You are on page 1of 47

BAB II

TINJAUAN LITERATUR

A. Anatomi Fisiologis Sistem Syaraf


Menurut Setiadi (2016), otak merupakan suatu alat tubuh yang
sangat penting karena merupakan pusat komputer dari semua alat yang di
tubuh yang mengatur semua kegatan dan aktivitas tubuh. Otak merupakan
bagian dari saraf sentral yang terletak di dalam rongga tengkorak
(kranium) yang dibungkus oleh selaput otak yang kuat. Berat otak orang
dewasa kira-kira 1400 gram mencapai 2% dari keseluruhan berat tubuh,
mengkonsumsi 25% oksigen dan menerima 1,5% curah jantung. Adapun
secara garis besar anatomi dan fungsi adalah otak dibagi menjadi 3 bagian
yaitu (Setiadi, 2016):
1. Otak besar (hemisfer cerebral/cerebrum)
Otak besar terdiri dari dua belahan yang tidak sepenuhnya dipisahkan.
Berpasangan (kanan dan kiri) bagian atas dari otak yang mengisi lebih
dari setengah masa otak. Permukaannya berasal dari bagian yang
menonjol (gyri) dan lekukan (sulci). Cerebrum dibagi dalam 4 lobus
yaitu :
a. Lobus frontalis, menstimuli pergerakan otot, yang bertnggung
jawab untuk proses berfikir. pusat fungsi intelektual yang lebih
tinggi, seperti kemampuan berpikir abstrak dan nalar, motorik
bicara (area broca di hemisfer kiri), pusat penghirup, pusat
pengontrolan gerakan volunter di gyrus presentralis (area motorik
primer).
b. Lobus parietalis, merupakan area sensoris dari otak yang
merupakan sensasi perabaan, tekanan, dan sedikit menerima
perubahan temperatur.
c. Lobus occipitallis, mengandung area visual yang menerima sensasi
dari mata. Berfungsi juga menginterpretasi dan memproses

5
rangsang penglihatan dari nervus optikus dan mengasosiasikan
rangsang ini dengan informasi saraf lain dan memori.

5
6

d. Lobus temporalis, mengandung area auditori yang menerima sensai


dari telinga dan berperan dalam pembentukan dan perkembangan
emosi
2. Batang otak (brain stem)
Batang otak terdiri dari otak tengah,pons, dan medula oblongata. Otak
tengah menghubungkan pons dan otak kecil dengan hemisper otak; itu
terdiri dari jalur sensorik dan motorik dan berfungsi sebagai pusat
untuk refleks arteri dan visual. Saraf kranial III dan IV berasal dari
otak tengah. Pons terletak di depan serebelum antara otak tengah dan
medula dan merupakan jembatan antara dua bagian otak kecil, dan
antara medula dan otak besar. Saraf kranial V hingga VIII terhubung
ke otak di pons. Pons berisi jalur motorik dan sensorik. Porsi pons juga
mengontrol jantung, pernapasan, dan tekanan darah.
3. Otak kecil (cerebelum)
Otak kecil merupakan bagian otak yang terletak di bagian belakang
otak besar. Berfungsi sebagai pusat pengaturan koordinasi gerakan
yang disadari dan keseimbangan tubuh serta posisi tubuh. Serebelum
mempunyai dua hemisfer yang dihubungkan oleh fermis. Berat
serebelum lebih kurang 150 gram (85-9%) dari berat otak seluruhnya.
Fungsi serebelum mengembalikan tonus otot diluar kesadaran yang
merupakan suatu mekanisme syaraf yang berpengaruh dalam
pengaturan dan pengendalian terhadap
a. Perubahan ketegangan dalam otot untuk mempertahankan
keseimbangan dan sikap tubuh.
b. Terjadinya kontraksi dengan lancar dan teratur pada pergerakan
dibawah pengendalian kemauan dan mempunyai aspek ketrampilan
c. Serebelum juga berfungsi untuk mempertahankan postur. Setiap
pergerakan memerlukan koordinasi dalam kegiatan sejumlah otot.
Otot antagonis harus mengalami relaksasi secara teratur dan otot
sinergis berusaha memfiksasi sendi sesuai dengan kebutuhan yang
7

diperlukan oleh bermacam pergerakan (Setiadi, 2016). Saraf kepala


dibagi dua belas yaitu:
1. Nervus olvaktorius
Saraf pembau yang keluar dari otak dibawa oleh dahi,
membawa rangsangan aroma (bau-bauan) dari rongga hidung
ke otak.
2. Nervus optikus
Mensarafi bola mata, membawa rangsangan penglihatan ke
otak.
3. Nervus okulomotoris
Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital (otot pengerak bola
mata), menghantarkan serabut-serabut saraf para simpati untuk
melayani otot siliaris dan otot iris.
4. Nervus troklearis
Bersifat motoris, mensarafi otot- otot orbital. Saraf pemutar
mata yang pusatnya terletak dibelakang pusat saraf penggerak
mata.
5. Nervus trigeminus
Bersifat majemuk (sensoris motoris) saraf ini mempunyai tiga
buah cabang, fungsinya sebagai saraf kembar tiga, saraf ini
merupakan saraf otak besar. Diantaranya:
a. Nervus oltamikus
Sifatnya sensorik, mensyarafi kulit kepala bagian depan
kelopak mata atas, selaput lendir kelopak mata dan bola
mata.
b. Nervus maksilaris
Sifatnya sensoris, mensarafi gigi atas, bibir atas, palatum,
batang hidung, rongga hidung dan sinus maksilaris
c. Nervus mandibula
8

Sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi otot-otot


pengunyah. Serabut-serabut sensorisnya mensarafi gigi
bawah, kulit daerah temporal dan dagu.
9

6. Nervus abdusen
Sifatnya motoris, mensarafi otot-otot orbital. Fungsinya sebagai
saraf penggoyang sisi mata.
7. Nervus fasialis
Sifatnya majemuk (sensori dan motorik) serabut-serabut
motorisnya mensarafi otot-otot lidah dan selaput lendir ronga
mulut. Di dalam saraf ini terdapat serabut-serabut saraf otonom
(parasimpatis) untuk wajah dan kulit kepala fungsinya sebagai
mimik wajah untuk menghantarkan rasa pengecap.
8. Nervus Vestibulokoklearis
Sifatnya sensori, mensarafi alat pendengar, membawa
rangsangan dari pendengaran dan dari telinga ke otak.
Fungsinya sebagai saraf pendengar.
9. Nervus glosofaringeus
Sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi faring,
tonsil dan lidah, saraf ini dapat membawa rangsangan cita rasa
ke otak.
10. Nervus vagus
Sifatnya majemuk (sensoris dan motoris) mengandung saraf-
saraf motorik, sensorik dan para simpatis faring, laring, paru-
paru, esofagus, gaster intestinum minor, kelenjar-kelenjar
pencernaan dalam abdomen. Fungsinya sebagai saraf perasa.
11. Nervus asesorius
Saraf ini mensarafi muskulus sternokleidomastoid dan
muskulus trapezium, fungsinya sebagai saraf tambahan.
12. Nervus hipoglosus
Saraf ini mensarafi otot-otot lidah, fungsinya sebagai saraf
lidah. Saraf ini terdapat di dalam sumsum penyambung (Jeri,
2022).
10

Beberapa penyakit yang muncul dalam system persyarafan diantaranya


Situmeang, N. & Sulindawaty (2019):

