You are on page 1of 37

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Riba

A.1. Pengertian Riba

Riba berasal dari bahasa arab yang artinya tambahan (‫)زيادة‬, yang

berarti tambahan pembayaran atas uang pokok pinjaman. Sedangkan riba

menurut istilah adalah mengambil tambahan dari harga pokok atau modal

dengan cara yang bathil. Ada banyak pendapat dalam menjelaskan riba,

akan tetapi secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa

riba adalah pengambilan tambahan, baik itu dalam transaksi jual beli

maupun pinjam meminjam dengan cara yang bathil, atau bertentangan

dengan prinsip muamalah dalam Islam.18

Riba juga sering diterjemahkan kedalam bahasa Inggris sebagai

usury yang artinya tambahan/lebihan uang atas modal yang diperoleh

dengan cara yang dilarang oleh syara’, baik jumlah tambahan itu sedikit

maupun banyak.19

Adapun menurut ulama mazhab Hanafi riba ialah tambahan yang

menjadi syarat dalam transaksi bisnis tanpa adanya kesetaraan yang

dibenarkan oleh syari’ah atas penambahan tersebut.20

Kemudian menurut Imam Ahmad bin Hambal riba itu adalah ketika

seseorang yang memiliki hutang maka yang memimjamkan mengakatakan

18
Dra. Gibtiah, M.ag, Fiqih Kotemporer, cet-1, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), 74
19
Wasilul Choir, Riba Dalam Perspektif Islam dan Sejarah, Iqtishadia Vol. 1 No. 1 (Juni,
2014), 101
20
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah: Dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2001), 38

1
kepada sipeminjam apakah akan melunasi atau membayarnya lebih,

apabila tidak bisa melunasi ia harus menambahkan dana dalam bentuk

bunga pinjaman atas penambahan waktu yang telah di berikan.21

Adapun menurut pandangan ulama mazhab Syafi’i riba dapat

diartikan sebagai:

“Akad atas penggantian dikhususkan yang tidak diketahui


kesetaraan dalam pandangan syari’ah pada saat akad atau dengan
penundaan dari salah satu atau kedua harta yang dipertukarkan”.22

Maksudnya adalah transaksi pertukaran suatu barang tertentu yang

kemudian diukur dengan menggunakan takaran syara’ dengan barang lain

yang belum ada ketika terjadi akad. Dalam artian lain pertukaran suatu

barang yang penyerahannya ditangguhkan baik oleh kedua belah pihak

atau salah satu darinya. Yang dimaksud dengan menggunakan takaran

syara’ disin adalah dengan menggunakan alat takar.

Adapun menurut Al-Mali riba ialah akad yang terjadi dalam

penukaran barang tertentu yang tidak diketahui timbangannya menurut

ukuran syara’, baik itu ketika akan melakukan akad atau akan mengakhiri

akad pertukaran kedua belah pihak ataupun salah satu dari keduanya.23

Adapun menurut Sayyid Sabiq riba adalah tambahan atas modal

baik penambahan tersebut sedikit maupun banyak. Begitu juga menurut

Ibnu Hajar riba adalah kelebihan, baik itu dalam bentuk uang maupun

barang.24

21
Ibid, 41
22
Ahmad Sarwat, Qiyas: Sumber Hukum Syariah Keempat, (Jakarta: Rumah Fiqih
Publishing, 2019), 10
23
Sudirman, Fiqh Kotemporer (Cotemporery Studies Of Fiqh). (Yogyakarta: CV Budi
Utama, 2018), 377
24
Heri sudarsono, Bank dan Keuangan Lembaga Syari’ah, (Yogyakarta: Ekonisia, 2004),
2
10

3
Selanjutnya menurut M. Umer Captra riba secara harfiah berarti

adanya peningkatan, penambahan, perluasan atau pertumbuhan. Menurut

beliau gak semua penambahan terlarang didalam Islam, namun

keuntungan/laba juga merupakan peningkatan atas jumlah harga pokok

akan tetapi tidak di larang dalam Islam.25

Dari beberapa definisi tentang riba diatas meskipun terdapat

beberapa perbedaan definisinya masing-masing akan tetapi subtansinya

tetap sama, maka dari itu dapat disimpulkan bahwa riba adalah

pengambilan tambahan yang harus dibayar dalam transaksi pinjam

meminjam ataupun jual beli yang bertentangan dengan prinsip syariah.

A.2. Dasar Hukum Riba

Ada beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad SAW

yang membicarakan tentang riba, adapun dasar-dasarnya:

1). Dasar Hukum Riba Dalam Al-qur’an

Firman Allah dalam Surat Ar-Rum:39

‫وما آَتْيُت م ِربا لِي رب و ِِف َْأم واِ ل ِس فََل ي ِ ْعن َد ۖ وما آَتْيُت م ََزكاة‬
ْ ََ َ َُ َْ ً ْ ََ
‫م ْن‬ ِ ِ
‫ا لّ ه‬ ‫َْ رُبو‬ ‫النّا‬ ‫م ْن‬ِ
‫ُتِري ُدو و جه ا لِّ ه َفُأوََٰلئِ ُه م ْضعُِ فو َن‬
ُ َ ْ َ
‫َك الْ م‬ ‫َن‬
ُ
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia
bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada
sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu
maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat
demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan
26
(pahalanya)”.

Menurut Sayyid Quthb penjelasan ayat ini adalah walaupun teks

tersebut mencakup semua cara riba tanpa terkecuali, bagi para pemilik
4
harta,

25
Widyaningsih, Bank dan Asuransi dalam Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), 25
26
QS Ar.Rum [30]:39

5
Allah SWT juga menjelaskan bagaimana cara mengembangkan harta yang

baik dan benar. Dengan berzakat inilah cara untuk melipatgandakan harta,

memberikan harta tanpa mengharapkan ganti, juga tanpa menunggu

pengembalian dan balasan dari manusia. Karena Allah akan

melipatgandakan rezeki bagi orang-orang yang menginfakan hartanya

semata-mata hanya karena Allah SWT. Allah yang mengurangi harta

orang- orang yang melakukan praktik riba yang tujuannya mencari muka

dihadapan manusia. Itu hanyalah perhitungan di dunia. Padahal di sana

terdapat perhitungan akhirat, yang didalamnya ada balasan berlipat ganda.

