variabel


Varabel Bebas/independen Skala

Universitas Sumatera Utara


39

Resolusi DSST resiprokal Kategorik


Variabel Tergantung/dependen Skala
TIMI Flow 0 1 2 Kategorik
TIMI Flow 3 Kategorik

3.10 Definisi Operasional


1. IMAEST adalah subset dari sindroma koroner akut yang ditandai dengan
adanya nyeri dada khas infark (nyeri dada dengan durasi > 20 menit, dapat
disertai penjalaran hingga leher, rahang bawah atau lengan kiri, tidak respon
sepenuhnya dengan nitrat, dapat disertai dengan gejala aktifasi sistem saraf
otonom seperti mual, muntah serta keringat dingin), naik dan/atau turunnya
nilai enzim jantung (troponin) sedikitnya satu nilai di atas persentil 99 nilai
normal yang disertai dengan adanya elevasi segmen ST pada EKG yang dinilai
J point, pada dua lead yang berhubungan, ≥0.25 mV pada pria <40 tahun, ≥0.2
mV pada pria >40 tahun, atau ≥0.15 mV pada wanita di lead V2- V3, dan/atau
≥ 0.1 mV pada lead lainnya (Thygesen dkk, 2018; O’Gara dkk, 2013).
2. IMAEST inferior merupakan suatu kejadian oklusi total dari right coronary
artery (RCA) pada 80% kasus atau sekitar 18-20% oleh left circumflex artery
(LCx) dan secara EKG ditandai oleh adanya elevasi segmen ST pada sadapan
II, III, aVF (Birnbaum dkk, 2003; Chou dkk, 2009; Almansori dkk, 2010).
3. IMAEST anterior merupakan kejadian oklusi total di LAD (93%) kasus dan
13 % olek LCx dan secara EKG di tandai oleh adanya elevasi segment ST
pada sadapan I, aVL, V1-V6 (Baltazar RF, 2009; Porter dkk, 2000).
4. DSST resiprokal pada pasien dengan IMAEST inferior didefinisikan sebagai
DSST horizontal atau downsloping ≥ 1 mm, pada 0,08 detik dari j point pada
setidaknya dua sadapan dari sadapan I, aVL V1 sampai V6 (Nour, 2017;
Rautaharju dkk, 2009)
5. DSST resiprokal pada pasien dengan IMAEST anterior didefinisikan sebagai
DSST horizontal atau downsloping ≥ 1 mm, 0,08 detik dari j point pada
setidaknya dua sadapan dari sadapan II, III, aVF (Nour, 2017; Rautaharju dkk,
2009)
6. Resolusi DSST resiprokal adalah penurunan ≥ 50% besaran DSST resiprokal
pada pasien IMAEST 90 menit sejak awal dimulai terapi fibrinolitik (post
fibrinolitik), yang ditentukan dengan rumus dibawah ini. Resolusi DSST

Universitas Sumatera Utara


40

resiprokal < 50% dianggap tidak memenuhi kriteria resolusi. (Tjandrawidjaja


dkk, 2010; Reinstadler dkk, 2015; Nouriega, 2013)

∑ DSST pre Fibrinolitik - ∑ DSST post Fibrinolitik


Resolusi ∑ DSST (%) = X 100
∑ DSST pre Fibrinolitik

7. Fibrinolitik dengan alteplase merupakan pilihan terapi pada kasus IMAEST


dengan onset <12 jam. Diberikan dengan aturan dosis alteplase bolus
intravena 15 mg diikuti dengan infus 0,75 mg/kg (maksimal 50 mg) selama 30
menit kemudian dilanjutkan 0,5 mg/kg (maksimal 35 mg) selama 60 menit
(total 100 mg dalam 90 menit) (Steg dkk, 2012).
8. Alteplase adalah agen fibrinolitik spesifik fibrin dan merupakan produk dari t-
PA dari teknologi rekombinan deoxyribonucleic acid (DNA).
9. Intervensi Koroner Perkutan awal adalah angiografi koroner dengan IKP pada
arteri terkait infark (jika terdapat indikasi), yang dilakukan 2 sampai 24 jam
paska keberhasilan fibrinolitik (Ibanez dkk, 2017).
10. TIMI flow adalah penilaian kualitatif tingkat perfusi yang dicapai setelah
angioplasti, dibagi menjadi 4 tingkatan, TIMI flow 0, 1, 2, dan 3 (Kern, 2013).
11. TIMI flow optimal adalah TIMI flow 3 dimana aliran darah normal sampai ke
sirkulasi koroner distal sedangkan TIMI flow suboptimal adalah TIMI flow 
2 dimana tidak mewakili reperfusi efektif dari miokard dan arteri koroner yang
paten (Kim dkk, 2017; Field JM, 2001)

3.11 Pengolahan dan Analisa Data


Variabel Kategorik di presentasikan dengan jumlah atau frekwensi (n) dan
presentase (%). Variabel numerik di presentasikan dengan nilai mean (rata-rata) dan
standar deviasi untuk data yang berditribusi normal, sedangkan data numerik yang
tidak berdistribusi normal menggunakan median (nilai tengah), yang kemudian
dibandingkan dengan Student’s t-test atau Mann Whitney U. Uji normalitas variable
numerik pada seluruh subyek penelitian menggunakan one sample kolomogorov
smirnov (n>50) atau Shapiro Wilk (n<50). Untuk sampel yang di temukan singnifikan
pada uji anaisis bivariat, dimasukkan ke uji multivariat. Analisis data stastistik

Universitas Sumatera Utara


41

menggunakan perangkat statistik komputer, nilai p < 0,05 dikatakan bermakna secara
statistik.

3.12 Rincian Biaya Penelitian


Pemeriksaan EKG @ Rp. 80.000,- Rp. 4.320.000,-
Pengadaan alat tulis dan fotokopi Rp. 1.000.000,-
Pengolahan hasil statistik Rp. 1.000.000,-
Pengadaan CD Rp. 270.000,-
Total Rp 6.590.000,-

Universitas Sumatera Utara


BAB IV
HASIL PENELITIAN

4.1 Karakteristik Penelitian

Penelitian ini adalah studi kohort ambispektif yang dilakukan di Departemen


Kardiologi dan Kedokteran Vaskular RS H. Adam Malik mulai januari 2017 sampai
dengan September 2018 jumlah sampel sebanyak 60 orang dengan diagnosis
IMAEST yang mendapatkan terapi fibrinolitik alteplase, kemudian dilakuakan
angiografi koroner yang memenuhi kriteria inklusi serta eksklusi sehingga dapat
diikutsertakan dalam penelitian.
Dari keseluruhan jumlah sampel yang dilibatkan diambil data klinis dan
penunjang, data elektrokardiografi dikumpulkan sebelum dan sesudah fibrinolitik
untuk menilai resolusi depresi segmen ST (DSST) resiprokal kemudian data
dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok dengan resolusi DSST
resiprokal dan kelompok tanpa resolusi DSST resiprokal dan dilanjutkan dengan
angiografi koroner setelah pemberian antikoagulan selama 3-8 hari.