1. Epilepsi
Epilepsi merupakan suatu penyakit neurologi yang ditemukan pada
semua umur yang ditandai dengan gejala khas berupa kejang berulang
yang diakibatkan oleh lepasnya muatan listrik pada neuron otak secara
berlebihan dan paroksismal (Rahmat, 2021).
2. Meningitis
Meningitis adalah infeksi cairan otak disertai radang yang mengenai
piamater dan arakhnoid serta dapat juga mengenai jaringan otak dan
medula spinalis bagian superfisial (Maisuri, 2021).
3. Bell’s palsy
Bell’s palsy adalah kelumpuhan saraf fasialis perifer akibat proses
non-supuratif, non-neoplasmatik, non-degeneratif dan akibat edema di
bagian saraf fasialis foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal
dari foramen tersebut, yang mulainya akut dan dapat sembuh sendiri
tanpa pengobatan (Yuliani, 2022).
4. Parkinson
Penyakit parkinson adalah salah satu penyakit neurodegeneratif yang
menyebabkan penderitanya mengalami gangguan fungsi otak dan
menurunnya kontrol otak yang ditandai dengan tremor, rigiditas,
bradikinesia, dan kehilangan refleks postural yang menyerang
individu diatas 65 tahun (Rifky, 2020).
5. Hidrosefalus
Kondisi dimana cairan seberospinal (CSF) mengalami penumpukan
yang mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial (TIK) dan
memberikan tekanan pada jaringan normal di sekitarnya (Permana,
2018).
11

6. Poliomielitis
Poliomyelitis adalah penyakit pada susunan saraf pusat yang
disebabkan oleh satu dari tiga virus yang berhubungan yaitu virus
polio type 1, 2, dan 3 (Indrayani, 2021).
7. Alzheimer
Sindrom neurodegeneratif yang timbul karena adanya kelainan yang
bersifat kronis progresif disertai dengan gangguan fungsi luhur
multipel seperti kalkulasi, kapasitas belajar, bahasa dan mengambil
keputusan (Basri, 2020)
8. Stroke
Stroke merupakan gangguan syaraf terjadi karena gangguan aliran
darah otak sehingga pembuluh darah di otak rusak berlangsung selama
24 jam atau lebih (Kusyani, dkk. 2022).
9. Amyotrophic lateral sclerosis (ALS)
Amyotrophic lateral sclerosis (ALS) adalah penyakit neurodegeneratif
yang menyerang neuron motorik. Amyotrophy menunjukkan adanya
atrofi serat otot, yang diinervasi oleh anterior horn cell yang
mengalami degenerasi, menyebabkan kelemahan otot dan fasikulasi
(Pramaswari, 2017).
10. Migrain
Penyakit yang ditandai dengan nyeri kepala primer, bersifat berulang
manifestasi serangan selama 4-72 jam dengan karakteristiknya nyeri
kepala unilateral, berdenyut, intensitas sedang atau berat, bertambah
berat dengan aktivitas fisik yang rutin dan diikuti dengan nausea dan
ataufotofobia dan fonofobia (Elviana, 2020).
B. Konsep Stroke
1. Pengertian
Stroke didefinisikan sebagai sebuah sindrom yang memiliki
karakteristik tanda dan gejala neurologis klinis fokal dan/atau global
yang berkembang dengan cepat, adanya gangguan fungsi srebral,
dengan gejala yang berlangsung lebih dari 24 jam atau menimbulkan
12

kematian tanpa terdapat penyebab selain yang berasal dari vascular


(Mutia, 2021).
Stroke adalah suatu keadaan yang menyebabkan seseorang
mengalami kelumpuhan atau kematian karena terjadinya gangguan
perdarahan di otak yamg menyebabkan jaringan otak yang mengalami
kematian (Agustanti, dkk. 2022). Stroke merupakan gangguan syaraf
terjadi karena gangguan aliran darah otak sehingga pembuluh darah di
otak rusak berlangsung selama 24 jam atau lebih (Kusyani, dkk. 2022).
2. Klasifikasi
Stroke dibagi menjadi 2, diantaranya:
a. Stroke hemoragik
Stroke karena adanya pecahan pembuluh darah sehingga
menghambat aliran darah yang awalnya normal dan darahnya
merembes ke dalam suatu daerah otak dan merusaknya (Agustanti,
dkk. 2022).
b. Stroke non hemoragik
Stroke non hemoragik disebabkan oleh sumbatan bekuan darah,
penyempitan arteri yang mengarah ke otak, embolus yang
menyebabkan sumbatan di satu atau beberapa arteri ekstra kranium
(Kusyani, dkk. 2022).
3. Etiologi
Menurut Agustanti, dkk. (2022), stroke terjadi karena sebagai berikut
a. Trombosis
Bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher. Penyebab
utama trombosis adalah arteri sklerosis cerebral. Secara teori
umum, trombosis tidak terjadi secara tiba-tiba, kehilangan bicara
sementara, hemiplegia atau paresthesia pada setengah tubuh dapat
mendahului paralisis berat pada beberapa jam atau hari.
b. Embolisme serebral
Bekuan darah atau yang disebut material lain yang dibawa ke otak
dari bagian tubuh yang lain. Embolus biasa menyumbat arteri
13

serebral tengah atau cabang - cabangnya yang dapat merusak


sirkulasi serebral.
c. Iskemia
Penurunan aliran darah ke area otak. Iskemia terutama terjadi
karena konstriksi atheroma pada arteri yang menyuplai darah ke
otak.
d. Hemoragi serebral
Pecahnya pembunuhan darah cerebral dengan perdarahan ke dalam
jaringan otak atau sekitar otak.
4. Faktor Risiko
Faktor resiko terjadinya stroke secara garis besar dapat dikelompokkan
menjadi 2 yaitu, faktor yang dapat dimodifikasi dan faktor yang tidak
dapat dimodifikasi (Maharizky, 2021).
a. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi
Faktor resiko yang dapat diubah diantaranya adalah sebagai berikut
1) Kelainan jantung/penyakit jantung
Faktor risiko penuaan dan vaskular sistemik menyebabkan
substrat jaringan atrium yang abnormal, atau kardiopati atrium,
yang dapat menyebabkan AF dan tromboemboli. Untuk
kardiopati atrium untuk memainkan peran seperti dalam
trombogenesis akan serupa dengan kardiopati ventrikel yang
terlihat pada infark miokard dan gagal jantung, 2 penyakit di
mana tromboemboli dapat terjadi bahkan tanpa adanya
disritmia. Begitu AF berkembang, disritmia menyebabkan
disfungsi kontraktil dan stasis, yang selanjutnya meningkatkan
risiko tromboemboli. Selain itu, seiring waktu, disritmia
menyebabkan remodeling struktural atrium, sehingga
memperburuk kardiopati atrium dan meningkatkan risiko
tromboemboli lebih jauh.
Secara paralel, faktor risiko sistemik meningkatkan risiko
stroke melalui mekanisme lain di luar atrium, seperti
14

aterosklerosis arteri besar, disfungsi sistolik ventrikel, dan


oklusi pembuluh kecil serebral in situ. Setelah stroke terjadi,
perubahan
15

otonom dan inflamasi pasca stroke dapat meningkatkan risiko


AF untuk sementara. Adanya kelainan pada pembuluh darah
jantung, dapat melibatkan pembuluh darah otak.
Penyakit jantung seperti atrial fibrilasi merupakan kondisi
bilik atas jantung (atrium) tidak memompa secara efektif
sehingga menyebabkan kontraksi yang sangat cepat dan tidak
teratur (fibrilasi). Karena darah yang tidak dipompa dengan
baik dari jantung, dapat membentuk gumpalan darah. Sehingga
gumpalan ini dapat keluar dari jantung dan mengalir hingga ke
otak sehingga terjadi stroke non hemoragik.
2) Hipertensi
Peningkatan tekanan darah dapat disebabkan oleh
aterosklerosis atau sebaliknya. Proses ini dapat menimbulkan
pecahnya pembuluh darah atau timbulnya thrombus sehingga
dapat mengganggu aliran darah cerebral (Kusyani, 2022).
Tekanan darah sebaiknya tidak melebihi 140/90 mmHg.
Hipertensi memiliki pengaruh besar terhadap pembuluh darah
di otak.
3) Aneurisma pembuluh darah cerebral
Adanya penebalan pada satu tempat yang diikuti oleh penipisan
di tempat lain mengakibatkan kelainan pada pembuluh darah.
4) Diabetes melitus
Terjadinya peningkatan viskositas darah sehingga
memperlambat aliran darah serebral dan adanya kelainan
microvaskuler sehingga berdampak juga terhadap kelainan
yang terjadi pada pembuluh darah serebral. Hal ini yang
mengakibatkan penderita diabetes melitus berpotensi
mengalami stroke (Kusyani, 2022).
Ada beberapa kemungkinan mekanisme di mana diabetes
menyebabkan stroke. Termasuk disfungsi endotel vaskular,
peningkatan kekakuan arteri pada usia dini, peradangan
16