Perhitungan akhirat adalah perdagangan yang menguntungkan.27

Firman Allah dalam surat An-Nisa: 161

‫ري‬Sِ‫وَأ ْخِذ اِلّربا و ن ُ َ َوأَ َْأموا الّنا بِاْلَبا ِط ۖ وأَ ْعَت لِْل َكاف‬
َ َ َ َ
‫ْدنَا‬ ِ
‫َق ُهوا ْعنُه ْكلِ ه م َل س ِل‬ ِ
‫َن‬ ْ ‫م‬ ‫ه‬
ُ
‫ْد‬
‫ِ ْمنُه َعَذاًبا َألِي ًما‬
‫ْم‬
“Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya
mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan
harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah
menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu
siksa yang pedih”.28

Menurut Ibnu Katsir bhwa pelaku riba tidak puas dengan apa yang

sudah menjadi pembagian Allah dari perkara yang halal, dan tidak pernah

merasa cukup dengan apa yang telah di syariatkan berupa suatu

penghasilan yang diperbolehkan. Dengan begitu mereka menempuh cara

bathil dengan memakan harta orang lain dengan cara yang buruk. Artinya

mereka mengingkari dengan apa yang Allah berikan kepadana berupa

1
kenikmatan. Mereka melakukan dzalim juga berdosa dikarenakan

memakan harta orang

27
Sayyid Quthb, Tafsir Ayat Riba, terj. Ali Rohmat (Jakarta: Jagakarsa, 2018), 157-159.
28
QS An.Nisa [4]:161

1
lain dengan cara yang bathil. Segala sesuatu yang terkait dengan

pertumbuhan dan perkembangan riba tersebut, termasuk orang yang

menanamkan modal kedalamnya, kemudian menghasilkan keuntungan,

termasuk orang yang memakan harta dengan cara yang bathil.29

Firman Allah dalam Qur’an Surat Al-Imran:130-131

‫فلِ ُُو َن‬Sْ‫م ضا واّت قوا اّله َل عّل ُك ُت‬


‫َيا أَيْ َها اّل ِذي َآ منُوا ال َتْأ ُكلُوا اِلّرَبا ْض‬
ََ ُ َ َ ُ
‫ْم‬ ‫َ َع فًة‬
‫َأ َعاًفا‬ ‫ن‬
َ
)٠٣٠( ‫) َواتُّ قوا الّناَ ر الِِّت ُأ ْت لِْل َكافِِ ري ن‬١٣٠(
َ
‫ِع ّد‬
“Wahai orang-orang yang beriman Janganlah kamu memakan riba
dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kamu
beruntung (130) Peliharalah dirimu dari api neraka yang disediakan
untuk orang-orang kafir (131)”.30
Menurut M. Quraish Shihab penjelasan tentang ayat ini adalah

bahwa riba tidaklah sejalan dengan iman, dan Allah melarang orang-orang

untuk memakan riba, dan didalamnya pun menjelaskan agar menjauhi riba

supaya kalian selamat dan mendapatkan keuntungan, artinya keselamatan

dunia dan akhirat adalah menjauhi riba.31

Firman Allah dalam Surat Al-Baqarah:275-281

ِّ ‫ال ك ما ي الّ ِذي ي ت خّبُطه الّشيَطا ِ اْل‬ ّ ِ‫اّل ِذي يْأ ُكُلو ال ربا الَ ي قومو إ‬
ْ ُ ََ َ َ َ ُ َُ َ ِّ َ
ِ
‫م م‬ ‫َُُقوم‬ ‫َن‬ ‫ن َن‬
ّ َ َ
‫ن‬
َ
‫َك بَِأنّ ُه ْم َقاُلوْا َجاءُه َمْ و‬ ‫َنا‬
‫ِعَظٌة‬ ‫إ‬ ‫اْلَبْي‬
1
‫َذلِ ُع ِمْث ل اِلّرَبا َوَأ َح ّل اّلُه اْلَب‬
ُ
‫ْي َع َو َ ّحَرم اِلّرَبا َف َمن‬
‫ُ النّا ُه ْم‬ ُ ْ َ ‫َعا َد‬ ‫ّرب َ َ َف َوَْأم رُه َإَِل ََو‬ ‫ِّمن‬
ُ
‫َفُْأوَلئِ ك ص ِر‬ ‫اّلِ ه م‬ ‫ِّه فَانَت َه ى َف َلُه م س‬
َ
َ ‫َأ‬
‫ُا‬ ‫ْن‬ ‫ا َل‬
‫ّص َواّلُه ل ّ َ ّك فا ر‬ ‫﴾ ََْ َي‬٢٧٥﴿ ‫فِي َها َخاُلِ دو َن‬
‫ُ ُق ا لُّه َويُِْرِب‬
ُ
‫َدَقا الَ ُِي ُك‬ ِ‫ِ اِّلْرَبا ال‬
‫ْب‬ ‫ِت‬
َ ْ‫َوأََق ُا م ّ َلص وآَت وا‬
َ ‫﴾ إِ ّن الّ ِذي ن آ منُوْا و ّ َِل‬٢٧٥﴿ ‫أَثِي م‬
‫صا‬
ُ َ َ َ َ
‫واْ ال ة الَّزكاَة ُْل م‬ ‫َعمُلواْ ال ِت‬
29
Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Kemudahan dari Allah, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir,
terj.
Syihabuddin, cet-1 (I; Jakarta: Gema Insani, 1999), 700
30
QS Al.Imran [3]:130-131
31
Dr. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dan
Kehidupan Masyarakat, cet-1 (Bandung: PT. Mizan Putaka, 1992), 260-261