4.2 Karakteristik Subjek Penelitian

Subyek penelitian dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok IMAEST


dengan resolusi DSST resiprokal (30 orang, 50%) dan kelompok IMAEST tanpa
resolusi DSST resiprokal (30 orang, 50%). Usia rata-rata subyek penelitian pada
kelompok IMAEST dengan resolusi DSST resiprokal adalah 54 tahun berbanding 53
tahun pada kelompok IMAEST tanpa resolusi DSST resiprokal. Sekitar 22 orang
(73,3%) berjenis kelamin laki-laki pada kelompok IMAEST dengan resolusi DSST
resiprokal berbanding 24 orang (80%) pada kelompok IMAEST tanpa resolusi DSST
resiprokal. Rata-rata berat badan pada dua kelompok juga tidak berbeda secara
statistik dengan nilai 69 dan 67 kg pada masing-masing kelompok. Rata-rata tekanan
darah sistolik (TDS) saat masuk rumah sakit adalah 128 mmHg pada kelompok
IMAEST dengan resolusi DSST resiprokal dan 125 mmHg pada kelompok IMAEST
tanpa resolusi DSST resiprokal dengan rata-rata frekuensi denyut jantung saat masuk

42

Universitas Sumatera Utara


43

rumah sakit adalah 77 kali/menit pada kelompok IMAEST dengan resolusi DSST
resiprokal dan 76 kali/menit pada kelompok IMAEST tanpa resolusi DSST resiprokal.
Dari pemeriksaan laboraturium juga tidak didapati adanya perbedaan yang
bermakna secara statistik antara kelompok kelompok IMAEST dengan resolusi DSST
resiprokal dan kelompok IMAEST tanpa resolusi DSST resiprokal yaitu jumlah
leukosit, ureum dan kreatinin. Rata-rata jumlah leukosit pada kelompok IMAEST
dengan resolusi DSST resiprokal adalah 13.231 /µL dan 12.063/ µL pada kelompok
IMAEST tanpa resolusi DSST resiprokal. Rata-rata kadar ureum pada kelompok
IMAEST dengan resolusi DSST resiprokal adalah 21 mg/dl dan 25 mg/dl pada
kelompok kelompok IMAEST tanpa resolusi DSST resiprokal dan rata-rata kadar
kreatinin pada kelompok IMAEST dengan resolusi DSST resiprokal adalah 0,90
mg/dl dan 0,89 mg/dl pada kelompok kelompok IMAEST tanpa resolusi DSST
resiprokal.
Tidak dijumpai perbedaan yang bermakna secara statistik dalam faktor-faktor
risiko penyakit jantung koroner antara kelompok kelompok IMAEST dengan resolusi
DSST resiprokal dengan kelompok IMAEST tanpa resolusi DSST resiprokal yaitu
merokok 18 orang (60%) berbanding 21 orang (70%), diabetes melitus 11 orang
(36,7%) berbanding 13 orang (43,3%), Hipertensi 16 orang (53,3%) berbanding 19
orang (63,3%) Dislipidemia 25 orang (83,3%) berbanding 20 orang (66,7%) dan
obesitas 6 orang (20%) berbanding 5 orang (16,7%)
Hasil Penelitian ini menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna secara
statistik antara kelompok IMAEST dengan resolusi DSST resiprokal dan kelompok
IMAEST tanpa resolusi DSST resiprokal dalam hal fraksi ejeksi ventrikel kiri,
IMAEST anterior dan durasi dari QRS. Dalam hal fraksi ejeksi ventrikel kiri terlihat
bahwa kelompok IMAEST dengan resolusi DSST resiprokal memiliki nilai fraksi
ejeksi ventrikel kiri yang lebih tinggi dari kelompok IMAEST tanpa resolusi DSST
resiprokal yaitu 52% berbanding 43% (p=<0,001). Kelompok IMAEST dengan
resolusi DSST resiprokal jarang terjadi pada IMAEST anterior dibandingkan
kelompok IMAEST tanpa resolusi DSST resiprokal yaitu 10 orang (33,3%)
berbanding 25 orang (83,3%) (p=<0,001). Sedangkan durasi QRS kelompok IMAEST
dengan resolusi DSST resiprokal memiliki nilai durasi QRS lebih baik yaitu 70 ms
berbanding 80 ms (p=<0,001). Masing-masing nilai proporsi variabel dapat di lihat
pada tabel 4.1 di halaman berikutnya.

Universitas Sumatera Utara


44

Tabel 4.1 Data Karakteristik Subjek Penelitian. Diklasifikasi Berdasrkan Resolusi


DSST Resiprokal

Resolusi Depresi Sengmen ST


Seluruh
Subjek Ada Tidak Ada
p
n= 60 n=30 n=30

Umur (Tahun) 54 ± 8 54 ± 8 53 ± 9 0,526

Laki-laki (orang, %) 46 (76) 22 (73,3) 24 (80) 0,542

Berat Badan (kg) 68 ± 8 69 ± 9 67 ± 8 0,480

TDS (mmHg) 126 ± 22 128 ± 21 125 ± 24 0,594

Denyut Jantung (kali/menit) 77 ± 15 77 ± 12 76 ± 17 0,815

Merokok (orang, %) 39 (65) 18 (60) 21 (70) 0,417

Diabetes Mellitus (orang, %) 24 (40) 11 (36,7) 13 (54) 0,598

Hipertensi (orang, %) 35 (58) 16 (53,3) 19 (63,3) 0,432

Dislipidemia (orang, %) 45 (75) 25 (83,3) 20 (66,7) 0,136

Obesitas (orang, %) 11 (18) 6 (20) 5 (16,7) 0,739

Anterior IMAEST(orang, %) 35(58) 10 (33,3) 25 (83,3) <0,001

Fraksi Ejeksi (median, %) 45 (25-60) 52 (25-60) 43 (26-54) <0,001

Leukosit (mm3) 12647 ± 3778 13231 ± 2980 12063 ± 4411 0,234

Ureum (mg/dl) 23,2 (9-105) 21,0 (9-105) 25,5 (13-90) 0,426

Kreatinin (mg/dl) 0,9 (0,6-6,6) 0,9 (0,6-6,6) 0,89 (0,6-3,6) 0,827

Onset (jam) 5 ( 1-11) 4 (1-11) 5 ( 1-10) 0,761

Durasi QRS (ms) 70 (60-120) 70 (60-80) 80 (60-120) <0,001

4.3 Karateristik TIMI Flow Subyek Penelitian yang Mendapatkan Terapi


Fibrinolitik Alteplase

Jumlah total subjek penelitian adalah 60 orang yang terdiri dari 38 orang
(62%) yang dijumpai TIMI flow 3, 19 orang (31%) yang dijumpai TIMI flow 2, 2
orang (5%) yang dijumpai TIMI flow 1, 1 orang (2%) yang dijumpai TIMI flow 0.

Universitas Sumatera Utara


45

TIMI Flow
2% 5%

31% TIMI Flow 0


TIMI Flow 1
62%
TIMI Flow 2
TIMI Flow 3

Gambar 4.1 Diagram Proporsi TIMI Flow

Sedangkan proporsi TIMI flow optimal dan suboptimal terdiri dari 38 orang
TIMI flow optimal dan 22 orang dengan TIMI flow suboptimal.