sistemik dan penebalan membran basal kapiler. Abnormalitas


pengisian
17

diastolik ventrikel kiri awal biasanya terlihat pada diabetes tipe


II. Mekanisme yang untuk gagal jantung kongestif pada
diabetes tipe II termasuk penyakit mikrovaskuler, gangguan
metabolisme, fibrosis interstisial, hipertensi dan disfungsi
otonom.
5) Peningkatan kolestrol
Peningkatan kolestrol menjadi penyebab aterosklerosis dan
terbentuknya embolus dari lemak disebut kolestrol tubuh yang
tinggi.
6) Obesitas
Berat badan seseorang yang berlebih mengakibatkan gangguan
pada pembuluh darah, salah satunya pembuluh darah di otak.
Karena pada seseorang yang mengalami obesitas dapat terjadi
hipertensi dan peningkatan kadar kolestrol.
7) Merokok
Asap yang dihirup saat merokok akan menimbulkan plaque
pada pembuluh dara oleh karena nikotin, sehingga terjadi
arterosklerosis.
8) Kurang aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik dapat mengurangi kelenturan fisik
termasuk kelenturan pembuluh darah (pembuluh darah kaku)
salah satunya pembuluh darah di otak (Kusyani, 2022).
b. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi
Faktor-faktor tersebut terdiri atas faktor genetik dan ras, usia, jenis
kelamin dan riwayat stroke sebelumnya.
1) Faktor genetik dan ras
Genetik dan ras berpengaruh karena individu yang memiliki
riwayat keluarga dengan stroke akan meminta resiko tinggi
mengalami stroke, ras kulit hitam lebih sering mengatakan
hipertensi daripada ras kulit putih sehingga ras kulit hitam
memiliki resiko lebih tinggi terkena stroke.
18

2) Usia
Adanya penambahan usia/umur pada seseorang akan terjadi
kurangnya fleksibilitas dan lebih terasa kaku pada jaringan
tubuh, termasuk dengan pembuluh darah. Pada umunya, pada
orang yang telah berumur tua lebih rentan terhadap stroke
dibandingkan dengan yang lebih muda (Kusyani, dkk. 2022).
3) Jenis kelamin
Umumnya stroke cenderung lebih sering menyerang laki-laki
dibandingkan wanita. Namun wanita memiliki prognosis yang
lebih buruk dibandingkan laki-laki jika terkena stroke. Data
dari Framingham Heart Study menunjukkan bahwa
dibandingkan dengan pria kulit putih, wanita kulit putih
berusia 45 hingga 84 tahun memiliki risiko stroke yang lebih
rendah daripada pria, tetapi hubungan ini terbalik pada wanita
yang berusia lebih dari 85 tahun, yang risikonya lebih tinggi
daripada pria. Prevalensi stroke meningkat saat wanita
mencapai transisi menopause.
Studi menunjukkan bahwa wanita dilindungi oleh estrogen
endogen. Namun, umumnya stroke yang terjadi pada wanita di
atas usia 70 tahun, yang cenderung terisolasi secara sosial,
hidup sendiri, memiliki kendala fiskal, dan tingkat penyakit
penyerta yang lebih tinggi. Jenis kelamin merupakan faktor
resiko terkena stroke (Maharisky, 2021). Laki-laki memiliki
resiko lebih tinggi terkena stroke daripada perempuan. Hal ini
terjadi karena dilihat dari kebiasaan merokok, risiko terhadap
hipertensi, hiperurisemia, hopertrigliserida lebih tinggi pada
laki-laki. (Agustanti, dkk. 2022).
4) Riwayat Stroke
Riwayat keluarga telah digunakan untuk mewakili
kecenderungan genetik, dan hubungannya terkait dengan risiko
19

pengembangan penyakit tertentu dan prognosisnya. Riwayat


penyakit kardiovaskular keluarga juga dikaitkan dengan infark
20

miokard berulang atau intervensi koroner, kejadian vaskular,


dan kejadian aterotrombotik. Riwayat stroke orang tua sebelum
usia 65 tahun dikaitkan dengan peningkatan risiko stroke
pertama kali sebanyak 3 kali lipat pada keturunan mereka.
Seseorang berisiko lebih tinggi terkena stroke jika memiliki
riwayat keluarga yang mengalami penyakit stroke dan
merupakan orang terdekat secara genetik (Maharizky, 2021).
21

5. Pathway
- Faktor pencetus hipertensi, DM, penyakit jantung, merokok, stres, gaya
hidup yang tidak bagus
- Faktor obesitas dan kolesterol yang meningkat dalam darah

Penimbunan lemak / kolesterol yang meningkat dalam darah

Lemak yang sudah nekrotik dan berdegenerasi


Penyempitan pembuluh
Menjadi kapur / mengandung kolesterol dengan infiltrasi limfosit (trombus) darah

Arteriosclerosis Pembuluh darah menjadi kaku Aliran darah lambat

Turbulensi
Pembuluh darah menjadi pecah
Thrombus cerebral Mengikuti aliran darah
Eritrosit bergumpal
Emboli Stroke hemoragik Kompresi
Stroke non hemoragik jaringan otak Endotil rusak

Herniasi Cairan plasma hilang


Proses metabolisme dalam otak terganggu
Edema serebral
Risiko Perfusi Gangguan rasa nyaman : nyeri
Penurunan suplai darah & O2 ke otak Serebral Tidak
Peningkatan TIK
Efektif

Kerusakan neurocerebrospinal N.VII Kerusakan neurologis, defisit N.I


(Fasialis), N.IX (Glossofaringeus) Penurunan fungsi N.X (Vagus),
Arteri vertebro (Olfaktorius), N. II (Optikus), Arteri carotis Arteri cerebri media
N.XII (Hipoglosus) N.IX (Glossofaringeus)
basilaris N.IV (Troklearis)
Disfungsi
internaN. II Disfungsi N.XI
N. XII (Hipoglossus) (Optikus)
Disfungsi N.XI (Assesoris) Kehilangan fungsi tonus Proses menelan tidak efektif
Perubahan ketajaman sensori, penghidu, Penurunan fungsi motorik
otot fasial / oral
pengelihatan dan pengecap pe aliran darah ke
Penurunan fungsi motorik Refluks retina
Ketidakmampuan Ketidakmampuan Kegagalan menggerakkan anggota tubuh
Kelemahan pada satu/ berbicara, menyebut menghidu,melihat, mengecap Disfagia
Kemampuan retina
keempat anggota gerak kata-kata untuk menangkap
Anoreksia obyek/bayangan Defisit perawatan diri
Sumber : Kusyani (2022) Gangguan Gangguan persepsi
Gangguan sensori
mobilitas fisik Defisit Nutrisi Kebutaan
komunikasi verbal
22

6. Tanda dan Gejala


a. Hemoragik
Akibat iritasi meningen oleh darah maka pasien menunjukkan
gejala diantaranya sebagai berikut (Kusyani, 2022):
1) Nyeri kepala mendadak (dalam hitungan detik) yang sangat
berat
2) Kejang
3) Fotofobia (takut akan cahaya)
4) Mual dan muntah
5) Muncul tanda-tanda meningismus (kaku kuduk dan tanda
kernig)
6) Pada perdarahan lebih berat dapat terjadi peningkatan tekanan
intrkranial dan gangguan kesadaran
7) Pada funduskopi dapat dilihat edema pupil dan perdarahan
retina.