1
‫ي‬ ‫ل‬‫ع‬ ‫خ‬ ‫ر‬
ّ
ِ ‫ع‬ِ ‫َأ جره‬
َ
ْ َ
ُ َ َْ ْ َ َ َ ُُ ْ
‫ َيا َأي ْ َها اّل ِذي َن‬S﴾٧٧٥﴿ ‫زُنو َن‬S‫ْم ن بِ ْم و َال و ِه ْم و َال ه َي‬
‫مُنوْا‬S‫َآ‬ ‫ْم‬ ‫ٌف‬
ّ ﴾٢٧٥﴿ ‫اّتُ قوْا اّلَه ََوُذ َما َبِق ِم ن اِلّرَبا ُك ْم َي‬
َ
ْ‫َفِإن ل َتْ ف عُلواْ َفأ‬ ِ‫إِن ن تم ؤِمن‬ ‫رواْ ي‬
َ ْ ُ َ
‫َذُنوْا‬
ِ ِ ِ ِ
َ‫ِبَْر ُ ِّم اّل ه ََور َوإِن ت َف َل ُك ُُرؤو أَْ َم والُك َال َتْظل ُمو َوال‬
‫َن‬ ‫ْم‬ ‫ُْبُت ْم ْم س‬ ‫ُسولِه‬ ‫ن‬
ُ َ
ّ‫﴾ و َكا َن ُذو ع سرة َف َن مي وأَ ص خي ر ل‬٢٧٥﴿ ‫ُتظْلَ مو َن‬
ٌْ َ َ َ ْ َ َ ُْ َ ُ
‫ظرةٌ إََل سرة ن َت ّدقُواْ ُك ْم‬ ِ ِ ‫إن‬ ِ
ََ َ
‫إِن ُكنُت م َت عَل مو َن ﴿ واُّتق وْا ي وما تُر جعو َن فِي ه َإَِل ُُّث ت ُك ِ ّما‬
ُ َ ْ ً َْ َ ُ ْ ْ
ّ ‫ا لِ ه ّوّف ل نْ ف‬ ﴾١٢٥
َ ْ ُ ّ
َ
﴾٠٢٥﴿ ‫ال ُيظَْل ُمو َن‬ َ ‫ه ْم‬S‫َك ْت َ ُو‬
‫سَب‬
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat
َ
berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian
itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang
telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti
(dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya
dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada
Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu
adalah penghuni- penghuni neraka mereka kekal didalamnya. (275)
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah
tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu
berbuat dosa. (276) Sesungguhnya orang-orang yang beriman,
mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat,
mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (277) Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang
yang beriman. (278) Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-
1
Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari
pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (279) Dan jika (orang yang
berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia
berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang)
itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (280) Dan
peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada
waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian
masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa
yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya
(dirugikan). (281).32

32
QS Al.Baqarah [2]:275-281

2
Dalam tafsir Ibnu Katsir penjelasan tentang ayat 275 adalah bahwa

dimana Allah mengatakan seorang pemakan riba akan dibangkitkan dari

hari kiamat seperti orang gila yang mengamuk. Allah menegaskan bahwa

menghalal jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang

menghalalkan riba dapat diartikan pembantahan atas hukum yang sudah

ditetapkan Allah. Riba yang dulu sudah dimakan sebelum turunnya ayat

ini, jika pelakunya mau bertaubat, tidak ada kewajiban untuk

mengembalikan dan dimaafkan oleh Allah, sedangkan bagi siapa saja

yang kembali lagi kepada riba setelah menerima larangan dari Allah,

maka mereka adalah penghuni neraka dan mereka kekal didalamnya.

Kemudian pada ayat 276-

277 menjelaskan bahwa Allah telah menghapuskan riba, baik

menghilangkannya secara keseluruhan ataupun mengharamkan

keberkahan hartanya, sehingga manusia tidak dapat mengambil manfaat

darinya, bahkan Allah melenyapkan hasil riba itu di dunia dan

memberikan hukuman kelak pada hari kiamat.

Kemudian pada ayat 278-281 menjelaskan bahwa Allah berfirman

dengan memerintahkan hamba-Nya yang beriman untuk bertakwa kepada-

Nya juga melarang mereka untuk mengerjakan hal yang bisa mendekatkan

kepada murka-Nya dan menjauhkan dari ridha-Nya, karena sesungguhnya

Allah selalu mengawasi segala sesuatu yang mereka buat. Wa dzaruu maa

baqiya minar ribaa (Dan tinggalkan sisa riba yang belum dipungut)