TIMI Flow

37%
TIMI Flow ≤ 2
(Suboptimal)
63%
TIMI Flow 3 (Optimal)

Gambar 4.2 Diagram Proporsi TIMI flow optimal dan suboptimal

4.4 Variabilitas Inter-observer pada Perbandingan TIMI flow

Penilaian TIMI flow yang dilakukan berdasarkan hasil angiografi koroner


dengan menilai aliran darah arteri koroner bersifat subjektif. Penilaian TIMI Flow
dilakukan oleh dua orang observer secara (blind) tanpa mengetahui diagnosa pasien.

Universitas Sumatera Utara


46

Jika terdapat perbedaan antara observer maka yang diambil nilai tertinggi dari TIMI
Flow. Dalam penelitian ini nilai variabilitas inter-observer diuji dengan menggunakan
uji Kappa (Cohen’s Kappa Coefficient). Penilaian TIMI flow dilakukan oleh dua
orang observer penilaian yang merupakan konsultan intervensi. Nilai Kappa (κ) pada
variabilitas inter-observer adalah 0,623 yang termasuk dalam kategorik baik (good)
dengan nilai p=0,000.

Tabel 4.2 Uji Variabilitas Inter-bserver (Cohen’s Kappa Coefficient)

Variabel Kappa (k) Nilai p

TIMI Flow 0,623 0,000

4.5 Karateristik Hasil Gambaran Elektrokardiografi Subyek Penelitian


Diklasifikasi Berdasarkan Timi Flow

Hasil elektrokardiografi subyek penelitian menunjukan bahwa terdapat


perbedaan yang bermakna secara statistik terhadap kelompok TIMI flow suboptimal
dan TIMI flow optimal pada gambaran elektrokardiografi resolusi DSST resiprokal,
fragmented gelombang QRS, Resolusi ST elevasi dan resolusi ST elevasi dengan
terbentuk gelombang Q. Gambaran eletrokardiografi resolusi DSST resiprokal di
jumpai pada 2 orang (6,7%) pada kelompok TIMI Flow suboptimal dan 28 orang
(93,3%) pada kelompok TIMI Flow optimal, dengan nilai p=<0,001. Gambaran
eletrokardiografi fragmentasi gelombang QRS dijumpai pada 12 orang (52,2%) pada
kelompok TIMI Flow suboptimal dan 11 orang (47,8%) pada kelompok TIMI Flow
optimal, dengan dengan nilai p=0,049. Gambaran elektrokardiografi resolusi ST
elevasi di jumpai pada 4 orang (10 %) pada kelompok TIMI Flow suboptimal dan 36
orang (90 %) pada kelompok TIMI Flow optimal, dengan nilai p=<0,001. Gambaran
resolusi ST elevasi dengan tebentuk gelombang Q di jumpai pada 12 orang (60 %)
pada kelompok TIMI Flow suboptimal dan 8 orang (40 %) pada kelompok TIMI
Flow optimal, dengan nilai p=0,008.
Dari data di atas dapat disimpulkan kalo adanya resolusi STE post fibrinolitik
memang tampak bermakna pada TIMI flow, dimana jika dijumpai resolusi ST elevasi
pada EKG, TIMI flow lebih baik. Namun ketika variable disesuaikan dengan
terbentuknya gelombang Q pathologis ternyata keadaan menjadi sebaliknya,

Universitas Sumatera Utara


47

sementara untuk variable resolusi DSST tampak memiliki presentasi yang lebih tinggi
dalam memprediksi TIMI flow yang lebih baik.

Tabel 4.3 Data Karateristik Hasil Gambaran Elektrokardiografi Subyek Penelitian


Diklasifikasi Berdasarkan Timi Flow

Seluruh TIMI Flow


subjek 0/1/2 3
p
n= 60(%) n= 22(%) n= 38(%)
Variabel (n, %)

Resolusi DSST resiprokal 30 (50) 2 (6,7) 28 (93,3) < 0,001

Q-path sebelum fibrinolitik 43 (71,7) 18 (41,9) 25 (58,1) 0,184

Fragmented gelombang QRS 23 (38,3) 12 (52,2) 11 (47,8) 0,049

Konfigurasi Gelombang RS 12 (20) 5 (42) 7 (58) 0,688

Gelombang T inversi 32 (53,3) 15 (46,9) 17 (53,1) 0,079

Resolusi ST Elevasi 40 (66,7) 4 (10) 36 (90) <0,001

Resolusi ST elevasi dengan


20 (33,3) 12 (60) 8 (40) 0,008
terbentuk gelombang Q

Resolusi T inversi 13 (21,7) 6 (46,2) 7 (53,8) 0,423

4.6 Perbandingan Timi Flow Pasien IMAEST yang Mendapatkan Terapi


Fibrinolitik Alteplase pada IMAEST dengan Resolusi DSST Resiprokal dan
Tanpa Resolusi DSST Resiprokal

Subyek penelitian pada kelompok TIMI Flow optimal memiliki gambaran


EKG resolusi DSST resiprokal lebih banyak dibandingkan dengan kelompok TIMI
Flow suboptimal yaitu 28 orang (93,3%) berbanding 2 orang (6,7%) dan hal ini
bermakna secara statistik dengan nilai P=<0,001. Sebaliknya kelompok TIMI Flow
optimal sekitar 10 orang (33,3%) tidak memiliki gambaran EKG resolusi DSST
resiprokal berbanding 20 orang (66,7%) kelompok TIMI Flow suboptimal. Lebih
lanjut dapat disimpulkan penderita IMAEST tanpa resolusi DSST resiprokal memiliki
kemungkinan 28 kali terjadi TIMI Flow suboptimal dibandingkan dengan penderita
IMAEST dengan resolusi DSST resiprokal.

Universitas Sumatera Utara


48

Tabel 4.4 Analisa Bivariat TIMI Flow Subyek Penelitian terhadap Resolusi DSST
Resiprokal

Resolusi DSST
Variabel Ada Tidak ada Total Nilai p OR 95% KI
n=30 n=30
TIMI Flow (n, %)
0/1/2 2 (6,7) 20 (66,7) 22 (36,7) <0,001 28 5,5 -141,9
3 28 (93,3) 10 (33,3) 38 (63,3)

4.7 Perbandingan TIMI Flow Subyek Penelitian yang Mendapatkan Terapi


Fibrinolitik Alteplase dilanjutkan dengan Terapi Tambahan Antikoagulan.

Angiografi koroner dilakukan pada pasien yang mendapatkan terapi


fibrinolitik Alteplase dan dilanjutkan dengan terapi tambahan antikoagulan. Subyek
penelitian pada kelompok TIMI Flow suboptimal yang mendapatkan terapi
fibrinolitik alteplase dilanjutkan dengan terapi tambahan antikoagulan LMWH
memiliki jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok TIMI Flow
optimal yaitu 11 orang (33,3%) berbanding 22 orang (66,7%). Pada kelompok TIMI
Flow suboptimal yang mendapatkan terapi fibrinolitik alteplase dilanjutkan dengan
terapi tambahan antikoagulan UFH juga memiliki jumlah subyek penelitian yang
lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok TIMI Flow optimal yaitu 11 orang
(40,7%) berbanding 16 orang (59,3%) dan kedua hal ini tidak bermakna secara
statistik dengan nilai p=0,554.