Tanda neurologis fokal dapat terjadi sebagai akibat dari efek


lokalisasi palsu dari peningkatan tekanan intracranial, adanya
perdarahan intraserebral yang terjadi bersamaan, terjadinya
spasme pembuluh darah, akibat dari efek iritasi darah, bersamaan
dengan iskemia.

b. Non hemoragik
Gejala neurologis dan tanda dari stroke non hemoragik umumnya
muncul secara tiba-tiba, yang paling khas adalah serangan
hemiparesis yang tiba-tiba pada. Gejala dan tanda bervariasi
tergantung dari lokasi oklusi. Stroke jenis ini lebih sering terjadi
pada orang tua dan biasanya terjadi tanpa adanya peringatan pada
lebih 80% kasus. Tanda peringatan yang penting adalah jika
terjadinya Transient Ischemic Attack (TIA) pada pasien.
23

Serangan stroke dapat menimbulkan defisit neurologis yang


tiba-tiba, tanda dan gejalanya antara lain (Maharizky, 2021) :
1) penurunan kesadaran
2) kelumpuhan nervus VII (fasialias) dan nervus XII
(hipoglossus)
3) afasia dan demensia
4) hemianopsia
5) defisit batang otak
6) hemidefisit motorik dan sensorik.
7. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada pasien stroke antara lain (Tamam,
2020):
a. Disfagia
Pada pasien stroke sering terjadi disfagia yaitu sekitar 30−50%
pasien. Menelan adalah mekanisme yang kompleks yang
mendorong makanan melalui faring dan esofagus untuk
mencegah masuknya ke dalam saluran napas, menggunakan lidah,
mulut, otot polos dari faring dan esofagus, sistem saraf otonom,
dan beberapa saraf kranial V (trigeminal), syaraf ke VII (facialis),
syaraf ke IX (glosofaringeal), syaraf ke X (vagus), dan syaraf ke
XII (hipoglosus)
b. Hipoksia serebral diminimalkan dengan memberi oksigenasi
darah adekuat ke otak. Fungsi otak bergantung pada ketersediaan
oksigen yang dikirimkan ke jaringan. Pemberian oksigen
suplemen dan mempertahankan hemoglobin serta hemotokrit
pada tingkat dapat diterima akan membantu dalam
mempertahankan oksigenasi jaringan.
c. Aliran darah serebral bergantung pada tekanan darah, curah
jantung, dan integritas pembuluh darah serebral. Hidrasi adekuat
(cairan intravena) harus menjamin penurunan vesikositas darah
dan memperbaiki aliran darah serebral. Hipertensi atau hipotensi
24

ekstrem perlu perlu dihindari untuk mencegah perubahan pada


aliran darah serebral dan potensi meluasnya area cedera.
d. Embolisme serebral dapat terjadi setelah infark miokard atau
fibrilasi atrium atau dari katup jantung prostetik. Embolisme akan
menurunkan aliran darah keotak dan selanjutnya menurunkan
aliran darah serebral.
8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan farmakologi yang bisa diberikan untuk pasien stroke
diantaranya sebagai berikut (Rahmawati, 2020):
a. Alteplase (t-PA, aktivator plasminogen jaringan)
b. Asam asetilsalisilat (asetosal, aspirin, aspilet)
c. Clopidogrel
d. Dipiridamol
e. Cilostazol
f. Mencegah peningkatan Tekanan Intra Cranial (TIK)
g. Pemberian antihipertensi
h. Pemberian diuretika untuk menurunkan edema
i. Pemberian vasodilator perifer untuk meningkatkan aliran darah
serebral (ADS)
j. Pemberian antikoagulan untuk mencegah terjadinya atau
memberatnya thrombus
k. Pemberian diazepam untuk kejang
l. Pemberian anti tukak
m. Pemberian manitol untuk mengurangi udema otak
n. Kortikosteroid untuk mengurangi pembengkakan dan peningkatan
tekanan dalam otak
o. Pemenuhan cairan dan elektrolit.
Penatalaksanaan nonfarmakologi yang bisa dilakukan diantaranya
sebagai berikut (Rahmawati, 2020):
a. Mempertahankan kepatenan jalan nafas dengan melakukan
pengisapan lendir/suction
25

b. Pemberian oksigenasi
c. Mengendalikan tekanan darah klien dalam batas normal
d. Memperbaiki aritmia jantung
e. Perawatan kandung kemih
f. Memberikan kenyamanan pada klien dengan pemberian posisi
yang tepat dan lakukan perubahan posisi tiap 2 jam
g. Lakukan latihan gerak aktif maupun pasif
h. Kurangi asupan kolesterol dan lemak jenuh
i. Kontrol diabetes dan berat badan.
j. Koreksi adanya adanya kelainan gas darah
k. Perhatikan pemenuhan nutrisi (kalori) dan keseimbangan cairan
elektrolit.
l. Posisikan kepala dengan ditinggikan 30°
m. Terapi familiar auditory sensory training (FAST) (Aripratiwi,
C.dkk. 2020)
C. Tingkat Kesadaran
1. Pengertian
Tingkat kesadaran merupakan keadaan kesadaran seseorang terjaga
dan waspada, dimana sebagian besar manusia berfungsi saat tidur atau
salah satu tahap tidur normal yang dikenali dari mana orang tersebut
dapat segera dibangunkan (O’Callaghan, 2016). Keadaan seseorang
yang terjaga dan waspada disebut juga dengan tingkat kesadaran
dimana tingkat kesadaran menggambarkan seseorang dapat melakukan
aktivitas, komunikasi, dan mengidientifikasi lingkungan sekitar
(Dwiyanto, et al., 2022).
Tingkat kesadaran seseorang dapat menurun sehingga
mengakibatkan kewaspadaannya juga mengalami penurunan.
Penurunan tingkat kesadaran dapat mengakibatkan terjadinya hal yang
dapat mengancam jiwa yang berujung pada kematian. Tingkat
kesadaran juga dapat menjadi tanda kegawatdaruratan neurologis akut
26

yang ditandai dengan kerusakan otak dan memerlukan penanganan dan


evaluasi yang sangat cepat (Reynolds et al., 2018).
Seseorang dikatakan mengalami penurunan tingkat kesadaran jika
kemampuan dalam merespon rangsangan hanya muncul ketika
diberikan stimulasi suara ataupun nyeri, tetapi seseorang itu tidak
merespon rangsangan yang telah diberikan. Hal ini akan
mengakibatkan perburukan kondisi buruk pada dirinya (Reynolds et
al., 2018).
2. Etiologi
Gangguan kesadaran disebabkan oleh berbagai faktor etiologi, baik
yang bersifat intrakranial maupun ekstrakranial / sistemik. Penjelasan
singkat tentang faktor etiologi gangguan kesadaran adalah sebagai
berikut (Mawarti, 2020) :
a) Gangguan sirkulasi darah di otak (serebrum, serebellum, atau
batang otak)
1) Perdarahan, trombosis maupun emboli
2) Mengingat insidensi stroke cukup tinggi maka kecurigaan
terhadap stroke pada setiap kejadian gangguan kesadaran
perlu digaris bawahi.
b) Infeksi ensefalomeningitis (meningitis, ensefalitis, serebritis/abses
otak)
Mengingat infeksi (bakteri, virus, jamur) merupakan penyakit
yang sering dijumpai di Indonesia maka pada setiap gangguan
kesadaran yang disertai suhu tubuh meninggi perlu dicurigai
adanya ensefalomeningitis.
c) Gangguan metabolism
Di Indonesia, penyakit hepar, gagal ginjal, dan diabetes melitus
sering dijumpai.
d) Neoplasma
1) Neoplasma otak, baik primer maupun metastatik, sering di
jumpai di Indonesia.
27