maksudnya, Allah menganjurkan untuk tinggalkan harta kalian yang

berupa lebihan dari pokok yang harus dibayar orang lain, setelah datang

peringatan ini. Kemudian apabila kalian beriman kepada syariah Allah,

2
yang sudah

2
menetapkan kepada kalian berupa penghalalan jual beli dan pengaraman

riba. Wa in kaana dzuu ‘usratin fanadhiratun ilaa maisaratin wa an

tashaddaquu khairul lakum in kuntum ta’lamuun (Dan jika orang yang

berhutang itu dalam kesukaran, maka berilah ia tangguh sampai

berkelapangan. Dan menyedekahkan sebagian atau semua utang itu lebih

baik bagi kalian jika kalian mengetahui) artinya, Allah memerintahkan

agar kalian bersabar jika orang yang meminjam dalam kesulitan untuk

membayar hutang, yang tidak memiliki sesuatu untuk membayar. Tidak

seperti yang terjadi dikalangan orang-orang Jahiliyah. Dimana salah

seorang diantara mereka mengatakan kepada peminjam, jika sudah jatuh

tempo: “Dibayar atau ditambahkan pada bunganya”. Selanjutnya Allah

menganjurkan untuk membebaskannya. Dan Allah akan menyediakan

kebaikan dan pahala yang melimpah atas hal tersebut. Maka Allah

berfirman: wa an tashaddaquu khairul lakum in kuntum ta’lamuun (Dan

menyedekahkan sebagian atau semua utang itu lebih baik bagi kalian, jika

kalian mengetahui) maksudnya ialah hendaklah kalian meninggalkan

pokok harta (modal) secara keseluruhan dan membebaskannya dari

sipeminjam. Selanjutnya Allah menasehati dan mengingatkan kepada

hamba-Nya akan kefanaan dunia dan musnahnya semua harta kekayaan

dan segala yang ada dimuka bumi, selanjutnya akan datang alam akhirat

yang kemudian semua makhluk kembali kepada-Nya, dan Allah

menghisab semua apa yang pernah mereka lakukan, serta memberikan

pahala sesuai dengan perbuatan mereka baik itu yang baik maupun yang

buruk. Dan Allah mengingatkan kepada mereka akan siksaan-Nya,

dengan berfirman: wattaquu yauman turja’uuna fiihi

2
ilallaahi tsumma tuwaffaa kullu nafsim maa kasabat wa hum laa

yudhlamuun (Dan peliharalah dirimu dari adzab yang terjadi pada hari

yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah kemudian

masing- masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah

dikerjakannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan).33

2). . Dasar Hukum Riba Dalam Hadist

‫الربا و ْم ؤ ََوكاتَِبُه‬ ‫صلّى عل و ل‬ ‫ر ا لِّ ه‬ ‫َع َج َقا ََل ع‬


ُ َ َ ِّ َ َ َْ َ َ َ
‫كَِلُه‬ ِ‫ا لّه يِ ه سلّ م آك‬
َ َ ُ
‫ْن ابِ َل ن‬
‫ُسوُل‬
َ
‫َو َشا ِه َوَق ُ َسوٌاء‬
َ
‫َدْيِ ه ا َل ه‬
‫ْم‬
“Dari Jabir r.a dia berkata, bahwa “Rasulullah SAW melaknat
orang yang memakan riba, orang yang yang memberikannya,
penulisnya dan dua saksinya. Dan Beliau berkata mereka semua
adalah sama.” (HR. Muslim).34
ِ
‫َعلَْ َو َقا ا ْجَتنُبوا ال ّ ْسب‬ ‫َع َِأِب ُهر ي ا لُّه َ َ الِّن ِِّب َصلّى‬
َِ َ
‫َع‬ ‫يِ ه َسلّ م َل‬ ‫ا لُّه‬ ‫عنُْه ع‬ ‫ْي َرة ض‬ ‫ْن‬
َ َ
‫ْن‬ ‫َر‬
ِ ‫اْلُموَبِقا ِت َر ُس َول َ ُهّن َقا َل ال ِّ ْش ُرك َوا ْ َوَْقت ل‬
ُ
ِ ‫الّنْ ف‬ ‫بِا لِّ ه ل ِّس ر‬ ‫ا لِّ ه َوم‬ ‫َقاُلوا َيا‬
‫ّ الِِّت‬ ‫ا‬
‫وَق ْذ ُف‬ ‫ّحرم ا لّه إِّا بِا ِْل وَأ اِلّربا وأَ ماِل اْليتِي ِم َوالّت ي اّل ِز ْح‬
‫و ََْوم ف‬ ‫ْكل‬ ‫ل ِّق ْكل‬
‫َل‬
َ َُ َ َ َ ََ

‫ِت اْل ِت اْلَغافََِل ِت‬


َ‫ا‬
‫صنَ ْم ؤِمنَا‬
ُ
2
ُ
ْ ‫اْل ُم‬
“Dari Abu Hurairah r.a Rosulullah SAW bersabda: “Jauhilah tujuh
dosa besar. Para sahabat bertanya: apakakah ketujuh dosa besar
tersebut ya Rosulullah? Beliau bersabda: “Syirik kepada Allah,
sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan
haq, memakan riba, makan harta anak yatim, kabur dari medan
peperangan dan menuduh berzina perempuan mukmin yang baik”.
(HR. Bukhari).35

‫سب ُحوًبا أَْي‬ ‫م‬ ّ‫علَِي ه و سل‬ ‫َع ْن ُهرْي َرة َقا َل َقا َل َر َصلّى‬
َْ َ َ َ َْ ََ
‫َرها‬Sُ‫َس‬ ‫اِلّربا ُعو َن‬ ‫اّلُه‬ ‫ُس ُو ل ا لِّ ه‬ ‫َِأِب‬
َ
‫َأ ْن يَْن ِك َح اّلر ُج ل ُّأمُه‬
ُ
33
Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Ibid, 430-436
34
Isnaini Harahap, et al., Hadis-hadis Ekonomi, cet-2 (Jakarta:Kencana, 2017), 190
35
Ibid, 191-192

2
“Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: Riba itu
mempunyai tujuh puluh pintu (dosa), yang seringan-ringannya
adalah dosa seseorang yang menikahi ibunya sendiri.” (HR. Ibnu
Majah).36
‫ه ف‬Sِِ ‫ر ِ ِِ َب َُا‬S‫ َم‬S‫ما فَ ََأ‬S‫َح ّج ًا‬
‫ُيَ فَة َقا َل ُت أَِِب ا ْشَت‬ ‫َأخب رِِن ع و ن ب‬
‫رت‬S‫ُك َس‬ ‫رى‬ ‫َ ْ ُن َِأِبْ ُج َْ َرَأْي‬
َ ُ َ ْ
َ
‫َف َسَأْلُتُه َع َك َقا َل إِ ّن َر َصلّى َعَْليِ ه َو َسلّ م نَ َعْن مَ ِن ال ّدِم‬
َ ِ‫ن ذل‬
‫َومَ ِن‬ ‫َهى‬ ‫ا لُّه‬ ‫ُس َول ا لِّ ه‬ َ ْ
‫َِص‬
‫اْل َ ْك ل ِب ِب َوََل ع ن َواْل ُم ْسَت وآكِ ل َُوموكَِلُه َوََل ع ن‬
َ َ َ َ
‫َّور‬ ِ ِ ِ ‫اأَل‬
‫اْل ُم‬ ‫الِّرَبا‬ ‫وَِشَة‬ ‫ة‬
َ ‫ِش‬‫ا‬
َ َ‫و‬ ‫ل‬
ْ ‫ا‬ ‫ة‬‫م‬ َ ‫ََوك‬
ْ
‫ْس‬
“Diriwayatkan oleh A’un bin Abi Juhaifa: ayahku membeli seorang
budak yang pekerjaannya membekam (mengeluarkan darah kotor
dari kepala). Kemudian ayahku memusnahkan peralatan bekam
sibudak tersebut, aku bertanya kepada ayah kenapa beliau
melakukannya. Ayahku menjawab bahwa Rosulullah SAW,
melarang untuk menerima uang dari transaksi darah, anjing dan
kasab budak perempuan. Beliau juga melaknat pekerjaan penato
dan yang minta ditato, menerima dan memberi riba serta beliau
melaknat para pembuat gambar”. (HR. Bukhari).37
Dari Abu Said Al-Khudri:

‫ر‬S‫م‬ ِِ ِ ِ ِ Sِ
ُ ْ ‫ر َوال ّشعرُي بال ّشع ري َوالّت‬Sِّ ‫ر باْلُب‬Sْ‫ّض ة َواْلُب‬ ‫ب ِب ّضُة‬
ُ
‫ال ّذ‬
‫ل ُح‬Sْ‫ر َواْل ِم‬Sِ‫بِالّت ْم‬ ِ ِ
‫بِالّذ َه واْل ف بِالْ ف‬ ‫َه‬
َ
ِِ ِ ِِ

ِ
‫مل ِح مْثًَل ِبْث ل ًَي دا بَي د َف َنم َزا َد َأِ و ا ْسَت زا َد فَاآق ْل ِدخَْأَرذَب َواْل ُم ْعط فيهى َسوٌاء‬
ْ ‫باْل‬
َ ُ ْ
“Jika emas dijual dengan emas, perak dengan perak, gandum
dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, dan
garam dengan garam, bayaran harus tangan ketangan (tunai).
Barangsiapa menambah atau meminta tambahan, sesungguhnya ia
telah berurusan dengan riba. Penerima dan pemberi sama-sama
bersalah.” (HR. Muslim).38

2
A.3. Macam-macam Riba

Menurut ulama fiqih riba terbagi 2 macam yaitu riba fadl dan riba

nasi’ah.

36
Ibid, 192
37
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah: Dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2001), 52
38
Ibid, 53

2
1). Riba Fadl

Riba fadl adalah riba yang terjadi pada jual beli dengan barang

yang sejenis, artinya seseorang yang membeli sesuatu dengan sesuatu

yang sejenis, dengan meminta tambahan. Dan kelebihan pada salah satu

jenis harta yang diperjualbelikan sesuai dengan ukuran syara’.

Nasrun Haroen mengutip pendapat Imam Alkasani dalam buku

“Albadiush SHona’i” ukuran syara’ yang dimaksud adalah timbangan atau

takaran tertentu. Misalnya satu kilo gram beras dijual dengan satu setengah

kilo gram beras yang sama, kelebihan setengan kilo gram dalam jual beli

ini disebut dengan riba fadl. Apabila jenis barang yang dijual belikan

berbeda, maka kelebihannya tidak dipandang riba asalkan dengan cara

tunai. Misalnya satu kilo gram beras ditukar dengan dua kilo gram jagung,

maka satu kilo gram jangung tidak dipandang sebagai riba fadl. Hal ini

sebagaimana disebutkan dalam hadist “Memperjualbelikan emas dengan

emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, anggur dengan

anggur, kurma dengan kurma, garam dengan garam, (haruslah) sama,

seimbang dan tunai. Apabila jenis yang diperjualbelikan berbeda, maka

jualah sesuai dengan kehendakmu, boleh berlebih asal dengan tunai”.

Menurut ulama Hanafiah dan Hanabilah dalam jual beli harus memiliki

prinsip keadilan dan keseimbangan. Jika tidak ada adil dan seimbang maka

akan timbul kedzaliman. Oleh sebab itu kelebihan salah satu barang dalam

jual beli barang sejenis merupakan kelebihan tanpa imbalan yang sangat

merugikan pihak lain. Praktik seperti ini menjurus kepada kedzaliman.

2
Berdasarkan hadist dari Ubadah Bin Shomid diatas adalah menurut

Ulama Hanafiah dan Hanabilah menetapkan bahwa illat hukum larangan

riba fadl itu adalah kelebihan barang atau benda dari parang sejenis yang

diperjualbelikan melalui alat ukur timbangan (al-wazl) dan takaran (al-

kail). Oleh sebab itu berdasarkan illat ini, mereka tidak mengharamkan

pada kelebihan jual beli rumah, tanah, hewan, dan benda lainnya yang

dijual dengan satuan sekalipun sejenis, karena benda-benda ini di jual

sesuai dengan nilainya bukan berdasarkan al-wazl atau al-kail.

Sedangkan ulama Malikiyah dan Syafi’iyah memandang illat

keharaman riba fadl pada emas dan perak terletak pada kedua barang itu

merupakan harga dari sesuatu, baik emas dan perak itu telah dibentuk

seperti cincin, kalung, maupun yang belum dipentuk seperti emas

batangan. Oleh sebab itu emas dan perak, apabila sejenis tidak boleh

diperjualbelikan dengan cara melebihkan harga salah satu dari yang lain.

Misalnya, dua gram cincin emas dijual dengan satu gram emas batangan,

maka kelebihan dari cincin satu gram itu termasuk riba fadl. Sementara

illat keharaman riba fadl pada empat jenis makanan sebagaimana telah

disebutkan dalam hadist diatas mwnurut ulama Malikiyah adalah

makanan pokok dan tahan lama sekalipun ulama Malikiyah tidak

membatasi berapa tahan lama yang dimaksud. As-Syarbaini dalam

bukunya “Al-Mughni Al-Mukhtar” yang dikutip oleh Nasrun Haroen

ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa illat keharaman riba pada jenis

makanan adalah semata-mata karena benda itu bersifat makanan, baik

makanan pokok makanan ringan (buah-buahan dan lain sebagainya) yang

semuanya bertujuan untuk menjaga kesehatan tubuh.

2
Oleh sebab itu apa bila kelebihan pembayaran pada makanan jenis ini

maka termasuk riba fadl. Kalau jenisnya berbeda maka boleh

diperjualbelikan, boleh melebihi harga dari jenis lain asalkan dengan cara

tunai.

2). Riba Nasi’ah

Riba nasi’ah adalah kelebihan atas piutang yang diberikan orang

yang berutang kepada pemberi utang (pemilik modal) ketika waktu yang

disepakati telah jatuh tempo. Tambahan bunga itu sebagai imbalan

tenggang waktu jatuh tempo ini yang dinamakan riba nasi’ah. Apabila

waktu sudah jatuh tempo ternyata yang berutang tidak sanggup

membayar utang dan kelebihannya, maka waktunya dapat diperpanjang

dan jumlah utang akan bertambah pula. Mengacu pada pengertian riba

yang mana telah dijelaskan diawal, riba an-nasi’ah tidak hanya terjadi

pada hutang piutang saja melainkan juga dapat terjadi pada jual beli barter

barang yang sejenis maupun tidak sejenis. Misalnya, pada barter barang

yang sejenis membeli barang satu kilo gram beras dengan dua kilo gram

beras yang akan dibayar pada satu bulan yang akan datang. Kemudian

pada barter pada barang yang tidak sejenis, seperti membeli satu kilo gram

terigu dengan dua kilo gram beras yang akan dibayar pada dua bulan yang

akan datang. Kelebihan pada salah satu barang sejenis maupun tidak yang

dibarengi dengan penundaan pembayaran pada waktu tertentu termasuk

riba nasi’ah.39

2
39
Drs. Harun M.H, Fiqh Muamalah, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2017),
154-155