Tabel 4.5 Analisa Bivariat TIMI Flow terhadap Subyek Penelitian yang Mendapatkan
Terapi Fibrinolitik Alteplase Dilanjutkan dengan Terapi Tambahan Antikoagulan.

Antikoagulan
Variabel Total Nilai p
LMWH UFH
TIMI Flow (n,%)
0/1/2 11 (33,3) 11 (40,7) 22 (36,7) 0,554
3 22 (66,7) 16 (59,3) 38 (63,3)

Universitas Sumatera Utara


BAB V

PEMBAHASAN

Penelitian ini merupakan studi kohort ambispektif yang menganalisis


perbedaan TIMI flow pada pasien yang menderita IMAEST yang mendapatkan terapi
fibrinolitik alteplase dengan dan tanpa resolusi DSST resiprokal. Tujuan khusus dari
penelitian ini adalah untuk menilai TIMI flow setelah pemberian fibrinolitik alteplase
dan telah mendapatkan terapi tambahan antikoagulan selama 3-8 hari pada pasien
IMAEST dengan dan tanpa resolusi DSST.

5.1 Pengumpulan Data Subyek


Subjek dalam penelitian ini dikumpulkan secara konsekutif yaitu pasien yang
menderita IMAEST dengan DSST resiprokal onset kurang dari 12 jam dan
mendapatkan terapi fibrinolitik alteplase di RSUP HAM dan dan dilakukan EKG
dengan kecepatan rekaman 25 mm/s dan skala 10 mm/mv (pre fibrinolitik dan 90
menit dari awal mulai terapi fibrinolitik / post fibrinolitik). Kemudian mendapatkan
terapi tambahan antikoagulan selama 3-8 hari dan dilakukan angiografi koroner. Pada
penelitian ini data diambil dari rekam medis pasien IMAEST yang dirawat di RSUP
HAM pada periode Januari 2017 hingga September 2018 dengan total sampel
sebanyak 60 orang pasien IMAEST yang telah memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi.
Beberapa kendala di jumpai dalam pengumpulan sampel berupa pemeriksaan
EKG yang tidak dapat dibaca dengan sempurna karena kualitas kertas EKG, tidak
semua pasien dengan IMAEST dengan onset kurang dari 12 jam dilakukan fibrinolitik
karena berbagai hal seperti pasien umum yang tidak ditanggung asuransi, pasien yang
sudah pernah mengalami infark sebelumnya serta pasien yang menolak dilakukan
angiografi koroner. Jumlah subyek serta sebab dieklusikannya subyek dari penelitian
karena tidak memenuhi syarat.
Pelaksanaan penelitian sesuai dengan prinsip etika penelitian kedokteran
dalam menggunakan manusia, maka dalam menentukan prosedur penelitian perlu

49

Universitas Sumatera Utara


50

dipertimbangkan harkat dan martabat manusia serta manfaat dan kerugian dari suatu
penelitian. Untuk itu penelitian ini telah mendapatkan izin dari komite etik Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan Badan penelitian dan pengembangan dari
RSUP Haji Adam Malik Medan (lampiran 4).
Adapun untuk penilaian TIMI flow dilakukan berdasarkan hasil angiografi
koroner dengan menilai aliran darah arteri koroner secara subyektif oleh dua orang
observer yang merupakan konsultan intervensi.

5.2 Karateristik Subyek dan Hasil Pengamatan


Dari data karateristik dasar terlihat bahwa rerata umur pasien yang datang
adalah 54 tahun, cenderung berjenis kelamin laki-laki dengan riwayat kolesterol
tinggi dan presentasi EKG infark anterior.
Usia terbanyak adalah 50-60 tahun dengan rerata 54 tahun, sepuluh tahun
lebih muda dibandingkan penelitian dari eropa (Radovanovic dkk, 2010; Nedkoff dkk,
2011) namun sejalan dengan bertambahnya usia, maka angka kejadian penyakit
kardiovaskular juga meningkat (Ibanez dkk, 2017). Dari hasil penelitian ini juga
dinilai faktor resiko penyakit jantung koroner (PJK), yang tertinggi selain usia adalah
riwayat kolesterol tinggi dengan total penderita IMAEST dengan riwayat kolesterol
tinggi sebanyak 45 orang (75%), dimana hal ini menunjukkan hasil yang sama pada
penelitian yang dilakukan Fawzy (2014) yang menyebutkan bahwa dislipidemia dapat
meningkatkan resiko terjadinya penyakit kardiovaskular dan lebih banyak terjadi pada
laki-laki daripada perempuan (Fawzy dkk, 2014)
Adapun variabel yang berbeda secara signifikann antar kedua kelompok dari
karateristik dasar ini yakni anterior IMAEST dan fraksi ejeksi ventrikel kiri, yang
diklasifikasi berdasarkan resolusi DSST resiprokal. Dimana angka kejadian IMAEST
anterior adalah sekitar 60% dari keseluruhan IMAEST (Haim dkk, 1997) kejadian
DSST resiprokal pada IMAEST anterior sekitar 40% berbanding dengan IMAEST
inferior dengan DSST resiprokal berkisar 72 % sampai 38% (Katz dkk,1986). Fraksi
ejeksi ventrikel kiri yang bermakna secara statistik memiliki hubungan yang
signifikan dengan adanya resolusi DSST resiprokal, pada penelitian Ottervanger dkk
tampak perbaikan fraksi ejeksi ventrikel kiri paska referfusi pada pasien IMA sebesar
6% pada 48% pasien dengan presentasi keberhasilan revaskularisasi adalah 80%
(Ottervanger dkk, 2001).

Universitas Sumatera Utara


51

Pada penelitian ini setelah tindakan fibrinolitik dengan alteplase, pasien


diberikan terapi tambahan antikoagulant selama 3-8 hari. Setelah itu, pasien dilakukan
tindakan angiografi koroner, dan dinilai TIMI flow. Dari hasil penelitian ini
didapatkan, TIMI flow 0, 1, 2 dan 3. 3. Dari total 60 sampel penelitian, didapatkan 38
pasien (62%) dengan TIMI flow 3, 19 pasien (31%) yang dijumpai TIMI flow 2, 2
pasien (5%) yang dijumpai TIMI flow 1, 1 pasien (2%) yang dijumpai TIMI flow 0.
TIMI flow optimal adalah TIMI flow 3 dimana aliran darah normal sampai ke
sirkulasi koroner distal, sedangkan TIMI flow suboptimal adalah TIMI flow  2
dimana tidak mewakili reperfusi efektif dari miokard dan arteri koroner yang paten
(Kim dkk, 2017; Field JM, 2001). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Kostic
(2009) dimana pasien dengan IMAEST setelah pemberian alteplase memiliki aliran
darah koroner yang secara ststistik lebih tinggi (TIMI flow 3) sebesar 72,5 % (Kostic
dkk, 2009).
Hasil Gambaran elektrokardiografi yang mempengaruhi TIMI Flow yang
bermakna secara statistik adalah resolusi DSST resiprokal, fragmentasi QRS, resolusi
ST Elevasi dan resolusi ST elevasi dengan terbentuk gelombang Q patologis. Data
dari percobaan TIMI-4 menunjukkan bahwa fragmentasi QRS memilik ukuran infark
lebih besar dan defek yang lebih besar pada scan sestamibi Tc-99m dibandingkan
pasien yang tanpa adanya bentuk morfologi QRS ini. (Birnbaum dkk, 1996). Dalam
era IKP primer dan terapi fibrinolitik, resolusi segment ST elevasi pasien dengan
IMAEST adalah penanda reperfusi dan patensi arteri koroner (estimasi dari tingkat
aliran TIMI) serta terkait dengan ukuran infark yang menjadi lebih kecil (Antman,
2012; De Lemos dkk, 2001; Angeja dkk, 2002). Namun akhir-akhir ini adanya DSST
(di sadapan selain yang pada awalnya menunjukkan elevasi segmen ST) umumnya
terlihat pada pasien dengan IMAEST, ada atau tidaknya resolusi DSST setelah IMA
juga penting secara prognostik. Pada penelitian ini TIMI Flow 3 dijumpai pada 28
pasien (73,7%). Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Tjandrawidjaja (2010) dimana
TIMI Flow 3 dijumpai pada 87,1 % pasien dengan resolusi DSST resiprokal
(Tjandrawidjaja dkk, 2010). Adanya resolusi ST elevasi post fibrinolitik memang
tampak bermakna pada TIMI flow, dimana jika dijumpai resolusi ST elevasi pada
EKG, TIMI flow lebih baik. Namun ketika variable disesuaikan dengan terbentuknya
gelombang Q pathologis ternyata keadaan menjadi sebaliknya, sementara untuk