2) Neoplasma lebih sering dijumpai pada golongan usia dewasa


dan lanjut.
3) Kesadaran menurun umumnya timbul berangsur-angsur
namun progresif/ tidak akut.
e) Trauma kepala
Trauma kepala paling sering disebabkan oleh kecelakaan lalu-
lintas.
f) Epilepsi
Gangguan kesadaran terjadi pada kasus epilepsi umum dan status
epileptikus
g) Intoksikasi
Intoksikasi dapat disebabkan oleh obat, racun (percobaan bunuh
diri), makanan tertentu dan bahan kimia lainnya.
h) Gangguan elektrolit dan endokrin
Gangguan ini sering kali tidak menunjukkan “identitas”nya secara
jelas; dengan demikian memerlukan perhatian yang khusus agar
tidak terlupakan dalam setiap pencarian penyebab gangguan
kesadaran.
3. Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis meliputi pemeriksaan kesadaran dengan
menggunakan GCS. Glasgow Coma Scale (GCS) adalah alat
diagnostik yang sudah sejak lama menjadi alat untuk mengevalusi
tingkat kesadaran pasien, menilai status klinis pasien, dan menjadi alat
prognosis untuk pasien yang terdapat gangguan pada kepala/cedera
kepala. Dapat menilai derajat berat ringannya cedera kepala
berdasarkan penilaian terhadap respon membuka mata, respon verbal,
dan respon motorik (Kotera, 2014). GCS terdiri dari 3 pemeriksaan,
yaitu penilaian: respons membuka mata (eye opening), respons
motorik terbaik (best motor response), dan respons verbal terbaik (best
verbal response) .
28

Adapun dibawah ini penjelasan di setiap komponen penilaian yaitu


(Christensen, B. Medscape, 2014) :
a. Eye
Penilaian komponen ini respon pasien terhadap rangsangan dengan
membuka matanya. Membuka mata menunjukkan gairah pasien.
Ada 4 nilai dalam komponen ini:
1) Nilai (4) mata spontan membuka: pasien membuka matanya
tanpa rangsangan eksternal.
2) Nilai (3) membuka mata : pasien membuka matanya ketika ia
di respon terhadap rangsangan verbal.
3) Nilai (2) membuka mata terhadap rangsangan yang
menyakitkan atau ketika diberi rangsangan nyeri: pasien
membuka mata nya setelah stimulus menyakitkan diterapkan.
4) Nilai (1) tidak ada yang membuka mata: mata tidak
pembukaan verbal atau dengan rangsangan nyeri yang
menyakitkan.
b. Verbal
Komponen ini merupakan untuk menilai respon verbal dari pasien
dengan mengajukan tiga pertanyaan orientasi. Tiga pertanyaan
tersebut adalah waktu (tahun), tempat (tempai iya berada maupun
alamatnya berada), dan orang (nama keluarga dekatnya). Ada lima
nilai di komponen ini diantaranya (Christensen, B. Medscape,
2014):
1) Nilai (5) berorientasi: Pasien mampu menjawab pertanyaan-
pertanyaan waktu, tempat, dan orang dengan benar. Beberapa
pasien yang menjawab semua pertanyaan dengan benar tiga,
namun, selama percakapan lanjutan, perawat mendapatkan
beberapa pertanyaan yang salah tetapi pasien sudah bisa
menjawab 3 pertanyaan pasien dalam keadaan baik. Karena
29

pasien mampu menjawab semua tiga pertanyaan dengan benar


maka dia masih mencetak sebagai berorientasi.
2) Nilai (4) bingung (disoriented): Pasien tidak mampu menjawab
satu atau lebih dari tiga pertanyaan orientasi (waktu, tempat,
dan
30

orang) dengan benar. Beberapa pasien tidak dapat menjawab


semua tiga pertanyaan orientasi benar tapi percakapan mereka
masih bisa walaupun cuma beberapa .
3) Nilai (3) kata-kata yang tidak tepat: Pasien memiliki acak atau
seruan diartikulasikan pidato dan tidak memiliki percakapan
dalam pertukaran percakapan berkelanjutan
4) Nilai (2) suara tidak komprehensif: mengerang pasien (tidak
ada kata-kata) dan mengerang dengan atau tanpa stimulasi
eksternal
5) Nilai (1) tidak ada respon verbal: Pasien tidak membuat suara
atau gerakan minimal bahkan ketika rangsangan nyeri yang
menyakitkan diterapkan masih tidak ada respon.
c. Motorik
Komponen ini sedang menguji respon motorik terbaik pasien
terhadap rangsangan lisan atau menyakitkan. Respon motorik
terbaik paling sedikit dipengaruhi oleh trauma. Komponen ini di
GCS adalah indikator yang paling akurat dalam memprediksi hasil-
hasil pasien 6. Ada enam nilai dalam komponen ini diantaranya
sebagai berikut (Christensen, B. Medscape, 2014) :
1) Nilai (6) mematuhi perintah: Pasien mampu melakukan tugas-
tugas sederhana seperti bertanya "menunjukkan ibu jari Anda",
atau "menunjukkan jari tangan bagian kanan anda". Jangan
meminta pasien untuk "pegangan jari-jari anda". Ini mungkin
refleks. Untuk pasien lumpuh yang tidak dapat menggerakkan
anggota mereka, perawat dapat meminta pasien untuk
tersenyum, atau julurkan lidah mereka, atau menunjukkan gigi
mereka dengan senyum ataupun mengedipkan mata.
2) Nilai (5) localized nyeri: upaya Pasien untuk menghapus
sumber rangsangan yang menyakitkan dengan menggunakan
31

nya / tangannya atau mencoba untuk memindahkan / nya


bahunya jauh dari rangsangan yang menyakitkan
32

3) Nilai (4) penarikan terhadap nyeri: Pasien mencoba untuk


memindahkan tangannya atau kaki ketika rangsangan yang
menyakitkan diterapkan pada jarijarinya atau jari-jari kakinya.
4) Nilai (3) abnormal fleksi (decortication): ketika rasa sakit
pusat diterapkan pada siku, pergelangan tangan, dan jari fleksi
dan digambar di atas dada. Kedua lengan adduksi dan ditutup
pada dinding dada.
5) Nilai (2) abnormal ekstensi (decerebration): ketika rasa sakit
sentral berlaku, pasien akan telah memperkuat siku dan rotasi
internal bahu dan fleksi pergelangan tangan dan jari. Kedua
lengan adduksi dan ditutup pada dinding dada. Pasien mungkin
memiliki ekstensi di kakinya dengan plantar fleksi.
6) Nilai (1) tidak ada respon: Pasien tidak menunjukkan dan
gerakan anggota tubuh ketika rasa sakit pusat diterapkan.

Adapun tabel Glasgown Coma Scale (GCS) yang dipakai sampai saat
ini yaitu :
Tabel 2.1 Glasgown Coma Scale (GCS)

Kategori Rangsangan
Respon Pasien Skor
Respon yang Sesuai
Perawat Membuka mata spontan 4
mendekati
pasien
Memberi Membuka mata terhadap panggilan nama atau perintah 3
perintah
Mata
verbal
Nyeri Mata tidak membuka terhadap rangsangan perinta 2
verbal, tetapi membuka bila diberi rangsangan nyeri
Mata tidak membuka terhadap rangsangan apapun 1
Tidak dapat diperiksa (Not testale) NT
Orientasi baik, fasih, identifikasi diri, tempat, tahun, 5
dan bulan dengan benar
Bingung, lancar tetapi mengalami disorientasi pada 4
satu atau lebih kalimat
Pertanyaan
Penggunaan kata-kata yang tidak sesuai atau tidak 3
Verbal verbal dengan
teratur, tidak dapat mempertahankan kecakapan bicara
pasien
Suara tidak teratur 2
Tidak ada suara, bahkan dengan rangsangan nyeri yang 1
kuat
Tidak dapat diperiksa (Not tesTabel) NT
33

Perintah Mematuhi perintah 6


Motorik
verbal
Dapat melokalisasi nyeri, tidak patuh tetapi ada usaha 5
untuk menyingkirkan rangsangan yang menyakitkan
Penarikan ekstremitas secara fleksi, fleksi lengan 4
Nyeri sebagai respon terhadap nyeri tanpa postur fleksi yang
(penekanan abnormal
pada Fleksi abnormal, fleksi dan pronasi siku-lengan, tangan 3
proksimal mengepal
kuku) Ekstensi abnormal, ekstensi lengan pada siku disertai 2
adduksi dan rotasi internal lengan-bahu
Tidak ada respon 1
Tidak dapat diperiksa (Not tesTabel) NT

Sumber : Skala Glasgown Coma Scale (GCS) (Jacob et al,2013)

Tabel 2.2 Interpretasi Status Kesadaran


Status Kesadaran Kondisi Pasien
Compos mentis Kesadaran penuh, pasien dapat menjawab semua pertanyaan tentang
(GCS 14-15) keadaan sekelilingnya.
Apatis Pasien mengalami sedikit penurunan kesadaran, segan untuk
(GCS 12-13) berhubungan dengan sekitarnya sikapnya acuh tak acuh.
Delirium Pasien gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu) memberontak,
(GCS 10-11) berteriak-teriak, berhakusinasi, kadang berkhayal.
Somnolen Kesadaran pasien menurun, respon psikomotor yang lambat, mudah
(GCS 7-9) tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah
dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu member jawaban
verbal .
Stupor Keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon terhadap nyeri.
(GCS 5-6)
Semi-koma Tidak dapat memberikan respons pada rangsangan verbal dan tidak
(GCS 4) dapat dibangunkan sama sekali, respons terhadap rangsang nyeri
hanya sedikit, tetapi reflex kornea dan pupil masih baik
Koma Pasien tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap rangsangan
(GCS 3) (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin juga tidak
ada respon pupil terhadap cahaya).