2
Dalam hal ini Allah telah mengharamkan dalam Qur’an surat Al-

Baqarah:
280

ِ‫ۖ وَأ ص خي ر لَ ۖ إ‬ ٌ‫َوإِ َكا َن ُذو ُع ْ َسرة َف َن ِظَرة‬


‫نُت ْم َت ْعَل‬S‫ُ ْك‬ ٌْ َ َ َ
‫ْن َت ّدُقوا ُك ْم ْن ُمو َن‬ ‫إَََِٰل َمْي سرة‬ ‫ْن‬
ََ
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka
berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan
(sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu
mengetahui”.40
Dijelaskan dalam ayat ini, jika waktu hutang telah jatuh tempo

sementara orang yang berhutang kesulitan utuk membayarnya, maka ia

tidak boleh untuk mengembalikan hutang kepada pemberi hutang, akan

tetapi harus diberi waktu tenggang lagi (tempo). Sedangkan jika orang

yang berhutang tersebut memiliki uang untuk membayar hutang dan tidak

sedang dalam keadaan kesulitan maka harus segera membayar

hutangnya. Dan mengeluarkan sedekah kepada orang yang kesulitan atau

kesusahan itu dengan cara membebaskannya dari utang baik sebagian atau

keseluruhan dari hutang tersebut itu lebih baik.

Sebagian ulama juga berpendapat, selain kedua jenis riba tersebut

ada riba yad, yaitu riba yang dilakukan karena berpisah dari tempat akad

sebelum serah terima terjadi. Dan yang kedua adalah riba qardhi yaitu

hutang dengan syarat ada keuntungan untuk sipemberi hutang. Akan tetapi

secara umum kedua riba tersebut termasuk dalam riba nasi’ah dan riba

fadl.41

2
40
QS Al.Baqarah [2]:280
41
Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2006), 290

2
A.4. Sejarah Riba

Istilah riba sudah dikenal dan digunakan dalam transaksi-transaksi

perekonomian oleh masyarakat arab sebelum datangnya Islam. Dan istilah

riba sudah dikenal sejak peradaban yunani kuno, yaitu pada zaman hukum

Nabi Musa AS yang dianggap sebagai larangan anti riba tertua. Pada

zaman Yunani kuno masyarakatnya sudah banyak yang melakukan

kegiatan riba. Plato dan Aristoteles sangat menentang keras akan

adanya praktek riba. Demikian juga dengan kaum Yahudi, Nasrani, dan

Islam semua agama samawi telah mengharamkan akan riba.42

Dalam sejarah Eropa abad tengah sekitar 900-1000 Masehi orang-

orang Yahudi dikenal sebagai golongan pelepas uang dan sebagai perintis

kegiatan pegadaian, sehingga kegiatan pelepasan uang itu diidentikan riba

dalam agama Yahudi.43

Ibnu Abi Zayd (136 H 754 M) mengatakan bahwa praktek riba

juga terjadi pada bangsa arab pra-Islam, dimana riba dilakukan dengan

berlipat ganda baik yang berupa uang maupun berbagai jenis komoditi,

serta perbedaan umur juga berlaku pada binatang ternak. Apabila sudah

terjadi jatuh tempo, pihak yang memberi hutang akan menanyakan kepada

pihak yang berhutang, apakah akan melunasi sekarang atau menambah

pembayaran jumlah hutang yang dipinjam. Jika pihak yang berhutang

memiliki sesuatu maka ia akan membayarkannya, akan tetapi jika

hutangnya berupa binatang ternak maka umurnya dapat meningkat (pada

42
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, terj. Kamaluddin A. Marzuki, (Bandung: PT Al-Ma’arif,
1996), 176
43
Dawan Raharjo, Persepektif Deklarasi Makkah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1972), 134

2
waktu pembayarannya). Apabila hutangnya tersebut berupa uang atau jenis

komoditi lain, maka ia dapat meningkatkan dengan berlipat ganda pada

waktu pengambilannya dalam jangka setiap tahun. Jika pihak yang

berhutang tidak dapat membayarnya maka hutang tesebut akan berlipat

ganda lagi.

Pada zaman Jahiliyah juga sudah ada praktek riba yakni riba. Pada

masa itu ada dua orang yang mulai mempraktekan riba yaitu Abbas dan

Khalid Ibn Al-Walid. Mereka memberikan pinjaman secara riba kepada

orang-orang suku Tsaqif. Kemudian Islam datang, akan tetapi mereka

masih mempraktekan riba dan masih memiliki sisa dengan segala

keuntungannya. Kemudian Islam datang dan Rosulullah sangat gigih untuk

menghilangkan praktek riba, Beliau melakukan dakwah-dakwah dimana

saja, dan salah satunya ketika haji wada’ Beliau menghapus dan melarang

adanya praktek riba.44

Dalam pengharaman riba Allah tidak langsung mengharamkannya,

akan tetapi Allah SWT menggunakan metode secara gradual (step by step).