Universitas Sumatera Utara


52

variable resolusi DSST tampak memiliki presentasi yang lebih tinggi dalam
memprediksi TIMI flow yang lebih baik.
Hasil perbandinga TIMI Flow pasien IMAEST yang mendapatkan terapi
fibrinolitik alteplase pada IMAEST dengan resolusi DSST resiprokal dan tanpa
resolusi DSST resiprokal menunjukkan bahwa terdapat perbedaan TIMI Flow.
Penderita IMAEST dengan resolusi DSST resiprokal setelah mendapatkan terapi
fibrinolitik alteplase memiliki niali TIMI Flow 3 lebih banyak dari pada penderita
IMAEST tanpa resolusi DSST resiprokal setelah mendapatkan terapi fibrinolitik
alteplase yaitu 28 orang (93,3%) berbanding dengan 10 orang (33,3%) dan hal ini
bermakna secara statistik dengan nilai p<0,001. Hasil penelitian ini menyerupai
penelitian sebelumnya membandingkan TIMI Flow dengan resolusi DSST resiprokal
oleh Tjandrawidjaja (2010) namun pada populasi dengan terapi IKP primer bukan
terapi fibrinolitik.
Penilaian TIMI flow bersifat subjektif, sehingga diperlukan observer yang
merupakan konsultan intervensi. Untuk menilai besarnya perbedaan antara observer
maka digunakan uji Kappa untuk melihat perbedaan antara kesepakatan yang
teramati. Dari penelitian ini didapatkan nilai Kappa (K) 0,623, artinya kesepakatan
inter-observer baik (Murti, 2011).

Universitas Sumatera Utara


BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh pada penelitian ini disimpulkan
bahwa terdapat perbedaan TIMI Flow pada penderita IMAEST dengan resolusi DSST
resiprokal dan tanpa resolusi DSST resiprokal yang mendapatkan terapi fibrinolitik
alteplase, dimana penderita IMAEST dengan resolusi DSST resiprokal memiliki nilai
TIMI Flow yang lebih baik dibandingkan dengan penderita IMAEST tanpa resolusi
DSST resiprokal.

6.2 Keterbatasan Penelitian


Sampel pada penelitian ini adalah pasien IMAEST dengan adanya DSST yang
dilakukan terapi fibrinolitik menggunakan alteplase, dimana secara umum angka
prevalensinya lebih rendah dengan berkembangnya fasilitas Rumah sakit dalam
melakukan IKP primer sehingga dijumpai kesulitan dalam pengumpulan jumlah
sampel minimal. Jumlah sampel dalam penelitian ini lebih kecil dibandingkan dengan
penelitian-penelitian lainnya dan hanya dilakukan pada satu tempat penelitian
sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih
besar maupun kerjasama dengan beberapa rumah sakit rujukan yang memiliki fasilitas
rawat inap intensif kardiovaskular agar dapat memberikan hasil yang lebih
representatif.
Penelitian ini bersifat ambispektif yaitu sebagian dengan mengambil data
pasien melalui rekam medis, sehingga beberapa sampel tidak dapat masuk dalam
penelitian karena ketidaklengkapan data. Penilaian TIMI flow dilakukan dengan
melihat rekaman angiografi koroner, beberapa pasien ada yang menolak angiografi
koroner jelas sehingga juga mengurangi jumlah sampel.

53

Universitas Sumatera Utara


54

6.3 Saran
Resolusi DSST resiprokal memiliki makna penting, salah satunya dengan
TIMI flow yang lebih baik pada pasien dengan adanya resolusi DSST resiprokal
dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat membantu praktisi dalam
memperkirakan strategi terapi yang akan diambil pada penangan awal pasien
IMAEST di unit gawat darurat RS H. Adam Malik Medan. Penelitian lanjutan yang
bersifat prospektif dengan jumlah sampel yang lebih besar disarakan untuk hasil
penelitian yang lebih baik.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

Aldrich HR, Hindman NB, Hinohara T, et al. Identification of the optimal


electrocardiographic leads for detecting acute epicardial injury in acute
myocardial infarction. Am J Cardiol. 1987;59:20–3.

Almansori M, Armstrong PW, Yuling F, et al. Electrocardiographic identification of


the culprit coronary artery in inferior wall ST elevation myocardial infarction.
Canadian Journal of Cardiology. 2010;26(6):293-296.

Alwi, I. 'Infark miokard akut dengan elevasi ST', in Sudoyo, A.W., Setryohadi, B.,
Alwi, I., Simadibratra, M. and Setiati, S. Buku Ajar Ilmu Pengetahuan
th
Penyakit Dalam Jilid II, 5 edition, Jakarta: Interna Publishing; 2009.

Angeja BG, Gunda M, Murphy SA, et al. TIMI myocardial perfusion grade and ST
segment resolution: association with infarct size as assessed by single photon
emission computed tomography. Circulation. 2002;105:282.

Antman EM, Braunwald E. ST Elevation Myocardial Infarction: Pathology,


Pathophysiology and Clinical Feature. Braunwald’s Heart Disease: A
Textbook of Cardiovascular. New York: McGraw-Hill; 2008.

Antman EM. “ST-Segment Elevation Myocardial: Pathology, Pathophysiology and


Clinical Features”. In: Braunwald E, Bonow RO, Mann DL, Zipes DP, Libby
P, eds. Braunwald’s Heart Disease: A textbook of Cardiovascular Medicine.
9th ed. Philadelphia: Elsevier; 2012:1087-1111.

Armstrong PW, Fu Y, Westerhout CM, et al. Baseline Q-wave surpasses time from
symptom onset as a prognostic marker in ST-segment elevation myocardial
infarction patients treated with primary percutaneous coronary intervention. J
Am Coll Cardiol. 2009; 53:1503.