D. Konsep Familiar Auditory Sensory Training (FAST)


1. Pengertian
Suatu intervensi dimana pasien yang menerima intervensi
mendengarkan suara yang direkam secara digital, rekaman tersebut
merupakan rekaman suara orang yang dikenal dekat dengannya,
rekaman berisi suatu kisah yang berkesan dengan pasien (Pape. et al.,
2012). Kerangka konseptual yang mendasari protokol FAST adalah
34

sintesis pengetahuan tentang prinsip-prinsip plastisitas saraf,


plastisitas saraf yang sebagian besar bergantung pada pengalaman,
dan pengetahuan tentang kemampuan otak manusia (Pape, T.L.B.dkk.
2012).
Protokol FAST dikembangkan sesuai dengan bukti otak manusia
yaitu kemampuan untuk secara otomatis menanggapi masukan
sensorik pasif, secara diam-diam memproses informasi sensorik,
secara otomatis menanggapi rangsangan pendengaran yang tidak
terduga, menyimpan informasi baru dalam jangka pendek,
menggunakan memori jangka panjang, membedakan antara kejadian
familiar dan nonfamiliar, dan berorientasi pada informasi yang masuk
(Pape, T.L.B.dkk. 2012)
2. Tujuan
Terapi Familiar Auditory Sensory Training (FAST) merupakan
terapi non farmakologi yang bertujuan untuk meningkatkan
angka Glasgow Coma Scale (GCS) (Wibowo, D.dkk. 2022)
3. Tahapan Prosedur Familiar Auditory Sensory Training (FAST)
a. Inklusi
Kriteria inklusi dalam penerapan ini adalah sebagai berikut :
1) Bersedia menjadi responden
2) Usia pasien 35-75 tahun
3) Nilai GCS pasien 3-14
4) Pendamping pasien minimal usia 18 tahun
5) Merupakan keluarga inti pasien.
b. Eksklusi
Kriteria eksklusi dalam penerapan ini adalah sebagai berikut :
1) Keluarnya darah dan pus dari telinga dan hidung
2) Dilakukan tindakan pembedahan (kraniotomi) dan
ventriculoperitoneal shunt
3) Pasien mengalami infeksi nosocomial
4) Pasien mengalami gangguan pendengaran
35

c. Sesi FAST
1) Sesi pertama selama 1 menit, menceritakan mengenai awal
dari pasien mengalami penurunan kesadaran termasuk waktu
dan tempat pasien mengalami serangan stroke.
2) Sesi dua ( 4 menit) menceritakan kenangan indah bersama
dengan pasien
3) Sesi ketiga (5 menit), keluarga diminta berbicara hal apa yang
akan dilakukan ketika pasien sadar dan mendorong pemulihan
pasien mereka diminta berbicara dengan kata-kata yang
menjanjikan
4) Waktu
FAST dilakukan tiga kali sehari selama 10 menit dengan jarak 2
jam dalam jangka waktu tiga hari berturut-turut (Pape T.L.B.dkk,
2012).
5) Alat dan Bahan
1) Recorder atau HP
2) Earphone
3) Lembar observasi GCS
6) Fase Kerja
Berikut fase kerja pemberian Familiar Auditory Sensory Training
(FAST) (Mohammadi, M.K., dkk. 2019 dan Aripratiwi, C. dkk.
2020):
1) 5 menit sebelum diberikan FAST, dilakukan pengecekan
tingkat kesadaran menggunakan lembar observasi Glasgown
Coma Scale (GCS).
2) Kemudian dilanjutkan dengan pemberian FAST tahap
pertama yang berdurasi 10 menit.
3) Lalu berikan jeda selama 2 jam sebelum dilanjutkan ke tahap
kedua.
36

4) Lakukan hal yang sama sampai pada tahap yang terakhir yaitu
tahap ketiga FAST.
5) Lakukan pengecekan tingkat kesadaran, jarak 5 menit sesudah
diberikan FAST menggunakan lembar observasi Glasgown
Coma Scale (GCS).

Diantara berbagai indera yang distimulasi, stimulasi indera


pendengaran lebih banyak berefek kepada pasien (Tavangar, dkk,
2015). Mekanisme dari auditori yakni batang otak akan aktif ketika
adanya rangsangan auditori untuk keadaan terjaga dan bangun,
kemudian nucleus genikuatum medialis thalamus menyortir serta
menyalurkan sinyal ke korteks terutama ke temporalis kiri dan kanan,
korteks pendengaran (lobus temporalis) akan mempersespsikan suara,
sementara pada korteks pendengaran yang lain akan mengitegrasikan
berbagai macam suara menjadi pola yang lebih berarti, mekanisme
inilah yang memungkinkan stimulasi auditori mencapai batang otak
dan korteks untuk diaktivasi meskipun kondisi klinis saat itu sedang
terjadi penurunan kesadaran (Safri et al., 2018).
Dalam (Aripratiwi, C.dkk. 2020) saat pasien mendengarkan
stimulasi auditori : Familiar Auditory Sensory Training (FAST) maka
gelombang akan disalurkan melalui ossicles di telinga tengah dan
berjalan menuju nervus auditory melalui cairan cochlear setelah itu
akan merangsang pengeluaran hormon endofrin yang akan
merelaksasikan tubuh. Efek yang ditimbulkann yaitu menurunkan
stimulus sistem syaraf simpatis yakni penurunan ketegangan
neuromuskolar, meningkatnya ambang kesadaran, biasanya dapat
dilihat dari HR, RR, dan penurunan tekanan darah. Jika dilihat dari
mekanisme hubungan antara system persarafan dan hormonal dengan
adanya stimulasi sensorik atau gelombang suara dapat menstimulasi
pengaktifan dopamin yang secara fisiologis dopamin berperan dalam
meningkatkan kewaspadaan seseorang.
37

Familiar Auditory Sensory Training (FAST) memberikan efek


ketenangan dengan merangsang opioid (morphin) dan serotonin di
dalam tubuh yang memungkinkan perubahan fisiologis yang
menunjukkan adanya penurunan derajat ketegangan sistem saraf
otonom (automatic nervous system) (Safri et al., 2018). Meningkatnya
pengeluaran dopamin merangsang peningkatan aktivitas reticular
activating system untuk memperbaiki kualitas kewaspadaan pasien
terhadap lingkungannya (Lumbantobing & Anna., 2015). Stimulasi
suara seperti Familiar Auditory Sensory Training (FAST) juga dapat
mempengaruhi sistem fisiologis seseorang, sehingga stimulasi suara
dapat membangkitkan aktivitas hemisfer serebri dan dinilai
memberikan efek ketenangan (Sutiyah, 2017).
Afandi (2015) juga menyebutkan hal yang sama yakni rangsangan
suara mampu mengaktivasi system limbic sehingga dapat memberikan
efek relaksasi, sehingga akan mencegah vasospasime pembuluh darah
dan dapat meningkatkan perfusi darah. Rangsangan suara juga dapat
membuka pintu komponen emosiaonal untuk kesadaran pasien yang
tidak bisa melakukan komunikasi verbal, hal ini dikarenakan suara
dapat menyentuh tingkat kesadaran fisik, psikologi, spiritual, dan
sosial.
E. Asuhan Keperawatan Stroke
1. Pengkajian
Pengkajian meliputi identitas pasien dan penanggungjawab pasien.
Identitas pasien meliputi nama, usia, tanggal lahir, jenis kelamin,
pekerjaan, pendidikan, agama, suku bangsa, waktu masuk, waktu
pengkajian, diagnose medis, no rekam medis.
2. Keluhan Utama
Keluhan yang didapatkan adalah gangguan motoric kelemahan
anggota gerak setelah badan, bicara pelo, dan tidak dapat
berkomunikasi, nyeri kepala, gangguan sensorik, kejang, gangguan
kesadaran (Upayaningsih, 2021).
38