Metode ini digunakan agar manusia yang terbiasa menggunakan praktek

riba tidak kaget, dengan maksud membimbing manusia secara mudah dan

lemah lembut mengalihkan kebiasaan mereka yang telah mengakar dan

melekat dalam kehidupan perekonomian jahiliyah. Ayat pertama yang

diturunkan dilakukan secara temporer yang pada akhirnya ditetapkan

secara permanen dan tuntas melalui empat tahap, yaitu:

44
Sayyid Sabiq, Op.cit, 180

2
a) Tahap pertama: ayat berupa nasihat, yang berisi tentang Allah tidak

menyukai orang yang melakukan praktek riba, dan untuk mendapatkan

hidayah dari Allah adalah dengan cara menjuhi riba, dalam ayat ini

Allah menolak bahwa anggapan bahwa pinjaman riba dalah sebuah

pertolongan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Berbeda ketika harta

yang dikeluarkan untuk berzakat, Allah akan memberikan barokah-Nya

dan akan melipatgandakan pahalanya. Dalam ayat ini tidak menyatakan

larangan dan belum mengharamkannya. Terdapat dalam Qur’an Surat

Ar-Rum:39.

b) Tahap kedua: ayat berupa peringatan, yang berisi tentang riba yang

digambarkan sebagai suatu pekerjaan yang dzalim dan bathil, dalam

ayat ini Allah menceritakan balasan terhadap kaum Yahudi yang

memakan riba. Dalam ayat ini Allah juga menggambarkan lebih tegas

lagi tentang riba melalui riwayat kaum Yahudi meskipun tidak terus

terang menyatakan larangan bagi orang Islam. Akan tetapi

membangkitkan perhatian dan kesiapan untuk menerima pelarangan

riba. ayat ini menegaskan bahwa pelarangan riba sudah terdapat dalam

agama Yahudi. Hal ini memberikan isyarat bahwa akan turun ayat

berikutnya yang akan menyatakan pengharaman riba bagi kaum

Muslim. Terdapat dalam Qur’an Surat An-Nisa:160-161.

c) Tahap ketiga: ayat berupa pengharaman, yang berisi tentang Allah tidak

mengharamkan riba secara total, akan tetapi melarang dalam bentuk

berlipat ganda. Dalam hal ini Allah menggambarkan kebijaksanaanya

yang melarang sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan pada masyarakat

2
sejak zaman jahiliyah dahulu, dengan cara sedikit demi sedikit sehingga

perasaan mereka yang sudah terbiasa melakukan riba dapat

menerimanya. Terdapat dalam Qur’an Surat Al-Imran:130.

d) Tahap keempat: ayat berupa hukum, yang berisi tentang pengharaman

secara tegas, jelas, pasti dan mutlak dalam pengharamnya

bagaimanapun bentuk riba dan tidak dibedakan besar kecilnya. Bagi

mereka yang tetap melakukan transaksi riba mereka termasuk dalam

kategori kriminalisasi. Dalam ayat ini menjelaskan jika terdapat

kriminalisasi maka akan diperangi Allah dan Rasul-Nya. Terdapat

dalam Qur’an Surat Al- Baqarah:275-279.45

Riba mulai dikaitkan dengan perbankan pada saat era medieval

yang dilakukan oleh saudagar emas. Saudagar emas membenarkan orang

ramai menyimpan emas dan perak dengan mereka dan mengenakan

bayaran. Mereka kemudiannya mengeluarkan resit kepada penyimpan

untuk menunjukkan emas dan perak yang disimpan oleh mereka. Resit

adalah pengakuan atau bukti bahwa bilangan atau suatu barang tertentu

atau jumlah uang tertentu telah diterima. Resit tersebut boleh digunakan

untuk menuntut barang tersebut pada suatu saat. Bagaimanapun apabila

keyakinan kebanyakan orang mulai tinggi kepada saudagar emas, setengah

dari mereka menggunakan resit tersebut sebagai perantara pertukaran

bayaran tanpa menebus barangan mereka setiap kali membuat bayaran.

Secara perlahan- lahan resit diterima sebagai uang dan duit emas dan perak

menjadi simpanan

45
Wasilul Choir, Riba Dalam Perspektif Islam dan Sejarah, Iqtishadia Vol. 1 No. 1, (Juni,

2
2014), 106-107

3
bagi resit tersebut. Kemudian saudagar emas mulai sadar bahwa orang-

orang mulai menyimpan uang lebihan di dalam bank dan menggunakan

resit sebagai bayaran kepada orang lain. Saudagar emas yang kemudian

menjadi pemilik bank setelah memerhatikan hal ini sekian lama, mulai

mengeluarkan resit tambahan dan memberikannya sebagai pinjaman

kepada pelanggan yang memerlukannya. Pelanggan kemudian dikenakan

bayaran sebagaimana mereka menyimpan emas dan perak.46

B. Tinjauan Tentang Bunga Bank

B.1. Pengertian Bunga Bank

Bank adalah sebuah lembaga intermediasi keuangan umumnya

didirikan dengan kewenangan untuk menerima simpanan uang,

meminjamkan uang, dan menerbitkan promes atau yang biasanya dikenal

sebagai banknote.

Kata bank berasal dari Italia yaitu banca yang berarti tempat

penukaran uang. Sedangkan menurut undang-undang perbankan, bank

adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk

simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit

atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat

banyak.47

Dalam menjalankan usahanya bank menggunakan sistem bunga

untuk memperoleh keuntungan. Bank menarik uang dari para nasabah

46
Murabbi, Riba: Pengertian dan Kesannya Kepada Masyarakat dan Negara, 2010,
Diakses tanggal 31 Agustus 2019 dari https://shairozihashim.blogspot.com/2010/03/riba-
pengertian-dan- kesannya-kepada.html
47
Dr. H. Sudirman, S.Ag, M.Ag, Fiqh Kotemporer (Cotemporery Studies Of Fiqh),
(Yogyakarta: CV Budi Utama, 2018), 381

3
(penabung) dengan memberikan bunga, kemudian bank meminjamkan

uangnya dengan menerima uang dari sipeminjam.

Bunga bank adalah ketetapan nilai mata uang oleh bank yang

memiliki tempo/tenggang waktu, kemudian pihak bank memberikan

kepada pemiliknya atau menarik kepada sipeminjam sejumlah bunga

(tambahan) tetap sebesar beberapa persen. Dengan kata lain bunga bank

adalah sebuah sistem yang diterapkan oleh bank-bank konvensional

sebagai suatu lembaga keuangan yang mana fungsi utamanya adalah

menghimpun dana kemudian untuk disalurkan kepada yang memerlukan

dana baik perorangan maupun badan usaha, yang berguna untuk investasi

produktif dan lain-lain.48

Bunga Bank juga dapat diartikan berupa bank interest yaitu

sejumlah imbalan yang diberikan oleh bank kepada nasabah atas dana

yang disimpan di bank yang dihitung sebesar persentase tertentu dari

pokok simpanan dan jangka waktu simpanan ataupun tingkat bunga yang

dikenakan terhadap pinjaman yang diberikan bank kepada debiturnya.49

B.2. Macam-macam Bunga Bank

Dalam kegiatan sehari-hari perbankan ada dua macam bunga yang

diberikan kepada nasabahnya, yakni:

1). Bunga Simpanan

Bunga simpanan yaitu bunga yang diberikan sebagai balas jasa

kepada nasabah yang telah menyimpan uangnya di bank. Bunga simpanan

48
Ibid, 382
49
Kamus Bahasa Indonesia, Diakses tanggal 1 September 2019 dari

3
http://www.mediabpr.com/kamus-bisnis-bank/bunga_bank.aspx

3
merupakan harga yang harus dibayar bank kepada nasabahnya. Contoh:

jasa, seperti:

 Bunga tabungan: merupakan bunga yang akan diperoleh setelah

nasabah (penabung) menyetorkan tabungannya kebank. Persentase

bunga tabungan sebesar 1,5 % sampai 3 %.