55

Universitas Sumatera Utara


56

Arso IA. Kejadian Kardiovaskular Mayor Pada Penderita Infark Miokard Akut
Dengan Elevasi Segment ST (IMAEST) Yang Dilakukan Terapi Fibrinolitik
Dibanding Intervensi Koroner Perkutan (IKP) Primer Selama Perawatan Di
Rumah Sakit. Tesis Profesi Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah FK
UGM. 2012.

Baird SH, Menown IB, Mcbride SJ et al. Randomised comparison of enoxaparin with
unfraction- ated heparin in patients receiving fibrinolytic therapy for acute
myocardial infarction. Eur Heart J. 2002;23:627–632

Baltazar RF. Acute Coronary Syndrome: ST Elevation Myocardial Infarction. In:


Baltazar RF, editor. Basic and bedside electrocardiography. 1st edition.
Baltimore: Lippincott Williams and Wilkins; 2009:337-9.

Becker RC, Burns M, Gore JM, et al. Early assessment and inhospital management of
patients with acute myocardial infraction at increased risk for adverse
outcomes: a nationwide prespective of current clinical practise. The National
Registry of Myocardial Infarction (NRMI-2) Participans. Am Heart J.
1998;135:786.

Ben-Gal T, Herz I, Solodky A, et al. Acute anterior wall myocardial infarction


entailing ST-segment elevation in lead V1: electrocardiographic and
angiographic correlations. Clin Cardiol. 1998;21:399–404.

Bender JR, Russel KS, Rosenfeld LE, et al. Coronary Artery Disease, Oxford
American Handbook of Cardiology. New York: Oxford University Press;
2011.

Berger PB, Ryan TJ. Inferior myocardial infraction: high-risk subgroups. Circulation.
1990;81:401-411.

Bhat, S. and Carvalho, N.V. 'Reperfusion failure: a study using electrocardiographic


criteria', International Journal of Clinical Trials. 2014;1(1):3-9.

Birnbaum Y, Drew BJ. The electrocardiogram in ST elevation acute myocardial


infarction: correlation with coronary anatomy and prognosis. Postgard Med J.
2003; 79:490-504.

Universitas Sumatera Utara


57

Birnbaum Y, Herz I. Prognostic significance of pericordial ST Segment depression on


admission ECG in patients with inferior wall myocardial infarction. Journal of
American College of Cardiology. 1996;28:313-318.

Birnbaum Y, Kloner RA, Sclarovsky S, et al. Distortion of the terminal portion of the
QRS on the admission electrocardiogram in acute myocardial infarction and
correlation with infarct size and long-term prognosis (TIMI-4 Trial). Am J
Cardiol. 1999;78:396.

Blanke H, Cohen M, Schlueter GU, et al. Electrocardiographic and coronay


arteriographic correlstions during acute myocardial infarction. Am J Cardiol.
1984;54:249–55.

Boersam E, Maas A, Deckers J, et al. 'Early thrombolytic treatment in acute


myocardial infarction: reappraisal of the golden hour', Lancet. 1996; 348:771-
775.

Bosimini E, Gianuzzi P, Temporelli PL, et al. Electrocardiograpic evolutionary


changes and left ventricular remodeling after acute myocardial infarction:
result of the GISSI-3 Echo substudy. J Am Coll Cardiol. 2000;35:127.

Buller CE, Fu Y, Adams P, et al. ST-Segment Recovery and Outcome After Primary
Percutaneous Coronary Intervention for ST-Elevation Myocardial Infarction:
Insight From the Assessment of Pexelizumab in Acute Myocardial Infarction
(APEX-AMI) Trial. Circulation. 2008;118:1335-1346.

Califf RM, Pieper KS, Lee KL, et al. Prediction of 1-year survival after thrombolysis
for acute myocardial infarction in the global utilization of streptokinase and
TPA for occluded coronary arteries trial. Circulation. 2000;101:2231.

Cham BE. and Chase TR. 'Intravascular infusion of autologous delipidated plasma
induces antiatherogenic lipoproteins and causes regression of atherosclerosis',
Health. 2013;5:19-33.

Cohen M, Boaiangiu C and Abidi M. 'Therapy for ST segment myocardial infarction


patients who present late or are in eligible for reperfusion therapy', J Am Coll
Cardiol.2010;55:1895-1906.

Universitas Sumatera Utara


58

Crawford MH, O’Rourke RA, Grover FL. Mechanism of inferior electrocardiographic


ST-segment depression during acute anterior myocardial infarction in a
baboon model. Am J Cardiol. 1984;54(8):1114-1117.

de Belder MA. 'Acute myocardial infarction: failed thrombolysis', Heart.


2001:85:104-112.

De Lemos JA, Braunwald E. ST segment resolution as a tool for assessing the


efficacy of reperfusion therapy. J Am Coll Cardiol. 2001;38:1283.

Delima, Mihardja L, Siswoyo H. Prevalensi dan Faktor Determinan Penyakit Jantung


di Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan. 2009;37(3):142-159.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar. Badan


Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Jakarta; 2008.

Dharma S. Gambaran EKG pada iskemia, injuri dan infark miokard. Sistematika
Interpretasi EKG: Pedoman Praktis. Edisi pertama. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2010:15-24.

Eagle KA, Nallamothu BK, Mehta RH, et al. 'Trends in acute reperfusion therapy for
ST-segment elevation myocardial infarction from 1999 to 2006: we are getting
better but we have got a long way to go ', European Heart Journal.
2008;29(5): 609-617.

Engelen DJ, Gorgels AP, Cheriex EC, et al. Value of the electrocardiogram in
localizing the occlusion site in the left anterior descending coronary artery in
acute anterior myocardial infarction. J Am Coll Cardiol. 1999;34:389–95.

Fawzy M, Abdelaziz A. Prevalence and Pattern of Dyslipidemia in Acute Coronary


Syndrome Patients Admitted to Medical Intensive Care Unit in Zagazig
Hospital, Egypt. World Journal of Medical Research. 2014;3:3

Ferguson DW, Pandian N, Kioschos JM, et al. Angiographic evidence that reciprocal
ST-segment depression during acute myocardial infarction does not indicate
remote ischemia : Analysis of 23 patient. The American Journal of
Cardiology. 1984;53(1):55-62.

Universitas Sumatera Utara


59

Field JM. Fibrinolytic Therapy Past, Present and Future. 2nd Virtual Congres of
Cardiology, Argentine Federation of Cardiology. 2001.

Forfar JC. Reciprocal ST segment changes in acute myocardial infarction: informative


or incidental?. Quarterly Journal of Medicine. 1989;72:763-765.

Fox KAA, White H, Opie JJS, et al. 'Antithrombic agents: platelet inhibitors,
anticoagulants, and fibrinolytics', in Opie, L.H. and Gersh, B.J. Drugs for The
th
Heart. 7 edition, Philadelphia: Saunders Elsevier; 2009

Gelman JS, Saltrup A. Pericordial ST depression in pateients with inferior infarction:


clinical implications. Br Heart J. 1982;7:133-139.

Gibson CM and Schomig A. 'Coronary and Myocardial Angiography Angiographic


Assessment of Both Epicardial and Myocardial Perfusion', Circulation.
2004;109:3096-3105.