3. Primary survey
Primary survey meliputi (Alfikasari, 2020):
a. Airway
Periksa jalan nafas dari sumbatan benda asing (padat, cair) setelah
dilakukan pembedahan akibat pemberian anestesi. Patency jalan
nafas, dengan meletakan tangan di atas mulut atau hidung.
Auscultasi paru, keadekuatan expansi paru, kesimetrisan.
b. Breathing
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama
jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman,
frekuensi maupun iramanya. Napas berbunyi, stridor, ronkhi,
wheezing (kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi
peningkatan produksi sputum pada jalan napas
(Asyifaurrohman,2017). Perubahan pernafasan (rata-rata, pola,
dan kedalaman). RR < 10 X / menit depresi narcotic, respirasi
cepat, dangkal. gangguan kardiovaskuler atau rata-rata
metabolisme yang meningkat. Pergerakan dinding dada,
penggunaan otot bantu pernafasan diafragma, retraksi sternal efek
anestesi yang berlebihan, obstruksi.
c. Circulation
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah
bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan
transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan
mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung
(bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia,
disritmia). Inspeksi membran mukosa : warna dan kelembaban,
turgor kulit, balutan
39

d. Disability
Berfokus pada status neurologi kaji tingkat kesadaran pasien,
tanda-tanda respon mata, respon motorik dan tanda-tanda vital.
Inspeksi respon terhadap rangsang, masalah bicara, kesulitan
menelan, kelemahan atau paralisis ekstremitas, perubahan visual
dan gelisah
e. Exposure
Adanya suatu trauma dapat mempengaruhi exposure, reaksi kulit,
adanya tusukan dan tanda-tanda lain yang harus diperhatikan.
Dalam penilaian exposure dapat diperhatikan diantaranya apakah
terjadi hipotermia, deformitas, hematoma, laserasi, contusion,
abrasi, edema dan nyeri.
4. Pemeriksaan Sistem Tubuh
Pemeriksaan system tubuh meliputi (Alfikasari, 2020):
a. Brain
Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologis bergantung pada
lokasi lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area
yang perfusinya tidak adekuat dan aliran darah kolateral
(sekunder atau aksesori). Lesi otak yang rusak tidak dapat
membaik sepenuhnya.
1) Tingkat Kesadaran : Pada keadaan lanjut, tingkat kesadaran
klien ICH biasanya berkisar pada tingkat letargi, stupor, dan
semikomatosa.
2) Pemeriksaan Saraf Kranial
a) Saraf I : biasanya tidak terdapat kelainan pada fungsi
penciuman
b) Saraf II : disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras
sensorik primer diantara mata dan korteks visual.
Gangguan hubungan visual spasial (mendapatkan
hubungan dua atau lebih objek dalam area spasial) sering
terlihat pada klien dengan hemiplagia kiri. Klien
40

mungkin tidak dapat memakai pakaian tanpa bantuan


karena ketidakmampuan untuk mencocokan pakaian
kebagian tubuh.
c) Saraf III, IV, dan VI : apabila akibat ICH mengakibatkan
paralesis sesisi otototot okularos didapatkan penurunan
kemampuan gerakan konjungat unilateral disisi yang
sakit.
d) Saraf V : Pada beberapa keadaan ICH menyebabkan
paralisis saraf trigeminus, didapatkan penuruna fungsi
kordinasi gerakan mengunyah, penyimpangan rahang
bawah ke sisi lateral dan kelumpuhan sesisi otot- otot
pteigoideus internus dan eksternus.
e) Saraf VII : persepsi pengecapan normal, wajah asimetris,
otot wajah tertarik kebagian sisi yang sehat.
f) Saraf IX dan X, kemampuan menelan kurang baik,
kesukaran membuka mulut.
g) Saraf XI : tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus
dan trapezius.
h) Saraf XII : lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi
dan fasikulasi. indra pengecapan normal
b. Blood
Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan renjatan (syok)
hipovolemik yang sering terjadi pada klien ICH. TD biasanya
mengalami peningkatan.
c. Breath
Umumnya pada pasien dengan stroke hemoragic didapatkan hasil
pemeriksaan seperti Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan
produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan
peningkatan frekuensi pernapasan. Auskultasi didapatkan bunyi
napas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan peningkatan
produksi sputum dan kemampuan batuk menurun yang sering
41

didapatkan pada klien stroke dengan penurunan tingkat kesadaran


koma. Pada klien dengan tingkat kesadaran composmentis pada
pengkajian inspeksi pernafasan tidak ada kelainan. Palpasi
didapatkan taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi
tidak didapatkan bunyi napas tambahan
d. Bowel
Didapatkan keluhan sulit menelan, nafsu makan menurun, jual dan
muntah pada fase akut. Mual dan muntah dihubungkan dengan
peningkatan produksi asam lambung sehingga menimbulkan
masalah pemebuhan kebutuhan nutrisi.
e. Bone
Kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan motorik. Gangguan
neuron motor pada salah satu sisi tubuh. Hemiparesis atau
kelemahan salah satu sisi tubuh. Kulit tampak pucat karena
kekurangan O2, turgor kulit menurun karena kekurangan cairan.
Kemungkinan ditemukannya dekubitus karena adanya gangguan
mobilitas fisik pada klien ICH.
f. Bladder
Klien mungkin mengalami inkontinensia urine sementara karena
konfusi. Kadang - kadang kontrol sfingter eksternal hilang atau
berkurang.
5. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang sebagai berikut (Alfikasari, 2020) :
a. CT Scan (Computed Tomography Scan) CT Scan digunakan untuk
memperlihatkan edema, hematoma, non hemoragik dan adanya
infark.
b. MRI (Magnetic Resonance Imaging) Pemeriksaan MRI dilakukan
dengan menggunakan gelombang magnetik untuk menentukan
posisi dan besar/luas terjadinya perdarahan otak.
42

c. Angiogram digunakan untuk membantu menentukan penyebab


stroke secara spesifik seperti perdarahan, obstruksi arteri, oklusi
atau ruptur.
d. Ekokardiogram merupakan pemeriksaan dengan menggunakan
gelombang suara pada jantung. Pemeriksaan ini bertujuan untuk
mengetahui fungsi katup- katup jantung, mengetahui ketebalan
dinding jantung dan melihat adanya gumpalan darah yang dapat
menyebakan stroke.
e. Lumbal Puncture atau Fungsi Lumbal digunakan untuk
mengidentifikasi adanya tekanan normal hemoragik, Malformasi
Arterial Artirivena (MAV).
f. Ultrasonografi Doppler adalah sebuah tes untuk mengidentifikasi
penyakit arteriovena (masalah sistem arteri karotis atau aliran
darah).
g. EEG (Electro ensefalography) Pemeriksaan ini bertujuan untuk
mengidentifikasi masalah dengan melihat gelombang pada otak.
h. Pemeriksaan laboratorium meliputi :
1) Test darah koagulasi terdiri dari 4 pemeriksaan, yaitu:
prothrombin time, partial thromboplastin (PTT), International
Normalized Ratio (INR) dan agregasi trombosit. Keempat test
ini gunanya mengukur seberapa cepat darah pasien
menggumpal. Gangguan penggumpalan bisa menyebabkan
perdarahan atau pembekuan darah. Jika pasien sebelumnya
sudah menerima obat pengencer darah seperti warfarin, INR
digunakan untuk mengecek apakah obat itu diberikan dalam
dosis yang benar. Begitu pun bila sebelumnya sudah diobati
heparin, PTT bermanfaat untuk melihat dosis yang diberikan
benar atau tidak (Putri Geofani,2017).
2) Test kimia darah untuk melihat kandungan gula darah,
kolesterol, asam urat, dll. Apabila kadar gula darah atau
kolesterol berlebih, bisa menjadi pertanda pasen sudah
43