 Bunga deposito: bunga yang ditawarkan deposito lebih tinggi daripada

tabungan biasa, deposito merupakan produk simpanan dibank yang

penyetoran dan penarikan hanya bisa dilakukan pada waktu tertentu.

Persentase bunga deposito sebesar 5 % sampai 8 %.

2). Bunga Pinjaman

Bunga pinjaman yaitu bunga yang diberikan kepada para peminjam

atau harga yang harus dibayar peminjam (nasabah) kepada bank.

Contohnya: bunga kredit. Bunga kredit merupakan penyediaan uang atau

tagihan yang dapat disamakan berdasarkan kesepakatan ketika pinjam

meminjam antara pihak bank dan nasabah yang mewajibkan pihak

peminjam (nasabah) untuk membayar bunga sebagai imbalan. Persentase

bunga kredit sebesar 0,5 % sampai 1,5 %.50

Kedua macam bunga tersebut merupakan komponen penting dari

faktor biaya dan pendapatan dalam bank konvensional. Bunga simpanan

merupakan dana yang harus dikeluarkan oleh bank kepada nasabah

sedangkan bunga pinjaman merupakan dana yang harus dikeluarkan oleh

nasabah kepada bank. Kemudian bunga simpanan dan bunga pinjaman

masing-masing saling mempengaruhi satu sama lain. Contohnya, ketika

50
Andrianto, S.E, M.Ak, et al., Manajemen Bank, (CV. Penerbit Qiara Media, 2019), 29

3
bunga simpanan tinggi maka secara otomatis bunga pinjaman juga akan

ikut naik begitu juga sebaliknya, ketika bunga simpanan turun maka

bunga pinjaman akan ikut turun.

B.3. Praktek Bunga Bank

Didalam dunia perbankan bunga biasanya diartikan sebagai balas

jasa dari bank untuk nasabah. Bunga juga dapat diartikan sebagai harga

yang harus dibayar oleh nasabah kepada bank (pihak yang memperoleh

pinjaman) dan harga yang harus dibayar oleh bank kepada nasabah (pihak

yang memiliki simpanan).

Secara umum kegiatan-kegiatan perbankan yang ada di Indonesia

adalalah:

1). Menghimpun dana dari masyarakat (Funding) dalam bentuk:

 Simpanan giro (demand deposit) yang merupakan simpanan pada

bank, yang dimana penarikannya dapat dilakukan setiap saat

dengan menggunakan cek atau bilyet giro.

 Simpanan tabungan (saving deposit) yaitu simpanan kepada bank

yang dimana penarikannya dapat dilakukan sesuai dengan

perjanjian antara bank dan nasabah, kemudian penarikannya

menggunakan slip penarikan, buku tabungan, kartu ATM atau

menggunakan sarana penarikan lainnya.

 Simpanan deposito (time deposit) merupakan simpanan kepada

bank yang mana penarikannya sesuai jangka waktu (jatuh tempo)

dan dapat ditarik kembali dengan menggunakan bilyet deposito

atau sertifikat deposito.

3
2). Menyalurkan dana ke masyarakat (lending) dalam bentuk kredit, seperti:

 Kredit investasi adalah kredit yang diberikan kepada investor untuk

penggunaan investasi baik itu berupa barang bergerak maupun

barang tidak bergerak dan penggunaan jangka waktu atas kredit ini

berjangka panjang.

 Kredit modal kerja adalah kredit yang diberikan kepada pengusaha,

untuk membiayai kegiatan operasional suatu usaha yang biasanya

bersifat jangka pendek guna untuk memperlancar transaksi

perdagangan.

 Kredit perdagangan adalah kredit yang diberikan kepada

pengusaha yang bergerak dibidang perdagangan, baik itu

perdangan dalam skala besar, menengan maupun kecil.

 Kredit konsumtif adalah kredit yang diberikan kepada nasabah

yang biasanya digunakan untuk kepentingan pribadi.

 Kredit produktif adalah kredit yang digunakan untuk menghasilkan

barang atau jasa yang digunakan untuk kegiatan produktif.

3). Memberikan jasa-jasa bank lain (services).51

Uang didalam bank kebanyakan adalah uang para nasabah. Jika

bank hanya menyimpan uang milik nasabah berarti uang didalam bank

tersebut tidak produktif. Padahal bank harus mencari pendapatan agar

dapat membayar bunga tabungan dan deposito yang berada dalam bank.

Oleh sebab itu, bank menggunakan uang nasabah (penabung) kepada

masyarakat yang membutuhkan dalam bentuk pinjaman kredit. Dalam

transaksi pinjam

3
51
Ibid, 22-24

3
meminjam tersebut di dalamnya terdapat bunga, dan dalam transaksi

tersebut terdapat selisih suku bunga, dari situlah bank mendapat

keuntungan. Kemudian bank konvensional pada saat ini tidak memiliki

pengawas semacam institusi dewan pengawas syariah, sehingga uang

nasabah sangat rentan digunakan atau diputar oleh bank untuk bisnis yang

diharamkan oleh syari’at Islam, seperti bisnis yang mengandung unsur

perjudian (maisir), ketidakpastian (gharar) semacam forex, industri

minuman keras, industri makanan/minuman haram. Padahal di Indonesia

adalah segmen pasar yang kebanyakan nasabahnya adalah muslim.52

52
Arifin Muhammad Badri, Riba dan Tinjauan Kritis Perbankan Syari’ah, (Bogor: Pustaka
Darul Ilmi), 43-44

You might also like