Gogo P, Dauerman H and Sobel B. 'Reperfusion therapies for acute ST segment


nd
myocardial infarction', in Cardiac Intensive Care, 2 edition, Philadelphia:
Saunders Elsevier; 2010.

Goldberger AL, Goldberger ZD, Shvilkin A. Goldberger’s Clinical


Electrocardiographic: A Simplified Approach. Eight edition. St Louis, CV
Mosby; 2013.

Griffin BP, Topol EJ. Manual of Cardiovaskular Medicine. 3rd Edition. New York,
Lippincott Williams & Wilkins; 2009.

Haim M, Reisin L, Kornowski R, et al. Comparison of short and long term prognosis
in patients with anterior wall versus inferior wall non Q wave acute
myocardial infarction. The American Journal of Cardiology. 1997;79(6):717-
721.

Haraphongse M, Tanomsup S, Jugdutt BI. Inferior ST segment depression during


acute anterior myocardial infarction: clinical and angiographic correlations. J
Am Coll Cardiol. 1984;4:467–76.

Universitas Sumatera Utara


60

Hasan, H. (2007) Intervensi Koroner Perkutan pada Penyakit Jantung Koroner dan
Permasalahannya, Medan: Repository USU.

Hasdai D, Sclarovsky S, Solodky A, et al. Prognostic significance of maximal


pericordial ST segment depression in right (V1-V3) versus left (V4-V6) leads
in patients with inferior wall acute myocardial infarction. The American
Journal Cardiology. 1994;74(11):1081-1084.

Hathaway WR, Peterson ED, Wagner GS, et al. Prognostic Significance of the Initial
Electrocardiogram in Patients With Acute Myocardial Infarction. GUSTO-I
Investigator. J of Am Med Association. 1998;279(5):387-391.

Herlitz J, Hjalmarson H. Occurence of Anterior ST depression in Inferior Myocardial


Infarction and relation to clinical outcome. Clin Cardiol. 1987;(10):529-534.

Hernandez L, Marrero MA. Streptokinase: about of a thrombolytic patented in cuba.


Biotecnollogia Aplicada. 2005;22(3):191-198.

Hopenfeld B, Stintra JG, Macleod RS. Mechanism for ST depression associated with
Contiguouos Subendocardial Ischemia. Journal of Cardiovascular
Electrophysiology. 2004;15:1200.

Huey BL, Gheorghiade M, Crampton R, et al. Acute non-Q wave myocardial


infarction associated with early ST segment elevation: Evidence for
spontaneous coronary reperfusion and implications for thrombolytic trial.
Journal of the American College of Cardiology. 1987;9(1):18-25.

Ibanez B, James S, Agewall S, et al. ‘2017 ESC Guidelines for the management of
acute myocardial infarction in patients presenting with ST-segment elevation',
European Heart Journal. 2017;00:1-66.

Jennings K, Reid DS, Julian DG. “Reciprocal” depresision of ST segment in acute


myocardial infarction. Br Med J. 1983;287:634-637.

Katz R, Conroy RM, Robinson K et al. The aetiology and prognostic implications of
reciprocal electrocardiographic changes in acute myocardial infraction. Br
Heart J. 1986;55:423-7.

Universitas Sumatera Utara


61

Kazazi EH, Sheikhvatan M, Mahmoodian M, et al. Comparing angiography features


of inferior versus anterior myocardial infraction regarding severity and
extension in a cohort of Iranian patients. J Res Med Sci. 2011;16(4):484-489.

Kennedy JW, Martin GV, Davis KB, et al. The Western Washington Intravenous
Sterptokinase in Acute Myocardial Infarction Randomized Trial. Circulation.
1998;77:345-352.

Kern MJ. 'Angiography for percutaneous coronary interventions', in Kern, M.J. (ed.)
rd
The Interventional Cardiac Catheterization Handbook, 3 edition,
Philadelphia: Elsevier Saunders; 2013.

Kim DW, Her SH, Park MW, et al. Impact of Postprocedural TIMI Flow on Long-
Term Clinical Outcomes in Patients with Acute Myocardial Infarction Five
Year Follow-Up Results in the Korea-AMI Registry. Int Heart J.
2017;58:674-685.

Kini. Normal and Variant Coronary Arterial and Venous Anatomy on High-
Resolution CT Angiography. American Journal of Roentgenology.
2007;188:1665-1674

Kostic T, Perisic Z, Milic D, et al. Coronary flow and hemorrhagic complications


after alteplase and streptokinase administration in patients with acute
myocardial infarction. Vojnosanit pregl. 2009;66(3);218-22.

Libby P, Theroux P. Pathophysiology of Coronary Artery Disease. Circulation.


2005;111:3481-3488.

Libby P. Current Concepts of The Pathogenesis of The Acute Coronary Syndromes.


Circulation. 2001;104:365-372.

Llevadot J, Guigliano RP, Antman EM. Bolus fibrinolytic therapy in acute myocardial
infarction. Journal of American Medical Association. 2001;286:442-449.

Mani AJ, Edep ME, Brown DL. “Pathophysiology of acute coronary syndrome and
atherothrombosis”. In: Jeremias A, Brown DL, eds. Cardiac Intensive Care.
2nd ed. Philadelphia: Saunders; 2010:73-86.

Universitas Sumatera Utara


62

Mauri F, Franzosi MG,Maggioni AP, et al. Clinical Value of 12 Lead


Electrocardiography to Predict the Long-Term Prognosis of GISSI-1 Patients.
Journal of the American College of Cardiology. 2002;39(10):1594-1600.

Mega JL, Morrow DA. ST-Elevation myocardial infarction: Management, in Mann


DL, Zipes DP, Libby P, et al. Braundwald’s Heart Disease: A Textbook
Cardiovascular Medicine. 10th edition. Philadephia: Elvesier; 2015.

Mirvis, D.M. and Goldberger, A.L. (2015) 'Electrocardiography', in Mann, D.L.,


Zipes, D.P., Libby, P., Bonow, R.O. and Braunwald, E. (ed.) Braunwald's
th
Heart Disease : A Textbook of Cardiovascular Medicine, 10 edition,
Baltimore: Elsevier.

Murti, B. 'Validitas dan reabilitas pengukuran', Matrikulasi Program Studi Doktoral,


Fakultas Kedokteran, UNS. 2011; 1-19.

Noriega FJ, Jorge E, Arzamendi D, et al. Mechanism and diagnostic potential of


reciprocal ECG changes induced by acute coronary occlusion in pigs. Journal
of Heart Rhythm. 2013;10:883-90.

Nour MK. Significance of reciprocal ST segment depresion in ST elevation


myocardial infraction. The Egyptian Journal of Critical Care Medicine.
2017;5:23-27.

O’Gara PT, Kushner FG, Ascheim DD, et al. 2013 ACCF/AHA Guideline for the
Management of ST-Elevation Myocardial Infarction : A Report of the
American College of Cardiology Foundation/American Heart Association
Task Force on Practice Guideline. Journal of American College of Cardiology.
2013;61(4):78-140.

Odemuyiwa U, Peart I, Albert C, et al. Reciprocal ST depresion in acute myocardial


infraction. Br Heart J. 1985;54:23-26.

Oldroyd, K.G. 'Identifying failure to achieve complete (TIMI 3) reperfusion following


thrombolytic treatment: how to do it, when to do it, and why it's worth doing',
Heart. 2000;84:113-115.