menderita diabetes dan jantung. Kedua penyakit ini termasuk


ke dalam salah satu pemicu ICH (Putri Geofani, 2017)
3) Pemeriksaan darah lengkap seperti Hb, Leukosit, Trombosit,
Eritrosit. Hal ini berguna untuk mengetahui apakah pasien
menderita anemia. Sedangkan leukosit untuk melihat sistem
imun pasien. Bila kadar leukosit diatas normal, berarti ada
penyakit infeksi yang sedang menyerang pasien (Putri Geofani,
2017).
6. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang akan muncul dengan menggunakan Standar
Diagnosis Keperawatan Indonesia dalam Tim Pokja SDKI DPP
PPNI (2017) yaitu:
a. Risiko Perfusi Serebral Tidak Efektif (D.0017;51)
b. Gangguan rasa nyaman (D.0074; 166)
c. Defisit perawatan diri (D.0109; 240)
d. Gangguan komunikasi verbal (D.0119;264)
e. Gangguan mobilitas fisik (D.0054; 124)
f. Defisit nutrisi (D.0019;56)
g. Gangguan persepsi sensori (D.0085; 190)
44
45

7. Intervensi Keperawatan

Diagnosa
No Waktu Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional TTD
Keperawatan
1. Selasa, 04 Risiko Perfusi Setelah diberikan asuhan keperawatan Observasi Iffah
Terapi Familiar Auditory
Juli Serebral Tidak 3x24 jam masalah Resiko perfusi serebral - Monitor tingkat kesadaran
Sensory Training (FAST)
2023/09.00 Efektif tidak efektif teratasi dengan kriteria hasil : - Monitor ingatan terakhir
merupakan terapi non
Terapeutik
farmakologi yang bertujuan
Perfusi serebral (L.02014; 86) - Berikan terapi familiar auditory sensory
untuk meningkatkan angka
- Tingkat kesadaran meningkat training
Glasgow Coma Scale (GCS)
dengan skala 5 Edukasi
(Wibowo, D.dkk. 2022)
- Tekanan intracranial menurun - Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
dengan skala 5 - Informasikan hasil pemantauan
- Sakit kepala menurun dengan (I.06197; 245)
skala 5
- Gelisah menurun dengan skala 5
- Kesadaran membaik dengan
skala 5
2. Selasa, 04 Gangguan rasa Setelah diberikan asuhan keperawatan Observasi Iffah
Juli nyaman 3x24 jam masalah gangguan rasa nyaman - Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
2023/09.00 teratasi dengan kriteria hasil : frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
- Identifikasi respon nyeri non verbal
Status kenyamanan (L.08064; 110) Terapeutik
- Keluhan tidak nyaman menurun - Berikan Teknik nonfarmakologis untuk
dengan skala 5 mengurangi rasa nyeri
- Gelisah menurun dengan skala 5 - Fasilitasi istirahat dan tidur
- Kesejahteraan fisik meningkat Edukasi
dengan skala 5 - Jelaskan strategi meredakan nyeri
- Kesejahteraan psikologis - Ajarkan Teknik nonfarmakologi untuk
meningkat dengan skala 5 mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian analgetik
46

(I.08238; 201)
47

3. Selasa, 04 Gangguan Setelah diberikan asuhan keperawatan Observasi Iffah


Juli komunikasi verbal 3x24 jam masalah gangguan komunikasi - Monitor kecepatan, tekanan, kuantitas,
2023/09.00 verbal teratasi dengan kriteria hasil : volume dan diksi bicara
Terapeutik
Komunikasi verbal (L.13118; 51) - Gunakan metode komunikasi alternatif
- Aktivitas fisik yang - Modifikasi lingkungan untuk
direkomendasikan meningkat meminimalkan bantuan
dengan skala 5 Edukasi
- Strategi untuk menyeimbangkan - Anjurkan berbicara perlahan
aktivitas dan istirahat meningkat Kolaborasi
dengan skala 5 - Rujuk ke ahli patologi bicara atau terapis
- Teknik pernafasan efektif (I.13492; 373)
meningkat dengan skala 5
4. Selasa, 04 Gangguan mobilitas Setelah diberikan asuhan keperawatan Observasi Iffah
Juli fisik 3x24 jam masalah gangguan mobilitas - Monitor frekuensi jantung dan tekanan
2023/09.00 fisik teratasi dengan kriteria hasil darah sebelum memulai ambulasi
Terapeutik
Mobilitas fisik (L.05042; 65) - Fasilitasi melakukan mobilisasi fisik, jika
- Pergerakan ektremitas meningkat perlu
dengan skala 5 - Libatkan keluarga untuk membantu pasien
- Kekuatan otot meningkat dengan dalam meningkatkan ambulasi
skala 5 Edukasi
- Rentang gerak (ROM) meningkat - Jelaskan tujuan dan prosedur ambulasi
dengan skala 5 - Anjurkan melakukan amulasi dini
- Kaku sendi menurun dengan - Ajarkan ambulasi sederhana yang harus
skala 5 dilakukan (misalnya berjalan dari tempat
tidur ke kursi roda)
(I.06171; 22)
48

5. Selasa, 04 Defisit perawatan diri Setelah diberikan asuhan keperawatan Observasi Iffah
Juli 3x24 jam masalah deficit perawatan diri - Monitor tingkat kemandirian
2023/09.00 teratasi dengan kriteria hasil - Identifikasi kebutuhan alat bantu kebersihan
Terapeutik
Perawatan diri (L.11103; 81) - Sediakan lingkungan yang terapeutik
- Kemampuan mandi meningkat - Dampingi dalam melakukan perawatan diri
dengan skala 5 sampai mandiri
- Verbalisasi keinginan melakukan Edukasi
perawatan diri meningkat dengan - Anjurkan melakukan perawatan diri secara
skala 5 konsisten sesuai kemampuan
- Kemampuan makan meningkat (I.11348; 36)
dengan skala 5
6. Selasa, 04 Defisit nutrisi Setelah diberikan asuhan keperawatan Observasi Iffah
Juli 3x24 jam masalah defisit nutrisi teratasi - Identifikasi status nutrisi
2023/09.00 dengan kriteria hasil : - Identifikasi hasil pemeriksaan laboratorium
Terapeutik
Status nutrisi (L.03030; 121) - Lakukan oral hygiene sebelum makan
- Berat badan membaik dengan - Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi
skala 5 protein
- Indeks masa tubuh (IMT) Edukasi
membaik dengan skala 5 - Ajarkan diet yang di programkan
- Bising usus membaik dengan Kolaborasi
skala 5 - Kolaborasi pemberian medikasi sebelum
- Membran mukosa membaik makan
dengan skala 5 - Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan jumlah kalori dan jenis nutrient
yang dibutuhkan
(I.03119; 200)
49

7. Selasa, 04 Gangguan persepsi Setelah diberikan asuhan keperawatan Observasi Iffah


Juli sensori 3x24 jam masalah ganguan persepsi - Periksa status sensori dan tingkat
2023/09.00 sensori teratasi dengan kriteria hasil : kenyamanan (missal nyeri)
Terapeutik
Fungsi sensori (L.06048; 28) - Batasi stimulus lingkungan
- Ketajaman pendengaran - Diskusikan tingkat toleransi terhdap beban
meningkat dengan skala 5 sensori
- Ketajaman penglihatan Edukasi
meningkat dengan skala 5 - Ajarkan cara meminimalisasi stimulus
- Persepsi stimulasi kulit Kolaborasi
meningkat dengan skala 5 - Kolaorasi pemberian obat yang
mempenaruhi persepsi stimulus
(I.08241; 233)

You might also like