Universitas Sumatera Utara


63

Ottervanger JP, van’t Hof AWJ, Reiffers S, et al. Long–term Recovery of Left
Ventricular Fungtion After Primary Angioplasty for Acute Myocardial
Infraction. Eur Heart J. 2001;22:785-790.

Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman Tatalaksana


Sindrom Koroner Akut. Edisi Ketiga. Centra Communications; 2014.

Peterson ED, Hathaway WR, Zabel KM, et al. Prognostic significance of pericordial
ST Segment depression during inferior myocardial infarction in the
thrombolytic era: results in 16.521 patients. J Am Coll Cardiol. 1996;28:305.

Pomedli SR and Lilly LS. 'The electrocardiogram', in Lilly, L.S. (ed.)


Pathophysiology of Heart Disease: A Collaborative Project of Medical
th
Students and Faculty, 5 edition, Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins;
2011.

Porter A, Wyshelesky A, Strasberg B, et al. Correlation between the admission


electrocardiogram and regional wall motion abnormalities as detected by
echocardiography in anterior acute myocardial infarction. Cardiology.
2000;94:118–26.

Radovanovic D, Urban P, Simon R, et al. Outcome of patients with acute coronay


syndrome in hospital of different size. Swiss med wkly. 2010;140(21-22):314-
22.

Rautaharju PM, Surawicz B, Gettes LS, et al. American heart association


electrocardiography and arrhythmias committee, council on clinical
cardiology; American Collage of Cardiology Foundation; Heart Rhythm
Society. AHA/ACCF/HRS recommendations for the standardization and
interpretation of the electrocardiogram: part IV: The ST segmen, T and U
wave and the QT interval. J Am Coll Cardiol. 2009;53:982-991.

Reddy T, Rajasekhar D, Vanajakshamma V. Electrocardiographic localization of


infarct related coronary artery in acute ST elevation myocardial infarction.
Journal of Clinical and Scientific Research. 2013:151-160.

Universitas Sumatera Utara


64

Reinstadler SJ, Baum A, Rommel KP, et al. ST-Segment depresion resolution predicts
infarct size and reperfusion injury in ST-elevation myocardial infarction. Br
Med J. 2015:1-7.

Rosamond W, Flegal K, Friday G, et al. Heart disease and stroke statistics-2007


update: a report from the American Heart Association Statistics Subcommitte.
Circulation. 2007; 115:169-171.

Ross AM, Molhoek P, Lundergan C, et al. 2001. Randomized comparison of


enoxaparin, a low-molecular-weight heparin, with unfractionated heparin
adjunctive to recombinant tissue plasminogen activator throm- bolysis and
aspirin: second trial of Heparin and Aspirin Reperfusion Therapy (HART II).
Circulation, 104:648–52.

Rude RE, Croft CH, Willerson JT. “Reciprocal” anterior ST depression early in the
course of transmural inferior myocardial infarction: an ECG finding of
uncertain clinical significance. International Journal of Cardiology.
1983;4:80-85.

Sarahazti MF. Global Longitudinal Strain (GLS) ventrikel kiri sebagai prediktor
kejadian kardiovaskular mayor dalam 30 hari setelah infark miokard akut
elevasi segmen ST di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan. Tesis Profesi
Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah FK USU; 2017.

Sasaki K, Yotsukura M, Sakata K, et al. Relation of ST-segment change in inferior


leads during anterior wall acute myocardial infarction to length and occlusion
site of the left anterior descending coronary artery. Am J Cardiol.
2001;87:1340–5.

Steg G, James SK, Atar D, et al. ESC Guidelines for the management of acute
myocardial infarction in patients presenting with ST-segmen elevation.
European Heart Journal. 2012;2012:1-51.

Stevenson RN, Ranjadayalan K, Umachandran V, et al. Significance of reciprocal ST


depression in acute myocardial infarction: a study of 258 patients treated by
thrombolysis. Br Heart J. 1993;69:211-214.

Universitas Sumatera Utara


65

Suganti J. Perbandingan Kejadian Klinis Kardiovaskular Mayor Selama Perawatan di


Rumah Sakit Pada Penderita Infark Miokard Akut Elevasi Segment ST
Inferior dengan dan Tanpa Depresi Segment ST Perikordial di Rumah Sakit
Haji Adam Malik Medan. Tesis Magister Ilmu Penyakit Jantung dan
Pembuluh Darah FK USU; 2016.

Surawicz B, Knilans T. Chou’s Eletrocardiography in Clinical Practise: Adult and


Pediatric. Saunders; 2008.

Sutton A, Campbell P, Price D, et al 'Failure of thrombolysis bt streptokinase:


detection with a simple electrocardiographic method', Heart. 2000;84:149-
156.

Tamura A, Kataoka H, Nagase K, et al. Clinical significance of inferior ST elevation


during acute anterior myocardial infarction. Br Heart J. 1995;74:611–14.

Tendera M, Campbell WB. Significance of early and late anterior pericordial ST


segment depression in inferior MI. Am J Cardiol. 1984;54:944-6.

The Lancet. Reciprocal Changes Accompanying Acute Myocardial Infarction. Lancet.


1986:1370-1371.

Thygesen K, Alpert JS, Jaffe AS, et al. Fourth Universal Definition of Myocardial
Infarction. European Heart Journal. 2018;00:1-33.

Tjandrawidjaja MC, Fu Y, Westerhout CM, et al. Resolution of ST-segment


depression: a new prognostic in ST-segment elevation myocardial infarction.
European Heart Journal. 2010;31:573-581.

van de Werf F, Topol E, Sobel B. The Impact of Fibrinolitic Theraphy for ST


Segment Elevation Acute Myocardial Infarction. J Thromb Haemost.
2009;7:14.

Wagner GS, Macfarlane P, Wellens H, et al. AHA/ACCF/HRS recommendations for


the standardization and interpretation of the electrocardiogram: part VI: acute
ischemia/infarction: a scientific statement from the American Heart
Association Electrocardiography and Arrhythmias Committee, Council on
Clinical Cardiology; the American College of Cardiology Foundation; and the

Universitas Sumatera Utara


66

Heart Rhythm Society. Endorsed by the International Society for


Computerized Electrocardiology. J Am Coll Cardiol. 2009;53:1003-11.

Weitz JJ. Hemostasis Thrombosis, Fibrinolysis and Cardiovascular disease, in Mann


DL, Zipes DP, Libby P, et al. Braundwald’s Heart Disease: A Textbook
Cardiovascular Medicine. 10th edition. Philadephia: Elvesier; 2015.

Willems LJ, Willems RJ, Willems GM, et al. Significance of initial ST segment
elevation and depression for the management of thrombolytic therapy in acute
myocardial infarction. Circulation. 1990;82:1147-1158.

Wong CK, Gao W, White HD. Resolution of ST depression after fibrinolysis can be
more important than resolution of ST elevation for many patients with inferior
STEMIs. International Journal of Cardiology. 2015;182:232-234.

Zimetbaum PJ, Josephson ME. Use of Electrocardiogram in Acute Myocardial


Infraction. The New England Journal Of Medicine. 2003;348:933-40.

Universitas Sumatera Utara

You might also like